Upload
phungtuyen
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
33
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Kategori Polisi yang Ideal
Dalam menganalisis film ENIGMA ini, peneliti membuat kategorisasi
tentang bagaimana citra polisi bisa menjadi positif di mata masyarakat. Peneliti
membuat empat kategorisasi berdasarkan apa yang dijelaskan Farouk Muhammad
dalam buku Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118) tentang bagaimana
sosok polisi yang ideal. Farouk Muhammad pernah menjabat sebagai Kapolda
NTB (2001) dan Kapolda Maluku (2001-2002). Beliau dilantik menjadi Inspektur
Jenderal Polisi pada tahun 2002. Saat ini, beliau menjabat sebagai wakil ketua
DPD-RI periode 2014 – 2019. Berikut penjelasan Farouk Muhammad tentang
sosok polisi yang ideal :
1.Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan
Karena dia berhadapan dengan perilaku manusia. Dia adalah figur yang
dibebani kewajiban untuk memperbaiki perilaku yang tidak baik, yang salah,
atau tidak sesuai dengan norma. Dia harus menghargai dulu orang yang ia mau
ubah perilakunya. Dia harus menghadapinya secara manusiawi. Polisi harus bisa
menunjukkan empatinya.
2.Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai hak-hak asasi manusia
Harus dijauhi sikap yang arogan, menunjukkan kekuasaannya bahwa seolah-
olah dia seorang figur penguasa. Hal-hal seperti itu harus disingkirkan dari
sikap seorang polisi.
3.Polisi juga harus fair
Dia harus memperlakukan semua orang dengan sama.
34
4.Polisi juga harus jujur dan amanah.
Apapun yang dimiliki polisi, entah itu kekuasaan atau senjata, adalah amanah
yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.
5.2 Analisis Semiotik Roland Barthes Pada Film “ENIGMA” Serial
“Kematian Alana”
Korpus 1
Kategori 1 (Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan). Terdapat tiga adegan
yang sesuai dengan kategori pertama, diantaranya terdapat pada scene 4, scene 7,
dan scene 25 (Episode 1).
Gambar 3 Gambar 4
(Scene 4, Episode 1) (Scene 7, Episode 1)
Gambar 5
(Scene 25, Episode 1)
35
1.Makna Denotatif
Secara denotatif, gambar 3 menampilkan adegan AKP Nina yang memakai
baju hitam sedang merangkul Ibu Soffie yang baru saja diberi kabar bahwa Alana,
anaknya telah tewas. Ibu Soffie menyandarkan kepalanya di dada AKP Nina
dengan raut wajah menangis. Pada bagian kiri bawah, terlihat jelas tangan kanan
AKP Nina merangkul erat Ibu Soffie.
Gambar 4 menampilkan adegan Ibu Soffie yang melihat jasad anaknya di
ruang autopsi. Di dalam ruangan terdapat dua petugas rumah sakit mengenakan
baju putih dan ada AKP Nina juga Iptu Ardi di samping ibu Soffie mengenakan
baju hitam. Terdapat dua lampu berwarna orange tepat diatas jasad Alana. Jasad
Alana dibaringkan di sebuah meja besi dengan ditutup kain putih polos diseluruh
badan kecuali telapak kaki dan bahu sampai ujung rambut yang masih terlihat. Ibu
Soffie membungkukkan badan, memegang kepala Alana sambil menangis. Disaat
bersamaan, Iptu Ardi mengusap punggung ibu Soffie dan AKP Nina memegang
lengan kanan ibu Soffie dengan tangan kanannya dan mengusap punggung ibu
Soffie dengan tangan kirinya.
Gambar 5 menampilkan adegan Iptu Bimo mengelus bahu Bapak Arman,
Ayah dari Alana Jasmine di pintu masuk ruang autopsi. Iptu Bimo mengenakan
jaket hitam, sedangkan Bapak Arman yang berkacamata mengenakan kemeja
lengan panjang berwarna ungu dengan dasi berwarna merah maroon. Keduanya
sedang berdiri di pintu masuk ruang autopsi. Bapak Arman terlihat setengah
menundukkan kepala dengan raut wajah ingin menangis. Tepat di depan Bapak
Arman, Iptu Bimo mengusap bahu Bapak Arman dengan tangan kirinya.
Dari ketiga gambar, dibagian kiri atas terdapat tulisan ENIGMA.
Sedangkan bagian kanan atas terdapat tulisan NET. dan sebelah kanannya ada
tulisan HD. Tulisan “ENIGMA” dibagian kiri atas gambar, menunjukkan judul
program yang sedang tayang di televisi tersebut. Sedangkan tulisan “NET.”
dibagian kanan atas gambar menunjukkan program “ENIGMA” ditayangkan di
televisi NET. Disamping kanan tulisan “NET.” terdapat tulisan HD yang artinya
36
kualitas gambar tayangan tersebut memiliki resolusi HD. HD merupakan
singkatan High Definition yang mempunyai arti resolusi tinggi. Standar HD yang
diakui internasional memiliki kriteria dimana resolusinya adalah 1280 x 720 dan
1920 x 1080 pixels. Berdasarkan deskripsi yang nampak visual pada ketiga
gambar tersebut, secara denotatif maka makna yang diperoleh adalah polisi yang
digambarkan bisa menunjukkan empatinya terhadap masyarakat.
2. Makna Konotatif
Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna konotatif
dari ketiga gambar di atas bahwa polisi memiliki empati dan menghadapi
masyarakat secara manusiawi agar polisi memiliki citra positif di masyarakat. Hal
ini ditunjukkan dengan adegan polisi yang memeluk serta merangkul
masyarakatnya yang sedang ditimpa kesedihan. Merangkul ataupun memeluk
merupakan salah satu dari bahasa tubuh yang selalu digunakan orang pada
umumnya. David Cohen dalam buku Body Language (2009) mengatakan bahwa
merangkul adalah upaya untuk menghibur. Seseorang yang dirangkul akan merasa
dirinya lebih baik daripada sebelumnya. Pada gambar 4 dan 5 menunjukkan
bahwa polisi sedang mengusap dan mengelus orang tua korban pembunuhan.
Elusan di sini memiliki makna mengharapkan seseorang dalam keadaan baik atau
mengharapkan mereka dapat melalui hari dengan baik (Gordon 2006:172). Secara
konotasi, dapat dimaknai bahwa polisi memiliki hubungan yang dekat dengan
masyarakatnya. Elusan dan usapan lembut adalah perilaku-perilaku sentuhan yang
hanya bisa dilakukan pada orang yang memiliki hubungan dekat (Gordon
2006:172). Dari ketiga gambar pada korpus 1, polisi digambarkan menghibur
masyarakat yang sedang mengalami kesedihan. Melalui adegan tersebut jelas
membuat citra polisi menjadi positif di pandangan masyarakat. Hal ini senada
dengan pendapat Gordon (2006:167) bahwa kontak badan seperti merangkul dan
memeluk merupakan orang yang cenderung memiliki sikap yang lebih positif.
Maka dengan begitu masyarakatpun akan memandang polisi sebagai orang yang
bersikap positif.
37
Empati tentu dibutuhkan polisi agar menjadi sosok polisi yang ideal bagi
masyarakat. Sayangnya, belum semua polisi yang memiliki sifat empati tersebut.
Khususnya di Indonesia, peneliti melihat bahwa terdapat polisi yang masih kurang
empati berdasarkan berita yang peneliti baca di web CNN Indonesia dengan judul
“Cerita Empati Polisi dan Gas Air Mata” (01/07/2016). Pada intinya berita
tersebut mengisahkan Megiza, seorang karib yang kena penipuan belanja online
hendak melapor ke kantor Polsek Duren Sawit, Jakarta Timur (26/6). Sesampai di
Polsek, Megiza bergegas menuju ruang Sentra Pelayanan Masyarakat (SPK).
Kemudian seorang polisi berpangkat Aiptu menerima laporan Megiza dengan
santai (sesantai orang yang tidak menghadapi masalah), bahkan juga ada petugas
polisi yang menanggapi acuh tak acuh. Kemudian saat Megiza mau numpang
print barang bukti ke ruang Subnit III Reserse Kriminal, terdapat tiga penyidik di
ruang tersebut sedang duduk menatap layar ponsel masing-masing dan para
penyidik tersebut tampak tak berminat membantu. Kesimpulan dari penulis berita
tersebut, ada yang salah dengan empati para petugas polisi ini. Berhati-hati dan
memupuk rasa empati, perlu menjadi perhatian penting Korps Bhayangkara1 .
Kasus tersebut merupakan salah satu kasus dari sebagian banyak kasus yang
mencerminkan mitos yang ada di Indonesia. Mitos yang menyatakan bahwa polisi
sejak dahulu kurang berempati dengan masyarakatnya. Kasus tersebut juga tidak
mencerminkan ideologi Pancasila yang dianut oleh masyarakat Indonesia yakni
kemanusiaan yang adil dan beradab.
1 Kandi, Rosmiyati D. 15 Juli 2016. Diakses dari
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160701125459-12-142384/cerita-empati-polisi-dan-gas-
air-mata/
38
Korpus 2
Kategori 2 (Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai hak-hak asasi
manusia). Terdapat dua adegan yang sesuai dengan kategori ke-dua, diantaranya
terdapat pada scene 8 (Episode 1) dan scene 2 (Episode 3).
Gambar 6 Gambar 7
(Scene 8, Episode 1) (Scene 2, Episode 3)
1.Makna Denotatif
Secara denotatif, gambar 6 menampilkan adegan Iptu Ardi yang sedang
memberikan minum kepada ibu Soffie. Terlihat ibu Soffie yang mengenakan kaos
berwarna hitam sedang mengepalkan tangan kanannya dan tangan kirinya
menggenggam tangan kanannya. Dibagian kanan gambar, Iptu Ardi yang
mengenakan baju hitam dengan memakai kalung tanda pengenal kepolisian
sedang membungkukkan badannya sambil menyodorkan satu gelas air putih
kepada ibu Soffie dengan tangan kanannya. Gambar 7 menampilkan adegan Iptu
Ardi sedang meminta Citta untuk ikut penyidikan ke kantor polisi. Pada adegan
ini, Citta telah menolak terlebih dahulu ajakan Iptu Ardi. Setelah itu terlihat Iptu
Ardi memakai jaket hitam dengan sedikit membungkukkan badan dan dengan
mempertautkan kedua telapak tangannya semacam jari-jarinya membentuk
menara, berbicara lembut kepada Citta agar Citta mau ikut ke kantor polisi. Tepat
di depan Iptu Ardi, ada Citta yang sedang berdiri mengenakan jaket berwarna
coklat sambil melihat gerakan isyarat tangan Iptu Ardi. Berdasarkan ciri – ciri
yang nampak pada gambar 6 dan gambar 7, peneliti menemukan dua aspek,
diantaranya adalah budaya dan bahasa tubuh. Model berpakaian merupakan salah
39
satu dari unsur-unsur yang bisa menunjukkan identitas budaya rakyat. (Schreiter,
2006 : 89)
2. Makna Konotatif
Secara konotatif, gambar 6 dilihat dari aspek budayanya, peneliti condong
melihat dari model berpakaian. Ibu Soffie dan Iptu Ardi berpakaian dengan warna
hitam. Hal tersebut menunjukkan bahwa suasana hati Ibu Soffie masih dalam
kedukaan mendalam atas kematian Alana. Baju Hitam yang dipakai Iptu Ardi
menunjukkan bahwa dirinya juga turut merasakan duka yang mendalam atas
kematian Alana. Warna hitam melambangkan kematian atau kesedihan.2 Gambar
6 memiliki makna bahwa polisi santun menghadapi warganya. Seperti yang
dijelaskan oleh Farouk Muhammad, kata santun disini dapat diartikan seorang
polisi yang mempunyai sikap tidak menunjukkan kekuasaannya seolah dia figur
penguasa. Hal itu dapat dibuktikan dari bahasa tubuh Iptu Ardi. Dengan badan
yang membungkuk, Iptu Ardi memberikan segelas air putih kepada Ibu Soffie.
Badan yang membungkuk menunjukkan kerendahan hati (Gordon, 2006:116).
Begitupun sebaliknya, sikap tubuh yang tegak menunjukkan status yang tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang polisi juga setara dengan warga ataupun
masyarakat biasa. Bisa diartikan juga bahwa polisi tidak lebih tinggi statusnya
dari pada warga biasa. Segelas air putih yang dibawa Iptu Ardi menunjukkan
kesederhanaan seorang polisi yang ingin memberi ketenangan pada warganya.
Gambar 7 secara konotatif menunjukkan bahwa polisi menghargai hak-hak
asasi manusia. Polisi tidak bersikap arogan. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan
adegan Iptu Ardi yang ditolak Citta untuk ikut ke kantor polisi. Saling menghargai
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, terutama ketika terjadi perbedaan,
termasuk perbedaan gender. Sikap penghargaan kepada orang lain berarti tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain (Tim Pusat Studi Pancasila UGM dan
Tim Universitas Pattimura Ambon, 2014:475). Sikap Iptu Ardi yaitu tidak
2 Nasution, Siti F . 18 Juli 2016. Diakses dari
http://www.kompasiana.com/sitifatimahnasutionikom/pakaian-hitam-saat-melayat-budaya-atau-
kebiasaan_551fa83ca33311d42bb6728d
40
memaksa, lalu mengajaknya kembali dengan memakai bahasa tubuhnya. Dengan
sedikit membungkukkan badan dan dengan mempertautkan kedua telapak
tangannya semacam jari-jarinya membentuk menara, Iptu Ardi mulai membujuk
Citta dengan kata-kata dan dibantu oleh gerakan non-verbal. Akhirnya Citta pun
menuruti permintaan Iptu Ardi. Sebuah tim peneliti menemukan bahwa ketika
orang sedang aktif, dengan berbagai gerakan non-verbal, maka mereka akan
digolongkan sebagai orang yang hangat, lebih kasual, ramah dan energik. Gerak-
gerik dan gerakan tubuh yang terbuka dapat menjadi cara yang sangat berguna
untuk bisa menciptakan komunikasi yang hangat, penuh kepercayaan dan
keramahtamahan. Khususnya ketika kita ingin memengaruhi seseorang supaya
berubah pikiran atau membuat mereka bersedia melakukan tindakan tertentu yang
sebetulnya tidak mereka inginkan. (Gordon, 2006:104)
Sikap tidak arogan perlu dijalankan oleh seorang polisi agar menjadi sosok
yang ideal bagi masyarakat. Dengan tidak menggunakan pangkat atau jabatannya
untuk menunjukkan dirinya memiliki status yang lebih tinggi, membuat sosok
polisi terlihat rendah hati dan tidak arogan di pandangan masyarakat. Bukan
seperti sikap polisi yang peneliti temui di web merdeka.com dengan judul “Polisi
pukul kepala pemotor, diprotes malah pamer pangkat” (17/02/2016). Wiwin
Susilowati, seorang ibu asal Klaten, Jawa Tengah, mengaku menjadi korban
kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Pemilik akun Facebook Sella Bunda
Rifat mengeluhkan tindakan polisi yang bernama Sriyanto. Seluruh keluh
kesahnya diunggah melalui akun Facebook miliknya. Ibu Sella menjelaskan saat
sedang mengantarkan anaknya yang bernama Rifat pergi ke sekolah, dia bertemu
razia (operasi) kendaraan bermotor. Kemudian saat melewati pembatas operasi, bu
Sella terkena pukulan Iptu Sriyanto yang mengarah ke kepala ibu Sella dan
mengenai helmnya. Secara langsung bu Sella bertanya alasan mengapa Iptu
Sriyanto memukulnya. Lalu beginilah jawaban Iptu Sriyanto: “klo gak terima
laporkan saja nama saya ini (sambil tunjukin nama) pangkat saya ini (sambil
tunjukin pangkat)”. Merasa ditantang, ibu Sella langsung melaporkan kelakuan
polisi tersebut ke Propam Polres Klaten. Laporan tersebut diberi nomor
41
SPTL/01/II/2016/Propam.3. Kasus yang terjadi di Klaten ini membuktikan bahwa
dalam realitanya masih ada polisi yang menjadikan jabatannya atau menunjukkan
kekuasaannya sebagai seorang figur penguasa.
Korpus 3
Kategori 3 (Polisi juga harus fair). Terdapat empat adegan yang sesuai dengan
kategori ke-tiga, diantaranya terdapat pada scene 18, scene 19, scene 22, dan
scene 34 (Episode 3).
Gambar 8 Gambar 9
(Scene 18, Episode 3) (Scene 19, Episode 3)
Gambar 10 Gambar 11
(Scene 22, Episode 3) (Scene 34, Episode 3)
1.Makna Denotatif
Secara denotatif, gambar 8 menampilkan adegan Iptu Bimo berada di
ruangan kerja nya sedang menginterogasi William. Dimeja kerja Iptu Bimo
3 Pratomo, Yulistyo . 18 Juli 2016. Diakses dari http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-pukul-
kepala-pemotor-diprotes-malah-pamer-pangkat.html
42
terdapat beberapa map yang berisi dokumen penting, secangkir kopi, laptop
berwarna abu-abu, telepon dan segelas air putih dengan tutup berwarna hijau
untuk William. Tepat di depan Iptu Bimo, William yang mengenakan kemeja
hijau kebiru-biruan sedang duduk bersandar dengan tangan yang dilipat dan di
sandarkan di atas tepat ditengah antara kedua paha nya. Gambar 9 menampilkan
adegan Iptu Ardi berada di ruangan kerjanya sedang menginterogasi Citta. Iptu
Ardi yang memakai jaket hitam serta mengenakan kalung tanda pengenal polisi
sedang duduk mengetik dengan mesin ketik dimeja kerja nya. Selain mesin ketik,
di meja kerjanya terdapat juga beberapa map yang berisi dokumen penting,
secangkir kopi, lampu meja, telepon, dan segelas air putih dengan tutup berwarna
hijau untuk Citta. Tepat di depan Iptu Ardi, Citta yang mengenakan jaket coklat
sedang duduk bersandar dengan menggenggam handphone ditangannya. Gambar
10 menampilkan adegan Iptu Ardi berada di ruangan kerjanya sedang
menginterogasi Lala. Iptu Ardi yang memakai jaket hitam serta mengenakan
kalung tanda pengenal polisi sedang duduk mengetik dengan mesin ketik dimeja
kerjanya. Selain mesin ketik, di meja kerjanya terdapat juga beberapa map yang
berisi dokumen penting, secangkir kopi, lampu meja, telepon, dan segelas air
putih dengan tutup berwarna hijau untuk Lala. Tepat di depan Iptu Ardi, Lala
yang mengenakan kaos dengan motif bergaris hijau putih sedang duduk dengan
badan tegap dan sedikit condong ke depan dengan m enyandarkan tangannya di
meja. Gambar 11 menampilkan adegan AKP Nina berada di ruangan kerjanya
sedang menginterogasi Tezar. AKP Nina yang memakai jaket hitam sedang
melipat tangannya dan disenderkan di meja. Di meja kerjanya terdapat beberapa
map dan dokumen penting, sebuah laptop, satu layar LCD komputer lengkap
dengan keyboard nya, tempat pena berwarna hitam, secangkir kopi, dan segelas
air putih dengan tutup berwarna hijau untuk Tezar. Tepat di depan AKP Nina,
Tezar yang mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak hitam putih sedang duduk
bersandar dengan kepala yang sedikit menunduk dengan tangan kiri yang
terangkat ke wajahnya.
43
2. Makna Konotatif
Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna konotatif
dari ke-empat gambar pada Korpus 3 bahwa polisi fair terhadap masyarakatnya.
Kata Fair berasal dari bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia adalah kata Adil. Menurut pendapat Frans Magnis Suseno, pengertian
keadilan yakni keadaan dimana seseorang diperlakukan dengan sama sesuai
dengan hak serta kewajibannya masing-masing. Sedangkan keadilan menurut
W.J.S Poerwadarminto yakni tak berat sebelah, sepatutnya tak sewenang-
wenang.4
Kesan pertama ketika kita melihat ke-empat gambar di atas secara
keseluruhan adalah polisi itu fair. Hal tersebut dapat di tunjukkan lewat mereka
berempat (William, Citta, Lala, dan Tezar) yang di perlakukan dengan sama oleh
polisi yaitu diberi tempat duduk, segelas air putih dan tak ada kontak fisik atau
kekerasan diantara mereka. Segelas air putih dengan tutup hijau di meja kerja
masing-masing seorang polisi. Saat diinterogasi, urut sesuai nomor gambar, mulai
dari William, Citta, Lala, dan Tezar, mereka semua mendapatkan segelas air putih
yang sama. Selain dari segelas air putih, perlakuan polisi terhadap William, Citta,
Lala dan Tezar menunjukkan bahwa polisi itu fair. Polisi digambarkan tidak
sewenang-wenang melakukan kontak fisik seperti tindakan kekerasan terhadap
orang yang diinterogasi. Seperti yang dimaksud oleh Farouk Muhammad dalam
Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118), fair artinya polisi harus
memperlakukan semua orang dengan sama. Pada adegan dalam ke-empat gambar
tersebut (gambar 8, 9, 10, dan 11), polisi memperlakukan semua orang dengan
sama.
Tetapi pada realitas yang ada, polisi di Indonesia sepertinya masih sulit
untuk memperlakukan semua orang dengan sama. Satu minggu sebelum film
“Enigma” perdana tayang, terdapat sebuah acara talkshow “Kick Andy” di Metro
TV yang mengundang korban salah tangkap di Indonesia. Di antaranya ada dua
4 Khasanah, Uswatun . 18 Juli 2016. Diakses dari
http://www.mediapusat.com/2015/05/pengertian-keadilan-menurut-ahli-serta.html
44
korban, yang pertama adalah Dedi bin Mugeni (34), seorang tukang ojek yang
dituduh membunuh supir angkot pada 18 September 2014. Dedi mengalami
kekerasan fisik yang dilakukan polisi. Ia kerap ditonjok dan ditendang oleh
penyidik Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur. Ia ditangkap, dianiaya hingga
dipenjara tanpa bukti.5 Kedua adalah Syamsul Arifin (27), pemuda warga
Rungkut Mejoyo, Surabaya, Jawa Timur. Syamsul ditangkap pada 8 Februari
2011 oleh aparat Polda Jawa Timur. Syamsul dituduh mencuri televisi 21 inchi
milik tetangganya. Sejumlah bogem mentah dan tendangan dari oknum polisi pun
melayang ke tubuhnya. Bahkan, sebuah balok kayu dipukulkan ke kaki kanannya,
sehingga membuatnya harus merasakan penderitaan yang berkepanjangan.
“Akibat dipukul kayu, kaki saya bila kedinginan merasa sakit. Bila sudah
bergerak, kaki ini terasa sakit bila mau diluruskan,” ucapnya. Syamsul juga
sempat mengalami kepalanya ditutup kantong kresek hingga sulit bernapas. 6 Hal
tersebut bias dengan perlakuan polisi terhadap Jessica Kumala Wongso, tersangka
kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Mirna tewas seketika setelah minum
kopi yang bercampur sianida. Kasus pembunuhan ini terjadi di Kafe Olivier,
Grand Indonesia, Jakarta pada 6 Januari 2016. Jessica diduga menaruh sianida
dalam es kopi Vietnam yang diminum Mirna. Pada 19 Januari 2016, Pemyidik
memanggil Jessica untuk diperiksa. Setelah pemeriksaan selesai, Jessica keluar
dengan tersenyum dan enggan berbicara saat dihampiri wartawan.7 Menurut
Kompolnas Edy Hasibuan, Jessica tampak santai dan tidak terlihat raut wajah
tertekan atau stres karena pemeriksaan yang dilakukan penyidik kepolisian.8
Tidak hanya dari pihak kepolisian yang mengatakan bahwa Jessica diperiksa
5 Ansyari, Syahrul. 17 November 2015. Diakses dari
http://metro.news.viva.co.id/news/read/655611-derita-dedi--korban-salah-tangkap-polisi#
6 Suhendi, Adi. 23 Juni 2016. Diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/13/ini-
pengakuan-korban-salah-tangkap-polisi?page=2
7 Pratama, Akhdi Martin. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica
.kumala.wongso.
8 Rimadi, Lukman. 25 Juli 2016. Diakses dari http://news.liputan6.com/read/2424813/kompolnas-
datangi-polda-metro-pastikan-jessica-diperlakukan-baik
45
dalam keadaan baik, dari pihak Jessica juga mengatakan hal serupa. Kuasa hukum
Jessica menyebut bahwa polisi memperlakukan kliennya dengan baik.9 Perlakuan
yang dialami oleh Dedi dan Syamsul tentu bias dengan yang dialami Jessica.
Perlakuan polisi terhadap mereka tidaklah sama. Berdasarkan kasus tersebut,
menunjukkan pada kenyataannya polisi masih sulit bekerja dengan fair.
Korpus 4
Kategori 4 (Polisi juga harus jujur dan amanah). Terdapat satu adegan yang sesuai
dengan kategori ke-empat, yaitu terdapat pada scene 29 (Episode 3).
Gambar 12
(Scene 29, Episode 3)
1.Makna Denotatif
Secara denotatif, gambar 12 menampilkan adegan AKP Nina yang sedang
berbicara dengan Iptu Bimo. Terlihat ketiganya sedang berdiri di area kantor
polisi setelah memberikan laporan kepada Kompol Surya. Di gambar bagian kiri,
terlihat Iptu Ardi sedikit menundukan kepalanya dengan mulut yang terbuka. Di
bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo sedang menghadap depan tanpa
memalingkan tatapannya pada AKP Nina yang hendak berbicara. Di bagian
tengah gambar, terlihat AKP Nina sedang berdiri agak di belakang Iptu Bimo.
AKP Nina sedang berbicara dengan menurunkan alis mata dan tatapan mata yang
tajam kepada Iptu Bimo. Dalam adegan ini, AKP Nina berdialog kepada Iptu
Bimo demikian: “Kita di sini sedang menangani kasus kejahatan. Kita kerja
9 Fiardini, Regina. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://news.okezone.com/read/2016/01/27/337/1298847/polisi-bantah-lakukan-pelanggaran-ham-
kepada-jessica
46
mengabdi kepada negara. Bekerja sebaik mungkin untuk setiap kasus yang masuk.
Di sini ga ada kompetisi, Bim. Ga ada siapa yang lebih cepet, siapa yang lebih
jago, siapa lebih pinter, siapa lebih cepet menangkap pelakunya. Semuanya bukan
soal itu. Satu lagi aku bilang sama kamu ya Bim, ini soal dedikasi. Kamu ga bisa
kerja sendirian. Inget bim, kerjasama.”
2. Makna Konotatif
Berdasarkan pemaknaan tahapan denotatif di atas, maka diperoleh makna
konotatif yang dilihat dari bahasa tubuh serta dialog adegan tersebut. Iptu Ardi
yang sedang menunduk kemudian menguap menunjukkan bahwa dirinya bosan di
dalam situasi tersebut (Cohen, 2009:119). Di samping kanan Iptu Ardi, berdiri
AKP Nina dengan tatapan tajam kepada Iptu Bimo dengan menurunkan alis
matanya. Dengan menurunkan alis mata menunjukkan AKP Nina sedang marah
dan bersemangat dalam berbicara kepada Iptu Bimo (Cohen, 2009:142). Dan di
bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo yang tidak memalingkan hadapannya
saat diajak berbicara oleh AKP Nina. Dari sikap hadapan Iptu Bimo,
menunjukkan bahwa Iptu Bimo sedang cemas ataupun tidak suka dengan AKP
Nina. (Cohen, 2009:102). Selain dari bahasa tubuh, terdapat dialog yang
menunjukkan bahwa seorang polisi memiliki amanah. Dilihat dari dialog yang di
ucapkan AKP Nina kepada Iptu Bimo, terdapat kata dedikasi. Dedikasi adalah
cara diri mengabdi dan memberikan seluruh perhatian pada amanah yang telah dia
terima. Mereka yang memiliki dedikasi akan tampak dari sikapnya yang
bersungguh-sungguh, fokus, dan penuh dengan motivasi kerja keras. Mereka
pantang menyerah dan melihat segala sesuatu sebagai sarana untuk memberikan
pelayanan yang terbaik (service exellent) agar amanah yang diberikan kepadanya
dapat dilaksanakan melebihi harapan dari si pemberi amanah. (Tasmara, 2006:86).
Seorang polisi yang ideal seharusnya menjaga amanahnya. Tetapi tidak semua
oknum polisi bisa menjaga amanahnya. Seperti oknum polisi yang berinisial AH
yang bertugas di Polres Waykanan Lampung. AH yang berpangkat Brigadir ini
ditangkap petugas atas kepemilikan dan penjualan senjata api. AH ditangkap pada
47
15 Februari 2016 sekitar pukul 19.00 oleh Unit I Subdit III Jatanras Ditreskrimum
Polda Sumsel.10
5.3 Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film
“ENIGMA” Serial “Kematian Alana”
Representasi dari film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” telah
menempatkan polisi (penanda) sebagai objek bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi
menjadi suatu daya tarik bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi (petanda) yang
melibatkan bahasa tubuh serta dialog ini dibuat sedemikian rupa. Bahasa tubuh
yang ditampilkan yakni seperti merangkul, mengusap bahu, memeluk,
membungkukkan badan serta perlakuan yang baik kepada masyarakatnya.
Terdapat juga dialog polisi yang menunjukkan bahwa polisi memiliki dedikasi
serta menjaga amanahnya. Representasi yang dibentuk pada film “ENIGMA”
serial “Kematian Alana” ini telah membentuk citra Institusi Kepolisian Republik
Indonesia menjadi Institusi Kepolisian yang berperilaku kemanusiaan yakni
memiliki rasa empati kepada masyarakatnya seperti mengusap bahu serta
merangkul masyarakat yang sedang sedih. Santun menghadapi warga seperti
memberi minuman kepada masyarakat yang sedang berada dikantor polisi.
Menghargai hak-hak asasi manusia dengan bersikap tidak arogan terhadap
masyarakatnya. Tidak menggunakan pangkat atau jabatannya sebagai seorang
figur penguasa. Fair terhadap semua orang seperti adegan film yang terdapat pada
korpus 3, masyarakatnya mendapat perlakuan yang sama dari masing-masing
polisi. Polisi juga menjaga amanahnya seperti dialog yang terdapat pada adegan
film di korpus 4. Dialog tersebut menggambarkan polisi yang memiliki dedikasi
yang tinggi serta mengutamakan kerjasama antar polisi untuk memberikan
pelayanan terbaik bagi negara.
10
Hadinata, Welly. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://www.tribunnews.com/regional/2016/02/17/oknum-anggota-polisi-waykanan-tertangkap-
saat-jual-senjata-api-polisi
48
Representasi citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia yang terbentuk
pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” tidaklah sesuai dengan realitas
sosial yang terjadi. Adegan film tersebut cenderung seperti ingin menutupi mitos
yang tertanam sejak lama di Indonesia. Ada gaya yang seolah melebih-lebihkan
polisi dalam beradegan dalam scene tertentu. Dari sinilah istilah hiperealitas
tercipta, seperti yang diungkapkan Umberto Eco, yang memperkenalkan teori
Hiperealitas. Bagi Eco, hiperealitas adalah segala sesuatu yang merupakan
replikasi, salinan, atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu, yang dihadirkan di
dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Akan tetapi, ketika masa lalu
tersebut dihadirkan didalam konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak
dengan realitas, dengan pengertian ia bisa tampak seakan-akan lebih dari
kenyataan yang disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga
menciptakan sebuah kondisi meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original).
(Piliang, 2004 : 59). Pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”, polisi
dikonstruksi memiliki rasa empati, santun menghadapi warga, fair terhadap semua
orang, serta menjaga amanahnya sebagai seorang polisi. Gaya melebihkan sesuatu
atau mengkonstruksi sesuatu seperti ini, dalam posmodernisme dikenal dengan
istilah hiperealitas. (Audifax, 2006 : 19). Dengan dikonstruksi seperti itu, polisi
akan menjadi sosok polisi yang ideal d an berkesan positif bagi masyarakat.
Dari seluruh penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
representasi citra yang terbentuk pada Institusi Kepolisian Republik Indonesia
adalah citra keinginan. Dalam tulisan Malvi, citra keinginan menurut Frank
Jefkins adalah seperti apa yang diingin dan dicapai oleh pihak manajemen
terhadap lembaga yang ditampilkan tersebut lebih dikenal, menyenangkan dan
diterima dengan kesan yang positif.11
Tentu kesan positif dari masyarakat saat ini
sangat dibutuhkan oleh Institusi Kepolisian Republik Indonesia, dimana saat ini
citra polisi sedang menurun dan dipandang negatif oleh masyarakat.
11
Malvi, Alvina. 25 Juli 2016. Diakses dari
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26272/1/ALVINA%20MALVI-FDK.pdf