Upload
aris-kuslianto
View
23
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX
Citation preview
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Lingkungan dan Respon Fisiologis Domba
Rataan suhu dan kelembaban di dalam kandang adalah 29°C dan 76%,
sedangkan rataan suhu dan kelembaban di luar kandang adalah 30°C dan 69%. Data
suhu dan kelembaban udara pada lingkungan penelitian (dalam dan luar kandang)
tersaji pada Tabel 3. Suhu lingkungan dan kelembaban merupakan faktor penting
yang mempengaruhi produktivitas ternak. Suhu adalah ukuran untuk mengetahui
intensitas panas, sedangkan jumlah uap air di udara disebut kelembaban (Yousef,
1985).
Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Penelitian
Tempat Waktu Suhu (°C) Kelembaban (%)
Dalam Kandang
Pagi 26 ± 0,35 88 ± 2,61
Siang 33 ± 0,60 63 ± 2,68
Sore 29 ± 1,33 77 ± 5,21
Luar Kandang
Pagi 28 ± 0,42 74 ± 5,40
Siang 33 ± 0,85 59 ± 2,25
Sore 29 ± 1,35 74 ± 6,30
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu di dalam kandang lebih rendah
dibanding suhu di luar kandang, khususnya pada pagi hari yaitu: 26±0,35 oC untuk
suhu di dalam kandang dan 28±0,42 oC untuk suhu di luar kandang. Suhu di dalam
dan di luar kandang pada siang dan sore hari tidak terdapat perbedaan secara
signifikan yaitu: 33±0,60 °C dan 29±1,33 °C untuk suhu di dalam kandang, serta
33±0,85 °C dan 29±1,35 °C untuk suhu di luar kandang. Perbedaan suhu yang tidak
terlalu signifikan tersebut disebabkan oleh kontruksi kandang yang kurang
mendukung sebagai bangunan perkandangan untuk di daerah tropis, karena kandang
dikelilingi oleh dinding, sehingga menghambat proses sirkulasi udara di dalam
kandang.
Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa kelembaban di dalam kandang lebih
tinggi dibanding kelembaban di luar kandang, baik untuk pagi, siang, maupun sore
hari yaitu: 88±2.61, 63±2.68, 77±5.21 (%) untuk kelembaban di dalam kandang dan
18
74±5.40, 59±2.25, 74±6.30 (%) untuk kelembaban di luar kandang. Tingginya
kelembaban di dalam kandang disebabkan karena terjadi penguapan amoniak dan
uap air dari kotoran yang tertimbun di bawah kandang dan kurangnya sirkulasi udara
baik di dalam kandang maupun di bawah kandang, sehingga terjadi akumulasi uap
air yang terjebak di dalam kandang akibat dari kontruksi kadang yang kurang tepat.
Keadaan lingkungan tersebut kurang mendukung bagi kelangsungan hidup
ternak domba secara efisien. Suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak
untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4°C – 24°C dengan kelembaban udara
dibawah 75% (Yousef, 1985). Kondisi tersebut mengakibatkan respon fisiologis
domba selama penelitian meningkat, baik suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi
respirasi domba. Rataan respon fisiologis domba pada waktu pengukuran tersaji
dalam Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Respon Fisiologis Domba pada Waktu Pengukuran
Parameter Waktu Pengukuran
Pagi Siang Sore
Suhu Rektal (°C) 38,1±0,26 38,7±0,15 38,7±0,19
Denyut Jantung (detak/menit) 88±7,72 89±5,06 94±3,86
Frekuensi Respirasi (hembusan/menit) 28±3,32 52±10,24 51±10,63
Suhu rektal domba yang terendah pada pagi hari yaitu 38,1±0,26°C,
meningkat pada siang dan sore hari yaitu 38,7±0,15°C dan 38,7±0,19°C (Tabel 4).
Meningkatnya suhu rektal domba pada siang dan sore hari disebabkan karena faktor
suhu lingkungan, dimana pada pagi hari suhu lingkungan lebih rendah dibanding
suhu pada siang dan sore hari yang lebih tinggi (Tabel 3). Suhu rektal domba
berbanding lurus dengan suhu lingkungan. Semakin tinggi suhu lingkungan, maka
semakin tinggi pula suhu rektal domba. Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu
tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994).
Suhu lingkungan yang rendah, dibawah tingkat kritis minimum dapat mengakibatkan
suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang
diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al.,
1990).
19
37.8
37.9
38.0
38.1
38.2
38.3
38.4
38.5
38.6
38.7
38.8
PAGI SIANG SORE
Waktu Pengukuran
Su
hu
Rek
tal D
om
ba
(°C
)
Gambar 4. Grafik Suhu Rektal Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda
Denyut jantung domba meningkat dari pagi hari sebesar 88±7,72 detak/menit,
menjadi 89±5,06 detak/menit pada siang hari dan 94±3,86 detak/menit pada sore hari
(Tabel 4). Kondisi ini juga disebabkan karena terjadi peningkatan suhu lingkungan
pada siang dan sore hari (Tabel 3). Terjadinya peningkatan suhu lingkungan tersebut
menyebabkan denyut jantung meningkat dalam upaya domba untuk dapat
mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga suhu tubuh tetap dalam batas
normal. Edey (1983) menjelaskan bahwa peningkatan laju denyut jantung yang tajam
terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan.
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
PAGI SIANG SORE
Waktu Pengukuran
Den
yu
t Jan
tun
g
(det
ak
/men
it)
Gambar 5. Grafik Denyut Jantung Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda
20
Pengaruh faktor lingkungan tersebut juga meningkatkan frekuensi respirasi
domba, dimana domba meningkatkan frekuensi respirasinya dalam upaya
mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi. Pelepasan panas pada waktu suhu tinggi
di siang hari akan efektif dengan cara pelepasan panas melalui evaporasi, dalam hal
ini yaitu dengan peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi peningkatan pelepasan
panas melalui pernapasan (Ali, 1999). Penjelasan tersebut selaras dengan hasil rataan
frekuensi respirasi domba selama penelitian, yaitu pada pagi hari sebesar 28±3,32
hembusan/menit meningkat menjadi 52±10,24 hembusan/menit pada siang hari dan
51±10,63 hembusan/menit pada sore hari (Tabel 4).
0
10
20
30
40
50
60
PAGI SIANG SORE
Waktu Pengukuran
Fre
ku
ensi
Res
pir
asi
(hem
bu
san
/men
it)
Gambar 6. Grafik Frekuensi Respirasi Domba pada Waktu Pengukuran
Berbeda
Nutrisi Pakan
Berdasarkan data hasil analisis sampel bahan pakan yang digunakan selama
penelitian, kandungan nutrisi yang terdapat pada kulit singkong secara umum lebih
tinggi dibandingkan dengan kandungan nutrisi rumput B. humidicola. Kandungan
nutrisi pakan dari setiap ransum yang digunakan tersaji pada Tabel 4.
Data pada Tabel 5 tersebut memperlihatkan bahwa ransum P3 memiliki
persentase tertinggi pada kandungan bahan kering (21,89%), protein kasar (9,61%),
TDN (67%) dan BETN (67,16%) serta kandungan HCN sebesar 924 mg HCN/kg
berat segar. Ransum P0 memiliki persentase tertinggi pada kandungan lemak kasar
(2,34%), serat kasar (27,28%) dan abu (7,65%). Data tersebut menjelaskan bahwa
21
semakin banyak persentase pemberian kulit singkong dalam ransum, maka akan
meningkatkan kandungan bahan kering, protein kasar, TDN dan BETN serta HCN,
akan tetapi akan menurunkan kandungan lemak kasar, serat kasar dan abu dalam
ransum tersebut. Meskipun secara umum penggunaan kulit singkong tersebut akan
meningkatkan kandungan nutrisi ransum, akan tetapi kulit singkong mempunyai
beberapa kelemahan antara lain sifat palatabilitas rendah dan adanya kandungan
asam sianida (HCN) yang merupakan faktor pembatas dalam penggunaannya.
Tabel 5. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum
Komposisi
Zat Makanan
Perlakuan
P0 P1 P2 P3
----------------------------% BK-------------------------------
Bahan Kering (BK) 17,22 18,78 20,33 21,89
Protein Kasar (PK) 8,94 9,16 9,38 9,61
Lemak Kasar (LK) 2,34 2,02 1,7 1,37
Serat Kasar 27,28 23,84 20,41 16,97
Abu 7,65 6,73 5,81 4,89
TDN 43,88 51,59 59,3 67
BETN 53,79 58,25 62,7 67,16
HCN *
- 308 616 924
Keterangan : * Kandungan HCN dalam satuan mg HCN/kg berat segar;
* Total kandungan HCN: 440 mg/kg x jumlah pakan;
Dosis letal HCN untuk domba berkisar dari 2,5-4,5 mg/kg bobot badan/hari,
tetapi apabila domba merumput dapat tahan pada 15-20 mg HCN/kg bobot
badan/hari (Sudaryanto, 1987). Jumlah HCN dari kulit singkong yang dikonsumsi
oleh domba adalah 14,51 (P1), 29,13 (P2) dan 37,44 mg/kg bobot badan/hari (P3).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa rataan kandungan HCN dalam
ransum melebihi dosis letal untuk domba. Keadaan tersebut dapat berpengaruh
terhadap produktivitas domba terutama pengaruhnya terhadap respon fisiologis
domba, dimana HCN dapat mengganggu transport elektron yang dapat menyebabkan
terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto,
1987). Meskipun total kandungan HCN yang diberikan dalam ransum melebihi dosis
letal untuk domba, akan tetapi domba tidak mengalami karacunan ataupun terjadi
22
kematian selama penelitian. Kondisi ini dapat dimungkinkan karena waktu penelitian
yang tidak terlalu lama (2,5 bulan), sehingga pengaruh yang berbahaya tersebut
terhadap konsumsi HCN belum tampak. Faktor lain yang menghambat munculnya
pengaruh negatif yang berbahaya selama penelitian adalah adanya toleransi tubuh
terhadap racun yang masuk.
Tubuh hewan pada umumnya mempunyai pertahanan terhadap bahan asing
yang masuk kedalam tubuhnya. Resistensi tubuh ternak terutama ruminansia
terhadap racun dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain : a) adanya detoksifikasi
dalam rumen, terutama peranan dari mikrobanya; b) detoksifikasi metabolik yang
biasanya terjadi pada hati secara alamiah, dan proses detoksifikasi ini dapat
meningkat dengan adanya rangsangan (Bahri, 1987). Daya tahan tubuh domba
terhadap senyawa sianida diduga dimulai dari dalam rumen. Pertahanan tubuh
terhadap sianida sendiri diduga dapat terjadi melalui peningkatan metabolisme
terhadap sianida tersebut.
Pengaruh Perlakuan Pakan Berbeda Terhadap
Respon Fisiologis Domba
Respon fisiologis merupakan suatu tanggapan atau respon seekor ternak
terhadap berbagai faktor baik fisik, kimia maupun lingkungan sekitar, dimana
rangkaian dari respon fisiologis tersebut akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh
ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien (2007).
Pengaruh pemberian kulit singkong di dalam ransum terhadap respon fisiologis
domba tersaji dalam Tabel 6, dan diuraikan pada bagian berikutnya.
Tabel 6. Rataan Respon Fisologis Domba
Parameter Ransum
Rataan P0 P1 P2 P3
Suhu Rektal (°C) 38,3±0,21 38,6±0,15 38,2±0,49 38,6±0,40 38,43±0,21
Denyut Jantung
(detak/menit) 84±3,61 93±1,73 95±7,64 89±10,97 90±4,86
Frekuensi Respirasi
(hembusan/menit) 42±0.58 55±14.36 39±8.54 37±12.70 43±8,10
Keterangan : *)
P0 = 100% rumput P0 = 100% rumput BH + 0% kulit singkong; P1 = 80% rumput
BH + 20% kulit singkong; P2 = 60% rumput BH + 40% kulit singkong; P3 = 40%
rumput BH + 60% kulit singkong
23
Suhu Rektal Domba
Penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap
suhu rektal domba selama penelitian (P>0,05). Suhu rektal domba rata-rata selama
penelitian adalah 38.3±0.21°C (P0), 38.6±0.15°C (P1), 38.2±0.49°C (P2) dan
38.6±0.40°C (P3) seperti yang tersaji dalam Tabel 6. Suhu rektal domba di daerah
tropis berada pada kisaran 38,2 – 40 °C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Data
hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa suhu rektal domba selama penelitian
masih dalam batas normal. Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk
menggambarkan suhu internal tubuh ternak (Edey, 1983).
Menurut Baillie (1988), menjelaskan bahwa variasi temperatur tubuh dapat
terjadi karena berbagai pengaruh seperti usia, jenis kelamin, kondisi hari, aktivitas
makan, minum, latihan dan stress. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa
suhu rektal domba kurang dipengaruhi oleh pemberian ransum, akan tetapi
dimungkinkan lebih dipengaruhi oleh kondisi hari dan faktor lain tersebut.
38.0
38.1
38.2
38.3
38.4
38.5
38.6
38.7
P0 P1 P2 P3
Ransum
Su
hu
Rek
tal D
om
ba
(°C
)
Gambar 7. Grafik Suhu Rektal Domba
Denyut Jantung Domba
Penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap
denyut jantung domba selama penelitian. (P>0,05). Denyut jantung domba rata-rata
selama penelitian adalah 84±3.61 detak/menit (P0), 93±1.73 detak/menit (P1),
95±7.64 detak/menit (P2) dan 89±10.97 detak/menit (P3) seperti yang tersaji dalam
Tabel 6.
24
Hasil rataan denyut jantung domba selama penelitian lebih tinggi dibanding
dengan kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan oleh Smith dan
Mangkoewidjojo (1988) yaitu antara 70-80 kali tiap menit. Tingginya denyut jantung
domba tersebut dikarenakan oleh keadaan lingkungan yang kurang mendukung,
dimana temperatur rata-rata lingkungan di dalam kandang adalah 29°C dengan
kelembaban 76%. Yousef (1985) menjelaskan bahwa suhu dan kelembaban udara
yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4°C – 24°C
dengan kelembaban udara dibawah 75%.
Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa suhu dan kelembaban
lingkungan yang tinggi menyebabkan denyut jantung meningkat dalam upaya domba
untuk dapat mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga suhu tubuh tetap
dalam batas normal. Edey (1983) menjelaskan bahwa peningkatan laju denyut
jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan.
78
80
82
84
86
88
90
92
94
96
P0 P1 P2 P3
Ransum
Den
yu
t Jan
tun
g
(det
ak
/men
it)
Gambar 8. Grafik Denyut Jantung Domba
Grafik denyut jantung diatas (Gambar 8) memberikan gambaran bahwa
terjadi kecenderungan peningkatan denyut jantung domba dari P0 ke P2, akan tetapi
terjadi penurunan pada P3, walaupun secara statistik tidak nyata (P>0,05). Kondisi
tersebut kemungkinan dapat disebabkan karena pengaruh dari adanya HCN yang
terdapat dalam kulit singkong pada ransum.
25
Semakin meningkatnya persentase kulit singkong dalam ransum akan
meningkatkan kandungan HCN dalam ransum tersebut. Jumlah HCN dari kulit
singkong yang dikonsumsi oleh domba adalah 14,51 mg/kg bobot badan/hari (P1),
29,13 mg/kg bobot badan/hari (P2), 37,44 mg/kg bobot badan/hari (P3). Dosis letal
HCN untuk domba berkisar dari 2,5-4,5 mg/kg bobot badan/hari, tetapi apabila
domba merumput dapat tahan pada 15-20 mg HCN/kg bobot badan/hari (Sudaryanto,
1987).
Penjelasan tersebut memberi gambaran bahwa rataan kandungan HCN pada
ransum melebihi batas kemampuan domba untuk menerimanya, sehingga hal
tersebut dapat berpengaruh terhadap denyut jantung domba. Keberadaan HCN di
dalam tubuh dapat mengganggu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi
reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto, 1987).
Terjadinya reduksi oksigen tersebut akan mengakibatkan berkurangnya asupan
oksigen kedalam jantung, sehingga proses detak jantung dan sistem sirkulasi menjadi
terganggu, dimana fungsi dari jantung adalah memompakan darah keseluruh tubuh.
Darah dapat membawa O2 keseluruh tubuh dan berbagai zat yang diabsorbsi, serta
membawa CO2 ke paru-paru dan hasil metabolisme lain ke ginjal (Ganong, 2002).
Vough dan Cassel (2006) menambahkan bahwa secara spesifik asam sianida
bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa
oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung
pada ternak. Terganggunya sistem sirkulasi tersebut akan menggangu transport
nutrien ke dalam jaringan-jaringan tubuh, sehingga asupan nutrien akan terhambat
yang akan mengakibatkan terhambat pula proses pertumbuhan ternak domba
tersebut.
Meningkatnya rataan denyut jantung domba tersebut, selain dipengaruhi oleh
adanya HCN dari kulit singkong dalam ransum juga kemungkinan dipengaruhi oleh
kandungan energi yang terdapat dalam ransum tersebut. Hal ini apabila dilihat dari
kandungan nutrisi ransum, bahwa semakin meningkatnya persentase pemberian kulit
singkong dalam ransum akan meningkatkan kandungan energi dalam ransum
tersebut (Tabel 5), sehingga dalam perlakuan tersebut ransum P0 memiliki
kandungan energi lebih kecil jika dibanding dengan ketiga ransum lainnya. Hal ini
mengakibatkan domba P0 lebih tenang (sedikit aktivitas) dibanding dengan domba
26
P1, P2 dan P3. Parakkasi (1998), menyebutkan bahwa salah satu penggunaan energi
netto adalah untuk hidup pokok yang diantaranya digunakan untuk aktivitas (tanpa
kehendak).
Kandungan energi dalam ransum tersebut kemungkinan mengakibatkan
domba selain P0 lebih banyak aktivitas tanpa kehendak sehingga dapat berpengaruh
terhadap denyut jantung domba. Pernyataan ini diperkuat dengan data dari saudara R.
Wicaksono yang meneliti tentang tingkah laku domba dengan perlakuan tersebut,
yang salah satu peubahnya adalah tingkah laku agonistik.
Menurut data yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai tingkah laku
domba selama penelitian ini berlangsung, yang belum dipublikasikan oleh saudara R.
Wicaksono menjelaskan bahwa domba dengan Perlakuan P3 lebih banyak
melakukan tingkah laku agonistik dengan rataan sebesar 2,53%, kemudian domba
dengan perlakuan P2 sebesar 0,09% dan domba dengan perlakuan P1 dan P0 masing-
masing sebesar 0 %. Data tingkah laku agonistik tersebut diperoleh dari hasil
pencatatan yang dihitung berasarkan proporsi frekuensi yang terjadi selama interval
tertentu dengan membagi jumlah perilaku yang teramati dalam interval dengan
jumlah perilaku keseluruhan. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan yang
dilakukan selama sembilan hari pengamatan. Pembagian waktu pengamatan
dilakukan dengan interval waktu 60 menit dalam dua jam pengamatan. Per ekor
domba dilakukan selama 5 menit. Sisa waktu (60 menit) digunakan untuk istirahat
bagi peneliti. Metode pengamatan yang digunakan yaitu metode intensitas perilaku.
Hasil tersebut memberikan penjelasan bahwa domba pada perlakuan P3
melakukan tingkah laku agonistik 2,53% lebih banyak dalam intensitas waktu
pengamatan tertentu dibanding dengan domba pada perlakuan P0 dan P1. Kondisi
tersebut memperlihatkan bahwa semakin banyak kandungan energi yang terdapat
pada ransum akan meningkatkan aktivitas tanpa kehendak pada domba dalam hal ini
adalah tingkah laku agonistik, yang kemudian dapat meningkatkan pula denyut
jantung dari domba-domba akibat dari pengaruh dari aktivitas ternak domba tersebut.
Rataan denyut jantung domba P2 (95±7,64 detak/menit) lebih tinggi
dibanding dengan domba-domba pada perlakuan P0 (84±3,61 detak/menit), P1
(93±1,73 detak/menit) dan P3 (89±10,97 detak/menit). Apabila dilihat dari jumlah
kandungan HCN dalam ransum dan perbandingan data tingkah laku agonistik yang
27
telah disebutkan sebelumnya, seharusnya bukan domba P2 yang memiliki laju denyut
jantung tertinggi melainkan domba P3, karena domba P3 mendapatkan persentase
jumlah HCN lebih besar dalam ransumnya dibanding pada domba perlakuan P0, P1
dan P2, serta lebih banyak melakukan aktivitas tanpa kehendak (tingkah laku
agonistik). Hal ini dapat ditelusuri dari kondisi dan keadaan ternak selama penelitian.
Selama penelitian berlangsung terdapat beberapa domba yang sakit, seperti
sakit mulut (orf), mata dan mencret. Jumlah domba yang sakit lebih banyak pada
domba P1 dan P2 yaitu sebanyak dua ekor, sedangkan domba P0 dan P3 masing-
masing satu ekor. Hal ini diduga akan menggangu kondisi dari ternak-ternak
tersebut, dimana domba akan terganggu sistem metabolismenya sehingga akan turut
menggangu terhadap respon fisiologis domba-domba yang sakit tersebut dan dapat
mangakibatkan meningkatnya denyut jantung domba. Denyut jantung yang
meningkat pada domba-domba yang sakit tersebut akan mempengaruhi rataan denyut
jantung dari setiap kelompok perlakukan secara keseluruhan. Apabila dilihat dari
jumlah domba-domba yang sakit pada setiap kelompok perlakuan, maka dapat
dikatakan bahwa domba P1 dan P2 memiliki rataan denyut jantung tertinggi.
Penjelasan tersebut selaras dengan hasil rataan denyut jantung yang menyebutkan
bahwa domba P2 memiliki rataan denyut jantung tertinggi, yaitu sebesar 95±7,64
detak/menit, kemudian P1 sebesar 93±1,73 detak/menit dan P1 sebesar 93±1,73
detak/menit serta yang terendah P0 sebesar 84±3,61 detak/menit.
Frekuensi Respirasi Domba
Hasil rata–rata frekuensi respirasi domba selama penelitian adalah 42±0.58
hembusan/ menit (P0), 55±14.36 hembusan/ menit (P1), 39±8.54 hembusan/ menit
(P2) dan 37±12.70 hembusan/ menit (P3). Rataan frekuensi respirasi domba tersaji
pada Tabel 6. Hasil data frekuensi respirasi selama penelitian tidak dipengaruhi oleh
pemberian ransum (P>0,05).
Hasil rataan frekuensi respirasi tersebut terlalu tinggi apabila dibandingkan
dengan literatur yang ada. Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar
15-25 hembusan/menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Keadaan ini diduga
disebabkan karena pengaruh negatif dari kandungan HCN dalam ransum yang dapat
menggangu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen
sehingga pernafasan terganggu, serta akibat dari kandungan energi dalam ransum
28
yang dapat mengakibatkan domba banyak melakukan aktivitas (tanpa kehendak),
sehingga dapat meningkatkan frekuensi respirasi. Selain itu, faktor lingkungan yang
kurang mendukung bagi kelangsungan hidup ternak domba secara efisien juga
berpengaruh terhadap rataan frekuensi respirasi domba yang dihasilkan.
Kandungan zat anti nutrisi yang terdapat di dalam kulit singkong yaitu HCN
berbahaya bagi sistem pernapasan. Bahri (1987) menjelaskan bahwa secara alamiah
sianida masuk ke dalam peredaran darah tubuh dapat melalui beberapa rute.
Biasanya senyawa sianida masuk melalui mulut bersama makanan. Ion sianida di
dalam saluran pencernaan mudah diabsorbsi dan didistribusikan ke dalam darah, hati,
ginjal, otak dan lain-lain. Absorbsi sianida melalui kulit dan pernapasan dapat
menyebabkan keracunan apabila diberikan dalam waktu lama.
Isnaeni (2006) mengatakan bahwa dalam darah terdapat pigmen respirasi
yang memiliki afinitas atau daya gabung tinggi terhadap oksigen. Keberadaan
pigmen respirasi dalam darah atau cairan tubuh benar-benar dapat meningkatkan
kapasitas pengangkutan oksigen secara bermakna. Sebagai contoh pigmen respirasi
yang terdapat dalam darah mamalia adalah hemoglobin, dimana keberadaan pigmen
hemoglobin tersebut dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan O2 oleh darah
sebesar 20 kali lipat sehingga setiap 100 ml darah dapat membawa 20 ml oksigen.
Tanpa hemoglobin, darah hanya dapat mengangkut oksigen sebanyak 1 ml per 100
ml darah. Hemoglobin (biasa disingkat Hb) tersusun atas senyawa porfirin besi
(hemin) yang berikatan dengan protein globin. Oksigen akan berikatan dengan
hemin, tepatnya pada Fe++
yang terdapat pada pusat gugus tersebut.
Keberadaan HCN di dalam pakan yang masuk kedalam saluran pencernaan
ternak dalam bentuk ion sianida (hasil hidrolisis senyawa glukosida sianogenat
dihasilkan sianida bebas). Ion sianida tersebut akan diabsorsikan dan didistribusikan
kedalam darah. Ion sianida ini lebih reaktif dalam mengikat Hb dibandingkan dengan
CO2 dan O2, sehingga akan mengganggu transpor elektron yang akan mengakibatkan
terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu.
Kandungan ion sianida yang terdapat di dalam darah tersebut akan mengikat
hemoglobin, yang dimana hemoglobin tersebut merupakan pigmen respirasi dalam
darah yang dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen secara bermakna.
Pengikatan hemoglobin oleh ion sianida tersebut akan menyebabkan terjadinya
29
pengurangan pangangkutan oksigen dalam darah secara signifikan sehingga akan
berpengaruh terhadap sistem respirasi ternak tersebut, dimana frekuensi respirasi
akan meningkat. Menurut Vough dan Cassel (2006), secara spesifik asam sianida
bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa
oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung
pada ternak. Selain itu, pembuangan CO2 dan pemasokan O2 harus sesuai dengan
kebutuhan tubuh hewan, yang dari waktu ke waktu dapat sangat bervariasi.
Kebutuhan O2 dan pembentukan CO2 meningkat pada saat laju metabolisme
meningkat. Apabila pada saat tersebut darah tidak mengandung cukup O2 untuk
memenuhi kebutuhannya, hewan akan mengalami kondisi hipoksia atau bahkan
asfiksia (keadaan tidak terdapat oksigen dalam jaringan tubuh) (Ganong, 2002).
Kecenderungan peningkatan frekuensi respirasi selain diakibatkan oleh
pengaruh negatif dari adanya HCN dalam ransum, juga disebabkan oleh kandungan
energi pakan dalam ransum. Kandungan energi pakan dalam ransum meningkat
dengan semakin besarnya persentase pemberian kulit singkong dalam ransum.
Peningkatan konsumsi energi nyata meningkatkan laju pernapasan. Semakin tinggi
level konsumsi energi dan protein, maka laju pernapasan semakin tinggi.
Peningkatan konsumsi energi dan protein akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan oksigen, karena terjadinya peningkatan metabolisme pada tubuh hewan.
Peningkatan kebutuhan oksigen harus diimbangi dengan peningkatan pernapasan
sehingga proses-proses tubuh berjalan normal (Ali, 1999). Selain itu, konsumsi
energi yang semakin besar dari P1 hingga P3 mengakibatkan domba lebih banyak
beraktivitas (tanpa kehendak) seperti disebutkan oleh Parakkasi (1998) pada
pembahasan sebelumnya, dimana energi netto digunakan ternak untuk hidup pokok
yang salah satunya adalah beraktivitas (tanpa kehendak). Sehingga hal ini juga dapat
menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan frekuensi respirasi domba.
Selain pengaruh negatif dari keberadaan HCN dan kandungan energi dalam
ransum tersebut, faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap frekuensi respirasi,
dimana suhu (29°C) dan kelembaban lingkungan (76%) penelitian lebih tinggi jika
dibandingkan dengan literatur yang ada. Suhu dan kelembaban udara yang optimum
bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4 – 24°C dengan kelembaban
udara dibawah 75% (Yousef, 1985), sehingga ternak domba meningkatkan respirasi
30
dalam upaya mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi. Pelepasan panas pada
waktu suhu tinggi di siang hari akan efektif dengan cara pelepasan panas melalui
evaporasi, dalam hal ini yaitu dengan peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi
peningkatan pelepasan panas melalui pernapasan (Ali, 1999).
Pengaruh HCN dan energi dalam ransum serta faktor lingkungan tersebut
yang menyebabkan rataan frekuensi respirasi domba selama penelitian tinggi yaitu
43±8,10 hembusan/menit. Rataan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan frekuensi
respirasi domba menurut Frandson (1992) yang berkisar pada 19 hembusan/menit.
Terganggunya sistem respirasi tersebut, akan menggangu proses penyerapan
dan penggunaan O2 serta pengeluaran dan pembentukan CO2. Apabila proses
transport O2 dan CO2 terganggu, maka akan berdampak pada terganggunya kinerja
sel-sel tubuh, karena proses respirasi merupakan suatu proses penggunaan O2 dan
pembentukan CO2 oleh sel-sel tubuh. Apabila hal tersebut terjadi, makan sel-sel
tubuh tidak akan bekerja secara optimal, sehingga pertumbuhan ternak pun juga tidak
akan berjalan secara optimal. Selain itu, jalan napas yang menghubungkan
lingkungan luar dengan alveoli berfungsi lebih dari sekedar menyalurkan udara.
Bagian tersebut melembabkan serta mendinginkan atau memanaskan udara inspirasi
sehingga suhu udara pernapasan yang sangat panas atau sangat dingin akan
mendekati atau sama dengan suhu tubuh saat mencapai alveoli (Ganong, 2002).
Sehingga apabila proses tersebut terganggu, maka akan berpengaruh terhadap proses
pengendalian suhu udara pernapasan di dalam tubuh.
Akan tetapi jika dilihat pada grafik, bahwa rataan frekuensi respirasi domba
yang cenderung meningkat dari P0 ke P1, perlahan rataan frekuensi tersebut turun
pada P2 dan P3. Apabila dilihat dari adanya pengaruh HCN dan kandungan energi
yang terdapat dalam ransum, maka rataan frekuensi respirasi seharusnya akan terus
meningkat dari P0 ke P3. Kondisi ini dapat ditelusuri dari jumlah protein kasar yang
dikonsumsi oleh domba-domba tersebut, dimana kandungan protein yang dikonsumsi
dapat menetralisir pengaruh negatif dari HCN di dalam tubuh.
31
0
10
20
30
40
50
60
P0 P1 P2 P3
Ransum
Fre
ku
ensi
Res
pir
asi
(hem
bu
san
/men
it)
Gambar 9. Grafik Frekuensi Respirasi Domba
Pengaruh negatif dari adanya ion sianida tersebut dapat diminimalisir dengan
cara menjerat/mengikat sianida dengan asam amino yang mengandung unsur S yaitu
metionin dan sistein yang terdapat dalam protein. Apabila di dalam tubuh ternak
terdapat asam amino yang mengandung unsur S, maka asam sianida akan langsung
dinetralkan oleh sulfur (-S) sehingga terbentuk ion tiosianat. Tiosianat yang
terbentuk akan dikeluarkan dalam urin dan juga saliva (Bahri, 1987). Sehingga
diperlukannya pakan tambahan yang mengandung protein secara mencukupi agar
dapat menetralisir kandungan asam sianida dalam kulit singkong tersebut.
Sebagian sianida mengalami detoksifikasi di dalam rumen dan sebagian besar
lainnya diabsorbsi dan mulai mengalami detoksifikasi atau degradasi di dalam tubuh.
Detoksifikasi sianida menjadi tiosianat dengan menggunakan enzim rodanese
memerlukan donor sulfur dalam bentuk tiosulfat yang dapat berasal dari asam amino
sistein, tiosulfonat dan lain sebagainya, dengan reaksi sebagai berikut :
HCN + Na2S2O2 HSCN + Na2SO3
Selain itu transaminasi atau deaminasi dari asam amino sistein akan terbentuk asam
3-merkaptopiruvat (SHCH3.COCOOH) yang juga merupakan donor sulfur untuk
mendetoksifikasi sianida menjadi tiosianat dan piruvat dengan menggunakan enzim
merkaptopiruvat sulfurtransferase. Kemudian piruvat yang dihasilkan akan bereaksi
dengan sulfit (SO3-) yang selanjutnya akan membentuk tiosulfat (Bahri, 1987).
32
Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa jalur metabolisme yang paling banyak diteliti
adalah dengan cara kombinasi dengan tiosulfat untuk membentuk tiosianat dan sulfit.
Tiosianat yang terbentuk akan dikeluarkan dalam urin dan juga saliva.
Uraian diatas menjelaskan bahwa betapa pentingnya asam amino sistein
dalam mendetoksifikasi sianida dalam tubuh, dimana asam amino ini berasal dari
protein yang terdapat dalam pakan. Menurut data dari saudara Hermawan (2009)
yang meneliti tentang performa domba dengan perlakuan tersebut, yang salah satu
peubahnya adalah konsumsi protein kasar menyebutkan bahwa total konsumsi
protein kasar domba P0 sebesar 45,03±2,13 g/ekor/hari, domba P1 sebesar
48,95±3,83 g/ekor/hari, domba P2 sebesar 57,72±6,70 g/ekor/hari dan domba P3
sebesar 55,84±6,81 g/ekor/hari. Hal ini memberikan gambaran bahwa konsumsi
protein kasar yang lebih banyak pada domba P2 dan P3 dapat membantu menetralisir
pengaruh negatif dari adanya HCN dalam ransum, sehingga frekuensi respirasi
semakin menurun.
Penggunaan kulit singkong sebagai pakan dalam ransum domba sebaiknya
perlu diperhatikan kandungan HCNnya, sehingga dampak negatif dari HCN dapat
diminimalisir. Hadirnya HCN dapat menyebabkan terjadinya reduksi oksigen
sehingga oksidasi sel akan terganggu. Penambahan kulit singkong dalam ransum
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon fisiologis domba, akan tetapi
dari data yang diperoleh terdapat indikasi terjadi kecenderungan peningkatan denyut
jantung pada domba. Terganggunya proses respirasi ini akan berdampak terhadap
produktivitas dari domba-domba tersebut. Penjelasan ini diperkuat dengan data dari
Hermawan (2009) yang meneliti tentang performa produksi domba dengan perlakuan
tersebut, yang salah satu peubahnya adalah pertambahan bobot badan harian
(PBBH). Pertambahan bobot badan harian domba perlakuan P0 sebesar 21,51 ± 5,66
g/ekor/hari, P1 sebesar 15,32 ± 5,70 g/ekor/hari, P2 sebesar 50,54 ± 14,64
g/ekor/hari dan P3 sebesar 37,10 ± 9,68 g/ekor/hari. Hasil tersebut memberikan
gambaran bahwa setelah PBBH domba terjadi peningkatan pada perlakuan P2,
kemudian terjadi penurunan pada PBBH domba perlakuan P3. Apabila hal ini terjadi
dalam waktu yang lebih lama, dimungkinkan dampak negatif yang lebih berbahaya
seperti keracunan dan kematian dapat terjadi pada ternak.
33
Balagopalan et al. (1988) menjelaskan bahwa pengaruh negatif dari
keberadaan asam sianida di dalam kulit singkong sebagai pakan ternak dapat
diminimalisir dengan proses pengolahan yang mampu mereduksi kandungan HCN
seperti pengeringan, perendaman, perebusan, fermentasi dan kombinasi dari proses-
proses ini. Cara yang cukup praktis dan efektif untuk mengurangi kadar HCN adalah
dengan mencincang dan pengeringan dengan panas matahari.