17
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lingkungan dan Respon Fisiologis Domba Rataan suhu dan kelembaban di dalam kandang adalah 29°C dan 76%, sedangkan rataan suhu dan kelembaban di luar kandang adalah 30°C dan 69%. Data suhu dan kelembaban udara pada lingkungan penelitian (dalam dan luar kandang) tersaji pada Tabel 3. Suhu lingkungan dan kelembaban merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak. Suhu adalah ukuran untuk mengetahui intensitas panas, sedangkan jumlah uap air di udara disebut kelembaban (Yousef, 1985). Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Penelitian Tempat Waktu Suhu (°C) Kelembaban (%) Dalam Kandang Pagi 26 ± 0,35 88 ± 2,61 Siang 33 ± 0,60 63 ± 2,68 Sore 29 ± 1,33 77 ± 5,21 Luar Kandang Pagi 28 ± 0,42 74 ± 5,40 Siang 33 ± 0,85 59 ± 2,25 Sore 29 ± 1,35 74 ± 6,30 Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu di dalam kandang lebih rendah dibanding suhu di luar kandang, khususnya pada pagi hari yaitu: 26±0,35 o C untuk suhu di dalam kandang dan 28±0,42 o C untuk suhu di luar kandang. Suhu di dalam dan di luar kandang pada siang dan sore hari tidak terdapat perbedaan secara signifikan yaitu: 33±0,60 °C dan 29±1,33 °C untuk suhu di dalam kandang, serta 33±0,85 °C dan 29±1,35 °C untuk suhu di luar kandang. Perbedaan suhu yang tidak terlalu signifikan tersebut disebabkan oleh kontruksi kandang yang kurang mendukung sebagai bangunan perkandangan untuk di daerah tropis, karena kandang dikelilingi oleh dinding, sehingga menghambat proses sirkulasi udara di dalam kandang. Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa kelembaban di dalam kandang lebih tinggi dibanding kelembaban di luar kandang, baik untuk pagi, siang, maupun sore hari yaitu: 88±2.61, 63±2.68, 77±5.21 (%) untuk kelembaban di dalam kandang dan

BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

Citation preview

Page 1: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Lingkungan dan Respon Fisiologis Domba

Rataan suhu dan kelembaban di dalam kandang adalah 29°C dan 76%,

sedangkan rataan suhu dan kelembaban di luar kandang adalah 30°C dan 69%. Data

suhu dan kelembaban udara pada lingkungan penelitian (dalam dan luar kandang)

tersaji pada Tabel 3. Suhu lingkungan dan kelembaban merupakan faktor penting

yang mempengaruhi produktivitas ternak. Suhu adalah ukuran untuk mengetahui

intensitas panas, sedangkan jumlah uap air di udara disebut kelembaban (Yousef,

1985).

Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Penelitian

Tempat Waktu Suhu (°C) Kelembaban (%)

Dalam Kandang

Pagi 26 ± 0,35 88 ± 2,61

Siang 33 ± 0,60 63 ± 2,68

Sore 29 ± 1,33 77 ± 5,21

Luar Kandang

Pagi 28 ± 0,42 74 ± 5,40

Siang 33 ± 0,85 59 ± 2,25

Sore 29 ± 1,35 74 ± 6,30

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu di dalam kandang lebih rendah

dibanding suhu di luar kandang, khususnya pada pagi hari yaitu: 26±0,35 oC untuk

suhu di dalam kandang dan 28±0,42 oC untuk suhu di luar kandang. Suhu di dalam

dan di luar kandang pada siang dan sore hari tidak terdapat perbedaan secara

signifikan yaitu: 33±0,60 °C dan 29±1,33 °C untuk suhu di dalam kandang, serta

33±0,85 °C dan 29±1,35 °C untuk suhu di luar kandang. Perbedaan suhu yang tidak

terlalu signifikan tersebut disebabkan oleh kontruksi kandang yang kurang

mendukung sebagai bangunan perkandangan untuk di daerah tropis, karena kandang

dikelilingi oleh dinding, sehingga menghambat proses sirkulasi udara di dalam

kandang.

Tabel 3 juga memperlihatkan bahwa kelembaban di dalam kandang lebih

tinggi dibanding kelembaban di luar kandang, baik untuk pagi, siang, maupun sore

hari yaitu: 88±2.61, 63±2.68, 77±5.21 (%) untuk kelembaban di dalam kandang dan

Page 2: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

18

74±5.40, 59±2.25, 74±6.30 (%) untuk kelembaban di luar kandang. Tingginya

kelembaban di dalam kandang disebabkan karena terjadi penguapan amoniak dan

uap air dari kotoran yang tertimbun di bawah kandang dan kurangnya sirkulasi udara

baik di dalam kandang maupun di bawah kandang, sehingga terjadi akumulasi uap

air yang terjebak di dalam kandang akibat dari kontruksi kadang yang kurang tepat.

Keadaan lingkungan tersebut kurang mendukung bagi kelangsungan hidup

ternak domba secara efisien. Suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak

untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4°C – 24°C dengan kelembaban udara

dibawah 75% (Yousef, 1985). Kondisi tersebut mengakibatkan respon fisiologis

domba selama penelitian meningkat, baik suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi

respirasi domba. Rataan respon fisiologis domba pada waktu pengukuran tersaji

dalam Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Respon Fisiologis Domba pada Waktu Pengukuran

Parameter Waktu Pengukuran

Pagi Siang Sore

Suhu Rektal (°C) 38,1±0,26 38,7±0,15 38,7±0,19

Denyut Jantung (detak/menit) 88±7,72 89±5,06 94±3,86

Frekuensi Respirasi (hembusan/menit) 28±3,32 52±10,24 51±10,63

Suhu rektal domba yang terendah pada pagi hari yaitu 38,1±0,26°C,

meningkat pada siang dan sore hari yaitu 38,7±0,15°C dan 38,7±0,19°C (Tabel 4).

Meningkatnya suhu rektal domba pada siang dan sore hari disebabkan karena faktor

suhu lingkungan, dimana pada pagi hari suhu lingkungan lebih rendah dibanding

suhu pada siang dan sore hari yang lebih tinggi (Tabel 3). Suhu rektal domba

berbanding lurus dengan suhu lingkungan. Semakin tinggi suhu lingkungan, maka

semakin tinggi pula suhu rektal domba. Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu

tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994).

Suhu lingkungan yang rendah, dibawah tingkat kritis minimum dapat mengakibatkan

suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang

diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al.,

1990).

Page 3: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

19

37.8

37.9

38.0

38.1

38.2

38.3

38.4

38.5

38.6

38.7

38.8

PAGI SIANG SORE

Waktu Pengukuran

Su

hu

Rek

tal D

om

ba

(°C

)

Gambar 4. Grafik Suhu Rektal Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda

Denyut jantung domba meningkat dari pagi hari sebesar 88±7,72 detak/menit,

menjadi 89±5,06 detak/menit pada siang hari dan 94±3,86 detak/menit pada sore hari

(Tabel 4). Kondisi ini juga disebabkan karena terjadi peningkatan suhu lingkungan

pada siang dan sore hari (Tabel 3). Terjadinya peningkatan suhu lingkungan tersebut

menyebabkan denyut jantung meningkat dalam upaya domba untuk dapat

mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga suhu tubuh tetap dalam batas

normal. Edey (1983) menjelaskan bahwa peningkatan laju denyut jantung yang tajam

terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan.

85

86

87

88

89

90

91

92

93

94

95

PAGI SIANG SORE

Waktu Pengukuran

Den

yu

t Jan

tun

g

(det

ak

/men

it)

Gambar 5. Grafik Denyut Jantung Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda

Page 4: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

20

Pengaruh faktor lingkungan tersebut juga meningkatkan frekuensi respirasi

domba, dimana domba meningkatkan frekuensi respirasinya dalam upaya

mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi. Pelepasan panas pada waktu suhu tinggi

di siang hari akan efektif dengan cara pelepasan panas melalui evaporasi, dalam hal

ini yaitu dengan peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi peningkatan pelepasan

panas melalui pernapasan (Ali, 1999). Penjelasan tersebut selaras dengan hasil rataan

frekuensi respirasi domba selama penelitian, yaitu pada pagi hari sebesar 28±3,32

hembusan/menit meningkat menjadi 52±10,24 hembusan/menit pada siang hari dan

51±10,63 hembusan/menit pada sore hari (Tabel 4).

0

10

20

30

40

50

60

PAGI SIANG SORE

Waktu Pengukuran

Fre

ku

ensi

Res

pir

asi

(hem

bu

san

/men

it)

Gambar 6. Grafik Frekuensi Respirasi Domba pada Waktu Pengukuran

Berbeda

Nutrisi Pakan

Berdasarkan data hasil analisis sampel bahan pakan yang digunakan selama

penelitian, kandungan nutrisi yang terdapat pada kulit singkong secara umum lebih

tinggi dibandingkan dengan kandungan nutrisi rumput B. humidicola. Kandungan

nutrisi pakan dari setiap ransum yang digunakan tersaji pada Tabel 4.

Data pada Tabel 5 tersebut memperlihatkan bahwa ransum P3 memiliki

persentase tertinggi pada kandungan bahan kering (21,89%), protein kasar (9,61%),

TDN (67%) dan BETN (67,16%) serta kandungan HCN sebesar 924 mg HCN/kg

berat segar. Ransum P0 memiliki persentase tertinggi pada kandungan lemak kasar

(2,34%), serat kasar (27,28%) dan abu (7,65%). Data tersebut menjelaskan bahwa

Page 5: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

21

semakin banyak persentase pemberian kulit singkong dalam ransum, maka akan

meningkatkan kandungan bahan kering, protein kasar, TDN dan BETN serta HCN,

akan tetapi akan menurunkan kandungan lemak kasar, serat kasar dan abu dalam

ransum tersebut. Meskipun secara umum penggunaan kulit singkong tersebut akan

meningkatkan kandungan nutrisi ransum, akan tetapi kulit singkong mempunyai

beberapa kelemahan antara lain sifat palatabilitas rendah dan adanya kandungan

asam sianida (HCN) yang merupakan faktor pembatas dalam penggunaannya.

Tabel 5. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum

Komposisi

Zat Makanan

Perlakuan

P0 P1 P2 P3

----------------------------% BK-------------------------------

Bahan Kering (BK) 17,22 18,78 20,33 21,89

Protein Kasar (PK) 8,94 9,16 9,38 9,61

Lemak Kasar (LK) 2,34 2,02 1,7 1,37

Serat Kasar 27,28 23,84 20,41 16,97

Abu 7,65 6,73 5,81 4,89

TDN 43,88 51,59 59,3 67

BETN 53,79 58,25 62,7 67,16

HCN *

- 308 616 924

Keterangan : * Kandungan HCN dalam satuan mg HCN/kg berat segar;

* Total kandungan HCN: 440 mg/kg x jumlah pakan;

Dosis letal HCN untuk domba berkisar dari 2,5-4,5 mg/kg bobot badan/hari,

tetapi apabila domba merumput dapat tahan pada 15-20 mg HCN/kg bobot

badan/hari (Sudaryanto, 1987). Jumlah HCN dari kulit singkong yang dikonsumsi

oleh domba adalah 14,51 (P1), 29,13 (P2) dan 37,44 mg/kg bobot badan/hari (P3).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa rataan kandungan HCN dalam

ransum melebihi dosis letal untuk domba. Keadaan tersebut dapat berpengaruh

terhadap produktivitas domba terutama pengaruhnya terhadap respon fisiologis

domba, dimana HCN dapat mengganggu transport elektron yang dapat menyebabkan

terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto,

1987). Meskipun total kandungan HCN yang diberikan dalam ransum melebihi dosis

letal untuk domba, akan tetapi domba tidak mengalami karacunan ataupun terjadi

Page 6: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

22

kematian selama penelitian. Kondisi ini dapat dimungkinkan karena waktu penelitian

yang tidak terlalu lama (2,5 bulan), sehingga pengaruh yang berbahaya tersebut

terhadap konsumsi HCN belum tampak. Faktor lain yang menghambat munculnya

pengaruh negatif yang berbahaya selama penelitian adalah adanya toleransi tubuh

terhadap racun yang masuk.

Tubuh hewan pada umumnya mempunyai pertahanan terhadap bahan asing

yang masuk kedalam tubuhnya. Resistensi tubuh ternak terutama ruminansia

terhadap racun dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain : a) adanya detoksifikasi

dalam rumen, terutama peranan dari mikrobanya; b) detoksifikasi metabolik yang

biasanya terjadi pada hati secara alamiah, dan proses detoksifikasi ini dapat

meningkat dengan adanya rangsangan (Bahri, 1987). Daya tahan tubuh domba

terhadap senyawa sianida diduga dimulai dari dalam rumen. Pertahanan tubuh

terhadap sianida sendiri diduga dapat terjadi melalui peningkatan metabolisme

terhadap sianida tersebut.

Pengaruh Perlakuan Pakan Berbeda Terhadap

Respon Fisiologis Domba

Respon fisiologis merupakan suatu tanggapan atau respon seekor ternak

terhadap berbagai faktor baik fisik, kimia maupun lingkungan sekitar, dimana

rangkaian dari respon fisiologis tersebut akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh

ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien (2007).

Pengaruh pemberian kulit singkong di dalam ransum terhadap respon fisiologis

domba tersaji dalam Tabel 6, dan diuraikan pada bagian berikutnya.

Tabel 6. Rataan Respon Fisologis Domba

Parameter Ransum

Rataan P0 P1 P2 P3

Suhu Rektal (°C) 38,3±0,21 38,6±0,15 38,2±0,49 38,6±0,40 38,43±0,21

Denyut Jantung

(detak/menit) 84±3,61 93±1,73 95±7,64 89±10,97 90±4,86

Frekuensi Respirasi

(hembusan/menit) 42±0.58 55±14.36 39±8.54 37±12.70 43±8,10

Keterangan : *)

P0 = 100% rumput P0 = 100% rumput BH + 0% kulit singkong; P1 = 80% rumput

BH + 20% kulit singkong; P2 = 60% rumput BH + 40% kulit singkong; P3 = 40%

rumput BH + 60% kulit singkong

Page 7: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

23

Suhu Rektal Domba

Penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap

suhu rektal domba selama penelitian (P>0,05). Suhu rektal domba rata-rata selama

penelitian adalah 38.3±0.21°C (P0), 38.6±0.15°C (P1), 38.2±0.49°C (P2) dan

38.6±0.40°C (P3) seperti yang tersaji dalam Tabel 6. Suhu rektal domba di daerah

tropis berada pada kisaran 38,2 – 40 °C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Data

hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa suhu rektal domba selama penelitian

masih dalam batas normal. Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk

menggambarkan suhu internal tubuh ternak (Edey, 1983).

Menurut Baillie (1988), menjelaskan bahwa variasi temperatur tubuh dapat

terjadi karena berbagai pengaruh seperti usia, jenis kelamin, kondisi hari, aktivitas

makan, minum, latihan dan stress. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa

suhu rektal domba kurang dipengaruhi oleh pemberian ransum, akan tetapi

dimungkinkan lebih dipengaruhi oleh kondisi hari dan faktor lain tersebut.

38.0

38.1

38.2

38.3

38.4

38.5

38.6

38.7

P0 P1 P2 P3

Ransum

Su

hu

Rek

tal D

om

ba

(°C

)

Gambar 7. Grafik Suhu Rektal Domba

Denyut Jantung Domba

Penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap

denyut jantung domba selama penelitian. (P>0,05). Denyut jantung domba rata-rata

selama penelitian adalah 84±3.61 detak/menit (P0), 93±1.73 detak/menit (P1),

95±7.64 detak/menit (P2) dan 89±10.97 detak/menit (P3) seperti yang tersaji dalam

Tabel 6.

Page 8: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

24

Hasil rataan denyut jantung domba selama penelitian lebih tinggi dibanding

dengan kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan oleh Smith dan

Mangkoewidjojo (1988) yaitu antara 70-80 kali tiap menit. Tingginya denyut jantung

domba tersebut dikarenakan oleh keadaan lingkungan yang kurang mendukung,

dimana temperatur rata-rata lingkungan di dalam kandang adalah 29°C dengan

kelembaban 76%. Yousef (1985) menjelaskan bahwa suhu dan kelembaban udara

yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4°C – 24°C

dengan kelembaban udara dibawah 75%.

Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa suhu dan kelembaban

lingkungan yang tinggi menyebabkan denyut jantung meningkat dalam upaya domba

untuk dapat mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga suhu tubuh tetap

dalam batas normal. Edey (1983) menjelaskan bahwa peningkatan laju denyut

jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan.

78

80

82

84

86

88

90

92

94

96

P0 P1 P2 P3

Ransum

Den

yu

t Jan

tun

g

(det

ak

/men

it)

Gambar 8. Grafik Denyut Jantung Domba

Grafik denyut jantung diatas (Gambar 8) memberikan gambaran bahwa

terjadi kecenderungan peningkatan denyut jantung domba dari P0 ke P2, akan tetapi

terjadi penurunan pada P3, walaupun secara statistik tidak nyata (P>0,05). Kondisi

tersebut kemungkinan dapat disebabkan karena pengaruh dari adanya HCN yang

terdapat dalam kulit singkong pada ransum.

Page 9: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

25

Semakin meningkatnya persentase kulit singkong dalam ransum akan

meningkatkan kandungan HCN dalam ransum tersebut. Jumlah HCN dari kulit

singkong yang dikonsumsi oleh domba adalah 14,51 mg/kg bobot badan/hari (P1),

29,13 mg/kg bobot badan/hari (P2), 37,44 mg/kg bobot badan/hari (P3). Dosis letal

HCN untuk domba berkisar dari 2,5-4,5 mg/kg bobot badan/hari, tetapi apabila

domba merumput dapat tahan pada 15-20 mg HCN/kg bobot badan/hari (Sudaryanto,

1987).

Penjelasan tersebut memberi gambaran bahwa rataan kandungan HCN pada

ransum melebihi batas kemampuan domba untuk menerimanya, sehingga hal

tersebut dapat berpengaruh terhadap denyut jantung domba. Keberadaan HCN di

dalam tubuh dapat mengganggu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi

reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto, 1987).

Terjadinya reduksi oksigen tersebut akan mengakibatkan berkurangnya asupan

oksigen kedalam jantung, sehingga proses detak jantung dan sistem sirkulasi menjadi

terganggu, dimana fungsi dari jantung adalah memompakan darah keseluruh tubuh.

Darah dapat membawa O2 keseluruh tubuh dan berbagai zat yang diabsorbsi, serta

membawa CO2 ke paru-paru dan hasil metabolisme lain ke ginjal (Ganong, 2002).

Vough dan Cassel (2006) menambahkan bahwa secara spesifik asam sianida

bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa

oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung

pada ternak. Terganggunya sistem sirkulasi tersebut akan menggangu transport

nutrien ke dalam jaringan-jaringan tubuh, sehingga asupan nutrien akan terhambat

yang akan mengakibatkan terhambat pula proses pertumbuhan ternak domba

tersebut.

Meningkatnya rataan denyut jantung domba tersebut, selain dipengaruhi oleh

adanya HCN dari kulit singkong dalam ransum juga kemungkinan dipengaruhi oleh

kandungan energi yang terdapat dalam ransum tersebut. Hal ini apabila dilihat dari

kandungan nutrisi ransum, bahwa semakin meningkatnya persentase pemberian kulit

singkong dalam ransum akan meningkatkan kandungan energi dalam ransum

tersebut (Tabel 5), sehingga dalam perlakuan tersebut ransum P0 memiliki

kandungan energi lebih kecil jika dibanding dengan ketiga ransum lainnya. Hal ini

mengakibatkan domba P0 lebih tenang (sedikit aktivitas) dibanding dengan domba

Page 10: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

26

P1, P2 dan P3. Parakkasi (1998), menyebutkan bahwa salah satu penggunaan energi

netto adalah untuk hidup pokok yang diantaranya digunakan untuk aktivitas (tanpa

kehendak).

Kandungan energi dalam ransum tersebut kemungkinan mengakibatkan

domba selain P0 lebih banyak aktivitas tanpa kehendak sehingga dapat berpengaruh

terhadap denyut jantung domba. Pernyataan ini diperkuat dengan data dari saudara R.

Wicaksono yang meneliti tentang tingkah laku domba dengan perlakuan tersebut,

yang salah satu peubahnya adalah tingkah laku agonistik.

Menurut data yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai tingkah laku

domba selama penelitian ini berlangsung, yang belum dipublikasikan oleh saudara R.

Wicaksono menjelaskan bahwa domba dengan Perlakuan P3 lebih banyak

melakukan tingkah laku agonistik dengan rataan sebesar 2,53%, kemudian domba

dengan perlakuan P2 sebesar 0,09% dan domba dengan perlakuan P1 dan P0 masing-

masing sebesar 0 %. Data tingkah laku agonistik tersebut diperoleh dari hasil

pencatatan yang dihitung berasarkan proporsi frekuensi yang terjadi selama interval

tertentu dengan membagi jumlah perilaku yang teramati dalam interval dengan

jumlah perilaku keseluruhan. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan yang

dilakukan selama sembilan hari pengamatan. Pembagian waktu pengamatan

dilakukan dengan interval waktu 60 menit dalam dua jam pengamatan. Per ekor

domba dilakukan selama 5 menit. Sisa waktu (60 menit) digunakan untuk istirahat

bagi peneliti. Metode pengamatan yang digunakan yaitu metode intensitas perilaku.

Hasil tersebut memberikan penjelasan bahwa domba pada perlakuan P3

melakukan tingkah laku agonistik 2,53% lebih banyak dalam intensitas waktu

pengamatan tertentu dibanding dengan domba pada perlakuan P0 dan P1. Kondisi

tersebut memperlihatkan bahwa semakin banyak kandungan energi yang terdapat

pada ransum akan meningkatkan aktivitas tanpa kehendak pada domba dalam hal ini

adalah tingkah laku agonistik, yang kemudian dapat meningkatkan pula denyut

jantung dari domba-domba akibat dari pengaruh dari aktivitas ternak domba tersebut.

Rataan denyut jantung domba P2 (95±7,64 detak/menit) lebih tinggi

dibanding dengan domba-domba pada perlakuan P0 (84±3,61 detak/menit), P1

(93±1,73 detak/menit) dan P3 (89±10,97 detak/menit). Apabila dilihat dari jumlah

kandungan HCN dalam ransum dan perbandingan data tingkah laku agonistik yang

Page 11: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

27

telah disebutkan sebelumnya, seharusnya bukan domba P2 yang memiliki laju denyut

jantung tertinggi melainkan domba P3, karena domba P3 mendapatkan persentase

jumlah HCN lebih besar dalam ransumnya dibanding pada domba perlakuan P0, P1

dan P2, serta lebih banyak melakukan aktivitas tanpa kehendak (tingkah laku

agonistik). Hal ini dapat ditelusuri dari kondisi dan keadaan ternak selama penelitian.

Selama penelitian berlangsung terdapat beberapa domba yang sakit, seperti

sakit mulut (orf), mata dan mencret. Jumlah domba yang sakit lebih banyak pada

domba P1 dan P2 yaitu sebanyak dua ekor, sedangkan domba P0 dan P3 masing-

masing satu ekor. Hal ini diduga akan menggangu kondisi dari ternak-ternak

tersebut, dimana domba akan terganggu sistem metabolismenya sehingga akan turut

menggangu terhadap respon fisiologis domba-domba yang sakit tersebut dan dapat

mangakibatkan meningkatnya denyut jantung domba. Denyut jantung yang

meningkat pada domba-domba yang sakit tersebut akan mempengaruhi rataan denyut

jantung dari setiap kelompok perlakukan secara keseluruhan. Apabila dilihat dari

jumlah domba-domba yang sakit pada setiap kelompok perlakuan, maka dapat

dikatakan bahwa domba P1 dan P2 memiliki rataan denyut jantung tertinggi.

Penjelasan tersebut selaras dengan hasil rataan denyut jantung yang menyebutkan

bahwa domba P2 memiliki rataan denyut jantung tertinggi, yaitu sebesar 95±7,64

detak/menit, kemudian P1 sebesar 93±1,73 detak/menit dan P1 sebesar 93±1,73

detak/menit serta yang terendah P0 sebesar 84±3,61 detak/menit.

Frekuensi Respirasi Domba

Hasil rata–rata frekuensi respirasi domba selama penelitian adalah 42±0.58

hembusan/ menit (P0), 55±14.36 hembusan/ menit (P1), 39±8.54 hembusan/ menit

(P2) dan 37±12.70 hembusan/ menit (P3). Rataan frekuensi respirasi domba tersaji

pada Tabel 6. Hasil data frekuensi respirasi selama penelitian tidak dipengaruhi oleh

pemberian ransum (P>0,05).

Hasil rataan frekuensi respirasi tersebut terlalu tinggi apabila dibandingkan

dengan literatur yang ada. Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar

15-25 hembusan/menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Keadaan ini diduga

disebabkan karena pengaruh negatif dari kandungan HCN dalam ransum yang dapat

menggangu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen

sehingga pernafasan terganggu, serta akibat dari kandungan energi dalam ransum

Page 12: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

28

yang dapat mengakibatkan domba banyak melakukan aktivitas (tanpa kehendak),

sehingga dapat meningkatkan frekuensi respirasi. Selain itu, faktor lingkungan yang

kurang mendukung bagi kelangsungan hidup ternak domba secara efisien juga

berpengaruh terhadap rataan frekuensi respirasi domba yang dihasilkan.

Kandungan zat anti nutrisi yang terdapat di dalam kulit singkong yaitu HCN

berbahaya bagi sistem pernapasan. Bahri (1987) menjelaskan bahwa secara alamiah

sianida masuk ke dalam peredaran darah tubuh dapat melalui beberapa rute.

Biasanya senyawa sianida masuk melalui mulut bersama makanan. Ion sianida di

dalam saluran pencernaan mudah diabsorbsi dan didistribusikan ke dalam darah, hati,

ginjal, otak dan lain-lain. Absorbsi sianida melalui kulit dan pernapasan dapat

menyebabkan keracunan apabila diberikan dalam waktu lama.

Isnaeni (2006) mengatakan bahwa dalam darah terdapat pigmen respirasi

yang memiliki afinitas atau daya gabung tinggi terhadap oksigen. Keberadaan

pigmen respirasi dalam darah atau cairan tubuh benar-benar dapat meningkatkan

kapasitas pengangkutan oksigen secara bermakna. Sebagai contoh pigmen respirasi

yang terdapat dalam darah mamalia adalah hemoglobin, dimana keberadaan pigmen

hemoglobin tersebut dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan O2 oleh darah

sebesar 20 kali lipat sehingga setiap 100 ml darah dapat membawa 20 ml oksigen.

Tanpa hemoglobin, darah hanya dapat mengangkut oksigen sebanyak 1 ml per 100

ml darah. Hemoglobin (biasa disingkat Hb) tersusun atas senyawa porfirin besi

(hemin) yang berikatan dengan protein globin. Oksigen akan berikatan dengan

hemin, tepatnya pada Fe++

yang terdapat pada pusat gugus tersebut.

Keberadaan HCN di dalam pakan yang masuk kedalam saluran pencernaan

ternak dalam bentuk ion sianida (hasil hidrolisis senyawa glukosida sianogenat

dihasilkan sianida bebas). Ion sianida tersebut akan diabsorsikan dan didistribusikan

kedalam darah. Ion sianida ini lebih reaktif dalam mengikat Hb dibandingkan dengan

CO2 dan O2, sehingga akan mengganggu transpor elektron yang akan mengakibatkan

terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu.

Kandungan ion sianida yang terdapat di dalam darah tersebut akan mengikat

hemoglobin, yang dimana hemoglobin tersebut merupakan pigmen respirasi dalam

darah yang dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen secara bermakna.

Pengikatan hemoglobin oleh ion sianida tersebut akan menyebabkan terjadinya

Page 13: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

29

pengurangan pangangkutan oksigen dalam darah secara signifikan sehingga akan

berpengaruh terhadap sistem respirasi ternak tersebut, dimana frekuensi respirasi

akan meningkat. Menurut Vough dan Cassel (2006), secara spesifik asam sianida

bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa

oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung

pada ternak. Selain itu, pembuangan CO2 dan pemasokan O2 harus sesuai dengan

kebutuhan tubuh hewan, yang dari waktu ke waktu dapat sangat bervariasi.

Kebutuhan O2 dan pembentukan CO2 meningkat pada saat laju metabolisme

meningkat. Apabila pada saat tersebut darah tidak mengandung cukup O2 untuk

memenuhi kebutuhannya, hewan akan mengalami kondisi hipoksia atau bahkan

asfiksia (keadaan tidak terdapat oksigen dalam jaringan tubuh) (Ganong, 2002).

Kecenderungan peningkatan frekuensi respirasi selain diakibatkan oleh

pengaruh negatif dari adanya HCN dalam ransum, juga disebabkan oleh kandungan

energi pakan dalam ransum. Kandungan energi pakan dalam ransum meningkat

dengan semakin besarnya persentase pemberian kulit singkong dalam ransum.

Peningkatan konsumsi energi nyata meningkatkan laju pernapasan. Semakin tinggi

level konsumsi energi dan protein, maka laju pernapasan semakin tinggi.

Peningkatan konsumsi energi dan protein akan mengakibatkan peningkatan

kebutuhan oksigen, karena terjadinya peningkatan metabolisme pada tubuh hewan.

Peningkatan kebutuhan oksigen harus diimbangi dengan peningkatan pernapasan

sehingga proses-proses tubuh berjalan normal (Ali, 1999). Selain itu, konsumsi

energi yang semakin besar dari P1 hingga P3 mengakibatkan domba lebih banyak

beraktivitas (tanpa kehendak) seperti disebutkan oleh Parakkasi (1998) pada

pembahasan sebelumnya, dimana energi netto digunakan ternak untuk hidup pokok

yang salah satunya adalah beraktivitas (tanpa kehendak). Sehingga hal ini juga dapat

menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan frekuensi respirasi domba.

Selain pengaruh negatif dari keberadaan HCN dan kandungan energi dalam

ransum tersebut, faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap frekuensi respirasi,

dimana suhu (29°C) dan kelembaban lingkungan (76%) penelitian lebih tinggi jika

dibandingkan dengan literatur yang ada. Suhu dan kelembaban udara yang optimum

bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4 – 24°C dengan kelembaban

udara dibawah 75% (Yousef, 1985), sehingga ternak domba meningkatkan respirasi

Page 14: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

30

dalam upaya mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi. Pelepasan panas pada

waktu suhu tinggi di siang hari akan efektif dengan cara pelepasan panas melalui

evaporasi, dalam hal ini yaitu dengan peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi

peningkatan pelepasan panas melalui pernapasan (Ali, 1999).

Pengaruh HCN dan energi dalam ransum serta faktor lingkungan tersebut

yang menyebabkan rataan frekuensi respirasi domba selama penelitian tinggi yaitu

43±8,10 hembusan/menit. Rataan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan frekuensi

respirasi domba menurut Frandson (1992) yang berkisar pada 19 hembusan/menit.

Terganggunya sistem respirasi tersebut, akan menggangu proses penyerapan

dan penggunaan O2 serta pengeluaran dan pembentukan CO2. Apabila proses

transport O2 dan CO2 terganggu, maka akan berdampak pada terganggunya kinerja

sel-sel tubuh, karena proses respirasi merupakan suatu proses penggunaan O2 dan

pembentukan CO2 oleh sel-sel tubuh. Apabila hal tersebut terjadi, makan sel-sel

tubuh tidak akan bekerja secara optimal, sehingga pertumbuhan ternak pun juga tidak

akan berjalan secara optimal. Selain itu, jalan napas yang menghubungkan

lingkungan luar dengan alveoli berfungsi lebih dari sekedar menyalurkan udara.

Bagian tersebut melembabkan serta mendinginkan atau memanaskan udara inspirasi

sehingga suhu udara pernapasan yang sangat panas atau sangat dingin akan

mendekati atau sama dengan suhu tubuh saat mencapai alveoli (Ganong, 2002).

Sehingga apabila proses tersebut terganggu, maka akan berpengaruh terhadap proses

pengendalian suhu udara pernapasan di dalam tubuh.

Akan tetapi jika dilihat pada grafik, bahwa rataan frekuensi respirasi domba

yang cenderung meningkat dari P0 ke P1, perlahan rataan frekuensi tersebut turun

pada P2 dan P3. Apabila dilihat dari adanya pengaruh HCN dan kandungan energi

yang terdapat dalam ransum, maka rataan frekuensi respirasi seharusnya akan terus

meningkat dari P0 ke P3. Kondisi ini dapat ditelusuri dari jumlah protein kasar yang

dikonsumsi oleh domba-domba tersebut, dimana kandungan protein yang dikonsumsi

dapat menetralisir pengaruh negatif dari HCN di dalam tubuh.

Page 15: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

31

0

10

20

30

40

50

60

P0 P1 P2 P3

Ransum

Fre

ku

ensi

Res

pir

asi

(hem

bu

san

/men

it)

Gambar 9. Grafik Frekuensi Respirasi Domba

Pengaruh negatif dari adanya ion sianida tersebut dapat diminimalisir dengan

cara menjerat/mengikat sianida dengan asam amino yang mengandung unsur S yaitu

metionin dan sistein yang terdapat dalam protein. Apabila di dalam tubuh ternak

terdapat asam amino yang mengandung unsur S, maka asam sianida akan langsung

dinetralkan oleh sulfur (-S) sehingga terbentuk ion tiosianat. Tiosianat yang

terbentuk akan dikeluarkan dalam urin dan juga saliva (Bahri, 1987). Sehingga

diperlukannya pakan tambahan yang mengandung protein secara mencukupi agar

dapat menetralisir kandungan asam sianida dalam kulit singkong tersebut.

Sebagian sianida mengalami detoksifikasi di dalam rumen dan sebagian besar

lainnya diabsorbsi dan mulai mengalami detoksifikasi atau degradasi di dalam tubuh.

Detoksifikasi sianida menjadi tiosianat dengan menggunakan enzim rodanese

memerlukan donor sulfur dalam bentuk tiosulfat yang dapat berasal dari asam amino

sistein, tiosulfonat dan lain sebagainya, dengan reaksi sebagai berikut :

HCN + Na2S2O2 HSCN + Na2SO3

Selain itu transaminasi atau deaminasi dari asam amino sistein akan terbentuk asam

3-merkaptopiruvat (SHCH3.COCOOH) yang juga merupakan donor sulfur untuk

mendetoksifikasi sianida menjadi tiosianat dan piruvat dengan menggunakan enzim

merkaptopiruvat sulfurtransferase. Kemudian piruvat yang dihasilkan akan bereaksi

dengan sulfit (SO3-) yang selanjutnya akan membentuk tiosulfat (Bahri, 1987).

Page 16: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

32

Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa jalur metabolisme yang paling banyak diteliti

adalah dengan cara kombinasi dengan tiosulfat untuk membentuk tiosianat dan sulfit.

Tiosianat yang terbentuk akan dikeluarkan dalam urin dan juga saliva.

Uraian diatas menjelaskan bahwa betapa pentingnya asam amino sistein

dalam mendetoksifikasi sianida dalam tubuh, dimana asam amino ini berasal dari

protein yang terdapat dalam pakan. Menurut data dari saudara Hermawan (2009)

yang meneliti tentang performa domba dengan perlakuan tersebut, yang salah satu

peubahnya adalah konsumsi protein kasar menyebutkan bahwa total konsumsi

protein kasar domba P0 sebesar 45,03±2,13 g/ekor/hari, domba P1 sebesar

48,95±3,83 g/ekor/hari, domba P2 sebesar 57,72±6,70 g/ekor/hari dan domba P3

sebesar 55,84±6,81 g/ekor/hari. Hal ini memberikan gambaran bahwa konsumsi

protein kasar yang lebih banyak pada domba P2 dan P3 dapat membantu menetralisir

pengaruh negatif dari adanya HCN dalam ransum, sehingga frekuensi respirasi

semakin menurun.

Penggunaan kulit singkong sebagai pakan dalam ransum domba sebaiknya

perlu diperhatikan kandungan HCNnya, sehingga dampak negatif dari HCN dapat

diminimalisir. Hadirnya HCN dapat menyebabkan terjadinya reduksi oksigen

sehingga oksidasi sel akan terganggu. Penambahan kulit singkong dalam ransum

tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon fisiologis domba, akan tetapi

dari data yang diperoleh terdapat indikasi terjadi kecenderungan peningkatan denyut

jantung pada domba. Terganggunya proses respirasi ini akan berdampak terhadap

produktivitas dari domba-domba tersebut. Penjelasan ini diperkuat dengan data dari

Hermawan (2009) yang meneliti tentang performa produksi domba dengan perlakuan

tersebut, yang salah satu peubahnya adalah pertambahan bobot badan harian

(PBBH). Pertambahan bobot badan harian domba perlakuan P0 sebesar 21,51 ± 5,66

g/ekor/hari, P1 sebesar 15,32 ± 5,70 g/ekor/hari, P2 sebesar 50,54 ± 14,64

g/ekor/hari dan P3 sebesar 37,10 ± 9,68 g/ekor/hari. Hasil tersebut memberikan

gambaran bahwa setelah PBBH domba terjadi peningkatan pada perlakuan P2,

kemudian terjadi penurunan pada PBBH domba perlakuan P3. Apabila hal ini terjadi

dalam waktu yang lebih lama, dimungkinkan dampak negatif yang lebih berbahaya

seperti keracunan dan kematian dapat terjadi pada ternak.

Page 17: BAB IV Hasil Dan Pembahasan FIX

33

Balagopalan et al. (1988) menjelaskan bahwa pengaruh negatif dari

keberadaan asam sianida di dalam kulit singkong sebagai pakan ternak dapat

diminimalisir dengan proses pengolahan yang mampu mereduksi kandungan HCN

seperti pengeringan, perendaman, perebusan, fermentasi dan kombinasi dari proses-

proses ini. Cara yang cukup praktis dan efektif untuk mengurangi kadar HCN adalah

dengan mencincang dan pengeringan dengan panas matahari.