Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP AL-MIRYAH PERSPEKTIF AL-QUR’AN, KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I
© Nurhayati, 2020
Editor: Khalilullah Desain Sampul: Tim Yasda Pustaka
Diterbitkan oleh Yasda Pustaka
(Penerbit Yayasan Darul Hikmah) Email: [email protected]
Instagram: @yasdapustaka Narahubung: 087850099453
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT) Konsep al-Miryah Perspektif Al-Qur’an,
Kajian Tafsir Maudû‘i/Nurhayati —Sumenep: Yayasan Darul Hikmah
Beluk Kenek Ambunten Sumenep, 2020 xvi + 91 hlm; 17,6 x 25 cm
ISBN: 978-623-92776-3-5
Cetakan Pertama, Februari 2020
iii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nurhayati
NIM : 21170340000010
Dengan ini menyatakan bahwa tesis berjudul KONSEP AL-MIRYAH
PERSPEKTIF AL-QUR‟AN (KAJIAN TAFSIR MAUDÛ‘I) adalah
benar-benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan
tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada
dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya
dalam tesis. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata tesis ini
sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan seperlunya.
Jakarta, 6 Februari 2020
Nurhayati
NIM 21170340000010
iv
v
ABSTRAK
Nurhayati, Konsep al-Miryah Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir
Maudû’i), 2020
Kajian penafsiran Al-Qur‟an melalui metode tafsir maudû‘i
memiliki perhatian yang sangat tinggi di tengah-tengah akademisi.
Tesis ini mencoba mengkaji kata al-miryah yang berarti ragu dalam
Al-Qur‟an melalui pendekatan tafsir maudû‘i, karena mengingat kata
ini disebutkan secara berulang-ulang pada ayat yang berbeda-beda.
Studi al-miryah dipandang penting dikaji karena melihat uraiannya
yang tak lepas dari realitas orang kafir yang sering meragukan ajaran
para utusan Allah pada masa dahulu. Sehingga dengannya, kata ini
seakan-akan memiliki makna yang tersirat yang perlu ditelaah secara
serius, meskipun pada tempat lain untuk menunjukkan makna keraguan
Al-Qur‟an menggunakan kata syakk, labs, raib, dan dzabdzabah.
Tesis ini menjawab pertanyaan bagaimana pemahaman lafaz al-
miryah pada ayat-ayat yang berkaitan dengan akidah? Dengan
menggunakan metode diskriptif-analitis, penulis menjawab pertanyaan
penelitian tersebut melalui pencarian data kepustakaan, khususnya
ayat-ayat yang menguraikan tentang al-miryah. Selain itu, penulis juga
mencari kitab tafsir, buku, dan artikel yang relevan dengan penelitian
ini. Selanjutnya, penulis menafsirkan data-data yang terkumpul secara
analitis menggunakan pengumpulan sejumlah unit-unit pada analisis.
Kajian ini menemukan beberapa poin: Temuan pertama,
argumentasi para pelaku al-miryah, yang meliputi argumentasi kaum
musyrikin Mekkah, argumentasi kaum Nabi Lût, dan argumentasi
kaum Nabi Îsâ. Temuan Kedua, perilaku al-miryah yang diperbuat oleh
orang kafir dan musyrik pada keyataannya dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor, seperti kesombongan, belum memiliki pengetahuan
yang memadai, kepentingan yang bersifat individualis, dan dikuasi oleh
hawa nafsu. Temuan ketiga, tuntunan Allah yang diberikan kepada
utusan-Nya menghadapi umat mereka yang berperilaku al-miryah,
meliputi menghindari bergaul dengan pelaku al-miryah, berlapang
dada, banyak berdoa dan berikhtiar, dan mengingat tugas utama Rasul
sebagai penyampai risalah bukan pemberi hidayah.
Kata Kunci: al-Miryah, Sinonimitas, dan Tafsir
vi
ABSTACT
Nurhayati, The concept of al-Miryah Al-Qur’an Perspective (Study
of Maudû‘i’s Interpretation), 2020
The study of the interpretation of the Qur‟an through the method
of interpretation maudû‘i has very high attention in the midst of
academics. This thesis tries to study the word al-miryah which means
doubt in the Qur‟an through the maudû‘i's interpretation approach,
because remembering this word is mentioned repeatedly in different
verses. The study of al-miryah is seen as important because it sees the
description which cannot be separated from the reality of infidels who
often doubt the teachings of the messengers of God in the past.
Therefore, this word seems to have an implied meaning that needs to be
studied seriously, although in other places to show the meaning of the
Qur'an‟s doubt using the words syakk, labs, raib, and dzabdzabah.
This thesis answers the question how is the understanding of
word al-miryah in verses related to the creed? By using descriptive-
analytical methods, the authors answer the research questions through
searching library data, more specifically the verses that elaborate on al-
miryah. In addition, the author also looks for commentaries, books and
articles that are relevant to this research. Next, the authors interpret the
data collected analytically using the collection of a number of units in
the analysis.
This study found several points: The first finding, the arguments
of the perpetrators of al-miryah, which included the arguments of the
Meccan polytheists, the arguments of the Prophet Lût, and the
arguments of the Prophet Îsâ. The second findings, al-miryah‟s
behavior which is done by unbelievers and polytheists in the
background is motivated by several factors, such as arrogance, do not
have adequate knowledge, individualistic interests, and are dominated
by lust. The third findings, the guidance of Allah given to His
messengers to face their people who behave al-miryah, includes
avoiding associating with al-miryah actors, tolerant, praying and
endeavoring, and remembering the main task of the Apostle as the
messenger of the message is not the provider of guidance.
Key Word: al-Miryah, Synonymity, and Tafsir
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
menciptakan manusia dari tiada menjadi ada dan telah mengajarkan
mereka apa yang belum mereka ketahui. Berkat karunia-Nya, tesis yang
berjudul “Konsep al-Miryah Perspektif Al-Qur‟an (Kajian Tafsir
Maudû‘i)” ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Salawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., para keluarga, dan
sahabatnya. Âmîn.
Pemilihan tesis yang berorientasi pada tafsir maudû‘i ini
merupakan cita-cita penulis pada saat memilih kuliah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis telah banyak mendapatkan ilmu teknis
dan non-teknis dalam sistem rancang penulisan tafsir maudû‘i.
Sehingga, semua itu dapat mengantarkan penulis meneliti kosakata al-
miryah dalam Al-Qur‟an dengan pendekatan tafsir maudû‘i. Oleh
karena itu, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada
dosen pembimbing pertama, Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A. yang
sangat bersedia memberikan masukan tanpa batas waktu dan sangat
sabar dalam proses bimbingan.
Tak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen
pembimbing kedua Dr. Eva Nugraha, M.A. yang telah membuat
penulis lebih mengerti dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih tak
terhingga pula penulis haturkan kepada seluruh dosen penguji tesis,
Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A. dan Dr. Mafri Amir, M.A. Demikian
pula, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Bustamin,
M.Si., selaku ketua penguji, dan Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag., sebagai
sekretaris penguji. Sungguh karena masukan dan bantuan para dosen,
penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada seluruh
dosen yang telah menerima penulis menimba ilmu di kampus UIN
Syarif Hidayatullah, beserta seluruh pihak yang terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Lebih dari itu, penulis selalu
bersyukur dan berterima kasih atas support dan doa orangtua, sehingga
segala kesulitan menjadi mudah, serta segala keinginan dan cita-cita
viii
menjadi tercapai. Hal yang dapat penulis petik adalah bahwa penulisan
tesis ini dapat membangun mental penulis menghargai proses dan
waktu, sehingga segala keinginan akan indah pada waktunya.
Semoga kehadiran tesis ini memberikan manfaat, baik kepada
penulis sendiri maupun kepada para pembaca. Sebagai karya manusia,
tesis ini pasti memiliki banyak kekurangan. Segala kritikan dan
masukan sangat diharapkan untuk dijadikan perbaikan di hari
kemudian. Terima kasih. Selamat membaca!
Jakarta, 6 Februari 2020
Nurhayati
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ............................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................. ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .......................... xii
DAFTAR TABEL .......................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................. 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................ 6
D. Tujuan Penelitian ...................................................... 6
E. Manfaat Penelitian .................................................... 6
F. Kajian Pustaka .......................................................... 7
G. Metode Penelitian ..................................................... 9
H. Sistematika Penulisan ............................................... 10
BAB II DISKURSUS SEPUTAR AL-MIRYAH
A. Pengertian al-Miryah ................................................ 13
B. Derivasi Kata al-Miryah............................................ 16
C. Daftar Ayat-Ayat al-Miryah berdasarkan Tartib
Nuzuli ....................................................................... 16
D. Sinonimitas Kata al-Miryah ...................................... 20
E. Perbedaan al-Miryah dengan al-Syakk dan Raib ........ 23
F. Urgensi Mengetahui al-Miryah ................................. 23
BAB III PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-MIRYAH FASE
MEKKAH DAN MADINAH SERTA
LASIFIKASINYA
A. Penafsiran Ayat-Ayat al-Miryah Fase Mekkah .......... 27
1. Keingkaran dan Keraguan terhadap Para
Nabi sebagai Pembawa Peringatan ..................... 28
2. Larangan Meragukan dan Memperdebatkan
Kenabian Muhammad Saw. Disertai Perintah
Meyakini Kesesatan Penyembahan Kaum
Musyrikin Mekkah ............................................. 34
x
3. Keraguan Kaum Nabi Lût as terhadap Azab
yang Dibawa Para Malaikat ................................ 43
4. Larangan Meragukan Al-Qur‟an sebagai
Pembeda antara Perkara yang Benar dan
yang Batil........................................................... 43
5. Golongan yang Berprilaku al-Miryah terhadap
Perkara Ghaib dan Perbedaan Sikap Mereka
dengan Golongan yang Meyakininya.................. 47
6. Larangan Meragukan Perkara Ghaib yang Ada
Landasan Nasnya ............................................... 52
7. Larangan Meragukan Perkara Ghaib yang Tidak
Ada Landasan Nasnya dan Perintah agar
Berdiskusi tentang Perkara Nyata ....................... 57
8. Larangan Meragukan Al-Qur‟an sebagai
Petunjuk ............................................................. 60
B. Penafsiran Ayat-Ayat al-Miryah Fase Madinah ......... 65
1. Larangan Meragukan Kebenaran dari Tuhan
terkait Pengetahuan Ahli Kitab ........................... 66
2. Larangan Meragukan Kebenaran dari Tuhan
terkait Geneologis Îsâ Ibn Maryam ..................... 69
3. Orang Kafir yang Berprilaku al-Miryah
terhadap Al-Qur‟an dan Sifat Mereka akan
Kekal hingga Hari Kiamat .................................. 71
BAB IV RUANG LINGKUP AL-MIRYAH DALAM
TINJAUAN
A. Argumentasi Para Pelaku al-Miryah .......................... 73
1. Argumentasi Kaum Musyrikin Mekkah .............. 74
2. Argumentasi Kaum Nabi Lût ............................. 78
3. Argumentasi Kaum Nabi Îsâ .............................. 78
B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Berperilaku
al-Miryah .................................................................. 79
1. Tidak Memiliki Ilmu .......................................... 79
2. Demi Kepentingan yang Bersifat Duniawi.......... 80
3. Hanya Mengikuti Hawa Nafsu ........................... 80
4. Kesombongan atas Kemampuan yang Dimiliki .. 80
5. Terperangkap dalam Kesesatan .......................... 81
6. Mengikuti Prasangka Negatif ............................. 81
7. Belum Memiliki Pengetahuan yang Matang ....... 81
8. Melampaui Batas ............................................... 82
xi
9. Gemar Berdusta ................................................. 82
10. Meragukan Pertemuan Manusia dengan Tuhan .. 83
C. Tuntunan Allah kepada Para Nabi Menghadapi
Perilaku al-Miryah .................................................... 83
1. Berpaling dari Orang Kafir ................................. 83
2. Memberikan Kebebasan Memilih ....................... 83
3. Tidak Bersedih Hati ........................................... 83
4. Tidak Terpesona dengan Kenikmatan Hidup
Orang Kafir ........................................................ 84
5. Bertasbih dan Bermunajat kepada Allah ............. 84
6. Tidak Berhenti Menyembah Allah ...................... 84
7. Mengingatkan akan Pedihnya Azab .................... 84
8. Mengingat Tugas Utama Nabi sebagai Pemberi
Peringatan .......................................................... 84
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan ............................................................... 85
2. Saran......................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 87
PROFIL PENULIS ........................................................................ 91
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ث
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha ر
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ى
w we و
h ha ه
apostrof ‟ ء
y ye ي
xiii
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي…
au a dan u و…
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di ـآ
atas
î i dengan topi di ـي
atas
û u dengan topi di ـو
atas
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf
yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
xiv
6. Tâ’ Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tâ’ marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga
berlaku jika tâ’ marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat
contoh 2). Namun, jika huruf tâ’ marbûtah tersebut diikuti kata benda
(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat
contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
يقةطر 1 Tarîqah
al-jâmî‟ah al-islâmiyyah الجاهعت اإلسالهیت 2
wahdat al-wujûd وددة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia
(EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal
nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-
Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf
cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul
buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih
aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî;
Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih
aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan di atas:
xv
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذ ھ ة األ ست اذ
tsabata al-ajru ث ب ج األ جر
م ت الع صر ی ت al-harakah al-„asriyyah ال ذر
د أ ى ال إ له إ ال هلل asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشھ
ال خ ل ل الص وال ن ا ه Maulânâ Malik al-Sâlih ه
م ن هلل ث ر yu‟atstsirukum Allâh ی ؤ
al-mazâhir al-„aqliyyah الوظ اھ ر الع قل ی ت
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri
mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak
perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis
Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman,
bukan Fadl al-Rahmân.
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I Kata al-Miryah dan Derivasinya Berdasarkan
Ayat-Ayat Makkiyyah ................................................... 16
Tabel II Kata al-Miryah dan Derivasinya Berdasarkan
Ayat-Ayat Madaniyyah ................................................. 19
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Marad adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan akal atau jiwa
seseorang. Penyakit akal yang berupa ketidaktahuan mengantarkan
penderitanya pada keraguan dan kebimbangan. Keraguan dan
kebimbangan ini muncul karena orang yang bimbang dan ragu tidak
menemukan kesimpulan yang pasti dan tidak yakin terhadap sesuatu,
karena ia tidak memiliki ilmu yang dapat membedakan yang hak dan
yang batil. Karena itu, orang-orang yang ragu dengan jenis apapun
dikatakan sebagai orang-orang yang belum beriman. Al-Qur‟an melarang
manusia berada dalam keraguan dengan perintah untuk mencari ilmu,
yang berujung pada satu tujuan yang pasti. (QS. al-Najm: 42).
Ilmu harus dapat mengungkap rahasia kebenaran Sang Pencipta,
yang pada akhirnya mengantarkan kepada keimanan yang berkualitas dan
ketundukan totalitas (QS. Fussilat: 53 dan QS. al-Hajj:54). Bukan
keimanan yang setengah-setengah. Bahkan, Allah Swt. memerintahkan
kita untuk menjadi orang-orang yang yakin (QS. al-Dukhân: 7-9).
Dari paparan di atas jelas keraguan menunjukkan sikap ketiadaan
ilmu dan keraguan ini termasuk dalam kategori marad, sehingga harus
segera disembuhkan dengan mencari keyakinan, bukan bersikap malas
pada sebuah ketidakpastian dan bersikap acuh terhadap hal-hal yang harus
diyakini. Namun, berbeda dengan pandangan sebagian ulama, seperti
Muhammad Quraish Shihab yang masih membolehkan sifat keraguan
2
dengan jenis al-syakk. Ia mengatakan bahwa ragu jenis al-syakk masih
diperbolehkan, karena sikap seperti ini akan mendorong berpikir positif
dan rasa ingin tahu seseorang.
Senada dengan Quraish Shihab yang membolehkan keraguan jenis
al-syakk, seorang sufi sekaligus filsuf al-Ghazâlî juga menggunakan
keraguan sebagai alat untuk menemukan kebenaran mutlak. Bila dilihat
secara struktur-esensial, dari gerak keraguan yang digunakan al-Ghazâlî
mencakup: Pertama, keraguan terhadap pengetahuan emperik (panca
indera) dan, kedua, keraguan terhadap pengetahuan intelektual primer
(akal).1 Ada juga golongan lain yang menggunakan keraguan atau skeptis
dengan tujuan sebagai metode saja, bukan mencari kebenaran mutlak.
Mereka adalah kaum shopis.2
Bagaimanakah jika semua jenis keraguan masuk ke dalam kategori
marad atau penyakit, yang mana sifat ini merupakan sifat orang kafir,
sebagaimana firman Allah Swt:
ه مرضا ولهم عذاب أليم بما كانوا بهم مرض فزادهم الل يكذبون في قلوDalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya;
dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
(QS. al-Baqarah: 10).
Dari pemahaman ayat ini, jelas bahwa marad adalah sifat orang
kafir yang akan membawa mereka kepada azab yang pedih. Sifat ini tentu
tidak boleh dimiliki oleh orang mukmin yang menginginkan kenikmatan
surgawi. Pembolehan sifat ragu dengan jenis apapun berarti pembolehan
memiliki sifat-sifat orang kafir. Namun, di sisi lain keraguan dapat
memberi manfaat terhadap penemuan kebenaran, seperti perjalanan orang
yang mencari agama menurut keyakinannya, sehingga mengantarkannya
kepada keyakinan dan ketenangan. Keraguan juga banyak memberikan
manfaat pada disiplin ilmu filsafat. Berdasarkan persoalan tersebut
penulis merasa perlu untuk melihat bagaimana konsep Al-Qur‟an
mengenai keraguan yang ditunjukkan oleh sifat al-miryah ini?
1 Asrori, “Fungsi akal dalam Tasawuf al-Ghazali,” Tesis, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018, h. 40 2 Sofis diartikan dengan seseorang yang menipu orang lain dengan
mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Sofis adalah nama yang
diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup dan berkarya pada zaman yang sama
dengan Sokrates. Meskipun sezaman, kaum sofis dipandang sebagai penutup era filsafat
pra-sokratik karena Sokrates akan membawa perubahan besar di dalam filsafat Yunani.
Lihat, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles (Yogyakarta:
Penerbit Kanisisus, 1999), h. 83.
3
Bagaimana batasan penggunaan sifat ragu yang ditunjukkan oleh
lafaz al-miryah? Apakah sifat ini dilarang atau bahkan bisa disamakan
dengan al-syakk? Bagaimana dampak sinonimitas lafaz al-syakk dengan
al-miryah? Salah satu dari dua lafaz tersebut masih dibolehkan, sementara
kajian lafaz-lafaz al-miryah dan derivasinya secara keseluruhan bercerita
tentang keraguan dan pembangkangan umat-umat terdahulu. Sehingga,
mereka sering menerima azab Allah Swt. seperti kisahnya kaum Nabi
Lût, kaum Nabi Îsâ dan kaum Nabi Mûsâ.
Salah satu kewajiban kita sebagai muslim adalah meyakini
sakralitas petunjuk Al-Qur‟an dan segala informasi yang terkandung di
dalamnya. Untuk selanjutnya kita jadikan panduan dalam berbagai
macam persoalan yang muncul. Al-Qur‟an merupakan kitab terakhir yang
menjadi petunjuk hidup manusia. Sebab, tidak akan ada lagi kitab-kitab
samawi yang akan diturunkan ke bumi. Hal ini juga yang dikatakan
seorang sahabat Hasan, bahwa Al-Qur‟an menjadi tanda datangnya
Kiamat atau tanda akan berakhirnya kehidupan manusia di dunia.3
Sebagai kitab terakhir sudah tentu Al-Qur‟an menjadi petunjuk
hidup manusia yang sempurna. Kesempurnaan itu terlihat dari berbagai
sisi. Salah satu contohnya adalah kesempurnaan yang tampak dari sisi
kebahasaannya. Pilihan kosa kata Al-Qur‟an menunjukkan bahwa lafaz-
lafaz tersebut bersifat mufassalan atau memerinci4 dan mubayyinan atau
menjelaskan.5 Salah satu bukti dari kedua sifat tersebut adalah kejelasan
jenis lafaz yang menunjukkan makna “ragu”. Al-Qur‟an menggunakan
lafaz al-syakk, raib, al-miryah, labs, dzabdzabah untuk menguraikan
makna ragu, yang masing-masing memiliki satu atau lebih sifat khusus
yang menyertai dan membedakan masing-masing lafaz tersebut.
Perbedaan jenis lafaz dalam menguraikan makna ragu menunjukkan
bahwa tidak ada kata yang memiliki sinonim. Namun, ulama berbeda
pendapat mengenai keberadaan sinonimitas antara lafaz-lafaz yang
3 Abd al-Rahmân Jalâl al-Dîn al-Suyûti, Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-
Ma’tsûr (Bairut: Dâr al-Fikr), h. 387 4 Kata fasl berasal dari kata fasala yang berarti memperjelas salah satu dari dua
hal sampai terlihat perbedaan yang mencolok antara keduanya untuk. Baca, al-Râghib
al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Terj. Ahmad Zaini Dahlan (Mesir: Dâr
Ibnu al-Jauzi, 2017), h. 86. Tafsil bermakna menyebutkan kandungan jumlah kalimat
dengan cara memerinci kata perkata, sehingga jelas maksud dan kandungannya. Karena itulah, Al-Qur‟an disifati dengan tafsil. Lihat, Abû Hilâl al-Askarî, Al-Furûq fî al-
Lughah (t.tp.: Dâr al-Âfâq al-Jahihat, 1979), h. 49 5 Mubayyinan berasal dari kata bayyana yang bermakna menjelaskan atau
menerangkan dengan jelas. Telusuri “Bayyana”, https://www.almaany.com/11/7,
diunduh pada tanggal 09 Februari 2020.
4
bermakna mirip. Ada yang menyetujuinya, bahkan tidak sedikit juga yang
menolaknya. Keberadaan lafaz-lafaz yang tidak memiliki kesamaan
makna tersebut menunjukkan kekayaan makna yang dikandung oleh lafaz
Al-Qur‟an. Kemukjizatan lain terlihat juga dari penggunaan fleksibilitas
lafaz, yaitu penggunaan lafaz yang sama untuk makna yang berbeda, dan
yang lebih unik lagi lafaz yang sama akan melahirkan makna berbeda bila
dirangkai dengan lafaz yang berbeda pula. Inilah yang disebut oleh
Toshihiko Izutsu dengan makna relasional. Makna relasional adalah
sesuatu yang konotatif,6 yang diberikan dan ditambahkan pada makna
yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam
bidang khusus berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata
penting lainnya dalam sistem tersebut.7
Dalam bahasa Arab kita mengenal jenis lafaz musytarak dan
mutarâdif. Musytarak adalah lafaz yang memiliki banyak arti. Sedangkan,
mutarâdif adalah keragaman lafaz yang menunjukkan satu makna saja.
Inilah yang kita sebut dengan sinonimitas. Banyak sekali para pakar
bahasa yang menolak keberadaan sinonimitas Al-Qur‟an. Salah satu dari
mereka adalah Binti Syati‟ dari kalangan mufasir kontemporer dan al-
Zarkasyî dari kalangan pakar tafsir klasik.8 Bahkan, Abû Hilâl al-Askarî,
seorang ahli dalam bidang ilmu adab dan sya‟ir menyusun sebuah buku
yang berjudul al-Furûq fî al-Lughah. Ia mengatakan: “Sesungguhnya
semenjak saya melihat jenis ilmu adab tidaklah saya menulis kitab yang
menghimpun atrafnya dan menyusun bab-babnya kecuali membicarakan
perbedaan antara makna-makna kata yang berdekatan, sehingga jelaslah
bentuk perbedaannya.”9
Adapun beberapa ahli bahasa yang menganggap adanya sinonimitas
atau persamaan makna antara lafaz al-syakk dan al-miryah, antara lain,
Ahmad Ibn Yûsuf yang mengatakan al-miryah berarti al-syakk.10
Namun,
al-Râghib al-Asfahânî telah melihat sisi perbedaan lafaz tersebut dengan
mengatakan al-miryah adalah al-syakk dalam sebuah perkara, namun kata
al-miryah lebih khusus daripada al-syakk.11
Sama halnya dengan Ahmad
6 Konotatif adalah makna kata tambahan. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca
Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), h. 361 7 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-
Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 12-13 8 Badr al-Dîn Muhammad Ibn Abd Allâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî Ulûm al-
Qur’ân (Mesir: Dâr al-Turâts), h. 7 9 Al-Askarî, Al-Furûq fî al-Lughah, h. 9 10 Ahmad Ibn Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr Asyraf al-Fâz (Bairut: Âlam al-
Kutub), h. 97 11 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 495
5
Ibn Yûsuf, Quraish Shihab mengkhususkan bahwa pembahasan lafaz al-
miryah dalam Al-Qur‟an bermakna al-syakk.12
Berbeda dengan al-
Sya„râwî yang melihat dengan jelas perbedaan kata al-miryah dengan al-
syakk, dengan menambahkan sifat khusus yang membedakannya, yakni
lafaz jadal pada makna al-miryah tersebut. Al-miryah adalah membantah
dan ragu.13
Lafaz al-miryah memiliki makna dasar yang berbeda dengan al-
syakk. Makna dasar, menurut Toshihiko Izutsu, adalah “sesuatu yang
melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa di manapun kata itu
diletakkan.”14
Seperti halnya pendapat Ibn Faris, kata al-miryah terdiri
dari mîm, râ’ dan huruf illah yang memiliki dua makna: Pertama,
menghapus atau mengusap sesuatu. Kedua, kasar dan keras. Dengan
demikian makna lafaz al-miryah lebih jelas dan berbeda dengan al-syakk.
Al-miryah adalah keraguan yang disertai sifat keras dan penuh
perdebatan. Makna ini juga dikuatkan dengan pendapatnya Muhammad
Dâ‟ûd yang mengatakan bahwa al-miryah menunjukkan keraguan yang
disertai bantahan dan penolakan.15
Bahkan, dalam kesempatan yang
berbeda Quraish Shihab mengungkapkan perbedaan lafaz al-miryah
dengan al-syakk. Ia mengatakan bahwa keraguan jenis al-miryah adalah
keraguan yang akan melahirkan pertengkaran dan perdebatan akibat niat
buruk yang muncul dari hati yang bejat untuk mempersalahkan, meskipun
mitra bicara dalam posisi yang benar.16
Tentu saja makna ini berbeda
dengan makna al-syakk.
Adapun al-Râghib al-Asfahânî mengartikan al-syakk dengan dua
hal yang berlawanan dan disertai dengan kesamaan, ragu termasuk dalam
kategori ketidaktahuan, dan bahkan ia lebih khusus daripada tidak tahu.
Karena ketidaktahuan, terkadang muncul dari tidak adanya pengetahuan
mengenai dua hal yang bertentangan itu. Maka, setiap keraguan pasti
tidak tahu. Akan tetapi, tidak semua ketidaktahuan dapat disebut
keraguan.17
Menurut al-Râghib al-Asfahânî, orang yang ragu dengan jenis
12 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.
608 13 Mutawallî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî (Mesir: Akhbar al-Yaum, 1991), h.
6389 14 Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 12-13 15 Muhammad Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah fî al-Qur’ân al- Karîm
(Mesir: Dâr Gharîb, 2008), h.275 16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Tangerang: Lentera Hati, 2002), h.355 17 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 395
6
al-syakk ini lebih tepat disebut dengan orang yang tak memiliki ilmu
pengetahuan.18
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mencoba
mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan tema penelitian
ini:
1. Ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan sinonimitas dalam
Al-Qur‟an.
2. Pengakuan terhadap sinonimitas pada lafaz al-syakk dan al-miryah
akan membawa pada pemahaman akidah yang salah.
3. Al-Qur‟an menguraikan makna ragu dengan lima lafaz yang
berbeda, yaitu al-syakk, raib, al-miryah, labs, dzabdzabah.
4. Pengaruh penggunaan kosakata yang bermakna keraguan dalam
pemahaman keagamaan.
5. Pengertian al-miryah yang digunakan Al-Qur‟an bercerita tentang
umat-umat yang diazab Allah.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi penelitian lafaz al-miryah ini pada ayat-ayat Al-
Qur‟an yang berkaitan dengan persoalan akidah saja.
2. Perumusan Masalah
Pada penelitian kali ini penulis membuat rumusan masalah dengan
pertanyaan: “Bagaimana pemahaman lafaz al-miryah pada ayat-ayat yang
berkaitan dengan akidah?”
D. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pemahaman lafaz al-miryah pada ayat-ayat yang berkaitan dengan akidah.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah khazanah pengetahuan tafsir maudû’î yang berkaitan
tentang kajian lafaz
2. Menjadikan hasil penelitian ini sebagai dasar teori kajian pada
perkembangan penelitian-penelitian selanjutnya
18 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h. 277
7
F. Kajian Pustaka
Berdasarkan penelusuran penulis, banyak sekali penelitian yang
membahas masalah sinonimitas lafaz-lafaz bahasa Arab Al-Qur‟an. Di
antara penelitian yang telah penulis baca meliputi: Pertama, “Keraguan
terhadap Keaslian Al-Qur‟an” yang ditulis oleh Ahmad Sanusi Azmi
tahun 2012. Jurnal ini memuat teori informan yang berasal dari kajian
orientalis terhadap berbagai manuskrip serta sumber-sumber Islam.
Adapun pembentukan teori ini diambil dari pola interaksi melalui
percakapan Rasulullah Saw. dengan Kaum Yahudi dan Nashrani, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang terekam oleh Al-Qur‟an.
Kedua, “Sinonimitas dalam Al-Qur‟an, Studi atas Lafaz al-Syakk
dan Raib” karya Ariefa Hudi Fahmi, dari kampus Universitas Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 2015. Skripsi ini membahas sinonimitas Al-
Qur‟an menggunakan pendekatan lingusitik dan analisa sintagmatik dan
paradigmatik. Berdasarkan analisis sintagmatis, terhadap kata al-syakk
didapatkan kata murîb, syubbiha, mâ lahum bihi min ilm, zhann, mâ
qatalûhu yaqînan. Sedangkan, hasil dari analisis paradigmatik terhadap
kata al-syakk didapatkan kata zhann, taraddud dan yaqîn. Adapun analisis
sintagmatis terhadap lafaz raib didapatkan kata al-syakk, zhann, dan
taraddud. Kemudian, dari hasil analisis parakdigmatik terhadap kata raib
didapatkan kata al-qalaq, al-idtirab, al-azam, al-tuma’ninah.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Rumzah berjudul “Teori
Asinonimitas (Lâ Tarâdufa fî Alfâz al-Qur’ân), Studi terhadap Pemikiran
Âisyah Abd al-Rahmân Binti al-Syâti‟”, tahun 2015. Penelitian ini berisi
tentang teori asinonimitas yang terbentuk dari salah satu metode
penafsiran Bintu al-Syâti‟, yakni al-Istiqrâ’u al-Lafz al-Qur’ân fî Kulli
Mawâdi‘i Warûdihi. Penulis skripsi ini melakukan pengaplikasian teori
asinonimitas terhadap lafaz-lafaz yang tampak sinonimnya dalam kitab
Tafsîr al-Bayân, serta menjelaskan implikasi teori asinonimitas Bintu al-
Syâti‟ terhadap penafsiran Al-Qur‟an
Keempat, “Yakin dan Ragu dalam Al-Qur‟an” karya Luluk
Maslakhatul Kurnia dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, tahun
2017. Skripsi ini mengkaji dua kata antonim. Sedangkan, ragu dibatasi
hanya pada dua kata: raib dan al-syakk. Skripsi ini membahas dua kata
antonim tersebut menggunakan metode al-Farmawî yang menghasilkan
konsep ragu berupa dampak-dampak positif dalam persfektif Al-Qur‟an.
Di antaranya yaitu menambah keimanan, selalu berpikir cermat, hati
tenang dan tenteram, serta mendapatkan petunjuk dan rahmat dari Allah
Swt. Kemudian hal-hal untuk menuju keyakinan di antaranya berfikir
tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang mempunyai ilmu pengetahuan,
8
banyak berzikir, banyak beramal, dan mengetahui hari Kebangkitan.
Selanjutnya, dampak-dampak berpikir ragu adalah tidak mendapatkan
kepastian. Kategori orang yang merugi yaitu malas berfikir, kurang
totalitas dalam melaksanakan perintah Allah, dan diliputi dugaan dan
prasangka yang buruk. Sedangkan, penyebab keraguan tersendiri adalah
kurangnya pengetahuan, kurangnya bersyukur, melakukan perbuatan
tercela, dan terlena dengan kehidupan dunia.
Kelima, “Sinonimitas dalam Al-Qur‟an, Analisis Semantik Lafaz
Khauf dan Khasyyah” Karya Muhammad Nabihul Janan tahun 2017, dari
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Skripsi ini mengkaji
tentang hubungan kata pada lafaz khauf dan khasyyah ditinjau dari medan
semantik, beserta kontekstualisasi lafaz khauf dan khasyah. Tujuan
penelitian ini adalah menemukan sinonimitas pada dua kata tersebut.
Keenam, “Tingkat-tingkat Keyakinan Ilmu dalam Islam” karya
Moh. Syahmir Alias, tahun 2017. Jurnal ini mengupas tentang tingkat-
tingkat kepositifan keyakinan ilmu, tingkat-tingkat kenegatifan keyakinan
ilmu, dan konsep nilai yang terdapat pada tingkat keyakinan ilmu.
Adapun tingkatan kenegatifan ilmu berurutan: zhann, al-syakk, syubbih,
dan raib.
Ketujuh, “Studi tentang Tarâduf dalam Al-Qur‟an, Kajian tentang
Kata Khalaqa-Ja’ala dan Khauf-Khasyyah”, tahun 2019. Kajian ini
merupakan kajian sinonimitas dalam Al-Qur‟an dari hasil kajian ini
ditemukan bahwa kata khalaqa lebih banyak digunakan untuk makna
menciptakan langit dan bumi. Kata ini juga menunjukkan unsur sistem
penciptaan yang sangat rapi, sedangkan lafaz ja’ala adalah menjadikan
sesuatu dari bahan-bahan yang sudah ada.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, ada banyak lafaz yang
digunakan untuk mengungkapkan makna “ragu” seperti al-miryah yang
memiliki perbedaan makna dengan lafaz al-syakk dan raib. Oleh sebab
itu, penulis tidak menyetujui keberadaan sinonimitas lafaz dalam Al-
Qur‟an, karena perbedaan tersebut tidak hanya bentuk lafaznya saja,
namun juga memiliki konsekuensi yang serius. Sebab, al-syakk pada
kenyataannya masih diperbolehkan oleh sebagian ulama. Penyamaan dua
lafaz tersebut, al-syakk dan al-miryah, memiliki dampak pada status
manusia, apakah ia masuk ke dalam golongan mukmin atau kafir.
Maka dari itu, penulis merasa perlu menghadirkan penelitian
tentang “konsep al-miryah dalam persfektif Al-Qur‟an” untuk
menemukan makna ragu pada kata al-miryah secara objektif. Dengan
demikian, akan diketahui apakah lafaz al-miryah memiliki kesamaan
dengan lafaz al-syakk atau tidak, sehingga kemudian dampak apakah
yang terjadi, lebih-lebih berkaitan dengan keimanan seseorang.
9
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Data yang akan digali adalah dalam penelitian berkaitan dengan
informasi seputar konsep al-miryah dalam perspektif Al-Qur‟an. Oleh
karena itu, jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library
reseach)19
yang menggunakan pendekatan kualitatif.
2. Sumber Data
Adapun sumber data primer penelitian ini adalah ayat-ayat Al-
Qur‟an, khususnya ayat-ayat yang di dalamnya terdapat lafaz al-miryah
atau ayat-ayat lain yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.
Sementara, sumber sekunder dari penelitian ini adalah kitab-kitab tafsir,
jurnal, dan beberapa literatur terkait. Sumber sekunder digunakan untuk
mendukung penelitian penulis atau untuk membantu penulis dalam
memahami ayat-ayat, khususnya yang memiliki asbâb al-nuzûl.
Maka, untuk sumber sekunder penulis merujuk kepada kitab-kitab
tafsir, baik tafsir klasik maupun tafsir kontemporer. Kemudian, sumber
lain yang akan digunakan oleh penulis dalam memahami ayat–ayat yang
berkaitan dengan tema penelitian ini adalah hadis dan buku-buku atau
tulisan yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
metode tematik (maudu’î) yang digagas oleh al-Farmâwî20
, sedangkan
langkah-langkah metode tematik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
b. Mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang
akan dibahas, sekaligus mengelompokkan ayat-ayat tersebut ke
dalam Makkiyyah dan Madaniyyah.
c. Menyusun ayat-ayat tersebut berdasarkan tertib nuzûlnya, dan
urutan-urutan ayat bila terdapat beberapa ayat dalam satu surah
yang sedang dibahasnya disertai pengetahuan tentang asbâb al-
nuzûlnya.
19
Studi Pustaka adalah mempelajari berbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis dan berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai
masalah yang akan diteliti. Untuk lebih jelasnya, baca Jonathan Sarwono, Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 111 20 Abd al-Hayyi al-Farmawî, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû’î (Kairo: Sina li
al-Nasyr, 1994), h. 61-62
10
d. Memperhatikan korelasi (munâsabah) antar ayat-ayat dalam
masing-masing surah.
e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis sesuai pembahasan
jika diperlukan hingga kerangka pembahasan menjadi sempurna.
g. Pelajari ayat-ayat itu secara keseluruhan dengan memperhatikan
pengertian yang sama atau berlawanan, mengkompromikan yang
am dan yang khash, mutlaq dan muqayyad, dan menetapkan mana
yang nâsikh dan mana yang mansûkh hingga lahirlah sebuah konsep
tanpa ada semacam pemaksaan dalam pemberian arti.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan langkah-langkah penulisan dalam
penelitian agar sistematis, memiliki keterkaitan antara pembahasan
pertama dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab–bab
selanjutnya, hingga menghasilkan kesimpulan dari penelitian tersebut.
Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang menggambarkan arah
penelitian. Di dalamnya dijelaskan tentang latar belakang masalah
penelitian sebagai standar penelitian. Lalu dilanjutkan dengan identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah sebagai fokus terhadap
penelitian. Kemudian, penjabaran tujuan dan kegunaan penelitian agar
lebih terlihat jelas manfaat penelitian. Kajian keperpustakaan terdahulu
yang relevan dijadikan sebagai bahan pembanding dan sekaligus
menjelaskan kedudukan penelitian yang akan dilakukan ini. Dalam bab
ini menjelaskan tentang golongan ulama yang menyetujui dan menolak
sinonimitas al-syakk dan al-miryah serta memberikan gambaran
konsekuensi dari sinonimitas kedua lafaz tersebut.
Bab kedua untuk mendapatkan gambaran utuh tentang definisi al-
miryah, maka akan dipaparkan tentang pengertian al-miryah, derivasi
lafaz al-miryah, sinonimitas al-miryah, perbedaan al-miryah dengan al-
syakk dan raib, dan lampiran ayat-ayat al-miryah berdasarkan tartîb
nuzûlnya.
Bab ketiga akan dijelaskan penafsiran al-miryah, yang dibagi
menjadi Makkiyyah dan Madaniyyah. Adapun penafsiran ayat-ayat al-
miryah fase Makkiyyah meliputi: keraguan terhadap para nabi sebagai
pembawa peringatan, larangan meragukan kenabian Muhammad Saw.,
perintah menyakini kesesatan kaum musyrikin Mekkah, keraguan kaum
Lût terhadap azab yang dibawa malaikat, larangan meragukan Al-Qur‟an
sebagai pembeda antara perkara yang benar dan yang batil, golongan
11
orang yang berperilaku al-miryah terhadap perkara ghaib dan perbedaan
sikap mereka yang menyakininya, larangan meragukan kehadiran Îsâ Ibn
Mayam sebagai tanda Kiamat, larangan meragukan azab akhirat, larangan
memperdebatkan perkara ghaib yang tidak ada landasan nasnya dan
perintah berdiskusi tentang perkara nyata, dan ditutup dengan larangan
meragukan Al-Qur‟an sebagai petunjuk.
Bab keempat sebagai hasil dari penelitian lafaz al-miryah dan
derivasinya. Pada bab ini akan dikelompokkan ruang lingkup pembahasan
al-miryah menjadi tiga pembahasan: Pertama, argumentasi para pelaku
al-miryah yang meliputi argumentasi kaum musyrikin Mekkah,
argumentasi kaum Nabi Lût, dan argumentasi kaum Nabi Îsa. Kedua,
faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku al-miryah. Ketiga, Tuntunan
Allah kepada para nabi dalam menghadapi para pelaku al-miryah.
Bab lima adalah penutup yang berisi kesimpulan yang merupakan
jawaban dari rumusan masalah penelitian dan diakhiri dengan saran-saran
dari penulis terhadap peneliti-peneliti berikutnya.
12
13
13
BAB II
DISKURSUS SEPUTAR AL-MIRYAH
A. Pengertian al-Miryah
Para ahli bahasa pada umumnya belum membedakan antara lafaz
al-miryah dengan al-syakk. Kebanyakan mereka hanya mendefinisikan
al-miryah sama dengan al-syakk. Bahkan, seorang pakar bahasa Al-
Qur‟an al-Râghib al-Asfahânî hampir tidak membedakan makna al-
miryah secara khusus seperti ungkapannya, “Al-Miryah adalah al-syakk
dalam sebuah perkara. Namun, ia lebih khusus daripada al-syakk.”1
Demikian juga, Ahmad Ibn Yûsuf yang akrab dengan panggilan
Samyan al-Halbi menyebutkan, bahwa al-miryah adalah al-syakk.2
Namun, penulis mendapatkan bahwa penyamaan antara al-syakk dan al-
miryah akan memberikan dampak negatif pada akidah orang Islam,
manakala pada satu sisi al-syakk masih diperbolehkan.3 Di samping itu,
terdapat lafaz yang menunjukkan larangan bersikap al-miryah yang dapat
ditelusuri melalui ayat-ayat yang mengandung pembahasan al-miryah.
Dari beberapa indikasi ini penulis secara komprehensif menggali
konsep al-miryah, walaupun dirasa sedikit terhambat oleh beberapa kitab-
kitab kamus yang sangat jarang sekali mengupas tuntas tentang lafaz ini.
1 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 495 2 Ibn Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr..., h. 98 3 Pembolehan ragu yang berjenis al-syakk ini dikemukakan oleh Quraish Shihab
dalam kitab tafsirnya ketika membahas QS. al-Baqarah: 2
14
Dari bantuan beberapa kitab tafsir, penulis menemukan beberapa
uraian mengenai konsep al-miryah ini.
1. Secara Etimologi
Ibnu Faris menyebutkan bahwa kata yang terdiri dari rangkaian
huruf mîm, râ’, dan huruf illah, memiliki dua makna asal, yaitu mengusap
atau menghapus sesuatu (mashu syai’in) dan sesuatu yang kasar dan keras
(salabatun fî syai’in).4 Untuk arti yang pertama contohnya maryun al-
nâqah, yakni mengusap susu unta sebelum diperah.5 Selain dua makna
ini, rangkaian huruf mîm, râ’, dan huruf illah itu memiliki arti yang lain,
yakni al-marwu yakni tempat berbatu yang keras dan berkilat.6 Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa al-miryah memiliki unsur makna “kasar dan
keras.”
Dari kata al-marwu lahir kata al-mirâ’ yang berarti perdebatan,
karena di dalam perdebatan itu terdapat sekian perkataan atau ucapan
yang kasar dan keras.7 Dalam Kamus al-Munawwir disebutkan kata al-
miryah dan al-mirâ’ memiliki makna perbantahan dan perdebatan,8 atau
keraguan dan kebimbangan. Al-Miryah juga dipahami dengan makna
perdebatan oleh al-Syawkânî. Sebagaimana ungkapan al-Syawkânî,
bahwa “yamtarûn adalah yakhtalifûn (bersilang pendapat). Akar katanya
adalah kata al-mumârah atau kata al-miryah (perdebatan).”9
Al-Miryah merupakan kata benda yang berasal dari marî, yamrî,
maryan,10
yang menurut para ahli bahasa dan pakar tafsir mengandung
dua arti: 1- Dua hal yang berlawanan. Makna ini ditemukan pada surah
al-Hajj ayat 55 dan surah Hûd ayat 109. 2- Al-Imtirâ’ wa al-mumârah wa
al-muhâjah fîmâ fîhi miryah.11
Makna tersebut ditemukan pada surah
Maryam ayat 34 dan surah al-Najm ayat 12, surah al-Kahfi ayat 22, dan
surah al-Syûrâ ayat 18.
Di dalam berbagai bentuk dan derivasinya, kata ini terulang 20 kali
di dalam Al-Qur‟an. Sedangkan, khusus kata al-miryah terulang sebanyak
lima kali, yaitu pada QS. Hûd: 17 dan 109, QS. al-Hajj: 55, QS. al-
Sajadah: 23, QS. Fussilat: 54, dan QS. al-Kahfi: 22.
4 Abu al-Husain Ahmad Ibn Fâris Ibn Zakaria, Mu’jam al-Muqayyis al-Lughah
(t.tp.: Dâr Al Fikr, t.t.), h. 314 5 Zakaria, Mu’jam al-Muqayyis al-Lughah, h. 314 6 Zakaria, Mu’jam al-Muqayyis al-Lughah, h. 314
7 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 607-608 8 Anonim, Qâmus al-Munawwir Arabi Indûnîsî, h. 1330 9 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 56 10 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 607-608 11 Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr..., h. 98
15
Sehingga, secara etimologi makna al-miryah adalah dua hal yang
bertentangan (atau yang disebut dengan al-syakk) yang terdapat dalam
diri seseorang sehingga membawanya kepada perdebatan. Perdebatan
yang dimaksud di sini adalah perdebatan yang menggunakan lafaz al-
jahdu yang memiliki makna, bahwa mengingkari sesuatu yang dapat
disaksikan oleh panca indera atau mengingkari sesuatu yang diyakini.12
2. Secara Terminologi
Menurut Quraish Shihab, bahwa al-miryah adalah keraguan yang
mendorong seseorang untuk melakukan pertengkaran, curiga, dan
membantah secara membabi-buta tanpa dasar.13
Di dalam kata al-miryah
terdapat beberapa unsur makna yang dapat diperhatikan, yaitu dua hal
yang bertentangan, kekerasan, dan perdebatan. Dengan demikian al-
miryah adalah dua hal yang bertentangan di dalam hati seseorang yang
mendorong pelakunya melakukan perdebatan yang keras untuk
menunjukkan penolakannya,14
baik itu dilakukan untuk berdebat karena
meragukan kebatilan,15
berdebat meragukan kebenaran,16
maupun
berdebat dan membela ketidakjelasan atau hal-hal yang masih samar.17
Dalam ilmu psikologi keadaan itu dinamakan dengan konflik psikis,
sebuah dorongan18
pada diri seorang manusia yang saling bertentangan.19
Bertentangan yang dimaksud di sini adalah salah satu dorongannya
menarik ke arah kebenaran, dan satu lagi dorongannya menarik ke arah
kesesatan.
Dorongan-dorongan dalam jiwanya tersebut menimbulkan perasaan
ragu dan resah, maka jika akibat keraguannya dan keresahannya itu ia tak
mampu mengambil keputusan ke arah mana yang ia harus berlabuh, maka
Al-Qur‟an melukiskannya dengan lafaz al-syakk, sedangkan jika akibat
keraguannya dan keresahannya itu mendorong melakukan perlawanan
dan perdebatan, maka Al-Qur‟an melukiskannya dengan lafaz al-miryah.
12 Al-Askarî, Al-Furûq fî al-Lughah, h. 37 13 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 147 14 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalaliyah..., h.275 15 Mutawallî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî (Mesir: Akhbar al-Yaum, 1991). 16 Kesimpulan ini diambil dari kata larangan berprilaku al-miryah yang terdapat
pada ruang lingkup kajian al-miryah sendiri, yakni larangan meragukan Al-Qur‟an,
kenabian Muhammad, hal-hal ghaib dan hari akhirat yang kesemuanya merupakan ayat-
ayat yang bercerita tentang akidah umat Islam. 17 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 495 18 Al-Qur‟an banyak mengungkapkan dorongan-dorongan dalam jiwa seseorang
seperti dorongan jiwa yang ia rahasiakan dan sembunyikan, namun Allah menjadikannya
tampak ke permukaan sebagaimana disebutkan dalam QS. Muhammad: 29 dan 30. 19 M. Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa (Bandung: Pustaka 1985), h. 44
16
B. Derivasi Kata al-Miryah
Kata al-miryah di dalam Al-Qur‟an diuraikan ke dalam enam kata
jadian (istiqâq), yaitu al-miryah yang berbentuk kata benda (ism). Bentuk
kata ini ditemukan pada QS. Hûd: 109, Hûd: 17, Fussilat: 54, al-Sajadah:
23, al-Hajj: 55.
Dari kata ini lahirlah kata tamârau sebagaimana ditemukan pada
QS. al-Qamar: 36; tatamârâ terdapat pada QS. al-Najm: 55; yamtarûn
terdapat pada QS. Maryam: 34, QS. al-Hijr: 63; tamtarûna terdapat pada
QS. al-An‟âm: 2, QS. al-Zukhrûf: 6, QS. al-Dukhân: 50. Kata tamtarûna
juga ditemukan pada QS. al-Najm: 12, al-Syûrâ: 18, al-Kahfi: 22. Semua
kata tersebut memiliki makna keraguan yang mendorong kepada
perselisihan. Seseorang yang ragu yang keraguannya mengantarkan ia
berselisih dengan maksud memperoleh pengakuan atas pendapatnya dari
lawannya dilukiskan dengan arti kata-kata tersebut. Karena upaya tersebut
mengundang kemarahan lawan, maka pelakunya dinamakan mumârî,
sedangkan jika upaya tersebut dilakukan dengan paksa atau dibuat-buat,
maka yang bersangkutan dinamai mumtarî. Bentuk jama’nya adalah
mumtarîn yang terdapat pada QS. al-An‟âm: 114, QS. al-Baqarah: 147,
QS. Yûnus 94, dan QS. Âli Imrân: 60.
C. Daftar Ayat-Ayat al-Miryah Berdasarkan Tartîb Nuzûl
Tartîb Nuzûl ini merujuk kepada kitab al-Fahrasah al-Qur’ânî yang
ditulis oleh Asraf Abd al-Ghanî al-Harrâs.20
TABEL I
KATA AL-MIRYAH DAN DERIVASINYA
BERDASARKAN AYAT-AYAT MAKKIYYAH
TN Surah Jenis
Ayat Teks Ayat
Bentuk
Lafaz
23 al-Najm: 55 Mk مارى ت بك ت مارى فبأي آلاء ر ت ت23 al-Najm: 12 Mk تمارون أفتمرونهۥ على ما يرى 37 al-Qamar: 36 Mk ولقد أنذرهم بطشتنا فتماروا
ذر بٱلن تماروا
44 Maryam: 34 Mk يم قول ذلك عيسى ابن مر مترون ي
20 Asraf Abd al-Ghanî al-Harrâs, Al-Fahrasat al-Qurâ’nî (Mesir: al-Azhar
Islamic Research Academy, 2002), h. 756-757
17
ذي فيه يمترون الحق ال51 Yûnus: 94 Mk ا فان كنت في شك مم
ل ـ يك فس ذين انزلنا ال الكتب من قبلك ـ يقرءون ال
بك ءك الحق من ر لقد جاين فلا تكونن من الممتر
ين الممتر
52 Hûd: 109 Mk ا يعبد ية مم فلا تك في مرا ا كم هؤلاءما يعبدون إل
ا يعبد آباؤهم من قبل وإنوهم نصيبهم غير لموف
منقوص
ية مر
52 Hûd: 17 Mk به أفمن كان على بينة من رويتلوه شاهد منه ومن قبله اب موسى إماما ورحمة كت
ولئك يؤمنون به ومن أ ار يكفر به من الأحزاب فالن
ية منه موعده فلا تك في مربك ولكن ه الحق من ر إن
اس لا يؤمنون أكثر الن
ية مر
54 al-Hijr: 63 Mk قالوا بل جئنك بما كانوامترون فيه ي
مترون ي
55 al-An‟âm: 114 Mk ه أبتغي حكما وهو أفغير الل ين الممتر
18
اب يكم الكت ذي أنزل إل الذين آتيناهم لا وال مفص
ل من ه منز اب يعلمون أن الكتبك بالحق فلا تكونن من ر
ين الممتر55 Al-An‟âm: 2 ذي خلقكم من طين هو ال
قضى أجلا ى وأجل ثم مسم عنده ثم مترون أنتم ت
مترون ت
61 Fussilat: 54 Mk ية من لقاء هم في مر ألا إنه بكل شيء بهم ألا إن ر
محيط
ية مر
62 al-Syûrâ: 18 Mk ذين لا يؤمنون يستعجل بها الذين آمنوا مشفقون بها وال
ها الحق ألا يعلمون أن منها واعة ذين يمارون في الس إن ال
لفي ضلال بعيد
مارون ي
63 al-Zukhrûf: 61 Mk مترن اعة فلا ت ه لعلم للس وإنبعون هذا صراط بها وات
مستقيم
مترن ت
64 al-Dukhân: 50 Mk مترون إن هذا ما كنتم به تمترون ت69 al-Kahfi: 22 Mk سيقولون ثلاثة رابعهم كلبهم
يقولون خمسة سادسهم ومار ت
19
يقولون كلبهم رجما بالغيب وسبعة وثامنهم كلبهم قل
تهم ما يعلمهم بي أعلم بعد را ليل فلا تمار فيهم إل ا ق إلمراء ظاهرا ولا تستفت
م أحدافيهم منه69 al-Kahfi: 22 Mk سيقولون ثلاثة رابعهم كلبهم
يقولون خمسة سادسهم ويقولون كلبهم رجما بالغيب و
سبعة وثامنهم كلبهم قل تهم ما يعلمهم بي أعلم بعد ر
ا ا إل ليل فلا تمار فيهم إل قمراء ظاهرا ولا تستفت
فيهم منهم أحد
مراء
75 al-Sajadah: 23 Mk اب فلا ولقد آتينا موسى الكتية من لقائه تكن في مر
يل لبني هدى وجعلناه إسرائ
ية مر
TABEL II
KATA AL-MIRYAH DAN DERIVASINYA
BERDASARKAN AYAT-AYAT MADANIYYAH
TN Surah Jenis
Ayat Teks Ayat
Bentuk
lafaz
1 al-Baqarah: 148 Md بك فلا تكونن الحق من رين من الممتر
الممترين
20
3 Âli Imran: 60 Md بك فلا تكن من الحق من رين الممتر
الممترين
22 al-Hajj: 55 Md ذين كفروا في ولا يزال الاعة ى تأتيهم الس ية منه حت مر
بغتة أو يأتيهم عذاب يوم عقيم
ية مر
D. Sinonimitas Kata al-Miryah
Kata al-Miryah memiliki kedekatan makna dengan beberapa lafaz,
di antaranya:
1. Syakk atau Syakaka
Kata syakk atau syakaka berasal dari akar kata syakka, yasyukku,
syakkan. Di dalam Al-Qur‟an kata ini terulang sebanyak 15 kali beserta
derivasinya. Dalam kamus Al-Qur‟an al-Râghib al-Asfahânî mengatakan,
al-syakk berasal dari kata syakkan, sementara jamaknya syukuk yang
berarti ragu dan bimbang. Lawan syakk (ragu) adalah yakin. Syakka juga
dipahami dengan sebuah perasaan dalam hati seseorang tentang adanya
kesetaraan dan kesamaan antara dua hal yang berlawanan21
dan tidak
yakin terhadap salah satu darinya.22
Al-Syakk menurut bahasa berlawan dengan al-yaqîn. Al-Syakk dari
segi bahasa mempunyai banyak makna, antara lain: curiga seperti curiga
kepada laki-laki dan menusuk, menikam kalau kata ini beriringan dengan
kata al-ramhu atau al-sahmu. Kadangkala al-syakk berarti lengkap. Selain
itu, al-syakk juga bisa berarti jalan atau cara sesuatu, yang berkaitan
dengan akhlak, kelompok atau golongan, jarak perjalanan, keras, baju
besi, berhubungan, melekat, atau menempel.23
Seorang pakar bahasa Al-Qur‟an al-Râghib al-Asfahânî berpendapat
bahwa (al-syakk) ragu termasuk dalam kategori ketidaktahuan, bahkan ia
lebih khusus daripada tidak tahu. Dikarenakan ketidaktahuan terkadang
muncul tidak adanya pengetahuan mengenai dua hal yang bertentangan
21 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h.275 22 Zakaria, Mu’jam al-Muqayyis al-Lughah, h. 495 23 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 948
21
tadi. Maka, setiap keraguan pasti tidak tahu. Akan tetapi, tidak semua
ketidaktahuan dapat disebut keraguan.24
Al-Syakk adalah pertentangan antara dua hal yang berlawanan
dengan kadar seimbang, sehingga pelaku tidak dapat memilih antara
keduanya antara pembenaran atau penolakan. Meskipun secara etimologis
kata al-syakk memiliki banyak arti, namun dalam Al-Qur‟an hanya
ditemukan satu arti saja yaitu „ragu‟. Makna tersebut dapat dilihat pada
firman Allah Swt.:
ارك علمهم في الآخرة بل هم في شك منها بل هم منها عمون بل ادSebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (ke
sana), malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih
lagi mereka buta daripadanya. (QS. al-Naml: 66)
Pada ayat ini Allah Swt. menjelaskan keraguan orang-orang kafir
tentang akhirat. Makna ragu (al-syakk) juga terdapat pada QS. al-Dukhan:
9 yang menjelaskan tentang keraguan orang-orang musyrik tentang
keesaan Allah Swt. Pengakuan mereka bahwa Allah menciptakan langit
dan bumi hanyalah ikut-ikutan kepada nenek moyang mereka tanpa
pengetahuan mereka sendiri. Selain itu, juga ditemukan dalam QS. Hûd:
110 yang menceritakan orang-orang kafir Mekkah yang menggelisahkan
terhadap Al-Qur‟an dan QS. al-Nisâ‟: 157 yang menceritakan orang-
orang yang berselisih paham tentang pembunuhan Nabi Îsâ as., sehingga
mereka ragu apakah yang dibunuh Nabi Îsâ atau bukan.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kata syakk dalam Al-
Qur‟an pada umumnya mempunyai makna keraguan, yakni keraguan
tentang keesaan Allah Swt., keraguan tentang Al-Qur‟an, dan keraguan
tentang hari Kebangkitan.
2. Raib
Lafaz raib, menurut bahasa, bermakna ragu.25
Namun, keraguan
jenis ini mengandung ketakutan dan kebencian.26
Di dalam Al-Qur‟an
kata ini terulang 24 kali beserta derivasinya. Menurut Zamakhsyarî, kata
ini berarti kegelisahan, keraguan, kebingungan. Ibn Abbâs berkata, raib
dalam Al-Qur‟an bermakna al-syakk.27
Rasulullah Saw. memerintahkan
kita agar meninggalkan keraguan sebagai terekam dalam hadisnya:
24 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 395 25 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 106 26 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h.275 27 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h.276
22
Dari Abû Muhammad al-Hasan Ibn Alî Ibn Abî Tâlib, cucu
Rasulullah Saw., ia berkata: “Aku telah hafal dari Rasulullah yang
bersabda: Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang
tidak meragukanmu.”
3. Dzabdzabah
Mudzabdzabîn berasal dari kata dzabdzabah yang berarti nama
suatu gerakan bagi sesuatu yang menggantung28
kemudian kata ini
diartikan menjadi keraguan dan gerakan.29
Kata ini disebutkan hanya satu
kali di dalam Al-Qur‟an. Kata ini menunjukkan adanya keraguan
sebagaimana disebutkan pada firman Allah Swt.:
لن تجد ه ف مذبذبين بين ذلك لا إلى هؤلاء ولا إلى هؤلاء ومن يضلل الل له سبيلا
Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman
atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang
beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir),
maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi
petunjuk) baginya. (QS. al-Nisâ‟: 143)
Ayat tersebut menjelaskan mereka dalam keadaan ragu terkadang
condong kepada orang-orang beriman dan terkadang condong kepada
orang-orang kafir.30
4. Labs
Kata ini merupakan bentuk masdar dari kata kerja labasa, yalbas
yang memiliki makna mencampuri dan menjadikan sesuatu samar-samar
dengan yang lain.31
Menurut al-Râghib al-Asfahânî, labs jika digunakan
dalam sebuah perkara, maka bermakna kesamaran, ketidakjelasan
kebingungan, kerancuan,32
dan ragu.33
Di dalam Al-Qur‟an kata ini
ditemukan dalam 23 ayat. Satu ayat dalam bentuk fi‘l mâdî yang terdapat
pada QS. al-An‟âm: 9, satu ayat dalam bentuk masdar (lubûs) dan
sepuluh ayat dalam bentuk isim masdar (libâs). Kata labs hanya
disebutkan satu kali yakni pada QS. Qaf: 50. Menurut Ibnu Manzûr,
bahwa arti dari labs adalah campur aduknya berbagai permasalahan,
28
Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr..., h. 98 29 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 772 30 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 772 31 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 500 32 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 402 33 Al-Asfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, h. 401
23
sehingga tidak diketahui lagi arah dan tujuan permasalahan tersebut.34
Dengan demikian, itu dapat membuat orang menjadi ragu dan bingung.
E. Perbedaan al-Miryah dengan al-Syakk dan Raib
Beberapa perbedaan yang dapat kita temukan dari lafaz al-miryah,
al-syakk dan raib adalah sebagai berikut:
1. Al-Syakk adalah bentuk keraguan yang memiliki kadar keraguan
yang seimbang antara perasaan menolak atau menerima suatu
kebenaran.35
2. Raib adalah bentuk keraguan yang kadar penolakannya lebih
menonjol dibandingkan sikap penerimaannya terhadap suatu
kebenaran karena rasa keraguannya terhadap kebenaran disertai
dengan rasa ketakutan dan kebencian.36
3. Al-Miryah adalah bentuk keraguan yang kadar penolakannya
terhadap kebenaran lebih kuat dibanding raib, penerimaannya
terhadap kebenaran mutlak sangat lemah karena keraguan jenis ini
disertai dengan bantahan dan penolakan. Adapun ruang lingkup al-
miryah tidak hanya larangan meragukan kebenaran saja, namun
juga larangan meragukan kesesatan dan hal-hal yang masih samar.37
F. Urgensi Mengetahui al-Miryah
Untuk mengetahui urgensi mengetahui al-miryah, dibutuhkan dua
landasan yang dianggap penting, sebagai berikut:
1. Landasan Kebahasaan
Keunikan ruang lingkup lafaz al-miryah bukan hanya mencakup
larangan meragukan dan memperdebatkan kebenaran saja,38
namun juga
menjangkau larangan meragukan dan memperdebatkan kesesatan dan hal-
hal yang masih samar. Al-miryah memiliki sifat kesinambungan atau
berkelanjutan yang ditunjukkan dengan bentuk lafaz fi‘l mudâri‘ (yang
berdasarkan ayat-ayat Makkiyyah).39
Hal ini menunjukkan bahwa sifat al-
miryah akan terus ada sepanjang zaman. Keterangan ini terekam juga
dalam ayat yang turun di Madinah, yakni QS. al-Hajj: 55.
34 Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 500 35
Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h. 275 36 Da‟ûd, Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah..., h. 275 37 Yûsuf, Umdah al-Huffâz fî Tafsîr..., h. 198 38 Lihat penjelasannya di Bab 4 39 Fungsi wazan fi‘l mudâri‘ salah satunya adalah untuk menunjukkan masa yang
akan datang dan sifat yang berkesinambungan.
24
2. Landasan Normatif
Keimanan dan kekafiran terhadap kebenaran yang datang dari Allah
Swt. merupakan sebuah pilihan masing-masing manusia, kendati setiap
individu memiliki konsekuensi atas pilihannya sendiri. Hal ini dijelaskan
dalam firman-Nya:
المين ا أعتدنا للظ بكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إن وقل الحق من رنارا أحاط بهم سرادقها وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه
راب وساءت مرتفقابئس الشDan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. al-Kahfi: 29)
Menurut al-Sya‟râwî, al-haqq dalam ayat ini adalah sesuatu yang
kuat atau kokoh. Selama itu berasal dari Allah Swt. tidak ada satupun
yang mampu mengubahnya.40
Adapun sesuatu yang kokoh dan kuat itu,
sebut Fakhr al-Râzî, adalah Islam, dan manusia diberikan pilihan untuk
mengimani al-haqq yakni agama Islam ataupun mengingkarinya.
Disebutkan juga pilihan ini dalam ayat berikut ini:
يؤمن اغوت و بالط شد من الغي فمن يكفر ن الر في الدين قد تبي لا إكراه ب ه سميع عليم ه فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والل الل
Tidak ada paksaan untuk agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256)
Selain itu, terdapat sekian ayat yang melarang manusia meragukan
Al-Qur‟an dan segala hal yang terkandung di dalamnya. Adapun ayat
yang melarang meragukan Al-Qur‟an adalah:
40 Mutawalli al-Sya‟rawi, Tafsir al-Sya’rawi (Mesir: Akhbar al-Yaum, 1991), h.
8879
25
لا اب مفص ذي أنزل إليكم الكت ال ه أبتغي حكما وهو الل ذين آتيناهم أفغير والين بك بالحق فلا تكونن من الممتر ل من ر ه منز اب يعلمون أن الكت
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal
Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan
terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada
mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari
Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang yang ragu-ragu. (QS. al-An‟âm: 114).
Adapun ayat yang melarang manusia meragukan apa yang
diinformasikan Al-Qur‟an berupa larangan meragukan kesesatan
golongan orang-orang yang menyembah berhala atau beribadah bukan
kepada Allah Swt.
ا كما ا يعبد هؤلاء ما يعبدون إل مم ية يعبد آباؤهم من قبل فلا تك في مروهم نصيبهم غير منقوص ا لموف وإن
Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa
yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah melainkan
sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. Dan
sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-
cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi
sedikitpun. (QS. Hud:109)
Berbeda dengan kedua pilihan tadi yakni keimanan dan kekafiran,
larangan ragu memiliki sebab yang sangat logis. Keraguan menunjukkan
sebuah sikap yang tidak memiliki ilmu. Perintah menghilangkan keraguan
adalah dengan mencari keyakinan menggunakan ilmu. Sejatinya
pencarian ilmu diharapkan dapat mengantarkan manusia meraih
kebenaran, bukan keragu-raguan yang menyebabkan malas berpikir.
Dalam agama, iman memiliki dua unsur yang pasti ada, yakni unsur
kepastian dan unsur kepercayaan.41
Karena itu, untuk menemukan
kepercayaan maka unsur kepastian harus terpenuhi secara maksimal.42
41 Purwanto, Mencari Agama Yang Benar (Jakarta: ili Y Press, 2004), h. 50 42 Purwanto, Mencari Agama Yang Benar, h. 53
26
27
27
BAB III
PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-MIRYAH
FASE MEKKAH DAN MADINAH SERTA
KLASIFIKASINYA
A. Penafsiran Ayat-Ayat al-Miryah Fase Mekkah
Al-miryah merupakan pembahasan yang berkaitan dengan pokok-
pokok akidah umat Islam.1 Adapun pembahasan ayat-ayat yang
mengandung lafaz al-miryah ini diawali dengan penafsiran ayat-ayat yang
turun di Mekkah yang disebut dengan ayat-ayat Makkiyyah.2 Tujuannya
adalah untuk mengetahui dan memahami kandungan ayat-ayat tersebut.
1 Adapun yang dimaksud akidah adalah keyakinan atau kepercayaan yang
mengikat antara jiwa makhlûk (yang diciptakan) dan Khâlik (Pencipta). Unsur paling
dominan dalam akidah adalah keyakinan yang bulat dan mutlak bahwa Allah itu Esa
(monoteisme), tidak berbilang (politeisme). Lihat, Ahsin W. al-Hafidz, Kamus Ilmiah
Al-Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2005), h. 26. Disebutkan dalam hadis sebagai berikut:
Dari Abi Hurairata ra. berkata: Pada suatu hari Rasulullah Saw. keluar menemui manusia. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki bertanya, “Wahai
Rasulullah, apa itu iman?” Rasulullah menjawab, “Iman adalah bahwa engkau
percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat, percaya kepada kitab-kitab,
percaya kepada pertemuan dengan-Nya, percaya kepada rasul-rasul-Nya, dan
percaya kepada hari Kebangkitan.” Baca, Imâm al-Nawâwî, Syarh Sahîh Muslim
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015), h. 352-353 2 Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad
berhijrah. Lihat, Muhammad Abd al-Azîm, Mânahil al-Irfân fi Ulûm al-Qur‟ân (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), h. 203
28
Kemudian, pembahasan dilanjutkan dengan penafsiran ayat-ayat yang
turun di Madinah, yang disebut ayat-ayat Madaniyyah.3
Sub pembahasan pada bab tiga ini terbagi menjadi delapan bagian.
Adapun pembahasannya sebagai berikut:
1. Keingkaran dan Keraguan terhadap Para Nabi sebagai
Pembawa Peringatan
Pada pembahasan ini terdapat empat bagian, yaitu: 1- keraguan
kaum musyrikin Mekkah terhadap Muhammad Saw., 2- keraguan kaum
musyrikin Mekkah terhadap kemukjizatan Muhammad Saw, 3- keraguan
kaum Nabi Lût as. terhadap peringatan, dan 4- keraguan kaum Nabi Îsâ
as. terhadap kenabiannya. Adapun pembahasannya sebagai berikut:
1.1. Keingkaran dan keraguan Kaum Musyrikin Mekkah terhadap
Kenabian Muhammad Saw.
مود فما أبقى وأطغى وث هم كانوا هم أظلم نوح من قبل إن والمؤتفكة وقومى أهوى اها ما غش مارى فغش ت بك ت ولى فبأي آلاء ر ذر الأ هذا نذير من الن
Dan kaum Tsamud. Maka, tidak seorangpun yang ditinggalkan-Nya
(hidup), dan kaum Nûh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka, dan negeri-
negeri kaum Lût yang telah dihancurkan Allah, lalu Allah
menimpakan atas negeri itu azab besar yang menimpanya. Maka,
terhadap nikmat Tuhanmu yang manakah kamu ragu-ragu? Ini
(Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan di antara
pemberi-pemberi peringatan yang terdahulu. (QS. al-Najm: 51-56).
Abû Bakr al-Asam berkata bahwa yang dimaksud kaum musyrikin
adalah siapa saja yang mengingkari risalah kenabian dan kemukjizatan.4
Kehadiran Muhammad Saw. dengan membawa risalah dan kemukjizatan
berupa peringatan dari Tuhan memiliki tujuan mulia, di antaranya, agar
manusia dapat mengambil pelajaran terhadap kisah-kisah umat terdahulu
seperti umat yang telah dihancurkan Allah, karena kedurhakaan dan
kekafiran mereka terhadap aya-ayat-Nya. Peringatan ini disampaikan
melalui lisan Nabi-Nya. Adapun kisah kehancuran umat-umat terdahulu
3 Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Nabi Saw. berhijrah.
Baca, Abd al-Azîm, Mânahil al-Irfân fi Ulûm..., h. 203 4 Abû Hafas Umar Ibn Alî Ibn Adil al-Dimasqî al-Hambalî, Al-Lubâb fî Ulum al-
Kitâb (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), h. 53
29
yang telah diinformasikan Al-Qur‘an adalah kehancuran kaum Tsamûd,5
kehancuran kaum Nûh,6 dan kehancuran kaum Lût.
7 Maka dari itulah,
ayat ini menerangkan bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw. menjadi
anugerah yang datang dari Allah.
Al-Tabarî dalam hal ini mengatakan, bahwa maksud ayat tersebut
adalah: ―Wahai sekalian manusia, nikmat manakah yang diberikan dari
Tuhanmu kepadamu yang kamu ragukan, yang kamu sangsikan dan yang
kamu perdebatkan?‖8 Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh
Fakhr al-Râzî.9
Al-Qur‘an diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk untuk
mewujudkan kebahagian dan menghilangkan kesengsaraan, baik di dunia
maupun di akhirat. Petunjuk tersebut mewujud ke dalam berbagai macam
peringatan sebagai rambu-rambu yang harus diwaspadai. Peringatan-
peringatan itu bahkan digambarkan Allah Swt. dengan kisah-kisah agar
manusia dapat memahaminya dengan sangat mudah. Beberapa peringatan
Allah melalui kisah Al-Qur‘an adalah ketika peristiwa isrâ‟ dan mi„râj di
mana Nabi Muhammad Saw. menerima perintah shalat. Keseluruhan ini
digambarkan kepada manusia agar manusia kembali ke jalan Allah. Inilah
hakikat kenikmatan yang paling tinggi nilainya.
1.2. Keingkaran dan Keraguan Kaum Musyrikin Mekkah terhadap
Kemukjizatan Muhammad Saw.
أفتمارونه على ما يرى Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya, maka apakah
kaum (musyrik Mekkah) hendak membantahnya tentang apa yang
telah dilihatnya? (QS. al-Najm: 12)
Kalimat afatumârûnahu memiliki dua qira‟ât. Golongan pertama
adalah Abd Allâh Ibn Mas‗ûd dan para sahabatnya serta didukung oleh
ulama Kufah. Mereka membacanya dengan harakat fathah pada huruf tâ‟,
sukûn pada huruf mîm dan tanpa huruf alif. Lalu, mereka memahaminya
dengan apakah kamu mengingkari?10
Golongan kedua adalah mayoritas
5 QS. al-Syu‘ârâ‘: 58 6 QS. al-Najm: 53 7 QS. al-Dzâriyât: 32-37
8 Ibnu Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Terj. Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), h. 853. 9 Muhammad al-Râzî Fakhr al-Dîn Ibn ‗Allâmah Diyâ‘ al-Dîn Umar, Tafsîr
Fakhr al-Râzî (Bairut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 26 10 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 117
30
ahli qira‟ât Madinah, Mekkah, Basrah, dan beberapa ulama Kufah yang
membacanya dengan harakat dammah pada huruf tâ‟ dan menambahkan
huruf alif setelah huruf mîm dengan makna apakah kamu membantahnya?
Menurut al-Tabarî, kedua bacaan ini sama-sama benar. Sedangkan, ayat
itu menguraikan, kaum musyrik Mekkah mengingkari kemukjizatan
Rasulullah Saw. yang telah diperlihatkan Allah Swt. kepada mereka pada
malam isrâ‟ mi„râj.11
Adapun kemukjizatan tersebut, menurut al-Qurtubî, adalah melihat
Tuhan.12
Pendapat al-Qurtubî ini didasarkan pada riwayat Ibn Abbâs yang
didukung oleh Abu Dzar dan sejumlah sahabat.13
Pandangan al-Qurtubî
senada dengan Quraish Shihab.14
Pada riwayat Ibnu Mas‗ûd, Âisyah dan
Qatâdah berpendapat bahwa mukjizat yang dilihat Rasulullah Saw. pada
malam isrâ‟ mi„râj adalah Jibril.15
Demikian juga pendapat yang
disampaikan oleh Fakhr al-Râzî, bahwa kemukjizatan yang dilihat dengan
ain al-yaqîn adalah Jibril.16
Dengan demikian uraian ayat ini adalah pertanyaan apakah pantas
kaum musyrikin atau siapa saja mendebat dan meragukan apa yang dilihat
Muhammad Saw. Padahal ia telah melihat Jibril dan Tuhan dengan
penglihatan ain al-yaqîn. Peristiwa irrasional isrâ‟ mi„râj Nabi
Muhammad Saw. dari Mekkah ke Bait al-Maqdis mengundang ejekan
dan penolakan kaum kafir Quraisy. Sehingga, Allah Swt. memperlihatkan
kekuasaan-Nya dengan memperlihatkan Bait al-Maqdis di hadapan
Rasulullah Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Jâbir Ibn Abd Allâh:
Dari Jâbir Ibn Abd Allâh, bahwasanya ia mendengar Rasulullah
Saw. bersabda: “Saat orang Quraisy mendustakanku, aku pun
berdiri di al-Hijr. Lantas Allah memperlihatkan kepadaku Bait al-
Maqdis. Aku pun segera menjelaskan kepada mereka mengenai
tandanya, sedangkan aku sendiri melihatnya.”17
Bentuk keraguan ini menggunakan fi„l mudâri„ yakni kata
yang menunjuk waktu yang sedang berlangsung, padahal
perist iwa ini telah sangat lama berlalu. Seolah-olah pertanyaan
11 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 118. 12 Imâm al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, Terj. Sudi Rosadi dkk (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), h. 380 13 Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, h. 380 14
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 413 15 Abû Alî al-Fadl Ibn al-Husain al-Tabrisî, Majma„ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur‟ân
(Bairut: Dâr al-Maktabah al-Hayâh, t.t.), h. 122 16 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 290 17 Abdul Majid al-Zandani, Ensiklopedi Iman (Jakarta: Pustaka AlKautsar 2006),
h. 320
31
ini diajukan tanpa batas waktu dan khitâbnya bagi siapa saja
yang meragukan kebenaran perist iwa ghaib yang dikabarkan Al-
Qur‘an.
1.3. Keraguan dan Perdebatan Kaum Lût as. terhadap Peringatan
Azab
ذر ولقد أنذرهم بطشتنا فتماروا بالنDan sesungguhnya dia (Lût) telah memperingatkan mereka akan
azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu.
(QS. al-Qomar: 36)
Menurut al-Tabarî, fatamâraw berwazan tafâ„ala dan berasal dari
kata al-miryah yang bermakna keraguan dan perdebatan. Sehingga yang
dimaksud ayat ini adalah pembangkangan yang dilakukan kaum Lût as.
terhadap peringatan yang diberikan Nabi Lût sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur‘an sebagai berikut:
ينولوطا إذ قال لقومه أتأتون الفاحشة ما سبقكم م بها من أحد من العالDan (Kami juga telah mengutus) Lût (kepada kaumnya). Ingatlah
tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan Fâhisyah itu yang belum pernah dilakukan oleh
seorangpun (di dunia ini) sebelummu? (QS. al-A‗râf: 80)
Nabi Lût as. memberikan peringatan buruknya perilaku kaumnya.
Menurut Quraish Shihab, makna fâhisyah adalah melakukan perbuatan
yang sangat buruk, yaitu homoseksual.18
Kemudian, Nabi Lût
melanjutkan peringatannya dengan menjelaskan perbuatan kotor mereka,
karena menyimpang dari fitrah manusia, mencintai sesama jenis
sebagaimana diuraikan pada ayat berikutnya: Sesungguhnya kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan
kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS.
al-A‗râf: 81)
Peringatan demi peringatan yang disampaikan oleh Nabi Lût as.
kepada kaumnya, ternyata tidak memberikan manfaat sedikitpun.
Sehingga keraguan dan bantahan mereka terhadap azab yang akan
menimpa mereka mendorong mereka tetap melakukan perbuatan keji
tersebut. Bahkan, mereka masih mengolok-olok Nabi Lût sebagai orang
yang ‗sok‘ suci, sebagaimana penjelasan ayat berikutnya: Jawab kaumnya
tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Lût dan pengikut-
18 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 161
32
pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang berpura-pura mensucikan diri. (QS. al-A‗râf: 82)
1.4. Keraguan Kaum Nabi Îsâ as Terhadap Kenabiannya
مترون ذي فيه ي يم قول الحق ال ذلك عيسى ابن مرItulah Îsâ putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar,
yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. (QS.
Maryam: 34)
Menurut al-Sya‘râwî, kalimat yamtarûn pada ayat ini berasal dari
kata mirâ‟ yang bermakna perselisihan, perdebatan pada kebatilan.
Sehingga, pemahaman ayat ini seolah-olah Allah Swt. mengatakan
kepada golongan yang berselisih tentang Îsâ Ibn Maryam as.: Tinggalkan
pendapat–pendapat kalian yang batil itu. Ambillah dan peganglah apa
yang telah Kukabarkan kepadamu, karena itulah kebenaran yang tidak
ada kebatilan dari sisi manapun.19
Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Quraish Shihab.20
Adapun pengkhabaran yang dimaksud ayat ini terkait sifat-sifat Îsâ
Ibn Maryam ditunjukkan oleh kata dzâlika. Kata tersebut menunjukkan
kepada yang disifati dengan sifat-sifat yang lalu. Demikian menurut al-
Syawkânî.21
Adapun sifat-sifat yang lalu yang dimaksud oleh ayat ini
adalah perkataan Îsâ as. bahwa ia adalah hamba Allah Swt. Inilah
merupakan sebuah kebenaran yang harus dijadikan keyakinan, bukan
perselisihan yang terjadi di kalangan Nashrani yang menganggap bahwa
Îsâ adalah putra Allah, bahkan Îsâ adalah Tuhan.22
Menurut al-Syawkânî, perselisihan tentang kenabian Îsâ Ibn
Maryam as. yang terjadi antara kaum Yahudi dan Nashrani memiliki
perbedaan sangat jauh. Adapun kaum Yahudi menganggap bahwa Îsâ as.
adalah seorang tukang sihir.23
Sementara, kaum Nashrani menganggap
bahwa Îsâ adalah putra Allah. Namun, sebut al-Syawkânî, perselisihan di
kalangan Nashrani lebih akut, sehingga menimbulkan beberapa sekte
seperti:
1. Nusturiyah menganggap bahwa Îsâ as. adalah putra Allah Swt.
19
Mutawalli al-Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi (Mesir: Islamic Research Academy,
1991). 20 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 447 21 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 55 22 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 55 23 Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayân fî Tafsîr, h. 35
33
2. Golongan Malkiyah menganggap bahwa Îsâ as. adalah Tuhan yang
Ketiga dari yang Tiga.
3. Golongan Ya‘qubiyah mengatakan bahwa Îsâ as. adalah Allah
Ta‘ala.
Dari pembagian itu al-Syawkânî menilai bahwa kaum Nashrani
keliru dan berlebihan. Sedangkan, kaum Yahudi dianggap keliru dan
merendahkan.24
Perselisihan di antara kaum Nashrani mengenai Îsâ as
juga diakui oleh Alî al-Sâbûnî, bahkan ia menukil langsung dari kedua
Kitab Injil milik Nashrani, yakni Injil Matius dan Injil Luqas.
Kitab-Kitab tersebut memaparkan perbedaan mencolok mengenai
silsilah dan sifat-sifat Îsâ as. Al-Syawkânî mengatakan Îsâ Ibn Maryam
as. dalam versi Injil Matius adalah keturunan Yusu‘ Ibn Yûsuf al-Najjar
Ibn Ya‗qûb Ibn Matan Ibn Yu‘ar sampai terakhir kepada Yahudza Ibn
Ya‗qûb Ibn Ishaq Ibn Ibrahim.25
Sedangkan, silsilah Îsâ as. versi Injil
Luqas adalah keturunan Yûsuf Ibn Halî dan anak keturunan Sulaimân Ibn
Da‘ûd.26
Al-Qur‘an berbicara tentang pemahaman sekte-sekte dalam tradisi
agama Kristen. Masing-masing sekte tersebut memiliki pendapat yang
berbeda-beda mengenai hakikat Îsâ Ibn Maryam. Ada yang menyebutkan
Îsâ sebagai Tuhan27
dan anak Tuhan.28
Lebih dari itu, Al-Qur‘an
menggambarkan mereka adalah umat yang suka bertengkar sebagaimana
disebutkan pada ayat berikut:
ا جدلا بل هم قوم خصمون بوه لك إل وقالوا أآلهتنا خير أم هو ما ضرDan mereka berkata: “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami
atau dia (Îsâ)?” Mereka tidak memberikan perumpamaan itu
kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja. Sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (QS. al-Zukhrûf: 58)
24 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 56-58 25 Alî al-Sâbûnî, Kenabian dan Para Nabi (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), h.
310 26 Al-Sâbûnî, Kenabian dan Para Nabi, h. 310. Di Amerika serikat mewabah
penyakit meragukan agama yang mayoritasnya adalah Kristian. Menurut Survei Barna
Group, salah satu alasan terbesar keraguan terhadap agama, di antaranya, generasi
melenial (mereka yang lahir antara 1985 dan 2002) di Amerika Serikat yang mana
mereka punya hubungan pribadi dengan umat Kristen yang sebetulnya tidak berperilaku
Kristen yang pada akhirnya menimbulkan kemunafikan yang menjauhkan banyak orang
dari iman yang dahulu menyatukan dunia Barat, kekurangan sifat yang mencerminkan
Kristus, dan ketergantungan terhadap empirisme. Orang yang selalu meminta bukti
terhadap segala sesuatu pasti dengan sendirinya akan meragukan kebenaran metafisik. 27 QS. al-Mâ‘idah:72 28 QS. al-Baqarah: 30
34
Pertengkaran yang tak kunjung usai tersebut diisyaratkan
oleh penggunaan lafaz yamtarûna dalam bentuk fi„l mudâri„,
yang terambil dari akar kata mirâ‟ yang berarti pertengkaran
atau miryah yang berarti keraguan.29
Penggunaan bentuk
mudâri„ ini mengisyaratkan keraguan dan perselisihan yang
berkepanjangan mengenai hakikat Îsâ as, bahkan sampai hari ini.
Adapun pemahaman mutakhir tentang Îsâ as. dapat kita
jumpai dalam pemikiran F. Knitter—sebagaimana yang dikut ip
oleh Henri Salahuddin—bahwa Yesus adalah Tuhan yang
mengalami historisitas, yang menjelma ke dalam diri Yesus.
Realitas tertinggi yang dialami oleh Allah Yesus adalah Allah
yang dikenal dalam sejarah, yang mengusahakan kesejahteraan
kaum tertindas, dan set ia kepada mereka yang bekerja bagi
kerajaan Allah di bumi.30
kehadiran Al-Qur‘an menjadi penjelas antara pendapat -
pendapat orang yang berdebat dan berselisih. Al-Qur‘an
memberikan keterangan yang benar tentang Îsâ Ibn Maryam as.
Hal ini ditunjukkan dengan kalimat qawla al-haqq yang berart i
bahwa berita yang benar menyangkut geneologis Îsâ Ibn
Maryam as. adalah yang dikabarkan Al-Qur‘an, yakni bahwa ia
lahir dari seorang perempuan fenomenal, suci,31
dan terhormat
yang berbeda dibandingkan perempuan-perempuan lain. Îsâ as.
lahir dari seorang perempuan yang masih perawan.32
Kebenaran keterangan Al-Qur‘an yang tidak diterima oleh kaum
Nasrani cenderung diperdebatkan oleh mereka. Perdebatan dan
perselisihan itu pun ditandai dengan munculnya berbagai sekte dalam
agama tersebut, sehingga menimbulkan permusuhan yang akut.
2. Larangan Meragukan dan Memperdebatkan Kenabian
Muhammad Saw. Disertai Perintah Meyakini Kesesatan
Penyembahan Kaum Musyrikin Mekkah
Sub tema dalam pembahasan ini berjumlah tiga poin penting: 1-
larangan meragukan dan memperdebatkan kerasulan Muhammad Saw., 2-
29 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 185. 30 F. Knitter Paul, Menggugat Arogansi Kekristenan (Yogyakarta: Kanisius,
2005), h. 185 31 QS. al-Anbiyâ‘: 19, QS. al-Tahrîm: 12 32 QS. Âli Imrân: 45-48. 32 QS. al-Syu‘arâ‘: 58 32 QS. al-Najm: 53 32
QS. al-Dzâriyât: 32-37
35
larangan meragukan kesesatan kaum musyrikin Mekkah, dan 3- larangan
meragukan Al-Qur‘an sebagai kitab yang benar. Adapun pembahasannya
sebagai berikut:
2.1. Larangan Meragukan dan Memperdebatkan Kenabian
Muhammad Saw.
اب من قبلك ذين يقرءون الكت يك فاسأل ال ا أنزلنا إل فإن كنت في شك ممين بك فلا تكونن من الممتر لقد جاءك الحق من ر
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan
tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah
kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.
Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu,
sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang
ragu-ragu. (QS. Yunus: 94)
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah setelah
menerangkan kisah nabi-nabi sebelumnya seperti Nûh, Mûsâ, dan Hârûn
dengan menolong mereka atas kaum mereka dan menceritakan
perselisihan Bani Israil, maka Allah Swt. menghadirkan ayat ini untuk
menguatkan kebenaran Al-Qur‘an terhadap apa yang dikatakan dan
dijanjikannya.33
Penguatan terhadap keterangan ayat-ayat sebelumnya yang
menceritakan kisah hancurnya kaum-kaum terdahulu, memberikan
dampak yang besar terhadap peran Nabi Muhammad Saw. yang hadir
sebagai pemberi peringatan, agar kehancuran umat-umat terdahulu tidak
terulang kembali pada umat Nabi Muhammad Saw. Sehingga, larangan
meragukan kenabian Muhammad memiliki landasan historis yang kuat.
Fazlu al-Rahmân mengatakan bahwa sangatlah tidak masuk akal
meragukan kenabian Muhammad Saw., sebab sebelum kehadiran
Muhammad sebagai nabi, telah ada manusia yang diangkat Allah Swt.
menjadi Rasul. Untuk terus mengingatkan manusia kepada Sang Khaliqn.
Al-Qur‘an memandang masalah kenabian ini sebagai fenomena yang
bersifat universal dalam arti bahwa di setiap pelosok dunia ini pernah
tampil seorang rasul Allah, baik yang disebutkan maupun yang tidak
disebutkan.34
33 Wahbah al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî„ah wa al-
Manhâj (Bairut: Dâr al-Fikr, 2014), h. 269 34 Fazl al-Rahmân, Tema Pokok Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Putaka, 1996), h.
117
36
Terdapat beberapa perbedaan pendapat para ulama mengenai objek
dari kalimat falâ takûnanna min al-mumtarîn. Ada yang mengatakan
bahwa objek larangannya adalah kisah-kisah umat-umat terdahulu.
Pendapat ini disampaikan oleh Quraish Shihab.35
Pendapat lain
mengatakan bahwa objek larangan al-miryah adalah agama
Islam, sehingga jika tert impa keraguan terhadap agama Islam,
segeralah kembali kepada ahli ilmu. Pendapat ini disampaikan
oleh Baidâwî.36
Al-Zamakhsyarî mengemukakan bahwa ayat ini
menerangkan tentang pengetahuan Bani Isra‘il terkait kenabian
Muhammad Saw. yang telah disebutkan dalam kitab mereka.
Pengetahuan mereka tentang kenabian Muhammad Saw. seperti
pengetahuan mereka terhadap anak mereka sendiri.37
Hal yang sama
juga disampaikan oleh a l-Sya‗râwî dalam karya tafsirnya.38
Al-Tabarî menjelaskan dua hal sekaligus, yakni larangan
meragukan dan memperdebatkan bahwa Muhammad Saw. adalah
utusan Allah dan pengetahuan Yahudi dan Nas hrani terhadap
kenabian Muhammad Saw.39
Sehingga dapat disimpulkan objek
dari kalimat falâ takûnanna min al-mumtarîn adalah kisah-kisah
Nûh, Mûsâ dan Hârûn as.40
dan agama Islam.41
selai itu,
pengetahuan Bani Isra‘il terkait kenabian Muhammad Saw.42
serta pengetahuan Yahudi dan Nashrani terhadap kenabian
Muhammad Saw.43
35 Tidak semua yang berkaitan dengan agama harus merujuk kepada ahli kitab,
melainkan hanya yang berkaitan dengan kisah-kisah umat terdahulu saja seperti kisah
Nabi Nûh dan Nabi Mûsâ karena dalam Taurat (Tauroh), dan Injil (Gospel) juga
diinformasikan kenabian Muhammad sesuai dengan apa yang disampaikan Al-Qur‘an.
Untuk mengetahui penafsiran tentang surat Yûnus ayat 94, silahkan baca Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, h. 504. 36 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 269 37 Abî al-Qâsim Mahmûd Ibn Umar al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf an Haqâ‟iq al-
Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta‟wîl (Mesir: Maktabah Mustaba al-Babi al-
Halabi, 1972), h. 253 38 Al-Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi, h. 6199. 39 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 743 40 Pendapat ini disampaikan oleh Quraish Shihab. Lihat, Shihab, Tafsir Al-
Mishbah, h. 504 41
Pendapat ini disampaikan oleh Baidâwî. Lihat, al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî
al-Aqîdah..., h. 269 42 Pendapat ini disampaikan oleh Zamakhsyarî dan al-Sya‗râwî. Lihat, al-
Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi, h. 6199 43 Pendapat ini disampaikan oleh al-Tabarî. Lihat, al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî,
h.743
37
Dari perbedaan sudut pandang ulama dalam memahami
ayat itu, penulis berupaya untuk memahami objek larangannya
melalui munasabah ayat–ayat sebelumnya. Bahwasanya ayat-
ayat sebelumnya bercerita tentang kenabian dan para nabi yang
diutus Allah Swt. Maka, ayat ini bercerita tentang larangan
kepada Muhammad Saw. agar jangan meragukan kenabiannya
dengan mengingatkan beliau terhadap kisah-kisah umat terdahulu
yang mengingkari Rasul mereka, sehingga seakan-akan Allah
mengatakan jika masih ragu dipersilahkan untuk bertanya
kepada Ahli Kitab mengenai kisah-kisah tersebut.
Selain perbincangan ulama terkait objek ayat ini, para
ulama juga menyampaikan pendapat yang berbeda terkait persoalan
khitâb ayat ini, mengapa ayat ini ditujukan kepada Muhammad
Saw. dan umatnya. Wahbah al-Zuhailî mengatakan ayat ini adalah
ta„rîd bi al-sâkin44
yang bertujuan untuk membungkam orang-orang
yang mendustakan Nabi Saw. Al-Sya‘râwî berpendapat bahwa
khitâb ayat ini yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw.
merupakan bentuk tahdzîr.45
Walaupun khitâb kalimat tersebut
adalah Rasulullah, namun yang dimaksud adalah umatnya.
Apakah Nabi Muhammad Saw. tertimpa al-syakk? Menurut
Wahbah al-Zuhailî, fain kunta pada ayat tersebut adalah âdah
syarat, sedangkan âdah syarat menunjuk sesuatu yang tidak
mest i terjadi. Rasulullah Saw bersabda: Saya tidak tertimpa
keraguan.
Dari beberapa pendapat ulama tersebut, kita simpulkan
uraian ayat ini bahwa jika Nabi Muhammad Saw. berada dalam
keraguan tentang kerasulannya, maka tanyakan kepada ulama-
ulama Yahudi dan Nashrani yang masih mengetahui Taurat dan
Injil46
sepert i Abd Allâh Ibn Salâm yang sangat mengenal
kerasulan Muhammad Saw., melalui kitab-kitab mereka yang
44 Pengalihan khitâb kepada Rasulullah, untuk membungkam orang-orang yang
mendustakan beliau. Lihat, Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., 269 45 Orang-orang yang beriman mengetahui kedudukan beliau yang sangat agung
dihadapan Allah dan manusia dan meyakini bahwa Rasulullah adalah hamba yang
terpilih untuk menyampaikan risalah Allah 46
Pengetahuan Ahli Kitab terhadap kenabian Muhammad Saw. ada yang
mempercayainya dan ada juga yang mengingkarinya. Lihat, QS. al-Baqarah: 89, 91, 101,
121, 146, 174; QS. Âli Imrân: 61, 70, 99, 199; QS. al-Mâ‘idah: 83; QS. al-An‗âm: 20,
114; QS. Yûnus: 93; QS. Hûd: 17; QS. al-Ra‗d: 36; QS. al-Syu‘arâ‘: 196; QS. al-Qasas:
52; QS. al-Ankabût: 47, 49; QS. Saba‘: 6; QS. al-Syûrâ: 14; QS. al-Ahqâf: 10; QS. al-
Bayyinah: 4
38
senant iasa mereka baca. Al-Qur‘an mengakui pengetahuan
mereka sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‘an: Orang-orang
yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapatkan
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
Maka, orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya,
dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-
Qur‟an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-A‗râf:
157).
Pengetahuan Ahli Kitab tentang kerasulan Muhammad Saw.
begitu mendalam, sehingga pengetahuan mereka diumpamakan Allah
Swt. seperti pengetahuan mereka terhadap anak-anak mereka
sendiri. Allah menerangkannya: Orang-orang yang telah kami
beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya Muhammad, seperti
mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya
sebagian mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka
mengetahuinya. (QS. al-Baqarah: 146)
Abd Allâh Ibn Salâm berkata, ―Sungguh aku sangat mengetahui
Rasulullah Saw. dari pada anakku sendiri.‖ Kemudian Umar Ibn
Khattâb ra. berkata: ―Sesungguhnya aku menyaksikan Muhammad
Rasulullah Saw. dengan sebenar-benarnya keyakinan, sedangkan
aku tidak melihat sedemikian terhadap anakku , karena aku tak
mengetahui apa yang terjadi pada wanita. Semoga Allah
memberi taufiknya wahai Ibn Salâm.‖
Penegasan kenabian Muhammad Saw. melalui lima fragmen,
seperti terlihat pada munasabah dan kandungan ayat ini, menunjukkan
betapa berat penolakan kaum musyrikin Mekkah terhadap kenabian
Muhammad Saw. Sebab, pengingkaran terhadap kenabian Muhammad
ini akan berimbas pada pengingkaran terhadap sunnah. Perist iwa
penolakan tersebut terulang secara terus-menerus seperti yang
pernah terjadi pada masa tabi‘ in dan hingga saat ini. Seorang
laki-laki yang secara t iba-t iba memotong pembicaraan Imrân
Ibn Husain,47
yang sedang memberikan pelajaran hadis dengan
47 Imrân Ibn Husain adalah seorang sahabat Nabi wafat (w 52). Kisah ini
dituturkan oleh al-Hasan al-Basrî (w. 110 H) yang dikutip oleh Ali Mushtofa Ya‘qub,
Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 39
39
meminta diajarkan Al-Qur‘an saja, namun akhirnya setelah
terjadi dialog di antara mereka, laki-laki itupun tersadar.
Kedahsyatan tugas Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul
terekam dalam surat QS. al-Muzzammil: 5. Oleh karena itu,
Allah Swt. meminta Nabi Muhammad Saw. untuk terus-menerus
mengisi jiwanya dengan kekuatan Ilahi melalui ibadah
khusyuk.48
Bekal tersebut amat lah pent ing sebab ajaran-ajaran
Nabi Muhammad Saw. merupakan ancaman besar bagi
masyarakat Mekkah yang masih mementingkan diri sendiri, baik
di bidang ekonomi maupun di bidang keagamaan, sehingga sulit
sekali mereka menerima ajaran Muhammad Saw, karena mereka
merasa semua itu akan menghancurkan penghambaan mereka
kepada materealist ik, sehingga berulang kali Nabi Saw. merasa
hampir frustasi hingga Al-Qur‘an mengingatkan kembali.49
Beratnya tugas yang diemban hingga Rasul Saw. hampir
saja terkena keraguan, maka Allah Swt. langsung mengingatkan
agar beliau bertanya kepada Ahli Kitab. Sebab, Ahli Kitab pun
mengetahui kenabian Muhammad melalui kitab-kitab mereka.
2.2. Larangan Meragukan Kesesatan Kaum Musyrikin Mekkah
ا كما يعبد آباؤهم من قبل ا يعبد هؤلاء ما يعبدون إل مم ية فلا تك في مروهم نصيبهم غير منقوص ا لموف وإن
Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa
yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah melainkan
sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. Dan
sesungguhnya Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-
cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi
sedikitpun. (QS. Hud: 109)
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa
pada ayat sebelumnya Allah Swt. menerangkan nasib orang musyrik
ketika di dunia. Kemudian pada ayat ini Allah melarang Muhammad dan
umatnya meragukan akibat buruk dari prilaku orang-orang musyrik.
Ayat ini adalah ayat larangan dengan huruf lâ/jangan yang
ditujukan kepada Nabi dan umatnya. Maksud ayat ini adalah ―janganlah
engkau, Muhammad, meragukan dan memperdebatkan ketidakberdayaan
(kesia-siaan) apa yang terus-menerus disembah kaum penyembah berhala,
48 QS. al-Muzzammil: 5 49 QS. Tha-Ha: 2
40
karena apa yang disembah mereka itu tidak mampu memberikan atau
menolak kemudaratan dan mendatangkan manfaat terhadap siapapun.‖
Kesesatan perbuatan tersebut karena tidak berlandaskan ilmu, hanya
berlandaskan taqlîd50
dan kebodohan.51
Kebodohan dan kesesatan itu
terlihat menyerupai perilaku penyembahan yang dilakukan oleh nenek
moyang mereka dahulu. Allah Swt. akan mencukupkan azab di akhirat
bagi orang kafir atau mencukupkan kenikmatan duniawi yang telah
ditetapkan menjadi bagian mereka di dunia, berupa rezeki, dan kebaikan-
kebaikan duniawi saja.52
Walaupun ayat ini bercerita tentang kesesataan kaum kafir Quraisy,
ayat ini dapat kita jadikan pegangan pada hari ini. Bahwasanya secara
eksplisit ayat ini melarang kita untuk meragukan dan memperdebatkan
kesesatan sekelompok atau segolongan kaum penyembah berhala. Hari ini
masih kita dapati kaum-kaum penyembah berhala itu. Allah Swt.
menjelaskan secara tegas bahwa kita harus meyakini kesesatan mereka.
Inilah pernyataan ketegasan tauhid yang tidak menyisakan ruang kosong
berupa keragu-raguan terhadap iman agama lain.
2.3. Larangan Meragukan dan Memperdebatkan Al-Qur’an sebagai
Tanda Golongan yang Benar
اب موسى إماما كت ومن قبله ويتلوه شاهد منه به من ر أفمن كان على بينةولئك يؤمنون به ومن يكفر به من ال ار موعده فلا تك ورحمة أ أحزاب فالن
اس لا يؤمنون بك ولكن أكثر الن ه الحق من ر ية منه إن في مرApakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang
mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur‟an) dari Tuhannya, dan
diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan
sebelum Al-Qur‟an itu telah ada Kitab Mûsâ yang menjadi
pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al-Qur‟an. Dan
barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-
sekutunya yang kafir kepada Al-Qur‟an, maka nerakalah tempat
yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu
terhadap Al-Qur‟an itu. Sesungguhnya (Al-Qur‟an) itu benar-benar
50 Taqlîd adalah menerima suatu urusan dari orang yang tidak dipercaya,
menerima begitu saja tanpa alasan dan tanpa ilmu. Lihat, Al-Askarî, Al-Furûq fî al-
Lughah, h. 89 51 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 69 52 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 69
41
dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS.
Hud: 17)
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat -ayat sebelumnya
adalah pada ayat-ayat sebelumnya Allah Swt . menyebutkan
tempat kembali orang-orang yang mementingkan dunia dan
perhiasan dan t idak mementingkan akhirat, kemudian pada ayat
ini Allah Swt. menyebutkan perbedaan antara orang-orang yang
mementingkan akhirat dengan orang-orang yang mementingkan
dunia.
Ayat ini menceritakan dua golongan yang sangat jauh berbeda.
Perbedaan tersebut ditandai dengan kalimat istifhâm inkâriyyah,
yakni mempertanyakan orang-orang yang masih mempersamakan kedua
golongan tersebut dengan tujuan untuk membantah anggapan
mereka. Golongan pertama adalah golongan yang memiliki ciri-
ciri orang-orang yang berada di atas bayyinah. Fakhr al-Râzî
memaknai bayyinah dengan Al-Qur‘an. Pengertian yang paling kuat dan
sempurna dari ayat ini adalah bahwa yang dimaksud orang yang disifati
dengan bayyinah di sini adalah Nabi, sedangkan bayyinah tersebut
bermakna Al-Qur‘an dan syâhid di sini adalah Jibril.53
Berbeda dengan al-Sya‗âwî. Menurutnya, bayyinah adalah
pandangan fitrah yang selamat , yang menjadikan manusia
mengakui adanya wâjib al-wujûd. Fitrah tersebut telah tertanam
dalam hat i manusia .54 Adapun yang terpenting adalah bahwa bayyinah
tersebut memiliki fungsi sebagai petunjuk dan rahmat dari Allah.55
Namun, ada juga yang memahami bayyinah sebagai bukti kenabian
seperti pendapat Fazl al-Rahmân, bahwa bayyinah adalah bukti nyata
untuk dirinya sendiri atas kerasulan Nabi Muhammad Saw. sebagaimana
para nabi-nabi terdahulu. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa
bayyinah bisa berarti dua hal sekaligus, yakni Al-Qur‘an yang menjadi
bukti kenabian Muhammad Saw. dan pribadi beliau sendiri.
Bayyinah adalah Rasulullah Saw. dengan bukti kenabiannya, yaitu
Al-Qur‘an yang diturunkan oleh malaikat Jibril. Bukti lain bahwa
Rasulullah Saw. berada di atas bayyinah adalah Kitab Taurat yang disifati
dengan imâman. Taurat diturunkan Allah Swt . kepada Mûsâ as.
sebagai petunjuk dan rahmat, sebagaimana Allah Swt. menjelaskan
dalam QS. al-An‘âm: 154. Kemudian Allah mengikutkan pernyataan
53 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 209 54 QS. al-A‗râf: 172 55 QS. al-An‘âm: 157
42
bahwa Al-Qur‘an diturunkan dengan fungsi yang sama, yaitu sebagai
petunjuk yang penuh berkah.
Dengan demikian, fungsi Taurat yang merupakan pedoman dan
rahmat sama seperti fungsi Al-Qur‘an. Dalam ayat tersebut juga
disebutkan orang kafir tidak mengakui kebenaran Al-Qur‘an sebagai
pedoman dan rahmat dari Tuhan kepada makhluk-Nya. Maka, Allah
mengancam dengan azab neraka yang sangat pedih.
Kitab Taurat mengabarkan kebenaran Rasulullah Saw. dan bukti
nyatanya ada dalam Al-Qur‘an. Kesaksian Injil dan Taurat terhadap Al-
Qur‘an juga diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhailî, bahwa samakah orang-
orang yang berada dalam lindungan Al-Qur‘an yang dibuktikan dengan
kebenarannya oleh Injil dan Taurat? Mereka semuanya mengimani
kebenaran Al-Qur‘an. Barangsiapa kafir terhadap Al-Qur‘an dari
kalangan penduduk Mekkah, maka nerakalah disediakan sebagai balasan
kepada mereka.56
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Ibnu Katsîr.
Menurut Zamakhsyarî, ayat ini berbicara tentang perbedaan yang
sangat jauh antara orang yang menginginkan dunia (musyrik Mekkah)
dengan orang yang memiliki bayyinah, yakni bukti naqli dan aqli (orang
Islam). Dengan kehadiran Al-Qur‘an dan Taurat menjadi saksi atas
kebenaran Al-Qur‘an, sehingga jangan meragukannya lagi.57
Menurut al-Biqâ‗î—sebagaimana dikutip Quraish Shihab—bahwa
ayat ini mempertanyakan tentang orang yang masih mempersamakan dua
golongan yang berbeda, yakni yang pertama golongan yang mendapat
petunjuk, sedangkan golongan kedua yang membangkang. Kelompok
yang membangkang menganggap golongannya lebih mulia daripada
golongan yang taat dan takut pada Allah Swt.
Melalui pendapat para ulama tersebut, dapat disimpulkan, bahwa
ayat ini berbicara mengenai dua golongan yang memiliki perbedaan yang
sangat jauh. Golongan pertama adalah golongan yang mendapat petunjuk
Al-Qur‘an yang kebenarannya diakui oleh kitab-kitab sebelumnya, Taurat
dan Injil. Mereka itu adalah Rasulullah Saw. dan orang yang beriman.
Sedangkan, kelompok kedua adalah orang kafir. Mereka kelompok yang
membangkang terhadap kebenaran Al-Qur‘an dan Rasulullah Saw.
Ada hal yang menarik yang patut dicermati dalam ayat ini. Lihatlah
bagaimana Allah Swt. menggambarkan secara rinci golongan pertama,
yakni Rasulullah Saw. beserta bukti nyatanya Al-Qur‘an yang dibawa dan
diturunkan oleh Jibril serta disaksikan oleh kebenaran Kitab Taurat dan
Injil. Bandingkan dengan golongan yang kedua yang tidak dipaparkan
56 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 348-349 57 Al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf an Haqâ‟iq al-Tanzîl..., h. 189
43
banyak bukti seperti golongan pertama, yakni cukup dengan kata-kata
kâfir saja, seolah memberi kesan bahwa yang dimaksud dengan orang
kafir cukup jelas siapa mereka dan tak satupun ada yang tak
mengenalnya. Sedangkan, pemaparan golongan pertama dengan ciri yang
sangat detail hingga memberi kesan bahwa masih saja ada orang yang
meragukan kebenaran golongan tersebut.
Sehingga, larangan bersikap al-miryah dalam ayat ini adalah
larangan meragukan, menolak, dan membantah bahwa Al-Qur‘an
berfungsi sebagai tanda bagi golongan-golongan yang berada pada
kebenaran absolut yang datang dari Allah Swt. Al-Qur‘an sebagai kitab
yang harus diikuti pedoman dan petunjuknya yang merupakan sumber
kasih sayang serta sumber kebaikan yang datang dari Allah Swt.
sebagaimana kitab Mûsâ as. juga memiliki fungsi yang sama.
3. Keraguan Kaum Nabi Lût as terhadap Azab yang Dibawa Para
Malaikat
Inilah bentuk pembangkangan kaum Sodom terhadap peringatan-
peringatan yang disampaikan Nabi Lût as, sehingga dengan
pembangkangan terus-menerus, Allah Swt. mengirimkan malaikat untuk
membawa azab yang selama ini mereka ragukan. Hal ini disebutkan
dalam Al-Qur‘an:
مترون قالوا بل جئناك بما كانوا فيه يPara utusan menjawab: “Sebenarnya Kami ini datang kepadamu
dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan.” (QS. al-Hijr:
63)
Kemudian akibat perbuatan mereka yang meyimpang dari fitrah
kemanusiaannya mereka dihukum dengan hujan batu.58
4. Larangan Meragukan Al-Qur’an sebagai Pembeda antara
Perkara yang Benar dan yang Batil
ذي ال ه أبتغي حكما وهو الل ذين آتيناهم أفغير لا وال اب مفص أنزل إليكم الكتين بك بالحق فلا تكونن من الممتر ل من ر ه منز اب يعلمون أن الكت
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal
Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur‟an) kepadamu dengan
terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada
mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur‟an itu diturunkan dari
58 QS. al-A‗râf: 84, QS. Hûd: 82-83
44
Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka, janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang yang ragu-ragu. (QS. al-An‘âm: 114)
Menurut Quraish Shihab, ayat ini turun berkaitan dengan konteks
perselisihan pendapat, antara kaum muslimin dengan kaum musyrik,
mengenai sembelihan atau binatang yang akan dimakan. Mereka berkata,
―Apakah terlarang memakan apa yang dimatikan Tuhan dan boleh
memakan binatang yang kita sembelih?‖ Kemudian ayat ini turun untuk
membantah anggapan kaum musyrik tersebut.
Menurut al-Zamaksyarî, ayat ini mempertanyakan kelayakan
seseorang yang mencari hakim selain Allah Swt. untuk memutuskan
perkara di antara manusia. Padahal, Allah telah menerangkan antara
kebenaran dan kebatilan melalui kitab-Nya secara terperinci. Pendapat ini
senada dengan al-Sya‗râwî.59
Sedikit berbeda dengan Fakhr al-Râzî,
bahwa ayat ini memiliki beberapa fragmen pembahasan. Pembahasan
pertama, sumpah orang kafir akan beriman jika Nabi memberikan bukti
kenabiannya. Kemudian Allah menjawab tidaklah berguna mengikuti
kehendak mereka dengan memberikan bukti, karena mereka akan tetap
kafir. Tetapi, katakan bahwa bukti kenabian ada dua: 1- Allah
menetapkan kenabian Muhammad Saw. dengan diturunkannya Al-Qur‘an
yang bersifat rinci, jelas, mengandung banyak ilmu, dan menggunakan
bahasa yang sempurna. 2- Di antara tanda kenabian tersebut adalah
pemberitaan Taurat dan Injil yang menyatakan kebenaran kenabian
Muhammad Saw. dan kebenaran Al-Qur‘an yang diturunkan dari Allah
Swt.60
Pembahasan Kedua, larangan menjadi orang-orang musyrik dan
larangan meragukan pengetahuan Ahli Kitab tentang diturunkannya Al-
Qur‘an dari Allah Swt.
Sehingga, menurut Fakhr al-Râzî, larangan al-miryah dalam ayat ini
ada 4 hal:61
Pertama, kalimat ini merupakan kalimat tahyîj (memberi
pengaruh kepada yang lain agar mereka melakukannya) dan ilhâb
(mengerti dan segera mengikuti). Kedua, kalimat ini merupakan kalimat
taqdîr yakni ―jangan meragukan pengetahuan Ahli Kitab mengenai
kebenaran Al-Qur‘an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, khitâbnya bisa kepada segala sesuatu. Keempat, secara sepintas
pesan ayat ini ditujukan kepada Nabi Saw., namun secara lebih jauh pesan
ini ditujukan kepada umatnya.
Dalam ayat tersebut disifati dengan kata mufassalan. Kata ini
berasal dari kata fasl yang berarti memperjelas salah satu dari dua hal,
59 Al-Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi, h. 2886-2887 60 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 167 61 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 209
45
sampai terlihat kerenggangan (perbedaan) yang mencolok antara
keduanya. Al-Qur‘an dinamakan dengan mufassal karena memiliki arti
bahwa Al-Qur‘an berfungsi sebagai penjelasan terhadap sesuatu yang
berkaitan dengan ajaran agama secara terperinci, jelas, dan tidak kacau
ketentuan-ketentuannya.62
Sifat Al-Qur‘an yang merinci keterangannya dengan jelas bertujuan
untuk menjadi bukti yang menyakinkan semua orang. Oleh sebab itu,
ketidakjelasan sikap yang ditunjukkan oleh karakter ragu-ragu tidak
mendapat tempat ataupun legalitasnya di dalam Al-Qur‘an. Sebab, Al-
Qur‘an sendiri tidak memberikan ruang sedikitpun untuk bersikap ragu.
Karena, keraguan terhadap Al-Qur‘an bertentangan dengan sifat Al-
Qur‘an, yaitu mufassal.
Al-Qur‘an berulang kali menyifati dirinya sendiri dengan sifat
mufassal. penjelasan tersebut dapat ditemukan dalam QS. Yûnus: 37.
Adapun hal-hal yang dijelaskan dalam Al-Qur‘an berupa bentuk prinsip-
prinsip hidup yang sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia dalam
menggapai kemaslahatan dunia dan akhirat ditemukan dalam QS. Yûsuf:
111.63
Prinsip-prinsip ini berupa undang-undang. Indikasi tersebut terlihat
dari kalimat-kalimat perangkainya seperti kata hakaman. Hakaman dalam
ayat ini diartikan sebagai undang-undang oleh al-Sya‗râwî.64
Hakam
adalah orang yang memutuskan dengan kebenaran, sebab penamaan ini
merupakan bentuk pengagungan. Sedangkan, hâkim adalah sifat yang
diberikan atas dasar perbuatan.65
Kalimat ilaikum menurut al-Sya‗râwî menunjukkan bahwa undang-
undang itu bukan bagi Muhammad Saw. saja, melainkan kepada semua
umat yang memiliki keimanan terhadap undang-undang tersebut.‖66
Itulah
sebabnya mengapa kata gantinya menggunakan bentuk jamak bukan
bentuk tunggal. Larangan al-miryah dalam ayat ini juga menggunakan
bentuk tawkîd yang berarti penekanan untuk tidak bersikap al-miryah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
maksud pernyataan Allah Swt. sebagai hakim adalah Allah memiliki
kekuatan dalam memutuskan sesuatu. Sifat tersebut tidak dimiliki oleh
siapapun.67
Allah yang paling berhak dipercayai dalam memberikan
keputusan.68
Allah Pencipta tunggal dalam kaitannya dengan hukum69
62 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 252 63
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h . 526 64 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 3885. 65 Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, h. 178 66 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 3886 67 QS. Yûsuf: 40 68 QS. Al-An‘âm:62
46
yang mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak maupun samar. Allah
Maha Bijaksana dalam memutuskan perkara. Allah pula menurunkan Al-
Qur‘an yang berisikan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan terbaik
untuk dijadikan landasan atau acuan atas segala hal yang dihadapi
manusia, sehingga tercapailah kemashlahatan dunia akhirat.
Para Ahli Kitab juga mengetahui bahwa yang menurunkan Al-
Qur‘an adalah Allah Swt. Jika para Ahli Kitab saja mengetahuinya, maka
kita dilarang meragukan segala macam ketentuan-ketentuan hukum yang
terdapat di dalam Al-Qur‘an. Yang berhak memberi keputusan segala hal
yang menyangkut mahkluk adalah Allah Swt.70
Hal ini juga diuraikan
dalam dalam QS. al-An‘âm: 62 dan QS. al-Kahfi: 26. Salah satu hukum
Allah adalah larangan menyembah atau taat kepada selain hukum Allah.71
Karena itu, Allah Swt. menurunkan kitab yang bersifat mufassal
dan melarang manusia mengikuti hawa nafsunya, karena dapat
menyebabkan mereka tidak mau menegakkan Syariat Islam.72
Kemudian
Allah mengulangi lagi perintahnya, agar manusia berhati-hati terhadap
pengaruh siapapun yang menyebabkan mereka tidak menegakkan
Syari‘ah Islam.73
Untuk meyakinkan pelaksanaan hukum-hukum tersebut, Allah Swt.
menyatakan bahwa tidaklah termasuk ke dalam orang-orang yang
beriman, hingga manusia memutuskan segala perselisihan yang mereka
hadapi berdasarkan Al-Qur‘an yang diturunkan kepada Nabi dan tidak
merasa keberatan.74
Allah Swt. kemudian mengatakan secara tegas atas
kezaliman orang yang tidak menegakkan Syari‘at Islam.75
Selain itu,
Allah menegaskan pula bahwa hanya orang yang yaqîn76
saja yang mau
menjadikan Al-Qur‘an sebagai sumber undang-undang hukum
kehidupan.77
69 QS. Al-Kahfi: 26 70 Sayyid Qutb, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Terj. M. Misbah dkk (Jakarta: Robbani Press,
2009), h. 365 71 QS. Yûsuf: 40, QS. al-An‘âm: 57 72 QS. al-Mâ‘idah: 48 73 QS. al-Mâ‘idah: 49 74
QS. al-Nisâ‘: 65 75 QS. al-Mâ‘idah: 45 76 Kata yaqîn berarti orang yang percaya dengan sungguh-sungguh tanpa
kesangsian sedikitpun. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca, Shihab, Ensiklopedi Al-
Qur‟an, h. 1102 77 QS. al-Mâ‘idah: 50
47
5. Golongan yang Berprilaku al-Miryah terhadap Perkara Ghaib
dan Perbedaan Sikap Mereka dengan Golongan yang
Meyakininya
Pembahasan pada sub tema ini menjelaskan golongan-golongan
yang memiliki indikasi sifat al-miryah atau telah memiliki sifat al-miryah
di dalam hatinya. Sehingga dengan mengenal indikasi-indikasi sifat ini,
kita dapat memelihara diri atau menjaga batas-batas yang tidak boleh
dilampaui. Adapun sub pembahasan pada bagian ini terdapat tiga poin
penting, di antaranya: 1- keraguan kaum kafir Quraisy terhadap hari
Kebangkitan, 2- keraguan terhadap dan perdebatan manusia mengenai
pertemuannya dengan Tuhan, dan 3- perbedaan sikap antara orang yang
mengingkari hari Kiamat dengan yang mempercayainya.
5.1. Keraguan Kaum Kafir Quraish terhadap Hari Kebangkitan
قضى أجلا ذي خلقكم من طين ثم مترون هو ال أنتم ت ى عنده ثم وأجل مسمDialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu
ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada
pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian
kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu). (QS. al-An‘âm: 2)
Munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah setelah Allah
Swt. menerangkan jenis-jenis pujian kepada-Nya dan orang musyrik
Mekkah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak sebanding
dengan-Nya, maka pada ayat di atas Allah mengemukakan dalil-dalil
keesaan-Nya sendiri dan bukti hari Kebangkitan. Bukti-bukti tersebut
digunakan untuk menyangkal perbuatan orang musyrik dengan
mengatakan bahwa Allah yang menciptakan manusia pertama sebagai
bapak manusia, yakni Adam as dan mengembangbiakkan keturunannya.
Kemudian setelah penciptaan itu, Allah Swt. menetapkan ajal
manusia. Makna ajal pada kalimat summa qada ajalan bermakna
dimulainya penciptaan manusia dari kelahiran hingga matinya.78
Adapun
maksud kata ajal yang kedua adalah kiamat.79
Dalam ayat ini juga Allah
mengingatkan orang musyrik Mekkah yang membantah mengenai hari
Kebangkitan, dengan mengajak mereka berpikir tentang diri mereka
sendiri, terutama tentang asal-muasal penciptaan mereka, bahwa mereka
sebelumnya adalah tiada kemudian menjadi ada.
78 Pendapat ini dikutip dari Ibn Abbâs. Lihat, al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-
Aqîdah..., h. 132-133 79 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 132-133
48
Menurut penulis, penyajian peringatan berunut seputar tiga hal
besar ini, menunjukkan betapa keras dan hebatnya pembangkangan yang
ditunjukkan oleh orang kafir Mekkah. Ditambah lagi sebelum peringatan
tentang tiga hal besar ini, Allah Swt. telah lebih dahulu memaparkan dan
menunjukkan kehebatan dan kekuasaannya dibanding penciptaan
manusia, yakni penciptaan langit dan bumi serta penciptaan malam dan
siang. Inilah hal-hal besar kiranya menurut penulis yang harus mendapat
perhatian besar guna menghadapi para pembangkang dari kalangan kafir
Quraisy Mekkah yang tertimpa penyakit ragu-ragu.
5.2. Keraguan dan Perdebatan Manusia mengenai Pertemuannya
dengan Tuhan
ه بكل شيء محيط ية من لقاء ربهم ألا إن هم في مر ألا إنIngatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan
tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa
sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. (QS. Fussilat: 54)
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah pada
ayat-ayat yang lalu Allah Swt. menegakkan dalil-dalil yang menjelaskan
hujjah keesaan-Nya, sehingga orang kafir tidak memiliki alasan lain
untuk membangkang dan menentang-Nya. Maka, pada ayat di atas Allah
menjelaskan sebab-sebab pembangkangan mereka. Mereka mengingkari
pertemuannya dengan Tuhan, karena mereka mendustakan dan
meragukan Al-Qur‘an.80
Penolakan orang kafir terhadap Al-Qur‘an secara
tidak langsung akan berdampak pada penolakannya terhadap semua
ajaran-ajarannya, termasuk salah satunya ajaran Al-Qur‘an yang berkaitan
dengan pertemuan manusia dengan Tuhannya. Mereka meragukan
keterangan Al-Qur‘an yang mengabarkan bahwa mereka akan bertemu
dengan Tuhannya kelak di akhirat. Adapun tempat pertemuan itu diyakini
di Padang Mahsyar dan di surga.81
Sayyid Qutb mengatakan bahwa
pertemuan manusia dengan Allah adalah sesuatu yang pasti. Kepastian itu
terlihat dari kalimat ―Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi
segala sesuatu‖ dengan memaknainya bahwa manusia tidak dapat
menghindari pertemuan dengan Tuhannya karena ke mana saja mereka
pergi, Tuhan meliputi mereka di setiap ruang dan waktu.82
80 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 853. 81 Ibnu Qudamah al-Maqdisî, Syarh Lum‟ah al-I„tiqâd (Jakarta: Dâr al-Haqq,
2001), h. 284 82 Qutb, Fî Zilâl al-Qur‟ân, h. 536
49
Dalam sejarah teologi, golongan Mu‘tazilah, golongan yang dikenal
dalam pengagungan terhadap akal, merupakan salah satu golongan yang
mengingkari pertemuan manusia dengan Tuhannya. Menurut mereka,
melihat itu hanya pada jism (tubuh) dan tubuh-tubuh itu memiliki
kemiripan. Jika manusia melihat Tuhan, maka kita menetapkan bahwa
Allah itu berjism, padahal jism memiliki kemiripan. Maka, dengan
sendirinya pemahaman tersebut akan membawa penyerupaan manusia
dengan Tuhan dan hal ini tidak dibenarkan. Pandangan semacam ini tentu
merupakan keyakinan dan kepercayaan yang sangat berbeda dengan
akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‘ah.
Ayat yang dapat dijadikan argumen pertemuan manusia dengan
Tuhannya adalah, sebagai berikut:
وجوه يومئذ ناضرة بها ناظرة إلى رWajah orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhan mereka, mereka melihat. (QS. al-Qiyâmah: 22-23)
Menurut Syeikh Ibnu Utsaimin, bahwa kalimat ilâ rabbihâ nâzirah
adalah melihat dengan mata kepala.83
Banyak sekali hadis-hadis
mutawatir yang menguraikan tentang melihatnya orang mukmin kepada
Tuhannya. Salah satunya seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-
Bukhari, sebagai berikut: ―Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
sebagaimana kalian melihat rembulan di malam purnama dan
sebagaimana kalian melihat matahari dalam keadaan cerah tanpa awan.
Kalian tidak harus berdesak-desakan melihatnya.‖84
5.3. Perbedaan Sikap antara Orang Kafir yang Mengingkari Hari
Kiamat dengan yang Mempercayainya
ها يعلمون أن ذين آمنوا مشفقون منها و ذين لا يؤمنون بها وال يستعجل بها الاعة لفي ضلال بعيد الحق ألا مارون في الس ذين ي إن ال
Orang-orang yang tidak beriman kepada hari Kiamat meminta
supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman
merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu
adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya
orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-
benar dalam kesesatan yang jauh. (QS. al-Syûrâ: 18).
83 Al-Maqdisî, Syarh Lum‟ah al-I„tiqâd, h. 281 84 Al-Maqdisî, Syarh Lum‟ah al-I„tiqâd, h. 286
50
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya
adalah bahwa pada ayat yang lalu Allah Swt, mengingatkan
orang mukmin agar t idak berdebat dengan orang musyrik,
karena hujjah sudah sangat jelas, maka pada ayat di atas Allah
mengingatkan orang mukmin agar memperhat ikan akhirat
dengan cara mengingatkan tentang kedatangan Kiamat. Namun,
orang kafir menanggapi dengan olok-olokan tentang Kiamat.
Salah satu bentuk penolakan orang kafir Mekkah terhadap Al-
Qur‘an adalah menolak informasi tentang hari Kiamat.85
Penolakan terhadap Al-Qur‘an dengan sendirinya akan menolak
semua ajaran-ajaran yang bersumber darinya sepert i kepast ian
tentang datangnya hari Kiamat.
Ada banyak sisi yang dapat dilihat dari penafsiran ayat ini ,
di antaranya, menurut al-Tabarî, bahwa ayat ini berbicara tentang
kaum musyrikin yang meragukan dan membantah kedatangan
hari Kiamat. Keraguan itu dilandasi oleh sifat ket idakpercayaan
mereka terhadap datangnya hari Kiamat yang abstrak. Keraguan
dan pembantahan tersebut ditunjukkan dengan permintaan
mereka dengan mempercepat kedatangan perist iwa terjadinya
Kiamat.86
Allah kemudian menjelaskan balasan azab yang akan
diterima orang tersebut sebagaimana terekam dalam firman-
Nya:
ذي كنتم ب ه تستعجلون ذوقوا فتنتكم هذا ال(Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu.
Inilah azab yang dulu kamu minta untuk disegerakan".
(QS. al-Dzâriyât: 14).
Berbeda halnya dengan sikap yang ditunjukkan oleh orang
beriman yang memiliki sikap yang berbeda dengan orang kafir.
Orang beriman memiliki sifat musyfiqîn, yakni orang yang
memberi perhat ian terhadap sesuatu yang disertai dengan rasa
takut padanya.87
Orang-orang beriman tersebut mengetahui
dengan ilmunya bahwa hari Kiamat itu akan terjadi.88
Fakhr al-
Râzî mendefinisikan arti yang sama terhadap kata musyfiqîn,
yakni orang yang perhat ian disertai dengan rasa takut terhadap
hari Kiamat, karena mereka mengetahui dengan ilmu mereka .
85 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 481 86 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 852 87 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 482. 88 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 482.
51
Namun, orang yang mengingkari terjadinya hari Kiamat tidak
akan memiliki rasa takut terhadapnya.89
Kemudian al-Tabarî melanjutkan bahwa Allah menetapkan
bagi siapa saja yang membantah, t idak menerima, bahkan
mengingkari perist iwa Kiamat benar-benar dimasukkan ke
dalam golongan orang-orang yang sesat.90
Sedangkan, menurut
al-Sya‗râwî, ayat ini merupakan penegasan akan terjadinya hari
Kiamat yang kehadirannya t idak diragukan lagi, yakni sebagai
tempat untuk memberikan pembalasan perbuatan manusia.91
Quraish Shihab memiliki pandangan yang berbeda dalam
memahami ayat ini. Ia mengatakan bahwa ayat ini berbicara
tentang kelemahan keyakinan dalil-dalil orang musyrik
mengenai hari Kiamat yang mereka paparkan, dengan
mengajukan argumen keniscayaan hari Kiamat yang past i
terjadi.92
Pendapat Quraish Shihab ini diambil dari sudut
pandang munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya.
Meyakini perist iwa Kiamat adalah salah satu ciri dar i
orang beriman. Di sisi lain meyakini datangnya Kiamat
memiliki pengaruh yang cukup efekt if dalam pendidikan ruh.93
Menurut Jawadi Amuli, ada beberapa manfaat ketika seseorang
meyakini perist iwa Kiamat, antara lain, dapat menghalangi
manusia lari dari tanggung jawab, menentang segala bentuk
kelaliman, mencegah syahwat dari t indakan melampaui batas,
mengendalikan naluri emosional dan segala perilaku yang
menyimpang, dan menyeimbangkan naluri seksual.94
Banyak sekali dampak yang dit imbulkan ketika seseorang
membantah terjadinya Kiamat, antara lain, dicela Allah dan
disifat i-Nya dengan perangai yang buruk.95
Kehidupan mereka
akan tersesat, karena dunia dijadikan indah pada pandangan
mereka sebagai istidrâj agar mereka lalai.96
Pada lain hal, orang
yang t idak mempercayai hari akhir termasuk orang kafir.97
89 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 190 90 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 853. 91 Al-Sya‗râwî, Tafsir al-Sya‟rawi, h. 9079 92 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 480. 93
Jawadi Amuli, Makna Hari Kiamat dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Sadra Press,
2012), h. 234-235 94 Amuli, Makna Hari Kiamat..., h. 234-235 95 QS. al-Nahl: 60 96 QS. al-Naml: 4-5 97 QS. al-A‗râf: 147, 45
52
Orang kafir itu disebut musyrik (penganut pagan).98
Sungguh,
tertutup hat i manusia yang mengingkari perist iwa Kiamat.
Sebab, Iblis saja mengakui akan adanya hari Kiamat.99
Kelompok yang mengingkari perist iwa Kiamat adalah kaum
kafir Mekkah.
Ada juga orang yang mengakui akan adanya Allah Swt .
sebagai Pencipta, namun mereka t idak percaya akan adanya hari
akhir.100
Padahal, para nabi dan rasul sebelumnya telah
menyampaikan pent ingnya mempercayai hari Kebangkitan,
sepert i Nabi Nûh as.,101
Nabi Hûd as.,102
Nabi Ibrâhîm as.,103
Nabi Syu‘aib as.,104
dan Nabi Mûsâ as.105
6. Larangan Meragukan Perkara Ghaib yang Ada Landasan
Nasnya
6.1. Larangan Meragukan Kedatangan Kiamat
بعون هذا صراط مستقيم مترن بها وات اعة فلا ت ه لعلم للس وإنDan sesungguhnya Îsâ itu benar-benar memberikan pengetahuan
tentang hari Kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang
Kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. (QS. al-
Zukhruf: 61).
Dalam ilmu qira‟ah kalimat la-ilm al-sâ„ah memiliki dua versi
qira‟ah, yaitu dengan harakat fathah sehingga kalimatnya menjadi la-
alam al-sâ„ah dan dengan harakat sukûn sehingga kalimatnya menjadi la-
ilm al-sâ„ah. Versi qira‟ah pertama bermakna salah satu syarat
diketahuinya hari Kiamat, sedangkan versi qira‟ah kedua bermakna
sebagai pertanda datangnya Kiamat. Al-Suyûtî dalam kitabnya al-Durr
al-Mantsûr, berpendapat bahwa para sahabat dan tabi‘in memahami versi
qira‟ah yang kedua dengan tanda datangnya hari Kiamat dengan turunnya
Nabi Îsâ putra Maryam sebelum peristiwa Kiamat.106
Pendapat ini
diperkuat oleh keterangan banyak hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu
98 QS. Fussilat: 6-7 dan QS. al-Taghâbun: 7 99 QS. Sâd: 79-81 100 QS. Luqmân: 25, QS. al-Mukminûn: 82-8 101 QS. al-A‗râf: 59, QS. Hûd: 26, QS. Nûh: 2-3, 17-18 102
QS. Hûd: 60, QS. QS. al-Syu‘arâ‘: 135, QS. al-Ahqâf: 21 103 QS. al-Baqarah: 126, QS. Ibrâhîm: 41, QS. al-Syu‘arâ‘: 81-83 104 QS. al-Ankabût: 36 105 QS. Tha-Ha: 14-16, 54-55 106 Abd ar-Rahmân Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-
Ma‟tsûr (Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 386.
53
Syihâb Ibn Abd al-Musayyab, bahwa ia mendengar Abû Hurairah
berkata: Rasulullah Saw. bersabda, ―Demi jiwaku berada di Tangan-Nya,
hampir sudah dekat waktu turunnya Ibnu Maryam Salallâhu alaihi wa
sallam kepada kalian sebagai hakim yang adil, memecahkan salib,
membunuh babi, tidak menerima jizyah, dan harta benda akan melimpah
sehingga tidak ada seorangpun yang menerimanya‖;107
riwayat dari Jâbir
Ibn Abd Allâh;108
riwayat dari Ibnu Uyainah;109
riwayat dari Abu
Hurairah; dan sekian keterangan para mufasir seperti al-Tabarî yang
dalam hal ini ia mengemukakan, bahwa kata ganti pada awal ayat QS. al-
Zukhrûf: 61 kembali kepada Îsâ Ibn Maryam sehingga artinya menjadi:
Sesungguhnya kemunculan Îsâ Ibn Maryam as. merupakan tanda untuk
mengetahui kedatangan Kiamat dan turunnya Îsâ ke bumi sebagai
indikasi salah satu tanda akan sirnanya dunia dan akan datangnya hari
Kiamat.110
Demikian pula, Ibnu Katsîr mengatakan bahwa hadis-hadis
yang berkaitan dengan kedatangan Îsâ as. untuk yang kedua kalinya
banyak yang mutawatir.
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan pada uraian ayat ini. Dari
sudut pandang ilmu qira‟ah, pendapat para sahabat, pandangan para
mufasir, keterangan banyak hadis, dan munasabah ayat, menunjukkan
bahwa datangnya Îsâ Ibn Maryam as. nanti menjadi tanda datangnya hari
Kiamat. Sedangkan, kemunculan Îsâ as. untuk yang kedua kalinya
menjadi sebuah perdebatan. Perdebatan itu muncul dari sebuah anggapan
bahwa apakah Îsâ as. telah disalib atau mati? Keyakinan umat Islam
menyatakan bahwa Îsâ as. tidak disalib sebagaimana anggapan orang-
orang Yahudi. Hal ini disebutkan secara tegas dalam Al-Qur‘an:
ا وما صلبوه وقولهم إن ه وما قتلوه رسول الل يم قتلنا المسيح عيسى ابن مرا إل ذين اختلفوا فيه لفي شك منه ما لهم به من علم ولكن شبه لهم وإن ال
ن وما قتلوه يقينا باع الظ ات يزا حكيمابل ر ه عز ه إليه وكان الل فعه اللDan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh
al-Masih, Îsâ putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka
bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Îsâ bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang
107 Imâm al-Nawâwî, Al-Manhâj Syarah Sahîh Muslim Ibn al-Hujjâj, Terj. Agus
Makmun dkk (Jakarta: Dâr al-Sunnah: Press, 2015), h. 103 108 Al-Nawâwî, Al-Manhâj Syarah Sahîh..., h. 108 109 Al-Nawâwî, Al-Manhâj Syarah Sahîh..., h. 104 110 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h.112
54
(pembunuhan) Îsâ, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa
yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka
tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Îsâ. Tetapi
(yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Îsâ kepada-Nya. Dan
adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Nisa:
157-158)
Bahkan, pada ayat lain Allah Swt. memberikan kabar keselamatan
Îsâ Ibn Maryam as., sebagaimana firman-Nya berikut:
ه يا عيسى ذين كفروا إذ قال الل إني متوفيك ورافعك إلي ومطهرك من ال إلي مرجعكم ثم ذين كفروا إلى يوم القيامة بعوك فوق ال ذين ات وجاعل ال
لفون فأحكم بينكم فيما كنتم فيه تخت(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Îsâ, sesungguhnya Aku
akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat
kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang
kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas
orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian, hanya
kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu
tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya". (QS. Ali
Imran: 55)
Al-Maraghi berpendapat bahwa ayat itu mengabarkan berita
gembira mengenai keselamatan Îsâ as. atas makar yang dibuat oleh orang
Yahudi yang berniat membunuhnya.111
Maka, konsep penyaliban Îsâ as.
atau Yesus telah terjawab, bahwa tidak benar penyaliban dan kematian Îsâ
as. Îsâ masih hidup, sementara Allah mengangkatnya ke langit. Hal ini
dapat menjadi isyarat akan kedatangan Îsâ as. nanti menjelang terjadinya
peristiwa Kiamat. Al-Maraghi berpendapat, bahwa hadis-hadis tentang
kedatangan Îsâ as. sebagai tanda Kiamat merupakan riwayat ahad yang
tidak bisa dijadikan pegangan, karena berkaitan dengan masalah akidah.
Untuk persoalan akidah, kita seharusnya berpegang pada Al-Qur‘an
dan hadis mutawatir. Sehingga, makna dari kedatangan Îsâ as. untuk yang
kedua kalinya dapat dipahami dengan kedatangan ruh atau semangat Isa
111
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Terj. Bahrun Abu Bakar
(Semarang: Toha Putra, 1987), h. 293 111 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 582 111 Di antara para nabi yang dibunuh itu adalah Nabi Zakariya, meskipun ia tidak
melakukan kesalahan. Kebiasaan kaum Yahudi adalah membunuh nabi mereka
sebagaimana disebutkan dalam QS. Âli Imrân: 21
55
as. Quraish Shihab menyebutkan bahwa hadis-hadis tentang kedatangan
Îsâ as. untuk yang kedua kalinya masih diperselisihkan kesahihannya.
Oleh karena itu, maksud ayat ini bukan terkait dengan kedatangan Îsâ as.
ke bumi sebagai tanda Kiamat, namun informasi atas kelahiran Îsâ as.
tanpa ayah dan memiliki kemampuan menghidupkan orang mati beserta
menyembuhkan sekian banyak orang yang sakit. Semua kemukjizatan ini
merupakan bukti kuasa Tuhan.
Kedatangan Îsâ as. untuk yang kedua kalinya dengan sendirinya
akan mematahkan argumen-argumen yang dibangun oleh kaum Yahudi
bahwa mereka telah membunuhnya. Inilah sebuah kebiasaan buruk kaum
Yahudi yang terbiasa membunuh nabi-nabi mereka. Selain itu, informasi
tersebut menunjukkan bahwa Îsâ as. bukanlah Tuhan, sebagaimana
anggapan orang-orang Nashrani.112
Kedatangan Îsâ as. untuk yang kedua
kalinya juga digambarkan melalui firman Allah Swt. pada ayat berikut:
يكون عليهم القيامة يوم و قبل موته يؤمنن به ا ل اب إل وإن من أهل الكت شهيدا
Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman
kepadanya (Îsâ) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti
Îsâ itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (QS. al-Nisâ‘: 159)
Al-Tabarî dalam tafsirnya mengatakan bahwa ada beberapa
pendapat tentang penafsiran ayat ini: Pertama, setiap Ahli Kitab di setiap
masa, baik masa lalu maupun masa datang, akan beriman kepada Nabi Îsâ
as. Kedua, melalui pendapat yang pertama, dapat dipahami bahwa
kebenaran akan terlihat jelas pada setiap orang yang sedang sekarat.
Setiap orang yang didatangi kematian, jiwanya tak akan terlepas sampai
ia benar-benar mengetahui mana yang benar dan mana yang bathil dalam
agamanya. Ketiga, setiap Ahli Kitab akan beriman kepada Nabi
Muhammad Saw.113
Kedatangan Îsâ as. menjadi tanda Kiamat besar.
Beliau akan turun pada menara putih di bagian Damaskus. Beliau turun
sebagai hakim yang memutuskan dan menjalankan syari‘at Nabi
Muhammad Saw.
Ahmad al-Mubayyad menjelaskan tentang tujuan kedatangan Îsâ as.
ke dunia adalah untuk menghilangkan hal-hal yang samar dan syubhat
yang masih diperselisihkan hingga hari ini. Adapun perselisihan itu
menyebabkan manusia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: Golongan
112 Muhammad Ahmad al-Mubayyad, Ensiklopedi Akhir Zaman, Terj. Ahmad
Dzulfikar dkk (Surakarta: Granada Mediatama, 2015), h. 917 113 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h.111-112
56
pertama adalah Yahudi yang mengatakan bahwa mereka telah membunuh
Îsâ as. Golongan kedua adalah Nashrani yang mengatakan bahwa Îsâ as.
adalah Tuhan. Golongan ketiga adalah kelompok yang mengatakan
bahwa Îsâ as. adalah manusia dan utusan Tuhan.114
6.2. Larangan Meragukan Azab Akhirat
حيم إلى سواء الج فاعتلوه ميم خذوه وا فوق رأسه من عذاب الح صب ذق ثم يم يز ال كر ك أنت العز مترون إن إن هذا ما كنتم به ت
Peganglah dia kemudian seretlah dia ke tengah-tengah neraka,
kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari) air yang
amat panas. Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa
lagi mulia. Sesungguhnya ini adalah azab yang dahulu selalu kamu
meragu-ragukannya. (QS. al-Dukhân: 47-50)
Al-Qurtubî mengutip pendapat Qatâdah mengenai sabab nuzûl ayat
di atas. Ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Jahal
yang mengatakan: ―Tidak ada seorangpun yang lebih perkasa dan lebih
mulia di lembah ini daripada aku.‖ Nabi Saw. kemudian bersabda:
―Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan aku untuk mengatakan
kepadamu bahwa kecelakaanlah bagimu.‖ Abu Jahal berkata: ―Karena
sesuatu apakah engkau mengecamku. Demi Allah Swt., tidaklah kamu
dan tidak juga Tuhanmu, dapat melakukan sesuatu terhadapku.
Sesungguhnya aku termasuk orang yang paling perkasa di lembah ini dan
paling mulia di antara kaumnya.‖ Allah kemudian membunuh dan
menghinakan Abu Jahal dalam Perang Badar dan turunlah ayat ini.115
Sedangkan, menurut Quraish Shihab, ayat ini lebih umum berbicara
tentang keraguan manusia menyangkut siksaan akhirat.116
Karena, selama
di dunia mereka merasa perkasa dan mulia, bahkan meragukan azab
akhirat.117
Disebutkan dalam ayat Al-Qur‘an sebagai berikut:
ذي كنتم به تستعجلون ذوقوا ف تنتكم هذا ال(Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. Inilah azab
yang dulu kamu minta untuk disegerakan". (QS. al-Dzâriyat: 14).
Adapun azab yang mereka ragukan, antara lain, disebutkan pada
QS. al-Dukhân: 43-48 yakni adanya pohon Zaqqum yang menjadi
114 Al-Mubayyad, Ensiklopedi Akhir Zaman, h. 96 115 Al-Qurtubî, Tafsîr al-Qurtubî, h. 393 116 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 24. 117 QS. al-Dzâriyyat: 14. Lihat juga, Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 326
57
makanan para pendosa dan pendurhaka yang letaknya ada di dasar neraka
Jahim.118
Dalam ayat lain disebutkan bahwa pohon Zaqqum merupakan
bahan makanan bagi orang yang sesat, yaitu orang yang mendustakan
ayat-ayat Allah mengenai hari Kebangkitan.119
Selanjutnya, ayat tersebut
menggambarkan bentuk pohon Zaqqum yang seperti minyak yang
dicairkan di neraka dan meleleh di dalam perut ketika memakannya.
Kemudian, siksaan terhadap para pendosa berlanjut dengan diseretnya ke
tengah-tengah neraka. Para malaikat menuangkan cairan panas ke atas
kepala para pendosa tersebut.
7. Larangan Meragukan Perkara Ghaib yang Tidak Ada Landasan
Nasnya dan Perintah agar Berdiskusi tentang Perkara Nyata
Untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan hal-hal
ghaib seharusnya merujuk kepada Al-Qur‘an dan Sunnah, karena tidak
ada seorangpun yang mengetahui hal-hal ghaib kecuali Allah Swt. Hal ini
terekam dari sekian ayat yang menceritakan perkara ghaib, misalnya,
perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. agar mengatakan bahwa
perkara ghaib adalah urusan Allah.120
Pada sebuah ayat, Allah berfirman
bahwa kunci-kunci semua yang ghaib hanya ada pada Allah semata.121
Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah.122
Berita ghaib itu hanya
dapat diketahui dengan jalan wahyu.123
Menyakini perkara-perkara ghaib
merupakan salah satu ciri orang yang beriman, sehingga terasa sulit sekali
orang musyrik Mekkah untuk mempercayainya. Kesulitan tersebut erat
kaitannya dengan budaya yang telah mengakar, yakni budaya business
oriented di mana segala sesuatu dinilai dengan perhitungan konkrit-
matematis. Sedangkan, perkara ghaib tidak dapat diukur dengan angka.
Surah al-Kahfi ayat 22 menguraikan hal-hal ghaib, namun ia
memiliki karakteristik berbeda dengan uraian sebelumnya.
سادسهم كلبهم رجما بالغيب يقولون خمسة رابعهم كلبهم و سيقولون ثلاثة ته يقولون سبعة وثامنهم كلبهم قل ربي أعلم بعد ليل فلا و ا ق م ما يعلمهم إل
ا مراء ظاهرا ولا تستفت فيهم منهم أحدا مار فيهم إل ت
118
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 242. 119 QS. al-Wâqi‘ah: 51-56 120 QS. al-An‘âm: 50, QS. al-A‗râf: 188, QS. al-Jinn: 26 121 QS. al-An‘âm: 59 122 QS. Yûnus: 20, QS. Hûd: 31 123 QS. Hûd: 49, QS. al-Naml: 65
58
Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah
tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain)
mengatakan: "(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam
adalah anjing nya", sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib;
dan (yang lain lagi) mengatakan: "(Jumlah mereka) tujuh orang,
yang ke delapan adalah anjingnya". Katakanlah: "Tuhanku lebih
mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui
(bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu
(Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran
lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-
pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka. (QS. al-Kahfi:
22)
Menurut Fakhr al-Râzî, sabab nuzûl ayat ini berkaitan dengan
orang-orang Najran yang datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan
kepada Nabi Saw. tentang pemuda Ashâbu al-Kahfi. Ada yang
mengatakan bahwa Ashâbu al-Kahfi adalah keturunan Ya‗qûb. Mereka
bertiga dan yang keempatnya adalah anjingnya. Sedangkan, Aqib berkata
bahwa pemuda Ashâbu al-Kahfi itu orang Nusturiyyan. Mereka berlima
dan keenamnya adalah anjingnya. Orang muslim berkata bahwa mereka
adalah muslim yang berjumlah tujuh orang, sedangkan yang keempatnya
adalah anjingnya. Inilah pendapat yang paling benar, menurut
kebanyakan mufasir.124
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Tabrisî125
dan al-
Sya‗râwî.126
Quraish Shihab memandang bahwa latar belakang
diturunkannya surah al-Kahfi ayat 22 ini berkaitan dengan keraguan
orang Arab Mekkah terhadap kenabian Muhammad Saw. dan
kemukjizatan Al-Qur‘an, sehingga mereka datang kepada orang Yahudi
meminta fatwa, bahwa untuk membuktikan kenabian Muhammad Saw.
tersebut perlu diajukan tiga buah pertanyaan, jika Muhammad
menjawabnya dengan baik, berarti ia adalah seorang nabi, dan tanyakan
lagi satu hal jika ia menjawabnya kemudian ia mengetahuinya berarti ia
berbohong. Demikian ucapan orang Yahudi kepada orang Arab Mekkah
yang meminta tanggapan.
Ketiga hal tersebut adalah: Pertama, kisah sekelompok pemuda
yang masuk ke dalam gua untuk berlindung. Berapa jumlah mereka dan
apa yang bersama mereka? Kedua, kisah Mûsâ ketika diperintahkan
124 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 106 125 Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayan fî Tafsîr, h.140 126 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 8858
59
Tuhan untuk belajar. Ketiga, kisah seorang penjelajah ke Timur dan ke
Barat.127
Perbedaan pandangan tentang jumlah Ashâbu al-Kahfi merupakan
perselisihan yang tidak didasarkan pada ilmu. Hal ini ditunjukkan oleh
lafaz rajman bi al-ghaib yang, menurut Al-Sya‗râwî, adalah ―perkataan
tanpa ilmu.‖128
Demikian juga, Quraish Shihab mengatakan kalimat itu
adalah ucapan yang maknanya ghaib lagi tidak diketahui, dan tidak
diketahui pula pengucapnya.129
Sedangkan, menurut Qatâdah, rajman bi
al-ghaib adalah prasangka dan tidak yakin.130
Perdebatan mereka itu
disebut oleh Allah Swt. dengan perdebatan tanpa dasar ilmu.131
Allah
Swt. tidak menginformasikan jumlahnya kecuali pada golongan yang
sedikit. Seperti, perkataan Ibn Abbâs, adalah ―saya bagian dari yang
sedikit itu.‖132
Sedangkan, menurut Ata‘ dan Ibnu Atiyyah, ―sebagian
kecil dari golongan Ahli Kitab.‖133
Solusi yang diberikan Al-Qur‘an terkait perdebatan tersebut
mengarah kepada dua pemahaman. Solusi pertama adalah kalimat
perintah yang mengharuskan Muhammad Saw. mengembalikan perkara
ini kepada Allah Swt., seperti terlihat pada pada kalimat qul rabbî a„lamu
bi„iddatihim yang berarti katakanlah Muhammad Saw. bahwa Allah lebih
mengetahui jumlahnya. Solusi kedua adalah larangan berdebat pada
wilayah atau perkara yang bersifat ghaib.
Para ulama mengemukakan beberapa pendapat mengenai makna
kalimat larangan tersebut. Ibrâhîm al-Abyarî mengatakan bahwa larangan
tersebut adalah larangan berdebat dengan Ahli Kitab mengenai jumlah
pemuda Ashâbu al-Kahfi kecuali perdebatan yang bersifat fisik.134
Ibnu
Atiyyah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah bahwa
―janganlah berdebat tentang jumlah pemuda Ashâbu al-Kahfi kecuali apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu, yaitu dengan mengembalikan
pengetahuan jumlah Ashâbu al-Kahfi kepada Allah Swt.‖135
Ada juga
yang memberikan makna bahwa larangan tersebut adalah larangan
127 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 2007), h. 208 128 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 8866. 129 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 39. 130 Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayân fî Tafsîr, h.140 131 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 8866. 132
Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayan fî Tafsîr, h.140 133 Al-Tabrisî, Majma„ al-Bayan fî Tafsîr, h. 140 134 Ibrâhîm al-Abyarî, Al-Mausâ‟at al-Qur‟âniyyah (Mesir: Dâr al-Kitâb al-Misri,
1984), h. 250. 135 Muhammad Abd al-Haqq Ibn Atiyyah al-Andalusî, Al-Muharrar al-Wajîz fî
Tafsîr al-Kitâb al-Azîz (al-Qithr: Dâr al-Kutub, 1987), h. 275
60
berdebat kecuali perdebatan yang tidak seperti yang mereka katakan.136
Namun, yang terpenting dari kandungan ayat ini adalah fitnah yang keras
yang menimpa agama mereka sehingga mereka lari dan mencari
perlindungan agar dapat terhindar dari fitnah orang kafir dan pendosa.137
Menurut Quraish Shihab, ayat itu menerangkan tentang bagaimana
menyikapi perselisihan tanpa dasar ilmu yang benar tentang jumlah
pemuda Ashâbu al-Kahfi yang ghaib dengan mengatakan bahwa:
―Tuhanku yang memeliharaku dan membimbingku lebih mengetahui dari
siapapun. Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali yang
diberitahu saja, sedangkan jumlah yang diberitahu itu sedikit saja. Oleh
sebab itu, Nabi dan umatnya dilarang berdebat tentang jumlah Ashâbu al-
Kahfi kecuali perdebatan seputar hal-hal yang fisik saja, dan dilarang
menanyakannya kepada siapapun.‖138
Pada ayat lain, Allah mengingatkan
manusia agar tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui,
sebagaimana firman-Nya:
هينا علم وتحسبونه يس ل كم به بألسنتكم وتقولون بأفواهكم ما ل ونه لق إذ ت ه عظيم وهو عند الل
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke
mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu
ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan
saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. al-Nûr: 15)
Dewasa ini seringkali kita menyaksikan orang yang suka berselisih
dan berdebat mengenai perkara ghaib yang tidak ada penjelasannya dari
Allah dan Rasul-Nya, sehingga perdebatan tersebut membawa kepada
permusuhan. Quraish Shihab menyarankan hendaknya dihindari
perdebatan semacam ini.139
Karena itu, sebaiknya kalau ingin berdebat,
maka berdebatlah pada selain persoalan ghaib. Perdebatan semacam ini
tidak dilarang oleh Allah Swt.
8. Larangan Meragukan Al-Qur’an sebagai Petunjuk
هدى لبني وجعلناه من لقائه ية اب فلا تكن في مر ولقد آتينا موسى الكتيل إسرائ
136 Al-Andalusî, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr, h. 276 137 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 8866. 138 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 270. 139 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 39.
61
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepada Mûsâ al-Kitab
(Taurat), maka janganlah kamu (Muhammad) ragu menerima (Al-
Qur‟an itu) dan Kami jadikan al-Kitab (Taurat) itu petunjuk bagi
Bani Isra‟il. (QS: al-Sajadah: 23)
Adapun munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa
pada ayat sebelumnya telah dijelaskan perihal orang durhaka yang
berpaling dari ayat-ayat Allah. Kemudian, pada ayat di atas Allah
mengingatkan Nabi Muhammad Saw. dengan peristiwa yang pernah
dialami Nabi Mûsâ as. dengan tujuan untuk menghiburnya.
Menurut Fakhr al-Râzî, ayat ini merupakan hiburan bagi Nabi
Muhammad Saw. dalam menghadapi kaumnya yang menyakiti beliau,
membangkang dan berpaling dari apa yang didakwahkannya, dengan cara
mengingatkan Nabi Muhammad Saw. kepada peristiwa Nabi Mûsâ as.
yang mengalami hal yang sama dan mengingatkan Nabi Saw akan
pertemuannya dengan Mûsâ as.140
Pandangan yang sama disampaikan
pula oleh Quraish Shihab.141
Wahbah al-Zuhailî mengemukakan penafsiran yang lebih sempurna
mengenai ayat ini, bahwa Allah Swt. memberi kabar kepada Nabi
Muhammad Saw, bahwa Nabi Mûsâ as. telah menerima Kitab Taurat,
maka janganlah kita meragukan kitab yang diberikan kepada Nabi
Muhammad Saw. Allah memberikan Kitab Al-Qur‘an kepada Nabi
Muhammad Saw. sebagaimana Dia memberikan Kitab Taurat kepada
Nabi Mûsâ. Muhammad bukanlah seorang yang mengada-ngada terhadap
kerasulannya, sebagaimana Allah berfirman: ―Katakanlah (Muhammad),
aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul, dan aku tidak tahu
apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu.‖ (QS. al-Ahqâf:
9).142
Umat-umat terdahulu yang telah menerima al-Kitab sepert i
kaum Nabi Mûsâ as., meskipun mereka memperselisihkan kitab
mereka (Taurat) yang seharusnya dijadikan sebagai petunjuk143
sebagaimana diterangkan oleh Al-Qur‘an:
بك لقضي سبقت من ر اب فاختلف فيه ولولا كلمة ولقد آتينا موسى الكتهم لفي شك منه مريب بينهم وإن
140 Umar, Tafsîr Fakhr al-Râzî, h. 186-187 141 Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah ( Jakarta: Lentera Hati 2003 ) h. 391 142 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 236 143 Al-Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah..., h. 572
62
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Mûsâ
Taurat lalu diperselisihkan tentang Taurat itu. Kalau tidak
ada keputusan yang telah terdahulu dari Rabb-mu,
tentulah orang-orang kafir itu sudah dibinasakan. Dan
sesungguhnya mereka terhadap Al-Qur‟an benar-benar
dalam keraguan yang membingungkan. (QS. Fussilat: 45)
Perselisihan inilah yang terjadi di kalangan Bani Isra‘il
terhadap kitab mereka, Taurat dan Injil. Agar kebodohan kaum
terdahulu t idak terulang, Nabi Muhammad Saw. dan umatnya
dilarang meragukan dan memperdebatkan Al-Qur‘an sebagai
petunjuk.144
Setelah kuat keyakinan Nabi Saw. mengenai fungsi
dan kedudukan Taurat di tengah-tengah kaum Bani Israil, Allah
melarang Nabi Muhammad meragukan dan memperdebatkan
fungsi Al-Qur‘an yang diberikan kepada beliau sebagai
petunjuk bagi umatnya.145
Dengan demikian, seakan memberikan
pemahaman bahwa Al-Qur‘an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. sama persis dengan kitab-kitab yang diberikan
kepada nabi-nabi sebelumnya sepert i Taurat dan Injil, yakni
memiliki fungsi yang sama sebagai petunjuk.
Melalui uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
Allah telah meneguhkan kenabian Muhammad Saw. melalui
kebenaran wahyu Al-Qur‘an. Al-Qur‘an membuktikan kerasulan
beliau sebagaimana nabi-nabi terdahulu yang dibukt ikan dengan
kitab-kitab mereka. Pemberitahuan Allah terkait Kitab Taurat
sebagai petunjuk adalah untuk menenangkan Nabi Muhammad
Saw. dalam menghadapi orang yang meragukan Al-Qur‘an yang
mana mereka membantah serta menolaknya.146
Penolakan itu dilakukan oleh kaum musyrikin Mekkah dan
nabi-nabi sebelumnya juga mengalami hal-hal yang sama
dengan Nabi Muhammad Saw.147
Sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah sebagai berikut:
144 Fungsi Taurat sebagai petunjuk pada ayat di atas dipahami dari kata hudan
yang disusul oleh kata ila/la yang berarti memberi informasi/petunjuk .
Lihat, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 70 145 Hasbi al-Siddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas al-Quranul Karim (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, t.t.), h. 931 146 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 203 147 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 351
63
ى أتاهم وذوا حت ولقد كذبت رسل من قبلك فصبروا على ما كذبوا وأه ولقد جاءك من نبإ المرسلين نصرنا ولا مبدل لكلمات الل
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum
kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan
penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang
pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat
merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya
telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu. (QS.
al-An‘âm: 34)
Orang kafir Mekkah mengatakan, Al-Qur‘an itu buatan
Nabi Muhammad Saw. sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah: Bahkan mereka (orang kafir) berkata, “Dia Muhammad
telah mengada-ngadakannya (Al-Qur‟an).” Katakanlah jika aku
mengada-ngadakannya, maka kamu tidak kuasa sedikitpun
menghindarkan aku dari (azab) Allah. Dia lebih tahu apa yang
kamu percakapkan tentang Al-Qur‟an itu. Cukuplah dia menjadi
saksi antara aku dengan kamu. Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS. al-Ahqâf: 8)
Penolakan terhadap Al-Qur‘an sebagai kitab yang memberi
petunjuk juga dialami oleh Nabi Mûsâ as yang menerima Taurat dari
Allah Swt. seperti terlihat pembangkangan kaum Nabi Mûsâ yang bersifat
materialistik, sehingga membutuhkan bukti fisik dengan meminta
diperlihatkan Allah ke hadapan mereka sebagaimana terekam dalam
firman-Nya: “(Orang-orang) ahli kitab meminta kepadamu Muhammad
agar engkau menurunkan sebuah Kitab dari langit kepada mereka.
Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Mûsâ yang lebih besar dari
itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah kepada kami secara nyata.” Maka
mereka disambar petir karena kezalimannya. Kemudian mereka
menyembah anak sapi, setelah melihat bukti-buklti nyata, namun
demikian Kami maafkan mereka dan telah Kami berikan kepada Mûsâ
kekuasaan yang nyata. (QS. al-Nisâ‘: 153)
Pembangkangan itu ditunjukkan dengan sikap kaum Nabi Mûsâ as.
yang berselisih tentang kitab mereka, sehingga perselisihan tersebut
mengundang amarah Allah Swt. Namun, Allah tidak menurunkan azab
kepada mereka hingga pada waktunya. Pembangkangan kaum kafir
Mekkah adalah menolak Al-Qur‘an sebagai petunjuk yang datang dari
Tuhan. Menurut Al-Qur‘an sendiri, bahwa Al-Qur‘an adalah kalam Allah
bukan kata-kata penyair atau penyihir (QS. al-Hâqqah: 40-42), yang
dihadirkan kepada manusia sebagai petunjuk (QS. al-Syûrâ: 52).
64
Kehadiran para penolak Al-Qur‘an adalah bagian dar i
orang yang berbuat dosa sebagaimana yang Allah sebutkan:
ا من المجرمين وكذلك جعلنا لكل نبي بك هاديا ونصيرا عدو وكفى برDan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh
dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi
Pemberi petunjuk dan Penolong. (QS.al-Furqan: 3)
Seolah ayat tersebut berbicara tentang penyebab orang menolak
kebenaran Al-Qur‘an.148
Banyaknya dosa tersebut karena dilakukan
secara berulang-ulang. Demikianlah perangai umat Nabi Mûsâ as. yang
berulang kali melakukan kedurhakaan karena menolak Taurat sebagai
petunjuk hidup. Hadirnya petunjuk Allah menunjukkan bukti kasih
sayang dan rahmat Allah kepada manusia. Petunjuk tersebut hadir seiring
dengan usia manusia pertama di muka bumi. Seolah tak ingin manusia
sengsara setelah mengalami kesengsaraan dengan dikeluarkannya Nabi
Âdam as. sebagai manusia pertama dari surga. Namun, tetap saja ada
yang menerima petunjuk tersebut, tapi tidak sedikit juga yang
menolaknya. Padahal, kehadirannya adalah untuk mencapai kebahagiaan
agar manusia tidak mengalami ketakutan dan kesedihan.149
Pemberian petunjuk melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada
para nabi terdahulu merupakan pesan yang berkelanjutan hingga Nabi
Muhammad Saw. seperti pemberian kitab kepada Nabi Mûsâ as. dalam
firman Allah pada surah al-Sajadah ayat 23 dengan menggunakan dua
lafaz tawkîd, sekaligus seakan ingin memberikan penekanan terhadap
khitâbnya, yakni Nabi Muhammad Saw. dan umatnya, kemudian diikuti
dengan larangan meragukan yang melahirkan perdebatan dan penolakan
terhadap kitab mereka. Masih banyak keterangan Al-Qur‘an yang
mengatakan bahwa Kitab Taurat dan Injil adalah kitab yang diturunkan
Allah sebagai petunjuk bagi umat-umat terdahulu dan telah kafir orang
yang tidak mempercayainya.150
Nabi Mûsâ as. pun berkata bahwa kehadiran petunjuk merupakan
bagian dari kenikmatan yang dianugerahkan Allah.151
Di antara isi dari
petunjuk tersebut adalah penanaman tauhid kepada umatnya bahwa hanya
Allah tempat meminta pertolongan. Kemudian, Allah menjelaskan
fungsi Al-Qur‘an, sebagai berikut:
148
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 466 149
QS. al-Baqarah: 38 150 QS. Âli Imrân: 3-4 150 A. Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemah al-Qur‟an al-Karim (Jakarta:
Yayasan Halimatus Sa‘diyah, 1997), h. 753 151 QS. Ibrâhîm: 8
65
ذين يعملون المؤمنين ال ويبشر تي هي أقوم إن هذا القرآن يهدي للات أن لهم أجرا كبيرا الح الص
Sesungguhnya Al-Qur‟an ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih lurus dan memberi berita gembira kepada orang
mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada
pahala yang besar. (QS. al-Isrâ‘: 9)
Pada QS. al-Sajadah: 23 tersebut, Allah Swt. menerangkan juga
bagaimana cara memelihara Taurat, salah satunya, menegakkan hukum-
hukum yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, akan ada upaya-
upaya penolakan dari umat Nabi Mûsâ as. Karena itulah, Nabi
Muhammad Saw. dilarang takut kepada umatnya, tetapi takutlah kepada
Allah dalam rangka menegakkan agama Allah, meskipun umatnya
menolak petunjuk itu. Kemudian di penghujung ayat Allah menegaskan
kembali: Barangsiapa yang tidak menegakkan hukum-hukum Allah yang
terdapat pada kitab-kitab yang diturunkan Allah, maka ia termasuk
golongan orang kafir.
Sehingga dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai
larangan bersikap al-miryah dalam ayat ini dengan empat
pendapat ulama: Pertama, larangan meragukan Kitab Taurat
yang diterima oleh Nabi Mûsâ as.152
Kedua, larangan meragukan
Al-Qur‘an yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Al-Qur‘an
menjadi petunjuk bagi umat Muhammad Saw. sebagaimana
Taurat menjadi petunjuk kepada Bani Isra ‘il.153
Ketiga, larangan
meragukan, membantah, bahkan menolak pertemuan Nabi
Muhammad Saw. dengan Nabi Mûsâ as. di malam isrâ‟
mi„râj.154
Keempat, larangan meragukan, menolak, dan
membantah pertemuan Nabi Saw. dengan Tuhan.
B. Penafsiran Ayat-Ayat al-Miryah Fase Madinah
Penafsiran al-miryah fase Madinah ini terbagi menjadi t iga
tema besar, yaitu: 1- larangan meragukan kebenaran dari Tuhan
terkait pengetahuan Ahli Kitab, 2- larangan meragukan
kebenaran dari Tuhan terkait geneologis Îsâ Ibn Maryam, dan 3-
orang kafir yang berperilaku al-miryah terhadap Al-Qur‘an dan
sifat mereka akan kekal hingga hari Kiamat .
152 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 11849 153 Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 203 154 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 11849
66
1. Larangan Meragukan Kebenaran dari Tuhan terkait
Pengetahuan Ahli Kitab
ين بك فلا تكونن من الممتر الحق من رKebenaran itu adalah dari Tuhanmu. Sebab itu, jangan sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS. al-Baqarah: 147)
Hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa pada ayat
sebelumnya Allah Swt. menerangkan ulama-ulama Yahudi dan Nashrani,
yang mengetahui tentang Muhammad Saw. secara detail, baik waktu,
tempat, sifat, akhlak, nasab maupun kabilah beliau. Pengetahuan mereka
ini ditemukan melalui keterangan kitab mereka sendiri, Taurat dan
Injil.155
Namun, pada keyataannya mereka mengingkari kebenaran
kenabian Muhammad Saw. dengan cara menyembunyikan kebenaran
tersebut.
Kata al-haqq memiliki dua qira‟ah: Qira‟ah pertama dibaca marfû„
yang kedudukannya sebagai subjek sehingga maknanya menjadi
kebenaran itu dari Rabb yang membacakannya kepadamu Muhammad
Saw. atau kebenaran itu telah diwahyukan kepadamu.156
Qira‟ah kedua
marfû‟ yang kedudukannya sebagai predikat sehingga maknanya menjadi
kebenaran ini dari Tuhanmu.157
Tetapi, Âlî Ibn Abî Tâlib memaknainya
dengan ya„lamun/mengetahui.158
Untuk menjelaskan ayat ini perlu kiranya penulis mencantumkan
sabab nuzûl QS. al-Baqarah: 146 untuk melihat konteks keraguannya.
Sebagaimana kita ketahui ayat ini turun berkaitan dengan Ahli Kitab Abd
Allâh Ibn Salâm dan sahabat-sahabatnya. Mereka mengetahui Rasulullah
Saw. dan sifatnya dan kemunculannya yang dikabarkan melalui kitab
mereka, sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka ketika
bersama. Abd Allâh Ibn Salâm berkata: ―Sungguh aku sangat mengetahui
Rasulullah Saw. daripada anakku sendiri.‖ Kemudian, Umar Ibn Khattâb
ra. berkata: ―Sesungguhnya aku menyaksikan Muhammad Rasulullah
Saw. dengan sebenar-benarnya keyakinan, sedangkan aku tidak melihat
sedemikian terhadap anakku karena aku tidak mengetahui apa yang
terjadi pada wanita. Semoga Allah Swt. memberi taufiknya, wahai Ibn
Salam.‖159
155 Al-Qur‘an mengabarkan pengetahuan mereka dalam QS. al-A‗râf: 157. 156
Ibnu al-Anbarî, Al-Bayân fî Gharîb Irab al-Qur‟ân (Mesir: Maktabah al-Âdab,
1923), h. 125 157 Ibnu al-Anbarî, Al-Bayân fî Gharîb Irab..., h.125 158 Ibnu al-Anbarî, Al-Bayân fî Gharîb Irab..., h.125 159 Abî al-Hasan Âlî Ibn Ahmad al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl al-Qurânî (Bairut:
Dâr al-Kutub al-Alamiyyah, 1971), h. 47
67
Pengetahuan Ahli Kitab tersebut mengenai kenabian Muhammad
Saw. bukan hanya diinformasikan lewat hadis, namun pula melalui Al-
Qur‘an. Allah Swt. menjelaskan bahwa pengetahuan mereka didapatkan
dari Kitab mereka sendiri, yakni Taurat dan Injil: (Yaitu) orang yang
mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapatkan
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
Maka, orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya,
dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-
Qur‟an). Mereka itulah orang yang beruntung. (QS. al-A‗râf: 157).
Menurut al-Wâhidî, al-miryah pada ayat ini adalah keraguan
orang tentang masalah kiblat yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw., kemudian mereka menolak dengan cara
menyembunyikan kenabian Muhammad Saw. Quraish Shihab
menyatakan bahwa al-haqq di sini sebagai kebenaran mutlak yang
dipahami dari huruf alif dan lâm, sehingga ayat tersebut bermakna
―kebenaran mutlak itu dari Tuhanmu Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Kasih padamu. Karena itu, janganlah engkau termasuk orang yang ragu,
yang mengantar kepada pertengkaran yang dibuat-buat dan bukan pada
tempatnya.‖
Menurut al-Sya‗râwî, para Ahli Kitab mengetahui dengan jelas
bahwa Nabi Muhammad Saw. itu adalah seorang rasul, seperti perkataan
Abd Allâh Ibn Salâm, ―Sesungguhnya aku mengetahui Muhammad Saw.
ketika melihatnya seperti pengetahuanku terhadap anakku, namun
pengetahuanku terhadap Muhammad lebih.‖160
Pengetahuan tentang
kenabian Muhammad Saw. tersebut mereka dapatkan pada informasi
kitab-kitab mereka yang telah menggambarkan secara detail tentang
159
Kata ―Ahli Kitab‖ terulang 31 kali dalam Al-Qur‘an. 4 ayat bernada positif,
yaitu QS. Âlî Imrân: 64, 110, 113 dan 199 (Periode Madinah). Sedangkan, 27 ayat
lainnya bernada negatif (kritik) terhadap Ahli Kitab. Para ulama klasik berpendapat
bahwa Ahli Kitab mencakup Yahudi dan Nashrani. Sebagian yang lain memasukkan
kaum Sabiun, namun belakangan term ahli kitab telah mengalami perkembangan
pemahaman. Perkembangan ini dipengaruhi melalui masuknya ilmu filsafat dan
hermenuetika. Nur Kholis Majid menyebutkan bahwa cakupan Ahli Kitab dapat
diperluas pada kaum Konghucu, Hindu, dan Budha. Perluasan makna tersebut didasari
oleh persamaan landasan keimanan. 159 Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl al-Qurânî, h. 215 160 Al-Sya‗râwî, Tafsîr al- Sya„râwî, h. 11849
68
kerasulan Muhammad Saw. Pengetahuan mereka itu dikabarkan Allah
melalui Al-Qur‘an dalam QS. al-A‗râf: 157. Kebenaran itu datang dalam
bentuk yang sama dan tidak berubah dari kitab-kitab terdahulu yang
menerangkan tentang kerasulan Muhammad Saw, sehingga Al-Qur‘an
juga menerangkan hal yang sama. Sebaliknya, kebatilan itu selalu
berubah-ubah dan bentuknya bermacam-macam.
Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Sa‗îd Ibn Jubair.161
مه ولا يهدي ولانصراني ثم لا يؤمن بما أحد من هذه الألا يسمع بي لا دخل النارإبه ترسلأ
Tidaklah seorangpun dari umat ini, baik Yahudi ataupun Nashrani,
yang mendengar perihal diriku, kemudian ia tidak beriman dengan
apa yang telah aku turunkan dengannya kecuali ia masuk neraka.
Menurut Abd al-Karîm al-Khâtib,162
bahwa ayat ini turun untuk
menenangkan Nabi dan memantapkan ayat-ayat Allah yang disampaikan
kepada Nabi sebagai suatu kebenaran yag datang dari-Nya. Oleh sebab
itu, Nabi dilarang berdebat dan mengingkarinya seperti yang dilakukan
Ahli Kitab. Menurut al-Sya‗râwî, ―Kebenaran itu datang hanya dari sisi
Allah Swt. Selama kebenaran itu datang dari Allah, maka jangan ragu dan
berdebat tentang kebenaran.‖ Kebenaran Al-Qur‘an bersifat mutlak, tidak
terbantahkan. Ayat ini menerangkan larangan ragu yang membawa
kepada perdebatan mengenai kebenaran yang datang dari Allah.
Dengan demikian, dapat kita tarik kesimpulan bahwa standar
kebenaran menurut ayat ini adalah bahwa semua yang datang dari Allah
melalui kitab-kitabnya, baik Al-Qur‘an maupun kitab-kitab terdahulu,
merupakan kebenaran mutlak, sehingga terhadap kebenaran yang seperti
ini kita dilarang meragukannya. Oleh sebab itu, larangan bersikap al-
miryah (ragu) dapat kita pahami melalui nûn tawkîd yang diiringi dengan
fi„l mudâri„ yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat abadi dari
dulu hingga saat ini.
161 Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 878. 162 Abd al-Karîm al-Khâtib, Al-Tafsîr al-Qur‟âni li al-Qurân (Mesir: Dâr al-Fikr
al-Arabi, 1967), h. 171 162 Abdul Chaer, Perkenalan Awal dengan Al-Qur‟an (Jakarta: Rineka Cipta,
2014), h. 41
69
2. Larangan Meragukan Kebenaran dari Tuhan terkait Geneologis
Îsâ Ibn Maryam
ين بك فلا تكن من الممتر الحق من ر(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang
datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-
orang yang ragu-ragu. (QS. Âli Imrân: 60)
Ayat di atas merupakan kalimat yang digunakan Allah untuk
melarang Rasulullah Saw. meragukan kenabiannya. Sedangkan, dalam
ayat itu terdapat kalimat yang melarang Rasulullah Saw. meragukan
kebenaran terkait Îsâ Ibn Maryam as. yang kisahnya diceritakan dalam
Al-Qur‘an. Bedanya adalah kalimat pada surah al-Baqarah ayat 187
menunjuk larangan yang menggunakan tawkîd/penguat, sementara pada
ayat di atas larangannya tidak menggunakan tawkîd. Seolah kesan yang
ingin disampaikan adalah betapa hebatnya goncangan yang meragukan
kenabian Muhammad Saw. dibandingkan goncangan yang ditimbulkan
dari keraguan terhadap kebenaran kisah Îsâ Ibn Maryam as. yang
disebutkan Al-Qur‘an. Namun, tidaklah menghilangkan pentingnya
memperhatikan kedua masalah tersebut.
Sebelum menjelaskan ayat 60 ini, penulis akan memaparkan
kronologis ayat ini. Hasan berkata: Telah datang dua orang rahib dari
Najran kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian Nabi Saw. menerima
kedatangan mereka. Salah seorang dari keduanya bertanya, ―Saya telah
Islam sebelum kamu diutus‖. Maka, Rasul pun berkata, ―Kalian telah
berbohong. Kalian terhalang dari Islam karena tiga hal: menyembah salib,
memakan babi, dan menganggap Allah punya anak.‖ Kemudian keduanya
berkata, ―Siapa ayah Îsâ as.?‖ Nabi tidak terburu-buru menjawab hingga
Allah memerintahkannya. Kemudian, turunlah surah Âli Imrân ayat 60.163
Kebenaran Îsâ Ibn Maryam as. datang dari bimbingan kalam Tuhan
yang disampaikan lewat Al-Qur‘an seperti penyebutan Îsâ yang
menunjukkan geneologis Îsâ yang lahir tanpa ayah. Penisbatan Îsâ Ibn
Maryam dengan sendirinya menepis tuduhan-tuduhan orang yang
mengingkari Îsâ as. dengan mengatakan bahwa Maryam telah berbuat
zina, melainkan Allah mampu menciptakan makhluk di luar jangkauan
nalar manusia, tanpa sumbangsih kaum lelaki.
Kehadiran Îsâ as. tanpa ayah dan kehadiran Âdam as. tanpa ayah
dan ibu merupakan dua kekuasaan Allah yang terlihat di dunia.
163 Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl al-Qurânî, h. 106-107. Ayat yang diturunkan
terkait pertanyaan kaum Nashrani Najran adalah QS. Ali Imran: 59.
70
Kebenaran ini diingkari oleh Nashrani Najran yang mengatakan bahwa
Îsâ as. adalah manusia, sekaligus Tuhan. Anggapan ini lahir dari dugaan
kaum Nashrani terhadap makna kata Ilah yang dipahami bahwa Allah
Swt. telah menitis kepadanya.164
Kalimat wa al-rûh Ilah dipahami dengan
menjasad ke dalam tubuh Îsâ as.165
Sehingga Îsâ as. bagi mereka adalah
manusia dan Tuhan. Kenyataan ini terekam dalam Al-Qur‘an: Itulah Îsâ
putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka
berbantah-bantahan tentang kebenarannya. (QS. Maryam: 34).
Menurut al-Sya‗râwî, kalimat yamtarûn pada ayat ini berasal dari
kata mirâ‟ yang berarti perselisihan dan perdebatan pada kebathilan,
sehingga dalam pemahaman ayat ini seolah-olah Allah mengatakan
kepada golongan yang berselisih tentang Îsâ as.: ―Tinggalkan pendapat-
pendapat kalian yang bathil itu. Ambillah dan peganglah apa yang telah
kukabarkan kepadamu, karena itulah kebenaran yang tidak ada kebathilan
dari sisi manapun.‖166
Adapun informasi yang dimaksud ayat ini adalah
terkait sifat-sifat Îsâ as. yang ditunjukkan dengan kata dzâlika/itu. Kata
tersebut menunjuk kepada sesuatu yang disifati dengan sifat-sifat yang
lalu. Sifat-sifat yang lalu ini adalah perkataan Îsâ as. bahwa: ―Ia adalah
hamba Allah Swt.‖ Inilah sebuah kebenaran yang harus diyakini, bukan
perselisihan yang terjadi di kalangan Nashrani yang menganggap bahwa
Îsâ as. adalah putra Allah, sekaligus Tuhan.167
Menurut al-Syawkanî, perselisihan antara kaum Yahudi dan
Nashrani tentang kenabian Îsâ as. miliki perbedaan yang sangat jauh.
Kaum Yahudi menganggap Îsâ as. adalah seorang tukang sihir, sementara
kaum Nashrani menganggap Îsâ as. adalah Putra Allah Swt. Selain itu,
perselisihan di kalangan Nashrani lebih akut sehingga melahirkan
beberapa sekte: 1- Nusturiyyah yang menganggap bahwa Îsâ as. adalah
putra Allah Swt. 2- Golongan Malkiyyah yang menganggap bahwa Îsâ as.
adalah Tuhan, yakni yang ketiga dari yang tiga. 3- Golongan
Ya‗qûbiyyah yang mengatakan bahwa Îsâ as. adalah Allah Ta‘ala.
Dari pembagian itu, al-Syawkanî menilai bahwa kaum Nashrani
keliru dan berlebihan, sedangkan kaum Yahudi dianggap keliru dan
merendahkan.168
Perselisihan antara kaum Nashrani mengenai Îsâ as. juga
diakui oleh Alî al-Sâbûnî, bahkan ia menukil langsung dari kedua kitab
Injil milik Nasrani, yakni Injil Matius dan Injil Luqas yang memaparkan
164 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h. 312 165 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h. 312 166 Al-Sya‗râwî, Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h. 11849 167 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 55 168 Al-Syawkânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, h. 56-58
71
perbedaan mencolok mengenai silsilah dan sifat-sifat Îsâ Ibn Maryam as.
Al-Syawkanî mengatakan Îsâ as. dalam versi Injil Matius adalah
keturunan Yusu‘ Ibn Yusuf al-Najjar, Ibn Ya‗qûb, Ibn Matan, Ibn Yu‗ar
sampai terakhir kepada Yahudza Ibn Ya‗qûb Ibn Ishâq Ibn Ibrâhîm.
Sedangkan, silsilah Îsâ as. versi Injil Luqas adalah keturunan Yûsuf Ibn
Halî dan anak keturunan Sulaiman Ibn Da‘ûd.169
Adapun kebenaran mengenai kisah Îsâ as. disebutkan dalam Al-
Qur‘an. Menurut versi Al-Qur‘an seperti terlihat pada ayat di atas bahwa
Îsâ Ibn Maryam as. menunjukkan geneologisnya yang lahir tanpa ayah
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‘an sebanyak 23 kali. Kebenaran
khabar Al-Qur‘an ini tidak diterima oleh kaum Nashrani. Mereka bahkan
memperdebatkan masalah ini, padahal tidak ada nas atau landasannya
seperti Îsâ as. sebagai Tuhan, anak Tuhan, atau ketiga dalam satu.
Perdebatan dan perselisihan itu ditandai dengan munculnya berbagai
sekte dalam agama tersebut, bahkan lebih jauh menimbulkan
permusuhan yang akut.
Larangan Allah Swt. kepada manusia agar tidak meragukan dan
memperdebatkan kesesatan orang, menunjukkan bahwa keberadaan
mereka diakui kesesatannya oleh Allah Swt. melalui informasi Al-Qur‘an.
Berikut ini adalah kelompok-kelompok orang yang sesat, yaitu: orang
kafir,170
orang-orang musyrik,171
orang yang zalim,172
orang munafik.173
3. Orang Kafir yang Berprilaku al-Miryah terhadap Al-Qur’an dan
Sifat Mereka akan Kekal hingga Hari Kiamat
ذين كفروا في أو يأتيهم ولا يزال ال بغتة اعة ى تأتيهم الس حت منه ية مر عذاب يوم عقيم
Dan senantiasa orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan
terhadap Al-Qur‟an, hingga datang kepada mereka saat
(kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab
hari Kiamat. (QS: al Hajj: 55).
Menurut Ibnu Abbâs—sebagaimana dikutip Quraish Shihab—
bahwa ayat itu turun berkaitan dengan al-Walîd Ibn al-Mughîrah yang
169 Al-Sâbûnî, Kenabian dan Para Nabi, 310. 170 QS. Âli Imrân: 90, QS. al-Baqarah: 108, QS. al-Nisâ‘: 136/167, QS. al-
Mâ‘idah: 12, QS. al-Mumtahanah: 1 171 QS al-Mâ‘idah: 12 172 QS. Ibrâhîm: 27, QS. Maryam: 38, QS. Luqman: 31 173 QS. al-Nisâ‘: 88
72
senantiasa mendustakan Nabi Muhammad Saw. dan Al-Qur‘an.174
Setelah
panjang lebar pembahasan tentang lafaz al-miryah serta konteks yang
melingkupinya, maka sampailah kepada kita keterangan Allah Swt. yang
diinformasikan lewat Al-Qur‘an mengenai siapa saja golongan orang
yang mumtarîn.175
Adapun orang-orang yang mumtarîn yang disebutkan
pada ayat ini adalah orang-orang kafir176
yang senantiasa meragukan
kenabian Muhammad Saw. dan Al-Qur‘an. Sifat keraguan mereka tidak
akan pernah hilang hingga hadirnya al-Sâ‟ah,177
yakni hari Kiamat.
Kedatangan Kiamat akan dapat menghilangkan keraguan mereka
sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut: Mereka berkata: “Aduh
celakalah kami siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur
kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan al-Rahmân (Tuhan Yang Maha
Pemurah) dan benarlah Rasul-rasul-Nya. (QS. Yasin: 52)
Berdakwah kepada orang kafir yang memiliki keraguan semacam
ini tidak akan bermanfaat, baik diberi peringatan ataupun tidak diberi
peringatan. Semua itu sama saja bagi mereka. Mereka tetap berpegang
teguh pada kekafirannya.178
Mengapa orang-orang kafir tidak bisa
menerima peringatan? Hal itu disebabkan karena Allah Swt. telah
mengunci mati hati mereka.179
174
Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟an, h. 608 175 Mumtarin adalah bentuk ism fâ„il dari kata al-miryah yang berarti keraguan
yang disertai bantahan dan penolakan 176 Al-Qur‘an menggunakan kata kâfir dalam berbagai bentuk: Pertama, kufr al-
juhûd. Kedua, kufr al-inkâri. Ketiga, kufr al-ni„mah. Keempat, kufr al-nifâq. Kelima,
kufr al- syirk. Keenam, kufr al-irtidâd. Yang dimaksud ayat itu adalah jenis kekufuran
kedua, kufr al-inkâri, yakni kafir terhadap Allah, para rasul dan semua ajarannya beserta
hari akhir. Mereka hanya percaya kepada materi saja. Lihat, Shihab, Ensiklopedi Al-
Qur‟an, h. 191 177 Kata al-Sâ„ah digunakan ketika Allah menjelaskan tentang tanda Kiamat
besar, yakni ketika turunnya Nabi Îsâ as. ke dunia untuk yang kedua kalinya (lihat QS.
al- Zukhrûf: 61) dengan tujuan untuk membatalkan keyakinan kaum yang menganggap
dia Tuhan dan yang menganggap ia telah mati dan terbunuh. Kedatangan Îsâ menjadikan
mereka meyakini akan kebenaran Muhammad sebagai Nabi terakhir yang diutus ke
dunia, sehingga sebelum kematiannya para ahli kitab akan mengetahui mana yang hak
dan mana yang bathil. 178 QS. al-Baqarah: 6 179 QS. al-Baqarah: 7
73
BAB IV
RUANG LINGKUP AL-MIRYAH
DALAM TINJAUAN
A. Argumentasi Para Pelaku al-Miryah
Argumentasi-argumentasi para pelaku al-miryah ini diambil dari
pola interaksi mereka kepada nabinya, baik itu berupa ucapan maupun
tingkah laku. Para pelaku al-miryah terkadang disebutkan langsung
dengan nama nabinya, seperti pada fase Mekkah umat Nabi Muhammad
Saw. yang disebut dengan musyrikin Mekkah, kaum Nabi Lût, kaum Nabi
Îsâ. Terkadang para pelaku al-miryah disebutkan dengan ciri-cirinya saja,
seperti pada fase Mekkah keraguan terhadap hari Kebangkitan dan
keraguan terhadap pertemuan manusia dengan Tuhannya, sehingga siapa
saja yang meragukan kebangkitan manusia setelah mati dan meragukan
pertemuan mereka dengan Tuhan mereka dapat disebut dengan pelaku al-
miryah. Berbeda dengan ayat-ayat yang turun pada fase Madinah. Al-
Qur‟an menyebutkan para pelaku al-miryah pada fase Madinah dengan
satu sebutan saja, yaitu sebutan “kâfir” seperti terekam dalam surah al-
Hajj ayat 55. Sehingga, golongan al-miryah diperluas dengan term kâfir.
Setiap bentuk keingkaran terhadap kenabian dan mukjizatnya dinamakan
dengan kâfir, sepertti yang kita temukan pada para pelaku al-miryah pada
masa dahulu. Mereka, antara lain, kaum Âd, kaum Tsamûd, Fir„aûn dan
kaum Nûh.
74
1. Argumentasi Kaum Musyrikin Mekkah
1.1. Mukjizat adalah Sihir
يقولوا سحر مستمر وإن يروا آية يعرضوا وDan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda
(mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang
terus menerus". (QS. al-Qamar: 2)
1.2. Muhammad Tukang Sihir
ذين اس وبشر ال اس عجبا أن أوحينا إلى رجل منهم أن أنذر الن أكان للنبهم قال الكافرون إن هذا لساحر مبين آمنوا أن لهم قدم صدق عند ر
Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami
mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: "Berilah
peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang
beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi
Tuhan mereka". Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang
ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata".
(QS. Yûnus: 2)
ا قالوا ساحر أو مجنون ذين من قبلهم من رسول إل كذلك ما أتى الDemikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-
orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: "Dia
adalah seorang tukang sihir atau seorang gila". (QS. al-Dzâriyât:
52)
1.3. Meragukan Kebangkitan setelah Kematian
يقول الإنسان أ او خرج حي إذا ما مت لسوف أDan berkata manusia: "Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku
sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali?" (QS.
Maryam: 66)
1.4. Hidup Hanyalah Sekali di Dunia
ا حياتنا نيا وما نحن بمبعوثينوقالوا إن هي إل الد
75
Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah
kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan
dibangkitkan." (QS. al-An„âm: 29)
1.5. Kematian adalah Batas Terakhir Perjalanan Hidup Manusia
ين ولى وما نحن بمنشر ا موتتنا الأ إن هي إلTidak ada kematian selain kematian di dunia ini dan Kami sekali-
kali tidak akan dibangkitkan. (QS. al-Dukhân: 35).
1.6. Meminta Diturunkan Mukjizat
من آية ولكن وقالوا لولا نزل عليه على أن ينزل آية ه قادر قل إن الل به ر أكثرهم لا يعلمون
Dan mereka (orang-orang musyrik Mekkah) berkata: "Mengapa
tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari
Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah kuasa menurunkan
suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui". (QS.
al-An„âm: 37)
1.7. Meminta Didatangkan Ancaman dari Allah
يقولون متى هذا الوعد إن كنتم صادقين وMereka mengatakan: "Bilakah (datangnya) ancaman itu, jika
memang kamu orang-orang yang benar?" (QS. Yûnus: 48)
1.8. Meminta Didatangkan Kiamat
ها يعلمون أن ذين آمنوا مشفقون منها و ذين لا يؤمنون بها وال يستعجل بها الاعة لفي ضلال بعيد ال مارون في الس ذين ي حق ألا إن ال
Orang-orang yang tidak beriman kepada hari Kiamat meminta
supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman
merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu
adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya
orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-
benar dalam kesesatan yang jauh. (QS. al-Syûrâ: 18)
76
1.9. Meminta Kitab selain Al-Qur’an
ذين لا يرجون لقاءنا ائت بقرآن غير وإذا تتلى عليهم آياتنا بينات قال الا ما يوحى بع إل بدله من تلقاء نفسي إن أت هذا أو بدله قل ما يكون لي أن أ
م إلي إني أخاف إن عصيت ربي عذاب يوم عظيDan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata,
orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami
berkata: "Datangkanlah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah
dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak
diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku
kepada siksa hari yang besar (Kiamat)". (QS. Yûnus: 15)
1.10. Meminta Harta Kekayaan
يك إل ك تارك بعض ما يوحى لعل نزل ف أن يقولوا لولا أ صدرك وضائق بهه على كل شيء وكيل ما أنت نذير والل عليه كنز أو جاء معه ملك إن
Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebagian dari apa
yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena
khawatir bahwa mereka akan mengatakan: "Mengapa tidak
diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang
bersama-sama dengan dia seorang malaikat?" Sesungguhnya kamu
hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala
sesuatu. (QS. Hûd: 12)
1.11. Muhammad Orang Gila
ك لمجنون ذي نزل عليه الذكر إن ها ال وقالوا يا أيMereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an
kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila”.
(QS. al-Hijr: 6)
1.12. Meminta Didatangkan Malaikat
ادقين لو ما تأتينا بالملائكة إن كنت من الصMengapa kamu tidak mendatangkan malaikat kepada kami, jika
kamu termasuk orang-orang yang benar? (QS. al-Hijr :7)
77
نزل عليه لا ينظرون وقالوا لولا أ ملك ولو أنزلنا ملكا لقضي الأمر ثمDan mereka berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya
(Muhammad) malaikat?" Kalau Kami turunkan (kepadanya)
malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi
tangguh (sedikitpun). (QS. al-An„âm: 8)
1.13. Al-Qu’an itu Dongeng Orang-orang Terdahulu
وفي آذانهم أن يفقهوه ة بهم أكن يك وجعلنا على قلو ومنهم من يستمع إل لا يؤمنوا بها ح ذين وقرا وإن يروا كل آية ى إذا جاءوك يجادلونك يقول ال ت
لين ا أساطير الأو كفروا إن هذا إلDan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan)mu,
padahal Kami telah meletakkan tutup di atas hati mereka (sehingga
mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di
telinganya. Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran),
mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila
mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir
itu berkata: "Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah dongeng orang-
orang dahulu". (QS. al-An„âm: 25)
1.14. Melarang Orang Lain Mendengarkan Al-Qur’an
ا أنفسهم وما يشعرون وهم ينهون عنه وينأون عنه وإن يهل كون إلDan mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur’an dan
mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan mereka hanyalah
membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak
menyadari. (QS. al-An‟am: 26)
كم ذين كفروا لا تسمعوا لهذا القرآن والغوا فيه لعل تغلبون وقال الDan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar
dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-
pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka". (QS.
Fushshilat: 26)
78
2. Argumentasi Kaum Nabi Lût
2.1. Mengusir Nabi Lût beserta Kaumnya
ناس هم أ يتكم إن ا أن قالوا أخرجوهم من قر إل وما كان جواب قومهرون يتطه
Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka
(Lût dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri".
(QS. al-A„râf: 82)
2.2. Meminta Azab Datang
بيل وتأتون في ناديكم المنكر تأتون الرجال وتقطعون الس كم ل ن فما كان أئادقين ه إن كنت من الص ا أن قالوا ائتنا بعذاب الل جواب قومه إل
Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun
dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?
Maka, jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan:
"Datangkanlah kepada kami azab Allah jika kamu termasuk orang-
orang yang benar". (QS. al-Ankabût: 29)
3. Argumentasi Kaum Nabi Îsâ
3.1. Menganggap Îsâ al-Masîh sebagai Tuhan
المسيح هو ه ذين قالوا إن الل ال وقال المسيح يا بني لقد كفر يم ابن مرة ن ه عليه الج م الل ه فقد حر ه من يشرك بالل كم إن ب بي ور ه ر يل اعبدوا الل إسرائ
المين من أنصار ار وما للظ ومأواه النSesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah al-Masîh putra Maryam", padahal al-
Masîh (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang menyekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolong. (QS. al-Mâ‟idah: 72)
79
3.2. Menyekutukan Allah dengan Selain-Nya
ه ثالث ثلاثة وما من إله ذين قالوا إن الل ا إله واحد وإن لم لقد كفر ال إل ذين كفروا منهم عذاب أليم ن ال مس ي ا يقولون ل ينتهوا عم
Sesungguhnya kafir orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya
Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada
Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari
apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di
antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. al-Mâ‟idah:
73)
3.3. Menganggap Bukti Kerasulan sebagai Sihir
ما وإذ قال عيسى ا ه إليكم مصدقا ل يل إني رسول الل يا بني إسرائ يم بن مرا جاءهم وراة ومبشرا برسول يأتي من بعدي اسمه أحمد فلم ين يدي من الت ب
بالبينات قالوا هذا سحر مبين Dan (ingatlah) ketika Îsâ Ibn Maryam berkata: "Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan
kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira
dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku,
yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala rasul itu
datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata,
mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". (QS. Shaff: 6)
B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Berperilaku al-Miryah
Segala hal yang terjadi pasti ada sebabnya atau faktor-faktor yang
mempengaruhi. Demikian pula, pasti dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor, orang kafir dan musyrik berperilaku al-Miryah atau meragukan
segala ajaran Allah yang dibawa oleh utusan-utasan. Di antara faktor yang
penulis dapatkan berdasarkan informasi ayat-ayat Al-Qur‟an adalah
sebagai berikut:
1. Tidak Memiliki Ilmu
ن لا يغني من الحق شيئا ن وإن الظ ا الظ بعون إل وما لهم به من علم إن يتDan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang
80
sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran. (QS. al-Najm: 28)
2. Demi Kepentingan yang Bersifat Duniawi
نيافأعرض عن ياة الد ا الح ى عن ذكرنا ولم يرد إل من تول
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling
dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan
duniawi. (QS. al-Najm: 29)
3. Hanya Mengikuti Hawa Nafsu
بعوا أهواءهم وكل أمر مستقر بوا وات وكذDan mereka mendutakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka,
sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya. (QS. al-Qamar: 3)
4. Kesombongan atas Kemampuan yang Dimiliki
نحن جميع منتصر أم يقولون Atau apakah mereka mengatakan: "Kami adalah satu golongan
yang bersatu yang pasti menang". (QS. al-Qamar: 44)
ا يه قالوا كيف نكلم من كان في المهد صبي فأشارت إلMaka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata:
"Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di
dalam ayunan?" (QS. Maryam: 29)
بعك ا بشرا مثلنا وما نراك ات ما نراك إل ذين كفروا من قومه فقال الملأ ال ذين هم أراذل ا ال كم إل أي وما نرى ل كم علينا من فضل بل نظن نا بادي الر
كاذبينMaka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya:
"Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia
(biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang
mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara
kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu
81
memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin
bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (QS. Hûd: 27)
5. Terperangkap dalam Kesesatan
هم لفي سكرتهم يعمهون لعمرك إن(Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya
mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)". (QS.
al-Hijr: 72)
6. Mengikuti Prasangka Negatif
ذين يدعون من بع ال ماوات ومن في الأرض وما يت ه من في الس ألا إن للا يخرصون ن وإن هم إل ا الظ بعون إل ه شركاء إن يت دون الل
Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit
dan semua yang ada di bumi. Dan, orang-orang yang menyeru
sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan).
Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka
hanyalah menduga-duga. (QS. Yûnus: 66)
ه ا عن عبادتكم لغافلينفكفى بالل شهيدا بيننا وبينكم إن كنDan cukuplah Allah menjadi saksi antara kami dengan kamu,
bahwa kami tidak tahu-menahu tentang penyembahan kamu
(kepada kami). (QS. Yûnus: 29)
7. Belum Memiliki Pengetahuan yang Matang
ذين من ب ال كذلك كذ يله ا يأتهم تأو ولم بوا بما لم يحيطوا بعلمه بل كذالمين قبلهم فانظر كيف كان عاقبة الظ
Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka
belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang
kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang
sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah
bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu. (QS. Yûnus: 39)
82
8. Melampaui Batas
بعثنا من اءوهم بالبينات فما كانوا ليؤمنوا بما ثم بعده رسلا إلى قومهم فجبوا به من قبل كذلك نطبع على قلوب المعتدين كذ
Kemudian sesudah Nûh, Kami utus beberapa rasul kepada kaum
mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada
mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata,
tetapi mereka tidak hendak beriman karena mereka dahulu telah
(biasa) mendustakannya. Demikianlah Kami mengunci mati hati
orang-orang yang melampaui batas. (QS. Yûnus: 74)
بك للمسرفين مة عند ر مسوYang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang
yang melampaui batas. (QS. al-Dzâriyât: 34)
يئات قال يا ومن قبل كانوا يعملون الس يهرعون إليه قومه قوم وجاءهيس منكم ولا تخزون في ضيفي أل ه قوا الل ل كم فات هؤلاء بناتي هن أطهر
رجل رشيدDan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan
sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang
keji. Lût berkata: "Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih
suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu
mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di
antaramu seorang yang berakal?" (QS. Hûd: 78)
9. Gemar Berdusta
هم بل بدا وإن ا نهوا عنه م وا لعادوا ل رد لهم ما كانوا يخفون من قبل ولو لكاذبون
Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang
mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka
dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang
mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka
itu adalah pendusta belaka. (QS. al-An‟âm: 28)
83
10. Meragukan Pertemuan Manusia dengan Tuhan
ه ية من لقاء ربهم ألا إن هم في مر بكل شيء محيط ألا إنIngatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan
tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa
sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. (QS. Fussilat: 54)
C. Tuntunan Allah kepada Para Nabi Menghadapi Perilaku al-
Miryah
Para nabi mendapat tugas menyampaikan wahyu Allah kepada
umatnya. Tentu, ketika berdakwah, mereka akan dipertemukan dengan
umatnya yang membangkang ajaran yang dibawanya. Sehingga, umatnya
berperilaku al-Miryah atau meragukan semua apa yang disampaikan.
Menghadapi tindakan tersebut, Allah memberikan tuntunan atau solusi
kepada utusannya. Berikut penulis akan uraikan beberapa tuntunan Allah
yang diberikan kepada utusannya melalui informasi ayat-ayat Al-Qur‟an:
1. Berpaling dari Orang Kafir
نيافأعرض عن من ياة الد ا الح ى عن ذكرنا ولم يرد إل تولMaka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling
dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan
duniawi. (QS. al-Najm: 29)
2. Memberikan Kebebasan Memilih
ا وإن كذ ا أعمل وأنا بريء مم يئون مم بوك فقل لي عملي ول كم عمل كم أنتم بر تعملون
Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: "Bagiku
pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri
terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun berlepas diri
terhadap apa yang kamu kerjakan". (QS. Yûnus: 41)
3. Tidak Bersedih Hati
ميع العليم ه جميعا هو الس ة لل ولا يحزنك قولهم إن العزJanganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya
kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Yûnus: 65)
84
4. Tidak Terpesona dengan Kenikmatan Hidup Orang Kafir
أزواجا منهم ولا تحزن عليه عنا به ن عينيك إلى ما مت مد م واخفض لا ت جناحك للمؤمنين
Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada
kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa
golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah
kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendahdirilah kamu
terhadap orang-orang yang beriman. (QS. al-Hijr: 88)
5. Bertasbih dan Bermunajat kepada Allah
اجدين بك وكن من الس فسبح بحمد رMaka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di
antara orang-orang yang bersujud (shalat). (QS. al-Hijr: 98)
6. Tidak Berhenti Menyembah Allah
يك اليقين ى يأت ك حت ب واعبد رDan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal). (QS. al-Hijr: 99)
7. Mengingatkan akan Pedihnya Azab
بي عذاب يوم عظيم قل إني أخاف إن عصيت رKatakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar
(hari Kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku". (QS. al-An‟âm: 15)
8. Mengingat Tugas Utama Nabi sebagai Pemberi Peringatan
ذي ال ولي ولا وأنذر به يس لهم من دونه بهم ل ن يخافون أن يحشروا إلى رقون هم يت شفيع لعل
Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada
orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada
hari Kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan
pemberi syafaatpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.
(QS. al-An‟âm: 51)
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Miryah merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh orang-
orang kafir. Dengan sifat ragu sejenis al-miryah ini, mereka masih keras
kepala berpegang pada kekufurannya, sehingga mereka menutup hatinya
menerima kebenaran ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh utusan Allah.
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad Saw. beserta umatnya dilarang berdebat
dengan orang kafir, khususnya mengenai persoalan-persoalan akidah.
Sebab, perdebatan semacam itu tidak memberikan manfaat sedikitpun.
Allah telah menarik kemanfaatan itu karena mereka melakukan tindakan
al-miryah atau meragukan ajaran-ajaran Allah yang disampaikan oleh
utusan-utusan-Nya. Secara sederhana, al-miryah adalah keraguan dalam
diri seseorang yang kadar penolakannya kepada kebenaran lebih kuat
dibandingkan dengan al-syakk dan raib. Selain itu, kadar penerimaannya
terhadap kebenaran sangat lemah. Karena, keraguan jenis ini disertai
dengan sifat bantahan dan penolakan yang keras terhadap kebenaran yang
sampai kepada mereka.
Pembahasan al-miryah pada fase Mekkah dapat dipilah menjadi
sembilan macam yang kesemuanya telah dikomentari oleh pakar tafsir: 1-
keingkaran terhadap para nabi sebagai pembawa peringatan, 2- larangan
meragukan dan memperdebatkan kenabian Muhammad Saw. disertai
perintah meyakini kesesatan kaum musyrikin Mekkah, 3- keraguan kaum
Nabi Lût as., 4- larangan meragukan dan memperdebatkan Al-Qur’an
86
sebagai pembeda antara perkara yang benar dan yang bathil, 5- golongan
yang berperilaku al-miryah terhadap perkara ghaib dan perbedaan sikap
mereka dengan golongan yang menyakininya, 6- larangan meragukan dan
memperdebatkan kehadiran Îsâ Ibn Maryam as. sebelum Kiamat, 7-
larangan meragukan azab akhirat, 8- larangan meragukan dan
memperdebatkan perkara ghaib yang tidak ada landasan nasnya dan
perintah agar berdiskusi terhadap perkara nyata, dan 9- larangan
meragukan dan memperdebatkan Al-Qur’an sebagai petunjuk.
Adapun pembahasan al-miryah pada ayat-ayat yang turun di
Madinah dapat dipilah menjadi tiga bagian: 1- larangan meragukan
kebenaran yang datang dari Tuhan melalui pemberitaan Kitab Al-Qur’an,
2- larangan meragukan dan memperdebatkan kebenaran terkait kisah Îsâ
Ibn Maryam as., dan 3- penjelasan Allah mengenai golongan yang masuk
dalam kategori al-miryah. Maka, dari uraian tersebut, dapat ditarik
benang merahnya, bahwa pembahasan al-miryah terbagi menjadi tiga
bagian: 1- larangan meragukan kesesatan, 2- larangan meragukan
kebenaran yang datang dari Tuhan, dan 3- larangan meragukan dan
memperdebatkan hal-hal ghaib yang tidak memiliki dasar.
B. Saran
Penelitian mengenai konsep al-miryah perspektif Al-Qur’an
tergolong baru dalam kajian tafsir Maudû‘i. Oleh karena itu, masih
banyak ruang kosong untuk diteliti oleh peneliti berikutnya. Salah satu
ruang kosong yang masih tersedia adalah analisis terhadap kata al-miryah
melalui pendekatan semantik dan pragmatik, beserta relevansinya di
Indonesia.
87
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abyarî, Ibrâhîm. Al-Mausâ’at al-Qur’âniyyah. Mesir: Dâr al-Kitâb al-
Misri, 1984.
Amuli, Jawadi. Makna Hari Kiamat dalam Al-Qur’an. Jakarta: Sadra
Press, 2012.
Al-Andalusî, Muhammad Abd al-Haqq Ibn Atiyyah. Al-Muharrar al-
Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-Azîz. Al-Qithr: Dâr al-Kutub, 1987.
Al-Anbarî, Ibnu. Al-Bayân fî Gharîb Irab al-Qur’ân. Mesir: Maktabah al-
Âdab, 1923.
Al-Asfahânî, Al-Râghib. Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Terj. Ahmad
Zaini Dahlan . Mesir: Dâr Ibnu al-Jauzi, 2017.
Al-Askarî, Abû Hilâl. Al-Furûq fî al-Lughah. T.tp.: Dâr al-Âfâq al-
Jahihat, 1979.
Asrori. “Fungsi akal Dalam Tasawuf al-Ghazali”. Tesis S2 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018.
Al-Azîm, Muhammad Abd. Mânahil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân. Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles.
Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1999.
Chaer, Abdul. Perkenalan Awal dengan Al-Qur’an. Jakarta: Rineka
Cipta, 2014.
88
Da‟ûd, Muhammad. Mu‘jam al-Farûq al-Dalâliyyah fî al-Qur’ân al-
Karîm. Mesir: Dâr Gharîb, 2008.
Al-Farmâwî, Abd al-Hayyi. Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdû’î. Kairo:
Sina li al-Nasyr, 1994.
Al-Hambalî, Abû Hafas Umar Ibn Alî Ibn Adil al-Dimasqy. Al-Lubâb fî
Ulum al-Kitâb. Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.
Al-Harrâs, Asraf Abd al-Ghani. Al-Fahrasat al-Qurâ’nî. Mesir: al-Azhar
Islamic Research Academy, 2002.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia pendekatan Semantik
Terhadap Al-Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1997.
Al-Khâtib, Abd al-Karîm. Al-Tafsîr al-Qur’âni li al-Qurân. Mesir: Dâr
al-Fikr al-Arabi, 1967.
Al-Maqdisî, Ibnu Qudamah. Syarh Lum’ah al-I‘tiqâd. Jakarta: Dâr al-
Haqq, 2001.
Al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâghî. Terj. Bahrun Abu
Bakar. Semarang: Toha Putra, 1987.
Al-Mubayyad, Muhammad Ahmad. Ensiklopedi Akhir Zaman. Terj.
Ahmad Dzulfikar dkk. Surakarta: Granada Mediatama, 2015.
Najati, M. Ustman. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka 1985.
Al-Nawâwî, Imâm. Syarh Sahîh Muslim. Jakarta: Darus Sunnah Press,
2015.
_______. Al-Manhâj Syarah Sahîh Muslim Ibn al-Hujjâj. Terj. Agus
Makmun dkk. Jakarta: Dâr al-Sunnah: Press, 2015.
Paul, F. Knitter. Menggugat Arogansi Kekristenan. Yogyakarta: Kanisius,
2005.
Purwanto. Mencari Agama Yang Benar. Jakarta: ili Y Press, 2004.
Qolay, A. Hamid Hasan. Indeks Terjemah al-Qur’an al-Karim. Jakarta:
Yayasan Halimatus Sa‟diyah, 1997.
Al-Qurtubî, Imâm. Tafsîr al-Qurtubî. Terj. Sudi Rosadi dkk. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Qutb, Sayyid. Fizilâlil al-Qur’ân. Bairut: t.np., 1971.
Al-Rahmân, Fazl. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Penerbit Putaka,
1996.
89
Al-Sâbûnî, Alî. Kenabian dan Para Nabi. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993.
Sarwono, Jonathan. Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2006.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 2007.
_______. Ensiklopedi al- Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2007
_______. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati, 2002.
Al-Siddieqy Hasbi. Al-Bayan Tafsir Penjelas al-Quranul Karim.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.t.
Al-Suyûti, Abd al-Rahmân Jalâl al-Dîn. Al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr Bi
al-Ma’tsûr. Bairut: Dâr al-Fikr.
Al-Syawkânî. Tafsîr Fath al-Qadîr. Jakarta: Pustaka Azzam, 2011.
Al-Sya„râwî, Mutawallî. Tafsîr al-Sya‘râwî. Mesir: Akhbar Al Yaum,
1991.
Al-Tabarî, Ibnu Jarîr. Tafsîr al-Tabarî. Terj. Ahsan Askan. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
Al-Tabrisî, Abû Alî al-Fadl Ibn al-Husain. Majma‘ al-Bayan fî Tafsîr al-
Qur’ân. Bairut: Dâr al-Maktabah al-Hayâh, t.t.
Umar, Imam Muhammad al-Razi Fakhr al-Dîn Ibn „Allamah Dhiyâuddin.
Tafsîr Fakhr al- Razi. Bairut: Dâr Alfikr, 1981.
Al-Wâhidî, Abî al-Hasan Âlî Ibn Ahmad. Asbâb al-Nuzûl al-Qurânî.
Bairut: Dâr al-Kutub al-Alamiyyah, 1971.
Ya‟qub, Ali Mushtofa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Yûsuf, Ahmad Ibn. Umdah al-Huffâz fî Tafsîr Asyrâf al-Alfâz. Bairut:
Âlamu al-Kutub.
Zakaria, Abu al-Husain Ahmad Ibn Fâris Ibn. Mu‘jam al-Muqayyis al-
Lughah. T.tp.: Dâr Al Fikr, t.t.
Al-Zamakhsyarî, Abî al-Qâsim Mahmûd Ibn Umar. Al-Kasysyâf an
Haqâ’iq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl. Mesir:
Maktabah Mustaba al-Babi al-Halabi, 1972.
Al-Zandani, Syaikh Abdul Majid. Ensiklopedi Iman. Jakarta: Pustaka
AlKautsar 2006.
90
Al-Zarkasyî, Badr al-Dîn Muhammad Ibn Abd Allâh. Al-Burhân fî Ulûm
al-Qur’ân. Mesir: Dâr al-Turâts.
Al-Zuhailî, Wahbah. Al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa
al-Manhâj. Bairut: Dâr al-Fikr, 2014.
91
PROFIL PENULIS
Nama : Nurhayati
Pendidikan : (S1) Tafsir Hadis Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta;
(S2) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Prestasi : Juara 1 Mufassir Bahasa Inggris Tingkat Nasional
Kegiatan : Perintis Majlis Ta’lim Fastabiq al-Khairat dan Perintis
Taman Pendidikan Al-Qur’an