73
LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat Grup Riset PRAGMATIK TIM PENELITI NIDN Ketua : Drs. I Ketut Tika, M.A 0031125325 Anggota : 1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 0024125407 2. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum 0029056907 3 I Made Sena Darmasetiyawan, S.S, M.Hum 9900980508 GRUP RISET PRAGMATIK PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA NOVEMBER 2015 Bidang Unggulan: Pariwisata, Ekonomi dan Sosial Kode/Nama Rumpun Ilmu: 520 /Ilmu Bahasa

Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

1

LAPORAN AKHIR

HIBAH GRUP RISET UDAYANA

Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak,

dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun

Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat

Grup Riset

PRAGMATIK

TIM PENELITI NIDN

Ketua : Drs. I Ketut Tika, M.A 0031125325

Anggota :

1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 0024125407

2. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum 0029056907

3 I Made Sena Darmasetiyawan, S.S, M.Hum 9900980508

GRUP RISET PRAGMATIK

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

NOVEMBER 2015

Bidang Unggulan: Pariwisata, Ekonomi dan Sosial

Kode/Nama Rumpun Ilmu: 520 /Ilmu Bahasa

Page 2: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… 1

DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2

RINGKASAN .................................................................................................................. 3

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 4

BAB II . TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 7

BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................................. 9

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN...............................................................................

13

36

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................

LAMPIRAN......................................................................................................................

37

40

Page 3: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

3

RINGKASAN

Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat,

agama, seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas

kategori sosial masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan

seterusnya, terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini kemudian

menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengukur dampak dari kategori-kategori sosial (khususnya, status atau kedudukan sosial,

jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras

dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa.

Penelitian ini mengunakan metode kualitatif sebagai metode utamanya. Data primer dari

penelitian ini berupa data tertulis dan lisan. Data sekunder akan digunakan untuk

mendukung teori dasar. Metode penelitian dalam kajian ini mencakup metode

pengumpulan data dan pengolahan data. Output dari penelitian ini nantinya berupa

publikasi artikel dalam jurnal internasional dan jurnal nasional terakreditasi.

Page 4: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

4

BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa-bahasa lokal merupakan bahasa-bahasa yang dituturkan oleh

suku/kelompok-kelompok tutur di daerah-daerah berbeda di Indonesia. Menurut Blust

(1981), bahasa-bahasa lokal di Indonesia tersebut termasuk ke dalam rumpun Melayu-

Polinesia yang terdiri atas Melayu-Polinesia Barat, Melayu-Polinesia Tengah, dan Melayu

Polinesia Timur. Bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, dan Sumbawa

termasuk ke dalam Melayu-Polinesia bagian Barat. Kemudian selanjutnya, bahasa Bali,

Sasak, dan Sumbawa dikelompokkan lagi menjadi sub-kelompok dari Melayu-Polinesia

Barat (Dyen 1982, Mbete 1990).

Sebagai anggota dari satu sub-kelompok, maka bahasa-bahasa ini dikatakan

memiliki kemiripan-kemiripan baik itu yang dilihat secara fonologis, morfologis, leksikon,

atau bahkan sintaktisnya. Sehingg kemudian, pertanyaan yang muncul adalah apakah

bahasa-bahasa tersebut juga memiliki aspek-aspek sosiolinguistik yang sama atau tidak

mengingat bahasa-bahasa tersebut telah lama digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi

dalam beragam kegiatan dan situasi tutur dalam komunitas tuturnya masing-masing.

Melalui penelitian ini, bahasa-bahasa akan dikaji secara menyeluruh, khususnya yang

berkaitan dengan hubungan bahasa-bahasa tersebut dengan kategori-kategori sosialnya.

Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat, agama,

seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas kategori sosial

masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan seterusnya,

terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini lah yang kemudian

menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur di masyarakatnya. Hal tersebut pada

kenyataannya jika dilihat berdasarkan kacamata sosiolinguistik, merupakan karakteristik

dari sebagian besar bahasa-bahasa dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat seperti bahasa

Sunda, Jawa, Madura, dan Bali (Hardjadibatra 1985, Poedjasoedama 1979, Kersten 1970,

Ward 1973, Bagus 1979, Narayana 1983, Zurbuchen 1987, Hunter 1988, dan Clynes 1989,

Suastra 2002).

Penelitian seperti ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan

terhadap perkembangan teori tingkat tutur pada umumnya, dan perkembangan yang

berkaitan dengan penggunaan bahasa-bahasa yang sama dengan rumpun Melayu-Polinesia

Barat lainnya pada khususnya. Hasil dari penelitian ini akan membuktikan bahwa semua

Page 5: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

5

bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat membawa kategori-

kategori tingkat tutur yang didasari atas aspek-aspek sosial yang berbeda. Penelitian

lanjutan dapat dikembangkan dengan mengambil data dari bahasa-bahasa yang tergolong

pada rumpun Melayu-Polinesia lainnya, yaitu Melayu-Polinesia Tengah dan Timur, jika

penutur dari bahasa-bahasa tersebut diasumsikan memiliki kategori-kategori sosial yang

berbeda. Penelitian ini sejatinya merupakan penelitian lapangan yang produktif untuk

perkembangan bidang sosiolinguistik ke depannya. Hal ini dikarenakan Studi Linguistik

Kebudayaan yang menjadi minat utama Program Pascasarjana Linguistik (Magister dan

Doktoral), Fakultas Sastra, Universitas Udayana ini sedang dikembangkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur seberapa besar dampak yang

ditimbulkan dari kategori-kategori sosial (khususnya status, jenis kelamin, dan umur) yang

berkembang dalam masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang

berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa. Dalam kaitannya dengan

permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah:

- untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat tutur bahasa

Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat bahasa-bahasa tersebut

dituturkan

- untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial yang

utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial, jenis kelamin, dan umur

yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat tutur tersebut.

- untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan struktur dari

tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda.

Fokus penelitian ini adalah permasalahan-permasalahan yang didasari atas dua

faktor, yaitu faktor-faktor kebahasaan dan non-kebahasaan. Sementara itu, pada

penelitian terdahulu, kajian yang dilakukan adalah kajian yang berhubungan dengan

permasalahan tentang status sosial (dari sistem kelas tradisional ke sistem kelas terbuka).

Pada penelitian ini, faktor-faktor non kebahasaan seperti jenis kelamin, umur, dan tingkat

keformalitasan juga digunakan sebagai bahan pertimbangan. Selanjutnya, untuk faktor-

faktor kebahasaannya meliputi fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan klausa yang

berhubungan dengan tingkat tutur. Sistem di atas dapat dilihat pada gambar 1. di bawah

ini.

Page 6: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

6

Gambar 1.

Hubungan antara faktor kebahasaan dan non-kebahasaan dalam kajian ini

Faktor-Faktor

Kebahasaan

Faktor-Faktor Non-

Kebahasaan

Fonologi

Morfologi

Leksikon

Sintaksis

Klausa

Status Sosial

Jenis

Kelamin

Umur

Tingkat Honorifik:

Honorifik Penutur (Addressor)

Honorifik Petutur (Addressee)

Honorifik Referen (referent)

Tingkat

Kekasaran

Bentuk-Bentuk dan

Fungsi-Fungsi Tingkat

Tutur

Page 7: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Istilah Tingkat Tutur pertama kali digunakan oleh Geertz (1960) untuk

mengelompokkan etika tutur masyarakat Jawa. Kemudian penggunaan istilah itu diikuti

oleh Martin (1964) dalam tulisannya tentang Tingkat Tutur pada Masyarakat Jepang dan

Korea. Martin membedakan dua tipe bentuk-bentuk honorifik dalam bahasa-bahasa

tersebut, yaitu “honorifik (penghormatan) petutur (penerima/ lawan bicara/ addressee) dan

honorifik referen”. Pembedaan tersebut kemudian diadaptasi oleh linguis lainnya, seperti

Poedjasoedarma (1979) yang mengangkat tentang masyarakat Jawa, Suharno (1980) yang

juga mengangkat hal yang sama, dan Wang (1990) pada masyarakat Korea.

Sehubungan dengan bentuk dan fungsi sosial dari tingkat tutur, Kersten (1970),

Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter (1988), Clynes (1989), dan Suastra

(2001) juga telah melakukan penelitian yang senada, tetapi dengan menggunakan

terminologi, sistem, dan model yang berbeda.

Pada penelitian ini kajian tentang pengkategorisasian dari bentuk-bentuk honorifik

yang meliputi “honorifik penutur (Sor/humble), petutur (Singgih/refine), referen (Sor dan

Singgih/humble and refine), dan bentuk-bentuk kasar” dari tingkat tutur akan diterapkan.

Bentuk-bentuk ini akan ditelaah berdasarkan dua aspek, yaitu:dari hubungan sintagmatik

dan paradigmatiknya (mengikuti kerangka kerja Errington yang menganalisis tentang

tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa (1985: 5). Aspek paradigmatik nantinya akan

menjelaskan kata-kata alternatif yang meliputi kategorisasi dari unsur-unsur leksikalnya.

Sementara itu, hubungan sintagmatiknya akan menjelaskan kombinasi-kombinasi kata

yang digunakan untuk menyusun kalimat-kalimat pada masing-masing tingkat tutur.

Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan yang ditemukan dalam bentuk-bentuk fonologis dan

morfologis juga akan dianalisis.

Gagasan Hymes (1974) dalam karyanya tentang etnografi komunikasi yang

menjabarkan tentang “SPEAKING” (Setting/Tempat Tutur dan Scenes/Suasana Tutur,

Participants/Partisipan, End/Tujuan Tutur, Act sequence/Topik Pembicaraan, Key/Nada

Bicara, Instrumentalities/Sarana Tutur, Norms/Norma Tutur, dan Genre/Jenre) diadopsi

untuk mengevaluasi fungsi-fungsi dari tingkat-tingkat tutur. Setting dan Scene

berhubungan dengan komponen-komponen dari situasi dan tindak tutur. Setting mengacu

pada tempat dan waktu dari sebuah tindak tutur, dan scene merupakan definisi kultural

dari sebuah situasi tutur. Partisipan mengacu pada petutur atau pendengar, serta penutur

Page 8: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

8

atau pembicara sebagai subjek dari komponen-komponen tutur. End/tujuan tutur

merupakan dua aspek tujuan, yaitu tujuan peristiwa tutur dalam bentuk sasaran-sasaran

yang ingin dicapai (goal), dan tujuan yang berupa hasil yang diharapkan (outcomes). Act

sequence/topik pembicaraan mengacu pada bentuk pesan dan isi pesan. Keys/nada tutur

mengacu pada ton (nada), cara, dan penjiwaan pada saat peristiwa tutur itu terjadi.

Instrumentalities/ sarana tutur mengacu pada saluran dan bentuk tutur. Norms/norma-

norma tutur terdiri atas norma-norma interaksi yang berhubungan dengan perilaku dan

sifat yang khusus yang melekat pada tuturan; dan norma interpretasi melibatkan sistem

kepercayaan dalam sebuah komunitas tutur. Pada akhirnya, genre/jenre menyiratkan

kemungkinan mengidentifikasi karakteristik formal dari sebuah peristiwa tutur.

PETA JALAN PENELITIAN

Kajian

Sekarang

Geertz (1960), Martin (1964), Poedjasoedarma (1979), Wang (1990) o, ,

Kersten (1970), Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter

(1988), Clynes (1989), Suastra (2001)

K

a

j

i

a

n

t

e

r

d

a

h

u

l

u

1. untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat

tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat

bahasa-bahasa tersebut dituturkan

2. untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori

sosial yang utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial,

jenis kelamin, dan umur yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat

tutur tersebut.

3. untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan

struktur dari tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda

T

u

j

u

a

n

o

u

t

p

u

t

Publikasi dalam:

1. Artikel dalam Jurnal Internasional

2. Artikel dalam Jurnal Nasional Terakreditasi

Page 9: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

9

BAB III

METODE PENELITIAN

Kajan penelitian ini menerapkan metode kualitatif. Data primer dalam penelitian

ini adalah data tulis dan lisan, sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung

teori dasarnya. Metode penelitian ini dibagi menjadi dua sub-bab, yaitu pengumpulan

data, pemrosesan data, dan analisis data.

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam kajian ini melibatkan observasi partisipasi dan teknik

elisitasi (Labov 1972b: 102-11). Observasi partisipasi diterapkan sebagai teknik dasar

dimana peneliti terlibat dan menjadi bagian dari sebuah kelompok tutur. Penelitian

seperti ini penting dilakukan guna untuk meminimalkan paradoks pengobservasi

(Labov 1972a: 10) dan untuk memperoleh tuturan spontan dari para penutur. Prosedur

teknik elisitasi bisa mengambil berbagai bentuk yang bergantung pada respon alami

yang diinginkan. Dalam penelitian ini respon lisan lebih diutamakan. Akan tetapi,

wawancara individu juga akan dilakukan guna mengumpulkan data tambahan.

Ketika penelitian sosiolinguistik dilakukan, faktor sosiologis dianggap lebih

utama dibandingkan dengan faktor geografis dan kompleksitas struktur sosial yang

membuat pengetahuan individual tentang area tersebut menjadi tidak begitu berterima

(Trudgil 1974:20). Lebih lanjut, kajian ini intinya untuk menjabarkan kategori status

sosial, jenis kelamin, dan umur di masyarakat dimana bahasa tersebut dituturkan.

Guna mengukur kelas sosial secara objektif, digunakan tiga unsur indeks dari

Labov (1972c:115), yaitu: pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Trudgill (1974:

60) membagi enam unsur indeks: pekerjaan, penghasilan, pendidikan, perumahan,

lokalitas, dan pekerjaan ayah. Chaika (1989-236) mengemukakan indeks karakteristik

status sosial (ISC) yang terdiri dari pekerjaan, pendidikan, penghasilan, dan tempat

tinggal digunakan untuk mengukur subjek status sosial. Sampai sejauh ini, status

sosial dapat diukur oleh empat unsur indeks, yaitu pekerjaan, pendidikan,

penghasilan, dan hubungan sosial. Indeksnya diadaptasikan pada situasi yang

berkembang di masyarakat baru-baru ini.

Analisis kajian ini berupa analisis kategori sosial. Faktor sosio-ekonomi

kemungkin juga penting dalam variasi bahasa yang relevan dengan penggunaan

Page 10: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

10

bahasa secara potensial. Selanjutnya indikator primer informan dalam kajian ini

sebagai berikut:

A. Umur antara 15-60 tahun dan berbicara dengan normal

B. Laki-laki atau perempuan

C. Indeks status sosial;

1. Grup etnik asli berasal dari tempat bahasa dituturkan

2. Memiliki pekerjaan tetap di pemerintahan atau sektor swasta di daerah

sekitar.

3. Anggota dari organisasi lokal tertentu.

4. Menduduki posisi tertentu dalam pekerjaan; misalnya berkedudukan

tinggi, kedudukan menengah, atau kedudukan rendah dalam sebuah

pekerjaan.

5. Berinteraksi aktif dengan pasangan atau pasangan masa depan, orang

tua, kakak laki-laki atau perempuan dan kerabat.

6. Aktif secara sosial di masyarakat.

Dengan metode tersebut peneliti menentukan variabel dalam populasi yang

dikaji untuk memastikan individu yang dikumpulkan mewakili semua profesi, jenis

kelamin, dan umur. Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah bahasa-bahasa tersebut

dituturkan, dengan mengaplikasikan tiga variabel sosial yang ditentukan: umur, jenis

kelamin, dan status sosial. Dari ketiga variabel sosial tersebut akan ada beberapa

kelompok individu yang terdiri atas jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), posisi

pekerjaan berbeda (termasuk manajer, kepala kantor, direktur atau pegawai; pegawai

biasa seperti staf, dan pekerja terampil; dan pekerja kantor tingkat rendah atau pekerja

tidak terampil/buruh meliputi pesuruh, supir, penjaga malam, petani, nelayan dan lain-

lain), dan rentang umur antara 15 sampai 60 tahun.

Pemilihan wilayah dimulai dari menghubungkan semua aktivitas sosial dengan

grup etnis yang akan diidentifikasi. Dari grup etnis tersebut paling tidak dipilih

sepuluh tempat dalam setiap komunitas tutur. yang diseleksi secara acak, sejauh

tempat tersebut relevan dengan aktivitas sosial yang dimaksud. Data dan informasi

untuk aktivitas sosial berbeda diperoleh dari organisasi lokal. Setiap tempat yang

diseleksi akan dikunjungi untuk pertama kali untuk mendapat informasi tentang

anggota komunitas. Berdasarkan informasi tersebut, setidaknya informan (seorang

laki-laki dan seorang perempuan) akan diseleksi dari setiap tempat. Dari informan

Page 11: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

11

tersebut akan ada kira-kira 40 informan sebagai informan utama (informan kunci)

secara keseluruhan. Selanjutnya, setiap informan akan digunakan sebagai terusan

untuk menghubungkan individual lain di wilayah tersebut sebagai teman. Informasi-

informasi terseleksi tersebut kemudian diobservasi berdasarkan beragam ranah seperti

keluarga, tetangga, pasar, dan seterusnya.

Sebelum kerja lapangan dilaksanakan, asisten peneliti akan dilatih. Mereka

merupakan mahasisswa yang peminatannya dalam pengerjaan penelitian

sosiolinguistik. Surat izin untuk masuk ke komunitas dari pemerintah lokal disiapkan

sebagai langkah primer. Dengan menggunakan surat ini peneliti akan masuk

komunitas dengan mudah.

Informan terpilih di tempat kerja akan didekati, dan setiap dari mereka akan

diberitahu tujuan dari wawancara yang dlakukan. Ketika itu disetujui, informan di

bawah investigasi akan diminta untuk memperkenalkan peneliti pada teman laki-laki

atau perempuannya di tempat kerja atau di kehidupan sosial lainnya. Mereka akan

diminta untuk berpartisipasi dalam observasi. Sekali informan ditentukan, mereka

akan diminta untuk mengisi kuesioner memfokuskan latar belakang pribadi mereka,

aktivitas-aktivitas sosial, dan kecenderungan berbahasa. Kuesioner menanyai

informan untuk mengindikasikan bahasa apa dan bagaimana mereka berbicara pada

orang-orang dekat, yang mereka hargai, dan yang mereka marahi. Ini memungkinkan

kita memperoleh dampak komposisi linguistik informan dan untuk memungkinkan

pemerolehan informasi informan yang informan dengan latar belakang sosial beragam

akan paling bisa menggunakan bahasa secara tepat. Setelah subjek-subjek yang

dibutuhkan dipilih, peneliti menyediakan kuesioner yang akan mengambil waktu kira-

kira satu bulan untuk dikumpulkan. Peneliti menjadwalkan para informan untuk

wawancara berdasarkan pilihan mereka (instrumen penelitian akan dirancang di

kemudian hari). Semua wawancara berupa wawancara grup. Percakapan grup, yang

terdiri dari minimal dua dan maksimum lima informan akan dilakukan antara di

tempat kerja mereka atau di tempat lain. Semua grup percakapan akan direkam dan

divideokan menggunakan media elektronik radio kaset perekam stereo Sony dan

perekam video-cam Sony. Fungsi peneliti di sini sebagian besar menjadi inisiator dan

monitor. Para informan sendiri melanjutkan percakapan dan peneliti aktif mencatat,

merekam, dan terlibat dalam percakapan seperlunya.

Secara khusus, para informan dapat mengerti bahwa peneliti khususnya tidak

menginginkan mereka berbicara dalam “bahasa tepat atau standar”. Demi

Page 12: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

12

meminimalkan efek paradoks pengobservasi (Labov, 1972), informan didorong untuk

berbicara satu sama lain daripada pada peneliti, dan untuk berbicara senaturalnya.

Observasi dilaksanakan di ranah berbeda. Janji dengan informan dibuat untuk

mengamati pembawaan mereka pada percakapan dalam ranah tertentu. Oleh karena

wilayah penelitiannya di komunitas berbeda (Sasak dan Sumbawa), kategori sosial

tiap komunitas juga berbeda. Oleh sebab itu, metode akan dimodifikasi menurut

kepentingan sesuai dengan situasi dalam komunitas tutur masing-masing

3.2 Pemrosesan data

Keseluruhan sumber data dalam kajian ini adalah bahasa lisan. Bahan yang telah

terekam akan diseleksi untuk membentuk data korpus. Setiap rekaman memiliki

durasi kira-kira 35 sampai 50 menit. 10 menit pertama dalam percakapan tidak akan

ditinjau karena diyakini tuturan spontan dengan kehadiran mikrofon tidak

memungkinkan di percakapan awal. Kemudian, sisa rekaman tersebut ditanskrrip.

Konvensi transkripsi diadaptasi dari Edward (1993:43). Kalimat atau klausa dari

pembicara individual berbeda diklasifikasikan dan dihitung berdasarkan tingkatan-

tingkatan tutur.

Untuk mempermudah pengkategorian faktor linguistik pada data, program khusus

untuk analisis teks akan digunakan dan sistem pengkodean akan diterapkan. Sistem

pengkodean meliputi prosedur pemilahan dalam kata atau program pemrosesan klausa

dan program persetujuan untuk menghitung dan menandai data linguistik dalam level

tertentu dan untuk mengelompokkan bersama semua aspek linguistik berbeda dari

tiper tertentu untuk klasifikasi dsn analisis lebih jauh.

3.3. Analisis Data

Pada dasarnya, korpus data dianalisis di level individual lalu data dikelompokkan

berdasarkan karakteristik penutur seperti jenis kelamin, umur, dan status sosial. Grup

ditentukan pada dasar analisis level individual. Unit data dalam level grup

menunjukkan perbedaan perilaku verbal diukur oleh tingkat tutur. Unsur-unsur

linguistik akan dianalisis dengan ketentuan level paradigmatik dan sintagmatik.

Kemudian hubungan antara tiap level akan dikorelasikan ke status, jenis kelamin, dan

umur.

Page 13: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Bentuk, Fungsi, dan Tingkat Tutur

4.1.1 Bahasa Bali

Bahasa Bali merefleksikan suatu tenunan budaya yang kompleks akibat

akulturasi budaya yang pernah mewarnai Bali dalam lintasan sejarah. Kompleksitas

itu salah satunya dapat dilihat dari tingkat-tingkatan bahasa yang digunakan oleh

masyarakat Bali dalam suatu tuturan. Tingkat-tingkatan bahasa (speech level) dalam

bahasa Bali dipadankan dengan beberapa istilah oleh para peneliti. Istilah-istilah

tersebut di antaranya warna-warna bahasa (Kersten, 1970), mabasa, masor-singgih

basa (Bagus, 1977; Tinggen, 1986; Suarjana, 2010), unda usuk (Bagus, 1979), rasa

basa bahasa Bali (Suasta, 2003) dan anggah-ungguhing basa Bali (Naryana, 1983:

30). Istilah warna-warna bahasa digunakan oleh Kersten (1970:3) untuk menyatakan

perilaku berbahasa masyarakat Bali pada saat berbicara kepada seseorang maupun

membicarakan seseorang dengan ragam bahasa yang diklasifikasikannya menjadi

basa kasar, basa alus, basa singgih, dan basa ipun. Pemakaian ragam bahasa ini

ditentukan oleh stratifikasi sosial masyarakat Bali yang disebutnya sebagai

masyarakat golongan atas dan golongan bawah (Kersten, 1970: 4).

Sementara itu, Bagus (1977) menggunakan istilah mabasa maupun masor-

singgih basa untuk menyatakan norma sopan santun berbahasa (speech level) dalam

masyarakat Bali. Istilah mabasa secara lebih spesifik diartikan cara berbahasa sesuai

dengan sistem budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali (1977: 91).

Norma sopan santun ini secara garis besarnya dapat dikatakan bahwa ada sopan

santun berbahasa yang mengatur tingkat-tingkat bicara sesuai dengan wangsa-nya,

yaitu dalam hal ini orang yang berwangsa tri wangsa akan memperoleh bentuk

hormat (halus), sedangkan sebaliknya seorang yang berasal dari golongan jaba akan

mendapatkan bentuk lepas hormat (kasar). Sehubungan dengan pemakaian bentuk

lepas hormat ini, bukanlah bermaksud menggunakan bahasa yang kasar atau kurang

sopan, melainkan suatu cara orang berbahasa yang wajar, asal pemakaiannya

disesuaikan dengan status orang bersangkutan (Kersten, 1970: 91).

Istilah rasa basa basa Bali digunakan oleh Suasta (2006) untuk menyatakan

pentingnya penguasaan kaidah anggah-ungguhing basa Bali dalam menggunakan

Page 14: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

14

bahasa Bali. Penggunaan istilah ini didasarkan atas kenyataan bahwa dalam berbicara

menggunakan anggah-ungguhing basa Bali secara tepat, seseorang dapat memilih

kosakata bahasa Bali yang telah mengandung nilai rasa sosial (2003: 11). Suasta

(2003) lebih lanjut mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan dasar penggunaan

sistem berbahasa ini. Pada masa lalu, stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai

dengan adanya tingkat-tingkatan sosial berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan,

dan keahlian. Pelapisan masyarakat suku Bali yang telah mengendap dalam adat

adalah pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keturunan, senioritas,

kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keahlian

belum mengendap. Berdasarkan keturunan, menyebabkan terjadinya golongan

masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Berdasarkan senioritas

menyebabkan terjadinya golongan masyarakat suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam

ranah adat, dan golongan masyarakat suku Bali yang muda dalam pengalaman.

Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan munculnya golongan penguasa dan golongan

masyarakat. Pembedaan berdasarkan keahlian menyebabkan adanya golongan

masyarakat suku Bali yang memiliki keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian

tertentu.

Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh

senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur

pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak

begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda

dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi

oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai

menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi

masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional

yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami

perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan

masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada,

yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan

adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali

yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan

golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat. Hal

inilah yang menjadi faktor penyebab munculnya sistem kesantunan berbahasa yang

disebutnya rasa basa basa Bali.

Page 15: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

15

Perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebutkan realitas penggunaan

bahasa Bali dalam kehidupan masyarakat Bali itu sempat dibicarakan dalam

Pesamuhan Agung Bahasa di Singaraja tahun 1974. Pesamuhan Agung yang agenda

utamanya membahas tentang pembakuan bahasa Bali saat itu menyepakati istilah

anggah-ungguhing basa Bali sebagai istilah baku untuk menyebutkan tingkat-

tingkatan bahasa Bali. Secara leksikal, anggah-ungguh artinya tata cara. Sementara

itu, anggah-ungguhing basa Bali adalah tata cara berbahasa masyarakat Bali yang

diikat oleh oleh adanya tingkat-tingkatan bahasa.

Penggunaan tingkat-tingkatan bahasa dalam kehidupan masyarakat Bali

seperti yang telah disinggung di atas disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial

masyarakat Bali sebagai penutur bahasa Bali. Stratifikasi sosial ini pada umumnya

dibedakan menjadi dua yaitu secara tradisional dan modern. Secara tradisional, yang

dimasukkan sebagai golongan atas adalah orang-orang yang berstatus tri wangsa

(Brahmana, Wesia, dan Sudra). Sementara itu, yang dimasukkan dalam golongan

bawah adalah wangsa jaba. Apabila ditinjau secara modern, pembagian stratifikasi

masyarakat Bali yang dapat digolongkan dalam golongan atas adalah wangsa tri

wangsa dan jaba. Sedangkan golongan bawah juga terdiri atas tri wangsa dan jaba.

Maksudnya, secara modern kedua golongan masyarakat baik tri wangsa maupun jaba

memiliki peluang yang sama untuk menempati golongan atas maupun golongan

bawah. Dengan demikian, status sosial seseorang diklasifikasikan secara prgamatis

(tidak semata-mata karena kelahiran atau keturunan, tetapi juga karena jabatan atau

kedudukan, finansial dan yang lainnya) (Suarjana, 2011: 86).

Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat digambakan dalam skema berikut ini:

1. Secara Tradisional : A Golongan atas (Tri Wangsa)

B Golongan bawah (Wangsa Jaba)

2. Secara Modern : A Golongan Atas (Tri Wangsa + Jaba)

B Golongan Bawah (Tri Wangsa + Jaba)

Penggunaan bahasa Bali yang mengenai sor-singgih-nya ini, agar sesuai

dengan kosep tuturannya dapat ditempuh dengan jalan bertanya terlebih dahulu

kepada lawan bicara untuk mengetahui status sosialnya, apakah sebagai lawan bicara

yang patut di singgih-kan atau tidak. Caranya adalah dengan menggunakan kalimat

tanya seperti ini: “Nawegang titiang nunasang antuk linggih?” yang secara bebas

artinya “Maaf saya ingin mengenal identitas Anda”, atau dengan menanyakan

Page 16: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

16

langsung indik pagenahan “tentang rumah atau tempat tinggal (masudnya di griya, di

puri, di jero)” dan swakaryannyane (pekerjaannya). Di samping dengan menanyakan

identitas di atas, konsep yang secara konvensional tidak dapat dilanggar dalam tuturan

bahasa Bali adalah penggunaan bahasa alus sor apabila seseorang menjadi penutur

pertama dalam suatu dialog. Hal ini berlaku untuk semua golongan baik tri wangsa

maupun jaba. Dengan demikian, tidak terjadi fenomena penggunaan bahasa untuk

menghaluskan diri sendiri atau ngalusang raga (Suarjana, 2011: 87).

Penggunaan bahasa Bali dalam suatu tuturan dapat diformulasikan secara

garis besar menjadi empat yaitu.

1. Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara (O2), dan yang

dibicarakan (O3) semuanya termasuk dalam golongan bawah. Maka, bahasa yang

digunakan oleh O1 kepada O2 tentang O3 adalah basa Bali Andap. Hal ini dapat

digambarkan sebagai berikut :

A

B

O1 O2

O3

Keterangan Gambar.

A : Golongan Atas

B : Golongan Bawah

O1 : Orang Pertama

O2 : Orang Kedua

O3 : Orang yang Dibicarakan

Komunikasi antargolongan bawah yang juga membicarakan seseorang

dari golongan bawah itu dapat ditemukan dalam beberapa contoh kalimat berikut.

1. Bapan icange liu ngelah pangina, jani suba mataluh

‘Ayah saya banyak mempunyai ayam betina, sekarang sudah bertelur’

2. Yan saja iluh demen teken beli, beli suba ngorahang teken reraman beline

jumah.

‘Jika engkau memang benar-benar mencintaiku, aku sudah mengatakan

kepada orang tuaku di rumah’

Page 17: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

17

2. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara pada

orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang ke (O3) dari golongan atas,

maka bahasa yang digunakan oleh orang pertama kepada orang kedua itu adalah

bahasa alus singgih. Sementara itu, apabila orang pertama tersebut membicaraka

tentang dirinya, maka ia menggunakan bahasa alus sor. Hal itu dpat digambarkan

seperti berikut.

O2

A O3

B O1

Keterangan Gambar.

A : Golongan Atas

B : Golongan Bawa

O1 : Orang Pertama

O2 : Orang Kedua

O3 : Orang yang Dibicarakan

Komunikasi antara golongan bawah dengan golongan atas yang

membicarakan golongan atas tersebut dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah

ini.

1. Ida Ayu Priya sampun ngranjing ring kapale.

‘Ida Ayu Priya sudah naik ke atas kapal’

2. Okan Idane taler nyarengin makta anaman.

‘Anaknya juga ikut membawa ketupat’

(3) Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara

dengan orang kedua dari golongan atas (O2), dan yang dibicarakan dari golongan

bawah (O3), maka bahasa yang digunakan orang pertama saat berbicara pada

orang kedua adalah bahasa alus singgih. Sedangkan yang mengenai orang

pertama dengan orang ketiga menggunakan bahasa alus sor. Hal itu, dapat

digambarkan seperti berikut.

Page 18: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

18

O2

A

B O1 O3

Keterangan Gambar.

A : Golongan Atas

B : Golongan Bawa

O1 : Orang Pertama

O2 : Orang Kedua

O3 : Orang yang Dibicarakan

Komunikasi antara golongan bawah dengan golongan atas, yang

membicarakan golongan bawah itu dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.

1. Titiang pajarina tangkil olih ipun dibi sande.

‘Saya disuruh datang olehnya kemarin malam’

2. Bantenge sampun wehin ipun neda, durusang ratu nyuryanin mangkin.

‘Sapi itu sudah diberikannya makan, silakan Anda melihatnya sekarang’

4. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah berbicara pada

orang kedua (O2) yang juga berasal dari golongan bawah, sedangkan yang

dibicarakan adalah orang ketiga (O3) yang berasal dari golongan atas, maka bahasa

yang digunakan orang pertama ketika berkomunikasi dengan orang kedua

menggunakan bahasa andap. Sedangkan, bahasa yang mengenai orang ketiga

menggunakan bahasa alus singgih. Sementara itu, bahasa mengenai pembicara

pertama dengan kedua menggunakan bahasa alus sor. Hal ini dapat digambarkan

sebagai berikut.

O3

A

B O1 O2

Keterangan Gambar.

A : Golongan Atas

Page 19: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

19

B : Golongan Bawa

O1 : Orang Pertama

O2 : Orang Kedua

O3 : Orang yang Dibicarakan

Komunikasi antara golongan bawah dengan glongan bawah yang mengenai

golongan atas itu dapat dilihat dalam beberapa contoh di bawah ini.

1. Apake jani Luh suba nawang, indik Ida jagi makerabkambe?’

‘Apakah sekarang Luh sudah tahu, tentang beliau yang aka menikah?’

2. Sotaning dadi parekan, icang ajak cai sing dadi nulak pikayunan ida.

‘Kewajiban setiap abdi, seperti aku dan kami tidak boleh menolah keinginan

beliau.

Pola komunikasi antargolongan di atas menyebabkan bagian-bagian dari

bahasa yang digunakan oleh penutur dalam konteks tertentu menjadi berbeda-beda.

Istilah yang digunakan para peneliti mengenai pembagian anggah-ungguhing basa

Bali juga tidak sama satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu pada umumnya

mempertentangkan dikotomi bahasa halus dan bahasa kasar dengan berbagai macam

sebutan. Bagus (2009) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yaitu

(1) bahasa kasar, (2) bahasa madia, (3) bahasa halus. Tinggen membagi jenis anggah-

ungguhing basa Bali menjadi tiga (1) basa kasar, (2) basa kepara (basa biasa, basa

lumbrah, basa biasa), dan (3) basa halus. Dinas Pengajaran Daerah Provinsi Bali

membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yakni (1) basa kepara (basa

lumbrah), (2) basa madia, dan (3) basa singgih. Kersten membagi jenis anggah-

ungguhing basa Bali menjadi (1) basa kasar, (2) basa halus, (3) basa singgih (4) basa

ipun (5) basa madia. Naryana (1983) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali

menjadi (1) basa kasar, (2) basa andap, (3) basa madia dan (4) basa alus.

Pembagian anggah-ungguhing basa Bali yang diikuti dalam tulisan ini adalah

pembagian dari Naryana (1983). Pemilihan pembagian menurut Naryana didasarkan

atas pertimbangan bahwa pembagian itu lebih tegas memberikan batasan terhadap

bahasa andap dengan bahasa kasar. Oleh sebab itulah, uraian mengenai pembagian

sistem anggah-ungguhing basa Bali dalam tulisan ini sebagian besar merujuk pada

pandangannya. Adapun pembagian tersebut secara lebih rinci dijelaskan sebagai

berikut.

4.1.1.1 Basa Kasar

Page 20: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

20

Basa kasar adalah tingkatan bahasa Bali yang memiliki rasa bahasa paling

rendah. Bahasa kasar ini dibedakan menjadi dua yakni basa kasar pisan dan basa

kasar jabag, yang masing-masing akan diuraikan di bawah ini.

a. Basa Kasar Pisan

Basa kasar pisan adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tergolong

tidak sopan, yang sering digunakan dalam situasi emosional, jengkel, marah, dengki,

dan caci maki. Basa kasar ini dibentuk dari basa andap yang disertai dengan intonasi

tertentu (biasanya tajam dan keras). Dalam keadaan yang emosional ragam bahasa ini

dapat dikenakan pada siapa saja, termasuk tri wangsa. Adapun beberapa contoh basa

kasar pisan ini dapat dilihat di bawah ini.

1. Cicing iba, ngaleklek gen mai.

‘Anjing engkau, makan saja kesini’

2. Madak apang bangka polone, mula jelema amah temah.

‘Semoga kamu mampus, dasar manusia terkutuk’

Bahasa kasar pisan ini tidak hanya digunakan pada situasi marah, kesal, dan

yang lainnya saja, tetapi digunakan juga pada saat basa basi dalam hubungan yang

sangat erat. Dengan demikian, rasa bahasa yang ditimbulkan sangat disesuaikan

dengan konteks situasinya.

b. Basa Kasar Jabag

Basa kasar jabag adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tidak sesuai

dengan etika dan situasi pembicaraan. Artinya, kata-kata dalam bahasa yang

digunakan itu tidak mengindahkan tingkat-tingkatan yang ada dalam bahasa Bali,

kadangkala melampau etika pembicaraan. Ragam bahasa ini dianggap tidak sopan dan

kurang wajar, serta seringkali dinilai salah sasaran. Motivasi penggunaan bahasa ini

tidak semata-mata karena penguasaan anggah-ungguh basa yang tidak baik,

melainkan terkadang ingin menunjukkan keangkuhan, kelebihan, dan keakrabannya.

Misalnya :

1. Dayu ngaba apa ento? baang ja ngidih abesik.

‘Dayu membawa apa itu? berikan saya satu’

2. Gung yen payu pesu, beliang icang roko akatih.

‘Gung kalau jadi keluar, belikan aku rokok sebatang’

4.1.1.2 Basa Andap

Basa andap adalah tingkatan bahasa Bali yang digunakan dalam suasana

bersahaja (dalam pergaulan yang akrab dan sopan) sehingga sering disebut basa Bali

Page 21: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

21

Lumbrah atau Kepara. Bahasa Bali sebagai bahasa sopan digunakan dalam pergaulan

yang sifatnya akrab, misalnya sesama wangsa, sama kedudukan, sama umur, sama

pendidikan, sama jabatan, bahasa kekeluargaan. Bahasa ini juga seringkali digunakan

sebagai bahasa nyeburin ketika wangsa dari golongan yang lebih tinggi kepada

golongan yang lebih rendah. Misalnya antara raja dengan abdinya, orang tua dengan

anak-anaknya, guru dengan muridnya, atasan dengan bawahan, dan yang lainnya.

Adapun contoh penggunaan basa andap ini di antaranya.

1. Dija Gus uli tuni meplalianan, paling aji ngalihin.

‘Kemana Gus dari tadi bermain, bingung ayah mencari.

2. Kemu ke warung Luh, beliang bapa roko akatih.

‘Kesanalah ke warung Luh, belikan ayah sebatang rokok.

4.1.1.3 Basa Madia

Basa madia adalah tingkatan bahasa Bali yang tergolong menengah, yang nilai

rasa bahasanya berada di antara bahasa Bali andap dan bahasa Bali alus. Artinya

konotasi bahasa madia tidak terlalu halus dan tidak terlalu kasar. Dalam praktiknya,

bahasa ini tidaklah terlalu hormat, dan biasanya ditandai dengan kata-kata yang

tergolong madia. Kata-kata madia akan membentuk kalimat madia. Semakin banyak

unsur andapnya, maka bahasa ragam ini akan cenderung lebih rendahlah konotasinya.

Demikian pula sebaliknya, apabila semakin banyak mengandung unsur bahasa alus,

maka akan semakin tinggi kesantunannya. Bahasa madia biasanya digunakan apabila

wangsa atau status sosial seseorang lebih tinggi berbicara pada orang yang status

sosialnya lebih rendah, tetapi umurnya lebih tua atau lebih disegani karena menempati

kedudukan tertentu dalam masyarakat atau instansi pemerintahan. Contoh penggunaan

bahasa madia dapat dilihat di bawah ini.

1. Tiang ampun rauh, duk i ratu kantun mesiram.

‘Saya sudah datang ketika anda masih mandi.’

2. Durusang mangkin ngajeng.

‘Silakan makan sekarang’

4.1.1.4 Basa Alus

Basa alus adalah tingkatan bahasa Bali yang mempunyai nilai rasa bahasa

yang tinggi atau sangat hormat. Bahasa ini biasanya digunakan dalam situasi resmi

(seperti rapat, pertemuan, sarasehan, seminar, acara adat, agama, kesenian dan yang

Page 22: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

22

lain sebagainya). Bahasa halus dapat dibagi menjadi tiga yakni bahasa alus sor,

bahasa alus mider, dan bahasa alus singgih.

a. Alus Sor

Bahasa alus sor adalah tingkatan bahasa Bali alus atau bentuk hormat

mengenai diri sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan juga untuk

orang lain atau objek yang dibicarakan yang status sosialnya lebih rendah. Misalnya.

1. Titiang sampung mapajar ring pianak ipune

‘Saya sudah dapat menyampaikan pada anaknya’

2. Benjang semeng ipun jagi tangkil meriki.

‘Besok pagi dia akan kesini’

b. Alus Mider

Bahasa alus mider adalah tingkatan bahasa Bali alus yang memiliki nilai rasa

yang sangat hormat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi pada golongan bawah

maupun golongan atas. Bahasa ini dalam percakapan sehari-hari dapat digunakan

untuk diri sendiri, lawan bicara, maupun orang ketiga. Misalnya:

1. Titiang nenten maderbe jinah, i ratu akeh madue jinah.

‘Saya tidak memiliki uang, anda banyak mempunyai uang’

2. Ipun makta asiki, Ida makta kalih.

‘Dia membawa satu, Beliau membawa dua’

c. Alus Singgih

Bahasa alus singgih adalah tingkatan bahasa dalam bahasa Bali yang memiliki

nilai rasa tinggi dan hormat. Bahasa alus singgih dapat digunakan pada pembicara

untuk menghormati orang yang patut dimuliakan, maupun lawan bicara, atau orang

yang dibicarakan. Misalnya :

1. Dayu Biang akuda sampun madue oka?

‘Dayu Biang sudah berapa mempunyai anak?

2. I Ratu kayun ngrayunang ulam bawi ?

‘Anda ingin makan daging babi?’

4.1.1.5 Basa Mider

Basa Mider adalah kata-kata dalam bahasa Bali yang tidak memiliki tingkat-

tingkatan rasa bahasa, sehingga bahasa ini dapat digunakan oleh golongan mana saja.

Misalnya :

1. Kija beli ituni, paling icang ngalih.

Page 23: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

23

‘Kemana kakak tadi, bingung saya mencari’

2. Da bas makelo nyongkok, semutan batise.

‘Jangan lama jongkok, nanti kesemutan kakinya’

4.1.2 Bahasa Sasak

Bahasa Sasak adalah bahasa yang digunakan oleh suku Sasak yang berada di

pulau Lombok, kepulauan Nusa Tenggara Barat.Secara geografis Pulau Lombok

terletak diantara pulau Bali dan pulau Sumbawa. Menurut penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Mahsun (2006), terdapat empat dialek dalam bahasa sasak, yaitu

dialek Bayan, dialek Pujut, dialek Selaparang, dan dialek Aik Bukaq.Selain itu pada

penelitian yang dilakukan oleh Nazir Thoir, dkk (1981), mereka membagi dialek

bahasaSasak menjadi lima dialek yaitu: dialek Ngeno Ngene, dialek Ngeto Ngete,

dialekMeno Mene, dialek Ngeno Mene, dan dialek Mriak Mriku. Pembagian dialek

yangdiusulkan oleh Nazir tersebut berdasarkan pada ciri kebahasaan (leksikon)

yangdigunakan untuk merealisasikan glos begini-begitu.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya penelitian ini lebih

memfokuskan pada penggunaan bahasa Sasak Halus dan bahasa Sasak kasar dalam

aspek sintaksis khususnya penggunaannya dalam ruang lingkup sosiolinguistik.

Terdapat beberapa ranah dalam penelitian ini, antara lain ranah keluarga,

ranah pertemanan, ranah pasar, ranah keagamaan, dan ranah tetangga. Selain kelima

ranah tersebut, terdapat beberapa faktor juga yang menjadi pertimbangan dalam

penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain

faktor usia, jenis kelamin (gender), dan kelas sosial baik secara tradisional

(bangsawan) dan modern (pekerjaan/ jabatan). Penelitian ini membahas mengenai

pengaruh ranah dan faktor dalam penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan

sosial.Penjelasan mengenai fenomena tersebut dirangkum dengan memberikan

contoh-contoh kalimat baik dalam bahasa Sasak halus maupun kasar.

Dengan dibatasinya masalah pada penelitian ini, hasil yang dirumuskan

optimal dan maksimal sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu

bahasa khususnya untuk perkembangan bahasa Sasak serta memberikan pemahaman

yang lebih mendalam bagi masyarakat suku Sasak untuk lebih memahami fenomena

pembentukan bahasa Sasak halus dan kasar bagi para penutur asli di setiap daerah di

Pulau Lombok.Lingkup permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu

mengenai bahasa Sasak halus dan kasar yang digunakan pada masyarakat keturunan

Page 24: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

24

bangsawan maupun yang bukan bangsawan dan apayang mempengaruhi penggunaan

bahasa Sasak baik di kalangan bangsawan maupun non bangsawan.

Dalam penelitian ini, hasil yang ditemukan akan dijelaskan dalam dua hal

yaitu aspek sintaksis dalam penggunaan bahasa Sasak halus dan kasar yang digunakan

pada masyarakat keturunan bangsawan dan masyarakat yang bukan bangsawan, serta

apa yang menentukan pembentukan bahasa Sasak halus dan bahasa Sasak kasar bagi

keturunan bangsawan dan masyarakat biasa.

Masyarakat Sasak secara garis besar dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

bangsawan dan masyarakat biasa “jamaq”. Dalam penggunaan bahasa pun mereka

terbagi dalam dua kelompok yaitu bahasa Sasak halus yang digunakan oleh

bangsawan dan bahasa Sasak kasar digunakan oleh masyarakat biasa.

Dalam bahasa Sasak yang digunakan oleh masyarakat biasa pada umumnya,

penggunaan sapaan aku dan kamu dalam bahasa sasak digunakan oleh penutur bahasa

Sasak biasa yang memiliki status yang sama dan umur yang tidak jauh berbeda. Aku

dan kamu biasanya digunakan di antara penutur yang lebih muda. Para penutur yang

memiliki usia lebih tua lebih memilih menggunakan kata “side” dalam berbicara,

sementara mereka akan menggunakan kata kamu pada lawan bicara yang lebih muda.

Kata “side” dianggap lebih netral untuk menyapa seseorang yang status sosialnya

sudah diketahui. Lebih lanjut lagi, anggota keluarga, saudara yang lebih tua dan

tetangga yang lebih tua akan menyapa seseorang yang lebih muda dengan sapaan

kamu sementara lawan bicara (yang lebih muda) akan menggunakan “side”.

Anak :Pak, leq embe side toloq kunci motor? (Pak, dimana anda letakkan

kunci motor?)

Ayah :No tegantung leq deket lawang.kamu (itu digantung di belakang

pintumu)

Dalam masyarakat yang bukan golongan bangsawan, penutur yang lebih tua

akan menggunakan bahasa sasak biasa (jamaq) dalam setiap tuturannya sementara

penutur yang lebih muda akan menggunakan beberapa kata dalam sasak halus kepada

yang lebih tua. Ini membuktikan bahwa penggunaan bahasa sasak biasa selalu

digunakan antara masyarakat yang bukan bangsawan. Namun, dapat dilihat bahwa

dalam tuturan bahasa Sasak yang dihaluskan, mereka akan menggunakan sapaan

“side” dan bukan “kamu”, “bekelor” bukan “mangan” untuk berbicara pada anggota

keluarga yang lebih tua.

Penutur muda :uah side bekelor? (sudahkah anda makan?)

Page 25: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

25

Penutur tua :uah. Kamu uah mangan? (sudah, kamu sudah makan?)

Dalam contoh di atas, anggota keluarga yang lebih muda akan menggunakan

bahasa yang lebih halus kepada penutur yang lebih tua, sedangkan penutur yang lebih

tua akan menggunakan sasak biasa (jamaq) atau kasar kepada yang lebih muda.

Sedangkan dalam bahasa sasak yang digunakan dalam keluarga bangsawan,

penggunaan bahasa sasak akan selalu menggunakan bahasa sasak halus, hal ini untuk

membuktikan bahwa mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi dari penutur non

bangsawan yang hanya menggunakan bahasa kasar/biasa(jamaq). Karena bahasa yang

mereka gunakan akan menunjukkan status sosial mereka.

Di kalangan masyarakat bangsawan penggunaan sapaan “tiang, pelinggih atau

pelungguh” merupakan sapaan yang digunakan dalam bahasa Sasak

halus.“Pelungguh” dan “pelinggih” memiliki arti yang sama, di beberapa tempat

akan menggunakan “pelungguh”, sementara tempat lainnya akan menggunakan

“pelinggih”. Sapaan ini digunakan di antara penutur bahasa hlus yang berasal dari

keturunan bangsawan untuk menunjukkan rasa saling menghargai. Contohnya saja

dalam kalimat berikut

Andi: Silaq Pelungguh serminan.(silahkan anda lihat)

Amat: Nggih ngiring, tampiasih. (oh iya terima kasih)

Pada percakapan di atas menyatakan bahwa pada saat kata tiang, pelungguh

atau pelinggih digunakan antara masyarakat yang berkasta bangsawan, mereka

menyatakan bahwa mereka memiliki status sosial yang sama dan menunjukkan

kesopanan.

4.1.3 Bahasa Sumbawa

Bahasa Sumbawa merupakan bahasa yang bersifat umum dan tidak terlalu

memiliki tingkatan dalam segi kehalusan berbahasa. Meskipun di daerah Sumbawa

masih ada pembagian kelas sosial dalam masyarakat, tetapi perbedaan kelas sosial ini

tidak mempengaruhi tingkatan berbahasa dalam masyarakat sehari-hari. Bahasa

Sumbawa sudah tidak begitu mengenal bahasa yang sangat-sangat halus karena

masyarakat Sumbawa telah mengalami moderenisasi dan hal ini telah mempengaruhi

penggunaan bahasa mereka sehari-hari. Bahkan masyarakat tidak mengetahui bahasa

yang sangat halus dan bahasa yang sangat kasar, hal ini dikarenakan tidak terlihatnya

penggunaan bahasa kasar ataupun halus, dengan kata lain bahasa yang digunakan

adalah sama rata.

Page 26: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

26

Adapun masyarakat yang menyandang gelar bangsawan mereka tetap

menggunakan bahasa yang biasa untuk berkomunikasi sehari-hari. Jika diamati dari

berbagai ranah, maka penggunaan bahasa Sumbawa dapat dijelaskan bahwa dalam

ranah lingkungan sehari-hari baik itu ranah tetangga maupun pertemanan, baik itu

lelaki ataupun perempuan tetap menggunakan bahasa Sumbawa yang biasa saja dan

tidak ada penggunaan bahasa yang sangat halus dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa

Sumbawa memiliki tingkatan yang lebih sederhana.

4.2 Pengaruh dari Kategori – Kategori Sosial

4.2.1 Bahasa Bali

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, stratifikasi sosial di Bali menyebabkan

adanya penggunaan tingkatan-tingkatan Bahasa Bali. Berikut merupakan percakapan

bahasa Bali oleh komunitas tutur bahasa Bali dataran yang masih erat kaitannya

dengan pelapisan sosial masyarakat berdasarkan keturunan Wangsa sehingga

penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali sangat kental. Menurut data lapangan

yang telah dikumpulkan, penggunaan bahasa masyarakat Bali tetap dipengaruhi

stratifikasi sosial, tetapi mengalami perkembangan khususnya perilaku verbal penutur

terhadap petutur dengan kecenderungan bertolak pada stratifikasi modern yaitu

stratifikasi sosial terdiri atas golongan atas (Triwangsa+Jaba) dan golongan bawah

(Tri Wangsa+Jaba). Komunikasi etnografi SPEAKING (Setting and Scenes,

Participants, End, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms, and Genre) yang

dikemukakan Hymes (1974) membantu menjelaskan fungsi penggunaaan tingkatan-

tingkatan bahasa Bali. Tingkatan-tingkatan bahasa Bali semakin terlihat dalam tataran

kalimat yang mengandung unsur-unsur pendukung lain untuk menentukan bentuk

Berikut percakapan yang menunjukkan penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali

berdasarkan ranah keluarga, tetangga, kantor pasar, dan agama.

4.2.1.1 Ranah Keluarga

Ranah keluarga dibatasi dari latarnya yaitu percakapan keluarga dengan latar

rumah, sehingga dapat dipastikan contoh percakapan ini diketahui latar tempatnya

dengan pasti yaitu di rumah. Tingkatan-tingkatan bahasa Bali oleh masyarakat Bali

dalam ranah keluarga umumnya ditemukan penggunaan basa Bali andap yang sering

disebut basa Bali kepara lebih banyak, tetapi kondisi-kondisi tertentu yang

mendorong penutur dan petutur menggunakan basa Madya yang menunjukkan rasa

bahasa yang ada di tengah di antara biasa dan alus.

Page 27: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

27

L: Uli dije busan, Luh?

‘darimana tadi, Luh?’

P: ne ngateh adi, li sepatu, Po Nik

‘ini, mengantar adik beli sepatu, Po Nik’ (1)

Percakapan (1) adalah percakapan beda usia antara laki-laki yang lebih tua

daripada perempuan tetapi keduanya memiliki status sosial yang sama. Penggunaan

bahasa yang digunakan adalah basa kepara yang biasa digunakan dalam suasana

bersahaja. Panggilan Luh merupakan panggilan anak perempuan di Bali dengan status

sosial Jaba yang juga memiliki suasana bersahaja serta menunjukkan keakraban,

sedangkan Po Nik merupakan panggilan yang bermakna literal ‘bapa cenik’ panggilan

khusus untuk paman bungsu dengan status sosial yang sama yaitu Jaba.

P: Om Swastyastu, mriki ngajeng dumun Dewa Man, Jero twn sareng?

‘Om Swastyastu, sini makan dulu, Dewa Man. Jero ga ikut’

L:Om Swastyastu, tyang sampun Mek Yan, ten Ibu ten sareng.

‘Om Swastyastu. Saya sudah makan, Mek Yan. Tidak Ibu tidak ikut’ (2)

Percakapan (2) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki berbeda

usia dan berbeda status sosial. Perempuan memiliki usia yang lebih tua dari laki-laki,

tetapi sebaliknya, status sosial wrga brjenis kelamin laki-laki ini memiki status sosial

yang lebih tinggi dari perempuan tersebut sebagai lawan bicaranya. Dalam

percakapan ini penutur dan petutur menggunakan basa alus madya karena kedudukan

status sosial petutur (Laki-laki) lebih tinggi walaupun memiliki usia yang lebih muda

daripada penutur. Fenomena ini banyak ditemyukan akhir-akhir ini dii ranah keluarga

karena banyaknya pernikahan antara Tri Wangsa dan Jaba terjadi sehingga pihak

Jaba yang biasanya perempuan memiliki panggilan Jero sebagai penanda bahwa

status sosialnya sudah naik lebih tinggi di masyarakat.

4.2.1.2 Ranah Tetangga

Ranah tetangga juga dibatasi seperti ranah keluarga dengan membatasi latar

dan topik percakapan, percakapan ranah tetangga berlangsung di rumah tetangga

dengan percakapan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan ranah pasar dan

keagamaan. Berikut contoh percakapan yang diambil di lapangan.

L1: mangkin sampun memenjor, Pak Kelian?

‘sekarang sudah membuat penjor, Pak Kelian?’

L2: nggih, ngemalunin gis Man

‘ya. Mendahului sedikit Man’ (3)

Page 28: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

28

Percakapan (3) adalah percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang

bertetangga memiliki usia dan status sosial yang berbeda. Penutur yang memiliki

status sosial lebih rendah dari petutur menggunakan basa alus madia yang

menunjukkan adanya suasana bersahaja dan rasa hormat penutur kepada petutur

sebagai orang yang kedudukan lebih tinggi di masyarakat sebagai perangkat dusun.

Percakapan tersebut dalam situasi normal tanpa melibatkan emosional keduanya

sehingga bahasa yang digunakan adalah basa madia.

L1: liu sajan ngutang di warung, dije Kae Rik? Oke gedeg

‘banyak sekali berhutang di warung, dimana Kamu Rik? aku gedeg’

L2: adi bani ngojog umah Kae? Pesu!

‘kok berani-beraninya mendatangi rumahku?’ (4)

Percakapan (4) merupakan percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang

memiliki usia dan status sosial sama. Keadaan kedua laki-laki tersebut sedang marah

sehingga menggunakan basa kasar yang ditegaskan dengan panggilan Oke ‘aku’ pada

dirinya sendiri dan kae ‘kamu’ pada lawan bicaranya.

4.2.1.3 Ranah Kantor

Latar ranah kantor yaitu di kantor dengan topik pembicaraan yang berkaitan

dengan kantor seperti administratif, kegiatan di kantor tanpa menyentuh topik jual beli

di pasar dan keagamaan. Ranah kantor yang lebih luas dari ranah keluarga dan

tetangga membuat penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali lebih intensif

penggunaannya serta bahasa semakin halus menyesuaikan rasa bahasa yang sarat akan

rasa hormat dan penghargaan kepada lawan bicara.

P: semengan be ngopi pegawai ne

‘pagi-pagi sudah ngopi pegawai ini’

L: mriki sareng Bu Bos, ijin jebos

‘mari ikut Bu Bos, ijin sebentar’ (5)

Percakapan (5) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki yang

memiliki kedudukan yang berbeda dalam pekerjaan. Keduanya berjenis kelamin yang

berbeda tetapi terlihat pada percakapan tersebut petutur (pembicara laki-laki)

menggunakan basa madia kepada penutur karena kedudukan pembicara perempuan

lebih tinggi dalam pekerjaan. Percakapan di aas menunjukkan situasi normal.

4.2.1.4 Ranah Pasar

Latar ranah pasar adalah di pasar dengan topik pembicaraan yang berkaitan

dengan pasar seperti pengiriman barang dagangan, jual beli, harga barang yang naik

Page 29: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

29

turun dan obrolan seputar kegiatan antarpedagang. Pada ranah ini lebih banyak

ditemukan penggunaan basa kepara dan madia karena situasinya juga situasi

informal.

P1: Mriki belinin tyang Geg, mare teka cekalang ne gede-gede bin

‘sini berbelanjalah pada saya Geg, ikan cakalangnya baru saja datang, besar

besar lagi’

P2: kude a kilo, Bu?

‘berapa sekilo Bu?’ (6)

Percakapan (6) adalah percakapan antara pedagang dan pembeli yang sama-

sama perempuan tetapi berbeda usia. Dalam percakapan di atas, pedagang yang

berumur lebih tua menggunakan basa madia pada awal tuturannya pada pembeli yang

lebih muda darinya. Percakapan di atas menunjukkan adanya penggunaan tingkatan-

tingkat bahasa Bali dalam ranah pasar disebabkan oleh kedudukan kedua pembicara

yang berbeda dan tidak memperhitungkan perbedaan umur yang umumnya juga

menjadi indikator penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali. Percakapan di atas

merupakan percakapan dengan situasi normal.

4.2.1.5 Ranah Keagamaan

Ranah keagamaan merupakan ranah dengan latar di tempat-tempat kegiatan

keagamaan berlangsung dan tempat berkumpul seperti balai banjar yang berkaitan

dengan topik pembicaraan dan kegiatan keagamaan. Umumnya penggunaan bahasa

Bali dalam ranah keagamaan cenderung ke situasi normal sehingga bahasa Bali yang

memiliki rasa bahasa halus, sopan, dan rasa hormat digunakan.

Dewasa : Damuh Alit sampun sami makta canang angge mebakti?

‘anak-anak sudah semua membawa canang untuk sembahyang?’

Anak : Sampun, Jero Mangku

‘sudah, Jero Mangku’ (7)

Percakapan (7) merupakan percakapan antara penutur dewasa dan anak-anak

yang menggunakan basa alus mider yang digunakan untuk menunjukkan rasa sangat

hormat walaupun dalam percakapan tersebut lawan bicara penutur dewasa adalah

anak-anak tetapi anak-anak tersebut juga dihormati sehingga penggunaan basa alus

mider digunakan dalam percakapan di atas.

4.2.2 Bahasa Sasak

Page 30: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

30

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak dalam

kehidupan masyarakat Lombok secara umum sebagai berikut.

4.2.2.1 Status sosial

Selain gelar kebangsawanan yang sangat berpengaruh dalam penggunaan

bahasa Sasak, kedudukan dalam pekerjaan dan status keluarga memiliki pangaruh

yang kuat dalam penggunaan code switching sasak dan Indonesia. Di antara penutur

yang memiliki status yang jauh berbeda, maka penutur yang memiliki status lebih

rendah akan meggunakan bahasa campuran sasak halus dan Indonesia sementara

penutur yang memiliki kedudukan lebih tinggi akan menggunakan banyak bahasa

campuran sasak jamak dan Indonesia. Sementara penutur yang memiliki status yang

sama akan menggunakan bahasa campuran sasak jamak dan Indonesia.

Selain itu, terdapat situasi di mana penutur yang memiliki perbedaan status

sosial tetapi menggunakan campuran bahasa sasak biasa dan Indonesia dalam

percakapan, hal ini dapat disebabkan karena hubungan pertemanan yang cukup baik.

Dalam keluarga, baik yang berasal dari keluarga menak dan nonmenak,

ditentukan dengan pemilihan penggunaan code switching dalam percakapan bahasa

Sasak. Code switching antara bahasa sasak alus dan Indonesia akan dipilih ketika

penutur berbicara dengan lawan tutur yang berasal dari keluarga menak. Penutur

menak dapat mencampur bahasa mereka antara sasak alus dan Indonesia maupun

sasak jamak dan Indonesia tergantung pada tingkat keakraban antara penutur. Jika

lawan tutur berasal dari masyarakat yang lebih rendah, maka mereka akan

menggunakan bahasa sasak jamak dan Indonesia, sementara mereka akan

menggunakan bahasa sasak alus dan Indonesia pada masyarakat yang memiliki status

lebih tinggi.

4.2.2.2 Usia

Usia atau umur merupakan faktor yang sangat penting dalam penggunaan code

switching pada penutur bahasa sasak. Ketika seseorang yang memiiki kedudukan

lebih tinggi namun usia lebih muda, mereka akan menggunakan bahasa sasak halus

dan Indonesia, namun mereka akan menggunakan bahasa sasak biasa (jamaq) dan

Indonesia ketika berbicara dengan penutur yang jauh lebih muda. Dengan kata lain,

kedudukan sosial yang lebih tinggi tidak menjadikan seorang penutur bahasa sasak

untuk meggunakan bahasa sasak halus maupun kasar pada setiap lawan tutur, namun

mereka akan mempertimbangkan usia pada saat berbicara untuk menunjukkan rasa

menghargai.

Page 31: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

31

4.2.3 Bahasa Sumbawa

Beberapa contoh tingkat tutur yang terjadi dalam masyarakat Sumbawa jika

ditinjau dalam berbagai ranah dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2 Bahasa Sumbawa Daerah Sumbawa Besar

No Penutur Percakapan Bahasa Indonesia Situasi Ranah

1 Pasangan

laki-laki

sama usia

Helmi : Mori, ya me

angkang mu?

Mori : Ta

kobaledengansengara.

Helmi : O ati-

atibaemo e.

Helmi : Mori,

kamu mau

kemana?

Mori : Ini, mau

ke rumah teman

sebentar.

Helmi : O ya,

hati-hati kalau

begitu.

Normal tetangga

2 Pasangan

laki-laki

beda usia

Hinda : Pak Man,

keleksialengpakaji.

Pak Man : apahajatae?

Hinda : No kaji to,

tarisia pang bale diri.

Pak Man : Aomo,

sengarobada anti

sengara.

Hinda : Pak Man,

anda dipanggil

oleh Pak Haji.

Pak Man : Aa

apa?

Hinda : Saya

tidak tahu, anda

ditunggu di

rumahnya.

Pak Man : Ya,

bilang sebentar

dulu.

Normal tetangga

3 Pasangan Pak Sabri : He, apa Pak Sabri : Hei, Marah Tetangga

Page 32: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

32

laki-laki

dan anak

boat mu nan?

Titto : No soda.

Pak Sabri : Bola nyeta.

Mole kona! Yak

kukelek ma mu mudi.

apa yang kamu

kerjakan?

Titto : Tidak ada.

Pak Sabri :

Bohong kamu.

Pulang sana!

Nanti saya

panggil ibu kamu.

4 Pasangan

laki-laki

dan

perempuan

sama usia

Pembeli : pida harga

bawang sekilo bi?

Pedagang :dua plima

ribu. Sate pida kilo?

Pembeli : dua pdua

ribu moae. Sate saya

beli sekilo.

Pembeli : Berapa

harga bawang

satu kilo bi?

Pedagang : Dua

puluh lima ribu.

Mau berapa kilo?

Pembeli : Dua

puluh dua ribu

ya. Saya mau beli

satu kilo saja.

Normal Pasar

5 Pasangan

perempuan

sama usia

Pembeli : pida harga

nangkan ta sekilo bi?

Pedagang : sepulu ribu

sekilo, manis deta.

Pembeli : Pitu ribu

moae.

Pedagang :Buyamo

pang lenlamenbau

Pembeli : Berapa

harga nangka ini

satu kilo bi?

Pedagang :

Sepuluhg ribu

satu kilo, manis

ni.

Pembeli : Tujuh

ribu saja ya.

Kesal Pasar

Page 33: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

33

dapat harga pitu ribu,

nangka balong

kemanis ta .

Pedagang: Cari

saja di tempat

lain kalau bisa

dapat harga tujuh

ribu, nangka ini

bagus dan manis

6 Pasangan

perempuan

beda usia

Pembeli : Bu pida sia

jual udang ta?

Pedagang : enem pulu

ribu sekilo. Ya beli

pida kilo gera?

Pembeli : lima plima

ribu mo buae, saya

beli 2 kilo.

Pedagang : aomo

etemogera e.

Pembeli : Bu,

berapa anda jual

udang ini?

Pedagang : Enam

puluh ribu satu

kilo. Kamu mau

beli berapa kilo

cantik?

Pembeli : Lima

puluh lima ribu

ya Bu, saya beli

dua kilo.

Pedagang : Ya

sudah ambil aja

cantik.

Normal Pasar

7 Pasangan

laki-laki

beda usia

(anak dan

dewasa)

Rian : Pak, mepang

kasia olo kunci

kantor?

Bapak : Nan kaku

gantong ndeng

lawang.

Rian : Pak,

dimana anda

meletakkan kunci

motor?

Bapak : Itu

digantung di

dekat pintu.

Normal Keluarga

Page 34: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

34

8 Pasangan

laki-laki

sama usia

Upik : Buhari, tone

juki dating kota, ada

masalah apa ae?

Buhari :Kaku lantar

motor tone.

Upik : meluk

kabaugina? Kameneng

maapke?

Tresapalengnya?

Buhari : kamku eneng

maaf, tapi yak u ganti

rugi si ke bali.

Upik : Buhari,

tadi Juki datang

kesini, ada

masalah apa?

Buhari : Tadi

saya menabrak

motornya.

Upik : Kok bisa,

sudah minta

maaf? Lalu dia

bilang apa?

Buhari : Saya

sudah minta

maaf, tapi saya

akan ganti rugi

juga.

Normal Keluarga

9 Pasangan

perempuan

dengan

laki-laki

(perempuan

di posisi

kakak dan

laki-laki di

posisi adik)

Indra : kakAni,

mepang sandal saya?

Ani : pang bawa

lemari ne di.

Indra : Ani,

dimana sandalku?

Ani : Di bawah

lemari itu dik.

normal Keluarga

10 Pasangan

laki-laki

sama usia

(atasan dan

bawahan)

Amir (bawahan) : pak,

eneng ijin les sengara.

Pak Budi (atasan) :

aomo, na le lalo e.

Amir : Pak, minta

ijin keluar

sebentar ya.

Pak Budi : Oh ya,

Normal Kantor

Page 35: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

35

jangan terlalu

lama.

Dari tabel tersebut dapat diamati bahwa tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa

tidak begitu memiliki variasi yang beragam dan tidak terlalu mencolok dalam

berbagai ranah kehidupan sehari-hari. Tingkatan tutur dalam masyarakat Sumbawa

hanya terjadi karena dipengaruhi beberapa hal dan kelas sosial atau kasta sosial bukan

hal yang mempengaruhi tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa.

Dalam tuturan masyarakat Sumbawa ada beberapa hal yang dapat

mempengaruhi tingkat tutur dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa hal yang

mempengaruhi tingkat tutur tersebut antara lain:

4.2.3.1 Kata

Dalam bahasa Sumbawa tingkatan berbahasa sangat dipengaruhi oleh sebuah

kata. Jika dalam kalimat tersebut ada kata-kata tertentu yang bersifat halus, maka

kalimat yang dituturkan tersebut dianggap halus. Kata-kata itu seperti “kaji” yang

berarti saya dan kata “kelam/sia” yang berarti anda. Contoh tuturan yang terjadi dalam

hal ini adalah sebagai berikut:

Rian : Pak, mepang kasia olo kunci kantor?

Bapak : Nan kaku gantong ndeng lawing

Dalam percakapan tersebut tuturan yang diutarakan oleh Rian tergolong halus

karena menggunakan kata “sia” untuk menyapa orang tua. Penggunaan kata-kata

tertentu ini memang hanya dilakukan hanya jika berbicara kepada yang lebih tua.

4.2.3.2 Kalimat

Dalam bahasa Sumbawa penggunaan kalimat yang panjang dan tidak langsung

pada inti pembicaraan dianggap sangat halus dibandingkan dengan kalimat yang

langsung menuju inti pembicaraan. Hal ini sesuai dengan teori maksim kebijaksanaan

yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206) yang mengemukakan bahwa semakin

panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap

sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak

langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara

langsung. Gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan

adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu

mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain

Page 36: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

36

dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim

kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun.

4.2.3.3 Usia

Usia adalah ranah yang paling mempengaruhi penggunaan tingkatan

berbahasa dalam bahasa Sumbawa. Penggunaan bahasa Sumbawa terhadap

masyarakat yang lebih tua akan lebih disopankan dan itu ditandai oleh penggunaan

kata sapaan “kelam atau sia” dan menyebut diri sendiri dengan sebutan “kaji”. Bahasa

yang digunakan juga bahasa yang tidak langsung mengarah ke inti pembicaraan,

melainkan harus menggunakan bahasa secara tidak langsung.

4.2.3.4 Ranah Perkantoran

Dalam ranah ini bahasa yang digunakan antar kerabat atau karyawanpun

masih biasa bahkan dominan menggunakan bahasa Indonesia. Hanya sesekali saja

mereka menggunakan bahasa yang sedikit halus untuk atasan mereka dan itupun tidak

setiap saat.

Selain beberapa hal tersebut yang mempengaruhi tingkat tutur pada

masyarakat Sumbawa adalah nada berbicara. Tingkat kehalusan dalam berbicara

bahasa Sumbawa dikatakan halus jika nada berbicara mereka tidak tinggi dan

sebaliknya.

4.3 Karakteristik Umum Tindak Tutur

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Bali

menurut tingkatannya dapat dibedakan menjadi berdasarkan halus ataupun kasar

penggunaannya menurut ranah masing-masing. Salah satu karakteristik dari ranah ini

adalah status sosial penuturnya yang dapat dibedakan dengan hierarki vertikal.

Penggunaan bahasa Sasak halus ataupun kasar pada dasarnya dipengaruhi oleh status

sosial. Pada masyarakat bangsawan, penggunaan bahasasasak halus terjadi dalam

semua ranah, sedangkan dalam masyarakat biasa penggunaan bahasa yang digunakan

tergolong kasar, meskipun beberapa akan diperhalus hanya dalam ranah tertentu saja

seperti ranah perkantoran dan keluarga. Faktor yang paling mempengaruhi

penggunaannya adalah usia dan jabatan. Meskipun bahasa Sumbawa tidak memiliki

karakteristik yang cukup kuat dalam hal tindak tutur halus atau kasar, namun

pengaruh kosakata halus pada keseluruhan kalimat masih dapat terlihat pada ranah-

ranah tertentu.

Page 37: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

37

Maka dari itu, beberapa karakteristik yang dapat ditemukan pada ciri bahasa

bagian timur melayu-polinesia barat; khususnya pada bahasa Bali, Sasak, dan

Sumbawa adalah klasifikasi tindak tutur yang sebagian besar terbagi berdasarkan

tingkat halus dan kasar, ranah usia dan formalitas situasi yang sangat mempengaruhi

pilihan tindak tutur tersebut, dan bergesernya klasifikasi ini secara perlahan sebagai

dampak atas modernisasi dan globalisasi masyarakat penutur masing-masing. Selain

itu, status sosial penutur dan pengaruh status tersebut pada ranahnya masing-masing

dapat semakin memperkokoh pergeseran klasifikasi ini, seperti yang dapat kita lihat

dimana bahasa Bali masih bertahan seiring dengan kentalnya klasifikasi sosial pada

lapisan masyarakat penutur bahasa Bali tersebut, sedangkan Sumbawa sudah lebih

umum dalam tindak tutur bahasanya.

Page 38: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

38

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Dalam penelitian tingkat tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa,

beberapa temuan pada karakteristik bahasa timur melayu polinesia barat adalah

pada tingkat kesopanan penutur. Beberapa ranah dalam bahasa dapat

mempengaruhi tingkat tutur bahasa tersebut, seperti ranah usia, kantor, dan

status sosial penutur dalam masyarakat. Tingkatan ini secara umum

mempengaruhi struktur leksikal dan gramatikal penggunaan bahasa tersebut.

Melalui temuan ini, dapat disimpulkan bahwa pengaruh ranah terhadap

struktur tingkat tutur bahasa bagian timur melayu polinesia barat ini semakin

rendah terhadap bahasa penuturnya sesuai dengan kurun waktu dan letak

geografisnya. Maka dari itu, penutur bahasanya perlu menerapkan pemeliharaan

dan peremajaan bahasa local untuk menjaga nilai budaya bahasanya.

Page 39: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

39

DAFTAR PUSTAKA

.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Laporan Penelitian tim

Penelitian

Fakultas Sastra Universitas Udayana, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia

dan Daerah Bali. Denpasar: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bailey, Guy. 2002. Real and apparent time.. In J.K Chambers, Peter Trudgill, and

NatalieSchiling-Estes. The Handbook of Language Variation and Change. Oxford:

Blackwell Publishing, pp 312-332.

Bhadra, Ranajit K. 1991. Caste and Class: Social Stratification in Assam. New Delhi:

Hindustan Publishing Corporation.

Blust, Robert A. 1981. The Soboyo Reflexes of Proto-Austronesian S. In R.A. Blust (ed.)

Historical Linguistics in Indonesia. Part I. NUSA 10: 21-30. Jakarta Badan

Penyelenggara Seri NUSA.

Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Oxford: Blackwell Publishing.

Clynes, Adrian. 1989. Speech Styles in Javanese and Balinese: A Comparative Study. MA

thesis, Australian National University, Canberra.

Clynes, Adrian. 1994. Old Javanese influence in Balinese: Balinese speech styles. In Tom

Dutton and Darrell T. Tryon, eds Language Contact and Change in the Austronesian

World, 141-179. Berlin: Mouton de Gruyter.

Dittmar, Norbert and Peter Schlobinski, eds 1988. The Sociolinguistics of Urban

Vernaculars. Case Studies and their Evaluation. Berlin: Walter de Gruyter.

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Melbourne: Cambridge University Press.

Dyen, Isidore. 1982. The Present Status of Some Austronesian Subgrouping Hypothesis. In

A.

Halim et.al (Eds.). Paper from the TICAL. PL Series C, No 75, Vol. 2:31-35.

Edwards, Jane A. 1993. Principles and contrasting system of discourse transcription. In Jane

A. Edwards and Martin D. Lampert, eds Talking Data. Transcription and Coding in

Discourse Research, 3-43. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Fishman, J. A. 1972. Domains and the relationship between micro and macro

sociolinguistics. In John J. Gumperz and Dell Hymes, eds Directions in

Sociolinguistics, 435-453. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Geertz, C. 1960. Linguistic etiquette. Reprinted in J.B. Pride and Janet Holmes, eds

Sociolinguistics, 167-179. New York: Penguin.

Geertz, H. and Clifford Geertz. 1975. Kinship in Bali. Chicago: University of Chicago

Press.

Greenberg, J.H. 1956. Concerning inferences from linguistic to non linguistic data. In H.

Page 40: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

40

Hoijer, ed. Language in Culture, 3-19. Chicago: University of Chicago Press.

Gumperz, J. 1971. Language in Social Groups. Stanford: Stanford University Press.

Hardjadibrata, R.R. 1985. Sundanese: A Syntactical Analysis. Pacific Linguistics D-65.

Canberra: Australian National University.

Hwang, Juck-Ryoon. 1990. Deference versus politeness in Korean speech. International

Journal of the Sociology of Language 82, 41-55.

Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.

Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Labov, W. 1971(a). Methodology. In W.O. Dingwall, ed. A Survey of Linguistic Science,

412-491. Maryland: Linguistics Program, University of Maryland.

Labov, W. 1971(b). The study of language in its social context. Reprinted in J.B. Pride and

Janet Holmes, eds. Sociolinguistics, 180-202. New York: Penguin.

Labov, W. 1972(a). The Design of a Sociolinguistic Research Project. Report of the

Sociolinguistics Workshop held by the Central Institute of Indian Language in Mysore

India.

Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society 1, 97-

120.

Labov, W. 1984. Field methods of the project on linguistic change and variation. In John

Baugh and Joel Sherzer, eds Language in Use. Reading in Sociolinguistics, 28-53.

Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Martin, Samuel E. 1964. Speech levels in Japanese and Korean. Reprinted in Dell Hymes,

ed. Language in Culture and Society, 407-415. New York: Harper & Row.

Mbete, A. M. 1990. Rekonstrusi Proptobahasa Bali- Sasak-Sumbawa. Desertasion.

University of Indonesia.

Milroy, Lesley. 1980. Language and Social Networks. Oxford: Basil Blackwell.

Milroy, Lesley. 1987. Observing and Analysing Natural Language. Oxford: Basil Blackwell.

Milroy, Lesley and J. Milroy. 1992. Social network and social class: Toward an integrated

sociolinguistic model. Language in Society 21, 1-26.

Narayana, I.B. Udara. 1983. Anggah Ungguhing Basa Bali dan Peranannya Sebagai alat

Komunikasi bagi Masyarakat Suku Bali. Denpasar: Faksas, Universitas Udayana.

Poedjasoedarma, Soepomo et al. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil

Blackwell.

Shadeg, S.V.D. 1977. Balinese Basic Vocabulary. Denpasar: Dharma Bakti

Simpen, I W. AB. 1985. Kamus Bahasa Bali. Denpasar: PT Mabhakti.

Stevens, Alan M. 1965. Language levels in Madurese. Language 41, 294-302.

Page 41: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

41

Suastra, I Made. 2001. The Categorisation in Balinese Speech Levels. A paper presented in

International Seminar on Astro Oseanean Languages. Denpasar, Bali.

Trudgill, Peter. 1974. The Social Differentiation of English in Norwich. Cambridge:

Cambridge University Press.

Vago, Steven. 1980. Social Change. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Wang, Hahn-Sok. 1990. Toward a description of the organisation of Korean speech levels.

International Journal of the Sociology of Language.82, 25-39.

Ward, Jack Haven. 1973. Phonology, Morphophonemics and the Dimension of Variation in

Spoken Balinese. PhD thesis, Cornell University.

Wiana, I Ketut and Raka Santri. 1993. Kasta Dalam Hindu. Kesalahpahaman Berabad-abad.

Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Woods, Anthony, P. Fletcher and A. Hughes. 1986. Statistics in Language Study.

Cambridge: Cambridge University Press.

Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater. Princeton:

Princeton University Press.

Page 42: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

42

LAMPIRAN PENELITIAN

LAMPIRAN 1: FOTO (DOKUMENTASI) PENELITIAN

Foto 1: Para Informan Lombok mengisi Kuesioner

Page 43: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

43

Foto 2: Para Informan Lombok

Page 44: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

44

Foto 3: Kantor Desa Beraim, Lombok Tengah

Foto 4

Wawancara dengan Informan (kiri), Penggunaan bahasa Sasak di Ranah Pasar (Kanan)

Page 45: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

45

Foto 5: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Pasar

Page 46: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

46

Foto 6: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Adat dan Agama

Page 47: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

47

Foto 7: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Tetangga

Foto 8: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Kantor

Page 48: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

48

Foto 9. Penelitian bahasa Sumbawa di Ranah Pasar

Foto 10. Penelitian bahasa Sumbawa di Ranah Kantor

Page 49: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

49

Foto 11. Informan bahasa Sumbawa

Foto 12. Bahasa Sumbawa dalam Ranah Tetangga

LAMPIRAN 2: DAFTAR INFORMAN

Informan Bahasa Sasak:

1. Dr. Muhammad Sukri, S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2

Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Mataram (UNRAM),

2. Muhammad Kherul Ihwan (Iwan) yang berasal dari desa Ketejer Kecamatan

Praya Lombok Tengah. Informan berumur 38 tahun, bekerja di lembaga

keuangan di daerah setempat

3. Muhammad Kurnain (Kurnain) (48 tahun), asal dari desa Selat kecamatan

Narmada Lombok Barat. Pedagang Pasar Tradisional Narmada.

Page 50: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

50

4. H. Hasan Basyri, S. Sos. (55 tahun) dan bekerja di kantor camat Narmada

Lombok Barat.

5. Taufan Jaya Rahmana. Beliau bekerja sebagai staf desa di Kantor Desa

Beraim Kecamatan Peraya Tengah kabupaten Lombok Tengah

6. Lalu Ichwan Hasbiadi, Baiq Farida Astini, Baiq Muhanis, S.Pd., Baiq Ami

Faranita, Lalu Adam, Lalu Masrif, Fuad, Rosalina Febrianti, Baiq Annisa

Salwa Fadia (Lombok Tengah)

7. Baiq Reni Nurlia, Issyatul Mardiah, Baiq Devi Maramitha, S.Pd. (Lombok

Timur)

8. Lalu Sukendar, Sailah, Taufik Al-Banjari (Ampenan-Lombok Barat)

Informan Bahasa Bali:

1. I Ketut Tumbuh (Laki-laki) 51 Tahun, Tukang Ukir, Desa Susut, Tabanan

2. Nyoman Widia (Laki-laki) 57 Tahun, Kelian Dinas Dalung, Badung

3. Ni Wayan Tingkes (Perempuan) 45 Tahun, Pedagang Kuliner Tradisional

4. Desak Supadmini (Perempuan) 43 Tahun, Desa Jegu, Tabanan

5. I Ketut Selebes (Laki-Laki) 43 Tahun, Guru, Tabanan

6. Ni Wayan Srati (Perempuan) 39 Tahun, PNS, Denpasar

7. Seka Truna di beberapaBanjar sekitaran Denpasar dan Tabanan

8. Pedagang-pedagang di Pasar

Informan Bahasa Sumbawa:

1. Novita (29 tahun), penduduk asli suku Samawa Sumbawa besar, daerah Sering

kabupaten Sumbawa Besar, ibu rumah tangga

2. Fitria, S.E., M.E. (28 tahun), penduduk asli suku Samawa kabupaten Sumbawa

Besar, dosen ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Teknik Sumbawa

(UTS)

3. Daeng Riadi (48 tahun), dari Sumbawa Besar, keturunan dari Sultan

Sumbawa, pegawai di kantor daerah Sumbawa Besar

4. H. Hasan Basyri, S. Sos. (55 tahun). Penduduk asli suku Samawa Sumbawa

Besar, dari daerah Genang Gendis Sering Sumbawa Besar. bekerja di kantor

Dinas Pariwisata Sumbawa Besar.

Page 51: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

51

5. Warga sekitar daerah Sering Sumbawa Besar. Penduduk asli Sumbawa yang

bersuku Samawa dan menggunakan bahasa Sumbawa untuk berkomunikasi

sehari-hari.

LAMPIRAN 3: KUESIONER BAHASA SASAK

Nama :

Lokasi :

SOAL KUISIONER

1. Apakah anda mampu menggunakan bahasa Sasak halus?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah bahasa Sasak yang anda gunakan tergolong pada bahasa Sasak yang

paling halus?

a. Ya b. Tidak

3. Apakan anda berbicara menggunakan bahasa Sasak halus di lingkungan

tempat anda tinggal?

a. Ya b. Tidak

4. Ketika anda berbicara dengan bangsawan (Raden/ Lalu), apakah anda

menggunakan bahasa Sasak halus?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah perbedaan status sosial (bangsawan) mempengaruhi penggunaan

bahasa Sasak anda ketika berkomunikasi?

a. Ya b. Tidak

6. Apakah perbedaan status sosial (pekerjaan) mempengaruhi penggunaan bahasa

Sasak anda ketika berkomunikasi?

a. Ya b. Tidak

7. Ketika anda berbicara dengan seorang bangsawan (Raden/ Lalu) yang

memiliki pekerjaan rendah, apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus?

a. Ya b. Tidak

Page 52: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

52

8. Apakah perbedaan gender mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda?

a. Ya b. Tidak

9. Apakah perbedaan usia mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak Anda?

a. Ya b. Tidak

10. Apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus ketika berbicara dengan anak

kecil?

a. Ya b. Tidak

11. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah keluarga?

a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar

12. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pertemanan?

a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar

13. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pasar?

a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar

14. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah tetangga?

a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar

15. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah agama?

a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar

Page 53: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

53

LAMPIRAN 4: ARTIKEL SENASTEK DAN LUARAN ARTIKEL LAINNYA

DAFTAR PEMAKALAH SENASTEK 2015

KATEGORI: PEMAKALAH ORAL

1. Artikel yang dimuat dalam prosiding SENASTEK tentang bahasa Bali

STRATIFIKASI SOSIAL DAN TINDAK TUTUR BAHASA BALI

DALAM KARYA SASTRA BALI MODERN

I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena

Darmasetiyawan4)

1)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

08123828909, [email protected] 2)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 3)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 4)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

Page 54: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

54

Abstrak

Grimes dan Maryot (1994) menyatakan bahwa masyarakat penutur Austronesia memiliki ciri

khas yang cenderung memakai kosakata berbeda ketika berbicara dengan orang yang berkedudukan

tinggi. Ciri itu tampak terwaris dalam Bahasa Bali dengan sistem tindak tutur yang khas dengan

sebutan anggah-ungguhing basa Bali. Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya-karya

sastra Bali, baik tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam

bentuk inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma sosio-

budaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu yang berlangsung di

sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra dengan norma sosio-budaya, menurut

Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan

norma yang berlaku saat itu), restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak

berlaku lagi), dan negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma

sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas pemakaian tindak tutur

bahasa Bali dalam karya-karya sastra penting dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode simak

bebas libat seecakap pada saat penyediaan data, dan analisis dengan teori sosiolinguistik, serta

penyajian data secara informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stratifkasi masyarakat Bali

Tradisional dan Modern yang terdokumentasi dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur

Satonden Kembang menunjukkan pengaruh terhadap penggunaan bahasa Bali. Stratifikasi masyarakat

Bali Tradisional yang berpijak pada hubungan tri wangsa dan jaba yang berpengaruh pada

penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap (Lumbrah) tetap dicerminkan oleh novel ini. Demikian

pula, stratifikasi masyarakat Bali Modern yang cenderung lebih egalitar juga ditujukkan dalam novel

ini.

Kata Kunci : Stratifikasi Sosial, Tindak Tutur, dan Karya Sastra

Abstract

Grimes and Maryoto (1994) states that Austronesians- had characteristics that tended to use

different vocabulary when they talked to people in high places. This characteristic seems to be

inherited in Balinese language with a distinctive system of speech acts called the anggah-ungguhing

base Bali. The speech act systems in Balinese language are often reflected in Balinese’s literary works,

both traditional and modern. As a media of language documentation in the form of inscriptions,

literary works are always in tension between the literary and socio-cultural norms, since literature

work is considered as an evaluative response to something that took place in the vicinity (Djoko

Damono, 2002: 40). The relationship of literature to the norms of socio-cultural, according Teeuw

(1982: 19) takes place in three evaluative responses, namely affirmation (norms of the time),

restoration (expression of longing on the norms that are missing or not valid anymore), and negation

(rebellion against the norm, the alternative of socio-cultural norms). By this context, the study of the

reality use of speech acts in Balinese language was necessary to be done. The method used in this study

was observation method. Afterwards, the data were analyzed by using the theory of sociolinguistics as

well as the presentations of the data was presented informally. The results showed that the Balinese

stratification of traditional and modern was documented well in the Novel entitled Tresnane Lebur Ajur

Satonden Kembang. It showed that the effects of the Balinese’s traditional social stratification usage

were based on the relationship between tri wangsa and jaba, which affected the use Basa Alus and

Andap in Bali (Lumbrah). Similarly, it was found in the novel that the stratification of Bali Modern

society tends to be more egalitarians.

Keywords: Social Stratification, Speech Act, and Literature Work

1. PENDAHULUAN

Ardika (2006 : 2) menyatakan bahwa dewasa ini ada suatu gejala yang

menunjukkan semakin terpinggirkannya bahasa Bali dalam pergaulan keseharian

masyarakat Bali, terutama di kalangan generasi mudanya. Salah satu kekhasan sistem

yang dimiliki oleh bahasa Bali sebagai bagian dari bahasa Austronesia adalah adanya

tingkat-tingkatan wicara atu speech level. Tingkat-tingkatan bahasa ini dalam bahasa

Bali juga disebut dengan anggah-ungguhing basa Bali. Dalam kaitannya dengan

Anggah-ungguhing basa Bali, Sancaya (2004 : 210) mengatakan bahwa tingkat-

tingkatan bahasa ini merupakan aspek substansial dalam bahasa Bali yang sangat

Page 55: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

55

rumit, karena berkaitan dengan nilai-nilai sosio-kultural, sosio-psikologis, dan sosio-

filosofis religius. Lebih lanjut dikatakannya bahwa persoalan anggah-ungguhing basa

sering dianggap sebagai sesuatu yang feodalistis. Hal ini merupakan masalah aktual

yang menyebabkan bahasa Bali tidak berkembang (Sancaya, 2004 : 209).

Perkembangan bahasa Bali mengalami hambatan sebab terjadinya kebingungan dalam

pemakaian norma sopan santun ini.

Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya-karya sastra Bali, baik

tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam bentuk

inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma

sosio-budaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu

yang berlangsung di sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra

dengan norma sosio-budaya, menurut Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga

tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan norma yang berlaku saat itu),

restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak berlaku lagi), dan

negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma

sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas

pemakaian tindak tutur bahasa Bali dalam karya-karya sastra penting dilakukan,

terutama dalam melihat dinamika pemakaian bahasa tersebut. Fokus penelitian ini

adalah melihat pengaruh stratifikasi sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun

modern terhadap tindak tutur bahasa Bali dalam karya sastra Bali Modern, khususnya

Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang.

2. PEMBAHASAN

2.1 Sinopsis

Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta itu Layu Sebelum

Berkembang) karya Djelantik Santha bertemakan pertentangan antarwangsa. Novel

ini terbit sebagai buku pada tahun 1986, berdasarkan cerita bersambung di Bali Post

15 Juli-19 September tahun 1981. Darma Putra (2000: 96) mengatakan bahwa karya

tersebut merupakan novel terbaik berbahasa Bali yang pernah ada, terutama apabila

dilihat dari tema yang disajikan lewat konflik antartokoh yang tidak kunjung habis.

Darma Putra (2000 : 99) selanjutnya menegaskan bahwa tema konflik kewangsaan

akan terus muncul dalam karya sastra yang diciptakan pengarang Bali. Hal ini

disebabkan setidak-tidaknya oleh dua alasan yakni (1) konflik kewangsaan merupakan

masalah yang nyata dan serius dalam masyarakat Bali; (2) konflik kewangsaan

menyediakan ‘konflik yang siap pakai’ untuk membangun cerita.

Mengacu pada pandangan di atas yang melihat perbedaan antarwangsa sebagai

masalah serius, maka Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang relevan untuk

dijadikan sebagai sumber data untuk melihat penggunaan tindak tutur dalam bahasa

Bali. Tema pertentangan antarwangsa yang menjadi latar belakang cerita menjadikan

karya sastra ini penuh dengan dialog antarwangsa maupun intrawangsa. Dialog-

dialog tersebut tidak hanya menghadirkan realitas penggunaan tingkat tutur bahasa

Bali dalam tataran leksikon, tetapi juga satuan yang lebih luas yaitu kalimat. Dengan

demikian, dialog-dialog tersebut dapat dimanfaatkan untuk melihat realitas

penggunaan tindak tutur bahasa Bali yang terdokumentasi dalam karya sastra.

Novel ini terdiri atas sepuluh bagian yang menjalin cerita secara keseluruhan.

Bagian pertama dan kedua mengisahkan kehidupan Nyoman Santosa, seorang

pemuda desa yang tinggal dengan ibunya Men Madu dan seorang adiknya yang

bernama Ketut Santi. Mereka sekeluarga tinggal di desa Selat Karangasem. Walaupun

tinggal di desa, Nyoman Santosa memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan

ke sekolah guru atau SGB di Klungkung. Akan tetapi, ibunya tidak setuju karena

Page 56: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

56

keadaan keluarga mereka yang miskin. Pada suatu malam setelah selesai bertengkar

dengan ibunya, Nyoman Santosa ingat terhadap masa lalu keluarganya. Dia sejatinya

memiliki 2 kakak laki-laki yang bernama I Wayan Madu dan Made Madi. Kedua

kakaknya itu tewas dalam suatu perkelahian pada saat pulang dari Pura Puncak Sari

yang terletak di bukit Belisbis.

Wayan Madu dan Made Madi tewas bersama temannya I Ketut Tresna, karena

diserang oleh I Gusti Ngurah Cepeg dan teman-temannya pada hari Banyu Pinaruh.

Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh dendam I Gusti Ngurah Cepeg yang lamarannya

ditolak oleh I Gusti Ayu Adi, karena lebih mencintai I Made Madi. Dalam peristiwa

tersebut, tidak hanya kedua kakaknya yang meninggal, tetapi juga I Gusti Ngurah

Cepeg dan rekan-rekannya. Tewasnya I Made Madi menyebabkan kekasihnya I Gusti

Ayu Adi sakit hati yang berujung pada kematian. Kematian I Gusti Ayu Adi tidak

membuat perselisihan di antara keluarga Gusti Ngurah Cepeg dengan I Gusti Mangku

dan Pan Madu selesai. Pada suatu malam, Pan Madu dan I Gusti Mangku diserang

oleh ayah I Gusti Ngurah Cepeg dengan kekuatan illmu hitam. Pertempuran di alam

gaib itu juga berakhir pada kematian Pan Madu dan I Gusti Mangku, serta ayah I

Gusti Ngurah Cepeg. Rentetan peristiwa tersebut merupakan muara dari sakit hati dan

balas dendam yang tidak mampu diselesaikan secara kekeluargaan, padahal antara I

Gusti Ngurah Cepeg dengan I Gusti Mangku masih memiliki hubungan keluarga.

Ditinggalkan ayah dan kedua kakaknya menyebabkan kehidupan I Nyoman

Santosa semakin terpuruk. Namun demikian, keinginannya untuk belajar masih tetap

besar. Setelah mendapatkan wangsit dari kakaknya dalam mimpi, dia semakin yakin

terhadap pilihannya. Walaupun sudah terlambat dari hari terakhir pendaftaran,

Nyoman Santosa akhirnya diterima di SGB. Pada masa inilah hubungan

percintaannya dengan seorang gadis bernama Made Arini terjalin. Made Arini adalah

teman kecilnya yang sama-sama berasal dari Selat Karangasem. Hubungan cinta di

antara Nyoman Santosa dengan Made Arini putus, karena Anak Agung Alit Sudendi

mengawininya secara paksa. Made Arini dilarikan oleh Anak Alit Sudendi ke rumah

Pekak Giyor di daerah Kintamani. Di tempat itulah Made Arini dinikahi oleh Anak

Agung Alit Sudendi.

Setelah hubungan cinta Nyoman Santosa dengan Made Arini kandas dan hasil

ujian akhir di SGB menyatakan dirinya lulus, dia memutuskan untuk melanjutkan

pendidikannya ke SGA Singaraja. Nyoman Santosa tinggal di rumah Gusti Ketut Rai

yang juga berasal dari wilayah Karangasem. Di tempat itu, Nyoman Santosa bertemu

dengan Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti. Perasaan cinta mulai tumbuh di hati

Nyoman Santosa, setelah dia menyelamatkan Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti dari

bahaya gulungan ombak saat rekreasi di suatu pantai. Walaupun demikian, dalam hati

Nyoman Santosa yang terdalam, bayang-bayang Made Arini masih sulit

dilupakannya. Suatu hari pada saat Nyoman Santosa pulang dari Singaraja, dia

mendapatkan kesempatan untuk singgah di Alit Arini Homstay, sekaligus

membuktikan kesetiaan cinta Made Arini. Walaupun sudah menikah dengan Agung

Alit Sudendi dirinya masih tetap perawan. Hal ini disebabkan karena Anak Agung

Alit Sudendi impoten.

Kendati Nyoman Santosa masih ada perasaan cinta dengan Made Arini, sedikit

demi sedikit perasaan cintanya dengan Gusti Ayu Jinar mulai mekar. Sempat dia ragu

akan memilih Gusti Ayu Jinar atau Made Astiti, namun pilihan akhirnya jatuh pada

Gusti Ayu Jinar. Hubungan Nyoman Santosa dengan Gusti Ayu Jinar tak terpisahkan

walaupun sudah mendapatkan peringatan dari I Gusti Ketut Rai dan istrinya. Gusti

Ayu Jinar berani memperjuangkan cintanya dengan Nyoman Santosa walaupun sudah

pasti ayahnya tidak akan setuju. Cerita ini diakhiri dengan tenggelamnya Made Arini

Page 57: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

57

pada saat megantar tamu ke Desa Trunyan. Demikian pula, kematian Made Arini

disusul kematian I Gusti Ayu Jinar karena terseret banjir besar di tempat tinggalnya.

Cerita cinta I Nyoman Santosa brrmuara pada kekecewaan.

2.2 Stratifikasi Sosial dan Penggunaan Tindak Tutur dalam Novel Tresnane

Lebur Ajur Satonden Kembang

Eksistensi tindak tutur bahasa Bali yang juga disebut dengan sistem anggah-

ungguhing basa Bali ini tidak dapat dilepaskan dari adanya stratifikasi masyarakat

Bali. Stratifikasi ini secara umum dapat dipilah menjadi dua yaitu stratifikasi

masyarakat Bali tradisional dan modern. Menurut Suasta (2006: 10), pada masa lalu

stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai dengan adanya tingkat-tingkatan sosial

berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, dan keahlian. Pelapisan masyarakat

suku Bali yang telah mengendap dalam adat adalah pelapisan masyarakat suku Bali

yang berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat

suku Bali yang berdasarkan keahlian belum mengendap. Berdasarkan keturunan

menyebabkan terjadinya golongan masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat

kebanyakan. Berdasarkan senioritas menyebabkan terjadinya golongan masyarakat

suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam ranah adat, dan golongan masyarakat suku

Bali yang muda dalam pengalaman. Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan

munculnya golongan penguasa dan golongan masyarakat. Pembedaan berdasarkan

keahlian menyebabkan adanya golongan masyarakat suku Bali yang memiliki

keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian tertentu.

Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh

senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur

pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak

begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda

dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi

oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai

menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi

masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional

yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami

perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan

masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada,

yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan

adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali

yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan

golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat.

Stratifikasi sosial masyarakat Bali Tradisional dan Modern yang berdampak

pada penggunaan bahasa Bali juga tampak pada Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden

Kembang. Karya sastra sejatinya merupakan dokumen penting dalam menelusuri

perubahan sosio-kultural termasuk perubahan bahasa dalam kehidupan masyarakat

Bali. Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang merekam perubahan

penggunaan bahasa Bali tradisional menuju masyarakat Bali Modern, yang diiringi

oleh perubahan penggunaan bahasa Bali. Oleh sebab itulah, dalam tulisan ini status

sosial masyarakat Bali yang meliputi tradisional maupun modern yang terekam dalam

karya sastra ini akan dideskripsikan terlebih dahulu. Hal ini penting karena akan

berpengaruh pada penggunaan bahasa dalam komunikasi antartokoh intrawangsa dan

antarwangsa.

Page 58: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

58

2.2.1. Stratifikasi Tradisional

Stratifikasi masyarakat tradisional yang menata hubungan masyarakat Bali

dapat dibagi menjadi dua yaitu golongan Tri Wangsa dan golongan Jaba. Golongan

Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Sementara itu,

golongan jaba adalah golongan masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri

Wangsa. Golongan Tri Wangsa dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur

Satonden Kembang ini dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut ini.

Tabel 1. Stratifikasi Masyarakat Bali Tradisional

dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang

No. Golongan Tri Wangsa

Keterangan Nama Tokoh

1. I Gusti Ayu Adi Seorang gadis yang berasal dari Desa Selat, anak dari I Gusti

Mangku, dan pacar I Made Madi

2. I Gusti Mangku Lanang Ayah dari I Gusti Ayu Adi

3. I Gusti Mangku Istri Ibu dari I Gusti Adi

4. I Gusti Ngurah Cepeg Saudara dari I Gusti Ayu Adi, yang menyerang Made Madi,

Wayan Madu, dan yang lainnya di Bukit Bisbis karena

lamarannya ditolak I Gusti Ayu Adi.

5. Aji I Gusti Ngurah Cepeg Ayah I Gusti Ngurah Cepeg

6. Biang I Gusti Ngurah Cepeg Ibu I Gusti Ngurah Cepeg

5. Anak Agung Alit Sudendi Seorang pemuda yang berasal dari Klungkung, yang

mengawini Made Arini dengan cara kawin paksa.

6. Anak Agung Ngurah Ayah Anak Agung Alit Sudendi

7. Jero Sekar Ibu Anak Alit Sudendi yang masih memiliki hubungan

keluarga dengan Made Arini

8. Ida Bagus Aji 1 Seorang keturunan brahmana, yang dimintai Pan Madu Obat

9. Ida Bagus Aji 2 Seorang keturunan brahmana yang berprofesi sebagai petugas

bioskop

9. Gusti Ketut Rai Pemilik tempat kos-kosan yang ditempati Nyoman Santosa di

Singaraja.

10. Gusti Ayu Srati Istri dari Gusti Ketut Rai.

11. Gusti Ayu Jinar Pacar I Nyoman Santosa, yang masih memiliki hubungan

keluarga dengan Gusti Ketut Rai

12. Gusti Ayu Manik Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP

13. Gusti Ayu Mirah Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP

14. Gusti Gede Pande Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SD

No Golongan Jaba

Keterangan Nama Tokoh

1. I Nyoman Santosa Seorang pemuda desa yang melanjutkan sekolahnya di SPG

Klungkun dan SGB Singaraja, dan juga kekasih Made Arini

serta Gusti Ayu Jinar.

2. I Wayan Madu Kakak tertua dari I Nyoman Santosa yang tewas dalam

serangan I Gusti Ngurah Cepeg.

3. I Made Madi Kakak ke dua dari I Nyoman Santosa, kekasih I Gusti Ayu

Adi.

4. Pan Madu Ayah dari Nyoman Santosa.

5. Men Madu Ibu dari Nyoman Santosa.

6. I Ketut Santi Adik terkecil keluarga Nyoman Santosa.

7. Made Arini Kekasih pertama Nyoman Santosa yang akhirnya dikawin

paksa oleh I Gusti Ngurah Cepeg.

8. Ketut Dirga Teman sejawat I Nyoman Santosa di SPG Klungkung.

9. Nyoman Nerti Sahabat sejawat Made Arini di SMP Klungkung.

10. Made Astiti Seorang remaja yang menyukai Nyoman Santosa di Singaraja,

yang juga teman dari Gusti Ayu Jinar.

11. Wayan Widanta Ayah dari Made Arini.

Page 59: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

59

12. Ketut Dani Ibu dari Made Arini.

13. Pekak Giyor Dukun yang membantu Anak Agung Alit Sudendi dalam

mengawini secara paksa Made Arini

14. Made Galang Orang yang membantu Anak Alit Sudendi mengawini secara

paksa Made Arini.

Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Tradisional ini berdampak pada

penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya.

Dengan mengacu pada dialog-dialog dalam novel ini, dapat diketahui dua yaitu (1)

apabila komunikasi tersebut terjadi antargolongan jaba, maka bahasa yang digunakan

cenderung bahasa Andap (Kepara/Lumbrah), (2) apabila komunikasi tersebut terjadi

antargolongan tri wangsa, maka bahasa yang digunakan cenderung bahasa Andap

bagi penutur yang lebih tua dan bahasa Alus bagi penutur yang lebih muda, (3)

apabila komunikasi tersebut terjadi antara golongan Tri Wangsa dengan golongan

Jaba, maka bahasa yang digunakan oleh golongan jaba tersebut adalah bahasa Alus,

sedangkan golongan Tri Wangsa akan cenderung menggunakan bahasa Andap apabila

berkomunikasi dengan golongan jaba. Hal ini dapat dibuktikan melalui dialog-dialog

di bawah ini :

a. Dialog Antargolongan Jaba

Dialog antargolongan jaba akan diambil dari percakapan Pan Madu dengan

Men Madu pada saat Pan Men Madu membicarakan kegiatan sehari-hari Pan Madu

yang seringkali dimintai bantuan untuk menolong orang sakit, dengan kondisi

keluarganya sendiri yang masih miskin secara materi:

Men Madu : “Beneh, yèn perawat utawi dokter anè magajih buina madagang ubad tusing

nyidaang nelokin anak sakit, ngèngkèn dadi beli anè maan sèn tepu, gèsèk? Buina

anakè sakit joh joh tekain beli, nanging panak belinè jumah sakit tusing tawang

bapannè. Apa buin lakar ngubadin, matakon bapannè tusing taèn, apa ia suba

madaar apa tondèn? apa ngelah baju apa tusing anggona masuk mani? apa tuduh

umahè apa tusing?

(Benar, jika perawat atau dokter yang digaji apalagi yang berjualan obat saja tidak

dapat mengunjungi orang sakit, apakah dari pekerjaan ini Bapak dapat uang? Apalagi,

orang lain yang sakit di tempat yang jauh pun engkau datangi, tapi anak kita di rumah

jika sakit tidak pernah tahu ayahnya. Apalagi akan mengobati, bertanya saja tidak

pernah. Apakah dia sudah makan atau belum? Apakah dia sudah mempunyai baju

untuk sekolahnya besok atau tidak? Apakah rumah kita bocor atau tidak?)

Pan Madu : “Naaah, beli ngrasa tekèn awak lacur, tusing ngelah sakaya pipis. Keto masih tusing

ngelah arta brana anggon matulung tekèn nyama brayanè. Yèn jani beli tusing

mapikolih, dumadak mani puan panak-panak iraganè nemu rahayu, ada ngiwasin

yèn kalahin beli mati malunan”. (Novel TLASK, hlm. 11)

(Iya, aku merasa terhadap diri miskin, tidak mempunyai harta berupa uang. Demikian

juga harta untuk membantu masyarakat. Jika sekarang aku tidak mendapatkan hasil

apa-apa, semoga di hari esok anak-anak kita yang akan menemui kebahagiaan, ada

yang memperhatikan jika aku mati duluan).

Mengacu pada dialog di atas, leksikon beneh ‘benar’, yèn ‘jika’, anè ‘yang’,

madagang ‘berjualan’, ubad ‘obat’, dan yang lainnya membuktikan bahwa apabila

terjadi dialog antargolongan jaba maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Andap.

Apabila konteks situasi yang terbangun dalam komunikasi adalah orang tua dengan

anaknya, atau orang yang belum kenal terlalu dekat, maka pronomina atau kata ganti

orang ketiga tunggal yang digunakan cenderung memakai kata alus madya yaitu tiang

‘saya’. Hal ini dapat dibuktikan dari dialog antara Nyoman Santosa dengan ibunya,

pada saat Nyoman Santosa berniat untuk melanjutkan sekolahnya.

Page 60: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

60

Men Madu : “Apa sujatinè kenehang cai Man?

(Apa yang sebenarnya kamu pikirkan Man?)

Nyoman Santosa : “Mèmè da nyen pedih mèmè tekèn tiang, sawirè keneh tiangè

tan dadi baan neptepin. Tiang lakar nerusang masekolah ka

Klungkung. (Novel TLASK, hlm. 8)

(Ibu, janganlah ibu marah kepadaku, karena keinginanku tidak

bisa ditahan lagi. Aku akan melanjutkan bersekolah ke

Klungkung).

b. Dialog Antargolongan Tri Wangsa

Dialog antargolongan Tri Wangsa akan diambil dari dialog pada saat I Gusti

Ngurah Cepeg melamar I Gusti Ayu Adi kepada orang tuanya.

Gusti Ngurah Cepeg : “Aji, suwe sampun titiang kangin kauh, gumanti mamanah nunas pasuwecan

ajine. Cutet mangkin anak aji, Ayu Adi tunas titiang, jagi ajak titiang sareng

ngarembat anak lingsir jumah kauh”.

(Aji, sudah lama sekali kehidupan saya tidak menentu, saat ini saya bermaksud

meminta izin dari Aji. Intinya, sekarang putri Aji, Ayu Adi akan saya jadikan

istri, akan saya ajak menjadi pendamping di rumah orang tua sya di Badung).

Gusti Mangku : Kene Gus, adin Ngurahe saja aji ngelah panake. Ngurah masih ngelah

misane. Sep awai cening maka dadua manyama. Mungguing awakne bakat

baan aji ngisiang, nanging buat kenehne, sawireh jani ia suba kelih, tusing

pantes aji mekek (TLASK, hlmn. 12).

(Begini Gus, adikmu memang benar Aji yang memiliki. Kamu juga yang

menjadi misannya. Engkau dengannya saudara yang dekat. Badannya dapat

Aji pegang, tapi hatinya belum tentu. Karena Gusti Ayu Adi sudah dewasa,

tidak pantas Aji memaksa).

Kosakata suwe ‘lama’, sampun ‘sudah’, titiang ‘saya’ pada dialog yang

digambarkan di atas cenderung memperlihatkan penggunaan bahasa yang halus

apabila penutur berbicara kepada penutur yang lebih tua dalam percapakan sesama

golongan Tri Wangsa. Sementara itu, petutur memberikan jawaban dengan bahasa

yang andap. Hal ini dibuktikan dari leksikon, kènè ‘begini’, adin ‘adik’, saja ‘benar’,

ngelah ‘mempunyai’, anak ‘anak’ dan yang lainnya. Penggunaan bahasa penutur yang

lebih halus daripada petutur di atas, barangkali disebabkan karena situasi formal.

Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi dalam dialog-dialog lainnya juga

menunjukkan hal yang sama. Hal ini dapat dilihat pada saat Gusti Ayu Adi berdialog

dengan ayahnya saat menyesali kematian Made Madi:

Gusti Ayu Adi : “Aji...., ampurayang titiang aji. Bas banget titiang ngaryanang aji sungkawa.”

(Aji, maafkanlah saya Aji. Terlalu sering saya membuat Aji menderita).

Gusti Mangku : “Ah endepang suba geg. Tegtegan ragan ceninge. Yen suba tuduhing Sang Hyang

Widi Wasalakar nyabut uripe, mula tusing dadi kelidin.” (TLASK, hlm : 19)

(Ah, diamlah sudah Geg. Tenangkan dirimu. Jika sudah takdir Sang Hyang Widi

Wasa akan mencabut hidup ini, memang tidak dapat dihindari).

c. Dialog antara Golongan Jaba dan Tri Wangsa

Dialog antara golongan jaba dan tri wangsa akan diambil pada saat Men Madu

meminta obat kepada Ida Bagus Aji di Griya. Dialog tersebut dapat dijelaskan di

bawah ini.

Ida Bagus Aji : “To kenken Men Madu suba sanja, padidian buin?.”

(Bagaimana Men Madu sudah senja (datang) sendirian ?)

Men Madu : “Ratu, titiang nawegang mamitang lugra, matur sisip wawu pedek tangkil ring ratu,

ngaturang indik sinengkaon parekan iratu saking itigang raina nenten mresidaang

Page 61: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

61

bangun. Sakeng wawu sakit titiang sampun matari ring ipun jaga nuur palungguh

iratu ngaksi parekane, nanging ipun nenten ngewehin” (TLASK, hlmn. 25).

(Ratu, maafkan saya. Maaf, saya datang kepada Anda, menyampaikan tentang sakit

abdimu yang dari tiga hari yang lalu tidak bisa berdiri. Sejak awal sakit saya sudah

berbicara dengannya untuk meminta Ratu datang ke rumah, tapi dia tidak

memberikan).

Penggunaan kata-kata kenken ‘bagaimana’, suba ‘sudah’, pedidi ‘sendirian’ dan

yang lainnya dalam dialog di atas menunjukkan bahwa Ida Bagus Aji menggunakan

kata-kata andap ketika sedang berbicara dengan Men Madu. Sementara itu, Men

Madu menggunakan kata-kata yang halus pada saat berbicara dengan Ida Bagus Aji

yang dapat dibuktikan dari kata-kata titiang ‘saya’, wawu ‘baru’, mresidaang ‘dapat’

dan yang lainnya. Hal ini dapat dikuatkan dari dialog Nyoman Santosa dengan Anak

Agung Alit Sudendi di bawah ini.

Anak Agung Alit Sudendi : “Ih, Man, cai lakar kija, selidan suba mapayas nyateg”.

(Ih Man, kamu akan kemana, masih terang sudah rapi)

Nyoman Santosa : “Ooh, Gung Dendi, titiang jagi nonton sareng Made Arini (TLASK,

hlmn. 25).

(Oh, Gung Dendi, saya akan menonton dengan Made Arini).

2.2.2 Stratifikasi Modern

Stratifikasi masyarakat modern adalah stratifikasi yang tidak lagi didasarkan

pada aspek geneologi, melainkan lebih menyesuaikan dengan kemajuan zaman.

Stratifikasi masyarakat tersebut di antaranya adalah pendidikan, pangkat, kekuasaan,

dan jabatan tertentu menyebabkan golongan-golongan ini juga mendapatkan

penghormatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang tercermin melalu penggunaan

bahasanya. Stratifikasi masyarakat Bali Modern dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut

ini. Tabel 2. Stratifikasi Masyarakat Bali Modern

dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang

Nama Tokoh Status Sosial

1. Kepala Sekolah Kepala sekolah SPG Klungkung, tidak disebutkan oleh

pengarang nama atau identitas tradisionalnya.

2. Mantri Kesehatan Petugas kesehatan yang memeriksa Pan Madu, tidak

disebutkan oleh pengarang nama atau identitas tradisionalnya.

Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Modern ini berdampak pada

penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya.

Hal ini tampak pada profesi-profesi baru yang dimiliki oleh seseorang dalam

kehidupan modern. Mengacu pada dialog-dialog yang terjadi dalam novel ini dapat

diketahui bahwa jabatan tertentu dalam dunia pendidikan dan kesehatan misalnya,

menyebabkan seseorang menggunakan bahasa Bali Alus dalam komunikasinya. Hal

ini dapat dibuktikan dari percakapan antara Men Madu dengan Mantri Kesehatan di

bawah ini.

Mantri Kesehatan : “Ten kenapi-kenapi, me. Ibapa anak masuk angin tur batisne nyem. Pantesne bas

ngampeg magawe di carike. Masan napi mangkin di carike, Pa?”

(Tidak apa-apa Bu. Bapak hanya masuk angin, itu yang membuat kakinya

dingin. Mungkin karena bekerja terlalu berat di sawah. Musim apa di sawah

sekarang Bu?)

Men Madu : “Enggih pak Mantri, mangkin dicarike sedeng eega magarapan. Tiang

magarapan padidi sasukat kalaina mati teken panak tiange.(TlASK, hlmn :

25)”

Page 62: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

62

(Iya Pak Mantri, sekarang di sawah sedang sibuk-sibuknya penggarapan. Saya

menggarap sawah sendiri setelah ditinggal mati oleh anak saya).

Pada dialog di atas, melalui kata-kata ten ‘tidak’, kenapi-kenapi ‘kenapa-

kenapa’ Mantri Kesehatan menggunakan unsur kosakata halus pada saat berbicara

dengan Men Madu. Demikian pula Men Madu juga menggunakan unsur-unsur

kosakata halus saat berbicara dengan Mantri Kesehatan seperti ditunjukkan kata oleh

kata nggih ‘ya’, mangkin ‘sekarang’. Demikian pula, dialog dari Nyoman Santosa

dengan Kepala Sekolahnya, penggunaan bahasa alus menjadi media komunikasinya

dalam berbicara kepada Kepala Sekolah.

Kepala Sekolah : “Kenken dadi mara Nyoman teka? Kaden timpale lenan ada masi naftarang

dini, Man?”

(Kenapa baru Nyoman datang? bukankah teman-teman lainnya ada yang

mendaftar di sini, Man?)

Nyoman Santosa : “Kasep wiakti titiang Pak, santukan tan madue bekel jagi anggen titiang

ngaranjing mawinan tan wehina ring memen titiange. Niki titiang murunang

dewek, dumadak ledang bapak nerima titiang deriki ring SGB”.(TLASK, hlmn.

36)

(Memang benar saya terlambat Pak, karena saya tidak mempunyai bekal untuk

melanjutkan pendidika, itu yang menyebabkan saya tidak diberikan melanjutkan

pendidikan oleh ibu saya. Ini saya memberanikan diri masuk, semoga Bapak

berkenan menerima).

Mengacu pada dialog di atas, maka stratifikasi masyarakat modern telah

tercermin dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Dalam dialognya

terlihat penutur maupun petutur yang punya jabatan tinggi maupun masyarakat pada

umumnya sama-sama menggunakan unsur bahasa halus sehingga terkesan lebih

egaliter.

3. SIMPULAN

Berbasarkan analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa novel sebagai genre

karya sastra memberikan informasi penting dalam perubahan kultural masyarakat Bali

terutama penggunaan bahasanya. Analisis di atas juga menunjukkan bahwa stratifikasi

sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun modern sama-sama mempengaruhi

penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap dalam aktivitas komunikasi. Tindak

tutur bahasa Bali yang didasarkan pada wangsa melalui analisis di atas menunjukkan

masih tetap dipertahankan. Sementara itu, stratifikasi masyarakat modern juga tetap

berkembang.

4. DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Gede. 2006. Kebijakan Strategi, dan Revitalisasi Bahasa Bali. Denpasar :

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Bagus, I Gusti Ngurah. dkk. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Denpasar : Proyek

Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesi dan Daerah Bali Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam dalam

Masyarakat Bali Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa (Disertasi Universitas

Indonesia).

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya

(Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sancaya, IDG Windhu. 2004. Bahasa Bali Jagadhita : Bahasa Budaya dan

Pengetahuan. Denpasar : Pustaka Bali Post

Page 63: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

63

Simpen, I Wayan. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur. Denpasar :

Pustaka Larasan dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur.

Suasta, Ida Bagus Made. dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali.

Denpasar : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa,

Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik

Pengumpulan Data. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana

Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.

2. Artikel lainnya tentang bahasa Bali

SAPAAN DALAM TUTURAN BAHASA BALI TERKAIT STRATIFIKASI

SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI MERUJUK KUASA DAN

SOLIDARITAS

KAJIAN SOSIOPRAGMATIK

I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena

Darmasetiyawan4)

1)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

08123828909, [email protected] 2)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 3)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 4)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai kuasa dan solidaritas yang

ditunjukkan tuturan beserta sapaan dalam bahasa Bali berkaitan dengan stratifikasi

sosial pada masyarakat Bali. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif pendekata

kualitatif yang mengutamakan tuturan spontan sebagai data. Adapun hasil penelitian

yang ditemukan yaitu sapaan atau panggilan merujuk pada nilai kuasa pada tuturan

penutur yang memiliki status sosial tinggi dengan petutur yang berstatus sosial lebih

rendah, tuturan penutur berjenis kelamin laki-laki dengan petutur perempuan, dan

tuturan penutur berumur lebih tua dengan petutur lebih muda, sedangkan hubungan

sosial yang mendekatkan antar individu dalam interaksi komunikasi menunjukkan

adanya solidaritas dan cenderung mengendurkan pengaruh status sosial.

Kata Kunci: sapaan, stratifikasi sosial, kuasa, solidaritas

Abstract

The aim of this research is to know the power and solidarity value which are

shown on Balinese utterances include the address terms in it which relate to social

stratification in Balinese people. This research is descriptive research with qualitative

approach which feature spontaneous utterances as the data. The finding in this

research are the address term in Balinese utterances refer to power value that are

Page 64: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

64

found on higher social status’ utterance with low status social’s, men’s utterances

against women’s utterances, and old people’s utterances have more power value

against the younger. Meanwhile, social relation which is strengthening certain people

tend to be loosen on social status influence which is represented on Balinese

utterances too.

Kata Kunci: address terms, social stratification , power, solidarity

1. Pendahuluan

Interaksi komunikasi antar individu dalam komunitas tertentu memberikan

ruang pada perkembangan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi yang

dipengaruhi lingkungan sosial termasuk latar belakang penutur dan petutur yang

terlibat di dalamnya. Latar belakang penutur dan penutur yang dimaksud yaitu

stratifikasi sosial, jenis kelamin, dan umur. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan-

tuturan yang diucapkan dalam percakapan khususnya sapaan-sapaan yang juga dapat

menunjukkan adanya nilai kuasa dan solidaritas. Dalam penelitian ini bukan hanya

sapaan berupa leksikon saja yang dikaji tetapi kalimat yang mengandung sapaan yang

dikaji sehingga komponen seluruh kalimat dapat memberi informasi secara utuh untuk

mengetahui perkembangan sosial mellui bahasa yang digunakan khususnya bahasa

Bali yang dipengaruhi stratifikasi sosial, umur, dan jenis kelamin penutur maupun

petutur. Stratifikasi sosial di lingkungan sosial masyarakat Bali masih terjaga

walaupun sudah mengendur karena sistem di masyarakat yang sudah mulai

menyamaratakan kedudukan, bahasa Bali yang digunakan bahasa pergaulan dan

dinamis. Akan tetapi, tanda stratifikasi sosial masih menjadi faktor yang berpengaruh

dalam penggunaan bahasa adanya sapaan dalam tuturan-tuturan saat terlibat

percakapan. Setiap bahasa dapat menunjukkan adanya tanda atau rujukan nilai kuasa

dan solidaritas yang tidak hanya ditunjukkan penggunaan sapaan Tu dan Vous saja

tetapi pemilihan sapaan pada nama depan, namanya saja, nama gelar, dan nama

keluarga (Hudson, 2001: 123). Stratifikasi masyarakat tradisional di Bali ada dua

golongan yaitu Tri Wangsa dan Jaba. Golongan Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi

Brahmana, Ksatria, dan Wesia, sedangkan golongan jaba terdiri atas golongan

masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri Wangsa. Berbeda dengan stratifikasi

sosial tradisional, stratifikasi modern menggolongkan pekerjaan dan gelar pendidikan

sebagai pembeda status sosial. Selain stratifikasi sosial, faktor umur dan jenis kelamin

juga dapat memengaruhi penggunaan bahasa khususnya tingkatan-tingkatan tutur

bahasa Bali. Nilai kuasa dan solidaritas dapat dibedakan juga dari penggunaan bahasa

penutur dan petutur dan melibatkan faktor lain lagi seperti tingkat formalitas yang

terkait dengan hubungan personal antara penutur dan petutur sehingga perbedaan

signifikan terlihat antara tuturan yang mengandung nilai kuasa dan nilai solidaritas.

Berdasarkan paparan pendahuluan tersebut penelitian ini mengangkat dua masalah

untuk dikaji yaitu mengetahui pengaruh stratifikasi sosial, umur, dan jenis kelamin

pada penggunaan bahasa Bali di masyarakat Bali dan menemukan nilai kuasa dan

solidaritas pada tuturan bahasa Bali dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat Bali.

2. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Observasi partisipasi dan teknik elisitasi digunakan dalam pengumpulan data yaitu

peneliti ikut berpartisipasi dalam komunitas tutur bahasa Bali yang bertujuan untuk

Page 65: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

65

mendapatkan data lisan dan spontan (Labov 1972b: 102-11). Dalam pengumpulan

data lebih mengkhusus menggunakan sampel purposif yaitu memilih sampel sesuai

karakter masalah dalam penelitian ini (Hadi, 183:83). Data yang dikumpulkan berupa

tuturan informan terkait yang direkam perekam dan transkripsi tuturan tersebut

diklasifikasikan berdasarkan tingkat tutur dengan variabel jenis kelamin, umur, dan

status sosial serta beberapa ranah terjadinya interaksi komunikasi. Pada tahap

penyajian hasil analisis data, metode yang digunakan adalah metode formal dan

informal. Metode formal merupakan metode perumusan dengan tanda-tanda dan

lambang sedangkan metode informal merupakan metode dengan perumusan yang

menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).

3. Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh, hasil penelitian yang ditemukan dibahas

lebih rinci seperti berikut ini.

3.1 Tuturan Bernilai Kuasa

Contoh dari tuturan bernilai kuasa adalah tuturan-tuturan bahasa Bali dalam

suatu percakapan yang melibatkan perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, dan

perbedaan status sosial baik tradisional maupun modern yang dijelaskan sebagai

berikut.

Ngurah : Punapi gatra Gung Aji?

Anak Agung Wira : montoan gen Rah (1)

Percakapan (1) adalah percakapan antara teman seumuran yang sama-sama

tergolong dalam golongan Tri Wangsa tetapi petutur memiliki status sosial lebih

tinggi. Percakapan ini terjadi dalam keadaan normal dalam artian tidak melibatkan

emosi pada situasi tersebut. Penutur menyadari status sosial yang dimiliki sehingga

penutur menggunakan bahasa Bali Alus bertanya kepada petutur. Hal tersebut

menunjukkan adanya hubungan asimetris yang menunjukkan adanya petutur sebagai

pihak kuasa dan penutur sebagai pihak yang terkuasa.

Irma : Jero sampun kalih medue Oka, mriki ke pondok tyang kapah-

kapah

Jero Onik : ae Ma, dua suba, manian nyen melali kene sibuk ngayah dini (2)

Begitu juga percakapan (2), percakapan ini terjadi dalam keadaan normal dan

penutur yang terlibat adalah teman seumuran bahkan teman masa kecil. Akan tetapi,

adanya status sosial yang berbeda membuat penutur menggunakan bahasa Bali Alus

dan menyapa dengan sapaan Jero padahal kedua penutur memiliki umur yang sama

dan hubungan yang dekat.

Wayan Juli : be suud ujian tesis Pik?

Novi : sampun Bli, tuni semeng, Bli pidan?

Wayan Juli : bin a semester Pik (3)

Percakapan (3) melibatkan penutur yang berbeda umur tetapi sama dalam

kedudukan stratifikasi sosial tradisional. Selain itu, keduat penutur juga dalam satu

jenjang pendidikan walaupun berbeda angkatan. Wayan Juli adalah karyasiswa

semester 2 dan Novi adalah karyasiswa semester 4. Dalam percakapan di atas,

penggunaaan bahasa Bali Alus dan sapaan Bli yang digunakan petutur menunjukkan

Page 66: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

66

petutur menyadari adanya perbedaan umur dan perbedaan jenis kelamin lawan bicara

khususnya jenis kelamin laki-laki yang dianggap superior. Begitu juga petutur,

penggunaan bahasa yang digunakan menunjukkan petutur menyadari dirinya adalah

pihak kuasa walaupun petutur juga menyadari adanya perbedaan tingkat dalam

jenjang pendidikan.

Biyang Tude : niki sampun ten uning napi, nyeh mepreksa Dok

Dokter Made : sing dadi nyeh Bu, penting yen suba ada gejala (4)

Pecakapan (4) melibatkan kedua penutur yang memiliki jenis kelamin yang

berbeda yaitu laki-laki dan perempuan, perbedaan status sosial modern dalam hal ini

pekerjaan penutur adalah pedagang dan petutur adalah dokter, dan perbedaan umur

penutur yang lebih tua dari petutur. Stratifikasi sosial modern digolongkan

berdasarkan pekerjaan dan jenjang pendidikan membuat perubahan pada sistem

hierarki di dalam kehidupan masyarakat Bali pada masa sekarang. Penutur yang

tergolong ke dalam golongan Tri Wangsa menjadi pihak terkuasa yang ditunjukkan

penggunaan bahasa Bali Alus kepada petutur yang bukan golongan Tri Wangsa tetapi

berprofesi sebagai dokter yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi sesuai

penggolongan stratifikasi sosial modern. Faktor umur yang lebih tuapun tidak

diperhitungkan lagi.

3.2 Tuturan Bernilai Solidaritas

Selain tuturan bernilai kuasa, tuturan bernilai solidaritas juga menggunakan

tuturan-tuturan bahasa Bali dalam percakapan bahasa Bali dan dipaparkan sebagai

berikut.

Gung Putra : Kene Hp usak, kal meli baru gen

Putu Wiyana : De lebian ngeluh Gung, biasaang (5)

Percakapan (5) adalah percakapan yang melibatkan penutur yang memiliki

status sosial lebih tinggi dari petutur sesuai penggolongan stratifikasi sosial

tradisional. Kedua penutur menggunakan bahasa Bali Kepara yang tidak tergolong

halus maupun kasar. Bahasa tersebut sering digunakan dalam pergaulan di lingkungan

masyarakat Bali. Hubungan yang dekat antarpenutur membuat rasa solidaritas

keduanya lebih erat sehingga kedudukan yang berbeda sesuai stratifikasi sosial

tradisional di Bali tidak diperhitungkan lagi walaupun tetap menggunakan sapaan

yang menunjukkan gelar atau perbedaan status sosial. Hal tersebut ditunjukkan dari

penggunaan bahasa Bali Kepara yang digunakan keduanya.

Agung Supadmi : Atu adi mare teka?

Ida Bagus Suanda : Mare uli Bukit Bu Gung, kenyel (6)

Pecakapan (6) melibatkan kedua penutur yang seumuran tetapi memiliki status

sosial yang berbeda, status sosial petutur lebih tinggi dari penutur, dan percakapan ini

terjadi di ranah kantor. Seperti percakapan (5), penutur dalam percakapan (6)

menggunakan bahasa Bali biasa dan tetap menggunakan sapaan sesuai gelar yang

menunjukkan status sosial tradisionalnya. Kedua penutura yang terlibat memiliki

hubungan yang dekat karena sudah belasan tahun bekerja sama dalam satu kantor

sehingga status sosial tidak dipermasalahkan yang ditunjukkan dari penggunaan

bahasa Bali biasa dari kedua penutur.

Page 67: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

67

4. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, perilaku berbahasa yang ditunjukkan penutur dan petutur dalam tuturan yang

mengandung nilai kuasa menunjukkan perilaku berbahasa yang asimetris, yaitu pihak

yang memiliki kedudukan lebih tinggi, umur lebih tua, dan berjenis kelamin laki-laki

sebagai pihak penguasa sedangkan pihak yang berkedudukan lebih rendah sebagai

pihak terkuasa. Implikasinya adalah tuturan pihak terkuasa lebih santun dengan

menggunakan bahasa Bali Alus dan menyapa dengan gelar Tri Wangsa atau gelar

pekerjaannya. Kedua, perilaku berbahasa berbeda ditunjukkan tuturan penutur dan

petutur yang mengandung nilai solidaritas. Hubungan yang dekat memengaruhi

perilaku berbahasa penutur dan petutur yang ditunjukkan dari penggunaan bahasa Bali

biasa bahkan kepara walaupun tidak lupa menggunakan sapaan sesuai gelar Tri

Wangsa yang dimiliki.

5. Daftar Pustaka

Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi research I. Yogyakarta: UGM Press.

Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society

1, 97- 120.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya

(Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian

Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University

Press.

Page 68: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

68

LAMPIRAN 6: CATATAN HARIAN (LOG BOOK)

Catatan Harian (Log Book):

Kegiatan Hibah : PNBP

Judul Kegiatan : Bahasa dan Kategori-Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada

Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat

NO TANGGAL

PELAKSANAAN URAIAN KEGIATAN

JUMLAH DANA

TERPAKAI

PERSENTASE

PELAKSANAAN BERKAS

1. 21 Mei 2015 Penandatanganan Kontrak

Print, Fotokopi, dan Jilid

Proposal Penelitian: Rp.

130.000,-

Bensin: Rp. 75.000,-

80%

2. 29 Mei 2015 Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang

kelanjutan dari proposal penelitian

Konsumsi Rapat: Rp.

75.000,- 20%

3. 12 Juni 2015

Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang

persiapan penelitian lapangan, dan segala prosedur

(administratif) yang diperlukan

Konsumsi Rapat: Rp.

75.000,- 40%

4. 26 Juni 2015 Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti

untuk wilayah Lombok (Bahasa Sasak) Snack Rapat: Rp. 50.000,- 60%

5. 10 Juli 2015 Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti

untuk wilayah Bali (Bahasa Bali) Snack Rapat: Rp. 60.000,- 80%

6. 15 Juli 2015

Rapat Tim Peneliti dengan seluruh tim lapangan:

membahas tentang persiapan penelitian ke

lapangan, yang meliputi batasan, ranah,

kelengkapan-kelengkapan teknis, dan instrumen

kuesioner yang dipakai sebagai bahan penelitian

lapangan

Snack Rapat: Rp. 90.000,-

Konsumsi Rapat: Rp.

225.000,-

80%

Page 69: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

69

7. 23 Juli 2015 Persiapan Penelitian Lapangan

ATK: Rp.173.000,-

Tinta dan Flashdisk: Rp.

2.230.000,-

Obat-Obatan: Rp. 65.800,-

Print dan Fotokopi Instrumen

Penelitian: Rp.17.500,-

50%

8. 24 Juli 2015

Penelitian Lapangan Lombok (Hari Pertama)

Tim berangkat ke Lombok

menemui informan Dr. Muhammad Sukri,

S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2

Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas

Negeri Mataram (UNRAM), yang berada di

daerah pusat kota Mataram, Lombok Barat,

terutama untuk melihat referensi-referensi

yang berkaitan dengan penggunaan tingkat

tutur bahasa sasak yang telah dipublikasikan

Tim menuju sekitaran Lombok Barat untuk

melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah

pasar daerah yang menggunakan dialek Meno-

Mene, yaitu daerah Narmada dan Ampenan,

selain itu juga tim ke rumah-rumah untuk

mengamati tingkat tuturan yang terjadi dalam

ranah keluarga. Pengambilan data dilakukan

dengan cara wawancara dan kuesioner.

Tiket Kapal: Rp. 390.000,-

Sewa Kendaraan (3 hari): Rp.

1.650.000,-

Makan pagi: Rp. 67.000,-

Makan siang: Rp. 80.000,-

Makan malam: Rp. 66.000,-

Snack dan Minuman: Rp.

148.000,-

Fotokopi bahan pustaka: Rp.

37.500,-

70%

9. 25 Juli 2015 Hari Kedua Makan pagi: Rp. 82.000,- 70%

Page 70: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

70

menuju kantor Beraim,

kecamatan Peraya Tengah Lombok Tengah

untuk mengamati tingkatan tuturan dalam ranah

perkantoran khususnya antara atasan dan

bawahan dalam dialek Meno-Mene bahasa sasak

Lombok.

penelitian dilanjutkan dengan ke

rumah-rumah penduduk, di desa Ketejer,

kecamatan Praya dan di daerah Penujak,

bertemu beberapa informan, untuk mendapatkan

informasi tentang bahasa sasak khususnya dialek

Meno-Mene, dan juga tingkat tutur penggunaan

bahasa Sasak terutama di kalangan bangsawan

(Lalu dan Baiq)

Makan siang: Rp. 132.000,-

Makan malam:Rp. 115.500

Snack dan Minuman: Rp.

27.500

10. 26 Juli 2015

Hari Ketiga

Tim melakukan pengambilan

data di sekitaran Lombok Timur, melalui

wawancara dan kuesioner, khususnya untuk

melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah rumah

tangga dan tetangga

Tim melanjutkan perjalanan

kembali ke Denpasar

Makan pagi: Rp. 62.000,-

Makan siang: Rp. 78.000,-

Makan malam: Rp. 37.000,-

Snack dan Minuman: Rp.

23.000,-

Penginapan: Rp. 1.800.000,-

Tiket Kapal: Rp. 390.000,-

70%

11. 27 Juli – 1

Agustus 2015 Transkripsi dan Tabulasi Data Bahasa Sasak

80%

Page 71: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

71

12. 30 Juli 2015

Penelitian lapangan Tim Bahasa Bali (setelah libur

panjang Galungan dan Kuningan) – Hari Pertama

Tim bergerak ke kantor-kantor

di sekitaran Denpasar untuk melihat

penggunaan bahasa Bali dalam ranah kantor

Kemudian, tim juga

mengumpulkan data dari sumber data

tertulis, dan referensi-referensi sejenis,

seperti novel, tresnane lebur ajur santonden

kembang karya Djelantik Santha (1981)

Pustaka Ekspresi Tabanan

Sewa Alat Rekam: Rp.

700.000,-

Bensin: Rp. 20.000,-

Makan siang: Rp. 63.000,-

Snack dan Minuman: Rp.

58.000,-

Pulsa Telp dan Modem: Rp.

339.000,-

Fotokopi dan Jilid Bahan

Pustaka: Rp. 92.900,-

70%

13. 31 Juli 2015

Hari Kedua

Tim bergerak ke rumah-rumah

di seputaran Denpasar dan sekitaranya untuk

melihat penggunaan bahasa Bali dalam

ranah keluarga dan tetangga.

Makan pagi: Rp. 34.000,-

Makan siang: Rp. 60.000,-

Snack dan Minuman:Rp.

44.600,-

Bensin: Rp. 44.000

70%

14. 1 Agustus 2015

Hari Ketiga

Tim bergerak ke sekitaran pasar-

pasar tradisional di Denpasar dan sekitarnya

untuk penggunaan bahasa Bali dalam ranah

pasar

Tim a menuju ke daerah

Tabanan, yaitu di sekitaran desa Jegu,

Penebel, untuk melihat penggunaan bahasa

Bali baik itu di ranah keluarga, pasar,

maupun agama

Sewa Kendaraan: Rp.

400.000,-

Bensin: Rp. 200.000,-

Makan pagi: Rp. 39.000,-

Makan siang: Rp. 120.000,-

Makan malam: Rp. 42.000,-

Snack dan Minuman: Rp.

22.000,-

70%

15. 2 Agustus 2015 Hari Keempat

Tim bergerak ke sekitaran banjar

Bensin: Rp. 150.000,-

Makan pagi: Rp. 54.000,- 70%

Page 72: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

72

(seka truna), dan pura di sekitaran Denpasar

dan sekitarnya untuk melihat penggunaan

bahasa Bali dalam ranah agama dan Adat

Kemudian, tim bergerak ke

daerah Tabanan dan sekitarnya, yaitu di

sekitaran desa Tunjuk, dan Susut untuk

melihat penggunaan bahasa Bali baik itu di

ranah keluarga, tetangga maupun agama.

Makan siang: Rp. 55.000,-

Makan malam: Rp. 60.000,-

Snack dan Minuman: Rp.

20.500,-

Fotokopi dan Jilid Bahan

Pustaka: Rp. 163.100,-

16. 3- 11 Agustus

2015

Transkripsi dan Analisis data awal baik itu data dari

bahasa Sasak maupun Bali

Fotokopi dan Jilid Bahan

Pustaka: Rp. 296.500,-

Pendaftaran SENASTEK:

Rp. 900.000,-

Honor Pembantu Peneliti:

5 x Rp. 750.000,-

= Rp. 3.750.000,-

80%

17. 12 Agustus 2015

Rapat Seluruh Tim Peneliti, membahas tentang

analisis data awal, dan penyusunan laporan

kemajuan

Snack Rapat: Rp. 90.000,-

Konsumsi Rapat: Rp.

225.000,-

Fotokopi Tabulasi dan

Analisis data awal: Rp.

137.500,-

Honor Tabulasi Data

5xRp. 450.000,-

= Rp. 2.250.000,-

80%

18. 13 – 5 September

2015

Penyusunan laporan kemajuan, catatan harian, dan

laporan penggunaan anggaran.

Print, Fotokopi, dan Jilid

laporan kemajuan awal: Rp.

137.500,-

Pajak: Rp. 1.740.000,-

80%

Page 73: Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak ......jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan

73