Upload
duongbao
View
272
Download
4
Embed Size (px)
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
P a g e [ 419 ]
BAGIAN 4. PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI
MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)
Dini AmaliahUniversitas Indraprasta PGRI Jakarta
AbstrakPelaksanaan muatan lokal harus benar-benar memperhatikan karakteristiklingkungan daerah dan juga kebutuhan daerah tersebut. Hal ini bertujuansebagai usaha pengenalan pemahaman dan pewarisan nilai karakteristik daerahkepada peserta didik. Peserta didik juga diharapkan tidak saja memilikipengetahuan secara akademis berupa pengetahuan global seperti yangdiharapkan, tetapi juga mempunyai kepedulian terhadap nilai-nilai sosio-kultural yang melingkupi peserta didik. Konsep muatan lokal tersebut sesuaidengan konsep trikon yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu salahsatunya konsentris, yang berarti setelah bersatu dan berkomunikasi denganbangsa-bangsa lain di dunia, jangan kehilangan kepribadian sendiri. Muatanlokal berarti penguat sumber daya manusia Indonesia akan kecintaan dan nilailokal daerah sebagai bentuk pertahanan diri dalam menerima arus global.Sehingga muatan lokal menjadi salah satu strategi dalam menghadapiMasyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kekuatan informasi, pengetahuan danbudaya luar akan menjadi tambahan kekuatan bangsa tanpa mengurangi,mengaburkan bahkan menghilangkan kecintaan peserta didik akan nilai sosio-kultural bangsa dan juga daerahnya. Makalah ini berupaya menjelaskan perananpenting muatan lokal dalam menghadapi MEA dengan metode conceptual paper,yaitu melalui kajian bersifat kualitatif melalui pengumpulan jurnal deskriptif danliteratur.
Kata kunci: Muatan lokal, Strategi, MEA
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk salah satu negara dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
atau ASEAN Economic Community (AEC) yang akan bergulir mulai akhir tahun 2015 ini.
MEA merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah disebut
dalam Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation pada tahun
1992. Dengan adanya MEA terciptanya pasar bebas di bidang permodalan, barang dan
jasa, serta tenaga kerja. Konsekuensi atas kesepakatan MEA yakni dampak aliran bebas
barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas investasi,
dampak arus tenaga kerja terampil, dan dampak arus bebas modal.
Menjelang MEA yang sudah di depan mata, pemerintah Indonesia diharapkan
dapat mempersiapkan langkah strategis, khususnya di bidang pendidikan. Hal ini
dikarenakan pendidikan merupakan pencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas
yang menjadi jawaban terhadap kebutuhan sumber daya manusia. Oleh karena itu perlu
meningkatkan standar mutu sekolah agar lulusannya siap menghadapi persaingan. Salah
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 420 ] P a g e
satu caranya dengan menguatkan kepala sekolah, guru dan orang tua. Karena
kepemimpinan kepala sekolah menjadi kunci tumbuhnya ekosistem pendidikan yang
lain. Selain itu peningkatan kemampuan peserta didik dalam bidang kewirausahaan juga
merupakan bekal dalam menghadapi persaingan MEA. Langkah strategis lain dalam
bidang pendidikan adalah menerapkan pendidikan berkarakter sebagai daya tahan
dalam menghadapi MEA melalui pengembangan kurikulum baik intra maupun ekstra
kurikuler.
Pengembangan kurikulum diperlukan juga dalam menghadapi dampak negatif
dari MEA. Melalui kurikulum yang tidak hanya bersifat global namun lokal maka dampak
negatif MEA dapat dibendung. Salah satu upayanya dengan pengembangan kurikulum
muatan lokal (MULOK) yang sudah dilakukan dalam pendidikan di Indonesia.
Pengembangan MULOK merupakan pengembangan konsep pendidikan yang sesuai
dengan konsep dari Ki Hajar Dewantara yaitu Trikon. Pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai
luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan
tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju
ke arah keluhuran budaya manusia. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh
dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu kontinuitas berarti bahwa
garis hidup sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan pada zaman lampau
berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain;
konvergensi berarti harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju
ke arah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran
bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak, dan kemerdekaan masing-
masing; dan konsentris berarti setelah bersatu dan berkomunikasi dengan bangsa-
bangsa lain di dunia, jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah
masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun kita
bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu kita masih tetap memiliki
lingkaran sendiri yang khas yang membedakan Negara kita dengan Negara lain.
Konsep konsentris yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara merupakan dasar
pengembangan kurikulum melalui muatan lokal. Muatan lokal diberikan dalam rangka
usaha pengenalan pemahaman dan pewarisan nilai karakteristik daerah kepada peserta
didik. Kedudukan muatan lokal dalam kurikulum bukanlah mata pelajaran yang berdiri
sendiri, tetapi merupakan mata pelajaran terpadu, yaitu bagian dari mata pelajaran yang
sudah ada. Melalui muatan lokal yang diterapkan di sekolah, diharapkan peserta didik
dapat meningkatkan kecintaannya terhadap budaya daerahnya dan menanamkan nilai
sosio kultural yang melingkupi peserta didik. Pemahaman nilai karakteristik daerah
kepada peserta didik diharapkan dapat menjadi benteng yang tangguh dalam
menghadapi dampak negatif dari arus global yaitu MEA. Dengan begitu peserta didik
akan menjadikan arus global menjadi tambahan kekayaan nilai sosio kultural tanpa
menghilangkan nilai budaya daerah.
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
P a g e [ 421 ]
Berdasarkan hal tersebut, tujuan MULOK secara filosofis merupakan
pengembangan dari konsep primordial yaitu menumbuhkan dan meningkatkan rasa
nasionalisme sebagai wujud rasa cinta terhadap bangsa Indonesia. Nasionalisme yang
ada pada diri setiap peserta didik dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat,
kokoh dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan dan peluang baik yang
muncul dalam diri bangsa maupun dari luar seperti MEA.
Selain itu, MULOK bertujuan dalam pengembangan edukatif dan psikologis
peserta didik. Dengan MULOK pembelajaran aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan
(PAIKEM) dapat terwujud, karena dengan PAIKEM materi pembelajaran dapat mudah
diserap peserta didik dan dapat mewujudkan pembelajaran sejati yang merupakan
bagian dari pembelajaran holistik yang dikemukakan oleh Prof. Dr. M. Surya yaitu bahwa
pembelajaran sejati bersifat nyata, dekat, dikenal, alami dan natural, yang merupakan
kesatuan dari konsep MULOK. Pembelajaran sejati inilah yang akan mewujudkan SDM
berkualitas dan siap menghadapi tantangan dan peluang bangsa. Penulisan paper ini
bertujuan untuk menelaah pengembangan konsep kurikulum muatan lokal di sekolah
dan menginternalisasi peran pengembangan konsep muatan lokal dalam diri peserta
didik sebagai upaya dalam menghadapi MEA.
KONSEP KURIKULUM MUATAN LOKAL
Dalam hal ini, beragam pandangan telah dikemukakan sejumlah pakar. Namun,
dalam bagian ini hanya akan dikemukakan beberapa definisi yang telah diajukan.
Tirtarahardja dan La Sula mengungkapkan bahwa kurikulum muatan lokal adalah …suatu
program pendidikan yang isi dan media dan strategi penyampaiannya dikaitkan dengan
lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah (Iim
Wasliman, 2007: 209). Yang dimaksud dengan isi adalah materi pelajaran yang dipilih
dan lingkungan dan dijadikan program untuk dipelajari oleh murid di bawah bimbingan
guru guna mencapai tujuan muatan lokal. Media penyampaian ialah metode dan berbagai
alat bantu pembelajaran yang digunakan dalam menyajikan isi muatan lokal. Jadi isi
program dan media penyampaian materi lokal diambil dan menggunakan sumber
lingkungan yang dekat dengan kehidupan peserta didik.
Menurut Mulyasa kurikulum muatan lokal adalah kegiatan kurikuler yang
mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah,
termasuk keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata
pelajaran yang ada. (Mulyasa, 2009: 256) Substansi Muatan lokal ditentukan oleh
masing-masing satuan pendidikan. Pendapat ini tampaknya menganggap bahwa
kurikulum muatan lokal hanya bisa diakomodasi melalui kegiatan yang terpisah dengan
mata pelajaran.
Muatan lokal diorientasikan untuk menjembatani kebutuhan keluarga dan
masyarakat dengan tujuan pendidikan nasional. Dapat pula dikemukakan, mata pelajaran
ini juga memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan kemampuannya yang
dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, mata pelajaran muatan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 422 ] P a g e
lokal harus memuat karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya
setempat dan mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan yang pada akhirnya
mampu membekali siswa dengan keterampilan dasar sebagai bekal dalam kehidupan (life
skill).
Dengan demikian, kurikulum muatan lokal adalah seperangkat rencana dan
dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Muatan lokal merupakan
kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Muatan lokal
merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang terdapat pada standar isi di
dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Tujuan penyelenggaraan dan pelaksanaan muatan lokal dalam kurikulum yaitu
terdiri dari tujuan langsung dan tak langsung. (Abdullah Idi, 1999: 180) Tujuan langsung
meliputi bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh murid, sumber belajar di daerah
dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, murid dapat menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang
ditemukan di sekitarnya, dan murid lebih mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan
lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya. Sedangkan tujuan tak langsung meliputi:
murid dapat meningkatkan pengetahuan mengenal daerahnya, murid diharapkan dapat
menolong orangtuanya dan menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya, dan murid menjadi akrab dengan lingkungan dan terhindar dari
keterasingan terhadap lingkungan sendiri. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan di
mana bahan muatan lokal sifatnya mandiri dan tidak terikat oleh pusat, maka peranan
guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dalam muatan lokal ini sangat
menentukan. Untuk melaksanakan pengembangan, langkah-langkah yang ditempuh yaitu
menyusun perencanaan muatan lokal, melaksanakan pembinaan, dan merencanakan
pengembangan. (Dakir, 2010: 119)
Dalam menyusun perencanaan muatan lokal juga akan menyangkut berbagai
sumber seperti pengajar, metode, media, dana dan evaluasinya. Merencanakan bahan
muatan lokal yang akan diajarkan, langkah-langkahnya dapat ditempuh yaitu
mengaidentifikasi segala sesuatu yang mungkin dapat dijadikan bahan muatan lokal,
menyeleksi bahan muatan lokal, menyusun silabus yang bersangkutan, mencari sumber
bahan tertulis maupun tidak tertulis, dan mengusahakan sarana/ prasarana yang relevan
dan terjangkau.
Meskipun kurikulum muatan lokal telah direncanakan dengan rapi, tetapi dalam
pelaksanaannya tentu akan mengalami berbagai hambatan. Atas dasar berbagai
pengalaman bagi si pelaksana dan berbagai saran, kritik dan tanggapan yang merupakan
bahan masukan yang sangat berguna bagi revisi bahan muatan lokal selanjutnya. Selain
itu pembinaan perlu ditangani oleh tenaga-tenaga yang profesional yang dilakukan
secara berkelanjutan guna tercapainya tujuan muatan lokal secara optimal.
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
P a g e [ 423 ]
Pada pengembangan muatan lokal ada yang bersifat untuk jangka jauh dan untuk
jangka pendek. Pengembangan jangka jauh dilaksanakan secara berurutan dan
berkesinambungan dari berbagai muatan lokal yang pernah ada di sekolah-sekolah
bawahnya. Sedangkan di perguruan tinggi akan lebih tepat diistilahkan dengan “program
khusus”, yang akan menjadi ciri khas bagi setiap perguruan tinggi yang bersangkutan.
Perkembangan muatan lokal dalam jangka jauh yaitu melatih keahlian dan keterampilan
para siswa yang sesuai dengan harapan nantinya. Dapat membantu dirinya sendiri,
keluarga, masyarakat yang akhirnya dapat membantu pembangunan nusa dan
bangsanya. Oleh karenanya, perkembangan muatan lokal dalam jangka panjang harus
direncanakan secara sistematik oleh keluarga, sekolah dan masyarakat setempat dengan
perantara pakar-pakar pada intansi terkait, baik negeri maupun swasta. Perkembangan
tersebut dapat dilaksanakan dengan pola Trikon teori oleh Ki Hajar Dewantara yaitu
muatan lokal diambilkan dari bahan setempat (Konsentris), kemudian berjalan terus
makin meningkat sesuai dengan perkembangan peserta didik menuju ke daerah-daerah
yang lain (Kontinyu) akhirnya meskipun setiap sekolah memulai dari sentrisnya masing-
masing tetapi kalau semua sekolah melaksanakan secara kontinyu akibatnya akan terjadi
kesamaan bahan yang dipelajari oleh semua peserta didik di Indonesia (Konvergensi).
Jadi dengan kata lain untuk muatan lokal di sekolah dasar bersifat konsentris kemudian
dilaksanakan secara kontinyu di sekolah menengah pertama dan akan terjadi
konvergensi di sekolah menengah atas.
Sedangkan pengembangan muatan lokal dalam jangka pendek dapat dilakukan
oleh sekolah setempat dengan cara menyusun kurikulum muatan lokal kemudian
menyusun silabusnya dan direvisi setiap saat. Dalam pengembangan selanjutnya ada dua
hal yang perlu diperhatikan yaitu perluasan muatan lokal dan pendalaman muatan lokal.
(Dakir, 2010:123)
Perluasan muatan lokal pada dasarnya ialah bahan muatan lokal yang ada di
daerahnya itu yang terdiri dari berbagai jenis muatan lokal. Sedangkan pendalaman
muatan lokal adalah bahan muatan lokal yang sudah ada kemudian diperdalam sampai
lanjutan. Oleh karena itu pelajaran ini diberikan pada siswa yang sudah dewasa.
Landasan pengembangan muatan lokal adalah keberadaannya sebagai salah satu
isi dan struktur kurikulum yang harus diberikan pada tingkat dasar dan menengah. Hal
ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa Sekolah Dasar dan
Menengah terdiri dari mata pelajaran pendidikan agama; pendidikan kewarganegaraan,
bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; Ilmu Pengetahuan Sosial; Seni dan Budaya;
Pendidikan Jasmani dan Olahraga; Keterampilan/Kejuruan; dan muatan lokal (UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 ayat 1).
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.
22 Tahun 2006 tentang standar isi menyatakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) selain memuat beberapa mata pelajaran, juga terdapat mata pelajaran
muatan lokal yang wajib diberikan pada semua tingkat satuan pendidikan. Kebijakan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 424 ] P a g e
yang berkaitan dengan dimasukkannya mata pelajaran muatan lokal dalam standar isi
dilandasi kenyataan bahwa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa
yang memiliki keanekaragaman multikultur (adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian,
kerajinan, keterampilan daerah) merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai
kehidupan bangsa Indonesia. Adapun landasan pengembangan muatan lokal tercantum
pula pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan
pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan. (Rusman, 2009:404).
KONSEP MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Pembentukan MEA berawal dari kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Kesepakatan ini bertujuan meningkatkan daya saing ASEAN serta bisa menyaingi
Tiongkok dan India untuk menarik investasi asing. Modal asing dibutuhkan untuk
meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan warga ASEAN. Saat itu, ASEAN
meluncurkan inisiatif pembentukan integrasi kawasan ASEAN atau komunitas
masyarakat ASEAN melalui ASEAN Vision 2020 saat berlangsungnya ASEAN Second
Informal Summit. Inisiatif ini kemudian diwujudkan dalam bentuk roadmap jangka
panjang yang bernama Hanoi Plan of Action yang disepakati pada 1998.
Tujuan dibentuknya MEA untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di
kawasan ASEAN, serta diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah di bidang
ekonomi antar negara ASEAN. Selama hampir dua dekade, ASEAN terdiri dari hanya lima
negara - Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang pendiriannya pada
tahun 1967. Negara-negara Asia Tenggara lainnya yang tergabung dalam waktu yang
berbeda yaitu Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997),
dan Kamboja (1999).
Menjelang MEA yang sudah di depan mata, pemerintah Indonesia diharapkan
dapat mempersiapkan langkah strategis dalam sektor tenaga kerja, sektor infrastruktur,
dan sektor industri. Dalam menghadapi MEA, Pemerintah Indonesia menyiapkan respon
kebijakan yang berkaitan dengan Pengembangan Industri Nasional, Pengembangan
Infrastruktur, Pengembangan Logistik, Pengembangan Investasi, dan Pengembangan
Perdagangan (www.fiskal.depkeu.go.id). Selain hal tersebut masing-masing Kementerian
dan Lembaga berusaha mengantisipasi MEA dengan langkah-langkah strategis.
Menurut Suroso (2015) dalam bidang pendidikan, Pemerintah juga dapat
melakukan pengembangan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan MEA. Pendidikan
sebagai pencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas menjadi jawaban terhadap
kebutuhan sumber daya manusia. Oleh karena itu meningkatkan standar mutu sekolah
menjadi keharusan agar lulusannya siap menghadapi persaingan. Kegiatan sosialisasi
pada masyarakat juga harus ditingkatkan misalnya dengan Iklan Layanan Masyarakat
tentang MEA yang berusaha menambah kesiapan masyarakat menghadapinya.
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
P a g e [ 425 ]
Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, meningkatkan standar mutu pendidikan
salah satunya dengan menguatkan aktor pendidikan, yaitu kepala sekolah, guru, dan
orang tua. Menurutnya, kepemimpinan kepala sekolah menjadi kunci tumbuhnya
ekosistem pendidikan yang baik. Guru juga perlu dilatih dengan metode yang tepat, yaitu
mengubah pola pikir guru.
Menurut Julipah dalam makalahnya mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
2015 pendekatan yang mampu dioptimalkan untuk menghadapi tantangan MEA 2015 ke
depan khususnya di bidang pendidikan yaitu: pendidikan merupakan hal yang terpenting
untuk meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat khususnya di kawasan Indonesia
Timur. Sebagai usaha untuk meningkatkan daya saing dengan penduduk dari asal negara
asing lainnya, penting untuk pemerintah daerah maupun pusat untuk lebih memberikan
perhatian kepada masalah pendidikan. Penyuluhan sebagai langkah untuk mencerdaskan
kehidupan masyarakat setempat pun perlu dilakukan untuk memberikan kemudahan
mengelola kekayaan alam kawasan Indonesia Timur.
PERAN MUATAN LOKAL DALAM MENGHADAPI MEA
Pemerintah melakukan pengembangan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan
MEA. Salah satu aspek yang dilakukan dalam strategi menghadapi MEA dengan
pengembangan kurikulum adalah pengembangan kurikulum muatan lokal.
Pengembangan kurikulum muatan lokal ada yang bersifat untuk jangka jauh dan untuk
jangka pendek.
Pengembangan jangka jauh dilaksanakan secara berurutan dan
berkesinambungan dari berbagai muatan lokal yang pernah ada di jenjang sekolah dasar
sampai menengah, seperti yang dilakukan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nusa Tenggara Barat, dengan berupaya menerapkan kurikulum muatan
lokal melalui peningkatan kemampuan berbahasa Inggris. Menurut H Wildan di Mataram,
Nusa Tenggara Barat (NTB) republika.co.id (April, 2015) menilai masih lemahnya
penguasaan bahasa Inggris akan menjadi kendala dalam menghadapi persaingan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). "Penguasaan bahasa Inggris menjadi kendala dalam
menghadapi persaingan MEA yang akan diberlakukan mulai akhir 2015.” Penguasaan
bahasa Inggris, menurutnya menjadi salah satu persyaratan utama dalam perekrutan
tenaga kerja di setiap perusahaan, baik milik pemerintah maupun swasta, terutama
perusahaan asing. Hal ini senada yang dilakukan di DKI Jakarta, bahwa pengembangan
kurikulum 2013 semakin menambah sarat pentingnya muatan lokal di sekolah, seperti
yang diungkapkan dalam replubika.co.id (Desember, 2013) Kepala Dinas Pendidikan DKI
Jakarta Taufik Yudi Mulyanto menekankan bahwa bahasa Inggris akan dijadikan muatan
lokal dalam kurikulum baru. “Jadi, di Jakarta, bahasa Inggris justru akan menjadi mata
pelajaran wajib sebagai tambahan dari desain minimal yang ditawarkan Pusat. Begitu
juga dengan Penjaskes.”
Pada perguruan tinggi akan lebih tepat diistilahkan dengan “program khusus”,
yang akan menjadi ciri khas bagi setiap perguruan tinggi yang bersangkutan. Hal ini
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 426 ] P a g e
sesuai dengan yang dilakukan Universitas Indraprasta PGRI dalam mengembangkan
budaya daerah dengan melaksanakan pagelaran wayang orang dan kulit sebagai bentuk
pelestarian budaya di mana mahasiswa dan dosen ikut aktif baik sebagai penari, pemain
dan pelakon.
Perkembangan muatan lokal dalam jangka jauh dapat dilaksanakan dengan pola
Trikon teori oleh Ki Hajar Dewantara yaitu konsentris, kontinyu dan konvergensi dalam
muatan lokal seperti yang diuraikan dalam jurnal humaniora oleh Nunung Sri Wahyuni
(2013) menjelaskan pengembangan muatan lokal melalui membatik di SMA Situbondo,
hasil penelitiannya menyatakan bahwa penetapan muatan lokal membatik merupakan
keputusan sekolah dengan tujuan mensukseskan program pemerintah kabupaten
Situbondo melestarikan dan mengembangkan budaya lokal khususnya batik situbondo,
memberikan bekal keterampilan, dan peluang usaha. Selain itu implementasi muatan
lokal membatik terlaksana secara optimal serta minat wirausaha siswa tinggi setelah
mengikuti mulok membatik.
Muhammad Nur Farid dalam jurnal komunitas Unnes (2012) mengkaji bagaimana
pelaksanaan muatan lokal batik tulis Lasem pada tingkat sekolah dasar di Kecamatan
Lasem sebagai bentuk pelestarian budaya lokal. Hasil penelitian ini menunjukkan
pelaksanaan muatan lokal batik tulis Lasem pada kelas empat dan kelas lima. Muatan
lokal tersebut berhasil menanamkan kepedulian dan kecintaan anak-anak pada batik
tulis Lasem.
Contoh lain dalam pengembangan muatan lokal jangka jauh adalah penetapan
keluasan waktu belajar dalam pelaksanaan muatan lokal di Surabaya dengan menetapkan
Jumat Jawa (JJ). DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia juga telah menerapkan
muatan lokal dengan menetapkan pakaian daerah untuk dipakai guru sebagai langkah
memperkenalkan dan menumbuhkan kecintaan pada budaya daerah.
Berbagai upaya yang dilakukan dalam dunia pendidikan untuk menghadapi
tuntutan dan tantangan dalam menghadapi MEA dengan pengembangan kurikulum
muatan lokal baik melalui penerapan bahasa Inggris untuk mengadaptasi tuntutan MEA,
maupun dengan menguatkan budaya daerah sebagai pondasi budaya nasional seperti
penerapan muatan lokal Jumat Jawa, membatik, bahasa Sunda dan lain sebagainya. Hal
ini penting sehingga kecintaan peserta didik akan daerahnya menjadi penguat dalam
menghadapi MEA, yaitu peserta didik menjadi think globally act locally.
Sedangkan pengembangan muatan lokal dalam jangka pendek dapat dilakukan
oleh sekolah setempat dengan cara menyusun kurikulum muatan lokal kemudian
menyusun silabusnya dan direvisi setiap saat. Pihak yang memegang peranan cukup
penting baik di dalam perencanaan dan pelaksanaan kurikulum adalah guru. Peranan
guru bukan hanya menilai perilaku dan prestasi belajar murid-murid dalam kelas, tetapi
juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas. Hasil-hasil penilaian
demikian akan sangat membantu pengembangan kurikulum, untuk memahami
hambatan-hambatan dalam implementasi kurikulum dan juga dapat membantu mencari
cara untuk mengoptimalkan kegiatan guru (Nana Syaodih S., 2009:157).
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
P a g e [ 427 ]
Kreativitas guru dalam pelaksanaan pembelajaran menjadi dasar pengembangan
muatan lokal yang terinternalisasi tidak hanya untuk peserta didik namun juga bagi
pendidiknya. Guru dituntut untuk dapat menggunakan sumber daya ada (lingkungan)
dalam pelaksanaan pembelajaran agar pembelajaran menjadi optimal dan kontekstual.
Pembelajaran yang kontekstual merupakan salah satu strategi dalam menerapkan
muatan lokal di dalam semua materi pembelajaran. Pembelajaran kontekstual dapat
menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan
(PAIKEM) dengan menggunakan berbagai variasi metode, sumber dan alat/ media
pembelajaran.
Dalam pengembangan selanjutnya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu
perluasan muatan lokal dan pendalaman muatan lokal. Perluasan muatan lokal pada
dasarnya ialah bahan muatan lokal yang ada di daerahnya itu yang terdiri dari berbagai
jenis muatan lokal. Sedangkan pendalaman muatan lokal adalah bahan muatan lokal yang
sudah ada kemudian diperdalam sampai lanjutan. Perluasan dan pendalaman muatan
lokal yang dimaksud salah satunya dengan penguasaan bahasa daerah selain bahasa
asing. Melalui muatan lokal seperti yang diungkapkan Kompas (26 Maret 2015) adalah
sebagian bahasa daerah di Nusantara semakin terancam punah, terutama akibat
minimnya tradisi pengajaran lintas generasi. Hal ini merugikan bangsa Indonesia karena
keanekaragaman bahasa, sebagai salah satu unsur penting pembentuk kebudayaan,
menjadi semakin berkurang. Ini merupakan tantangan besar khususnya dalam
menghadapi MEA. Salah satu cara yang wajib ditempuh adalah dengan mengembangkan
muatan lokal bahasa daerah sebagai wujud penanaman nilai budaya daerah.
Penerapan muatan lokal bahasa daerah di sekolah yang dilakukan selama ini perlu
dipertahankan untuk menjaga bahasa daerah agar tidak punah karena bahasa daerah
merupakan identitas suatu bangsa. Dalam pelaksanaannya perlu dibuat sebagai mata
pelajaran mandiri mengingat karakteristiknya yang tidak dapat diintegrasikan dengan
mata pelajaran strategi belajar dan pembelajaran, sebagaimana yang dilakukan
Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Adapun landasannya, sebagaimana surat edaran Kepala
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 423/2372/Set-disdik tertanggal 26 Maret
2013 perihal Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Daerah pada Jenjang SD/MI, SMP/MTs,
SMA/SMK/MA, dengan demikian pembelajaraan muatan lokal Bahasa Daerah tetap
diakomodir dalam Kurikulum 2013 di Jawa Barat dengan pilihan bahasa yaitu Bahasa
Sunda, Bahasa Cirebon dan Bahasa Melayu Betawi. (Bambang Sugiharto, 2013)
SIMPULAN
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 bisa jadi merupakan
momok yang menakutkan bagi beberapa kalangan, salah satunya di bidang pendidikan.
Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki
integritas dan jati diri yang kuat sebagai bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang memiliki beraneka ragam budaya. Budaya tersebut harus terus dilestarikan
dan diperkuat melalui pengembangan kurikulum. Salah satu caranya pengembangan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 428 ] P a g e
kurikulum yang dilakukan adalah dengan pengembangan kurikulum muatan lokal di
mana karakteristik dan ciri daerah ditingkatkan dan penguasaan akan pengetahuan
global juga dioptimalkan. Muatan lokal dapat menumbuhkan kecintaan peserta didik
sebagai penerus bangsa akan nilai-nilai sosio kultural daerahnya dan negerinya. Selain
itu nilai moral yang terkandung pada setiap daerah dapat ditumbuhkan dalam diri
peserta didik maupun pendidik. Nilai moral inilah yang menjadi ciri dan bekal bangsa
dalam menghadapi tuntutan dan tantangan masa depan.
Pengembangan muatan lokal yang telah dilaksanakan di Indonesia merupakan
salah satu strategi jitu dalam menghadapi MEA. Dengan pelaksanaan MEA, melalui
muatan lokal bangsa Indonesia dapat merubah tantangan menjadi peluang. Dampak
negatif MEA dapat diubah menjadi positif yaitu semakin menjadikan bangsa Indonesia
kuat, kokoh dan tegar.
Adapun pelaksanaan muatan lokal yang sudah berlangsung sekian lama di
Indonesia sebagai salah satu langkah strategis menghadapi MEA, masih perlu untuk terus
diperbaiki dan dikembangkan. Minimnya evaluasi pelaksanaan muatan lokal menjadi hal
yang harus dipikirkan. Evaluasi muatan lokal penting untuk pengembangan kurikulum
yang adaptif dengan perkembangan global. Oleh karena itu, penelitian ini pun perlu
dikembangkan sampai tahap evaluasi pelaksanaan muatan lokal, untuk mengetahui
seberapa jauh muatan lokal sudah dilaksanakan. Dengan begitu, pelaksanaan muatan
lokal menjadi optimal dan tepat sasaran serta dapat menginternalisasi ke dalam diri
bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Dakir, Haji. (2010). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta.
Idi, Abdullah. (1999). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Jakarta: Gaya MediaPratama.
Iim Wasliman. (2007). Modul Problematika Pendidikan Dasar. Bandung: Pps PendidikanDasar UPI.
Kompas. (2012). Bahasa Daerah Terancam: Sebagian dari 749 Bahasa di Nusantara kianKehilangan Penutur. Maret 2015, halaman 12. Jakarta.
Mulyasa, E. (2009). Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Kemandirianguru dan Kepala Sekolah, Cetakan Ketiga, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Munawaroh, Julipah Al. (2015). Makalah: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.http://www.academia.edu/9060383/masyarakat_ekonomi_ASEAN_2015_MEA_2015_ diakses 23 Mei 2015.
Nasir, Muhammad. (2013). Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Dalam KonteksPendidikan Islam di Madrasah. Jurnal Studi Islamika, 10(1), 1-18.http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/12, diakses 23 Mei2015.
Nur Farid, Muhammad. (2012). Peranan Muatan Lokal Materi Batik Tulis Lasem SebagaiBentuk Pelestarian Budaya Lokal. Jurnal Komunitas (Research And Learning In
Pengembangan Muatan Lokal… (Dini Amaliah)
P a g e [ 429 ]
Sociology And Anthropologhy), 4(1) Http://Journal.Unnes.Ac.Id/Nju/Index.Php/Komunitas/Article/View/2400
Putra, Yudha Manggala P. (2015). Penguasaan Bahasa Inggris Dinilai Kendala HadapiMEA. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/04/14/nmsfq9-penguasaan-bahasa-inggris-dinilai-kendala-hadapi-mea, diakses pada 14 April2015
Rachman Taufik. (2012). Pengamat: Bahasa Inggris Jadi Muatan Lokal Saja.http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/12/10/22/mca72n pengamat-bahasa-inggris-jadi-muatan-lokal-saja, diakses 23 Mei 2015.
Rusman. (2009). Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.
Sugiharto, Bambang. (2013). Penerapan Bahasa Daerah pada Kurikulum 2013 di JawaBarat. http://bahasa.kompasiana.com/2013/11/28/penerapan-bahasa-daerah-pada-kurikulum-2013-di-jawa-barat-613871.html, diakses 24 Mei 2015.
Suroso, G.T. (2015). Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia.http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuanganumum/20545-masyarakat-ekonomi-asean-mea-dan-perekonomian-indonesia,diakses 24 Mei 2015.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 430 ] P a g e
MEMBANGUN KEPERCAYAAN DIRI SISWA
MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER
Bernadus GapiUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakArtikel bertujuan untuk mengetahui cara dalam membangun kepercayaan dirisiswa melalui kegiatan ekstrakurikuler. Artikel ini berupa hasil pemikiranpenulis, analisis ilmiah, dan kajian teori. Dari hasil pemikiran, analisis ilmiah dankajian teori, disimpulkan bahwa cara membangun kepercayaan diri siswamelalui kegiatan ekstrakurikuler adalah dengan menggunakan strategi berupatekanan dan apresiasi pada setiap pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler.Tekanan dapat berupa aturan dan sanksi sebagai salah satu aspek pendorongdalam motivasi yakni “mencoba dengan keras”, sedangkan apresiasi dapatberupa pujian dan pemberian simbol penghargaan. Penggunaan strategimembangun kepercayaan diri siswa berupa tekanan dan apresiasi terhadapsiswa sangat tergantung dari waktu dan kondisi siswa pada saat mengikutikegiatan ekstrakurikuler, antara lain; pada saat siswa dengan kondisi sangatpasif sampai pada kondisi pasif menggunakan unsur tekanan, pada saat siswaaktif menggunakan unsur apresiasi, dan pada saat siswa hiper aktif dapatmenggunakan unsur tekanan.
Kata kunci: Kepercayaan diri, Kegiatan ekstrakurikuler, strategi, tekanan,apresiasi
PENDAHULUAN
Sasaran penerapan Kurikulum 2013 adalah untuk mewujudkan kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan siswa sebagai peserta didik. Ketiga kompetensi dasar
tersebut selanjutnya diharapkan dapat membangun kesiapan bagi generasi muda dalam
menghadapi MEA. Untuk mendukung terwujudnya pencapaian ketiga kompetensi
tersebut, khususnya sikap dan keterampilan siswa serta dalam menyikapi MEA Tahun
2015, maka salah satu hal yang teramat penting untuk diperhatikan oleh lembaga sekolah
dalam mendukung program kurikuler adalah kepercayaan diri siswa. Membangun
kepercayaan diri siswa bertujuan agar siswa memiliki keberanian dalam
mengekspresikan ide, pemikiran, serta gagasan baik secara abstrak maupun
mewujudnyatakan dalam ranah konkret yang selanjutnya dapat membantu
berkembangnya prestasi belajar siswa. Hal ini senada dengan pendapat Soesarsono
Wijandi (1999:33) bahwa Kepercayaan diri merupakan paduan sikap dan keyakinan
seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan.
Kemampuan menyampaikan ide, pemikiran dan gagasan secara baik dan benar,
serta sistematis dan objektif dapat dipandang siswa sebagai tantangan dan di sisi lain
sebagai masalah dalam mengambil keputusan apakah ide, pemikiran serta gagasannya
dieksplorasikan dan diekspresikan atau tidak. Seorang siswa yang percaya diri, tentu
akan mengambil keputusan untuk segera berpendapat ataupun bertindak terhadap ide,
pemikiran dan gagasan yang dimiliki karena memiliki “keyakinan” terhadap kemampuan
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
P a g e [ 431 ]
dirinya dan “optimis” terhadap konsekuensi tindakannya serta “siap menerima” respon
dan penilaian pihak lain. Sejalan dengan itu, Angelis (2007:10) mengenai percaya diri
berawal dari tekad pada diri sendiri, untuk melakukan segalanya yang kita inginkan dan
butuhkan dalam hidup. Percaya diri terbina dari keyakinan diri sendiri, sehingga kita
mampu menghadapi tantangan hidup apapun dengan berbuat sesuatu.
Membangun kepercayaan diri siswa amatlah penting. Siswa sejatinya merupakan
sosok anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap proses untuk mendapatkan
kematangan dan kemajuan dirinya sehingga proses yang dimaksud adalah proses belajar.
Dalam proses belajar tersebut siswa akan menemukan kekurangan dan kelebihan dirinya
demi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kompetensi diri. Untuk itu penting bagi
siswa untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya untuk dapat menemukan
kekurangan dan kelebihan tersebut. Siswa yang aktif dan percaya diri akan mudah
menemukan dua hal tersebut dibandingkan dengan siswa yang cenderung pasif dan
minder dalam proses pembelajaran.
Membangun kepercayaan diri siswa dapat dilakukan melalui kegiatan
ekstrakurikuler yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan di luar mata
pelajaran wajib yang bertujuan untuk pengembangan diri siswa. Hakim (2002:122)
menjelaskan bahwa rasa percaya diri siswa di sekolah bisa dibangun melalui berbagai macam
bentuk kegiatan, yang salah satunya adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler. Selanjutnya
Pengertian ekstrakurikuler menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002:291) yaitu:”
suatu kegiatan yang berada di luar program yang tertulis di dalam kurikulum seperti
latihan kepemimpinan dan pembinaan siswa. Terdapat banyak kegiatan ekstrakurikuler
yang jika diprogramkan dan dijalankan dengan baik dan benar maka kepercayaan diri
siswa akan terbentuk dan dapat mendukung kemajuan prestasi belajar serta
perkembangan kepribadian siswa lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka ditarik rumusan masalah, yakni “bagaimana cara
membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler?”, dan bertujuan
untuk mengetahui cara membangun kepercayaan diri siswa dalam kegiatan
ekstrakurikuler.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep Kepercayaan Diri dan Pengertian Percaya Diri
Menurut Lauster (2012:4) kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau
keyakinan atas kemampuan diri sendiri, sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak
terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan
tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain,
memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Kepercayaan diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan
yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa
mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya (Hakim, 2002:6). Hal ini bukan berarti
bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 432 ] P a g e
Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa
aspek dari kehidupan individu tersebut di mana ia merasa memiliki kompetensi, yakni
mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual,
prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Thantaway dalam
Kamus istilah Bimbingan dan Konseling (2005:87), percaya diri adalah kondisi mental
atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat
atau melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri
negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri.
Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan
dari lingkungan (Dimyati dan Mudjiono, 2009). Menurut (Aunurrahma 2009) Percaya
diri adalah salah satu kondisi psikologi seseorang yang berpengaruh terhadap aktivitas
fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Rasa percaya diri pada umumnya muncul
ketika seseorang akan melakukan atau terlibat di dalam suatu aktivitas tertentu di mana
pikirannya terarah untuk mencapai sesuatu hasil yang diinginkan. Dari dimensi
perkembangan, rasa percaya diri dapat tumbuh dengan sehat bilamana ada pengakuan
dari lingkungan.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa percaya diri adalah sikap
positif yang dimiliki seorang individu yang membiasakan dan memampukan dirinya
untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri, mapun lingkungan
serta situasi yang dihadapi untuk meraih apa yang diinginkan.
Konsep Kegiatan Ekstrakurikuler
Pengertian ekstrakurikuler menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002:291)
yaitu;” suatu kegiatan yang berada di luar program yang tertulis di dalam kurikulum
seperti latihan kepemimpinan dan pembinaan siswa”. Kegiatan ekstrakurikuler sendiri
dilaksanakan di luar jam pelajaran wajib. Kegiatan ini memberi keleluasaan waktu dan
memberikan kebebasan pada siswa, terutama dalam menentukan jenis kegiatan yang
sesuai dengan bakat serta minat mereka.
Menurut Oemar Hamalik (2004: 181), kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan
pendidikan di luar ketentuan kurikulum yang berlaku, akan tetapi bersifat pedagogis dan
menunjang pendidikan dalam menunjang ketercapaian tujuan sekolah. Kegiatan
Ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu
pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka
melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/ madrasah (Anifral
Hendri, 2008: 1-2).Pengertian di atas menekankan bahwa kegiatan ekstrakurikuler untuk
membantu pengembangan peserta didik dan pemantapan pengembangan kepribadian
siswa yang salah satunya adalah membangun kepercayaan diri.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81
A Tahun 2013, Ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh peserta
didik di luar jam belajar kurikulum standar sebagai perluasan dari kegiatan kurikulum
dan dilakukan di bawah bimbingan sekolah dengan tujuan untuk mengembangkan
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
P a g e [ 433 ]
kepribadian, bakat, minat, dan kemampuan peserta didik yang lebih luas atau di luar
minat yang dikembangkan oleh kurikulum. Berdasarkan definisi tersebut, maka kegiatan
di sekolah atau pun di luar sekolah yang terkait dengan tugas belajar suatu mata
pelajaran bukanlah kegiatan ekstrakurikuler.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang menekankan kepada kebutuhan siswa agar
menambah wawasan, sikap dan kepribadian siswa khususnya kepercayaan diri siswa
baik di luar jam pelajaran wajib serta kegiatannya dilakukan di dalam dan di luar sekolah
Tujuan kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan yang tercantum dalam
Permendiknas No. 81A Tahun 2013, yaitu sebagai berikut:
1. Kegiatan ekstrakurikuler harus dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotor peserta didik.
2. Kegiatan ekstrakurikuler harus dapat mengembangkan bakat dan minat peserta didik
dalam upaya pembinaan pribadi menuju pembinaan manusia seutuhnya.
Fungsi Kegiatan Ekstrakurikuler
Ada empat fungsi yang melekat dalam kegiatan ekstrakurikuler: pertama,
pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan
kemampuan dan kreativitas siswa sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.
Kedua, sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan
dan rasa tanggung-jawab sosial peserta didik. Ketiga, rekreatif, yaitu fungsi kegiatan
ekstrakurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, menggembirakan dan
menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan. Keempat,
persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kesiapan
karir peserta didik
Dari tujuan dan manfaat kegiatan ekstrakurikuler dapat terlihat sangat jelas
arahnya yakni untuk meningkatkan kemampuan dan pengembangan pribadi siswa
sehingga kepercayaan diri siswa dimaksud menjadi salah satu aspek penting yang akan
timbul dalam diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler. Untuk itu dalam
implementasinya perlu memperhatikan cara-cara dalam membangun kepercayaan diri
siswa.
Jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia kegiatan
ekstrakurikuler terdiri dari ekstrakurikuler wajib dan ekstrakurikuler pilihan. Terkait
dengan kegiatan ekstrakurikuler pilihan, maka menurut Anifral Hendri (2008: 2–3),
mengemukakan pendapat umumnya mengenai beberapa jenis kegiatan ekstrakurikuler
dalam beberapa bentuk yaitu:
1. Krida, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), organisasi siswa (OSIS), Palang
Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA).
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 434 ] P a g e
2. Karya Ilmiah, meliputi Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR), kegiatan penguasaan keilmuan
dan kemampuan akademik, penelitian.
3. Latihan/lomba keberbakatan/ prestasi, meliputi pengembangan bakat olah raga, seni
dan budaya, cinta alam, jurnaistik, teater, keagamaan.
4. Seminar, lokakarya, dan pameran/ bazar, dengan substansi antara lain karir,
pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni budaya.
5. Olahraga, yang meliputi beberapa cabang olahraga yang diminati tergantung sekolah
tersebut, misalnya: Basket, Karate, Taekwondo, Silat, Softball, dan lain sebagainya.
Prinsip-prinsip Kegiatan Ekstrakurikuler
1. Individual, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat,
minat peserta didik masing-masing.
2. Pilihan, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan keinginan dan
diikuti secara sukarela peserta didik.
3. Keterlibatan aktif, yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang menuntut
keikutsertaan peserta didik secara penuh.
4. Menyenangkan, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler dalam suasana yang disukai
dan menggembirakan peserta didik.
5. Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang membangun semangat peserta
didik untuk bekerja dengan baik dan berhasil.
6. Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan untuk
kepentingan masyarakat.
Format kegiatan ekstrakurikuler
1. Individual, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti peserta didik secara
perorangan.
2. Kelompok, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh kelompok-
kelompok peserta didik.
3. Klasikal, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh peserta didik dalam
satu kelas.
4. Gabungan, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh pesert didik antar
kelas atau antar sekolah.
5. Lapangan, yaitu format kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti seorang atau sejumlah
peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau kegiatan lapangan
Penguatan Paradigma dan Membangun Model Kegiatan Ekstrakurikuler
Oleh karena peran kegiatan ekstrakurikuler yang sangat penting bagi
pengembangan anak dan kontribusinya terhadap prestasi anak dalam ranah
intrakurikuler maka pandangan tentang kegiatan ekstrakurikuler dalam dunia
pendidikan dewasa kini sudah semestinya dikuatkan melalui sistem yang terpadu dan
terarah. Sistem yang terpadu dan terarah berarti kegiatan ekstrakurikuler tidak bisa lagi
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
P a g e [ 435 ]
dipandang hanya sekedar kegiatan sampingan yang sifatnya rutinitas dan tidak
terkontrol dengan baik melainkan sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan
kegiatan intrakurikuler. Hadirnya Permendiknas No. 39 Tahun 2008 tentang pembinaan
kesiswaan dan Permendiknas No. 81A Tahun 2013 tentang implementasi kurikulum,
menegaskan bahwa kegiatan ekstrakurikuler menjadi salah satu inti kurikulum dan
layanan pendidikan sekolah yang tidak boleh ditinggalkan.
Untuk dapat membangun kepercayaan diri siswa dalam pengembangan diri
melalui kegiatan ekstrakurikuler maka sangatlah penting kegiatan ekstrakurikuler
dimaksud dilaksanakan secara sistematis, terarah, dan pada tahap perencanaan serta
pelaksanaannya dapat memperhatikan strategi membangun kepercayaan diri siswa.
Model skema kegiatan ekstrakurikuler yang dikembangkan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Model Rancangan Kegiatan Ekstrakurikuler dan Strategi Membangun
Kepercayaan Diri Siswa
Analisis:
Kebutuhan,bakat, minat,
dankesesuaian
dengan K 13
ProgramKegiatan:
Menyusunprogramkegiatan
Pelaksana:Terdiri dari;
KepalaSekolah,Wakasek
Kurikulm danKesiswaan,
guru danpelatih
Prinsip
Tanggung jawabkerja:
Setiap pihakmelaksanakan tugasdan tanggung jawabyang berbeda, dan
siswa dituntut untukterlibat secara penuh
berdasarkanminatnya
Jenis kegiatan:Terdapat kegiatansifatnya wajib dan
pilihan. Untuk kegiatanpilihan, jenis kegiatan
ekstrakurikulerbervariasi berdasarkanpada kebutuhan anak
dan kesesuaian dengankondisi kurikulum 2013
Perencanaan
Pelaksana
anFormat
HASILKEGIATANEKSTAKURIKU
LER
KEPERCAYAAN DIRISISWA SEBAGAI
HASIL
STRATEGIMEMBANGUN
KEPERCAYAN DIRIDisertakan dalam tahap perencanaan Diimplementasikan dalamtahap pelaksanaan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 436 ] P a g e
Dari Gambar 1 sebelum dapat terlihat skema model rancangan kegiatan
ekstrakurikuler dan strategi meningkatkan kepercayaan diri siswa yang dalam
implementasi merupakan suatu system yang terdiri dari perencanaan dan pelaksanaan
untuk mencapai hasil “kepercayaan diri siswa”. Dalam kaitannya dengan tahap
perencanaan, maka prinsip dan format kegiatan ekstrakurikuler merupakan acuan
penting agar perencanaan dimaksud memperhatikan hal-hal yang menjadi prinsip
kegiatan ekstrakurikuler dan hal-hal yang menjadi format kegiatan ekstrakurikuler.
Tahap Perencanaan terdiri dari; analisis, penyusunan program kegiatan, dan
unsur pelaksana kegiatan. Proses analisis memperhatikan kebutuhan siswa dan
kesesuaian dengan kondisi kurikulum 2013. Dengan memperhatikan kebutuhan, bakat
dan minat siswa dimaksud bertujuan agar pihak lembaga merancang kegiatan
ekstrakurikuler yang menjawab kebutuhan, bakat, potensi, serta hobi pada setiap siswa.
Dengan bakat serta potensi yang berbeda-beda, maka jenis kegiatan menjadi bervariasi
dalam mengakomodir kebutuhan siswa. Selanjutnya kesesuaian dengan kondisi
kurikulum 2013 bermaksud agar kegiatan ekstrakurikuler memperhatikan pula keadaan
dan aturan main K 13. Hal-hal yang perlu disesuaikan adalah terkait dengan waktu,
sarana-prasarana pendukung, dan kesiapan kemampuan guru. Unsure pelaksana
melibatkan semua komponen dalam lembaga sekolah.
Selanjutnya dalam tahap pelaksanaannya, setiap komponen dari lembaga sekolah,
mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru serta pelatih memperhatikan
dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Hal ini menunjukkan
bahwa kegiatan ekstrakurikuler dalam rangka membangun kepercayaan diri siswa
menjadi tugas dan tanggung jawab bersama. Masing-masing pihak memiliki peran yang
berbeda-beda. Selanjutnya jenis kegiatan yang dikembangkan menjadi bervariasi
tergantung kebutuhan anak.
Terkait dengan tujuan “membangun kepercayaan diri siswa” melalui kegiatan
ekstrakurikuler, maka yang dilakukan adalah dengan memasukkan strategi membangun
kepercayaan diri siswa pada tahap perencanaan dan diaplikasikan pada tahap
pelaksanaan yang pada akhirnya dapat mendukung tercapainya tujuan yakni
meningkatnya kepercayaan diri siswa.
Unsur Yang Terlibat dalam Kegiatan Ekstrakurikuler
Permendiknas Tahun 2008 dan Juknis penyusunan program pengembangan diri
melalui kegiatan ekstrakurikuler untuk SMA oleh Direktorat Pembina Sekolah Menengah
Atas mengemukakan tentang unsur pelaksana kegiatan ekstrakurikuler, sebagai berikut:
Kepala Sekolah
Kepala sekolah memperhatikan referensi atau acuan yang menjadi input dalam
melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler. Referensi atau acuan tersebut antara lain:
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 19 Tahun 2005, Permendiknas Nomor
27 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 59 tahun 2014, Panduan Pelaksanaan Kurikulum
2013, Panduan Pengembangan diri, Panduan tentang membangun kepercayaan diri.
Selanjutnya Kepala sekolah memiliki peran dalam hal, yakni;
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
P a g e [ 437 ]
1. Menyusun rencana pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler yang di
dalamnya memuat unsure-unsur dan strategi membangun kepercayaan diri siswa,
dan penugasan kepada wakasek bidang kesiswaan dan kurikulum.
2. Memberi arahan teknis tentang program pengembangan diri melalui kegiatan
ekstrakurikuler yang menekankan pada maksimalisasi unsure-unsur cara
implementasi strategi membangun kepercayaan diri siswa,
Sementara itu Wakil Kepala Sekolah Bidang Akademik dan Kurikulum memiliki
tugas untuk menyusun rencana kegiatan untuk menyusun program pengembangan diri
yang bertujuan membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Menyusun aturan teknis dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan guru,
pembina, dan pelatih melakukan analisis kebutuhan dan kesesuaian yang meliputi
analisis kebutuhan, bakat dan minat peserta didik, dan analisis program kegiatan
ekstrakurikuler dengan kondisi kurikulum 2013.
Memasukkan Strategi Membangun Kepercayaan Diri Siswa dalam Berbagai Jenis
Kegiatan Ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler sangat bervariasi tergantung pada kebutuhan, bakat,
minat siswa dan kesesuaian dengan kondisi kurikulum 2013.. Untuk menjawab berbagai
kebutuhan, bakat dan minat siswa, maka jenis kegiatan ekstrakurikuler haruslah
bervariasi. Berbagai jenis kegiatan ekstrakurikuler tersebut, antara lain;
1. Krida, meliputi Kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang
Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA).
2. Karya Ilmiah, meliputi Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR), kegiatan penguasaan keilmuan
dan kemampuan akademik, penelitian.
3. Latihan/lomba keberbakatan/ prestasi, meliputi pengembangan bakat olah raga, seni
dan budaya, cinta alam, jurnaistik, teater, keagamaan.
4. Seminar, lokakarya, dan pameran/ bazar, dengan substansi antara lain karir,
pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, keagamaan, seni budaya.
5. Olahraga, yang meliputi beberapa cabang olahraga yang diminati tergantung sekolah
tersebut, misalnya: Basket, Karate, Taekwondo, Silat, Softball, dan lain sebagainya.
Setelah model kegiatan ekstrakurikuler telah dibentuk seperti yang termuat pada
Gambar 1 sebelumnya, maka langkah selanjutnya yang paling penting adalah
memasukkan unsur-unsur dalam strategi untuk membangun kepercayaan diri siswa.
Strategi membangun kepercayaan diri siswa sangatlah penting untuk didesain dan
disertakan dalam berbagai jenis kegiatan ekstrakurikuler.
Strategi yang digunakan dalam membangun kepercayaan diri siswa adalah dengan
menggunakan pendekatan berupa tekanan (pressure) dan apresiasi. Siswa akan
terdorong oleh pressure dan apresiasi yang diberikan oleh pelatih atau Pembina kegiatan
ekstrakurikuler. Pressure merupakan tekanan yang bertujuan untuk mendorong
keaktifan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler. Pressure dibuat dalam bentuk aturan dan
sanksi yang mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
ekstrakurikuler yang dijalankan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 438 ] P a g e
Menurut Kahler (1975) yang termuat dalam Motivasi-mativator.blogspot.com,
mengemukakan tentang beberapa faktor pendorong dalam motivasi sehingga membuat
orang dapat bertindak. Salah satu faktor tersebut yaitu mencoba dengan keras.
Sedangkan Achmad (2007), mengemukakan bahwa motivasi eksternal sebagai dorongan
yang muncul dari luar diri pribadi seseorang, seperti kondisi lingkungan kelas, kampus,
adanya ganjaran berupa hadiah (reward) bahkan karena merasa takut oleh hukuman
atau sanksi (punishment).
Dengan pandangan Kihler dan Achmad tersebut maka unsur pressure atau tekanan
dapat dijadikan cara yang menjadi stategi guru atau Pembina dalam mendorong siswa
untuk tidak pasif dan kaku dalam kegiatan ekstrakurikuler atau dengan kata lain dapat
menjadi aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Pada titik inilah kepercayaan diri siswa
akan terbentuk bersama keaktifannnya
Selain dalam bentuk pressure, apresiasi juga merupakan faktor pendorong yang
sangat penting dalam memotivasi siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler. Apresiasi
sendiri oleh para ahli mendefenisikannya sebagai bentuk penghargaan, penilaian,
pengertian, bentuk itu berasal dari kata kedua “to appreciate” yang berarti menghargai,
menilai, mengerti. Apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau
kepekaan batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan
pengarang. (Aminuddin, 1987). Dari pengertian yang dikemukakan oleh Aminudin
tersebut dapat disimpulkan bahwa apresiasi dapat dijadikan guru atau Pembina kegiatan
ekstrakurikuler sebagai salah satu cara lain dalam mendorong keaktifan siswa yang pada
akhirnya dapat membangun kepercayaan dirinya.
Pembina atau pelatih kegiatan ekstrakurikuler harus mengetahui waktu dan
kondisi yang tepat dalam memberikan tekanan (pressure) dan apresiasi. Dengan kata lain
Pembina atau pelatih mengetahui secara baik pada saat mana apresiasi diberikan dan
tekanan seperti apa yang diterapkan pada setiap kondisinya. Aturan secara sederhana
mengandung unsur disiplin dan sanksi. Untuk itu, penting bagi pelatih menyadari disiplin
yang dimaksud bertujuan untuk mendorong keterlibatan aktif bagi siswa dalam
berlangsungnya kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan sanksi diberlakukan hanya untuk
meluruskan kembali ketidakpatuhan terhadap aturan disiplin yang sudah dibangun
bukan kepada hal-hal lainnya yang justru menjadikan siswa atau peserta merasa
terpojok, dan merasa takut berekspresi.
Tekanan (pressure) dan apresiasi sebagai strategi membangun kepercayaan diri
siswa dapat dibuat dalam skema pada Gambar 2. Oleh karena yang menjadi tujuannya
adalah membangun kepercayaan diri siswa, maka perlu dipahami bahwa “kepercayaan
diri” tersebut mengandung dua makna yakni;
1. Tidak ragu-ragu, yang artinya siswa tidak lagi berada dalam keadaan penuh keragu-
raguan, pesimis, bimbang dan tidak memiliki keberanian berekspresi dan
mengeksplorasi tentang ide, pikiran dan gagasannya melalui penyampaian pendapat
dan tindakan inisiatif.
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
P a g e [ 439 ]
2. Tidak berlebihan (over confidence), artinya siswa memiliki keberanian dan inisiatif
dalam mengekspresikan atau mengeksplorasikan ide, gagasan, dan pemikiran secara
arif, bijakasana, dan bertanggung jawab serta secara santun, baik dan benar.
Gambar 2. Skema Strategi Membangun Kepercayaan Diri Siswa dalam Berbagai JenisKegiatan Ekstrakurikuler
Terhadap dua hal tersebut, maka strategi membangun kepercayaan diri siswa
melalui tekanan (pressure), dan apresiasi perlu diberikan pada saat-saat yang
dibutuhkan. Berikut adalah empat kondisi berbeda yang dipertimbangkan dalam
menggunakan strategi membangun kepercayaan diri siswa:
1. Siswa super pasif dalam kegiatan ekstrakurikuler
Siswa dengan kondisi super pasif dalam kegiatan ekstrakurikuler terlihat dengan sifat
acuh tak acuh, dan cenderung melanggar aturan baik kedisiplinan maupun
keterlibatannya. Siswa ditandai dengan perilaku tidak taat terhadap aturan dan
terlihat tidak tertarik sama sekali dengan jenis kegiatan ekstrakurikuler yang
dilaksanakan. Persoalan seperti ini semakin erat kaitannya dengan rendahnya nilai
kepribadian dan di sisi lain bisa karena ketidaktertarikan terhadap jenis kegiatan
ekstrakurikuler yang dijalani. Sanksi yang diberikan adalah dapat berupa sanksi
dengan pendekatan edukasi dan teguran. Sanksi dengan pendekatan edukasi dapat
dilakukan dengan berbagai cara misalnya memberi teguran yang memotivasi dan
mendorong perubahan sikap ikut ambil bagian dalam kegiatan ekstrakurikuler.
2. Siswa Pasif dalam kegiatan ekstrakurikuler
Kondisi ini terlihat di mana siswa menyukai kegiatan ekstrakurikuler dan ikut ambil
bagian secara utuh, tetapi tidak memiliki keberanian dan berpendapat dan berkreatif
dalam bentuk tindakan, atau dengan kata lain hanya sekedar mengikuti pelaksanaan
kegiatan dimaksud tapi takut mengambil peran tertentu. Dengan kondisi ini maka
StrategiMembangun
Keprcayaan diriSiswa
JenisKegiatan
Ekstrakurikuler
Krida
Karya ilmiah
Latihan/Lomba
Seminar, Lokakarya, dan Pameran
Olahraga
Pressure
Apresiasi
Aturan
Sanksi Edukasi
Pujian
Simbol Penghargaan
Teguran
Disiplin
Keterlibatan
Kritik
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 440 ] P a g e
strategi yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan pressure berupa
sanksi edukasi, misalnya sanksi melakoni gaya orang pidato bagi yang tidak
menyampaikan pendapat saat diberi kesempatan, atau dengan cara lainnya. Selain hal
tersebut bisa dengan kata-kata motivasi akan mendorong semangat siswa untuk
percaya akan dirinya.
3. Siswa Aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler
Siswa dalam kelompok ini memiliki semangat dalam kegiatan ekstrakurikuler dan
selalu mengambil inisiatif dan aktif dalam berbagai kesempatan serta selalu siap
menjalani tugas dan perannya dalam berlangsungnya kegiatan dimaksud. Dengan
keadaan seperti ini menunjukkan rasa kepercayaan diri yang sudah baik dan efektif
dalam kegiatan. Untuk itu bentuk strategi yang diberikan adalah untuk
mempertahankan semangat dan kepercayaan dirinya dengan cara memberi apresiasi
baik dalam bentuk pujian maupun dalam bentuk pemberian penghargaan berupa
simbol dan bentuk apresiasi lainnya.
4. Siswa hyper aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler
Siswa dengan kondisi hiper aktif dan mulai menunjukkan adanya gejala over
confidence ditunjukan dengan tingkat ego yang tinggi dalam kegiatan ekstrakurikuler
yang cenderung mengakibatkan siswa lainnya sulit mendapatkan kesempatan dalam
mengekspersikan ide, pikiran, serta gagasannya. Untuk itu perlu strategi dengan
pendekatan teguran halus maupun kritik ringan. Hal ini bertujuan untuk
mengembalikan kepercayaan diri siswa tersebut ke dalam keadaan yang
sesungguhnya yakni kepercayaan diri yang bertanggung jawab, santun, dan bijaksana.
Beberapa ahli dalam uraian di atas telah mengemukakan konsep teori dari
kegiatan ekstrakurikuler, yang pada dasarnya bertujuan untuk pengembangan
kepribadian siswa. Hal tersebut diperkuat melalui hadirnya Permendiknas Nomor 81 A
Tahun 2013 yang menegaskan bahwa tujuan pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler
adalah untuk mengembangkan kepribadian, bakat, minat, dan kemampuan peserta didik.
Salah satu hal penting yang turut terbentuk dalam pengembangan kepribadian diri
tersebut adalah kepercayaan diri siswa.
Bersandarkan pada teori para ahli sebelumnya, maka dalam upaya membangun
kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler, seorang guru atau pembina
dapat menggunakan cara atau metode membangun kepercayaan diri siswa. Penulis
menyebutkan cara tersebut sebagai strategi membangun kepercayaan diri siswa melalui
tekanan (pressure) dan apresiasi.
SIMPULAN
Membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler sangat
penting agar siswa memiliki kepercayaan atas kemampuan dirinya, meyakini dirinya,
menghargai apa yang ada dalam dirinya dan selanjutnya dapat membuatnya mengambil
keputusan untuk mengekspresikan ide, gagasan, dan pikirannya baik dalam ranah
abstrak maupun ranah konkret. Kegiatan ekstrakurikuler haruslah bervariasi
Membangun Kepercayaan Diri… (Bernadus Gapi)
P a g e [ 441 ]
berdasarkan kebutuhan, bakat, minat, dan kesesuaian dengan kondisi kurikulum
sehingga mendapatkan keterlibatan siswa secara menyeluruh dalam kegiatan dimaksud.
Cara membangun kepercayaan diri siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler adalah
dengan menggunakan strategi membangun kepercayaan diri siswa. Di dalam strategi
tersebut terdapat unsur tekanan (pressure) dan apresiasi. Penggunaan tekanan dan
apresiasi sangat tergantung dari waktu dan kondisi siswa, antara lain;
1. pada saat siswa dalam kondisi sangat pasif, menggunakan strategi tekanan (pressure)
berupa aturan dan sanksi
2. pada saat siswa dalam kondisi pasif, menggunakan strategi tekanan (pressure)
berupa aturan dan sanksi serta dimungkinkan untuk menggunakan cara apresiasi
melalui pujian motivasi
3. pada saat siswa dalam kondisi aktif, menggunakan strategi apresiasi berupa pujian
dan pemberian symbol penghargaan
4. dalam kondisi siswa hiper aktif, menggunakan strategi tekanan (pressure) berupa
teguran dan kritik ringan.
Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan sebelumnya,
maka disarankan beberapa hal kepada guru, dan pembina kegiatan ekstrakurikuler untuk
dapat menggunakan strategi membangun kepercayaan diri siswa berupa tekanan
(pressure) dan apresiasi dalam kegiatan ekstrakurikuler sehingga dapat membangun
kepercayaan diri siswa. Selanjutnya, kepada pembaca yang hendak melakukan penelitian
di bidang yang sama agar dapat menjadikan artikel ini sebagai salah satu kajian untuk
menghasilkan temuan empiris dalam membuktikan keefektifan cara tekanan dan
apresiasi pada kegiatan ekstrakurikuler dalam membangun kepercayaan diri siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Angelis. 2007. Confidence (Percaya Diri). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Anifral, Hendri. (2008). Ekskul Olahraga Upaya Membangun karakter Siswa
Arianto, S. 2010. Aspek-aspek Kepercayaan Diri. Tersedia dalam http://Kepercayaan_diri.html. Diakses tanggal 01 Mey 2012
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Alfabeta: Bandung.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dimyati dan Mudjiono.2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta
Hakim, T. 2002. Mengatasi Rasa Tidak percaya Diri. Jakarta: Purwa Suara.
Kahler. 10975. http://motivasi-motivator.blogspot.com/ 2009/09/04/faktor-pendorong/diakses tanggal 02 Mey 2015
Kementrian Pendidikan RI. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan tentang PembinaanKesiswaan. Tersedia dalam: http//kementerianpendidikan.ac.id/peraturan/ekstrakurikuler/ diakses tanggal 02 Mey 2015
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 442 ] P a g e
Kementrian Pendidikan RI. 2008. Surat Keputusan Dirjen Dikdasmen. Tersedia dalamhttp//kementerianpendidikan.ac.id/SK/dirjendikdasmen/ diakses tanggal 01 MeyTahun 2015
Lauster, P. 2012. Test Kepribadian (terjemahan Cecili, G. Sumekto). Yogyakarta, Kansius
Oemar Hamalik. 2004. Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. RemajaRosdakarya.
Oemar Hamalik. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Oemar Hamalik. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Permendiknas No. 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan.
Permendinas No. 81 Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum.
Soesarsono Wijandi. 1999. Pengantar Kewiraswastaan. Bandung: Sinar Baru
Thantaway. 2005. Kamus Istilah Bimbingan dan Konseling .http://ilmupsikologi.com
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
P a g e [ 443 ]
PENDIDIKAN ETIKA BAGI PESERTA DIDIK MATA DIKLAT AKUNTANSI
KEUANGAN DI SMK SEBAGAI MODAL BERKOMPETISI DI ERA MEA
Iin Marlyn LaoereUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakSekolah Menengah Kejuruan mempunyai program keahlian akuntansi sebagaipencetak peserta didik yang menghasilkan calon teknisi akuntansi juniordiharapkan dapat menyiapkan lulusan berkarakter, handal, dan profesionalmenuju Masyarakat Ekonomi ASEAN, sehingga ketika mereka bekerja dalambidangnya tidak terjerat tindak korupsi dan bentuk kecurangan lainnya. Tujuanpembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui: (1) pendidikan karakter kerjaseperti apa yang perlu diberikan pada peserta didik kejuruan akuntansi, (2)seberapa penting pendidikan etika pada mata diklat akuntansi keuangan sebagaimodal dasar berkompetisi di era MEA. Kesimpulannya, melalui pendidikan etikabagi peserta didik diharapkan mampu untuk meningkatkan karakter jujur, dapatdipercaya, bertanggung jawab, rasional, objektivitas, dan relevan yang harusdimiliki oleh seorang Akuntan, sehingga dapat menepis isu moral (misal;korupsi, cuci uang, dan penggelapan) yang seringkali melekat pada seorangAkuntan. Pendidikan etika pada mata diklat akuntansi telah dapat dilakukannamun perlu dilakukan pemantapan karakter melalui pendidikan etika dalampendidikan kejuruan sebagai langkah strategis untuk menghasilkan tenaga kerjakejuruan yang beretika dan mampu bersaing.
Kata Kunci: Pendidikan, Etika, Akuntansi, SMK, MEA
PENDAHULUAN
Perkembangan zaman yang terjadi saat ini membuat setiap negara harus mampu
menghadapi berbagai macam hal dari perkembangan tersebut. Dimana saat ini memasuki
masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan salah satu peluang sekaligus
hambatan bagi setiap negara termasuk Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN
merupakan realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang dianut dari visi 2020, yang
didasari pada konvergerensi kepentingan negara-negara ASEAN untuk memperdalam
dan memperluas integrasi ekonomi melalui inisiatif yang ada dan baru dengan batas
waktu yang jelas. Pembentukan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) berawal dari
kesepakatan pimpinan ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember
1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kesepakatan ini bertujuan untuk meningkatkan
stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN, serta diharapkan mampu untuk mengatasi
permasalahan ekonomi di negara-negara ASEAN. Menghadapi perkembangan tersebut
maka melalui pendidikan diharapkan mampu untuk meningkatkan kemampuan
intelektual dan kualitas sumber daya manusia serta mengembangkan karakteristik yang
dimiliki oleh peserta didik.
Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam menentukan strategi
pembangunan karakter bangsa. Strategi pembangunan karakter bangsa dapat dilakukan
melalui pendidikan, pembelajaran dan fasilitas. Penyelenggaraan pendidikan karakter
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 444 ] P a g e
melalui pengembangan etika mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan pengendalian mutu yang melibatkan seluruh unit utama di lingkungan pemangku
kepentingan pendidikan nasional. Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan
pembangun integrasi nasional yang kuat.
Pengembangan etika yang merupakan perwujudan amanat Pancasila dan
Pembukaan UUD1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang
terjadi saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayati nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai
Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi dan
melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter Bangsa 2010-2025).
Pendidikan kejuruan sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional
memainkan peran yang sangat penting bagi terwujudnya angkatan tenaga kerja nasional
yang terampil. Pendidikan kejuruan diperuntukkan bagi anak yang ingin memperoleh
keterampilan untuk dapat bekerja setelah menamatkannya. Terdapat dua indikator
keberhasilan SMK di mata masyarakat. Salah satu indikator tersebut adalah tingkat
kelulusan sedang lainnya adalah terserapnya lulusan ke dunia kerja.
Intinya peserta didik yang nanti menjadi lulusan SMK diharapkan mempunyai
sumber daya yang berkemampuan keahlian khusus yang diharapkan menjadi tenaga siap
kerja yang berkemampuan di bidangnya. Namun menurut Suryamin sebagai Kepala
Badan Pusat Statistika menyebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka paling banyak
diperoleh lulusan SMK, diploma dan sarjana. Jumlah tenaga kerja per Agustus 2014
mencapai 182,99juta, di mana 7,24 juta di antaranya berstatus pengangguran terbuka.
Menurut Suryamin, jumlah pengangguran lulusan SMK adalah 11,24 % dari jumlah
pengangguran terbuka. Pengangguran lulusan SMK per Agustus 2014 ini naik sebesar
0,03% dibandingkan jumlah pengangguran lulusan SMK per Agustus 2013 yang
mencapai 11,21% (Tempo, 2014).
Keluaran Sekolah Menengah Kejuruan diharapkan dapat mampu menghasilkan
lulusan yang terampil dan siap menghadapi pasar kerja. Menghadapi masyarakat
ekonomi ASEAN tidak hanya dilihat kemampuan intelektualnya saja tetapi karakteristik
yang ada pada diri setiap individu baik itu tanggung jawab, etika, moral juga menjadi
beberapa faktor yang dipertimbangankan. Namun pada kenyataannya tamatan SMK
hanya diakui oleh sekolah sendiri dan masih minimnya kepercayaan dunia usaha dan
industri. Pendidikan kejuruan model lama memiliki kelemahan yaitu, penyelenggaraan
pendidikan secara sepihak sehingga siswa tertinggal oleh kemajuan dunia usaha atau
industri, tidak jelas kompetensi yang dicapai, dan tidak mengakui keahlian yang
diperoleh di luar sekolah (Tri, dkk., 2013). Di mana ketika SMK mencapai tingkat
kelulusan 100 % tetapi jumlah lulusan yang kesulitan memperoleh pekerjaan lebih dari
50% (LPMP JATENG, 2015). Hal itu disebabkan karena sebagian besar lulusannya tidak
berdaya dalam pertarungan di bursa kerja atau pada saat seleksi banyak peserta didik
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
P a g e [ 445 ]
harus didiskualifikasi karena tindakan indisipliner serta gagal saat wawancara karena
tidak menguasai budaya kerja. Sehingga SMK perlu membenahi pola pembinaan mental
peserta didiknya agar dapat diterima di dunia kerja. Sekolah Menengah Kejuruan harus
memfokuskan pada pendidikan etika, kerja sama, komunikasi, inisiatif, kreatif dan
pemikiran analitis.
Sekolah Menengah Kejuruan harus menyiapkan peserta didik dengan berbekal
kompetensi dan kemampuan yang handal sesuai dengan keahliannya sehingga berdaya
saing tinggi dalam dunia kerja dan industri nantinya. Dengan perubahan dan
perkembangan zaman yang terjadi saat ini baik itu di bidang ekonomi, teknologi, sosial
dan perindustrian membuat dunia kerja semakin kompetitif dengan peningkatan kualitas
tenaga kerja yang dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja berpendidikan tinggi.
Peserta didik yang nantinya menjadi lulusan SMK yang lulusannya sebagian besar
langsung ke dunia kerja diharapkan dapat mempunyai kemampuan yang handal sesuai
dengan keahliannya dan dapat bersaing dengan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi,
seperti diploma dan sarjana. Sehingga penulis menspesifikasikan pendidikan etika bagi
peserta didik mata diklat akuntansi keuangan di Sekolah Menengah Kejuruan sebagai
modal berkompetisi di era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).
Sekolah Menengah Kejuruan memiliki beberapa program keahlian yang salah
satunya adalah program keahlian akuntansi yang mempunyai tujuan untuk menyiapkan
peserta didiknya menjadi calon teknisi akuntansi junior yang berkarakter dan beretika
sehingga ketika mereka bekerja dalam bidangnya tidak terjerat dengan tindak korupsi
dan beberapa bentuk kecurangan lainnya. Badan Standar Nasional Pusat (BSNP, 2006)
menyatakan bahwa tujuan pendidikan SMK adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. SMK merupakan sekolah
yang menciptakan siswanya, bukan hanya siap melanjutkan ke perguruan tinggi
melainkan kepada kesiapan mereka memasuki dunia kerja yang mempunyai kemampuan
intelektual yang tinggi dan kepribadian yang baik.
Dalam menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual dan
kualitas yang tinggi maka perlu dilihat beberapa hal menyangkut, 1) Pendidikan karakter
kerja seperti apa yang perlu diberikan kepada peserta didik dalam mata diklat akuntansi
keuangan, dan 2) Seberapa penting pendidikan etika bagi peserta didik mata diklat
akuntansi keuangan di SMK sebagai modal berkompetisi di era MEA. Sehingga
diharapkan agar peserta didik yang nantinya menjadi lulusan yang memiliki karakter dan
etika kerja yang tinggi. Hal ini tidak terlepas dari fungsi pendidikan kejuruan sebagai
pelestari nilai-nilai dan norma di masyarakat sekaligus sebagai agen perubahan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
PEMBAHASAN
Pendidikan Etika
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 446 ] P a g e
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno di mana bentuk tunggal kata etika
adalah ethos sedangkan bentuk jamaknya adalah ta etha. Ethos mempunyai banyak arti:
tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan, akhlak, watak, sikap, cara berpikir,
dan perasaan. Sedangkan arti ta etha adalah adat kebiasaan (Suryabrata, 2012).
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan etika memiliki arti: (1) ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3) asas perilaku yang menjadi pedoman.
Dalam kehidupan sehari-hari istilah etika dan moral memiliki arti yang serupa dan sulit
untuk dibedakan. Moral merupakan suatu aturan atau prinsip hidup yang membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk di mana moral dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
dianut masyarakat baik nilai agama, adat istiadat, ideologi dan sebagainya. Sehingga
pengertian moral lebih kepada penilaian perbuatan yang dilakukan, baik dan buruk.
Sedangkan etika lebih mengarah kepada sistem nilai yang berlaku dan mempelajari
bagaimana hakikat dan kaidah moral tersebut. Etika berfungsi untuk memberikan
penilaian kritis dan rasional atas nilai-nilai moral yang ada.
Etika dalam suatu organisasi merupakan suatu sistem nilai. Sistem ini berisi
rentang nilai yang dianggap penting serta menjadi standar dan panduan yang
mengarahkan sikap atau perilaku seseorang. Perilaku personal yang dianggap menyalahi
nilai yang dianut akan menjadi perhatian bagi orang-orang yang berada di lingkungan
sekitar (Suryabrata, 2012). Dalam pendidikan etika terdapat nilai-nilai moral yang
menjadi dasar perilaku dalam praktik pendidikan, baik itu di dalam dan di luar
lingkungan pendidikan. Nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai panduan yang
mengarahkan sikap atau perilaku seseorang dalam praktik pendidikan. Pendidikan etika
tidak lepas dari pembahasan tentang integrasi akademik. Integrasi akademik merupakan
nilai fundamental dalam pengajaran, pembelajaran, dan ilmu pengetahuan. Adanya
integrasi akademik menunjukkan adanya sebuah komitmen untuk melaksanakan nilai-
nilai fundamental tersebut meskipun menghadapi situasi yang buruk. nilai-nilai
fundamental tersebut, meliputi: (1) kejujuran; (2) kepercayaan, (3) keadilan; (4) rasa
hormat; dan (5) tanggung jawab.
Pendidikan etika merupakan salah satu aspek dari penerapan pendidikan
berkarakter. Karakter menurut F.W. Foerster (dalam Hamalik, 2009) adalah suatu yang
mengualifikasikan seorang pribadi di mana karakter menjadi identitas, ciri dan sifat yang
tetap. Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, tidak memberikan
ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan
pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika bisa memiliki banyak arti dan tentu saja
arti tersebut saling berkaitan (Hamalik, 2009), yaitu: etika bisa dijelaskan sebagai cara
pandang manusia atau sekelompok manusia terhadap dua hal yaitu baik dan buruk; etika
merupakan ilmu dalam mempertimbangkan perbuatan manusia, sehingga bisa dinilai
baik atau buruknya; etika adalah ilmu untuk mengkaji berbagai norma yang ada dalam
masyarakat; dan etika merupakan pegangan nilai yang universal atau umum bagi suatu
masyarakat di mana karakter itulah yang menunjukkan kualitas seorang pribadi dapat
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
P a g e [ 447 ]
diukur. Sehingga tujuan dari pendidikan etika adalah mewujudkan kesatuan esensial si
subjek dengan perilaku dan sikap atau nilai hidup yang dimiliki.
Ada empat ciri dasar pendidikan karakter melalui pendidikan etika (Adisusilo,
2014). Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan
seperangkat nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi
yang memberi keberanian, yang membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah
terombang-ambing pada situasi. Koherensi ini merupakan dasar yang membangun rasa
percaya satu sama lain, tanpa koherensi maka kredibilitas seseorang akan runtuh. Ketiga,
otonomi maksudnya seseorang menginternalisasikan nilai-nilai dari luar sehingga nilai-
nilai pribadi menjadi sifat yang melekat, melalui keputusan bebas tanpa paksaan dari
orang lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan
seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar
bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan Etika bagi Peserta Didik pada Mata Diklat Akuntansi Keuangan di
Sekolah Menengah Kejuruan
Kehidupan pendidikan merupakan pengalaman proses belajar yang dihayati
sepanjang hidupnya, baik di dalam jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah.
Berkaitan dengan perkembangan peserta didik, kehidupan pendidikan yang dimaksud
baik yang dialami oleh remaja di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan kehidupan
masyarakat. Hakikatnya kehidupan anak di dalam pendidikan merupakan awal
kehidupan kariernya di mana kehidupan karier merupakan pengalaman seseorang di
dalam dunia kerja.
Perkembangan peserta didik menyangkut perkembangan berbagai aspek, yang
akan menunjukkan perilaku seseorang yang salah satunya adalah etika. Perilaku
seseorang yang menggambarkan perpaduan berbagai aspek itu terbentuk di dalam
lingkungan. Lingkungan tempat anak berkembang itu sangat kompleks. Seorang individu,
pertama bertumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga. Sesuai dengan tugas
keluarga dalam melaksanakan misinya sebagai penyelenggaraan pendidikan yang
bertanggung jawab mengutamakan pembentukan pribadi anak. Sedangkan sekolah
merupakan tempat untuk mengembangkan karakter yang ada dalam diri peserta didik.
Pendidikan karakter melalui pendidikan etika yang diajarkan di SMK yang nantinya
diharapkan peserta didik yang lulusannya siap untuk bekerja mampu untuk
mengembangkan segala kemampuannya dalam dunia kerja baik itu kemampuan
intelektualnya maupun kemampuan beretika.
Perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang
khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang disebut faktor bawaan (nature) dan
lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang
(Sunarto & Hartono, 2013). Faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan
masyarakat dan individu untuk mempengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan
merupakan faktor yang berada pada jangkauan masyarakat dan individu. Jadi usaha
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 448 ] P a g e
pengembangan pendidikan etika bagi peserta didik dapat dilakukan guru atau setiap
komponen yang terkait sebagai bagian dari lingkungan.
Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan
yang mempersiapkan peserta didik agar kompeten dalam satu kelompok pekerjaan atau
satu bidang pekerjaan atas bidang-bidang pekerjaan lainnya. Hal ini sesuai dengan
amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan kejuruan
merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam
bidang tertentu, atau mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja
(Kunandar, 2007). Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa SMK memfokuskan
pada suatu program keahlian atau program-program pendidikan tertentu yang
disesuaikan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan seperti yang telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dialaminya mencakup dasar dan tujuan,
penyelenggaraan pendidikan tersebut wajib belajar, penjamin kualitas pendidikan serta
peran masyarakat dalam sistem pendidikan nasional. Kebijakan tersebut dibuat untuk
menghasilkan pendidikan Indonesia yang baik dan lulusan berkualitas dalam semua
jenjang pendidikan.
Sekolah menengah kejuruan adalah sekolah yang dibangun atau didirikan untuk
menciptakan lulusan agar siap untuk kerja sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah Bab 1 Pasal 1 ayat 3, bahwa pendidikan menengah kejuruan adalah
pendidikan pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan
siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Berdasarkan pernyataan tersebut,
sekolah menengah kejuruan memfokuskan pada suatu program keahlian atau program-
program pendidikan tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan.
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah
Kejuruan Pasal 3 ayat 2, bahwa sekolah menengah kejuruan mengutamakan penyiapan
siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap professional, di mana
hasil akhir dari sekolah menengah kejuruan yaitu lulusan siap bekerja dengan sikap
profesional sebagai bekal dalam mengaplikasikan keahliannya pada lapangan pekerjaan
tertentu. Menurut Kepmendikbud RI No. 0490/U/1992 tentang Sekolah Menengah
Kejuruan Pasal 2 ayat 1 tujuan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan adalah: (1)
mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan
meluaskan pendidikan dasar; (2) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota
masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya,
dan alam sekitar; (3) meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian; dan (4) menyiapkan
siswa untuk memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap professional.
Akuntansi merupakan salah satu program keahlian dalam SMK. Kebutuhan akan
tenaga kerja di bidang ekonomi dan akuntansi sangat banyak dibutuhkan. Program
keahlian akuntansi diharapkan menghasilkan tamatan yang memiliki pengetahuan,
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
P a g e [ 449 ]
keterampilan dan nilai serta sikap yang terintegrasi dan kecakapan kerja dalam bidang
akuntansi dengan menerapkan nilai-nilai etika serta mampu mengadaptasi
perkembangan masyarakat yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi serta dapat
memenuhi tuntutan dunia kerja masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikulum
SMK harus lebih mengutamakan mata diklat yang berkaitan dengan pekerjaan dan
lapangan pekerjaan atau seiring disebut dengan model Link and Match, yaitu memilih
mata diklat dan jurusan yang menunjang pekerjaan. Namun pada kenyataannya, lembaga
pendidikan lebih sering terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan
kreatif sehingga minimnya kompetensi yang dimiliki (Kunandar, 2007). Untuk
menghasilkan peserta didik yang nantinya menjadi tamatan SMK yang sesuai dengan
kebutuhan dunia usaha dan dunia industri, yang secara nyata terus berkembang dari
waktu ke waktu, maka kurikulum SMK harus dirancang dan dilaksanakan untuk
menyesuaikan perkembangan ilmu dan teknologi. Keluaran satuan pendidikan adalah
tingkat penguasaan suatu pengetahuan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti
program pembelajaran sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Pendidikan etika bagi peserta didik mata diklat akuntansi keuangan di Sekolah
Menengah Kejuruan merupakan salah satu modal dasar untuk berkompetisi di era
masyarakat ekonomi ASEAN. Karena melalui pendidikan etika diharapkan peserta didik
mampu untuk meningkatkan nilai-nilai karakter yang ada pada diri mereka. Pendidikan
karakter dari sisi yuridis mempunyai landasan yang kuat, di mana Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3
menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab. Dari delapan tujuan yang ingin dicapai lima di
antaranya mengarah kepada pendidikan karakter.
Menurut Syaifullah Yusuf dalam Penganugerahan Widya Pakerti Nugraha tanggal
20 Oktober 2014 mengatakan bahwa masyarakat ekonomi ASEAN menuntut semua yang
berkecimpungan di dalamnya agar mempunyai mental yang luar biasa karena
menghadapi masyarakat dari luar Indonesia. Di dalam pendidikan etika diajarkan
menjadi manusia yang bermartabat, cerdas, tangguh, jujur, dan peduli. Keempat hal
tersebut beralasan untuk menjadi kunci sukses. Apabila mempunyai kecerdasan maka
akan bisa memilah mana yang baik dan salah. Kecerdasan, harus diimbangi dengan
kejujuran dan etika yang baik pula untuk mendapatkan kepercayaan orang lain.
Sedangkan tangguh diperlukan karena menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN bukan
hanya masyarakat Indonesia saja tetapi juga negara lain di ASEAN. Sikap peduli tidak
kalah pentingnya dengan ketiga hal tadi, karena dengan sikap peduli dengan orang lain,
maka akan mudah untuk menjaga hubungan baik dengan pihak lain. Hal tersebut juga
diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutannya pada peringatan
Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2010 menekankan bahwa pembangunan
karakter dan pendidikan etika merupakan suatu keharusan, karena pendidikan tidak
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 450 ] P a g e
hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas juga mempunyai etika dan sopan santun,
sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi
dirinya maupun masyarakat pada umumnya. Dengan etika dan karakter yang kuat dan
unggul akan dapat membawa suatu bangsa mempunyai kemandirian dan berdaya saing
tinggi dengan negara-negara maju lainnya. Beberapa negara dapat menjaga eksistensi
negaranya terutama dalam bidang ekonomi dan perindustrian didasari oleh karakter
bangsa yang kuat dan tangguh yang dimiliki oleh masyarakatnya.
Ghaffari, dkk (2008: 183-198) dalam penelitiannya Exploring Implementation of
Ethics in U.K. Accounting Programs mengungkapkan pentingnya pendidikan etika dalam
kurikulum khususnya pembelajaran akuntansi bagi peserta didik dalam akuntansi
keuangan dan audit. Hasil survei menunjukkan bahwa melihat beberapa penyimpangan
yang terjadi di dalam akuntansi dan audit maka beberapa sekolah menengah dan
universitas di Inggris memasukkan pendidikan etika di dalam kurikulum sebagai dasar
pembelajaran akuntansi.
Dellaportas, dkk (2011: 63-82) dalam penelitiannya Developing an Ethics
Education Framework for Accounting mengusulkan agar pendidikan etika dapat
diterapkan dalam pembelajaran terstruktur pada disiplin akuntansi. Pendidikan etika
mempunyai tiga komponen yang saling terkait, meliputi: pembuatan keputusan etis dan
perilaku; tujuan kognitif dan perilaku kunci pendidikan etika; dan pendekatan diskrit dan
meresap untuk memberikan konten. termasuk diskusi tentang bagaimana
membandingkan dengan model pendidikan etika dan analisis dukungan melalui
tanggapan oleh organisasi profesi (didasarkan pada Exposure Draft yang dikeluarkan
oleh Federasi Internasional Akuntan (IFAC), sebagai awal International Education
Practice Statement).
Bean, dkk (2007: 59-75) dalam penelitiannya Ethics Education in our Colleges and
Universities: A Positive Role for Accounting Practitioners yaitu meninjau kembali tingkat
pendidikan etika sebelum ke perguruan tinggi dan penekanan dari Asosiasi untuk
Meningkatkan Collegiate Schools of Business (AACSB) untuk pendidikan etika bisnis di
perguruan tinggi menggunakan pendekatan kurikulum. Menurut Bean, dkk bahwa sekolah
bisnis dan praktisi akuntansi dapat menjalin kemitraan yang lebih berarti daripada apa yang saat
ini ada melalui dewan penasehat bisnis tradisional di sebagian besar sekolah bisnis, di mana
etika melekat dalam praktik akuntan publik dan ciri khas profesi akuntansi. Praktisi akuntansi
dapat memainkan peran penting dan positif dalam membantu sekolah bisnis untuk memeriksa
kembali kewajiban mereka kepada masyarakat dan siswa mereka dengan aktif terlibat dalam
pertukaran pandangan oleh para akademisi tentang perlunya pendidikan etika serta orang-orang
dari badan akuntansi profesional.
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
P a g e [ 451 ]
Pendidikan Etika bagi Peserta Didik Mata Diklat Akuntansi Keuangan di Sekolah
Menengah Kejuruan sebagai Modal Berkompetisi di Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA)
Kunci pembangunan masa depan bangsa Indonesia adalah pendidikan, sebab
dengan pendidikan diharapkan setiap individu dapat meningkatkan kualitas
keberadaanya dan mampu berpartisipasi dalam gerak pembangunan. Dengan pesatnya
perkembangan dunia dan dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) ini,
pendidikan nasional juga harus melakukan perkembangan secara terus-menerus seirama
dengan perkembangan zaman. Semua orang pasti mempunyai harapan dan cita-cita
bagaimana memiliki kehidupan yang baik.
Perkembangan yang terjadi saat ini membuat setiap satuan pendidikan harus
mampu untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta karakteristik dari
setiap peserta didik. Berbagai fenomena dan fakta saat ini menunjukkan bahwa terdapat
beberapa penyimpangan yang terjadi pada peserta didik yang tidak hanya dalam lingkup
lokal, nasional, regional, bahkan dalam lingkup internasional. Beberapa penyimpangan
yang terjadi pada peserta didik, antara lain: narkoba, pergaulan bebas, kekerasan antar
sesame pelajar, dan tawuran antar sekolah, di mana menunjukkan bahwa nilai-nilai etika
yang ada dalam diri peserta didik mulai luntur akibat perubahan atas perkembangan
yang terjadi saat ini. Sehingga hal tersebut menjadi pengingat bagi kita tentang seberapa
pentingnya ditanamkan penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan etika bagi
peserta didik sejak dini agar dapat menyiapkan generasi muda yang siap untuk
berkompetisi serta memiliki etika dan sikap yang baik sebagai sumber daya aktif penentu
kejayaan dan eksistensi suatu bangsa. Peserta didik tidak hanya memiliki kemampuan
intelektual yang tinggi saja tetapi juga memiliki akhlak dan etika yang baik pula.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tertulis
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk mencapai potensi belajar yang baik dan turut menyatakan keberhasilan dan
berlangsungnya proses pembelajaran adalah guru, siswa, orang tua, masyarakat, sarana
dan prasarana sebagai pendukung dalam proses pembelajaran. Tidak cukup sampai pada
pendidikan dalam hal ini materi ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswa saja,
tetapi bagaimana membentuk dan menerapkan pendidikan etika dalam pendidikan
berkarakter, sehingga melalui pendidikan karakter, etika, akhlak, sifat seseorang manusia
yang berpendidikan dapat mengaplikasikan segala apa yang diperoleh baik itu di
pendidikan formal maupun pendidikan non formal dalam kehidupan sehari-hari
terutama dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).
Pendidikan etika adalah salah satu cara yang dilakukan untuk membangun
manusia-manusia yang berkarakter di mana hal-hal buruk atau negatif bisa
diminimalisasi, diantisipasi, dan dihilangkan. Sehingga diperlukan kerjasama dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 452 ] P a g e
kekompakan dari berbagai pihak yaitu, pemerintah, masyarakat, guru, orang tua dalam
menyukseskan pendidikan etika melalui pendidikan karakter.
Pendidikan etika dalam lingkup pendidikan kejuruan tidak lepas dari aspek
kurikulum, pembelajaran, dan iklim atau budaya di sekolah. Jika tujuan pendidikan
adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan potensinya agar mampu untuk
menghadapi problema kehidupan dan kemudian memecahkan secara arif dan kreatif,
berarti pembelajaran pada semua mata diklat seharusnya diorientasikan ke tujuan itu
dan hasil belajar juga diukur berdasarkan kemampuan yang bersangkutan dalam
memecahkan problema kehidupan. Agar semuanya dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan maka diperlukan pengembangan aspek-aspek karakter
dalam hal ini etika yang dihubungkan dengan subtansi mata diklat atau sebagai metode
pembelajarannya.
Salah satu contoh pentingnya pendidikan karakter melalui pendidikan etika bagi
peserta didik mata diklat akuntansi keuangan di SMK melalui penerapan pembelajaran
pendidikan etika pada kompetensi dasar (KD) siklus pengikhtisaran dengan materi
pokok menyusun laporan keuangan. Dalam kompetensi dasar (KD) siklus pengikhtisaran
dengan materi pokok penyusunan laporan keuangan dibutuhkan ketelitian dalam
penyusunanya, tanggung jawab, etika dan relevan. Hal tersebut didasarkan pada
karakteristik kualitas penyusunan laporan keuangan menurut Panduan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) yang di dalamnya terkandung karakter-karakter yang
penting untuk ditanamkan dan dikembangkan dalam kurikulum. Karena kurikulum
berorientasi kompetensi maka karakter dapat disertakan sebagai kompetensi dasar yang
dikembangkan bersama mata diklat lainnya.
Karakteristik kualitas laporan keuangan menurut Panduan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) adalah: (1) Dipahami, kualitas penting informasi yang ditampung
dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk dipahami oleh pemakainya; (2)
Relevan, agar laporan keuangan bermanfaat, informasi didalamnya harus relevan untuk
memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan; (3) Materialitas,
relevansi informasi dipengaruhi oleh hakekat dan materialitas laporan keuangan,
imformasi dipandang material apabila kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan
dalam mencatat informasi tersebut mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai yang
diambil dasar laporan keuangan; (4) Keandalan, supaya laporan keuangan bermanfaat,
informasi juga harus handal; (5) Penyajian jujur, informasi keuangan di laporan
keuangan harus jujur dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ada
atau memanipulasi data pada laporan keuangan; (6) Substansi mengungguli bentuk, jika
informasi dimaksudkan untuk menyajikan transaksi serta peristiwa lain yang harusnya
disajikan, peristiwa tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan subtansinya dan
realitas ekonomi dan bukan hanya bentuk hukum; (7) Netralisasi, informasi harus
diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, tidak tergantung pada kebutuhan dan
keinginan pihak tertentu; (8) Pertimbangan sehat, penyusunan laporan keuangan
adakalanya menghadapi ketidakpastian suatu peristiwa dan keadaan tertentu, namun
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
P a g e [ 453 ]
demikian penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan; (9) Kelengkapan,
agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan
materialitas dan biaya. Sehingga dari materi pokok laporan keuangan disusun indikator
dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, misalnya tujuan pembelajaran agar dapat
melatih keterampilan berpikir, ketepatan, dan ketelitian peserta didik dalam penyusunan
laporan keuangan.
Tujuan laporan keuangan tersebut adalah peserta didik diharapkan dapat
melaporkan laporan keuangan dengan jumlah yang benar dan akurat sesuai dengan data
transaksi yang ada. Tujuan tersebut mengandung nilai-nilai karakter, yaitu kejujuran,
karena peserta didik harus menyusun jumlah saldo yang benar sesuai dengan jumlah
saldo pada pencatatan transaksi sebelumnya. Karakter beretika, karena peserta didik
diharuskan untuk menyajikan saldo dalam penyusunan laporan keuangan sesuai dengan
kode etik yang ada di dalam panduan standar akuntansi keuangan (PSAK). Karakter
rasional, karena peserta didik diharuskan menyajikan jumlah saldo dalam sebuah
laporan yang dapat diterima oleh nalar banyak orang dan tidak mengada-mengada.
Karakter bertanggung jawab, karena bila ada kesalahan dalam penyusunan laporan
keuangan maka akan dapat menyalahi informasi keuangan suatu perusahaan dan dapat
pula mengakibatkan kerugian bagi perusahaan tersebut. Sehingga dapat juga muncul
penanaman karakter dapat dipercaya, karena laporan keuangan yang disusun harus
benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan sekecil mungkin terjadi kesalahan.
Karakter kerja yang perlu ditanamkan pada peserta didik kejuruan akuntansi di
era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Pertumbuhan ekonomi suatu Negara merupakan hal yang sangat penting dicapai
karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan perekonomian yang lebih
baik dan ini akan menjadi indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara.
Percepatan tersebut, mulai dari melakukan pembenahan internal kondisi perekonomian
di suatu negara bahkan sampai melakukan kerjasama internasional dalam bidang untuk
dapat memberikan kontribusi positif demi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara
yaitu faktor sumber daya manusia, faktor sumber daya alam, faktor ilmu pengetahuan
dan teknologi, faktor budaya dan faktor daya modal. Dari aspek ketenagakerjaan,
terdapat kesempatan yang sangat besar bagi pencari kerja karena dapat banyak tersedia
lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian yang beraneka ragam. Selain
itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari pekerjaan menjadi lebih
mudah bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan tertentu.
Masyarakat ekonomi ASEAN juga menjadi kesempatan yang bagus bagi para
wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Dalam hal ini dapat memunculkan risiko ketenagakerjaan bagi Indonesia. Dilihat dari sisi
pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang
berasa dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi industri yang bagi Indonesia
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 454 ] P a g e
sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN. Selain itu dalam
menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN yang dibutuhkan bukan hanya kemampuan
intelektual setiap individu saja tetapi dibutuhkan kualitas atau karakteristik dari setiap
individu. Sehingga perlu ditanamkan karakter kerja bagi peserta didik kejuruan
akuntansi sebelum memasuki dunia kerja. Hal ini dilakukan agar pada saat peserta didik
sudah memasuki dunia kerja diharapkan bekerja dengan penuh tanggung jawab yang
ditunjukkan dengan prestasi yang tinggi, baik itu dari kemampuan intelektualnya
maupun etika kerjanya.
Karakter perlu ditanamkan kepada peserta didik. Menurut Gaa dan Throne (2014)
dalam penelitian An Introduction to the Special Issue on Professionalism and Ethics in
Accounting Eduction menyatakan bahwa perlu dilakukan pembelajaran mengenai etika
sehingga nantinnya peserta didik mempunyai etika kerja yang tinggi sebagai calon
akuntan dan auditor. Kode etik akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan
aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktek sebagai auditor, bekerja di lingkungan
usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan. etika
profesional bagi praktek auditor di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan akuntansi
Indonesia (Sihwajoni dan Gudono, 2000).
Prinsip etika yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia adalah: (1)
Tanggung jawab profesi, dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional
dalam semua kegiatan yang dilakukan; (2) Kepentingan publik, setiap anggota
berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam rangka pelayanan kepada publik,
menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme; (4)
Objektivitas, setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Prinsip objektivitas
mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak
berprasangka, serta bebas dari benturan kepentingan sendiri atau dari kepentingan
pihak lain; (5) Kompetensi dan kehati-hatian profesionalisme, setiap anggota harus
melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi
kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau
kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya; (6) Kerahasiaan, setiap
anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan
jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa
ada persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya; (7) Perilaku Profesional, setiap anggota harus melaksanakan jasa
profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Kementerian tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia telah menetapkan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan rumusan
kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan keahlian, serta
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
P a g e [ 455 ]
sikap kerja yang relevan dalam pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kementerian tenaga
kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sebagai kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara
bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai struktur pekerjaan di berbagai sektor.
Beberapa pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa karakter yang perlu
ditanamkan dan dikembangkan bagi peserta didik pada mata diklat akuntansi keuangan
di SMK yang nantinya menjadi calon akuntan dan auditor, antara lain: mempunyai etika,
jujur, dapat dipercaya, bertanggung jawab, rasional, objektivitas, konsisten, dan relevan.
SIMPULAN
Secara garis besar dapat disimpulkan pendidikan etika dibutuhkan pada dunia
kerja atau industri bagi seorang tenaga teknisi akuntansi junior telah dapat
diimplementasikan pada pembelajaran mata diklat akuntansi keuangan di SMK. Hal
tersebut dapat dilihat khususnya pada beberapa prinsip etika yang tercantum dalam
kode etik akuntan Indonesia, hampir sama dengan karakter-karakter yang terkandung
dalam proses pembelajaran siklus akuntansi proses pengihtisaran untuk penyusunan
laporan keuangan (yang sesuai dengan karakteristik kualitas penyusunan laporan
keuangan menurut PSAK). Akan tetapi pengimplementasian pendidikan etika masih
secara umum, belum terdapat fokus pengembangan karakter teknisi akuntansi junior
berupa tindakan khusus yang diperintahkan dan diteladani oleh guru kepada peserta
didik. Dalam perkembangannya dibutuhkan pengembangan pola implementasi
pendidikan etika yang lebih dalam pembelajaran ataupun iklim di sekolah. Dengan
membudayakan nilai karakter melalui pendidikan etika di sekolah, kerjasama
dengan pihak terkait (guru, siswa, wali kelas, kepala sekolah, orang tua peserta didik,
komite sekolah), pendekatan secara personal dengan peserta didik, menjelaskan
pentingnya pendidikan etika dan memberi keteladanan kepada peserta didik. Sehingga
pemantapan etika dalam pendidikan kejuruan merupakan langkah strategis untuk
menghasilkan tenaga kerja kejuruan yang berkarakter agar mampu bersaing di era
masyarakat ekonomi ASEAN. Langkah ini merupakan upaya meningkatkan relevansi
kompetensi lulusan dengan kebutuhan dunia kerja atau industri.
Pendidikan etika pada mata diklat akuntansi keuangan telah dapat dilakukan. Namun
perlu dilakukan lagi pemantapan karakter melalui pendidikan etika dalam pendidikan kejuruan
sebagai langkah strategis untuk menghasilkan tenaga kerja kejuruan yang beretika dan
mempunyai modal dasar untuk mampu bersaing dan berkompetisi di era masyarakat ekonomi
ASEAN (MEA). Sehingga diharapkan agar setiap komponen, baik guru, siswa, orang tua dan
masyarakat dapat saling membantu dalam meningkatkan pendidikan etika tersebut.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 456 ] P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. (2014). Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta: Rajawali Press.
Badan Standar Nasional. (2006). Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan PendidikanDasar dan Menengah Nomor 23 Tahun 2006. Jakarta: Kementerian PendidikanNasional.
Bean, David F; Bernardi, Richard A. (2007). Ethics Education in our Colleges andUniversities: A Positive Role for Accounting Practitioners. Journal of AcademicEthics , 59-75.
Dellaportas, Steven; Jackling, Beverley; Leung, Philomena; Cooper, Barry J. (2011).Developing an Ethics Education Framework for Accounting. Journal of BusinessEthics Education , 63-82.
Eklund, Mona; Bejerholm, Ulrika. (2007). Temperament, Charakter, and Self-Esteem inRelation to Occupational Performance in Individual wwith Sczihophrenia. OTJR ,57-58.
Gaa, James C; Throne, Linda. (2004). An Introduction to the Special Issue onProfessionalism and Ethics in Accounting Eduction. Issues in Accounting , 1-6.
Ghaffari, F., Kyriacou, O., & Brennan, R. (2008). Exploring the Implementation of Ethics inU.K. Accounting Programs. Issues in Accounting Education , 183-198.
Hamalik, Oemar. (2009). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru AlgensindoOffset.
Ikatan Akuntansi Indonesia. (2009). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 1Revisi 2009: Laporan Keuangan.
Kamisa. ( 1997). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (1992). Keputusan MenteriPendidikan dan Budaya Republik Indonesia Nomor 0490/U/1992 tentang SekolahMenengah Kejuruan Pasal 2 Ayat 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan danKebudayaan Republik Indonesia.
Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Sambutan Menteri Pendidikan Nasional padaPeringatan Hari Pendidikan Nasional . Retrieved Mei 2, 2010, from www.kemdiknas.go.id
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2012). Tata CaraPenetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Jakarta: KementerianTenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Killian, Laita J; Huber, Marsha M; Brandon, Christopher. (Issue in Accounting Eduction).The Financial Statement Interview: Intentional Learning in the First Accounting.Issue in Accounting , 337-360.
Kunandar. (2007). Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
LPMP Provinsi Jawa Tengah. (2014). Antara Lulus dan Bekerja. Retrieved April 16, 2015,from http;//www.lpmpjateng.go.id
Republik Indonesia. (1990). Peraturan Pemeintah Nomor 29 Tahun 1990 tentangPendidikan Menengah Bab 1 Pasal 1. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pendidikan Etika Bagi… (Iin Marlyn Laoere)
P a g e [ 457 ]
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2012 tentangKerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Tahun 2012. Jakarta: Sekretariat Negara.
Sihwajoni; Gudono, M. (2000). Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan. Jurnal RisetAkuntansi Indonesia , 168-190.
Sunarto,H; Hartono, Agung B. (2013). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. (2012). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Press.
Suryamin. (2014). Lulusan SMK Mendominasi Jumlah Pengangguran Terbuka. RetrievedApril 16, 2015, from http://www.tempo.co
Tri, Septiani, dkk. (2013). Implementasi Pendidikan Karakter pada Mata PelajaranProduktif Akuntansi di SMK Negeri 3 Surakarta. Jurnal Vol 1 No. 2, Hal 1-14
Yusuf, Syaifullah. (2014). Anugerah Widya Pakerti Nugraha 2014. Retrieved April 14,2015, from Layanan Informasi Publik Pendidikan Provinsi Jawa Timur:www.google.com
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 458 ] P a g e
PEMBELAJARAN EKONOMI BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni WulandariUniversitas Negeri [email protected]
AbstrakKehidupan bangsa yang banyak dipengaruhi oleh budaya asing baik melaluimedia cetak maupun elektronik serta kebiasaan remaja saat ini yangmenginginkan hidup yang serba instan. Sehingga dalam pembelajaran ekonomiperlu diikuti oleh pendidikan karakter agar mereka mampu mengaplikasikansemua ilmu pengetahuan yang diperoleh sesuai dengan falsafah dan pola hidupyang merujuk pada semua aturan dan kebiasaan bangsa Indonesia. Prosespembelajaran ekonomi hendaknya lebih memperhatikan teori-teori yang sesuaidengan kehidupan bangsa Indonesia dan tujuan pendidikan nasional yangtercantum dalam kurikulum baik di tingkat sekolah lanjutan maupun perguruantinggi.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pembelajaran Ekonomi
PENDAHULUAN
Fenomena yang terjadi saat ini di lingkungan masyarakat menggambarkan bahwa
hasil pendidikan nasional belum mengarah dan mampu mewujudkan figur manusia
Indonesia seutuhnya yang berdasarkan falsafah Pancasila seperti yang tersurat dan
tersirat dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003. Kehidupan masyarakat di
Indonesia sering mengalami krisis, antara lain: identitas karakter bangsa semakin tidak
jelas, dan dapat dikatakan kehilangan jati diri sebagai warga negara Indonesia, kepastian
hukum yang tidak jelas, hilangnya sikap saling menghormati/menghargai, komunikasi
yang tidak didasari sopan santun di forum publik, unggah-ungguh dan gotong-royong
serta saling membantu sesama umat manusia jarang kita temui. Bahkan, akhir-akhir ini
sering diberitakan di media publik, kondisi kehidupan masyarakat semakin
memprihatinkan dengan adanya penyimpangan perilaku yaitu ; terjadinya aneka
kesenjangan sosial yang semakin tinggi, korupsi merajalela di semua lembaga baik
eksekutif, yudikatif maupun legislatif, beban kehidupan masyarakat bertambah berat
karena perkembangan budaya dan kemajuan teknologi serta pengaruh globalisasi yang
tidak bisa dihindari, berkembangnya fragmentasi kehidupan, tidak mengindahkan lagi
norma-norma agama/rusaknya komunitas moral, perilaku provokatif dan emosional baik
di golongan pemuda, mahasiswa, dan masyarakat tidak dapat terkendali, marak dan
meluasnya aneka konflik/pertikaian antar etnis/ golongan/pelajar/mahasiswa termasuk
kalangan elit politik yang memperebutkan keinginan mereka masing-masing dan
memaksakan kehendaknya, menguatnya egoisme pribadi dan kolektif, banyaknya
praktek tanpa dasar teori dan teori tanpa implementasi, apalagi pada tahun 2014 yang
disebut tahun politik ini banyak menguntungkan kelompok elit politik melalui berbagai
kebijakan mengabaikan/melupakan moralitas dan lebih focus pada mencari uang, materi,
jabatan dan kekuasaan.
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
P a g e [ 459 ]
Faktanya kehidupan masyarakat yang terjadi saat ini khususnya yang
berhubungan dengan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat merupakan tantangan
bagi para tenaga pendidik bidang studi pendidikan ekonomi khususnya Pembelajaran
Ekonomi agar mampu menyumbangkan alumni yang berbasis pendidikan karakter
bangsa Indonesia seperti yang tertulis dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Berdasarkan fenomena di atas dapat dirumuskan sebagai berikut
“Bagaimana Pembelajaran Ekonomi Berbasis Pendidikan Karakter?”. Dengan tujuan
untuk “Menganalisis Pembelajaran Ekonomi Berbasis Pendidikan Karakter”.
Pembelajaran Ekonomi hendaknya mampu memberikan pengetahuan,
pemahaman, pengalaman, dan dapat memecahkan permasalahan ekonomi yang dihadapi
untuk memenuhi kebutuhan individual maupun kelompoknya sesuai dengan kapasitas
jasmaninya sehingga tidak menimbulkan permasalahan bagi orang lain dan masyarakat
dalam arti yang luas. Di samping itu perlu adanya konseptualisasi karakter sebagai warga
negara dan bangsa yang dimasukkan dalam setiap butir-butir pemahaman materi
sehingga peserta didik dapat evaluasi diri, menggunakan akal pikiran rasional, yuridis
formal, procedural, moralitas, kesantunan dan kepatutan terhadap setiap pemenuhan
kebutuhan pribadi dan menghadapi fenomena/kasus di lingkungannya maupun yang
terjadi di masyarakat. Pembelajaran ekonomi berbasis pendidikan karakter merupakan
salah satu jalan keluar/solusi menghadapi krisis yang terjadi di masyarakat diikuti
dengan peningkatan moralitas dan spriritualitas yang sudah menjadi budaya bangsa
Indonesia, nilai-nilai, kearifan, etika, akhlak baik, jujur, bertanggung jawab, keteladanan,
berjiwa besar untuk kepentingan masyarakat lebih diutamakan dibandingkan untuk
kepentingan pribadi/individual.
Siapapun orang yang memiliki kemampuan secara individual, kelompok maupun
karena jabatannya di bidang ekonomi ataupun bidang lain akan selalu berusaha
melaksanakan setiap kegiatannya sesuai aturan yang berlaku, etika moral, kepatutan,
kejujuran, mandiri, toleran, empati, sabar, saling membantu dan menghormati, respek,
produktif, mempunyai komitmen sosial dan semangat kebangsaan, serta kemanfaatannya
untuk masyarakat. Tidak lagi terpikirkan model pencitraan dan seolah-olah baik namun
dibalik itu semua penuh dan sarat dengan permasalahan baru yang sangat merugikan
orang lain dan masyarakat, anti korupsi, manipulasi, dan sikap lainnya yang sangat
merugikan orang banyak serta bertentangan dengan nilai-nilai, etika moral dan hukum
yang berlaku dalam agama manapun. Atas dasar tersebut di atas diharapkan dapat
terwujudnya kehidupan bangsa yang utuh, bersatu, sejahtera, adil dan makmur, saling
menghormati dan membantu, harmonis, rasa kepedulian dan kesetiakawanan, toleransi,
cinta tanah air, rasa kebangsaan, hidup hemat dan sehat, mengenal skala prioritas dalam
kehidupannya, berani mengambil risiko, memanfaatkan peluang usaha, membentuk jiwa
kewirausahaan, demokratis dan tidak ada diskriminasi.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 460 ] P a g e
PEMBAHASAN
Pendidikan karakter bangsa Indonesia yaitu berkarakter moral Pancasila sudah
dilakukan sejak masa revolusi fisik masa Orde Lama, masa Orde Baru sampai pada Era
Reformasi. Tujuan tersebut terkait dengan upaya mewujudkan manusia susila yang cakap
sebagai perwujudan manusia Indonesia dan pelaku-pelaku ekonomi yang memiliki
karakteristik berbudi luhur, jujur, bekerja keras,disiplin, mandiri, inovatif, kreatif,
bertangung jawab, cerdas, kritis, professional dan memiliki semangat untuk maju.
Menurut Ki Hajar Dewantara memberikan penjelasan tentang susila yaitu kesusilaan
sebagai orang berbudi halus dan ini dikaitkan dengan adab dan peradaban yang memiliki
arti berbudi luhur. Dimensi kemanusiaan dan ketuhanan hadir dalam penggambaran
pribadi susila dan beradab.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan zaman. Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
(UU No. 20 Tahun 2003 Bab 2 Pasal 3).
Gambar 1. Pembangunan Karakter Bangsa(Sumber: Diknas tentang Pendidikan Karakter Nasional)
Pada tahun 2025, Sistem Pendidikan Nasional mencanangkan untuk menghasilkan
“Insan Indonesia cerdas dan kompetitif, yang berkeadilan, bermutu dan yang berkaitan
dengan keperluan masyarakat Indonesia maupun dunia/global. Kurikulum disusun
sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan memperhatikan (a) Peningkatan iman dan takwa, (b) Peningkatan akhlak mulia,
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
P a g e [ 461 ]
(c) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, (d) Keragaman potensi
daerah dan lingkungan, (e) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (f) Tuntutan
dunia kerja. Grand design pendidikan karakter yang telah dibuat pemerintah menetapkan
empat nilai utama yang harus ditanamkan di lembaga pendidikan yaitu; 1) jujur dan
bertanggung jawab (cerminan dari olah hati), 2) cerdas (cerminan dari olah pikir), 3)
sehat dan bersih (cerminan dari olah raga), dan 4) peduli dan kreatif (cerminan dari olah
rasa).
Pendidikan karakter yang saat ini diterapkan merupakan perwujudan dari
berbagai pendapat beberapa filosuf antara lain Imam Al-Ghozali (Hujjatul Islam)
mengatakan bahwa Karakter lebih dekat dengan Akhlaq, yaitu spontanitas manusia
dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika
muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji
maka dinamakanlah akhlak yang baik. Dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji
dinamakanlah akhlak yang buruk Tingkah laku seseorang itu adalah lukisan batinnya.
Menurut Gordon Willard Allport (Psikolog Amerika), Karakter sebagai penentu bahwa
seseorang sebagai pribadi, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya.
Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana
yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang
mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (psikomotor).
Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja
aspek “pengetahuan yang baik” (moral knowing), tetapi juga “merasakan dengan baik”
atau “loving the good” (moral feeling), dan “perilaku yang baik” (moral action). Jadi
pendidikan karakter erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus
dipraktekkan dan dilakukan.
Gambar 2. Nilai-nilai Pendidikan Karakter(Sumber: Diknas tentang Pendidikan Karakter Nasional)
Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik adalah nilai
universal yang mana seluruh agama, tradisi dan budaya pasti menjunjung tinggi nilai-
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 462 ] P a g e
nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota
masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku dan agama. Untuk
menggambarkan nilai-nilai pendidikan karakter dapat dilihat pada Gambar 2.
Karena pendidikan karakter merupakan suatu habit atau kebiasaan, maka
pembentukan karakter seseorang itu memerlukan communities of character yang terdiri
dari keluarga, lembaga pendidikan, institusi keagamaan, media, pemerintahan dan
berbagai pihak yang mempengaruhi nilai-nilai generasi muda. Semua communities of
character tersebut hendaknya memberikan suatu keteladanan, intervensi, pembiasaan
yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan. Dengan perkataan lain, pembentukan
karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui
proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus menerus dalam jangka panjang yang
dilakukan secara konsisten dan penguatan.
Gambar 3. Tiga Pendekatan dan Implementasi Pendidikan Karakter(Sumber: Diknas tentang Pendidikan Karakter Nasional)
Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dalam rangka mencanangkan gerakan
nasional pendidikan karakter pada tanggal 11 Mei 2010 berusaha mengembalikan
pendidikan pada khitahnya yang meliputi ketiga aspek yaitu: kognetif, afektif dan
psikomotorik secara konsisten serta prestasi dalam sikap dan perilakunya melalui
pembudayaan karakter di lingkungannya. Menurut Komarudin Hidayat (2010), tanpa
budaya lembaga pendidikan yang bagus akan mengalami kesulitan melakukan
pendidikan karakter, jika budaya lembaga pendidikan sudah mapan, siapapun yang
masuk dalam komunitas tersebut secara otomatis akan mengikuti tradisi/budaya yang
sudah ada. Pembangunan lembaga pendidikan terberat justru terletak pada upaya
membangun budaya/kultur, karena selain membutuhkan dana juga daya tahan
kesabaran, keuletan, presistensi, dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan
lembaga pendidikan/civitas akademika, orang tua, masyarakat dan pemerintah.
Pendidikan karakter diharapkan mampu membangun manusia Indonesia
seutuhnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke Indonesiaan yaitu ; nilai-nilai Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI yang sudah digariskan oleh para pendiri
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
P a g e [ 463 ]
bangsa dan Negara Indonesia, sekaligus menjawab tantangan dan pengaruh yang ada di
masyarakat karena perkembangan budaya, teknologi, informasi yang begitu cepat dan
tidak mungkin dibendung. Pengaruh yang sangat luar biasa ini bila tidak segera ditangani
akan dapat menghancurkan kualitas manusia Indonesia dan derajat kualitas kehidupan
berbangsa dan bernegara. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), jika perkembangan
dan pengaruh teknologi informasi yang sangat luar biasa dimanfaatkan secara positif
misalnya; penyebaran informasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas, baik informasi
factual, konseptual maupun procedural akan dapat menunjang terwujudnya peningkatan
kualitas manusia Indonesia dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mc.Gaughey (2005), menyatakan bahwa pemanfaatan negative teknologi
informasi dan komunikasi telah melampui pemanfaatan positif dan patut diduga telah
memberi kontribusi melemahnya karakter bangsa, menurunkan kualitas manusia, dan
menurunkan derajat kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera, makmur berkeadilan dan
memiliki karakter, maka perguruan tinggi memiliki peran yang sangat strategis, untuk
mengimplementasikan pendidikan karakter secara integrasi dan dilandasi kerangka
berpikir yang komprehensif dalam upaya menanamkan karakter alumninya untuk
memasuki dunia kerja dan kembali ke lingkungan masyarakat sebagai insan terdidik,
teladan, jujur, cara berpikir memecahkan permasalahan berdasarkan nilai-nilai moral,
kepatutan, santun, akhlak mulia, cepat dan tepat, bermartabat, bermakna, cerdas dan
tuntas serta sesuai ketentuan yang digariskan oleh Tuhan YME. Menurut Lickona (2004),
untuk mewujudkan nilai-nilai karakter yang dicita-citakan maka implementasinya dapat
melalui rancangan kurikulum yang ada sehingga terintegrasi dengan bidang studinya
masing-masing.
Tim Sprod (2001), menyatakan peranan pendidik dan metode membangun suatu
kelas, sebagai suatu masyarakat untuk melakukan inkuiri etis dalam upaya mewujudkan
pribadi dan masyarakat madani. Menurut pendapat Wren (2008) pendidikan Karakter
perlu adanya upaya untuk dikembangkan sesuai perkembangan budaya dan
teknologi/informasi agar setiap individu berbuat baik pada dirinya sendiri dan terhadap
orang lain serta terhadap Tuhan-Nya.
Identifikasi tentang pendidikan karakter secara terperinci, teliti, dan benar akan
diketahui nilai-nilai apa saja yang perlu diberikan baik secara bersama-sama oleh
kelompok ataupun setiap bidang studi, baik tataran konseptual, penerapan dalam
kegiatan nyata yang didasari nilai-nilai etika, moral, kepatutan, kejujuran, akhlak mulia,
cepat, tepat, cerdas dan tuntas sesuai budaya bangsa dan negara Indonesia. Nilai-nilai
karakter yang dimiliki oleh para civitas akademika khususnya alumni perguruan tinggi
dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 6.
Suwarsih Madya (2010), menyatakan bahwa : Kehidupan bangsa yang cerdas
adalah kehidupan yang dibangun oleh warga negara Indonesia yang berpola pikir dan
sikap cerdas, yang keduanya terwujud dalam perilaku yang sarat dengan kebajikan dan
jauh dari hal-hal yang merugikan /destruktif bagi diri, masyarakat maupun bangsa, baik
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 464 ] P a g e
dalam jangka pendek maupun panjang sehingga mampu memecahkan masalah yang
dihadapi secara efektif (tanpa menimbulkan masalah baru) dengan pandangan ke masa
depan yang makin membaik kualitasnya.
Gambar 4. Nilai- nilai karakter alumni (Sumber: Suwarsih Madya, 2010)
Bila pendidikan karakter dikaitkan dengan pembelajaran Ekonomi, maka
diperlukan beberapa strategi dan model. Strategi pertama antara lain, pemahaman
secara jelas, tegas dan tepat tentang sistem Ekonomi didasarkan pada landasan ideal
Pancasila, landasan konstitusional; UUD 1945, Peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen,
Perda dan aturan lainnya, landasan operational; perencanaan secara nasional, meliputi
kepentingan propinsi dan Kota/Kabupaten, landasan perencanaan dan pelaksanaannya;
meliputi perencanaan yang dilakukan kelembagaan/departemen dan daerah (propinsi
dan Kota/Kabupaten).
Tujuan, sasaran dan target yang akan dicapai harus bertumpu pada Sistem
Ekonomi Pancasila (SEP) dengan karakteristik mencerminkan budaya Indonesia; (1)
Peranan negara masih diperlukan dan usaha swasta dikembangkan secara berdampingan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (2) Hubungan kerja antar lembaga
ekonomi didasarkan pada azas kekeluargaan dan keakraban hubungan antar manusia,
(3) Masyarakat sebagai suatu kesatuan memegang peranan sentral dalam SEP artinya
bukan mengabaikan individu tetapi langkahnya harus sesuai dan serasi dengan
kepentingan masyarakat, (4) Negara menguasai bumi air dan kekayaan alam lainnya
untuk kemakmuran masyarakat (5) Sistem nilai SEP mempengaruhi tingkah laku pelaku
ekonomi dan selalu mengikuti dinamika pertumbuhan masyarakat.
Kedua, tenaga kependidikan memiliki peran yang penting dan bertanggung jawab
dalam keberhasilan mencapai tujuan dan melaksanakan pendidikan ekonomi Indonesia
yang berbasis karakter, melalui berbagai kegiatan dan media yang digunakan agar
mahasiswa berusaha mencari referensi dari berbagai media, mampu melakukan
introspeksi dan menyiapkan diri untuk menjadi manusia Indonesia yang bermakna.
NILAI-NILAI
KARAKTER
DASAR/
UNIVERSAL
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
P a g e [ 465 ]
Di samping itu perlunya “hidden Curriculum”, dan merupakan instrument yang amat
penting dalam pengembangan karakter mahasiswa.
Ketiga, dalam proses pembelajaran ekonomi Indonesia diberikan gambaran
tentang bagaimana kondisi ekonomi Indonesia secara micro dan macro, memberikan
berbagi informasi tentang kemampuan sumberdaya alam dan sumber daya manusia yang
dimiliki Indonesia serta mengetahui bagaimana sebenarnya posisi ekonomi Indonesia
secara global.
Keempat, budaya organisasi di perguruan tinggi harus dapat dimanfaatkan dalam
rangka pengembangan karakter serta menekankan pada daya piker yang kritis dan
kreatif (critical and creative thinking), kemampuan bekerja sama, dan belajar membuat
perencanaan, program, kebijakan dan keputusan/pernyataan atas dasar falsafat bangsa
Indonesia untuk menata ekonomi Indonesia mencapai kemakmuran yang berkeadilan.
Kelima, pada hakikatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan
proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan kampus, keluarga,
masyarakat. Hal ini perlu keteladan dan pembinaan secara bertahap antara lain; sikap
selama dalam kegiatan pembelajaran (kegiatan PBM, penyelesaian tugas, UTS dan UAS)
dan pergaulannya dengan civitas akademika.
Keenam, pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien kalau dikerjakan oleh
perguruan tinggi bekerjasama dengan berbagai institusi, mass media, lembaga swasta
dan tokoh masyarakat memberikan contoh/keteladanan kehidupan yang bermakna,
amanah, produktif, kreatif, inovatif, jujur, bertanggung jawab, tidak mudah putus asa,
tidak konsumtif dan tidak korupsi, tidak berpikir dan bersikap instant karena untuk
mencapai cita-cita dan tujuan haruslah melalui proses dan ujian.
Model yang digunakan antara lain : Pertama, diberikan informasi yang rasional
dan benar tentang bagaimana ekonomi Indonesia ditinjau secara micro dan macro sejak
awal kemerdekaan sampai era reformasi, termasuk apa yang telah direncanakan dan
dilaksanakan oleh Pemerintahan pada saat itu, bagaimana kondisi internal dan eksternal,
bagaimana kondisi politik dalam negeri dan luar negeri, sehingga akan dipahami secara
benar tentang apa konsekuensi dari kebijakan yang sudah ditetapkan, mengapa kondisi
bangsa, negara dan masyarakat Indonesia masih memprihatinkan di mana salahnya dan
apa yang harus dimiliki agar mampu mencapai tujuan seperti keberhasilan yang telah
dicapai oleh negara Cina, Singapura, Jepang dll. Yaitu karakter bangsa.
Kedua, perlu dirumuskan kebijakan atau peraturan, budaya organisasi serta
standar perilaku yang dirumuskan bersama-sama untuk ditaati oleh semua civitas
akademika agar dapat/mampu mewujudkan kondisi yang kondusif dan mencerminkan
kampus sebagai wadah mencetak calon pemimpin bangsa yang berkarakter dan cinta
tanah air Indonesia.
Ketiga, perlu diciptakan komunikasi dengan berbagai pihak yang dapat
mempererat hubungan dan kerjasama, mensosialisasikan secara terus menerus visi dan
misi universitas, isi dan target pendidikan karakter kepada seluruh civitas akademika
agar mampu merubah pola piker, sikap, tingkah laku, jiwa wirausaha yang professional,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 466 ] P a g e
percaya diri, dan menjadi pribadi yang memiliki kepribadian dan harga diri sebagi warga
Negara Indonesia.
Keempat, proses pengembangan karakter memerlukan model keteladanan dan
kejujuran, pola kehidupan yang bernuansa realistis dan relegius serta contoh konkret
yang konsisten, bukan kesejahteraan dan kemakmuran yang duniawi sesaat tapi yang
bermakna dan sepanjang hayat.
Sistem Ekonomi Nasional Indonesia (SENI), mengedepankan karakteristik
kebhinekaan dari masyarakat Indonesia yang beranekaragam ciri-ciri kehidupannya,
berinteraksi dalam semangat kekeluargaan, meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat menuju terwujudnya keadilan sosial. Tujuan ini dapat tercapai bila
seluruh rakyat tanpa kecuali memiliki rasa nasionalisme/karakter dan patuh terhadap
aturan main keadilan ekonomi.
Keadilan ekonomi bersumber pada setiap isi dari 5 sila Pancasila yaitu ; 1) setiap
roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, social
dan moral, 2) seluruh masyarakat bertekad mewujudkan pemerataan social, tidak
membiarkan timbulnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan social. 3) seluruh pelaku
ekonomi harus selalu bersemangat nasionalistik, menomorsatukan terwujudnya
perekonomian nasional yang kuat dan tangguh. 4) koperasi dan bekerja secara kooperatif
menjiwai para pelaku ekonomi, demokrasi ekonomi dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 5) perekonomian nasional
diupayakan terdapat keseimbangan antara perencanaan ekonomi nasional dengan
rencana yang bernuansa desentralisasi dan otonomi daerah untuk mewujudkan suatu
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ada 7 (tujuh) butir paradigma, prinsip-prinsip etik dalam system ekonomi
Pancasila yaitu ; 1) harus menyumbangkan terciptanya ketahanan ekonomi nasional yang
kokoh dan tangguh, 2) harus mengandung sikap dan tekad kemandirian dalam diri
manusia, keluarga dan masyarakat Indonesia, 3) perekonomian nasional harus
dikembangkan kearah perekonomian yang berkeadilan dan berdaya saing tinggi, 4)
demokrasi ekonomi harus mewujudkan untuk memperkokoh struktur usaha nasional, 5)
koperasi sokoguru perekonomian nasional sebagai gerakan dan wadah kegiatan ekonomi
rakyat dan sebagai badan usaha ditujukan pada penguatan dan perluasan basis usaha. 6)
kemitraan usaha dijiwai semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang saling
menguntungkan harus ditumbuhkembangkan. 7) usaha nasional harus dikembangkan
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan dalam system ekonomi pasar
terkelola dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan nasionalisme tinggi.
Pendekatan dalam pembelajaran ekonomi yang berbasis karakter lebih tepat
dengan menggunakan Student Centered, karena lebih ditekankan pada aktivitas dan sikap
peserta didik. Pendekatan ini diharapkan perkembangan karakter akan muncul atas
dasar kesadaran hati dari peserta didik sendiri, mereka asyik untuk mendiskusikan
fenomena dan mengkreasikan pikirannya serta mencari solusi pemecahannya.
Pembelajaran Ekonomi Berbasis… (Yoyok Soesatyo, Novi Trisnawati & Ruri Nurul Aeni Wulandari)
P a g e [ 467 ]
Menurut Hasan (2010), prinsip-prinsip pendidikan karakter harus berpijak pada
prinsip keberlanjutan melalui pembelajaran semua bidang studi, bukan kegiatan
mengajarkan nilai tetapi mengembangkan nilai, proses pembelajaran tidak membuat
peserta didik mengantuk dan harus menyenangkan bagi peserta didik. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pengembangan karakter merupakan sebuah proses panjang,
dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai.
Menurut Zuchdi (2009) program pendidikan karakter secara tidak langsung dapat
dilakukan dengan pengintergrasian kesadaran dan habit dalam setiap mata kuliah.
Atas dasar beberapa pendapat di atas, pendekatan pembelajaran ekonomi dapat
dilakukan antara lain: tercermin dari metode pembelajaran yang meliputi inkulkasi nilai,
keteladanan, fasilitas dan pengembangan ketrampilan. Untuk dapat lebih mempercepat
dan mendukung tercapainya tujuan diperlukan buku ajar ekonomi yang berbasis
pendidikan karakter, karena buku ajar tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pembentukan karakter.
Ki Hajar Dewantara mengemukakan teori Patrap Tri Loka yang berisi Ing Ngarsa
Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Berdasarkan teori
tersebut tenaga pendidik harus dapat member contoh, memberi semangat, dan memberi
dorongan kepada peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai karakter.
Bila merujuk kedudukan dan tanggung jawab pendidik dalam agam Islam sangat
dihargai (sabda Rasullah SAW) artinya; Tinta para ulama/ ilmuan lebih tinggi/berharga
dari pada darah para syuhada “ (HR.Abu Daud & Tarmidzi). Jadi didalam Islam
kedudukan pendidik adalah amat tinggi, jika tidak ada pendidik maka manusia akan
menjadi hewan karena tidak ada pembelajaran dan bimbingan. Siapa yang memuliakan
pendidik berarti secara tidak langsung telah memuliakan Rasul, siapa yang memuliakan
Rasul berarti memuliakan Allah, dan siapa yang memuliakan Allah syurgalah tempat
kediamannya. Pada gambar 5 dibawah ini merupakan konseptual pendidikan karakter
pada pembelajaran ekonomi.
Gambar 5. Pendidikan Karakter pada Pembelajaran Ekonomi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 468 ] P a g e
Menurut Sudarsono (2002:11) dalam ekonomi Islam, kebutuhan manusia terbatas
karena pemenuhan kebutuhan tersebut disesuaikan dengan kemampuan jasmani
manusia. Pada dasarnya sumber daya yang diberikan Allah SWT tidak terbatas. Oleh
karena itu, manusia dituntut berupaya memberdayakan kekayaan alam sebagai mana
mestinya dan disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhannya, sehingga diharapkan
muncul kreativitas dan inovasi untuk menemukan hal-hal yang baru, dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Tujuan akhir ekonomi Islam yaitu mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat melalui suatu tatanan kehidupan yang baik serta bermartabat sesuai
dengan norma-norma kehidupan yang ada. terhormat dan bermakna itulah yang
merupakan kebahagiaan hakiki yang sangat dicita-citakan oleh setiap manusia dan bukan
kebahagiaan yang semu/sesaat yang akhirnya justru menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan bagi dirinya maupun orang lain.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran
ekonomi berbasis pendidikan karakter perlu ditumbuhkembangkan agar peserta didik
mampu mengaplikasikan materi ekonomi yang diperoleh sesuai dengan falsafah dan
kehidupan bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Saran untuk kita semua sebagai civitas
akademika perguruan tinggi sepatutnya menulis buku ajar sesuai bidang studi masing-
masing dalam rangka pendidikan karakter.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L.W. dan Krath Wohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching andAssessing. New York : Addison Weskey Logman, Inc.
Departemen Pendidikan Nasional RI. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 TentangSistem Pendidikan Nasional. Biro Hukum Sekjen Diknas.
Dewantara, Ki Hajar. 1997. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan TamanSiswa.
Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.Jakarta: Balitbang Puskur.
Lickona, Thomas.2004. Character matters: How to help our children develop goodjudgement, integrity ,and other essential virtues. New York: Toughstone.
Sprod, Tim. 2001. Philosophical Discussion in Moral Education. London: Routledge
Sudarsono, Heri.2002. Konsep Ekonomi Islam suatu Pengantar. Jogyakarta : Ekonisia
Wren, Thomas.2008. Philosophical Moorings. In Nucci, Larry P & Narvaez, Darcia.Eds.Handbook of Moral and Character Education, pp. 11-29. New York and London:Routledge Taylon & Francis Group.
Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter, Grand Design, dan Nilai-nilai Target.Yogyakarta: UNY Press.
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
P a g e [ 469 ]
INDONESIAN QUALIFICATIONS FRAMEWORK:
SEBUAH UPAYA INTERNALISASI GENERIC SKILLS PADA MAHASISWA
Sri SumaryatiUniversitas Sebelas Maret
AbstrakNilai generic skills sangat penting untuk dimiliki oleh mahasiswa dalamusahanya meningkatkan kemampuannya untuk bersaing di pasar global. Untukitu Perguruan Tinggi, dalam hal ini Program Studi hendaknya mampu memenuhikebutuhan mahasiswa ini melalui kegiatan pembelajaran beserta perangkatnya,yang akhirnya terjabar pada sebuah kurikulum. Tujuan penulisan artikel iniadalah menawarkan suatu strategi yang mampu mengintegrasikan nilai genericskills dalam kurikulum pendidikan ekonomi. Artikel ini ditulis berdasarkan hasilreview literature yang relevan serta laporan hibah pengembangan kurikulumProdi Pendidikan Ekonomi. Artikel ini menyimpulkan bahwa nilai generic skillsdapat dikembangkan melalui pengalaman belajar secara berkelanjutan sejakmahasiswa baru masuk perguruan tinggi sampai mereka lulus.
Kata kunci: Generic skills, kurikulum
PENDAHULUAN
Peningkatan ranking Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI) negara Indonesia
dari ranking 121 pada tahun 2012 menjadi ranking 108 pada tahun 2013 merupakan
kabar menggembirakan bagi bangsa. Namun, jika mencermati posisi ranking negara-
negara terdekat seperti Malaysia yang mengalami kenaikan dari ranking 64 ke ranking
62, Singapura dari ranking 18 ke ranking 9, Brunei Darussalam pada ranking yang sama
yaitu 30, dan China dari ranking 101 ke ranking 91 (UNDP 2013, UNDP 2014), maka
posisi HDI Indonesia masih perlu ditingkatkan agar posisinya tidak terlalu jauh dari
posisi negara-negara tetangga. Agar dapat menduduki posisi yang lebih baik diperlukan
kerja keras untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia, meningkatkan daya saing
bangsa, di tengah-tengah persaingan dengan masyarakat dunia lainnya. Ini semua
merupakan pekerjaan rumah seluruh rakyat Indonesia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)
merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan
standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau
negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi
terhadap kualitas hidup. Mengingat bahwa salah satu indikator dari IPM adalah sektor
pendidikan, maka para pelaku pendidikan, khususnya pendidikan ekonomi, mempunyai
tugas yang tidaklah ringan untuk dapat mengembangkan pendidikan ekonomi yang
mampu mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pendidikan ekonomi dapat
memfasilitasi kebutuhan masyarakat terhadap pengetahuan ekonomi dan keuangan yang
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 470 ] P a g e
sangat diperlukan pada masa ekonomi global yang sedang dihadapi masyarakat dunia
saat ini.
Untuk menghadapi era globalisasi, SDM yang mampu bersaing mutlak diperlukan.
(Salladien, 1996) Hampir semua pakar ketenagakerjaan setuju bahwa kunci sukses suatu
organisasi adalah SDM yang memiliki kompetensi kerja (Karami dkk, 2004). Oleh
karenanya, sebagai upaya peningkatan kualitas SDM yang berasal dari lulusan
pendidikan tinggi, sangatlah berhubungan dengan pengembangan berbagai ketrampilan
yang relevan (generic skills), sehingga dengan semakin meningkatnya kompetensi lulusan
diharapkan dapat memenuhi keragaman permintaan pasar kerja era globalisasi. Sebagai
institusi di bawah LPTK, pendidikan ekonomi mendapat mandat untuk menghasilkan
guru yang memiliki kompetensi spesifik yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas
atau pekerjaan, yang beragam sesuai dengan keragaman aktivitas dan dapat
dikembangkan selama proses pembelajaran berlangsung (Robbins, 2003:465; Vecchio,
1992: 78; Nelson & Quick, 1994:21 dalam T. Watts, 2008)
Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana cara melaksanakan pendidikan
ekonomi yang mampu meningkatkan generic skills mahasiswa pendidikan ekonomi?
Chapple & Tolley, 2000; Fallows & Steven, 2000 dalam Robley, 2005 mengemukakan
bahwa hal yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan materi-materi
pembelajaran yang dapat mengakomodasi peningkatan generic skills, atau melalui
internalisasi nilai-nilai generic skills pada setiap program yang dilakukan secara kontinyu
yang terjabar dalam kurikulum. Kurikulum merupakan “… seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran mencapai tujuan pendidikan tertentu”
(UU RI Nomor 20 Tahun 2013). Agar dapat mencapai tujuan pendidikan menghasilkan
guru yang mampu melaksanakan pendidikan ekonomi, maka kurikulum pendidikan
ekonomi dapat didesain dengan muatan mata kuliah, pengalaman belajar dan
perencanaan pembelajaran ekonomi sedemikian rupa. Perlu diperhatikan juga bahwa
generic skills sangat penting untuk dimiliki oleh lulusan Pendidikan Ekonomi pada
khususnya, dan semua mahasiswa pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Satoshi (2010) bahwa “Generic skills are important for higher education graduates in their
employment, successful competition in labor market, development of career in organization
and bringing individual input in the successful development of democratic society.
Developed generic skills ensure broader person’s social security and possibilities for self-
realization.”
Dengan demikian, ketika suatu negara menginginkan kualitas sumber daya
manusia, khususnya calon pendidik, yang mampu bersaing maka negara tersebut dapat
mengawalinya melalui pembangunan generic skills bagi bangsanya. Oleh karena itu,
peran LPTK sangatlah besar. Artikel ini bertujuan untuk menawarkan suatu strategi
integrasi pengembangan generic skills dalam kurikulum pendidikan ekonomi. ‘Kurikulum
merupakan cetak biru dari keseluruhan proses pembelajaran pada sistem pendidikan......’
(Dikti, 2012: ii). Melalui kurikulum dapat diketahui arah semua aktivitas pendidikan
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
P a g e [ 471 ]
dalam mencapai tujuan pendidikan yaitu pengembangan manusia yang memiliki
pengetahuan, keterampilan, teknologi serta karakter sesuai dengan falsafah hidup bangsa
dan penciri institusi pendidikan di mana mereka belajar. Oleh karena itu, suatu institusi
pendidikan dituntut mampu mendesain kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat serta perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi,
seni dan olah raga (IPTEKSO).
Kurikulum pendidikan tinggi saat ini mengalami pembaharuan dalam konsep
kurikulum, sebagaimana dalam buku pedoman penyusunan kurikulum berbasis
kompetensi dari Dirjen Pendidikan Tinggi. Beberapa pembaharuan konsep kurikulum
antara lain: 1) Luaran hasil pendidikan tinggi yang semula berupa kemampuan minimal
penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sesuai dengan sasaran kurikulum suatu
Program studi, diganti dengan kompetensi seseorang untuk dapat melakukan
seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab sebagai syarat untuk dianggap
mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.
Luaran hasil pendidikan tinggi ini yang semula penilaiannya dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan tinggi sendiri, dalam konsep yang baru penilaian selain oleh
perguruan tinggi juga dilakukan oleh masyarakat pemangku kepentingan. 2) Kurikulum
program studi yang semula disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah lewat sebuah
Konsorsium (Kurikulum Nasional), diubah, yakni kurikulum inti disusun oleh perguruan
tinggi bersama-sama dengan pemangku kepentingan dan kalangan profesi, dan
ditetapkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. 3) Berdasarkan Kepmendikbud No.
056/U/1994 komponen kurikulum tersusun atas Kurikulum Nasional (Kurnas) dan
Kurikulum Lokal (Kurlok) yang disusun dengan tujuan untuk menguasai isi ilmu
pengetahuan dan penerapannya (content based), sedangkan dalam Kepmendiknas No.
232/U/2000 disebutkan bahwa kurikulum terdiri atas Kurikulum Inti dan kurikulum
Institusional. 4) Dalam Kepmendiknas no 232/U/2000, hasil belajar ditekankan pada
keutuhan kompetensi berkarya, sehingga matakuliah dikelompokkan ke dalam
Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan
(MKK), Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB), Matakuliah Keahlian Berkarya (MKB), dan
Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Melalui kurikulum tersebut, suatu
program studi mengantar mahasiswanya memiliki kompetensi utama, kompetensi
pendukung, dan kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi
utama. Setiap kompetensi dapat mengandung 5 elemen kompetensi yaitu landasan
kepribadian, penguasaan IPTEKSO, kemampuan berkarya, sikap dan perilaku dalam
berkarya, dan pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat.
Dalam perkembangannya, setelah terbit Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun
2012 tentang Kerangka Kualifikasi nasional Indonesia (KKNI), maka kompetensi lulusan
atau capaian pembelajaran setiap program studi harus mengacu pada rumusan deskripsi
pada KKNI sesuai dengan jenjang/levelnya. Lulusan S1 harus memiliki kualifikasi level 6,
di mana lulusan setara S1 dituntut memiliki kemampuan di bidang kerja yaitu mampu
mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 472 ] P a g e
penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi, memiliki
penguasaan pengetahuan yaitu menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu
secara umum dan konsep teoretis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut
secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural,
memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat dengan mampu mengambil keputusan
yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk
dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok, serta mempunyai
sikap dan perilaku dalam berkarya berupa bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri
dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi (Dikti, 2012).
Kurikulum berbasis kompetensi menuju KKNI yang didesain oleh suatu program
studi tetap harus bermuatan pendidikan karakter. Apabila dicermati, maka setiap elemen
kompetensi mengandung unsur karakter yang akan dihasilkan. Sebagai contoh, elemen
kompetensi landasan kepribadian akan menghasilkan karakter lulusan yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia; elemen sikap dan perilaku berkarya akan menghasilkan
karakter lulusan yang profesional. Kesemua unsur karakter tersebut menuju pada
pembangunan manusia sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Rumusan kompetensi
atau capaian pembelajaran lulusan dari suatu program studi seharusnya dirumuskan
oleh suatu forum komunikasi atau asosiasi program studi sejenis misalnya rumusan
kompetensi pendidikan ekonomi ditetapkan oleh Asosiasi Pendidikan Ekonomi. Dengan
demikian semua program studi sejenis akan memiliki kemampuan minimal yang relatif
sama, sehingga rumusan kompetensi tersebut dapat menjadi penyetara kualifikasi
lulusan program studi. Walaupun rumusan kompetensi ditetapkan secara bersama,
namun suatu program studi dapat mengembangkannya sendiri kompetensi lain sebagai
penciri dari program studinya. Dengan demikian, jika suatu program studi memiliki
kehendak untuk menanamkan generic skills pada mahasiswa, maka hal ini bukanlah hal
yang mustahil.
PEMBAHASAN
Pembelajaran di Perguruan Tinggi Saat Ini
Kondisi pembelajaran di program studi/ perguruan tinggi masih cukup beragam.
Perguruan tinggi yang telah menjalankan sistem penjaminan mutu dengan baik dari
jenjang institusi sampai program studi umumnya telah melaksanakan pembelajaran yang
berbasiskan capaian. Namun permasalahan utama yang dihadapi Perguruan Tinggi dalam
mengembangkan kurikulumnya yaitu:
1. Kurangnya persiapan dosen di dalam menyiapkan perangkat pembelajaran sebelum
melakukan pembelajaran;
2. Ketidakjelasan rumusan capaian pembelajaran;
3. Ketidakjelasan strategi dan metode pembelajaran;
4. Pemilihan strategi dan metode pembelajaran yang belum tentu tepat untuk
memunculkan capaian pembelajaran yang telah ditetapkan;
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
P a g e [ 473 ]
5. Aktivitas asesmen cenderung pada pemberian skor/nilai kepada mahasiswa
daripada memberikan tuntunan untuk membuka potensinya; dan
6. Instrumen untuk melakukan asesmen cenderung mencirikan asesmen sumatif dari
pada asesmen formatif.
Hal di atas dapat mengindikasikan bahwa pemahaman dosen dalam melaksanakan
pembelajaran yang baik masih lemah atau dosen kurang peduli terhadap capaian
pembelajaran, strategi, dan metode pembelajaran serta cara asesmen yang tepat. Ada
anggapan bahwa dengan tatap muka sekali dalam satu minggu telah dilakukan
pembelajaran sesuai dengan tuntutan aturan yang ada dengan ukuran pembelajaran yang
baik adalah jumlah tatap muka di kelas. Di samping itu, sistem jaminan mutu pendidikan
sering tidak berfungsi dengan baik, seperti sistem pendukung terkait dengan tata kelola
sumber daya manusia, sarana prasarana dan lingkungan pembelajaran, sistem pelayanan,
pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari hasil evaluasi. Sering yang menjadi
alasan tidak berkembangnya sistem pembelajaran dengan baik adalah kurangnya
pendanaan. Walaupun pendanaan merupakan bagian dari perencanaan yang krusial
dalam mendirikan atau mengembangkan program studi, nilai-nilai dalam pembelajaran
semestinya tetap menjadi prioritas. Di sisi lain, tidak sedikit perguruan tinggi yang telah
menerapkan sistem penjaminan mutu pendidikan dengan baik, mampu mengembangkan
nilai-nilai internalnya untuk memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan yang dinamis.
Perguruan tinggi seperti itu dengan mudah mendapatkan pengakuan dari masyarakat
lokal sekitarnya, nasional, dan bahkan internasional. Sistem pembelajaran merupakan
bagian penting untuk mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi.
Sistem pembelajaran yang baik mampu memberikan pengalaman belajar kepada
mahasiswa untuk membuka potensi dirinya dalam menginternalisasikan pengetahuan,
keahlian, dan perilaku serta pengalaman belajar sebelumnya. Sistem pembelajaran
seperti itu mampu mengembangkan elemen-elemen kompetensi yang diamanatkan oleh
Kepmendiknas No. 045/2002. Dengan dikeluarkannya Perpres No. 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), program studi dituntut untuk
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kualifikasi KKNI. Dengan demikian bagi
Perguruan Tinggi yang masih bermasalah di dalam sistem pembelajarannya mesti segera
melakukan pembenahan atau perbaikan untuk mampu menghasilkan lulusan paling tidak
memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Demikian pula sistem penjaminan mutu
pendidikannya mesti mampu mengendalikan proses pendidikan dengan baik merujuk
pada jenjang kualifikasi KKNI.
Mahasiswa dihadapkan pada masalah nyata di bidang sains dan diberi tugas untuk
menyelesaikannya sebagai suatu cara pembelajaran. Dosen diharapkan dapat menerima
kesalahan dalam proses pembelajaran sebagai hal yang wajar dan memotivasi untuk
memperbaiki secara terus-menerus. Proses pembelajaran yang diterapkan benar-benar
menyatu dengan materi pembelajaran yang diformat sesuai dengan dimensi pengetahuan
dan dimensi proses kognitif secara benar menurut empat pilar pembelajaran. Oleh
karena itu, perlu dilakukan perubahan di Indonesia di dalam proses dan materi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 474 ] P a g e
pembelajaran dari KBK di perguruan tinggi tidak lagi berbentuk pembelajaran terpusat
dosen (teacher-centered learning/TCL), tetapi diganti dengan menggunakan prinsip
pembelajaran terpusat mahasiswa (student-centered learning/SCL) yang diramu untuk
dapat diterapkan, serasi dengan keadaan Perguruan Tinggi di Indonesia.
Qualifications Framework Concept
Menganalisis kualifikasi kerangka kerja dan pengalaman perkembangan mereka
di negara-negara Eropa dan negara-negara lain dunia yang berbeda-beda, hal ini sangat
dipengaruhi oleh tujuan mereka dan konteks aplikasi. Secara umum, kerangka kualifikasi
dapat didefinisikan sebagai "Deskripsi sistematis kualifikasi yang sistem pendidikan
“(Adam 2003). Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin mengklaim bahwa setiap
negara memiliki kerangka kualifikasi nasional, meskipun belum tentu bernama cara ini.
Namun persyaratan tertentu yang ditetapkan untuk deskripsi kualifikasi disebabkan
tingkat kualifikasi tertentu dalam kualifikasi kerangka. Menurut Irma (2010) dasar dari
setiap Kerangka kualifikasi adalah deskripsi umum dari kualifikasi dan / atau gelar
kualifikasi disediakan dalam tertentu wilayah atau negara menunjukkan kondisi yang
diperlukan dan kesempatan untuk memperoleh kualifikasi pada tingkat lain.
Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Sosial dan Pembangunan (OECD) menyajikan
definisi berikut dari kerangka kualifikasi adalah “alat untuk pengembangan dan
klasifikasi kualifikasi menurut seperangkat kriteria untuk tingkat pembelajaran tercapai.
Ini seperangkat kriteria mungkin tersirat dalam kualifikasi deskriptor sendiri atau dibuat
eksplisit dalam bentuk satu set tingkat deskriptor "(Kuriant; 2005 dalam Karseth &
Solbrekke, 2010). Untuk membuat jelas perlu dicatat bahwa kualifikasi Kerangka dapat
dilihat dari berbagai jenis dan dibuat di berbagai tingkat. M. Young (2005) dalam Karseth
(2010) telah menjelaskan perbedaan antara yang komprehensif dan kerangka kualifikasi
parsial dilihat dari ruang lingkupnya. Kerangka kualifikasi yang komprehensif dipahami
sebagai kerangka kerja terpadu, termasuk kualifikasi dari semua jenis, diperoleh dengan
cara formal, non-formal dan informal dan diperlukan untuk bekerja di berbagai bidang
ekonomi. kualifikasi parsial kerangka meliputi kualifikasi yang merupakan ciri khas dari
lingkup tertentu. Kualifikasi parsial dapat kualifikasi tersebut kerangka yang sistematis
menggambarkan berikut:
1. kualifikasi yang diperoleh di sektor konkret dari sistem pendidikan dan diperlukan
untuk pekerjaan di berbagai sektor ekonomi (misalnya, kerangka kualifikasi yang
membatasi dirinya untuk kualifikasi disediakan dalam sistem pendidikan tinggi);
2. kualifikasi yang dari jenis tertentu yang dapat diperoleh di berbagai sektor dari
sistem pendidikan dan diperlukan untuk pekerjaan di berbagai sektor ekonomi
(misalnya, kualifikasi Kerangka yang hanya mencakup kualifikasi kejuruan);
3. kualifikasi berorientasi pada sektor konkret ekonomi yang dapat diperoleh di
berbagai sektor dari sistem pendidikan (untuk Misalnya, kerangka kualifikasi yang
sistematis menggambarkan kualifikasi khusus untuk sektor konstruksi).
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
P a g e [ 475 ]
Generic skills dan atributnya
Generic skills sendiri diartikan sebagai Skills or abilities pertaining to genes, thus as
mater of heredity are transferred through genes from one generation to another (Sumsion,
2007) Dengan kata lain generic skills adalah ketrampilan yang dapat dibutuhkan di
tempat kerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Dari semua ketrampilan yang dimiliki oleh
seseorang generic skills merupakan ketrampilan utama yang dibutuhkan untuk
memasuki dunia kerja, sebab generic skills ini merupakan portable skills yang dimiliki
seseorang dan siap dimanfaatkan di tempat kerja (University of Cambridge, 2003; Smith,
2003; Gilbert, 2007). Keterampilan tersebut sebenarnya bisa dialihkan atau hanya dapat
dipelajari dalam konteks mereka digunakan; keterampilan yang dipelajari secara
otomatis dalam program studi dan tidak boleh disarikan dari itu; fokus pada
keterampilan akan mempersempit tujuan kurikulum untuk reduksionis dan supercial
hasil-hasil pada biaya belajar lebih dalam dan lebih banyak gol reflektif atau kritis
(Gilbert, 2007)
Menurut hasil survey ketenagakerjaan di Inggris (2003), ada empat personal
transferable skills yang dipandang sangat dibutuhkan oleh pasar kerja era globalisasi.
empat ketrampilan ini diinformasikan sebagai atribut yang sangat penting, di mana
employers sudah merasa cukup jika tenaga kerja yang dikelolanya memiliki ketrampilan
tersebut, yaitu kemampuan mendapatkan informasi, komunikasi dan presentasi,
merencanakan dan problem solving, dan kemampuan bersosialisasi (Atlay, 2000). Jewish
(2009) mengidentifikasi atribut penting transferable skills yang digunakan dalam dunia
kerja, yaitu sebagai berikut: 1) komunikasi verbal, 2) komunikasi non-verbal, 3) menulis
laporan, 4) bekerja dengan orang lain, 5) bekerja dengan teknologi dan informasi, 6)
menganalisis masalah, 7) memecahkan masalah, dan 8) berorganisasi.
Terkait dengan hal ini adalah Job Characteristics Model ( JCM), setiap pekerjaan
dapat diuraikan sesuai dengan lima dimensi inti kerja yaitu: 1) Keragaman ketrampilan,
yaitu tingkat di mana suatu pekerjaan membutuhkan aktivitas yang beragam sehingga
pekerja harus dapat memanfaatkan beberapa ketrampilan dan bakat yang berbeda; 2)
Identitas tugas, yaitu tingkat di mana suatu pekerjaan membutuhkan penyelesaian dari
keseluruhan atau sebagian tugas yang dapat diidentifikasi; 3) Signifikansi tugas, yaitu
tingkat di mana suatu pekerjaan menyediakan dampak substansial pada kehidupan atau
pekerjaan orang lain; 4) Otonomi, yaitu tingkat di mana suatu pekerjaan menyediakan
kebebasan substansial dan kebebasan berkreasi kepada setiap individu dalam
menjadwalkan kerja dan menentukan prosedur yang akan digunakan untuk
melaksanakannya. 5) Umpan balik, yaitu tingkat di mana pelaksanaan kegiatan suatu
pekerjaan menuntut hasil kerja secara langsung dan informasi yang jelas tentang
keefektifan pekerja (Karami, 2000).
Cara Meningkatkan Generic Skills
Generic skills dapat dikembangkan melalui peningkatan kualitas pembelajaran.
Peningkatan pembelajaran dan peningkatan kualitas lulusan ini dilakukan agar lulusan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 476 ] P a g e
memiliki nilai pasar yang lebih baik dari waktu ke waktu. Peningkatan ini pada
gilirannya akan meningkatkan competitive advantage mereka, sehingga lebih mudah
memenangkan persaingan pada dunia kerja.
Berubahnya kurikulum menyebabkan isu-isu tentang proses belajar-mengajar
yang dilaksanakan saat ini juga menarik perhatian. Fokus pembelajaran berbasis
kompetensi telah mendorong adanya kaji ulang terkait praktek-praktek penilaian yang
saat ini berlangsung. Saat ini penilaian telah bergeser ke arah penilaian personal generic
skill daripada penilaian hanya dari isi akademik dari apa yang dipelajari mahasiswa (T.
Watts and C. J. McNair , 2008)
Teori pengembangan generic skills yang dikemukakan oleh Gilbert (2004) yang
mengemukakan bahwa generic skills dapat dikembangkan melalui peningkatan kualitas
pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran dapat diartikan ke dalam peningkatan
tiga tahap proses pembelajaran yaitu: (1) tahap perencanaan atau perancangan
pembelajaran, (2) tahap pelaksanaan pembelajaran dan (3) tahap pengukuran. Melalui
teori tersebut pengembangan generic skills mahasiswa dapat dilakukan melalui
peningkatan kualitas pembelajaran secara terpadu, yaitu 1) keterampilan tersebut
sebenarnya bisa dialihkan atau hanya bisa dipelajari dalam konteks mereka digunakan; 2)
keterampilan dipelajari secara otomatis dalam program studi; 3) Fokus pada keterampilan yang
dituju; 4) mahasiswa tersebut dimotivasi oleh tujuan atau kemanfaatan dari generic skills 5)
mengembangkan beberapa kualitas intrapersonal dan interpersonal yang skills. Robley (2005)
mempunyai alternatif dengan melakukan internalisasi nilai-nilai generic skills pada setiap
program yang dilakukan pada sebuah kegiatan pembelajaran.
Peningkatan kualitas pembelajaran untuk mata kuliah dapat digunakan sebagai
sarana peningkatan generic skills, mahasiswa sebaiknya dimonitor dan dievaluasi dari
waktu ke waktu. Hal ini bertujuan agar kualitas pembelajaran, kognisi, prestasi, generic
skills mahasiswa, yang dapat diamati dan terukur dari waktu ke waktu.
Adalah fakta, bahwa banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap di dunia
kerja yang bisa jadi disebabkan karena kurikulum yang kurang sesuai dengan kebutuhan
dunia kerja atau dengan kata lain tidak ada link and match antara sistem pendidikan
nasional dengan sistem ketenagakerjaan, atau karena kurikulum pendidikan yang kurang
mampu menghasilkan lulusan mandiri dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu wajar
jika posisi IPM negara Indonesia berada pada medium human development, karena dari
satu indikator yaitu standar hidup yang dilihat dari pendapatan per kapita sudah
tereduksi oleh pengangguran yang ada.
Upaya peningkatan generic skills telah banyak dilakukan, yang semua itu
bertujuan agar lulusan perguruan tinggi memiliki kemampuan memahami dan
berorientasi pada orang lain, kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk
memanfaatkan dan mengatur informasi baru, kemampuan berpikir yang memungkinkan
orang-orang untuk memproses ide, serta kemampuan seseorang yang terkait dengan
kemampuan mengambil tindakan dan keputusan. apabila kemampuan ini telah melekat
pada semua lulusan PT, maka berkurangnya pengangguran dan kejahatan bukanlah suatu
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
P a g e [ 477 ]
keniscayaan. Mencermati hal tersebut, maka tidaklah mengherankan jika saat ini banyak
program studi, tidak terkecuali pendidikan ekonomi, menetapkan nilai plus mahasiswa
dalam usahanya mempersiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan
oleh pengguna.
Namun pada kenyataannya banyak program studi yang belum mendesain
pembelajaran yang mampu menginternalisasi nilai-nilai ini. dalam pembelajaran,
seringkali lebih banyak menekankan pada aspek kognitif. Padahal, agar seseorang
berperilaku baik, maka diperlukan pengetahuan, keterampilan, sifat, motivasi, dan peran
sosial yang pada akhirnya muncul dalam bentuk perilaku. Dengan demikian ketika
program studi menetapkan internalisasi generic skills ini, maka yang perlu diperhatikan
adalah bahwa tidak mungkin perguruan tinggi mengharapkan semua mahasiswa dan
lulusannya disiapkan menjadi pribadi-pribadi yang handal, yang mampu bersaing pada
era modern ini. Jadi, pendidikan di Perguruan Tinggi bukan berarti pendidikan sekedar
transfer of knowledge tapi sudah berkembang pada transfer of value. Untuk
mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan ekonomi maka strategi yang dapat
dilakukan adalah:
Penetapan profil lulusan.
Profil lulusan merupakan luaran pendidikan yang akan dihasilkan. Ketika
menetapkan profil lulusan, program studi telah mempertimbangkan kebijakan
universitas dan program studi yang antara lain tercermin dalam visi dan misi. Dalam
profil lulusan sudah terkandung nilai-nilai dan keyakinan yang dikembangkan universitas
dan program studi. Dari sini dapat diketahui bagaimana komitmen perguruan tinggi
terhadap proses internalisasi nilai generic skills yang akan diberikan kepada mahasiswa.
Penetapan kompetensi lulusan
Program studi menetapkan kompetensi apa saja yang harus dimiliki lulusannya,
sekaligus menetapkan kompetensi apa saja yang harus mampu dilakukan oleh lulusan
serta dimilikinya generic skills misalnya memanfaatkan dan mengatur informasi baru,
kemampuan berpikir yang memungkinkan orang-orang untuk memproses ide, serta
kemampuan seseorang yang terkait dengan kemampuan mengambil tindakan dan keputusan,
dan kemampuan lainnya sesuai dengan kondisi program studi. Jika kompetensi yang
bersifat umum ditetapkan bersama oleh asosiasi program studi sejenis, maka kompetensi
ini dapat menjadi kompetensi sebagai penciri program studi.
Penetapan kompetensi lulusan/capaian pembelajaran
Setelah menetapkan profil lulusan sebagai outcome program studi, maka langkah
selanjutnya adalah menentukan kompetensi apa saja yang harus dimiliki oleh lulusan
program studi sebagai output pembelajarannya. Untuk menetapkan kompetensi lulusan,
dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: “Untuk menjadi profil ……. lulusan harus
mampu melakukan apa saja?” Pertanyaan ini diulang untuk setiap profil, sehingga
diperoleh daftar kompetensi lulusan yang lengkap.
Kompetensi lulusan ini minimal harus mengandung 4 unsur deskripsi KKNI, yakni:
1. Deskripsi umum, sebagai ciri lulusan pendidikan di Indonesia;
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 478 ] P a g e
2. Rumusan kemampuan di bidang kerja;
3. Rumusan lingkup keilmuan yang harus dikuasai; dan
4. Rumusan hak dan kewenangan manajerialnya
Pengkajian Kandungan Elemen Kompetensi
Pada tahap ini dilakukan pengkajian terhadap rumusan kompetensi lulusan yang
telah terumuskan, dengan lima elemen kompetensi yang terdapat pada SK Mendiknas
045/U/2002, yaitu (a) landasan kepribadian; (b) penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan olah raga; (c) kemampuan berkarya; (d) sikap dan perilaku dalam
berkarya; serta (e) kaidah pemahaman berkehidupan bermasyarakat.
Setiap kompetensi yang dirumuskan dianalisis untuk melihat adanya kandungan
elemen kompetensi tersebut di atas. Ada kemungkinan sebuah kompetensi mengandung
lebih dari satu elemen kompetensi. Analisis adanya kandungan elemen kompetensi
dilakukan dengan cara mengecek kemungkinan strategi pembelajaran untuk dapat
mencapai kompetensi tersebut. Jika suatu kompetensi dapat dicapai dengan diselipkan ke
dalam bentuk kurikulum terselubung, tidak diajarkan dalam sebagai topik bahasan, maka
kompetensi tersebut dapat dinyatakan bermuatan elemen (a) landasan kepribadian yang
lebih bersifat soft skills.
Penentuan bahan kajian atau materi ajar
Setelah menganalisis elemen kompetensi, langkah selanjutnya adalah menentukan
bahan kajian yang akan harus dikuasai untuk mencapai kompetensi lulusan yang telah
ditetapkan. Bahan kajian adalah suatu bangunan ilmu, teknologi, ataupun seni yang
menunjukkan ciri dari rumpun atau cabang ilmu tertentu, atau bidang kajian yang
merupakan inti keilmuan suatu program studi. Bahan kajian dapat pula merupakan
pengetahuan/bidang kajian yang akan dikembangkan yang dibutuhkan bagi masyarakat
atau pemangku kepentingan pada masa yang akan datang. Pilihan bahan kajian itu sangat
dipengaruhi oleh visi keilmuan program studi yang bersangkutan, yang biasanya dapat
diambil dari program pengembangan program studi (misalnya, diambil dari pohon
penelitian program studi). Tingkat keluasan, kedalaman, dan kerincian bahan kajian
merupakan hak otonom masyarakat akademik di program studi tersebut.
Agar lulusan menguasai kompetensi yang ditetapkan maka kajian apa saja yang
perlu dikuasai. Bahan kajian terkait dengan kompetensi yang akan dikembangkan yang
dibutuhkan masyarakat dan pemangku kepentingan. Program studi dapat menentukan
bahan kajian yang mendukung kompetensi yang diharapkan dapat dicapai bagi
mahasiswa.
Pembentukan Mata Kuliah/Kegiatan
Berdasarkan bahan kajian kemudian dibentuk matakuliah dan atau kegiatan yang
terprogram dan terintegrasi. Perlu diingat bahwa generic skills secara utuh tidak dapat
dibentuk dalam satu atau beberapa matakuliah secara terpisah. Dengan demikian
pembentukan mata kuliah dan kegiatan dapat dijabarkan dalam tahapan misalnya tahap
pengenalan.
Indonesian Qualifications Framework… (Sri Sumaryati)
P a g e [ 479 ]
Pembentukan Program dengan mengintegrasikan nilai generic skills
Setelah penentuan profil lulusan sampai dengan pembentukan mata kuliah dan
kegiatan, selanjutnya program studi sebaiknya menata secara terstruktur pelaksanaan
program pendidikan yang mengintegrasikan nilai generic skills dalam kegiatan
pembelajaran yang akan dilakukan. Di sini bentuk dari program akan menunjukkan nama
kegiatan, tujuan kegiatan, pelaksana kegiatan, indikator ketercapaian, sarana prasarana
yang diperlukan. Dengan melaksanakan program yang terjadwal dengan baik sejak
mahasiswa pertama kali masuk kampus sampai mereka lulus maka secara tidak langsung
akan membentuk iklim kewirausahaan di lingkungan kampus. Walaupun sangat
dimungkinkan bahwa sarana prasarana menjadi kendala pelaksanaan, namun dengan
berbekal komitmen yang tinggi maka kendala akan menjadi tantangan yang jika didekati
dengan perilaku yang mengintegrasikan nilai generic skills dalam kegiatan pembelajaran
maka akan menghasilkan prestasi yang luar biasa.
SIMPULAN
Nilai generic skills sangat diperlukan dalam bidang pekerjaan apapun, termasuk
guru. Pengintegrasian nilai ini dapat dikembangkan melalui pengalaman belajar secara
berkelanjutan dan terprogram sejak mahasiswa baru masuk perguruan tinggi sampai
mereka lulus. Proses yang panjang tersebut dapat dilakukan melalui mata kuliah dalam
aktual kurikulum, dalam hidden curriculum, kegiatan pengenalan, pelatihan, penguatan,
pengembangan dan praktik. Agar dapat melaksanakannya maka perlu ada komitmen dari
institusi, ada pernyataan yang jelas nilai-nilai dan keyakinan apa yang dikembangkan,
ada kegiatan yang dilakukan agar dapat memfasilitasi kebutuhan mahasiswa yang
bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anne Daly, Lynne Leveson, Peter Dixon. (2011). Separate or Integrate? The contributionof the Workshop Model to Effectively Embedding Generic Skills, Asian SocialScience Vol. 7, No. 4; April 2011, Published by Canadian Center of Science andEducation.
Atlay, M. & Harris, R. (2000). An Institutional Approach To Developing Students''Transferable' Skills, Innovations in Education and Training International, 37(1),76-84.
Dikti. 2012. Panduan Pengembangan dan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi (KPT)Pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pendidikan BerbasisCapaian. Jakarta: Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat JenderalPendidikan Tinggi Direktorat Pembelajaran Dan Kemahasiswaan.
Irma Spudyte, Saulius Vengris, Mindaugas Misiunas, 2010, QUALIFACATIONS OF HIGHEREDUCATION IN THE NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK, 2010
Jewish C. 2009. Functional Transferable Skills, Manitoba: Child and Family Service.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 480 ] P a g e
Karami, Azhdar;Analoui, Farhad; Cusworth, John (2004). Strategic Human ResourceManagement and Resource-based Approach: The Evidence From the BritishManufacturing, Management Research News; 2004; 27, 6
Karseth, B. & Solbrekke, T.D. (2010) Qualifications Frameworks: The Avenue TowardsThe Convergence of European Higher Education?, European Journal of Education,Vol. 45, No. 4, 2010
Rob Gilbert, Jo Balatti, Phil Turner and Hilary Whitehouse, 2004, The Generic SkillsDebate In Research Higher Degrees, Higher Education Research & Development Vol.23, No. 3, August 2004
Robley, W., Whittle, S. & Murdoch-Eaton, D. (2005). Mapping Generic Skills Curricula: ARecommended Methodology, Journal of Further and Higher Education Vol. 29, No.3, August 2005, pp. 221–231
Salladien. 1996. Pendidikan Berorientasi pada Profesi Merupakan Upaya MenghadirkanTenaga Kerja yang Profesional di Era Tinggal Landas yang Penuh Dinamika.Makalah yang Disampaikan pada Acara Wisuda Program Diploma. IKIP Malang
Satoshi Sugahara, Perceived Importance of CPA’s Generic Skills: A Japanese Study, AsianJournal of Finance & Accounting ISSN 1946-052X 2010, Vol. 2, No. 1: E1
Smith, Rosita. 2003. Transferable Skills. On http://www.placement-mannual.online
T. Watts and C. J. McNair, Trigger Points: Enhancing generic skills in accounting Educationthrough changes to teaching practices, The Australasian Accounting Business &Finance Journal, June, 2008. Vol. 2, No.2. Page 34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem PendidikanNasional. 2013. http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf, diunduhtanggal 10 Januari 2015 jam 20.05
UNDP. 2014. Human Development Report 2014. Http://hdr.undp.org/en. Diunduh padatanggal 13 April 2015, jam 20.55.
University of Cambridge. 2003. Transferable Skills. On http://[email protected]
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
P a g e [ 481 ]
PERANAN KURIKULUM DALAM PENINGKATAN KOMPETENSI
LULUSAN AKUNTANSI DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
W. Diana Puspita N.Universitas Negeri Surabaya
AbstrakKebijakan pemerintah membuka program Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun2015 berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja. Warga Negara yang tergabungdalam organisasi ASEAN bebas menjadi tenaga kerja di negara-negara yangmenjadi anggota ASEAN. Pendidikan menghadapi tantangan yang signifikan.Tantangan tersebut berhubungan dengan bagaimana menghasilkan lulusanakuntansi yang memiliki kompetensi sesuai dengan kompetensi yang dituntutoleh orang-orang yang mempekerjakan mereka (Frederickson, 1995). Oleh sebabitu, kompetensi lulusan warga Negara Indonesia menjadi hal yang sangat pentinguntuk diperhatikan para penyelenggara pendidikan khususnya bidang akuntansi.Di bawah pengaruh globalisasi dan ekspansi teknologi yang sedang berjalan,banyak sarjana percaya bahwa ada perbedaan yang jelas antara penyediapendidikan akuntansi (guru dan siswa) dan demanders (akuntansi perusahaanyaitu perusahaan bisnis) (Cheng, 2007). Dalam kenyataan di lapangan telahterjadi perbedaan harapan antara penyedia pendidikan akuntansi dandemanders pendidikan yaitu perusahaan. Penyedia akuntansi mempersiapkanalumni agar memiliki kompetensi yang diharapkan demanders, namunkenyataannya tidak sesuai dengan harapan demanders. Langkah yang dilakukanoleh penyelenggara pendidikan akuntansi adalah dengan mendesain kurikulumyang sesuai dengan harapan perusahaan.
Kata kunci: desain kurikulum, kompetensi mahasiswa akuntansi, masyarakatekonomi ASEAN
PENDAHULUAN
Pendidikan akuntansi menghadapi tantangan yang signifikan. Tantangan tersebut
berhubungan dengan bagaimana menghasilkan lulusan akuntansi yang memiliki
kompetensi sesuai dengan kompetensi yang dituntut oleh orang-orang yang
mempekerjakan mereka (Frederickson, 1995).
Setiap lulusan mendambakan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang
dimiliki, tidak terkecuali mahasiswa akuntansi. Kompetensi lulusan mahasiswa
merupakan modal utama bagi mahasiswa dalam memperoleh pekerjaan sesuai dengan
program studi yang ditempuh pada masa studi program sarjana. Kompetensi lulusan
menjadi pertimbangan di kalangan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja melalui
seleksi. Kurikulum penyedia pendidikan akuntansi mempengaruhi kompetensi
mahasiswa sehingga kurikulum merupakan faktor utama penentu kompetensi lulusan
mahasiswa akuntansi.
Kompetensi lulusan juga berpengaruh pada kualitas alumni. Semakin tinggi
kompetensi yang dimiliki oleh alumni semakin bagus kualitas pada alumni tersebut.
Selain itu semakin tinggi kompetensi alumni maka akan meningkatkan kualitas
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 482 ] P a g e
universitas tempat alumni menempuh pendidikan. Menurut Faturrahman (2012) kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia
berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Dari data tersebut jelas bahwa
Indonesia memiliki daya saing yang rendah dengan Negara-negara di benua Asia.
Indonesia tertinggal karena sumber daya manusia yang tidak kompeten.
Menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN, pendidikan tinggi di Indonesia
mendapat tantangan dalam menghasilkan lulusan yang kompeten. Alumni pendidikan
tinggi khususnya mahasiswa akuntansi akan bersaing dengan masyarakat luar negeri
yang datang ke Indonesia untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga persaingan tidak hanya
terjadi antar alumni pendidikan tinggi tetapi persaingan juga terjadi dengan masyarakat
luar negeri. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengungkap bagaimana peran
kurikulum dalam peningkatan kompetensi lulusan akuntansi di era Masyarakat Ekonomi
ASEAN.
PEMBAHASAN
Di bawah pengaruh globalisasi dan ekspansi tehnologi yang sedang berjalan,
banyak sarjana percaya bahwa ada perbedaan yang jelas antara penyedia pendidikan
akuntansi (guru dan siswa) dan demander pendidikan (akuntansi perusahaan yaitu
perusahaan bisnis).(Cheng, 2007). Hal ini merupakan tantangan bagi pihak penyedia
pendidikan akuntansi agar meningkatkan kompetensi lulusan. Peningkatan kompetensi
lulusan akan berpengaruh pada kepercayaan perusahaan untuk menerima alumni
mahasiswa akuntansi.
Hasil penelitian Frederickson (1995) menunjukkan bahwa pendidik akuntansi
harus mendidik siswa, tidak melatih siswa, karena perusahaan menuntut bahwa lulusan
memiliki kompetensi yang “lebih luas”. Lebih luas dalam hal ini adalah menyangkut
tentang pemahaman materi dan penyesuaian dengan dunia kerja atau professional.
Menurut Watty, Kim (2005) bahwa akuntan akademisi memiliki pandangan yang sangat
berbeda tentang atribut kualitas dalam pendidikan akuntansi saat ini digambarkan
(keyakinan) di sekolah mereka / departemen dan apa yang mereka anggap seharusnya
menjadi atribut kualitas dalam pendidikan akuntansi (sikap). Berdasarkan penelitian ini,
pandangan keseluruhan dalam pendidikan akuntansi yaitu keyakinan dan sikap.
Penelitian ini mengidentifikasi keyakinan dan sikap responden tentang pandangan
keseluruhan kualitas dalam pendidikan akuntansi. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa terdapat perbedaan pandangan tentang atribut kualitas dalam pendidikan
akuntansi (sikap dan keyakinan) antara penyedia pendidikan akuntansi dan akuntan
akademisi.
Perbedaan pandangan dari beberapa penelitian di atas merupakan bukti bahwa
output yang dihasilkan penyedia pendidikan akuntansi tidak sama dengan apa yang
diharapkan oleh perusahaan. Upaya yang dilakukan oleh penyedia pendidikan akuntansi
adalah bagaimana membangun mahasiswa akuntansi yang kompeten dan dapat bersaing
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
P a g e [ 483 ]
dengan mahasiswa luar negeri. Membangun mahasiswa yang memiliki kompetensi
lulusan yang baik salah satunya adalah dengan desain kurikulum pada universitas.
Kurikulum merupakan faktor utama yang menentukan kompetensi mahasiswa. Menurut
Alber Shack (dalam Kai Wen, Cheng, 2007) ada banyak masalah dalam pendidikan
akuntansi saat ini, dan masalah utama terletak pada desain kurikulum. Mereka
menunjukkan bahwa tidak cukup untuk mengubah kurikulum hanya dengan
menambahkan lebih banyak PR atau beberapa mata kuliah “baru” sebaliknya kurikulum
memerlukan reformasi drastis. Penelitian yang dilakukan oleh Kai-When, Cheng (2007)
tentang desain kurikulum dalam pandangan penyedia akuntansi pendidikan dengan
memberikan kuesioner pada penyedia akuntansi pendidikan untuk mengeksplorasi arah
masa depan “desain kurikulum” pada akuntansi pendidikan di tingkat universitas untuk
memperoleh saran tentang cara mengurangi kesenjangan harapan antara bisnis dan
praktisi akademis di bidang ini. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang jelas harapan antara penyedia pendidikan akuntansi (guru dan siswa)
dengan demander pendidikan (akuntansi perusahaan dan perusahaan bisnis).
Penelitian yang dilakukan oleh Kai-When, Cheng (2007) menghasilkan 5 arahan
yang dapat digunakan universitas untuk meningkatkan akuntansi pendidikan yaitu:
Pertama, mata kuliah dasar akuntansi, akuntansi menengah, akuntansi lanjutan,
akuntansi biaya, akuntansi manajemen dan audit harus diintegrasikan. Hal ini
menjelaskan bahwa keenam mata kuliah yaitu dasar akuntansi, akuntansi menengah,
akuntansi lanjutan, akuntansi biaya, akuntansi manajemen dan audit harus dihubungkan
dalam program praktek pendidikan professional. Dalam hal ini mata kuliah dasar
akuntansi merupakan mata kuliah yang menjadi prasyarat untuk mengambil mata kuliah
berikutnya. Oleh sebab itu pada mata kuliah dasar akuntansi, mahasiswa akuntansi
benar-benar menguasainya. Pengintegrasian keseluruhan mata kuliah akuntansi dapat
dilakukan dengan program kursus praktek pendidikan professional bidang akuntansi
dengan memberikan sertifikat bagi mahasiswa yang dinyatakan lulus dalam program
tersebut.
Kedua, beberapa program studi seperti bahasa Inggris, percakapan bahasa Inggris,
keterampilan dan kemampuan komunikasi bisnis, e-commerce, manajemen biaya
strategis, dan perencanaan sumber daya perusahaan, harus dilengkapi. Mahasiswa harus
menguasai bahasa Inggris karena merupakan bahasa Internasional. Kemampuan bahasa
Inggris dapat diperoleh mahasiswa melalui kegiatan kursus pendidikan profesional
bahasa Inggris dengan memberikan sertifikat bagi mahasiswa yang menguasai bahasa
Inggris.
Ketiga, mahasiswa harus dibagi ke dalam pekerjaan dan kelompok studi lanjutan
sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini menjelaskan bahwa mahasiswa
dikelompokkan dalam studi lanjutan sesuai dengan minat mahasiswa. Dalam hal ini
mahasiswa diminta untuk memilih konsentrasi bidang studi agar dapat menguasai ilmu
akuntansi dengan lebih mendalam. Penguasaan pada satu bidang akuntansi dapat
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 484 ] P a g e
meningkatkan kompetensi lulusan akuntansi karena para lulusan akuntansi akan
memperdalam satu bidang akuntansi yang akan menjadi keahliannya.
Keempat, pendekatan studi kasus harus lebih ditekankan dalam proses
pembelajaran. Dalam hal ini pemberian kursus dengan kegiatan praktek yang mengarah
pada dunia kerja sebenarnya harus lebih ditingkatkan oleh penyedia pendidikan
akuntansi. Hal ini dikarenakan teori yang berkembang pada dunia bisnis semakin pesat,
Oleh sebab itu pemahaman mahasiswa tentang dunia kerja bidang akuntansi harus
disempurnakan dengan memberikan lebih banyak studi kasus lapangan.
Kelima, kurikulum sekolah harus lebih fleksibel terhadap perkembangan dunia
bisnis. Hal ini menjelaskan bahwa sebuah system kurikulum sekolah harus menyesuaikan
dengan kondisi lapangan atau dunia kerja. Dalam hal ini kurikulum harus lebih fleksibel
dalam menerima fakta di lapangan sehingga kurikulum dapat menyesuaikan kondisi
nyata dunia usaha.
Selanjutnya menurut Ma, Ma & Ko (Kermis, George, 2010) dibandingkan dengan
lingkungan pendidikan, kursus bisnis harus lebih menekankan pada pengetahuan
keuangan, hukum dagang, pengetahuan pajak, matematika dan statistic, kemampuan
kerjasama tim, etika bisnis, dan kemampuan ekspansi bisnis. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut kursus bisnis merupakan penerapan dari teori yang diperoleh pada
saat menempuh pendidikan seperti teori hukum dagang, pajak, matematika dan statistik,
kerjasama tim, etika bisnis dan kemampuan ekspansi bisnis. Dari penerapan teori
tersebut diharapkan lulusan akuntansi mampu menjalankan bisnis.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa kurikulum sangat penting untuk
menghasilkan lulusan yang kompeten dalam bidang akuntansi. Desain kurikulum
dirancang oleh penyedia akuntansi pendidikan dengan memahami pandangan dari para
praktisi bisnis, sehingga harapan antara penyedia pendidikan akuntansi dan perusahaan
memiliki kesamaan. Pemahaman pada mata kuliah dasar-dasar akuntansi, akuntansi
keuangan, akuntansi keuangan lanjutan, akuntansi manajemen dan audit harus
ditingkatkan dengan mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti pendidikan professional
yang diprogramkan oleh universitas.
Perencanaan kurikulum menjadi isu yang sangat penting bagi penyedia
pendidikan akuntansi. Kurikulum tradisional hanya fokus pada pengembangan akuntan
yang baik tanpa memperhatikan kemampuan dari alumni. Peran pendidik dalam
menghasilkan lulusan yang kompeten sangat penting dari sebelumnya. Hal ini
dikarenakan perubahan lingkungan bisnis yang sangat pesat, sehingga masing-masing
universitas harus mempersiapkan mahasiswa agar memenuhi persyaratan memasuki
persaingan dunia kerja.
Selain pengembangan kurikulum, universitas memperhatikan kriteria calon
mahasiswa yang akan diterima. Universitas harus memperketat perekrutan mahasiswa
dan persyaratan kelulusan bagi mahasiswa untuk menjamin kualitas lulusan. Kualitas
lulusan menjadi kompeten apabila universitas mampu membentuk mahasiswa menjadi
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
P a g e [ 485 ]
manusia yang cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Berdasarkan Permendikbud No. 73 tahun 2013 tentang penerapan kerangka
kualifikasi nasional Indonesia bidang pendidikan tinggi, kurikulum yang berlaku pada
pendidikan tinggi adalah kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). Pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa “Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) merupakan kerangka perpanjangan kualifikasi yang dapat menyandingkan,
menyetarakan, dan mengintegrasikan capaian pembelajaran dari jalur pendidikan
nonformal, pendidikan informal, dan/atau pengalaman kerja ke dalam jenis dan jenjang
pendidikan tinggi”.
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia bertujuan untuk menyelaraskan dunia
pendidikan dengan dunia kerja. Penyedia pendidikan akuntansi melaksanakan kurikulum
berbasis KKNI dengan harapan bahwa mahasiswa akuntansi memperoleh pengalaman
kerja yang dapat dijadikan bekal setelah lulus dari program sarjana. Pengalaman kerja
pada saat menempuh pendidikan dilakukan dengan magang pada perusahaan. Dengan
kegiatan magang tersebut diharapkan mahasiswa memiliki kompetensi yang sesuai
dengan harapan perusahaan. Menurut Kermis, George; Kermis, Marguerite (2010) tugas
akuntan pendidik adalah mempersiapkan siswa untuk menjadi kompetitif di masa depan.
Tujuan dari kegiatan magang tersebut adalah agar lulusan akuntansi dapat bersaing baik
dengan sesama lulusan dalam negeri maupun masyarakat internasional.
Pengembangan kurikulum dapat dilakukan dengan memperkuat kompetensi
mahasiswa akuntansi pada mata kuliah dasar-dasar akuntansi, akuntansi keuangan
menengah, akuntansi keuangan lanjutan, akuntansi biaya, akuntansi manajemen dan
audit. Dasar-dasar akuntansi merupakan fondasi pada mata kuliah semester berikutnya
sehingga pada mata kuliah ini mahasiswa harus benar-benar memahami tentang konsep
dasar-dasar akuntansi. Mata kuliah akuntansi keuangan menengah merupakan mata
kuliah yang membahas tentang konsep dan prinsip laporan keuangan suatu perusahaan
serta perlakuannya dalam akuntansi. Dalam mata kuliah ini mahasiswa diharapkan dapat
menganalisis laporan keuangan suatu perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi.
Selanjutnya mata kuliah akuntansi keuangan lanjutan, mata kuliah ini membahas
berbagai aspek akuntansi keuangan untuk situasi yang bersifat khusus yang terjadi pada
suatu entitas bisnis. Pemberian mata kuliah akuntansi keuangan lanjutan pada
mahasiswa bertujuan untuk memberikan kerangka dasar bagi mahasiswa yang ingin
berkarir sebagai praktisi akuntansi keuangan maupun akademisi dalam mengembangkan
ilmu akuntansi keuangan. Mata kuliah akuntansi biaya merupakan bidang akuntansi yang
membahas tentang biaya-biaya yang berhubungan dengan aktivitas perusahaan dalam
menghasilkan barang dan jasa. Mata kuliah akuntansi manajemen adalah sistem
akuntansi yang berkaitan dengan ketentuan dan penggunaan informasi akuntansi untuk
manajemen dalam suatu perusahaan. Mata kuliah ini bertujuan untuk memberikan dasar
kepada mahasiswa untuk memahami pembuatan keputusan bisnis pada saat berkarir.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 486 ] P a g e
Mata kuliah audit merupakan mata kuliah yang memberikan pemahaman kepada
mahasiswa tentang pemeriksaan laporan keuangan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, keenam mata kuliah di atas merupakan mata
kuliah yang harus ditempuh mahasiswa akuntansi agar mereka memiliki kompetensi
dalam bidang akuntansi. Oleh karena itu, agar keenam mata kuliah tersebut dapat
dipahami secara keseluruhan oleh mahasiswa maka perlu ditambah dengan program
kursus dari penyedia pendidikan akuntansi. Program kursus yang diberikan oleh
penyedia pendidikan akuntansi bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa
dengan lebih banyak praktek pendidikan professional bidang akuntansi. Pemberian
program kursus diharapkan dapat memenuhi harapan dari perusahaan.
Mahasiswa lebih ditekankan pada konsep pekerjaan dan studi lanjutan sesuai
dengan kepentingan mereka agar mereka dapat memutuskan perencanaan karir. Dalam
memenuhi harapan perusahaan, universitas menggunakan pendekatan studi kasus agar
mahasiswa memahami kondisi dunia kerja yang sesungguhnya. Fleksibilitas program
universitas diusulkan agar mahasiswa dapat memutuskan berapa lama mereka akan
menempuh program studi sarjana.
Kebijakan pemerintah dengan membuka pasar bebas tenaga kerja antar Negara
ASEAN yang terprogram dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015
berdampak pada warga negara Indonesia secara keseluruhan karena mereka akan
menghadapi pasar bebas tenaga kerja antar wilayah ASEAN. Pembukaan pasar bebas bagi
tenaga kerja berdampak pada penyerapan tenaga kerja, karena selain bersaing dengan
masyarakat Indonesia, tenaga kerja Indonesia juga akan bersaing dengan masyarakat
dari Negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN. Oleh karena itu kompetensi lulusan
sangat berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia.
Agar dapat berkompetisi dengan warga Negara yang tergabung dalam organisasi
ASEAN, masyarakat Indonesia harus menunjukkan karakter bangsa Indonesia. Menurut
Muslich (2014) karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumberdaya
manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa.
Keunggulan yang dimiliki bangsa Indonesia adalah karakter yang mencerminkan
Pancasila. Menurut Endraswara (2013) sekolah adalah ruang untuk membentuk budi
pekerti bangsa. Budi pekerti dibangun atas dasar watak (karakter). Budi pekerti
merupakan upaya pengendalian diri, agar menjadi insan masa depan..
Pendidikan nilai moral (karakter) adalah penanaman dan pengembangan nilai-
nilai dalam diri peserta didik yang tidak harus merupakan satu program atau pelajaran
secara khusus (Maksudin, 2013). Hal ini menjelaskan bahwa setiap mata kuliah atau mata
pelajaran harus mencantumkan pendidikan karakter dengan tujuan agar aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik dapat tercapai. Menurut Mu’in (2011) yang merupakan
pendidikan karakter di antaranya adalah sikap demokrasi, pendidikan multikultural,
budaya baca tulis (literer) dan pendidikan antikorupsi.
Indonesia adalah Negara yang mencerminkan sikap demokrasi. Sikap demokrasi
adalah sikap yang menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan mendorong manusia
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
P a g e [ 487 ]
untuk menyalurkan aspirasi dan memahami makna kesetaraan di antara sesama
manusia. Dengan bersikap demokrasi masyarakat ekonomi ASEAN akan menghargai kita
sebagai bangsa yang memiliki sopan santun dan berbudi pekerti luhur.
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang memacu kesadaran akan
perbedaan yang membuat bangsa plural bisa bertahan (Mu’in, 2011). Indonesia
merupakan bangsa yang terdiri dari bermacam-macam suku, budaya, ras dan agama.
Oleh karena itu sikap multikultural merupakan modal dalam mempersatukan bangsa
sehingga tidak mudah digoyahkan oleh bangsa lain pada saat Indonesia menghadapi
pasar bebas tenaga kerja dalam program masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).
Budaya membaca dan menulis (literer) akan memberikan tambahan pengetahuan.
Kondisi riil di Indonesia, budaya membaca dan menulis di kalangan generasi muda sangat
rendah. Oleh sebab itu membudayakan membaca dan menulis merupakan konsep yang
harus diterapkan dalam kurikulum. Selain menambah pengetahuan, budaya membaca
dan menulis dapat memperkaya kosakata yang dapat dimanfaatkan dalam
berkomunikasi. Dengan membudayakan membaca dan menulis, masyarakat Indonesia
dapat memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai modal untuk memperkuat
kompetensi.
Korupsi merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan Pancasila. Korupsi adalah
tindakan yang tidak jujur dan merugikan negara, sehingga dapat menimbulkan
ketidakpercayaan publik. Sedangkan profesi akuntan harus menekankan pada kejujuran.
Dengan mendidik mahasiswa melalui pendidikan antikorupsi diharapkan lulusan
memiliki sikap jujur yang menjadi modal dalam bersaing dengan masyarakat Indonesia
pada khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya.
SIMPULAN
Pertama, perencanaan kurikulum menjadi isu yang sangat penting dan diperlukan
oleh universitas untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dalam menghadapi
persaingan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Kedua, agar menghasilkan lulusan akuntansi yang kompeten, kurikulum
pendidikan akuntansi perlu menambah kursus atau kegiatan di luar kurikulum (SKS)
misalnya (1) pelaksanaan program pendidikan professional pada enam mata kuliah yaitu
dasar-dasar akuntansi, akuntansi keuangan mencegah, akuntansi keuangan lanjutan,
akuntansi biaya, manajemen keuangan dan audit harus diintegrasikan dengan baik. (2)
Senior memberikan kursus kepada juniornya dalam kelompok himpunan mahasiswa
akuntansi, (3) Meminta kalangan bisnis memberikan kuliah. Hal ini dimaksudkan agar
membuat mahasiswa lebih sadar akan masalah yang mungkin mereka hadapi dalam
bisnis dan memungkinkan mereka menerapkan teori pada urusan praktis.
Ketiga, melengkapi program di antaranya kemampuan bahasa Inggris (bisnis dan
percakapan bahasa Inggris), kemampuan komunikasi dan kemampuan; mengelola
keterampilan (manajemen biaya strategis, manajemen informasi, perencanaan sumber
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 488 ] P a g e
daya perusahaan, sistem informasi keuangan, dan bisnis perangkat lunak aplikasi); serta
pengetahuan hukum (undang-undang pajak).
Keempat, menghapus program yang tidak relevan dengan perkembangan dunia
bisnis dan teknologi. Misalnya keuangan publik, ekonomi mikro, ekonomi makro,
perdagangan internasional dan valuta asing. Hal ini dikarenakan program keuangan
public, ekonomi mikro, ekonomi makro, perdagangan internasional dan valuta asing
berfokus pada teori dengan demikian sangat tidak berguna dalam bisnis praktis yang
berhubungan dengan bidang akuntansi.
Kelima, mahasiswa melaksanakan program magang pada perusahaan sehingga
memiliki pengalaman bekerja dan studi lanjutan, sehingga mereka dapat membuat
persiapan yang tepat untuk pemilihan karir mereka. Pemberian studi kasus menjadi
sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang dunia bisnis
yang sebenarnya.
Keenam, memperketat perekrutan mahasiswa dan persyaratan kelulusan bagi
mahasiswa sehingga memungkinkan mahasiswa memutuskan berapa lama mereka akan
menempuh studi didasarkan pada kemampuan individu mahasiswa. Selain itu pihak
universitas dapat memfasilitasi perencanaan karir bagi alumni. Hal ini berpengaruh pada
kualitas penyedia pendidikan akuntansi. Dengan memfasilitasi karir bagi alumni maka
dapat menimbulkan kepercayaan pada masyarakat akan kualitas penyedia pendidikan
akuntansi. Penyedia pendidikan akuntansi yang berkualitas akan mudah merekrut siswa-
siswi yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi sehingga memudahkan pada
proses pendidikan pada universitas.
Selain kompetensi hard skill di atas kurikulum harus menekankan pada soft skill
yaitu sikap yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia di antaranya sikap demokrasi,
pemahaman tentang multikultural, membudayakan baca tulis (literer) dan menanamkan
jiwa anti korupsi. Hal itu dikarenakan Indonesia akan menghadapi pasar bebas tenaga
kerja sehingga dengan sikap demokrasi, memahami multikultural, membudayakan baca
tulis (literer) dan jiwa anti korupsi dapat meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, S. (2013). Pendidikan Karakter Dalam Folklor. Yogyakarta: Pustaka RumahSuluh.
Faturrahman, I. K. (2012). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Frederickson, J. R., & Pratt, J. (1995). A Model of Accounting Education. Issues inAccounting Education, 229.
Kai Wen, C. (2007). The Curriculum Design in Universities from the Perspective ofProviders in Accounting. Education, 581-590.
Kermis, G. M. (2010). Professional Presence and Soft Skill: A Role for AccountingEducation. Education, 1-10.
Maksudin. (2013). Pendidikan Karakter Non-Dikotomik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Peranan Kurikulum dalam… (W. Diana Puspita N.)
P a g e [ 489 ]
Mu'in, F. (2011). Pendidikan Karakter. Jogjakarta: AR-Ruzz Media.
Muslich, M. (2014). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2013 Tentang PenerapanKerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
Watty, K. (2005). Quality in Accounting Education: What Say The Academics. QualityAssurance in Education, 120-131.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 490 ] P a g e
PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN PUBLIKASI ILMIAH
BERBASIS PERMENEG PAN DAN RB NO. 16 TAHUN 2009
PADA GURU IPS KOTA SEMARANG
Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. SuharsoIKIP Veteran Semarang
AbstrakPenelitian ini bertujuan mengembangkan model pelatihan publikasi ilmiah guruIPS SMP Kota Semarang. Pengembangan model pelatihan publikasi ilmiahberbasis Permeneg PAN & RB Nomor 16 Tahun 2009 dilaksanakan dalam 3tahap, yaitu tahap pendahuluan, pengembangan model dan tahap evaluasi.Tahap pendahuluan merupakan kegiatan pengumpulan data, menggunakannatural setting dengan teknik pengumpulan data In-depth Interview, observasi,dokumentasi dan angket. Analisis deskriptif untuk menemukan model faktual.Tahap pengembangan, dengan menganalisis model factual untuk merencanakanpengembangan model pelatihan yang ideal dengan expert judgment. Tahapevaluasi digunakan untuk menguji kelayakan implementasi pengembanganmodel hipotetik menjadi model final melalui Focus Group Discussion (FGD). Hasilpenelitian menunjukkan bahwa pelatihan publikasi ilmiah dilaksanakan berbasiskebijakan dan ketersediaan anggaran pemerintah. Sebanyak 51,85% respondenbelum pernah mengikuti pelatihan publikasi ilmiah. Kebutuhan guru IPS adalahkesempatan untuk mengikuti pelatihan, kepakaran nara sumber, dukungan danadan fasilitas dari pemangku kepentingan, dan pendampingan secaraberkelanjutan dan berkesinambungan sehingga dibutuhkan pola kerja samaberbentuk lembaga kemitraan.
Kata kunci: model pelatihan, publikasi ilmiah
PENDAHULUAN
Pasal 1 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2008 Tentang Guru,
menjelaskan bahwa “Guru wajib memiliki Kualifikasi Akademik, kompetensi, Sertifikat
Pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Kompetensi Guru meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh
melalui pendidikan profesi”.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, profesionalisasi guru merupakan suatu
keharusan, terlebih lagi jika melihat kondisi objektif saat ini dalam pelaksanaan
pendidikan, di antaranya: (1) perkembangan Iptek, (2) persaingan global bagi lulusan
pendidikan, (3) otonomi daerah, dan (4) implementasi Kurikulum2013, (4) tuntutan
masyarakat akan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi perubahan dan
ketidakpastian yang menjadi ciri kehidupan masyarakat modern.
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 491 ]
Guru sebagai tenaga profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang
sangat penting dalam mencapai visi pendidikan 2025, menciptakan insan Indonesia
cerdas dan kompetitif. Guru Profesional tidak cukup hanya berkonsentrasi pada tugas
utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik seperti tersebut pada Undang-Undang Guru dan Dosen, tetapi
harus melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Peraturan
Menteri Negara Pedayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permennegpan
dan RB) Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya,
menyebutkan PKB merupakan salah satu komponen pada unsur utama yang diberikan
angka kredit selain (a) pendidikan; (b) pembelajaran/bimbingan dan (c) penunjang.
Ada 3 (tiga) unsur kegiatan dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan,
yaitu: Pengembangan Diri, meliputi: (a) mengikuti diklat fungsional; (b) melaksanakan
kegiatan kolektif guru. Publikasi Ilmiah, meliputi: (a) membuat publikasi ilmiah hasil
penelitian; dan (b) membuat publikasi buku. Karya Inovatif, meliputi: (a) menemukan
teknologi tepat guna, (b) menemukan/menciptakan karya seni; (c)
membuat/memodifikasi alat pelajaran; (d) mengikuti pengembangan penyusunan
standar, pedoman, soal dan sejenisnya.
Definisi tugas utama guru tidak menyebutkan adanya tugas penelitian dan
pembuatan karya ilmiah. Ini menunjukkan bahwa dari awal guru tidak dipersiapkan
untuk memiliki kemampuan meneliti, menulis dan mempublikasikan karya ilmiahnya,
sehingga dengan diberlakukannya Permenneg PAN dan Reformasi Birokrasi nomor 16
tahun 2009 diperlukan model pelatihan yang sesuai untuk meningkatkan kompetensi
menulis publikasi ilmiah dengan menganalisis pelatihan dan pengembangan yang selama
ini telah dilaksanakan dan persoalan yang ada, yang menyebabkan belum terpenuhinya
kompetensi Guru IPS dalam melaksanakan publikasi ilmiah untuk pengembangan
profesinya.
Berdasarkan pada identifikasi masalah dalam pengembangan model pelatihan
publikasi ilmiah bagi Guru IPS di Kota Semarang dapat dirumuskan masalah penelitian
yaitu: 1). Bagaimana bentuk dan kebutuhan pelatihan publikasi ilmiah bagi Guru IPS Kota
Semarang saat ini 2). Bagaimana rancangan pengembangan model pelatihan publikasi
ilmiah bagi Guru IPS di Kota Semarang?
Tujuan penelitian pengembangan ini 1). Mendeskripsikan bentuk dan kebutuhan
pelatihan publikasi ilmiah bagi Guru IPS Kota Semarang, 2). Mendeskripsikan rancangan
pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah bagi Guru IPS Kota Semarang.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu
dasar pelaksanaan pelatihan publikasi ilmiah bagi guru IPS dan bagi Kepala Sekolah
dapat menjadi acuan dalam pembinaan dan pengembangan kompetensi guru dalam
publikasi ilmiah.
Menurut Sikula (1981) pelatihan adalah proses pendidikan jangka pendek dengan
menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisir, sehingga karyawan operasional
belajar pengetahuan, teknik pengerjaan dan keahlian untuk tujuan tertentu. Pendidikan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 492 ] P a g e
dan pelatihan merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka
pengembangan kualitas sumber daya manusia, yang substansinya menyangkut aspek
proses perencanaan, penempatan, dan pengembangan tenaga kerja manusia. Menurut
Sudjana (2004) pelatihan dapat dikaji dari aspek pengembangan sistem, model, dan
pengelolaan pelatihan. Dari segi pengembangan sistem, pelatihan memiliki komponen
input (masukan), process (proses), output (keluaran). Unsur masukan meliputi masukan
lingkungan (environmental input), masukan sarana (instrumental input), masukan bahan
mentah (raw input), dan masukan lainnya (others input). Unsur proses (processes)
merupakan interaksi semua komponen input dalam pelatihan, unsur output dan outcome
yang terdiri dari keluaran berupa kognisi, ketrampilan, dan sikap serta nilai.
Kebijakan peningkatan mutu guru dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan
pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (preservice education),
pendidikan dan pelatihan (in-service training), dan pendidikan dalam jabatan (on the job
training) (Suparlan, 2006: 118).
Menurut Handoko (2003: 243) tujuan latihan dan pengembangan adalah untuk
memperbaiki efektivitas kerja dalam mencapai hasil kerja yang telah ditetapkan. Latihan
dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan ketrampilan dan teknik pelaksanaan
pekerjaan tertentu, terperinci dan rutin. Pengembangan mempunyai lingkup lebih luas
dalam peningkatan kemampuan, sikap dan sifat kepribadian. Tujuan pelatihan menurut
McKenna (2000:145) menambah pengetahuan, ketrampilan, mengubah sikap,
Berdasarkan pendapat di atas dapat dirumuskan tujuan pelatihan adalah untuk
memberikan pengetahuan, pemahaman, mengembangkan bakat dan keahlian, serta sikap
anggota organisasi atau karyawan dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi
secara efisien dan efektif.
Gambar 1. Siklus Pelatihan Menurut Goad dalam Nedler (1982:11)
Pelatihan sebagai sebuah konsep bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan seseorang (sasaran didik). Perkembangan model pelatihan (capacity
building, empowering, training dll) saat ini tidak hanya terjadi pada dunia usaha, akan
tetapi pada lembaga-lembaga profesional tertentu model pelatihan berkembang pesat
Analyze
Design
DevelopConduct
Evaluate
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 493 ]
sesuai dengan kebutuhan belajar, proses belajar (proses edukatif), assessment,
sasaran, dan tantangan lainnya dalam dunia global (Kamil, 2010: 1) .
Model pelatihan yang dikemukakan Goad dalam Nedler (1982:11) memiliki lima
(5) langkah pokok yang terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut dapat
dijelaskan bahwa model pelatihan ini menggunakan siklus dengan 5 langkah yaitu: 1)
analisis kebutuhan pelatihan (analyze to determine training requirement); 2) desain
pendekatan pelatihan (design the training approach); 3) pengembangan materi pelatihan
(develop the training materials); 4) pelaksanaan pelatihan (conduct the training); 5)
evaluasi dan perbaikan pelatihan (evaluate and update the training).
Model Pelatihan lain dikemukakan Nedler (1982:12) yaitu: “The Critical Event
Model (CEM). Model ini memiliki langkah (1) menentukan kebutuhan organisasi (Identify
the needs of the organization); (2) menentukan spesifikasi tugas (specify job
performance); (3) menentukan kebutuhan peserta pelatihan (Identify Leaner need); (4)
merumuskan tujuan (determine objective); (5) menentukan kurikulum pelatihan(Build
curriculum); (6) memilih strategi pembelajaran(Select Instructional Strategis); (7)
memilih dan menentukan sumber belajar (obtain Instructional Resources); (8)
melaksanakan pelatihan (Conduct Training); dan selanjutnya kembali pada tahap awal
untuk disempurnakan dengan memperhatikan hasil evaluasi dan masukan pada setiap
tahapan.
Gambar 2. Model Critical Even Nedler (1982:12)
Pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah dalam penelitian ini mengacu
pada fungsi manajemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pelaksanaan tindakan, pengembangan dan pengendalian.
Menurut Amrullah (2004:12-13) perencanaan meliputi aktivitas untuk
menentukan tujuan, dan sasaran yang akan dicapai, serta langkah strategis yang akan
diambil untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mengacu pada konsepsi ini maka
kegiatan pelatihan didahului dengan penetapan tujuan yang akan dicapai, penyusunan
langkah strategis, meliputi rancangan kriteria peserta, pelatih, materi dan strategi
Identify the needs of The organization
Specify job performance
Identify Leaner
Determine
Conduct Trainning
Obtain Instructioanal Resources
The organization
Select Instructional Strategis
Build curriculum
Evaluation
And
Feedback
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 494 ] P a g e
pembelajaran. Dalam perencanaan kinerja diperlukan eksplorasi bersama tentang apa
yang perlu diketahui dan dilakukan para Guru untuk memperbaiki kinerjanya dan
mengembangkan keterampilan dan kompetensinya, dan bagaimana manajer (dalam hal
ini penyelenggara pelatihan) dapat memberikan dukungan dan bimbingan yang
diperlukan.
1. Pengorganisasian dan Pengarahan
Pengorganisasian merupakan proses pemberian perintah, pengalokasian sumber
daya, pembagian tugas dan wewenang setiap komponen dalam rangka melaksanakan
rencana yang telah ditetapkan dan melalui pengarahan seorang manajer menciptakan
komitmen agar karyawan bekerja dengan semangat tinggi dan mencari alternatif
untuk mendorong kembali apabila semangat kerja mereka menurun. Tahapan
pengorganisasian pelatihan menurut McKenna (2000:115), 1) melakukan penelitian
tentang objek/aspek yang akan dilatihkan, 2) menentukan materi, 3) menentukan
metode pelatihan, 4) memilih pelatih yang sesuai kebutuhan, 5) mempersiapkan
fasilitas yang dibutuhkan, 6) menentukan peserta, 7) melaksanakan program, 8)
melakukan evaluasi program.
2. Pelaksanaan (Tindakan Kerja) dan Pengembangan.
Manajemen pelatihan berbasis kinerja membantu orang untuk siap bertindak
sehingga mereka dapat mencapai hasil seperti direncanakan. Dengan demikian,
pelatihan berbasis kinerja merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas
orang (guru) dalam menjalankan pekerjaan dan bagaimana cara yang dipakai untuk
mencapainya.
3. Pengendalian (Monitoring dan Umpan Balik Berkelanjutan)
Pengendalian adalah proses untuk melihat ketercapaian rencana yang dilaksanakan
Pengendalian memiliki fungsi: 1) mengukur pencapaian prestasi kerja, 2)
menganalisis hasil pengukuran, 3) menentukan strategi perbaikan apabila ada
kelemahan, 4) melakukan perbaikan jika ada kekurangan dalam proses pelaksanaan
rencana.
Konsekuensi guru sebagai jabatan profesi dituntut untuk mengembangkan diri
secara mandiri dan berkelanjutan agar dapat memiliki daya saing untuk memenangkan
seleksi alam sumber daya yang berkualitas. Pelaksanaan PKB akan lebih efektif jika
dilakukan secara sinergis oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini Dinas Pendidikan,
LPTK sebagai penghasil calon guru, dan sekolah sebagai wahana kinerja guru.
PKB harus dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan guru untuk meningkatkan
kompetensi dan profesionalitasnya, yang akan berimplikasi pada perolehan angka kredit
untuk kenaikan pangkat/jabatan fungsional guru. Permeneg PAN dan RB No. 16/ 2009
menyebutkan salah satu unsur PKB yang diberikan penilaian angka kredit adalah
publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah adalah karya tulis ilmiah yang dipublikasikan kepada
masyarakat sebagai bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan kualitas proses
pembelajaran dan pengembangan dunia pendidikan. Macam-macam karya tulis ilmiah
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 495 ]
yang diperhitungkan angka kreditnya dalam Permeneg PAN& RB Nomor 16 Tahun 2009,
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Publikasi Ilmiah dan Penghitungan Angka Kreditnya
1 PRESENTASI PADA FORUM ILMIAHa Menjadi pemrasaran/nara sumber pada
seminar atau lokakarya ilmiahSuratketerangan danmakalahpemrasaran
0,2
b Menjadi pemrasaran/nara sumber padakologiunm atau diskusi ilmiah
Suratketerangan danmakalahpemrasaran
0,2
2 MELAKSANAKAN PUBLIKASI ILMIAH HASIL PENELITIANATAU GAGASAN ILMU PADA BIDANG PENDIDIKAN FORMALa Membuat karya tulis berupa laporan hasil penelitian pada bidang
pendidikan di sekolahnya1) Diterbitkan/dipublikasikan dalam
bentuk buku ber ISBN dan diedarkansecara nasional atau telah lulus daripenilaian BNSP
Buku 4
2) Diterbitkan/dipublikasikan dalammajalah/jurnal ilmiah tingkat nasionalyang terakreditasi
Karya ilmiahdalammajalah/jurnalilmiah
3
3) Diterbitkan/dipublikasikan dalammajalah/jurnal ilmiah tingkat Provinsi
Karya ilmiahdalammajalah/jurnalilmiah
2
4) Diterbitkan/dipublikasikan dalammajalah/jurnal ilmiah tingkatkabupaten/kota
Karya ilmiahdalammajalah/jurnalilmiah
1
5) Diseminarkan di sekolahnya, disimpan diperpustakaan
Laporan 4
6) Membuat makalah berupa tinjauanilmiah dalam bidang pendidikan, tidakditerbitkan, disimpan diperpustakaan
Makalah 2
7) Membuat tulisan ilmiah populer dibidang pendidikan formal danpembelajaran pada satuanpendidikannyaa) Dimuat di media masa tingkat
nasionalArtikel Ilmiah 2
b) Dimuat di media masa tingkatProvinsi (koran daerah)
Artikel Ilmiah 1,5
8) Membuat artikel ilmiah dalam bidangpendidikan formal dan pembelajaranpada satuan pendidikannya
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 496 ] P a g e
a) Dimuat di jurnal tingkat nasionalyang terakreditasi
Artikel Ilmiah 2
b) Dimuat di jurnal tingkat nasionalyang tidak terakreditasi/tingkatprovinsi
Artikel Ilmiah 1,5
c) Dimuat di jurnal tingkat lokal(kabupaten/kota/sekolah/madrasahdstnya.
Artikel Ilmiah 1
3 MELAKSANAKAN PUBLIKASI BUKU TEKS PELAJARAN ,BUKU PENGAYAAN DAN PEDOMAN GURU
a Membuat buku pelajaran per tingkat/bukupendidikan per judul1) Buku pelajaran yang lolos penilaian
oleh BSNPBuku 6
2) Buku pelajaran yang dicetak olehpenerbit dan ber ISBN
Buku 3
3) Buku pelajaran dicetak oleh penerbittetapi belum ber ISBN
Buku 1
b Membuat modul/diklat pembelajaran persemester1) Digunakan di tingkat provinsi dengan
pengesahan dari Dinas PendidikanProvinsi
Modul/diklat 1,5
2) Digunakan di tingkat Kota/Kabupatendengan pengesahan dari dinaspendidikan Kota/Kabupaten
Modul/diklat 1
3) Digunakan di tingkatsekolah/madrasah setempat
Modul/diklat 0,5
c Membuat buku dalam bidang pendidikan1) Buku dalam bidang pendidikan
dicetak oleh penerbit dan ber ISBNBuku 3
2) Buku dalam bidang pendidikandicetak oleh penerbit tetapi tidak berISBN
Buku 1,5
d Membuat karya hasil terjemahan yangdinyatakan oleh kepala sekolah /madrasahtiap karya
Karya hasilterjemahan
1
e Membuat buku pedoman guru Buku 1,5Sumber: Lampiran 1 Permeneg PAN & RB Nomor 16 Tahun 2009
METODE
Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada analisis kebutuhan, perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi dan refleksi untuk mendapatkan model pelatihan yang efektif,
dengan subjek penelitian Guru IPS SMP di Kota Semarang.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai pengumpul
data, serta instrumen pedoman wawancara, lembar observasi dan angket, untuk
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 497 ]
memperoleh data tentang pemahaman secara operasional, potensi, permasalahan dan
kebutuhan guru IPS dalam melaksanakan publikasi ilmiah.
Langkah pengumpulan data: 1). diawali dengan pemberian informasi tentang
implementasi publikasi ilmiah dalam usulan jabatan fungsional dan perolehan angka
kredit. 2). Guru diminta untuk mengisi angket yang sudah disiapkan peneliti.
3).melakukan analisis SWOT terhadap isian angket, 4). Peneliti menggali informasi
melalui wawancara mendalam dengan Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Kepala
Sekolah, Ketua MGMP dan Guru IPS.
Analisis data deskriptif dengan uji credibility, transferability, dependability dan
conformability untuk mendapatkan fakta empirik tentang 1). Pemahaman operasional
implementasi publikasi ilmiah berbasis Permeneg PAN & RB No. 16 Tahun 2009. 2).
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan publikasi ilmiah selama ini. 3). Permasalahan
yang dihadapi dan kebutuhan guru dalam melaksanakan publikasi ilmiah. 4) menemukan
model factual model pelatihan publikasi ilmiah 5) merancang model pelatihan yang dapat
dikembangkan secara berkelanjutan.
Pengujian rancangan model yang dikembangkan dilakukan dengan expert
judgment. Pengujian kelayakan model melalui implementasi model pelatihan dengan
melibatkan guru, Kepala Sekolah, pengurus MGMP, tim penilai angka kredit , Perguruan
tinggi dan hasilnya dikaji dalam forum diskusi terfokus (focus group discution)
Penelitian ini dirancang dengan pendekatan penelitian dan pengembangan,
menurut Borg & Gall (1983:772-773) penelitian dan pengembangan pendidikan adalah
proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan.
Pengembangan suatu model dilakukan melalui 10 (sepuluh) tahapan yang terdiri dari (1)
Research and information collecting, (2) Planning, (3) Develop preliminary from of product,
(4) Preliminary field testing; (5) Main produk revision; (6) Main field testing; (7)
Operational product revision,(8) Operational field testing. (9) Final product revision, (10)
Dissemination and implementation. Kesepuluh langkah di atas diimplementasikan dalam
tiga langkah utama penelitian ini:
Pertama, tahap pendahuluan ini merupakan kegiatan research and information/
data collecting tentang pendidikan dan pelatihan publikasi ilmiah yang selama ini
dilaksanakan, sumber pembiayaan, ketercukupan dana dan fasilitas, permasalahan dan
kebutuhan guru IPS dalam publikasi ilmiah. Hasil penelitian ini dianalisis dengan
pendekatan kualitatif untuk menemukan model factual dan merancang model pelatihan
publikasi ilmiah yang ideal.
Kedua, tahap pengembangan mencakup langkah-langkah 1) penyusunan model
konseptual dengan memadukan hasil kajian teori dengan hasil studi pendahuluan. 2)
konsultasi dan uji ahli (expert judgment), terdiri pakar manajemen, Kepala Dinas
Pendidikan, Guru IPS SMP Pascasertifikasi di Kota Semarang.
Ketiga, tahap validasi mencakup langkah menguji kelayakan rancangan model
melalui implementasi model pelatihan serta melakukan perbaikan dalam rangka
finalisasi model akhir, yaitu menyimpulkan apakah model yang dikembangkan layak
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 498 ] P a g e
untuk diterapkan. Validasi model ini menggunakan Focus Group Discussion (FGD). Secara
keseluruhan alur penelitian pengembangan ini dapat digambarkan pada gambar 3.
Gambar 3. Prosedur Penelitian pengembangan (Samsudi: 2009)Diadopsi dari Borg & Gall
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fakta Empirik Bentuk Pelatihan Publikasi Ilmiah
Permeneg PAN& RB Nomor 16 Tahun 2009 mengamanatkan kepada semua guru
untuk memenuhi kebutuhan angka kredit publikasi ilmiah dalam usulan kenaikan
pangkat dan jabatan fungsional. Pemerintah telah melaksanakan
sosialisasi/diklat/workshop tentang pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB)
termasuk sub unsur publikasi ilmiah dengan harapan guru memiliki kemampuan dam
kesiapan melaksanakan publikasi ilmiah sebagai salah satu cara meningkatkan
profesionalitasnya.
Perencanaan kegiatan sosialisasi/diklat/workshop publikasi ilmiah yang selama
ini dilaksanakan, meliputi kejelasan legalitas penyelenggara, persyaratan peserta, tujuan,
materi, nara sumber, tempat dan waktu pelaksanaan, fasilitas yang diterima peserta,
serta system evaluasi untuk peserta.
Nara sumber Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Drs. Bunyamin, M.Pd dan
Ketua MPGP IPS Sub Rayon 02 Slamet, S.Pd mengatakan bahwa sosialisasi/
workshop/diklat telah dilaksanakan dengan baik walaupun belum mampu menjangkau
Studi lapangan tentangpelatihan publikasi ilmiahGuru IPS SMPPascasertifikasi di KotaSemarang
STUDI
LITERATUR
Deskripsi dananalisis temuan
(ModelFaktual)
STUDI PENDAHULUAN
Temuan DrafModel PKB danPenyusunanPerangkat Model
TAHAP PENGEMBANGAN
UJI
AHLIEvaluasi dan
Perbaikan
Model
Hipotetik
TAHAP FGD
PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN PUBLIKASI ILMIAHGURU IPS SMP PASCASERTIFIKASI DI KOTA SEMARANG
MODEL FINAL
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 499 ]
dan merata untuk semua guru. Hal ini terjadi karena kegiatan yang dilakukan masih
terbatas pada kebijakan pemerintah dan berbasis anggaran yang tersedia. Terkait dengan
kejelasan nara sumber, materi, waktu dan tempat pelaksanaan, persyaratan peserta
sudah tercantum dalam leaflet/brosur undangan. Pendapat Guru IPS SMP Di Kota
Semarang melalui angket, menunjukkan: perencanaan sosialisasi/ workshop/diklat
publikasi ilmiah sebanyak 34,4% menyatakan sangat baik, 58,4% menyatakan baik ,
4,66% menyatakan cukup dan 0,5% sedang dan 0,25 menyatakan kurang
Pelaksanaan/penyelenggaraan sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah
melibatkan semua pemangku kepentingan antara lain: LPMP, MGMP, Kepala Sekolah,
Perguruan Tinggi dan Guru. Dalam penetapan peserta, menurut Kepala Dinas Pendidikan
Kota Semarang telah bekerjasama dengan Kepala Sekolah, untuk penetapan peserta
harus memperhatikan kesiapan peserta, kompetensi, masa kerja, dan tugas di sekolah,
untuk mengikuti sosialisasi/workshop/diklat diberikan undangan dan surat tugas dari
Dinas Pendidikan Kota Semarang dan berkoordinasi dengan Kepala sekolah.
Materi menjadi harapan tertinggi bagi peserta , dengan mengikuti pelatihan
tingkat sekolah, MGMP, tingkat kota maupun tingkat nasional, guru berharap
memperoleh materi dan pengetahuan dalam pembuatan proposal, pelaksanaan
penelitian, penulisan laporan dan artikel, makalah, buku ajar, modul dan buku pedoman
guru, sehingga mampu melaksanakan penulisan karya ilmiah dan publikasi ilmiah. Secara
keseluruhan hasil angket tentang materi yang selama ini diterima peserta diperoleh data
17.6% responden menyatakan sangat baik, 56,3% menyatakan baik, dan 14,5%
menyatakan cukup dan sedang 1,3% kurang dan selebihnya tidak berpendapat.
Waktu pelaksanaan sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah, sebaiknya
kegiatan dilakukan pada waktu liburan sekolah atau pada waktu luang guru/di luar jam
pelajaran, sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran. 25,2% responden
berpendapat bahwa penetapan waktu pelaksanaan sangat baik, 44% baik, 9,2 cukup dan
5,5% menyatakan kurang baik serta selebihnya tidak berpendapat.
Selanjutnya terkait dengan kesempatan mengikuti sosialisasi/workshop/diklat
publikasi ilmiah Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Drs. Bunyamin, M.Pd
mengatakan bahwa pelatihan belum mampu menjangkau seluruh guru. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan anggaran. Hal senada disampaikan ibu Endang Hadi
Wahyuningsih, guru SMPN 33 Semarang, Dra. Lucy guru SMPN 20 Semarang, Erna Hadi
Nurhidayawati guru SMPN 36, Istifaiyah guru SMPN 24 Semarang, belum pernah
mengikuti sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah. Hasil angket menunjukkan
sebanyak 10% guru memiliki kesempatan mengikuti sangat baik, 32% memiliki
kesempatan baik, 18% cukup, 11% sedang dan 21% kurang memiliki kesempatan serta
selebihnya tidak berpendapat.
Kepakaran menjadi focus pemilihan pemateri/nara sumber, yaitu penguasaan
konten, kemampuan berkomunikasi, kesesuaian materi dengan kebutuhan penulisan
karya ilmiah dan publikasi ilmiah, serta kemampuan instruktur dalam memotivasi dan
mengembangkan potensi guru, nara sumber perlu memilih bahasa yang mudah dipahami,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 500 ] P a g e
sistematis, simple dan tidak bertele-tele dalam penyampaian materi serta implementatif,
nara sumber harus dipilih menguasai materi pelatihan, dapat berasal dari LPMP, Diknas
dan Perguruan Tinggi. Sebagian responden berpendapat bahwa kualitas pelatihan
ditentukan oleh nara sumber. Hasil angket tentang kualitas nara sumber pelatihan
publikasi ilmiah selama ini menunjukkan: 24,4% menyatakan kepakaran nara sumber
sangat baik, 61,6% baik, 10,4% cukup dan selebihnya tidak berpendapat .
Fasilitas yang diterima peserta sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah,
seperli kelengkapan fasilitas, kelayakan gedung, tempat tidur, pelayanan kesehatan dan
konsumsi, foto copy dan lain sebagainya. Sebanyak 9% guru mengatakan bahwa fasilitas
yang diterima sangat baik, 52% mengatakan baik, 20% cukup , 2% sedang dan 4%
mengatakan kurang sedangkan selebihnya tidak berpendapat.
Evaluasi dalam penyelenggaraan sosialisasi/workshop/diklat penulisan dan
publikasi ilmiah meliputi kesesuaian tes dengan kompetensi yang akan dikembangkan,
evaluasi dalam proses , formatif dan sumatif dengan materi yang dikembangkan dalam
pelatihan/ workshop, objektivitas dalam melaksanakan penilaian dan kesesuaian
rencana dengan pelaksanaan, pendapat para guru menunjukkan: sebanyak 14%
mengatakan baik sekali, 46% mengatakan baik, 20% dalam kategori cukup, 4% sedang ,
6% kurang dan selebihnya tidak berpendapat.
Kegiatan penulisan dan publikasi ilmiah yang telah dilakukan Guru IPS Kota
Semarang T-3 sebagian besar berupa makalah, LKS, modul tingkat sekolah, buku
pedoman guru, dan sebagian kecil telah membuat buku ber ISBN dan melakukan
penulisan dan publikasi ilmiah hasil penelitian. Hasil wawancara menunjukkan
kurangnya motivasi melakukan penelitian, publikasi ilmiah dan penulisan buku. Hal ini
didorong oleh pemikiran guru yang menganalogkan beratnya beban penelitian dan
publikasi ilmiah dan kurangnya kompetensi dan budaya ilmiah.
Hasil angket tentang hasil penulisan dan publikasi ilmiah yang telah dilaksanakan
pada T-3 diperoleh data seperti dalam tabel 2.
Tabel 2. Hasil Publikasi Ilmiah Guru IPS SMP Pascasertifikasi T-3
NO URAIAN Frekwensi>4X 4X 3X 2X 1X 0
1 Presentasi pada forum ilmiah 2% 9,6% 70,4%2 Melaksanakan publikasi
ilmiah hasil penelitian ataugagasan ilmu pada pendidikanformal
18,5%
3 Melakukan publikasi bukuteks pelajaran, bukupengayaan, dan pedoman guru
7,4% 40,75% 51,85%
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 501 ]
Analisis Kebutuhan Publikasi Ilmiah.
Analisis kebutuhan guru IPS SMP Pascasertifikasi di Kota Semarang, dilakukan
melalui wawancara dengan berbagai pihak antara lain Dinas pendidikan Kota Semarang,
Ketua MGMP, Kepala Sekolah dan guru menunjukkan
1. Kemampuan guru dalam melaksanakan penulisan ilmiah perlu pelatihan dan
pendampingan secara berkesinambungan.
2. Kebutuhan materi sosialisasi/workshop/diklat meliputi materi: penulisan bahan
ajar, modul, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) mulai dari cara menganalisis masalah
pembelajaran, penyusunan proposal, pelaksanaan PTK, dan penyusunan laporan
penelitian, serta penulisan makalah/artikel.
3. Belum merata kesempatan untuk mengikuti diklat/workshop publikasi ilmiah kepada
semua guru, karena keterbatasan anggaran pemerintah, oleh karena itu diperlukan
komitmen dan dukungan dari para guru untuk menyelenggarakan diklat/workshop
secara mandiri maupun melalui MGMP.
4. Dukungan dana dari Sekolah, Yayasan dan pemerintah sangat diperlukan untuk
pemerataan kesempatan mengikuti pelatihan bagi semua guru.
5. Kepakaran instruktur/narasumber dalam penyesuaian materi dengan kebutuhan
guru, kemampuan berkomunikasi, pemilihan metode dan pengelolaan kelas sangat
penting, metode pelatihan dengan praktik langsung sangat dibutuhkan guru dan
bukan hanya teori. Hasil angket dari responden sebanyak 67,6% menyatakan
kepakaran nara sumber sangat penting dan 27,8% menyatakan penting, dan
selebihnya tidak berpendapat. Responden yang tidak berpendapat merupakan guru
yang belum pernah memiliki kesempatan mengikuti sosialisasi/workshop/diklat
tentang publikasi ilmiah
6. Terkait dukungan dan kesempatan untuk melaksanakan PTK, hasil wawancara
menunjukkan bahwa pelaksanaan PTK memerlukan waktu yang lama dengan
persiapan yang tidak sederhana dan membutuhkan biaya cukup banyak, tidak
sebanding dengan nilai angka kredit dan reward kenaikan gaji yang diperoleh.
Berdasarkan temuan tersebut, guru perlu merubah pola pandang, bahwa PTK
sebenarnya telah dilaksanakan guru dalam keseharian tetapi masih dalam bentuk
tindakan yang belum sistematis, sehingga perlu dilaksanakan dan dilaporkan secara
tertulis. Hasil angket menunjukkan sebanyak 64,2% responden menyatakan sangat
penting dukungan untuk melaksanakan PTK baik dari guru sendiri, Kepala Sekolah,
budaya sekolah, apresiasi dari teman sejawat maupun Dinas Pendidikan, 18,5 %
responden menyatakan penting. Kepala Sekolah perlu melakukan tagihan setiap
tahun kepada guru dan melakukan pembinaan dalam pelaksanaan PTK untuk
peningkatan kualitas pembelajaran.
7. Dukungan dana dan fasilitas untuk guru dalam melaksanakan PTK dari Dinas
Pendidikan Kota berupa: alokasi anggaran untuk diklat/workshop, kompetisi
penyusunan PTK, perijinan dan kesempatan pelaksanaan PTK. Dukungan Kepala
Sekolah berupa perijinan, kesempatan dan kolaborasi dalam pelaksanaan PTK. Hasil
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 502 ] P a g e
angket menunjukkan sebanyak 61,22% responden menyatakan sangat penting
dukungan dana dan fasilitas dari sekolah, yayasan, Dinas Pendidikan untuk
melaksanakan PTK, 22,2% menyatakan penting dan 8,3% menyatakan cukup penting
dan selebihnya tidak berpendapat. Berdasarkan hasil angket terbuka diperoleh data
bahwa kurangnya guru melakukan PTK selain faktor dana juga disebabkan guru
belum dimilikinya kompetensi melaksanakan PTK.
8. Kebutuhan mendasar bagi guru adalah peningkatan kompetensi dalam penulisan
karya ilmiah dan publikasi ilmiah baik, sehingga diperlukan pelatihan berbasis kinerja
dan pendampingan secara berkesinambungan oleh instruktur/nara
sumber/pembimbing PTK. Diperlukan peningkatan kualitas pelatihan dan dilanjutkan
dengan pendampingan secara periodik dan berkesinambungan dengan membangun
kemitraan antara sekolah, Disdik, tim Penilai Angka Kredit dengan Perguruan Tinggi
maupun LPMP dan Guru agar guru dapat memaknai fungsi pelaksanaan publikasi
ilmiah dan PTK dari sudut pandang pengembangan kualitas tugas profesinya.
Fakta Empiris Bentuk Pelatihan
Pelaksanaan sosialisasi/workshop/diklat penulisan dan publikasi ilmiah secara
umum telah dilaksanakan dengan baik, utamanya pada perencanaan yaitu kejelasan
legalitas penyelenggara, persyaratan peserta, waktu dan tempat, nara sumber dan
fasilitas yang akan diterima peserta serta ketentuan tentang pembiayaan telah disajikan
dalam liflet/brosur, namun pelaksanaan workshop/diklat cenderung teoretis dan belum
mampu mengaktifkan seluruh peserta, serta tidak adanya sanksi yang jelas bagi peserta
yang tidak memenuhi kewajiban
Hasil angket dan dokumen menunjukkan 51,85% responden belum melaksanakan
penulisan dan publikasi ilmiah selama T-3, 40,75% telah melaksanakan rata-rata 2x
dalam T-3 dan 7.4% telah melaksanakan 3x dalam T-3.
Kurangnya motivasi diri guru menjadi factor dasar rendahnya penulisan dan
publikasi ilmiah para guru Motivasi eksternal sangat mendominasi aktivitas publikasi
ilmiah, dengan menganalogkan kebijakan PLPG yang hasilnya dapat memberikan
kontribusi kesejahteraan bagi guru, sedangkan penulisan karya ilmiah, adalah aktivitas
yang membutuhkan waktu lama, tidak mudah dan hasil yang diperoleh tidak sebanding
dengan nilai angka kredit dan kenaikan gaji/ tunjangan yang diperolehnya. Untuk itu
para pemangku kepentingan perlu menanamkan kesadaran, komitmen dan konsistensi
bersama melalui pembinaan, dan kemitraan untuk melaksanakan pelatihan dan
pendampingan.
Analisis Kebutuhan
Materi sosialisasi/workshop/diklat harus memperhatikan relevansinya dengan
kebutuhan guru untuk menghasilkan publikasi ilmiah, baik berupa hasil penelitian,
gagasan ilmiah, kajian pustaka, penulisan buku ajar, modul, makalah dan artikel ilmiah.
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 503 ]
Relevansi materi dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dan motivasi
guru dalam melaksanakan penulisan dan publikasi ilmiah.
Penetapan waktu pelaksanaan dinilai baik oleh peserta sosialisasi/workshop/
diklat publikasi ilmiah, 58% responden menyatakan bahwa penetapan waktu kegiatan
dapat menentukan keikutsertaan dan keberhasilan pelatihan. Hasil wawancara dengan
MGMP maupun guru merekomendasikan agar pelatihan dilaksanakan pada waktu
liburan sekolah atau waktu luang guru seperti hari sabtu dan minggu.
Kesempatan untuk mengikuti pelatihan sangat dibutuhkan oleh guru IPS, 66,67%
responden menyatakan bahwa kesempatan untuk mengikuti sosialisasi/workshop/diklat
penulisan dan publikasi ilmiah sangat penting. Fakta empiric menunjukkan 51,85%
responden belum pernah mengikuti sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah.
Gambar 4. Model Faktual Pelatihan Publikasi Ilmiah
Kebutuhan akan kepakaran narasumber/instruktur dalam workshop/diklat
penulisan karya ilmiah dan pubikasi ilmiah sangat penting dikemukakan oleh 67,6 %
responden. Kepakaran nara sumber dalam berkomunikasi dan memilih metode yang
tepat akan sangat membantu peningkatan kompetensi guru dalam menulis karya ilmiah
UU Nomor 20 Tahun 2003Permenegpan& RB Nomor 16 Tahun 2009
PKB
Publikasi Ilmiah
Anggaran Pemerintah
Dinas Pendidikan Kota Semarang
Pertemuan Sekolah, MGMP, Individu
Dinas PendidikanKota Semarang,LPMP, MGMP IPS,Sekolah dan LPTK
ADDCE
Goad
(1982:11)
PelatihanPenulisan danPublikasi Ilmiah Guru IPSSMP Pascasertifikasi di KotaSemarang
TUTOR
MODEL FAKTUAL PELATIHAN PUBLIKASI ILMIAH
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 504 ] P a g e
dan mempublikasikan lewat seminar maupun jurnal ilmiah. Nara sumber yang
direkomendasikan oleh responden adalah 1) dari LPMP, 2) dari Dinas Pendidikan dan 3)
dari Perguruan Tinggi, yang memiliki kepakaran dalam pelatihan publikasi ilmiah.
Pengembangan Model
Tahap pengembangan merupakan tindak lanjut dari fakta empiris hasil studi
pendahuluan model pelatihan publikasi ilmiah berbasis Permeneg PAN & RB Nomor 16
Tahun 2009 pada Guru IPS di Kota Semarang yang telah dilaksanakan. Kegiatan pelatihan
yang selama ini dilaksanakan digambarkan pada model factual Gambar 4.
Pengembangan kompetensi guru IPS Kota Semarang dalam penulisan dan
publikasi ilmiah dilakukan melalui workshop/diklat berbasis kebijakan pemerintah dan
anggaran belanja pengembangan profesi guru. Pelaksanaan sosialisasi/workshop/diklat
dilakukan melalui kerjasama Dinas Pendidikan, LPMP, MGMP dan Sekolah serta
Perguruan Tinggi. Pelatihan masih sebatas dimanfaatkan oleh guru yang memiliki
dedikasi, komitmen dan konsistensi serta prestasi dalam meningkatkan mutu
pendidikan.
Karena berbasis pada kewajiban yang bernaung di bawah kebijakan dan anggaran
pemerintah maka kelemahan model ini adalah 1) motivasi internal lemah, 2) tidak
merata memberikan kesempatan pelatihan pada semua guru, 3) informasi dari pihak ke 2
belum tentu sama dengan pihak 1, 4) kerjasama dengan LPTK masih sebatas sebagai nara
sumber, sehingga bentuk tanggung jawab sebatas pada waktu pelaksanaan kegiatan
terjadwal, 5) keterbatasan anggaran menyebabkan hasil pelatihan belum ditindaklanjuti
sehingga hasilnya tidak optimal, 6) sistem evaluasi unjuk kerja tidak tuntas.
Validasi rancangan model final dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD)
antara peneliti, Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Ketua MGMP, Kepala Sekolah
dan Guru IPS yang ditugasi dan unsur Perguruan Tinggi.
Pengembangan model pelatihan ini menggabungkan antara model pelatihan Goad
(ADDCE) dengan model CEM dari Nedler dengan memperhatikan siklus fungsi
manajemen, seperti dalam gambar 4.4.
Langkah kerja pengembangan model pelatihan publikasi ilmiah adalah :
1. Kepala Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan LPMP, MGMP dan Kepala Sekolah,
Tim PAK serta LPTK, membentuk Lembaga Pengembangan Profesi Guru.
2. Lembaga pengembang profesi guru bertanggungjawab merancang pengembangan
profesi guru IPS melalui pemetaan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program pelatihan di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kota Semarang .
3. Perencanaan, meliputi a) penetapan tujuan, AD/ART lembaga pengembang, b)
penyusunan renstra, c) perencanaan kegiatan sesuai tujuan dan renstra, d)
penetapan kegiatan, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan, syarat peserta, system
evaluasi, nara sumber dan metode pelatihan, e) merancang sumber dana.
4. Pelaksanaan kegiatan di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kota Semarang agar
tidak mengganggu tugas utama guru, meliputi: pembentukan panitia pelaksana,
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 505 ]
penetapan waktu, biaya, peserta, tempat, fasilitas, system evaluasi, nara sumber, dan
penjaminan mutu pelaksanaan. Pelaksanaan kegiatan melalui pelatihan kelompok,
lesson study, MGMP, praktek penulisan/penelitian maupun pendampingan pakar.
Gambar 5. Model Pelatihan Berbasis Need Assesment
Kolaborasi model ADDCE Goad (1982:11) dengan Model Critical Even Nedler (1982:12)
5. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kompetensi guru baik pengetahuan
maupun unjuk kerja selama pelatihan maupun di luar pelatihan. Teknik evaluasi yang
digunakan adalah portofolio, unjuk kerja dan penilaian kinerja selama dan setelah
pelatihan, melalui supervisi dan hasil karya ilmiah peserta dengan kontribusi
penetapan angka kredit (PAK). Hasil evaluasi digunakan sebagai masukan untuk
melanjutkan pembinaan dan peningkatan profesionalitas guru di bidang lainnya.
UU Nomer 20 Tahun 2003Permenegpan & RB Nomer 16 Tahun 2009
Dinas Pendidikan Kota Semarang, Pemerintah Daerah, LPMP,
PGRI Kota Semarang, MGMP, Universitas/LPTK
PKB
Publikasi Ilmiah
KEMITRAAN (dilembagakan)
Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi dan Pengembangan
1. Tujuan2. Struktur
Organisasi3. Pedoman
Pelatihan4. Standar Biaya5. Jurnal IPS
1. Pembinaan2. Diklat/workshop3. Pendampingan
pakar4. Uji coba
penelitian
1. Kognitif2. Proses
pelatihan3. Unjuk kerja4. Supervise5. Penilaian
kinerja
1. Leson Study
2. Implementasi
dalam
pembelajaran
di kelas
3. Kompetisi
Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Pengembangan
GURU IPS SMP PASCASERTIFIKASI KOMPETENDALAM PUBLIKASI ILMIAH
KUALITAS PEMBELAJARAN DAN KINERJA GURU
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 506 ] P a g e
6. Melembagakan kerjasama Dinas Pendidikan Kota Semarang, LPMP, MGMP dan
Perguruan Tinggi dalam bentuk: nara sumber, fasilitas tempat, efisiensi dana.
7. Membangun kesadaran, komitmen dan konsistensi guru akan tugas profesinya, dan
pengembangan profesi menjadi kewajiban guru dan tanggung jawab bersama
pemangku kepentingan di bidang pendidikan.
8. Mengembangkan budaya penulisan dan publikasi karya ilmiah, memanfaatkan
anggaran dari Dinas Pendidikan Kota/Propinsi, Perguruan Tinggi, LPMP, dsb.
Kelebihan pengembangan model pelatihan ini ada pada
1. Adanya lembaga pengembangan profesi guru, sehingga perencanaan, koordinasi,
pelaksanaan pengembangan serta evaluasi dapat dilaksanakan secara simultan.
2. Terdapat kejelasan sumber dana dan partisipasi peserta/ guru dalam PKB.
3. Pengembangan kompetensi dan profesionalitas guru dilaksanakan secara
berkelanjutan dan berkesinambungan sehingga terbentuk budaya penulisan ilmiah.
SIMPULAN.
Secara umum kegiatan PKB Guru IPS di Kota Semarang masih perlu mendapat
perhatian serius dari berbagai pihak utamanya bagi pemangku kepentingan. Hasil
penelitian menunjukkan 70,4% responden belum melaksanakan presentasi pada forum
ilmiah, 18,5% yang telah melakukan publikasi ilmiah hasil penelitian maupun gagasan
ilmiah sekali dalam T-3, 7,4% telah melakukan publikasi buku teks pelajaran, buku
pengayaan dan pedoman guru tiga kali dalam T-3, 40,75% telah melakukan publikasi
buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru 2 kali dalam T-3, dan 51,85%
belum pernah melakukan publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman
guru dalam T-3.
1. Perencanaan, sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah masih didasarkan pada
issue-isue terhangat dari kebijakan pemerintah dan berbasis ketersediaan anggaran
pemerintah. Oleh karena itu perencanaan yang dilakukan bersifat parsial dan belum
mengakomodasi seluruh kebutuhan guru. Penetapan peserta, waktu dan tempat,
materi, nara sumber, kejelasan penyelenggara, dan system evaluasi telah dijelaskan
dalam leaflet/brosur sebelum pendaftaran peserta dimulai. Perencanaan dapat
dikategorikan baik. Hal ini dibuktikan oleh hasil wawancara dan angket sebanyak
34,4% menyatakan baik sekali dan 58,4% menyatakan baik
2. Pelaksanaan sosialisasi/workshop/diklat dari aspek fasilitas dan pelayanan
kesehatan, konsumsi, dinilai baik. Kepakaran nara sumber dalam penguasaan materi,
kemampuan berkomunikasi dan penguasaan kelas serta metode pelatihan yang
digunakan, direkomendasikan oleh guru perlu dipilih nara sumber yang benar-benar
pakar dalam bidang ilmu yang dilatihkan dan memiliki pengalaman langsung dalam
praktek sehingga mampu memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi guru.
Penetapan waktu sosialisasi/workshop/diklat belum sesuai dengan waktu luang
guru sehingga guru belum dapat memanfaatkan kesempatan sepenuhnya mengikuti
kegiatan. Keterbatasan anggaran yang dialokasikan belum mampu menjangkau
Pengembangan Model Pelatihan… (Marhaeni Dwi Satyarini, Eko Heri Widiastudi & Y. Suharso)
P a g e [ 507 ]
secara merata kepada semua guru. Oleh karena itu guru yang telah berkesempatan
mengikuti pelatihan diberi tugas menjadi tutor, menularkan ilmunya kepada teman
sejawat melalui MGMP maupun secara personal.
3. Sistem evaluasi yang diterapkan dalam sosialisasi/workshop/diklat dilakukan
dengan pre tes, penilaian proses dan post tes serta tagihan portofolio utamanya pada
penulisan proposal PTK, namun belum mampu mengukur keberhasilannya, karena
belum ada tindak lanjutnya .
4. Metode pelatihan yang diterapkan masih cenderung bersifat teoritis dan masih
kurang memberikan ruang untuk praktek dan pembahasan.
5. Pembimbingan dilakukan sebatas kebijakan anggaran dan proyek, sehingga
pembimbingan masih berlangsung dalam posisi pelatihan/diklat dan guru merasa
kurang nyaman untuk konsultasi/pembimbingan setelah pelatihan/workshop
selesai. Akibatnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam membuat karya ilmiah
maupun PTK tidak tuntas.
6. Pelatihan PTK yang telah diterima guru masih bersifat parsial, hal ini dapat
disebabkan kurang matangnya perencanaan, penugasan yang tidak
berkesinambungan maupun kurangnya kesesuaian waktu dengan kesempatan guru,
sehingga guru belum memiliki pengetahuan dan keterampilan melaksanakan PTK
secara utuh, baik mulai penulisan proposal, pelaksanaan penelitian maupun
penulisan laporan dan penulisan artikel hasil penelitian.
Berdasarkan simpulan di atas, saran yang disampaikan antara lain:
1. Perencanaan sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah dilakukan berdasarkan
kebutuhan guru, dan kesesuaian waktu guru agar tidak mengganggu waktu mengajar
2. Kepakaran nara sumber/instruktur disesuaikan dengan tujuan pelatihan dan dipilih
sesuai profesionalitasnya.
3. Agar sosialisasi/workshop/diklat publikasi ilmiah berjalan berkelanjutan dan
berkesinambungan, diperlukan kerjasama berupa kemitraan yang dilembagakan
antara Dinas Pendidikan Kota Semarang, LPMP, Organisasi PGRI Kota Semarang,
MGMP dan Perguruan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah. (2004). Pengantar Manajemen, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Borg, Welter R. Dan Meredith D. Gall. (1983). Education Research: An Introduction. NewYork dan London: Logman
Handoko, Hani. (2003). Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Hasibuan, Malayu. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Kamil. Mustofa. (2010). Model Pendidikan dan Pelatihan. Bandung: Alfabeta
Kemendiknas. (2010). Pedoman Pengelolaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan(PKB)
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 508 ] P a g e
MacKenna. Eugeendan Nic Beech.(2000) . The Essence of Human Resouces Management.Terjemahan.Yogyakarta: Andi Offset
Nedler, L .(1982). Designing Training Programs: The Critical Events Model. Philiphines:Addison-Wisley Publishing Company, Inc
Permeneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru danAngka Kreditnya.
Samsudi . (2009). Disain Penelitian Pendidikan. Semarang: UNNES PRESS
Sikula, Andrew F. (1981). Personnel Administration and Human Resources Management.New York: A Wiley Trans edition, by John Wiley & Sons Inc
Sudjana, D. (2004). Sistem dan Manajemen Pelatihan: Teori dan Aplikasi. Bandung: FallahProduction
Suparlan. (2006). Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat Pulishing
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
P a g e [ 509 ]
KESIAPAN PERANGKAT PEMBELAJARAN PENGANTAR AKUNTANSI
DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Eka Ary Wibawa & Badrun KartowagiranProgram Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan perangkat pembelajaranpengantar akuntansi dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Penelitian inimerupakan penelitian evaluasi dengan model evaluasi kesenjangan. Objekpenelitian ini adalah kesiapan silabus, RPP, rancangan penilaian, buku guru,buku siswa, dan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran.Instrumen pengumpulan data adalah lembar penilaian, angket, dan pedomanwawancara. Validitas lembar penilaian dihitung dengan formula Aiken’s V danreliabilitasnya dengan intra-class correlation coefficient. Validitas angketdihitung dengan analisis faktor eksploratori dan reliabilitasnya dengan rumusAlpha. Analisis data menggunakan teknik deskriptif kuantitatif, deskriptifkualitatif, dan analisis multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)silabus pengantar akuntansi cukup siap, (2) RPP siap, (3) rancangan penilaiankurang siap, (4) buku guru belum siap, (5) buku siswa belum siap, dan (6)persepsi siswa mengindikasikan bahwa perangkat pembelajaran belum siap. Adaperbedaan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantarakuntansi. Perangkat pembelajaran pengantar akuntansi belum siap untukmengimplementasikan Kurikulum 2013.
Kata Kunci: evaluasi, perangkat pembelajaran, Kurikulum 2013
PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia masih membutuhkan perbaikan. Fenomena negatif yang
mengemuka yaitu perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, dan kecurangan
dalam ujian (Kemdikbud, 2013a: 8). Kondisi peserta didik tersebut disinyalir terjadi
karena kurikulumnya tidak pas. Kurikulum sebelum ini, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) secara konseptual memiliki struktur dan kerangka kurikulum yang
bagus, namun pada prakteknya kurikulum tersebut masih memiliki beberapa kelemahan.
Masyarakat memiliki persepsi bahwa kurikulum tersebut terlalu menitikberatkan pada
aspek kognitif, beban belajar siswa terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter
(Kemdikbud, 2013a: 8). Sumiyati (2013: 1) menyatakan bahwa proses pembelajaran
selama ini lebih berpusat pada guru (teacher centered), kurang memperhatikan situasi,
keadaan, dan kebutuhan siswa.
Solusi dari kelemahan KTSP di atas yaitu pengembangan Kurikulum 2013.
Sumiyati (2013: 1) menjelaskan bahwa urgensi mengembangkan kurikulum baru karena
ada sesuatu yang diperlukan dan belum ada pada kurikulum sekarang (KTSP). Perbaikan
kurikulum diharapkan dapat menciptakan generasi yang kompeten sebagai modal
pembangunan, jika tidak maka kemungkinan besar generasi yang akan datang hanya
akan menjadi beban pembangunan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 510 ] P a g e
Pemerintah resmi menetapkan kebijakan Kurikulum 2013 pada tanggal 15 Juli
2013. Keunggulan Kurikulum 2013 yaitu: (1) menekankan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik secara proporsional, (2) materi pembelajaran merupakan materi esensial
dan relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan, (3) menekankan pada pendidikan
karakter, (4) menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan sesuai kebutuhan
masyarakat, (5) berpusat pada peserta didik dan proses pembelajarannya kontekstual,
dan (6) mengkombinasikan penilaian proses dan penilaian hasil pembelajaran.
Kurikulum 2013 diberlakukan secara bertahap mulai tahun 2013. Pada tahun
2013, kurikulum tersebut dilaksanakan pada kelas I, IV, VII, dan X. Implementasi
kurikulum tersebut tidak ke semua sekolah, namun hanya terbatas pada sekolah yang
ditunjuk oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Implementasi
Kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas sudah berjalan satu semester untuk tahun
ajaran 2013/2014 (Widdiharto, 2014: 10). Pemerintah melakukan tiga persiapan untuk
implementasi Kurikulum 2013 yaitu berkait dengan buku pegangan dan buku siswa,
pelatihan guru, dan tata kelola khususnya administrasi buku raport.
Tema pengembangan Kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan
Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu
mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi
(Isniati, 2014: 12). Pembelajaran pada Kurikulum 2013 lebih menekankan pada
pendidikan karakter agar mampu menghasilkan lulusan yang berkarakter mulia.
Penelitian Richardson, et.al (2009: 71) menunjukkan bahwa dengan adanya pendidikan
karakter dapat menumbuhkan keterampilan sosial siswa dan mereka mampu
berinteraksi positif dengan teman sebayanya.
Pengembangan Kurikulum 2013 bertujuan untuk mendorong peserta didik atau
siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan
mengkomunikasikan, apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima
materi pembelajaran. Hal tersebut dilandasi oleh konsep pembelajaran yang
menggunakan pendekatan ilmiah. Isniati (2014: 12) menyatakan bahwa melalui
pendekatan tersebut diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang jauh lebih baik serta mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan produktif.
Dalam rangka pencapaian tujuan pengembangan Kurikulum 2013, maka
diperlukan kesiapan perangkat pembelajaran untuk mengimplementasikan Kurikulum
2013. Perangkat pembelajaran memiliki peran yang sangat penting dalam
mengimplementasikan Kurikulum 2013. Dalam hal ini perangkat pembelajaran dikatakan
siap apabila perangkat pembelajarannya sudah ada dan sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan oleh pemerintah. Apabila perangkat pembelajarannya sudah siap maka
implementasi Kurikulum 2013 dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya, apabila perangkat
pembelajarannya belum siap maka implementasi Kurikulum 2013 tidak dapat berjalan
dengan baik.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan sekolah menengah yang memiliki
beberapa bidang studi keahlian yang salah satunya adalah bidang studi keahlian bisnis
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
P a g e [ 511 ]
dan manajemen. Permendiknas Nomor 28 Tahun 2009 tentang Standar Kompetensi
Kejuruan SMK/MAK (Kemdiknas, 2009: 501-512) menjelaskan bahwa SMK bisnis dan
manajemen memiliki tiga program studi keahlian, yaitu administrasi, keuangan, dan tata
niaga. Program studi keahlian keuangan sendiri terdiri dari dua kompetensi keahlian,
yaitu akuntansi dan perbankan.
Implementasi Kurikulum 2013 pada SMK ke semua bidang studi keahlian
termasuk bidang studi keahlian bisnis dan manajemen, khususnya pada program studi
keahlian keuangan kompetensi keahlian akuntansi. Berdasarkan Permendikbud Nomor
70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK (Kemdikbud,
2013c), terdapat perubahan dalam pembelajaran akuntansi di SMK. Implementasi
Kurikulum 2013 dalam pembelajaran akuntansi di SMK dibatasi pada kompetensi dasar
pengantar akuntansi. Menurut Permendikbud tersebut, kompetensi dasar ini diberikan di
kelas X dan XI. Perubahan ini tentu saja berdampak langsung pada pembelajaran
pengantar akuntansi terutama dalam penyusunan perangkat pembelajarannya. Guru
akuntansi dituntut mampu untuk menyiapkan dan menyusun perangkat pembelajaran
yang sudah disesuaikan dengan perubahan struktur kurikulum tersebut.
Pemerintah sudah melakukan beberapa persiapan untuk implementasi Kurikulum
2013, salah satunya dengan mengadakan pelatihan bagi guru. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Drs. Jamin – Guru akuntansi SMK Negeri 1 Pengasih – pada tangal 30
Januari 2014 dapat diketahui bahwa pelatihan bagi guru SMK hanya terbatas pada guru
mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia, dan sejarah. Sebagian besar guru
akuntansi belum mendapatkan pelatihan langsung dari pemerintah. Idealnya guru-guru
kompetensi keahlian akuntansi juga mendapatkan pelatihan Kurikulum 2013 secara
langsung dari pemerintah, terutama dalam penyusunan perangkat pembelajaran.
Widdiharto (2014: 10) menyatakan bahwa Kemdikbud tetap berkomitmen dan
berbenah dalam menggagas Kurikulum 2013 meskipun masih ada pro-kontra, sikap
skeptis, bahkan apriori terhadap kebijakan baru tersebut. Lebih lanjut lagi, Widdiharto
(2014: 10) menegaskan bahwa Lembaga Perguruan Tinggi Kependidikan (LPTK), Dewan
Pendidikan, wakil rakyat, dan masyarakat luas harus senantiasa terus mengawal jalannya
Kurikulum 2013 dengan kritis, konstruktif, dan kooperatif. Salah satu cara efektif yang
dapat dilakukan untuk mengawal jalannya Kurikulum 2013 yaitu melalui kegiatan
penelitian.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dra. Isti Triasih – Kepala Seksi SMK Dinas
Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi DIY - pada tanggal 7 Februari 2014, sejauh
ini pihak pemerintah belum pernah melakukan evaluasi tentang kesiapan SMK dalam
rangka implementasi Kurikulum 2013. Artinya selama ini belum pernah dilakukan
penelitian untuk mengevaluasi kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi
SMK bisnis dan manajemen dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Adanya tekad
untuk ikut mengawal jalannya Kurikulum 2013 dan belum adanya penelitian yang
mengevaluasi kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi SMK bisnis dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 512 ] P a g e
manajemen merupakan dua hal pokok yang melatarbelakangi diselenggarakannya
penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen
dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Perangkat pembelajaran yang diteliti
dibatasi pada silabus, RPP, rancangan penilaian, buku teks pelajaran, dan buku panduan
guru. Hal ini dikarenakan perangkat pembelajaran tersebut yang menjadi perangkat
pembelajaran utama dalam proses pembelajaran
METODE
Penelitian ini adalah penelitian evaluasi dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan survey. Model evaluasi yang dipilih adalah model evaluasi kesenjangan
(discrepancy evaluation model). Model evaluasi ini dipilih karena untuk mengidentifikasi
apakah ada kesenjangan antara perangkat pembelajaran yang ideal sesuai dengan
Kurikulum 2013 dengan kondisi yang ada di lapangan. Apabila tidak ada kesenjangan
maka perangkat pembelajarannya sudah siap untuk mengimplementasikan Kurikulum
2013. Apabila masih terdapat kesenjangan maka informasi kesenjangan tersebut
digunakan sebagai dasar dalam merumuskan rekomendasi untuk memperbaiki
perangkat pembelajaran pengantar akuntansi.
Waktu penelitian dilakukan selama tujuh bulan dari bulan Februari sampai
dengan bulan Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di SMK bisnis dan manajemen di DIY
yang sudah mengimplementasikan Kurikulum 2013 yaitu SMK Negeri 1 Bantul, SMK
Negeri 1 Pengasih, dan SMK Negeri 1 Wonosari.
Objek penelitian ini adalah kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi
yang terdiri atas silabus, RPP, rancangan penilaian, buku guru, buku siswa, dan persepsi
siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Sumber informasi
penelitian ini adalah guru dan siswa. Guru yang menjadi sumber informasi adalah guru
mata pelajaran pengantar akuntansi. Siswa yang menjadi sumber informasi adalah siswa
kompetensi keahlian akuntansi kelas X dengan jumlah sampel sebanyak 166 siswa.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling.
Prosedur penelitian evaluasi ini yaitu: pertama, menentukan kriteria evaluasi
kesiapan perangkat pembelajaran akuntansi; kedua mengumpulkan data terkait dengan
kondisi kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi; ketiga, mengidentifikasi
kesenjangan yang terjadi antara kriteria evaluasi dengan kondisi kesiapan perangkat
pembelajaran pengantar akuntansi di lapangan; keempat, menentukan penyebab
terjadinya kesenjangan; dan terakhir menyusun rekomendasi untuk memperbaiki
kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi
Data penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan yaitu dokumentasi, wawancara, dan angket. Instrumen
penelitiannya yaitu lembar penilaian, pedoman wawancara, dan angket. Dokumentasi
digunakan untuk mendokumentasikan perangkat pembelajaran yang terdiri atas silabus,
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
P a g e [ 513 ]
RPP, rancangan penilaian, buku guru, dan buku siswa. Wawancara digunakan untuk
menggali informasi lebih dalam dari guru tentang perangkat pembelajaran. Angket
digunakan untuk memperoleh data persepsi siswa tentang kesiapan perangkat
pembelajaran pengantar akuntansi. Uji validitas instrumen lembar penilaian dengan
expert judgment dan rumus Aiken’s V, sedangkan uji reliabilitasnya dengan intraclass
correlation coefficient (ICC). Instrumen pedoman wawancara diuji validitas isi dengan
expert judgment. Instrumen angket diuji validitasnya dengan analisis faktor eksploratori
dan uji reliabilitasnya dengan rumus Alpha.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif
kuantitatif, deskriptif kualitatif, dan analisis multivariat. Teknik deskriptif kuantitatif
digunakan untuk mengetahui kesiapan silabus, RPP, rancangan penilaian dan persepsi
siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Teknik deskriptif
kualitatif digunakan untuk mengetahui kesiapan buku guru dan buku siswa. Analisis
multivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan persepsi siswa tentang
kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi. Penilaian kesiapan perangkat
pembelajaran dilakukan oleh tiga orang penilai (rater) dengan menggunakan lembar
penilaian dan rubrik penilaian. Hasil penilaian ketiga rater tersebut dirata-rata untuk
mencari besarnya skor rata-rata kesiapan perangkat pembelajaran dan skor tersebut
digunakan untuk mencari skor akhir. Selanjutnya skor akhir tersebut dikategorisasikan
untuk mengetahui sejauhmana tingkat kesiapan perangkat pembelajaran pengantar
akuntansi. Kategorisasinya yaitu skor 91-100= sangat siap, 81-90= siap, 71-80= cukup
siap, 61-70= kurang siap, dan kurang dari 60= tidak siap. Masing-masing perangkat
pembelajaran dikatakan siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 apabila
minimal sudah mencapai skor 81 atau dalam kategori siap.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesiapan Silabus
Kesiapan silabus dinilai dari tujuh aspek yaitu kepemilikan silabus, identitas mata
pelajaran, perumusan materi pokok, perumusan kegiatan pembelajaran, penilaian,
alokasi waktu, dan pemilihan sumber belajar. Hasil penelitian tentang kesiapan silabus
dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan silabus memiliki rata-rata skor
sebesar 77,25, yang berarti dalam kategori cukup siap. Artinya, silabus pengantar
akuntansi SMK bisnis dan manajemen di DIY cukup siap untuk mengimplementasikan
Kurikulum 2013.
Aspek kepemilikan silabus masuk dalam kategori sangat siap. Semua sekolah yang
menjadi tempat penelitian sudah memiliki silabus pengantar akuntansi Kurikulum 2013.
Silabus tersebut ada yang diperoleh langsung dari pusat, download dari internet, dan ada
yang meng-copy dari sekolah lain. Hal ini didukung oleh pendapat Widdiharto (2014: 10)
yang menyatakan bahwa bahan rujukan untuk menyusun silabus sudah relatif baku dan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 514 ] P a g e
up to date serta bisa diakses publik (termasuk guru) karena di-publish secara terbuka di
berbagai laman Kemdikbud maupun lainnya.
Tabel 1. Kesiapan Silabus
No Aspek Skor Ket
1 Kepemilikan silabus 100,00 Sangat siap
2 Identitas mata pelajaran 51,85 Tidak siap3 Perumusan materi pokok 77,78 Cukup siap4 Perumusan kegiatan pembelajaran 85,19 Siap5 Penilaian 92,59 Sangat siap6 Alokasi waktu 88,89 Siap7 Pemilihan sumber belajar 29,63 Tidak siap
Rata-rata 75,13 Cukup siap
Aspek identitas mata pelajaran masuk dalam kategori tidak siap. Sebagian besar
guru tidak menuliskan indentitas mata pelajaran dan identitas sekolah dengan lengkap.
Guru sebaiknya menuliskan identitas mata pelajaran pada silabus dengan jelas dan
lengkap. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Majid (2011: 42) yang
menyatakan bahwa pada bagian identitas mata pelajaran perlu dituliskan dengan jelas
nama mata pelajaran, jenjang sekolah, kelas, dan semester.
Aspek perumusan materi pokok masuk dalam kategori cukup siap. Perumusan
materi pokok dalam silabus harus disesuaikan dengan SKL dan KD. Setiap silabus sudah
memuat materi pokok yang sesuai dengan SKL. Ada silabus yang sudah merumuskan
materi pokok sesuai dengan KD pengantar akuntansi Kurikulum 2103, namun ada juga
yang belum. KD pengantar akuntansi Kurikulum 2103 sesuai dengan Permendikbud
Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK yaitu
tentang uang dan keuangan perusahaan. Silabus yang belum merumuskan materi pokok
sesuai dengan KD tersebut, perumusan materi pokoknya tentang akuntansi. Hal ini dapat
terjadi karena guru hanya men-download silabus dari internet tanpa memperhatikan KD
yang ada dalam Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum SMK/MAK.
Aspek perumusan kegiatan pembelajaran masuk dalam kategori siap. Semua
silabus sudah memuat perumusan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan konsep
Kurikulum 2013, yang meliputi tahap mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi,
dan komunikasi. Dalam setiap tahap tersebut juga sudah dijelaskan secara rinci aktivitas
kegiatan pembelajarannnya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Sumiyati (2013: 2) yang menyatakan bahwa pembelajaran Kurikulum 2013 sudah
mengedepankan pengalaman personal melalui pengamatan, menanya, menalar, mencoba,
dan mengkomunikasikannya.
Aspek penilaian masuk dalam kategori sangat siap. Penilaian yang terdapat dalam
silabus meliputi tes, tugas, observasi, dan portofolio. Jenis penilaian tersebut mampu
mengungkap aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Perumusan aspek penilaian
dalam silabus tersebut sudah sesuai dengan prinsip penilaian otentik. Aspek alokasi
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
P a g e [ 515 ]
waktu masuk dalam kategori siap. Aspek alokasi waktu yang ada dalam silabus sudah
sesuai dengan struktur kurikulum dan cakupan materinya. Alokasi waktu untuk mata
pelajaran pengantar akuntansi adalah 2 jam pelajaran per minggu.
Aspek pemilihan sumber belajar masuk dalam kategori tidak siap. Hal ini
disebabkan karena dalam silabus tersebut tidak menyebutkan secara jelas dan lengkap
sumber belajar yang dipakai, bahkan ada yang tidak menyebutkan sumber belajar sama
sekali. Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar
dan Menengah menjelaskan bahwa sumber belajar dapat berupa buku, media cetak dan
elektronik, alam sekitar atau sumber belajar lain yang relevan. Apabila sumber belajar
berupa buku maka minimal harus menyebutkan judul buku, nama pengarang, tahun
terbit, dan penerbitnya. Sebaiknya guru menuliskan sumber belajar dengan jelas dan
lengkap pada silabus. Hal ini didukung oleh pendapat Majid (2011: 59) yang menyatakan
bahwa sumber belajar diperlukan agar dalam menyusun silabus terhindar dari kesalahan
konsep. Selain itu dengan mencantumkan sumber belajar kita akan terhindar dari
perbuatan menjiplak karya orang lain (plagiat).
Kesiapan RPP
Kesiapan RPP dinilai dari sepuluh aspek yaitu kepemilikan RPP, identitas mata
pelajaran, perumusan indikator, perumusan tujuan pembelajaran, pemilihan materi ajar,
pemilihan sumber belajar, pemilihan media belajar, model pembelajaran, skenario
pembelajaran, dan penilaian. Hasil penelitian tentang kesiapan RPP dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kesiapan RPP
No Aspek Skor Ket
1 Kepemilikan RPP 100,00 Sangat siap2 Identitas mata pelajaran 94,44 Sangat siap3 Perumusan indikator 85,19 Siap4 Perumusan tujuan pembelajaran 85,19 Siap5 Pemilihan materi ajar 81,48 Siap6 Pemilihan sumber belajar 74,07 Cukup siap7 Pemilihan media belajar 44,44 Tidak siap8 Model pembelajaran 88,89 Siap9 Skenario pembelajaran 88,89 Siap
10 Penilaian 74,07 Cukup siapRata-rata 81,67 Siap
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan RPP memiliki rata-rata skor
sebesar 81,67, yang berarti dalam kategori siap. Artinya, RPP pengantar akuntansi SMK
bisnis dan manajemen di DIY siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013.
Aspek kepemilikan RPP masuk dalam kategori sangat siap. Hal ini dikarenakan
semua sekolah yang menjadi tempat penelitian sudah memiliki RPP pengantar akuntansi
Kurikulum 2013. Berdasarkan hasil wawancara, Sebagian besar RPP tersebut disusun
oleh guru secara bersama-sama atau tim di sekolah, meskipun ada juga guru yang
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 516 ] P a g e
menyusunnya sendiri. Sebanyak 67% guru sudah memiliki RPP lengkap selama satu
semester yaitu minimal sebanyak 6 buah RPP.
Aspek identitas mata pelajaran masuk dalam kategori sangat siap. Sebagian besar
guru sudah menuliskan identitas mata pelajaran dengan lengkap meliputi nama satuan
pendidikan, kelas/semester, program keahlian, mata pelajaran, materi pokok, alokasi
waktu, dan jumlah pertemuan. Sebanyak 33% guru belum menyebutkan nama satuan
pendidikan dengan lengkap. Sebaiknya guru menuliskan identitas mata pelajaran dengan
lengkap. Hal ini sejalan dengan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah yang menjelaskan bahwa dalam RPP harus
memuat identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan, mata pelajaran atau tema,
kelas/semester, materi pokok, alokasi waktu (Kemdikbud, 2013b: 6).
Aspek perumusan indikator masuk dalam kategori siap. Penulisan indikator harus
sesuai dengan KI, KD, dan menggunakan kata kerja operasional. Semua guru sudah
menuliskan indikator pencapaian kompetensi dengan menggunakan kata kerja
operasional. Sebanyak 33% guru sudah menuliskan indikator lengkap sesuai dengan KI
dan KD, namun sisanya belum menuliskannya dengan lengkap. Sebanyak 67% guru
hanya menuliskan indikator yang berkaitan dengan KI-3 dan KI-4.
Aspek perumusan tujuan pembelajaran masuk dalam kategori siap. Semua guru
sudah merumuskan tujuan pembelajaran sesuai dengan indikator atau tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai. Seperti halnya dalam merumuskan indikator, sebanyak
33% guru sudah merumuskan tujuan pembelajaran lengkap sesuai dengan KI dan KD,
namun ada juga yang belum lengkap. Sebanyak 67% guru hanya merumuskan tujuan
pembelajaran yang berkaitan dengan KI-3 dan KI-4.
Aspek pemilihan materi ajar masuk dalam kategori siap. Semua guru sudah
memilih materi ajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Sebanyak 33% guru sudah
menyertakan materi pembelajaran di dalam RPP dan sisanya hanya menyebutkan garis
besar materi pembelajarannya saja. Materi pembelajaran yang direncanakan di dalam
RPP sudah sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.
Aspek pemilihan sumber belajar masuk dalam kategori cukup siap. Sebagian besar
guru sudah menuliskan sumber belajar yang sesuai dengan materi pembelajaran dan
karakteristik peserta didik. Sumber belajar yang digunakan berupa buku, majalah, dan
materi hasil download dari internet. Sebanyak 83% guru sudah menuliskan sumber
belajar dengan lengkap meliputi judul buku, pengarang, tahun terbit, dan penerbit,
namun ada yang belum lengkap yaitu sebanyak 17%. Sumber belajar yang digunakan
guru belum sesuai dengan Kurikulum 2013, bahkan masih ada guru yang masih
menggunakan sumber belajar yang didesain untuk Kurikulum 2004.
Aspek pemilihan media belajar masuk dalam kategori tidak siap. Permendikbud
Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
menjelaskan bahwa media pembelajaran berupa alat bantu proses pembelajaran untuk
menyampaikan materi pelajaran. Guru harus memilih dan merencanakan media
pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran pengantar akuntansi.
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
P a g e [ 517 ]
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Mulyasa (2013: 100) yang menyatakan
bahwa guru harus mampu melakukan pemilihan dan penggunaan media pembelajaran.
Lebih lanjut lagi, Sanjaya (2013: 23) menyatakan bahwa guru dituntut untuk mampu
mengorganisasikan berbagai jenis media pembelajaran dan perkembangan teknologi
informasi memungkinkan setiap guru untuk menggunakan berbagai pilihan media yang
dianggap cocok.
Aspek model pembelajaran masuk dalam kategori siap. Sebanyak 83% guru sudah
merencanakan penggunaan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran dan pendekatan scientific. Model pembelajaran tersebut seperti model
discovery learning dan model problem based learning. Hal ini sesuai dengan
Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 yang menjelaskan bahwa untuk memperkuat
pendekatan ilmiah (scientific) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan
(discovery learning) dan untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk
menghasilkan karya kontekstual sangat disarankan menggunakan pembelajaran berbasis
pemecahan masalah (problem based learning).
Aspek skenario pembelajaran masuk dalam kategori siap. Semua RPP sudah
menampilkan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup dengan jelas. Kegiatan inti
pembelajaran sudah sesuai dengan pendekatan scientific yang meliputi kegiatan
mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan.
Alokasi waktu dalam skenario pembelajaran juga sudah sesuai dengan cakupan materi
pembelajaran.
Aspek penilaian masuk dalam kategori cukup siap. Sebanyak 83% guru sudah
menyebutkan rencana penilaian yang akan digunakan dengan lengkap, namun sebanyak
17% guru belum menuliskannya dengan lengkap. Teknik penilaian yang digunakan
antara lain pengamatan, tes lisan, tes tertulis, dan tugas. Sebagian guru sudah menuliskan
teknik penilaian beserta instrumen penilaiannya, namun ada juga yang belum
menyertakan instrumen penilaiannya.
Kesiapan Rancangan Penilaian
Kesiapan rancangan penilaian dinilai dari delapan aspek yaitu adanya rancangan
penilaian dalam RPP, kesesuaian dengan KI, kesesuaian dengan KD, kesesuaian dengan
indikator, menggunakan penilaian otentik, kesesuaian dengan pendekatan scientific,
kesesuaian dengan materi pembelajaran, dan kesesuaian waktu. Hasil penelitian tentang
kesiapan rancangan penilaian dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan rancangan penilaian memiliki rata-
rata skor sebesar 64,58, yang berarti dalam kategori kurang siap. Artinya, rancangan
penilaian pengantar akuntansi SMK bisnis dan manajemen di DIY kurang siap untuk
mengimplementasikan Kurikulum 2013.
Aspek adanya rancangan penilaian dalam RPP masuk dalam kategori sangat siap.
Hal ini dikarenakan semua guru sudah menuliskan rancangan penilaian dalam RPP
mereka. Hasil penelitian Hamid, Hassan, & Ismail (20012: 85) menunjukkan bahwa
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 518 ] P a g e
kemampuan guru dalam melakukan penilaian dan evaluasi merupakan indikator yang
valid untuk menilai kinerja guru. Dengan demikian guru harus mampu merancang
penilaian sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku agar mampu menilai proses
dan hasil pembelajaran secara komprehensif.
Tabel 3. Kesiapan Rancangan Penilaian
No Aspek Skor Ket
1 Adanya rancangan penilaian dalam RPP 100,00 Sangat siap2 Kesesuaian dengan KI 81,48 Siap3 Kesesuaian dengan KD 62,96 Kurang siap4 Kesesuaian dengan indikator 42,59 Tidak siap5 Menggunakan penilaian otentik 75,93 Cukup siap6 Kesesuaian dengan pendekatan scientific 50,00 Tidak siap7 Kesesuaian dengan materi pembelajaran 55,56 Tidak siap8 Kesesuaian waktu 48,15 Tidak siap
Rata-rata 64,58 Kurang siap
Aspek kesesuaian dengan KI masuk dalam kategori siap. Para guru sudah
merencanakan penilaian yang menilai empat ranah KI, yaitu kompetensi sikap spiritual,
sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Sebanyak 83% rancangan penilaian sudah
lengkap menilai keempat ranah KI tersebut dan sisanya sebanyak 17% belum lengkap
keempat ranah KI tersebut. Kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial dinilai dengan
menggunakan lembar pengamatan, lembar penilaian sikap, lembar penilaian sikap jujur,
dan lembar penilaian sikap toleransi. Kompetensi pengetahuan dinilai dengan
menggunakan tes dan kompetensi keterampilan dinilai dengan lembar pengamatan
diskusi dan tugas.
Aspek kesesuaian dengan KD masuk dalam kategori kurang siap. Sebanyak 83%
guru sudah menuliskan rancangan penilaian yang sesuai dengan KD dan sisanya belum
menuliskan rancangan penilaian yang sesuai dengan KD. Sebanyak 50% rancangan
penilaian belum menilai KD kelompok kompetensi pengetahuan yang sudah dituliskan di
dalam RPP. Setelah dianalisis lebih lanjut, ada RPP yang menuliskan KD kelompok
kompetensi pengetahuan namun dalam rancangan penilaiannya belum menyertakan soal
atau instrumen penilaiannya.
Aspek kesesuaian dengan indikator masuk dalam kategori tidak siap. Sebanyak
33% guru sudah menuliskan indikator dengan lengkap dan menuliskan soal yang sesuai
dengan indikator tersebut, namun sebanyak 50% guru menuliskan rancangan penilaian
tetapi tidak sesuai indikator. Setelah dianalisis lebih lanjut, ada rancangan penilaiannya
tetapi tidak ada indikatornya. Selain itu, ada guru yang menuliskan indikatornya tetapi di
dalam rancangan penilaian tidak menyertakan teknik dan instrumen penilaiannya.
Aspek menggunakan penilaian otentik masuk dalam kategori cukup siap. Para
guru merencanakan penilaiannya dengan menggunakan teknik penilaian otentik seperti
tes lisan, tes tertulis, tugas, penilaian keterampilan, penilaian diskusi, dan penilaian sikap.
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
P a g e [ 519 ]
Teknik penilaian otentik tersebut dapat mengukur kompetensi sikap spiritual, sikap
sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Aspek kesesuaian dengan pendekatan scientific masuk dalam kategori tidak siap.
Pendekatan scientific berkaitan erat dengan proses pembelajaran sehingga
membutuhkan instrumen penilaian seperti lembar pengamatan untuk mengamati siswa
ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Guru sudah menuliskan teknik penilaian
dengan menggunakan pengamatan, namun sebanyak 50% guru belum menyertakan
instrumen lembar pengamatannya.
Aspek kesesuaian dengan materi pembelajaran masuk dalam kategori tidak siap.
Setelah dianalisis lebih lanjut, sebanyak 33% guru sudah menyertakan materi
pembelajaran dan menuliskan rancangan penilaian sesuai dengan materi pembelajaran
tersebut. Sebanyak 17% guru belum menyertakan materi pembelajaran dengan lengkap
tetapi ada soalnya di rancangan penilaian. Sebanyak 50% guru belum menyertakan
materi pembelajaran dan juga instrumen penilaiannya. Aspek kesesuaian waktu masuk
dalam kategori tidak siap. Setelah dianalisis lebih lanjut, ada beberapa soal-soal yang
pengerjaannya membutuhkan banyak waktu sehingga tidak mungkin selesai dalam satu
pertemuan.
Kesiapan Buku Guru
Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku guru mata pelajaran pengantar
akuntansi belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 karena sekolah
belum memperoleh kiriman buku guru dari pemerintah. Hal ini tentu saja akan
menghambat proses implementasi Kurikulum 2013. Sebagaimana diungkapkan oleh
Suyanto (2013: 2) yang menyatakan bahwa apabila buku-buku itu datang tidak tepat
waktu, maka para guru akan panik dan tidak percaya diri dalam mengimplementasikan
Kurikulum 2013.
Selama ini proses pembelajaran pengantar akuntansi menggunakan buku paket
yang biasa digunakan guru pada semester atau kurikulum sebelumnya. Ada tiga buku
paket yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran pengantar akuntansi. Nama
pengarang, tahun terbit, dan nama penerbit ketiga buku tersebut ada pada peneliti untuk
menjaga kerahasiaannya.
Dalam penelitian ini, ketiga buku tersebut tetap dianalisis untuk menilai kualitas
buku tersebut. Analisis dilakukan oleh tiga orang penilai (rater). Analisis buku dilakukan
dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Aspek penilaian analisis buku tersebut
yaitu kesesuaian materi pembelajaran dengan KI dan KD pengantar akuntansi Kurikulum
2013, cakupan materi, kedalaman pembahasan materi, kontekstual, kualitas tulisan dan
gambar, serta keberadaan soal latihan dan pembahasan/kunci jawaban.
Hasil analisis menunjukkan bahwa materi pembelajaran yang terdapat dalam
buku tidak sesuai dengan KI dan KD Kurikulum 2013 karena bukunya memang tidak
didesain untuk itu. Sebagian besar buku masih mengacu pada kurikulum KTSP, bahkan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 520 ] P a g e
ada yang masih berdasarkan kurikulum 2004. Hal ini tentu akan berdampak langsung
pada materi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik.
Cakupan materi pembelajaran yang ada dalam buku tersebut cukup luas dan
memadai, terutama terkait materi akuntansi perusahaan jasa dan perusahaan dagang.
Ada buku yang menjelaskan sampai pada materi akuntansi perusahaan manufaktur dan
analisis laporan keuangan. Kedalaman pembahasan materinya cukup dalam dan cukup
detail, ada satu buku yang sudah disesuaikan dengan IFRS (standar akuntansi yang
berlaku internasional).
Materi pembelajaran dan contoh-contoh yang diberikan kontekstual dengan
kehidupan sehari-hari, selain itu contoh-contohnya juga kekinian (up to date). Kualitas
tulisan dan gambar cukup bagus dan jelas, hanya saja masih ada yang hitam putih,
apabila berwarna akan lebih menarik. Semua buku sudah ada soal latihannya, namun
belum ada pembahasan ataupun kunci jawabannya. Pada dasarnya buku-buku tersebut
sudah layak untuk dijadikan referensi dalam pembelajaran pengantar akuntansi, hanya
saja belum sesuai dengan Kurikulum 2013.
Kesiapan Buku Siswa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku siswa mata pelajaran pengantar
akuntansi belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Hal ini dikarenakan
sekolah belum memperoleh kiriman buku siswa dari pemerintah. Proses pembelajaran
pengantar akuntansi selama ini hanya menggunakan buku paket yang dipakai guru dan
ditambah materi dari internet.
Hasil penelitian ini sejalan dengan artikel yang ditulis oleh Sulianita (2014: 4)
yang menjelaskan bahwa implementasi Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran kelompok
paket keahlian masih banyak keluhan dari guru karena mereka belum mendapatkan
buku guru, buku siswa, dan juga ada yang belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan.
Hasil penelitian ini juga didukung dengan berita yang ditulis oleh Amirullah yang
menyatakan bahwa penerapan Kurikulum 2013 membuat guru dan siswa bingung
karena buku-buku pelajaran yang akan digunakan belum didistribusikan ke sekolah
(Amirullah, 14 Agustus 2014).
Idealnya para siswa sudah memperoleh buku siswa Kurikulum 2013. Mendikbud
Mohammad Nuh menegaskan bahwa perkembangan buku Kurikulum 2013 sudah selesai
untuk sampai ke sekolah masing-masing (Harahap, 5 Agustus 2014). Masih adanya
sekolah yang belum menerima buku disebabkan karena belum semua perusahaan
pemenang tender selesai mencetak buku tersebut dan tidak semua perusahaan memiliki
modal yang cukup untuk mencetak sesuai kontrak buku yang dimenangkan (Alfiyah, 13
Agustus 2014).
Persepsi Siswa tentang Kesiapan Perangkat Pembelajaran Pengantar Akuntansi
Data persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar
akuntansi memiliki skor tertinggi sebesar 36, skor terendah sebesar 17, mean sebesar
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
P a g e [ 521 ]
27,45, median sebesar 27,00, modusnya adalah 27, dan standar deviasi sebesar 3,65.
Kategorisasi persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar
akuntansi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Batang Persepsi Siswa tentang Kesiapan Perangkat PembelajaranPengantar Akuntansi
Persepsi siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi
pada kategori sangat positif frekuensinya 20 (12,05%), kategori positif frekuensinya 57
(34,34%), kategori negatif frekuensinya 68 (40,96%), dan kategori sangat negatif
frekuensinya 21 (12,65%). Data tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan persepsi
siswa tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi berpusat pada
kategori negatif. Persepsi siswa yang cenderung negatif tersebut selaras dengan kesiapan
perangkat pembelajaran pengantar akuntansi yang belum sepenuhnya siap untuk
mengimplementasikan Kurikulum 2013.
Sugihartono, et.al. (2007: 8) menjelaskan bahwa persepsi yang ada pada diri
seseorang akan mempengaruhi bagaimana perilaku orang tersebut. Persepsi yang positif
akan menghasilkan hal yang positif, begitu juga sebaliknya. Apabila siswa memiliki
persepsi yang positif tentang kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi,
maka siswa tersebut akan lebih siap dalam mengikuti pembelajaran pengantar akuntansi.
Analisis lebih lanjut untuk mengetahui adanya perbedaan persepsi siswa tentang
kesiapan perangkat pembelajaran pengantar akuntansi dilakukan dengan menggunakan
analisis multivariat. Rangkuman hasil analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa nilai uji F Wilks’ Lamda sebesar 4,951
dengan sig. = 0,000, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 522 ] P a g e
terdapat perbedaan yang signifikan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat
pembelajaran akuntansi antara siswa SMK Negeri 1 Bantul, SMK Negeri 1 Pengasih, dan
SMK Negeri 1 Wonosari.
Tabel 5. Rangkuman Hasil Analisis Uji Beda dengan Analisis Multivariat
Effect Uji F Sig.
Xa Wilks' Lambda 4.951a .000
Hasil penelitian ini memperkuat teori yang dikemukakan Slameto (2010: 103-
105) yang menyatakan bahwa persepsi seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda
dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun situasinya sama. Senada dengan hal
tersebut, Elfiky (2014: 132) menyatakan bahwa setiap orang memiliki persepsi yang
berbeda-beda tentang kenyataan hidup yang mereka jalani.
Hasil analisis post hoc menunjukkan bahwa aspek yang memberikan perbedaan
signifikan yaitu persepsi siswa tentang kesiapan RPP dan persepsi siswa tentang
kesiapan rancangan penilaian. Sementara itu tidak ada perbedaan signifikan persepsi
siswa tentang kesiapan silabus antara siswa SMK Negeri 1 Bantul, SMK Negeri 1
Pengasih, dan SMK Negeri 1 Wonosari.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh secara keseluruhan, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) silabus pengantar akuntansi SMK bisnis dan
manajemen di DIY cukup siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (2) RPP
siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (3) rancangan penilaian kurang siap
untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013, (4) buku guru belum siap untuk
mengimplementasikan Kurikulum 2013, (5) buku siswa belum siap untuk
mengimplementasikan Kurikulum 2013, (6) persepsi siswa mengindikasikan bahwa
perangkat pembelajaran pengantar akuntansi belum siap untuk mengimplementasikan
Kurikulum 2013, (7) terdapat perbedaan persepsi siswa tentang kesiapan perangkat
pembelajaran pengantar akuntansi antara siswa SMK Negeri 1 Bantul, SMK Negeri 1
Pengasih, dan SMK Negeri 1 Wonosari, dan (8) perangkat pembelajaran pengantar
akuntansi SMK bisnis dan manajemen di DIY belum siap untuk mengimplementasikan
Kurikulum 2013.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiyah, N. (2014, Agustus 13). Alasan buku Kurikulum 2013 terlambat dicetak. Tempo, p.1. Diambil pada tanggal 14 Agustus 2014 darihttp://www.tempo.co/read/news/2014/ 08/13/079599273/Alasan-Buku-Kurikulum-2013-Terlambat-dicetak.
Amirullah. (2014, Agustus 14). Kurikulum 2013 murid belum terima buku pelajaran.Tempo, p. 1. Diambil pada tanggal 14 Agustus 2014 dari
Kesiapan Perangkat Pembelajaran… (Eka Ary Wibawa & Badrun Kartowagiran)
P a g e [ 523 ]
http://www.tempo.co/read/news/2014/ 08/14/083599455/Kurikulum-2013-Murid-Belum-Terima-Buku-Pelajaran.
Elfiky, I. (2014). Terapi berpikir positif. (Terjemahan Khalifurrahman Fath & M. TaufikDimas). Jakarta: Zaman. (Buku asli diterbitkan tahun 2008).
Hamid, S.R.A, Hassan, S.S.S., & Ismail, N.A.H. (2012). Teaching quality and performanceamong experienced teachers in Malaysia. Australian Journal of Teacher Education,Volume 37, Issue 11, November 2012, 85-103.
Harahap, R.F. (2014, Agustus 5). Buku Kurikulum 2013 ditargetkan tiba di sekolah 15agustus. Okezone, p. 1. Diambil pada tanggal 14 Agustus 2014 darihttp://kampus. okezone.com/read/2014/08/05/560/1020396/buku-kurikulum-2013-ditargetkan-tiba-di-sekolah-15-agustus.
Isniati, S. (2014, Januari 7). Resolusi bidang pendidikan tahun 2014. Kedaulatan Rakyat,p. 12.
Kemdikbud. (2013a). Rasional Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud. (2013b). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor65 Tahun 2013, tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kemdikbud. (2013c). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 70 Tahun2013, tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK.
Kemdiknas. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2009,tentang Standar Kompetensi Kejuruan Sekolah Menengah Kejuruan(SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).
Majid, A. (2011). Perencanaan pembelajaran: Mengembangkan standar kompetensi guru.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2013). Pengembangan dan implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Richardson, R.C., et.al. (2009). Character education: Lessons for teaching social andemotional competence. Children & Schools, Number 2, April 2009, 71-78.
Sanjaya, W. (2013). Strategi pembelajaran berorientasi pada proses pendidikan. Jakarta:Kencana.
Slameto. (2010). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT RinekaCipta.
Sugihartono, et.al. (2007). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sulianita, L. (2014, Februari). Dikeluhkan!! Implementasi Kurikulum 2013 di SMK.Kompasiana. Diambil pada tanggal 14 Agustus 2014 darihttp://edukasi.kompasiana.com/2014/02/11/di-keluhkan-implementasi-kurikulum-2013-di-smk-634286.html.
Sumiyati. (2013, November). Implementasi Kurikulum 2013 menuju indonesia maju.Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Sains, yangdiselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret padatanggal 9 November 2013 di Surakarta.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 524 ] P a g e
Suyanto. (2013). Katup pengaman Kurikulum 2013. Artikel dalam rubrik tokoh di webUNY. Diambil pada tanggal 20 November 2014 darihttp://www.uny.ac.id/rubrik-tokoh/prof-suyanto-phd.html-0.
Widdiharto, R. (2014, Januari 7). Belajar dari implementasi Kurikulum 2013. KedaulatanRakyat, p. 10.
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
P a g e [ 525 ]
UPAYA MENINGKATKAN MUTU PROSES PEMBELAJARAN
PRODI PENDIDIKAN EKONOMI PADA MATA KULIAH STATISTIKA
Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa KurniawanUniversitas Negeri Surabaya
AbstrakArtikel hasil kajian pemikiran ini bertujuan untuk meningkatkan mutu prosespembelajaran prodi pendidikan ekonomi pada mata kuliah statistika.Permasalahan yang terjadi yaitu mahasiswa mengalami kesulitan dalammengolah data primer. Indikator yang menunjukkan mutu proses pembelajaranpada mata kuliah statistika yaitu mahasiswa mampu menyusun instrumen padasatu maupun dua variabel bebas serta menguji validitas dan reliabilitasinstrumen. Hasil pembahasan menunjukkan perlunya perbaikan yang dilakukanyaitu mulai dari perbaikan silabus hingga penerapannya di kelas. Adanyapenambahan materi tentang membuat angket, cara mengolah data angket danmemasukkannya ke dalam excel dengan metode simulasi sehingga mahasiswapaham tentang analisis data primer. Dengan demikian akan memudahkanmahasiswa dalam mengerjakan skripsi.
Kata kunci: Mutu Proses Pembelajaran, Statistika
PENDAHULUAN
Mata kuliah statistika merupakan salah satu mata kuliah prasyarat sebelum
mahasiswa mengerjakan skripsi. Jika mahasiswa belum lulus mata kuliah ini, maka
mahasiswa tidak diperbolehkan memprogram skripsi dan sifatnya wajib lulus tentunya.
Selain menjadi mata kuliah prasyarat memprogram skripsi, di sisi lain mata kuliah ini
menjadi momok bagi mahasiswa. Dari hasil wawancara yang dilakukan, sebagian
responden yaitu mahasiswa yang sedang memprogram skripsi, sebesar +80% mereka
mengaku terpacu pada penelitian yang berasal dari data sekunder. Sedangkan mereka
yang mendapati judul penelitian yang menggunakan data primer mengaku kurang
pengetahuan tentang pembuatan angket serta tabulasi data angket ke dalam excel.
Sebagian besar mahasiswa yang mendapati skripsinya menggunakan data
sekunder, mereka memilih untuk belajar membuat angket dan tabulasi data melalui
internet, dan juga membaca penelitian terdahulu. Hal tersebut terjadi karena pada saat
mereka memprogram mata kuliah statistika mereka tidak mendapatkan materi tentang
pengolahan data primer.
Sebelum mahasiswa mengolah data primer, mahasiswa tentunya juga harus
memahami bagaimana cara membuat angket. Dalam membuat angket, mahasiswa harus
benar-benar paham tentang variabel yang mereka teliti, sub variabel jika ada serta
indikator pada masing-masing variabel atau sub variabel. Setelah mereka paham
bagaimana caranya menyusun angket, maka dilanjutkan dengan melakukan uji coba
instrumen yang bertujuan untuk mengetahui Validitas dan Reliabilitas instrumen. Uji ini
dilakukan karena merupakan syarat dari instrumen sebelum digunakan dalam penelitian.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 526 ] P a g e
Jika instrumen sudah diuji validitas dan reliabilitas dan memenuhi persyaratan ujinya
maka baru instrumen dapat digunakan untuk mengambil data primer.
Dari beberapa fenomena di atas maka saran yang dapat diberikan yaitu
mahasiswa harusnya juga mendapatkan materi tentang bagaimana cara membuat angket,
cara pengolahannya, serta uji validitas dan reliabilitas instrumen. Penyampaian materi
tersebut harusnya dilakukan melalui metode simulasi agar mahasiswa benar-benar
mengalaminya.
“Model simulasi pada dasarnya adalah salah satu dari sekian strategi
pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih nyata melalui
penciptaan tiruan atau imitasi bentuk pengalaman yang mendekati suasana sebenarnya
serta terjadi dalam suasana yang tanpa risiko”. (Rusman, 2011). Penerapan metode
simulasi akan mencapai tujuan yang maksimal jika menerapkan prinsip-prinsip berikut:
1.) Simulasi tersebut dilakukan oleh kelompok mahasiswa, pada tiap kelompok
mendapatkan giliran untuk melakukan simulasi yang sama atau dapat juga berbeda; 2.)
Semua mahasiswa harus terlibat secara langsung sesuai dengan peran masing-masing; 3.)
Penentuan tema disesuaikan dengan level kemampuan kelas, dibicarakan oleh
mahasiswa dan dosen; 4.) Petunjuk harus simulasi diberikan terlebih dahulu sebelum
dilaksanakan; 5.) Dalam proses simulasi hendaknya diilustrasikan situasi atau kondisi
yang lengkap; 6.) Hendaknya terintegrasi dengan beberapa ilmu (Hasibuan, 2010).
Sedangkan beberapa tujuan simulasi adalah sebagai berikut: 1.) Untuk
meningkatkan kegiatan belajar mahasiswa dengan melibatkan mahasiswa dalam
mempelajari kondisi yang hampir sama dengan kejadian yang sebenarnya terjadi; 2.)
Untuk melatih mahasiswa agar dapat menguasai keterampilan tertentu, baik yang
bersifat professional maupun yang penting di kehidupan nyata; 3.) sebagai bahan latihan
untuk memecahkan masalah; 4.) Untuk memberikan suatu rangsangan belajar bagi
mahasiswa; 5.) Untuk memahami berbagai tingkah laku manusia dan kondisi masyarakat
di lingkungan sekitar; 6.) Untuk melatih serta membantu mahasiswa dalam memimpin,
bergaul maupun memahami hubungan antar sesama manusia, bekerja sama secara
kelompok, menghargai dan memahami perasaan dan juga argumen orang lain, dan
meningkatkan kreativitas mahasiswa (Ahmadi, 2005).
Simulasi pada mata kuliah statistika ini harus dilakukan. Hal ini disebabkan
karena jika tidak maka mahasiswa akan mengalami kesulitan dalam mengerjakan skripsi
dan ditakutkan mahasiswa mengalami kelulusan yang tidak tepat waktu.
Pendapat ini didukung oleh teori dari Johnson (2006) yang mengatakan bahwa
waktu mahasiswa hanya dihabiskan untuk mengerjakan tugas, mendengarkan dosen, dan
menyelesaikan soal-soal latihan yang membosankan, dengan dalih mengikuti ujian yang
bisa mengukur pemahaman mahasiswa, mereka hanya mengikuti ujian yang mengukur
kemampuan menghafalkan materi atau fakta-fakta. Kalau otak hanya belajar, mengutip,
dan berlatih, sistem kebut semalam (SKS) sebelum ujian, maka dalam waktu 14 hingga 18
jam, otak akan lupa sebagian besar informasi tersebut, terkecuali kalau informasi itu
mengandung makna.
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
P a g e [ 527 ]
Dengan adanya penambahan materi tentang membuat angket, cara mengolah data
angket dan memasukkannya ke dalam excel dengan metode simulasi, maka diharapkan
mahasiswa benar-benar paham tentang analisis data primer. Sehingga akan membantu
mahasiswa dalam mengerjakan skripsi dan mainset mereka yang semula berfikiran
tentang skripsi itu susah maka dengan sendirinya akan berubah menjadi skripsi itu
menyenangkan dan mudah tentunya.
PEMBAHASAN
Untuk melakukan peningkatan mutu proses pembelajaran pada mata kuliah
statistika, maka indikator peningkatan mutu proses pembelajaran statistika yaitu
mahasiswa mampu menyusun instrumen pada satu maupun dua variabel bebas serta
menguji validitas dan reliabilitas Instrumen yang digunakan untuk mengambil data
primer haruslah tercapai. Sehingga yang harus dilakukan pertama kali adalah menambah
kompetensi dasar pada silabus mata kuliah statistika. Titik penambahan kompetensi
dasar terdapat pada sebelum kompetensi dasar persamaan regresi linear yang
ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 1. Bagian Silabus Mata Kuliah Statistika
No Kompetensi DasarMateri Pokok danSub Materi Pokok
PengalamanBelajar
IndikatorPencapaian
5. 5.1 MenyusunpersamaanRegresi LinearSatu Prediktor
5.2 MenyusunpersamaanRegresi LinearDua Prediktor
5.3 MenyusunpersamaanRegresi LinearTiga Prediktor
5. Teknik RegresiLinear
5.1 Regresi LinearSatu Prediktor
5.2 Regresi LinearDua Prediktor
5.3 Regresi LinearTiga Prediktor
Mendiskusikan :1. Regresi Linear
Satu Prediktor2. Regresi Linear
Dua Prediktor3. Regresi Linear
Tiga Prediktor
Dapat menyusunpersamaan :1. Regresi Linear
satu Prediktor2. Regresi Linear
dua Prediktor3. Regresi Linear
Tiga Prediktor
Pada silabus di atas diketahui bahwa sebelum melakukan analisis regresi, tidak
terdapat cara menyusun instrumen. Hal ini terjadi karena pada silabus ini terfokus pada
analisis data sekunder. Sehingga yang terjadi adalah mahasiswa langsung diajarkan
menganalisis regresi linear.
Setelah ditelaah dari fenomena yang terjadi yaitu mahasiswa hanya memahami
cara pengolahan data sekunder dan belum memahami pengolahan data primer maka
perlu diberikan penambahan kompetensi dasar tentang penyusunan instrumen.
Penyusunan instrumen yang diajarkan mulanya satu variabel dan dilanjutkan dengan dua
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 528 ] P a g e
variabel dan diakhiri dengan uji validitas dan reliabilitas instrumen seperti yang
dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 2. Penambahan Kompetensi Dasar
No Kompetensi DasarMateri Pokok danSub Materi Pokok
PengalamanBelajar
IndikatorPencapaian
4. 4.1 MenyusunInstrumen padasatu variabelbebas, subvariabel danindikatornya
4.2 MenyusunInstrumen padadua variabelbebas, subvariabel danindikatornya
4.3 Menguji Validitasdan ReliabilitasInstrumen
4. Instrumenpenelitian
4.1 InstrumenPenelitian satuvariabel bebas
4.2 InstrumenPenelitian duavariabel bebas
4.3 Uji Validitas danReliabilitas
Mendiskusikan :1. Instrumen
Penelitian satuvariabel bebas
2 InstrumenPenelitian duavariabel bebas
3 Uji Validitas danReliabilitas
Dapat :1. Menyusun
instrumen padasatu variabelbebas, subvariabel danindikatornya
2. MenyusunInstrumen padadua variabelbebas, subvariabel danindikatornya
3. Menguji Validitasdan ReliabilitasInstrumen yangdigunakan untukmendapatkandata primer
Dari perbaikan isi silabus di atas yaitu penambahan kompetensi dasar tentang
penyusunan instrumen penelitian, maka terdapat urutan kegiatan yang jelas mulai
persiapan pembuatan instrumen hingga analisis hasil data. Jika sudah terdapat
penambahan tersebut maka metode simulasi sudah siap dilakukan pada proses
pembelajaran.
Pada pertemuan pertama, mahasiswa bisa diberikan beberapa teori mengenai
variabel penelitian. Karena masih awal dan menyesuaikan dengan urutan kompetensi
dasar, maka mahasiswa diberi contoh satu variabel. Variabel yang dibahas di dalam
perkuliahan merupakan variabel yang berhubungan dengan penelitian pendidikan.
Contoh variabel sederhana yang diberikan dalam bidang pendidikan yaitu
motivasi sebagai variabel bebas, dan hasil belajar sebagai variabel terikat. Misalkan pada
variabel motivasi terdapat sub variabel yaitu Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik.
Dari kedua sub variabel tersebut terdapat indikatornya masing-masing. Dari setiap
indikator tersebut dibuatlah instrumen pertanyaan atau pernyataan yang biasa disebut
dengan angket.
Angket yang telah dibuat dapat diisi sesuai dengan skala likert 5 pilihan jawaban
yang terdiri dari Sangat Setuju (5), setuju (4), Cukup Setuju (3), Tidak Setuju (2), dan
Sangat tidak Setuju (1). Sedangkan apabila skala likert terdiri atas 4 pilihan jawaban
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
P a g e [ 529 ]
maka pilihan ketiga yaitu cukup setuju dihilangkan yaitu menjadi Sangat Setuju (4),
setuju (3), Tidak Setuju (2), dan Sangat tidak Setuju (1).
Tetapi adakalanya angket merupakan suatu pertanyaan atau pernyataan bersifat
negatif. Jika sifatnya negatif maka harus menyesuaikan nilai skala likertnya yaitu untuk 5
pilihan jawaban maka akan didapati nilai Sangat Setuju (1), setuju (2), Cukup Setuju (3),
Tidak Setuju (4), dan Sangat tidak Setuju (5). Sedangkan apabila skala likert terdiri atas 4
pilihan jawaban maka pilihan ketiga yaitu cukup setuju dihilangkan yaitu menjadi Sangat
Setuju (1), setuju (2), Tidak Setuju (3), dan Sangat tidak Setuju (4).
Setelah angket tersusun dari indikator yang ada pada setiap sub variabel, maka
angket dapat diujicobakan kepada teman sejawat. Teman sejawat dalam hal ini adalah
teman mahasiswa yang ada dalam satu kelas. Setelah didapatkan angket yang telah terisi
maka langkah selanjutnya adalah merekapitulasi hasil isian angket ke dalam excel.
Setelah mengetahui bagaimana karakteristik yang ada pada variabel dan
merekapitulasi data angket ke dalam angket, maka langkah berikutnya dapat dilakukan
pada pertemuan berikutnya. Namun perlu diketahui, pada akhir pertemuan pertama
mahasiswa terlebih dahulu diberikan tugas untuk mencari satu variabel yang akan dibuat
simulasi. Variabel tersebut harus berhubungan dengan penelitian pendidikan dan
tentunya masing-masing mahasiswa diwajibkan membawa laptop yang telah terinstal
software untuk menganalisis data. Dalam hal ini software yang digunakan adalah SPSS,
karena software ini terdapat fasilitas untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen.
Jika dirasa perlu diadakan tutorial untuk instalasi maka bisa dilakukan instalasi software
secara bersama-sama di kelas.
Pada pertemuan berikutnya mahasiswa telah siap dengan variabel dan indikator
yang menjadi tugas mereka pada pertemuan sebelumnya. Langkah pertama yaitu
melakukan instalasi software secara bersama-sama dengan dipandu oleh dosen yang
mana laptopnya telah terhubung dengan LCD sehingga mahasiswa bisa dengan mudah
mengikuti langkah-langkah instalasi.
Setelah software telah terinstal, langkah berikutnya yaitu menugaskan mahasiswa
untuk merencanakan berapa jumlah item pertanyaan atau pernyataan yang akan mereka
buat pada setiap indikatornya, entah itu bersifat positif maupun negatif. Jika sudah
terdapat jumlah item pertanyaan atau pernyataan yang direncanakan, barulah
mahasiswa diminta untuk membuat angketnya berdasarkan jumlah yang telah mereka
rencanakan.
Perlu diketahui dalam setiap indikator minimal terdapat satu item pertanyaan
atau pernyataan, namun mahasiswa disarankan untuk membuat lebih dari satu angket
pada masing-masing indikator agar bisa mencakup indikator yang lebih detail atau
terperinci. Untuk menghemat kertas (Paperless) maka mahasiswa dalam membuat
angket disarankan langsung membuatnya ke dalam bentuk soft file.
Selain jumlah item yang dibuat, kalimat dalam angket juga perlu dikonsultasikan
kepada dosen. Jika angket bersifat negatif, maka tidak boleh mengandung kata-kata
seperti tidak, agak, atau kata-kata penguat lainnya karena hal ini bisa membuat
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 530 ] P a g e
responden bingung. Sehingga peran dosen di sini adalah mengecek angket setiap
mahasiswa agar angket yang mereka buat bisa mudah dipahami oleh responden.
Dalam membuat angket yang bersifat negatif, hendaknya menggunakan lawan
kata sifat dari kalimat positif. Sebagai contoh “saya adalah mahasiswa yang rajin dalam
mencatat” yang merupakan kalimat positif, jika mahasiswa ingin membuat angket
tersebut ke dalam kalimat negatif maka kalimat tersebut tidak boleh berbunyi “Saya
adalah mahasiswa yang tidak rajin dalam mencatat” melainkan “Saya adalah mahasiswa
yang malas dalam mencatat”. Kata rajin yang bersifat positif jika mau diganti dengan
kalimat negatif tidak boleh diberi kata keterangan, penguat, maupun penjelasan seperti
tidak, sangat, agak dan lain sebagainya, tetapi harus menggunakan lawan kata dari rajin
itu sendiri yaitu malas. Dengan demikian tidak terjadi kerancuan antara angket dengan
pilihan jawaban yang telah disediakan.
Dosen mengecek satu per satu angket yang telah dibuat oleh mahasiswa sampai
benar-benar mendekati sempurna. Jika waktu memungkinkan, mahasiswa diminta untuk
membuat format tabulasi data hasil angket, namun jika membutuhkan waktu yang lebih
panjang maka dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya.
Pada pertemuan berikutnya, mahasiswa telah memiliki variabel, indikator
maupun angket. Langkah selanjutnya yaitu membuat tabulasi data angket dengan
software excel. Tentunya mahasiswa harus memperhatikan apakah variabel yang mereka
gunakan mengandung sub variabel, sub indikator atau tidak. Jika variabel langsung
diturunkan ke dalam indikator maka formatnya dicontohkan sebagai berikut
Tabel 3. Simulasi Tabulasi data Angket
Item 1 Item 2 ∑ Ind1 Item 3 Item 4 ∑ Ind2 Item 5 Item 6 ∑ Ind3 Item 7 Item 8 ∑ Ind4
1 4 3 7 2 5 7 3 4 7 4 3 7 28
2 3 3 6 2 3 5 4 4 8 1 2 3 22
3 4 2 6 3 5 8 5 5 10 5 4 9 33
n 5 1 6 4 5 9 5 5 10 5 4 9 34
No.resp
Variabel X
∑ Var XIndikator 3 Indikator 4Indikator 1 Indikator 2
Tabel di atas merupakan simulasi bagi mahasiswa yang ketepatan variabelnya tidak
memiliki sub variabel. Dari variabel langsung diturunkan menjadi beberapa indikator.
Dari masing-masing indikator dijabarkan menjadi 2 item. Dalam hal ini dosen harus
mengklarifikasi bahwa dalam setiap indikator tidak harus dijabarkan menjadi 2 item,
melainkan boleh bervariasi, bisa menjadi 3 ataupun lebih item. Sedangkan apabila
variabel yang digunakan mahasiswa terdapat sub variabelnya, misalnya variabel motivasi
belajar yang terdiri dari motivasi belajar intrinsik dan ekstrinsik, maka format tabelnya
adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Tabulasi data Angket Variabel Motivasi Belajar
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
P a g e [ 531 ]
Item 1 Item 2 ∑ Ind1 Item 3 Item 4 ∑ Ind2 Item 5 Item 6 ∑ Ind1 Item 7 Item 8 ∑ Ind2
1 4 3 7 2 5 7 14 3 4 7 4 3 7 14 28
2 3 3 6 2 3 5 11 4 4 8 1 2 3 11 22
3 4 2 6 3 5 8 14 5 5 10 5 4 9 19 33
n 5 1 6 4 5 9 15 5 5 10 5 4 9 19 34
Indikator 1No.resp Indikator 2
Sub Variabel (Motivasi Intrinsik)
∑ sub
Var 1∑ sub
Var 2
Sub Variabel (Motivasi Ekstrinsik)
∑ Var XIndikator 1 Indikator 2
Tabel di atas merupakan contoh simulasi input data hasil angket yang telah diisi
oleh responden. Tentunya pada setiap variabel berbeda-beda komponennya baik dari sisi
sub variabel, indikator, maupun jumlah item pertanyaan atau pernyataan pada setiap
indikator. Yang jelas pada satu indikator minimal dapat dijadikan satu item pertanyaan
atau pernyataan baik itu berupa kalimat positif maupun negatif seperti halnya yang telah
dibahas sebelumnya.
Baik pada tabel 3 maupun pada bab 4 terdapat jumlah hasil data angket pada
setiap sub variabel, indikator. Walaupun sebenarnya ketika melakukan uji regresi yang
dipakai hanyalah jumlah keseluruhan total jawaban pada setiap angket, tetapi jumlah
jawaban pada setiap indikator dan setiap sub indikator juga harus dilakukan. Hal ini
bertujuan untuk membantu mahasiswa agar lebih mudah dalam melakukan pembahasan
pada penelitian atau skripsi mereka.
Jika yang dianalisis mahasiswa hanyalah jumlah total per variabel, maka
mahasiswa akan kesulitan dalam melakukan pembahasan atau menginterpretasikan data
pada setiap sub variabel maupun pada setiap indikator. Hal ini juga dapat membantu
mahasiswa agar mereka tidak kehabisan kata-kata ketika mereka menyusun
pembahasan. Jika pembahasan data yang dilakukan secara jumlah total variabel maka
pembahasan tersebut hanyalah secara umum. Sedangkan jika mereka membahas
interpretasi data pada setiap sub variabel maupun pada setiap indikator maka
mahasiswa dapat melakukan pembahasan lebih khusus dan lebih terperinci, sehingga
mereka menjadi kaya akan kata-kata pada pembahasan di penelitian mereka.
Pada pertemuan berikutnya, tepatnya yaitu pada kompetensi dasar berikutnya
tentang menyusun instrumen dengan dua variabel bebas. Pada kompetensi dasar ini
langkahnya hampir sama dengan pertemuan sebelumnya, hanya saja mahasiswa perlu
membuat tabulasi hasil data angket pada variabel bebas pertama pada excel diletakkan
ke dalam sheet 1, sedangkan variabel bebas berikutnya diletakkan pada sheet 2 seperti
pada Gambar 1. Pada gambar 1 dapat diketahui bahwa tabulasi tersebut terdapat 2
variabel. Jika ingin menambahkan variabel lagi misal menjadi 3 atau lebih variabel maka
cukup menambahkannya ke dalam sheet baru.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 532 ] P a g e
Gambar 1. Contoh Tabulasi 2 Variabel Bebas
Setelah semua tabulasi telah terbuat, maka pada pertemuan selanjutnya adalah
menguji validitas dan reliabilitas. Namun, sebelum menguji validitas dan reliabilitas,
maka mahasiswa diminta untuk melakukan sedikit perubahan pada kolomnya seperti
pada tabel berikut:
Tabel 5. Tabulasi Data untuk Uji Validitas & Reliabilitas
Sub Variabel (Motivasi Intrinsik) Sub Variabel (Motivasi Ekstrinsik)
Indikator 1 Indikator 2 Indikator 1 Indikator 2
∑ sub
Var 2
Item 1 Item 2 Item 3 Item 4 Item 5 Item 6 Item 7 Item 8 Item 9 Item 10
1 4 3 2 5 3 4 4 3 2 5 35
2 3 3 2 3 4 4 1 2 2 3 27
3 4 2 3 5 5 5 5 4 3 5 41
n 5 1 4 5 5 5 5 4 4 5 43
No.resp
∑
Perubahan yang harus dilakukan mahasiswa adalah menghilangkan kolom jumlah
pada setiap sub variabel maupun jumlah pada setiap indikator dan tinggal jumlah secara
keseluruhan seperti pada tabel 5 di atas. Setelah itu mahasiswa diminta mengisi hasil
angket secara acak, dimisalkan hasil angket tersebut adalah jawaban responden yang
direkapitulasi dan dimasukkan ke dalam tabel. Namun jumlah responden diusahakan
lebih dari 30 responden agar seolah-olah mahasiswa telah mengambil data responden
dari satu kelas di suatu sekolah, dengan catatan responden untuk uji coba angket
bukanlah sampel dalam penelitian melainkan responden lain yang setipikal dengan
sampel seperti siswa kelas yang sederajat tetapi lokasi sekolahnya berbeda.
Langkah berikutnya yaitu dosen menyimulasikan uji validitas dengan laptop yang
telah terhubung dengan LCD dan tentunya mahasiswa mengikuti langkah-langkah
pengujian validitas yang dilakukan oleh dosen. Contoh output uji validitas dengan SPSS
dapat dilihat pada Tabel 6.
Dari output tersebut, mahasiswa diminta untuk menganalisisnya. Untuk
mengetahui apakah angket itu valid atau tidak bisa dilihat melalui nilai signifikansinya
seperti yang ditandai warna oranye. Jika nilai signifikasnsi lebih kecil daripada alpha
(0,05) maka angket dinyatakan valid, dan sebaliknya jika nilai signifikansi lebih besar
dari alpha (0,05) maka angket tersebut tidak valid (Priyatno, 2010).
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
P a g e [ 533 ]
Tabel 6. Contoh Output Uji Validitas
ITEM1 ITEM2 ITEM 3 ITEM4 ITEM5 ITEM6 ITEM7
ITEM1 PearsonCorrelation
0.395 0.311 -0.221 0.864 0.254 0.292 -0.416
Sig. (2-tailed) 0.046 0.123 0.278 0.000 0.211 0.148 0.035
N 26 26 26 26 26 26 26
ITEM2 PearsonCorrelation
0.424 0.307 -0.312 0.619 -0.078 0.125 -0.384
Sig. (2-tailed) 0.031 0.127 0.121 0.001 0.705 0.543 0.053
N 26 26 26 26 26 26 26
ITEM3 PearsonCorrelation
0.521 0.381 -0.285 0.964 0.183 0.267 -0.406
Sig. (2-tailed) 0.006 0.055 0.158 0.000 0.371 0.188 0.039
N 26 26 26 26 26 26 26
JUMLAH
PearsonCorrelation
0.688 0.650 -0.542 0.711 0.139 0.578 -0.438
Sig. (2-tailed) 0.000 0.000 0.004 0.000 0.498 0.002 0.025
N 26 26 26 26 26 26 26
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Dari tabel 6 dapat dianalisis bahwa angket nomor 1, 2, 3, 4, 6, 7 adalah valid
karena nilai signifikansinya lebih besar dari alpha. Sedangkan angket nomor 5 tidak valid
karena nilai signifikansiya lebih besar dari alpha yaitu sebesar 0,498. Sehingga, angket
nomor 5 tidak dapat digunakan untuk mengambil data penelitian dan angket nomor 5
harus dihapus dari daftar angket.
Setelah menguji validitas, selanjutnya yaitu mahasiswa menyimulasikan uji
reliabilitas. Suatu instrumen dikatakan reliabel apabila nilai Cronbach alpha atau
Reliability Coefficientsnya lebih besar dari sama dengan 0,7. Sedangkan jika nilai
Reliability Coefficientsnya 0,6 maka instrumen dikatakan kurang baik (Priyatno, 2010).
Contoh output uji reliabilitas dengan SPSS adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Contoh Output Uji Reliabilitas
Dari gambar di atas diketahui bahwa nilai Reliability Coefficientsnya sebesar
0,8590 yang lebih besar daripada 0,7 sehingga angket dikatakan reliabel dan layak
digunakan untuk mengambil data penelitian. Setelah dilakukannya uji validitas dan
reliabilitas maka instrumen dapat digunakan untuk mengambil data penelitian pada
responden yang sebenarnya yaitu sampel penelitian.
Langkah yang terakhir adalah mengakumulasi data angket dari variabel bebas
dengan variabel terikat. Pada simulasi ini mahasiswa mula-mula hanya diminta untuk
menggunakan variabel bebas sebagai bahan simulasi menyusun instrumen, sehingga
mahasiswa perlu menambahkan variabel terikat. Untuk memudahkan proses simulasi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 534 ] P a g e
maka variabel terikat yang digunakan untuk simulasi adalah hasil belajar siswa yang juga
dimasukkan ke dalam excel seperti pada gambar berikut:
Gambar 2. Contoh Penambahan variabel hasil belajar
Pada tahap ini mahasiswa diminta menyimulasikan untuk memasukkan nilai hasil
belajar siswa ke dalam excel sebagai variabel terikat. Nilai hasil belajar berskala 0-100
dimisalkan mahasiswa agar mendekati situasi nyata. Setelah itu langkah yang terakhir adalah
mengakumulasikan masing-masing skor pada setiap variabel seperti pada gambar berikut:
Gambar 3. Contoh Akumulasi Data pada Semua Variabel
Dengan demikian terkumpullah semua data baik data dari variabel bebas maupun yang
terikat. Setelah terkumpul barulah mahasiswa diajarkan tentang analisis regresi yang ada pada
Kompetensi Dasar berikutnya seperti yang ada pada silabus sebelum diberikan penambahan
kompetensi dasar tentang menyusun instrumen.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa hasil pemikiran ini sesuai dengan teori
dari Johnson (2006) yang mengatakan bahwa otak mahasiswa tidak akan lupa tentang
informasi yang mereka dapatkan setelah 14 hingga 18 jam. Hal ini dikarenakan mereka
menerima informasi dengan penuh makna yaitu mereka melakukan simulasi.
Selain itu, hasil penelitian Klassen dan Willoughby (2003) juga mengatakan
demikian, mereka menunjukkan bahwa simulasi game telah merupakan pelajaran yang
baik. Mahasiswa mengalami suatu keputusan imitasi yang mereka lakukan sendiri,
Upaya Meningkatkan Mutu… (Kirwani, Albrian Fiky Prakoso & Riza Yonisa Kurniawan)
P a g e [ 535 ]
kemudian mahasiswa juga mengalami semua keputusan itu sendiri dan mahasiswa juga
harus membuat suatu keputusan yaitu menyusun instrumen dan mengolah datanya ke
dalam excel sebagai follow up dari hasil tersebut. Dengan mengalami keputusan yang
mereka buat, maka keputusan itu menjadikan situasi yang seolah-olah nyata mereka
alami.
Pendapat juga ini dipertegas oleh Salemi (2005) dalam penelitiannya yang
berbunyi “kami mengubah instruktur dosen dan mahasiswa yang pada awalnya
menghafal menjadi menerapkan ilmu ekonomi untuk memecahkan berbagai masalah
yang berarti dan dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus. Dengan menghafal
saja maka mahasiswa pasti akan cepat lupa, sedangkan dengan mengaplikasikan ilmu
ekonomi untuk memecahkan permasalahan akan menjadikan mahasiswa “melek
ekonomi”. Dengan menjadikan mereka “melek ekonomi, maka mahasiswa akan mencapai
tingkat pemahaman yang abadi dan selanjutnya membuat hasil belajar mereka menjadi
meningkat. Hal ini sesuai dengan simulasi yang telah dilakukan yaitu bukannya
menghafal, tetapi mahasiswa mengaplikasikan teori tentang penyusunan instrumen dan
juga uji validitas serta reliabilitas instrumen penelitian yang akan dijadikan sebagai bekal
mahasiswa dalam mengerjakan skripsi.
Demikian juga pada teori John Dewey (dalam Prakoso, 2013) yang mengatakan
bahwa mahasiswa pasti akan belajar dengan baik jika semua yang mereka pelajari
berhubungan dengan apa yang telah diketahui dan dengan suatu kegiatan atau peristiwa
yang akan terjadi di sekelilingnya. Kejadian maupun peristiwa yang akan mereka alami
adalah ketika mereka mengerjakan skripsi. Mereka akan teringat kembali tentang
simulasi yang telah mereka lakukan ketika mereka memprogram mata kuliah statistika.
Selain itu, pemikiran ini juga didukung oleh beberapa hasil penelitian lainnya
seperti penelitian dari Wisnungkoro (2014), Parnayathi (2013), Wati (2011), dan
Wahyuningsih (2012) yang mengatakan bahwa dengan diterapkannya simulasi kepada
peserta didik atau dalam hal pemikiran ini adalah mahasiswa, maka hasil belajar maupun
pemahaman konsep mereka meningkat. Interpretasi temuan dari hasil pemikiran ini
adalah mahasiswa menjadi lebih antusias dalam menerima materi statistika jika mereka
melakukan simulasi secara individu. Simulasi ini sangat bermanfaat bagi mereka ketika
mereka mengerjakan skripsi, sehingga dapat dikatakan ketika mahasiswa mengikuti
mata kuliah ini mereka akan lupa dengan nilai mata kuliah yang mereka targetkan seperti
halnya pada mata kuliah lainnya. Mereka lupa mindset mereka tentang apakah nantinya
nilai mereka A atau, B maupun C, tetapi yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya
supaya saya benar-benar bisa menyusun instrumen, mengolah dan menganalisisnya agar
saya tidak kesulitan dalam mengerjakan skripsi saya kelak.
SIMPULAN
Simpulan yang dapat diberikan dari hasil pemikiran ini adalah perlu
ditambahkannya Kompetensi dasar tentang penyusunan instrumen dan
menyimulasikannya hingga interpretasi data regresi dengan Software. Dengan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 536 ] P a g e
ditambahkannya kompetensi dasar tersebut maka indikator peningkatan mutu proses
pembelajaran statistika yaitu mahasiswa mampu menyusun instrumen pada satu
maupun dua variabel bebas serta menguji validitas dan reliabilitas Instrumen yang
digunakan untuk mengambil data primer akan tercapai. Sedangkan keterbatasan hasil
pemikiran ini adalah memerlukan waktu yang sangat panjang ketika melakukan simulasi
dan perubahan silabus harus dilakukan secara matang agar tidak terjadi tumpang tindih
antar materi. Saran yang dapat diberikan yaitu hendaknya hasil pemikiran ini dijadikan
sebagai sebuah penelitian dan mencoba diterapkan simulasi dengan Software pada
semua kompetensi dasar yang ada pada mata kuliah statistika.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. (2005). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia
Hasibuan, J.J. (2010). Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Johnson, Elaine B. (2006). Contextual Teaching Learning. Bandung : MLC
Klassen, Kenneth J. and Keith A. Willoughby. (2003). In-Class Simulation Game :Assessing Student Learning. Journal of Information Technology Education, 2(1),13-59
Parnayathi, I Gusti Agung Sri. (2013). Papan Flanel Simulasi Rangkaian Listrik sebagaiMedia untuk Meningkatkan Kinerja Ilmiah dan Pemahaman Konsep Siswa. JurnalIlmiah Disdikpora Kabupaten Klungkung, 1 (1), 1-17
Prakoso, Albrian Fiky. (2013). Penerapan Model CTL dengan Metode Problem Solvingdalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMK. Jurnal Pendidikan Ekonomi, 6 (1),27-47
Priyatno, Duwi. (2010). Paham Analisa Statistik Data dengan SPSS. Jakarta: Media Kom
Rusman. (2011). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.Jakarta: Rajawaali Pers
Salemi, Michael K. (2005). Teaching Economic Literacy : Why, What and How.International Review of Economics Education, 4(2), 46-57
Wahyuningsih, Maria Estri. (2012). Peningkatan Kemampuan Menulis SuratKesekretariatan dalam Bahasa Indonesia melalui Teknik Simulasi. JurnalAdministrasi dan Kesekretarisan, 4(2), 101-120
Wati, Anastasia Widya. (2011). Penerapan Algoritma Genetika dalam Optimasi Model danSimulasi. Jurnal TI, 1(2), 161-167
Wisnungkoro, Dimas. (2014). Pengaruh Metode Simulasi terhadap Hasil Belajar DribbleSepakbola Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3. Jurnal Pendidikan Olahragadan Kesehatan. 2(3), 667-670
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
P a g e [ 537 ]
IMPLIKASI KURIKULUM PENDIDIKAN EKONOMI
PADA PEMBELAJARAN JARAK JAUH DALAM MENYAMBUT
ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Suripto & Rhini FatmasariFakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka Jakarta
AbstrakPerubahan yang terjadi secara global secara tidak langsung mempengaruhisektor pendidikan berkaitan dengan output yang dihasilkan berupa SumberDaya Manusia (SDM). Tuntutan dan persaingan kerja membutuhkan SDM handaldan kompeten. Berlakunya Era Masyarakat Ekonomi ASEAN perlu dicermatisecara baik, karena berimplikasi pada peningkatan mutu SDM Nasional. SebagaiLembaga Pendidikan Jarak Jauh yang menghasilkan lulusan guru-guru di seluruhIndonesia, peningkatan kualitas lulusan Program Studi Pendidikan Ekonomi PIPSUniversitas Terbuka patut menjadi perhatian dan kajian yang sangat khusus.Agar proses peningkatan kualitas lulusan yang dapat bersaing di Era MasyarakatEkonomi ASEAN diperlukan satu potret secara umum bagaimana kualitas dankompetensi lulusan di lapangan. Dari hasil survey yang dilakukan ditemukanbahwa para lulusan Program Studi Pendidikan Ekonomi telah merasakanpeningkatan kompetensi yang sangat baik serta dapat diterapkan di tempatmereka bekerja. Namun pandangan jauh ke depan sangat diperlukan agarkompetensi lulusan sanggup bersaing sesuai dengan kualifikasinya.
Kata kunci: Kurikulum, pembelajaran jarak jauh, MEA
PENDAHULUAN
Komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) rencananya diimplementasikan
pada akhir tahun 2015. Ketika MEA berjalan, maka pada saat itu arus barang dan jasa di
antara negara-negara ASEAN akan bebas dapat melintasi batas – batas Negara secara
fisik dan administrasi, tanpa hambatan. Pelaksanaan MEA menghilangkan hambatan
aliran barang, investasi dan jasa di antara negara ASEAN. Tujuan utamanya adalah untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang ada di negara ASEAN. Akan tetapi jika
Negara-negara ASEAN khususnya Indonesia tidak siap maka ditengarai akan membawa
dampak yang merugikan.
Kompetisi SDM antarnegara ASEAN merupakan hal yang pasti terjadi sehingga
bila pekerja Indonesia tidak siap menghadapi persaingan terbuka ini, MEA akan menjadi
satu rintangan besar bagi SDM Indonesia karena akan kalah bersaing dengan negara
ASEAN lainnya. Selain itu penguasaan teknologi juga merupakan satu keharusan karena
perkembangannya yang sangat cepat. Sehingga diperlukan pula pelatihan dan pendidikan
yang menggunakan aplikasi teknologi dalam proses pembelajarannya. Kunci utama
dalam menghadapi MEA adalah peningkatan kompetensi sumberdaya manusia agar
dapat memanfaatkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, dengan
upaya peningkatan daya saing SDM nasional. Sehingga salah satu “pekerjaan rumah”
Indonesia adalah meningkatkan kompetensi SDM.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 538 ] P a g e
Kompetensi yang tinggi dalam profesi yang ditekuni merupakan satu syarat tak
terbantahkan dalam dunia kerja. Tuntutan pekerjaan yang lebih besar serta daya saing
dengan Sumber Daya Manusia (SDM) lainnya menyebabkan kompetensi menjadi senjata
agar tetap eksis. Keterbukaan informasi dan era pelayanan prima menjadikan
stakeholders memilih SDM dengan kompetensi tinggi untuk menjalankan satu profesi.
Kompetensi yang tinggi akhirnya akan bermuara pada mutu dan kualitas. Hal ini
merupakan salah satu jalan keluar bagi para stakeholders agar target dan tuntutan
konsumen terpenuhi. Secara ideal kompetensi mengacu kepada sikap dan komitmen
anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.
Pada dunia kerja, profesi guru merupakan satu pekerjaan profesional dalam
bidang pendidikan dan pengajaran. Namun, hingga kini “pekerjaan untuk melakukan
pendidikan dan pengajaran” ini masih sering dianggap dapat dilakukan oleh siapa saja.
Inilah tantangan bagi profesi guru. Paling tidak hal ini masih sering terjadi di lapangan
(Karsidi, 2005). Agar dapat disebut sebagai jabatan profesional, guru seyogyanya harus
didukung oleh kompetensi standar. Kompetensi tersebut berupa pemilikan kemampuan
atau keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian
haruslah dipandang perlu sebagai prasyarat untuk menjadi guru profesional. Surya
(2003) menyatakan bahwa guru yang profesional harus menguasai keahlian dalam
kemampuan materi keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa
tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
bangsa dan negara, lembaga dan organisasi profesi. Selain itu, guru juga harus
mengembangkan rasa kesejawatan yang tinggi dengan sesama guru.
Profesionalisme tentu saja tidak akan tercipta dengan sendirinya, diperlukan
sejumlah pendidikan dan pelatihan sehingga melahirkan sikap tersebut. Lembaga
Pendidikan selama ini dipandang mampu melahirkan sikap profesionalisme. Namun
terkadang materi-materi dan kompetensi yang diberikan selama menjalani pendidikan
belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Atau sering terjadi lulusan dari satu
lembaga pendidikan belum dianggap cakap dan profesional ketika dihadapkan pada
realitas di lapangan kerja.
Universitas Terbuka (UT) sebagai salah satu Lembaga Pendidikan jarak jauh
mengemban amanat melahirkan SDM yang kompeten dan profesional. Melalui layanan
pendidikan UT telah lahir lulusan yang berprofesi di segala bidang. Program Studi
Pendidikan Ekonomi (PEKO) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UT secara
khusus mendidik dan mencetak guru-guru di seluruh tanah air. Adanya KKNI
memberikan satu tantangan bagi Program Studi PEKO untuk mengkaji kembali struktur
kurikulum serta layanan belajar yang diberikan kepada mahasiswa. Kajian ini didasarkan
pada realita di lapangan mengenai kompetensi yang telah diterima oleh para mahasiswa
dan kebergunaan kompetensi tersebut di tempat mereka bekerja.
Tulisan ini akan membahas sekilas mengenai proses pembelajaran dan layanan
yang diberikan oleh UT. Selanjutnya akan dianalisis pendapat mahasiswa UT khususnya
Program Studi PEKO mengenai layanan belajar dan kompetensi yang mereka peroleh
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
P a g e [ 539 ]
selama menjalani pendidikan serta bagaimana penerapan kompetensi tersebut di dunia
kerja.
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (AEC=ASEAN ECONOMIC COMMUNITY)
Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC=ASEAN Economic Community)
bertujuan agar terjadi integrasi ekonomi regional di Negara-negara ASEAN. MEA
memiliki karakteristik: (a) pasar dan basis produksi tunggal, (b) wilayah ekonomi yang
sangat kompetitif, (c) wilayah pembangunan ekonomi yang adil, dan (d) kawasan yang
terintegrasi ke dalam ekonomi global. MEA bekerjasama dalam pengembangan dan
peningkatan kapasitas sumber daya manusia; pengakuan kualifikasi profesional;
konsultasi lebih dekat terhadap kebijakan makro ekonomi dan keuangan; langkah-
langkah pembiayaan perdagangan; peningkatan infrastruktur dan konektivitas
komunikasi; pengembangan transaksi elektronik melalui e-ASEAN; mengintegrasikan
industri di seluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daerah; dan meningkatkan
keterlibatan sektor swasta untuk membangun AEC.
Dalam hal MEA mengembangkan pasar dan basis produksi tunggal, terdapat lima
elemen inti: (a) arus bebas barang; (b) arus bebas jasa; (c) arus bebas investasi; (d) arus
modal yang lebih bebas; dan (d) arus bebas tenaga kerja terampil. Salah satu isu yang
mengemuka terkait dengan implementasi MEA adalah kesiapan sumber daya manusia
(SDM). SDM ini tidak hanya mereka yang bekerja di pemerintahan melainkan juga yang
bergelut di dunia usaha, khususnya yang bekerja di sektor usaha kecil menengah (UKM)
dan informal. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa tetapi juga
pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya.
Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi para
pencari kerja karena tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan keahlian yang
beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi ke luar negeri dalam rangka mencari
pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan usaha peningkatan kualitas SDM bisa ditempuh
dengan upaya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi untuk
menetapkan standar kompetensi profesionalisme di masing-masing sektor.
Indonesia sudah cukup menyiapkan diri sejak awal akan diberlakukannya MEA,
terutama beberapa kebijakan pengembangan SDM berbasis Kompetensi, sistem
pendidikan berbasis kompetensi (UU20/2004 tentang SISDIKNAS), sistem pelatihan
berbasis kompetensi dan sertifikasi berbasis kompetensi (UU 13/2003 tentang
ketenagakerjaan, dan PP 31/2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional), serta
kebijakan pengembangan SDM berbasis kompetensi secara sektoral. Dalam sertifikasi
melalui Undang-undang 13/2003 tentang ketenagakerjaan dan PP 23/2004 tentang
Badan Nasional Sertifikasi Profesi, telah menyiapkan secara sistem, struktur,
kelembagaan dan pedoman sertifikasi kompetensi. Bagi SDM Indonesia yang kompeten,
MEA membuka peluang peningkatan daya saing tenaga kerja Indonesia dalam pasar
tenaga kerja global, meningkatkan harmonisasi sistem pendidikan, pelatihan dengan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 540 ] P a g e
sistem internasional, serta meningkatkan rekognisi tenaga kerja bersertifikat kompetensi
Indonesia di pasar kerja internasional.
Pada pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala dalam pengembangan
SDM, yakni terbatasnya SKKNI dan paket kualifikasinya, terbatasnya lembaga pendidikan
dan pelatihan yang menerapkan sistem pembelajarannya yang berbasis kompetensi.
Sehingga agar tercapai target kesiapan Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
maka diperlukan langkah-langkah strategis terpadu dari hilir hingga hulu pada proses
pengembangan SDM.
PENGALAMAN DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI UNIVERSITAS TERBUKA
Universitas Terbuka merupakan satu Perguruan Tinggi yang menerapkan model
Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Pendidikan Jarak Jauh ditandai dengan karakteristik sebagai
berikut. Pertama, jauhnya jarak antara peserta didik dengan pengajar dan pengelola
pendidikan. Kedua karena jauhnya jarak tersebut, sistem ini mengandalkan pemanfaatan
berbagai media cetak maupun non-cetak. Ketiga, peserta didik belajar secara mandiri dan
dapat memanfaatkan berbagai bantuan belajar. Keempat, peserta didik belajar di mana
saja, kapan saja dan dapat memilih program pendidikan menurut kebutuhannya. Kelima,
PJJ menawarkan program pendidikan dengan standar kualitas yang sama bagi seluruh
peserta didik (Asandhimitra, dkk , 2004).
Adanya keterpisahan antara pengajar dan mahasiswa ini memunculkan
konsekuensi tingginya peran teknologi informasi dan komunikasi guna menjembatani
interaksi antara pengajar dan mahasiswa. UT menyediakan beragam layanan bantuan
belajar serta media pembelajaran agar terjadi interaksi dengan mahasiswa. Layanan
belajar dan media pembelajaran dikemas dalam bentuk modul sebagai bahan belajar
utama. Modul dirancang secara khusus agar dapat dipelajari secara mandiri oleh
mahasiswa tanpa kehadiran bantuan tutor atau dosen (Belawati, 2003). Selain itu
diberikan juga ragam layanan belajar lainnya seperti tutorial on line (layanan tutorial
berbasis internet), Web Supplement, Video interaktif, Computer Assisted Instruction
(CAI), Dry Lab (praktikum yang dilakukan secara virtual dengan simulasi melalui
komputer), latihan mandiri online, dan perpustakaan digital.
Struktur Kurikulum
Hilda Taba (1962) menyatakan “A curriculum is a plan for learning therefore,
what is know about the learning process and the development of the individual has
bearing on the shaping of the curriculum”. Sedangkan J. Galen Saylor dan William M.
Alexander (1956), menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut” The curriculum is the
sum totals of schools efforts to influence learning, whether in the class room, on the play
ground, or out of school”. Jadi segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar,
apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah termasuk kurikulum.
Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra kulikuler.
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
P a g e [ 541 ]
Hal ini sesuai dengan rumusan pengertian kurikulum seperti yang tertera dalam
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional "Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu".
Menyimak dari pengertian kurikulum di atas, dapat kita simpulkan bahwa
kurikulum merupakan suatu rencana tertulis yang disusun guna memperlancar proses
pembelajaran. Kurikulum disusun dan diimplementasikan dalam proses pendidikan agar
kompetensi yang diharapkan dapat dicapai. Penyusunan satu kurikulum tidak dapat
berdiri sendiri, banyak faktor yang harus diperhatikan ketika kurikulum disusun, di
antaranya adalah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan Visi-Misi
satu lembaga pendidikan.
Sebagai bagian dari UT secara keseluruhan, Program Studi Pendidikan Ekonomi
dan Koperasi PIPS UT mempunyai Misi penyelenggaraan pendidikan guru Pendidikan
Ekonomi dalam jabatan (in-service training) melalui pendidikan jarak jauh. Latar
belakang mahasiswa yang masuk ke program ini berasal dari lulusan SLTA, DI, DII, DIII
Kependidikan dan DIII Non Kependidikan. Kurikulum yang diberlakukan pada setiap
latar pendidikan mahasiswa tidak sama. Ada pengakuan terhadap jumlah sks yang
sebelumnya telah ditempuh oleh mahasiswa pada jenjang studi sebelumnya. Mahasiswa
yang sebelumnya telah menempuh pendidikan DI, DII dan DIII (selanjutnya akan disebut
dengan istilah “masukan”) akan dihargai jumlah SKS yang telah mereka tempuh dengan
cara membebaskan beberapa Mata Kuliah. Sedangkan untuk masukan SLTA diwajibkan
menempuh semua beban sks yang dipersyaratkan. Implikasi dari kebijakan ini adalah
perbedaan lamanya masa studi pada setiap masukan.
Gambar 1. Jenjang Pendidikan Awal Mahasiswa Masukan S1 PEKO UT
(Sumber: Data Exit Survey PEKO)
Sesuai dengan misi yang diemban UT untuk penyelenggaraan pendidikan guru
dalam jabatan (in service training) 89,58% mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi UT
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 542 ] P a g e
sebelumnya telah menempuh jenjang pendidikan Diploma dan sedang bekerja sebagai
guru. Mahasiswa dengan latar belakang pendidikan SLTA berjumlah 9,38%. Mahasiswa
dengan latar belakang sarjana sebanyak 1,04% merupakan lulusan Perguruan Tinggi non
kependidikan yang ingin melanjutkan pendidikan profesi guru. Dengan latar belakang
jenjang pendidikan awal yang berbeda, maka kurikulum yang diberlakukan pada setiap
masukan juga berbeda. Struktur kurikulum yang diberlakukan pada setiap masukan
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Struktur Kurikulum S1 Pendidikan Ekonomi PIPS UT
No Nama Mata Kuliah
Masukan
SLTA DI DII DIIIKependidikan
DIII NonKependidikan
1 Mata Kuliah KompetensiUtama
100 80 59 29 45
2 Mata kuliah KompetensiPendukung
40 24 19 9 11
3 TAP 4 4 4 4 4
Jumlah 144 108 82 42 60Sumber : Katalog UT
Pada Tabel 1 terlihat mahasiswa dengan masukan SLTA diwajibkan menempuh
144 sks, karena mereka baru menempuh jalur pendidikan tinggi di Program Studi PEKO.
Sedangkan masukan DI diwajibkan menempuh 108 sks dengan adanya pengurangan
pada Mata Kuliah Kompetensi Utama dan Mata Kuliah Kompetensi Pendukung. Masukan
DIII Kependidikan mengambil lebih sedikit MK dengan jumlah 42 sks sementara
mahasiswa dengan latar belakang pendidikan DIII non Kependidikan mengambil 60 sks.
Kompetensi Lulusan
Menurut Glossary Our Workforce Matters (Sinnott. et.al: 2002 dalam
wikipedia.org), kompetensi adalah karakteristik dari karyawan yang mengkontribusikan
kinerja pekerjaan yang berhasil dan pencapaian hasil organisasi. Hal ini mencakup
pengetahuan, keahlian dan kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai,
motivasi, inisiatif dan kontrol diri. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No.045/U/2002 tentang kurikulum inti pendidikan tinggi menyatakan bahwa
kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki
seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas di bidang pekerjaan tertentu. Pengertian kompetensi tersebut merujuk pada
kemampuan seseorang sehingga dianggap cakap dalam satu bidang pekerjaan.
Berpegang pada Peraturan Presiden No. 8 tahun 2012 tentang KKNI , dinyatakan bahwa
sarjana (S1) dikategorikan sebagai jabatan teknisi atau analis (bukan dikategorikan
sebagai ahli) yang berada pada level (jenjang) 6 (enam). Kualifikasi ini tentu saja
mensyaratkan beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang lulusan Lembaga
Pendidikan.
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
P a g e [ 543 ]
Sebagai lulusan S1 kompetensi utama mahasiswa PEKO adalah memiliki
penguasaan bidang studi pendidikan ekonomi secara utuh dan mantap, baik yang
berkenaan dengan substansi maupun metodologi keilmuan bidang studi. Sedangkan
kompetensi pendukung lulusan (1) memiliki pemahaman tentang peserta didik, (2)
memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan memutakhirkan kemampuan diri serta
memanfaatkan kemampuannya bagi pengembangan pendidikan di sekolah khususnya,
serta (3) memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan layanan ahli yang
diberikan secara moral, sosial, dan ilmiah (Borang Program Studi PEKO, 2009).
Gambar 2. Masa Tunggu memperoleh Pekerjaan
(Sumber: Data Exit Survey PEKO)
Apakah kompetensi yang disusun Program Studi PEKO telah sesuai dengan
harapan stakeholder?
Praktik kompetensi lulusan yang disusun oleh program Studi PEKO dengan
harapan stakeholder dapat dirasakan sendiri oleh para lulusan. Exit Survey program studi
PEKO menunjukkan dengan kompetensi yang mereka miliki lulusan PEKO tidak
menunggu lama untuk memperoleh pekerjaan (lihat Gambar 2). Sebagian besar lulusan
(86,5%) telah bekerja ketika menempuh pendidikan di Program Studi PEKO. Lulusan
lainnya sebanyak 10,4% menunggu kurang dari 3 (tiga) bulan untuk memperoleh
pekerjaan dan hanya segian kecil lulusan (1%) yang memerlukan waktu yang agak
panjang 1-2 tahun untuk memperoleh pekerjaan.
Sedangkan bidang pekerjaan yang ditekuni lulusan S1 PEKO UT berdasarkan
kompetensi yang mereka miliki, sebanyak 76% lulusan bekerja penuh waktu sesuai
bidang studi (lihat Gambar 3). Mereka saat ini bekerja sebagai guru di tingkat SLTP dan
SMA mata pelajaran IPS, Ekonomi, dan Akuntansi. 17% lulusan bekerja paruh waktu
sesuai dengan bidang studi, lulusan ini bekerja sebagai guru honor. Sebanyak 4% lulusan
yang bekerja penuh waktu tidak sesuai bidang studi bekerja di perusahaan swasta atau
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 544 ] P a g e
BUMN yang tidak bergerak di bidang pendidikan. Selanjutnya 2% lulusan yang memiliki
lebih dari satu pekerjaan bekerja sebagai guru tetap pada pagi hari, sedangkan sore hari
mereka mengajar di sekolah lain.
Gambar 3. Status Pekerjaan Lulusan (Sumber: Data Exit Survey PEKO)
Tabel 2. Persepsi Kualitas Kinerja Lulusan Menurut Lulusan
Komponen Kualitas Kinerja LulusanSangat
BaikBaik Kurang
SangatKurang
N/A
1. Kemampuan untuk PengembanganDiri
a. Minat untuk mengikuti studi lanjut 18,8 52,1 25,0 1,0 3,1b. Minat Anda untuk mengikuti pelatihan 24,0 70,8 3,1 2,1c. Minat untuk pengembangan diri 17,7 43,8 33,3 3,1 2,12. Kepemimpinan
a. Perencanaan 9,4 69,8 5,2 15,6b. Pengelolaan 7,3 70,8 7,3 14,6c. Monitoring dan Evaluasi 7,3 61,5 12,5 18,8
3. Kemampuan Mengajar (Khusus untukGuru)
a. Keterampilan dasar mengajar 25,0 66,7 8,3b. Merancang pembelajaran 14,6 75,0 3,1 7,3c. Menggunakan media dan alat peraga 8,3 71,9 11,5 8,3d. Menggunakan strategi pembelajaran yang
tepat12,5 71,9 7,3 8,3
e. Melaksanakan penelitian tindakan kelas 8,3 40,6 39,6 3,1 8,3f. Menguasai materi 27,1 63,5 1,0 8,3g. Melaksanakan evaluasi 18,8 68,8 4,2 8,3h. Membimbing/memotivasi siswa 18,8 71,9 1,0 8,3
Sumber: Data Exit Survey PEKO
Selama menjalani profesinya, lulusan S1 Peko merasakan kompetensi yang
terbentuk selama menjalani pendidikan sudah cukup memadai. Hal ini terlihat dari
persepsi Kinerja lulusan, yang menyatakan sebagian besar komponen Kualitas Kinerja
Lulusan baik. Ada beberapa kemampuan yang dianggap sangat baik oleh lulusan (1)
Implikasi Kurikulum Pendidikan… (Suripto & Rhini Fatmasari)
P a g e [ 545 ]
minat untuk mengikuti pelatihan, minat untuk mengikuti studi lanjut dan kemampuan
mengajar terkait dengan kemampuan dasar mengajar. Data ini menunjukkan stimulus
yang diberikan program studi direspon dengan baik oleh para lulusan dalam bentuk
keinginan pengembangan diri lebih lanjut. Sedangkan kompetensi mengajar, khususnya
Keterampilan Dasar Mengajar dirasakan berkembang sangat baik oleh lulusan selama
mengikuti pendidikan di UT.
Tabel 3, Persepsi Kompetensi Lulusan Menurut Lulusan
No Kompetensi LulusanKompetensi dalam Bidang Pekerjaan
SangatBaik
Baik KurangSangatKurang
N/A
1 Penguasaan atas bidang ilmu yang ditempuhdi UT 26,0 65,6 3,1 5,2
2. Pengetahuan tentang bidang ilmu lain 14,6 74,0 7,3 4,23. Berpikir analitis 29,2 60,4 2,1 8,34. Kemampuan untuk mendapatkan
pengetahuan baru secara cepat 33,3 57,3 2,1 7,35. Kemampuan untuk bernegosiasi secara
efektif 19,8 65,6 5,2 1,0 8,36. Kemampuan untuk berkinerja di bawah
tekanan 9,4 41,7 21,9 9,4 17,77. Kepekaan terhadap kesempatan-
kesempatan baru 22,9 60,4 7,3 9,48. Kemampuan untuk mengkoordinasikan
kegiatan 22,9 67,7 2,1 7,39. Kemampuan mengelola waktu secara efisien 42,7 50,0 7,3
10. Kemampuan untuk bekerjasama produktifdengan orang lain 31,3 58,3 3,1 7,3
11. Kemampuan untuk memberdayakan oranglain 19,8 56,3 13,5 1,0 9,4
12. Kemampuan menggunakan komputer atauinternet 39,6 47,9 4,2 8,3
13. Kemampuan memecahkan masalah 38,5 54,2 7,314. Memiliki ide baru 31,3 57,3 4,2 7,315. Kemampuan menilai ide sendiri atau orang
lain 15,6 69,8 7,3 7,316. Kemampuan mempresentasikan ide, hasil,
atau laporan 26,0 61,5 5,2 7,317. Kemampuan menulis laporan kegiatan
(penelitian, proyek, dsb) 17,7 65,6 8,3 8,318. Kemampuan menulis dan berbicara dalam
bahasa asing 16,7 49,0 25,0 1,0 8,3Sumber : Data Exit Survey PEKO
Sistem perkuliahan yang diberlakukan oleh UT mengembangkan beberapa
kompetensi unggulan yang akhirnya dimiliki oleh para lulusan. Kompetensi tersebut
dinilai sangat baik oleh para lulusan berkaitan dengan kemampuan (1) mengelola waktu
secara efisien (42,7%). Hal ini didasarkan kebiasaan yang harus dilakukan oleh para
lulusan selama mengikuti perkuliahan di UT. Tanpa adanya kuliah tatap muka dengan
dosen/ tutor mempunyai konsekuensi mahasiswa harus mampu memahami materi-
materi dalam perkuliahan secara baik dan mandiri. Begitu juga harus mampu mengatur
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 546 ] P a g e
waktu antara bekerja dan kuliah. Tuntutan yang sangat tinggi terhadap kemampuan
mahasiswa menggunakan teknologi dalam pembelajaran berujung pada tingginya
kemampuan mahasiswa dalam (2) menggunakan komputer dan internet (39,6%).
Kompetensi selanjutnya yang juga berkembang sangat baik karena adanya tuntutan
belajar mandiri berupa (3) Kemampuan memecahkan masalah (38,5%) dan kemampuan
untuk mendapatkan pengetahuan baru secara cepat (33,3%). Sedangkan kompetensi
yang dirasakan masih kurang bagi para lulusan berkaitan dengan kemampuan menulis
dan berbicara dalam bahasa asing (25%).
SIMPULAN
Menyimak data exit survey dan penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Program
Studi PEKO terlihat bahwa lulusan yang dihasilkan telah memiliki kompetensi yang
sangat memadai dalam bidang pekerjaan mereka sebagai guru. Namun demikian dalam
menghadapi Era MEA perlu dicermati lebih lanjut agar Kurikulum dan penyelenggaraan
pendidikan disesuaikan dengan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Hal ini
diperlukan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia pada masa depan.
Peningkatan kompetensi guru juga berarti peningkatan kualitas pendidikan dan generasi
penerus bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Sertifikasi Profesi, Edisi Pertama 2014
Bagus Prasetyo, Menilik Kesiapan Dunia Ketenagakerjaan Indonesia Menghadapi MEAJurnal RechtsVinding Online,ISSN 2089-9009
Borang Program Studi Pendidikan Ekonomi dan Koperasi FKIP Universitas Terbuka2009.
Dewi Wuryandani, Peluang Dan Tantangan SDM Indonesia Menyongsong Era MasyarakatEkonomi ASEAN, Ekonomi Dan Kebijakan Publik Vol. VI, No.17/I/P3DI/September/2014
Hilda Taba (1962) Curriculum development: theory and practice , New York : Harcourt,Brace & World.
Karsidi, Ravik, Prof. Dr.M.S. (2005) Profesionalisme Guru dan Peningkatan MutuPendidikan di Era Otonomi Daerah, Makalah: Disampaikan dalam SeminarNasional Pendidikan Dewan Pendidikan Kabupaten Wonogiri, 23 Juli 2005
Santoso, Megawati (2011), Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. DirektoratPembelajaran dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti Kemendiknas.
Saylor, J Galen (1956), Curriculum Planning For Better Teaching and Learning, New York:Rinehart & Company, Inc.
Surya, Muhammad. 2003. Percikan Perjuangan Guru. Semarang: Aneka Ilmu.
Tim Exit Survey Universitas Terbuka (2014), Exit Survey Program Studi PendidikanEkonomi dan Koperasi.
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 547 ]
PROGRAM PENDIDIKAN MENENGAH UNIVERSAL (PMU)
DALAM KONSEP INOVASI PENDIDIKAN
Lili MarliyahIKIP Veteran Semarang
AbstrakTarget pembangunan pendidikan yang diarahkan untuk menghasilkan insanIndonesia cerdas. Indeks ketercapaian sektor pendidikan memprihatinkan,sehingga menuntut tanggung jawab pemerintah untuk menetapkan sebuahlompatan kebijakan bidang pendidikan yang dapat meningkatkan nation dignitymelalui program PMU. Esensi program PMU adalah merupakan programkeberlanjutan dari wajar 9 tahun menjadi 12 tahun dan merupakan upayastrategis dalam konsep pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Dalamkerangka makro kebijakan pendidikan nasional, PMU merupakan suatulompatan kebijakan yang signifikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi,daya saing bangsa, peningkatan kehidupan sosial politik serta kesejahteraanmasyarakat. Nilai keinovatifan program PMU terletak pada kekhasan dankebaruan serta keinovatifan program PMU dapat dilihat dari unsur kualitatif,bersifat diusahakan dan memiliki unsur meningkatkan kemampuan.Karakteristik keinovatifan PMU dilihat dari unsur kompleksitas, trialability danobservabilty relatif rendah. Proses difusi dan peran agen pembaharuan programPMU masih terbatas. Dampak dari inovasi PMU adalah perubahan sosial positifmaupun negatif.
Kata Kunci: Pendidikan Menengah Universal (PMU), Inovasi Pendidikan
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya intelektual, maupun daya emosional
atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. Pendidikan
mempunyai peranan dalam meningkatkan kualitas manusia sebagai sumberdaya
pembangunan dan menjadi titik sentral pembangunan. Pendidikan merupakan hak asasi
setiap warga negara dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa
memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender.
Pembangunan pendidikan diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas
dan kompetitif melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi,
kesetaraan dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Hal ini sesuai dengan amanat
konstitusi yaitu pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional dan memajukan kebudayaan nasional untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang -undang.
Indikator keberhasilan sektor pendidikan senantiasa dikaitkan dengan naik
turunnya indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia, dibandingkan dengan
indeks yang sama dari berbagai bangsa lain di dunia. Kondisi indeks ini sangat
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 548 ] P a g e
memprihatinkan, sehingga menuntut tanggung jawab pemerintah untuk dapat
menetapkan sebuah lompatan kebijakan bidang pendidikan yang dapat meningkatkan
nation dignity dan indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Dalam hal ini
penekanan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) termasuk
pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing SDM.
Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga
negara Indonesia memiliki kecakapan hidup (life skills) sehingga mendorong tegaknya
pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai
nilai-nilai Pancasila, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam konteks ini peran PMU adalah memberikan
kepastian kepada semua siswa bahwa siswa tidak usah lagi khawatir dengan masalah
pembiayaan, akses masuk ke sekolah menengah (SMA//SMK/MA//MAK,) karena negara
telah menjamin.
Selain bonus demografi yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu menjaga
konsekuensi logis keberlanjutan dari keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Setelah
keberhasilan program wajib belajar sembilan yang dicanangkan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas SDM sudah dinyatakan berhasil karena APK untuk SMP/MI sudah
tercapai yaitu 98,20 %, harus ada keberlanjutan program pendidikan. Wajib belajar
sampai 12 tahun, mengingat APK SMA/MA/SMK masih rendah yaitu 70,53 %. Dengan
demikian program PMU dapat meminimalisir angka putus sekolah dan agar seluruh
warga usia sekolah berkesempatan untuk menikmati pendidikan.
Argumen lain yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara lama sekolah atau lama belajar dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi,
derajat kesehatan, daya saing dan pendapatan. Laporan data Statistik World Bank 2011
dan The Global Competitiveness Report 2010-2011menyebutkan bahwa, lama sekolah
(baca: PMU) berkorelasi positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau
Human Development Indeks (HDI).
Upaya pemberdayaan manusia seutuhnya dilaksanakan dengan cara
memperlakukan manusia yang seutuhnya sebagai subjek dalam upaya pemberdayaan
melalui bidang pendidikan dan kebudayaan. Manusia Indonesia memiliki hak untuk
mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, spiritual,
sosial, serta mewarisi dan mengekspresikan nilai-nilai budaya. Paradigma ini merupakan
fondasi dari pendidikan dan kebudayaan untuk menyiapkan manusia Indonesia sebagai
pribadi yang mandiri (makhluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling
berinteraksi, mendukung satu sama lain (makhluk sosial) dan toleransi dalam keragaman
budaya dalam keragaman budaya serta sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan
yang lebih baik di muka bumi sebagai makhluk Tuhan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa program pendidikan
menengah universal (PMU) merupakan salah satu pengembangan kebijakan bidang
pendidikan di Indonesia.
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 549 ]
PEMBAHASAN
Esensi Program Pendidikan Menengah Universal
Kebijakan pemerintah tentang Program Pendidikan Menengah Universal (PMU)
adalah merupakan upaya strategis dalam program pendidikan yang memberikan layanan
seluas-luasnya pada seluruh warga negara untuk mengikuti pendidikan menengah yang
bermutu. Hal ini mengandung pengertian konsep pemerataan dan peningkatan mutu
pendidikan.
Program Pendidikan Menengah Universal merupakan keberlanjutan dari program
wajib belajar 9 tahun. Wajib belajar 9 tahun telah dinilai berhasil dan tuntas oleh
pemerintah dengan tercapainya APK (Angka Partisipasi Kasar) SD/MI secara nasional
115,33 % dan APK SMP/MTs sebesar 98,20 % pada tahun 2010 (Sumber: Kemdikbud
2011). Pada tahun yang sama, angka partisipasi kasar (APK) SMA/SMK/MA secara
nasional baru mencapai 70,53 %, dan masih ada disparitas antara APK SMP/MTs dengan
APK SMA/SMK/MA sebesar 27,67 %. Artinya masih ada 27,67 % jumlah penduduk usia
SM yang tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Inilah
salah satu hal yang menjadi pertimbangan pemerintah meluncurkan program pendidikan
menengah universal.
Tujuan penyelenggaraan PMU adalah untuk memberikan layanan, pelaksanaan
dan pemerataan memperoleh pendidikan menengah yang bermutu bagi setiap warga
negara Indonesia. Penyelenggaraan PMU mempunyai sasaran yaitu setiap warga negara
Indonesia usia 16 (enam belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun yang ingin
melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah dan mempercepat APK pendidikan
menengah menjadi 97% pada tahun 2020.
Perbedaan antara wajib belajar dengan pendidikan menengah universal (PMU)
terletak pada prinsip dan filosofi pelaksanaan. Jika wajib belajar diamanatkan oleh
undang-undang, wajib diikuti oleh semua penduduk usia sekolah, dibiayai sepenuhnya
oleh pemerintah dan ada sanksi bagi yang tidak mengikuti. Pendidikan Menengah
Universal (PMU) meliputi SMA/SMK/MA, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada seluruh warga negara RI untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu,
difasilitasi oleh pemerintah untuk menampung penduduk usia sekolah, pembiayaan
ditanggung oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, sanksi longgar bagi
yang tidak mengikuti.
Adapun beberapa prinsip dasar pelaksanaan PMU meliputi: (a) mutu yang terjaga,
tidak berkurang karena adanya penambahan daya tampung; (b) perimbangan SMA-SMK
sesuai potensi dan kebutuhan daerah; (c) pemerataan distribusi layanan pendidikan
menengah untuk menjangkau yang tidak terjangkau; (d) peningkatan kebekerjaan
(employability) lulusan (khususnya SMK); dan (e) pencapaian target APK di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota secara bertahap. Dengan demikian pendidikan
yang bermutu bukanlah milik suatu kelompok atau perseorangan, akan tetapi pendidikan
adalah hak semua warga negara tanpa membedakan suku, agama, ataupun golongan..
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 550 ] P a g e
Sasaran Pendidikan Menengah Universal (PMU) tentunya tidak asal saja tetapi
juga mempunyai sasaran yang ingin dicapai atau tujuan dari pelaksanaanya. Dalam
pelaksanaan Pendidikan Menengah Universal (PMU) ada tiga sasaran yang ingin dicapai,
yaitu:
1. Meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah. Angka
Partisipasi Kasar (APK) merupakan rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang
sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok
usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. Misal, APK SMA sama
dengan jumlah siswa yang duduk di bangku SMA dibagi dengan jumlah penduduk
kelompok usia 16 sampai 18 tahun. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk
secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling
sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing
jenjang pendidikan.
2. Memperkecil disparitas antar daerah. Disparitas dapat diartikan dengan perbedaan.
Jadi, memperkecil disparitas antar daerah dapat diartikan dengan memperkecil
perbedaan antar daerah khususnya dalam bidang pendidikan.
3. Memperkuat pelayanan pendidikan vokasi. Istilah vokasi digunakan untuk program
pendidikan menggantikan istilah profesional atau profesi. Istilah vokasi diturunkan
dari bahasa Inggris, vocation, yang sama artinya dengan profession. Di Amerika
Serikat, vokasi digunakan untuk menyebut pengelompokan sekolah kejuruan seperti
di Indonesia.
Program pendidikan menengah universal (PMU) yang bermutu implementasinya
menggunakan strategi tersedianya dan terjangkaunya Layanan Pendidikan Menengah
yang Bermutu, Relevan dan Berkesetaraan, dicapai dengan menggunakan strategi sebagai
berikut:.
1. Penyediaan tenaga pendidik pendidikan menengah berkompeten yang merata di
seluruh provinsi, kabupaten, dan kota;
2. Penyediaan manajemen satuan pendidikan menengah berkompeten yang merata di
seluruh provinsi, kabupaten, dan kota;
3. Penyediaan dan pengembangan sistem pembelajaran, informasi berbasis riset, dan
standar pendidikan menengah, dan keterlaksanaan akreditasi serta pengembangan
dan pembinaan bahasa untuk pendidikan menengah;
4. Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem
pembelajaran SMA/Paket C bermutu yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan
kota;
5. Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem
pembelajaran SMK/Paket C Kejuruan bermutu yang berbasis keunggulan lokal dan
relevan dengan kebutuhan daerah yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan
kota;
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 551 ]
6. Penyediaan subsidi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan
SMA/SMLB/SMK/Paket C bermutu yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan
kota.
Pendanaan PMU meliputi biaya investasi, biaya operasional, dan biaya personal.
Pendanaan penyelenggaraan PMU menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat. Sumber pendanaan PMU bersumber dari APBN,
APBD, masyarakat dan/atau sumber lain yang sah. Salah satu program utama yang
mendukung PMU adalah penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Sekolah
Menengah (SM). Sebagai hal paling inti dari BOS SM ini adalah agar beban masyarakat
untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat pendidikan menengah tidak terlalu berat.
Karenanya, BOS SM yang akan disalurkan mulai awal tahun ajaran 2013/2014
mengalami kenaikan signifikan, yaitu mencapai Rp 1 juta per siswa per tahunnya. Selain
itu, siswa juga berkesempatan mendapatkan Bantuan Siswa Miskin, Beasiswa, BOP Paket
C, dan pengembangan bakat dan minat. Berkaitan dengan itu, Kemdikbud meminta
kepada sekolah untuk menyampaikan daftar siswa yang tidak mampu berdasarkan
urutan, karena yang tahu kondisi siswa yaitu sekolah. Nanti, dari daftar yang banyak itu
disesuaikan dengan alokasi per kabupaten.
Evaluasi dan penjaminan mutu PMU dilakukan dengan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Evaluasi meliputi evaluasi masukan, proses dan keluaran yang
dilakukan secara transparan dan akuntabel. Penjaminan mutu dilakukan mengacu pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan standar nasional pendidikan (SNP).
Hubungan PMU dengan kerangka kebijakan makro pendidikan di Indonesia.
Pembangunan pendidikan diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas
dan kompetitif melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi,
kesetaraan dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Hal ini sesuai degan amanat
konstitusi yaitu pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional dan memajukan kebudayaan nasional untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang -undang.
Indikator keberhasilan sektor pendidikan senantiasa dikaitkan dengan naik
turunnya indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia, dibandingkan dengan
indeks yang sama dari berbagai bangsa lain di dunia. Posisi Indonesia yang kini berada
dalam urutan 107 sangat jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan di bawah
Vietnam serta Palestina. Kondisi ini sangat memprihatinkan, sehingga menuntut
tanggung jawab pemerintah untuk dapat menetapkan sebuah lompatan kebijakan bidang
pendidikan yang dapat meningkatkan nation dignity dan indeks pembangunan sumber
daya manusia Indonesia. Dalam hal ini penekanan pada upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi
serta penguatan daya saing SDM.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 552 ] P a g e
Hubungan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dengan kerangka
kebijakan makro pendidikan di Indonesia dapat dijelaskan dalam konteks program
pecapaian tahun emas bagi bangsa Indonesia. Pemerintah menetapkan target tahun 2045
adalah tahun emas bagi bangsa Indonesia yaitu ulang tahun kemerdekaan yang ke 100.
Momentum inilah yang akan dijadikan tujuan utama pembangunan pendidikan
menengah universal. Pemerintah bersama masyarakat Indonesia harus berkomitmen
untuk menyiapkan generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin
berat. Dalam konteks ini program PMU berupaya untuk menjaring usia produktif
sehingga memiliki daya saing dalam kancah pergaulan dan persaingan global.
Sehubungan dengan pencapaian kebijakan makro pendidikan melalui program
pendidikan menengah universal (PMU), ada beberapa faktor pendukung pelaksanaan
pendidikan menengah universal di antaranya adalah manfaat bonus demografi. Bonus
demografi yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia merupakan sumber daya manusia yang
potensial karena jumlah penduduknya lebih banyak pada angkatan kerja. Jika bonus
demografi tidak dimanfaatkan dan dikelola dengan baik maka akan menjadi bencana
demografi atau demographic disaster seperti pengangguran, kriminalitas, narkoba dan
lain-lain. Apabila bonus demografi dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka
hal ini merupakan potensi dan kekuatan yang besar untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesinambungan pembangunan nasional dan keberlangsungan
kehidupan berbangsa.
Selain bonus demografi yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu menjaga
konsekuensi logis keberlanjutan dari keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Setelah
keberhasilan program wajib belajar sembilan yang dicanangkan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas SDM sudah dinyatakan berhasil karena APK untuk SMP/MI sudah
tercapai yaitu 98,20 %, harus ada keberlanjutan program pendidikan. Wajib belajar
sampai 12 tahun, mengingat APK SMA/MA/SMK masih rendah yaitu 70,53 %. Dengan
demikian program PMU dapat meminimalisir angka putus sekolah dan agar seluruh
warga usia sekolah berkesempatan untuk menikmati pendidikan.
Argumen lain yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara program PMU dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, derajat kesehatan,
daya saing dan pendapatan. Laporan data Statistik World Bank 2011 dan The Global
Competitiveness Report 2010-2011menyebutkan bahwa, lama sekolah (baca: PMU)
berkorelasi positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human
Development Indeks (HDI). Lama sekolah pada laporan itu memiliki korelasi positif yang
sangat tinggi dengan nilai PDB per kapita (koefisien korelasi 0,93). Demikian juga lama
sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai Global Competitiveness
Indeks GCI (0,96).
Program pendidikan menengah universal (PMU) merupakan lompatan yang sangat
signifikan dalam pelayanan pendidikan dilihat dari kerangka kebijakan makro
pendidikan di Indonesia.
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 553 ]
Nilai inovatif dan karakteristik keinovatifan Program Pendidikan Menengah
Inovasi (innovation) adalah ide, barang, kejadian, metode yang dirasakan atau
diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang
(masyarakat), baik itu berupa hasil invensi maupun diskoveri. Inovasi diadakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Pengertian
inovasi dari beberapa ahli yaitu suatu ide, praktik, atau objek/benda yang disadari dan
diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi.
(Everett M. Rogers, 2003). Inovasi adalah suatu perubahan yang sifatnya khusus,
memiliki nuansa kebaruan, dan di sengaja melalui suatu program yang jelas dan
direncanakan terlebih dahulu, serta dirancang untuk mencapai tujuan yang diharapkan
dari suatu sistem tertentu. Oleh karena itu dalam menyikapi suatu inovasi, diperlukan
suatu pemahaman yang baik tentang substansi inovasinya itu sendiri, hal ini
dimaksudkan agar inovasi dapat benar-benar memberi nilai tambah bagi kehidupan.
Mengingat hal tersebut, maka dunia pendidikan sebagai suatu sub sistem
kehidupan masyarakat perlu menyikapi dengan terbuka berbagai inovasi yang ada dalam
dunia pendidikan, maupun yang terjadi dalam bidang kehidupan lainnya untuk berupaya
mengintegrasikannya agar dapat dicapai suatu kondisi pendidikan yang tidak tertinggal
dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat akumulasi inovasi.
Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) merupakan suatu bentuk
inovasi di bidang pendidikan karena mengandung beberapa ciri sebuah inovasi yaitu :
1. Memiliki kekhasan atau khusus artinya suatu inovasi memiliki ciri yang khas dalam
arti ide, program, tatanan, sistem termasuk kemungkinan hasil yang diharapkan.
Pendidikan Menengah Universal memiliki ciri yang khas dalam bentuk program
pendidikan di tingkat menengah yang memberikan layanan seluas-luasnya kepada
seluruh warga negara untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu. Selain
itu PMU mengandung kemungkinan hasil yang diharapkan yaitu mempercepat
pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan menengah menjadi 97% pada
tahun 2020.
2. Kebaruan, dalam pengertian baru atau dalam arti belum dipahami, belum diterima,
atau belum dilakukan oleh pengadopsi. Program pendidikan menengah universal
(PMU) memiliki ciri kebaruan, karena program ini pada saat diluncurkan belum
dipahami dan belum diterima atau belum dilakukan oleh pengadopsi. Letak kebaruan
PMU pada program pendidikan yang memberikan akses seluas-luasnya dalam
memperoleh pendidikan bermutu pada tingkat pendidikan menengah.
3. Bersifat “kualitatif” artinya program PMU memungkinkan adanya reorganisasi atau
restrukturisasi komponen/unsur yang sudah ada, bukan pada penambahan unsur
atau komponen yang sudah ada. Program PMU dapat dimaknai merupakan kelanjutan
dari program pendidikan dasar 9 tahun menjadi 12 tahun, sehingga program PMU ini
merupakan restrukturisasi komponen atau unsur yang sudah ada sebelum program
PMU ini diluncurkan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 554 ] P a g e
4. Bersifat “diusahakan”, berarti Program PMU dilakukan dengan sengaja dan
direncanakan. Program PMU direncanakan, dipertimbangkan dan dirancang untuk
menjadi sebuah program dalam bidang pendidikan yang dianggap merupakan
lompatan yang signifikan untuk pencapaian APK pendidikan menengah yang lebih
baik dari tahun-tahun sebelumnya.
5. Meningkatkan kemampuan”, artinya tujuan utama dari inovasi adalah kapasitas
subjek yang diperbarui. Program PMU memiliki tujuan untuk memberikan layanan,
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan menengah yang
bermutu bagi setiap warga negara. Dengan demikian program PMU dapat menjaring
usia produktif untuk ditingkatkan kemampuannya sehingga dapat menjadi sumber
daya manusia yang berkualitas dalam berpartisipasi dan menyongsong Tahun Emas
2045.
Adapun beberapa prinsip dasar pelaksanaan PMU meliputi (a) mutu yang terjaga,
tidak berkurang karena adanya penambahan daya tampung; (b) perimbangan SMA-SMK
sesuai potensi dan kebutuhan daerah; (c) pemerataan distribusi layanan pendidikan
menengah untuk menjangkau yang tidak terjangkau; (d) peningkatan kebekerjaan
(employability) lulusan (khususnya SMK); dan (e) pencapaian target APK di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota secara bertahap.
Selain itu nilai inovasi program pendidikan menengah universal (PMU) sebagai
suatu konsep inovasi seperti di atas ditunjang oleh beberapa hal yang tersirat pada
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yakni pada pergeseran paradigma
pendidikan dan kebudayaan yang meliputi:
1. Perubahan wajib belajar menjadi hak belajar
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Oleh
karena itu paradigma wajib belajar usia 7 sampai 15 tahun digeser menjadi hak
belajar yang menjamin kepastian bagi semua warga negara untuk memperoleh
pendidikan dasar dan menengah sampai usia 16-18 tahun. Dengan pergeseran
paradigma tersebut, pemerintah wajib menyediakan sarana prasarana dan
pendanaan demi terselenggaranya pendidikan bagi warga negaranya.
2. Kesetaraan dalam pendidikan
Selanjutnya juga warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat
adat yang terpencil, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial, serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus dan/atau layanan
khusus.
3. Pendidikan komprehensif melalui penyelarasan pendidikan dan pembudayaan.
Pendidikan komprehensif merupakan pendidikan yang mampu mengeksplorasi
seluruh potensi peserta didik yang berupa potensi kekuatan batin, karakter,
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 555 ]
intelektual dan fisik. Di samping itu potensi tersebut dapat diintegrasikan menjadi
kekuatan peserta didik melalui pendidikan Perubahan dasar perencanaan pendidikan
yang berdasarkan suplai menjadi berdasarkan kebutuhan; terkandung penyelarasan
pendidikan dan pembudayaan serta pendidikan karakter khususnya pendidikan
karakter bangsa yang harus ditanamkan sejak pendidikan usia dini hingga pendidikan
tinggi.
4. Perubahan fungsi sekolah negeri menjadi sekolah publik.
Sekolah-sekolah negeri ke depan harus bergeser menjadi sekolah publik. Bila
sebelumnya sekolah negeri hanya dipakai siswa untuk aktivitas belajar dari siswa
sekolah tersebut, ke depan fungsi dan pemanfaatan sekolah negeri harus
ditingkatkan, tidak hanya untuk siswa dari sekolah itu, tetapi pada saat tidak
digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
anggota masyarakat. dengan ketentuan yang terkendali. Dengan demikian sekolah-
sekolah negeri dapat dimanfaatkan seluas-luasnya. 20110
5. Pengintegrasian kebudayaan dalam pendidikan ;
Untuk memperkuat integrasi fungsi kebudayaan dalam pendidikan perlu penguatan
budaya di masyarakat melalui pemberian fasilitasi sarana untuk sanggar/komunitas
adat/sasana sarasehan, pemberdayaan lembaga kepercayaan dan komunitas adat
sebagai upaya untuk menguatkan kantong-kantong budaya di daerah, kegiatan
berupa pemberian fasilitasi dahulu belum mempunyai standar dan kriteria yang jelas,
untuk itu diperlukan pembuatan POS dan akreditasi dari lembaga kepercayaan dan
komunitas adat yang akan difasilitasi
6. Pergeseran fungsi kebudayaan dari tontonan menjadi tuntunan
Semestinya kebudayaan untuk membangun manusia Indonesia yang berjati diri dan
berkarakter sehingga fungsi kebudayaan mengarah pada kemandirian, gotong royong,
toleransi sebagai wujud tuntunan dalam berbangsa dan bernegara. Untuk
mengembalikan kebudayaan sebagai tuntunan dilakukan dengan upaya melalui
penggalian, penanaman dan penguatan nilai/filosofi/makna kearifan lokal dalam
masyarakat sehingga dapat dipetik manfaatnya.
7. Pengelolaan kebudayaan secara integratif multi sektor.
Pengelolaan kebudayaan tidak lagi menjadi domain sektor kebudayaan saja, tetapi
perlu melibatkan sektor yang lain. Lingkup pengelolaan kebudayaan yang semula
hanya dalam ruang yang sempit seperti candi, masjid atau bangunan kuno dan lainnya
tetapi lingkupnya meluas dalam satu kawasan yang di dalamnya termasuk manusia,
lingkungan, nilai dan tinggalan budaya itu sendiri.
Atribut sebuah inovasi adalah karakteristik yang dimiliki oleh suatu inovasi yang
merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan laju atau kecepatan adopsi inovasi
oleh suatu sistem sosial. Faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pihak adopter
(pengguna inovasi) dalam membuat keputusan untuk menerima atau menolak produk
suatu inovasi jika dikaitkan dengan pemikiran Everett M. Rogers (1983) dalam diffusion
of innovation dipengaruhi oleh 5 (lima) karakteristik inovasi yaitu : 1) Relative advantage
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 556 ] P a g e
(Keunggulan relatif) ; 2) Compatibility (Kompatibilitas atau konsisten); 3) Complexity
(Kompleksitas/kerumitan); 4) Trialability (Kemampuan untuk dapat diuji); 5) Observable
(Kemampuan untuk dapat diamati).
Esensi karakteristik inovasi program Pendidikan Menengah Universal (PMU)
adalah :
1. Keunggulan relatif adalah derajat di mana suatu inovasi dianggap lebih baik dan
unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi,
seperti segi ekonomi, sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Program PMU
memiliki keunggulan relatif terutama dilihat dari paradigma kebijakan yang
mendasarinya. Program PMU jika dimaknai sebagai wajib belajar 12 tahun, di mana
pemerintah menjamin lulusan pendidikan dasar dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan menengah yang bermutu, maka di sinilah letak keunggulan relatifnya. Hal
ini disebabkan program PMU belum pernah ada sebelumnya. Dari segi sosial,
program ini memiliki keunggulan relatif karena PMU merefleksikan pergeseran
paradigma dalam pendidikan (seperti telah disebutkan di atas). Semakin besar
keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, maka semakin cepat inovasi tersebut
dapat diadopsi.
2. Kompatibilitas adalah derajat di mana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan
nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Pengguna
inovasi (adopter) juga akan mempertimbangkan pemanfaatan inovasi berdasarkan
konsistensinya pada nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhannya. Dilihat dari
karakteristik ini PMU memiliki kompatibilitas yang tinggi, karena program ini
konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, terutama PMU memiliki prisnsip
kesetaraan dalam pendidikan. Prinsip ini mengandung arti bahwa setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan ang bermutu dan
setiap warga negara berhak mendapat kesempatan peningkatkan pendidikan
sepanjang hayat.
3. Kompleksitas adalah derajat di mana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk
dipahami dan digunakan. PMU memiliki kompleksitas yang relatif rendah, karena
program ini mudah dipahami dan digunakan oleh pengadopsi. Mengingat progam
PMU merupakan lanjutan dari program wajar 9 tahun.
4. Trialability adalah derajat di mana suatu inovasi dapat diuji-coba pada batas tertentu.
Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan
lebih cepat diadopsi. Dilihat dari karakteristik ini program PMU derajatnya
trialabilitinya relatif rendah karena untuk melihat keberhasilan suatu program
pendidikan yang baru saja diluncurkan memerlukan waktu yang lama, sehingga
pengadopsi akan relatif memerlukan waktu yang lama pula untuk dapat melihat hasil
uji coba program pendidikan menengah universal (PMU). Selain itu juga derajat ini
akan terlihat jika dihubungkan dengan masalah pendanaan program PMU.
5. Observability adalah derajat di mana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain.
Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 557 ]
kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Dilihat dari
karakteristik ini, PMU relatif rendah derajatnya. Keberhasilan program PMU sulit atau
memerlukan waktu yang lama untuk dapat dilihat atau diamati oleh pengadopsi
Program PMU. Selain itu kendala-kendala yang mungkin dihadapi pada proses
implementasi PMU, terutama masalah pendanaan yang harus dipikul baik oleh
pemerintah pusat, daerah maupun masyarakat.
Proses Difusi dan Keteradopsian Program Pendidikan Menengah Universal (PMU)
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan
melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem
sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus di mana
pesannya adalah ide baru. Di samping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis
perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
sistem sosial. Dapat dikatakan bahwa difusi inovasi merupakan satu bentuk komunikasi
yang berhubungan dengan suatu pemikiran baru.
Tujuan utama difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi oleh anggota sistem
sosial tertentu. Anggota sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal,
organisasi dan atau sub sistem. Selain itu tujuan dari inovasi adalah untuk mencapai
kesetimbangan dinamis dalam sistem sosial.
Proses difusi inovasi melibatkan empat unsur utama, meliputi: a) inovasi; b)
saluran komunikasi; c) kurun waktu tertentu; dan d) sistem sosial. Proses difusi
pendidikan menengah universal (PMU) dapat dijelaskan bahwa PMU merupakan suatu
inovasi pendidikan, karena kebijakan ini esensinya adalah kelanjutan wajar 9 tahun yaitu
menjadi wajar 12 tahun. Program PMU ini adalah kebijakan yang baru diluncurkan pada
tahun 2013. Penggunaan istilah PMU dipilih Kemdikbud dengan berbagai alasan. Istilah
Wajib Belajar atau Wajar harus berlandaskan dasar hukum yang kuat. Sementara dalam
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya disebutkan Wajar 9 Tahun,
sedangkan untuk Wajar 12 Tahun tidak dikenal Istilah pendidikan universal pertama kali
diperkenalkan UNESCO. Untuk menyebut Wajar 9 tahun, UNESCO tidak menggunakan
istilah "compulsory basic education", melainkan "universal basic education". Selain itu,
istilah Wajar juga mengandung unsur pemaksaan dan konsekuensinya ada sanksi bagi
yang tidak melakukannya. Sementara PMU esensinya seperti Wajar, tetapi tanpa sanksi,
dan tidak mengenal istilah memaksa. Kata yang digunakan justru "mendorong" agar
seluruh lulusan SMP/sederajat dapat menempuh pendidikan ke jenjang menengah.
Komunikasi adalah proses di mana partisipan menciptakan dan berbagi informasi
satu sama lain untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Dalam hal ini difusi dapat
dipandang sebagai suatu tipe komunikasi khusus di mana informasi yang
dipertukarkannya adalah ide baru (PMU). Dengan demikian, esensi dari proses difusi
adalah pertukaran informasi di mana seorang individu mengkomunikasikan suatu ide
baru ke seseorang atau beberapa orang lain.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 558 ] P a g e
Komunikasi yang dimaksudkan dalam proses difusi Pendidikan Menengah
Universal (PMU) adalah upaya mempertukarkan gagasan PMU oleh seseorang atau unit
tertentu yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang pendidikan
menengah universal kepada seseorang atau unit lain yang belum memiliki pengetahuan
dan pengalaman mengenai program PMU (potential adopter melalui saluran komunikasi
tertentu) dalam hal ini semua pemangku kepentingan bidang pendidikan, khususnya
yang terkait dengan program pendidikan menengah universal.
Saluran komunikasi yang digunakan dalam proses difusi PMU menggunakan dua
kategori saluran yaitu :
1. Saluran Media massa (mass media channel), media massa dapat berupa radio, televisi,
surat kabar, web, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau
audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber.
2. Saluran antar pribadi melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua
atau lebih individu.
Unsur ketiga dalam proses difusi PMU adalah waktu. Waktu merupakan salah satu
unsur penting dalam proses difusi. Dimensi waktu, dalam proses difusi, berpengaruh
dalam proses keputusan inovasi, yaitu tahapan proses sejak seseorang menerima
informasi pertama sampai ia menerima atau menolak inovasi, keinovativan individu atau
unit adopsi lain, dan rata-rata adopsi dalam suatu sistem, yaitu seberapa banyak jumlah
anggota suatu sistem mengadopsi suatu inovasi dalam periode waktu tertentu. Waktu
yang sudah berjalan dalam proses difusi program PMU selama 10 bulan dari mulai
diundangkannya Permen No 80 tahun 2013 tentang Pendidikan Menengah Universal
(PMU).
Unsur selanjutnya dari proses difusi PMU adalah sistem sosial. Sistem sosial
adalah satu set unit yang saling berhubungan yang tergabung dalam suatu upaya
pemecahan masalah bersama untuk mencapai suatu tujuan. Anggota dari suatu sistem
sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem. Proses
difusi PMU dalam kaitannya dengan sistem sosial ini dipengaruhi oleh struktur sosial,
norma sosial, peran pemimpin dan agen perubahan, tipe keputusan inovasi dan
konsekuensi inovasi.
Proses difusi program PMU berjalan masih relatif lamban dalam mencapai sasaran
yang diharapkan. Kondisi ini terjadi disebabkan program ini masih relatif baru yaitu 10
bulan dari diundangkannya kebijakan PMU. Selain itu keterjangkauan proses difusi
melalui saluran komunikasi media masa masih terbatas baik secara kuantitatif dan
kualitatif. Proses difusi PMU efektif dilakukan terbatas pada tingkat kelembagaan atau
organisasi di lingkungan pemerintahan, terutama jajaran terkait lembaga kependidikan.
Masyarakat yang terkait dengan program PMU dalam hal ini masyarakat luas terutama
masyarakat middle low yang relatif tidak terjangkau media masa dan teknologi informasi
lainnya cenderung belum mengetahui bahkan belum dapat menerima program PMU yang
baru dirintis implementasinya oleh pemerintah tersebut. Jika digambarkan dalam kurve S
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 559 ]
tentang kecepatan relatif dari diadopsinya program PMU sejauh ini akan berbentuk
kurva “S tegak”.
Jejaring Difusi Inovasi Program PMU
Difusi adalah proses komunikasi inovasi antara warga masyarakat (anggota
sistem sosial) dengan menggunakan saluran tertentu dalam waktu tertentu. Proses
komunikasi ditekankan dalam arti terjadinya saling tukar informasi (hubungan timbal
balik) antar beberapa individu baik secara memusat (convergent) maupun memencar
(divergent) yang berlangsung secara spontan. Dengan adanya komunikasi ni akan terjadi
kesamaan pendapat antar warga masyarakat tentang inovasi. dalam sistem difusi
desentralisasi penentuan itu dilakukan oleh klien (warga masyarakat) bekerja sama
dengan beberapa orang yang telah menerima inovasi.
Jaringan difusi adalah jaringan sosial yang ada di masyarakat yang dimanfaatkan
dalam proses difusi inovasi. Jaringan sosial adalah keterkaitan hubungan dan komunikasi
antar individu dalam masyarakat yang disebabkan oleh berbagai kepentingan dan sebab.
Jaringan difusi program pendidikan menengah universal (PMU) adalah jaringan sosial
yang dimanfaatkan dalam proses mendisfusikan program pendidikan menengah
universal (PMU).
Proses penyebaran informasi tentang program PMU sangat efektif jika didifusikan
melalui saluran media massa. Namun untuk membujuk calon adopter agar segera
membuat keputusan adopsi, peran media interpersonal menjadi lebih penting. Dalam
tahapan yang disebut tahap persuasi itulah jaringan sosial yang ada dalam masyarakat
sangat berguna bagi proses difusi program PMU. Proses penyebaran informasi tentang
program PMU yang sedang dan sudah dilakukan adalah dalam bentuk sosialisasi yang
lebih bersifat model arus komunikasi dilakukan one-step flow models dan two-step flow
models.
Dalam proses one-step flow models pesan yang disampaikan mengenai program
PMU disampaikan mengalir tanpa ada perantara (audience bisa langsung mengaskes
langsung media). Model ini memiliki beberapa kelemahan karena bukan all powerful,
karena tidak semua media mempunyai kekuatan yang sama dalam menyampaikan
program PMU. Kelemahan lainnya adalah kemungkinan timbulnya reaksi yang berbeda
dari masyarakat tentang program PMU walaupun menerima dari media masa yang sama.
Dalam proses two-step flow models pesan yang disampaikan mengenai program
PMU dari media massa tidak seluruhnya langsung mengenai masyarakat sasaran, tetapi
pesan tersebut disampaikan oleh pihak tertentu artinya pihak tertentu tersebut dikenal
dengan opinion leaders (para birokrat di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah,
utamanya di lingkungan dinas pendidikan). Melalui sosialisasi program PMU di tingkat
propinsi dan Kota/kabupaten serta organisasi di bawah birokarasi pemerintahan
misalnya Dharmawanita, PKK, dan organisasi lainnya. Tahap pertama sumber media
untuk pemimpin opini (transfer informasi), lalu tahap ke-dua pemimpin opini kepada
khalayak/pengikut.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 560 ] P a g e
Proses dalam jejaring difusi program PMU mengalir secara alami sepanjang
hubungan interpersonal yang ditingkatkan melalui konsep homophily dan heterophily.
Konsep komunikasi homophily dalam program PMU sering terjadi namun secara terbatas
di kalangan para agen pembaharu. Jika komunikasi konsep homophily sering terjadi maka
komunikasi menjadi lebih efektif ketika sumber dan penerima adalah homophilous.
Komunikasi efektif memberi kemudahan bagi yang terlibat di dalam sistem dan difusi
program PMU akan semakin menyebar.
Proses yang terjadi dalam jejaring difusi program PMU sebenarnya diawali juga
dalam pengertian model alur komunikasi heterophily, ketika para kerator menetapkan
keputusan suatu program pendidikan menengah universal yang digagas dan ditetapkan
melalui Permen NO 80 tahun 2013, maka jejaring difusi PMU menggunakan konsep alur
komunikasi heterophily. Arus informasi mengallir dari para penggagas kepada para agen
pembaharu yang relatif heterophily. Heterophily sering menghubungkan dua kelompok
dan membagi perbedaan individu secara sosial. Mata rantai hubungan antar pribadi ini
penting terutama untuk membawa informasi tentang program PMU.
Adapun jaringan kemitraan dalam proses difusi program pendidikan menengah
universal (PMU), sedikitnya melibatkan 12 lembaga di lingkungan dinas pendidikan, dan
lembaga lainnya yaitu: 1) .Kemendiknas; 2) Dewan Pendidikan Provinsi/Kabupaten/
Kota; 3) PMP; 4) Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota; 5) Komite Sekolah /Satuan
Pendidikan di Kabupaten/Kota; 6) Media cetak, radio dan televise; 7) Perguruan Tinggi
Negeri/Swasta; 8) Dunia usaha/industri/kerja; 9) Profesional; 10) Asosiasi profesi; 11)
Lembaga Bantuan Hukum; 12) Pengamat pendidikan/ pakar pendidikan
Sistem difusi sentralistik PMU dipadu dengan sistem difusi desentralistik PMU
dan/atau penerapan kedua sistem tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam sistem
difusi sentralistik program PMU, difusi dilakukan oleh pemerintah dan/atau ahli;
sementara itu, dalam sistem difusi desentralistik, program PMU datang dari
ekperimentasi lokal yang sering dilakukan oleh pengguna itu sendiri dan atau atas dasar
saling tukar informasi untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Difusi lewat network
horizontal dilakukan unit lokal dengan tingkat kemungkinan reinvensi yang tinggi
tentang Program PMU.
Peran Agen Perubahan (change agent) dan Opinion Leader
Dalam difusi program PMU diperlukan orang-orang yang berperan sebagai agen
perubahan. Agen perubahan ini menjadi penghubung antara calon adopter dengan
inovator. Agen perubahan atau change agent adalah seseorang yang dapat
mempengaruhi orang lain agar sependapat dengan tujuan yang diinginkan oleh suatu
institusi yang mengadakan perubahan. Agen perubahan adalah salah satu unsur penting
dalam proses difusi program PMU. Agen pembaharu program PMU adalah sekelompok
kecil orang tertentu sebagai penentu tentang berbagai hal tentang program PMU, seperti;
kapan dimulainya difusi PMU, dengan saluran apa, siapa yang akan menilai hasilnya, dan
melakukan koreksi, menjadi penghubung antara kreator dengan adopter, dan sebagainya
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 561 ]
dalam suatu sistem sosial. Agen perubahan PMU memiliki akses banyak kepada institusi
penggagas PMU dalam ini Kemendiknas, terutama memiliki akses terhadap ide PMU yang
akan atau sedang didifusikan.
Agen perubahan PMU diperlukan terutama dalam: 1) mengembangkan kebutuhan
untuk berubah, 2) mengadakan pertukaran informasi dan menjalin hubungan, 3)
mendiagnosa masalah, 4) menciptakan minat pada khalayak sasaran untuk berubah, 5)
mengubah minat menjadi tindakan, 6) memantapkan adopsi dan mencegah diskontinyu,
dan 7) mencapai suatu hubungan baik
Apabila ditinjau lebih lanjut ada beberapa peran yang harus dilaksanakan oleh
agen perubahan PMU yaitu peran agen perubahan sebagai penghubung atau linker
terutama untuk menyampaikan berbagai pesan atau informasi tentang PMU. Sebagai
penghubung, agen perubahan melakukan kegiatan-kegiatan: 1) mendifusikan PMU
kepada khalayak sasaran, 2) menyalurkan kebutuhan dan masalah khalayak sasaran
kepada institusi perancang perubahan dalam hal ini pemerintah (Kemendiknas) atau
change agency, 3) menyalurkan masukan atau balikan mengenai PMU kepada
Kemendiknas, dan 4) membuat evaluasi atas kesuksesan atau kegagalan difusi yang
dilakukannya.
Kesuksesan agen perubahan PMU tergantung pada : (a) upayanya menghubungi
khalayak sasaran, (b) orientasinya yang lebih kepada khalayak sasaran, bukan pada
Kemendiknas, (c) tingkat kesesuaian program PMU dengan kebutuhan khalayak sasaran,
(d) empatinya kepada khalayak sasaran, (e) homofilitasnya dengan khalayak (f)
kredibilitasnya di mata khalayak, (g) tingkat kesejalanannya dengan pemimpin opini dan
(h) kemampuan khalayak sasaran mengevaluasi program PMU.
Tugas Agen Perubahan di Bidang Pendidikan Menengah Universal (PMU) secara
umum adalah : a) Mensosialisasikan program pendidikan menengah universal (PMU)
kepada kepala birokrasi pemerintah daerah, dan kepala dinas dengan jajaran terkait di
seluruh daerah masing-masing dan cara implementasi penyelenggaraan pendidikan
menengah universal (PMU); b) Mendiagnosa masalah yang dihadapi khalayak sasaran
sehingga diketahui mengapa pelaksanaan program PMU yang digunakan itu tidak sesuai
dengan kebutuhan atau sasaran; c) Membangkitkan kebutuhan untuk berubah, agen
pembaharu harus membantu khalayak sasaran, agar mereka sadar akan perlunya
pendidikan menengah universal (PMU).
Hubungan agen perubahan program PMU secara positif tergantung pada lebih
tingginya khalayak sasaran dibandingkan agen pembaharu dalam hal (a) status sosial, (b)
partisipasi sosial, (c) pendidikan dan (d) kekosmoplitannya. Dari beberapa kondisi agen
perubahan program PMU di atas dapat dijelaskan bahwa peran agen pembaharu program
PMU masih relatif terbatas pada khalayak sasaran pada tingkat lembaga-lembaga
birokrasi pemerintahan serta organisasi terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Selain itu peran agen perubahan PMU jika dilihat dari tugasnya sebagai linker,
masih relatif terbatas pada kegiatan difusi program PMU, sedangkan kegiatan lain
terutama dengan tugas melakukan evaluasi tentang keberhasilan atau kegagalan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 562 ] P a g e
program PMU dan menyalurkan balikan atau masukan kepada Kemendiknas, belum
dilakukan. Hal ini mengingat waktu peluncuran dan proses difusi program PMU relatif
belum lama dan proses difusi belum secara keseluruhan mencapai target khalayak
sasaran.
Opinion leaders atau pemimpin opini adalah individu yang memimpin dalam
mempengaruhi pendapat orang lain tentang program PMU.. Opinion leaders adalah orang
yang mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan. Opinion leaders lebih mudah
menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara
norma yang ada. Opinion leaders lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakatnya,
lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang ada. Jadi, Opinion leaders dapat
dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang mampu
memengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial.
Perilaku pemimpin opini penting dalam menentukan tingkat adopsi program PMU
dalam suatu system sosial. Bahkan bentuk kurva S difusi terjadi karena pemimpin
opini sekali mengadopsi kemudian memberitahu orang lain tentang program PMU yang
diadopsinya. Kemampuan dirinya memelihara norma menjadi salah satu konsekuensi
logis bentuk pelayanan atau suri teladan yang diberikan atau ditunjukkan kepada
masyarakatnya.
Dalam kenyataannya, sejauh ini orang-orang yang berpengaruh serta berperan
dalam tingkat adopsi program PMU, masih relatif terbatas pada level jajaran birokrasi
pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Para opinion leader di tingkat
khalayak sasaran program PMU belum intensif dilakukan, disebabkan tingkat
keteradopsian program PMU masih relatif rendah.
Dampak program PMU terhadap perubahan sosial dalam dinamika pembangunan
pendidikan di Indonesia
Tujuan utama Pendidikan Menengah Universal (PMU) adalah meningkatkan
kualitas penduduk Indonesia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing
bangsa, peningkatan kehidupan sosial politik serta kesejahteraan masyarakat.
Tecapainya tujuan program PMU dapat diartikan merupakan dampak positif
diimplementasikannya program pendidikan menengah universal (PMU).
Setiap program kebijakan pendidikan, termasuk program pendidikan universal
(PMU) akan memiliki dampak pada sistem sosial masyarakat di mana program tersebut
diimplementasikan. Dampak yang ditimbulkan merupakan bentuk perubahan yang
terjadi, termasuk tatanan sosial dan tatanan sistem pendidikan yang diharapkan oleh
tujuan program yang diimplementasikan. Dampak tersebut dapat meliputi dampak
perubahan positif yang diharapkan dan kemungkinan dampak negatif pelaksanaan suatu
program. Adapun kemungkinan dampak positif dan negatif meliputi:
1. Beberapa dampak positif dari perubahan yang diharapkan dari program PMU
meliputi: 1) Terjadi peningkatan akses publik ke tingkat sekolah menengah
(SMA/sederajat); 2) Angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMA/sederajat akan makin
Program Pendidikan Menengah… (Lili Marliyah)
P a g e [ 563 ]
tinggi, Hingga 2012 ini, APK SMA/sederajat secara nasional masih berada di bawah
70%. Dengan adanya PMU, APK ini akan naik menjadi sekitar 97% pada tahun 2020.
Hal ini sekaligus merupakan percepatan APK pendidikan menengah. Tanpa PMU atau
“Wajar 12 Tahun”, APK sebesar itu baru bisa tercapai pada tahun 2040. Dengan
adanya PMU, peluang masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat
SMA/sederajat semakin besar.; 3) Terjadi penambahan jumlah peserta didik yang
berpeluang melanjutkan ke perguruan tinggi, Hal ini sejalan dengan ditingkatkannya
layanan pendidikan tinggi, termasuk akan dibangunnya akademi komunitas
(community college) di setiap kabupaten/kota menyusul disahkannya UU Pendidikan
Tinggi; 4) Penyeimbangan antara SMA dan SMK. Hal ini, akan mengurangi perbedaan
jumlah kedua jenis sekolah menengah ini; dan sekaligus menambah jumlah lulusan
yang siap kerja terutama dari SMK tanpa mengurangi jumlah yang siap melanjutkan
ke perguruan tinggi baik dari SMA maupun SMK; 5) Meningkat dan menguatnya
pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi yang dimaksud disini adalah pendidikan
kejuruan di tingkat menengah, bukan pendidikan kejuruan di tingkat perguruan
tinggi. PMU akan memperbaiki kualitas angkatan kerja. Pengetahuan dan
keterampilan lulusan SMA/SMK lebih memadai ketimbang lulusan SD/SMP.
sedangkan berdasarkan usia, lulusan SMA/SMK lebih siap memasuki dunia kerja; 6)
Mobilitas vertikal para lulusan SMA/SMK juga akan cenderung lebih mudah
ketimbang lulusan SD/SMP. Dalam hal ini kehadiran PMU ini boleh dikatakan berada
satu langkah di depan (one step ahead) di tengah-tengah dunia pendidikan kita.
Menjadi terobosan dalam meningkatkan kualitas SDM bangsa Indonesia; sekaligus
memperbaiki kinerja dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
2. Beberapa dampak negatif yang akan terjadi dari pelaksanaan Pendidikan Menengah
Universal (PMU), di antaranya adalah masalah anggaran. Dengan diberlakukannya
sistem baru, pastilah ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Jika dahulu,
pemerintah hanya mencanangkan Wajar 9 tahun, maka pemerintah hanya wajib
menganggarkan dana pendidikan khususnya untuk BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) bagi pendidikan selama 9 tahun yaitu SD dan SMP. Namun, dengan rencana
Pendidikan Menengah Universal (PMU), maka pemerintah juga harus menganggarkan
dana yang jauh lebih besar, karena jenjang yang dicakup kini lebih lama yaitu 12
tahun dari SD, SMP sampai SMA/SMK.
3. Dampak negatif lain yang harus diwaspadai adalah masalah transparansi dan
akuntabilitas pendanaan program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Penerapan
PMU tanpa diimbangi oleh perbaikan taraf ekonomi dengan signifikan, maka target
PMU tidak akan tercapai dengan maksimal. Begitu pula tanpa transparansi dan
perubahan cara pandang komunitas sekolah, penerapan PMU hanya akan menjadi
ladang baru dan melanggengkan potensi serta modus korupsi yang lama disinyalir
telah terjadi. Dengan demikian, penerapan PMU tidak hanya layak untuk kita sambut
dengan gembira, tetapi juga harus diwaspadai agar tidak terjebak oleh masalah
ekonomi serta budaya korupsi akut yang berkembang di masyarakat.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 564 ] P a g e
SIMPULAN
1. Esensi program Pendidikan Menengah Universal (PMU) adalah merupakan program
keberlanjutan dari wajar 9 tahun menjadi wajar 12 tahun. Program PMU merupakan
upaya strategis dalam program pendidikan yang memberikan layanan seluas-luasnya
pada seluruh warga negara untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu. Hal
ini mengandung pengertian konsep pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan.
2. Program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dalam kerangka makro kebijakan
pendidikan nasional merupakan suatu lompatan kebijakan yang signifikan.
Pengembangan kebijakan ini dalam upaya meningkatkan kualitas penduduk
Indonesia guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa,
peningkatan kehidupan social politik serta kesejahteraan masyarakat.
3. Nilai keinovatifan program PMU terletak pada kekhasan program PMU, kebaruan
Program PMU yaitu wajar 12 tahun yang merupakan keberlanjutan dari wajar 9
tahun yang belum pernah ada sebelumnya. Selain itu keinovatifan program PMU
dapat dilihat dari unsur kualitatif, bersifat diusahakan dan dilihat dari program PMU
memiliki unsur meningkatkan kemampuan. Unsur lain keinovatifan PMU dapat dilihat
dari pergeseran paradigma kebijakan pendidikan dan kebudayaan yang mendasari
pelaksanaan program PMU.
4. Karakteristik keinovatifan PMU dapat dilihat dari unsur-unsur keuntungan relatif dan
kompatibilitas yang relatif tinggi. Karakteristik keinovatifan PMU jika dilihat dari
unsur kompleksitas, triability dan obsevability relatif rendah.
5. Proses difusi program PMU yang sudah berjalan relative masih terbatas belum
menyeluruh mencapai khalayak sasaran yang menjadi target sebagai system sosial
tempat diimplementasikannya program PMU. Sehubungan dengan hal itu maka
tingkat keteradopsiannya masih relatif belum tinggi yang diukur dengan jumlah
khalayak sasaran yang telah mengadopsi program PMU.
6. Peran agen pembaharu dan opinion leader dalam proses difusi PMU masih terbatas
dan relatif belum maksimal.
7. Perubahan sosial yang mungkin akan terjadi sebagai dampak dari inovasi program
PMU dapat berupa dampak positif dan dampak negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Kemendiknas, 2013, Kebijakan Permendiknas No 80 Tahun 2013 tentang PendidikanMenengah Universal, Jakarta,.Lemabran Negara
Kemendikbud, 2010, Renstra Kemendikbud 2010-2014, Jakarta
Rogers, Everet M, 1983. Diffusion of Innovations, The Free Press, A Division of MacmillanPublishing Co., Inc. New York, N. Y. 10022
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
P a g e [ 565 ]
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PRESTASI BELAJAR MATA KULIAH PENGANTAR AKUNTANSI
(STUDI EMPIRIS PADA MAHASISWA AKUNTANSI DI JAWA TENGAH)
Dewi Amaliah NafiatiFKIP-Universitas Pancasakti Tegal
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh ability and effort(kemampuan dan usaha), intellectual skill, high school grades, college grades,emotional skill, dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar mahasiswa S1Akuntansi dalam Mata Kuliah Pengantar Akuntansi. Penelitian ini dilaksanakanpada perguruan tinggi di Jawa Tengah yang memiliki Jurusan Akuntansi.Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa dari perguruan tinggi (universitas)yang telah mengambil Mata Kuliah Pengantar Akuntansi. Penentuan sampelmenggunakan teknik purposive sampling. Dari populasi sebanyak 28 universitasbaik negeri maupun swasta terpilih 22 universitas sebagai anggota sampel. Datapenelitian diperoleh melalui angket dan studi pustaka. Data dianalisismenggunakan teknik analisis regresi linier berganda. Berdasarkan hasil analisisditemukan bahwa prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantarakuntansi dipengaruhi secara signifikan oleh semua variabel penelitian (abilityand effort, intellectual skill, high school grades, college grades, emotional skill, danlingkungan belajar).
Kata Kunci: Prestasi Belajar, Pengantar Akuntansi, dan Mahasiswa Akuntansi
PENDAHULUAN
Perkembangan dan perubahan yang melanda bangsa Indonesia menjadikan
pendidikan nasional kita dihadapkan pada beberapa masalah. Permasalahan tersebut
antara lain peningkatan kualitas dan hasil, terbatasnya dana yang tersedia dan belum
tergalinya sumber dana masyarakat secara proporsional sesuai dengan prinsip
pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang
tua. Untuk mengantisipasi segala perubahan tersebut maka kita harus menempatkan
pendidikan sebagai modal dasar pembangunan bangsa.
Pendidikan akuntansi yang dilaksanakan di perguruan tinggi pada jenjang S1
menjadi salah satu bekal dalam memasuki dunia profesi akuntan publik bertujuan
menghasilkan lulusan yang beretika dan bermoral tinggi. Berbagai upaya dilakukan
untuk memperkenalkan nilai-nilai profesi dan etika akuntan kepada mahasiswa. Dalam
upaya pengembangan pendidikan akuntansi yang berlandaskan etika ini dibutuhkan
adanya umpan balik (feedback) mengenai kondisi yang ada sekarang, yaitu apakah
pendidikan akuntansi di Indonesia telah cukup membentuk nilai-nilai positif mahasiswa
akuntansi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi, perkembangan pasar modal dan
teknologi informasi, serta perubahan lain mengakibatkan perubahan peran dan tanggung
jawab akuntan.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 566 ] P a g e
Prestasi belajar pada mata kuliah pengantar akuntansi dipilih dalam penelitian ini
karena mata kuliah ini merupakan dasar sebelum menempuh mata kuliah akuntansi yang
lebih kompleks. Prestasi belajar merupakan hasil belajar berupa kemampuan setelah
mahasiswa mengalami proses belajar dalam waktu tertentu dan telah dicapai di luar diri
manusia setelah melakukan proses untuk memperoleh perubahan tingkah laku kognitif,
afektif, psikomotorik. (Sudjana, 2008) Begitu pentingnya prestasi belajar pengantar
akuntansi karena mengantarkan mahasiswa pada pemahaman awal konsep akuntansi.
Untuk mencapai prestasi belajar pengantar akuntansi diperlukan beberapa faktor, di
antaranya ability and effort (kemampuan dan usaha), Intellectual Skill, High School Grades,
College Grades, Emotional Skill, dan lingkungan belajar.
Falley dan Eskew (1988) menyatakan bahwa ability and effort merupakan
kemampuan dan usaha untuk memperoleh pemahaman secara konkret terhadap
pengantar akuntansi, sehingga kemampuan yang diperoleh tidak hanya sekedar
menghafal materi tetapi benar-benar mampu dimengerti. Menurut Gagne (2010),
intellectual skill (kemampuan intelektual) merupakan kemampuan yang ditunjukkan oleh
mahasiswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Untuk
menunjang mahasiswa agar memiliki ability and effort, serta intellectual skill yang baik
terhadap pengantar akuntansi dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa sejak high
school grades atau prestasi mahasiswa sejak belajar di SMU dan tentu saja kualifikasi
perguruan tinggi atau college grades yang bersangkutan. high school grades atau prestasi
mahasiswa sejak belajar di SMU seperti yang dikemukakan oleh Ausubel (1968) tentang
teori bermaknanya yang menjelaskan bahwa belajar merupakan proses mengaitkan
informasi baru dengan informasi yang telah diterima sebelumnya pada konsep-konsep
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut Ausubel, manusia
tidak tahu bagaimana mekanisme memori penyimpanan pengetahuan, yang jelas
informasi-informasi yang diperoleh oleh mahasiswa dapat tersimpan dalam otak. Dengan
berlangsungnya pembelajaran, dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel otak,
terutama sel yang menyimpan informasi.
Pencapaian prestasi belajar pengantar akuntansi dapat diperoleh secara maksimal
juga dipengaruhi oleh emotional skill dan lingkungan belajar. Goleman (2000),
mendefinisikan kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan
secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,
koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Semua faktor-faktor tersebut sebaiknya
berlangsung dalam lingkungan belajar yang kondusif. Walgito (2004) menyatakan bahwa
dalam proses belajar, faktor lingkungan memegang peranan penting karena faktor
lingkungan ini berhubungan dengan tempat, alat-alat belajar, suasana, waktu, dan
pergaulan.
Penelitian ini merupakan perluasan dari penelitian Robert Eskew dan Robert
Falley (1988) yang berjudul “Some Determinant of Student Performance in The First
College-Level Financial Accounting”. Dalam penelitian ini terdapat perubahan dua variabel
independen yaitu variabel lingkungan belajar, dan kecerdasan emosional. Oleh karena itu
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
P a g e [ 567 ]
penelitian ini akan menguji pengaruh ability and effort (kemampuan dan usaha),
Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, dan lingkungan
belajar, juga berpengaruh terhadap prestasi mahasiswa khususnya dalam mata kuliah
pengantar akuntansi.
METODE
Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa S1 Jurusan Akuntansi dari
Perguruan Tinggi di Jawa Tengah. Penentuan sampel menggunakan teknik purposive
sampling, sehingga diperoleh sampel sebanyak 22 perguruan tinggi dari 28 perguruan
tinggi yang berbentuk universitas. Nama dan alamat perguruan tinggi didapat dari
Katalog Perguruan Tinggi. Data penelitian diperoleh melalui pengiriman kuesioner dan
wawancara dengan responden penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang
didapat dari jawaban responden terhadap serangkaian pertanyaan yang diajukan
peneliti.
Variabel sebagai titik perhatian adalah variabel terikat/dependent variable yaitu
prestasi belajar mata kuliah pengantar akuntansi dan variabel bebas/independent
variable yaitu Ability and Effort (kemampuan dan usaha), Intellectual Skill, High School
Grades, College Grades, Emotional Skill dan Lingkungan Belajar.
Untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik terhadap variabel penelitian
ini maka variabel-variabel tersebut didefinisikan secara operasional. Prestasi belajar
diukur dengan nilai yang diperoleh mahasiswa. Ability and Effort (kemampuan dan
usaha) diukur dengan pertanyaan tentang upaya serta kemampuan mahasiswa
memperoleh pemahaman secara konkret terhadap pengantar akuntansi. Intellectual skill
diukur dengan pertanyaan yang berisi kemampuan membaca, memahami dan
menginterpretasikan informasi pengantar akuntansi. High School Grades diukur dengan
prestasi mahasiswa selama mahasiswa belajar di SMU/SMK. College Grades diukur
dengan melihat kualifikasi perguruan tinggi. Kecerdasan emosional diukur dengan
pertanyaan tentang kemampuan mahasiswa dalam pengendalian diri dan motivasi dalam
mempelajari pengantar akuntansi. Lingkungan belajar diukur dengan pertanyaan tentang
tempat belajar, alat belajar, waktu, disiplin dan metode belajar.
Analisis data yang meliputi pengujian instrumen (uji validitas dan reliabilitas),
pengujian data (uji asumsi klasik), dan pengujian hipotesis dilakukan dengan program SPSS
for Windows. Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan analisis regresi berganda
dengan model sebagai berikut:
Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + e
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji validitas dengan analisis faktor menunjukkan validitas pada skor masing-
masing butir dengan skor total. Untuk pengujian reliabilitas dengan menggunakan teknik
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 568 ] P a g e
Cronbach alpha. Hasil pengujian menunjukkan data kuesioner adalah reliabel. Dengan
kata lain, data kuesioner reliabel dan valid.
Tabel 1. Hasil Pengujian Kualitas Data
VariabelHasil
ReliabilitasAlpha Cronbach
Variabel IndikatorHasil AnalisisFaktor Kaiser
MSA > 0,50Ability andEffort
0. 6397 X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7,X8, X9, X10
X6, X7, X8, X9,X10
IntellectualSkill
0. 6261 X11, X12, X13, X14, X15,X16, X17, X18, X19, X20
X16, X17, X18,X19, X20
High SchoolGrades
0. 7087 X21, X22, X23, X24, X25,X26, X27
X26, X27
CollegeGrades
0. 8047 X28, X29, X30, X31, X32,X33, X34, X35
X33, X34, X35
EmotionalSkill
0. 7033 X36, X37, X38, X39, X40,X41, X42, X43, X44, X45
X41, X42, X43,X44, X45
LingkunganBelajar
0. 6735 X46, X47, X48, X49, X50,X51, X52, X53, X54, X55
X51, X52, X53,X54, X55
Berdasarkan hasil uji reliabilitas dengan menggunakan alpha Cronbach diketahui
bahwa variabel Ability and Effort memiliki alpha sebesar 0,6397. Intellectual Skill
memiliki alpha sebesar 0,6261. Variabel High School Grades memiliki alpha sebesar
0,7087. Sedangkan variabel College Grades memiliki alpha sebesar 0,8047. Untuk variabel
Emotional Skill memiliki alpha sebesar 0,7033. Begitu pula untuk variabel Lingkungan
Belajar memiliki nilai alpha sebesar 0,6735. Menurut Sekaran (2006) sebuah variabel
dikatakan reliabel apabila alpha 0,6. Dengan demikian semua variabel dalam penelitian
ini reliabel.
Hasil uji validitas dengan menggunakan analisis faktor diketahui bahwa tidak
semua item pada masing-masing variabel valid. Pada variabel Ability and Effort item yang
valid yaitu item 6,7,8,9, dan 10. Sedangkan variabel Intellectual Skill, item yang valid
adalah item nomor 16, 17, 18, 19, dan 20. Variabel High School Grades, item yang valid
adalah nomor 26 dan 27, sedangkan untuk variabel College Grades, item yang dikatakan
valid berdasarkan analisis faktor adalah item nomor 33, 34, dan 35. Variabel Emotional
Skill, item yang valid adalah nomor 41, 42, 43, 44, dan 45. Item yang valid untuk variabel
Lingkungan Belajar adalah item nomor 51, 52, 53, 54, dan 55. Berdasarkan perhitungan
analisis faktor tersebut, maka dalam penelitian ini item yang tidak valid tidak digunakan
atau dibuang.
Hasil uji asumsi klasik meliputi normalitas, multikolinearitas, dan
heterosedastisitas. Hasil pengujian normalitas menunjukkan nilai signifikansi sebesar
0,99. Nilai ini jauh di atas 0,01 yang menunjukkan bahwa data dalam penelitian ini adalah
normal. Untuk pengujian multikolinearitas dengan melihat nilai Variance Inflation Factor
(VIF) dan tolerance value. Hasil pengujian menunjukkan nilai VIF di sekitar 1, demikian
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
P a g e [ 569 ]
juga dengan nilai tolerance mendekati 1. Dengan demikian keenam variabel independen
tidak memiliki multikolinearitas antar variabel independen satu dengan lain. Deteksi ada
tidak heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu
pada grafik Scatterplot antara SRESID dan ZPRES di mana sumbu Y adalah Y yang telah
diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi - Y sesungguhnya) yang telah di-
standardized. Dari grafik Scatterplot terlihat titik-titik menyebar secara acak serta
tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak
dipakai untuk memprediksi prestasi belajar berdasarkan masukan variabel
independennya.
Hasil pengujian regresi linear menunjukkan nilai R sebesar 0,560 menunjukkan
korelasi ganda (Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades,
Emotional Skill, dan Lingkungan Belajar) dengan Prestasi Belajar dalam mata kuliah
pengantar akuntansi.
Nilai Adjusted R Square sebesar 0,294 menunjukkan besarnya peran atau
kontribusi variabel Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades,
Emotional Skill, dan Lingkungan Belajar mampu menjelaskan variabel Prestasi Belajar
dalam mata kuliah pengantar akuntansi sebesar 29,4%.
Tabel 2. Ringkasan Analisis Regresi Linear Berganda
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 ,560(a) ,314 ,294 53,465
Berdasarkan beberapa hasil analisis diperoleh bahwa enam variabel bebas yaitu
Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill,
Lingkungan Belajar secara simultan berpengaruh terhadap prestasi belajar. Hal ini
terbukti dari hasil uji ANOVA atau F test, didapat F hitung sebesar 16,835 dengan tingkat
probabilitas 0.000 (signifikansi). Karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka
model regresi dapat digunakan untuk memprediksi prestasi belajar.
Adapun hasil output SPSS menunjukkan bahwa Ability and Effort berpengaruh
signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil ini konsisten dengan teori yang dikemukakan
oleh Simanjuntak (2005) yang menyatakan bahwa Ability and Effort individu dipengaruhi
oleh kebugaran fisik dan kesehatan jiwa individu yang bersangkutan, pendidikan,
akumulasi pelatihan, dan pengalamannya. Hasil tersebut juga konsistensi dengan
penelitian yang disampaikan oleh Robert Eskew dan Robert Faley (1988), Frederickson
dan Part (1995), dan Faridah (2003) yang menyatakan bahwa Ability and Effort
berpengaruh positif terhadap prestasi akademik mahasiswa.
Hasil output SPSS menunjukkan bahwa Intellectual Skill berpengaruh signifikan
terhadap prestasi belajar. Hasil pengujian ini relevan dengan teori belajar yang
dikemukakan oleh Gagne (2010) yang menyatakan bahwa intellectual skill merupakan
penampilan yang ditunjukkan oleh mahasiswa untuk memecahkan masalah dengan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 570 ] P a g e
menentukan aturan-aturan tingkat tinggi yang kompleks. Aturan tersebut berisi aturan
dan konsep terdefinisi yang diperoleh melalui pembelajaran beberapa konsep konkret
dan penguasaan diskriminasi-diskriminasi. Pengujian ini juga konsisten dengan temuan
Stone dan Shelly (1997) membedakan Intellectual Skill menjadi empat bagian yaitu
pertama, cognitive complexity, kedua, ability to identify accounting related information
resources, ketiga, problem structuring dan empat, written communication skill yang
berpengaruh terhadap prestasi belajar akuntansi.
Analisis output SPSS menunjukkan bahwa High School Grades berpengaruh
signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Ausubel (1968) tentang teori bermaknanya yang menyatakan bahwa
belajar merupakan proses mengaitkan informasi baru dengan informasi yang lama (telah
dipelajari sebelumnya) tentang konsep-konsep yang relevan dalam struktur kognitif
seseorang. Hasil pengujian ini juga sesuai dengan temuan Smith (1968) yang
mengungkapkan bahwa akuntansi/bookkeeping yang diperoleh di sekolah lanjutan (high-
school) secara positif akan mempengaruhi prestasi mahasiswa di perguruan tinggi dalam
akuntansi dasar.
Output SPSS yang menunjukkan bahwa College Grades berpengaruh signifikan
terhadap prestasi belajar. Hasil pengujian ini sesuai dengan pendapat Tu’u (2003)
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, di mana salah satunya
kualifikasi dari lembaga pendidikan dalam hal ini perguruan tinggi. Hasil ini sesuai
dengan salah satu temuan Eskew dan Faley (1988) yang menyatakan bahwa kualifikasi
perguruan tinggi (College Grades) berpengaruh positif dan signifikansi terhadap prestasi
belajar.
Variabel Emotional Skill berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar juga
terbukti dari hasil Output SPSS. Hasil ini sesuai dengan pendapat Goleman (2000) tentang
kecerdasan emosional yaitu kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan
pengaruh yang manusiawi. Hasil pengujian ini berhasil mendukung temuan Melandi dan
Aziza (2006) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional berupa pengendalian diri
dan empati berpengaruh positif terhadap pemahaman akuntansi.
Begitu pula dengan variabel Lingkungan Belajar. Hasil output SPSS menunjukkan
bahwa Lingkungan Belajar berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil
tersebut sesuai dengan Walgito (2004) yang menyatakan bahwa dalam proses belajar,
faktor lingkungan memegang peranan penting karena faktor lingkungan ini berhubungan
dengan tempat, alat-alat belajar, suasana, waktu, dan pergaulan. Hasil pengujian ini
berhasil mendukung temuan Ulfah (2008) yang menyatakan bahwa lingkungan belajar
berpengaruh positif terhadap prestasi belajar akuntansi.
SIMPULAN
1. Pengujian secara bersama-sama menunjukkan hasil yang signifikan. Dengan demikian
Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill,
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
P a g e [ 571 ]
Lingkungan Belajar secara simultan berpengaruh positif terhadap prestasi belajar
mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi.
2. Ability and Effort (kemampuan dan usaha) berpengaruh positif terhadap prestasi
belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Hasil temuan ini
konsisten dengan temuan Eskew dan Faley (1988), Frederickson dan Part (1995),
dan Faridah (2003) yang menyatakan bahwa Ability and Effort (kemampuan dan
usaha) adalah suatu variabel yang berpengaruh terhadap pendidikan akuntansi
apabila mahasiswa mempunyai kemampuan dalam bidang akuntansi serta upaya
untuk mendukung kemampuan tersebut maka prestasi mahasiswa akan meningkat
dalam mata kuliah pengantar akuntansi.
3. Keahlian intelektual (Intellectual Skill) berpengaruh positif terhadap prestasi belajar
mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi. Hasil ini sesuai dengan temuan
Stone dan Shelley (1997) membedakan Intellectual Skill menjadi empat bagian yaitu
pertama, cognitive complexity, kedua, ability to identifiy accounting related information
resources, ketiga, problem structuring dan empat, written communication skills yang
berpengaruh terhadap prestasi belajar akuntansi.
4. Prestasi di SMU (High School Grades) berpengaruh positif terhadap prestasi belajar
mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi menghasilkan yang signifikan.
Hasil temuan ini mendukung Smith (1968) mengungkapkan bahwa akuntansi/book
keeping yang diperoleh di sekolah lanjutan (high-school) secara positif akan
mempengaruhi prestasi mahasiswa diperguruan tinggi dalam akuntansi dasar.
5. Kualifikasi perguruan tinggi (College Grades) berpengaruh positif terhadap prestasi
belajar mahasiswa dalam mata kuliah Pengantar Akuntansi, menghasilkan temuan
yang mendukung hipotesis. Hasil temuan ini konsisten dengan Eskew dan Faley
(1988) menyatakan bahwa scholastic aptitude test (SAT) dan effort menunjukkan
kontribusi terbesar dalam prestasi mahasiswa diikuti kemudian dengan previous
accounting experience, previous related experience, college-grades serta high school
grades.
6. Emotional Skill berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata
kuliah pengantar akuntansi. Pengujian ini menunjukkan hasil yang signifikan berarti
dapat disimpulkan prestasi belajar mahasiswa selain pengantar akuntansi
berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah Pengantar
Akuntansi. Hasil temuan ini konsisten dengan Melandy dan Aziza (2006) menyatakan
bahwa Kecerdasan emosional yaitu pengendalian diri dan empati berpengaruh positif
terhadap tingkat pemahaman akuntansi.
7. Lingkungan belajar berpengaruh positif terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam
mata kuliah pengantar akuntansi. Pengujian ini menunjukkan hasil yang signifikan
berarti dapat disimpulkan prestasi belajar mahasiswa selain pengantar akuntansi
berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa dalam mata kuliah Pengantar
Akuntansi. Hasil pengujian ini sesuai dengan pendapat Walgito (2004) bahwa dalam
proses belajar, faktor lingkungan memegang peranan penting karena faktor
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 572 ] P a g e
lingkungan ini berhubungan dengan tempat, alat-alat belajar, suasana, waktu, dan
pergaulan. Hasil temuan ini konsisten dengan Ulfah (2008) yang menyatakan bahwa
lingkungan belajar berpengaruh positif terhadap prestasi belajar akuntansi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi dunia pendidikan
umumnya dan khususnya pendidikan akuntansi terutama yang berkaitan dengan cara
untuk meningkatkan prestasi belajar mahasiswa dengan memperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhi peningkatan proses belajar mengajar.
Temuan penelitian ini juga mengindikasikan bahwa faktor-faktor Ability and
Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill, dan
Lingkungan Belajar secara sinergis berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar
mata kuliah Pengantar Akuntansi. Jika keenam faktor ini dapat dibangun dan lebih
dikembangkan selama perkuliahan Pengantar Akuntansi, maka besar kemungkinan dapat
mengoptimalkan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah tersebut dan mata kuliah
lain yang terkait.
Berdasarkan temuan hasil penelitian, peneliti mengajukan saran kepada Dosen
Pengampu Mata Kuliah Pengantar Akuntansi hendaknya sebelum memberikan
perkuliahan perlu diketahui dan dipertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki
mahasiswa dengan mengungkapkan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap
prestasi belajar pada mata kuliah yang diampu. Demikian juga hendaknya dapat
mensinergikan faktor-faktor yang telah terbukti berpengaruh positif dan signifikan
(Ability and Effort, Intellectual Skill, High School Grades, College Grades, Emotional Skill,
dan Lingkungan Belajar) terhadap proses dan hasil proses dan hasil belajar dalam
perkuliahan.
Kepada para akademisi dan peneliti, disarankan untuk melakukan penelitian
lanjutan dengan populasi yang lebih luas dan melibatkan faktor-faktor lain yang mungkin
dapat mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa, misalnya latar belakang ekonomi orang
tua dan fasilitas yang ada di perguruan tinggi setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Ausubel, David P. (1968). The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York. Gruneand Stratton.
Eskew, R. and Faley, R. (1988). “Some Determinant of Student Performance in the FirstCollege-Level Financial Accounting”, Issue in Accounting Education Volume 15.
Faridah. (2003). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Dalam Mata KuliahAkuntansi Keuangan Menengah, Jurnal MAKSI, Vol 3/Agustus/2003. ISSN 1410-6680, UNDIP, Semarang.
Frederickson, J.R. and Pratt, J. 1995. A Model of The Accounting Education Process. Issue inAccounting Education.
Gagne, R. (2010). Teori Belajar Robert Gagne (1916-2002). Diakses darihttp://www.trianawuri.blogspot.com/2010/10/teori-belajar-robert-gagne-1916-2002.html
Faktor-Faktor yang… (Dewi Amaliah Nafiati)
P a g e [ 573 ]
Goleman, D. (2000). Working With Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia PustakaUtama.
Melandy, R. dan Aziza, N. (2006). Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap TingkatPemahaman Akuntansi, Kepercayaan Diri Sebagai Variabel Pemoderasi. SNA 9,Padang.
Sekaran, Uma. (2006). Research Methods for Business (Metodologi Penelitian untuk Bisnis).Jakarta: Salemba Emapat.
Simanjuntak, Payaman. (2005). Manajemen dan Evaluasi Kerja. Jakarta: Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia.
Smith, J. (1968). Articulation of High School Bookkeeping College Elementary accounting,Ph. D. Dissertation, University of Oklahoma.
Stone, D. N. and Shelley, M. K. (1997). Educating for Accounting Expertise: A Field Study.Journal of Accounting Research.
Sudjana, Nana. (2005). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar BaruAlgesindo.
Tu’u, T. (2004). Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: GramediaWidiasarana Indonesia.
Ulfa, T. M. (2008). Pengaruh Lingkungan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Mata DiklatAkuntansi Pada Siswa Kelas XI Jurusan Akuntansi SMK Bhakti Praja Talang TahunPelajaran 2007/2008. Skripsi FKIP Universitas Pancasakti Tegal (tidakdipublikasikan)
Walgito, Bimo. (2004). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Yogyakarta: YayasanPenerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 574 ] P a g e
PENGARUH PRAKTIK KERJA INDUSTRI DAN MOTIVASI BERPRESTASI
TERHADAP KETERAMPILAN AKUNTANSI SISWA PADA MATA PELAJARAN
AKUNTANSI (PENELITIAN PADA SISWA KELAS XII DI SMK KOTA CIREBON)
Enceng YanaPendidikan Ekonomi Unswagati Cirebon
AbstrakProgram pelatihan praktik kerja industri (prakerin) merupakan salah satuperwujudan link and match antara sekolah dengan Dunia Usaha/Dunia Industri.Praktik kerja industri merupakan upaya untuk memberikan kecakapan kerja danpengalaman siswa untuk bekerja pada Dunia Usaha/Dunia Industri. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei. Populasi dalampenelitian ini adalah siswa SMK kelas XII Program Keahlian Akuntansi di KotaCirebon Tahun Ajaran 2014/2015 sebanyak 324 siswa. Dengan rumus Yamaneyang digunakan dalam pengambilan sampel, ditetapkan jumlah sampel sebanyak76 sampel. Selanjutnya sekolah yang menjadi lokasi pengambilan dataditentukan dengan Cluster Proporsional Random Sampling. Pengumpulan datamenggunakan kuesioner dan soal tes. Analisis data yang digunakan adalahanalisis regresi linear berganda. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis datadiperoleh nilai F=7,928, dengan nilai sig. 0,001 sehingga dapat disimpulkanbahwa X1 dan X2 secara bersama-sama berpengaruh secara positif terhadap Y.Sedangkan nilai R2=0,178 menunjukkan bahwa variasi variabel keterampilanakuntansi siswa (Y) dapat dijelaskan oleh praktik kerja industri (X1) danvariabel motivasi berprestasi (X2) sebesar 17,8%.
Kata Kunci: Praktik Kerja Industri, Motivasi Berprestasi, Keterampilan Akuntansi
PENDAHULUAN
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga formal yang bertujuan
untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan siswa untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai
dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta
mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi,
menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi,
memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan
pekerjaannya, dan SMK diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Tujuan khusus SMK menurut UU No. 20 Tahun 2003 adalah: Pertama,
mempersiapkan siswa agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lowongan
pekerjaan yang ada, sebagai tempat kerja tingkat menengah, sesuai dengan keahliannya;
Kedua, membekali siswa agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetisi,
dan mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminati; dan Ketiga,
membekali siswa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu mengembangkan
diri di kemudian hari melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Mata pelajaran kejuruan terdiri dari beberapa mata pelajaran yang bertujuan
untuk menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan kemampuan
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
P a g e [ 575 ]
atau keterampilan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya. Para siswa mengikuti
pembelajaran normatif, adaptif, dan produktif di sekolah selama 3 tahun, yaitu kelas X, XI,
dan XII. Selain mengikuti pembelajaran di sekolah, dalam upaya menciptakan siswa yang
kompeten dan siap kerja di dunia industri, siswa kelas XI diwajibkan mengikuti praktik
kerja industri.
Terdapat faktor internal dan eksternal yang mampu menunjang keberhasilan para
siswa di SMK. Yang termasuk ke dalam faktor internal yang dapat memberikan kontribusi
positif yaitu keterampilan akuntansi dan motivasi berprestasi yang terdapat dari diri
siswa itu sendiri. Kemampuan atau keterampilan dalam pendidikan kejuruan yang
dimiliki siswa sangat membantu siswa dalam dunia pekerjaan yang selalu dituntut dapat
bekerja secara profesional. Keterampilan akuntansi adalah suatu hubungan konsep yang
ditunjukkan dengan perbuatan dan berbentuk praktik untuk memperkuat ingatan.
Keterampilan akuntansi sangat dibutuhkan oleh siswa SMK Program Keahlian Akuntansi.
Keterampilan yang dimiliki oleh siswa dapat membantu mereka dalam mengelola jurnal,
mengelola buku besar, menyelesaikan siklus akuntansi perusahaan jasa dan dagang,
mengelola administrasi kas bank, mengelola administrasi dana kas kecil (petty cash),
menyelesaikan siklus akuntansi perusahaan manufaktur, dan lain-lain. Faktor eksternal
yang menunjang keberhasilan penguasaan keterampilan di SMK salah satunya adalah
dengan diperolehnya pengalaman siswa melalui program praktik kerja industri. Program
ini mampu mengantarkan siswa mengenal jenis pekerjaan yang sesuai dengan keahlian
yang dimilikinya.
Praktik kerja industri dilaksanakan oleh siswa kelas XI di dunia industri selama 4
bulan. Salah satu tujuan praktik kerja industri adalah untuk mengenalkan dan memberi
pengalaman kepada siswa tentang dunia kerja sebenarnya di bawah pengawasan dari
pihak sekolah, industri/perusahaan untuk nanti setelah siswa lulus dari pendidikan SMK.
Selain program praktik kerja industri, ada faktor lain yang berkontribusi pada
keterampilan siswa yaitu faktor motivasi untuk berprestasi. Menurut Sri Rumini
(Muhamad Irham dkk, 2013:56), motivasi merupakan keadaan atau kondisi pribadi pada
siswa yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu dengan tujuan
untuk mencapai apa yang menjadi tujuan siswa yang bersangkutan. Dalam pembelajaran
peran motivasi berprestasi dapat menunjang keberhasilan siswa. siswa yang memiliki
motivasi berprestasi selalu berupaya untuk menguasai pelajaran yang dipelajarinya,
sehingga motivasi berprestasi ini sangat penting dimiliki oleh siswa agar siswa mampu
menjalani seluruh proses kegiatan yang dilaksanakan disekolah maupun dilaksanakan di
dunia usaha/dunia indutri dengan baik, dan yang terpenting keberhasilan disekolah
dapat berimlikasi terhadap kompetensi yang dimiliki siswa sebagai bekal memasuki
dunia kerja.
Kenyataannya tidak semua siswa mampu melaksanakan sesuai dengan ketentuan
di atas. Kondisi-kondisi tersebut bisa dilihat dari beberapa fakta terkait dengan
keterampilan yang sedikit dimiliki oleh siswa yang telah melaksanakan praktik kerja
industri dalam ketercapaian kompetensi keterampilan akuntansi dalam mata pelajaran
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 576 ] P a g e
akuntansi. Rendahnya keterampilan siswa tersebut disebabkan juga masih rendahnya
motivasi berprestasi siswa sehingga pada saat siswa melaksanakan tes kompetensi
keterampilan akuntansi cenderung asal mengerjakan, hal ini terungkap pada saat
wawancara dan observasi awal dengan beberapa guru dan beberapa sekolah SMK di Kota
Cirebon terkait dengan pelaksanaan praktik kerja industri dan motivasi berprestasi yang
berimplikasi terhadap keterampilan akuntansi siswa.
METODE
Penelitian ini menggunakan penelitian survei dengan menggunakan analisis
regresi berganda. Metode survei dilakukan untuk pengujian konstruk yang sudah ada
sebelumnya. Menurut Morissan (2012: 166), “Penelitian survei adalah salah satu metode
terbaik yang tersedia bagi para peneliti sosial yang tertarik untuk mengumpulkan data
guna menjelaskan suatu populasi yang terlalu besar untuk diamati secara langsung.
survei merupakan metode yang sangat baik untuk mengukur sikap, dan orientasi suatu
masyarakat melalui berbagai kegiatan jajak pendapat (public opinion poll)”. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif kontribusi, menurut Musianto (2002:125)
“Pendekatan kuantitatif ialah pendekatan yang di dalam usulan penelitian, proses,
hipotesis, turun ke lapangan, analisis data dan kesimpulan data sampai dengan
penulisannya mempergunakan aspek pengukuran, perhitungan, rumus dan kepastian
data numerik”. Penelitian ini akan menggunakan analisis regresi linear berganda sebagai
alat analisis data penelitian. Penelitian ini dilakukan di SMK Program Keahlian Akuntansi
Kelas XII di Kota Cirebon. SMK di kota Cirebon yang Program Keahliannya Akuntansi
sebanyak 8 sekolah dan semuanya berstatus swasta, sedangkan SMKN 2 Kota Cirebon
baru menyelenggarakan Program Keahlian Akuntansi sehingga belum ada kelas XII.
Tabel 1. Data Sampel Siswa Kelas XII SMK Program Keahlian AkuntansiNo. Nama Sekolah Jumlah Siswa1. SMK Wahidin 41 siswa2. SMK Budiarti 21 siswa3. SMK Widya Utama 14 siswa
TOTAL 76 siswa
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon dengan jumlah 324 siswa dengan
jumlah sekolah 8 sekolah. Sedangkan pengambilan sampel pada penelitian ini
berdasarkan rumus yang diambil dari Taro Yamane (Riduan, 2011;65). Setelah dilakukan
perhitungan menggunakan rumus tersebut, dari jumlah populasi sebesar 324 siswa,
didaptkan sampel 76 siswa dengan tingkat kepercyaan 90%. Selanjutnya penentuan
pengambilan sampel dilakukan dengan membagi sekolah menjadi tiga kluster yang
dilihat dari passing grade dan letak sekolah. Setelah dibagi menjadi tiga kluster maka
dipilih satu sekolah dari masing-masing kluster untuk dijadikan sampel. Sampel dari tiga
kluster tersebut akan ditentukan dengan proporsional sampling sesuai dengan jumlah
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
P a g e [ 577 ]
siswa yang ada di sekolah tersebut. Tabel 1 menunjukan jumlah sampel sesuai dengan
proposional sampling.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen (X1) adalah praktik
kerja industri. Praktik kerja industri (On The Job Training) adalah modal pelatihan yang
diselenggarakan di lapangan, bertujuan untuk memberikan kecakapan yang diperlukan
dalam pekerjaan tertentu sesuai dengan tuntutan kemampuan bagi pekerjaan (Hamalik,
2007:21). Variabel X2 adalah Motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi adalah
tampakdari usaha yang gigih untuk mencapai keberhasilan dalam segala aktivitas
kehidupan. McClelland (Mubiar Agustian, 2012;20). Sedangkan variabel dependen
merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel
bebas. Dari pengertian tersebut maka yang menjadi variabel dependen adalah
keterampilan akuntansi siswa. Keterampilan akuntansi adalah suatu hubungan konsep
yang ditunjukkan dengan perbuatan praktik untuk memperkuat ingatan. Adapun
indikator keterampilan tersebut ditunjukkan dengan: menganalisa data-data transaksi
pada jurnal umum dengan cepat dan benar, menggolongkan data-data akuntansi dengan
cepat dan benar, mencatat data-data transaksi dengan cepat dan benar, dan memasukkan
data-data transaksi dengan tanpa melihat modul dan tanpa bertanya kepada teman
maupun guru Djamarah (Falakhudin, 2012).
Pengumpulan data yang digunakan dalam peneltian ini adalah kuesioner.
Intrumen kuesioner dipakai untuk megukur veriabel praktik kerja industri (variabel X1)
dan motivasi berprestasi (variabel X2). Sedangkan soal tes digunakan untuk mengukur
keterampilan akuntansi siswa. Teknik analisis data yang digunakan digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda dengan bantuan software SPSS.
V.16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan di tiga sekolah yang terdapat di Kota Cirebon yaitu
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Wahidin, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Budiarti, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Widya Utama, dengan populasi seluruh
siswa kelas XII Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ada di Kota Cirebon. Populasi ini
yang akan menentukan sampel sebagai responden yang akan diteliti, pengambilan
sampel Proportionate Random Sampling dan Simple Random Sampling yaitu pengambilan
sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional. Sehingga
dapat diperoleh responden sebesar 76 siswa.
Berdasarkan pernyataan respon siswa tentang kegiatan prakerin rata-rata
menunjukkan respon yang sangat setuju. Beberapa pernyataan berdasarkan tabel di atas
menunjukkan siswa menjawab sangat setuju sebesar 81,6%, setuju sebesar 17,1%, dan
yang menjawab netral sebesar 1,3%. Ini berarti pernyataan hadir tepat waktu di tempat
kerja mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju
karena siswa harus menjaga etika-norma-tata cara bertingkah laku dengan peraturan
yang harus diikuti.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 578 ] P a g e
Pernyataan mengikuti kegiatan Dunia Usaha/Dunia Industri sampai jam kerja
berakhir mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat
setuju sebesar 89,5% karena siswa harus menjaga etika-norma-tata cara bertingkah laku
dengan peraturan yang harus di ikuti. pernyataan selalu menandatangani daftar hadir
mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju
sebesar 67,1 % karena sikap rajin, kegiatan, kegetolan membuat siswa selalu hadir dalam
setiap kegiatan praktik kerja industri di Dunia Usaha/Dunia Industri.
Tabel 2. Gambaran Motivasi Berprestasi
PernyataanSangatSering
SeringSekali
SeringKurangSering
TidakSering
% ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ 1 11,8 9 34,2 26 48,7 37 3,9 3 1,3 12 22,4 17 30,3 23 36,8 28 10,5 8 0 -3 6,6 5 13,2 10 48,7 37 23,7 18 7,9 64 32,9 25 32,9 25 28,9 22 5,3 4 - -5 19,7 15 15,8 12 40,8 31 19,7 15 3,9 36 40,8 31 18,4 14 28,9 22 9,2 7 2,6 27 6,6 5 13,2 10 42,1 32 38,2 29 - -8 11,8 9 19,7 15 28,9 22 34,2 26 5,3 49 6,6 5 18,4 14 38,2 29 30,3 23 6,6 5
10 39,5 30 23,7 18 28,9 22 5,3 4 2,6 211 55,3 42 13,2 10 27,6 21 3,9 3 - -12 26,3 20 22,4 17 38,2 29 13,2 10 - -13 7,9 6 19,7 15 56,6 43 9,2 7 6,6 514 89,5 68 5,3 4 2,6 2 1,3 1 1,3 115 2,6 2 5,3 4 42,1 32 47,4 36 2,6 216 75 57 21,1 16 1,3 1 2,6 2 - -17 46,1 35 26,3 20 26,3 20 1,3 1 - -18 78,9 60 10,5 8 2,6 2 7,9 6 - -19 43,4 33 46,1 35 1,3 1 7,9 6 1,3 120 55,3 42 15,8 12 2,6 2 19,7 15 6,6 521 25,0 19 27,6 21 38,2 29 9,2 7 - -22 35,5 27 34,2 26 27,6 21 2,6 2 - -23 26,3 20 11,8 9 43,4 33 14,5 11 3,9 324 6,6 5 9,2 7 46,1 35 34,2 26 3,9 325 32,9 25 27,6 21 19,7 15 13,2 10 6,6 5
Pernyataan selalu menyelesaikan tugas/pekerjaan tepat waktu mendapatkan
respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju 60,5% karena
menyelesaikan tugas/pekerjaan tepat waktu merupakan sikap rajin, kegiatan, kegetolan.
Pernyataan memperhatikan penjelasan yang diberikan pimpinan dengan baik
mendapatkan respon yang menunjukkan bahwa siswa lebih memilih sangat setuju
karena kerjasama yang baik dapat membuat atmosfer tempat Dunia Usaha /Dunia
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
P a g e [ 579 ]
Industri menjadi nyaman untuk siswa dan pimpinan. Pernyataan dapat bekerja sama
dengan rekan kerja lain tanpa terjadi konflik mendapatkan respon yang menunjukkan
bahwa siswa lebih memilih sangat setuju karena kerjasama yang baik dapat mempererat
hubungan tidak hanya antar siswa dengan Dunia Usaha/Dunia Industri tetapi juga
mempererat hubungan antara sekolah dengan Institusi Pasangan (IP). Sedangkan
gambaran motivasi berprestasi dapat dijabarkan dalam Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, pernyataan angket tentang motivasi berprestasi relatif siswa
manjawab pada kriteria “Sering” yaitu dari 25 pernyataan 14 pernyataan yang dijawab
sering, misalnya pernyataan “apakah anda sering berdiskusi dengan teman anda bila ada
materi pelajaran yang tidak dimengerti.
Tabel 3. Gambaran Hasil Tes
N Minimum Maximum MeanStd.
Deviation
Pres_1 76 79.00 100.00 93.7368 6.56733
Pres_2 76 65.00 100.00 86.0132 9.44386
Pres_3 76 70.00 96.00 82.9474 6.36217
Valid N(listwise)
76
Keterangan:Pres_1 = Mengelola JurnalPres_2 = Mengelola Buku BesarPres_3 = Menyelesaikan Siklus Akuntansi
Gambaran untuk keterampilan Akuntansi pada Mata Pelajaran Akuntansi di tiga
SMK Kota Cirebon dapat dilihat dalam Tabel 3. Berdasarkan hasil tes akuntansi untuk
nilai tes mengelola jurnal nilai terkecil yang diperoleh siswa sebesar 79 dan nilai terbesar
100. Nilai tes kedua adalah nilai tes mengelola buku besar nilai terkecil yang diperoleh 65
dan nilai terbesar 100. Nilai tes terakhir adalah tes menyelesaikan siklus akuntansi,
diperoleh nilai terkecil sebesar 70 dan nilai terbesar 96. Sedangkan untuk mengetahui
persentase dan frekuensi nilai yang diperoleh siswa pada tiga bagian soal yang
dikerjakan, dapat terlihat pada Tabel 4.
Pengujian Regresi Berganda X1, X2 terhadap Y
Formulasi rancangan analisis Y= a + bx1 + cx2, dengan uji dua pihak, taraf
siginifikan 5%. Persamaan regresi berdasarkan pada output Coefficients di atas diperoleh
nilai a= 49,120; b= 0,122; c= 0,338, jadi persamaan regresinya: y= 49,120 + 0,122x1 +
0,338x2. Untuk menerima atau menolak hipotesis dapat dilihat pada tabel perhitungan
distribusi F. Hasil pengujian diperoleh nilai F= 7,928, dan sig. 0,001 sehingga dapat
disimpulkan bahwa nilai sig. 0,001 = 1% ˂ 5% berarti tolak H0 dan terima H1. Jadi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 580 ] P a g e
persamaan adalah linear atau X1 dan X2 secara berasama-sama berpengaruh secara
positif terhadap y (tanda positif diambilkan dari tanda koefisien regresi).
Tabel 4. Daftar frekuensi dan persentase nilaiPres_1 Pres_2 Pres_3
NilaiFrequen
cyPercen
tNilai
Frequency
Percent NilaiFreque
ncyPercent
79 1 1,32 65 1 1,32 70 6 7,8980 8 10,53 70 8 10,53 75 5 6,5883 1 1,32 75 5 6,58 79 1 1,3285 1 1,32 79 1 1,32 80 21 27,6387 1 1,32 80 10 13,16 81 5 6,5889 4 5,26 82 1 1,32 82 2 2,6390 7 9,21 83 1 1,32 83 4 5,2692 2 2,63 84 6 7,89 85 8 10,5393 4 5,26 85 6 7,89 86 1 1,3294 3 3,95 86 1 1,32 87 1 1,3295 6 7,89 87 2 2,63 88 1 1,3296 3 3,95 89 2 2,63 89 6 7,8997 5 6,58 90 8 10,53 90 8 10,5398 8 10,53 91 1 1,32 91 2 2,6399 1 1,32 92 2 2,63 93 2 2,63
100 21 27,63 93 1 1,32 95 2 2,63Total 76 100 94 3 3,95 96 1 1,32
95 3 3,95 Total 76 10096 2 2,6397 2 2,63
100 10 13,16Total 76 100
Hasil analisis juga diperoleh nilai R Square atau R2 = 0,178 = 17,8%. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa variasi variabel keterampilan akuntansi siswa (Y) dapat dijelaskan
oleh praktik kerja industri (X1) dan variabel motivasi berprestasi (X2) secara bersama-
sama sebesar 17,8. Artinya variabel X1 dan X2 mempengaruhi variabel Y hanya sebesar
17,8% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain selain praktik kerja industri.
Dengan menerimanya persamaan regresi y = 49,120 + 0,122x1 + 0,338x2, maka dengan
persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar memprediksi variabel dependen Y jika
diketahui nilai variabel independen X1 dan X2. Sehingga dapat disimpulkan dari uji
hipotesis dari hasil perhitungan adalah Terdapat pengaruh yang signifikan antara praktik
kerja industri, dan motivasi berprestasi terhadap tingkat keterampilan akuntansi siswa
pokok bahasan laporan keuangan pada mata pelajaran akuntansi SMK Program Keahlian
Akuntansi di Kota Cirebon”.
Pembahasan
Respon siswa SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon pada pelaksanaan
praktik kerja industri dapat diketahui melalui instrumen angket (questionnaire) yang
peneliti buat, dengan sub variabel dan indikator. Indikator-indikator tersebut mengarah
pada kegiatan siswa selama melaksanakan praktik kerja industri, kemudian angket
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
P a g e [ 581 ]
tersebut disebarkan kepada responden. Dari angket yang disebarkan meliputi 10
indikator terdiri dari pernyataan sebanyak 20 item.
Sub variabel pertama yaitu meliputi kecakapan kerja. Yang termasuk indikator
dari kecakapan kerja yaitu:
1. Disiplin. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya hadir tepat waktu di tempat kerja
menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar
81,6% dan Saya mengikuti kegiatan Dunia Usaha/Dunia Industri sampai jam kerja
berakhir menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase
89,5%. Menurut Mulianto (2006: 171), “Disiplin yang berasal dari kata discipline
dapat berarti peraturan yang harus di ikuti, bidang ilmu yang dipelajari, ajaran,
hukuman atau etika-norma-tata cara bertingkah laku”. Berdasarkan penjelasan hasil
penelitian dan menurut ahli, disiplin siswa dalam melaksanakan praktik kerja industri
siswa harus memiliki sikap disiplin karena dari sikap tersebut, siswa dapat mematuhi
peraturan yang berlaku sesuai dengan etika-norma-tata cara.
2. Kerajinan. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya selalu menandatangani daftar
hadir menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase
sebesar 67,1% dan Saya selalu menyelesaikan tugas/pekerjaan tepat waktu
menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar
60,5%. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian dan menurut ahli, kerajinan siswa
harus dibentuk seperti dapat ditunjukkan dengan kehadiran di tempat kerja dan
tugas-tugas/pekerjaan-pekerjaan yang diselesaikan tepat waktu.
3. Kerjasama. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya memperhatikan penjelasan
yang diberikan pimpinan dengan baik menunjukkan siswa lebih banyak memilih
sangat setuju dengan persentase sebesar 68,4% dan Saya dapat bekerja sama dengan
rekan kerja lain tanpa terjadi konflik menunjukkan siswa lebih banyak memilih
sangat setuju dengan persentase sebesar 64,5%. “Kerjasama adalah kegiatan yang
dilakukan bersama-sama dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan
dengan cepat” (Tim Guru Eduka, 2010: 114). Berdasarkan penjelasan hasil penelitian
dan menurut ahli, sikap kerjasama yang dapat dilakukan siswa dapat mempererat
hubungan tidak hanya antar siswa dengan Dunia Usaha/Dunia Industri tetapi juga
mempererat hubungan antara sekolah dengan Institusi Pasangan (IP).
4. Inisiatif. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya mencari informasi tentang apa
saja yang akan saya kerjakan di tempat kerja menunjukkan siswa lebih banyak
memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 53,9% dan Saya mengisi jam kerja
yang kosong dengan mengerjakan tugas/pekerjaan yang belum selesai menunjukkan
siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 53,9%.
Berdasarkan penjelasan hasil penelitian, sikap inisiatif adalah usaha yang
memprakarsai atau tindakan yang mengerjakan segala tugas / pekerjaan tanpa
mendapatkan perintah dari pimpinan.
5. Tanggung jawab. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya dapat menyelesaikan
tugas/pekerjaan yang diberikan oleh pimpinan menunjukkan siswa lebih banyak
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 582 ] P a g e
memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 73,7% dan Saya selalu
melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan menunjukkan siswa lebih banyak
memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 77,6%. Berdasarkan penjelasan
hasil penelitian, ini berarti siswa dapat mempertanggungjawabkan tugas/pekerjaan
dari pimpinan untuk dirinya.
6. Kejujuran. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya berusaha mengerjakan tugas /
pekerjaan dengan usaha sendiri menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat
setuju dengan persentase sebesar 77,6% dan Saya mengakui kelebihan pekerjaan /
tugas yang dikerjakan rekan kerja menunjukkan siswa lebih banyak memilih setuju
dengan persentase sebesar 46,1%. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian, sikap
jujur dapat menjalin hubungan yang baik antar-individu yang menunjukkan siswa
berusaha untuk selalu mengerjakan tugas / pekerjaannya dengan usaha sendiri,
mampu mengakui kelebihan pekerjaan yang dilakukan rekan kerjanya, dan selalu
berkata yang sebenarnya.
7. Kebersihan. Di mana terdapat dua indikator yaitu saya selalu menjaga kebersihan
tempat kerja menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan
persentase sebesar 32,9% dan Saya selalu membersihkan terlebih dahulu tempat
kerja menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dengan persentase
sebesar 75,0%. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian, siswa harus bisa
membersihkan dan menjaga tempat kerjanya agar nyaman untuk ditempati karena
kebersihan merupakan sebagian daripada iman.
Sub variabel kedua yaitu meliputi tuntutan kemampuan bagi pekerjaan. Yang
termasuk indikator dari tuntutan kemampuan bagi pekerjaan yaitu:
1. Pencatatan segala transaksi keuangan Perusahaan atau Badan lain ke dokumen yang
diperlukan. Di mana terdapat dua indikator yaitu Saya mengerjakan pencatatan
segala transaksi ke dokumen yang diperlukan menunjukkan siswa lebih banyak
memilih sangat setuju dengan persentase sebesar 69,7% dan Saya melakukan input
dokumen ke dalam pembukuan menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat
setuju dengan persentase sebesar 43,3%. Menurut Bastian (2006: 58), “Transaksi
adalah suatu pertemuan antara 2 (dua) pihak (penjual dan pembeli) yang saling
menguntungkan, yang berdasarkan data/bukti/dokumen pendukung lalu
dimasukkan ke jurnal setelah melalui pencatatan". Berdasarkan penjelasan hasil
penelitian dan menurut ahli, siswa melakukan pencatatan segala transaksi dalam
kegiatan praktik kerja industri dan semua siswa memilih sangat setuju karena
sebagian siswa sudah memahami dan mengimplementasikan materi yang selama ini
dipelajari di sekolah dan siswa dapat mengerjakan pencatatan transaksi ke dokumen
yang diperlukan.
2. Menggolongkan dan mencatat dokumen transaksi di dalam jurnal atau buku lain yang
sejenis dan memposting ke dalam buku besar/buku pembantu. Di mana terdapat dua
indikator yaitu Saya memposting setiap terjadi transaksi dengan angka jumlah
menunjukkan siswa lebih banyak memilih setuju dengan persentase sebesar 36,8%
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
P a g e [ 583 ]
dan Saya melakukan pencatatan angka jumlah saat memposting ke dalam buku besar
/ buku pembantu menunjukkan siswa lebih banyak memilih sangat setuju dan setuju
dengan persentase sebesar 32,9%. Menurut Waluyo (2008: 43), "Buku besar adalah
kumpulan dari akun-akun yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan.
Banyaknya akun tidak ada pembatasannya, tetapi sangat bergantung pada volume
kegiatan dan informasi akuntansi yang diperlukan". Berdasarkan penjelasan hasil
penelitian dan menurut ahli, penggolongan dan pencatatan dokumen transaksi
sebagian besar dapat dikerjakan oleh siswa karena siswa sudah memahami dan dapat
mengimplementasikan materi yang selama ini dipelajari di sekolah.
Sedangkan gambaran motivasi berprestasi siswa SMK Program Keahlian
Akuntansi di Kota Cirebon dapat terlihat instrumen angket yang disebarkan kepada siswa
SMK di Kota Cirebon dari 25 pernyataan angket. Hakikat motivasi berprestasi adalah
dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk
mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau
unsur yang mendukung (Hamzah, 2011:23). Berdasarkan hasil angket yang telah diteliti,
dapat dilihat bahwa kontribusi motivasi berprestasi pada keterampilan akuntansi siswa
SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon sebesar 15,8 %. Sedangkan
berdasarkan pernyataan angket rata-rata siswa menjawab pada kriteria “sangat sering
sekali”, misalnya saja dari pernyataan yaitu; anda sering merasa bahwa optimis dapat
meraih keberhasilan, anda sering merasa anda sering merasa persaingan yang sehat
dapat meningkatkan motivasi belajar, dan lain-lain. Motivasi berprestasi dapat timbul
karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan
belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya
penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik
(Hamzah, 2011:23). Banyak faktor yang menyebabkan motivasi berprestasi pada siswa
SMK Program Keahlian Akuntansi di Kota Cirebon sangat tinggi, di antaranya adanya
keinginan siswa untuk bisa berprestasi sehingga terdorong untuk bisa memahami materi
pelajaran, persaingan atau kompetisi sehingga siswa termotivasi untuk belajar,
lingkungan belajar yang kondusif sehingga siswa merasa nyaman dan tidak cepat merasa
bosan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah, serta harapan orang tua
kepada anaknya agar bisa sukses untuk masa depannya.
Selanjutnya berdasarkan teknik analisis data yang digunakan diketahui bahwa
persamaan regresi linear berganda diperoleh formulasi rancangan analisis Y= a + bx1 +
cx2, dengan uji dua pihak, taraf signifikansi 5%. Persamaan regresi berdasarkan pada
output Coefficients di atas diperoleh nilai a= 49,120; b= 0,122; c= 0,338, jadi persamaan
regresinya: y= 49,120 + 0,122x1 + 0,338x2. Untuk menerima atau menolak hipotesis
dapat dilihat pada tabel perhitungan distribusi F (Tabel ANOVA) yaitu diperoleh nilai F=
7,928, dan sig. 0,001, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai sig. 0,001 = 1% ˂ 5%
berarti tolak H0 dan terima H1. Jadi persamaan adalah linear atau X1 dan X2 secara
bersama-sama berpengaruh secara positif terhadap y (tanda positif diambilkan dari
tanda koefisien regresi). Sedangkan untuk dapat melakukan interpretasi hasil dapat
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 584 ] P a g e
dilihat pada tabel R Square yaitu: nilai R Square atau R2 = 0,178 = 17,8%. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa variasi variabel keterampilan akuntansi siswa (Y) dapat dijelaskan
oleh praktik kerja industri (X1) dan variabel motivasi berprestasi (X2) secara bersama-
sama sebesar 17,8. Artinya variabel X1 dan X2 mempengaruhi variabel Y sebesar 17,8%.
Dengan menerimanya persamaan regresi y = 49,120 + 0,122x1 + 0,338x2, maka dengan
persamaan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar memprediksi variabel dependen Y jika
diketahui nilai variabel independen X1 dan X2. Sehingga dapat disimpulkan dari uji
hipotesis dari hasil perhitungan adalah Terdapat pengaruh yang signifikan antara praktik
kerja industri, dan motivasi berprestasi terhadap tingkat keterampilan akuntansi siswa
pokok bahasan laporan keuangan pada mata pelajaran akuntansi SMK Program Keahlian
Akuntansi di Kota Cirebon”.
SIMPULAN
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga formal yang bertujuan
untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan siswa untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai
dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta
mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi,
menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi,
memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan
pekerjaannya, dan SMK diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Mata pelajaran
kejuruan terdiri dari beberapa mata pelajaran yang bertujuan untuk menunjang
pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan kemampuan atau keterampilan
menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya. Para siswa mengikuti pembelajaran
normatif, adaptif, dan produktif di sekolah selama 3 tahun, yaitu kelas X, XI, dan XII.
Selain mengikuti pembelajaran di sekolah, dalam upaya menciptakan siswa yang
kompeten dan siap kerja di dunia industri, siswa kelas XI diwajibkan mengikuti praktik
kerja industri.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa kegiatan prakerin tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap keterampilan akuntans siswa hal ini di sebabkan oleh penempatan
yang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan yang telah dipelajari di sekolah oleh
siswa, pengalaman yang di dapat oleh siswa pada saat praktik kerja industri belum dapat
meningkatkan keterampilan siswa sesuai ahlinya, Faktor-faktor penghambat praktik
kerja industri siswa yang masih belum dibenahi oleh pihak sekolah yang dapat
mengakibatkan pengalaman praktik kerja industri yang di dapat oleh siswa tidak optimal,
Motivasi berprestasi siswa dalam mengikuti kegiatan yang diselenggarakan sekolah
belum merata dimiliki siswa
Berikut adalah saran peneliti berdasarkan hasil penelitian: pertama; Sekolah atau
lembaga pendidikan dapat meningkatkan kerjasama dengan Institusi Pasangan (IP) yaitu
lembaga Dunia Usaha/Dunia Industri, khususnya pada peningkatan fungsi siswa prakerin
diberikan peran yang terkait dengan Program Keahliannya. Kedua; sekolah atau lembaga
Pengaruh Praktik Kerja… (Enceng Yana)
P a g e [ 585 ]
pendidikan memberikan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan mata pelajaran
akuntansi yang dapat meningkatkan keterampilan akuntansi siswa serta pihak sekolah
memilih model praktik kerja industri/instansi yang sesuai dengan karakteristik dari
program keahlian masing-masing. Ketiga; Diharapkan siswa mampu meningkatkan
kompetensi yang dimilikinya yaitu akuntansi sehingga dapat bermanfaat baik pada saat
mengikuti kegiatan yang diselenggarakan pihak sekolah maupun sebagai modal pada saat
bekerja atau berperan di dunia kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Mubiar. (2011). Permasalahan Belajar dan Inovasi Pembelajaran. Bandung:Refika Aditama
B. Uno, Hamzah. (2011). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta. PT Bumi Aksara.
Bastian, Indra. (2006). Akuntansi Pendidikan. Jakarta: Erlangga
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Direktorat Pembinaan SMK. (2006). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan NasionalNomor 22, 23, 24, dan 34 Tahun 2006.
Falakhudin, An’im. (2012). Peningkatan Keterampilan dan Kemandirian Belajar Siswamelalui Penggunaan Media Aplikasi Komputer Accorate Accounting (Studi PadaSiswa Kelas XI IPS 2 MAN Jember). Jember: Tidak diterbitkan.
Hamalik, Umar. (2007). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum.Bandung: RemajaRosdakarya.
Irham, M. dan Novan Ardy W. (2013). Psikologi Pendidikan Teori dan Aplikasi dalamProses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Morissan. (2012). Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana.
Musianto, L.S. (2002).Perbedaan Pendekatan Kuantitaif dan Pendekatan Kualitatif dalamMetode Penelitian. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. Vol. 4.2.
Riduwan. (2012). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta.
Waluyo. (2010). Akuntansi Pajak (Edisi 1). Jakarta: Salemba Empat.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 586 ] P a g e
PENGARUH GAYA BELAJAR DAN LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP
PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN
MunawarohSTKIP PGRI Jombang
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh gaya belajar danlingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi SMKNegeri 1 Jombang. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Datapenelitian dikumpulkan dengan menggunakan observasi, dokumentasi dankuesioner (angket). Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumenpenelitian diuji terlebih dahulu baik validitas maupun reliabilitasnya. Analisisdata untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependendilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda yang meliputiUji Determinasi (R2), Uji F, dan Uji t, dengan tingkat signifikansi 0,05.Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda diketahui skor prestasi belajarsebesar 33,947, koefisien regresi variabel gaya belajar (X1) sebesar 0,320 dankoefisien regresi variabel lingkungan belajar (X2) sebesar 0,342. Gaya belajardan lingkungan belajar secara simultan mempunyai pengaruh signifikanterhadap prestasi belajar kewirausahaan yang dibuktikan dengan nilai F hitungsebesar 90,250>nilai F tabel sebesar 3,267. Dalam penelitian ini ditemukan pulabahwa nilai R2 (R Square) adalah sebesar 0,838 atau 83,8% yang artinya variasivariabel gaya belajar dan lingkungan belajar menyumbang sebesar 83.8%terhadap variasi variabel prestasi belajar sebesar
Kata kunci: gaya belajar, lingkungan belajar, prestasi belajar
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kegiatan yang kompleks menuntut penanganan untuk
meningkatkan kualitas baik semua komponen atau beberapa komponen. Gerakan baru
dalam pendidikan yakni upaya peningkatan mutu pendidikan yang akan mempengaruhi
pola komponen lainnya. Komponen tersebut adalah tentang kualitas gaya guru mengajar
dan gaya belajar siswa.
Setiap orang memiliki gaya belajar yang berbeda beda dan hal itu yang menjadi
pelancar dan penghambat proses penyerapan ilmu yang diajarkan oleh guru. Sehingga
guru diharapkan untuk mengajar sesuai dengan karakteristik siswa, agar memudahkan
siswa untuk menyerap pelajaran yang disampaikan.
Berhasil tidaknya siswa dalam belajar dapat dilihat dari gaya belajar dan
lingkungan belajar yang terdapat di sekolah. Gaya belajar merupakan proses penyerapan
dan mengatur serta mengelola informasi yang ditangkap. Gaya belajar bukan hanya
berupa aspek ketika melakukan belajar atau menghadapi informasi, melihat, mendengar,
menulis, dan berkata tetapi juga aspek pemrosesan otak kiri-otak kanan.
Bobbi DePorter (2010) mengungkapkan bahwa gaya belajar adalah kunci untuk
mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah, dan dalam situasi-situasi antar
pribadi. Ketika menyadari bagaimana diri pribadi dan orang lain menyerap dan mengolah
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
P a g e [ 587 ]
informasi, karena setiap orang dapat menjadikan belajar dan berkomunikasi dengan
gayanya sendiri
Hamzah Uno (2009) mengungkapkan bahwa apapun cara belajar yang dipilih,
perbedaan gaya belajar itu menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagi setiap individu
untuk bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya. DePorter, mendefinisikan gaya
belajar sebagai bentuk kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi.
Dalam prosesnya, murid, tidaklah selalu sama dalam gaya belajarnya
Gaya belajar antara satu orang dengan orang lainnya berbeda, ada yang dengan
gaya visual (belajar dengan melihat), gaya auditorial (belajar dengan mendengarkan),
gaya kinestetik (belajar dengan bergerak). Ketika seorang guru menyadari bagaimana
siswa menyerap dan mengolah informasi, peserta didik dapat menjadikan belajar dan
berkomunikasi lebih mudah dengan gaya belajarnya sendiri.
Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap informasi
dan kemudian mengatur serta mengolahnya. Sehingga guru enggan mengenali gaya
belajar masing-masing siswa, guru dapat mengambil langkah penting untuk membantu
diri siswa untuk belajar lebih cepat dan mudah. Tidak hanya untuk diri siswa itu sendiri
namun bagi para guru, dengan mengetahui gaya belajar siswa, guru dapat mengemas
strategi pembelajaran lebih variatif dan menciptakan komunikasi yang efektif antara
guru dan siswa, sehingga prestasi belajar pun akan meningkat.
Karena guru adalah manusia pembelajar, yang mempunyai keikhlasan dalam
mengajar dan belajar, dan senantiasa berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak
memahami pelajaran. Maka setiap guru harus berupaya untuk mengajar dengan strategi
pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Sehingga siswa akan dengan mudah
menyerap pelajaran di kelas, memahami, dan mengingatnya dalam jangka waktu yang
lama. Oleh karena itu, jika mengajar yang kita pahami adalah sebagai proses membantu
siswa belajar, maka kita berusaha membantu mereka memahami “Style of Learning”-nya,
dengan meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi lemah daripadanya.
Aspek lain adalah ketika merespon sesuatu atas lingkungan belajar. Lingkungan
belajar merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat yang digunakan dalam
proses belajar dan pembelajaran (Insiyana, 2012). Kedua aspek tersebut yaitu gaya
belajar dan lingkungan belajar sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar yang
dicapai oleh siswa, karena prestasi belajar yang baik mencerminkan gaya belajar dan
lingkungan belajar yang baik
Lingkungan sekolah menurut Insiyana (2012) memegang peranan penting dalam
pendidikan karena pengaruh besar sekali pada jiwa anak. Keadaan gedung sekolah yang
kurang memenuhi syarat juga menghambat proses belajar mengajar misalnya tempat
sekeliling sekolah ramai karena dekat pasar atau pabrik maka akan mengganggu
konsentrasi siswa.
Berdasarkan kutipan di atas maka dapat dikatakan bahwa lingkungan belajar
menyangkut lingkungan personal, lingkungan kultural, lingkungan fisik maupun
lingkungn sosial. Lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikian rupa, sehingga mampu
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 588 ] P a g e
memfasilitasi siswa untuk melaksanakan kegiatan belajar. Lingkungan belajar
merupakan faktor yang sangat penting dalam proses belajar mengajar, di mana
lingkungan belajar merupakan suatu tempat atau suasana (keadaan) yang
mempengaruhi proses perubahan tingkah laku manusia atau tempat bagi anak untuk
bereksplorasi, bereksperimen dan mengekspresikan diri untuk mendapatkan konsep dan
informasi baru sebagai wujud dari prestasi belajar. Sementara itu yang dimaksud dengan
lingkungan alam atau luar adalah segala sesuatu yang ada dalam dunia ini yang bukan
manusia, seperti rumah, tumbuh-tumbuhan, air, iklim, dan hewan. Lebih lanjut yang
dimaksud dengan lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang telah termasuk ke dalam
diri kita, ia berada di antara lingkungan dalam dan lingkungan luar kita. Di samping itu
lingkungan sekolah juga sangat berpengaruh karena dengan adanya lingkungan sekolah
yang kurang mendukung akan berpengaruh terhadap proses belajar siswa.
Belajar adalah suatu aktivitas mental (psikis) yang berlangsung dalam interaksi
dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang bersifat relatif
konstan. Belajar merupakan sebuah proses yang dapat merubah tingkah laku seseorang.
Belajar merupakan sebuah proses yang kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa
pengetahuan sehingga tercipta kemampuan untuk mengkaitkan antara makna
pengetahuan dengan realitas yang ada.
Menurut temuan hasil penelitian dari Nila Nadhiroh Solichatun (2009),
mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Jurusan Ekonomi Pembangunan
Program Studi S1 Pendidikan Ekonomi dengan judul “Pengaruh Gaya Belajar (Learning
Style) dan Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik pada Mata
Pelajaran Ekonomi di SMP Laboratorium Universitas Negeri Malang Tahun Ajaran
2009/2010. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh Gaya Belajar (Learning
Style) dan Lingkungan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik Pada Mata
Pelajaran Ekonomi
Hasil survey di SMK Negeri 1 Jombang menunjukkan bahwa gaya belajar dan
lingkungan belajar di SMK Negeri 1 Jombang dapat dikatakan belum begitu mendukung
dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena kondisi siswa yang heterogen
artinya ada yang konsentrasi dan ada yang kurang konsentrasi pada saat guru sedang
menjelaskan materi, sehingga gaya belajar siswa belum efektif. Selain itu, dalam
lingkungan belajar seperti sarana dan prasarana sudah dapat dikatakan lengkap akan
tetapi masih belum tersusun rapi
Penelitian tentang gaya dan lingkungan belajar yang dilakukan di SMK Negeri 1
Jombang pada siswa kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan. Pemilihan
kelas XI Akuntansi dikarenakan siswa kelas XI adalah siswa yang umumnya sudah
memasuki usia remaja di mana pola pikir mereka sudah berkembang dan dalam
kenyataannya usia remaja adalah usia yang rentan terjadi kenakalan remaja dan
cenderung emosional. Peneliti sengaja mengambil kelas XI Akuntansi karena untuk
mengetahui bagaimana gaya belajar siswa dengan adanya perubahan pola pikir dari
peralihan masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek /
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
P a g e [ 589 ]
fungsi untuk memasuki masa dewasa. Dan juga ditetapkan pada mata pelajaran
kewirausahaan karena mata pelajaran kewirausahaan merupakan salah satu mata
pelajaran yang ada di sekolah SMK Negeri 1 Jombang. Mata pelajaran Kewirausahaan
merupakan satu di antara pelajaran wajib yang harus diikuti oleh siswa karena bermuara
pada dua hal yaitu pertama, pemberian semangat dan motivasi dan kedua pemberian
gambaran strategi yang digunakan. Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: Apakah ada pengaruh gaya belajar dan
lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi pada Mata
Pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang.
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh
gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi
pada mata pelajaran kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang
METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan uji regresi linier
berganda tujuannya untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh antara variabel X1 dan X2
terhadap variabel Y. Dengan desain penelitian sebagai berikut.
Gambar 1. Desain Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Siswa kelas XI Akuntansi SMK Negeri 1
Jombang tahun pelajaran 2014/.2015 sebanyak 114 Siswa, karena jumlah populasi lebih
dari 100, maka peneliti mengambil sampel sebesar 38 siswa dengan cara random
sampling acak sederhana.
Penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Variabel bebas (X1) adalah Gaya Belajar
dengan indikator: 1) melihat (visual), 2) Belajar dengan mendengarkan (auditorial), 3)
Belajar dengan bekerja (kinestetik). dan Lingkungan Belajar (X2): 1) lingkungan dan
suasana disekolah,2) Hubungan sosial peserta didik dengan peserta didik. Sedangkan
Variabel terikat: (Y) adalah Prestasi Belajar Siswa
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1)observasi:Peneliti mengadakan pengamatan awal terhadap aktivitas-aktivitas
secara langsung mengenai proses belajar, gaya belajar dan lingkungan belajar di SMK
Negeri 1 Jombang untuk mencari data yang terdapat dalam objek penelitian. 2)
kuesioner (angket): Peneliti menyebarkan angket kepada siswa SMK Negeri 1 Jombang
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Angket dalam penelitian ini digunakan
untuk mengetahui pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi
Gaya Belajar (X1)
Prestasi Belajar
(Y)Lingkungan Belajar (X2)
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 590 ] P a g e
belajar siswa kelas XI Akuntansi SMK Negeri 1 Jombang. Kuesioner dalam penelitian ini
menggunakan kuesioner tertutup dengan hasil uji validitas dan reliabilitas yang
menunjukkan hasil bahwa variabel gaya belajar (X1) dan lingkungan belajar (X2), adalah
valid karena memiliki rhitung > rtabel (0,320). Sedangkan Uji reliabilitas Hasil analisis di
atas didapat nilai Alpha Cronbanch variabel gaya belajar (X1) sebesar 0,878 dan
lingkungan belajar (X2) sebesar 0,887. Jadi secara keseluruhan butir-butir yang ada
dalam masing-masing variabel adalah reliabel karena lebih besar dari 0,320.
Teknik analisis data yang digunakan adalah: Analisis Regresi Linier Berganda
tujuannya untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar
terhadap prestasi belajar peserta didik. Dirumuskan sebagai berikut:
Y = a + b1 X1 + b2X2
Di mana Y = Variabel dependen (prestasi belajar), X1 dan X2=Variabel independen (gaya
belajar dan lingkungan belajar) dan a = Konstanta (nilai Y apabila X1 dan X2 = 0)
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen (X1,X2) secara
bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Y), (Priyanto,
2009:79). Uji asumsi klasik juga dilakukan untuk melihat pemenuhan persyaratan
analisis. Uji asumsi klasik yang dilakukan meliputi uji normalitas, multikolinearitas,
heterosedastisitas, dan autokorelasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Hasil Angket Gaya Belajar dan Lingkungan Belajar
Hasil angket merupakan data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh gaya
belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar peserta didik di SMK Negeri 1
Jombang. Dengan hasil sebagai berikut: 1)Variabel gaya belajar (X1): berdasarkan hasil
angket gaya belajar menunjukkan bahwa tanggapan responden tentang gaya belajar
visual sebesar 29% menyatakan sangat setuju, untuk gaya belajar auditorial, sebesar
30% menyatakan sangat setuju sedangkan gaya belajar kinestetik responden juga
memberikan tanggapan sangat setuju sebesar 27%. Hal ini menunjukkan bahwa baik
gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik pada siswa sangat diperlukan guna
menunjang prestasi belajar siswa. 2) Variabel Lingkungan belajar (X2): hasil angket
tentang lingkungan belajar menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebesar
30% memberikan tanggapan sangat setuju. Selain itu, tanggapan responden mengenai
hubungan sosial siswa dengan siswa sebesar 27% sangat setuju. Hal ini menunjukkkan
bahwa lingkungan belajar sangat diperlukan guna menunjang prestasi belajar siswa
3).variabel Prestasi belajar (Y): hasil belajar peserta didik setelah melakukan proses
belajar. Indikator prestasi belajar peserta didik kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran
kewirausahaan diambil dari nilai rapor semester gasal tahun pelajaran 2014/2015
dengan Kriteria Ketuntasan Minimal sebesar 70. Hasil penelitian didapatkan nilai rapor
peserta didik mata pelajaran kewirausahaan variabel prestasi belajar (Y) diperoleh skor
tertinggi 93 dan skor terendah adalah 71. Dari skor tersebut diperoleh rata-rata sebesar
81.
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
P a g e [ 591 ]
Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas: digunakan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal.
Pengujian dalam penelitian ini menggunakan One Sample kolmogorof-Smirnov dengan
menggunakan taraf signifikan 0,05. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi
lebih besar dari 5% atau 0,05. Berdasarkan hasil Uji Normalitas dengan menggunakan
bantuan program SPSS. 16.0. for windows diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov
Kolmogorov-Smirnova
Statistic Df Sig.
Prestasi belajar .138 38 .065
Gaya belajar .095 38 .200
Lingkungan belajar .082 38 .200
Hasil di atas kita lihat pada kolom Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan bahwa
nilai signifikansi untuk prestasi belajar sebesar 0,065, untuk gaya belajar sebesar 0,200
dan untuk lingkungan belajar sebesar 0,200. Karena signifikansi untuk seluruh variabel
lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data pada variabel prestasi belajar,
gaya belajar dan lingkungan belajar berdistribusi normal. Angka statistik menunjukkan
semakin kecil nilainya maka distribusi data semakin normal. Sedangkan df menunjukkan
jumlah data.
Uji Multikolinearitas: digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas, yaitu adanya hubungan linier antar
variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model
regresi adalah tidak adanya multikolinearitas. Pada pembahasan ini akan dilakukan uji
multikolinearitas dengan melihat nilai inflation factor (VIF) pada model regresi. Pada
umumnya jika VIF lebih besar dari 5, maka variabel tersebut mempunyai persoalan
multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya (Priyatno, 2009:39). Hasil analisis
ditemukan nilai variance inflation factor (VIF) kedua variabel, yaitu gaya belajar dan
lingkungan belajar adalah 1,445 lebih kecil dari 5, sehingga bisa diduga bahwa antar
variabel independen tidak terjadi persoalan multikolinieritas. Sehingga dapat digunakan
dalam penelitian.
Uji Heteroskedastisitas: digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas, yaitu adanya ketidaksamaan varian
dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang harus
terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala heteroskedastisitas. Pada
pembahasan ini akan dilakukan uji heteroskedastisitas dengan menggunakan uji park,
yaitu meregresikan nilai residual (Lnei2) dengan masing-masing variabel dependen (LnX1
dan LnX2).
Hasil analisis ditemukan bahwa nilai t hitung adalah -0,154 dan -0,378. Sedangkan
nilai t tabel dapat dicari pada tabel t dengan df = n-2 atau 38-2 = 36 pada pengujian 2 sisi
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 592 ] P a g e
(signifikansi 0,025), didapat t tabel sebesar 2,028. Karena nilai t hitung berada pada –t
tabel ≤ t hitung ≤ t tabel, maka Ho diterima artinya pengujian antara Lnei2 dengan LnX1
dan Lnei2 dengan LnX2 tidak ada gejala heteroskedaktisitas. Dengan ini dapat
disimpulkan bahwa tidak ditemukannya masalah heteroskedaktisitas pada model regresi.
Uji Autokorelasi: digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan
asumsi klasik autokorelasi, yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada satu
pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi. Prasyarat yang harus
terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Metode Pengujian yang
digunakan adalah dengan Uji Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan sebagai berikut:
1) jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hipotesis nol ditolak, yang
berarti terdapat autokorelasi; 2)jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol
diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi; 3)jika d terletak antara dL dan dU atau di
antara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti.
Hasil analisis ditemukan nilai DW yang dihasilkan dari model regresi adalah 1,643.
Sedangkan dari tabel DW dengan signifikansi 0,05 dan jumlah data (n)=38, seta k=2 (k
adalah jumlah variabel independen) diperoleh nilai dL 1,373 dan dU sebesar 1,594.
Karena nilai DW 1,643 lebih besar dari nilai dU, maka menghasilkan kesimpulan tidak
ada autokorelasi.
Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh gaya belajar dan
lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa. Dimana gaya belajar (X1) dan
lingkungan belajar (X2) sebagai variabel bebas (independent) sedangkan prestasi belajar
(Y) sebagai variabel terikat (dependent).
Tabel 2. Hasil Perhitungan Uji Regresi Linier Berganda
Model
UnstandardizedCoefficients
StandardizedCoefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 Prestasi Belajar (Y) 33.947 3.579 9.486 .000
Gaya belajar (X1) .320 .051 .512 6.258 .000
Lingkungan belajar(X2) .342 .053 .526 6.418 .000
Berdasarkan Tabel 2 diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: 1) prestasi
belajar sebesar 33,947; artinya jika gaya belajar (X1) dan lingkungan belajar (X2) nilainya
adalah 0, maka prestasi belajar (Y) nilainya adalah 33,947. Artinya jika tidak ada gaya
belajar dan lingkungan belajar maka pencapaian peserta didik atas prestasi belajar
sebesar 33,947. 2) koefisien regresi variabel gaya belajar (X1) sebesar 0,320 artinya jika
variabel independen lain nilainya tetap dan gaya belajar mengalami kenaikan 1 satuan,
maka prestasi belajar (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,320. Koefisien bernilai
positif sebesar 0,320. Koefisien bernilai positif sebesar 0,320, artinya terjadi hubungan
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
P a g e [ 593 ]
positif antara gaya belajar dengan prestasi belajar, semakin meningkat gaya belajar maka
semakin meningkat pula prestasi belajar pada peserta didik. 3) koefisien regresi variabel
lingkungan belajar (X2) sebesar 0,342 artinya jika variabel independen lain nilainya tetap
dan lingkungan belajar mengalami peningkatan 1 satuan, maka prestasi (Y) akan
mengalami peningkatan sebesar 0,342. Koefisien bernilai positif sebesar 0,342 artinya
terjadi hubungan positif antara lingkungan belajar dengan prestasi belajar, semakin
meningkat lingkungan belajar maka semakin meningkat pula prestasi belajar.
Uji Determinasi (R2): digunakan untuk mengetahui persentase sumbangan
pengaruh variabel independen (X1 dan X2) secara serentak terhadap variabel dependen
(Y). R2 sama dengan 0, maka tidak ada sedikit pun persentase sumbangan pengaruh yang
diberikan variabel independen terhadap variabel dependen, sebaliknya R2 sama dengan
1, maka persentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap
variabel dependen adalah sempurna.
Hasil analisis diperoleh angka R2 (R Square) sebesar 0,838 atau 83,8%. Hal ini
menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (gaya belajar
dan lingkungan belajar) terhadap variabel dependen (prestasi belajar) sebesar 83,8%
sedangkan sisanya sebesar 16,2% dipengaruhi oleh variabel bebas lain yang tidak
dimasukkan dalam penelitian ini di antaranya adalah lingkungan alam (fisik), lingkungan
kultural, dan faktor-faktor belajar yaitu faktor intern yang terdiri dari faktor jasmani,
faktor psikologis, dan faktor kelelahan, dan pada faktor ekstern terdiri dari faktor
keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis regresi ganda dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) merumuskan Hipotesis Ho: tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya belajar
dan lingkungan belajar secara bersama-sama terhadap prestasi belajar. Ha: ada pengaruh
secara signifikan antara gaya belajar dan lingkungan belajar secara bersama-sama
terhadap prestasi belajar. 2) menentukan tingkat signifikan Tingkat signifikan
menggunakan a=5% (signifikansi 5% atau 0,05 adalah ukuran standar yang sering
digunakan dalam penelitian). a) menentukan F hitung, berdasarkan tabel diatas diperoleh
F hitung sebesar 90,250. b) Menentukan F tabel, dengan menggunakan tingkat keyakinan
95%, a=5%, df 1 (jumlah variabel-1)=2, dan df 2 (n-k-1) atau 38-2-1=35, hasil diperoleh
untuk F Tabel sebesar 3,267. a) Kriteria pengujian Ho diterima bila F hitung < F tabel Ho
ditolak bila F hitung > F tabel. b) membandingkan F hitung dengan F tabel. c) Nilai F
hitung > F tabel (90,250>3,267), maka Ho ditolak.
Kesimpulan: karena F hitung > F tabel (90,250>3,267), maka Ho ditolak dan Ha
diterima, artinya ada pengaruh secara signifikan antara gaya belajar (X1) dan lingkungan
belajar (X2) secara bersama-sama terhadap prestasi belajar (Y). Jadi dapat disimpulkan
bahwa gaya belajar dan lingkungan belajar secara bersama-sama berpengaruh terhadap
prestasi belajar siswa kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran Kewirausahaan di SMK
Negeri 1 Jombang.
Berdasarkan hasil analisis data di peroleh interpretasi bahwa hasil prestasi belajar
siswa dipengaruhi oleh gaya belajar dan lingkungan belajar hal ini dibuktikan dengan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 594 ] P a g e
adanya hasil analisis data statistik melalui SPSS 16.0 for windows diperoleh hasil
perhitungan konstanta koefisien regresi dari masing-masing variabel independen yaitu
gaya belajar (X1) sebesar 0,320, dan lingkungan belajar (X2) sebesar 0,342 yang berarti
terjadi hubungan positif antara gaya belajar dan lingkungan belajar dengan prestasi
belajar. Semakin meningkat gaya belajar dan lingkungan belajar maka semakin
meningkat pula prestasi belajar peserta didik.
Berdasarkan hasil analisis juga dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh secara
simultan antara gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas
XI Akuntansi di SMK Negeri 1 Jombang yang di peroleh dari hasil F hitung sebesar 90,250
> F tabel sebesar 3,267, dengan nilai determinasi (R Square) sebesar 0,838 atau 83,8%
yang artinya persentase sumbangan pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar
terhadap prestasi belajar peserta didik sebesar 83,8% sedangkan sisanya 16,2%
dipengaruhi oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini
diantaranya adalah lingkungan alam (fisik), lingkungan kultural, dan faktor-faktor belajar
lainnya.
Pembahasan
Prestasi merupakan hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk
simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai
oleh setiap peserta didik dalam periode tertentu (Sari, 2009). Prestasi tidak akan
dihasilkan selama orang atau siswa tidak melakukan kegiatan. Dalam kenyataan, untuk
mendapatkan prestasi tidak semudah yang dibayangkan, tetapi penuh perjuangan
dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi untuk mencapainya. Gaya belajar dan
lingkungan belajar menjadi faktor yang bisa mempengaruhi prestasi belajar siswa kelas
XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan
Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa secara simultan terdapat
pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas XI
Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang. Hal ini dapat
dilihat dari hasil uji F hitung menghasilkan angka sebesar 90,250 dengan tingkat
signifikansi sebesar 0,000 di mana 0,000 < 0,05 maka dapat dikatakan Ho yang
menyatakan bahwa tidak ada pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap
prestasi belajar ditolak dan Ha yang menyatakan bahwa ada pengaruh gaya belajar dan
lingkungan belajar terhadap prestasi belajar diterima.
Sedangkan hasil pengujian koefisien determinasi diperoleh bahwa ada pengaruh
antara gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa dengan
koefisien korelasi ganda sebesar 0,915 dengan koefisien determinasi (R Square) sebesar
0,838 atau 83,8%. Dari angka tersebut yaitu 83,8% prestasi belajar dapat dijelaskan
dengan menggunakan variabel gaya belajar dan lingkungan belajar. Sedangkan sisanya
yaitu 16,2% dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model
penelitian ini di antaranya adalah lingkungan alam (fisik), lingkungan kultural, dan
faktor-faktor belajar yaitu faktor intern yang terdiri dari faktor jasmani, faktor psikologis,
Pengaruh Gaya Belajar… (Munawaroh)
P a g e [ 595 ]
dan faktor kelelahan, dan pada faktor ekstern terdiri dari faktor keluarga, faktor sekolah
dan faktor masyarakat.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian dari Nila Nadhiroh Solichatun (2009),
bahwa Ada pengaruh antara gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi
belajar Peserta Didik Pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMP Laboratorium Universitas
Negeri Malang Tahun pelajaran 2009/2010 secara simultan. Sedangkan , dilihat dari nilai
t tabel dengan taraf signifikan pada tabel coefficient, variabel yang paling dominan
mempengaruhi prestasi belajar adalah lingkungan belajar dengan nilai t hitung 6,418
dengan taraf signifikan 0,000 dan t tabel 2,030 dengan pengujian 2 sisi (taraf signifikan
0,025).
SIMPULAN
Ada pengaruh gaya belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar siswa
kelas XI Akuntansi pada mata pelajaran kewirausahaan di SMK Negeri 1 Jombang.
Variabel gaya belajar dan lingkungan belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar pada
mata pelajaran kewirausahaan. Pengkajian faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar perlu dilakukan, karena dengan mengetahui faktor lain akan lebih mudah
melakukan identifikasi faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa khususnya mata
pelajaran kewirausahaan dan mencari solusi pemecahan masalah yang mungkin timbul
dari faktor tersebut. Setelah melihat hasil penelitian, guru sebagai pendidik diharapkan
untuk lebih bijak dalam menyikapi berbagai faktor yang bisa mempengaruhi prestasi
belajar khususnya mata pelajaran kewirausahaan. Memberikan perhatian dan kontrol,
yang nantinya akan menciptakan lingkungan belajar yang akan memberikan dampak
pada prestasi belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
B. Uno, Hamzah. (2009). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yangKreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Media, Yogyakarta.
Deporter, Bobbi & Hernacki, Mike. (2011). Quantum Learning: Belajar nyaman danmenyenangkan. Bandung: Kaifa
Duwi Priyatno. 2009. SPSS Untuk Analisis Korelasi, Regresi, dan Multivariate. PenerbitGava
Insiyana, Lulun Nur.(2012 ) “Pengaruh Gaya dan Lingkungan Belajar Terhadap PrestasiBelajar Peserta Didik Kelas VII Pada Mata Pelajaran Ekonomi Di MTs. Al IhsanTembelang Kabupaten Jombang Tahun Ajaran 2011/2012.”
Purwanto, N. (2006) Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Rahayu, Minarti.(2013). Pengertian Gaya Belajar dan Macam-macam Gaya Belajar.http://minartirahayu.blogspot.com/2013/03/pengertian-gaya-belajar-berbagai-macam.html,
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 596 ] P a g e
Sari, Masruroh Kusuma. (2009). Peningkatan Prestasi Belajar Ekonomi Melalui MetodePembelajaran Student Teams Achievement Division (Penelitian Pada Siswa KelasVIII SMPN 2 Kartasura”. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Siregar, E & H.Nara. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.
Slameto. (2010). Belajarodanofaktor-faktor0yang0mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Solichatun, Nila Nadhiroh. (2009). Pengaruh Gaya Belajar (Learning Style) DanLingkungan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik Pada Mata PelajaranEkonomi Di SMP Laboratorium Universitas Negeri Malang Tahun Ajaran2009/2010. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sugiyono.(2011). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 597 ]
PENGGUNAAN MODEL PROBIT UNTUK MELAKUKAN PERAMALAN
PENCAPAIAN HASIL BELAJAR MATA KULIAH KUANTITATIF
Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & MustofaUniversitas Negeri Yogyakarta
AbstrakPenelitian ini ditujukan untuk meramal probabilitas keberhasilan pencapaianhasil belajar siswa yang mempunyai latar belakang sosial ekonomi dan jeniskelamin tertentu. Parameter yang dihasilkan dapat digunakan untuk membentukmodel peramalan terhadap pencapaian hasil belajar. Metode yang digunakanadalah ekonometrika dengan model probit atau sebagai salah satu modelprobabilitas nonlinier. Data yang dipakai adalah memakai data cross section darisiswa yang mengikuti mata kuliah Matematika Ekonomi dan Statistika Ekonomi.Semua variabel yang dimasukkan dalam model berpengaruh terhadap tingkatkeberhasilan mahasiswa dalam menjalani PBM mata kuliah kuantitatif.Banyaknya buku dan pekerjaan ibu berpengaruh terhadap keberhasilan tersebutnamun untuk pengaruh banyaknya buku bertanda sebaliknya dengan yangdiharapkan. Mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan mempunyai tingkatkeberhasilan yang lebih besar. Kemampuan dasar siswa sangatlah pentingsebagai substansi yang dapat mempengaruhi keberhasilan mahasiswa. Modelperamalan dengan model non linier model probit terbukti mendapatkan hasilyang lebih baik daripada model LPM karena model ini menghasilkan peramalanyang sesuai dengan batasan yang diinginkan.
Kata Kunci: Peramalan, Probit, Hasil Belajar
PENDAHULUAN
Ada kalanya latar belakang sosial tidak memberikan pengaruh positif dalam
menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Terkadang siswa
yang berasal dari golongan tidak mampu, anak petani, serta berasal dari kalangan
masyarakat yang minim informasi memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibanding
siswa yang berasal dari golongan yang sebaliknya yaitu dari kelas sosial menengah ke
atas, status pekerjaan orang tua yang mendukung, dan dari masyarakat yang melek
informasi. Berdasarkan kondisi seperti itu timbul pertanyaan sejauh mana signifikansi
ketersediaan adanya sarana dan prasarana yang diindikasikan dari latar belakang sosial
siswa terhadap keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajarannya.
Dalam masyarakat Indonesia, masih banyak dijumpai pandangan-pandangan yang
bias gender. Lelaki dikenal sebagai pencari nafkah sedangkan wanita dikenal sebagai
pengasuh anak. Norma ini sudah tercipta dalam masyarakat dengan sendirinya dan
diturunkan dari generasi ke generasi. Seiring dengan perkembangan zaman termasuk di
dalamnya perkembangan kultur yang ada dalam masyarakat sendiri, pola ini sedikit
banyak akan tereliminasi sebagaimana adanya kedinamisan dalam tradisi dan persepsi
kultural. Meskipun demikian, bias gender dalam kehidupan sosial dapat mempengaruhi
pilihan siswa terhadap disiplin ilmu dan motivasinya dalam belajar. Ada sebagian siswa
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 598 ] P a g e
wanita merasa tidak percaya diri dalam matematika atau ilmu-ilmu eksak (terutama yang
berkaitan dengan kajian kuantitatif) karena ada persepsi mata pelajaran tersebut adalah
mata pelajaran laki-laki. Sesungguhnya, laki-laki dan wanita apabila diberikan
kesempatan yang sama akan berkembang sama baiknya.
Menurut Eka (2003), stereotipe peran jenis kelamin mengatakan bahwa pria lebih
kompetitif dibandingkan wanita. Karakteristik pribadi yang dimiliki wanita lebih
mengarahkan mereka menghindari konflik dan persaingan. Wanita lebih bersifat
kooperatif dan kurang kompetitif. Keadaan ini disebabkan adanya perasaan takut akan
sukses yang dimiliki wanita serta konsekuensi sosial yang negatif yang akan diterimanya.
Bila wanita sukses bersaing dengan pria, mungkin akan merasa kehilangan feminimitas,
popularitas, takut tidak layak untuk menjadi teman kencan atau pasangan hidup bagi
pria, dan takut dikucilkan. Anggapan tersebut sebelumnya diungkapkan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Ahlgren tahun 1983 yang mengatakan bahwa sikap kooperatif lebih
tinggi pada wanita dan sikap kompetitif lebih tinggi pada pria.
Dari sisi dosen, peramalan hasil belajar juga diperlukan sebagai bahan masukan
terhadap hasil belajar nantinya. Dengan mengetahui perkiraan hasil belajar nantinya
maka dosen dapat membuat langkah alternatif yang sekiranya bisa dilakukan ketika hasil
belajar yang diperoleh dari hasil peramalan kurang memuaskan. Walaupun hasil belajar
bukanlah tujuan satu-satunya dalam PBM namun ketika hasil belajar kurang baik maka
hal ini juga bisa menurunkan motivasi dari dosen yang bersangkutan. Dengan
mengetahui perkiraan hasil belajar sebelum waktu PBM berakhir, dosen bisa membuat
langkah yang kreatif yang bisa meningkatkan hasil belajar dari yang diperkirakan.
Peramalan bisa dilakukan pada pertengahan waktu PBM. Dengan diketahuinya
perkiraan hasil belajar pada masa pertengahan itu maka dosen mempunyai cukup waktu
untuk membuat langkah alternatif dalam mengkoreksi metode pembelajarannya,
membuat komunikasi yang lebih baik dengan siswanya, atau membuat langkah strategis
lainnya dalam pembelajaran.
Beranjak dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dipandang
perlu untuk melakukan penelitian untuk meramal keberhasilan pencapaian hasil belajar
ketika siswa tersebut mempunyai latar belakang sosial ekonomi tertentu dengan
perbedaan jenis kelamin. Dalam penelitian ini nantinya dilakukan pembentukan model
untuk melakukan peramalan terhadap pencapaian hasil belajar. Model yang dimaksud
adalah model peramalan dengan model probit. Model ini belum pernah dilakukan
terhadap konteks peramalan hasil belajar di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
pengaruh karakteristik sosial pada keberhasilan siswa dalam PBM. Selain itu untuk
mengetahui apakah jenis kelamin ikut berpengaruh dalam keberhasilan siswa dalam
PBM. Selanjutnya hasil parameter dapat digunakan untuk melakukan peramalan yang
baik dalam memperkirakan tingkat keberhasilan siswa dalam PBM.
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada siswa yang diteliti adalah mahasiswa
FISE UNY. Karakteristik siswa adalah jenis kelamin, cita-cita ke depan, dan bagaimana
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 599 ]
responnya terhadap suasana pembelajaran serta dan karakteristik sosialnya, jenis
kelamin yang dimaksud adalah perempuan atau laki-laki. Mata kuliah yang diteliti adalah
mata kuliah kuantitatif seperti Matematika Ekonomi dan Statistika. Ukuran pencapaian
siswa dalam PBM diindikasikan dengan nilai akhir yang diperoleh siswa. Nilai akhir
tentunya mencakup berbagai komponen seperti tugas, partisipasi, ujian tengah semester
(UTS), ujian akhir semester (UAS)
Hasil Belajar dan Faktor Penentu Keberhasilan Pembelajaran
Sebagaimana dikutip dari Widyastuti (2007), menurut kurikulum menengah
umum Depdikbud tahun 1987, prestasi belajar adalah hasil yang dapat dicapai pada
suatu saat. Pengertian prestasi belajar adalah keberhasilan belajar yang telah dicapai oleh
siswa dalam mengikuti program pengajaran pada waktu tertentu yang diwujudkan dalam
bentuk nilai. Suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil ketika daya serap terhadap
bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun
kelompok dan perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran / instruksional khusus
(TIK) telah dicapai oleh siswa baik secara individu maupun kelompok.
Menurut Bloom (dikutip dari Depdiknas, 2009), prestasi akademik atau prestasi
belajar adalah proses belajar yang dialami siswa dan menghasilkan perubahan dalam
bidang pengetahuan, pemahaman, penerapan, daya analisis, sintetis dan evaluasi. Faktor
yang dapat mempengaruhi prestasi akademik yaitu bersifat internal seperti intelegensi,
motivasi belajar, minat, bakat, sikap, persepsi dan kondisi fisik, sedangkan yang bersifat
eksternal adalah lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Diungkapkan oleh Farley dan Gordon pada tahun 1981 (Tarmidi, 2006)
mengungkapkan bahwa keberhasilan dalam pembelajaran dipengaruhi oleh sikap,
perlakuan dalam pembelajaran, dan lingkungan. Oleh karenanya selain faktor internal
dari mahasiswa dan akademis dari pembelajaran itu sendiri maka faktor eksternal dari
mahasiswa sangat penting dalam mempengaruhi belajar mahasiswa tersebut.
Secara definisi dan secara umum (Anonim, 2007), sukses dalam perguruan tinggi
tergantung dari kebutuhan keterpenuhan dari sisi akademisnya. Semua faktor harus
dipertimbangkan, catatan akademis sebelumnya dan kemampuan kognitif yang lebih luas
bisa mempengaruhi kinerja siswa dan persistensi di perguruan tinggi tersebut.
Semua faktor non akademis juga harus dipertimbangkan khususnya yang
mempengaruhi kinerja siswa dalam pembelajaran. Faktor non akademis yang relevan
yang mesti dipertimbangkan adalah faktor-faktor psikis dari individu seperti motivasi,
faktor-faktor keluarga seperti sikap terhadap pendidikan, tingkat keterlibatan dalam
aktivitas kampus, dan perencanaan karir setelah usai kuliah.
Selain itu, ada berbagai faktor yang diungkapkan oleh kepala lembaga penelitian
di Universitas Indiana Blomington (Anonim, 2002) yang bisa mempengaruhi tingkat
ketahanan kompetensi yang diajarkan dalam perkuliahan yaitu antara lain faktor
demografi, status sosial ekonomi, kemampuan akademis, tingkat kesiapan sebelum
masuk ke universitas, Uang saku yang diterima dari orang tua, Komitmen siswa terhadap
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 600 ] P a g e
pembelajaran sebelumnya, Integrasi Sosial, dan Integrasi Akademis. Berbagai faktor
tersebut dianggap sebagai faktor yang sangat penting dalam tingkat ketahanan hasil
belajar sebagaimana juga diungkapkan oleh peneliti lainnya di berbagai belahan dunia
lainnya.
Johnson (2000) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang bisa dianalisis
mempengaruhi pencapaian akademis ada berbagai faktor antara lain ukuran kelas,
ras/etnis, tingkat pendidikan orang tua, jumlah materi bacaan di rumah, tingkat
keringanan biaya dalam makan siang, dan jenis kelamin. Pada dasarnya yang
diungkapkan oleh Johnson ini tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh peneliti
lainnya di mana pada umumnya faktor yang mempengaruhi adalah faktor internal,
eksternal, dan faktor dari sisi akademis atau pembelajaran itu sendiri.
Proses Belajar Mengajar dan Latar Belakang Siswa
Pembelajaran adalah suatu proses pemahaman yang membimbing perubahan
tingkah laku seseorang (peserta didik). Perubahan tingkah laku tersebut meliputi 3 ranah
yaitu: pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan nilai-nilai (afektif).
Perubahan tingkah hasil pembelajaran sifatnya relatif tetap, dapat diukur, terkonstruksi
dalam struktur pengetahuan peserta didik dan merupakan hasil latihan atau pengalaman.
Pembelajaran pada dasarnya meliputi dua hal yaitu aktivitas belajar dan aktivitas
mengajar. Menurut Sardiman (2007) pembelajaran merupakan suatu proses yang
mempunyai fungsi membimbing siswa di dalam kehidupan, yaitu membimbing siswa
dalam mengembangkan diri sesuai dengan tugas perkembangan. Tugas perkembangan
tersebut mencakup kebutuhan hidup baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
Pembelajaran merupakan suatu proses pendidikan. Proses pendidikan terdiri dari
beberapa komponen, yaitu interaksi pendidikan, tujuan pendidikan, lingkungan
pendidikan, dan pergaulan pendidikan (Sukmadinata, 2008: 24-29). Interaksi pendidikan
adalah interaksi antara peserta didik, pendidik, dan berbagai sumber pendidikan. Tujuan
proses pendidikan diarahkan pada peningkatan penguasaan pengetahuan, kemampuan,
keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan
pengembangan diri peserta didik. Lingkungan pendidikan meliputi lingkungan fisik,
sosial, budaya, politis, keagamaan, intelektual, dan nilai-nilai. Pergaulan pendidikan
mencakup pergaulan antara peserta didik dengan pendidik, orang tua dan masyarakat.
Proses belajar mengajar tidak dapat terlepas dari pengaruh keluarga. Keluarga
termasuk dalam lingkungan sosial budaya. Pada keluarga, pola pengasuhan mempunyai
peran penting dalam pengembangan kepribadian siswa. Jika dalam keluarga, seorang
siswa dididik terlalu keras maka siswa tersebut akan “mutung” sebaliknya jika dididik
dengan manja maka akan menjadi orang manja, lembek, tidak ada daya survive dalam
perjalanan hidupnya. Lewat disertasinya, Dr. M. Enoch Markum membuktikan, pola asuh
otoritatif sangat efektif untuk menunjang anak berprestasi tinggi (Anglingsari dan
Sujayanto, 2007). Sedikit banyak ini dipengaruhi oleh pola pendidikan dalam
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 601 ]
keluarganya. Pola pendidikan dalam keluarga juga tergantung dari tingkat wawasan
orang tua yang terdekat terutama ibu. Agaknya, bila pola asuh otoritatif ini dilakukan,
peranan ibu sangatlah besar dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Bukannya ayah
tidak berperanan tetapi peran ibu lebih nyata demikian menurut Dr. M. Enoch Markum.
Selain itu yang terpenting dalam pencapaian prestasi adalah kedisiplinan diri dalam
hidupnya. Kedisiplinan bisa ditanamkan sebagai produk kebiasaan. Misalnya, kebiasaan
menyeberang jalan pada tempatnya, tepat waktu dalam berjanji, atau antre ketika
membeli karcis di loket.
Kondisi sosial ekonomi keluarga mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan
siswa dalam PBM. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Direktorat Pendidikan Kanada
(Anonim, 2004), Peranan tingkat ekonomi keluarga yang sangat penting bagi
keberhasilan siswa juga diungkapkan dalam studi yang dilakukan oleh Pyryt dan Lytton
pada tahun 1998. Mereka mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan
keluarga memberikan pengaruh positif dalam keberhasilan siswa. Lebih lanjut data
mengungkapkan bahwa setiap peningkatan US$ 1000 pendapatan keluarga
mengakibatkan peningkatan pencapaian skor sebesar seperempat persen.
Direktorat pendidikan Kanada (2006) juga mengungkapkan bahwa studi yang
dilakukan oleh Dooley dan Stewart pada tahun 2004 menyatakan bahwa semakin
meningkatnya pendapatan maka semakin meningkat pula pencapaian siswa dalam
pembelajaran Matematika. Kondisi didukung oleh data empiris yang menunjukkan
bahwa adanya perbedaan hasil tes yang mencolok antara siswa yang berasal dari
golongan bawah dan siswa dari golongan atas. Secara lebih spesifik data menyebutkan
bahwa setelah melalui analisis bivariate diungkapkan bahwa rata-rata skor siswa
meningkat 30 persen dari siswa dari keluarga dengan penghasilan di bawah 20.000 $
Kanada dengan siswa dari keluarga dengan penghasilan 40.000 $ Kanada.
Data empiris lainnya juga diungkapkan oleh Schiller, Khmelkov dan Wang pada
tahun 2002 . Mereka menyatakan bahwa faktor pendidikan keluarga dan tingkat ekonomi
mereka juga menjadi variabel yang penting dalam memperoleh pencapaian hasil belajar
yang diinginkan. Dari sejumlah 200.000 sampel yang diperoleh dari 34 negara
diungkapkan bahwa siswa mempunyai keunggulan dalam pencapaian hasil belajar
seiring dengan semakin tingginya taraf ekonomi keluarganya. Hal lain yang patut untuk
dijadikan perhatian bahwa siswa yang mempunyai kedua orang tua yang tinggal dalam
satu negara mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan bagi mereka
yang tidak senegara dengan orang tuanya. Data ini menguatkan hipotesa “marginalized
family” yang menyatakan bahwa pentingnya bagi keluarga untuk meluangkan waktu dan
perhatiannya bagi anaknya.
Gender dalam Proses Belajar Mengajar
Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan
secara sosial dan budaya (Anonim, 2004: 1). Gender mempunyai sifat sosial yang
diperoleh dari pembiasaan atau pembelajaran masyarakat sehingga terpengaruh oleh
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 602 ] P a g e
waktu, tempat, dan kondisi sosial. Seringkali pengertian gender disamakan dengan
pengertian sex atau jenis kelamin, sehingga muncul pembedaan-pembedaan peran laki-
laki dan perempuan dalam bidang sosial ke masyarakat. Padahal perbedaan yang bersifat
kodrati antara perempuan dan laki-laki adalah jenis kelamin yang berhubungan dengan
alat dan fungsi reproduksi. Gender berpengaruh juga dalam proses belajar mengajar.
Pandangan yang bersifat bias gender seringkali mempengaruhi interaksi dan motivasi
siswa laki-laki dan perempuan.
Berbagai studi telah dilakukan terkait dengan perbedaan jenis kelamin. Pada studi
yang dilakukan oleh Cavanagh tahun 2005, di Amerika Serikat. Cavanagh menyebutkan
bahwa sekolah-sekolah yang dikhususkan untuk perempuan mempunyai data bahwa
siswa-siswa tersebut lemah dalam bidang ilmu komputer dan teknik. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka lemah di dua bidang tersebut yang merupakan
pengembangan dari Matematika dan ilmu eksak pada umumnya. Cavanagh menyatakan
bahwa kondisi ini bisa terjadi karena perempuan mempunyai kelemahan berupa
kurangnya kepercayaan diri dan kurangnya konsen mereka terhadap ilmu tersebut (Dee,
2005).
Hal tersebut menguatkan temuan dalam studi sebelumnya yang dilakukan oleh
Freeman pada tahun 2004. Dia menyatakan bahwa ada perbedaan pencapaian yang
diperoleh antara siswa laki-laki dan perempuan. Siswa laki-laki lebih menonjol dalam
bidang eksak yaitu matematika sebaliknya siswa perempuan lebih menonjol pada bidang
ilmu non eksak yaitu membaca. Freeman juga menyatakan bahwa kondisi ini semakin
meningkat ketika usia siswa semakin meningkat. Setelah menginjak usia remaja ke atas,
kesenjangan gender ini tetap terus meningkat walaupun peningkatan kesenjangan gap
menurun Dee (2007). Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Machin dan McNelly (2006). Pada umumnya wanita lebih unggul dari pria pada mata
pelajaran bahasa.
Namun kondisi empiris di Swedia mengungkapkan hal yang sedikit berbeda. Hal
ini dikemukakan oleh Helena Holmlund and Krister Sund (2005) dalam studinya. Siswa
perempuan pada umumnya memperoleh pencapaian yang melebihi laki-laki dalam bidak
non eksak seperti dalam bidang Bahasa Swedia dan Inggris. Sebaliknya untuk bidang
Matematika, di Swedia tidak ditemukan perbedaan yang nyata yang mengungkapkan
adanya kesenjangan gender dalam hal ini.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
dengan metode ekonometrika. Karena regresi yang dilakukan adalah regresi probabilitas
maka metode regresinya menggunakan Maximum Likelihood (MLH) dengan model
regresi non linier yaitu model probit. Sedangkan data yang akan diolah dalam penelitian
ini adalah data primer dari populasi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah kuantitatif
Matematika dan Statistik Ekonomi yang diikuti oleh mahasiswa jurusan Pendidikan
Ekonomi, Akuntansi, dan Manajemen yang mengikuti PBM yang dilaksanakan dalam
kurun waktu tahun ajar 2008-2009 dan semester pendek 2009.
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 603 ]
Gambar 1. Kerangka Pikir Dalam Pembentukan Model
Kajian pustaka:-kajian teori
-penggalian
penelitian yang
telah dilakukan
Internal :
Perilaku Siswa
Eksternal:
Lingkungan
Pencapaian Hasil
Belajar
Perlakuan
dalam
Pengajaran
Permasalahan:
-Adakah pengaruh perbedaan
jenis kelamin dan latar belakang
sosial ekonomi siswa terhadap
pencapaian hasil belajar?
Pengukuran :
-regresi non
linier
probability
model: Probit
Regresi non
Linier
Probability
Model:
Kajian pustaka:-kajian teori
-penggalian
penelitian yang
telah dilakukan
Koleksi datasekunder
Koleksi dataprimer: wawancarasample dengankuisioner
Analisis Dampakkarakteristik socialekonomi dan jeniskelamin terhadaphasil belajar.
Koleksi datakualitatif
UjiStatistik
ArtikulasiHasil
Pengukuran
LaporanPenelitian:
RekomendasiKebijakan dan
Saran
Masukan bagisubyek dalamproses belajarmengajar
Luaran: PublikasiIlmiah HasilPenelitian
Hasil
Publikasi Ilmiah Diseminasi hasil
Pembentukan Model
Peramalan Hasil
Belajar Mahasiswa
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 604 ] P a g e
METODE
Sebagaimana yang telah dilakukan dalam penelitian Davies dkk (2004) yang akan
dijadikan rujukan bagi penulis untuk meneliti hal ini, maka akan dilakukan metode
ekonometrika dengan model probit. Melalui penggunaan model ini, nantinya akan
diketahui signifikansi dari variabel-variabel yang diteliti terhadap probabilitas
kesuksesan siswa dalam mengikuti PBM. Sedangkan data yang dipakai adalah data cross
section dari objek yang diteliti dari seluruh populasi siswa yang mengikuti mata kuliah
Matematika Ekonomi dan Statistika Ekonomi.
Melalui estimasi data memakai model probit akan diketahui pengaruh masing-
masing variabel terhadap probabilitas keberhasilan siswa dalam PBM. Selain itu, dengan
didapatkannya paramater yang diperoleh dari hasil estimasi, kita bisa memakainya untuk
meramal apakah siswa yang bersangkutan secara individu bisa mencapai keberhasilan
dalam PBM dengan memasukkan data sesuai dengan variabel-variabel yang dimilikinya.
Model probit adalah pengembangan dari model yang memakai variabel
bergantung berupa dummy variabel yaitu variabel boneka yang hanya bernilai 0 dan 1.
Nilai 0 dan 1 ini untuk mewakili variabel kualitatif sebagai perwakilan atau notasi dari
berhasil (nilai 1) atau tidak berhasilnya (nilai 0) siswa dalam pembelajaran.
Jika suatu model memakai variabel dummy sebagai variabel bergantungnya maka
akan banyak kelemahan jika diestimasi dengan memakai pendekatan Ordinary Least
Square (OLS). Model dengan variabel dummy sebagai variabel bergantung yang
diestimasi dengan OLS itu dinamakan Linier Probability Model (LPM) model ini
mensyaratkan bahwa variabel yang diestimasi harus mempunyai nilai antara 0 sampai 1
(Gujarati, 2004).
Karena model LPM mempunyai beberapa kelemahan maka diperlukan solusi
untuk mendapatkan estimasi yang terbaik. Lalu dikembangkan Cumulative Distribution
Function (CDF) yaitu Logit model dan disempurnakan kembali menjadi Probit. Probit ini
adalah usaha untuk menormalkan CDF sehingga juga disebut Normit model. Dengan
model ini maka kita mengestimasi model yang akan dipakai untuk mencapai tujuan
penelitian (3.6).
Model estimasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagaimana model yang
dipakai oleh Davies dkk (2004) yaitu:
S=β0 + β1A + β2iXi + β3iFi +ε
Di mana, S adalah dummy variabel yang mewakili pencapaian hasil belajar siswa,
di mana S=1 pada saat siswa mendapat nilai baik (B ke atas) dalam mata kuliah yang
bersangkutan dan S=0 untuk kondisi lainnya. A adalah tingkat kemampuan siswa dalam
hal ini diwakili dengan IPK terakhir sebelum dia mengambil mata kuliah yang
bersangkutan. Xi adalah seperangkat variabel dari karakteristik siswa seperti gender
dalam hal ini jenis kelamin (X1), cita-cita akan pekerjaan ke depannya nanti (X2), dan
penilaian siswa terhadap dosen yang mengampu mata kuliah yang bersangkutan (X3). X3
diindikasikan dengan nyaman tidaknya siswa yang bersangkutan terhadap dosen yang
mengampu mata kuliah tersebut. Fi adalah seperangkat variabel yang menggambarkan
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 605 ]
latar belakang sosial keluarga siswa seperti pekerjaan ibu (F1) dan seberapa banyak buku
yang dipunyai di rumah (F2). Sedangkan ε adalah komponen error dalam estimasi model.
Pengkategorian cita-cita dan pekerjaan ibu sebagaimana dalam rujukan utama
penelitian ini yaitu oleh Davies (2004). Kategorinya berdasarkan tingkat kebebasan
ekonomi dari kemungkinan cita-cita siswa dan pekerjaan ibu siswa yaitu 1). Buruh, 2)..
Pekerja, 3). Pekerja terampil, 4). Pekerja dengan Keahlian, 5). Manager, dan 6).
Pengusaha.
Kategori berhasil (variabel dummy bernilai 1) atau tidak (variabel dummy bernilai
0) apakah nilainya B atau berapa sifatnya opsional tergantung dari mata kuliah yang
bersangkutan. Sehingga nantinya bisa nilai B ke atas atau kategori yang lainnya
tergantung bagaimana implementasinya nanti. Hal ini terjadi mengingat kesulitan antara
mata kuliah satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Penyebaran kuesioner sebaiknya dilakukan pada pertengahan waktu PBM. Sebab
tentunya kurang baik kuesioner disebarkan pada waktu awal PBM, hal ini dikarenakan
belum cukup waktu digali informasi dari siswa terutama untuk mendapatkan data
tentang nyaman atau tidaknya siswa terhadap dosen yang bersangkutan sebab nyaman
atau tidaknya siswa terhadap dosen tergantung dari interaksi dalam PBM dan bagaimana
dosen tersebut menjalankan strategi pengajarannya. Selain itu, pada awal semester atau
awal waktu PBM tidak semua nilai mata kuliah pada semester sebelumnya sudah keluar
sehingga ketika kuesioner dikeluarkan pada awal kuliah maka akan beresiko tidak
mendapatkan data IPK yang valid.
Penyebaran kuesioner juga sebaiknya jangan terlalu mendekati akhir PBM. Ketika
penyebaran kuesioner mendekati akhir PBM maka dikhawatirkan siswa akan mengisi
data tentang nyaman atau tidaknya terhadap dosen yang bersangkutan kurang objektif
karena bisa jadi diisi dengan berusaha menyenangkan dosen yang bersangkutan (ketika
sekiranya nilai yang didapatkan nanti tidak aman) atau sebaliknya. Padahal diperlukan
objektivitas dalam mengisi kuesioner sehingga nanti didapatkan hubungan yang
sebenarnya antara variabel kenyamanan dengan pencapaian hasil belajar.
Pada akhir PBM atau tepatnya setelah nilai dikeluarkan oleh dosen yang
bersangkutan maka semua data yang diperlukan variabel dalam penelitian ini didapatkan
semua. Dengan data yang ada maka bisa dilakukan estimasi untuk melihat hubungan
antara variabel independen dengan pencapaian hasil belajar. Dari parameter hasil
estimasi ini maka dapat dibentuk model peramalan untuk memperkirakan hasil belajar
bagi mahasiswa mata kuliah tersebut pada periode selanjutnya.
Untuk melihat apakah secara bersama-sama variabel yang digunakan dalam
model mempengaruhi variabel bergantungnya maka digunakan LR stat atau besarnya
Likelihood Ratio. Jika LRstat > LRtabel-nya maka mengindikasikan bahwa secara bersama-
sama variabel yang digunakan dalam model berpengaruh signifikan terhadap variabel
bergantungnya. Namun untuk mudahnya maka bisa melihat prob yang menunjukkan
besarnya probabilitas kesalahan, kesalahan yang dianulir bisa 1%, 5%, 10% tergantung
dari toleransi kita. H0 yang digunakan adalah secara bersama-sama variabel digunakan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 606 ] P a g e
dalam model tidak mempengaruhi variabel bergantungnya, jika prob kurang dari tingkat
signifikansi tersebut maka H0 bisa ditolak.
Untuk menentukan apakah masing-masing variabel yang digunakan dalam model
secara individual mempengaruhi variabel bergantungnya maka digunakan Z test. Jika Zstat
> Ztabel maka H0 yang menyatakan bahwa variabel bebas tidak berpengaruh terhadap
variabel bergantungnya bisa ditolak. Namun untuk mudahnya maka bisa melihat prob
yang menunjukkan besarnya probabilitas kesalahan, kesalahan yang dianulir bisa 1%,
5%, 10% tergantung dari toleransi kita. H0 yang digunakan adalah secara individual
tersebut tidak mempengaruhi variabel bergantungnya, jika prob kurang dari tingkat
signifikansi tersebut maka H0 bisa ditolak.
Karena metode ini merupakan metode regresi MLH maka asumsi klasik
sebagaimana pada metode regresi LS tidak diperlukan. Dengan demikian pengujian
asumsi klasik tidak diperlukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengantisipasi tidak bisa diolahnya data karena adanya kemungkinan
munculnya singular matriks dalam pengolahan data maka data untuk enjoy atau tidaknya
siswa terhadap PBM yang diampu oleh dosen yang bersangkutan selain digali variabel
binomial untuk X3 (1 untuk enjoy dan 0 untuk tidak enjoy) juga dimasukkan nilai ke-
enjoy-annya tersebut yang berupa variabel dengan skala interval 0-100. Begitu pula
untuk data banyaknya buku yang dipunyai siswa selain kategori 1-3 juga digali berapa
banyaknya buku secara kontinue. Dari 329 siswa yang terobservasi populasi dalam
penelitian maka terdapat 316 sampel yang mempunyai data yang lengkap (common
sample). Dari sejumlah tersebut bisa diuraikan deskripsi data yang terobservasi
sebagaimana berikut:
Deskripsi Statistik Data Observasi
Keberhasilan siswa yang diperoleh dari nilai akhir siswa dapat diperoleh deskripsi
menurut nilai akhir yang diperolehnya. Jika dikategorikan bahwa siswa yang bernilai
minimal B dikatakan berhasil maka dari 316 siswa terdiri atas 158 siswa berhasil dan
158 tidak berhasil (kurang dari B).
Gambar 2. Distribusi Mahasiswa Berdasar IPK
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 607 ]
Secara persentase, sebagian besar mahasiswa mempunyai cita-cita sebagai
Pekerja dengan Keahlian sebesar 64% hal ini sejalan dengan jurusan yang diikuti yang
nantinya diharapkan menjadi guru, pegawai bank, dan dosen. Selain itu cukup besar juga
yang nantinya berharap menjadi pengusaha yaitu 29%.
Gambar 3. Distribusi Mahasiswa Berdasar Cita-Cita
Dari sejumlah 316 mahasiswa terdiri atas 216 siswa perempuan dan sisanya
adalah laki-laki. Selain itu dari mahasiswa yang diteliti ditemukan bahwa sebagian besar
di antaranya yaitu sebanyak 285 siswa atau 90% dari total siswa yang diteliti merasa
enjoy terhadap dosen yang mengampu mata kuliah kuantitatif tersebut.
Sebagian besar ibu siswa mempunyai pekerjaan sebagai pekerja dengan keahlian
sebanyak 48% dan pengusaha sebesar 21%. Dengan kondisi seperti ini tentunya sedikit
banyak memberikan motivasi bagi siswa untuk meniru paling tidak dia akan mencapai
tingkat keberhasilan yang lebih baik dalam ke depannya. Dengan demikian sedikit
banyak akan memotivasi siswa dalam proses pembelajarannya.
Gambar 4. Distribusi Mahasiswa Berdasar Pekerjaan Ibu
Latar belakang social di sini diwakili dengan latar belakang pekerjaan ibu dan
seberapa banyak buku yang dipunyai di rumah. Buku yang dipunyai yang dimaksudkan
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 608 ] P a g e
adalah buku yang diperlukan dan berkaitan dengan kepentingannya sebagai mahasiswa
jurusan masing-masing.
Sebagian besar buku yang dimiliki oleh mahasiswa sangatlah sedikit. Di mana
yang mempunyai buku di atas 100 buku hanyalah dimiliki oleh 4% dari siswa yang
diteliti. Dari tabel terlihat bahwa setengah dari siswa yang diobservasi mempunyai buku
35 ke bawah bahkan ironisnya ada yang mempunyai buku hanya sebesar 3 buah.
Gambar 5. Distribusi Jumlah Buku yang Dimiliki
Hasil Estimasi Model
Dari hasil estimasi terlihat semua variable yang ada dalam model signifikan.
Hanya variabel IBU (pekerjaan ibu) dan ENJY (nyaman atau tidaknya siswa dalam PBM)
yang signifikan pada tingkat 10%, sedangkan variabel lainnya yaitu GDR dan CITA
signifikan kurang dari 5%, IPK dan BUKU signifikan kurang dari 1%.
Tabel 1. Hasil Estimasi
Independen
Variabel: Berhasil
ProbitLPM
Koefisien Estimasi Marginal Effect
Coefficient Prob. dy/dx Prob. Coefficient Prob.
C -4.3681 ***0.0001 -1.0354 ***0.0095
IPK 1.0502 ***0.0005 0.3835 ***0.000 0.3678 ***0.0006
GDR 0.3377 **0.0459 0.1233 **0.042 0.1228 **0.0472
CITA 0.1711 **0.039 0.0625 **0.035 0.061 **0.0437
IBU 0.1090 *0.0612 0.0398 *0.057 0.1589 *0.0842
ENJY 0.4638 *0.0727 0.1694 *0.068 0.0404 *0.0641
BUKU -0.4794 ***0.0006 -0.1751 ***0.000 -0.1716 ***0.0006
LR statistic (6 df) 33.9007 F-statistic 5.7297
Probability (LR stat) 7.03E-06 Prob 0
***, **, *: berturut-turut adalah signifikan dalam taraf 1%, 5%, dan 10%.
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 609 ]
Simulasi Model Probit Peramalan Hasil Belajar
Parameter yang dihasilkan sebagaimana yang ditampilkan dalam table 1 bisa
dipakai untuk melakukan peramalan hasil belajar untuk mata kuliah kuantitatif
matematik dan statistika ekonomi selanjutnya. Dengan berbekal parameter yang
dihasilkan maka dosen yang bersangkutan bisa melakukan peramalan dengan
memasukkan data dalam variabel-variabel tersebut sehingga mendapatkan probabilitas
keberhasilan mahasiswa dalam mata kuliah kuantitatif. Jika probabilitas hasil peramalan
menunjukkkan hasil yang kurang memuaskan maka dosen bisa menerapkan strategi
yang berbeda dari yang sebelumnya.
Berikut simulasi peramalan hasil belajar:
Tabel 2. Simulasi Peramalan Hasil Belajar
obs IPK GDR CITA BUKU ENJY IBU Zi CDF Zi
Interpretasi
(kemungkinan)
1 3 0 3 3 1 3 -1.35161 0.08825 Gagal
2 3.5 0 4 3 0 6 -0.79223 0.21411 Gagal
3 3.6 0 5 2 1 6 0.427093 0.66534 Sukses
4 3.3 0 6 2 1 3 -0.0439 0.48249 Gagal
5 2.7 1 6 1 0 4 -0.21175 0.41615 Gagal
6 3 0 4 1 0 5 -0.46756 0.32005 Gagal
7 3.4 1 4 1 1 4 0.645012 0.74054 Sukses
8 3.6 0 3 3 1 6 -0.39447 0.34662 Gagal
9 2.9 1 5 1 1 2 0.072994 0.52909 Sukses
10 3.2 0 6 2 1 6 0.178115 0.57068 Sukses
11 3 1 5 2 1 4 -0.08335 0.46679 Gagal
12 2.8 1 5 1 1 4 0.185999 0.57378 Sukses
13 3.5 1 6 1 0 6 0.846408 0.80134 Sukses
14 3.8 1 4 2 0 6 0.339893 0.63303 Sukses
15 2.9 0 3 3 1 5 -1.23861 0.10775 Gagal
16 3.2 0 6 1 1 3 0.330466 0.62948 Sukses
17 3.3 0 4 1 0 3 -0.37053 0.35549 Gagal
18 3.1 1 3 3 1 2 -1.01792 0.15436 Gagal
19 2.98 1 4 2 1 3 -0.38446 0.35032 Gagal
20 3.5 1 3 3 0 3 -0.95267 0.17038 Gagal
Sebagai contoh, katakanlah didapatkan 20 observasi dari mahasiswa yang sedang
ikut dalam PBM sebagaimana ditunjukkan dalam table 2. Keduapuluh siswa tersebut
mempunyai data sebagaimana dalam variabel di atas maka akan dihasilkan hasil estimasi
sebesar dalam kolom prob dan akumulasi dari probabilitas tersebut setelah dinormalkan
adalah sebagaimana dalam CDF prob.
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 610 ] P a g e
Misalkan untuk observasi 7 maka probabilitas keberhasilannya adalah 0.74054
atau probabilitas terjadi berhasilnya p(Y=1) mahasiswa tersebut adalah 74%. Dengan
demikian siswa yang terobservasi dalam no 7 tersebut menurut model peramalan ini
kemungkinan besar adalah sukses dengan asumsi bahwa siswa dikatakan akan berhasil
jika probabilitas keberhasilannya lebih besar dari 50%. Secara keseluruhan dari 20 siswa
tersebut hanya 8 yang sukses sedangkan sisanya dianggap akan gagal. Sebagai tambahan
informasi, rata-rata tingkat probabilitas keberhasilan siswa dari peramalan tersebut
adalah 0.4308. Dengan demikian perlu kiranya dosen membuat atau mengubah strategi
pembelajaran sehingga bisa mendapatkan hasil PBM yang memuaskan nilainya.
Perbandingan dengan Metode Least Square atau Linear Probability Model (LPM)
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa pengukuran
probabilitas bisa dilakukan juga dengan model linier hanya saja dengan metode ini maka
hasil yang didapatkan akan keluar dari apa yang kita harapkan. Dengan model LPM maka
hasil fitted value-nya bisa jadi akan di luar dari yang semestinya, misalkan 110% atau -
10% padahal nilai dari probabilitas tentunya hanya sebatas 0-1 atau 0% sampai dengan
100%.
Jika hasil estimasi model LPM dilakukan maka dihasilkan parameter estimasi
sebagaimana dalam table 2. Jika parameter tersebut diterapkan maka bisa dilakukan
peramalan pada hasil belajar juga. Hanya saja model ini tidak dapat mengakomodasi
kondisi yang ekstrem, akibatnya ketika variabel yang dimasukkan sangat mendukung
kemungkinan hasil belajar maka probabilitas yang dihasilkan bisa lebih dari 100%
sebaliknya ketika variabel yang dimasukkan sangat tidak mendukung maka hasil yang
didapatkan bisa mencapai kurang dari 0%. Ini terjadi karena marginal yang didapatkan
bersifat tetap atau konstan akibatnya ketika ia mencapai titik yang mendekati maksimum
dan terus ditambah maka probabilitasnya akan melebihi 100% atau sebaliknya pada
kondisi yang minimum probabilitasnya akan menjadi kurang dari 0%.
Sekali lagi sebagaimana kita ketahui bahwa probabilitas semestinya nilainya 0%-
100%. Dengan demikian model peramalan probabilitas ini tidak baik untuk diterapkan.
Untuk lebih jelasnya model ini disimulasikan sebagaimana dalam tabel 3 di bawah.
Dari tabel 3 terlihat bahwa untuk observasi 1 nilai prediksinya adalah 1.154246
sedangkan untuk observasi 2 nilai prediksinya adalah -0.26865. Tentunya kedua hasil
peramalan ini tidak mungkin terjadi sebab batasan nilainya adalah 0-1.
Model probit menerapkan marginal yang fleksibel atau berubah-ubah tergantung
dari besarnya nilai variabel yang dimasukkan sedangkan LPM menerapkan marginal
konstan. Hasil dari probit model menjamin nilainya antara 0-100% atau 0-1, karena hal
itu maka peramalan dengan model probit tidak akan menghasilkan probabilitas di luar
yang dipersyaratkan. Dengan mengetahui perbandingan kedua metode di atas maka
dapat kita pastikan bahwa peramalan dengan model non linier model probit akan
mendapatkan hasil yang lebih baik daripada model yang sebelumnya yaitu model LPM.
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 611 ]
Tabel 3. Perbandingan Kondisi Ekstrem Peramalan LPM dengan Model Probit
Peramalan dengan LPM
Obs IPK GDR CITA BUKU ENJY IBU Fitted NB
1 4 1 6 1 1 6 1.154246
2 2 0 2 1 0 2 -0.26865
Peramalan dengan Model Probit
Obs IPK GDR CITA BUKU ENJY IBU Zi CDF Zi
1 4 1 6 1 1 6 1.835323 0.966772 2 0 2 1 0 2 -2.18695 0.01437
SIMPULAN
Sesuai dengan analisis hasil estimasi maka didapatkan bahwa semua hasil
menunjukkan bahwa variabel penjelasnya yaitu kemampuan dasar, cita-cita, pekerjaan
ibu, banyaknya buku, nyaman atau tidaknya siswa terhadap dosen yang bersangkutan,
serta jenis kelamin perempuan dari mahasiswa berpengaruh terhadap tingkat
keberhasilan mahasiswa dalam menjalani PBM mata kuliah kuantitatif.
Untuk variabel karakteristik siswa yang diwakili oleh banyaknya buku dan
pekerjaan ibu berpengaruh positif terhadap keberhasilan tersebut namun untuk
pengaruh banyaknya buku bertanda sebaliknya dengan yang diharapkan. Artinya
semakin banyak buku semakin rendah tingkat keberhasilan siswa dalam mata kuliah
kuantitatif, hal ini bisa terjadi karena data yang dimasukkan sebagai variabel BUKU
adalah bukannya buku spesifik matematika dan statistika sebagai mata kuliah kuantitatif
yang diteliti. Sedangkan untuk variabel IBU yang berpengaruh signifikan positif
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pekerjaan ibu maka semakin tinggi tingkat
keberhasilan siswa dalam mata kuliah kuantitatif.
Sedangkan jenis kelamin perempuan berpengaruh positif terhadap
keberhasilannya dalam mata kuliah kuantitatif artinya bahwa mahasiswa FISE UNY yang
berjenis kelamin perempuan mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih besar daripada
laki-laki dalam menempuh mata kuliah kuantitatif.
Berdasarkan hasil estimasi ditemukan bahwa kemampuan dasar siswa sangatlah
penting sebagai substansi yang dapat mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam
mata kuliah kuantitatif. IPK terbukti berpengaruh positif terhadap hasil belajar dengan
demikian anak-anak yang mempunyai IPK yang tinggi cukup kuat dasarnya dalam
menempuh mata kuliah kuantitatif.
Model peramalan dengan model non linier model probit terbukti mendapatkan
hasil yang lebih baik daripada model LPM. Dengan demikian untuk mendapatkan
peramalan yang baik maka lebih baik kita menggunakan model probit.
Dari penelitian ini maka ada beberapa masukan bagi penelitian yang serupa ke
depannya. Untuk penelitian yang sifatnya probabilitas maka sebaiknya memakai non
linier probability sebab tidak mungkin fungsi probabilitas mempunyai marginal konstan
dengan demikian maka nilai fitted-nya tidak akan melebihi dari yang seharusnya. Untuk
Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015
[ 612 ] P a g e
yang memakai variabel buku maka sebaiknya jumlah buku yang dipakai sebagai data
harus spesifik sesuai dengan bidang yang diteliti sehingga mendapatkan parameter yang
semestinya. Dalam penelitian yang sifatnya probabilitas maka semakin besar observasi
yang dipakai dalam estimasi maka semakin baik hasil estimasi yang didapatkan. Hal ini
selain untuk mendapatkan parameter yang sesuai dengan sesungguhnya juga untuk
menghindari non singular matrix dalam pengolahan datanya.
Hasil penelitian bisa dijadikan masukan berbagai pihak yang berkepentingan
dalam pendidikan. Dari hasil penelitian yang didapatkan terlihat bahwa peran ibu
sangatlah penting baik dalam memberi inspirasi kepada mahasiswa, motivasi, serta
dukungan dalam proses belajar mahasiswa. Oleh karenanya penting sekiranya ibu
meluangkan lebih banyak waktunya untuk memberikan arahan terhadap anaknya dan
memberikan dukungan yang lebih berkualitas demi keberhasilan anaknya. Mahasiswa
dengan jenis kelamin laki-laki perlu mendapatkan perhatian lebih dalam menempuh
mata kuliah kuantitatif sebab laki-laki seringkali mudah putus asa dalam proses
pembelajarannya sehingga perlu perlakuan khusus agar bisa menyelesaikan PBM dengan
lebih baik khususnya dalam mata kuliah kuantitatif. Peramalan terhadap hasil belajar
mahasiswa perlu dilakukan dalam rangka mendapatkan indikator keberhasilan dari PBM
itu sendiri. Dengan mengetahui perkiraan hasil belajar sebelum masa PBM selesai maka
pihak dosen sebagai manager di kelas bisa menerapkan strategi yang lebih tepat dalam
pembelajaran setelah dilakukan peramalan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anglingsari SI SK dan G. Sujayanto (2007). ”Membangun Anak berprestasi”, IntisariOnline, 14 September 2007.
Anonim (2002),”Factors Influencing Retention Behavior at IUB: The Role of Ability,Financial Aid, and Academic and Social Integration”, Dean of the Faculties, Office ofInstitutional Research, Indiana University Bloomington, October, 2002.
Anonim (2004). Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender. Yogyakarta: RifkaAnnisa.
Anonim (2006).,“The Social Consequences of Economic Inequality for Canadian ChildrenA Review of the Canadian Literature”, First Call BC Child and Youth AdvocacyCoalition, The Research and Knowledge Mobilization Directorate of the CanadianCouncil on Learning, March 3, 2006.
Anonim (2007),”The Role of Nonacademic Factors in College Readiness and Success”,©2007 by ACT.
Davies, Peter, Shqiponje Telhaj, David Hutton, Nick Adnet, and Robert Coe. (2004). “SocialBackground, gender, and subject choice in secondary schooling”. Working Paper 25.Economic & Social Research Council.
Dee, Thomas S. (2005).”Theachers and The Gender Gaps in Student Achievement”Working Paper 11660, National Bureau of Economic Research, September 2005.
Depdiknas, (2009), “Akselerasi”, diunduh 07 Desember 2009. pusdiklatdepdiknas.net/dmdocuments/Akselerasi-Hartati.pdf.
Penggunaan Model Probit… (Tejo Nurseto, Bambang Suprayitno & Mustofa)
P a g e [ 613 ]
Eka Danta Jaya Ginting., (2003). ”Hubungan Persepsi Terhadap Program PengembanganKarir dengan Kompetisi Kerja”. Program Studi Psikologi Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara. © 2003 Digitized by USU digital library.
Gujarati, Damodar N. (2004).Basic Econometrics, 4rd Edition, International Edition, Mc.Graw Hill, Singapore.
Holmlund, Helena and Krister Sund (2005). ”Is the Gender Gap in School PerformanceAffected by the Sex of the Teacher?”, Working Paper 5/2005, Swedish Institute forSocial Research (SOFI) Stockholm University November 4, 2005.
Johnson, Kirk A. (2000),”Do Small Classes Influence Academic Achievement? What theNational Assessment of Educational Progress Shows”, June 9, 2000 the HeritageFoundation, USA (www.heritage.org)
Machin, Stephen dan Sandra McNally (2006).”Gender and Student Achievement inEnglish Schools”. London: Centre for the Economics of Education London School ofEconomics.
Sardiman A.M. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda
Tarmidi (2006),”Iklim Kelas dan Prestasi Belajar”, USU Repository 2006.
Widyastuti, Tirani (2007), “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Sejarah Melalui ModelPembelajaran Student Teams Achievement Division Pada Siswa Kelas VIII SMPNegeri 15 Semarang Tahun Pelajaran 2007/2008”. Skripsi, Universitas NegeriSemarang, Semarang.