Upload
nguyennhan
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB V
NATO DAN AMERIKA SERIKAT DALAM KONFLIK
WILAYAH GEORGIA
Keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991 melahirkan negara-negara baru
yang berarti pula mengubah cara kerja sistem internasional yang telah ada
sebelumnya. Seperti yang terjadi di Georgia. Georgia merupakan negara pecahan
Uni Soviet yang memperoleh kemerdekaan dan berkeinginan untuk menunjukkan
kepada dunia tentang keinginan mereka untuk dapat mengendalikan negara
mereka secara independen. Selama masa awal perubahan, negara ini sering
menghadapi masalah internal dan ekstenal yang cukup serius yang dapat
mengancam kedaulatannya. Georgia berjuang untuk menjadikan negara mereka
sebagai negara demokratis dan berdaulat modern yang mana perjuangan mereka
terlebih dahulu harus melalui berbagai tantangan dari sistem internasional.
Di tengah perjuangan negara ini, aktor-aktor dari luar negara Georgia
kemudian menemukan celah untuk bisa meletakkan kepentingan mereka atas
negara tersebut. Baik itu secara eksplisit maupun secara implisit. Mereka
kemudian menemukan bahwa Georgia masih merupakan negara yang fondasi
kedaulatannya belum kokoh sehingga mudah untuk disiasati kebijakan negara ini.
Hal tersebut membawa Amerika Serikat dan NATO memutuskan diri mereka
untuk dapat terlibat dalam setiap kebijakan yang ada di Georgia.
Dari penjelasan diatas, penulis dalam bab ini akan memaparkan bagian-
bagian yang akan dianalisa oleh penulis berkaitan dengan masalah relevansi
antara Amerika Serikat, NATO dan Georgia – yang paling penting relevansi
antara NATO sebagai instrumen kebijakan politik dan ekonomi Amerika Serikat.
Berangkat dari lima asumsi dasar teori Mearsheimer, penulis ingin melihat sejauh
mana Amerika Serikat dapat menempatkan masing-masing asumsi dari
Mearsheimer tersebut untuk bisa menjadi negara adidaya.
Tulisan ini dibagi kedalam tiga bagian. Pada bagian pertama akan dibahas
mengenai keterlibatan aliansi NATO di dalam Georgia yang mencakup penjelasan
mengenai mengapa NATO bisa hadir di Georgia dan bagaimana perkembangan
hubungan keduanya untuk kemudian dapat dijelaskan mengenai keterlibatan
NATO itu sendiri. Selanjutnya pada bagian kedua akan dipaparkan mengenai
pengaruh negara superpower Amerika Serikat terhadap bentuk kebijakan di dalam
NATO untuk Georgia dilihat dari dua masa kepemimpinan Presiden Amerika
Serikat yaitu Bush dan Obama karena diyakini bahwa setiap pemimpin memiliki
gaya kepemimpinan yang berbeda. Hal tersebut akan dilihat dalam hubungannya
dengan aliansi. Terakhir pada bagian ketiga akan dianalisa yang menjadi
kepentingan Amerika Serikat di Georgia melalui aliansi NATO sendiri yang akan
dibagi kedalam dua sektor yaitu sektor ekonomi dan sektor politik. Bagian ini
akan berkaitan dengan segala bentuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat secara
implisit.
5.1 Keterlibatan Aliansi NATO di Georgia
Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 membuat Georgia dihadapkan
pada tugas untuk membangun dirinya menjadi negara demokratis pasca-Soviet.
Proses membangun diri negara mereka bagi Georgia bukanlah hal yang mudah.
Georgia membutuhkan bantuan negara lain untuk bisa terus mempertahankan
kelangsungan hidup negara. Georgia kemudian mendapatkan berkat bantuan
tersebut dari Amerika Serikat. Karena bantuan tersebut pula, secara bertahap
Georgia mulai mengurangi ketergantungannya pada Rusia dan mulai
meningkatkan hubungan keamanannya dengan Barat.
Pada tahun 1992, Georgia harus menghadapi konflik separatis di wilayah
Ossetia Selatan. Konflik yang kemudian kembali pecah di tahun 2008 tersebut
berubah menjadi suatu konflik terbuka yang membawa fenomena baru dalam
sistem perpolitikan internasional. Dalam konflik tersebut, NATO hadir sebagai
suatu aktor yang ingin terlibat dimana, keterlibatannya merupakan bentuk
kepentingan dari Amerika Serikat. Kehadiran aliansi ini didukung oleh Georgia
yang memang ingin menjadi bagian dari aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara
tersebut.
Kehadiran NATO di Georgia dan keinginan Georgia untuk bisa bergabung
dengan aliansi membawa Georgia terus mempertahankan orientasi baru mereka
yang pro-Barat. Hal ini tertuang dalam visi strategi keamanan pemerintah Georgia
yang menyatakan bahwa Georgia akan berusaha untuk memperluas dan
memperkuat hubungan negara mereka dengan negara-negara yang memiliki nilai
demokrasi, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, ekonomi pasar dan
kebebasan berpikir. Tujuannya adalah integrasi ke semua institusi utama struktur
Eropa dan transatlantik. Kebijakan luar negeri dan keamanan Georgia menyatakan
bahwa tujuan utamanya adalah kemerdekaan, keamanan dan kebebasan Georgia,
persatuan nasional, kemakmuran dan kedamaian (NATO Website, 2000). Prioritas
utamanya tentu untuk bisa mendapatkan keanggotaan NATO.
Penyerangan yang dilakukan Rusia terhadap Georgia empat bulan setelah
KTT Bucharest tahun 2008 membawa NATO mendapatkan tanggapan bahwa
aliansi ini gagal untuk menawarkan kepada Georgia suatu MAP. Selain itu,
tanggapan lain terkait dengan janji NATO bahwa Georgia pada akhirnya akan
menjadi anggota dan gerakan Georgia yang sedang berlangsung menuju integrasi
dengan Barat yang kemudian memacu agresi yang dilakukan oleh Rusia tersebut.
Bagi NATO, konflik yang terjadi tersebut mengharuskan adanya suatu perubahan
mendasar dalam strategi pertahanan Georgia untuk menekankan pertahanan
teritorial dan setidaknya sedikit perubahan dalam bantuan yang diberikan oleh
sekutu NATO.
Konflik Rusia-Georgia tahun 2008 memang menunda prospek Georgia
untuk keanggotaan NATO, itu juga merevitalisasi keterlibatan NATO dengan
Georgia. Namun dari NATO sendiri, setelah pecahnya konflik bersenjata Georgia-
Rusia, NATO segera melakukan yang terbaik untuk mengurangi konflik. Ini
memperingatkan tentang perkembangan yang berpotensi berbahaya di wilayah
tersebut dan dinyatakannya dukungan untuk mediasi dengan Uni Eropa dan
OSCE1 (NATO Website, 2008). Setelah konflik yang terjadi pada 8 Agustus
2008, Sekretaris Jenderal NATO meminta kedua belah pihak untuk segera
menghentikan konfrontasi dan memulai pembicaraan langsung. Aliansi menuntut
untuk penyelesaian konflik juga menuntut agar integritas dan kedaulatan wilayah
Georgia dihormati. NATO juga mengecam pengakuan Ossetia Selatan dan
Abkhazia oleh Rusia (NATO Website, 2008). Bagian terpenting yaitu
penghentian kerjasama politik antara NATO dengan Rusia. Meskipun demikian,
NATO berpantang dari keterlibatan langsung dalam perundingan damai
mengingat sikap keras anti-NATO Rusia pada saat itu yang mungkin akan
menjadi kontraproduktif (Madej, 2009).
Pada faktanya, aliansi Perjanjian Atlantik Utara ini tidak dapat memainkan
peran perantara dalam konflik antara Georgia dan Rusia karena didikte oleh posisi
Rusia yang memang menentang keterlibatan NATO di wilayah tersebut. Bagian
ini kemudian menempatkan NATO dalam situasi yang rumit sebagai sebuah
organisasi pertahanan keamanan. Dalam keadaan seperti itu, setiap keterlibatan
penting NATO dalam penyelesaian konflik tidak hanya akan menyebabkan
eskalasinya, tetapi juga dapat berdampak negatif terhadap usaha mediasi yang
sedang berlangsung. Akan tetapi, dengan bantuan dari NATO dan Amerika
Serikat, Georgia mampu meningkatkan interoperabilitas militer dengan pasukan
NATO dan berkontribusi terhadap keamanan dan operasi kolektif NATO. Selain
itu, Georgia terus melengkapi kembali dan memodernisasi angkatan bersenjatanya
dengan senjata konvensional, baju besi, penerbangan dan peralatan elektronik
buatan Barat.
Pada tanggal 19 Agustus 2008 dalam pertemuan di North Atlantic
Councils (NAC) di Brussels, dewan komisi NATO memutuskan untuk
membentuk NATO Georgia Commission (NGC) sebagai bentuk fasilitas untuk
konsultasi antara aliansi dengan Tbilisi. Pembentukan kerjasama ini merupakan
pertanda dukungan yang jelas dan sangat dibutuhkan untuk Georgia. Meskipun
1OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) merupakan organisasi yang
memiliki pendekatan komprehensif untuk keamanan yang mencakup aspek politik-militer,
ekonomi dan lingkungan dan manusia di Eropa.
terjalin kerjasama yang erat antara NATO dan Georgia, posisi negara Georgia
masih berada di luar aliansi dan karenanya tidak dilindungi oleh kewajiban
pertahanan kolektif NATO.
Dukungan yang diberikan oleh NATO untuk Georgia terhadap konflik
yang terjadi dinilai muncul karena konflik ini dapat mempengaruhi elemen
evolusi NATO secara signifikan. Secara nyata, dampak konflik Rusia-Georgia
bersama dengan berbagai faktor lainnya menjadi semakin kabur dan tidak dapat
dibedakan satu sama lain sehingga membuat definisi yang tepat tentang dampak
dari konflik Agustus 2008 mengenai fungsi dan pengembangan aliansi NATO
semakin sulit. Hal ini akan berpengaruh pada proses kebijakan pembesaran
NATO, khususnya pada proses integrasi Georgia dan negara lainnya yaitu
Ukraina di dalam NATO.
Kehadiran NATO di Georgia diawali dengan ekspansi yang dilakukan
oleh NATO ke wilayah Eropa Timur pasca Perang Dingin berakhir. Georgia yang
terinspirasi oleh langkah yang diambil oleh tiga negara Baltik yang memutuskan
untuk bergabung menjadi bagian dari aliansi kemudian mulai menunjukkan
keseriusan mereka untuk menjadi anggota tetap (BBC News Website, 2012).
Ekspansi yang dilakukan aliansi dijustifikasi sebagai cara penyebaran nilai-nilai
demokrasi dan sebagai penangkal untuk kemungkinan hadirnya agresi Rusia di
masa yang akan datang.
Sebelum melakukan ekspansi ke wilayah Eropa Timur, NATO sejatinya
telah menjalin hubungan dengan Georgia. Pada tahun 1992 Georgia telah
bergabung menjadi bagian dari North Atlantic Cooperation Councils (NACC).
Dua tahun berselang, Georgia kemudian bergabung dalam program Partnership
for Peace (PfP) yang dibentuk oleh NATO (Ministry of Foreign Affairs Website).
Program ini dicanangkan dengan maksud untuk memungkinkan mitra dari NATO
untuk dapat membangun hubungan individu dengan NATO dimana mereka dapat
memilih prioritas kerja sama mereka sendiri (NATO Website, 2017). Selanjutnya,
di tahun 1996, Georgia menguraikan “Individual Partnership Programme”
mereka yang pertama di NATO. Disusul di tahun 1997, Parlemen Georgia
meratifikasi Status of Force Agreement (SOFA) antara negara-negara pihak
dengan Pakta Atlantik Utara dan negara-negara lain yang berpartisipasi dalam
mitra juga ditandai sebagai tahun berdirinya Euro Atlantic Partnership Councils
dengan Georgia sebagai salah satu pendirinya.
Hubungan NATO dan Georgia berkembang semakin intens di tahun 1998
ketika misi diplomatik pertama Georgia ke NATO resmi dibuka dan Georgia
mulai bergabung dalam Planning and Review Process PfP di tahun 1999
(Ministry of Foreign Affairs Website). Baik NATO dan Georgia kemudian mulai
mengadakan berbagai macam pelatihan, baik itu pelatihan multinasional skala
besar, pelatihan militer maupun pelatihan medis. Seperti pada tahun 2001 hingga
2002, NATO mengadakan pelatihan multinasional skala besar “Cooperative
Partner 2001”dan pelatihan militer “Cooperative Best Effort 2002” di Tbilisi,
Georgia. Di tahun yang sama juga Georgia meluncurkan kerjasama dengan
NATO Maintenance and Supply Agency (NAMSA) dalam program yang
dilaksanakan di bawah naungan Partnership for Peace Trust Fund dan memulai
proses integrasi Georgia ke NATO. Pada saat KTT NATO di Praha, Georgia
membuat deklarasi untuk keanggotaan NATO dan menyatakan keinginannya
untuk turut ambil bagian dalam IPAP (Individual Partnership Action Plan).
Pada tahun 2003, dibentuknya National Coordination Councils for Euro
Atlantic Integration sebagai bagian dari usaha integrasi Georgia ke dalam NATO
sekaligus dibuatnya Individual Partnership Plan Georgia. Berlanjut di tahun
2004, Pada KTT NATO di Brussels, Georgia mempresentasikan IPAP mereka dan
secara resmi diterima dan menjadi negara pertama yang menyetujui IPAP
sehingga Georgia beralih naik ke tahap dua dalam integrasi Euro Atlantic.
Hingga di tahun 2005, dibentuknya Komisi Negara untuk menjalankan
IPAP Georgia sehingga kesepakatan PfP antara Georgia dan NATO mulai
berlaku. Tidak lama berselang, di dalam Bucharest Summit tahun 2008, pemimpin
NATO menyetujui keinginan Georgia yang ingin menjadi negara anggota. Namun
setelah terjadinya konflik, NATO kemudian merevisi kembali hal tersebut. Disisi
lain, NATO bersedia untuk mendukung pemulihan di Georgia sehingga
dibentuknya NATO Georgia Commission untuk mengawasi pelaksanaan
dukungan dan proses integrasi Georgia. Memasuki tahun 2010, Georgia
menandatangani sebuah kesepakatan dengan NATO untuk berkontribusi dalam
Operasi Active Endeavour, operasi kontra teroris maritim NATO di Laut Tengah
dan memutuskan untuk meningkatkan hubungan NATO Georgia melalui militer
dengan lebih efektif (Ministry of Foreign Affairs Website).
5.2 Pengaruh Amerika Serikat Terhadap Kebijakan NATO di
Georgia
Seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, Amerika Serikat
mulai mendominasi NATO sejak masuk menjadi bagian dari aliansi dan semakin
berkembang hingga mencapai titik puncak. Dominasi yang dilakukan oleh
Amerika Serikat mencerminkan sikap bahwa negara tersebut ingin menjadi negara
great power. Sikap dan tekad Amerika Serikat yang ingin menguasai dunia
didorong oleh kejadian-kejadian berikut: Pertama, runtuhnya Uni Soviet dan
berakhirnya Perang Dingin menyebabkan Amerika Serikat menjadi satu-satunya
negara adidaya yang tersisa. Tidak ada lagi negara yang mampu mengimbangi
kekuatan negara ini. Kedua, kekuatan ekonomi Amerika Serikat yang melebihi
Uni Eropa dan Jepang. Ketiga, kemampuan militer Amerika Serikat merupakan
kekuatan militer terbesar di dunia dan cenderung mengalami perkembangan yang
signifikan.
Ketiga sikap yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat tersebut merupakan
cerminan dari pernyataan Mearsheimer mengenai suatu negara yang akan menjadi
great power. Bagi Mearsheimer, great power atau negara akan senantiasa
membangun kekuatan mereka untuk bisa mendominasi sistem atau menjadi
hegemon. Dalam hal ini, berdasarkan penjelasan mengenai sikap-sikap yang
ditunjukkan oleh Amerika Serikat tersebut tergambar jelas bagaimana Amerika
Serikat ingin menjadi satu-satunya kekuatan dunia. Apalagi dengan berbagai
kepentingan nasional yang mengikuti dibelakang tentu semakin menambah
intensitas bagi Amerika Serikat untuk menciptakan konsep great power.
Keinginan Amerika Serikat untuk bisa menjadi great power didasarkan
pada sistem internasional yang anarki yang mana didalam sistem anarki yang
dimaksud tidak adanya kekuasaan tunggal atau world governance. Ketiadaan
kekuasaan tunggal tersebut memungkinkan Amerika Serikat untuk dapat
berkontestasi dengan negara lain yaitu dalam kasus ini berkontestasi dengan Rusia
di Georgia. Kontestasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dilatarbelakangi oleh
keinginan Amerika Serikat untuk tetap menjadi hegemon dalam tatanan global.
Karena untuk bisa menjadi hegemon, sebuah negara harus bisa memastikan dua
hal, pertama menjadi hegemon di regional negara mereka dan kedua harus bisa
memastikan bahwa tidak ada hegemoni lain di regional lain.
Hal yang sama juga dilakukan oleh pihak lawan dari Amerika Serikat yaitu
Rusia. Sebagai negara pecahan Uni Soviet yang memang merupakan lawan lama
dari Amerika Serikat, Rusia memiliki peluang untuk mengancam eksistensi
Amerika Serikat dalam mengejar great power. Bahkan Rusia juga memiliki
peluang untuk mengancam eksistensi NATO sebagai aliansi pertahanan keamanan
untuk konflik di Georgia. Peluang yang dimiliki oleh Rusia membawa negara ini
muncul sebagai pesaing Amerika Serikat dalam konflik di Georgia. Bagi Rusia,
sudah terlalu lama Amerika Serikat dan NATO mencoba untuk menguasai Eropa
dan dunia. Karena itu Rusia mulai meningkatkan kekuatan mereka baik dari sisi
internal maupun ekstenal untuk membentuk tatanan dunia internasional yang baru.
Kehadiran Rusia membawa intensi bagi Amerika Serikat bahwa kapan saja
negara ini dapat mengancam eksistensi Amerika Serikat yang telah terbentuk
hingga saat ini. Amerika Serikat harus bisa menjaga diri mereka dengan
membatasi ruang gerak dari lawan. Politik “containment policy” kemudian
menjadi langkah kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat dengan pola
kebijakan yang sama yang digunakan Amerika Serikat saat berkonflik dengan Uni
Soviet. Pola tersebut yaitu dengan menjalin hubungan baik dan memaksimalkan
posisi aliansi NATO dengan negara-negara yang terindikasi tidak dalam
hubungan baik dengan Rusia dalam hal ini negara Georgia.
Posisi Amerika Serikat yang ingin menjadi negara superpower tentu tidak
terlepas dari setiap kepentingan nasional negara mereka. Dalam konflik yang
terjadi di Georgia, kehadiran Amerika Serikat bertujuan untuk menunjukkan
kepada dunia bahwa Amerika Serikat masih dan akan tetap menjadi negara
adidaya. Itulah mengapa Amerika Serikat ingin memastikan bahwa tidak ada
negara lain yang dapat menjadi hegemon di dunia khususnya di wilayah Eropa
Timur. Sebagai aktor yang rasional, negara dapat menciptakan strategi-strategi
untuk memaksimalkan prospek ketahanannya, dalam hal ini Amerika Serikat
menggunakan posisi mereka di dalam NATO untuk bisa membantu mereka
mencapai tujuan politik negara mereka sendiri. Untuk bisa terlibat di dalam
konflik di Georgia, Amerika Serikat perlu untuk merubah taktik politik mereka
dengan seolah-olah memberikan uluran tangan kepada Georgia melalui aliansi
NATO.
NATO sendiri bisa dikatakan sebagai suatu organisasi internasional yang
dibentuk oleh negara dalam kesepakatan sehingga kekuasaan tertinggi tetaplah
berada pada negara itu sendiri dan bukan kepada Sekretaris Jenderal suatu
organisasi. Peran organisasi internasional sendiripun tidak dapat mengurangi
otoritas kekuasaan tertinggi dalam sistem internasional. Memang dalam halnya
berhubungan dengan sebuah aliansi, tidak semua pemimpin dalam satu negara
memiliki kebijakan yang sama yang dapat diterapkan kedalam aliansi. Begitu juga
dengan pemimpin dari Amerika Serikat yang masing-masing memiliki gaya
kepemimpinan yang berbeda satu dengan yang lain. Ciri khas dari kepemimpinan
seseorang dapat menjadi salah satu faktor yang berpengaruh bagi orientasi politik
luar negeri negara mereka. Faktor kepemimpinan ini dikarenakan posisi pemimpin
yang berperan sebagai pembuat keputusan, posisi kunci, sekaligus sebagai obyek
pencitraan negara yang bersangkutan. Konsep ini berlaku bagi Amerika Serikat di
bawah kepemimpinan George Walker Bush dan Barack Obama yang datang dari
latar belakang yang sama sekali berbeda.
George Walker Bush berasal dari Partai Republik, sedangkan Barack
Obama berasal dari Partai Demokrat dimana kedua partai mayor Amerika Serikat
ini memiliki platform, ideologi dan basis massa yang berbeda. Gaya
kepemimpinan yang berbeda antara Bush dan Obama terlihat jelas dalam bentuk
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kedua pemimpin ini. Bush dengan
gaya khasnya yang cenderung hard diplomacy, dan Obama yang lebih menonjol
kepada soft diplomacy. Perbedaan gaya kepemimpinan keduanya berdampak bagi
organisasi NATO sendiri karena masing-masing mempunyai visi dan misi yang
juga bisa berbeda dalam setiap bentuk pengambilan keputusan terhadap aliansi.
5.2.1 Era Presiden Bush
George Walker Bush merupakan presiden terpilih Amerika Serikat
ke-43. Bush yang berasal dari Partai Republik terpilih menggantikan
presiden sebelumnya yaitu Bill Clinton. Amerika Serikat dibawah
pimpinan George W Bush (2001-2009) mengedepankan perang melawan
terorisme secara menyeluruh dan dikenal sebagai negara yang sering
melakukan intervensi terhadap negara lain.
Setelah terpilih menjadi presiden, Bush dinobatkan sebagai
presiden Amerika Serikat yang kontroversial karena pada masa awal
kepemimpinannya terjadi sebuah peristiwa ditabraknya dua menara
kembar oleh pesawat yang dilakukan oleh sekelompok teroris serta dikenal
dengan peristiwa WTC 11 September 2001. Adanya kasus terorisme yang
menyerang Amerika Serikat pada saat itu memunculkan istilah War on
Terrorism dan kemudian membuat Bush melakukan invasi ke Afghanistan
untuk melumpuhkan kekuatan kelompok Taliban dan Al-Qaeda yang
dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Invasi yang dilakukan
oleh Bush ternyata melibatkan intervensi oleh aliansi NATO di
Afghanistan.
Serangan terorisme di wilayah Atlantik Utara terjadi pada 11
September 2001 di Amerika Serikat, dimana pada saat itu para teroris
berhasil membajak pesawat Boeing 767 milik maskapai American Airlines
dan kemudian menghantamkannya ke menara utara gedung World Trade
Centre di New York City serta pesawat ketiga yang menabrak Gedung
Putih Pentagon sedangkan pesawat ke empat yang berniat menabrak
Gedung Washington D.S jatuh lebih dulu di Sommerset Country,
Pennsylvania, setelah aksinya di gagalkan oleh para penumpangnya
(Fitriyanti, 2008, hal. 66).
Peristiwa yang terjadi di tahun 2001 yang merupakan masa awal
pemerintahan George W Bush langsung menghantui kredibilitas
pemerintahan Bush sendiri. Sesaat setelah terjadinya serangan, Bush
langsung menuduh kelompok Al Qaedah pimpinan Osama bin Laden
sebagai tersangka utama (Fitriyanti, 2008, hal. 66). Selain itu, Amerika
Serikat juga menuduh Afghanistan karena dianggap telah memberikan
perlindungan kepada Osama bin Laden. Sebelumnya Amerika Serikat
telah mengidentifikasi pemerintah Taliban di Afghanistan sebagai
pelindung dan pendukung Al Qaedah (Fitriyanti, 2008, hal. 68). Ketika
penolakan dilakukan oleh Taliban terkait tragedi 11 September tersebut,
Amerika Serikat langsung memutuskan untuk menyerang pemerintahan
Taliban dan gerakan Al Qaedah. Penyerangan ini kemudian mendapat
dukungan dari berbagai negara seperti Cina, Rusia dan termasuk juga
dukungan dari NATO.
Keikutsertaan NATO terhadap penyerangan Amerika Serikat
diinisiasi oleh Bush sendiri yang meminta kepada Sekjen NATO untuk
terlibat dalam invasi Amerika Serikat di Afghanistan pada 07 Oktober
2001. Invasi NATO di Afghanistan ini menjadi negara ketiga untuk
NATO melaksanakan strategi “out of area” setelah sebelumnya pernah
dilakukan di Bosnia dan Kosovo.
Bagi Amerika Serikat, NATO tidak hanya sekedar menjadi
organisasi regional yang didasarkan pada letak geografis anggota saja
tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan politik yang ingin dicapai.
Karena itu terdapat beberapa alasan mengapa Amerika Serikat bergabung
ke dalam NATO (Suwardi, 2004, hal. 31): Pertama, NATO dibutuhkan
untuk menjadi penjamin dalam memelihara keamanan dan kebebasan
Eropa dari berbagai ancaman. Komitmen Amerika Serikat terhadap
keamanan Eropa melalui penempatan tentaranya dalam NATO di Eropa
merupakan „kebijakan asuransi‟ untuk mencegah munculnya ancaman
dominasi kekuatan atau konflik lain di Eropa (Rachmat, hal. 109-110).
Kedua, NATO berperan sebagai penjaga stabilitas politik dan
ekonomi di Eropa yang tentunya sangat berpengaruh pada perekonomian
Amerika Serikat sendiri. Ketiga, NATO merupakan „kendaraan‟ yang
dapat digunakan untuk memperkuat dan memperluas paham kebebasan
dan demokrasi di Eropa sehingga keterlibatan negara Amerika di dalam
aliansi dapat memperkukuh upaya terciptanya NATO sebagai komunitas
bangsa yang demokrasi.
Dalam perjalanan kepemimpinannya, George Walker Bush selama
menjabat menjadi Presiden Amerika Serikat berpegang pada pola
kebijakan model hard diplomacy yang mana model kebijakan ini
didasarkan pada isu keamanan terkini di dalam negeri yang dapat
mengancam stabilitas keamanan negara. Keberadaan Bush dianggap
sebagai aktor yang rasional yang berupaya untuk menjalankan kebijakan-
kebijakan yang nyata dengan model diplomasi tersebut.
Untuk konflik yang terjadi di Georgia, Amerika Serikat mengambil
kebijakan yang hampir sama dengan kebijakan-kebijakan mereka
sebelumnya jika ingin mengintervensi suatu negara. Kebijakan yang
ditempuh Amerika Serikat dibawah pemerintahan Bush untuk konflik
yang terjadi di Georgia yaitu dengan mengedepankan dukungan Amerika
Serikat terhadap Georgia yang ingin bergabung menjadi aliansi Pertahanan
Atlantik Utara. Amerika Serikat menyatakan untuk terlibat dalam konflik
di Georgia berdasarkan berbagai pernyataan Bush yang mendukung
pemerintahan Georgia dengan mengecam serangan yang dilakukan Rusia,
serta orientasi politik pemerintah Georgia yang dinilai ingin
memanfaatkan dukungan Amerika Serikat. Bush kemudian menyatakan
bahwa dirinya akan mendesak para pemimpin Pakta Pertahanan Atlantik
Utara pada pertemuan dalam Bucharest Summit agar memulai mendukung
proses masuknya Georgia ke dalam organisasi (Antara News Website,
2008). Wakil Presiden Amerika Serikat era Bush, Dick Cheney pun
menyampaikan dukungan Amerika Serikat terhadap keinginan Georgia
untuk bergabung ke dalam NATO (FOX New Website, 2008):
“America will do its duty to work with the governments of
Georgia and our other friends and aliies to protect our
common interests and uphold our values. Russia‟s
actions have cast grave doubts on Russia‟s intentions
and on it‟s reliability as an international partner. As you
work to overcome an invasion of your sovereign territory
and an illegitimate, unilateral attempt to change your
country‟s border by force, that has been universally
condemned by the free world”
5.2.2 Era Presiden Obama
Semenjak terpilih sebagai Presiden baru Amerika Serikat
menggantikan Bush, Barack Obama mulai mengubah arah kebijakan luar
negeri Amerika Serikat berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Obama
terlihat mulai menggeser arah kebijakan politik luar negerinya dari unsur-
unsur militeristik ke arah isu-isu multilateralisme dalam menjalin
hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan negara-negara lainnya di
dunia. Obama menekankan pada kerjasama bilateral maupun multilateral
serta mengedepankan diplomasi untuk menjaga dan mengamankan
kepentingan Amerika Serikat di wilayah-wilayah tertentu.
Pola kebijakan baru kemudian mulai diterapkan oleh Obama yang
mengedepankan model kebijakan soft diplomacy. Dalam merealisasi
model soft diplomacy Obama, Amerika Serikat kemudian mulai
menggandeng aktor-aktor non-pemerintah, melakukan pendekatan yang
bersifat normatif, melakukan kunjungan kenegaraan dan membuka forum-
forum pembicaraan terhadap negara-negara islam yang semakin
diintensifkan dan lain sebagainya.
Presiden terpilih Barack Obama pun mulai mengedepankan
kebijakan untuk membangun aliansi, persekutuan dan institusi yang
dibutuhkan untuk mengatasi ancaman serta memperketat keamanan.
Terkait masalah aliansi, Amerika Serikat membutuhkan kerjasama yang
tetap atau konstan dan diperlukan revisi jika persekutuan tersebut ingin
tetap efektif dan relevan. Sebagai contoh nyata yaitu aliansi NATO yang
telah membuat langkah hebat dengan melakukan transformasi dirinya
sendiri dari awal yaitu sebagai struktur keamanan pada masa Perang
Dingin menjadi sebuah persekutuan yang memperjuangkan perdamaian.
Cenderung berfokus ke arah kebijakan isu multilateralisme tidak
menutup kemungkinan Obama tidak lagi memperhitungkan kekuatan
militer. Obama tetap menghidupkan militer Amerika Serikat karena dinilai
sangat penting. Militer yang kuat menurut Obama diperlukan untuk
mempertahankan perdamaian dunia. Rencananya juga Obama akan
menambah pasukan Amerika Serikat khususnya kekuatan darat sebanyak
65.000 tentara bagian angkatan darat dan 27.000 pelaut ke bagian
angkatan laut.
Pada masa pemerintahan Obama ini, Amerika Serikat menyatakan
diri lebih terbuka dan mengizinkan negara-negara lain untuk berkontribusi
kepada Amerika Serikat dalam perwujudan kebijakan luar negeri Amerika
Serikat. Presiden Obama memiliki visi untuk menyeimbangkan kembali
situasi Amerika Serikat terhadap kebijakan War on Teror dengan cara
menggeser atau merubah ideologi dimana Obama yang lebih
mengedepankan soft power daripada hard power. Obama banyak
melakukan berbagai upaya, diantaranya ia membuat tindakan pendekatan
secara personal kepada dunia muslim, berjanji akan menarik pasukan
Amerika Serikat dari Irak, memperbarui pakta perdagangan bebas dengan
lebih menekankan pada perlindungan kaum buruh dan keselamatan
lingkungan, dan terpenting mulai berdialog dengan negara-negara sekutu
dan negara-negara yang dianggap musuh.
Pada saat terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, Obama
memiliki janji politik untuk mengurangi kebijakan yang bersifat agresif
atau militeristik. Kebijakan tersebut kemudian mulai diterapkan oleh
Obama dalam kasus di Libya. Bagi Obama yang perlu dilakukan untuk
Libya yaitu untuk meningkatkan pemulihan hubungan luar negeri mereka.
Sebenarnya Obama mengalami dilema terhadap proses perancangan
kebijakan yang tegas terhadap Libya dikarenakan Khadafi yang merespon
sikap pemerintahan Amerika Serikat secara represif. Kegamangan tersebut
kemudian muncul di forum utama PBB dimana mereka menilai Libya
sebetulnya sudah cukup maju untuk memulihkan citranya di mata
internasional. Ini membuat kebijakan intervensi melalui PBB jauh lebih
sulit dirancang atau ditegaskan dibanding pengambilan kebijakan di
NATO menyikapi kondisi Libya. Maka dari itu saat intervensi ke Libya
memang didalamnya terlibat NATO mendahului mandat PBB yang
dilatarbelakangi oleh Amerika Serikat.
NATO kemudian menjadi kendaraan bagi Amerika Serikat di
Libya karena dinilai lebih fleksibel dalam penyatuan sikap menentukan
suatu intervensi militer. Selaku negara adidaya, Amerika Serikat
mendorong dan menggunakan NATO dalam melakukan eksekusi
kebijakan intervensi militer tersebut. Pada saat NATO memutuskan untuk
mendukung segala upaya penggulingan Khadafi, melalui Presiden
Amerika Serikat, Barack Obama mengatakan bahwa Amerika Serikat
dalam kasus konflik bersenjata di Libya mengambil aksi militer yang
terbatas sebagai bagian koalisi yang luas dalam NATO. Obama
menambahkan bahwa Amerika Serikat dan NATO tidak akan berdiam diri
ketika ada seseorang yang kejam mengatakan kepada rakyatnya sendiri
bahwa tidak akan ada belas kasihan seperti tindakan Khadafi yang terus
bertindak represif terhadap para oposisi.
Selama periode intervensi militer Amerika Serikat di Libya,
dominasi negara ini terhadap NATO terlihat sangat signifikan. Upaya
tersebut direalisasikan Amerika Serikat dalam bentuk dukungan penuh
melalui aliansi NATO. Dukungan yang diberikan Amerika Serikat berupa
suntikan dana dan juga bantuan militer berupa kapal induk, pesawat
tempur, kapal peluncur rudal, dan lain sebagainya. Tindakan yang
dilakukan oleh NATO di Libya kemudian semakin menekankan bahwa
Amerika Serikat masih mendominasi setiap bentuk kebijakan aliansi
karena didukung oleh bentuk kepentingan yang ingin dicapai oleh aliansi
maupun Amerika Serikat sendiri.
Pada awal tahun 2009 yang merupakan masa awal pemerintahan
Obama, dalam konflik yang terjadi di Georgia, pemerintahan Amerika
Serikat dan Georgia sepakat untuk membentuk Strategic Partnership yang
merupakan kerangka kerjasama bilateral dengan empat prioritas yaitu:
kerjasama pertahanan dan keamanan; demokrasi; ekonomi, perdagangan
dan energi; serta pertukaran budaya. Salah satu tujuan utama dari kerangka
kerjasama ini adalah membangun kembali pertahanan militer Georgia
yang hancur pasca perang serta mempromosikan perdamaian dan stabilitas
regional pasca perang. Adapun kegiatan kerjasama dalam bidang
pertahanan dan keamanan disini adalah pelatihan, edukasi, dan pengiriman
pasukan militer Georgia ke luar Georgia; memperkuat kapabilitas
pertahanan militer Georgia, termasuk air defense dan sistem radar;
memberikan dukungan baik secara materiil maupun pelatihan untuk
pertahanan teritorial Georgia; meningkatkan peran dan keikutsertaan
pasukan militer Georgia dalam misi perdamaian NATO maupun Amerika
Serikat (CSIS Website, 2012, hal. 6). Kerjasama ini sendiri merupakan
kerjasama lintas sektor, termasuk di dalamnya sektor pertahanan dan
keamanan, seperti yang dikutip di bawah ini.
“recognizing the persistence of threats to global peace
and stability, and recalling the Georgian and Russian
commitment within the August 12 ceasefire agreement to
the non-use of force, the United States and Georgia intend
to expand the scope of their ongoing defense and security
cooperation programs to defeat these threats and to
promote peace and stability. A defense and security
cooperation partnership between the United States and
Georgia is of benefit to both nations and the regions.” –
Section II, Poin 2 Strategic Partnership Charter.
Melalui charter diatas pula, Amerika Serikat berkomitmen untuk
meningkatkan kapabilitas militer Georgia sebagai persiapan untuk
bergabung ke dalam NATO. Amerika Serikat terus meyakinkan Georgia
bahwa negara ini akan terus berkomitmen memberikan dukungan kepada
Georgia, terutama membentuk militer Georgia yang sesuai dengan standar
NATO serta peningkatan kapabilitas untuk berperang melalui banyaknya
pelatihan (US Department of Defense Website, 2009).
Bagi Georgia, Amerika Serikat merupakan celah bagi untuk bisa
semakin mendekatkan diri dengan aliansi NATO melalui pembentukan
hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Selain itu, Amerika Serikat
dapat dikategorikan sebagai potential ally bagi Georgia. Hal ini terlihat
dari bentuk kecenderungan pemihakan yang dilakukan oleh Amerika
Serikat untuk Georgia sendiri. Apalagi sebagai the strongest international
actor, Amerika Serikat memberikan Georgia harapan bahwa beraliansi
dengan Amerika Serikat dapat menjadi sarana yang tepat bagi negara ini
untuk menjaga stabilitas keamanan negara mereka disamping menjadi
bagian dari aliansi.
Sejak aliansi NATO didirikan, sejatinya organisasi ini telah menjadi
bagian dari fondasi keamanan wilayah Eropa dan fondasi strategis dari kebijakan
luar negeri Amerika Serikat ke wilayah Eropa. Dari mulai berdiri hingga
sekarang, NATO terus memberikan Amerika Serikat kemampuan untuk
melindungi kepentingan nasional mereka yang vital secara global. Peran kuat
Amerika Serikat di dalam NATO memberikan negara ini sebuah struktur saluran
dan penghubung ke beberapa pemerintahan yang dianggap stabil di dunia,
menjadi mekanisme kebijakan utama yang dapat mempengaruhi Eropa dan
menyediakan tempat untuk legitimasi dan kebebasan terhadap tindakan global.
Salah satu tokoh yang juga menjadi penggagas teori neoliberalisme
bersama dengan Robert Keohane, dalam tulisannya yang berjudul „Redefining the
National Interest‟ mengatakan bahwa “National interests are the fundamental
building blocks in any discussion of foreign policy” (Nye, 1999, hal. 23).
Berdasarkan pernyataan ini, menurut Nye, agar aliansi NATO tetap menjadi
relevan, kepentingan nasional Amerika Serikat harus menjadi prioritas dalam
hubungannya dengan aliansi tersebut. Lebih jauh Nye mengatakan bahwa dalam
sebuah demokrasi, kepentingan nasional hanyalah serangkaian prioritas bersama
mengenai hubungan dengan negara-negara lain di dunia. Pernyataan ini kemudian
disetujui oleh Condoleezza Rice, dimana menurut dia, selama enam puluh lima
tahun terakhir, Amerika Serikat dan rekan-rekannya sesama anggota NATO tidak
hanya berbagi nilai-nilai bersama tapi juga kepentingan nasional (Rice, 2008, hal.
5). Selain itu, selama menjadi mitra di dalam NATO juga memberikan Amerika
Serikat kemampuan untuk membantu dan menjadi mentor bagi demokrasi yang
baru lahir di Eropa Timur demi memastikan bahwa negara-negara tersebut
memiliki lingkungan yang aman yang diperlukan untuk menyempurnakan
demokrasi tersebut.
Dalam hal hubungan aliansi dengan pencapaian kepentingan nasional
Amerika Serikat yang terus bergerak maju, Luke Coffey dalam tulisannya
menyatakan bahwa komitmen Amerika Serikat tidak lagi dalam hal menghalangi
ancaman Uni Soviet tapi lebih kepada memastikan bahwa jangkauan strategis
Amerika di Eurasia, Afrika dan Timur Tengah (Coffey, 2012). Selain itu terdapat
tiga rekomendasi untuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait dengan
NATO dan pencapaian kepentingan nasionalnya (Counihan, 2016, hal. 22):
Pertama, Amerika Serikat perlu mendukung pembesaran atau ekspansi NATO
untuk menunjukkan kepada dunia bahwa aliansi tersebut terus menjadi aktor
utama dalam pertahanan dan keamanan kolektif di benua Eropa.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, NATO adalah aliansi
keamanan terkuat dan bisa dibilang efektif yang pernah ada di dunia. Dengan
mendukung pembesaran NATO ke wilayah-wilayah di dunia khususnya
pembesaran ke Eropa Timur dan Skandinavia tidak hanya akan meningkatkan
kemampuan keamanan aliansi tetapi juga meningkatkan kredibilitas organisasi.
Dengan pembesaran, aliansi dapat memberikan legitimasi tindakan yang
disempurnakan di seluruh wilayah Eropa dan secara global. Selain itu,
pembesaran atau ekspansi yang dilakukan oleh aliansi dapat memberikan
demokrasi yang baru kepada keanggotaan.
Kedua, Amerika Serikat harus terus menunjukkan komitmen mereka
terhadap NATO dengan terus melakukan investasi dalam aliansi dengan
membangun kemampuan keamanan dan pertahanan negara-negara anggota.
Ketiga, Amerika Serikat perlu untuk terus memberikan kepemimpinan yang kuat
di dalam aliansi. Organisasi ini telah dan akan terus menjadi struktur saluran dan
konektif Amerika Serikat ke beberapa pemerintahan paling stabil dan berfungsi
sebagai mekanisme kebijakan utama untuk mempengaruhi Eropa. Amerika
Serikat selalu menjadi fondasi kekuatan dan kesiapan militer NATO dan Amerika
Serikat perlu untuk meyakinkan aliansi bahwa mereka akan terus menegakkan
komitmen keamanannya di wilayah tersebut. Bahkan dengan empat negara
anggota lainnya yang saat ini mencapai ambang 2% dan tujuh lainnya sedang
meningkatkan anggaran pertahanan mereka, Amerika Serikat masih menyumbang
sekitar 75% dari total belanja pertahanan aliansi (Erlanger, 2015).
5.3 Kepentingan Amerika Serikat di Georgia Melalui NATO
5.3.1 Sektor Ekonomi
Kehancuran Uni Soviet di wilayah Eropa menjadi momentum
penegakan demokrasi yang ingin dilakukan oleh Amerika Serikat untuk
negara-negara bekas pecahan Uni Soviet. Negara Amerika Serikat dikenal
sebagai negara kampiun demokrasi merasa bertanggung jawab untuk
menstabilkan dan terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam
mewujudkan demokrasi di negara-negara yang dianggap menyalahi aturan
demokrasi maupun HAM. Momen kehancuran Uni Soviet ini ternyata
menjadi sebuah kemenangan politik di Amerika Serikat. Berbagai
kebijakan dilakukan terkait dengan peristiwa tersebut khususnya di negara-
negara bekas pecahan Uni Soviet dan satelitnya di Eropa Timur. Kebijakan
ini juga termasuk di dalamnya berlaku untuk negara Georgia yang
merupakan negara bekas pecahan Uni Soviet.
Georgia merupakan sebuah negara kecil yang terletak di
persimpangan strategis antara Rusia dan Turki, Laut Kaspia dan Laut
Hitam di wilayah Kaukasia. Selain itu, Georgia menjadi salah satu rute
transit energi paling penting era pasca Perang Dingin (Macfarlane, 2008,
hal. 1). Negara ini menjadi negara transit bagi produsen minyak dunia
yang jalur pengirimannya tidak melewati Rusia dan Iran. Selama berabad-
abad Georgia telah menarik perhatian besar Turki, Iran, Mongolia dan
Rusia.
Setelah Georgia merdeka dari keadaan geopolitik Uni Soviet dan
perkembangan domestik dalam negeri mulai meningkat, Georgia mulai
menjadi salah satu negara incaran Amerika Serikat, Uni Eropa dan Rusia
(Janeliunas & Kirvelyte, 2009, hal. 145). Saat ini, negara Georgia telah
menarik perhatian yang meningkat dalam hal keamanan energi Eropa dan
Barat dan berperan aktif bagi dua wilayah tersebut karena lokasinya yang
strategis. Khususnya, infrastruktur ekspor energi baru – Pipa Baku-Tbilisi-
Ceyhan (BTC) yang bernilai penting untuk Eropa dan Amerika Serikat
(Juntti, 2004, hal. 325).
Dalam kawasan Kaukasus, Georgia memang bukan negara yang
paling penting karena masih terdapat negara Azerbaijan yang memainkan
peranan tersebut di kawasan. Azerbaijan memiliki luas negara yang lebih
besar jika dibandingkan dengan Georgia. Selain itu negara ini adalah satu-
satunya negara yang berbatasan dengan Rusia dan Iran, sehingga menjadi
koridor antara Timur dengan Barat. Dalam hal sumber daya energi negara
Azerbaijan juga tidak boleh dilewatkan. Namun demikian, keberadaan
Georgia tentu juga dapat diperhitungkan di kawasan. Seperti disebutkan
sebelumnya, Georgia memainkan peran yang strategis dalam
menghubungkan Laut Kaspia dan Azerbaijan dengan Barat (Cornell,
Svante E, 2007, hal. 5).
Gambar 5 BTC Pipeline (Radio Liberty Website, 2006)
Pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan adalah pipa dengan panjang 1.768
kilometer minyak mentah dari ladang minyak Azeri-Chirag-Guneshli di
Laut Kaspia ke Laut Mediterania (BP Global Website). Ini
menghubungkan Baku, Ibukota Azerbaijan, Tbilisi, Ibukota Georgia dan
Ceyhan, sebuah pelabuhan di bagian selatan-timur pantai Mediterania
Turki. Ini adalah terpanjang kedua pipa minyak di Uni Soviet setelah pipa
Druzhba. Minyak pertama yang dipompa dari ujung pipa Baku pada
tanggal 10 Mei 2005 mencapai Ceyhan pada 28 Mei 2006. Laut Kaspia
terletak di salah satu kelompok terbesar di dunia minyak dan gas.
Dikarenakan letak Luat Kaspia berlokasi di pedalaman, distribusi minyak
ke pasar Barat dianggap cukup menyulitkan. Selama masa Uni Soviet, rute
transportasi semua dari daerah Kaspia dibangun dengan jalur yang
melewati Rusia. Akibat dari keruntuhan Uni Soviet membuat Rusia harus
berinovasi untuk mencari rute baru.
Sebelum diinisiasinya pembentukan pipa BTC ini, distribusi
minyak dilakukan melewati South Caucasus Pipeline (SCP) yang
memiliki rute yang sama dengan BTC. Namun, rute SCP lebih pada jalur
Baku-Tbilisi-Erzurum dan dikontrol oleh konsorsium non-Rusia yang
menggambarkan bahwa jalur pipa ini juga sangat penting dimana saat ini
pengiriman minyak dan gas lebih banyak melalui Rusia sebagai pemasok
gas alam terbesar saat ini.
Gambar 6 South Caucasus Pipeline (Vestnik Kavkaza Website, 2013)
Baik jalur pipa SCP dan BTC masing-masing berperan sangat
penting bagi negara-negara pengimpor minyak di dunia. Selain itu, jalur
pipa ini memberikan keuntungan bagi Azerbaijan, Georgia dan Turki
sebagai negara-negara yang dilalui. Jalur-jalur ini merupakan jalur
transportasi yang dapat membawa sekitar satu juta barel minyak perhari ke
Eropa. Biaya transit yang dihasilkan dari jalur tersebut memberikan
pendapatan yang sangat menguntungkan bagi negara yang dilewati.
Selain memberikan keuntungan bagi negara-negara yang dilewati,
jalur pipa minyak ini juga memberikan keuntungan bagi negara-negara
Barat khususnya Amerika Serikat. Amerika Serikat mencoba untuk
mengamankan dan melindungi jalur-jalur penting ini untuk mengamankan
aliran cadangan minyaknya dari wilayah-wilayah penghasil minyak di
Eropa Timur dan Asia Tengah. Candangan minyak yang diperkirakan
berjumlah sekitar 6 milyar ton yang berlokasi di sekitar Laut Kaspia
kemudian dialirkan melalui jalur pipa BTC melalui Georgia dan berakhir
di Terminal Ceyhan yang berlokasi di Turki. Usaha Amerika Serikat untuk
mengamankan dan melindungi Georgia sewaktu terjadi konflik bertujuan
untuk melindungi kepentingan ekonominya karena Georgia adalah pusat
penghubung antar negara penghasil minyak di kawasan Asia Timur Dekat
dan Asia Timur jauh dengan Eropa.
5.3.2 Sektor Politik
Selain untuk menjaga kepentingan ekonomi negara mereka,
Amerika Serikat ternyata memiliki kepentingan lain di wilayah Georgia.
Amerika Serikat yang dikenal sebagai pemimpin dunia ingin melakukan
ekspansi ke kawasan Eropa Timur. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari
posisi Amerika Serikat sendiri. Negara ini masih tetap memimpin dalam
hal ekonomi, moneter, teknologi dan budaya di seluruh lapisan dunia
(Ikenberry, hal. 2). Selain itu dalam hal militer, Amerika Serikat tetap
masih unggul dari negara lain, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Dengan banyaknya faktor pendukung yang dimiliki oleh Amerika Serikat,
tentu meyakinkan negara ini untuk dapat memperluas jangkauan teritorial
negara mereka. Karena sebagai negara demokratis, Amerika Serikat ingin
mempromosikan nilai-nilai demokratis yang dianut oleh bangsanya kepada
dunia luar untuk bisa memunculkan tatanan dunia yang baru (Kraemer,
2006, hal. 9).
Negara Georgia kemudian menjadi salah satu negara yang dipilih
oleh Amerika Serikat untuk mengimplementasikan kebijakan negara ini.
Sebagai negara pecahan Uni Soviet yang juga terletak di wilayah
Kaukasus, Amerika Serikat melihat adanya peluang yang dapat dicapai
oleh kepentingan negara mereka di negara tersebut. Hubungan baik antara
Amerika Serikat dan Georgia mulai meninjukkan signifikansi setelah
peristiwa penyerangan yang terjadi antara Rusia dan Georgia. Pada masa
tersebut, bertubi-tubi Rusia memberikan tekanan terhadap Georgia yang
dianggap mulai menarik diri dari bagian Rusia terutama setelah peristiwa
Revolusi Mawar2. Kejadian tersebut juga membawa Georgia di bawah
pemerintahan Mikhail Saakhasvili yang baru mulai menunjukkan
perubahan kebijakan yang lebih pro kepada negara-negara Barat
khususnya Amerika Serikat.
Kepemimpinan yang pro-Barat dari Georgia ini mendatangkan
ketakutan bagi Rusia karena semenjak pemerintahan Georgia yang pro-
Barat, Georgia menjalankan prioritas kebijakan luar negeri yang terlihat
berusaha menjauhi pengaruh Rusia dan mulai mendekatkan diri dengan
institusi Euro-Atlantic dan menjalin kerjasama erat dengan Amerika
Serikat. Ketakutan yang timbul dari Rusia diindikasikan terlihat ketika
Amerika Serikat secara nyata memperlihatkan keinginannya untuk
mencapai kepentingan negaranya di kawasan Kaukasus Selatan dan
Georgia secara khusus.
Ketakutan dari Rusia merupakan dampak dari kebijakan Amerika
Serikat yang ingin mengimbangi kekuatan Rusia di Eropa Timur. Setelah
runtuhnya Uni Soviet, Rusia muncul sebagai kekuatan yang besar baik dari
segi demografi maupun sumber daya yang dimiliki jika dibandingkan
dengan negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya. Dalam hal ekonomi,
pertumbuhan Rusia yang sempat mengalami penurunan nyatanya secara
perlahan mulai meningkat. Begitu pula dalam hal militer, Rusia masih
menempati posisi teratas diantara negara-negara pecahan Uni Soviet.
Kehadiran Amerika Serikat di Georgia dipandang Rusia memiliki
tujuan emas untuk mengejar hubungan dengan negara-negara tetangga
mereka karena memanfaatkan kondisi Rusia yang pada saat itu secara
politik dan ekonomi lemah. Amerika Serikat dan negara-negara Barat
lainnya bertindak sebagai penyelamat ekonomi dan secara pasti
mempengaruhi pemerintahan negara-negara tersebut (Cooley, 2009, hal.
2Revolusi Mawar mendeskripsikan sebuah perubahan damai pro-Barat di Georgia yang berujung
pada merebaknya unjuk rasa terhadap persengketaan pemilihan parlementer dan berpuncak pada
pelengseran Presiden Eduard Shevardnadze yang juga menjadi tanda berakhirnya era
kepemimpinan Soviet di negara tersebut.
84). Kemudian disaat yang bersamaan, Amerika Serikat mendukung
negara-negara pecahan Uni Soviet untuk ikut dalam keanggotaan NATO
dan Uni Eropa serta mempengaruhi negara-negara tersebut untuk tidak
mengindahkan segala penolakan Rusia terhadap kedekatan dengan
Amerika Serikat.
Begitupula dengan yang terjadi di Georgia dimana Amerika Serikat
hadir sebagai sumber bantuan bagi negara ini sebelum dan sesudah
terjadinya konflik. Salah satu bantuan yang diberikan oleh Amerika
Serikat kepada Georgia yaitu program Georgia Train and Equip
Programme (GTEP). Program ini dibentuk pada 29 April 2002 oleh
Departemen Pertahanan Georgia (Global Security Website, 2012) yang
mana didalamnya Amerika Serikat memberikan bantuan kepada Georgia
dalam menghadapi terorisme yang saat itu sedang dialami oleh Georgia di
Pankisi Georg. Melalui program GTEP ini Georgia mendapatkan peralatan
militer dari Amerika Serikat. Peralatan militer tersebut meliputi seragam,
senjata dan amunisi, peralatan komunikasi, perlengkapan pelatihan,
peralatan medis dan berbagai material untuk konstruksi.
Selain pembentukan program GTEP, dukungan yang ingin
diberikan oleh Amerika Serikat untuk Georgia dapat dilihat dari garis
besar komitmen Amerika Serikat terhadap Georgia, yaitu (White House
Gov Website, 2008): Pertama, Amerika Serikat akan memberikan bantuan
ekonomi bagi Georgia untuk mengembalikan ekonomi Georgia dan
kebutuhan masyarakat Georgia. Pemberian bantuan akan ditujukan untuk
pembangunan jangka panjang yang ditujukan untuk pemerintah Georgia,
rehabilitasi infrastruktur, pembiayaan sektor swasta, bantuan kemanusiaan,
dan pembangunan-pembangunan lainnya. Kedua, bantuan kemanusiaan
untuk membantu masyarakat Georgia yang terkena dampak invasi diantara
berupa bantuan makanan dan obat-obatan.
Bantuan ketiga yaitu Amerika Serikat dengan beberapa bank
memformulasikan beberapa rencana yang ditujukan untuk kebutuhan
rekonstruksi Georgia dan investasi untuk pertumbuhan ekonomi Georgia.
Terhitung sejak tahun 2007 Georgia mulai menunjukkan pertumbuhan
ekonomi yang meningkat. Amerika Serikat mendukung strategi Georgia
dengan IMF untuk mendorong kembali rasa kepercayaan investor terhadap
Georgia. Keempat, Amerika Serikat akan memperdalam hubungan
perdagangan dan investasi dengan Georgia dimana Amerika Serikat akan
memperluas kerangka kerjasama perdagangan dan investasi dengan
Georgia, mengeksplorasi kemungkinan yang dapat memperluas kerjasama
investasi bilateral, menawarkan bentuk regulasi baru yang memungkinkan
pasar Amerika Serikat untuk lebih mudah masuk di Georgia dan
sebaliknya.
Untuk konflik yang terjadi di Georgia ternyata tidak hanya
memberikan dampak negatif terhadap negara namun juga dapat membawa
keuntungan tersendiri bagi Georgia. Hampir sekitar 1 Miliar USD
didapatkan Georgia sebagai bantuan dari Amerika Serikat. Bantuan ini
merupakan hasil dari kerjasama bilateral kedua negara pada Juni 2009
(U.S Department of States Website, 2009). Paket bantuan senilai I Miliar
USD dari Amerika Serikat diberi nama “Billion Dollar Pledge” yang
bertujuan untuk membantu para korban perang yang telah kehilangan harta
benda, membangun kembali infrastruktur, memulihkan pertumbuhan
ekonomi, mempertahankan kepercayaan investor dalam perekonomian
Georgia, dan mendorong terus reformasi demokrasi dan keamanan energi.
Bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat untuk Georgia
disalurkan melalui USAID (US Agency for International) yang adalah
lembaga yang melaksanakan program rehabilitasi Georgia pasca negara
tersebut terlibat perang. Adapun beberapa rincian bantuan yang merupakan
bagian dari paket bantuan USAID Billion Dollar Pledge:
1. Overseas Investment Corporation Swasta (OPIC),
menyediakan 176.000.000 USD untuk pembiayaan tujuh
proyek baru di Georgia, yang akan sangat dibutuhkan
menyuntikkan modal ke konstruksi perbankan demokrasi yang
masih muda dan sektor manufaktur.
2. Millennium Challenge Corporation, memberikan tambahan 100
juta USD dana hibah. Dana tambahan tersebut akan fokus pada
pengembangan jaringan jalan Georgia, infrastruktur dan
aktivitas energi.
3. Sekitar 61.700.000 USD digunakan untuk berbagai kegiatan
bantuan kemanusiaan, termasuk airlifts pasokan bantuan
darurat, dikelola oleh Kantor Bantuan Bencana Luar Negeri
Amerika Serikat (OFDA) dan instansi pemerintahan Amerika
Serikat lainnya.
Disamping bantuan tersebut, Georgia juga menerima paket bantuan
ekonomi untuk pembangunan infrastruktur yang rusak dan membantu
mengembalikan kepercayaan investor pada ekonomi Georgia (U.S
Department of States Website, 2009). Selain dukungan dalam hal
ekonomi, Amerika Serikat juga memberikan dukungan kepada Georgia
dalam kerjasama bidang pertahanan seperti pelatihan militer Georgia dan
penandatanganan strategic partnership pada awal 2010 terutama dalam
bidang pertahanan dan ekonomi yang tertuang dalam “United States-
Georgia Charter on Strategic Partnership”. Dalam isi dari pembukaan
kerjasama strategis Amerika Serikat dan Georgia tertuang (America.gov
Website, 2009):
1. Affirm the importance of our relationship as friends and
strategic partners. We intend to deepen our partnership to the
benefit of both nations and expand our cooperation accross a
broad spectrum of mutual priorities. (Penegasan mengenai
pentingnya hubungan sebagai teman dan mitra strategis. Baik
Amerika Serikat dan Georgia bermaksud untuk memperdalam
kemitraan untuk kepentingan kedua negara dan memperluas
kerjasama di berbagai prioritas bersama).
2. Emphasize that this cooperation between our two democracies
is based on shared values and common interests. These include
expanding democracy and economic freedom, protecting
security and territorial integrity, strenghtening the rule of law
and respect for human rights, including the right of dignified,
secure and voluntary return of all internally displaced persons
and refugees, supporting innovation and technological
advances, and bolstering Eurasian energy security.
(Menekankan bahwa kerjasama antara kedua negara demokrasi
didasarkan pada nilai-nilai bersama dan kepentingan bersama.
Ini termasuk memperluas demokrasi dan kebebasan ekonomi,
melindungi keamanan dan integritas teritorial, memperkuat
peraturan undang-undang dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, termasuk hak untuk mengembalikan martabat,
pengungsi yang aman, dan sukarela kembali, mendukung
inovasi dan kemajuan teknologi, dan memperkuat keamanan
energi Eurasia).
3. Stress our mutual desire to strengthen our relationship across
the economic, energy, diplomatic, scientific, cultural and
security fields. (Penekanan mengenai keinginan bersama untuk
memperkuat hubungan di bidang ekonomi, energi, diplomatik,
ilmiah, budaya dan keamanan).
Bagi Amerika, prioritas bantuan yang akan diberikan kepada
Georgia bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di
Georgia yang utama, kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan yang adil
dan demokratis, kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ekonomi dan bantuan
kemanusiaan (U.S Department of States Website, 2009). Bantuan untuk
penciptaan perdamaian dan keamanan yang diberikan oleh Amerika
Serikat untuk Georgia meliputi hal berikut: (U.S Department of States
Website, 2009)
1. Reformasi, melatih dan melengkapi militer Georgia untuk dapat
mencapai standar NATO dan untuk mendukung kontribusi
terhadap operasi pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional.
2. Meningkatkan kapasitas dari Georgia Border Police dan Custom
Services untuk memerangi penyelundupan, sekaligus meningkatkan
pendapatan dan memperbaiki tingkat kontrol perbatasan.
3. Meningkatkan keterampilan dari Georgian judicial and law
enforcement officials.
4. Meningkatkan kemampuan forensik untuk memenuhi standar
internasional.
Bagi Georgia sendiri, peranan Amerika dalam memberikan
bantuan terhadap negara mereka sangat penting karena baik Georgia dan
Amerika Serikat menganggap mereka memiliki nilai-nilai fundamental
yang sama yaitu nilai-nilai demokratis. Disamping Georgia membutuhkan
Amerika Serikat sebagai tonggak reformasi untuk melawan Rusia. Melalui
pidato dari Menteri Luar Negeri Georgia, Mr. Grigol Vashadze dalam
Carnegie Endowment for International Peace, dia menyatakan bahwa:
“as we all know, these past ten months have been
extremely difficult ones for my country, the interests
and values our nations share have been endangered by
Russia. This is why Georgia, now more than that ever,
needs the continous and firm U.S support. The effects of
the Russia-Georgia war have put my country in a
difficult situation, compelling us to stay vigilant against
external provocations and threats, while also
advancing our reform agenda. Yes despite all the
hindrances and problems caused by Russia, Georgia is
committed to its democratic reform efforts, which we
know contribute to security and stability in the region.”
(America.gov Website, 2009)
Georgia melihat bahwa bentuk pendekatan-pendekatan kebijakan
Georgia ke negara-negara Barat harus menjadi prioritas kebijakan luar
negeri mereka karena dianggap dapat membantu mereka dalam
menyelesaikan masalah-masalah negaranya baik internal maupun
eksternal. Sedangkan untuk Amerika Serikat, setiap bentuk dukungan yang
diberikan oleh negara ini untuk Georgia dianggap sebagai pembuka jalan
untuk memuluskan setiap kepentingan Amerika Serikat di Georgia dan di
kawasan Kaukasus. Dengan memanfaatkan keanggotaan NATO yang
menjadi daya tarik sendiri bagi negara-negara Eropa khususnya negara
bekas pecahan Uni Soviet, Amerika Serikat mulai menjalin kedekatan
dengan negara di kawasan tersebut untuk membuat Rusia terancam akan
kehadirannya.
Perubahan strategi yang dilakukan oleh Amerika Serikat
menggunakan NATO sebagai pemikat negara-negara di kawasan Eropa
Timur ternyata tidak sia-sia. Hal ini bisa dilihat dengan dibentuknya
program Partnership for Peace NATO untuk negara-negara mitra.
Akibatnya, perluasan yang dilakukan Amerika Serikat bekerja sama
dengan NATO yang juga ingin melakukan ekspansi ke wilayah yang sama
menjadikan Rusia terisolasi di wilayahnya sendiri.