bahan alpinia galanga

  • Upload
    apelia

  • View
    182

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

I.

TUJUAN Mengisolasi senyawa galangin yang berasal dari tumbuhan rimpang lengkuas (alpinia galanga) PRINSIP 1. Hukum Distribusi Nernst Jika suatu zat ditambahkan pada sistem yang terdiri dari dua pelarut yang tidak saling bercampur, maka zat tersebut akan terdistribusi diantara kedua pelarut tersebut dengan perbandingan tetap pada suhu tertentu. 2. Like Dissolved Like Kecenderungan suatu senyawa untuk larut dalam pelarut yang memiliki tingkat kepolaran relatif sama. 3. Adsorpsi Penyerapan suatu zat pada permukaan padatan. Suatu zat akan teradsorpsi berdasarkan perbedaan kepolaran karena adanya ikatan hidrogen. 4. Migrasi diferensial Perbedaan kecepatan migrasi dari komponen-komponen yang dipisahkan karena adanya pergerakan fase gerak dan daya ikat dari fase diam berdasarkan perbedaan kepolaran. 5. Distilasi Metode pemisahan dan pemurnian cairan-cairan suatu komponen berdasarkan perbedaan titik didih 5.1 Hukum Dalton Tekanan uap total suatu larutan merupakan penjumlahan dari tekanan parsial komponen-komponennya. 5.2 Hukum Raoult Tekanan uap suatu larutan ideal sebanding dengan tekanan uap pelarut murni dikalikan fraksi molnya TEORI DASAR

II.

III.

Lengkuas Alpinia galanga (L.) Sw. Sinonim Languas galanga (L.) Stuntz

Nama umum Indonesia: Lengkuas, laos (Jawa), laja (Sunda) Inggris: Greater galangal, Java galangal, languas, laos root Vietnam: Rieng am, rieng nep Thailand: Kha Cina: Hong dou kou

Lengkuas Klasifikasi Kingdom: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas: Commelinidae Ordo: Zingiberales Famili: Zingiberaceae (suku jahe-jahean) Genus: Alpinia Spesies: Alpinia galanga (L.) Sw. LENGKUAS (Alpinia galanga ) Botani Lengkuas merupakan tanaman herba berumur panjang yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dan obat-obatan dan tergolong ke dalam simplisia rimpang (Sinaga, 2000). Berdasarkan warna rimpang, dikenal dua kultivar lengkuas, yaitu lengkuas berimpang putih dan berimpang merah. Lengkuas berimpang putih mempunyai batang semu setinggi 3 m, diameter batang 2,5 cm, dan diameter rimpang 3 4 cm. Lengkuas berimpang merah memiliki batang semu berukuran tinggi 1 1,5 m, diameter batang 1 cm, dan diameter rimpang 2 cm (Wardana et al., 2002). Rumpun dan bentuk lengkuas merah lebih kecil daripada lengkuas putih. Lengkuas merah juga memiliki serat yang lebih kasar dibandingkan lengkuas putih. Tanaman lengkuas berimpang putih sering dimanfaatkan dalam bidang pangan sedangkan lengkuas berimpang merah lebih sering digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional (Sinaga, 2000). Lengkuas banyak tumbuh di hutan-hutan, tegalan, dan pekarangan. Lengkuas dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang subur, gembur, tidak tergenang air, di tanah liat yang berpasir, banyak mengandung humus, beraerasi, dan memiliki drainase yang baik. Umumnya tanaman lengkuas dapat tumbuh pada lahan terbuka sampai di tempat yang agak terlindung. Tumbuh pada ketinggian sampai dengan 1200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1500 2400 mm (Wardana et al., 2002). Suhu udara lingkungan yang ideal sekitar 25 29oC, dengan tingkat kelembaban sedang. Pertumbuhan lengkuas memerlukan intensitas penyinaran matahari yang tinggi. Jenis tanah sebagai media tumbuhnya adalah jenis latosol merah coklat, andosol, dan aluvial. Tanaman lengkuas sebaiknya dipanen setelah berumur 2 3 bulan untuk

rimpang muda sedangkan untuk rimpang yang sudah berserat dapat dipanen pada umur 4 7 bulan. Apabila dipanen pada umur yang terlalu tua maka rimpang banyak mengandung serat dan kurang baik digunakan sebagai bumbu masak maupun untuk bahan pengobatan (Rismunandar, 1988). Lengkuas (Lenguas galanga atau Alpinia galanga) sering dipakai oleh kaum wanita dikenal sebagai penyedap masakan. Lengkuas termasuk terna tumbuhan tegak yang tinggi batangnya mencapai 2-2,5 meter. Lengkuas dapat hidup di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi, lebih kurang 1200 meter diatas permukaan laut. Ada 2 jenis tumbuhan lengkuas yang dikenal yaitu varitas dengan rimpang umbi (akar) berwarna putih dan vaaritas berimpang umbi merah. Lengkuas berimpang umbi putih inilah yang dipakai penyedap masakan, sedang lengkuas berimpang umbi merah digunakan sebagai obat. Lengkuas mempunyai batang pohon yang terdiri dari susunan pelepah-pelepah daun. Daun-daunnya berbentuk bulat panjang dan antara daun yang terdapat pada bagian bawah terdiri dari pelepah-pelepah saja, sedangkan bagian atas batang terdiri dari pelepah-pelepah lengkap dengan helaian daun. Bunganya muncul pada bagian ujung tumbuhan. Rimpang umbi lengkuas selain berserat kasar juga mempunyai aroma yang khas. Syarat Tumbuh a. Iklim 1. Ketinggian tempat : 1 - 1200 m diatas permukaan laut 2. Curah hujan tahunan : 2500 - 4000 mm/tahun 3. Bulan basah (di atas 100 mm/bulan) : 7 - 9 bulan 4. Bulan kering (dibawah 60 mm/bulan) : 3 - 5 bulan 5. Suhu udara : 29' C - 25' C. 6. Kelembapan : sedang 7. Penyinaran : tinggi b. Tanah 1. Jenis : latosol merah coklat, andosol, aluvial. 2. Tekstur : lempung berliat, lempung berpasir, lempung merah, lateristik. 3. Drainase : baik 4. Kedalaman air tanah : 50 - 100 cm dari permukaan tanah 5. Kedalaman perakaran : 10 - 30 cm dari permukaan tanah 6. Kesuburan : sedang tinggi. Komposisi Kimia Lengkuas Rimpang lengkuas mengandung karbohidrat, lemak, sedikit protein, mineral (K, P, Na), komponen minyak atsiri, dan berbagai komponen lainnya. Rimpang lengkuas segar mengandung air sebesar 75% dan dalam bentuk kering mengandung 22,44% karbohidrat; 3,07% protein; dan sekitar 0,007% senyawa kamferid (Darwis et al., 1991) Lengkuas merah mengandung komponen larut polar yang lebih tinggi dibandingkan dengan lengkuas putih. Komponen bioaktif lengkuas yang bersifat larut air adalah beberapa senyawa fenolik sedangkan komponen yang larut etanol adalah beberapa senyawa flavonoid yang sangat termetilasi. Ekstrak lengkuas yang larut etanol tersebut secara rinci mengandung komponen asetokavikol asetat, p-coumaril diasetat, asam palmitat, eugenol, asetoksieugenol asetat, bisabolene, farnesen, dan seskuifelandren yang merupakan komponen terpenoid, serta mengandung juga komponen fenolik, ester asam lemah, asam lemak, terpen, dan lalin-lain. Menurut Darwis et al. (1991), senyawa eugenol, galangin, kamfer, dan beberapa senyawa lainnya berkontribusi member rasa pedas pada lengkuas. Rimpang lengkuas mengandung komponen volatil yang bersifat tidak tahan panas, diantaranya asetokavikol asetat sebagai komponen utamanya sedangkan komponen non volatil yang tahan panas terutama terdiri dari golongan flavonol (Rahayu, 1999).

Aktivitas Antimikroba Lengkuas Lengkuas muda yang berumur 3 4 bulan memilliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibandingkan dengan lengkuas tua yang berumur 12 bulan. Aktivitas antimikroba yang tinggi ini disebabkan komponen larut air pada lengkuas merah yang muda lebih besar dibandingkan pada lengkuas tua. Komponen larut polar yang lebih tinggi pada lengkuas mudadibandingkan dengan lengkuas tua disebabkan lengkuas yang relatif muda masih dalam pertumbuhan sehingga masih banyak terbentuk komponen bioaktif yang larut air (polar). Komponen tersebut diperkirakan berfungsi untuk mencegah mikroba kontaminan yang mungkin dapat mencemari masa awal pertumbuhan yang sangat rentan terhadap gangguan dari luar (Harborne,1996) ataupun sebagai insektisida dan berdaya racun terhadap hewan tinggi (Duke, 1994 dan Robinson, 1995). Menurut Yuharmen et al. (2000), ekstrak etanol lengkuas memiliki daya hambat paling kuat terhadap S. aureus dibandingkan dengan jahe dan kunyit dengan konsentrasi minimum penghambatan sebesar 0,325 mg/ml. Ekstrak etanol lengkuas menyebabkan kerusakan membran dan penggumpalan sitoplasma S. aureus. Pratiwi (1992) juga menjelaskan bahwa rimpang lengkuas merah dan putih dapat menghambat pertumbuhan bakteri maupun jamur, yaitu pada konsentrasi 0,871 mg/ml dapat menghambat S. aureus dan Candida albican dan pada konsentrasi 1,741 efektif menghambat B. subtilis dan Mucor gypseum. Ekstrak metanol rimpang lengkuas juga mampu mengahambat pertumbuhan E.coli, S. aureus, dan B. subtilis. Namun, ekstrak tersebut tidak dapat menghambat pertumbuhan Penicillium. Menurut Parwata dan Dewi (2008), minyak atsiri rimpang lengkuas pada konsentrasi 100 ppm dan 1000 ppm aktif menghambat pertumbuhan bakteri E .coli dengan diameter daerah hambatan sebesar 7 mm dan 9 mm sedangkan terhadap bakteri S. aureus mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 1000 ppm sebesar 7 mm. Hasil analisis kromatografi gasspektrometer menunjukkan sedikitnya 8 komponen senyawa dalam rimpang lengkuas yang aktif sebagai antibakteri, antara lain: D-limonen; eukaliptol; 3-sikloheksen-1-ol, 4-metil-1-(1metiletil); fenol, 4-(2-propenil) asetat; 2,6-oktadien-1-ol, 3,7-dimetil asetat; 1,6,10- dodekatrien, 7,11-dimetil-3-metilen; pentadesen; sikloheksen, 1-metil-4-(5-metil-1-metilen-4-heksenil). Kegunaan Karminatif, Antifungi Kandungan Senyawa Minyak atsiri 1% komponen minyak atsiri tersebut diketahui bersifat antimikroba dan mengandung kamfer, sincol dan asam metil sinamat. Senyawa aktif pada lengkuas adalah kamfer, galangi, galangol, eugenol, kurkumin. Rimpang lengkuas mengandung lebih kurang 1 % minyak atsiri berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48 %, sineol 20 % - 30 %, eugenol, kamfer 1 %, seskuiterpen, -pinen, galangin, dan lain-lain. Selain itu rimpang juga mengandung resin yang disebut galangol, kristal berwarna kuning yang disebut kaemferida dan galangin, kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum, beberapa senyawa flavonoid, dan lain-lain.

Penelitian yang lebih intensif menemukan bahwa rimpang lengkuas mengandung zat-zat yang dapat menghambat enzim xanthin oksidase sehingga bersifat sebagai antitumor, yaitu trans-p-kumari diasetat, transkoniferil diasetat, asetoksi chavikol asetat, asetoksi eugenol setat, dan 4-hidroksi benzaidehida (Noro dkk., 1988). Juga mengandung suatu senyawa diarilheptanoid yang di- namakan 1-(4-hidroksifenil)-7fenilheptan-3,5-diol. Buah lengkuas mengandung asetoksichavikol asetat dan asetoksieugenol asetat yang bersifat anti radang dan antitumor (Yu dan kawan-kawan, 1988). Juga mengandung kariofilen oksida, kariofilenol, kuersetin-3-metil eter, isoramnetin, kaemferida, galangin, galangin-3-metil eter, ramnositrin, dan 7hidroksi-3,5-dimetoksiflavon. Senyawa aktif pada lengkuas adalah kamfer, galangi, galangol, eugenol, kurkumin. Fisiologi Fotosintesis Fotosintesis pada lengkuas sama seperti proses fotosintesis pada tumbuhan umumnya. dimana proses fotositesis adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan untuk menghasilkan makanan dengan memanfaatkan energi cahaya. Tumbuhan menggunakan karbon dioksida dan air untuk menghasilkan gula dan oksigen yang diperlukan sebagai makanannya. Energi untuk menjalankan proses ini berasal dari fotosintesis. Reaksi fotosintesis adalah sebagai berikut : 12H2O + 6CO2 + cahaya --> C6H12O6 (glukosa) + 6O2 + 6H2O Fotosintesis dimulai ketika cahaya mengionisasi molekul klorofil pada fotosistem II, membuatnya melepaskan elektron yang akan ditransfer sepanjang rantai transpor elektron. Energi dari elektron ini digunakan untuk fotofosforilasi yang menghasilkan ATP, satuan pertukaran energi dalam sel. Reaksi ini menyebabkan fotosistem II mengalami defisit atau kekurangan elektron yang harus segera diganti. Pada tumbuhan kekurangan elektron ini dipenuhi oleh elektron dari hasil ionisasi air yang terjadi bersamaan dengan ionisasi klorofil. Hasil ionisasi air ini adalah elektron dan oksigen. Pada saat yang sama dengan ionisasi fotosistem II, cahaya juga mengionisasi fotosistem I, melepaskan elektron yang ditransfer sepanjang rantai transpor elektron yang akhirnya mereduksi NADP menjadi NADPH. ATP dan NADPH yang dihasilkan dalam proses fotosintesis memicu berbagai proses biokimia. Pada tumbuhan proses biokimia yang terpicu adalah siklus Calvin dimana karbon dioksida diubah menjadi ribulosa (dan kemudian menjadi gula seperti glukosa). Reaksi ini disebut reaksi gelap karena tidak bergantung pada ada tidaknya cahaya sehingga dapat terjadi meskipun dalam keadaan gelap (tanpa cahaya). Berikut adalah beberapa faktor utama yang menentukan laju fotosintesis:

1. Intensitas cahaya Laju fotosintesis maksimum ketika banyak cahaya. 2. Konsentrasi karbon dioksida Semakin banyak karbon dioksida di udara, makin banyak jumlah bahan yang dapat digunakan tumbuhan untuk melangsungkan fotosintesis. 3. Suhu Enzim-enzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim. 4. Kadar air Kekurangan air atau kekeringan menyebabkan stomata menutup, menghambat penyerapan karbon dioksida sehingga mengurangi laju fotosintesis. 5. Kadar fotosintat (hasil fotosintesis) Jika kadar fotosintat seperti karbohidrat berkurang, laju fotosintesis akan naik. Bila kadar fotosintat bertambah atau bahkan sampai jenuh, laju fotosintesis akan berkurang. 6. Tahap pertumbuhan Penelitian menunjukkan bahwa laju fotosintesis jauh lebih tinggi pada tumbuhan yang sedang berkecambah ketimbang tumbuhan dewasa. Hal ini mungkin dikarenakan tumbuhan berkecambah memerlukan lebih banyak energi dan makanan untuk tumbuh.

Khasiat tanaman

Rimpang lengkuas berguna untuk obat perut yang memiliki khasiat memperbaiki pencernaan, menawarkan racun, dan membersihkan darah Rimpang lengkuas berguna untuk obat kulit yang memiliki khasiat menghilangkan panu dan kurap.

Ekstraksi adalah peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur (Nur dan Adijuwana, 1989). Menurut Brown (1971), metode paling sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan yang tidak larut. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis komponen yang akan terekstrak. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut. Pelarut yang mempunyai gugus hidroksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk pelarut polar sedangkan hidrokarbon termasuk ke dalam pelarut non polar. Pelarut non polar akan mengekstrak senyawa non polar dan sebaliknya. Pelarut polar akan melarutkan komponen polar pada bahan (Marcus, 1992; Houghton dan Raman, 1998) .Semakin besar volume pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi, semakin tinggi pula rendemen yangdihasilkan. Sinaga (1998). Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Hal ini karena peningkatan suhu akan mempermudah penetrasi pelarut ke dalam sel bahan. Namun penggunaan suhu yang tinggi akan menyebabkan kehilangan senyawa tertentu yang tidak stabil pada kondisi tersebut (Houghton dan Raman, 1998). Lama ekstraksi juga akan mempengaruhi jumlah rendemen yang dihasilkan (Bombardelli, 1991). Semakin lama waktu ekstraksi, semakin besar kesempatan pelarut untuk kontak dengan bahan. Hal ini akan menyebabkan rendemen yang dihasilkan akan meningkat sampai titik jenuh larutan.

IV.

ALAT DAN BAHAN 4.1. Alat 1. Batang pengaduk 2. Bejana kromatografi 3. Blender 4. Botol bening 5. Botol vial 6. Cawan penguap 7. Cawan petri 8. Erlenmeyer 9. Gelas kimia 10. Gelas ukur 11. Kapas 12. Kertas saring whatman 13. Kolom gelas 14. Maserator 15. Mortir dan stamfer 16. Penangas air 17. Piknometer 18. Pipa kapiler 19. Pipet tetes 20. Penyemprot 21. Pompa vakum 22. Rotavapor 23. Spatel 24. Spektrofotometri UV-Vis ?????? 25. Statif dan klem 26. Timbangan 27. Tisu 4.2. Bahan 1. Etanol 2. Etil asetat 3. Kloroform 4. Metanol 5. N-heksana 6. Silika gel 7. Silika gel GF 254 8. Simplisia Alpinia galanga 9. Vanilin sulfat

V.

PROSEDUR 5.1. Ekstraksi dengan cara maserasi Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam maserator, kemudian ditambah pelarut etanol 95 % secukupnya dan dibiarkan selama kira-kira 10 menit agar proses pembahasan simplisia berlangsung, kemudian ditambahkan pelarut etanol

sampai seluruh serbuk terendam. Lalu didamkan selama 24 jam sambil sesekali diaduk. Ekstrak cair yang diperoleh disaring ke dalam penampung, sampai berhenti mengalir dari maserator. Volume ekstrak cair yang diperoleh diukur dan dipekatkan dengan rotavapor sampia diperoleh ekstrak kental. 5.2. Pemeriksaan parameter ekstrak 5.2.1. Organoleptik ekstrak Ekstrak yang diperoleh diperiksa untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa. 5.2.2. Rendemen ekstrak Cawan penguap kosong ditimbang, kemudian ditambahkan ekstrak kental ke dalamnya. Kemudian diuapkan di atas penangas air dengan temperatur 40-50 0C sampai bobot tetap. Cawan penguap berisi ekstrak ditimbang kembali. Berat ekstrak setelah penguapan ditentukan dengan mengurangkan cawan setelah penguapan dan cawan kosong. Kemudian rendemen ekstrak dihitung. Rendemen (%) = x 100 % 5.2.3. Bobot jenis ekstrak Piknometer kosong ditimbang, kemudian diisi penuh dengan air dan ditimbang ulang. Kerapatan air dapat ditetapkan. Kemudian piknometer dikosongkan, dikeringkan dan diisi penuh dengan ekstrak, lalu ditimbang kembali. Melalui berat ekstrak yang mempunyai volume tertentu, dapat ditentukan kerapatan ekstrak. Bobot jenis ekstrak = 5.2.4. Kadar air ekstrak

5.2.5. Pola kromatogram lapis tipis Pelat silika gel GF 254 disiapkan kemudian ekstrak cair ditutulkan pada garis awal dengan menggunakan pipa kapiler, biarkan beberapa saat hingga pelarutnya menguap. Pelat silika kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhkan dengan cairan pengembang (kloroform:metanol = 8:2). Proses kromatografi dihentikan sampai cairan pengembang mencapai garis depan. Pola kromatografi diamati dengan sinar tampak, dibawah lampu UV 254 dan 366 nm, serta dengan penampak bercak vanilin sulfat. Kemudian Rf setiap bercak dihitung. 5.2.6. Pola dinamolisis Kertas saring whatman diameter 10 cm dilubangi titik pusatnya, kemudian dipasang sumbu yang terbuat dari kertas saring. Kertas saring yang bersumbu tersebut ditutupkan pada cawan petri yang berisi

ekstrak cair. Proses difusi irkular terjadi selama kurang lebih 10 menit. Pola dinamolisis diamati. 5.3. Kromatografi Cair Vakum Kolom untuk kromatografi disiapkan dan dimasukkan penjerap hingga batas tertentu. Kebersamaan penjerap diperhatikan ke semua tempat dalam kolom, karena adanya rongga udara dalam kolom akan berpengaruh buruk pada proses pemisahan. Kemudian ekstrak yang akan dipisahkan ditempatkan di atas lapisan penjerap dalam bentuk lapisan tipis yang rata di atas permukaan penjerap. Setelah itu dilakukan proses elusi dengan campuran pelarut (n-heksana : etil asetat) berbagai perbandingan dengan volume yang sama. Elusi dipercepat dengan cara penghisapan melalui pompa vakum. Fraksi yang keluar kolom ditampung dan di

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2009. Taste. www.wikipedia.com. Association of Official Analytical Chemists. 1995. Approved Methods of The AOAC. Method 942.15, Acidity (titratable) of fruit products. Arlington, VA : The Association . Ayres, J. C., J. O. Mundt, W. E. Sandine. 1984. Microbiology of Foods. W. H. Freeman and Company, San Francisco. Badan Pusat Statistika. 2006. Produksi Tanaman Obat di Indonesia. Jakarta. Bombardelli, E. 1991. Technologies for the processing of medicinal plants. Di dalam : The Medicinal Plant Industry. R. O. B. Wijesekera. (Ed.). CRC Press, Boca Raton. Branen, A. L., P. M. Davidson, dan S. Salminen. 1990. Food Additives. Marcel Dekker Inc., New York dan Basel. Brown, B. I. 1971. Progresive trends in the Australian ginger industry. J. Australian Food Manufac 41(3) : 16-19. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah : H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Carpenter, J. A. 1973. Proc. Meat Ind. Res. Cont. Di dalam : New Method of Food Preservation. G. W. Gould. (Ed.). 1995. Chapman and Hall, Glosgow.

Chung, K. C. dan Goepfert. 1970. New Method of Food Preservation. Chapman and Hall, Glosgow. Darwis, S. N., A. B. D. Madjoindo, S. Hasiyah. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Jakarta. Davidson, P. M. dan A. L. Branen. 1993. Antimicrobials In Food 2nd edition. Marcel Dekker Inc., New York. Davidson, P.M. and M.A. Harrison. 2002. Resistance and adaptation to food antimicrobials, sanitizers, and other process controls. J. Food Technology 56(11) : 6978. Djubaedah, E. 1986. Ekstraksi Oleoresin dari Jahe (Zingiber officinale Roscoe). J. Media Teknologi Pangan 2(2) : 10-19.

Duke, J. A. 1994. Biologically-active compound in important spices. Di dalam : Spices, Herbs, and Edible Fungi. Charalambous. (Ed.). Elseiver, Amsterdam. Eklund, T. 1989. Organic acids and esters. Di dalam : Mechanisms of Actions of Food Preservation Procedures. G. W. Gould. (ed.). Elsevier Applied Science, New York. Essien, E. 2003. Sausage Manufacture : Principles and Practice. CRC Press, Boca Raton. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Farrel, K. T. 1990. Spices, Condiments and Seasoning 2nd edition. An AVI Book Van Nostrand Reinhold, New York. Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry 3rd edition. Marcel Dekker Inc., New York dan Basel. Forrest, C. Jhon, D. A. Elton, B. Harold, Hendrick, D. J. Max, A. M. Robert. 1975. Principle of Meat Science. W. H. Freeman and Company, San Fransisco. Garbutt, T. 1997. Essentials of Food Microbiology. Arnold, London. Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia. Penerjemah : K. Patmawinata dan I. Soediro. Penerbit ITB, Bandung. Harborne, J. D. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Penerjemah : K. Patmawinata dan I. Soediro. Penerbit ITB,

Bandung. Houghton, P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for Fractination of Natural Extracts. Chapman and Hall, London. Husnan, S dan Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi revisi. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Jay, J. M., M. J. Loessner, D. A. Golden. 2005. Modern Food Microbiology 7th edition. Springer Science + Business Media Inc., USA. Kramlich, W. E., A. M. Pearson, F. W. Tauber. 1973. Processed Meats. The AVI Publishing Co., Wesport. Lide, D. R. 2002. CRC Handbook of Chemistry and Physics, 83rd edition. CRC Press, Boca Raton. Marcus, Y. 1992. Principles of solubility and solution. Di dalam : Principles and Practices of Solvent Extraction. J. Reydberg, C. Musikas, G. R. Choppin. (eds.). Marcel Dekker Inc., New York. Marshall, D. L., L. N. Cotton, F. A. Bala. 2000. Acetic acid. Di dalam : Natural Food Antimicrobial Systems. A. S. Naidu. (ed.). CRC Press, Boca Raton. Marwati, T. 1999. Teknologi pasca panen tanaman penghasil pestisida nabati dan ekstraksi senyawa aktifnya. Di dalam : Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Vol. XI(2). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial System. CRC Press, Boca Raton. Nugroho, B. W. 2001. Insektisida Botani dari Tanaman Aglaia spp. (Meliaceae) sebagai Alternatif Pengganti Insektisida Sintetis. Laporan Riset Unggulan Terpadu. Fakultas Teknologi Pertanian, Bogor. Nur, M. A. dan Adjuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologi. PAU IPB, Bogor. Nychas, G. J. E. dan C. C. Tassou. 2000. Traditional preservatives-oils and spices. Di dalam : Encyclopedia of Food Microbiology vol 1. R. K. Robinson, C. A. Batt, P. D. Patel. (eds.). Academic Press, London. Parwata, O. A. dan F. S. Dewi. 2008. Isolasi dan uji aktivitas antibakteri minyak atsiri dari rimpang lengkuas (Alpinia galangal L.). J. Jurnal Kimia 2(2) : 100-104.