107

repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,
Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I

© Nurhayati, 2020

Editor: Khalilullah Desain Sampul: Tim Yasda Pustaka

Diterbitkan oleh Yasda Pustaka

(Penerbit Yayasan Darul Hikmah) Email: [email protected]

Instagram: @yasdapustaka Narahubung: 087850099453

Perpustakaan Nasional:

Katalog Dalam Terbitan (KDT) Konsep al-Miryah Perspektif Al-Qur’an,

Kajian Tafsir Maudû‘i/Nurhayati —Sumenep: Yayasan Darul Hikmah

Beluk Kenek Ambunten Sumenep, 2020 xvi + 91 hlm; 17,6 x 25 cm

ISBN: 978-623-92776-3-5

Cetakan Pertama, Februari 2020

Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

iii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nurhayati

NIM : 21170340000010

Dengan ini menyatakan bahwa tesis berjudul KONSEP AL-MIRYAH

PERSPEKTIF AL-QUR‟AN (KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I) adalah

benar-benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan

tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada

dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya

dalam tesis. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai

dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata tesis ini

sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan seperlunya.

Jakarta, 6 Februari 2020

Nurhayati

NIM 21170340000010

Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

iv

Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

v

ABSTRAK

Nurhayati, Konsep al-Miryah Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir

Maudû’i), 2020

Kajian penafsiran Al-Qur‟an melalui metode tafsir maudû‘i

memiliki perhatian yang sangat tinggi di tengah-tengah akademisi.

Tesis ini mencoba mengkaji kata al-miryah yang berarti ragu dalam

Al-Qur‟an melalui pendekatan tafsir maudû‘i, karena mengingat kata

ini disebutkan secara berulang-ulang pada ayat yang berbeda-beda.

Studi al-miryah dipandang penting dikaji karena melihat uraiannya

yang tak lepas dari realitas orang kafir yang sering meragukan ajaran

para utusan Allah pada masa dahulu. Sehingga dengannya, kata ini

seakan-akan memiliki makna yang tersirat yang perlu ditelaah secara

serius, meskipun pada tempat lain untuk menunjukkan makna keraguan

Al-Qur‟an menggunakan kata syakk, labs, raib, dan dzabdzabah.

Tesis ini menjawab pertanyaan bagaimana pemahaman lafaz al-

miryah pada ayat-ayat yang berkaitan dengan akidah? Dengan

menggunakan metode diskriptif-analitis, penulis menjawab pertanyaan

penelitian tersebut melalui pencarian data kepustakaan, khususnya

ayat-ayat yang menguraikan tentang al-miryah. Selain itu, penulis juga

mencari kitab tafsir, buku, dan artikel yang relevan dengan penelitian

ini. Selanjutnya, penulis menafsirkan data-data yang terkumpul secara

analitis menggunakan pengumpulan sejumlah unit-unit pada analisis.

Kajian ini menemukan beberapa poin: Temuan pertama,

argumentasi para pelaku al-miryah, yang meliputi argumentasi kaum

musyrikin Mekkah, argumentasi kaum Nabi Lût, dan argumentasi

kaum Nabi Îsâ. Temuan Kedua, perilaku al-miryah yang diperbuat oleh

orang kafir dan musyrik pada keyataannya dilatarbelakangi oleh

beberapa faktor, seperti kesombongan, belum memiliki pengetahuan

yang memadai, kepentingan yang bersifat individualis, dan dikuasi oleh

hawa nafsu. Temuan ketiga, tuntunan Allah yang diberikan kepada

utusan-Nya menghadapi umat mereka yang berperilaku al-miryah,

meliputi menghindari bergaul dengan pelaku al-miryah, berlapang

dada, banyak berdoa dan berikhtiar, dan mengingat tugas utama Rasul

sebagai penyampai risalah bukan pemberi hidayah.

Kata Kunci: al-Miryah, Sinonimitas, dan Tafsir

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

vi

ABSTACT

Nurhayati, The concept of al-Miryah Al-Qur’an Perspective (Study

of Maudû‘i’s Interpretation), 2020

The study of the interpretation of the Qur‟an through the method

of interpretation maudû‘i has very high attention in the midst of

academics. This thesis tries to study the word al-miryah which means

doubt in the Qur‟an through the maudû‘i's interpretation approach,

because remembering this word is mentioned repeatedly in different

verses. The study of al-miryah is seen as important because it sees the

description which cannot be separated from the reality of infidels who

often doubt the teachings of the messengers of God in the past.

Therefore, this word seems to have an implied meaning that needs to be

studied seriously, although in other places to show the meaning of the

Qur'an‟s doubt using the words syakk, labs, raib, and dzabdzabah.

This thesis answers the question how is the understanding of

word al-miryah in verses related to the creed? By using descriptive-

analytical methods, the authors answer the research questions through

searching library data, more specifically the verses that elaborate on al-

miryah. In addition, the author also looks for commentaries, books and

articles that are relevant to this research. Next, the authors interpret the

data collected analytically using the collection of a number of units in

the analysis.

This study found several points: The first finding, the arguments

of the perpetrators of al-miryah, which included the arguments of the

Meccan polytheists, the arguments of the Prophet Lût, and the

arguments of the Prophet Îsâ. The second findings, al-miryah‟s

behavior which is done by unbelievers and polytheists in the

background is motivated by several factors, such as arrogance, do not

have adequate knowledge, individualistic interests, and are dominated

by lust. The third findings, the guidance of Allah given to His

messengers to face their people who behave al-miryah, includes

avoiding associating with al-miryah actors, tolerant, praying and

endeavoring, and remembering the main task of the Apostle as the

messenger of the message is not the provider of guidance.

Key Word: al-Miryah, Synonymity, and Tafsir

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

menciptakan manusia dari tiada menjadi ada dan telah mengajarkan

mereka apa yang belum mereka ketahui. Berkat karunia-Nya, tesis yang

berjudul “Konsep al-Miryah Perspektif Al-Qur‟an (Kajian Tafsir

Maudû‘i)” ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Salawat dan salam

semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., para keluarga, dan

sahabatnya. Âmîn.

Pemilihan tesis yang berorientasi pada tafsir maudû‘i ini

merupakan cita-cita penulis pada saat memilih kuliah di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penulis telah banyak mendapatkan ilmu teknis

dan non-teknis dalam sistem rancang penulisan tafsir maudû‘i.

Sehingga, semua itu dapat mengantarkan penulis meneliti kosakata al-

miryah dalam Al-Qur‟an dengan pendekatan tafsir maudû‘i. Oleh

karena itu, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada

dosen pembimbing pertama, Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A. yang

sangat bersedia memberikan masukan tanpa batas waktu dan sangat

sabar dalam proses bimbingan.

Tak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen

pembimbing kedua Dr. Eva Nugraha, M.A. yang telah membuat

penulis lebih mengerti dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih tak

terhingga pula penulis haturkan kepada seluruh dosen penguji tesis,

Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A. dan Dr. Mafri Amir, M.A. Demikian

pula, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Bustamin,

M.Si., selaku ketua penguji, dan Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag., sebagai

sekretaris penguji. Sungguh karena masukan dan bantuan para dosen,

penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada seluruh

dosen yang telah menerima penulis menimba ilmu di kampus UIN

Syarif Hidayatullah, beserta seluruh pihak yang terlibat, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Lebih dari itu, penulis selalu

bersyukur dan berterima kasih atas support dan doa orangtua, sehingga

segala kesulitan menjadi mudah, serta segala keinginan dan cita-cita

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

viii

menjadi tercapai. Hal yang dapat penulis petik adalah bahwa penulisan

tesis ini dapat membangun mental penulis menghargai proses dan

waktu, sehingga segala keinginan akan indah pada waktunya.

Semoga kehadiran tesis ini memberikan manfaat, baik kepada

penulis sendiri maupun kepada para pembaca. Sebagai karya manusia,

tesis ini pasti memiliki banyak kekurangan. Segala kritikan dan

masukan sangat diharapkan untuk dijadikan perbaikan di hari

kemudian. Terima kasih. Selamat membaca!

Jakarta, 6 Februari 2020

Nurhayati

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ............................................................................. iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................... v

KATA PENGANTAR.................................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................. ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .......................... xii

DAFTAR TABEL .......................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1

B. Identifikasi Masalah .................................................. 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................ 6

D. Tujuan Penelitian ...................................................... 6

E. Manfaat Penelitian .................................................... 6

F. Kajian Pustaka .......................................................... 7

G. Metode Penelitian ..................................................... 9

H. Sistematika Penulisan ............................................... 10

BAB II DISKURSUS SEPUTAR AL-MIRYAH

A. Pengertian al-Miryah ................................................ 13

B. Derivasi Kata al-Miryah............................................ 16

C. Daftar Ayat-Ayat al-Miryah berdasarkan Tartib

Nuzuli ....................................................................... 16

D. Sinonimitas Kata al-Miryah ...................................... 20

E. Perbedaan al-Miryah dengan al-Syakk dan Raib ........ 23

F. Urgensi Mengetahui al-Miryah ................................. 23

BAB III PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-MIRYAH FASE

MEKKAH DAN MADINAH SERTA

LASIFIKASINYA

A. Penafsiran Ayat-Ayat al-Miryah Fase Mekkah .......... 27

1. Keingkaran dan Keraguan terhadap Para

Nabi sebagai Pembawa Peringatan ..................... 28

2. Larangan Meragukan dan Memperdebatkan

Kenabian Muhammad Saw. Disertai Perintah

Meyakini Kesesatan Penyembahan Kaum

Musyrikin Mekkah ............................................. 34

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

x

3. Keraguan Kaum Nabi Lût as terhadap Azab

yang Dibawa Para Malaikat ................................ 43

4. Larangan Meragukan Al-Qur‟an sebagai

Pembeda antara Perkara yang Benar dan

yang Batil........................................................... 43

5. Golongan yang Berprilaku al-Miryah terhadap

Perkara Ghaib dan Perbedaan Sikap Mereka

dengan Golongan yang Meyakininya.................. 47

6. Larangan Meragukan Perkara Ghaib yang Ada

Landasan Nasnya ............................................... 52

7. Larangan Meragukan Perkara Ghaib yang Tidak

Ada Landasan Nasnya dan Perintah agar

Berdiskusi tentang Perkara Nyata ....................... 57

8. Larangan Meragukan Al-Qur‟an sebagai

Petunjuk ............................................................. 60

B. Penafsiran Ayat-Ayat al-Miryah Fase Madinah ......... 65

1. Larangan Meragukan Kebenaran dari Tuhan

terkait Pengetahuan Ahli Kitab ........................... 66

2. Larangan Meragukan Kebenaran dari Tuhan

terkait Geneologis Îsâ Ibn Maryam ..................... 69

3. Orang Kafir yang Berprilaku al-Miryah

terhadap Al-Qur‟an dan Sifat Mereka akan

Kekal hingga Hari Kiamat .................................. 71

BAB IV RUANG LINGKUP AL-MIRYAH DALAM

TINJAUAN

A. Argumentasi Para Pelaku al-Miryah .......................... 73

1. Argumentasi Kaum Musyrikin Mekkah .............. 74

2. Argumentasi Kaum Nabi Lût ............................. 78

3. Argumentasi Kaum Nabi Îsâ .............................. 78

B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Berperilaku

al-Miryah .................................................................. 79

1. Tidak Memiliki Ilmu .......................................... 79

2. Demi Kepentingan yang Bersifat Duniawi.......... 80

3. Hanya Mengikuti Hawa Nafsu ........................... 80

4. Kesombongan atas Kemampuan yang Dimiliki .. 80

5. Terperangkap dalam Kesesatan .......................... 81

6. Mengikuti Prasangka Negatif ............................. 81

7. Belum Memiliki Pengetahuan yang Matang ....... 81

8. Melampaui Batas ............................................... 82

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

xi

9. Gemar Berdusta ................................................. 82

10. Meragukan Pertemuan Manusia dengan Tuhan .. 83

C. Tuntunan Allah kepada Para Nabi Menghadapi

Perilaku al-Miryah .................................................... 83

1. Berpaling dari Orang Kafir ................................. 83

2. Memberikan Kebebasan Memilih ....................... 83

3. Tidak Bersedih Hati ........................................... 83

4. Tidak Terpesona dengan Kenikmatan Hidup

Orang Kafir ........................................................ 84

5. Bertasbih dan Bermunajat kepada Allah ............. 84

6. Tidak Berhenti Menyembah Allah ...................... 84

7. Mengingatkan akan Pedihnya Azab .................... 84

8. Mengingat Tugas Utama Nabi sebagai Pemberi

Peringatan .......................................................... 84

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan ............................................................... 85

2. Saran......................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 87

PROFIL PENULIS ........................................................................ 91

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara

latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ث

ts te dan es ث

j je ج

h h dengan garis bawah ح

kh ka dan ha ر

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis di bawah ص

d de dengan garis di bawah ض

t te dengan garis di bawah ط

z zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ى

w we و

h ha ه

apostrof ‟ ء

y ye ي

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

xiii

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri

dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i ي…

au a dan u و…

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di ـآ

atas

î i dengan topi di ـي

atas

û u dengan topi di ـو

atas

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan

dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-

dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang

diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf

yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang

diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak

ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

xiv

6. Tâ’ Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tâ’ marbûtah terdapat

pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga

berlaku jika tâ’ marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat

contoh 2). Namun, jika huruf tâ’ marbûtah tersebut diikuti kata benda

(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat

contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

يقةطر 1 Tarîqah

al-jâmî‟ah al-islâmiyyah الجاهعت اإلسالهیت 2

wahdat al-wujûd وددة الوجود 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,

dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan

mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia

(EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal

nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri

didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital

tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-

Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf

cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul

buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih

aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî;

Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf

(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih

aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman

pada ketentuan-ketentuan di atas:

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

xv

Kata Arab Alih Aksara

dzahaba al-ustâdzu ذ ھ ة األ ست اذ

tsabata al-ajru ث ب ج األ جر

م ت الع صر ی ت al-harakah al-„asriyyah ال ذر

د أ ى ال إ له إ ال هلل asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشھ

ال خ ل ل الص وال ن ا ه Maulânâ Malik al-Sâlih ه

م ن هلل ث ر yu‟atstsirukum Allâh ی ؤ

al-mazâhir al-„aqliyyah الوظ اھ ر الع قل ی ت

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri

mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak

perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis

Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman,

bukan Fadl al-Rahmân.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel I Kata al-Miryah dan Derivasinya Berdasarkan

Ayat-Ayat Makkiyyah ................................................... 16

Tabel II Kata al-Miryah dan Derivasinya Berdasarkan

Ayat-Ayat Madaniyyah ................................................. 19

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Marad adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan akal atau jiwa

seseorang. Penyakit akal yang berupa ketidaktahuan mengantarkan

penderitanya pada keraguan dan kebimbangan. Keraguan dan

kebimbangan ini muncul karena orang yang bimbang dan ragu tidak

menemukan kesimpulan yang pasti dan tidak yakin terhadap sesuatu,

karena ia tidak memiliki ilmu yang dapat membedakan yang hak dan

yang batil. Karena itu, orang-orang yang ragu dengan jenis apapun

dikatakan sebagai orang-orang yang belum beriman. Al-Qur‟an melarang

manusia berada dalam keraguan dengan perintah untuk mencari ilmu,

yang berujung pada satu tujuan yang pasti. (QS. al-Najm: 42).

Ilmu harus dapat mengungkap rahasia kebenaran Sang Pencipta,

yang pada akhirnya mengantarkan kepada keimanan yang berkualitas dan

ketundukan totalitas (QS. Fussilat: 53 dan QS. al-Hajj:54). Bukan

keimanan yang setengah-setengah. Bahkan, Allah Swt. memerintahkan

kita untuk menjadi orang-orang yang yakin (QS. al-Dukhân: 7-9).

Dari paparan di atas jelas keraguan menunjukkan sikap ketiadaan

ilmu dan keraguan ini termasuk dalam kategori marad, sehingga harus

segera disembuhkan dengan mencari keyakinan, bukan bersikap malas

pada sebuah ketidakpastian dan bersikap acuh terhadap hal-hal yang harus

diyakini. Namun, berbeda dengan pandangan sebagian ulama, seperti

Muhammad Quraish Shihab yang masih membolehkan sifat keraguan

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

2

dengan jenis al-syakk. Ia mengatakan bahwa ragu jenis al-syakk masih

diperbolehkan, karena sikap seperti ini akan mendorong berpikir positif

dan rasa ingin tahu seseorang.

Senada dengan Quraish Shihab yang membolehkan keraguan jenis

al-syakk, seorang sufi sekaligus filsuf al-Ghazâlî juga menggunakan

keraguan sebagai alat untuk menemukan kebenaran mutlak. Bila dilihat

secara struktur-esensial, dari gerak keraguan yang digunakan al-Ghazâlî

mencakup: Pertama, keraguan terhadap pengetahuan emperik (panca

indera) dan, kedua, keraguan terhadap pengetahuan intelektual primer

(akal).1 Ada juga golongan lain yang menggunakan keraguan atau skeptis

dengan tujuan sebagai metode saja, bukan mencari kebenaran mutlak.

Mereka adalah kaum shopis.2

Bagaimanakah jika semua jenis keraguan masuk ke dalam kategori

marad atau penyakit, yang mana sifat ini merupakan sifat orang kafir,

sebagaimana firman Allah Swt:

ه مرضا ولهم عذاب أليم بما كانوا بهم مرض فزادهم الل يكذبون في قلوDalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya;

dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

(QS. al-Baqarah: 10).

Dari pemahaman ayat ini, jelas bahwa marad adalah sifat orang

kafir yang akan membawa mereka kepada azab yang pedih. Sifat ini tentu

tidak boleh dimiliki oleh orang mukmin yang menginginkan kenikmatan

surgawi. Pembolehan sifat ragu dengan jenis apapun berarti pembolehan

memiliki sifat-sifat orang kafir. Namun, di sisi lain keraguan dapat

memberi manfaat terhadap penemuan kebenaran, seperti perjalanan orang

yang mencari agama menurut keyakinannya, sehingga mengantarkannya

kepada keyakinan dan ketenangan. Keraguan juga banyak memberikan

manfaat pada disiplin ilmu filsafat. Berdasarkan persoalan tersebut

penulis merasa perlu untuk melihat bagaimana konsep Al-Qur‟an

mengenai keraguan yang ditunjukkan oleh sifat al-miryah ini?

1 Asrori, “Fungsi akal dalam Tasawuf al-Ghazali,” Tesis, Fakultas Ushuluddin,

Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018, h. 40 2 Sofis diartikan dengan seseorang yang menipu orang lain dengan

mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Sofis adalah nama yang

diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup dan berkarya pada zaman yang sama

dengan Sokrates. Meskipun sezaman, kaum sofis dipandang sebagai penutup era filsafat

pra-sokratik karena Sokrates akan membawa perubahan besar di dalam filsafat Yunani.

Lihat, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta:

Penerbit Kanisisus, 1999), h. 83.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

3

Bagaimana batasan penggunaan sifat ragu yang ditunjukkan oleh

lafaz al-miryah? Apakah sifat ini dilarang atau bahkan bisa disamakan

dengan al-syakk? Bagaimana dampak sinonimitas lafaz al-syakk dengan

al-miryah? Salah satu dari dua lafaz tersebut masih dibolehkan, sementara

kajian lafaz-lafaz al-miryah dan derivasinya secara keseluruhan bercerita

tentang keraguan dan pembangkangan umat-umat terdahulu. Sehingga,

mereka sering menerima azab Allah Swt. seperti kisahnya kaum Nabi

Lût, kaum Nabi Îsâ dan kaum Nabi Mûsâ.

Salah satu kewajiban kita sebagai muslim adalah meyakini

sakralitas petunjuk Al-Qur‟an dan segala informasi yang terkandung di

dalamnya. Untuk selanjutnya kita jadikan panduan dalam berbagai

macam persoalan yang muncul. Al-Qur‟an merupakan kitab terakhir yang

menjadi petunjuk hidup manusia. Sebab, tidak akan ada lagi kitab-kitab

samawi yang akan diturunkan ke bumi. Hal ini juga yang dikatakan

seorang sahabat Hasan, bahwa Al-Qur‟an menjadi tanda datangnya

Kiamat atau tanda akan berakhirnya kehidupan manusia di dunia.3

Sebagai kitab terakhir sudah tentu Al-Qur‟an menjadi petunjuk

hidup manusia yang sempurna. Kesempurnaan itu terlihat dari berbagai

sisi. Salah satu contohnya adalah kesempurnaan yang tampak dari sisi

kebahasaannya. Pilihan kosa kata Al-Qur‟an menunjukkan bahwa lafaz-

lafaz tersebut bersifat mufassalan atau memerinci4 dan mubayyinan atau

menjelaskan.5 Salah satu bukti dari kedua sifat tersebut adalah kejelasan

jenis lafaz yang menunjukkan makna “ragu”. Al-Qur‟an menggunakan

lafaz al-syakk, raib, al-miryah, labs, dzabdzabah untuk menguraikan

makna ragu, yang masing-masing memiliki satu atau lebih sifat khusus

yang menyertai dan membedakan masing-masing lafaz tersebut.

Perbedaan jenis lafaz dalam menguraikan makna ragu menunjukkan

bahwa tidak ada kata yang memiliki sinonim. Namun, ulama berbeda

pendapat mengenai keberadaan sinonimitas antara lafaz-lafaz yang

3 Abd al-Rahmân Jalâl al-Dîn al-Suyûti, Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-

Ma’tsûr (Bairut: Dâr al-Fikr), h. 387 4 Kata fasl berasal dari kata fasala yang berarti memperjelas salah satu dari dua

hal sampai terlihat perbedaan yang mencolok antara keduanya untuk. Baca, al-Râghib

al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Terj. Ahmad Zaini Dahlan (Mesir: Dâr

Ibnu al-Jauzi, 2017), h. 86. Tafsil bermakna menyebutkan kandungan jumlah kalimat

dengan cara memerinci kata perkata, sehingga jelas maksud dan kandungannya. Karena itulah, Al-Qur‟an disifati dengan tafsil. Lihat, Abû Hilâl al-Askarî, Al-Furûq fî al-

Lughah (t.tp.: Dâr al-Âfâq al-Jahihat, 1979), h. 49 5 Mubayyinan berasal dari kata bayyana yang bermakna menjelaskan atau

menerangkan dengan jelas. Telusuri “Bayyana”, https://www.almaany.com/11/7,

diunduh pada tanggal 09 Februari 2020.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

4

bermakna mirip. Ada yang menyetujuinya, bahkan tidak sedikit juga yang

menolaknya. Keberadaan lafaz-lafaz yang tidak memiliki kesamaan

makna tersebut menunjukkan kekayaan makna yang dikandung oleh lafaz

Al-Qur‟an. Kemukjizatan lain terlihat juga dari penggunaan fleksibilitas

lafaz, yaitu penggunaan lafaz yang sama untuk makna yang berbeda, dan

yang lebih unik lagi lafaz yang sama akan melahirkan makna berbeda bila

dirangkai dengan lafaz yang berbeda pula. Inilah yang disebut oleh

Toshihiko Izutsu dengan makna relasional. Makna relasional adalah

sesuatu yang konotatif,6 yang diberikan dan ditambahkan pada makna

yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam

bidang khusus berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata

penting lainnya dalam sistem tersebut.7

Dalam bahasa Arab kita mengenal jenis lafaz musytarak dan

mutarâdif. Musytarak adalah lafaz yang memiliki banyak arti. Sedangkan,

mutarâdif adalah keragaman lafaz yang menunjukkan satu makna saja.

Inilah yang kita sebut dengan sinonimitas. Banyak sekali para pakar

bahasa yang menolak keberadaan sinonimitas Al-Qur‟an. Salah satu dari

mereka adalah Binti Syati‟ dari kalangan mufasir kontemporer dan al-

Zarkasyî dari kalangan pakar tafsir klasik.8 Bahkan, Abû Hilâl al-Askarî,

seorang ahli dalam bidang ilmu adab dan sya‟ir menyusun sebuah buku

yang berjudul al-Furûq fî al-Lughah. Ia mengatakan: “Sesungguhnya

semenjak saya melihat jenis ilmu adab tidaklah saya menulis kitab yang

menghimpun atrafnya dan menyusun bab-babnya kecuali membicarakan

perbedaan antara makna-makna kata yang berdekatan, sehingga jelaslah

bentuk perbedaannya.”9

Adapun beberapa ahli bahasa yang menganggap adanya sinonimitas

atau persamaan makna antara lafaz al-syakk dan al-miryah, antara lain,

Ahmad Ibn Yûsuf yang mengatakan al-miryah berarti al-syakk.10

Namun,

al-Râghib al-Asfahânî telah melihat sisi perbedaan lafaz tersebut dengan

mengatakan al-miryah adalah al-syakk dalam sebuah perkara, namun kata

al-miryah lebih khusus daripada al-syakk.11

Sama halnya dengan Ahmad

6 Konotatif adalah makna kata tambahan. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca

Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), h. 361 7 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-

Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 12-13 8 Badr al-Dîn Muhammad Ibn Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî Ulûm al-

Qur’ân (Mesir: Dâr al-Turâts), h. 7 9 Al-Askarî, Al-Furûq fî al-Lughah, h. 9 10 Ahmad Ibn Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr Asyraf al-Fâz (Bairut: Âlam al-

Kutub), h. 97 11 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 495

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

5

Ibn Yûsuf, Quraish Shihab mengkhususkan bahwa pembahasan lafaz al-

miryah dalam Al-Qur‟an bermakna al-syakk.12

Berbeda dengan al-

Sya„râwî yang melihat dengan jelas perbedaan kata al-miryah dengan al-

syakk, dengan menambahkan sifat khusus yang membedakannya, yakni

lafaz jadal pada makna al-miryah tersebut. Al-miryah adalah membantah

dan ragu.13

Lafaz al-miryah memiliki makna dasar yang berbeda dengan al-

syakk. Makna dasar, menurut Toshihiko Izutsu, adalah “sesuatu yang

melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa di manapun kata itu

diletakkan.”14

Seperti halnya pendapat Ibn Faris, kata al-miryah terdiri

dari mîm, râ’ dan huruf illah yang memiliki dua makna: Pertama,

menghapus atau mengusap sesuatu. Kedua, kasar dan keras. Dengan

demikian makna lafaz al-miryah lebih jelas dan berbeda dengan al-syakk.

Al-miryah adalah keraguan yang disertai sifat keras dan penuh

perdebatan. Makna ini juga dikuatkan dengan pendapatnya Muhammad

Dâ‟ûd yang mengatakan bahwa al-miryah menunjukkan keraguan yang

disertai bantahan dan penolakan.15

Bahkan, dalam kesempatan yang

berbeda Quraish Shihab mengungkapkan perbedaan lafaz al-miryah

dengan al-syakk. Ia mengatakan bahwa keraguan jenis al-miryah adalah

keraguan yang akan melahirkan pertengkaran dan perdebatan akibat niat

buruk yang muncul dari hati yang bejat untuk mempersalahkan, meskipun

mitra bicara dalam posisi yang benar.16

Tentu saja makna ini berbeda

dengan makna al-syakk.

Adapun al-Râghib al-Asfahânî mengartikan al-syakk dengan dua

hal yang berlawanan dan disertai dengan kesamaan, ragu termasuk dalam

kategori ketidaktahuan, dan bahkan ia lebih khusus daripada tidak tahu.

Karena ketidaktahuan, terkadang muncul dari tidak adanya pengetahuan

mengenai dua hal yang bertentangan itu. Maka, setiap keraguan pasti

tidak tahu. Akan tetapi, tidak semua ketidaktahuan dapat disebut

keraguan.17

Menurut al-Râghib al-Asfahânî, orang yang ragu dengan jenis

12 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.

608 13 Mutawallî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî (Mesir: Akhbar al-Yaum, 1991), h.

6389 14 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 12-13 15 Muhammad Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah fî al-Qur’ân al- Karîm

(Mesir: Dâr Gharîb, 2008), h.275 16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Tangerang: Lentera Hati, 2002), h.355 17 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 395

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

6

al-syakk ini lebih tepat disebut dengan orang yang tak memiliki ilmu

pengetahuan.18

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mencoba

mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan tema penelitian

ini:

1. Ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan sinonimitas dalam

Al-Qur‟an.

2. Pengakuan terhadap sinonimitas pada lafaz al-syakk dan al-miryah

akan membawa pada pemahaman akidah yang salah.

3. Al-Qur‟an menguraikan makna ragu dengan lima lafaz yang

berbeda, yaitu al-syakk, raib, al-miryah, labs, dzabdzabah.

4. Pengaruh penggunaan kosakata yang bermakna keraguan dalam

pemahaman keagamaan.

5. Pengertian al-miryah yang digunakan Al-Qur‟an bercerita tentang

umat-umat yang diazab Allah.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi penelitian lafaz al-miryah ini pada ayat-ayat Al-

Qur‟an yang berkaitan dengan persoalan akidah saja.

2. Perumusan Masalah

Pada penelitian kali ini penulis membuat rumusan masalah dengan

pertanyaan: “Bagaimana pemahaman lafaz al-miryah pada ayat-ayat yang

berkaitan dengan akidah?”

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pemahaman lafaz al-miryah pada ayat-ayat yang berkaitan dengan akidah.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah khazanah pengetahuan tafsir maudû’î yang berkaitan

tentang kajian lafaz

2. Menjadikan hasil penelitian ini sebagai dasar teori kajian pada

perkembangan penelitian-penelitian selanjutnya

18 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h. 277

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

7

F. Kajian Pustaka

Berdasarkan penelusuran penulis, banyak sekali penelitian yang

membahas masalah sinonimitas lafaz-lafaz bahasa Arab Al-Qur‟an. Di

antara penelitian yang telah penulis baca meliputi: Pertama, “Keraguan

terhadap Keaslian Al-Qur‟an” yang ditulis oleh Ahmad Sanusi Azmi

tahun 2012. Jurnal ini memuat teori informan yang berasal dari kajian

orientalis terhadap berbagai manuskrip serta sumber-sumber Islam.

Adapun pembentukan teori ini diambil dari pola interaksi melalui

percakapan Rasulullah Saw. dengan Kaum Yahudi dan Nashrani, baik

secara langsung maupun tidak langsung, yang terekam oleh Al-Qur‟an.

Kedua, “Sinonimitas dalam Al-Qur‟an, Studi atas Lafaz al-Syakk

dan Raib” karya Ariefa Hudi Fahmi, dari kampus Universitas Sunan

Kalijaga Yogyakarta tahun 2015. Skripsi ini membahas sinonimitas Al-

Qur‟an menggunakan pendekatan lingusitik dan analisa sintagmatik dan

paradigmatik. Berdasarkan analisis sintagmatis, terhadap kata al-syakk

didapatkan kata murîb, syubbiha, mâ lahum bihi min ilm, zhann, mâ

qatalûhu yaqînan. Sedangkan, hasil dari analisis paradigmatik terhadap

kata al-syakk didapatkan kata zhann, taraddud dan yaqîn. Adapun analisis

sintagmatis terhadap lafaz raib didapatkan kata al-syakk, zhann, dan

taraddud. Kemudian, dari hasil analisis parakdigmatik terhadap kata raib

didapatkan kata al-qalaq, al-idtirab, al-azam, al-tuma’ninah.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Rumzah berjudul “Teori

Asinonimitas (Lâ Tarâdufa fî Alfâz al-Qur’ân), Studi terhadap Pemikiran

Âisyah Abd al-Rahmân Binti al-Syâti‟”, tahun 2015. Penelitian ini berisi

tentang teori asinonimitas yang terbentuk dari salah satu metode

penafsiran Bintu al-Syâti‟, yakni al-Istiqrâ’u al-Lafz al-Qur’ân fî Kulli

Mawâdi‘i Warûdihi. Penulis skripsi ini melakukan pengaplikasian teori

asinonimitas terhadap lafaz-lafaz yang tampak sinonimnya dalam kitab

Tafsîr al-Bayân, serta menjelaskan implikasi teori asinonimitas Bintu al-

Syâti‟ terhadap penafsiran Al-Qur‟an

Keempat, “Yakin dan Ragu dalam Al-Qur‟an” karya Luluk

Maslakhatul Kurnia dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, tahun

2017. Skripsi ini mengkaji dua kata antonim. Sedangkan, ragu dibatasi

hanya pada dua kata: raib dan al-syakk. Skripsi ini membahas dua kata

antonim tersebut menggunakan metode al-Farmawî yang menghasilkan

konsep ragu berupa dampak-dampak positif dalam persfektif Al-Qur‟an.

Di antaranya yaitu menambah keimanan, selalu berpikir cermat, hati

tenang dan tenteram, serta mendapatkan petunjuk dan rahmat dari Allah

Swt. Kemudian hal-hal untuk menuju keyakinan di antaranya berfikir

tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang mempunyai ilmu pengetahuan,

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

8

banyak berzikir, banyak beramal, dan mengetahui hari Kebangkitan.

Selanjutnya, dampak-dampak berpikir ragu adalah tidak mendapatkan

kepastian. Kategori orang yang merugi yaitu malas berfikir, kurang

totalitas dalam melaksanakan perintah Allah, dan diliputi dugaan dan

prasangka yang buruk. Sedangkan, penyebab keraguan tersendiri adalah

kurangnya pengetahuan, kurangnya bersyukur, melakukan perbuatan

tercela, dan terlena dengan kehidupan dunia.

Kelima, “Sinonimitas dalam Al-Qur‟an, Analisis Semantik Lafaz

Khauf dan Khasyyah” Karya Muhammad Nabihul Janan tahun 2017, dari

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Skripsi ini mengkaji

tentang hubungan kata pada lafaz khauf dan khasyyah ditinjau dari medan

semantik, beserta kontekstualisasi lafaz khauf dan khasyah. Tujuan

penelitian ini adalah menemukan sinonimitas pada dua kata tersebut.

Keenam, “Tingkat-tingkat Keyakinan Ilmu dalam Islam” karya

Moh. Syahmir Alias, tahun 2017. Jurnal ini mengupas tentang tingkat-

tingkat kepositifan keyakinan ilmu, tingkat-tingkat kenegatifan keyakinan

ilmu, dan konsep nilai yang terdapat pada tingkat keyakinan ilmu.

Adapun tingkatan kenegatifan ilmu berurutan: zhann, al-syakk, syubbih,

dan raib.

Ketujuh, “Studi tentang Tarâduf dalam Al-Qur‟an, Kajian tentang

Kata Khalaqa-Ja’ala dan Khauf-Khasyyah”, tahun 2019. Kajian ini

merupakan kajian sinonimitas dalam Al-Qur‟an dari hasil kajian ini

ditemukan bahwa kata khalaqa lebih banyak digunakan untuk makna

menciptakan langit dan bumi. Kata ini juga menunjukkan unsur sistem

penciptaan yang sangat rapi, sedangkan lafaz ja’ala adalah menjadikan

sesuatu dari bahan-bahan yang sudah ada.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, ada banyak lafaz yang

digunakan untuk mengungkapkan makna “ragu” seperti al-miryah yang

memiliki perbedaan makna dengan lafaz al-syakk dan raib. Oleh sebab

itu, penulis tidak menyetujui keberadaan sinonimitas lafaz dalam Al-

Qur‟an, karena perbedaan tersebut tidak hanya bentuk lafaznya saja,

namun juga memiliki konsekuensi yang serius. Sebab, al-syakk pada

kenyataannya masih diperbolehkan oleh sebagian ulama. Penyamaan dua

lafaz tersebut, al-syakk dan al-miryah, memiliki dampak pada status

manusia, apakah ia masuk ke dalam golongan mukmin atau kafir.

Maka dari itu, penulis merasa perlu menghadirkan penelitian

tentang “konsep al-miryah dalam persfektif Al-Qur‟an” untuk

menemukan makna ragu pada kata al-miryah secara objektif. Dengan

demikian, akan diketahui apakah lafaz al-miryah memiliki kesamaan

dengan lafaz al-syakk atau tidak, sehingga kemudian dampak apakah

yang terjadi, lebih-lebih berkaitan dengan keimanan seseorang.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

9

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Data yang akan digali adalah dalam penelitian berkaitan dengan

informasi seputar konsep al-miryah dalam perspektif Al-Qur‟an. Oleh

karena itu, jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library

reseach)19

yang menggunakan pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data

Adapun sumber data primer penelitian ini adalah ayat-ayat Al-

Qur‟an, khususnya ayat-ayat yang di dalamnya terdapat lafaz al-miryah

atau ayat-ayat lain yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.

Sementara, sumber sekunder dari penelitian ini adalah kitab-kitab tafsir,

jurnal, dan beberapa literatur terkait. Sumber sekunder digunakan untuk

mendukung penelitian penulis atau untuk membantu penulis dalam

memahami ayat-ayat, khususnya yang memiliki asbâb al-nuzûl.

Maka, untuk sumber sekunder penulis merujuk kepada kitab-kitab

tafsir, baik tafsir klasik maupun tafsir kontemporer. Kemudian, sumber

lain yang akan digunakan oleh penulis dalam memahami ayat–ayat yang

berkaitan dengan tema penelitian ini adalah hadis dan buku-buku atau

tulisan yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.

3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

metode tematik (maudu’î) yang digagas oleh al-Farmâwî20

, sedangkan

langkah-langkah metode tematik tersebut adalah sebagai berikut:

a. Menetapkan masalah yang akan dibahas.

b. Mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang

akan dibahas, sekaligus mengelompokkan ayat-ayat tersebut ke

dalam Makkiyyah dan Madaniyyah.

c. Menyusun ayat-ayat tersebut berdasarkan tertib nuzûlnya, dan

urutan-urutan ayat bila terdapat beberapa ayat dalam satu surah

yang sedang dibahasnya disertai pengetahuan tentang asbâb al-

nuzûlnya.

19

Studi Pustaka adalah mempelajari berbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis dan berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai

masalah yang akan diteliti. Untuk lebih jelasnya, baca Jonathan Sarwono, Penelitian

Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 111 20 Abd al-Hayyi al-Farmawî, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû’î (Kairo: Sina li

al-Nasyr, 1994), h. 61-62

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

10

d. Memperhatikan korelasi (munâsabah) antar ayat-ayat dalam

masing-masing surah.

e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).

f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis sesuai pembahasan

jika diperlukan hingga kerangka pembahasan menjadi sempurna.

g. Pelajari ayat-ayat itu secara keseluruhan dengan memperhatikan

pengertian yang sama atau berlawanan, mengkompromikan yang

am dan yang khash, mutlaq dan muqayyad, dan menetapkan mana

yang nâsikh dan mana yang mansûkh hingga lahirlah sebuah konsep

tanpa ada semacam pemaksaan dalam pemberian arti.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan langkah-langkah penulisan dalam

penelitian agar sistematis, memiliki keterkaitan antara pembahasan

pertama dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab–bab

selanjutnya, hingga menghasilkan kesimpulan dari penelitian tersebut.

Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang menggambarkan arah

penelitian. Di dalamnya dijelaskan tentang latar belakang masalah

penelitian sebagai standar penelitian. Lalu dilanjutkan dengan identifikasi

masalah, pembatasan dan perumusan masalah sebagai fokus terhadap

penelitian. Kemudian, penjabaran tujuan dan kegunaan penelitian agar

lebih terlihat jelas manfaat penelitian. Kajian keperpustakaan terdahulu

yang relevan dijadikan sebagai bahan pembanding dan sekaligus

menjelaskan kedudukan penelitian yang akan dilakukan ini. Dalam bab

ini menjelaskan tentang golongan ulama yang menyetujui dan menolak

sinonimitas al-syakk dan al-miryah serta memberikan gambaran

konsekuensi dari sinonimitas kedua lafaz tersebut.

Bab kedua untuk mendapatkan gambaran utuh tentang definisi al-

miryah, maka akan dipaparkan tentang pengertian al-miryah, derivasi

lafaz al-miryah, sinonimitas al-miryah, perbedaan al-miryah dengan al-

syakk dan raib, dan lampiran ayat-ayat al-miryah berdasarkan tartîb

nuzûlnya.

Bab ketiga akan dijelaskan penafsiran al-miryah, yang dibagi

menjadi Makkiyyah dan Madaniyyah. Adapun penafsiran ayat-ayat al-

miryah fase Makkiyyah meliputi: keraguan terhadap para nabi sebagai

pembawa peringatan, larangan meragukan kenabian Muhammad Saw.,

perintah menyakini kesesatan kaum musyrikin Mekkah, keraguan kaum

Lût terhadap azab yang dibawa malaikat, larangan meragukan Al-Qur‟an

sebagai pembeda antara perkara yang benar dan yang batil, golongan

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

11

orang yang berperilaku al-miryah terhadap perkara ghaib dan perbedaan

sikap mereka yang menyakininya, larangan meragukan kehadiran Îsâ Ibn

Mayam sebagai tanda Kiamat, larangan meragukan azab akhirat, larangan

memperdebatkan perkara ghaib yang tidak ada landasan nasnya dan

perintah berdiskusi tentang perkara nyata, dan ditutup dengan larangan

meragukan Al-Qur‟an sebagai petunjuk.

Bab keempat sebagai hasil dari penelitian lafaz al-miryah dan

derivasinya. Pada bab ini akan dikelompokkan ruang lingkup pembahasan

al-miryah menjadi tiga pembahasan: Pertama, argumentasi para pelaku

al-miryah yang meliputi argumentasi kaum musyrikin Mekkah,

argumentasi kaum Nabi Lût, dan argumentasi kaum Nabi Îsa. Kedua,

faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku al-miryah. Ketiga, Tuntunan

Allah kepada para nabi dalam menghadapi para pelaku al-miryah.

Bab lima adalah penutup yang berisi kesimpulan yang merupakan

jawaban dari rumusan masalah penelitian dan diakhiri dengan saran-saran

dari penulis terhadap peneliti-peneliti berikutnya.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

12

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

13

13

BAB II

DISKURSUS SEPUTAR AL-MIRYAH

A. Pengertian al-Miryah

Para ahli bahasa pada umumnya belum membedakan antara lafaz

al-miryah dengan al-syakk. Kebanyakan mereka hanya mendefinisikan

al-miryah sama dengan al-syakk. Bahkan, seorang pakar bahasa Al-

Qur‟an al-Râghib al-Asfahânî hampir tidak membedakan makna al-

miryah secara khusus seperti ungkapannya, “Al-Miryah adalah al-syakk

dalam sebuah perkara. Namun, ia lebih khusus daripada al-syakk.”1

Demikian juga, Ahmad Ibn Yûsuf yang akrab dengan panggilan

Samyan al-Halbi menyebutkan, bahwa al-miryah adalah al-syakk.2

Namun, penulis mendapatkan bahwa penyamaan antara al-syakk dan al-

miryah akan memberikan dampak negatif pada akidah orang Islam,

manakala pada satu sisi al-syakk masih diperbolehkan.3 Di samping itu,

terdapat lafaz yang menunjukkan larangan bersikap al-miryah yang dapat

ditelusuri melalui ayat-ayat yang mengandung pembahasan al-miryah.

Dari beberapa indikasi ini penulis secara komprehensif menggali

konsep al-miryah, walaupun dirasa sedikit terhambat oleh beberapa kitab-

kitab kamus yang sangat jarang sekali mengupas tuntas tentang lafaz ini.

1 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 495 2 Ibn Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr..., h. 98 3 Pembolehan ragu yang berjenis al-syakk ini dikemukakan oleh Quraish Shihab

dalam kitab tafsirnya ketika membahas QS. al-Baqarah: 2

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

14

Dari bantuan beberapa kitab tafsir, penulis menemukan beberapa

uraian mengenai konsep al-miryah ini.

1. Secara Etimologi

Ibnu Faris menyebutkan bahwa kata yang terdiri dari rangkaian

huruf mîm, râ’, dan huruf illah, memiliki dua makna asal, yaitu mengusap

atau menghapus sesuatu (mashu syai’in) dan sesuatu yang kasar dan keras

(salabatun fî syai’in).4 Untuk arti yang pertama contohnya maryun al-

nâqah, yakni mengusap susu unta sebelum diperah.5 Selain dua makna

ini, rangkaian huruf mîm, râ’, dan huruf illah itu memiliki arti yang lain,

yakni al-marwu yakni tempat berbatu yang keras dan berkilat.6 Sehingga,

dapat disimpulkan bahwa al-miryah memiliki unsur makna “kasar dan

keras.”

Dari kata al-marwu lahir kata al-mirâ’ yang berarti perdebatan,

karena di dalam perdebatan itu terdapat sekian perkataan atau ucapan

yang kasar dan keras.7 Dalam Kamus al-Munawwir disebutkan kata al-

miryah dan al-mirâ’ memiliki makna perbantahan dan perdebatan,8 atau

keraguan dan kebimbangan. Al-Miryah juga dipahami dengan makna

perdebatan oleh al-Syawkânî. Sebagaimana ungkapan al-Syawkânî,

bahwa “yamtarûn adalah yakhtalifûn (bersilang pendapat). Akar katanya

adalah kata al-mumârah atau kata al-miryah (perdebatan).”9

Al-Miryah merupakan kata benda yang berasal dari marî, yamrî,

maryan,10

yang menurut para ahli bahasa dan pakar tafsir mengandung

dua arti: 1- Dua hal yang berlawanan. Makna ini ditemukan pada surah

al-Hajj ayat 55 dan surah Hûd ayat 109. 2- Al-Imtirâ’ wa al-mumârah wa

al-muhâjah fîmâ fîhi miryah.11

Makna tersebut ditemukan pada surah

Maryam ayat 34 dan surah al-Najm ayat 12, surah al-Kahfi ayat 22, dan

surah al-Syûrâ ayat 18.

Di dalam berbagai bentuk dan derivasinya, kata ini terulang 20 kali

di dalam Al-Qur‟an. Sedangkan, khusus kata al-miryah terulang sebanyak

lima kali, yaitu pada QS. Hûd: 17 dan 109, QS. al-Hajj: 55, QS. al-

Sajadah: 23, QS. Fussilat: 54, dan QS. al-Kahfi: 22.

4 Abu al-Husain Ahmad Ibn Fâris Ibn Zakaria, Mu’jam al-Muqayyis al-Lughah

(t.tp.: Dâr Al Fikr, t.t.), h. 314 5 Zakaria, Mu’jam al-Muqayyis al-Lughah, h. 314 6 Zakaria, Mu’jam al-Muqayyis al-Lughah, h. 314

7 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 607-608 8 Anonim, Qâmus al-Munawwir Arabi Indûnîsî, h. 1330 9 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 56 10 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 607-608 11 Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr..., h. 98

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

15

Sehingga, secara etimologi makna al-miryah adalah dua hal yang

bertentangan (atau yang disebut dengan al-syakk) yang terdapat dalam

diri seseorang sehingga membawanya kepada perdebatan. Perdebatan

yang dimaksud di sini adalah perdebatan yang menggunakan lafaz al-

jahdu yang memiliki makna, bahwa mengingkari sesuatu yang dapat

disaksikan oleh panca indera atau mengingkari sesuatu yang diyakini.12

2. Secara Terminologi

Menurut Quraish Shihab, bahwa al-miryah adalah keraguan yang

mendorong seseorang untuk melakukan pertengkaran, curiga, dan

membantah secara membabi-buta tanpa dasar.13

Di dalam kata al-miryah

terdapat beberapa unsur makna yang dapat diperhatikan, yaitu dua hal

yang bertentangan, kekerasan, dan perdebatan. Dengan demikian al-

miryah adalah dua hal yang bertentangan di dalam hati seseorang yang

mendorong pelakunya melakukan perdebatan yang keras untuk

menunjukkan penolakannya,14

baik itu dilakukan untuk berdebat karena

meragukan kebatilan,15

berdebat meragukan kebenaran,16

maupun

berdebat dan membela ketidakjelasan atau hal-hal yang masih samar.17

Dalam ilmu psikologi keadaan itu dinamakan dengan konflik psikis,

sebuah dorongan18

pada diri seorang manusia yang saling bertentangan.19

Bertentangan yang dimaksud di sini adalah salah satu dorongannya

menarik ke arah kebenaran, dan satu lagi dorongannya menarik ke arah

kesesatan.

Dorongan-dorongan dalam jiwanya tersebut menimbulkan perasaan

ragu dan resah, maka jika akibat keraguannya dan keresahannya itu ia tak

mampu mengambil keputusan ke arah mana yang ia harus berlabuh, maka

Al-Qur‟an melukiskannya dengan lafaz al-syakk, sedangkan jika akibat

keraguannya dan keresahannya itu mendorong melakukan perlawanan

dan perdebatan, maka Al-Qur‟an melukiskannya dengan lafaz al-miryah.

12 Al-Askarî, Al-Furûq fî al-Lughah, h. 37 13 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 147 14 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalaliyah..., h.275 15 Mutawallî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî (Mesir: Akhbar al-Yaum, 1991). 16 Kesimpulan ini diambil dari kata larangan berprilaku al-miryah yang terdapat

pada ruang lingkup kajian al-miryah sendiri, yakni larangan meragukan Al-Qur‟an,

kenabian Muhammad, hal-hal ghaib dan hari akhirat yang kesemuanya merupakan ayat-

ayat yang bercerita tentang akidah umat Islam. 17 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 495 18 Al-Qur‟an banyak mengungkapkan dorongan-dorongan dalam jiwa seseorang

seperti dorongan jiwa yang ia rahasiakan dan sembunyikan, namun Allah menjadikannya

tampak ke permukaan sebagaimana disebutkan dalam QS. Muhammad: 29 dan 30. 19 M. Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa (Bandung: Pustaka 1985), h. 44

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

16

B. Derivasi Kata al-Miryah

Kata al-miryah di dalam Al-Qur‟an diuraikan ke dalam enam kata

jadian (istiqâq), yaitu al-miryah yang berbentuk kata benda (ism). Bentuk

kata ini ditemukan pada QS. Hûd: 109, Hûd: 17, Fussilat: 54, al-Sajadah:

23, al-Hajj: 55.

Dari kata ini lahirlah kata tamârau sebagaimana ditemukan pada

QS. al-Qamar: 36; tatamârâ terdapat pada QS. al-Najm: 55; yamtarûn

terdapat pada QS. Maryam: 34, QS. al-Hijr: 63; tamtarûna terdapat pada

QS. al-An‟âm: 2, QS. al-Zukhrûf: 6, QS. al-Dukhân: 50. Kata tamtarûna

juga ditemukan pada QS. al-Najm: 12, al-Syûrâ: 18, al-Kahfi: 22. Semua

kata tersebut memiliki makna keraguan yang mendorong kepada

perselisihan. Seseorang yang ragu yang keraguannya mengantarkan ia

berselisih dengan maksud memperoleh pengakuan atas pendapatnya dari

lawannya dilukiskan dengan arti kata-kata tersebut. Karena upaya tersebut

mengundang kemarahan lawan, maka pelakunya dinamakan mumârî,

sedangkan jika upaya tersebut dilakukan dengan paksa atau dibuat-buat,

maka yang bersangkutan dinamai mumtarî. Bentuk jama’nya adalah

mumtarîn yang terdapat pada QS. al-An‟âm: 114, QS. al-Baqarah: 147,

QS. Yûnus 94, dan QS. Âli Imrân: 60.

C. Daftar Ayat-Ayat al-Miryah Berdasarkan Tartîb Nuzûl

Tartîb Nuzûl ini merujuk kepada kitab al-Fahrasah al-Qur’ânî yang

ditulis oleh Asraf Abd al-Ghanî al-Harrâs.20

TABEL I

KATA AL-MIRYAH DAN DERIVASINYA

BERDASARKAN AYAT-AYAT MAKKIYYAH

TN Surah Jenis

Ayat Teks Ayat

Bentuk

Lafaz

23 al-Najm: 55 Mk مارى ت بك ت مارى فبأي آلاء ر ت ت23 al-Najm: 12 Mk تمارون أفتمرونهۥ على ما يرى 37 al-Qamar: 36 Mk ولقد أنذرهم بطشتنا فتماروا

ذر بٱلن تماروا

44 Maryam: 34 Mk يم قول ذلك عيسى ابن مر مترون ي

20 Asraf Abd al-Ghanî al-Harrâs, Al-Fahrasat al-Qurâ’nî (Mesir: al-Azhar

Islamic Research Academy, 2002), h. 756-757

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

17

ذي فيه يمترون الحق ال51 Yûnus: 94 Mk ا فان كنت في شك مم

ل ـ يك فس ذين انزلنا ال الكتب من قبلك ـ يقرءون ال

بك ءك الحق من ر لقد جاين فلا تكونن من الممتر

ين الممتر

52 Hûd: 109 Mk ا يعبد ية مم فلا تك في مرا ا كم هؤلاءما يعبدون إل

ا يعبد آباؤهم من قبل وإنوهم نصيبهم غير لموف

منقوص

ية مر

52 Hûd: 17 Mk به أفمن كان على بينة من رويتلوه شاهد منه ومن قبله اب موسى إماما ورحمة كت

ولئك يؤمنون به ومن أ ار يكفر به من الأحزاب فالن

ية منه موعده فلا تك في مربك ولكن ه الحق من ر إن

اس لا يؤمنون أكثر الن

ية مر

54 al-Hijr: 63 Mk قالوا بل جئنك بما كانوامترون فيه ي

مترون ي

55 al-An‟âm: 114 Mk ه أبتغي حكما وهو أفغير الل ين الممتر

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

18

اب يكم الكت ذي أنزل إل الذين آتيناهم لا وال مفص

ل من ه منز اب يعلمون أن الكتبك بالحق فلا تكونن من ر

ين الممتر55 Al-An‟âm: 2 ذي خلقكم من طين هو ال

قضى أجلا ى وأجل ثم مسم عنده ثم مترون أنتم ت

مترون ت

61 Fussilat: 54 Mk ية من لقاء هم في مر ألا إنه بكل شيء بهم ألا إن ر

محيط

ية مر

62 al-Syûrâ: 18 Mk ذين لا يؤمنون يستعجل بها الذين آمنوا مشفقون بها وال

ها الحق ألا يعلمون أن منها واعة ذين يمارون في الس إن ال

لفي ضلال بعيد

مارون ي

63 al-Zukhrûf: 61 Mk مترن اعة فلا ت ه لعلم للس وإنبعون هذا صراط بها وات

مستقيم

مترن ت

64 al-Dukhân: 50 Mk مترون إن هذا ما كنتم به تمترون ت69 al-Kahfi: 22 Mk سيقولون ثلاثة رابعهم كلبهم

يقولون خمسة سادسهم ومار ت

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

19

يقولون كلبهم رجما بالغيب وسبعة وثامنهم كلبهم قل

تهم ما يعلمهم بي أعلم بعد را ليل فلا تمار فيهم إل ا ق إلمراء ظاهرا ولا تستفت

م أحدافيهم منه69 al-Kahfi: 22 Mk سيقولون ثلاثة رابعهم كلبهم

يقولون خمسة سادسهم ويقولون كلبهم رجما بالغيب و

سبعة وثامنهم كلبهم قل تهم ما يعلمهم بي أعلم بعد ر

ا ا إل ليل فلا تمار فيهم إل قمراء ظاهرا ولا تستفت

فيهم منهم أحد

مراء

75 al-Sajadah: 23 Mk اب فلا ولقد آتينا موسى الكتية من لقائه تكن في مر

يل لبني هدى وجعلناه إسرائ

ية مر

TABEL II

KATA AL-MIRYAH DAN DERIVASINYA

BERDASARKAN AYAT-AYAT MADANIYYAH

TN Surah Jenis

Ayat Teks Ayat

Bentuk

lafaz

1 al-Baqarah: 148 Md بك فلا تكونن الحق من رين من الممتر

الممترين

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

20

3 Âli Imran: 60 Md بك فلا تكن من الحق من رين الممتر

الممترين

22 al-Hajj: 55 Md ذين كفروا في ولا يزال الاعة ى تأتيهم الس ية منه حت مر

بغتة أو يأتيهم عذاب يوم عقيم

ية مر

D. Sinonimitas Kata al-Miryah

Kata al-Miryah memiliki kedekatan makna dengan beberapa lafaz,

di antaranya:

1. Syakk atau Syakaka

Kata syakk atau syakaka berasal dari akar kata syakka, yasyukku,

syakkan. Di dalam Al-Qur‟an kata ini terulang sebanyak 15 kali beserta

derivasinya. Dalam kamus Al-Qur‟an al-Râghib al-Asfahânî mengatakan,

al-syakk berasal dari kata syakkan, sementara jamaknya syukuk yang

berarti ragu dan bimbang. Lawan syakk (ragu) adalah yakin. Syakka juga

dipahami dengan sebuah perasaan dalam hati seseorang tentang adanya

kesetaraan dan kesamaan antara dua hal yang berlawanan21

dan tidak

yakin terhadap salah satu darinya.22

Al-Syakk menurut bahasa berlawan dengan al-yaqîn. Al-Syakk dari

segi bahasa mempunyai banyak makna, antara lain: curiga seperti curiga

kepada laki-laki dan menusuk, menikam kalau kata ini beriringan dengan

kata al-ramhu atau al-sahmu. Kadangkala al-syakk berarti lengkap. Selain

itu, al-syakk juga bisa berarti jalan atau cara sesuatu, yang berkaitan

dengan akhlak, kelompok atau golongan, jarak perjalanan, keras, baju

besi, berhubungan, melekat, atau menempel.23

Seorang pakar bahasa Al-Qur‟an al-Râghib al-Asfahânî berpendapat

bahwa (al-syakk) ragu termasuk dalam kategori ketidaktahuan, bahkan ia

lebih khusus daripada tidak tahu. Dikarenakan ketidaktahuan terkadang

muncul tidak adanya pengetahuan mengenai dua hal yang bertentangan

21 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h.275 22 Zakaria, Mu’jam al-Muqayyis al-Lughah, h. 495 23 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 948

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

21

tadi. Maka, setiap keraguan pasti tidak tahu. Akan tetapi, tidak semua

ketidaktahuan dapat disebut keraguan.24

Al-Syakk adalah pertentangan antara dua hal yang berlawanan

dengan kadar seimbang, sehingga pelaku tidak dapat memilih antara

keduanya antara pembenaran atau penolakan. Meskipun secara etimologis

kata al-syakk memiliki banyak arti, namun dalam Al-Qur‟an hanya

ditemukan satu arti saja yaitu „ragu‟. Makna tersebut dapat dilihat pada

firman Allah Swt.:

ارك علمهم في الآخرة بل هم في شك منها بل هم منها عمون بل ادSebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (ke

sana), malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih

lagi mereka buta daripadanya. (QS. al-Naml: 66)

Pada ayat ini Allah Swt. menjelaskan keraguan orang-orang kafir

tentang akhirat. Makna ragu (al-syakk) juga terdapat pada QS. al-Dukhan:

9 yang menjelaskan tentang keraguan orang-orang musyrik tentang

keesaan Allah Swt. Pengakuan mereka bahwa Allah menciptakan langit

dan bumi hanyalah ikut-ikutan kepada nenek moyang mereka tanpa

pengetahuan mereka sendiri. Selain itu, juga ditemukan dalam QS. Hûd:

110 yang menceritakan orang-orang kafir Mekkah yang menggelisahkan

terhadap Al-Qur‟an dan QS. al-Nisâ‟: 157 yang menceritakan orang-

orang yang berselisih paham tentang pembunuhan Nabi Îsâ as., sehingga

mereka ragu apakah yang dibunuh Nabi Îsâ atau bukan.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kata syakk dalam Al-

Qur‟an pada umumnya mempunyai makna keraguan, yakni keraguan

tentang keesaan Allah Swt., keraguan tentang Al-Qur‟an, dan keraguan

tentang hari Kebangkitan.

2. Raib

Lafaz raib, menurut bahasa, bermakna ragu.25

Namun, keraguan

jenis ini mengandung ketakutan dan kebencian.26

Di dalam Al-Qur‟an

kata ini terulang 24 kali beserta derivasinya. Menurut Zamakhsyarî, kata

ini berarti kegelisahan, keraguan, kebingungan. Ibn Abbâs berkata, raib

dalam Al-Qur‟an bermakna al-syakk.27

Rasulullah Saw. memerintahkan

kita agar meninggalkan keraguan sebagai terekam dalam hadisnya:

24 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 395 25 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 106 26 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h.275 27 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h.276

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

22

Dari Abû Muhammad al-Hasan Ibn Alî Ibn Abî Tâlib, cucu

Rasulullah Saw., ia berkata: “Aku telah hafal dari Rasulullah yang

bersabda: Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang

tidak meragukanmu.”

3. Dzabdzabah

Mudzabdzabîn berasal dari kata dzabdzabah yang berarti nama

suatu gerakan bagi sesuatu yang menggantung28

kemudian kata ini

diartikan menjadi keraguan dan gerakan.29

Kata ini disebutkan hanya satu

kali di dalam Al-Qur‟an. Kata ini menunjukkan adanya keraguan

sebagaimana disebutkan pada firman Allah Swt.:

لن تجد ه ف مذبذبين بين ذلك لا إلى هؤلاء ولا إلى هؤلاء ومن يضلل الل له سبيلا

Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman

atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang

beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir),

maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi

petunjuk) baginya. (QS. al-Nisâ‟: 143)

Ayat tersebut menjelaskan mereka dalam keadaan ragu terkadang

condong kepada orang-orang beriman dan terkadang condong kepada

orang-orang kafir.30

4. Labs

Kata ini merupakan bentuk masdar dari kata kerja labasa, yalbas

yang memiliki makna mencampuri dan menjadikan sesuatu samar-samar

dengan yang lain.31

Menurut al-Râghib al-Asfahânî, labs jika digunakan

dalam sebuah perkara, maka bermakna kesamaran, ketidakjelasan

kebingungan, kerancuan,32

dan ragu.33

Di dalam Al-Qur‟an kata ini

ditemukan dalam 23 ayat. Satu ayat dalam bentuk fi‘l mâdî yang terdapat

pada QS. al-An‟âm: 9, satu ayat dalam bentuk masdar (lubûs) dan

sepuluh ayat dalam bentuk isim masdar (libâs). Kata labs hanya

disebutkan satu kali yakni pada QS. Qaf: 50. Menurut Ibnu Manzûr,

bahwa arti dari labs adalah campur aduknya berbagai permasalahan,

28

Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr..., h. 98 29 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 772 30 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 772 31 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 500 32 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 402 33 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 401

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

23

sehingga tidak diketahui lagi arah dan tujuan permasalahan tersebut.34

Dengan demikian, itu dapat membuat orang menjadi ragu dan bingung.

E. Perbedaan al-Miryah dengan al-Syakk dan Raib

Beberapa perbedaan yang dapat kita temukan dari lafaz al-miryah,

al-syakk dan raib adalah sebagai berikut:

1. Al-Syakk adalah bentuk keraguan yang memiliki kadar keraguan

yang seimbang antara perasaan menolak atau menerima suatu

kebenaran.35

2. Raib adalah bentuk keraguan yang kadar penolakannya lebih

menonjol dibandingkan sikap penerimaannya terhadap suatu

kebenaran karena rasa keraguannya terhadap kebenaran disertai

dengan rasa ketakutan dan kebencian.36

3. Al-Miryah adalah bentuk keraguan yang kadar penolakannya

terhadap kebenaran lebih kuat dibanding raib, penerimaannya

terhadap kebenaran mutlak sangat lemah karena keraguan jenis ini

disertai dengan bantahan dan penolakan. Adapun ruang lingkup al-

miryah tidak hanya larangan meragukan kebenaran saja, namun

juga larangan meragukan kesesatan dan hal-hal yang masih samar.37

F. Urgensi Mengetahui al-Miryah

Untuk mengetahui urgensi mengetahui al-miryah, dibutuhkan dua

landasan yang dianggap penting, sebagai berikut:

1. Landasan Kebahasaan

Keunikan ruang lingkup lafaz al-miryah bukan hanya mencakup

larangan meragukan dan memperdebatkan kebenaran saja,38

namun juga

menjangkau larangan meragukan dan memperdebatkan kesesatan dan hal-

hal yang masih samar. Al-miryah memiliki sifat kesinambungan atau

berkelanjutan yang ditunjukkan dengan bentuk lafaz fi‘l mudâri‘ (yang

berdasarkan ayat-ayat Makkiyyah).39

Hal ini menunjukkan bahwa sifat al-

miryah akan terus ada sepanjang zaman. Keterangan ini terekam juga

dalam ayat yang turun di Madinah, yakni QS. al-Hajj: 55.

34 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 500 35

Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h. 275 36 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h. 275 37 Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr..., h. 198 38 Lihat penjelasannya di Bab 4 39 Fungsi wazan fi‘l mudâri‘ salah satunya adalah untuk menunjukkan masa yang

akan datang dan sifat yang berkesinambungan.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

24

2. Landasan Normatif

Keimanan dan kekafiran terhadap kebenaran yang datang dari Allah

Swt. merupakan sebuah pilihan masing-masing manusia, kendati setiap

individu memiliki konsekuensi atas pilihannya sendiri. Hal ini dijelaskan

dalam firman-Nya:

المين ا أعتدنا للظ بكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إن وقل الحق من رنارا أحاط بهم سرادقها وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه

راب وساءت مرتفقابئس الشDan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka

barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan

barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya

Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang

gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,

niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang

mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling

buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. al-Kahfi: 29)

Menurut al-Sya‟râwî, al-haqq dalam ayat ini adalah sesuatu yang

kuat atau kokoh. Selama itu berasal dari Allah Swt. tidak ada satupun

yang mampu mengubahnya.40

Adapun sesuatu yang kokoh dan kuat itu,

sebut Fakhr al-Râzî, adalah Islam, dan manusia diberikan pilihan untuk

mengimani al-haqq yakni agama Islam ataupun mengingkarinya.

Disebutkan juga pilihan ini dalam ayat berikut ini:

يؤمن اغوت و بالط شد من الغي فمن يكفر ن الر في الدين قد تبي لا إكراه ب ه سميع عليم ه فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والل الل

Tidak ada paksaan untuk agama (Islam); sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu

barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada

Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali

yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256)

Selain itu, terdapat sekian ayat yang melarang manusia meragukan

Al-Qur‟an dan segala hal yang terkandung di dalamnya. Adapun ayat

yang melarang meragukan Al-Qur‟an adalah:

40 Mutawalli al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya’rawi (Mesir: Akhbar al-Yaum, 1991), h.

8879

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

25

لا اب مفص ذي أنزل إليكم الكت ال ه أبتغي حكما وهو الل ذين آتيناهم أفغير والين بك بالحق فلا تكونن من الممتر ل من ر ه منز اب يعلمون أن الكت

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal

Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan

terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada

mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari

Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali

termasuk orang yang ragu-ragu. (QS. al-An‟âm: 114).

Adapun ayat yang melarang manusia meragukan apa yang

diinformasikan Al-Qur‟an berupa larangan meragukan kesesatan

golongan orang-orang yang menyembah berhala atau beribadah bukan

kepada Allah Swt.

ا كما ا يعبد هؤلاء ما يعبدون إل مم ية يعبد آباؤهم من قبل فلا تك في مروهم نصيبهم غير منقوص ا لموف وإن

Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa

yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah melainkan

sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. Dan

sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-

cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi

sedikitpun. (QS. Hud:109)

Berbeda dengan kedua pilihan tadi yakni keimanan dan kekafiran,

larangan ragu memiliki sebab yang sangat logis. Keraguan menunjukkan

sebuah sikap yang tidak memiliki ilmu. Perintah menghilangkan keraguan

adalah dengan mencari keyakinan menggunakan ilmu. Sejatinya

pencarian ilmu diharapkan dapat mengantarkan manusia meraih

kebenaran, bukan keragu-raguan yang menyebabkan malas berpikir.

Dalam agama, iman memiliki dua unsur yang pasti ada, yakni unsur

kepastian dan unsur kepercayaan.41

Karena itu, untuk menemukan

kepercayaan maka unsur kepastian harus terpenuhi secara maksimal.42

41 Purwanto, Mencari Agama Yang Benar (Jakarta: ili Y Press, 2004), h. 50 42 Purwanto, Mencari Agama Yang Benar, h. 53

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

26

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

27

27

BAB III

PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-MIRYAH

FASE MEKKAH DAN MADINAH SERTA

KLASIFIKASINYA

A. Penafsiran Ayat-Ayat al-Miryah Fase Mekkah

Al-miryah merupakan pembahasan yang berkaitan dengan pokok-

pokok akidah umat Islam.1 Adapun pembahasan ayat-ayat yang

mengandung lafaz al-miryah ini diawali dengan penafsiran ayat-ayat yang

turun di Mekkah yang disebut dengan ayat-ayat Makkiyyah.2 Tujuannya

adalah untuk mengetahui dan memahami kandungan ayat-ayat tersebut.

1 Adapun yang dimaksud akidah adalah keyakinan atau kepercayaan yang

mengikat antara jiwa makhlûk (yang diciptakan) dan Khâlik (Pencipta). Unsur paling

dominan dalam akidah adalah keyakinan yang bulat dan mutlak bahwa Allah itu Esa

(monoteisme), tidak berbilang (politeisme). Lihat, Ahsin W. al-Hafidz, Kamus Ilmiah

Al-Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2005), h. 26. Disebutkan dalam hadis sebagai berikut:

Dari Abi Hurairata ra. berkata: Pada suatu hari Rasulullah Saw. keluar menemui manusia. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki bertanya, “Wahai

Rasulullah, apa itu iman?” Rasulullah menjawab, “Iman adalah bahwa engkau

percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat, percaya kepada kitab-kitab,

percaya kepada pertemuan dengan-Nya, percaya kepada rasul-rasul-Nya, dan

percaya kepada hari Kebangkitan.” Baca, Imâm al-Nawâwî, Syarh Sahîh Muslim

(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015), h. 352-353 2 Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad

berhijrah. Lihat, Muhammad Abd al-Azîm, Mânahil al-Irfân fi Ulûm al-Qur‟ân (Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2002), h. 203

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

28

Kemudian, pembahasan dilanjutkan dengan penafsiran ayat-ayat yang

turun di Madinah, yang disebut ayat-ayat Madaniyyah.3

Sub pembahasan pada bab tiga ini terbagi menjadi delapan bagian.

Adapun pembahasannya sebagai berikut:

1. Keingkaran dan Keraguan terhadap Para Nabi sebagai

Pembawa Peringatan

Pada pembahasan ini terdapat empat bagian, yaitu: 1- keraguan

kaum musyrikin Mekkah terhadap Muhammad Saw., 2- keraguan kaum

musyrikin Mekkah terhadap kemukjizatan Muhammad Saw, 3- keraguan

kaum Nabi Lût as. terhadap peringatan, dan 4- keraguan kaum Nabi Îsâ

as. terhadap kenabiannya. Adapun pembahasannya sebagai berikut:

1.1. Keingkaran dan keraguan Kaum Musyrikin Mekkah terhadap

Kenabian Muhammad Saw.

مود فما أبقى وأطغى وث هم كانوا هم أظلم نوح من قبل إن والمؤتفكة وقومى أهوى اها ما غش مارى فغش ت بك ت ولى فبأي آلاء ر ذر الأ هذا نذير من الن

Dan kaum Tsamud. Maka, tidak seorangpun yang ditinggalkan-Nya

(hidup), dan kaum Nûh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah

orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka, dan negeri-

negeri kaum Lût yang telah dihancurkan Allah, lalu Allah

menimpakan atas negeri itu azab besar yang menimpanya. Maka,

terhadap nikmat Tuhanmu yang manakah kamu ragu-ragu? Ini

(Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan di antara

pemberi-pemberi peringatan yang terdahulu. (QS. al-Najm: 51-56).

Abû Bakr al-Asam berkata bahwa yang dimaksud kaum musyrikin

adalah siapa saja yang mengingkari risalah kenabian dan kemukjizatan.4

Kehadiran Muhammad Saw. dengan membawa risalah dan kemukjizatan

berupa peringatan dari Tuhan memiliki tujuan mulia, di antaranya, agar

manusia dapat mengambil pelajaran terhadap kisah-kisah umat terdahulu

seperti umat yang telah dihancurkan Allah, karena kedurhakaan dan

kekafiran mereka terhadap aya-ayat-Nya. Peringatan ini disampaikan

melalui lisan Nabi-Nya. Adapun kisah kehancuran umat-umat terdahulu

3 Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Nabi Saw. berhijrah.

Baca, Abd al-Azîm, Mânahil al-Irfân fi Ulûm..., h. 203 4 Abû Hafas Umar Ibn Alî Ibn Adil al-Dimasqî al-Hambalî, Al-Lubâb fî Ulum al-

Kitâb (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), h. 53

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

29

yang telah diinformasikan Al-Qur‘an adalah kehancuran kaum Tsamûd,5

kehancuran kaum Nûh,6 dan kehancuran kaum Lût.

7 Maka dari itulah,

ayat ini menerangkan bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw. menjadi

anugerah yang datang dari Allah.

Al-Tabarî dalam hal ini mengatakan, bahwa maksud ayat tersebut

adalah: ―Wahai sekalian manusia, nikmat manakah yang diberikan dari

Tuhanmu kepadamu yang kamu ragukan, yang kamu sangsikan dan yang

kamu perdebatkan?‖8 Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh

Fakhr al-Râzî.9

Al-Qur‘an diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk untuk

mewujudkan kebahagian dan menghilangkan kesengsaraan, baik di dunia

maupun di akhirat. Petunjuk tersebut mewujud ke dalam berbagai macam

peringatan sebagai rambu-rambu yang harus diwaspadai. Peringatan-

peringatan itu bahkan digambarkan Allah Swt. dengan kisah-kisah agar

manusia dapat memahaminya dengan sangat mudah. Beberapa peringatan

Allah melalui kisah Al-Qur‘an adalah ketika peristiwa isrâ‟ dan mi„râj di

mana Nabi Muhammad Saw. menerima perintah shalat. Keseluruhan ini

digambarkan kepada manusia agar manusia kembali ke jalan Allah. Inilah

hakikat kenikmatan yang paling tinggi nilainya.

1.2. Keingkaran dan Keraguan Kaum Musyrikin Mekkah terhadap

Kemukjizatan Muhammad Saw.

أفتمارونه على ما يرى Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya, maka apakah

kaum (musyrik Mekkah) hendak membantahnya tentang apa yang

telah dilihatnya? (QS. al-Najm: 12)

Kalimat afatumârûnahu memiliki dua qira‟ât. Golongan pertama

adalah Abd Allâh Ibn Mas‗ûd dan para sahabatnya serta didukung oleh

ulama Kufah. Mereka membacanya dengan harakat fathah pada huruf tâ‟,

sukûn pada huruf mîm dan tanpa huruf alif. Lalu, mereka memahaminya

dengan apakah kamu mengingkari?10

Golongan kedua adalah mayoritas

5 QS. al-Syu‘ârâ‘: 58 6 QS. al-Najm: 53 7 QS. al-Dzâriyât: 32-37

8 Ibnu Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Terj. Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2009), h. 853. 9 Muhammad al-Râzî Fakhr al-Dîn Ibn ‗Allâmah Diyâ‘ al-Dîn Umar, Tafsîr

Fakhr al-Râzî (Bairut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 26 10 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 117

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

30

ahli qira‟ât Madinah, Mekkah, Basrah, dan beberapa ulama Kufah yang

membacanya dengan harakat dammah pada huruf tâ‟ dan menambahkan

huruf alif setelah huruf mîm dengan makna apakah kamu membantahnya?

Menurut al-Tabarî, kedua bacaan ini sama-sama benar. Sedangkan, ayat

itu menguraikan, kaum musyrik Mekkah mengingkari kemukjizatan

Rasulullah Saw. yang telah diperlihatkan Allah Swt. kepada mereka pada

malam isrâ‟ mi„râj.11

Adapun kemukjizatan tersebut, menurut al-Qurtubî, adalah melihat

Tuhan.12

Pendapat al-Qurtubî ini didasarkan pada riwayat Ibn Abbâs yang

didukung oleh Abu Dzar dan sejumlah sahabat.13

Pandangan al-Qurtubî

senada dengan Quraish Shihab.14

Pada riwayat Ibnu Mas‗ûd, Âisyah dan

Qatâdah berpendapat bahwa mukjizat yang dilihat Rasulullah Saw. pada

malam isrâ‟ mi„râj adalah Jibril.15

Demikian juga pendapat yang

disampaikan oleh Fakhr al-Râzî, bahwa kemukjizatan yang dilihat dengan

ain al-yaqîn adalah Jibril.16

Dengan demikian uraian ayat ini adalah pertanyaan apakah pantas

kaum musyrikin atau siapa saja mendebat dan meragukan apa yang dilihat

Muhammad Saw. Padahal ia telah melihat Jibril dan Tuhan dengan

penglihatan ain al-yaqîn. Peristiwa irrasional isrâ‟ mi„râj Nabi

Muhammad Saw. dari Mekkah ke Bait al-Maqdis mengundang ejekan

dan penolakan kaum kafir Quraisy. Sehingga, Allah Swt. memperlihatkan

kekuasaan-Nya dengan memperlihatkan Bait al-Maqdis di hadapan

Rasulullah Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Jâbir Ibn Abd Allâh:

Dari Jâbir Ibn Abd Allâh, bahwasanya ia mendengar Rasulullah

Saw. bersabda: “Saat orang Quraisy mendustakanku, aku pun

berdiri di al-Hijr. Lantas Allah memperlihatkan kepadaku Bait al-

Maqdis. Aku pun segera menjelaskan kepada mereka mengenai

tandanya, sedangkan aku sendiri melihatnya.”17

Bentuk keraguan ini menggunakan fi„l mudâri„ yakni kata

yang menunjuk waktu yang sedang berlangsung, padahal

perist iwa ini telah sangat lama berlalu. Seolah-olah pertanyaan

11 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 118. 12 Imâm al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, Terj. Sudi Rosadi dkk (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008), h. 380 13 Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, h. 380 14

Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 413 15 Abû Alî al-Fadl Ibn al-Husain al-Tabrisî, Majma„ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur‟ân

(Bairut: Dâr al-Maktabah al-Hayâh, t.t.), h. 122 16 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 290 17 Abdul Majid al-Zandani, Ensiklopedi Iman (Jakarta: Pustaka AlKautsar 2006),

h. 320

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

31

ini diajukan tanpa batas waktu dan khitâbnya bagi siapa saja

yang meragukan kebenaran perist iwa ghaib yang dikabarkan Al-

Qur‘an.

1.3. Keraguan dan Perdebatan Kaum Lût as. terhadap Peringatan

Azab

ذر ولقد أنذرهم بطشتنا فتماروا بالنDan sesungguhnya dia (Lût) telah memperingatkan mereka akan

azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu.

(QS. al-Qomar: 36)

Menurut al-Tabarî, fatamâraw berwazan tafâ„ala dan berasal dari

kata al-miryah yang bermakna keraguan dan perdebatan. Sehingga yang

dimaksud ayat ini adalah pembangkangan yang dilakukan kaum Lût as.

terhadap peringatan yang diberikan Nabi Lût sebagaimana disebutkan

dalam Al-Qur‘an sebagai berikut:

ينولوطا إذ قال لقومه أتأتون الفاحشة ما سبقكم م بها من أحد من العالDan (Kami juga telah mengutus) Lût (kepada kaumnya). Ingatlah

tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan

perbuatan Fâhisyah itu yang belum pernah dilakukan oleh

seorangpun (di dunia ini) sebelummu? (QS. al-A‗râf: 80)

Nabi Lût as. memberikan peringatan buruknya perilaku kaumnya.

Menurut Quraish Shihab, makna fâhisyah adalah melakukan perbuatan

yang sangat buruk, yaitu homoseksual.18

Kemudian, Nabi Lût

melanjutkan peringatannya dengan menjelaskan perbuatan kotor mereka,

karena menyimpang dari fitrah manusia, mencintai sesama jenis

sebagaimana diuraikan pada ayat berikutnya: Sesungguhnya kamu

mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan

kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS.

al-A‗râf: 81)

Peringatan demi peringatan yang disampaikan oleh Nabi Lût as.

kepada kaumnya, ternyata tidak memberikan manfaat sedikitpun.

Sehingga keraguan dan bantahan mereka terhadap azab yang akan

menimpa mereka mendorong mereka tetap melakukan perbuatan keji

tersebut. Bahkan, mereka masih mengolok-olok Nabi Lût sebagai orang

yang ‗sok‘ suci, sebagaimana penjelasan ayat berikutnya: Jawab kaumnya

tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Lût dan pengikut-

18 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 161

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

32

pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang

yang berpura-pura mensucikan diri. (QS. al-A‗râf: 82)

1.4. Keraguan Kaum Nabi Îsâ as Terhadap Kenabiannya

مترون ذي فيه ي يم قول الحق ال ذلك عيسى ابن مرItulah Îsâ putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar,

yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. (QS.

Maryam: 34)

Menurut al-Sya‘râwî, kalimat yamtarûn pada ayat ini berasal dari

kata mirâ‟ yang bermakna perselisihan, perdebatan pada kebatilan.

Sehingga, pemahaman ayat ini seolah-olah Allah Swt. mengatakan

kepada golongan yang berselisih tentang Îsâ Ibn Maryam as.: Tinggalkan

pendapat–pendapat kalian yang batil itu. Ambillah dan peganglah apa

yang telah Kukabarkan kepadamu, karena itulah kebenaran yang tidak

ada kebatilan dari sisi manapun.19

Pendapat yang sama juga

dikemukakan oleh Quraish Shihab.20

Adapun pengkhabaran yang dimaksud ayat ini terkait sifat-sifat Îsâ

Ibn Maryam ditunjukkan oleh kata dzâlika. Kata tersebut menunjukkan

kepada yang disifati dengan sifat-sifat yang lalu. Demikian menurut al-

Syawkânî.21

Adapun sifat-sifat yang lalu yang dimaksud oleh ayat ini

adalah perkataan Îsâ as. bahwa ia adalah hamba Allah Swt. Inilah

merupakan sebuah kebenaran yang harus dijadikan keyakinan, bukan

perselisihan yang terjadi di kalangan Nashrani yang menganggap bahwa

Îsâ adalah putra Allah, bahkan Îsâ adalah Tuhan.22

Menurut al-Syawkânî, perselisihan tentang kenabian Îsâ Ibn

Maryam as. yang terjadi antara kaum Yahudi dan Nashrani memiliki

perbedaan sangat jauh. Adapun kaum Yahudi menganggap bahwa Îsâ as.

adalah seorang tukang sihir.23

Sementara, kaum Nashrani menganggap

bahwa Îsâ adalah putra Allah. Namun, sebut al-Syawkânî, perselisihan di

kalangan Nashrani lebih akut, sehingga menimbulkan beberapa sekte

seperti:

1. Nusturiyah menganggap bahwa Îsâ as. adalah putra Allah Swt.

19

Mutawalli al-Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi (Mesir: Islamic Research Academy,

1991). 20 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 447 21 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 55 22 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 55 23 Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayân fî Tafsîr, h. 35

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

33

2. Golongan Malkiyah menganggap bahwa Îsâ as. adalah Tuhan yang

Ketiga dari yang Tiga.

3. Golongan Ya‘qubiyah mengatakan bahwa Îsâ as. adalah Allah

Ta‘ala.

Dari pembagian itu al-Syawkânî menilai bahwa kaum Nashrani

keliru dan berlebihan. Sedangkan, kaum Yahudi dianggap keliru dan

merendahkan.24

Perselisihan di antara kaum Nashrani mengenai Îsâ as

juga diakui oleh Alî al-Sâbûnî, bahkan ia menukil langsung dari kedua

Kitab Injil milik Nashrani, yakni Injil Matius dan Injil Luqas.

Kitab-Kitab tersebut memaparkan perbedaan mencolok mengenai

silsilah dan sifat-sifat Îsâ as. Al-Syawkânî mengatakan Îsâ Ibn Maryam

as. dalam versi Injil Matius adalah keturunan Yusu‘ Ibn Yûsuf al-Najjar

Ibn Ya‗qûb Ibn Matan Ibn Yu‘ar sampai terakhir kepada Yahudza Ibn

Ya‗qûb Ibn Ishaq Ibn Ibrahim.25

Sedangkan, silsilah Îsâ as. versi Injil

Luqas adalah keturunan Yûsuf Ibn Halî dan anak keturunan Sulaimân Ibn

Da‘ûd.26

Al-Qur‘an berbicara tentang pemahaman sekte-sekte dalam tradisi

agama Kristen. Masing-masing sekte tersebut memiliki pendapat yang

berbeda-beda mengenai hakikat Îsâ Ibn Maryam. Ada yang menyebutkan

Îsâ sebagai Tuhan27

dan anak Tuhan.28

Lebih dari itu, Al-Qur‘an

menggambarkan mereka adalah umat yang suka bertengkar sebagaimana

disebutkan pada ayat berikut:

ا جدلا بل هم قوم خصمون بوه لك إل وقالوا أآلهتنا خير أم هو ما ضرDan mereka berkata: “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami

atau dia (Îsâ)?” Mereka tidak memberikan perumpamaan itu

kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja. Sebenarnya

mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (QS. al-Zukhrûf: 58)

24 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 56-58 25 Alî al-Sâbûnî, Kenabian dan Para Nabi (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), h.

310 26 Al-Sâbûnî, Kenabian dan Para Nabi, h. 310. Di Amerika serikat mewabah

penyakit meragukan agama yang mayoritasnya adalah Kristian. Menurut Survei Barna

Group, salah satu alasan terbesar keraguan terhadap agama, di antaranya, generasi

melenial (mereka yang lahir antara 1985 dan 2002) di Amerika Serikat yang mana

mereka punya hubungan pribadi dengan umat Kristen yang sebetulnya tidak berperilaku

Kristen yang pada akhirnya menimbulkan kemunafikan yang menjauhkan banyak orang

dari iman yang dahulu menyatukan dunia Barat, kekurangan sifat yang mencerminkan

Kristus, dan ketergantungan terhadap empirisme. Orang yang selalu meminta bukti

terhadap segala sesuatu pasti dengan sendirinya akan meragukan kebenaran metafisik. 27 QS. al-Mâ‘idah:72 28 QS. al-Baqarah: 30

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

34

Pertengkaran yang tak kunjung usai tersebut diisyaratkan

oleh penggunaan lafaz yamtarûna dalam bentuk fi„l mudâri„,

yang terambil dari akar kata mirâ‟ yang berarti pertengkaran

atau miryah yang berarti keraguan.29

Penggunaan bentuk

mudâri„ ini mengisyaratkan keraguan dan perselisihan yang

berkepanjangan mengenai hakikat Îsâ as, bahkan sampai hari ini.

Adapun pemahaman mutakhir tentang Îsâ as. dapat kita

jumpai dalam pemikiran F. Knitter—sebagaimana yang dikut ip

oleh Henri Salahuddin—bahwa Yesus adalah Tuhan yang

mengalami historisitas, yang menjelma ke dalam diri Yesus.

Realitas tertinggi yang dialami oleh Allah Yesus adalah Allah

yang dikenal dalam sejarah, yang mengusahakan kesejahteraan

kaum tertindas, dan set ia kepada mereka yang bekerja bagi

kerajaan Allah di bumi.30

kehadiran Al-Qur‘an menjadi penjelas antara pendapat -

pendapat orang yang berdebat dan berselisih. Al-Qur‘an

memberikan keterangan yang benar tentang Îsâ Ibn Maryam as.

Hal ini ditunjukkan dengan kalimat qawla al-haqq yang berart i

bahwa berita yang benar menyangkut geneologis Îsâ Ibn

Maryam as. adalah yang dikabarkan Al-Qur‘an, yakni bahwa ia

lahir dari seorang perempuan fenomenal, suci,31

dan terhormat

yang berbeda dibandingkan perempuan-perempuan lain. Îsâ as.

lahir dari seorang perempuan yang masih perawan.32

Kebenaran keterangan Al-Qur‘an yang tidak diterima oleh kaum

Nasrani cenderung diperdebatkan oleh mereka. Perdebatan dan

perselisihan itu pun ditandai dengan munculnya berbagai sekte dalam

agama tersebut, sehingga menimbulkan permusuhan yang akut.

2. Larangan Meragukan dan Memperdebatkan Kenabian

Muhammad Saw. Disertai Perintah Meyakini Kesesatan

Penyembahan Kaum Musyrikin Mekkah

Sub tema dalam pembahasan ini berjumlah tiga poin penting: 1-

larangan meragukan dan memperdebatkan kerasulan Muhammad Saw., 2-

29 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 185. 30 F. Knitter Paul, Menggugat Arogansi Kekristenan (Yogyakarta: Kanisius,

2005), h. 185 31 QS. al-Anbiyâ‘: 19, QS. al-Tahrîm: 12 32 QS. Âli Imrân: 45-48. 32 QS. al-Syu‘arâ‘: 58 32 QS. al-Najm: 53 32

QS. al-Dzâriyât: 32-37

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

35

larangan meragukan kesesatan kaum musyrikin Mekkah, dan 3- larangan

meragukan Al-Qur‘an sebagai kitab yang benar. Adapun pembahasannya

sebagai berikut:

2.1. Larangan Meragukan dan Memperdebatkan Kenabian

Muhammad Saw.

اب من قبلك ذين يقرءون الكت يك فاسأل ال ا أنزلنا إل فإن كنت في شك ممين بك فلا تكونن من الممتر لقد جاءك الحق من ر

Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan

tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah

kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.

Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu,

sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang

ragu-ragu. (QS. Yunus: 94)

Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah setelah

menerangkan kisah nabi-nabi sebelumnya seperti Nûh, Mûsâ, dan Hârûn

dengan menolong mereka atas kaum mereka dan menceritakan

perselisihan Bani Israil, maka Allah Swt. menghadirkan ayat ini untuk

menguatkan kebenaran Al-Qur‘an terhadap apa yang dikatakan dan

dijanjikannya.33

Penguatan terhadap keterangan ayat-ayat sebelumnya yang

menceritakan kisah hancurnya kaum-kaum terdahulu, memberikan

dampak yang besar terhadap peran Nabi Muhammad Saw. yang hadir

sebagai pemberi peringatan, agar kehancuran umat-umat terdahulu tidak

terulang kembali pada umat Nabi Muhammad Saw. Sehingga, larangan

meragukan kenabian Muhammad memiliki landasan historis yang kuat.

Fazlu al-Rahmân mengatakan bahwa sangatlah tidak masuk akal

meragukan kenabian Muhammad Saw., sebab sebelum kehadiran

Muhammad sebagai nabi, telah ada manusia yang diangkat Allah Swt.

menjadi Rasul. Untuk terus mengingatkan manusia kepada Sang Khaliqn.

Al-Qur‘an memandang masalah kenabian ini sebagai fenomena yang

bersifat universal dalam arti bahwa di setiap pelosok dunia ini pernah

tampil seorang rasul Allah, baik yang disebutkan maupun yang tidak

disebutkan.34

33 Wahbah al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî„ah wa al-

Manhâj (Bairut: Dâr al-Fikr, 2014), h. 269 34 Fazl al-Rahmân, Tema Pokok Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Putaka, 1996), h.

117

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

36

Terdapat beberapa perbedaan pendapat para ulama mengenai objek

dari kalimat falâ takûnanna min al-mumtarîn. Ada yang mengatakan

bahwa objek larangannya adalah kisah-kisah umat-umat terdahulu.

Pendapat ini disampaikan oleh Quraish Shihab.35

Pendapat lain

mengatakan bahwa objek larangan al-miryah adalah agama

Islam, sehingga jika tert impa keraguan terhadap agama Islam,

segeralah kembali kepada ahli ilmu. Pendapat ini disampaikan

oleh Baidâwî.36

Al-Zamakhsyarî mengemukakan bahwa ayat ini

menerangkan tentang pengetahuan Bani Isra‘il terkait kenabian

Muhammad Saw. yang telah disebutkan dalam kitab mereka.

Pengetahuan mereka tentang kenabian Muhammad Saw. seperti

pengetahuan mereka terhadap anak mereka sendiri.37

Hal yang sama

juga disampaikan oleh a l-Sya‗râwî dalam karya tafsirnya.38

Al-Tabarî menjelaskan dua hal sekaligus, yakni larangan

meragukan dan memperdebatkan bahwa Muhammad Saw. adalah

utusan Allah dan pengetahuan Yahudi dan Nas hrani terhadap

kenabian Muhammad Saw.39

Sehingga dapat disimpulkan objek

dari kalimat falâ takûnanna min al-mumtarîn adalah kisah-kisah

Nûh, Mûsâ dan Hârûn as.40

dan agama Islam.41

selai itu,

pengetahuan Bani Isra‘il terkait kenabian Muhammad Saw.42

serta pengetahuan Yahudi dan Nashrani terhadap kenabian

Muhammad Saw.43

35 Tidak semua yang berkaitan dengan agama harus merujuk kepada ahli kitab,

melainkan hanya yang berkaitan dengan kisah-kisah umat terdahulu saja seperti kisah

Nabi Nûh dan Nabi Mûsâ karena dalam Taurat (Tauroh), dan Injil (Gospel) juga

diinformasikan kenabian Muhammad sesuai dengan apa yang disampaikan Al-Qur‘an.

Untuk mengetahui penafsiran tentang surat Yûnus ayat 94, silahkan baca Shihab, Tafsir

Al-Mishbah, h. 504. 36 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 269 37 Abî al-Qâsim Mahmûd Ibn Umar al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf an Haqâ‟iq al-

Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta‟wîl (Mesir: Maktabah Mustaba al-Babi al-

Halabi, 1972), h. 253 38 Al-Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi, h. 6199. 39 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 743 40 Pendapat ini disampaikan oleh Quraish Shihab. Lihat, Shihab, Tafsir Al-

Mishbah, h. 504 41

Pendapat ini disampaikan oleh Baidâwî. Lihat, al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî

al-Aqîdah..., h. 269 42 Pendapat ini disampaikan oleh Zamakhsyarî dan al-Sya‗râwî. Lihat, al-

Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi, h. 6199 43 Pendapat ini disampaikan oleh al-Tabarî. Lihat, al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî,

h.743

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

37

Dari perbedaan sudut pandang ulama dalam memahami

ayat itu, penulis berupaya untuk memahami objek larangannya

melalui munasabah ayat–ayat sebelumnya. Bahwasanya ayat-

ayat sebelumnya bercerita tentang kenabian dan para nabi yang

diutus Allah Swt. Maka, ayat ini bercerita tentang larangan

kepada Muhammad Saw. agar jangan meragukan kenabiannya

dengan mengingatkan beliau terhadap kisah-kisah umat terdahulu

yang mengingkari Rasul mereka, sehingga seakan-akan Allah

mengatakan jika masih ragu dipersilahkan untuk bertanya

kepada Ahli Kitab mengenai kisah-kisah tersebut.

Selain perbincangan ulama terkait objek ayat ini, para

ulama juga menyampaikan pendapat yang berbeda terkait persoalan

khitâb ayat ini, mengapa ayat ini ditujukan kepada Muhammad

Saw. dan umatnya. Wahbah al-Zuhailî mengatakan ayat ini adalah

ta„rîd bi al-sâkin44

yang bertujuan untuk membungkam orang-orang

yang mendustakan Nabi Saw. Al-Sya‘râwî berpendapat bahwa

khitâb ayat ini yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw.

merupakan bentuk tahdzîr.45

Walaupun khitâb kalimat tersebut

adalah Rasulullah, namun yang dimaksud adalah umatnya.

Apakah Nabi Muhammad Saw. tertimpa al-syakk? Menurut

Wahbah al-Zuhailî, fain kunta pada ayat tersebut adalah âdah

syarat, sedangkan âdah syarat menunjuk sesuatu yang tidak

mest i terjadi. Rasulullah Saw bersabda: Saya tidak tertimpa

keraguan.

Dari beberapa pendapat ulama tersebut, kita simpulkan

uraian ayat ini bahwa jika Nabi Muhammad Saw. berada dalam

keraguan tentang kerasulannya, maka tanyakan kepada ulama-

ulama Yahudi dan Nashrani yang masih mengetahui Taurat dan

Injil46

sepert i Abd Allâh Ibn Salâm yang sangat mengenal

kerasulan Muhammad Saw., melalui kitab-kitab mereka yang

44 Pengalihan khitâb kepada Rasulullah, untuk membungkam orang-orang yang

mendustakan beliau. Lihat, Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., 269 45 Orang-orang yang beriman mengetahui kedudukan beliau yang sangat agung

dihadapan Allah dan manusia dan meyakini bahwa Rasulullah adalah hamba yang

terpilih untuk menyampaikan risalah Allah 46

Pengetahuan Ahli Kitab terhadap kenabian Muhammad Saw. ada yang

mempercayainya dan ada juga yang mengingkarinya. Lihat, QS. al-Baqarah: 89, 91, 101,

121, 146, 174; QS. Âli Imrân: 61, 70, 99, 199; QS. al-Mâ‘idah: 83; QS. al-An‗âm: 20,

114; QS. Yûnus: 93; QS. Hûd: 17; QS. al-Ra‗d: 36; QS. al-Syu‘arâ‘: 196; QS. al-Qasas:

52; QS. al-Ankabût: 47, 49; QS. Saba‘: 6; QS. al-Syûrâ: 14; QS. al-Ahqâf: 10; QS. al-

Bayyinah: 4

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

38

senant iasa mereka baca. Al-Qur‘an mengakui pengetahuan

mereka sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‘an: Orang-orang

yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapatkan

tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh

mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka mengerjakan

yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan

mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari

mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.

Maka, orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya,

dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-

Qur‟an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-A‗râf:

157).

Pengetahuan Ahli Kitab tentang kerasulan Muhammad Saw.

begitu mendalam, sehingga pengetahuan mereka diumpamakan Allah

Swt. seperti pengetahuan mereka terhadap anak-anak mereka

sendiri. Allah menerangkannya: Orang-orang yang telah kami

beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya Muhammad, seperti

mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya

sebagian mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka

mengetahuinya. (QS. al-Baqarah: 146)

Abd Allâh Ibn Salâm berkata, ―Sungguh aku sangat mengetahui

Rasulullah Saw. dari pada anakku sendiri.‖ Kemudian Umar Ibn

Khattâb ra. berkata: ―Sesungguhnya aku menyaksikan Muhammad

Rasulullah Saw. dengan sebenar-benarnya keyakinan, sedangkan

aku tidak melihat sedemikian terhadap anakku , karena aku tak

mengetahui apa yang terjadi pada wanita. Semoga Allah

memberi taufiknya wahai Ibn Salâm.‖

Penegasan kenabian Muhammad Saw. melalui lima fragmen,

seperti terlihat pada munasabah dan kandungan ayat ini, menunjukkan

betapa berat penolakan kaum musyrikin Mekkah terhadap kenabian

Muhammad Saw. Sebab, pengingkaran terhadap kenabian Muhammad

ini akan berimbas pada pengingkaran terhadap sunnah. Perist iwa

penolakan tersebut terulang secara terus-menerus seperti yang

pernah terjadi pada masa tabi‘ in dan hingga saat ini. Seorang

laki-laki yang secara t iba-t iba memotong pembicaraan Imrân

Ibn Husain,47

yang sedang memberikan pelajaran hadis dengan

47 Imrân Ibn Husain adalah seorang sahabat Nabi wafat (w 52). Kisah ini

dituturkan oleh al-Hasan al-Basrî (w. 110 H) yang dikutip oleh Ali Mushtofa Ya‘qub,

Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 39

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

39

meminta diajarkan Al-Qur‘an saja, namun akhirnya setelah

terjadi dialog di antara mereka, laki-laki itupun tersadar.

Kedahsyatan tugas Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul

terekam dalam surat QS. al-Muzzammil: 5. Oleh karena itu,

Allah Swt. meminta Nabi Muhammad Saw. untuk terus-menerus

mengisi jiwanya dengan kekuatan Ilahi melalui ibadah

khusyuk.48

Bekal tersebut amat lah pent ing sebab ajaran-ajaran

Nabi Muhammad Saw. merupakan ancaman besar bagi

masyarakat Mekkah yang masih mementingkan diri sendiri, baik

di bidang ekonomi maupun di bidang keagamaan, sehingga sulit

sekali mereka menerima ajaran Muhammad Saw, karena mereka

merasa semua itu akan menghancurkan penghambaan mereka

kepada materealist ik, sehingga berulang kali Nabi Saw. merasa

hampir frustasi hingga Al-Qur‘an mengingatkan kembali.49

Beratnya tugas yang diemban hingga Rasul Saw. hampir

saja terkena keraguan, maka Allah Swt. langsung mengingatkan

agar beliau bertanya kepada Ahli Kitab. Sebab, Ahli Kitab pun

mengetahui kenabian Muhammad melalui kitab-kitab mereka.

2.2. Larangan Meragukan Kesesatan Kaum Musyrikin Mekkah

ا كما يعبد آباؤهم من قبل ا يعبد هؤلاء ما يعبدون إل مم ية فلا تك في مروهم نصيبهم غير منقوص ا لموف وإن

Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa

yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah melainkan

sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. Dan

sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-

cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi

sedikitpun. (QS. Hud: 109)

Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa

pada ayat sebelumnya Allah Swt. menerangkan nasib orang musyrik

ketika di dunia. Kemudian pada ayat ini Allah melarang Muhammad dan

umatnya meragukan akibat buruk dari prilaku orang-orang musyrik.

Ayat ini adalah ayat larangan dengan huruf lâ/jangan yang

ditujukan kepada Nabi dan umatnya. Maksud ayat ini adalah ―janganlah

engkau, Muhammad, meragukan dan memperdebatkan ketidakberdayaan

(kesia-siaan) apa yang terus-menerus disembah kaum penyembah berhala,

48 QS. al-Muzzammil: 5 49 QS. Tha-Ha: 2

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

40

karena apa yang disembah mereka itu tidak mampu memberikan atau

menolak kemudaratan dan mendatangkan manfaat terhadap siapapun.‖

Kesesatan perbuatan tersebut karena tidak berlandaskan ilmu, hanya

berlandaskan taqlîd50

dan kebodohan.51

Kebodohan dan kesesatan itu

terlihat menyerupai perilaku penyembahan yang dilakukan oleh nenek

moyang mereka dahulu. Allah Swt. akan mencukupkan azab di akhirat

bagi orang kafir atau mencukupkan kenikmatan duniawi yang telah

ditetapkan menjadi bagian mereka di dunia, berupa rezeki, dan kebaikan-

kebaikan duniawi saja.52

Walaupun ayat ini bercerita tentang kesesataan kaum kafir Quraisy,

ayat ini dapat kita jadikan pegangan pada hari ini. Bahwasanya secara

eksplisit ayat ini melarang kita untuk meragukan dan memperdebatkan

kesesatan sekelompok atau segolongan kaum penyembah berhala. Hari ini

masih kita dapati kaum-kaum penyembah berhala itu. Allah Swt.

menjelaskan secara tegas bahwa kita harus meyakini kesesatan mereka.

Inilah pernyataan ketegasan tauhid yang tidak menyisakan ruang kosong

berupa keragu-raguan terhadap iman agama lain.

2.3. Larangan Meragukan dan Memperdebatkan Al-Qur’an sebagai

Tanda Golongan yang Benar

اب موسى إماما كت ومن قبله ويتلوه شاهد منه به من ر أفمن كان على بينةولئك يؤمنون به ومن يكفر به من ال ار موعده فلا تك ورحمة أ أحزاب فالن

اس لا يؤمنون بك ولكن أكثر الن ه الحق من ر ية منه إن في مرApakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang

mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur‟an) dari Tuhannya, dan

diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan

sebelum Al-Qur‟an itu telah ada Kitab Mûsâ yang menjadi

pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al-Qur‟an. Dan

barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-

sekutunya yang kafir kepada Al-Qur‟an, maka nerakalah tempat

yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu

terhadap Al-Qur‟an itu. Sesungguhnya (Al-Qur‟an) itu benar-benar

50 Taqlîd adalah menerima suatu urusan dari orang yang tidak dipercaya,

menerima begitu saja tanpa alasan dan tanpa ilmu. Lihat, Al-Askarî, Al-Furûq fî al-

Lughah, h. 89 51 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 69 52 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 69

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

41

dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS.

Hud: 17)

Adapun munasabah ayat ini dengan ayat -ayat sebelumnya

adalah pada ayat-ayat sebelumnya Allah Swt . menyebutkan

tempat kembali orang-orang yang mementingkan dunia dan

perhiasan dan t idak mementingkan akhirat, kemudian pada ayat

ini Allah Swt. menyebutkan perbedaan antara orang-orang yang

mementingkan akhirat dengan orang-orang yang mementingkan

dunia.

Ayat ini menceritakan dua golongan yang sangat jauh berbeda.

Perbedaan tersebut ditandai dengan kalimat istifhâm inkâriyyah,

yakni mempertanyakan orang-orang yang masih mempersamakan kedua

golongan tersebut dengan tujuan untuk membantah anggapan

mereka. Golongan pertama adalah golongan yang memiliki ciri-

ciri orang-orang yang berada di atas bayyinah. Fakhr al-Râzî

memaknai bayyinah dengan Al-Qur‘an. Pengertian yang paling kuat dan

sempurna dari ayat ini adalah bahwa yang dimaksud orang yang disifati

dengan bayyinah di sini adalah Nabi, sedangkan bayyinah tersebut

bermakna Al-Qur‘an dan syâhid di sini adalah Jibril.53

Berbeda dengan al-Sya‗âwî. Menurutnya, bayyinah adalah

pandangan fitrah yang selamat , yang menjadikan manusia

mengakui adanya wâjib al-wujûd. Fitrah tersebut telah tertanam

dalam hat i manusia .54 Adapun yang terpenting adalah bahwa bayyinah

tersebut memiliki fungsi sebagai petunjuk dan rahmat dari Allah.55

Namun, ada juga yang memahami bayyinah sebagai bukti kenabian

seperti pendapat Fazl al-Rahmân, bahwa bayyinah adalah bukti nyata

untuk dirinya sendiri atas kerasulan Nabi Muhammad Saw. sebagaimana

para nabi-nabi terdahulu. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa

bayyinah bisa berarti dua hal sekaligus, yakni Al-Qur‘an yang menjadi

bukti kenabian Muhammad Saw. dan pribadi beliau sendiri.

Bayyinah adalah Rasulullah Saw. dengan bukti kenabiannya, yaitu

Al-Qur‘an yang diturunkan oleh malaikat Jibril. Bukti lain bahwa

Rasulullah Saw. berada di atas bayyinah adalah Kitab Taurat yang disifati

dengan imâman. Taurat diturunkan Allah Swt . kepada Mûsâ as.

sebagai petunjuk dan rahmat, sebagaimana Allah Swt. menjelaskan

dalam QS. al-An‘âm: 154. Kemudian Allah mengikutkan pernyataan

53 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 209 54 QS. al-A‗râf: 172 55 QS. al-An‘âm: 157

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

42

bahwa Al-Qur‘an diturunkan dengan fungsi yang sama, yaitu sebagai

petunjuk yang penuh berkah.

Dengan demikian, fungsi Taurat yang merupakan pedoman dan

rahmat sama seperti fungsi Al-Qur‘an. Dalam ayat tersebut juga

disebutkan orang kafir tidak mengakui kebenaran Al-Qur‘an sebagai

pedoman dan rahmat dari Tuhan kepada makhluk-Nya. Maka, Allah

mengancam dengan azab neraka yang sangat pedih.

Kitab Taurat mengabarkan kebenaran Rasulullah Saw. dan bukti

nyatanya ada dalam Al-Qur‘an. Kesaksian Injil dan Taurat terhadap Al-

Qur‘an juga diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhailî, bahwa samakah orang-

orang yang berada dalam lindungan Al-Qur‘an yang dibuktikan dengan

kebenarannya oleh Injil dan Taurat? Mereka semuanya mengimani

kebenaran Al-Qur‘an. Barangsiapa kafir terhadap Al-Qur‘an dari

kalangan penduduk Mekkah, maka nerakalah disediakan sebagai balasan

kepada mereka.56

Pandangan yang sama dikemukakan oleh Ibnu Katsîr.

Menurut Zamakhsyarî, ayat ini berbicara tentang perbedaan yang

sangat jauh antara orang yang menginginkan dunia (musyrik Mekkah)

dengan orang yang memiliki bayyinah, yakni bukti naqli dan aqli (orang

Islam). Dengan kehadiran Al-Qur‘an dan Taurat menjadi saksi atas

kebenaran Al-Qur‘an, sehingga jangan meragukannya lagi.57

Menurut al-Biqâ‗î—sebagaimana dikutip Quraish Shihab—bahwa

ayat ini mempertanyakan tentang orang yang masih mempersamakan dua

golongan yang berbeda, yakni yang pertama golongan yang mendapat

petunjuk, sedangkan golongan kedua yang membangkang. Kelompok

yang membangkang menganggap golongannya lebih mulia daripada

golongan yang taat dan takut pada Allah Swt.

Melalui pendapat para ulama tersebut, dapat disimpulkan, bahwa

ayat ini berbicara mengenai dua golongan yang memiliki perbedaan yang

sangat jauh. Golongan pertama adalah golongan yang mendapat petunjuk

Al-Qur‘an yang kebenarannya diakui oleh kitab-kitab sebelumnya, Taurat

dan Injil. Mereka itu adalah Rasulullah Saw. dan orang yang beriman.

Sedangkan, kelompok kedua adalah orang kafir. Mereka kelompok yang

membangkang terhadap kebenaran Al-Qur‘an dan Rasulullah Saw.

Ada hal yang menarik yang patut dicermati dalam ayat ini. Lihatlah

bagaimana Allah Swt. menggambarkan secara rinci golongan pertama,

yakni Rasulullah Saw. beserta bukti nyatanya Al-Qur‘an yang dibawa dan

diturunkan oleh Jibril serta disaksikan oleh kebenaran Kitab Taurat dan

Injil. Bandingkan dengan golongan yang kedua yang tidak dipaparkan

56 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 348-349 57 Al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf an Haqâ‟iq al-Tanzîl..., h. 189

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

43

banyak bukti seperti golongan pertama, yakni cukup dengan kata-kata

kâfir saja, seolah memberi kesan bahwa yang dimaksud dengan orang

kafir cukup jelas siapa mereka dan tak satupun ada yang tak

mengenalnya. Sedangkan, pemaparan golongan pertama dengan ciri yang

sangat detail hingga memberi kesan bahwa masih saja ada orang yang

meragukan kebenaran golongan tersebut.

Sehingga, larangan bersikap al-miryah dalam ayat ini adalah

larangan meragukan, menolak, dan membantah bahwa Al-Qur‘an

berfungsi sebagai tanda bagi golongan-golongan yang berada pada

kebenaran absolut yang datang dari Allah Swt. Al-Qur‘an sebagai kitab

yang harus diikuti pedoman dan petunjuknya yang merupakan sumber

kasih sayang serta sumber kebaikan yang datang dari Allah Swt.

sebagaimana kitab Mûsâ as. juga memiliki fungsi yang sama.

3. Keraguan Kaum Nabi Lût as terhadap Azab yang Dibawa Para

Malaikat

Inilah bentuk pembangkangan kaum Sodom terhadap peringatan-

peringatan yang disampaikan Nabi Lût as, sehingga dengan

pembangkangan terus-menerus, Allah Swt. mengirimkan malaikat untuk

membawa azab yang selama ini mereka ragukan. Hal ini disebutkan

dalam Al-Qur‘an:

مترون قالوا بل جئناك بما كانوا فيه يPara utusan menjawab: “Sebenarnya Kami ini datang kepadamu

dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan.” (QS. al-Hijr:

63)

Kemudian akibat perbuatan mereka yang meyimpang dari fitrah

kemanusiaannya mereka dihukum dengan hujan batu.58

4. Larangan Meragukan Al-Qur’an sebagai Pembeda antara

Perkara yang Benar dan yang Batil

ذي ال ه أبتغي حكما وهو الل ذين آتيناهم أفغير لا وال اب مفص أنزل إليكم الكتين بك بالحق فلا تكونن من الممتر ل من ر ه منز اب يعلمون أن الكت

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal

Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur‟an) kepadamu dengan

terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada

mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur‟an itu diturunkan dari

58 QS. al-A‗râf: 84, QS. Hûd: 82-83

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

44

Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka, janganlah kamu sekali-kali

termasuk orang yang ragu-ragu. (QS. al-An‘âm: 114)

Menurut Quraish Shihab, ayat ini turun berkaitan dengan konteks

perselisihan pendapat, antara kaum muslimin dengan kaum musyrik,

mengenai sembelihan atau binatang yang akan dimakan. Mereka berkata,

―Apakah terlarang memakan apa yang dimatikan Tuhan dan boleh

memakan binatang yang kita sembelih?‖ Kemudian ayat ini turun untuk

membantah anggapan kaum musyrik tersebut.

Menurut al-Zamaksyarî, ayat ini mempertanyakan kelayakan

seseorang yang mencari hakim selain Allah Swt. untuk memutuskan

perkara di antara manusia. Padahal, Allah telah menerangkan antara

kebenaran dan kebatilan melalui kitab-Nya secara terperinci. Pendapat ini

senada dengan al-Sya‗râwî.59

Sedikit berbeda dengan Fakhr al-Râzî,

bahwa ayat ini memiliki beberapa fragmen pembahasan. Pembahasan

pertama, sumpah orang kafir akan beriman jika Nabi memberikan bukti

kenabiannya. Kemudian Allah menjawab tidaklah berguna mengikuti

kehendak mereka dengan memberikan bukti, karena mereka akan tetap

kafir. Tetapi, katakan bahwa bukti kenabian ada dua: 1- Allah

menetapkan kenabian Muhammad Saw. dengan diturunkannya Al-Qur‘an

yang bersifat rinci, jelas, mengandung banyak ilmu, dan menggunakan

bahasa yang sempurna. 2- Di antara tanda kenabian tersebut adalah

pemberitaan Taurat dan Injil yang menyatakan kebenaran kenabian

Muhammad Saw. dan kebenaran Al-Qur‘an yang diturunkan dari Allah

Swt.60

Pembahasan Kedua, larangan menjadi orang-orang musyrik dan

larangan meragukan pengetahuan Ahli Kitab tentang diturunkannya Al-

Qur‘an dari Allah Swt.

Sehingga, menurut Fakhr al-Râzî, larangan al-miryah dalam ayat ini

ada 4 hal:61

Pertama, kalimat ini merupakan kalimat tahyîj (memberi

pengaruh kepada yang lain agar mereka melakukannya) dan ilhâb

(mengerti dan segera mengikuti). Kedua, kalimat ini merupakan kalimat

taqdîr yakni ―jangan meragukan pengetahuan Ahli Kitab mengenai

kebenaran Al-Qur‘an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Ketiga, khitâbnya bisa kepada segala sesuatu. Keempat, secara sepintas

pesan ayat ini ditujukan kepada Nabi Saw., namun secara lebih jauh pesan

ini ditujukan kepada umatnya.

Dalam ayat tersebut disifati dengan kata mufassalan. Kata ini

berasal dari kata fasl yang berarti memperjelas salah satu dari dua hal,

59 Al-Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi, h. 2886-2887 60 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 167 61 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 209

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

45

sampai terlihat kerenggangan (perbedaan) yang mencolok antara

keduanya. Al-Qur‘an dinamakan dengan mufassal karena memiliki arti

bahwa Al-Qur‘an berfungsi sebagai penjelasan terhadap sesuatu yang

berkaitan dengan ajaran agama secara terperinci, jelas, dan tidak kacau

ketentuan-ketentuannya.62

Sifat Al-Qur‘an yang merinci keterangannya dengan jelas bertujuan

untuk menjadi bukti yang menyakinkan semua orang. Oleh sebab itu,

ketidakjelasan sikap yang ditunjukkan oleh karakter ragu-ragu tidak

mendapat tempat ataupun legalitasnya di dalam Al-Qur‘an. Sebab, Al-

Qur‘an sendiri tidak memberikan ruang sedikitpun untuk bersikap ragu.

Karena, keraguan terhadap Al-Qur‘an bertentangan dengan sifat Al-

Qur‘an, yaitu mufassal.

Al-Qur‘an berulang kali menyifati dirinya sendiri dengan sifat

mufassal. penjelasan tersebut dapat ditemukan dalam QS. Yûnus: 37.

Adapun hal-hal yang dijelaskan dalam Al-Qur‘an berupa bentuk prinsip-

prinsip hidup yang sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia dalam

menggapai kemaslahatan dunia dan akhirat ditemukan dalam QS. Yûsuf:

111.63

Prinsip-prinsip ini berupa undang-undang. Indikasi tersebut terlihat

dari kalimat-kalimat perangkainya seperti kata hakaman. Hakaman dalam

ayat ini diartikan sebagai undang-undang oleh al-Sya‗râwî.64

Hakam

adalah orang yang memutuskan dengan kebenaran, sebab penamaan ini

merupakan bentuk pengagungan. Sedangkan, hâkim adalah sifat yang

diberikan atas dasar perbuatan.65

Kalimat ilaikum menurut al-Sya‗râwî menunjukkan bahwa undang-

undang itu bukan bagi Muhammad Saw. saja, melainkan kepada semua

umat yang memiliki keimanan terhadap undang-undang tersebut.‖66

Itulah

sebabnya mengapa kata gantinya menggunakan bentuk jamak bukan

bentuk tunggal. Larangan al-miryah dalam ayat ini juga menggunakan

bentuk tawkîd yang berarti penekanan untuk tidak bersikap al-miryah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

maksud pernyataan Allah Swt. sebagai hakim adalah Allah memiliki

kekuatan dalam memutuskan sesuatu. Sifat tersebut tidak dimiliki oleh

siapapun.67

Allah yang paling berhak dipercayai dalam memberikan

keputusan.68

Allah Pencipta tunggal dalam kaitannya dengan hukum69

62 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 252 63

Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h . 526 64 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 3885. 65 Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, h. 178 66 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 3886 67 QS. Yûsuf: 40 68 QS. Al-An‘âm:62

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

46

yang mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak maupun samar. Allah

Maha Bijaksana dalam memutuskan perkara. Allah pula menurunkan Al-

Qur‘an yang berisikan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan terbaik

untuk dijadikan landasan atau acuan atas segala hal yang dihadapi

manusia, sehingga tercapailah kemashlahatan dunia akhirat.

Para Ahli Kitab juga mengetahui bahwa yang menurunkan Al-

Qur‘an adalah Allah Swt. Jika para Ahli Kitab saja mengetahuinya, maka

kita dilarang meragukan segala macam ketentuan-ketentuan hukum yang

terdapat di dalam Al-Qur‘an. Yang berhak memberi keputusan segala hal

yang menyangkut mahkluk adalah Allah Swt.70

Hal ini juga diuraikan

dalam dalam QS. al-An‘âm: 62 dan QS. al-Kahfi: 26. Salah satu hukum

Allah adalah larangan menyembah atau taat kepada selain hukum Allah.71

Karena itu, Allah Swt. menurunkan kitab yang bersifat mufassal

dan melarang manusia mengikuti hawa nafsunya, karena dapat

menyebabkan mereka tidak mau menegakkan Syariat Islam.72

Kemudian

Allah mengulangi lagi perintahnya, agar manusia berhati-hati terhadap

pengaruh siapapun yang menyebabkan mereka tidak menegakkan

Syari‘ah Islam.73

Untuk meyakinkan pelaksanaan hukum-hukum tersebut, Allah Swt.

menyatakan bahwa tidaklah termasuk ke dalam orang-orang yang

beriman, hingga manusia memutuskan segala perselisihan yang mereka

hadapi berdasarkan Al-Qur‘an yang diturunkan kepada Nabi dan tidak

merasa keberatan.74

Allah Swt. kemudian mengatakan secara tegas atas

kezaliman orang yang tidak menegakkan Syari‘at Islam.75

Selain itu,

Allah menegaskan pula bahwa hanya orang yang yaqîn76

saja yang mau

menjadikan Al-Qur‘an sebagai sumber undang-undang hukum

kehidupan.77

69 QS. Al-Kahfi: 26 70 Sayyid Qutb, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Terj. M. Misbah dkk (Jakarta: Robbani Press,

2009), h. 365 71 QS. Yûsuf: 40, QS. al-An‘âm: 57 72 QS. al-Mâ‘idah: 48 73 QS. al-Mâ‘idah: 49 74

QS. al-Nisâ‘: 65 75 QS. al-Mâ‘idah: 45 76 Kata yaqîn berarti orang yang percaya dengan sungguh-sungguh tanpa

kesangsian sedikitpun. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca, Shihab, Ensiklopedi Al-

Qur‟an, h. 1102 77 QS. al-Mâ‘idah: 50

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

47

5. Golongan yang Berprilaku al-Miryah terhadap Perkara Ghaib

dan Perbedaan Sikap Mereka dengan Golongan yang

Meyakininya

Pembahasan pada sub tema ini menjelaskan golongan-golongan

yang memiliki indikasi sifat al-miryah atau telah memiliki sifat al-miryah

di dalam hatinya. Sehingga dengan mengenal indikasi-indikasi sifat ini,

kita dapat memelihara diri atau menjaga batas-batas yang tidak boleh

dilampaui. Adapun sub pembahasan pada bagian ini terdapat tiga poin

penting, di antaranya: 1- keraguan kaum kafir Quraisy terhadap hari

Kebangkitan, 2- keraguan terhadap dan perdebatan manusia mengenai

pertemuannya dengan Tuhan, dan 3- perbedaan sikap antara orang yang

mengingkari hari Kiamat dengan yang mempercayainya.

5.1. Keraguan Kaum Kafir Quraish terhadap Hari Kebangkitan

قضى أجلا ذي خلقكم من طين ثم مترون هو ال أنتم ت ى عنده ثم وأجل مسمDialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu

ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada

pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian

kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu). (QS. al-An‘âm: 2)

Munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah setelah Allah

Swt. menerangkan jenis-jenis pujian kepada-Nya dan orang musyrik

Mekkah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak sebanding

dengan-Nya, maka pada ayat di atas Allah mengemukakan dalil-dalil

keesaan-Nya sendiri dan bukti hari Kebangkitan. Bukti-bukti tersebut

digunakan untuk menyangkal perbuatan orang musyrik dengan

mengatakan bahwa Allah yang menciptakan manusia pertama sebagai

bapak manusia, yakni Adam as dan mengembangbiakkan keturunannya.

Kemudian setelah penciptaan itu, Allah Swt. menetapkan ajal

manusia. Makna ajal pada kalimat summa qada ajalan bermakna

dimulainya penciptaan manusia dari kelahiran hingga matinya.78

Adapun

maksud kata ajal yang kedua adalah kiamat.79

Dalam ayat ini juga Allah

mengingatkan orang musyrik Mekkah yang membantah mengenai hari

Kebangkitan, dengan mengajak mereka berpikir tentang diri mereka

sendiri, terutama tentang asal-muasal penciptaan mereka, bahwa mereka

sebelumnya adalah tiada kemudian menjadi ada.

78 Pendapat ini dikutip dari Ibn Abbâs. Lihat, al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-

Aqîdah..., h. 132-133 79 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 132-133

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

48

Menurut penulis, penyajian peringatan berunut seputar tiga hal

besar ini, menunjukkan betapa keras dan hebatnya pembangkangan yang

ditunjukkan oleh orang kafir Mekkah. Ditambah lagi sebelum peringatan

tentang tiga hal besar ini, Allah Swt. telah lebih dahulu memaparkan dan

menunjukkan kehebatan dan kekuasaannya dibanding penciptaan

manusia, yakni penciptaan langit dan bumi serta penciptaan malam dan

siang. Inilah hal-hal besar kiranya menurut penulis yang harus mendapat

perhatian besar guna menghadapi para pembangkang dari kalangan kafir

Quraisy Mekkah yang tertimpa penyakit ragu-ragu.

5.2. Keraguan dan Perdebatan Manusia mengenai Pertemuannya

dengan Tuhan

ه بكل شيء محيط ية من لقاء ربهم ألا إن هم في مر ألا إنIngatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan

tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa

sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. (QS. Fussilat: 54)

Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah pada

ayat-ayat yang lalu Allah Swt. menegakkan dalil-dalil yang menjelaskan

hujjah keesaan-Nya, sehingga orang kafir tidak memiliki alasan lain

untuk membangkang dan menentang-Nya. Maka, pada ayat di atas Allah

menjelaskan sebab-sebab pembangkangan mereka. Mereka mengingkari

pertemuannya dengan Tuhan, karena mereka mendustakan dan

meragukan Al-Qur‘an.80

Penolakan orang kafir terhadap Al-Qur‘an secara

tidak langsung akan berdampak pada penolakannya terhadap semua

ajaran-ajarannya, termasuk salah satunya ajaran Al-Qur‘an yang berkaitan

dengan pertemuan manusia dengan Tuhannya. Mereka meragukan

keterangan Al-Qur‘an yang mengabarkan bahwa mereka akan bertemu

dengan Tuhannya kelak di akhirat. Adapun tempat pertemuan itu diyakini

di Padang Mahsyar dan di surga.81

Sayyid Qutb mengatakan bahwa

pertemuan manusia dengan Allah adalah sesuatu yang pasti. Kepastian itu

terlihat dari kalimat ―Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi

segala sesuatu‖ dengan memaknainya bahwa manusia tidak dapat

menghindari pertemuan dengan Tuhannya karena ke mana saja mereka

pergi, Tuhan meliputi mereka di setiap ruang dan waktu.82

80 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 853. 81 Ibnu Qudamah al-Maqdisî, Syarh Lum‟ah al-I„tiqâd (Jakarta: Dâr al-Haqq,

2001), h. 284 82 Qutb, Fî Zilâl al-Qur‟ân, h. 536

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

49

Dalam sejarah teologi, golongan Mu‘tazilah, golongan yang dikenal

dalam pengagungan terhadap akal, merupakan salah satu golongan yang

mengingkari pertemuan manusia dengan Tuhannya. Menurut mereka,

melihat itu hanya pada jism (tubuh) dan tubuh-tubuh itu memiliki

kemiripan. Jika manusia melihat Tuhan, maka kita menetapkan bahwa

Allah itu berjism, padahal jism memiliki kemiripan. Maka, dengan

sendirinya pemahaman tersebut akan membawa penyerupaan manusia

dengan Tuhan dan hal ini tidak dibenarkan. Pandangan semacam ini tentu

merupakan keyakinan dan kepercayaan yang sangat berbeda dengan

akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‘ah.

Ayat yang dapat dijadikan argumen pertemuan manusia dengan

Tuhannya adalah, sebagai berikut:

وجوه يومئذ ناضرة بها ناظرة إلى رWajah orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada

Tuhan mereka, mereka melihat. (QS. al-Qiyâmah: 22-23)

Menurut Syeikh Ibnu Utsaimin, bahwa kalimat ilâ rabbihâ nâzirah

adalah melihat dengan mata kepala.83

Banyak sekali hadis-hadis

mutawatir yang menguraikan tentang melihatnya orang mukmin kepada

Tuhannya. Salah satunya seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-

Bukhari, sebagai berikut: ―Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian

sebagaimana kalian melihat rembulan di malam purnama dan

sebagaimana kalian melihat matahari dalam keadaan cerah tanpa awan.

Kalian tidak harus berdesak-desakan melihatnya.‖84

5.3. Perbedaan Sikap antara Orang Kafir yang Mengingkari Hari

Kiamat dengan yang Mempercayainya

ها يعلمون أن ذين آمنوا مشفقون منها و ذين لا يؤمنون بها وال يستعجل بها الاعة لفي ضلال بعيد الحق ألا مارون في الس ذين ي إن ال

Orang-orang yang tidak beriman kepada hari Kiamat meminta

supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman

merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu

adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya

orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-

benar dalam kesesatan yang jauh. (QS. al-Syûrâ: 18).

83 Al-Maqdisî, Syarh Lum‟ah al-I„tiqâd, h. 281 84 Al-Maqdisî, Syarh Lum‟ah al-I„tiqâd, h. 286

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

50

Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya

adalah bahwa pada ayat yang lalu Allah Swt, mengingatkan

orang mukmin agar t idak berdebat dengan orang musyrik,

karena hujjah sudah sangat jelas, maka pada ayat di atas Allah

mengingatkan orang mukmin agar memperhat ikan akhirat

dengan cara mengingatkan tentang kedatangan Kiamat. Namun,

orang kafir menanggapi dengan olok-olokan tentang Kiamat.

Salah satu bentuk penolakan orang kafir Mekkah terhadap Al-

Qur‘an adalah menolak informasi tentang hari Kiamat.85

Penolakan terhadap Al-Qur‘an dengan sendirinya akan menolak

semua ajaran-ajaran yang bersumber darinya sepert i kepast ian

tentang datangnya hari Kiamat.

Ada banyak sisi yang dapat dilihat dari penafsiran ayat ini ,

di antaranya, menurut al-Tabarî, bahwa ayat ini berbicara tentang

kaum musyrikin yang meragukan dan membantah kedatangan

hari Kiamat. Keraguan itu dilandasi oleh sifat ket idakpercayaan

mereka terhadap datangnya hari Kiamat yang abstrak. Keraguan

dan pembantahan tersebut ditunjukkan dengan permintaan

mereka dengan mempercepat kedatangan perist iwa terjadinya

Kiamat.86

Allah kemudian menjelaskan balasan azab yang akan

diterima orang tersebut sebagaimana terekam dalam firman-

Nya:

ذي كنتم ب ه تستعجلون ذوقوا فتنتكم هذا ال(Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu.

Inilah azab yang dulu kamu minta untuk disegerakan".

(QS. al-Dzâriyât: 14).

Berbeda halnya dengan sikap yang ditunjukkan oleh orang

beriman yang memiliki sikap yang berbeda dengan orang kafir.

Orang beriman memiliki sifat musyfiqîn, yakni orang yang

memberi perhat ian terhadap sesuatu yang disertai dengan rasa

takut padanya.87

Orang-orang beriman tersebut mengetahui

dengan ilmunya bahwa hari Kiamat itu akan terjadi.88

Fakhr al-

Râzî mendefinisikan arti yang sama terhadap kata musyfiqîn,

yakni orang yang perhat ian disertai dengan rasa takut terhadap

hari Kiamat, karena mereka mengetahui dengan ilmu mereka .

85 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 481 86 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 852 87 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 482. 88 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 482.

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

51

Namun, orang yang mengingkari terjadinya hari Kiamat tidak

akan memiliki rasa takut terhadapnya.89

Kemudian al-Tabarî melanjutkan bahwa Allah menetapkan

bagi siapa saja yang membantah, t idak menerima, bahkan

mengingkari perist iwa Kiamat benar-benar dimasukkan ke

dalam golongan orang-orang yang sesat.90

Sedangkan, menurut

al-Sya‗râwî, ayat ini merupakan penegasan akan terjadinya hari

Kiamat yang kehadirannya t idak diragukan lagi, yakni sebagai

tempat untuk memberikan pembalasan perbuatan manusia.91

Quraish Shihab memiliki pandangan yang berbeda dalam

memahami ayat ini. Ia mengatakan bahwa ayat ini berbicara

tentang kelemahan keyakinan dalil-dalil orang musyrik

mengenai hari Kiamat yang mereka paparkan, dengan

mengajukan argumen keniscayaan hari Kiamat yang past i

terjadi.92

Pendapat Quraish Shihab ini diambil dari sudut

pandang munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya.

Meyakini perist iwa Kiamat adalah salah satu ciri dar i

orang beriman. Di sisi lain meyakini datangnya Kiamat

memiliki pengaruh yang cukup efekt if dalam pendidikan ruh.93

Menurut Jawadi Amuli, ada beberapa manfaat ketika seseorang

meyakini perist iwa Kiamat, antara lain, dapat menghalangi

manusia lari dari tanggung jawab, menentang segala bentuk

kelaliman, mencegah syahwat dari t indakan melampaui batas,

mengendalikan naluri emosional dan segala perilaku yang

menyimpang, dan menyeimbangkan naluri seksual.94

Banyak sekali dampak yang dit imbulkan ketika seseorang

membantah terjadinya Kiamat, antara lain, dicela Allah dan

disifat i-Nya dengan perangai yang buruk.95

Kehidupan mereka

akan tersesat, karena dunia dijadikan indah pada pandangan

mereka sebagai istidrâj agar mereka lalai.96

Pada lain hal, orang

yang t idak mempercayai hari akhir termasuk orang kafir.97

89 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 190 90 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 853. 91 Al-Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi, h. 9079 92 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 480. 93

Jawadi Amuli, Makna Hari Kiamat dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Sadra Press,

2012), h. 234-235 94 Amuli, Makna Hari Kiamat..., h. 234-235 95 QS. al-Nahl: 60 96 QS. al-Naml: 4-5 97 QS. al-A‗râf: 147, 45

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

52

Orang kafir itu disebut musyrik (penganut pagan).98

Sungguh,

tertutup hat i manusia yang mengingkari perist iwa Kiamat.

Sebab, Iblis saja mengakui akan adanya hari Kiamat.99

Kelompok yang mengingkari perist iwa Kiamat adalah kaum

kafir Mekkah.

Ada juga orang yang mengakui akan adanya Allah Swt .

sebagai Pencipta, namun mereka t idak percaya akan adanya hari

akhir.100

Padahal, para nabi dan rasul sebelumnya telah

menyampaikan pent ingnya mempercayai hari Kebangkitan,

sepert i Nabi Nûh as.,101

Nabi Hûd as.,102

Nabi Ibrâhîm as.,103

Nabi Syu‘aib as.,104

dan Nabi Mûsâ as.105

6. Larangan Meragukan Perkara Ghaib yang Ada Landasan

Nasnya

6.1. Larangan Meragukan Kedatangan Kiamat

بعون هذا صراط مستقيم مترن بها وات اعة فلا ت ه لعلم للس وإنDan sesungguhnya Îsâ itu benar-benar memberikan pengetahuan

tentang hari Kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang

Kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. (QS. al-

Zukhruf: 61).

Dalam ilmu qira‟ah kalimat la-ilm al-sâ„ah memiliki dua versi

qira‟ah, yaitu dengan harakat fathah sehingga kalimatnya menjadi la-

alam al-sâ„ah dan dengan harakat sukûn sehingga kalimatnya menjadi la-

ilm al-sâ„ah. Versi qira‟ah pertama bermakna salah satu syarat

diketahuinya hari Kiamat, sedangkan versi qira‟ah kedua bermakna

sebagai pertanda datangnya Kiamat. Al-Suyûtî dalam kitabnya al-Durr

al-Mantsûr, berpendapat bahwa para sahabat dan tabi‘in memahami versi

qira‟ah yang kedua dengan tanda datangnya hari Kiamat dengan turunnya

Nabi Îsâ putra Maryam sebelum peristiwa Kiamat.106

Pendapat ini

diperkuat oleh keterangan banyak hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu

98 QS. Fussilat: 6-7 dan QS. al-Taghâbun: 7 99 QS. Sâd: 79-81 100 QS. Luqmân: 25, QS. al-Mukminûn: 82-8 101 QS. al-A‗râf: 59, QS. Hûd: 26, QS. Nûh: 2-3, 17-18 102

QS. Hûd: 60, QS. QS. al-Syu‘arâ‘: 135, QS. al-Ahqâf: 21 103 QS. al-Baqarah: 126, QS. Ibrâhîm: 41, QS. al-Syu‘arâ‘: 81-83 104 QS. al-Ankabût: 36 105 QS. Tha-Ha: 14-16, 54-55 106 Abd ar-Rahmân Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-

Ma‟tsûr (Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 386.

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

53

Syihâb Ibn Abd al-Musayyab, bahwa ia mendengar Abû Hurairah

berkata: Rasulullah Saw. bersabda, ―Demi jiwaku berada di Tangan-Nya,

hampir sudah dekat waktu turunnya Ibnu Maryam Salallâhu alaihi wa

sallam kepada kalian sebagai hakim yang adil, memecahkan salib,

membunuh babi, tidak menerima jizyah, dan harta benda akan melimpah

sehingga tidak ada seorangpun yang menerimanya‖;107

riwayat dari Jâbir

Ibn Abd Allâh;108

riwayat dari Ibnu Uyainah;109

riwayat dari Abu

Hurairah; dan sekian keterangan para mufasir seperti al-Tabarî yang

dalam hal ini ia mengemukakan, bahwa kata ganti pada awal ayat QS. al-

Zukhrûf: 61 kembali kepada Îsâ Ibn Maryam sehingga artinya menjadi:

Sesungguhnya kemunculan Îsâ Ibn Maryam as. merupakan tanda untuk

mengetahui kedatangan Kiamat dan turunnya Îsâ ke bumi sebagai

indikasi salah satu tanda akan sirnanya dunia dan akan datangnya hari

Kiamat.110

Demikian pula, Ibnu Katsîr mengatakan bahwa hadis-hadis

yang berkaitan dengan kedatangan Îsâ as. untuk yang kedua kalinya

banyak yang mutawatir.

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan pada uraian ayat ini. Dari

sudut pandang ilmu qira‟ah, pendapat para sahabat, pandangan para

mufasir, keterangan banyak hadis, dan munasabah ayat, menunjukkan

bahwa datangnya Îsâ Ibn Maryam as. nanti menjadi tanda datangnya hari

Kiamat. Sedangkan, kemunculan Îsâ as. untuk yang kedua kalinya

menjadi sebuah perdebatan. Perdebatan itu muncul dari sebuah anggapan

bahwa apakah Îsâ as. telah disalib atau mati? Keyakinan umat Islam

menyatakan bahwa Îsâ as. tidak disalib sebagaimana anggapan orang-

orang Yahudi. Hal ini disebutkan secara tegas dalam Al-Qur‘an:

ا وما صلبوه وقولهم إن ه وما قتلوه رسول الل يم قتلنا المسيح عيسى ابن مرا إل ذين اختلفوا فيه لفي شك منه ما لهم به من علم ولكن شبه لهم وإن ال

ن وما قتلوه يقينا باع الظ ات يزا حكيمابل ر ه عز ه إليه وكان الل فعه اللDan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh

al-Masih, Îsâ putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak

membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka

bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Îsâ bagi mereka.

Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang

107 Imâm al-Nawâwî, Al-Manhâj Syarah Sahîh Muslim Ibn al-Hujjâj, Terj. Agus

Makmun dkk (Jakarta: Dâr al-Sunnah: Press, 2015), h. 103 108 Al-Nawâwî, Al-Manhâj Syarah Sahîh..., h. 108 109 Al-Nawâwî, Al-Manhâj Syarah Sahîh..., h. 104 110 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h.112

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

54

(pembunuhan) Îsâ, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang

dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa

yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka

tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Îsâ. Tetapi

(yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Îsâ kepada-Nya. Dan

adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Nisa:

157-158)

Bahkan, pada ayat lain Allah Swt. memberikan kabar keselamatan

Îsâ Ibn Maryam as., sebagaimana firman-Nya berikut:

ه يا عيسى ذين كفروا إذ قال الل إني متوفيك ورافعك إلي ومطهرك من ال إلي مرجعكم ثم ذين كفروا إلى يوم القيامة بعوك فوق ال ذين ات وجاعل ال

لفون فأحكم بينكم فيما كنتم فيه تخت(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Îsâ, sesungguhnya Aku

akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat

kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang

kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas

orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian, hanya

kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu

tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya". (QS. Ali

Imran: 55)

Al-Maraghi berpendapat bahwa ayat itu mengabarkan berita

gembira mengenai keselamatan Îsâ as. atas makar yang dibuat oleh orang

Yahudi yang berniat membunuhnya.111

Maka, konsep penyaliban Îsâ as.

atau Yesus telah terjawab, bahwa tidak benar penyaliban dan kematian Îsâ

as. Îsâ masih hidup, sementara Allah mengangkatnya ke langit. Hal ini

dapat menjadi isyarat akan kedatangan Îsâ as. nanti menjelang terjadinya

peristiwa Kiamat. Al-Maraghi berpendapat, bahwa hadis-hadis tentang

kedatangan Îsâ as. sebagai tanda Kiamat merupakan riwayat ahad yang

tidak bisa dijadikan pegangan, karena berkaitan dengan masalah akidah.

Untuk persoalan akidah, kita seharusnya berpegang pada Al-Qur‘an

dan hadis mutawatir. Sehingga, makna dari kedatangan Îsâ as. untuk yang

kedua kalinya dapat dipahami dengan kedatangan ruh atau semangat Isa

111

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Terj. Bahrun Abu Bakar

(Semarang: Toha Putra, 1987), h. 293 111 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 582 111 Di antara para nabi yang dibunuh itu adalah Nabi Zakariya, meskipun ia tidak

melakukan kesalahan. Kebiasaan kaum Yahudi adalah membunuh nabi mereka

sebagaimana disebutkan dalam QS. Âli Imrân: 21

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

55

as. Quraish Shihab menyebutkan bahwa hadis-hadis tentang kedatangan

Îsâ as. untuk yang kedua kalinya masih diperselisihkan kesahihannya.

Oleh karena itu, maksud ayat ini bukan terkait dengan kedatangan Îsâ as.

ke bumi sebagai tanda Kiamat, namun informasi atas kelahiran Îsâ as.

tanpa ayah dan memiliki kemampuan menghidupkan orang mati beserta

menyembuhkan sekian banyak orang yang sakit. Semua kemukjizatan ini

merupakan bukti kuasa Tuhan.

Kedatangan Îsâ as. untuk yang kedua kalinya dengan sendirinya

akan mematahkan argumen-argumen yang dibangun oleh kaum Yahudi

bahwa mereka telah membunuhnya. Inilah sebuah kebiasaan buruk kaum

Yahudi yang terbiasa membunuh nabi-nabi mereka. Selain itu, informasi

tersebut menunjukkan bahwa Îsâ as. bukanlah Tuhan, sebagaimana

anggapan orang-orang Nashrani.112

Kedatangan Îsâ as. untuk yang kedua

kalinya juga digambarkan melalui firman Allah Swt. pada ayat berikut:

يكون عليهم القيامة يوم و قبل موته يؤمنن به ا ل اب إل وإن من أهل الكت شهيدا

Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman

kepadanya (Îsâ) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti

Îsâ itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (QS. al-Nisâ‘: 159)

Al-Tabarî dalam tafsirnya mengatakan bahwa ada beberapa

pendapat tentang penafsiran ayat ini: Pertama, setiap Ahli Kitab di setiap

masa, baik masa lalu maupun masa datang, akan beriman kepada Nabi Îsâ

as. Kedua, melalui pendapat yang pertama, dapat dipahami bahwa

kebenaran akan terlihat jelas pada setiap orang yang sedang sekarat.

Setiap orang yang didatangi kematian, jiwanya tak akan terlepas sampai

ia benar-benar mengetahui mana yang benar dan mana yang bathil dalam

agamanya. Ketiga, setiap Ahli Kitab akan beriman kepada Nabi

Muhammad Saw.113

Kedatangan Îsâ as. menjadi tanda Kiamat besar.

Beliau akan turun pada menara putih di bagian Damaskus. Beliau turun

sebagai hakim yang memutuskan dan menjalankan syari‘at Nabi

Muhammad Saw.

Ahmad al-Mubayyad menjelaskan tentang tujuan kedatangan Îsâ as.

ke dunia adalah untuk menghilangkan hal-hal yang samar dan syubhat

yang masih diperselisihkan hingga hari ini. Adapun perselisihan itu

menyebabkan manusia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: Golongan

112 Muhammad Ahmad al-Mubayyad, Ensiklopedi Akhir Zaman, Terj. Ahmad

Dzulfikar dkk (Surakarta: Granada Mediatama, 2015), h. 917 113 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h.111-112

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

56

pertama adalah Yahudi yang mengatakan bahwa mereka telah membunuh

Îsâ as. Golongan kedua adalah Nashrani yang mengatakan bahwa Îsâ as.

adalah Tuhan. Golongan ketiga adalah kelompok yang mengatakan

bahwa Îsâ as. adalah manusia dan utusan Tuhan.114

6.2. Larangan Meragukan Azab Akhirat

حيم إلى سواء الج فاعتلوه ميم خذوه وا فوق رأسه من عذاب الح صب ذق ثم يم يز ال كر ك أنت العز مترون إن إن هذا ما كنتم به ت

Peganglah dia kemudian seretlah dia ke tengah-tengah neraka,

kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari) air yang

amat panas. Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa

lagi mulia. Sesungguhnya ini adalah azab yang dahulu selalu kamu

meragu-ragukannya. (QS. al-Dukhân: 47-50)

Al-Qurtubî mengutip pendapat Qatâdah mengenai sabab nuzûl ayat

di atas. Ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Jahal

yang mengatakan: ―Tidak ada seorangpun yang lebih perkasa dan lebih

mulia di lembah ini daripada aku.‖ Nabi Saw. kemudian bersabda:

―Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan aku untuk mengatakan

kepadamu bahwa kecelakaanlah bagimu.‖ Abu Jahal berkata: ―Karena

sesuatu apakah engkau mengecamku. Demi Allah Swt., tidaklah kamu

dan tidak juga Tuhanmu, dapat melakukan sesuatu terhadapku.

Sesungguhnya aku termasuk orang yang paling perkasa di lembah ini dan

paling mulia di antara kaumnya.‖ Allah kemudian membunuh dan

menghinakan Abu Jahal dalam Perang Badar dan turunlah ayat ini.115

Sedangkan, menurut Quraish Shihab, ayat ini lebih umum berbicara

tentang keraguan manusia menyangkut siksaan akhirat.116

Karena, selama

di dunia mereka merasa perkasa dan mulia, bahkan meragukan azab

akhirat.117

Disebutkan dalam ayat Al-Qur‘an sebagai berikut:

ذي كنتم به تستعجلون ذوقوا ف تنتكم هذا ال(Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. Inilah azab

yang dulu kamu minta untuk disegerakan". (QS. al-Dzâriyat: 14).

Adapun azab yang mereka ragukan, antara lain, disebutkan pada

QS. al-Dukhân: 43-48 yakni adanya pohon Zaqqum yang menjadi

114 Al-Mubayyad, Ensiklopedi Akhir Zaman, h. 96 115 Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, h. 393 116 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 24. 117 QS. al-Dzâriyyat: 14. Lihat juga, Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 326

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

57

makanan para pendosa dan pendurhaka yang letaknya ada di dasar neraka

Jahim.118

Dalam ayat lain disebutkan bahwa pohon Zaqqum merupakan

bahan makanan bagi orang yang sesat, yaitu orang yang mendustakan

ayat-ayat Allah mengenai hari Kebangkitan.119

Selanjutnya, ayat tersebut

menggambarkan bentuk pohon Zaqqum yang seperti minyak yang

dicairkan di neraka dan meleleh di dalam perut ketika memakannya.

Kemudian, siksaan terhadap para pendosa berlanjut dengan diseretnya ke

tengah-tengah neraka. Para malaikat menuangkan cairan panas ke atas

kepala para pendosa tersebut.

7. Larangan Meragukan Perkara Ghaib yang Tidak Ada Landasan

Nasnya dan Perintah agar Berdiskusi tentang Perkara Nyata

Untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan hal-hal

ghaib seharusnya merujuk kepada Al-Qur‘an dan Sunnah, karena tidak

ada seorangpun yang mengetahui hal-hal ghaib kecuali Allah Swt. Hal ini

terekam dari sekian ayat yang menceritakan perkara ghaib, misalnya,

perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. agar mengatakan bahwa

perkara ghaib adalah urusan Allah.120

Pada sebuah ayat, Allah berfirman

bahwa kunci-kunci semua yang ghaib hanya ada pada Allah semata.121

Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah.122

Berita ghaib itu hanya

dapat diketahui dengan jalan wahyu.123

Menyakini perkara-perkara ghaib

merupakan salah satu ciri orang yang beriman, sehingga terasa sulit sekali

orang musyrik Mekkah untuk mempercayainya. Kesulitan tersebut erat

kaitannya dengan budaya yang telah mengakar, yakni budaya business

oriented di mana segala sesuatu dinilai dengan perhitungan konkrit-

matematis. Sedangkan, perkara ghaib tidak dapat diukur dengan angka.

Surah al-Kahfi ayat 22 menguraikan hal-hal ghaib, namun ia

memiliki karakteristik berbeda dengan uraian sebelumnya.

سادسهم كلبهم رجما بالغيب يقولون خمسة رابعهم كلبهم و سيقولون ثلاثة ته يقولون سبعة وثامنهم كلبهم قل ربي أعلم بعد ليل فلا و ا ق م ما يعلمهم إل

ا مراء ظاهرا ولا تستفت فيهم منهم أحدا مار فيهم إل ت

118

Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 242. 119 QS. al-Wâqi‘ah: 51-56 120 QS. al-An‘âm: 50, QS. al-A‗râf: 188, QS. al-Jinn: 26 121 QS. al-An‘âm: 59 122 QS. Yûnus: 20, QS. Hûd: 31 123 QS. Hûd: 49, QS. al-Naml: 65

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

58

Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah

tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain)

mengatakan: "(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam

adalah anjing nya", sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib;

dan (yang lain lagi) mengatakan: "(Jumlah mereka) tujuh orang,

yang ke delapan adalah anjingnya". Katakanlah: "Tuhanku lebih

mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui

(bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu

(Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran

lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-

pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka. (QS. al-Kahfi:

22)

Menurut Fakhr al-Râzî, sabab nuzûl ayat ini berkaitan dengan

orang-orang Najran yang datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan

kepada Nabi Saw. tentang pemuda Ashâbu al-Kahfi. Ada yang

mengatakan bahwa Ashâbu al-Kahfi adalah keturunan Ya‗qûb. Mereka

bertiga dan yang keempatnya adalah anjingnya. Sedangkan, Aqib berkata

bahwa pemuda Ashâbu al-Kahfi itu orang Nusturiyyan. Mereka berlima

dan keenamnya adalah anjingnya. Orang muslim berkata bahwa mereka

adalah muslim yang berjumlah tujuh orang, sedangkan yang keempatnya

adalah anjingnya. Inilah pendapat yang paling benar, menurut

kebanyakan mufasir.124

Pendapat ini dikuatkan oleh al-Tabrisî125

dan al-

Sya‗râwî.126

Quraish Shihab memandang bahwa latar belakang

diturunkannya surah al-Kahfi ayat 22 ini berkaitan dengan keraguan

orang Arab Mekkah terhadap kenabian Muhammad Saw. dan

kemukjizatan Al-Qur‘an, sehingga mereka datang kepada orang Yahudi

meminta fatwa, bahwa untuk membuktikan kenabian Muhammad Saw.

tersebut perlu diajukan tiga buah pertanyaan, jika Muhammad

menjawabnya dengan baik, berarti ia adalah seorang nabi, dan tanyakan

lagi satu hal jika ia menjawabnya kemudian ia mengetahuinya berarti ia

berbohong. Demikian ucapan orang Yahudi kepada orang Arab Mekkah

yang meminta tanggapan.

Ketiga hal tersebut adalah: Pertama, kisah sekelompok pemuda

yang masuk ke dalam gua untuk berlindung. Berapa jumlah mereka dan

apa yang bersama mereka? Kedua, kisah Mûsâ ketika diperintahkan

124 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 106 125 Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayan fî Tafsîr, h.140 126 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 8858

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

59

Tuhan untuk belajar. Ketiga, kisah seorang penjelajah ke Timur dan ke

Barat.127

Perbedaan pandangan tentang jumlah Ashâbu al-Kahfi merupakan

perselisihan yang tidak didasarkan pada ilmu. Hal ini ditunjukkan oleh

lafaz rajman bi al-ghaib yang, menurut Al-Sya‗râwî, adalah ―perkataan

tanpa ilmu.‖128

Demikian juga, Quraish Shihab mengatakan kalimat itu

adalah ucapan yang maknanya ghaib lagi tidak diketahui, dan tidak

diketahui pula pengucapnya.129

Sedangkan, menurut Qatâdah, rajman bi

al-ghaib adalah prasangka dan tidak yakin.130

Perdebatan mereka itu

disebut oleh Allah Swt. dengan perdebatan tanpa dasar ilmu.131

Allah

Swt. tidak menginformasikan jumlahnya kecuali pada golongan yang

sedikit. Seperti, perkataan Ibn Abbâs, adalah ―saya bagian dari yang

sedikit itu.‖132

Sedangkan, menurut Ata‘ dan Ibnu Atiyyah, ―sebagian

kecil dari golongan Ahli Kitab.‖133

Solusi yang diberikan Al-Qur‘an terkait perdebatan tersebut

mengarah kepada dua pemahaman. Solusi pertama adalah kalimat

perintah yang mengharuskan Muhammad Saw. mengembalikan perkara

ini kepada Allah Swt., seperti terlihat pada pada kalimat qul rabbî a„lamu

bi„iddatihim yang berarti katakanlah Muhammad Saw. bahwa Allah lebih

mengetahui jumlahnya. Solusi kedua adalah larangan berdebat pada

wilayah atau perkara yang bersifat ghaib.

Para ulama mengemukakan beberapa pendapat mengenai makna

kalimat larangan tersebut. Ibrâhîm al-Abyarî mengatakan bahwa larangan

tersebut adalah larangan berdebat dengan Ahli Kitab mengenai jumlah

pemuda Ashâbu al-Kahfi kecuali perdebatan yang bersifat fisik.134

Ibnu

Atiyyah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah bahwa

―janganlah berdebat tentang jumlah pemuda Ashâbu al-Kahfi kecuali apa

yang telah Kami wahyukan kepadamu, yaitu dengan mengembalikan

pengetahuan jumlah Ashâbu al-Kahfi kepada Allah Swt.‖135

Ada juga

yang memberikan makna bahwa larangan tersebut adalah larangan

127 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 2007), h. 208 128 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 8866. 129 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 39. 130 Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayân fî Tafsîr, h.140 131 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 8866. 132

Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayan fî Tafsîr, h.140 133 Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayan fî Tafsîr, h. 140 134 Ibrâhîm al-Abyarî, Al-Mausâ‟at al-Qur‟âniyyah (Mesir: Dâr al-Kitâb al-Misri,

1984), h. 250. 135 Muhammad Abd al-Haqq Ibn Atiyyah al-Andalusî, Al-Muharrar al-Wajîz fî

Tafsîr al-Kitâb al-Azîz (al-Qithr: Dâr al-Kutub, 1987), h. 275

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

60

berdebat kecuali perdebatan yang tidak seperti yang mereka katakan.136

Namun, yang terpenting dari kandungan ayat ini adalah fitnah yang keras

yang menimpa agama mereka sehingga mereka lari dan mencari

perlindungan agar dapat terhindar dari fitnah orang kafir dan pendosa.137

Menurut Quraish Shihab, ayat itu menerangkan tentang bagaimana

menyikapi perselisihan tanpa dasar ilmu yang benar tentang jumlah

pemuda Ashâbu al-Kahfi yang ghaib dengan mengatakan bahwa:

―Tuhanku yang memeliharaku dan membimbingku lebih mengetahui dari

siapapun. Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali yang

diberitahu saja, sedangkan jumlah yang diberitahu itu sedikit saja. Oleh

sebab itu, Nabi dan umatnya dilarang berdebat tentang jumlah Ashâbu al-

Kahfi kecuali perdebatan seputar hal-hal yang fisik saja, dan dilarang

menanyakannya kepada siapapun.‖138

Pada ayat lain, Allah mengingatkan

manusia agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui,

sebagaimana firman-Nya:

هينا علم وتحسبونه يس ل كم به بألسنتكم وتقولون بأفواهكم ما ل ونه لق إذ ت ه عظيم وهو عند الل

(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke

mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu

ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan

saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. al-Nûr: 15)

Dewasa ini seringkali kita menyaksikan orang yang suka berselisih

dan berdebat mengenai perkara ghaib yang tidak ada penjelasannya dari

Allah dan Rasul-Nya, sehingga perdebatan tersebut membawa kepada

permusuhan. Quraish Shihab menyarankan hendaknya dihindari

perdebatan semacam ini.139

Karena itu, sebaiknya kalau ingin berdebat,

maka berdebatlah pada selain persoalan ghaib. Perdebatan semacam ini

tidak dilarang oleh Allah Swt.

8. Larangan Meragukan Al-Qur’an sebagai Petunjuk

هدى لبني وجعلناه من لقائه ية اب فلا تكن في مر ولقد آتينا موسى الكتيل إسرائ

136 Al-Andalusî, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr, h. 276 137 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 8866. 138 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 270. 139 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 39.

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

61

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepada Mûsâ al-Kitab

(Taurat), maka janganlah kamu (Muhammad) ragu menerima (Al-

Qur‟an itu) dan Kami jadikan al-Kitab (Taurat) itu petunjuk bagi

Bani Isra‟il. (QS: al-Sajadah: 23)

Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa

pada ayat sebelumnya telah dijelaskan perihal orang durhaka yang

berpaling dari ayat-ayat Allah. Kemudian, pada ayat di atas Allah

mengingatkan Nabi Muhammad Saw. dengan peristiwa yang pernah

dialami Nabi Mûsâ as. dengan tujuan untuk menghiburnya.

Menurut Fakhr al-Râzî, ayat ini merupakan hiburan bagi Nabi

Muhammad Saw. dalam menghadapi kaumnya yang menyakiti beliau,

membangkang dan berpaling dari apa yang didakwahkannya, dengan cara

mengingatkan Nabi Muhammad Saw. kepada peristiwa Nabi Mûsâ as.

yang mengalami hal yang sama dan mengingatkan Nabi Saw akan

pertemuannya dengan Mûsâ as.140

Pandangan yang sama disampaikan

pula oleh Quraish Shihab.141

Wahbah al-Zuhailî mengemukakan penafsiran yang lebih sempurna

mengenai ayat ini, bahwa Allah Swt. memberi kabar kepada Nabi

Muhammad Saw, bahwa Nabi Mûsâ as. telah menerima Kitab Taurat,

maka janganlah kita meragukan kitab yang diberikan kepada Nabi

Muhammad Saw. Allah memberikan Kitab Al-Qur‘an kepada Nabi

Muhammad Saw. sebagaimana Dia memberikan Kitab Taurat kepada

Nabi Mûsâ. Muhammad bukanlah seorang yang mengada-ngada terhadap

kerasulannya, sebagaimana Allah berfirman: ―Katakanlah (Muhammad),

aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul, dan aku tidak tahu

apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu.‖ (QS. al-Ahqâf:

9).142

Umat-umat terdahulu yang telah menerima al-Kitab sepert i

kaum Nabi Mûsâ as., meskipun mereka memperselisihkan kitab

mereka (Taurat) yang seharusnya dijadikan sebagai petunjuk143

sebagaimana diterangkan oleh Al-Qur‘an:

بك لقضي سبقت من ر اب فاختلف فيه ولولا كلمة ولقد آتينا موسى الكتهم لفي شك منه مريب بينهم وإن

140 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 186-187 141 Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah ( Jakarta: Lentera Hati 2003 ) h. 391 142 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 236 143 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 572

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

62

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Mûsâ

Taurat lalu diperselisihkan tentang Taurat itu. Kalau tidak

ada keputusan yang telah terdahulu dari Rabb-mu,

tentulah orang-orang kafir itu sudah dibinasakan. Dan

sesungguhnya mereka terhadap Al-Qur‟an benar-benar

dalam keraguan yang membingungkan. (QS. Fussilat: 45)

Perselisihan inilah yang terjadi di kalangan Bani Isra‘il

terhadap kitab mereka, Taurat dan Injil. Agar kebodohan kaum

terdahulu t idak terulang, Nabi Muhammad Saw. dan umatnya

dilarang meragukan dan memperdebatkan Al-Qur‘an sebagai

petunjuk.144

Setelah kuat keyakinan Nabi Saw. mengenai fungsi

dan kedudukan Taurat di tengah-tengah kaum Bani Israil, Allah

melarang Nabi Muhammad meragukan dan memperdebatkan

fungsi Al-Qur‘an yang diberikan kepada beliau sebagai

petunjuk bagi umatnya.145

Dengan demikian, seakan memberikan

pemahaman bahwa Al-Qur‘an yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad Saw. sama persis dengan kitab-kitab yang diberikan

kepada nabi-nabi sebelumnya sepert i Taurat dan Injil, yakni

memiliki fungsi yang sama sebagai petunjuk.

Melalui uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa

Allah telah meneguhkan kenabian Muhammad Saw. melalui

kebenaran wahyu Al-Qur‘an. Al-Qur‘an membuktikan kerasulan

beliau sebagaimana nabi-nabi terdahulu yang dibukt ikan dengan

kitab-kitab mereka. Pemberitahuan Allah terkait Kitab Taurat

sebagai petunjuk adalah untuk menenangkan Nabi Muhammad

Saw. dalam menghadapi orang yang meragukan Al-Qur‘an yang

mana mereka membantah serta menolaknya.146

Penolakan itu dilakukan oleh kaum musyrikin Mekkah dan

nabi-nabi sebelumnya juga mengalami hal-hal yang sama

dengan Nabi Muhammad Saw.147

Sebagaimana disebutkan dalam

firman Allah sebagai berikut:

144 Fungsi Taurat sebagai petunjuk pada ayat di atas dipahami dari kata hudan

yang disusul oleh kata ila/la yang berarti memberi informasi/petunjuk .

Lihat, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 70 145 Hasbi al-Siddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas al-Quranul Karim (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, t.t.), h. 931 146 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 203 147 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 351

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

63

ى أتاهم وذوا حت ولقد كذبت رسل من قبلك فصبروا على ما كذبوا وأه ولقد جاءك من نبإ المرسلين نصرنا ولا مبدل لكلمات الل

Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum

kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan

penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang

pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat

merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya

telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu. (QS.

al-An‘âm: 34)

Orang kafir Mekkah mengatakan, Al-Qur‘an itu buatan

Nabi Muhammad Saw. sebagaimana disebutkan dalam firman

Allah: Bahkan mereka (orang kafir) berkata, “Dia Muhammad

telah mengada-ngadakannya (Al-Qur‟an).” Katakanlah jika aku

mengada-ngadakannya, maka kamu tidak kuasa sedikitpun

menghindarkan aku dari (azab) Allah. Dia lebih tahu apa yang

kamu percakapkan tentang Al-Qur‟an itu. Cukuplah dia menjadi

saksi antara aku dengan kamu. Dia Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang. (QS. al-Ahqâf: 8)

Penolakan terhadap Al-Qur‘an sebagai kitab yang memberi

petunjuk juga dialami oleh Nabi Mûsâ as yang menerima Taurat dari

Allah Swt. seperti terlihat pembangkangan kaum Nabi Mûsâ yang bersifat

materialistik, sehingga membutuhkan bukti fisik dengan meminta

diperlihatkan Allah ke hadapan mereka sebagaimana terekam dalam

firman-Nya: “(Orang-orang) ahli kitab meminta kepadamu Muhammad

agar engkau menurunkan sebuah Kitab dari langit kepada mereka.

Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Mûsâ yang lebih besar dari

itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah kepada kami secara nyata.” Maka

mereka disambar petir karena kezalimannya. Kemudian mereka

menyembah anak sapi, setelah melihat bukti-buklti nyata, namun

demikian Kami maafkan mereka dan telah Kami berikan kepada Mûsâ

kekuasaan yang nyata. (QS. al-Nisâ‘: 153)

Pembangkangan itu ditunjukkan dengan sikap kaum Nabi Mûsâ as.

yang berselisih tentang kitab mereka, sehingga perselisihan tersebut

mengundang amarah Allah Swt. Namun, Allah tidak menurunkan azab

kepada mereka hingga pada waktunya. Pembangkangan kaum kafir

Mekkah adalah menolak Al-Qur‘an sebagai petunjuk yang datang dari

Tuhan. Menurut Al-Qur‘an sendiri, bahwa Al-Qur‘an adalah kalam Allah

bukan kata-kata penyair atau penyihir (QS. al-Hâqqah: 40-42), yang

dihadirkan kepada manusia sebagai petunjuk (QS. al-Syûrâ: 52).

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

64

Kehadiran para penolak Al-Qur‘an adalah bagian dar i

orang yang berbuat dosa sebagaimana yang Allah sebutkan:

ا من المجرمين وكذلك جعلنا لكل نبي بك هاديا ونصيرا عدو وكفى برDan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh

dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi

Pemberi petunjuk dan Penolong. (QS.al-Furqan: 3)

Seolah ayat tersebut berbicara tentang penyebab orang menolak

kebenaran Al-Qur‘an.148

Banyaknya dosa tersebut karena dilakukan

secara berulang-ulang. Demikianlah perangai umat Nabi Mûsâ as. yang

berulang kali melakukan kedurhakaan karena menolak Taurat sebagai

petunjuk hidup. Hadirnya petunjuk Allah menunjukkan bukti kasih

sayang dan rahmat Allah kepada manusia. Petunjuk tersebut hadir seiring

dengan usia manusia pertama di muka bumi. Seolah tak ingin manusia

sengsara setelah mengalami kesengsaraan dengan dikeluarkannya Nabi

Âdam as. sebagai manusia pertama dari surga. Namun, tetap saja ada

yang menerima petunjuk tersebut, tapi tidak sedikit juga yang

menolaknya. Padahal, kehadirannya adalah untuk mencapai kebahagiaan

agar manusia tidak mengalami ketakutan dan kesedihan.149

Pemberian petunjuk melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada

para nabi terdahulu merupakan pesan yang berkelanjutan hingga Nabi

Muhammad Saw. seperti pemberian kitab kepada Nabi Mûsâ as. dalam

firman Allah pada surah al-Sajadah ayat 23 dengan menggunakan dua

lafaz tawkîd, sekaligus seakan ingin memberikan penekanan terhadap

khitâbnya, yakni Nabi Muhammad Saw. dan umatnya, kemudian diikuti

dengan larangan meragukan yang melahirkan perdebatan dan penolakan

terhadap kitab mereka. Masih banyak keterangan Al-Qur‘an yang

mengatakan bahwa Kitab Taurat dan Injil adalah kitab yang diturunkan

Allah sebagai petunjuk bagi umat-umat terdahulu dan telah kafir orang

yang tidak mempercayainya.150

Nabi Mûsâ as. pun berkata bahwa kehadiran petunjuk merupakan

bagian dari kenikmatan yang dianugerahkan Allah.151

Di antara isi dari

petunjuk tersebut adalah penanaman tauhid kepada umatnya bahwa hanya

Allah tempat meminta pertolongan. Kemudian, Allah menjelaskan

fungsi Al-Qur‘an, sebagai berikut:

148

Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 466 149

QS. al-Baqarah: 38 150 QS. Âli Imrân: 3-4 150 A. Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemah al-Qur‟an al-Karim (Jakarta:

Yayasan Halimatus Sa‘diyah, 1997), h. 753 151 QS. Ibrâhîm: 8

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

65

ذين يعملون المؤمنين ال ويبشر تي هي أقوم إن هذا القرآن يهدي للات أن لهم أجرا كبيرا الح الص

Sesungguhnya Al-Qur‟an ini memberikan petunjuk kepada (jalan)

yang lebih lurus dan memberi berita gembira kepada orang

mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada

pahala yang besar. (QS. al-Isrâ‘: 9)

Pada QS. al-Sajadah: 23 tersebut, Allah Swt. menerangkan juga

bagaimana cara memelihara Taurat, salah satunya, menegakkan hukum-

hukum yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, akan ada upaya-

upaya penolakan dari umat Nabi Mûsâ as. Karena itulah, Nabi

Muhammad Saw. dilarang takut kepada umatnya, tetapi takutlah kepada

Allah dalam rangka menegakkan agama Allah, meskipun umatnya

menolak petunjuk itu. Kemudian di penghujung ayat Allah menegaskan

kembali: Barangsiapa yang tidak menegakkan hukum-hukum Allah yang

terdapat pada kitab-kitab yang diturunkan Allah, maka ia termasuk

golongan orang kafir.

Sehingga dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai

larangan bersikap al-miryah dalam ayat ini dengan empat

pendapat ulama: Pertama, larangan meragukan Kitab Taurat

yang diterima oleh Nabi Mûsâ as.152

Kedua, larangan meragukan

Al-Qur‘an yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Al-Qur‘an

menjadi petunjuk bagi umat Muhammad Saw. sebagaimana

Taurat menjadi petunjuk kepada Bani Isra ‘il.153

Ketiga, larangan

meragukan, membantah, bahkan menolak pertemuan Nabi

Muhammad Saw. dengan Nabi Mûsâ as. di malam isrâ‟

mi„râj.154

Keempat, larangan meragukan, menolak, dan

membantah pertemuan Nabi Saw. dengan Tuhan.

B. Penafsiran Ayat-Ayat al-Miryah Fase Madinah

Penafsiran al-miryah fase Madinah ini terbagi menjadi t iga

tema besar, yaitu: 1- larangan meragukan kebenaran dari Tuhan

terkait pengetahuan Ahli Kitab, 2- larangan meragukan

kebenaran dari Tuhan terkait geneologis Îsâ Ibn Maryam, dan 3-

orang kafir yang berperilaku al-miryah terhadap Al-Qur‘an dan

sifat mereka akan kekal hingga hari Kiamat .

152 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 11849 153 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 203 154 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 11849

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

66

1. Larangan Meragukan Kebenaran dari Tuhan terkait

Pengetahuan Ahli Kitab

ين بك فلا تكونن من الممتر الحق من رKebenaran itu adalah dari Tuhanmu. Sebab itu, jangan sekali-kali

kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS. al-Baqarah: 147)

Hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa pada ayat

sebelumnya Allah Swt. menerangkan ulama-ulama Yahudi dan Nashrani,

yang mengetahui tentang Muhammad Saw. secara detail, baik waktu,

tempat, sifat, akhlak, nasab maupun kabilah beliau. Pengetahuan mereka

ini ditemukan melalui keterangan kitab mereka sendiri, Taurat dan

Injil.155

Namun, pada keyataannya mereka mengingkari kebenaran

kenabian Muhammad Saw. dengan cara menyembunyikan kebenaran

tersebut.

Kata al-haqq memiliki dua qira‟ah: Qira‟ah pertama dibaca marfû„

yang kedudukannya sebagai subjek sehingga maknanya menjadi

kebenaran itu dari Rabb yang membacakannya kepadamu Muhammad

Saw. atau kebenaran itu telah diwahyukan kepadamu.156

Qira‟ah kedua

marfû‟ yang kedudukannya sebagai predikat sehingga maknanya menjadi

kebenaran ini dari Tuhanmu.157

Tetapi, Âlî Ibn Abî Tâlib memaknainya

dengan ya„lamun/mengetahui.158

Untuk menjelaskan ayat ini perlu kiranya penulis mencantumkan

sabab nuzûl QS. al-Baqarah: 146 untuk melihat konteks keraguannya.

Sebagaimana kita ketahui ayat ini turun berkaitan dengan Ahli Kitab Abd

Allâh Ibn Salâm dan sahabat-sahabatnya. Mereka mengetahui Rasulullah

Saw. dan sifatnya dan kemunculannya yang dikabarkan melalui kitab

mereka, sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka ketika

bersama. Abd Allâh Ibn Salâm berkata: ―Sungguh aku sangat mengetahui

Rasulullah Saw. daripada anakku sendiri.‖ Kemudian, Umar Ibn Khattâb

ra. berkata: ―Sesungguhnya aku menyaksikan Muhammad Rasulullah

Saw. dengan sebenar-benarnya keyakinan, sedangkan aku tidak melihat

sedemikian terhadap anakku karena aku tidak mengetahui apa yang

terjadi pada wanita. Semoga Allah Swt. memberi taufiknya, wahai Ibn

Salam.‖159

155 Al-Qur‘an mengabarkan pengetahuan mereka dalam QS. al-A‗râf: 157. 156

Ibnu al-Anbarî, Al-Bayân fî Gharîb Irab al-Qur‟ân (Mesir: Maktabah al-Âdab,

1923), h. 125 157 Ibnu al-Anbarî, Al-Bayân fî Gharîb Irab..., h.125 158 Ibnu al-Anbarî, Al-Bayân fî Gharîb Irab..., h.125 159 Abî al-Hasan Âlî Ibn Ahmad al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl al-Qurânî (Bairut:

Dâr al-Kutub al-Alamiyyah, 1971), h. 47

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

67

Pengetahuan Ahli Kitab tersebut mengenai kenabian Muhammad

Saw. bukan hanya diinformasikan lewat hadis, namun pula melalui Al-

Qur‘an. Allah Swt. menjelaskan bahwa pengetahuan mereka didapatkan

dari Kitab mereka sendiri, yakni Taurat dan Injil: (Yaitu) orang yang

mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapatkan

tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh

mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari

mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang

baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang

dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.

Maka, orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya,

dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-

Qur‟an). Mereka itulah orang yang beruntung. (QS. al-A‗râf: 157).

Menurut al-Wâhidî, al-miryah pada ayat ini adalah keraguan

orang tentang masalah kiblat yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad Saw., kemudian mereka menolak dengan cara

menyembunyikan kenabian Muhammad Saw. Quraish Shihab

menyatakan bahwa al-haqq di sini sebagai kebenaran mutlak yang

dipahami dari huruf alif dan lâm, sehingga ayat tersebut bermakna

―kebenaran mutlak itu dari Tuhanmu Yang Maha Mengetahui lagi Maha

Kasih padamu. Karena itu, janganlah engkau termasuk orang yang ragu,

yang mengantar kepada pertengkaran yang dibuat-buat dan bukan pada

tempatnya.‖

Menurut al-Sya‗râwî, para Ahli Kitab mengetahui dengan jelas

bahwa Nabi Muhammad Saw. itu adalah seorang rasul, seperti perkataan

Abd Allâh Ibn Salâm, ―Sesungguhnya aku mengetahui Muhammad Saw.

ketika melihatnya seperti pengetahuanku terhadap anakku, namun

pengetahuanku terhadap Muhammad lebih.‖160

Pengetahuan tentang

kenabian Muhammad Saw. tersebut mereka dapatkan pada informasi

kitab-kitab mereka yang telah menggambarkan secara detail tentang

159

Kata ―Ahli Kitab‖ terulang 31 kali dalam Al-Qur‘an. 4 ayat bernada positif,

yaitu QS. Âlî Imrân: 64, 110, 113 dan 199 (Periode Madinah). Sedangkan, 27 ayat

lainnya bernada negatif (kritik) terhadap Ahli Kitab. Para ulama klasik berpendapat

bahwa Ahli Kitab mencakup Yahudi dan Nashrani. Sebagian yang lain memasukkan

kaum Sabiun, namun belakangan term ahli kitab telah mengalami perkembangan

pemahaman. Perkembangan ini dipengaruhi melalui masuknya ilmu filsafat dan

hermenuetika. Nur Kholis Majid menyebutkan bahwa cakupan Ahli Kitab dapat

diperluas pada kaum Konghucu, Hindu, dan Budha. Perluasan makna tersebut didasari

oleh persamaan landasan keimanan. 159 Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl al-Qurânî, h. 215 160 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 11849

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

68

kerasulan Muhammad Saw. Pengetahuan mereka itu dikabarkan Allah

melalui Al-Qur‘an dalam QS. al-A‗râf: 157. Kebenaran itu datang dalam

bentuk yang sama dan tidak berubah dari kitab-kitab terdahulu yang

menerangkan tentang kerasulan Muhammad Saw, sehingga Al-Qur‘an

juga menerangkan hal yang sama. Sebaliknya, kebatilan itu selalu

berubah-ubah dan bentuknya bermacam-macam.

Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan

oleh Sa‗îd Ibn Jubair.161

مه ولا يهدي ولانصراني ثم لا يؤمن بما أحد من هذه الألا يسمع بي لا دخل النارإبه ترسلأ

Tidaklah seorangpun dari umat ini, baik Yahudi ataupun Nashrani,

yang mendengar perihal diriku, kemudian ia tidak beriman dengan

apa yang telah aku turunkan dengannya kecuali ia masuk neraka.

Menurut Abd al-Karîm al-Khâtib,162

bahwa ayat ini turun untuk

menenangkan Nabi dan memantapkan ayat-ayat Allah yang disampaikan

kepada Nabi sebagai suatu kebenaran yag datang dari-Nya. Oleh sebab

itu, Nabi dilarang berdebat dan mengingkarinya seperti yang dilakukan

Ahli Kitab. Menurut al-Sya‗râwî, ―Kebenaran itu datang hanya dari sisi

Allah Swt. Selama kebenaran itu datang dari Allah, maka jangan ragu dan

berdebat tentang kebenaran.‖ Kebenaran Al-Qur‘an bersifat mutlak, tidak

terbantahkan. Ayat ini menerangkan larangan ragu yang membawa

kepada perdebatan mengenai kebenaran yang datang dari Allah.

Dengan demikian, dapat kita tarik kesimpulan bahwa standar

kebenaran menurut ayat ini adalah bahwa semua yang datang dari Allah

melalui kitab-kitabnya, baik Al-Qur‘an maupun kitab-kitab terdahulu,

merupakan kebenaran mutlak, sehingga terhadap kebenaran yang seperti

ini kita dilarang meragukannya. Oleh sebab itu, larangan bersikap al-

miryah (ragu) dapat kita pahami melalui nûn tawkîd yang diiringi dengan

fi„l mudâri„ yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat abadi dari

dulu hingga saat ini.

161 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 878. 162 Abd al-Karîm al-Khâtib, Al-Tafsîr al-Qur‟âni li al-Qurân (Mesir: Dâr al-Fikr

al-Arabi, 1967), h. 171 162 Abdul Chaer, Perkenalan Awal dengan Al-Qur‟an (Jakarta: Rineka Cipta,

2014), h. 41

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

69

2. Larangan Meragukan Kebenaran dari Tuhan terkait Geneologis

Îsâ Ibn Maryam

ين بك فلا تكن من الممتر الحق من ر(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang

datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-

orang yang ragu-ragu. (QS. Âli Imrân: 60)

Ayat di atas merupakan kalimat yang digunakan Allah untuk

melarang Rasulullah Saw. meragukan kenabiannya. Sedangkan, dalam

ayat itu terdapat kalimat yang melarang Rasulullah Saw. meragukan

kebenaran terkait Îsâ Ibn Maryam as. yang kisahnya diceritakan dalam

Al-Qur‘an. Bedanya adalah kalimat pada surah al-Baqarah ayat 187

menunjuk larangan yang menggunakan tawkîd/penguat, sementara pada

ayat di atas larangannya tidak menggunakan tawkîd. Seolah kesan yang

ingin disampaikan adalah betapa hebatnya goncangan yang meragukan

kenabian Muhammad Saw. dibandingkan goncangan yang ditimbulkan

dari keraguan terhadap kebenaran kisah Îsâ Ibn Maryam as. yang

disebutkan Al-Qur‘an. Namun, tidaklah menghilangkan pentingnya

memperhatikan kedua masalah tersebut.

Sebelum menjelaskan ayat 60 ini, penulis akan memaparkan

kronologis ayat ini. Hasan berkata: Telah datang dua orang rahib dari

Najran kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian Nabi Saw. menerima

kedatangan mereka. Salah seorang dari keduanya bertanya, ―Saya telah

Islam sebelum kamu diutus‖. Maka, Rasul pun berkata, ―Kalian telah

berbohong. Kalian terhalang dari Islam karena tiga hal: menyembah salib,

memakan babi, dan menganggap Allah punya anak.‖ Kemudian keduanya

berkata, ―Siapa ayah Îsâ as.?‖ Nabi tidak terburu-buru menjawab hingga

Allah memerintahkannya. Kemudian, turunlah surah Âli Imrân ayat 60.163

Kebenaran Îsâ Ibn Maryam as. datang dari bimbingan kalam Tuhan

yang disampaikan lewat Al-Qur‘an seperti penyebutan Îsâ yang

menunjukkan geneologis Îsâ yang lahir tanpa ayah. Penisbatan Îsâ Ibn

Maryam dengan sendirinya menepis tuduhan-tuduhan orang yang

mengingkari Îsâ as. dengan mengatakan bahwa Maryam telah berbuat

zina, melainkan Allah mampu menciptakan makhluk di luar jangkauan

nalar manusia, tanpa sumbangsih kaum lelaki.

Kehadiran Îsâ as. tanpa ayah dan kehadiran Âdam as. tanpa ayah

dan ibu merupakan dua kekuasaan Allah yang terlihat di dunia.

163 Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl al-Qurânî, h. 106-107. Ayat yang diturunkan

terkait pertanyaan kaum Nashrani Najran adalah QS. Ali Imran: 59.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

70

Kebenaran ini diingkari oleh Nashrani Najran yang mengatakan bahwa

Îsâ as. adalah manusia, sekaligus Tuhan. Anggapan ini lahir dari dugaan

kaum Nashrani terhadap makna kata Ilah yang dipahami bahwa Allah

Swt. telah menitis kepadanya.164

Kalimat wa al-rûh Ilah dipahami dengan

menjasad ke dalam tubuh Îsâ as.165

Sehingga Îsâ as. bagi mereka adalah

manusia dan Tuhan. Kenyataan ini terekam dalam Al-Qur‘an: Itulah Îsâ

putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka

berbantah-bantahan tentang kebenarannya. (QS. Maryam: 34).

Menurut al-Sya‗râwî, kalimat yamtarûn pada ayat ini berasal dari

kata mirâ‟ yang berarti perselisihan dan perdebatan pada kebathilan,

sehingga dalam pemahaman ayat ini seolah-olah Allah mengatakan

kepada golongan yang berselisih tentang Îsâ as.: ―Tinggalkan pendapat-

pendapat kalian yang bathil itu. Ambillah dan peganglah apa yang telah

kukabarkan kepadamu, karena itulah kebenaran yang tidak ada kebathilan

dari sisi manapun.‖166

Adapun informasi yang dimaksud ayat ini adalah

terkait sifat-sifat Îsâ as. yang ditunjukkan dengan kata dzâlika/itu. Kata

tersebut menunjuk kepada sesuatu yang disifati dengan sifat-sifat yang

lalu. Sifat-sifat yang lalu ini adalah perkataan Îsâ as. bahwa: ―Ia adalah

hamba Allah Swt.‖ Inilah sebuah kebenaran yang harus diyakini, bukan

perselisihan yang terjadi di kalangan Nashrani yang menganggap bahwa

Îsâ as. adalah putra Allah, sekaligus Tuhan.167

Menurut al-Syawkanî, perselisihan antara kaum Yahudi dan

Nashrani tentang kenabian Îsâ as. miliki perbedaan yang sangat jauh.

Kaum Yahudi menganggap Îsâ as. adalah seorang tukang sihir, sementara

kaum Nashrani menganggap Îsâ as. adalah Putra Allah Swt. Selain itu,

perselisihan di kalangan Nashrani lebih akut sehingga melahirkan

beberapa sekte: 1- Nusturiyyah yang menganggap bahwa Îsâ as. adalah

putra Allah Swt. 2- Golongan Malkiyyah yang menganggap bahwa Îsâ as.

adalah Tuhan, yakni yang ketiga dari yang tiga. 3- Golongan

Ya‗qûbiyyah yang mengatakan bahwa Îsâ as. adalah Allah Ta‘ala.

Dari pembagian itu, al-Syawkanî menilai bahwa kaum Nashrani

keliru dan berlebihan, sedangkan kaum Yahudi dianggap keliru dan

merendahkan.168

Perselisihan antara kaum Nashrani mengenai Îsâ as. juga

diakui oleh Alî al-Sâbûnî, bahkan ia menukil langsung dari kedua kitab

Injil milik Nasrani, yakni Injil Matius dan Injil Luqas yang memaparkan

164 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h. 312 165 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h. 312 166 Al-Sya‗râwî, Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h. 11849 167 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 55 168 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 56-58

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

71

perbedaan mencolok mengenai silsilah dan sifat-sifat Îsâ Ibn Maryam as.

Al-Syawkanî mengatakan Îsâ as. dalam versi Injil Matius adalah

keturunan Yusu‘ Ibn Yusuf al-Najjar, Ibn Ya‗qûb, Ibn Matan, Ibn Yu‗ar

sampai terakhir kepada Yahudza Ibn Ya‗qûb Ibn Ishâq Ibn Ibrâhîm.

Sedangkan, silsilah Îsâ as. versi Injil Luqas adalah keturunan Yûsuf Ibn

Halî dan anak keturunan Sulaiman Ibn Da‘ûd.169

Adapun kebenaran mengenai kisah Îsâ as. disebutkan dalam Al-

Qur‘an. Menurut versi Al-Qur‘an seperti terlihat pada ayat di atas bahwa

Îsâ Ibn Maryam as. menunjukkan geneologisnya yang lahir tanpa ayah

sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‘an sebanyak 23 kali. Kebenaran

khabar Al-Qur‘an ini tidak diterima oleh kaum Nashrani. Mereka bahkan

memperdebatkan masalah ini, padahal tidak ada nas atau landasannya

seperti Îsâ as. sebagai Tuhan, anak Tuhan, atau ketiga dalam satu.

Perdebatan dan perselisihan itu ditandai dengan munculnya berbagai

sekte dalam agama tersebut, bahkan lebih jauh menimbulkan

permusuhan yang akut.

Larangan Allah Swt. kepada manusia agar tidak meragukan dan

memperdebatkan kesesatan orang, menunjukkan bahwa keberadaan

mereka diakui kesesatannya oleh Allah Swt. melalui informasi Al-Qur‘an.

Berikut ini adalah kelompok-kelompok orang yang sesat, yaitu: orang

kafir,170

orang-orang musyrik,171

orang yang zalim,172

orang munafik.173

3. Orang Kafir yang Berprilaku al-Miryah terhadap Al-Qur’an dan

Sifat Mereka akan Kekal hingga Hari Kiamat

ذين كفروا في أو يأتيهم ولا يزال ال بغتة اعة ى تأتيهم الس حت منه ية مر عذاب يوم عقيم

Dan senantiasa orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan

terhadap Al-Qur‟an, hingga datang kepada mereka saat

(kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab

hari Kiamat. (QS: al Hajj: 55).

Menurut Ibnu Abbâs—sebagaimana dikutip Quraish Shihab—

bahwa ayat itu turun berkaitan dengan al-Walîd Ibn al-Mughîrah yang

169 Al-Sâbûnî, Kenabian dan Para Nabi, 310. 170 QS. Âli Imrân: 90, QS. al-Baqarah: 108, QS. al-Nisâ‘: 136/167, QS. al-

Mâ‘idah: 12, QS. al-Mumtahanah: 1 171 QS al-Mâ‘idah: 12 172 QS. Ibrâhîm: 27, QS. Maryam: 38, QS. Luqman: 31 173 QS. al-Nisâ‘: 88

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

72

senantiasa mendustakan Nabi Muhammad Saw. dan Al-Qur‘an.174

Setelah

panjang lebar pembahasan tentang lafaz al-miryah serta konteks yang

melingkupinya, maka sampailah kepada kita keterangan Allah Swt. yang

diinformasikan lewat Al-Qur‘an mengenai siapa saja golongan orang

yang mumtarîn.175

Adapun orang-orang yang mumtarîn yang disebutkan

pada ayat ini adalah orang-orang kafir176

yang senantiasa meragukan

kenabian Muhammad Saw. dan Al-Qur‘an. Sifat keraguan mereka tidak

akan pernah hilang hingga hadirnya al-Sâ‟ah,177

yakni hari Kiamat.

Kedatangan Kiamat akan dapat menghilangkan keraguan mereka

sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut: Mereka berkata: “Aduh

celakalah kami siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur

kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan al-Rahmân (Tuhan Yang Maha

Pemurah) dan benarlah Rasul-rasul-Nya. (QS. Yasin: 52)

Berdakwah kepada orang kafir yang memiliki keraguan semacam

ini tidak akan bermanfaat, baik diberi peringatan ataupun tidak diberi

peringatan. Semua itu sama saja bagi mereka. Mereka tetap berpegang

teguh pada kekafirannya.178

Mengapa orang-orang kafir tidak bisa

menerima peringatan? Hal itu disebabkan karena Allah Swt. telah

mengunci mati hati mereka.179

174

Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟an, h. 608 175 Mumtarin adalah bentuk ism fâ„il dari kata al-miryah yang berarti keraguan

yang disertai bantahan dan penolakan 176 Al-Qur‘an menggunakan kata kâfir dalam berbagai bentuk: Pertama, kufr al-

juhûd. Kedua, kufr al-inkâri. Ketiga, kufr al-ni„mah. Keempat, kufr al-nifâq. Kelima,

kufr al- syirk. Keenam, kufr al-irtidâd. Yang dimaksud ayat itu adalah jenis kekufuran

kedua, kufr al-inkâri, yakni kafir terhadap Allah, para rasul dan semua ajarannya beserta

hari akhir. Mereka hanya percaya kepada materi saja. Lihat, Shihab, Ensiklopedi Al-

Qur‟an, h. 191 177 Kata al-Sâ„ah digunakan ketika Allah menjelaskan tentang tanda Kiamat

besar, yakni ketika turunnya Nabi Îsâ as. ke dunia untuk yang kedua kalinya (lihat QS.

al- Zukhrûf: 61) dengan tujuan untuk membatalkan keyakinan kaum yang menganggap

dia Tuhan dan yang menganggap ia telah mati dan terbunuh. Kedatangan Îsâ menjadikan

mereka meyakini akan kebenaran Muhammad sebagai Nabi terakhir yang diutus ke

dunia, sehingga sebelum kematiannya para ahli kitab akan mengetahui mana yang hak

dan mana yang bathil. 178 QS. al-Baqarah: 6 179 QS. al-Baqarah: 7

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

73

BAB IV

RUANG LINGKUP AL-MIRYAH

DALAM TINJAUAN

A. Argumentasi Para Pelaku al-Miryah

Argumentasi-argumentasi para pelaku al-miryah ini diambil dari

pola interaksi mereka kepada nabinya, baik itu berupa ucapan maupun

tingkah laku. Para pelaku al-miryah terkadang disebutkan langsung

dengan nama nabinya, seperti pada fase Mekkah umat Nabi Muhammad

Saw. yang disebut dengan musyrikin Mekkah, kaum Nabi Lût, kaum Nabi

Îsâ. Terkadang para pelaku al-miryah disebutkan dengan ciri-cirinya saja,

seperti pada fase Mekkah keraguan terhadap hari Kebangkitan dan

keraguan terhadap pertemuan manusia dengan Tuhannya, sehingga siapa

saja yang meragukan kebangkitan manusia setelah mati dan meragukan

pertemuan mereka dengan Tuhan mereka dapat disebut dengan pelaku al-

miryah. Berbeda dengan ayat-ayat yang turun pada fase Madinah. Al-

Qur‟an menyebutkan para pelaku al-miryah pada fase Madinah dengan

satu sebutan saja, yaitu sebutan “kâfir” seperti terekam dalam surah al-

Hajj ayat 55. Sehingga, golongan al-miryah diperluas dengan term kâfir.

Setiap bentuk keingkaran terhadap kenabian dan mukjizatnya dinamakan

dengan kâfir, sepertti yang kita temukan pada para pelaku al-miryah pada

masa dahulu. Mereka, antara lain, kaum Âd, kaum Tsamûd, Fir„aûn dan

kaum Nûh.

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

74

1. Argumentasi Kaum Musyrikin Mekkah

1.1. Mukjizat adalah Sihir

يقولوا سحر مستمر وإن يروا آية يعرضوا وDan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda

(mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang

terus menerus". (QS. al-Qamar: 2)

1.2. Muhammad Tukang Sihir

ذين اس وبشر ال اس عجبا أن أوحينا إلى رجل منهم أن أنذر الن أكان للنبهم قال الكافرون إن هذا لساحر مبين آمنوا أن لهم قدم صدق عند ر

Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami

mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: "Berilah

peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang

beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi

Tuhan mereka". Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang

ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata".

(QS. Yûnus: 2)

ا قالوا ساحر أو مجنون ذين من قبلهم من رسول إل كذلك ما أتى الDemikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-

orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: "Dia

adalah seorang tukang sihir atau seorang gila". (QS. al-Dzâriyât:

52)

1.3. Meragukan Kebangkitan setelah Kematian

يقول الإنسان أ او خرج حي إذا ما مت لسوف أDan berkata manusia: "Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku

sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali?" (QS.

Maryam: 66)

1.4. Hidup Hanyalah Sekali di Dunia

ا حياتنا نيا وما نحن بمبعوثينوقالوا إن هي إل الد

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

75

Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah

kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan

dibangkitkan." (QS. al-An„âm: 29)

1.5. Kematian adalah Batas Terakhir Perjalanan Hidup Manusia

ين ولى وما نحن بمنشر ا موتتنا الأ إن هي إلTidak ada kematian selain kematian di dunia ini dan Kami sekali-

kali tidak akan dibangkitkan. (QS. al-Dukhân: 35).

1.6. Meminta Diturunkan Mukjizat

من آية ولكن وقالوا لولا نزل عليه على أن ينزل آية ه قادر قل إن الل به ر أكثرهم لا يعلمون

Dan mereka (orang-orang musyrik Mekkah) berkata: "Mengapa

tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari

Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah kuasa menurunkan

suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui". (QS.

al-An„âm: 37)

1.7. Meminta Didatangkan Ancaman dari Allah

يقولون متى هذا الوعد إن كنتم صادقين وMereka mengatakan: "Bilakah (datangnya) ancaman itu, jika

memang kamu orang-orang yang benar?" (QS. Yûnus: 48)

1.8. Meminta Didatangkan Kiamat

ها يعلمون أن ذين آمنوا مشفقون منها و ذين لا يؤمنون بها وال يستعجل بها الاعة لفي ضلال بعيد ال مارون في الس ذين ي حق ألا إن ال

Orang-orang yang tidak beriman kepada hari Kiamat meminta

supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman

merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu

adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya

orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-

benar dalam kesesatan yang jauh. (QS. al-Syûrâ: 18)

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

76

1.9. Meminta Kitab selain Al-Qur’an

ذين لا يرجون لقاءنا ائت بقرآن غير وإذا تتلى عليهم آياتنا بينات قال الا ما يوحى بع إل بدله من تلقاء نفسي إن أت هذا أو بدله قل ما يكون لي أن أ

م إلي إني أخاف إن عصيت ربي عذاب يوم عظيDan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata,

orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami

berkata: "Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah

dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak

diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan

kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku

kepada siksa hari yang besar (Kiamat)". (QS. Yûnus: 15)

1.10. Meminta Harta Kekayaan

يك إل ك تارك بعض ما يوحى لعل نزل ف أن يقولوا لولا أ صدرك وضائق بهه على كل شيء وكيل ما أنت نذير والل عليه كنز أو جاء معه ملك إن

Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebagian dari apa

yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena

khawatir bahwa mereka akan mengatakan: "Mengapa tidak

diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang

bersama-sama dengan dia seorang malaikat?" Sesungguhnya kamu

hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala

sesuatu. (QS. Hûd: 12)

1.11. Muhammad Orang Gila

ك لمجنون ذي نزل عليه الذكر إن ها ال وقالوا يا أيMereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an

kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila”.

(QS. al-Hijr: 6)

1.12. Meminta Didatangkan Malaikat

ادقين لو ما تأتينا بالملائكة إن كنت من الصMengapa kamu tidak mendatangkan malaikat kepada kami, jika

kamu termasuk orang-orang yang benar? (QS. al-Hijr :7)

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

77

نزل عليه لا ينظرون وقالوا لولا أ ملك ولو أنزلنا ملكا لقضي الأمر ثمDan mereka berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya

(Muhammad) malaikat?" Kalau Kami turunkan (kepadanya)

malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi

tangguh (sedikitpun). (QS. al-An„âm: 8)

1.13. Al-Qu’an itu Dongeng Orang-orang Terdahulu

وفي آذانهم أن يفقهوه ة بهم أكن يك وجعلنا على قلو ومنهم من يستمع إل لا يؤمنوا بها ح ذين وقرا وإن يروا كل آية ى إذا جاءوك يجادلونك يقول ال ت

لين ا أساطير الأو كفروا إن هذا إلDan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan)mu,

padahal Kami telah meletakkan tutup di atas hati mereka (sehingga

mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di

telinganya. Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran),

mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila

mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir

itu berkata: "Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah dongeng orang-

orang dahulu". (QS. al-An„âm: 25)

1.14. Melarang Orang Lain Mendengarkan Al-Qur’an

ا أنفسهم وما يشعرون وهم ينهون عنه وينأون عنه وإن يهل كون إلDan mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur’an dan

mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan mereka hanyalah

membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak

menyadari. (QS. al-An‟am: 26)

كم ذين كفروا لا تسمعوا لهذا القرآن والغوا فيه لعل تغلبون وقال الDan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar

dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-

pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka". (QS.

Fushshilat: 26)

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

78

2. Argumentasi Kaum Nabi Lût

2.1. Mengusir Nabi Lût beserta Kaumnya

ناس هم أ يتكم إن ا أن قالوا أخرجوهم من قر إل وما كان جواب قومهرون يتطه

Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka

(Lût dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya

mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri".

(QS. al-A„râf: 82)

2.2. Meminta Azab Datang

بيل وتأتون في ناديكم المنكر تأتون الرجال وتقطعون الس كم ل ن فما كان أئادقين ه إن كنت من الص ا أن قالوا ائتنا بعذاب الل جواب قومه إل

Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun

dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?

Maka, jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan:

"Datangkanlah kepada kami azab Allah jika kamu termasuk orang-

orang yang benar". (QS. al-Ankabût: 29)

3. Argumentasi Kaum Nabi Îsâ

3.1. Menganggap Îsâ al-Masîh sebagai Tuhan

المسيح هو ه ذين قالوا إن الل ال وقال المسيح يا بني لقد كفر يم ابن مرة ن ه عليه الج م الل ه فقد حر ه من يشرك بالل كم إن ب بي ور ه ر يل اعبدوا الل إسرائ

المين من أنصار ار وما للظ ومأواه النSesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:

"Sesungguhnya Allah ialah al-Masîh putra Maryam", padahal al-

Masîh (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah

Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang menyekutukan

(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan

kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi

orang-orang zalim itu seorang penolong. (QS. al-Mâ‟idah: 72)

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

79

3.2. Menyekutukan Allah dengan Selain-Nya

ه ثالث ثلاثة وما من إله ذين قالوا إن الل ا إله واحد وإن لم لقد كفر ال إل ذين كفروا منهم عذاب أليم ن ال مس ي ا يقولون ل ينتهوا عم

Sesungguhnya kafir orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya

Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada

Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari

apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di

antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. al-Mâ‟idah:

73)

3.3. Menganggap Bukti Kerasulan sebagai Sihir

ما وإذ قال عيسى ا ه إليكم مصدقا ل يل إني رسول الل يا بني إسرائ يم بن مرا جاءهم وراة ومبشرا برسول يأتي من بعدي اسمه أحمد فلم ين يدي من الت ب

بالبينات قالوا هذا سحر مبين Dan (ingatlah) ketika Îsâ Ibn Maryam berkata: "Hai Bani Israil,

sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan

kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira

dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku,

yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala rasul itu

datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata,

mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". (QS. Shaff: 6)

B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Berperilaku al-Miryah

Segala hal yang terjadi pasti ada sebabnya atau faktor-faktor yang

mempengaruhi. Demikian pula, pasti dilatarbelakangi oleh beberapa

faktor, orang kafir dan musyrik berperilaku al-Miryah atau meragukan

segala ajaran Allah yang dibawa oleh utusan-utasan. Di antara faktor yang

penulis dapatkan berdasarkan informasi ayat-ayat Al-Qur‟an adalah

sebagai berikut:

1. Tidak Memiliki Ilmu

ن لا يغني من الحق شيئا ن وإن الظ ا الظ بعون إل وما لهم به من علم إن يتDan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu.

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

80

sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap

kebenaran. (QS. al-Najm: 28)

2. Demi Kepentingan yang Bersifat Duniawi

نيافأعرض عن ياة الد ا الح ى عن ذكرنا ولم يرد إل من تول

Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling

dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan

duniawi. (QS. al-Najm: 29)

3. Hanya Mengikuti Hawa Nafsu

بعوا أهواءهم وكل أمر مستقر بوا وات وكذDan mereka mendutakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka,

sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya. (QS. al-Qamar: 3)

4. Kesombongan atas Kemampuan yang Dimiliki

نحن جميع منتصر أم يقولون Atau apakah mereka mengatakan: "Kami adalah satu golongan

yang bersatu yang pasti menang". (QS. al-Qamar: 44)

ا يه قالوا كيف نكلم من كان في المهد صبي فأشارت إلMaka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata:

"Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di

dalam ayunan?" (QS. Maryam: 29)

بعك ا بشرا مثلنا وما نراك ات ما نراك إل ذين كفروا من قومه فقال الملأ ال ذين هم أراذل ا ال كم إل أي وما نرى ل كم علينا من فضل بل نظن نا بادي الر

كاذبينMaka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya:

"Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia

(biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang

mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara

kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

81

memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin

bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (QS. Hûd: 27)

5. Terperangkap dalam Kesesatan

هم لفي سكرتهم يعمهون لعمرك إن(Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya

mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)". (QS.

al-Hijr: 72)

6. Mengikuti Prasangka Negatif

ذين يدعون من بع ال ماوات ومن في الأرض وما يت ه من في الس ألا إن للا يخرصون ن وإن هم إل ا الظ بعون إل ه شركاء إن يت دون الل

Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit

dan semua yang ada di bumi. Dan, orang-orang yang menyeru

sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan).

Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka

hanyalah menduga-duga. (QS. Yûnus: 66)

ه ا عن عبادتكم لغافلينفكفى بالل شهيدا بيننا وبينكم إن كنDan cukuplah Allah menjadi saksi antara kami dengan kamu,

bahwa kami tidak tahu-menahu tentang penyembahan kamu

(kepada kami). (QS. Yûnus: 29)

7. Belum Memiliki Pengetahuan yang Matang

ذين من ب ال كذلك كذ يله ا يأتهم تأو ولم بوا بما لم يحيطوا بعلمه بل كذالمين قبلهم فانظر كيف كان عاقبة الظ

Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka

belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang

kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang

sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah

bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu. (QS. Yûnus: 39)

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

82

8. Melampaui Batas

بعثنا من اءوهم بالبينات فما كانوا ليؤمنوا بما ثم بعده رسلا إلى قومهم فجبوا به من قبل كذلك نطبع على قلوب المعتدين كذ

Kemudian sesudah Nûh, Kami utus beberapa rasul kepada kaum

mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada

mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata,

tetapi mereka tidak hendak beriman karena mereka dahulu telah

(biasa) mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci mati hati

orang-orang yang melampaui batas. (QS. Yûnus: 74)

بك للمسرفين مة عند ر مسوYang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang

yang melampaui batas. (QS. al-Dzâriyât: 34)

يئات قال يا ومن قبل كانوا يعملون الس يهرعون إليه قومه قوم وجاءهيس منكم ولا تخزون في ضيفي أل ه قوا الل ل كم فات هؤلاء بناتي هن أطهر

رجل رشيدDan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan

sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang

keji. Lût berkata: "Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih

suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu

mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di

antaramu seorang yang berakal?" (QS. Hûd: 78)

9. Gemar Berdusta

هم بل بدا وإن ا نهوا عنه م وا لعادوا ل رد لهم ما كانوا يخفون من قبل ولو لكاذبون

Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang

mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka

dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang

mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka

itu adalah pendusta belaka. (QS. al-An‟âm: 28)

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

83

10. Meragukan Pertemuan Manusia dengan Tuhan

ه ية من لقاء ربهم ألا إن هم في مر بكل شيء محيط ألا إنIngatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan

tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa

sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. (QS. Fussilat: 54)

C. Tuntunan Allah kepada Para Nabi Menghadapi Perilaku al-

Miryah

Para nabi mendapat tugas menyampaikan wahyu Allah kepada

umatnya. Tentu, ketika berdakwah, mereka akan dipertemukan dengan

umatnya yang membangkang ajaran yang dibawanya. Sehingga, umatnya

berperilaku al-Miryah atau meragukan semua apa yang disampaikan.

Menghadapi tindakan tersebut, Allah memberikan tuntunan atau solusi

kepada utusannya. Berikut penulis akan uraikan beberapa tuntunan Allah

yang diberikan kepada utusannya melalui informasi ayat-ayat Al-Qur‟an:

1. Berpaling dari Orang Kafir

نيافأعرض عن من ياة الد ا الح ى عن ذكرنا ولم يرد إل تولMaka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling

dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan

duniawi. (QS. al-Najm: 29)

2. Memberikan Kebebasan Memilih

ا وإن كذ ا أعمل وأنا بريء مم يئون مم بوك فقل لي عملي ول كم عمل كم أنتم بر تعملون

Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: "Bagiku

pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri

terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun berlepas diri

terhadap apa yang kamu kerjakan". (QS. Yûnus: 41)

3. Tidak Bersedih Hati

ميع العليم ه جميعا هو الس ة لل ولا يحزنك قولهم إن العزJanganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya

kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Yûnus: 65)

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

84

4. Tidak Terpesona dengan Kenikmatan Hidup Orang Kafir

أزواجا منهم ولا تحزن عليه عنا به ن عينيك إلى ما مت مد م واخفض لا ت جناحك للمؤمنين

Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada

kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa

golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah

kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendahdirilah kamu

terhadap orang-orang yang beriman. (QS. al-Hijr: 88)

5. Bertasbih dan Bermunajat kepada Allah

اجدين بك وكن من الس فسبح بحمد رMaka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di

antara orang-orang yang bersujud (shalat). (QS. al-Hijr: 98)

6. Tidak Berhenti Menyembah Allah

يك اليقين ى يأت ك حت ب واعبد رDan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini

(ajal). (QS. al-Hijr: 99)

7. Mengingatkan akan Pedihnya Azab

بي عذاب يوم عظيم قل إني أخاف إن عصيت رKatakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar

(hari Kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku". (QS. al-An‟âm: 15)

8. Mengingat Tugas Utama Nabi sebagai Pemberi Peringatan

ذي ال ولي ولا وأنذر به يس لهم من دونه بهم ل ن يخافون أن يحشروا إلى رقون هم يت شفيع لعل

Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada

orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada

hari Kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan

pemberi syafaatpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.

(QS. al-An‟âm: 51)

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

85

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Miryah merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh orang-

orang kafir. Dengan sifat ragu sejenis al-miryah ini, mereka masih keras

kepala berpegang pada kekufurannya, sehingga mereka menutup hatinya

menerima kebenaran ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh utusan Allah.

Oleh sebab itu, Nabi Muhammad Saw. beserta umatnya dilarang berdebat

dengan orang kafir, khususnya mengenai persoalan-persoalan akidah.

Sebab, perdebatan semacam itu tidak memberikan manfaat sedikitpun.

Allah telah menarik kemanfaatan itu karena mereka melakukan tindakan

al-miryah atau meragukan ajaran-ajaran Allah yang disampaikan oleh

utusan-utusan-Nya. Secara sederhana, al-miryah adalah keraguan dalam

diri seseorang yang kadar penolakannya kepada kebenaran lebih kuat

dibandingkan dengan al-syakk dan raib. Selain itu, kadar penerimaannya

terhadap kebenaran sangat lemah. Karena, keraguan jenis ini disertai

dengan sifat bantahan dan penolakan yang keras terhadap kebenaran yang

sampai kepada mereka.

Pembahasan al-miryah pada fase Mekkah dapat dipilah menjadi

sembilan macam yang kesemuanya telah dikomentari oleh pakar tafsir: 1-

keingkaran terhadap para nabi sebagai pembawa peringatan, 2- larangan

meragukan dan memperdebatkan kenabian Muhammad Saw. disertai

perintah meyakini kesesatan kaum musyrikin Mekkah, 3- keraguan kaum

Nabi Lût as., 4- larangan meragukan dan memperdebatkan Al-Qur’an

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

86

sebagai pembeda antara perkara yang benar dan yang bathil, 5- golongan

yang berperilaku al-miryah terhadap perkara ghaib dan perbedaan sikap

mereka dengan golongan yang menyakininya, 6- larangan meragukan dan

memperdebatkan kehadiran Îsâ Ibn Maryam as. sebelum Kiamat, 7-

larangan meragukan azab akhirat, 8- larangan meragukan dan

memperdebatkan perkara ghaib yang tidak ada landasan nasnya dan

perintah agar berdiskusi terhadap perkara nyata, dan 9- larangan

meragukan dan memperdebatkan Al-Qur’an sebagai petunjuk.

Adapun pembahasan al-miryah pada ayat-ayat yang turun di

Madinah dapat dipilah menjadi tiga bagian: 1- larangan meragukan

kebenaran yang datang dari Tuhan melalui pemberitaan Kitab Al-Qur’an,

2- larangan meragukan dan memperdebatkan kebenaran terkait kisah Îsâ

Ibn Maryam as., dan 3- penjelasan Allah mengenai golongan yang masuk

dalam kategori al-miryah. Maka, dari uraian tersebut, dapat ditarik

benang merahnya, bahwa pembahasan al-miryah terbagi menjadi tiga

bagian: 1- larangan meragukan kesesatan, 2- larangan meragukan

kebenaran yang datang dari Tuhan, dan 3- larangan meragukan dan

memperdebatkan hal-hal ghaib yang tidak memiliki dasar.

B. Saran

Penelitian mengenai konsep al-miryah perspektif Al-Qur’an

tergolong baru dalam kajian tafsir Maudû‘i. Oleh karena itu, masih

banyak ruang kosong untuk diteliti oleh peneliti berikutnya. Salah satu

ruang kosong yang masih tersedia adalah analisis terhadap kata al-miryah

melalui pendekatan semantik dan pragmatik, beserta relevansinya di

Indonesia.

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

87

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abyarî, Ibrâhîm. Al-Mausâ’at al-Qur’âniyyah. Mesir: Dâr al-Kitâb al-

Misri, 1984.

Amuli, Jawadi. Makna Hari Kiamat dalam Al-Qur’an. Jakarta: Sadra

Press, 2012.

Al-Andalusî, Muhammad Abd al-Haqq Ibn Atiyyah. Al-Muharrar al-

Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-Azîz. Al-Qithr: Dâr al-Kutub, 1987.

Al-Anbarî, Ibnu. Al-Bayân fî Gharîb Irab al-Qur’ân. Mesir: Maktabah al-

Âdab, 1923.

Al-Asfahânî, Al-Râghib. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Terj. Ahmad

Zaini Dahlan . Mesir: Dâr Ibnu al-Jauzi, 2017.

Al-Askarî, Abû Hilâl. Al-Furûq fî al-Lughah. T.tp.: Dâr al-Âfâq al-

Jahihat, 1979.

Asrori. “Fungsi akal Dalam Tasawuf al-Ghazali”. Tesis S2 Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018.

Al-Azîm, Muhammad Abd. Mânahil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân. Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2002.

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles.

Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1999.

Chaer, Abdul. Perkenalan Awal dengan Al-Qur’an. Jakarta: Rineka

Cipta, 2014.

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

88

Da‟ûd, Muhammad. Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah fî al-Qur’ân al-

Karîm. Mesir: Dâr Gharîb, 2008.

Al-Farmâwî, Abd al-Hayyi. Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdû’î. Kairo:

Sina li al-Nasyr, 1994.

Al-Hambalî, Abû Hafas Umar Ibn Alî Ibn Adil al-Dimasqy. Al-Lubâb fî

Ulum al-Kitâb. Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.

Al-Harrâs, Asraf Abd al-Ghani. Al-Fahrasat al-Qurâ’nî. Mesir: al-Azhar

Islamic Research Academy, 2002.

Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia pendekatan Semantik

Terhadap Al-Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1997.

Al-Khâtib, Abd al-Karîm. Al-Tafsîr al-Qur’âni li al-Qurân. Mesir: Dâr

al-Fikr al-Arabi, 1967.

Al-Maqdisî, Ibnu Qudamah. Syarh Lum’ah al-I‘tiqâd. Jakarta: Dâr al-

Haqq, 2001.

Al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâghî. Terj. Bahrun Abu

Bakar. Semarang: Toha Putra, 1987.

Al-Mubayyad, Muhammad Ahmad. Ensiklopedi Akhir Zaman. Terj.

Ahmad Dzulfikar dkk. Surakarta: Granada Mediatama, 2015.

Najati, M. Ustman. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka 1985.

Al-Nawâwî, Imâm. Syarh Sahîh Muslim. Jakarta: Darus Sunnah Press,

2015.

_______. Al-Manhâj Syarah Sahîh Muslim Ibn al-Hujjâj. Terj. Agus

Makmun dkk. Jakarta: Dâr al-Sunnah: Press, 2015.

Paul, F. Knitter. Menggugat Arogansi Kekristenan. Yogyakarta: Kanisius,

2005.

Purwanto. Mencari Agama Yang Benar. Jakarta: ili Y Press, 2004.

Qolay, A. Hamid Hasan. Indeks Terjemah al-Qur’an al-Karim. Jakarta:

Yayasan Halimatus Sa‟diyah, 1997.

Al-Qurtubî, Imâm. Tafsîr al-Qurtubî. Terj. Sudi Rosadi dkk. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008.

Qutb, Sayyid. Fizilâlil al-Qur’ân. Bairut: t.np., 1971.

Al-Rahmân, Fazl. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Penerbit Putaka,

1996.

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

89

Al-Sâbûnî, Alî. Kenabian dan Para Nabi. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993.

Sarwono, Jonathan. Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2006.

Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 2007.

_______. Ensiklopedi al- Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2007

_______. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati, 2002.

Al-Siddieqy Hasbi. Al-Bayan Tafsir Penjelas al-Quranul Karim.

Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.t.

Al-Suyûti, Abd al-Rahmân Jalâl al-Dîn. Al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr Bi

al-Ma’tsûr. Bairut: Dâr al-Fikr.

Al-Syawkânî. Tafsîr Fath al-Qadîr. Jakarta: Pustaka Azzam, 2011.

Al-Sya„râwî, Mutawallî. Tafsîr al-Sya‘râwî. Mesir: Akhbar Al Yaum,

1991.

Al-Tabarî, Ibnu Jarîr. Tafsîr al-Tabarî. Terj. Ahsan Askan. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2009.

Al-Tabrisî, Abû Alî al-Fadl Ibn al-Husain. Majma‘ al-Bayan fî Tafsîr al-

Qur’ân. Bairut: Dâr al-Maktabah al-Hayâh, t.t.

Umar, Imam Muhammad al-Razi Fakhr al-Dîn Ibn „Allamah Dhiyâuddin.

Tafsîr Fakhr al- Razi. Bairut: Dâr Alfikr, 1981.

Al-Wâhidî, Abî al-Hasan Âlî Ibn Ahmad. Asbâb al-Nuzûl al-Qurânî.

Bairut: Dâr al-Kutub al-Alamiyyah, 1971.

Ya‟qub, Ali Mushtofa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Yûsuf, Ahmad Ibn. Umdah al-Huffâz fî Tafsîr Asyrâf al-Alfâz. Bairut:

Âlamu al-Kutub.

Zakaria, Abu al-Husain Ahmad Ibn Fâris Ibn. Mu‘jam al-Muqayyis al-

Lughah. T.tp.: Dâr Al Fikr, t.t.

Al-Zamakhsyarî, Abî al-Qâsim Mahmûd Ibn Umar. Al-Kasysyâf an

Haqâ’iq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl. Mesir:

Maktabah Mustaba al-Babi al-Halabi, 1972.

Al-Zandani, Syaikh Abdul Majid. Ensiklopedi Iman. Jakarta: Pustaka

AlKautsar 2006.

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

90

Al-Zarkasyî, Badr al-Dîn Muhammad Ibn Abd Allâh. Al-Burhân fî Ulûm

al-Qur’ân. Mesir: Dâr al-Turâts.

Al-Zuhailî, Wahbah. Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa

al-Manhâj. Bairut: Dâr al-Fikr, 2014.

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50309/1/Nurhayati Baruu.pdf · KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF . AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I © Nurhayati,

91

PROFIL PENULIS

Nama : Nurhayati

Pendidikan : (S1) Tafsir Hadis Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta;

(S2) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Prestasi : Juara 1 Mufassir Bahasa Inggris Tingkat Nasional

Kegiatan : Perintis Majlis Ta’lim Fastabiq al-Khairat dan Perintis

Taman Pendidikan Al-Qur’an