Upload
habao
View
228
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
19
BAB III
PEMBANGUNAN MODEL DISTRIBUSI POPULASI PENDUDUK
PADA SISTEM GRID SKALA RAGAM
Untuk mendapatkan informasi populasi kependudukan secara spasial, perlu
dilakukan pembangunan sistem yang dapat menyimpan data spasial dan non-spasial
dalam suatu basis data atau bisa disebut dengan basis data spasial. Dengan basis data
spasial populasi ini, tidak hanya data non-spasial seperti jumlah penduduk per
kecamatan saja yang dapat diperoleh, tapi juga dapat menampilkan data spasial,
seperti posisi geografis di permukaan bumi. Dan untuk penyimpanan data spasial
yang dapat merepresentasikan fenomena geografis yang bersifat kontinyu dan
berubah secara gradual, seperti halnya distribusi populasi penduduk, digunakanlah
sistem grid skala ragam.
Dalam pembangunan basis data spasial populasi dengan sistem grid ini, dilakukan
beberapa tahapan pekerjaan, diantaranya:
1. Pembangunan sistem grid skala ragam wilayah Bandung;
2. Penggabungan data tutupan dan penggunaan lahan dan data batas administrasi
dengan data grid skala ragam wilayah Bandung;
3. Pembuatan model matematis untuk menentukan densitas populasi penduduk di
wilayah Bandung;
4. Visualisasi distribusi populasi penduduk.
3.1 Pembangunan Sistem Grid Skala Ragam Wilayah Bandung
Pembuatan grid skala ragam untuk wilayah Bandung ini dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak AutoCAD Land Desktop 2009. Dalam penelitian
ini ukuran grid yang diperlukan untuk penelitian adalah ukuran 5” x 5”, namun
untuk mendapatkan grid dengan ukuran 5” x 5” perlu dibuatkan grid dari ukuran
grid Indonesia yang paling besar, yaitu ukuran 1° 30’ x 1°. Untuk mengetahui
ukuran grid beserta resolusinya dapat dilihat pada tabel 2.1.
20
Adapun tahapan dalam pembuatan grid skala ragam wilayah Bandung tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan batas-batas atau penentuan titik-titik origin dari sistem grid.
Titik origin dari sistem grid Indonesia terletak pada 90° BT- 144° BT dan
15° LS – 10° LU.
2. Pembuatan garis-garis sesuai dengan jumlah baris dan kolom yang
membentuk suatu grid dengan besaran resolusi grid yang dibutuhkan untuk
penelitian. Gambar 3.1 merupakan gambaran dari grid yang dibuat dengan
perangkat lunak AutoCAD Land Desktop 2009.
3. Konversi data dari format (*.dwg) menjadi data berformat (*.shp).
4. Penentuan sistem koordinat dan datum yang digunakan. Dalam penelitian
ini, berdasarkan penelitian sebelumnya (Fitria, 2009), sistem koordinat yang
digunakan adalah sistem koordinat geodetik dengan datum WGS (World
Geodetic System) 1984 yang besaran parameternya sama dengan DGN
1995.
Gambar 3.1 Pembuatan Grid dengan Perangkat Lunak AutoCAD Land
Desktop 2009
Dari pembuatan sistem grid di wilayah penelitian (wilayah Bandung) tersebut
hasilnya dapat dilihat pada gambar 3.2. Pada gambar 3.2 ini sistem grid yang
21
dibuat berada di wilayah penelitian (wilayah Bandung) dengan ukuran grid
sebesar 5” x 5”. Dari sistem grid tersebut terbentuk sebanyak 188.657 sel grid.
Gambar 3.2 Hasil Grid di Wilayah Penelitian (ukuran grid 5” x 5”)
22
3.2 Penggabungan Data Landuse/Landcover dan Data Batas Administrasi
dengan Data Grid Skala Ragam Wilayah Bandung
3.2.1 Penggabungan Data Landuse/Landcover dengan Data Grid Skala
Ragam Wilayah Bandung
Pada tahapan ini dilakukan penggabungan data grid skala ragam
wilayah Bandung yang telah dibuat pada tahapan sebelumnnya dengan
data landuse/landcover wilayah Bandung yang telah berformat
shapefile (*.shp). Sebelum melakukan penggabungan data, harus
dipastikan sistem koordinat dan datum yang digunakan pada kedua data
telah seragam, yaitu menggunakan sistem koordinat geodetik dan datum
WGS 1984. Untuk hasil penggabungan data sistem grid skala ragam
dengan data landuse/landcover pada sampel di beberapa kecamatan di
Kota Bandung dapat dilihat pada gambar 3.3 berikut.
23
Gambar 3.3 Contoh Hasil Penggabungan Data Sistem Grid Skala
Ragam dengan Data Landuse/landcover
Pada gambar 3.3 dapat dilihat bahwa pada satu sel grid bisa memiliki
satu atau lebih kelas lahan berdasarkan data landuse/landcover.
Penggabungan data ini bertujuan untuk menggabungkan data-data
spasial dan non-spasial dari data grid skala ragam dengan data
landuse/landcover. Pada penelitian ini penggabungan data dilakukan
dengan menggunakan operasi join table pada perangkat lunak yang
digunakan. Operasi joint table ini merupakan operasi untuk
menggabungkan tabel atribut dari dua tabel atribut shapefile yang
24
berbeda. Sehingga data grid skala ragam dan data landuse/landcover
pada tabel atribut dapat terekam dalam satu record.
3.2.2 Pengklasifikasian Kelas Lahan Tiap Grid
Pengklasifikasian kelas lahan untuk masing-masing grid ini
dimaksudkan agar setiap grid hanya memiliki satu kelas lahan. Hal ini
bertujuan untuk menghindari adanya data yang redundant, sehingga
nomor grid masih bisa dijadikan indentifier (ID) untuk setiap grid.
Pengklasifikasian/penyortiran grid per tiap kelas lahan ini dilakukan
berdasarkan luasan kelas lahan yang terbesar. Jadi, penentuan kelas
lahan dilakukan dengan melihat dominasi dari kelas lahan pada satu
grid (jika dalam satu grid terkandung beberapa macam kelas lahan).
Luas dari kelas lahan yang dominan (terbesar) ditentukan sebagai kelas
lahan untuk satu grid. Untuk hasil pengklasifikasian kelas lahan tiap
grid pada sampel dibeberapa kecamatan di Kota Bandung dapat dilihat
pada gambar 3.4 berikut.
25
Gambar 3.4 Contoh Hasil Klasifikasi Kelas Lahan Tiap Grid
Pada gambar 3.4 di atas dapat dilihat bahwa pada tiap grid hanya
memiliki satu jenis kelas lahan yang dibedakan berdasarkan warnanya.
Sehingga kode grid pada setiap grid dapat dijadikan identitas
(identifier) yang dapat digunakan untuk mempermudah pencarian data.
26
Tabel 3.1 Contoh Database Hasil Penggabungan Data Grid dengan Data
Landuse/Landcover
kode_grid Kelas Lahan
120853481211 HUTAN
120853481212 HUTAN
120853481213 HUTAN
120853481214 TEGAL/LADANG
120853481215 TEGAL/LADANG
120853481216 BELUKAR
120853481217 TEGAL/LADANG
120853481218 BELUKAR
120853481219 BELUKAR
120853481220 BELUKAR
... ...
Pada tabel 3.2 diatas menunjukan contoh dari hasil pengklasifikasian
kelas lahan pada tiap grid ukuran 5” x 5” berdasarkan luasan kelas
lahan yang dominan pada tabel atribut. Dari tabel ini dapat dilihat
bahwa pada setiap identitas nomor grid hanya memiliki satu kelas
lahan.
3.2.3 Penggabungan Data Batas Administrasi dengan Data Grid Skala
Ragam Wilayah Bandung
Data batas administrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
administrasi tingkat kecamatan di wilayah Bandung. Sama halnya
dengan penggabungan data landuse/landcover, terlebih dahulu
dilakukan penyamaan sistem koordinat dan datum yang digunakan.
Setelah masing-masing grid dengan ukuran 5” x 5” telah memiliki
nomor grid dan kelas lahan untuk tiap grid, dilakukan penggabungan
data dengan data batas administrasi. Penggabungan data ini dilakukan
dengan operasi intersect pada perangkat lunak yang digunakan. Operasi
intersect ini berfungsi untuk memperoleh data yang saling berpotongan
27
antara beberapa shapefile. Sehingga data hasil yang diperoleh hanya
data yang memiliki perpotongan (intersect) antar data.
Tabel 3.2 Contoh Database Hasil Penggabungan Data Grid dengan Data
Batas Administrasi
kode_grid Kelas Lahan Kecamatan
120931181202 PERUMAHAN /KOMPLEK
PERMUKIMAN
ANDIR
120931281314 PERUMAHAN /KOMPLEK
PERMUKIMAN
ARCAMANIK
120864382233 SAWAH CIKANCUNG
... ... ...
Pada tabel 3.2 diatas menunjukan beberapa contoh dari tabel atribut
pada shapefile hasil penggabungan data wilayah administrasi dan data
grid skala ragam yang masing-masing gridnya sudah memiliki
informasi nomor grid dan kelas lahan. Dari tabel 3.2 tersebut dapat
dilihat bahwa pada tabel atribut terdapat kolom kelas lahan, kecamatan,
dan nomor grid untuk masing-masing grid. Dari tabel tersebut, di dalam
satu grid bisa saja memiliki satu atau lebih kelas kecamatan.
3.3 Pembuatan Model Matematis Distribusi Densitas Populasi Penduduk
3.3.1. Pembobotan Kelas Lahan Berdasarkan Nilai Fungsi Lahan Pada
Data Landuse/Landcover
Setiap tipe tutupan dan penggunaan lahan memiliki jumlah populasi
yang berbeda di suatu wilayah. Contohnya, tipe lahan permukiman
memiliki tingkat populasi yang tinggi dibandingkan dengan tipe lahan
industri. Oleh karena itu untuk masing-masing tipe tutupan dan
penggunaan lahan akan ditentukan populasinya menggunakan
pembobotan. Semakin tinggi tingkat populasi penduduknya, maka
bobot yang diberikan juga akan semakin besar. Besaran bobot
ditentukan berdasarkan nilai fungsi lahan (Riqqi, 2008), nilai fungsi
28
lahan untuk masing-masing kelas lahan dapat dilihat pada tabel 3.3
berikut ini.
Tabel 3.3 Nilai Fungsi Lahan (Riqqi, 2008) dan Bobot Kelas Lahan Kelas Lahan Fungsi
Sosial
Fungsi
Ekonomi
Σ Fungsi Sosial-
Fungsi Ekonomi
Bobot
Danau 0.249957 0.244512 0.005445 0.05445
Rawa 0.031414 0.024122 0.007292 0.07292
Perkebunan 0.34205 0.32509 0.01696 0.1696
Sawah Tadah Hujan 0.289754 0.311516 0.021762 0.21762
Bandara 0.42994 0.45409 0.02415 0.2415
Stasiun 0.42994 0.45409 0.02415 0.2415
Hutan 0.20663 0.1544 0.05223 0.5223
Tegal/Ladang 0.34439 0.28391 0.06048 0.6048
Kebun Campur 0.34382 0.27979 0.06403 0.6403
Sungai 0.27121 0.17858 0.09263 0.9263
Sawah 0.38529 0.24712 0.13817 1.3817
Pasar/Pertokoan 0.53344 0.3827 0.15074 1.5074
Semak 0.45382 0.25891 0.19491 1.9491
Belukar 0.46751 0.25581 0.2117 2.117
Taman 0.46751 0.25581 0.2117 2.117
Tanah Kosong 0.52303 0.26716 0.25587 2.5587
Industri 0.31923 0.60299 0.28376 2.8376
Institusi 0.30524 0.59827 0.29303 2.9303
Rumput 0.5399 0.21913 0.32077 3.2077
Tambang 0.214842 0.585543 0.370701 3.70701
Lapangan Golf 0.62701 0.209 0.41801 4.1801
Stadion 0.62701 0.209 0.41801 4.1801
Perumahan 0.90187 0.065653 0.836217 8.36217
Pada tabel 3.3 terlihat bahwa setiap tipe tutupan lahan memiliki nilai
lahan yang berbeda berdasarkan fungsi ekologi, fungsi sosial, dan
fungsi ekonomi (Riqqi, 2008). Nilai bobot untuk masing-masing kelas
lahan ini diperoleh dari proses ranking nilai selisih dari fungsi sosial
lahan dengan fungsi ekonomi lahan.
29
3.3.2. Pembuatan Model Matematis Distribusi Densitas Populasi
Penduduk
Untuk memperoleh nilai dari densitas populasi kependudukan
berdasarkan data landuse/landcover ini dilakukan dengan metode
pendekatan. Metode pendekatan yang digunakan adalah penyajian
informasi kepadatan penduduk berdasarkan perbedaan tipe tutupan dan
penggunaan lahan (landuse/landcover). Model matematika yang
dijadikan sebagai pendekatannya adalah persamaan yang telah dibuat
oleh Min, et al., 2002 (persamaan 1)
Dari pendekatan model matematis untuk memperoleh nilai densitas
populasi penduduk pada persamaan 1 tersebut, kemudian dibuatlah
pendekatan model matematis baru dengan menambahkan parameter
bobot untuk setiap tipe landuse/landcover sehingga diperoleh
pendekatan model matematis berikut.
𝑃 = (𝐴𝑖 𝑊𝑖 𝐷𝑖
𝑛
𝑖=1
)
... (2)
dimana:
P : jumlah penduduk total
Ai: luas area setiap kelas lahan dari data tutupan dan penggunaan lahan
(landuse/landcover)
Di: kepadatan penduduk setiap kelas lahan dari data tutupan dan
penggunaan lahan (landuse/landcover)
Wi: bobot setiap kelas lahan
Dalam membangun model matematis distribusi densitas populasi
penduduk, dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Misalnya terdapat j wilayah yang telah diketahui jumlah
penduduknya, j= 1,2, 3, .., m. Jumlah total penduduk untuk tiap
wilayah didefinisikan dengan Pj.
2. Selanjutnya dapat didefinisikan terdapat i kelas landuse/landcover,
i = 1, 2, 3, .., n.
30
3. Dengan, W1,2,...,n merupakan bobot kepentingan dari tiap-tiap kelas
lahan landuse/landcover.
4. Sedangkan, Aij merupakan jumlah grid ukuran 5” x 5” untuk suatu
kelas lahan pada tiap kecamatan.
5. Sehingga berdasarkan pendekatan model matematis pada
persamaan 2, didapatkan persamaan matematis distribusi populasi
penduduk untuk masing-masing kecamatan di wilayah Bandung,
adalah sebagai berikut:
P1 = A11W1D1 + A12W2D2 + ... + A1nWnDn ... (3)
P2 = A21W1D1 + A22 W2D2 + ... + A1nWnDn ... (4)
Pm = Am1W1D1 + Am2W2D2 + ... + AmnWnDn ... (5)
6. Untuk memperoleh nilai dari densitas populasi penduduk tiap kelas
lahan masing-masing kecamatan digunakan persamaan matematis
sebagai berikut:
𝐴′𝑖𝑗 = 𝐴𝑖𝑗 × 𝑊𝑖 ... (6)
𝐷𝑖𝑗 =
(𝐴 ′𝑖𝑗 𝐴 ′𝑖𝑗 ×𝐴𝑖𝑗 )
(𝐴 ′𝑖𝑗 𝐴 ′𝑖𝑗 ×𝐴𝑖𝑗 )
×𝑃𝑗
𝐴𝑖𝑗 ... (7)
Dengan,
Dij : densitas populasi penduduk untuk setiap kelas lahan per
kecamatan
Aij : jumlah grid setiap kelas lahan per kecamatan
i : kelas lahan (landuse/landcover)
j : kecamatan
Dengan menggunakan persamaan 7 dari model matematis di atas dapat
diperoleh densitas populasi penduduk per grid untuk tiap kelas lahan
masing-masing kecamatan. Densitas populasi penduduk per grid tiap
kelas lahan untuk satu kecamatan dengan kecamatan lain di wilayah
31
Bandung dapat berbeda antar kecamatan. Nilai dari densitas populasi
per grid kelas lahan masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel
3.4 berikut.
Tabel 3.4 Contoh Nilai Densitas Populasi Penduduk/grid Tiap Kelas
Lahan per Kecamatan
Kelas Lahan Densitas Populasi Penduduk/grid
Satu Desimal Pembulatan
Kecamatan Sukasari
Tegal/Ladang 0.2 0
Kebun Campur 1.5 1
Sawah 4.7 5
Pasar 0.7 1
Semak 0.8 1
Belukar 3.0 3
Taman 0.8 1
Tanah Kosong 0.7 1
Industri 0.5 0
Institusi 11.3 11
Stadion/Lapangan 2.7 3
Permukiman 373.7 374
Kecamatan Padalarang
Danau 0.0 0
Perkebunan 0.1 0
Hutan 1.1 1
Tegal/Ladang 42.1 42
Kebun Campur 33.7 34
Sawah 81.3 81
Semak 2.1 2
Belukar 10.3 10
Taman 1.1 1
Tanah Kosong 28.8 29
Industri 22.0 22
Institusi 0.3 0
Tambang 9.5 10
Permukiman 227.8 228
32
Dari tabel 3.5 diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaaan nilai
densitas populasi pada masing-masing kecamatan untuk kelas lahan
yang sama. Hal ini dikarenakan perbedaan variasi dari kelas lahan yang
dapat berpengaruh pada densitas kelas lahan pada masing-masing
kecamatan. Untuk nilai densitas setiap kecamatan di wilayah Bandung
dapat dilihat pada tabel lampiran A.
3.4 Visualisasi Distribusi Populasi Penduduk
Dalam tahapan ini, dilakukan visualisasi dari data yang telah memiliki nilai
populasi untuk masing-masing grid ukuran 5” x 5”. Dimana dalam setiap grid
telah memiliki nilai dari jumlah populasi penduduk. Sehingga distribusi populasi
jumlah penduduk di wilayah Bandung dapat terlihat. Nilai dari populasi tersebut
diperoleh dari nilai densitas yang didapatkan dari model matematis yang telah
dibuat. Hasil dari visualisasi distribusi populasi penduduk wilayah Bandung
dapat dilihat pada gambar 3.5 berikut.
Gambar 3.5 Visualisasi Distribusi Populasi Penduduk Wilayah Bandung
33
Untuk membandingkan hasil visualisasi distribusi populasi penduduk di wilayah
Bandung dengan data landuse/landcover wilayah Bandung, dapat dilihat dengan
mengambil sampel beberapa kecamatan di Kota Bandung, yaitu kecamatan
Andir, kecamatan Cicendo, kecamatan Sukajadi, dan kecamatan Sukasari
(gambar 3.6 dan gambar 3.7).
Gambar 3.6 Landuse/landcover di Sebagian Kota Bandung (Kec.
Sukajadi, Kec. Sukasari, Kec. Cicendo, Kec. Andir)
34
Gambar 3.7 Contoh Hasil Visualisasi Distribusi Populasi Penduduk di
Sebagian Kota Bandung (Kec. Sukajadi, Kec. Sukasari, Kec. Cicendo,
Kec. Andir)
Dari gambar 3.6 dan gambar 3.7 diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk
pada visualisasi distribusi populasi penduduk sesuai dengan data
landuse/landcover-nya. Gambar 3.7 memperlihatkan distribusi populasi
penduduk yang jika jumlah populasi penduduknya dibandingkan dengan kelas
lahan pada gambar 3.6 memiliki kesesuaian. Dimana kelas lahan yang biasanya
memiliki populasi terbesar, misalnya kelas lahan permukiman, pada visualisasi
distribusi populasi penduduk pun memiliki jumlah penduduk yang terpadat jika
dibandingkan dengan kelas lahan lainnya.
35
3.5 Validasi Model Distribusi Populasi Penduduk
Dari hasil model distribusi populasi penduduk untuk wilayah Bandung,
diperoleh nilai densitas populasi untuk masing-masing kelas lahan pada wilayah
administrasi tingkat kecamatan. Dari nilai densitas tersebut dapat diperoleh
jumlah populasi penduduk di suatu wilayah administrasi. Untuk melihat kualitas
model distribusi populasi penduduk yang telah dibuat, perlu dilakukan proses
validasi dari model distribusi populasi penduduk tersebut. Validasi model
distribusi populasi penduduk tersebut dilakukan dengan mengambil beberapa
sampel jumlah populasi penduduk dari model pada wilayah administrasi yang
lebih kecil (tingkat kelurahan) dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan data
statistik populasi penduduk yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik)
Jawa Barat. Perbandingan jumlah populasi penduduk dari hasil model distribusi
penduduk dengan data statisti BPS dapat dilihat pada tabel 3.5.
Tabel 3.5 Perbandingan Antara Jumlah Populasi Penduduk Berdasarkan Hasil
Model Dengan Data Statistik BPS
Kecamatan Kelurahan
KELURAHAN KECAMATAN Jumlah
Penduduk (Jiwa)
Selisih Persentase
Selisih dan
Rata-rata Persentase
Jumlah Penduduk (Jiwa) Selisih Persentase
Selisih per
BPS Model (jiwa) Data BPS (%)
Kelurahan (%) BPS Model (jiwa)
Data BPS Kecamatan
(%) Cibeunying Kidul Cicadas 15,967 14776 1,191 7.5
6.8 109,416 109424 8 0.007311545
Cibeunying Kidul Cikutra 24,239 24291 52 0.2
Cibeunying Kidul Padasuka 17,581 15894 1,687 9.6
Cibeunying Kidul Pasirlayung 19,746 22848 3,102 15.7
Cibeunying Kidul Sukamaju 12,067 11387 680 5.6
Cibeunying Kidul Sukapada 19,816 20228 412 2.1
Dari tabel 3.5 dapat dilihat bahwa terdapat selisih antara jumlah populasi
penduduk hasil model distribusi populasi penduduk dengan data statistik dari
BPS untuk wilayah administrasi tingkat kelurahan. Selisih populasi penduduk
yang diperoleh cukup tinggi dibeberapa kelurahan, misalnya persentase yang
berada di Kelurahan Pasirlayung Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung
dengan nilai selisih 15.7% terhadap jumlah populasi penduduk berdasarkan data
BPS. Pada tabel 3.5 dapat dilihat persentase rata-rata dari perbedaan jumlah
36
penduduk antara data yang didapatkan dari model dengan data dari BPS sebesar
6.8% pada tingkat kelurahan. Sedangkan pada tingkat kecamatan diperoleh
persentase perbedaan jumlah penduduk antara jumlah yang diperoleh dari data
model dengan jumlah dari data BPS sebesar 0.007%. Hal menunjukan bahwa
nilai densitas populasi penduduk yang didapatkan dari model distribusi populasi
penduduk lebih baik digunakan untuk menghitung jumlah populasi penduduk
pada tingkat kecamatan dibandingkan pada tingkat kelurahan.