Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
110
BAB IV
STRATEGI REN-REN MENGHADAPI DOMINASI MEL-MEL DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Mencermati deskripsi pada BAB III khususnya tentang kehadiran imigran dari
Watlaar dan Haar di Ohoiwait, serta fenomena perpindahan kekuasaan
(kepemimpinan adat) dari penduduk asli kepada para pendatang yang telah
mengakibatkan keluarnya penduduk asli dari Ohoiwait sampai pada tindakan
pencarian dan membawa kembali penduduk asli ke Ohoi, menimbulkan sebuah
pertanyaan menggelitik “apakah ini kisah Tom&Jerry yang walapun sering
berkonflik namun saling merindukan?” Tom&Jerry yang dalam lakonnya,
mendemonstrasikan ketegangan sandiwara kehidupan manusia antara “benci tapi
rindu serta rindu tapi benci” memang mirip dengan pergulatan antara penduduk asli
dan pendatang di desa ini.
Untuk itu pada bab ini, saya memilih tiga topik utama untuk dikaji lebih
mendalam, yakni: 1) Upaya atau strategi Ren-ren dalam mempengaruhi dominasi
mel-mel; 2) Faktor-faktor yang mendorong strategi ren-ren; dan 3) Kemampuan
mereproduksi wacana: menuju lebenswelt baru;. Ketiga topik tersebut, lebih lanjut
diuraikan di bawah ini.
4.1. Strategi Ren-Ren dalam Mempengaruhi Dominasi Mel-Mel
Dalam struktur asli masyarakat Kei, fungsi adat yang selalu melekat dan
menjadi hak golongan ren-ren adalah tuan tan dan mituduan (imam) atau yang
bisanya juga disebut dengan penjaga Luw Sukat. Walaupun demikian, sebelum
111
struktur asli masyarakat Kei mencapai bentuk akhir dengan dibentuknya hukum adat
Larvul Ngabal sekitar abad ke-16, semua fungsi dan peran adat di desa Ohoiwait
yang didistribusikan kepada marga-marga1 yang ada saat ini, merupakan hak dari
penduduk asli yang selalu dikategorikan sebagai ren-ren.
Kehadiran para imigran yang berasal dari Watlaar dan Haar di Ohoiwait dan
dalam kehidupan bersama penduduk asli, telah menimbulkan fenomena baru yakni,
berpindahnya fungsi dan peran adat kepada pendatang. Mula-mula fungsi
(kekuasaan) adat pertama yang diambil alih adalah “kepala Ohoi” kemudian
merambah pada fungsi-fungsi adat yang lain. Pengambil-alihan fungsi dan peran adat
ini berimplikasi pada tidak diakuinya hak-hak kelompok ren-ren, bahkan
diwacanakan kelompok ini telah punah. Dalam konteks seperti ini, maka dapat
dikatakan bahwa praktek kepemimpinan dan dominasi berjalan seiring, atau dengan
kata lain mel-mel menjalankan hegemoninya terhadap ren. Pertanyaannya adalah apa
yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh kelompok ren-ren untuk setidaknya
mengembalikan hak-hak mereka?
Menurut Bourdieu, dalam setiap perjuangan aktor membutuhkan strategi.
Strategi perjuangan diperlukan aktor untuk memperebutkan modal-modal di dalam
ranah (field). Bagi Bourdieu, nilai yang diberikan modal (-modal) dihubungkan
dengan berbagai karakteristik sosial dan kultural habitus. Karena itu, ranah selalu
dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Dengan
demikian, strategi perjuangan tanpa modal, mungkin tidak akan berhasil.
1 lihat fungsi dan peran adat yang diemban oleh masing-masing marga dalam bab III halaman
78-79
112
Menurut Soerjono Soekanto,2 dalam hubungan sosial jika sarana perjuangan
tidak mencakup kekerasan fisik aktual, maka proses tersebut disebut perjuangan
damai. Model perjuangan ini adalah untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan
yang juga diperjuangkan oleh pihak-pihak lain. Karena itu, perjuangan yang tidak
didasarkan atas konflik kepentingan, untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan
pribadi disebutnya sebagai seleksi sosial. Sedangkan yang menyangkut pelbagai
kemungkinan bertahannya ciri-cri secara turun-temurun, disebutnya seleksi biologis.
Dalam perspektif Bourdieu, perjuangan damai ini dapat dimaknai sebagai
kemampuan mereproduksi wacana untuk menjadi dominan terhadap pihak lain,
selama wacana yang diproduksi itu tidak berimplikasi pada konflik dengan
kekerasan.
Pierre Bourdieu membedakan lima jenis strategi, yakni investasi biologis,
suksesif, edukatif, investasi ekonomi, dan investasi simbolik. Namun jika mencermati
pengertian yang diberikan pada masing-masing strategi itu, maka dapat juga
dikategorikan menjadi dua jenis strategi, yakni: strategi investasi ekonomi dan
strategi investasi simbolik. Untuk itu beberapa sub topik perlu dianalisa secara
terpisah demi mendapatkan gambaran yang lebih jelas jentang “strategi ren-ren
menghadapi dominasi mel-mel. Beberapa sub topik tersebut, adalah:
a. Pewarisan Marga: Sebuah Dilema
Bagi Bourdieu pewarisan nama keluarga (marga?) juga merupakan bentuk
habitus yang dapat menggerakan tindakan individu maupun sosisl untuk berjuang
2 Soerjono Sukanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002: 48-51
113
memperebutkan modal-modal dalam ranah. Namun bagi saya, jika yang dimaksudkan
dengan ‘pewarisan nama keluarga” itu adalah marga, maka ada masalah khususnya
dengan kelompok ren-ren. Berdasarkan hasil penelitian, tidak semua bentuk
“pewarisan nama keluarga” dapat memberikan keuntungan bagi yang mewarisinya,
terutama pewarisan marga Yahaubun, Kudubun, Notanubun, Ingratubun oleh
kelompok ren-ren telah menempatkan mereka pada posisi yang dilematis.
Dalam tesisnya, Martinus Ngabalin (2006) memang tidak memberikan
argumentasi yang dapat memperkuat pernyataannya bahwa “keturunan penduduk asli
telah punah” demikian juga sejarah yang dituturkan oleh Eliazer Rahajaan dan ditulis
oleh Melky, tidak memberikan argumentasi tentang punahnya keturunan Reyaur.
Sebab itu, sejak awalnya memang sudah saya kritik. Berdasarkan hasil wawancara,
satu-satunya alasan yang saya temukan tentang wacana punahnya keturunan
penduduk asli itu, diakibatkan oleh pola “pewarisan marga”3 karena itu saya
menyebutnya sebuah dilema.
Setelah keturunan penduduk asli yang “melarikan diri” dari kampung
kemudian kembali lagi dengan perjanjian bahwa mereka boleh mengatur dirinya
sendiri, maka ada “harga” yang perlu dibayar kepada mereka yang telah memanggil
itu.4 “Harga” itu tampak dalam kerelaan mereka untuk mengikuti marga dari orang
yang membujuk mereka untuk kembali. Kerelaan itu merupakan sikap hidup orang
Kei yang tahu berterimakasih (tet ya dalam bahasa Kei). Tet ya bermakna “karena
3 Karena itu, argumentasi yang dibangun oleh Melky berdasarkan cerita Eliazer Rahajaan
tentu tidak benar, sebab pola pewarisan marga baru terjadi setelah Towowod Rahawarin menikah dan
menghasilkan keturunan. Pola pewarisan marga yang saya kemukakan, di satu sisi memberikan catatan
tambahan bagi tesis Martinus Ngabalin, namun di sisi lain juga bertujuan meolak tesis Ngbalin itu. 4 Lihat uraian bab III khususnya pada bagian “marga sebagai bentuk asimilasi”
114
kebaikanmu engkau kutempatkan dalam lubuk hatiku untuk lebih dekat denganku.”
Disinilah makna mendalam tentang “kakak – beradik” muncul.
Masalahnya adalah ren-ren tidak hanya mewarisi satu marga diantara
keempat marga (Yahaubun, Kudubun, Notanubun, dan Ingratubun), mereka terbagi,
atau mengikuti semua marga itu. Di satu sisi pewarisan marga ini adalah positif untuk
menjaga persatuan dan kesatuan Ohoi Nuhu, sebab merasa satu dan tidak lagi ada
perbedaan penduduk “asli” dan “pendatang”, namun di sisi lain menjadi salah
dimengerti oleh para pendatang yang akhirnya menciptakan dominasi. Dominasi
terjadi sebab kepala marga harus berasal dari keturunan asli Yahau, Kud, Notan, dan
Ingrat itu. Posisi kepala marga untuk orang Kei dan secara khusus di desa Ohoiwait
adalah cukup kuat, sebab “dia” dianggap sebagai representasi adat untuk marganya.
Bentuk representasi seperti ini tampak dan diatur dalam pasal 1 hukum adat Larvul
Ngabal yang memang sangat ditaati oleh masyarakat Kei.
Dalam konteks pewarisan marga (yang tidak satu), tentu akan memunculkan
habitus baru. Sejarah asli (awal) terpecah atau terbagi, bahkan terasimilasi dengan
habitus lain yang mengakibatkan munculnya habitus baru itu. Walupun habitus baru
ini tidak menghilangkan habitus awal, namun produksi dan reproduksi sejarah asli
terbagi dalam versi-versi yang berbeda, kecil dan tidak lagi sekuat sejarah awal.
Diskursus argumentatif menurut Habermas, atau komunikasi “bebas penguasa”
tidak/belum berlaku disini. Untuk sampai pada tingkat diskursus argumentatif itu
diperlukan faktor pendukung lain, yakni pendidikan, bukan saja pendidikan formal,
namun juga pendidikan nonformal yakni sosialisasi nilai-nilai adat kepada generasi
115
yang siap beradu argumen untuk memimpin. Masalahnya wadah atau situasi yang
memungkinkan untuk saling beradu argumen demi memperebutkan modal-modal
(atau posisi) belum tercipta dengan baik.
Dengan demikian, reproduksi wacana oleh kelompok ren-ren untuk kembali
kepada sejarah asli tentu tidak mudah, sebab sejarah asli telah terbagi dalam versi-
versi akibat pembauran penduduk asli dan pendatang yang menjadi satu marga itu.
Kelompok ren-ren khususnya yang bermarga Rahaningmas dan Notanubun mungkin
mampu mereproduksi sejarah asli (tom tad), namun belum tentu diikuti atau diterima
oleh semua kelompok ren-ren, sebab penghargaan, pengakuan, relasi dalam
kehidupan bersama, serta identitas marga tentu turut mempengaruhi.
Pola komunikasi yang intensif antara kepala marga dengan anggota-anggota
marga tentu anak mempererat tali persaudaraan anggota marga. Sebab segala urusan
yang “dilakukan” anggota marga, entah itu perkawinan, kematian, pembangunan
rumah, pencurian, dan pembunuhan adalah menjadi tanggungjawab magra, semua
anggota marga akan bermusyawarah (rasdov) untuk memutuskan sesuatu hal, dan
kewenangan pengambilan keputusan itu adalah kepala marga. Karena itu, dalam
beberapa hal solidaritas marga sangat kuat, sehingga reproduksi wacana tentang
sejarah asli (ren-ren) menjadi dinomor sepatu-kan, bahkan oleh kelompok ren-ren
sendiri. Walupun mereka sadar bahwa hak-haknya sebagai penduduk asli terabaikan.
Kedekatan dan pola komunikasi yang baik memegang peranan penting dalam
pembentukan habitus ini.
116
Robert Notanubun dan Daud Rahaningmas mengatakan “perjuangan itu masih
butuh waktu dan memang sulit, sebab kita yang di Ohoi Un ini juga kurang bersatu.
Namun perlu terus dilakukan terutama dengan cara mewariskan cerita-cerita dari
orang tua (leluhur) kepada anak-anak, selain itu anak-anak perlu juga disekolahkan
untuk bisa berpikir cerdas.” Kesulitan itu menurut keduanya disebabkan oleh adanya
individu-individu tertentu yang mereka sebut dengan istilah Fen (penyu atau
teteruga), fen adalah hewan yang bisa hidup di “dua dunia” (air dan darat). Konsep
ini digunakan untuk menggambarkan perilaku individu-individu yang selalu “cari
aman” artinya bisa diterima dua kelompok (ren dan mel) sekaligus. Selain konsep fen
ada juga sebutan naus (gula) bagi orang-orang yang rela “menjual” informasi hanya
untuk sekedar bisa minum segelas kopi atau teh.5 Individu-individu seperti inilah
yang merusak solidaritas kelompok, atau dapat juga disebut provokator.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa kelompok ren-ren adala
mereka yang bertempat tinggal di bagian desa yang disebut Ohoi Un, kadang-kadang
untuk menyebut orang atau kelompok orang yang tinggal di tiga bagian kampung
(Ohoi Un, Ohoi Ren, dan Ohoi Tanan) dalam interaksi sehari hari, digunakan istilah
koko; watwat; dan kotkot6”, seperti: koko Ohoi Un, koko Ohoi Tanan, koko Ohoi Ren,
begitu juga ketika kata “koko” diganti dengan “watwat” dan “kotkot” semuanya
bermakna “sekelompok orang.” Pemaknaan ini kemudian termanivestasi dalam
perilaku, misalnya seorang anak yang tinggal di Ohoi Un ketika berkelahi dengan
seorang anak di Ohoi Ren, maka orang akan berkata “kokot Ohoi Un hir bangil”
5 Wawancara dengan Daud Rahaningmas dan Robert Notanubun tanggal 29 Januari 2011
6 Koko bermakan “laki-laki - dalam jumlah yang banyak”; watwat bermakna “perempuan-
perempuan”; dan kotkot bermakna “anak-anak”
117
(anak-anak Ohoi Un yang memukulnya) atau sebaliknya “kokot Ohoi Ren hir bangil”
jadi tindakan satu orang selalu dikaitkan dengan kelompoknya. Begitupun dengan
marga, tindakan seseorang (individu) selalu dikaitkan dengan “apa marganya”,
karena itu solidaritas kelompok di Kei khususnya di Ohoiwait memang sangat kuat.
Dengan demikian, dibutuhkan isu bersama pula yang dapat mengembalikan
kesadaran kelompok ren-ren ini. Beberapa isu bersama yang dapat mengembalikan
solidaritas kelompok ren-ren ini adalah: a) wacana tentang punahnya keturunan
penduduk asli; b) pewarisan nama leluhur dan marga; c) tidak adanya golongan ren-
ren Ohoiwait yang menjadi PNS di Maluku Tenggara; dan d) wacana tentang
dikategorikannya kelompok ini sebagai Iri-iri. Beberapa isu ini tentu membutuhkan
strategi yang tepat untuk mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-
posisinya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial. Sebab itu faktor pendidikan,
terutama pendidikan formal perlu menjadi strategi utama yang dipilih untuk
mempersiapkan generasi berikutnya.
Pewarisan nama leluhur memang telah dengan sadar dilakukan, misalnya
nama-nama seperti: Kanar El, Viktor, Tanaef.7 Sedangkan alasan menggunakan
marga “Rahaningmas” sebenarnya juga merupakan bentuk resistensi kepada
“Yahaubun” namun sayangnya perubahan marga dari Yahaubun ke Rahaningmas
juga diikuti oleh mereka yang mel-mel. Walaupun demikian, mel-mel yang bermarga
Rahaningmas ini memang sangat mengerti tentang sejarah asli, mereka mengakui
7 Viktor dan Tanaef adalah nama leluhur penduduk asli, keduanya masuk dalam kategori
“Baran Fit”. Viktor adalah nama dari salah satu cucunya Anton Notanubun, sedangkan Tanaef adalah
anak Manasye Rahaningmas. Keduanya masih anak-anak, dan Kanar El adalah nama dari salah satu
informan. Menurut Anton Notanubun, nama-nama itu tidak pernah digunakan oleh mereka yang
dikategorikan sebagai mel-mel itu.
118
bahwa Frans Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, dan Anton Notanubun adalah
penduduk asli desa Ohoiwait.8 Bentuk resistensi lain mengenai marga ini adalah yang
dilakukan oleh Ganti Notanubun (tinggal di Jayapura, Papua), yang ketika anak
pertamanya lahir dan dalam pengurusan akte kelahiran dia mencantumkan marga
Rahangiar sebagai marga anaknya dan bukan Notanubun. Rahangiar adalah marga
yang masih digunakan di dusun Wetuar.
Dengan demikian, jika strategi pewarisan nama keluarga ini terus dilakukan,
minimal seperti yang telah dilakukan oleh Ganti Notanubun akan berdampak positif
suatu saat nanti. Selain itu, perubahan marga dari Yahaubun ke Rahaningmas juga
merupakan hal yang baik, namun belum disertai dengan penjeasan makna dan alasan
perubahan itu kepada generasi muda (anak-anak ren-ren) sehingga belum berdampak
dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
b. Strategi Investasi Ekonomi
Pierre Bourdieu mengemukakan bahwa dalam setiap ranah terdapat modal-
modal yang siap diperebutkan, jika dikaitkan dengan pemikiran Habermas, maka
dapat dirumuskan bahwa modal-modal tersebar dalam setiap lebenswelt sebab itu
dibutuhkan strategi argumentasi yang dibedakan dalam bentuk diskursus dan kritik
yang bertujuan mempersoalkan klaim kebenaran dan ketepatan demi mendapatkan
pengakuan setiap ruang kehidupan sosial. Walaupun demikian, dalam perebututan
modal-modal itu, perlu mempersiapkan generasi yang memiliki jiwa kepemimpinan
8 Jumlah Kepala Kekuarga (KK) marga ini di desa Ohoiwait sangat sedikit. Tidak lebih dari
lima kepala Keluarga, yakni: Daud Rahaningmas, Nimrot Rahaningmas, Kanar El Rahaningmas,
Adam Rahaningmas, dan satu keluarga dari mel-mel adalah Hopni Rahaningmas. Sebagian dari
mereka tinggal di Tual, Maluku Tenggara dan berprofesi sebagai PNS maupun swasta, termasuk
Manasye Rahaningmas yang bekerja di Suita Hotel.
119
(direction) untuk menggerakkan individu maupun kelompok, ketika berjuang di
dalam ranah (field), karena itu saya membutuhkan pemikiran Gramsci tentang
hegemoni.
Strategi investasi ekonomi menurut Bourdieu merupakan upaya
mempertahankan atau meningkatkan berbagai jenis modal. Investasi ekonomi
sebenarnya merupakan akumulasi modal ekonomi dan modal sosial. Berdasarkan
hasil penelitian, diketahui bahwa modal sosial yang dimiliki kelompok ren-ren yakni
hubungan-hubungan sosialnya dengan kelompok mel-mel terutama melalui
pertukaran uang, pekerjaan, dan perkawinan9 telah menempatkan mereka (ren-ren)
pada posisi yang terdominasi. Hubungan sosial yang berkaitan dengan “pekerjaan”10
yang saling membantu atau hamaren. Artinya pekerjaan atau hajatan yang dilakukan
oleh salah satu mel-mel, maka anggota marganya (terutama yang ren-ren) wajib hadir
untuk membantu atau bekerja atau sekedar memberikan yelim (bantuan berupa bahan
pokok–makanan). Karena itu, strategi investasi ekonomi ini juga berhubungan erat
dengan pola pewarisan marga, artinya hajatan salah satu anggota marga, akan
menjadi tanggungkawab bersama.
Kaitan antara stratgi investasi ekonomi dan pola pewarisan marga–selain
hubungan-hubungan sosial yang terbangun–misalnya tampak dalam marga Kudubun.
Marga ini memiliki beberapa dusun atau petuanan sagu (Er –dalam bahasa Kei ) yang
biasa disebut “Er Kudubun” petuanan sagu dimiliki dan “dimakan” bersama. Secara
9Kedua kelompok ini memang dilarang menikah. Karena itu yang dimaksudkan dengan
hubungan sosial perkawinan itu adalah konsep tentang koi maduan yang telah diuraikan dalam bab III 10
Yang saya maksudkan dengan pekerjaan di sini bukanlah pekerjaan yang mendatangkan
“gaji tetap” setiap bulannya.
120
adat, ada mekanisme pengaturan yang disepakati, yakni siapa yang pertama
memperikan tanda pada salah satu pohon sagu11
maka dialah yang berhak memanen.
Selain itu, marga Kudubun (ren-ren) juga memiliki harta warisan (emas) yang
disimpan oleh salah satu “pembesarnya” (mel-mel) yang bernama AdK (alm)12
yang
sering disebut dengan “Turan Sosial”
Namun harta Kudubun ini telah hilang.13
Menurut Christian Kudubun harta
itu telah dijual di Bali oleh kakaknya “turan sosial” itu, yang bernama AbK untuk
menyekolahkan anak-anaknya. Christian mengemukakan bahwa “AbK mengakui hal
ini dihadapan dirinya dan Welhelmus Kudubun, yang didengar langsung oleh anak-
anaknya, ketika istri AbK meninggal dunia di Tual tahun 2007”14
dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa para leluhur Kudubun sudah dengan sadar memperhitungkan
strategi investasi ekonomi untuk anak cucu mereka, namun sayangnya harta warisan
ini dicuri oleh orang lain untuk kepentingan anak-anaknya tanpa memberitahukan
kepada “pemilik barang.”
11
Tanda ini biasanya berupa inisial nama. Contah, “MK” itu artinya pohon sagu tersebut
sudah menjadi milik salah seorang berinisial “MK” itu. ‘M’ merujuk pada nama orang dan ‘K’
merujuk pada marga. 12
Selanjutnya nama-nama yang tidak termasuk dalam informan kunci akan digunakan inisial.
Nama sebenarnya ada pada peneliti. 13
Harta ini memang dinyatakan telah hilang, sebab menurut informasi dari Christian,
Welhelmus, dan Matius sewaktu “turan sosial” sakit-sakitan mereka dipanggil untuk penyerahan
kembali harta tersebut. namun waktu tas (kopor) tempat emas tersebut diambil ternyata gembok
(kuncinya) telah rusak dan tidak ada apa-apa di dalamnya. Christian mengatakan, dia baru mengetahui
kalau harta tersebut “diambil” turan AbK pada waktu istrinya meninggal itu. 14
Waktu itu saya juga sempat mengikuti upacara pemakaman tersebut. Christian Kudubun
mengatakan setelah pemakaman, malam harinya AbK menyuruh anaknya memanggil dirinya,
Welhelmus Kudubun, dan Matius Kudubun (namun Matius Kudubun tidak datang di Tual waktu itu),
kemudian mereka duduk diruang tamu dan AbK mengatakan kepada anak-anaknya “im lilik tuang
yamab hir tel I, hor hirir yanar ubur, tal harta Kudubun ila ya fed mo nan lehar im maskol e” (kalian
harus memperhatikan–membantu ketiga orang tua kalian ini (Christian, Welhelmus, dan Matius) serta
anak cucu mereka sebab saya sudah jual harta Kudubun itu untuk membiayai sekolah kalian).
121
Mengenai harta Kudubun yang telah dicuri ini, Laurens Kudubun mengatakan
bahwa “nanti pada saat acara 100 tahun Injil masuk Ohoiwait (tahun 2013), dia akan
memanggil akan-anaknya AbK untuk meminta pertanggungjawaban supaya mereka
membayar kembali harta yang telah dijual oleh bapak mereka.”15
Oleh karena harta
tersebut telah diambil orang, maka perspektif Bourdieu tantang “modal ekonomi”
(harta) milik marga Kudubun ini dapat dikategorikan sebagai “modal simbolis” yang
dapat mengangkat prestise maupun status sosial dari Kudubun ren-ren bahwa mereka
memililiki “sesuatu” yang didak dimiliki oleh Kudubun mel-mel. Pengakuan akan
adanya modal simbolik inilah yang kemungkinan akan diperjuangkan oleh Laurens
Kudubun.
Sedangkan menyangkut petuanan (kepemilihan lahan/tanah) di Desa
Ohoiwait, hasil wawancara dan pengamatan selama penelitian berlangsung
membukatikan bahwa kelompok ren-ren khusunya keluarga Anton Notanubun, dan
tiga orang kakak-beradik, yakni Frans Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, dan
Reinhard Rahaningmas) adalah yang paling besar petuanannya di Ohoiwait. Namun
Anton Notanubun telah membagi harta warisan (tanah) miliknya kepada semua anak
anaknya.16
Sedangkan ketiga kakak-beradik ini tidak membagi warisan kepada anak-
anaknya, mereka sepakat untuk makan bersama tanpa ada pembagian. Sebab saat ini,
hanya empat orang anak laki-laki dari ketiga bersaudara ini yang tinggal di kampung,
15
Wawancara dengan Laurens Kudubun di Surabaya, tanggal 28 Maret 2011. 16
Anton memiliki 5 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Masing-masing dari
anak laki-laki mendapatkan tiga bidang tanah. Sedangkan anak perempuannya tidak mendapatkan apa-
apa sebab menikah dengan laki-laki dari kampung tetangga. Belum ada sistem pengukuran tanah di
desa ini, sehingga tidak diketahui luas dari masing-masing bidang tanah itu. namun berdasarkan hasil
observasi dapat diperkirakan bahwa ukuran masing-masing bidang tanah kurang lebih 1 hektar.
122
yakni: Kanar El Rahaningmas, Daud Rahaningmas, Nimrot Rahaningmas, dan Adam
Rahaningmas. Menurut Edward Kudubun (anaknya Matius Kudubun) “jika tanah
milik FR, GR, dan RR ini dibagi lagi kepada anak-anak mereka, maka kepemilikan
tanah paling besar/bayak di Ohoiwait adalah bakapnya.17
Itu artinya, Matius Kudubun
berada pada urutan ketiga kepemilikan tanah di Ohoiwait.
Selain itu, kelompok ren-ren juga memiliki modal budaya yakni pemilikan
benda-benda budaya yang bernilai. Salah satu benda budaya yang dimiliki kelompok
ini adalah Kasber (meriam) yang tersimpan di gunung Elyaur. Meriam ini memiliki
sejarah panjang dengan desa Ohoitel Watraan di Kei Kecil, Meriam ini sebagai tanda
bukti (tom tad) yang mengikat kedua desa ini dalam relasi Teabel.18
Gunung ini
adalah tempat bersejarah bagi kelompok ren-ren. Pada tahun 2006 Nimrot
Rahaningmas dengan rombongan sempat melakukan penggalian di gunung tersebut
guna mencari kerangka (tengkorak) leluhur mereka, dan menemukan tiga tengkorak.
Tindakan tersebut diketahui oleh Kepala Desa (Librek Ingratubun) dan
memanggil Nimrot untuk menghadap. Kemudian Nimrot Rahaningmas, Daud
Rahaningmas dan Mathias Rahaningmas19
memenuhi panggilan Kepala Desa
tersebut. Kepala Desa lalu mempertanyakan tindakan itu, mengapa mereka tidak
melapor sebelum menggali, sebab di gunung itu ada benda pusaka. Nimrot,
menguraikan jawabannya kepada kelapa Desa, yakni:
17
Matius Kudubun memiliki 6 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan, dari
kesembilan bersaudara ini hanya 2 orang yang tinggal di kampung, yakni, Edward Kudubun dan
Tineke Kudubun. Matius Kudubun mengatakan kepada peneliti bahwa “dia tidak akan membagi
warisan (tanah) miliknya, sebab kebanyakan dari anaknya tinggal di luar pulau Kei, dan anak-anaknya
juga tidak mengingingkan jika warisan itu dibagi. 18
Maknanya sama dengan konsep Pela di Maluku Tengah. 19
Mathias Rahaningmas adalah lulusan Fakultas Hukum, salah satu Universitas di Surabaya,
dan saat ini tinggal serta bekerja di Surabaya.
123
“ya her tabe hormat naa o de, ni am ail mem tanat Elyaur raai am ot sa
umat rir afa waaidi. Elyaur how kasber raai am mem afa. O laai kapal
wel te mu kwas ra nharang Elyaur raai waaidi ” (sebagai kepala desa saya
menghormati anda, tapi Elyaur, termasuk Meriam itu adalah milik pusaka
kami dan kami sedang menggali tanah/gunung kami dan tidak menggali
tanah orang lain. Anda kepala desa, tetapi anda tidak memiliki kekuasaan
sampai ke gunung itu, termasuk segala sesuatu yang ada gunung itu).
Jawaban yang merupakan pukulan telak bagi kepala Desa tersebut tentu
didasari oleh habitus yang mereka miliki, apalagi ketika Mathias Rahaningmas
meminta kepala Desa untuk menjelaskan tentang “apakah tindakan mereka telah
melanggar Undang-undang, dan kalaupun tindakan itu dikatakan melanggar UU,
maka UU Nomor berapa yang dilanggar”?. Tentu pertanyaan itu didaarkan pula atas
sebuah skema intelektual sebagai perwujudan dari habitus yang dia miliki. Menurut
Nimrot, kepala Desa tidak mampu memberikan penjelasan tentang hal-hal yang
mereka kemukakan itu, dan pertemuan itupun berakhir tanpa keputusan.
Sebab itu, dapat dikatakan bahwa kemampuan dalam memberikan pernyataan
yang keras kepada Kepala Desa, didasari oleh habitus yang tampak dalam modal
budaya dan modal simbolik yang mereka miliki. Dengan demikian, diskursus
komunikatif tetap masih bisa digunakan sebagai strategi mempengaruhi dominasi
mel-mel dengan syarat perlu kepemilikan dan pemahaman akan habitus masing-
masing dan penguasaan modal-modal dalam ranah menjadi mutlak. Karena itu,
maka dapat dikatakan bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, atau
suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah, yang telah dengan sadar
“dimainkan” oleh Daud Rahaningmas dan adik-adiknya.
124
Sedangkan strategi investasi biologis yang menitik-beratkan pada masalah
kesuburan dan pencegahan dalam penelitian yang saya lakukan terdapat perbedaan
dengan apa yang dikemukakan Bouerdieu. Kesuburan berkaitan dengan pembatasan
jumlah anak untuk menjamin transmisi modal. Hasil penelitian membuktikan bahwa
kelompok ren-ren secara umum tidak membatasi jumlah anak.20
Mereka yang telah
menikah rata-rata memiliki lebih dari empat orang anak, selain itu jumlah kelompok
ren-ren yang menempati Ohoi Un cukup banyak sehingga tahuan 2009 “pengurus
gereja” membagi Ohoi Un menjadi dua unit yakni unit Maria dan unit Elim. Awalnya
hanya satu unit, yakni unit Maria.
Fakta ini sebenarnya bertentangan dengan logika Pierre Bourdieu. Namun
saya sadar bahwa kelompok ini memiliki logikanya sendiri, konsep yang mereka
gunakan adalah melraw’ar (tumbuh semakin banyak). Artinya dengan semakin
banyak anak mereka berharap akan menguasai kampung, walaupun demikin, tidak
hanya soal kuantitas yang mereka pertimbangkan tetapi juga kualitas. Dalam hal
kualitas (anak harus sekolah), mereka memanfaatkan modal sosial yang terbangun
dengan sesama mereka di luar Tual dan Maluku Tenggara, hubungan ini
dimaksudkan agar saudaranya yang berdomisi di luar Kei dapat menampung akan-
anak mereka ketika menempu pendidikan. Mereka berpendapat bahwa golongan mel-
mel yang semakin berkurang di kampung itu sebagai bagian dari “teguran” akibat
menjalankan adat dengan tidak tepat.
20
Argumentasi ini didasarkan atas hasil observasi sebab tidak ada data lengkap tentang
jumlah penduduk berdasarkan tingkat umur dan jumlah/tingkat kelahiran per tahun di kantor Desa.
Mungkin juga akibat desa ini tidak memiliki kantor desa. Alasan lain yang mendasari argumentasi ini
adalah pembagian Ohoi Un menjadi dua unit tahun 2009 oleh gereja.
125
Logika yang berbeda dengan Bourdieu itu, didasari oleh pemahaman bahwa
dengan banyaknya jumlah anak yang dimiliki, maka pewarisan nama keluarga akan
tetap “hidup” dan berimplikasi pada pembentukan habitus berdasarkan sejarah asli
(tom tad). Sebab ada banyak individu (anak-anak–khususnya anak laki-laki) yang
akan terus mewarisi tom tad dan akan ikut bersaing memperebutkan modal-modal
(baik modal ekonomi, budaya, sosial maupun simbolik) dalam field. Karena itu,
mereka (kelompok ren-ren) beranggapan bahwa kuantitas orang juga turut
mempengaruhi dan mendukung perjuangan untuk mendapatkan modal-modal itu.
Walaupun perjuangan dalam ranah adat demi memperebutkan modal-modal tidak
menggunakan sistem voting, namun dukungan moral dari kelompok tentu
dibutuhkan.
Memang ada masalah, jika strategi investasi biologis dalam hal membatasi
jumlah anak diperhadapakan dengan strategi suksesif. Bagi Bourdieu strategi ini
bertujuan menjamin pemeliharaan harta warisan antar generasi dengan menekan
pemborosan. Strategi ini tampak nyata dalam hal kepemilikan tanah di atas.
Keputusan Anton Notanubun untuk membagi warisan (tanah) kepada anak-anaknya
tentu akan berdampak negatif dikemudian hari. Sedangkan keputusan atau
kesepakatan dari FR, GR, dan RR untuk tidak membagi harta warisan (tanah) mereka
dengan pertimbangan bahwa keturunannya akan terus bertambah, dan jika tanah itu
dibagi tentu keturunan kesekian anak melarat (miskin). Selain itu, pertimbangan lain
yang turut mempengaruhi keputusan itu adalah karena sebagain besar anak-anak
mereka memilih untuk tinggal dan menetap di luar Ohoiwait.
126
Berdasarkan penjelasan di atas, saya bersepakat dengan Bourdieu yang
mangatakan bahwa “modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat di
dalam suatu sistem pertukaran, segala bentuk barang–baik material maupun simbol,
tanpa perbedaan–yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan
layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu.” sebab itu, keterkaitan antara
ranah, habitus dan modal bersifat langsung. Dalam konteks seperti ini, maka dalam
menjalankan strategi investasi biologis ala kelompok ren-ren perlu juga
mempertimbangkan strategi suksesif agar tidak salah kaprah dalam mengambil
keputusan seperti yang dilakukan Anton Notanubun. Kemampuan dalam
menjalankan strategi investasi biologis dan strategi suksesif akan membuka jalan
pada akumulasi modal ekonomi maupun sosial dan budaya.
c. Strategi Investasi Simbolik
Dengan memahami pemikiran mendasar Pierre Bourdieu, maka dapat
dikatkan bahwa “di dalam ranah, pertarungan sosial selalu terjadi.” Pertanyaannya
mengapa kelompok ren-ren tidak mendapatkan hak-hak mereka layaknya penduduk
asli jika ada pertrungan dalam ranah?. Untuk memberikan jawaban pada pertanyaan
itu, saya merujuk pada salah satu konsep penting Bourdieu, yakni kekerasan simbolik
(symbolic violence) yang dimainkan oleh kelompok mel-mel. Konsep ini merujuk
pada bentuk kekerasan yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen
sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya malah mengundang konformitas
sebab sudah mendapat legitimasi sosial.
127
Kekerasan simbolik ini tampak dalam bahasa, makna, dan sistem simbol para
pemilik kekuasaan yang dalam prakteknya ditanamkan dalam benak individu-
individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran. Pola seperti ini
tampak dalam permainan bahasa yang mereproduksi mel-mel sebagai bangsawan,
kaya, dan pintar/pandai yang diperhadapkan dengan ren-ren yang diwacanakan
sebagai golongan rendah, tidak pintar/bodoh, miskin, karena itu tidak bisa memimpin
apalagi memimpin mel-mel, serta tidak boleh menikah dengan mel-mel.
Tentu reproduksi wacana dalam bentuk oposisi biner ini tidak selalu benar.
Larangan perkawinan, hasil kesepakatan kedua kelompok ini tidak didasarkan oleh
oposisi biner seperti itu. Pada awalnya larangan itu dibuat untuk mengikat tali
persaudaraan sebagai kakak dan adik yang tidak boleh menikah. Namun dalam
prakteknya, demi mempertahankan status quo kesepakatakan itu “dibunyikan” sesuai
kebutuhan yang memimpin. Konsensus seperti ini (sebagai kakak dan adik) terjadi
dalam masyarakat Kei mula-mula. Sedangkan di Ohoiwait, pada awalnya
kesepakatan itu tidak demikian, leluhur El Umel membuat tomtoma (larangan)
perkawinan itu dikarenakan “belum diketahui dengan pasti siapakah para pendatang
itu.” Namun seiring dengan berjalannya waktu, tomtoma itu juga “dibunyikan” sesuai
selera penguasa yang telah mengambil-alih kepemimpinan Ohoi pasca dibunuhnya
Bun Liisa. Kelompok baru yang memimpin itu lalu mengidentifikasi diri sebagai
“bangsawan, kaya, dan pintar/pandai” Dengan demikian, terjadi pergeresan makna
dari “orang yang tidak diketahui asal-usulnya” menjadi memiliki habitus baru sebagai
bangsawan, orang pandai dan kaya.
128
Selain itu, fenomena tentang “kembalinya kelompok ren-ren ke kampung”
juga menunjukan bentuk kekerasan simbolik ini. Bujukan dan rayuan yang dilakukan
kelompok mel-mel sebagai upaya membawa kembali ren-ren dengan janji ‘otonomi
khusus’ tidak terbukti seluruhnya. “Otonomi khusus” itu direspon oleh ren-ren
dengan kerelaan mengikuti marga hasil keturunan Towowod Rahawarin telah
membawa mereka pada situasi yang dilematis, sebab mel-mel telah mereproduksi
habitus baru yakni mengidentifikasikan diri sebagai bangsawan, orang pandai, dan
kaya. Karena itu, ketika ren-ren memutuskan untuk mengkuti marga yang telah ada,
mereka terjebak pada posisi yang harus dinomor–duakan, atau menjadi “warga kelas
dua, bahkan kelas tiga” dibawah mel-mel. Sampai dengan penelitian ini dilakukan
belum ada satupun kepala marga yang berasal dari kalangan ren-ren.
Mencermati penjelasan di atas, muncul pertanyaan “apa yang harus dilakukan
ren-ren untuk melawan bentuk kekerasan simbolik itu?” Antonio Gramsci
menawarkan konsep hegemoni. Ren-ren memang sudah terhegemoni, namun perlu
melakukan upaya-upaya untuk menghegemoni, upaya yang perlu dilakukan adalah
meningkatkan kepemimpinan (derection) untuk dapat men-dominasi (doninance).
Kelompok ren-ren yang dalam terminologi Gramsci dapat dikategorikan sebagai
subaltern ini perlu menciptakan dan meningkatkan kesadaran diri mereka untuk
berjuang, tentu dibutuhkan faktor lain, yakni: pendidikan dan pemahaman adat harus
juga diasah, demi menciptakan pemimpin minimal bagi kelompok mereka.
Pierre Bourdieu menawarkan resep reproduksi habitus, strategi edukatif, dan
investasi simbolik untuk keluar dari kondisi ketidak-berdayaan itu. Habitus yang
129
merupakan produk sejarah perlu harus diupayakan lewat reproduksi wacana dalam
ranah edukatif untuk menginvestasikan modal–modal baik yang telah ada maupun
yang sedang diupayakan. Sedangkan Habermas menawarkan upaya komunikatif
lewat diskursus argumentatif yang mempersoalkan klaim kebenaran dan klaim
ketepatan, serta kritik terhadap norma-norma sosial yang objektif (kritik estetisi) dan
penyingkapan penipuan dari masing–masing pihak yang berkomunikasi (kritik
terapeutis).
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam beberapa hal upaya-
upaya yang ditawarkan oleh ketiga tokoh di atas telah dilakukan, walupun dengan
gaya dan bahasa yang berbeda. Sekalipun demikian, hasilnya belum sampai pada
mengembalikan kedudukan mereka pada posisi tuan tan dan luw sukat/mituduan itu.
Bourdieu mengungkapkan bahwa stratgi investasi simbolik bertujuan melestarikan
dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi dan kehormatan melalui reproduksi
skema-skema persepsi dan apersepsi yang paling cocok dengan property mereka, dan
menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori
masing-masing. Karena itu, saya mengkategorikan strategi edukatif ke dalam strategi
investasi simbolik.
Kasus pertama yang menunjukan bahwa pengakuan sosial terhadap
kedudukan ren-ren itu terjadi, walau tidak diketahui oleh mel-mel secara umum
adalah, ketika Pembangunan Gedung Gereja Elim di Ohoiwait. Hal ini berkaitan
130
dengan praktek adat, yakni “Huan Yaan21
” (yang menggali tanah pertama), ini
merupakan salah satu fungsi adat yang harus dipegang oleh tuan tan (tuan tanah).
Tuan tan saat itu adalah mereka yang bermarga Rahajaan. Menurut cerita yang
dikemukakan oleh Mathias Rahaningmas (waktu itu dia masih SD) dan Nimrot
Rahaningmas, bahwa mel-mel yang bermarga Rahajaan (tuan tanah), pada suatu pagi
datang menemui Gerson Rahaningmas dan memintanya untuk “memegang Huan
Yaan” itu. Namun, awalnya Gerson Rahaningmas menolak dengan alasan “im nai im
Ohoi duan ikbo im mabran imail waidi?” (katakanya kalian tuan tanah kok tidak
berani menggali?).
Mathias mengatakan bahwa, ketika mendengar jawaban sekaligus pertanyaan
dari bapaknya, kedua orang Rahajaan22
itu menjawab “am kai ramub, afa i omu, am
batang wat” (kami tahu diri, ‘barang’ ini kau punya, kamu hanya menjaga saja).
Akibat ungkapan itulah Gerson Rahaningmas menyanggupi untuk memegang “Huan
Yaan.” Meky Kudubun,23
mengatakan bahwa dirinya memang melihat langsung hal
itu, bahwa setelah doa, GR langsung menancapkan linggis ketanah dan kemudian
mengangkatnya sebagai tanda penggalian fondasi Gereja dimulai. Bahkan Meky
mengatakan bahwa dirinya yang kemudian mengambil linggis ditangan GR dan ikut
menggali setelah GR menggali.
21
Secara harfian Huan berarti “Linggis” dan Yaan berarti “Kakak atau Yang Pertama”
maknanya adalah “siapa yang berhak memegang linggis dan menggali tanah pertama sebagai simbol
dimulainya sebuah pekerjaan – khususnya dalam membangun rumah atau gedung” 22
Mathias mencoba mengingat-ingat wajah dan nama kedua orang itu dan mengatakan,
mereka adalah Obetnego Rahajaan dan Eliazer Rahajaan, kedua orang inilah yang datang ke rumahnya
pagi itu. 23
Dia adalah satu-satunya ren-ren Ohoiwait yang lolos sebagai PNS (tenaga kesehatan-
mantri) yang bertugas di Puskesmas Elat Kei Besar. Ketika peneliti masih sekolah SMA di Elat
peneliti tinggal bersama dengannya di rumah dinas Puskesman. Wawancara di Elat tanggal 29 Januari
2011.
131
Hal ini membuktikan bahwa ada pengakuan dan legitimasi tentang hak-hak
ren-ren sebagai tuan tanah. Masalahnya adalah apakah tindakan kedua orang
Rahajaan itu disosialisasikan kepada mel-mel secara umum dan lebih khusus anak-
anak mereka? Jika melihat tuturan sejarah yang dilakukan Eliazer Rahajaan kepada
Melky (yang disebar-luaskan dalam jejaring sosial facebook) maka jawabannya jelas
bahwa Eliazer Rahajaan telah memutar-balikan cerita sejarah. Karena itu, jelas juga
bahwa dia (mereka) tidak pernah mengisahkan “suasana” pertemuan di rumah Gerson
Rahaningmas itu kepada mel-mel yang lain, apalagi kepada ren-ren.
Hal kedua yang menunjukan adanya pengakuan sosial dan legitimasi
kedudukan ren-ren sebagai tuan tanah sekaligus keturunan penduduk asli adalah,
kedatangan Kepala Desa Sathean (salah satu Desa di Kei Kecil) tahun 200424
ke
Ohoiwait dalam menapaki sejarah asli. Kepala Desa Sathean, Anton Renyaan adalah
keturunan Bun Viktor25
yang berasal dari Ohoiwait dan pergi menetap di Sathean.
Ketika melakukan napak tilas sejarah itu, rombongan dari Sathean diantar oleh
Kepala Marga Rahajaan (Nehemya Rahajaan) untuk melihat Kasber (meriam) di
gunung Elyaur. Anehnya hampir tiga jam mengitari gunung itu mereka tidak
menemukan tumpukan batu dimana meriam itu diletakan. Akhirnya mereka
memutuskan untuk turun gunung atau pulang saja.
24
Data ini sebenarnya didapat tahun 2007 ketika pengurusan perkawinan Manasye
Rahaningmas dengan Margareta Retobjaan. Waktu ini peneliti masih mengajar di salah satu Sekolah
Tinggi di Tual, dan bersama rombongan pergi ke Sathean untuk meminta bantuan Anton Renyaan
(kepala desa) dalam pengurusan perkawinan itu. dan Anton menceritakan kisah ini. Kemudian pada
saat penelitian ini dilakukan, saya mengkonfirmasi kembali hal ini kepada Anton Notanubun 25
Bun Viktor adalah salah satu dari ketujuh orang yang disebut Baran Fit.
132
Ketika sedang dalam perjalanan turun gunung itu mereka bertemu dengan
Anton Notanubun yang lagi berada di Hoar Laai (kali/sungai besar), dia lagi
berkebun disitu. Kepala marga Rahajaan kemudian bertanya “turan, yau how hir tal
Sathean ya am rat mliik afa naa Elyaur ret, am ba ken waaid. Mtuung om how am rat
neke” (Opa, saya mengantar orang dari Sathean untuk melihat ‘barang’ di Elyaur tapi
kami tidak menemukannya. Tolong antar kami ke atas dulu). Mendengar itu, Anton
Notanubun menjawab “im bir afa ret mo, mhuak mhov umat lian rat hir liliki?”26
(apakah ‘barang’ itu punya kalian sehingga kalian mengantar orang lain untuk
melihatnya?). Walaupun AN berkata begitu, namun dia tetap memutuskan untuk
mengantar mereka, dan akhirnya mereka sampai ke gunung serta menemukan meriam
itu. Ketika hal ini dikonfirmasikan (pada saat penelitian) kepada Anton Notanubun,
dia menjawab “ya how fo umat tal Sathean wuk hir kai yaau i ohoi duan naa Ohoi i”
(saya antar supaya orang dari Sathean itu tahu bahwa saya adalah tuan tanah asli di
kampung ini).
Mencermati sikap dan perilaku yang tampak dilakukan oleh Gerson
Rahaningmas dan Anton Notanubun dalam dua kasus di atas, menunjukan masih ada
pengakuan akan keberadaan kelompok ren-ren di Ohoiwait itu. Secara sosiologis,
dapat dikatakan bahwa perilaku itu ditujukan pada perubahan hubungan-hubungan
sosial tertentu secara sadar atau pencegahan terjadinya maupun kelangsungannya
26
Kepala Desa Sathean mengisahkan kata-kata itu di tahun 2007, dan ketika saya tanyakan
mengapa dia masih mengingat kata-kata itu, katanya “sebab moment itu adalah sesuatu yang sangat
penting, dan juga menunjukan bahwa tuan tanah asli di Ohoiwait adalah opa itu dan bukan orang yang
dari awal mengantar kami.” Setelah mereka kembali ke kampung (Ohoiwait) kepala desa Sathean
mengutarakan keinginannya untuk mengunjungi rumah Anton Notanubun, dan kepala marga
Rahayaan mempersilakan tanpa bersedia untuk mengantar.
133
secara abadi. Ini artinya tindakan yang dilakukan oleh Gerson Rahaningmas, Anton
Notanubun, maupun Daud dan adik-adiknya bertujuan memperlihatkan kepada publik
(masyarakat Ohoiwait) bahwa mereka adalah tuan tanah asli dan bukan Rahajaan.
Sebab itu, tindakan tersebut perlu dipahami dalam kerangkan menumbuhkan
hubungan-hubungan sosial tertentu dalam kondisi-kondisi tertentu dengan mel-mel
yang dapat membuka ruang bagi adanya pengakuan sosial dan legitimasi terhadap
keberadaan berikut hak-hak mereka (ren-ren).
Kasus lain yang dapat mendemonstrasikan strategi investasi sismbolik adalah
ketika tahun 2007 (pasca meninggalnya kepala desa Librek Ingratubun), sekretaris
desa sekaligus Pelaksan Tugas (Plt) kepala desa Reveldus Kudubun mengangkat
Daud Rahaningmas sebagai Sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LKMD), inilah pertamakalinya seorang ren-ren di desa Ohoiwait memegang jabatan
di pemerintahan desa. Pengangkatan itu sebenarnya didasarkan atas pengalaman
Reveldus Kudubun bersama Daud Rahaningmas. menurut sekretaris desa ini, Daud
diangkat sebagai sekretaris LKMD sebab memang telah terbukti kemampuannya, dia
(sekdes) sering meminta bantuan kepada Daud untuk menyusun dan mengerjakan
beberapa program desa, dan ternyata berhasil. Atas dasar itu, sekretaris pernah
mengusulkan kepada kepala desa agar saudara Daud diangkat, namun kepala desa
masih keberatan tanpa alasan yang jelas. Akhirnya ketika kepala desa meninggal
barulah keinginan sekretaris itu terwujud. Daud Rahaningmas dan Reveldus Kudubun
(sekdes) dalam kehidupan sehari-hari mereka berteman dekat.
134
Daud Rahaningmas adalah lulusan SMA Negeri I Tual, yang diakui oleh
kelompok ren-ren maupun mel-mel sebagai yang juga memiliki wawasan luas. Saat
ini dia menjabat sebagai Penatua di gereja Elim Ohoiwait. Trajektori kehidupan yang
disertai dengan modal-modal yang dimilikinya, baik ekonomi, budaya, sosial maupun
simbolik telah membawa dirinya pada kelas yang sedikit berbeda dari ren-ren lainnya
dan menjadi individu yang memiliki pengaruh bagi mel-mel atau khususnya bagi
sekretaris desa saat ini. Dalam konteks seperti ini, maka habitus perlu terus
diwujudkan, habitus memang selalu berubah-ubah tergantung situasi (waktu) dan
kepemilikan modal-modal, sebab kondisi lingkungan sosial objektif bagi setiap
generasi tentu tidak sama.
Dalam hubungannya (pertemanan) dengan sekretaris desa itu, saling pengaruh
serta proses adaptasi atau penyesuaian terhadap lingkungan baru (mel-mel) terjadi dan
membentuk habitus baru yang dimiliki dan diakui orang lain. Pengakuan terhadap
pembawaannya (Daud) itu turut merembes pada pengakuan akan keberadaan istrinya
yang kemudian diangkat sebagai Guru Taman Kanak-kanak (TK) di Ohoiwait.
“Kelas baru” berdasarkan trajektori kehidupan muncul dan diakui atas diri dan
keluarga Daud Rahaningmas. Disinilah tampak nyata bagaimana perilaku individu
ditujukan bagi pembentukan hubungan-hubungan sosial baru yang berimplikasi pada
legitimasi kelas (status).
Selain itu, strategi edukatif yang bertujuan mengakumulasikan modal
simbolik termasuk investasi simbolik, juga dilakukan dengan cukup baik oleh
kelompok ren-ren ini, khususnya yang dilakukan oleh keturunan Laurens
135
(Rahaningmas) yang telah digambarkan dalam bab III.27
Tingkat pendidikan menjadi
ciri penting sekaligus pembeda dan pembentuk habitus kelas baru. Berdasarkan
tingkat pendidikan yang dimiki telah menciptakan habitus baru, dan menghasilakan
perbedaan gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan mereka.
Habitus baru berdasarkan strategi edukatif ini telah mengkonfirmasikan
kepemilikan modal ekonomi, budaya, sosial, maupun simbolik. Modal ekonomi yang
dimiliki tentu muncul tidak hanya berdasarkan kepemilikan tanah di kampung
halaman, namun juga berupa uang dan benda-benda berharga lain sebab mereka
memilih untuk tinggal dan bekerja di luar Pulau Kei. Sebagian dari modal ekonomi
yang mereka miliki digunakan untuk membantu saudara-saudara mereka di kampung.
Dalam perspektif Bourdieu hal ini akan turut memperkuat modal simbolik mereka
yang tinggal dikampung karena akan muncul pengakuan terhadap prestise maupun
status bahwa keluarganya adalah “orang berada”.
Selain itu, modal budaya yang merupakan keseluruhan kualifikasi intelektual
juga muncul dan dimiliki kelompok ini. Masyarakat Ohoiwait tahu bahwa Reinhard
Rahaningmas adalah dosen Universitas Arilangga Surabaya (UNAIR), dan Laurens
Kudubun adalah Pengacara/Advokat yang memiliki kantor sendiri di Surabaya, selain
itu semua gelar keserjanaan yang mereka miliki adalah juga didapatkan di Jawa.
Tentu kualifikasi intelektual ini menimbulkan prestise, status, dan kehormatan
tersendiri bagi diri dan kelompoknya, fakta ini akan membuat masyarakat untuk
27
Lihat uraian Bab III tentang silsilah keturunan, khususnya keturunan Frans, Gerson,
Hanggarget, Priskila, dan Reinhard. Dalam silsilah itu, setiap nama telah disertai dengan gelar yang
menunjukan tingkat pendidikan. Mereka yang tidak diberi gelar berdasarkan data hasil wawancara,
rata-rata memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
136
mengingat bahwa keturunan dari Laurens Rahaningmas itu berhasil dan juga
pintar/pandai.
Salah satu tradisi orang Ohoiwait (dan ini pasti merupakan kebiasaan setiap
orang), adalah kebiasaan untuk “menempelkan” foto-foto keluarga (yang berada di
rantau) didinding runag tamu rumahnya, dan kadang-kadang kelihatan narsis sebab
yang ditempelkan adalah foto-foto dalam moment-moment tertentu, seperti foto
wisudah, seminar, termasuk foto perkawinan, selain itu di atas meja atau lemari di
ruang tamu selalu ada album foto yang terkadang menarik perhatian tamu untuk
sekedar membukanya. Hal ini tentu berjutuan untuk selalu ingat kepada keluarganya
yang berada dirantau, namun juga memiliki efek lain, yakni orang lain yang bertamu
ke rumahnya akan terkagum-kagum bahwa keluarganya adalah orang-orang yang
berhasil “di luar sana”.
Pola seperti ini tentu harus dimaknai sebagai bagian dari strategi untuk
mendapatkan pengakuan, prestise dan kehormatan dari orang lain (terutama mel-mel)
yang berkunjung ke rumahnya. Pola interaksi antara ren-ren dan mel-mel memang
tidak terjadi secara intens, namun mekanisme Gereja tentang ibadah yang dilakukan
di rumah-rumah anggota jemaat secara bergilir tentu akan mempertemukan kedua
kelompok ini dalam rumah-rumah mereka. Walaupun mekanisme ibadah itu tidak
dimaksudkan untuk saling melihat foto atau saling menuji orang, tetapi perbincangan
atau pembicaraan sebelum dan setelah ibadah dirumah yang bersangkutan (baik ren
maupun mel) pasti memiliki keterkaitan dengan kondisi rumah itu, termasuk keadaan
137
keluarga-keluarganya. Di sinilah saling transfer pengetahuan tentang kondisi masing-
masing orang dan keluarga terjadi.
Berdasarkan uraian di atas, dan ketika diperhadapkan dengan konteks
reproduksi wacana di desa Ohoiwait tentang mel-mel sebagai bangsawan,
pintar/pandai, dan kaya, dan ren-ren sebagai orang kelas dua, tidak pandai/bodoh,
dan miskin, membawa saya pada sebuah pertanyaan menggelitik “apakah ren-ren itu
identik dengan orang-orang yang bodoh dan miskin?” Jawabannya tentu tidak benar.
Nimrot Rahanigmas yang menjawab kepala desa menunjukan bahwa itu
jawaban orang pandai; Daud Rahaningmas yang diangkat menjadi sekretaris LKMD
di Ohoiwait menunjukan bahwa dia tidak bodok; beberapa anak Frans Rahaningmas
yang menjadi PNS dan polisi di Papua menunjukan bahwa mereka orang-orang
pandai, dan tidak miskin; beberapa anak Louis Notanubun yang menjadi PNS di
Papua juga menunjukan bahwa mereka tidak bodoh dan tidak miskin; tidak ada
orang bodok yang diangkat sebagai dosen pada universitas sekaliber UNAIR; dan
ketika Laurens Kudubun bisa menjadi Pengacara/Advokat dan mampu mendirikan
kantornya sendiri di Surabaya, apakah masih bisa dikatakan sebagai orang bodok dan
miskin?.
Kalaupun jawabannya adalah benar bahawa ren-ren identik dengan bodoh dan
miskin, maka saya dapat merumuskan pernyataan bahwa “hanya orang bodok yang
mau mengangkat Daud Rahaningmas menjadi sekretaris LKMD di Ohoiwait;
pemerintah negeri ini terlalu bodok untuk mengangkat beberapa orang dari anak-anak
Frans Rahaningmas serta Louis Notanubun untuk menjadi abdi negara; hanya orang
138
bodok yang mau mengangkat Reinhard Rahaningmas sebagai dosen; dan hanya orang
bodoh yang mau menyerahkan kasusnya untuk ditangani oleh Laurens Kudubun.
Apakah demikian?.
Karena itu, wacana mel dan ren atau kasta di desa Ohoiwait dan lebih umum
lagi di Kei perlu didekati dan direproduksi ulang secara lebih cerdas, bahwa masalah
pintar/pandai, kaya dan miskin adalah dinamis, dan semua orang, siapapun dia bisa
mengalami hal itu. Bahwa di dunia ini tidak ada seorangpun atau sekelompok orang
yang telah ditakdirkan untuk selamanya menjadi bodoh dan miskin, atau pintar dan
kaya. Selain itu, saya berkeyakinan bahwa tidak ada bangsawan (dalam pengertian
Bangsawan seperti di Jawa) di Kei, yang ada adalah sekelompok orang mengklaim
diri sebagai penduduk asli, dan sekelompok lain sebagai pendatang, apakah mereka
bangsawan? Tentu tidak.
d. Mengharapkan Keajaiban: Sebuah Strategi Bertahan
Penjelasa di atas memberikan gambaran bahwa perjuangan ren-ren dalam
memperebutkan modal-modal dalam ranah serta mempengaruhi dominasi yang
dilakukan mel-mel terhadap mereka, dilakukan dalam suasan tanpa kekerasan.
Bahkan dalam beberapa kasus pengakuan tentang kedudukannya sebagai tuan tan
atau penduduk asli datang dengan sendiriya. Hal ini sekali lagi memperkuat
argumentasi bahwa tesis Martinus Ngabalin (2006) tentang “keturunan penduduk asli
Ohoiwait telah punah” adalah tidak tepat, termasuk sejarah tutur yang dikemukakan
Eliazer Rahajaan yang mengatakan bahwa keturunan Elyaur telah punah adalah tidak
benar.
139
Mengharapkan keajaiban, pemahaman seperti inilah yang dimiliki oleh
kelompok ren-ren. Hasil penelitian membuktikan bahwa mereka (ren-ren)
sebenarnya sangat sadar adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai tuan
tanah dan penduduk asli, namun secara kasat mata mereka tidak juga melawan.
Abstraksi terhadap realitas hidup kelompok ini, sampai pada satu titik terbentur pada
konsep ‘pasrah” dan “berharap” datangnya keajaiban. Fenomena ini mirip dengan
realitas sebagian (mungkin keseluruhan) masyarakat bangsa Indonesia yang terus
mengharapkan kedatangan sang Ratu Adil.
Perjuangan dengan kekerasan sejak awalnya memang bukan merupakan
“jiwa” dari kelompok ren-ren ini. Mereka lebih mengutamakan harmoni tatanan
sosial kehidupan bersama. Sebab itu, sejak awalnya ketika terjadi perpindahan
kekuasaan adat dengan terbunuhnya Bun Liisa, berlanjut pada masa “kegelapan” atau
foar faraha, dan munculnya wacana bahwa mereka telah punah bahkan juga
diwacanakan sebagai iri-iri (dalam pengerian budak), mereka pun tetap tidak
melakukan perlawanan dalam bentuk fisik dan kekerasan. Maka pertanyaannya apa
yang melatarbelakangi sikap seperti itu?
Makna Ohoiwait diyakini mempengaruhi pemahaman mereka untuk tidak
melakukan perbuatan yang menimbulkan “keributan” dan merusak tatanan adat.
Mereka memahami makna Ohoiwait secara lebih mendalam, tidak sekedar sebagai
sebuah ‘kampung baru’ yang berubah nama dari nama awal El Umel28
menjadi
Ohoiwait. “Wait” dalam bahasa Kei memiliki dua arti, yakni “baru” dan “hidup”
28
El Umel saat ini hanya digunakan sebagai nama Woma (pusat kampung). El Umel
bermakna “di atas (tanah) dataran itu saya tumbuh atau hidup”
140
sebab itu, secara umum masyarakat memankaninya sebagai “hidup di kampung baru”
hanya berdasarkan perubahan dari nama kampung itu.
Namun oleh kelompok ren-ren tidak hanya sekedar ‘hidup di kampung baru’,
mereka mengatakan bahwa kampung itu (Ohoiwait) adalah “kampung yang hidup”,
bukan saja orang-orang yang hidup mendiami kampung itu, namun “kampung itu
sendiri juga hidup.” Karena itu muncul konsep seperti “Ohoi Nliik” yang bermakna
“oleh karena kampung ini hidup maka ‘dia’ bisa melihat perilaku orang-orang hidup
yang juga hidup di dalamnya.” Itu artinya orang-orang yang hidup di kampung ini
harus berlaku adil dan jujur terhadap sejarah Ohoi Nuhu, tanpa itu mereka akan
“ditolak” oleh kampung ini–“Ohoi Ntuak.”
Pemahaman seperti itu mengindikasikan bentuk kepercayaan kepada leluhur
yang telah mati (meninggal) namun diyakini masih ‘hidup” dan menjaga kampung.
Kepercayaan ini tampak dalam konsep “Nit Teten hir bail Ohoi Nuhu” (lelulur yang
telah meninggal menjaga kampung halaman), prakteknya disebut “flurut nit atau tai
taryoman” yang masih ada sampai sekarang. Misalnya ada anggota keluarga yang
pulang kampung, atau hendak pergi meninggalkan kampung untuk merantau,
termasuk kegiatan membangun atau membongkar rumah, dan lain-lain, tai taryoman
ini selalu dilakukan. Tujuannya adalah memberitahukan segala kegiatan yang akan
dilakukan kepada leluhur yang telah mati. Caranya adalah menyiapkan siri, pinang,
tembakau, dan uang, dimasukan ke dalam piring kemudian meletakankan di atas
pintu atau jendela rumah.29
29
Waktu yang tepat adalah pada pagi dan sore hari, dan biasanya setelah 1-2 jam sudah boleh
diturunkan, namun ada juga yang dibiarkan samapi malam atau pagi hari berikutnya. Biasanya uang
141
Kepercayaan dan praktek inilah yang melatarbelakangi tindakan kelompok
ren-ren untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat melanggar adat, atau keributan-
keributan (konflik dengan kekerasan) di Ohoiwait. Sebab mereka sangat yakin bahwa
leluhur mereka akan marah. “Kemarahan Leluhur” yang telah mati itu dipahami
sebagai tampak dalam sakit-penyakit, lama/tidak menikah, lama/tidak punya anak,
dan lain sebagainya.
Pemahaman itulah yang membuat kelompok ren-ren selalu mengharapkan
datangnya “keajaiban” dan bagi saya (peneliti) “keajaiban” itu tampak dalam rentetan
peristiwa yang terjadi, seperti yang telah dijelaskan dalam berbagai strategi
memperebutkan modal-modal di atas. “Keajaiban” lain yang terjadi adalah bahwa
kelompok ren-ren (dan juga mel-mel) tidak pernah mengerti mengapa sekitar tahun
1960-an (tepatnya tahun 1967) Reinhard Rahaningmas sudah berkuliah di Surabaya,
yang selanjutnya diikuti oleh anak-anak dari saudara/saudarinya, termasuk cucu-
cucunya. Dengan demikian, falsafah “adat in ot rat naa dunyai” (terhormat atau
tidaknya seseorang tergantung dari perilaku dan tutur katanya), tampak dalam
pemahaman ren-ren itu.
4.2. Faktor-Faktor Yang Pendorong Strategi Ren-Ren
Berdasarkan penelitian ditemukan beberapa faktor yang mendorong strategi
ren-ren menghadapi dominasi mel-mel, diantaranya faktor budaya, sosial, pendidikan
dan politik. Harapannya dengan menjelaskan faktor-faktor ini, akan memberikan
kontribusi bagi ruang gerak kelompok ren-ren dalam upaya mempengaruhi dominasi
yang digunakan adalah uang logam. Uang ini kemudian harus dibawa ke gereja pada hari minggu
sebagai persembahan kepada Duad.
142
mel-mel. Faktor-faktor ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor pendukung atau
pendorong berbagai upaya (strategi) yang dilakukan ren-ren untuk keluar atau
setidaknya meminimalisasi dominasi mel-mel atas mereka, walaupun terkadang
faktor-faktor ini bisa juga menjadi penghambat. Atau dengan kata lain, pendorong
dan penghambat tergantung dari bagaimana mengkonstruksikannya. Beberapa faktor
tersebut, adalah :
a. Faktor Budaya
Dalam hidup manusia, kebudayaan secara umum dapat dipahami sebagai
arena dimana setiap orang dapat berupaya dengan kemampuannya mengolah realitas
demi memperoleh kemajuan serta peningkatan mutu kehidupannya. Karena itu, C.A.
van Peursen, mengemukakan bahwa, manusia dalam menghadapi realitas imanennya
itu tidak bertopang dagu, tetapi menerobos cengkraman fakta-fakta dengan
mengadakan penilaian dan mengangkatnya ke dalam keputusan dan kebijakan
(transenden).30
Berdasarkan penjelasan van Peursen di atas, maka faktor budaya yang
maksudkan sebagai pendorong upaya ren-ren untuk keluar dari dominasi itu adalah
soal interpretasi mereka terhadap hukum adat Larvul Ngabal dalam perspektif tom
tad (tuturan sejarah asli). Dalam hukum adat Larvul Ngabal yang memuat tujuh
pasal, dan merupakan hukum adat kebanggaan orang Kei, tidak ditemukan satu
pasalpun yang menjelaskan tentang kedudukan mel-mel, ren-ren, dan iri-iri. Karena
itu, ketika praktek pemerintahan adat yang dasarnya adalah hukum adat ini, kemudian
30
C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 10-17
143
harus direcoki dengan sistem kasta yang ketat maka, orang harus bertanya tentang
legalitas sistem kasta itu di dalam hukum adat.
Ketiadaan legalitas hukum yang mendasari praktek kasta di Ohoiwait,
maupun kepulauan Kei secara umum, menjadi motivasi tersendiri bagi kelompok ren-
ren bahkan iri-iri untuk bangkit dan mempertanyakan model praktek kasta yang
berimplikasi pada terdominasi, terdiskriminasi, bahkan tereliminasinya kelompok
ren-ren khususnya di Ohoiwait dari hak-hak mereka.
Pembacaan yang lebih cerdas terhadap hukum adat Larvul Ngabal, khususnya
pasal 7 yakni, hira ni intub fo ni, it did intub fo it did yang menghendaki atau
menuntut sikap jujur dan bermartabat telah mendorong ren-ren Ohoiwait untuk
“bergerak” dalam mereproduksi wacana-wacana tandingan bahwa mereka adalah
orang atau keturunan pendududk asli yang terabaikan hak-haknya akibat tipu-daya
yang dilakukan mel-mel.
b. Faktor Sosial
Sedangkan faktor sosial yang ditemukan sebagai faktor pendorong strategi
ren-ren dalam mempengaruhi dominasi mel-mel, muncul dalam beberapa tipe, yakni:
Pertama, modal sosial yang terbangun sejak awanya bahwa mereka adalah keturunan
rat Buyai (Kanar El) menciptakan solidaritas kelompok ren-ren sebab memiliki
identitas bersama sebagai penduduk asli. Modal sosial ini terutama tampak dalam
keputusan yang diambil oleh Anton Notanubun, dan Louis Notanubun dan anak-anak
anak-anak untuk tidak berada dibawah penguasaan siapapun, walaupun mereka
mengikuti marga Notanubun. Begitu pula dengan yang dilakukan oleh Frans
144
Rahaningmas, Gerson Rahaningmas, yang tidak juga berada dibawah penguasaan
mel-mel walaupun hak-hak mereka sebagai penduduk asli (tuan tanah) juga tidak bisa
dijalankan karena telah diambil alih oleh mel-mel.
Tipe kedua, bahwa hubungan-hubungan sosial dengan keluarga-keluarga yang
berhasil dan hidup menetap dirantau telah memberikan semangat dan kekuatan, sebab
hubungan yang terbangun itu secara langsung juga menambah modal-modal seperi
ekonomi, budaya, maupun simbolik bagi mereka (ren-ren) yang tinggal di kampung
(Ohoiwait). Dengan adanya modal-modal itu, mereka memiliki kekuatan untuk
bertarung memperebutkan modal-modal lain dalam ranah-ranah di kampung.
Tipe ketiga, adalah ren-ren sebagai identitas di Kei. Dalam masyarakat Kei,
ketika orang mengatakan ren-ren, maka ingatan si penutur dan pendengar sedang
tertuju pada komunitas pembentuk woma, mereka sebenarnya adalah pusat
kehidupan. Artinya, secara kultural (adat) kelompok ren-ren memegang peranan Luw
Sukat atau Mituduan sebab mereka adalah tuan tan yang bertugas mendoakan atau
memohon keselamatan Ohoi Nuhu (tanah air dan segala isinya) kepada Duan Duad
atau kepada Tuhan dan para Leluhur yang telah meninggal dunia.
Walupun dalam setiap Ohoi pengakuan hak-hak kelompok ren-ren ini tidak
sama, namun masyarakat Kei memahami bahwa yang disebut ren-ren selalu
berfungsi sebagai Mituduan yang memegang peranan untuk menghubungkan “dua
dunia yang berbeda” lewat doa. Ren sebagai identitas maka ada pengakuan terhadap
kedudukannya itu. Pada saat penelitian, saya sempat mengunjungi desa Ohoirenan,
Sather, Ohoiel, Waur, dan Ngufit dan secara acak mengajukan pertanyaan “tahukah
145
anda siapa tuan tanah Ohoiwait? 31
kepada orang-orang yang saya temui, jawabanya
seragam yakni ren-ren Ohoiwait, dan yang mereka maksudkan dengan ren-ren
Ohoiwait adalah mereka yang tinggal di Ohoi Un (ini adalah bagian kampung yang
ditempati oleh keturunan rat Kanar El).
Pengakuan desa lain terhadap eksistensi kelompok ren-ren sebagai penduduk
asli yang tinggal di Ohoi Un itu, bukan hanya baru muncul/tampak ketika penelitian
ini dilakukan. Pengakuan itu sudah terjadi sejak lama bahwa yang tinggal di Ohoi Un
itu adalah ren-ren dan mereka adalah penduduk asli. Ketiga tipe inilah yang membuat
saya untuk menyimpulkan bahwa faktor sosial atau solidaritas bersama ren-ren di Kei
mendorong upaya-upaya mereka dalam mempertanyakan hak-haknya.
c. Faktor Pendidikan
Perjuangan dalam mempengaruhi atau meminimalisir dominasi yang
dilakukan oleh mel-mel memang tidak hanya dilakukan oleh generasi muda, sejak
awanya upaya-upaya menuju kesetaraan hak itu sudah ada, namun belum terlalu
nampak. Upaya-upaya itu mulai muncul kepermukaan atau nampak jelas seiring
dengan munculnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak.
Itulah sebabnya, mengapa tahun 1967 Reinhard Rahanigmas harus keluar dari
Ohoiwait, bahkan Maluku untuk kuliah di Jawa (Surabaya), dan dalam waktu-waktu
berikutnya, sekitar tahun 1980–an diikuti oleh Laurens Kudubun dan akhirnya “jalan
ini” terbuka lebar bagi anak cucu Renhard Rahaningmas untuk menempuh di
31
Kelima desa ini adalah desa-desa yang terletak disebelah Utara dan Selatan desa Ohoiwait
yang dapat ditempuh dengan menggunakan Ojek atau speed dengan waktu antara 10-30 menit.
Walaupun secara metodologis, pertanyaan “lepas dan lewat’ seperti itu dapat diperdebatkan keakuratan
jawaban dari setiap orang, namun karena jawabannya seragam maka saya berkeyakinan bahwa
jawaban itu benar adanya.
146
Surabaya (Jawa). Hasil dari kesadaran akan pentingnya faktor pendidikan sebagai
dasar menggerakan komunitas agar mempengaruhi dominasi mel-mel ini mulai
nampak sekitar tahun 2000-an, ketika Reinhard dan juga Laurens untuk pertama
kalinya pulang ke kampung.
Kehadiran untuk pertama kalinya kedua tokoh sentral kelompok ren-ren di
Ohoiwait memberi semangat, kekuatan, dan harapan bagi mereka yang tinggal di
kampung bahwa ren-ren bukan orang bodoh dan miskin yang hanya bisa tinggal diam
dan menerima nasib buruk sebagai kelompok yang dinomor–duakan apalagi
dikatakan sebagai iri-iri. Semangat baru kelompok ren-ren muncul untuk berupaya
menyekolahkan anak-anak mereka, hasilnya sebagian dari mereka telah menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Papua, dan beberapa orang lainnya di Ambon, Maluku
Tengah.
d. Faktor Politik
Secara khusus saya melihat bahwa ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten Maluku Tenggara, Nomor 03 Tahun 2009 tentang Ratshap dan Ohoi,
memunculkan asumsi bahwa perjuangan kelompok ren-ren khususnya di Ohoiwait
dalam mengembalikan hak-hak mereka yang selama ini tidak dimilikinya menjadi
lebih memiliki dasar pijakan secara politik.
Memang ada masalah dengan Perda ini, ketika hendak mengembalikan
tatanan pemerintahan adat diperhadapkan dengan fakta pemekaran Kecamatan di Kei
Besar dan Kei Kecil yang secara administratif wilayah adat menjadi tidak jelas.
Namun saya tidak bermaksud atau berkepentingan untuk mengkaji masalah itu lebih
147
jauh dalam penelitian ini. Kepentingan saya adalah bahwa dengan munculnya Perda
tentang Ratshap dan Ohoi membuka ruang gerak bagi kelompok ren-ren. Hal ini
berkaitan dengan oposisi biner mel dan ren yang sudah dijelaskan pada bagian-bagian
sebelumnya.
Hal menarik dalam Perda ini adalah pada Bagian Ketiga, Syarat dan Cara
Pencalonan Orang Kai.32
Isi dari bagian ketiga ini hanya satu pasal, yakni pasal 7
yang terdiri dari 4 ayat. Untuk lebih jelas, maka 4 ayat dari pasal 7 itu adalah:
(1) Orong kai ditetapkan melalui pengangkatan atau pemilihan.
(2) Untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai Orong kai, harus
memenuhi persyaratan :
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 dan kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia serta Pemerintah;
d. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama dan/atau sederajat;
e. Berusia paling rendah 25 (dua) puluh lima tahun dan setinggi-
tingginya 60 tahun;
f. Bersedia dicalonkan menjadi kepala pemerintah Orong kai;
g. Penduduk Ohoi/Ohoi Rat setempat;
h. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan
dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun;
i. Tidak dicabut hak pilihnya sesuai dengan keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap;
j. Memenuhi syarat lain yang ditetapkan untuk itu.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf j
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah
(4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh hak, asal-usul, adat istiadat dan
budaya setempat;
Berdasarkan keempat ayat di atas, tidak ada ayat yang secara tegas dan jelas
mengatakan bahwa Orang kai harus berasal dari kelompok tertentu khusunya mel-
32
Orang Kai adalah sebutan bagi kepala Ohoi, setelah berubah statusnya dari Desa ke Ohoi
akibat ditetapkannya Perda ini. Sehingga sebutan Kepala Desa diganti dengan Orang Kai, yang
mungkin lebih bermakna kultural dalam pandangan para anggota legislatif yang menyusun Perda ini.
148
mel. Karena itu, klaim mel-mel bahwa merekalah yang berhak untuk memimpin suatu
Ohoi runtuh dengan sendirinya jika mengacu pada Perda ini. Selain itu, ada ketidak
jelasan pada ayat (3) yang mengharuskan ketentuan lanjutan dari ayat (1) dan (2)
huruf j diatur dalam Peraturan Daerah (mungkin yang dimaksud adalah Peraturan
Pelaksana dari Bupati).
Sedangkan pada ayat (4) dikatakan bahwa Peraturan Daerah itu “harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh hak, asal-usul, adat istiadat dan budaya
setempat.” Ayat (4) ini menurut saya masih memberikan peluang yang cukup terbuka
bagi kelompok ren-ren khususnya mereka yang hak-haknya terabaikan atau tidak
diakui untuk berjuang demi mendapatkan kembali hak-haknya itu. Dalam hal ini,
maka tuntutan untuk mereproduksi wacana berdasarkan tom tad asli menjadi penting
sekaligus mendesak bagi ren-ren Ohoiwait.
4.3. Kemampuan Mereproduksi Wacana: Menuju Lebenswelt Baru
Menuju lebenswelt (dunia kehidupan) atau field baru tidak dimaksudkan
bahwa kelompok ren-ren harus bangkit melawan, mendominasi dan mengeliminir
kelompok mel-mel (atau yang menyebut diri mel-mel) dari semua tatanan sosial dan
tatanan pemerintahan adat. Yang saya maksudkan dengan menuju lebenswelt baru
adalah sebuah tatanan kehidupan yang masyarakatnya saling bertoleran, saling
menghormati, saling menghargai keberadaan yang lain, dan saling mengakui hak dan
tanggungjawab individu maupun kelompok dalam kehidupan bersama. Dunia
kehidupan seperti ini memang baru bisa diharapkan atau diandaikan, sebab dalam
realitas hidup manusia selalu berwatak ingin menguasai.
149
Mengharapkan tatanan kehidupan atau sebuah dunia dengan orang-orang yang
mampu hidup seperti yang diutarakan di atas sama saja dengan apa yang diharapkan
oleh Habermas tentang “komunikasi bebas penguasa”. Keduanya sama-sama sulit
terwujut namun perlu diandaikan. Apabila mencermati pemikiran Bourdieu, Gramsci,
dan Habermas, benang merah yang ditawarkan ketiganya adalah mirip atau hampir
sama, ketiganya berupaya memberikan sebuah jalan keluar kepada mereka yang
terdominasi dan terdiskriminasi, walau dengan gaya yang berbeda. Selain itu,
tuntutan yang diisyaratkan oleh ketiganya juga sama yakni pendidikan bagi generasi,
walau Bourdieu cukup tegas dalam mengkritik praktek pendidikan sekolah yang
menurutnya berkontribusi dalam melanggengkan dominasi kelas penguasa.
Namun bagi ketiganya, pendidikan tetap menjadi fator penting untuk
mempersiapkan generasi yang mampu berargumentasi, sekaligus mampu
menjalankan strategi-strategi perjuangan demi memperebutkan modal-modal dalam
ranah. Pendidikanlah yang mampu mengangkat harkat dan martabat kelompok
subaltern untuk mempertanyakan dan mereproduksi kembali wacana kasta di India.
Sebab itu demi menuju lebenswelt yang baru di Kei khususnya di Ohoiwait, maka
dibutuhkan generasi muda yang cerdas dan mampu berpikir kritis dalam mengkritisi
praktek kasta yang tampak dalam pembagian seperti mel-mel, ren-ren, dan iri-iri
dengan segala embel-embelnya, yang seolah-olah terberi dan alami sehingga harus
diterima begitu saja.
Hanya dengan generasi muda yang kritis namun tetap mengapresiasi nilai-
nilai adat sebagai pengetahuan lokal yang mendasari tindakan mereka, maka
150
lebenswelt yang baru secara perlahan akan nampak. Falsafah hidup masyarakat Kei
seperti: ain ni ain; vuut ain mehe ni ngifun manut ain mehe ni tilur; dan adat in ot rat
naa dunyai, serta yang lainnya semuanya mengerucut pada premis “mangajarkan
orang Kei untuk hidup damai dan toleran terhadap yang lain, demi terwujudnya
persatuan dan kesatuan orang Kei.” Sebab itu, nilai-nilai adat (budaya) seperti ini
jangan sampai “dirusak” oleh reproduksi wacana mel, ren, dan iri yang salah kaprah
tersebut. Karena itu, bagi saya jika orang Kei khususnya di Ohoiwait masih
mempertahankan wacana kasta seperti itu, maka mereka telah mengalami
kemunduran atau degradasi pemikiran dari leluhur mereka yang masih dikategorikan
sebagai tradisional dan primitif, atau memang lebih primif dari pada leluhur mereka.
Menuju lebenswelt baru yang dasarnya adalah solidaritas, mensyaratkan
bentuk komunikasi yang bebas tekanan, bebas penguasa atau dengan kata lain
dibutuhkan komunikasi yang setara. Pola komunikasi yang setara ini memang sulit
terwujud jika dilakukan oleh “generasi tua”, sebab mereka masih mempertahankan
serta mewarisi nilai-nilai lama, yakni wacana kasta yang saya sebut salah kaprah di
atas. Pamahaman tentang kasta yang salah kaprah itu hanya bertujuan
melanggengkan status quo, karena itu diperlukan pembacaan baru yang lebih kritis
terhadap praktek kasta itu.
Reproduksi wacana tentang kasta yang perlu dikemukakan adalah soal
konsensus persaudaraan sebagai kakak dan adik pada pertemuan mula-mula dua
komunitas itu. Selain itu, perlu dikembangkan pemahaman bahwa ‘tidak ada individu
atau kelompok yang hadir di dunia ini dengan kodrat sebagai orang bodoh dan
151
miskin; dan yang lain hadir dengan kodrat sebagai pandai dan kaya.” Bahwa bodoh
dan pandai, miskin dan kaya adalah konsep-konsep yang dinamis dan tidak
terwariskan atau secara alami telah menjadi kodrat ketika seseorang dilahirkan.
Diskursus argumentatif dan kritik ala Habermas perlu dimulai lewat “pintu masuk”
seperti itu.
Klaim kebenaran dan klaim ketepatan perlu selalu didiskursuskan, namun
bukan dengan tujuan menciptakan kelompok penguasa baru yang mendominasi dan
mengeliminir yang lain. Tetapi tindakan komunikatif itu diupayakan dalam
kerangkan mengembalikan tatanan sosial asli masyarakat Kei yang hidup sebagai
saudara, yang mengakui hak-hak kelompok lain, yang tidak mengeliminir kelompok
lain demi mempertahankan kekuasaan.
Dengan berdasar pada falsafah yang telah dikemukakan di atas, dan
munculnya generasi muda Kei khususnya di Ohoiwait yang kritis, maka jalan menuju
komunikasi yang setara itu terbuka. Minimal hal ini telah dilakukan oleh Daud
Rahaningmas dan sekretaris desa Reveldus Kudubun yang telah membuahkan hasil,
keduanya tidak saling berkonflik atau membunuh atas nama perbedaan kelas, mereka
menjalin pertemanan sejati dalam kehidupan yang damai.
Kemampuan mereproduksi wacana kasta untuk menuju lebenswelt yang baru,
akan membuka ruang bagi perebutan modal-modal sosial dalam ranah dengan lebih
“tertib” dan lebih bermartabat. Dengan demikian akan muncul model-model habitus
baru yang tidak lagi berwatak sangar untuk meniadakan yang lain, namun lebih
toleren, bermartabat, dan mengakui keberadaan orang lain. Untuk itu, diskursus
152
komunikatif harus dilakukan dengan bentuk kesadaran yang tinggi serta kebulatan
tekad untuk berani mengatakan serta mengaplikasikan pasal 7 hukum adat Larvul
Ngabal, “hira ni intub fo ni, it did intub fo it did” (mengakui kepunyaan orang lain
dan kepunyaan sendiri). Aplikasi pasal ini memang memerlukan kebulatan tekad dan
kejujuran. Jujur untuk mengakui bahwa “sesuatu” itu adalah milik orang lain, atau
bukan miliknya, sebaliknya “sesuatu” itu miliknya dan bukan milik orang lain.
Kejujuran memang menjadi kunci untuk segala sesuatu, dan dalam praktek
kasta di Ohoiwait, kejujuran itu seakan hilang atau menjauh dari orang-orang
Ohoiwait khususnya mel-mel, seoalah-olah tidak ada Hukum Laevul Ngabal. Atau
dengan sedikit bernada keagamaan, bagi mereka yang beragama Kristen seolah-olah
(atau memang telah) lupa bahwa Yesus pernah berkata “katakan ya di atas ya, dan
tidak di atas tidak”. Sebab itu, ketika kejujuran terhadap diri serta orang lain dan
komitmen terhadap tatanan sosial budaya yang asli maupun yang sedang berkembang
menjadi dasar mereproduksi wacana kasta di Ohoiwait, serta diskursus komunikatif
dapat terbangan antar generasi muda yang memiliki wawasan kritis, maka jalan
menuju kehidupan sosial (lebenswelt) yang baru terbuka lebar. Di sinilah falsafah
adat in ot rat naa dunyai, diuji.