16
147 BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS BOBOTOH ID DI LAMAN FACEBOOK (BASTER AND SPEAKER IDENTITY: BOBOTOH ID STATUS ON FACEBOOK) Tisna Prabasmoro Departemen Susastra dan Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung--Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat Pos-el: [email protected] Ferry P. Pakpahan Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung--Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat Pos-el: [email protected] Abdul Hamid Departemen Susastra dan Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung--Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat Pos-el: [email protected] Abstract Status updates are one of the most popular features of Facebook, but few local studies have explored the traits and motives that influence the topics that people choose to update about. As many Persib supporters, notoriously called bobotoh, socialize and spend a great deal of time in technology-mediated environments such as fan communities and social networking sites, they develop an online identity as bilingual and knowlegeable Facebook admins and readers. The article explores the notion of identity as a fluid construct that shifts over time with these bobotoh’s long- term participation in a Facebook fan page named Bobotoh ID. It demonstrates how Sundanese (local language for the people in West Java), bobotoh-ship (a distinct identity) –as points of affiliation– and technology converge to provide a context in which these bobotoh are able to develop a powerful local culture identity circulated through a technologically mediated milieu. Keywords: bobotoh, Facebook, identity, Persib, Sundanese Abstrak Meskipun pemutakhiran pampangan (status) adalah salah satu fitur terpopular facebook, kajian-kajian lokal yang mendalami sifat dan motif yang memengaruhi pilihan topik status masih belum banyak dilakukan. Dengan banyaknya jumlah pendukung Persib yang dikenal dengan nama bobotoh yang bermasyarakat dan menghabiskan banyak waktu mereka dalam jejaring teknologi, seperti komunitas- komunitas pendukung dan situs jejaring sosial, mereka mengembangkan identitas maya mereka sebagai admin atau pembaca yang berpengetahuan luas dan bilingual. Artikel ini mengeksplorasi makna identitas sebagai konstruksi cair yang bergeser bersama waktu seiring dengan partisipasi jangka panjang bobotoh dalam komunitas penggemar Persib di facebook bernama Bobotoh ID. Artikel ini juga menunjukkan

BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

Tisna Prabasmoro, et al: Baster dan Identitas Penutur ...

147

BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS BOBOTOH ID DI LAMAN FACEBOOK

(BASTER AND SPEAKER IDENTITY: BOBOTOH ID STATUS ON FACEBOOK)

Tisna PrabasmoroDepartemen Susastra dan Kajian Budaya

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas PadjadjaranJalan Raya Bandung--Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Pos-el: [email protected]

Ferry P. PakpahanDepartemen Linguistik

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas PadjadjaranJalan Raya Bandung--Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Pos-el: [email protected]

Abdul HamidDepartemen Susastra dan Kajian Budaya

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas PadjadjaranJalan Raya Bandung--Sumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Pos-el: [email protected]

Abstract

Status updates are one of the most popular features of Facebook, but few local studies have explored the traits and motives that influence the topics that people choose to update about. As many Persib supporters, notoriously called bobotoh, socialize and spend a great deal of time in technology-mediated environments such as fan communities and social networking sites, they develop an online identity as bilingual and knowlegeable Facebook admins and readers. The article explores the notion of identity as a fluid construct that shifts over time with these bobotoh’s long-term participation in a Facebook fan page named Bobotoh ID. It demonstrates how Sundanese (local language for the people in West Java), bobotoh-ship (a distinct identity) –as points of affiliation– and technology converge to provide a context in which these bobotoh are able to develop a powerful local culture identity circulated through a technologically mediated milieu.

Keywords: bobotoh, Facebook, identity, Persib, Sundanese

Abstrak

Meskipun pemutakhiran pampangan (status) adalah salah satu fitur terpopular facebook, kajian-kajian lokal yang mendalami sifat dan motif yang memengaruhi pilihan topik status masih belum banyak dilakukan. Dengan banyaknya jumlah pendukung Persib yang dikenal dengan nama bobotoh yang bermasyarakat dan menghabiskan banyak waktu mereka dalam jejaring teknologi, seperti komunitas-komunitas pendukung dan situs jejaring sosial, mereka mengembangkan identitas maya mereka sebagai admin atau pembaca yang berpengetahuan luas dan bilingual. Artikel ini mengeksplorasi makna identitas sebagai konstruksi cair yang bergeser bersama waktu seiring dengan partisipasi jangka panjang bobotoh dalam komunitas penggemar Persib di facebook bernama Bobotoh ID. Artikel ini juga menunjukkan

Page 2: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

148

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 147–162

bagaimana bahasa Sunda (sebagai bahasa daerah masyarakat Jawa Barat), kebobotohan (sebagai identitas yang berbeda)–yang berfungsi sebagai titik-titik afiliasi–dan teknologi bertemu dan memberikan konteks sehingga bobotoh mampu mengembangkan identitas budaya lokal yang kuat di lingkungan yang dimediasi teknologi.

Kata kunci: bobotoh, facebook, identitas, Persib, bahasa Sunda

2002), Inggris dan Filipina (Bautista, 2004), Inggris dan Korea (Liu, Ahn, Baek, & Han, 2004)lower than what they and their students considered appropriate (53%–58% dan Inggris dengan tiga corpora, yaitu Welsh, Spanyol, dan Belanda (Couto & Gullberg, 2017). Beberapa penelitian juga telah membahas campur kode bahasa-bahasa daerah di Indonesia, namun belum ditemukan penelitian yang secara spesifik menghubungkan campur kode, baster, dan bahasa Sunda dengan tema identitas yang secara khusus menghubungkan komunitas pendukung klub sepak bola.

Dalam hubungannya dengan bahasa dan fakta geografis negara, Indonesia adalah negeri kepulauan yang mempunyai lebih dari 17.000 pulau (Cahyadi, 2012; Marfai, Cahyadi, & Anggraini, 2013; Redjo & As’ari, 2017) dengan sekira 700 bahasa daerah (Ibrahim, 2011; Siregar, 2017). Dikukuhkannya bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa nasional dan disahkan juga dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bahasa negara (Chaer, 1994) menyebabkan seluruh masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi bersamaan dengan penggunaan bahasa ibu mereka di daerahnya masing-masing. Yang menarik dari fakta ini adalah bahwa penggunaan dua bahasa atau lebih tersebut dalam hubungannya dengan kebobotohan seseorang/komunitas, yaitu bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Sunda dapat menimbulkan kontak bahasa dan memunculkan gejala-gejala bahasa seperti campur kode ketika bahasa tersebut menjalankan fungsi dasarnya sebagai alat berkomunikasi (Hardjana, 2003; Teeuw, 1994).

Fungsi bahasa lebih diutamakan daripada pemenuhan kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar. Perihal ini, Nababan (1993) mengemukakan bahwa bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat sebagai sarana komunikasi. Dengan pemahaman

1. Pendahuluan Selain dikenal sebagai kota wisata, kuliner,

dan tempat berdirinya universitas-universitas berprestasi internasional, Bandung juga dikenal sebagai tempat bermarkasnya sebuah klub sepak bola bernama Persib. Tidak kalah peringkatnya dengan ketenaran Persib, bobotoh, yaitu individu atau kelompok pendukung kesebelasan berjulukan Maung Bandung telah lama menjadi tautan yang tidak dapat dilepaskan dengan Kota Bandung pada khususnya, dan dengan masyarakat Jawa Barat pada umumnya. Persib dan bobotoh adalah napas sosial masyarakat: penyebutan nama keduanya adalah kelaziman dalam percakapan dan juga pendukung ekonomi lokal, terutama dalam media massa dan wirausaha pakaian jadi Kota Bandung. Persib dan jutaan pendukungnya telah menjadi komponen penting yang membentuk dan memperkaya pilihan tentang identitas, gaya hidup, dan berbahasa.

Penerimaan seseorang pada suatu kelompok tertentu berkaitan dengan proses interaksi percakapan yang juga berhubungan dengan alih kode dan campur kode. Campur kode dan alih kode kemudian ikut berperan penting dalam penentuan identitas etnis seseorang. Auer (2005:403) lebih jauh berpendapat bahwa bilingual speech is usually construedby members as an index of some extralinguistic social category. Dalam hubungannya dengan penelitian tentang identitas dan campur kode, harus diakui bahwa telah banyak penelitian tentang pemerolehan bahasa kedua (second-language acquisition) dan akuisisi literasi yang berfokus pada sifat kontekstual pengembangan bahasa. Namun, penelitian-penelitian tersebut lebih banyak menyoroti peran identitas dalam praktik-praktik pencampuran bahasa Inggris dengan bahasa negara tertentu: Inggris dan Spanyol (Pfaff, 1979), Inggris dan Kenya (Mazrui, 1995), Inggris dan Turki (Eldridge, 1996), Inggris dan Hong Kong (Li, 2000), Inggris dan Afrika (Setati, Bapoo, & Reed,

Page 3: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

Tisna Prabasmoro, et al: Baster dan Identitas Penutur ...

149

ini, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pesan atau maksud pembicara kepada target pembaca, pendengar, atau interlokutor tertentu. Dengan demikian, fungsi bahasa yang paling mendasar secara praktik akan berkelindan dengan identitas seseorang atau komunitas tertentu ketika digunakan sebagai alat pergaulan formal atau informal, baik secara lisan maupun tulisan.

Dalam hubungannya dengan bahasa, geliat globalisasi telah difasilitasi dan ditautkan dengan kemajuan-kemajuan teknologi yang lebih memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi melewati batas-batas fisik georafi dan nonfisik, seperti komunitas. Literasi yang sering dibatasi sebagai seperangkat keterampilan yang hanya berhubungan dengan pengodean dan penyandian teks cetak sepatutnya juga merambah teks di dunia maya melalui pembacaan sosiokultural. Pendekatan yang demikian juga dapat memberikan dasar untuk lebih memahami ideologi kegiatan menulis dan membaca sebagai praktik-praktik komunikasi yang lebih luas dan berakar dalam konteks-konteks sosial, historis, dan politik tertentu. Pun, mengingat informasi melalui teknologi komunikasi terkini telah dapat memfasilitasi pembentukan ruang/komunitas virtual atau virtual community (Davis & Brewer, 1997:163) yang melintasi budaya-budaya tradisional, batas linguistik, dan geografis, tidak mengherankan jika selayaknya penelitian terkait mulai mengalihkan perhatiannya ke ruang daring tersebut. Ruang-ruang ini dapat dibaca sebagai konteks baru yang transnasional dan berfaedah dalam pembelajaran dan/atau pengembangan identitas dan sosialisasi bahasa.

Perihal ini, komunitas-komunitas bobotoh telah memanfaatkan segala jenis kemajuan teknologi, mulai dari aplikasi-aplikasi telepon selular hingga situs dan platform-platform web video dan MP3 berbagi, dan, sosial media. Ketertautan komunitas-komunitas bobotoh pada perangkat dan aplikasi berteknologi terkini tersebut mengubah tempat dan karakter berkomunikasi dan membutuhkan keahlian-keahlian khusus untuk mereproduksi bahasa

yang mampu menegokan kompleksitas latar belakang, terutama usia dan pendidikan bobotoh. Keahlian merekayasa ini menjadi penting agar bentuk komunikasi tersebut dapat berterima tanpa penghalang sekat pembeda internal. Untuk kemudian hasil dari reproduksi bahasa ini dapat menemukan maknanya, diperlukan juga keahlian target pembaca yang berhubungan dengan penafsiran kode atau decoding (Hall, 2006). Dua kompetensi bahasa ini berhubungan erat dengan kedwibahasaan seseorang sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya dan yang akan dibahas melalui analisis objek penelitian pada bagian hasil penelitian.

Secara umum kajian ini bertujuan memperkaya penelitian yang menunjukkan gejala bahasa campur kode yang muncul pada beberapa tindak komunikasi. Secara khusus penelitian ini bertujuan menunjukkan dan menganalisis gejala dan bentuk campur kode yang ditemukan pada delapan belas pampangan (status) Bobotoh ID yang didapat melalui akun facebook mereka. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan hubungan bahasa yang direkayasa dengan identitas komunitas dan pengikut, pembaca, atau anggota Bobotoh ID.

Untuk sampai pada tujuan, penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis yang membahas gejala bahasa campur kode, khususnya baster dalam hubungannya dengan identitas bobotoh. Penelitian ini merupakan hasil kajian pustaka yang bersumber pada akun facebook Bobotoh ID, jurnal, dan buku. Bagian pertama pembahasan artikel memanfaatkan beberapa perspektif yang menyoroti bahasa: bahasa negara (Chaer, 1994), alat berkomunikasi (Hardjana, 2003; Nababan, 1993; Teeuw, 1994), penafsiran kode (Hall, 2006), campur kode dan baster (Kridalaksana, 1993; Suwito, 1983), bahasa, imbuhan, dan makna (Ramlan, 2009), morfem dan alomorf (Badudu, 1983), variasi atau ragam bahasa dan juga tentang bahasa dan penutur bilingual (Chaer & Agustina, 2004). Bagian kedua pembahasan adalah pembacaan data dengan menghubungkan kegiatan atau makna literasi dan globalisasi dengan identitas. Pembacaan data memanfaatkan kajian-kajian identitas dan ruang/komunitas virtual atau virtual community (Davis & Brewer, 1997), identitas dan praktik literasi (Hasugian, 2008; Subandiyah, 2013), identitas dan kegiatan membaca dan menulis (Ivanič, 1998), identitas dan perbedaan (Connolly, 1991 dalam Ivanic, 1998), identitas dan subjektivitas kolektif (Frith,

Page 4: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

150

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 147–162

1996), dan juga identitas dan ruang maya (Black, 2009). Bagian kedua ini juga menginterpretasi dan menjelaskan alasan keterlibatan bobotoh dengan praktik memutakhirkan pampangan komunitas Bobotoh ID di laman facebook dalam hubungannya dengan kepemilikan pengetahuan, kontruksi identitas, dan etnisitas. Eksplorasi kegiatan-kegiatan tersebut diyakini dapat menjadi cara untuk memahami hubungan bobotoh dengan fenomena budaya sepak bola di Bandung dan karakteristik yang ditampilkan oleh bobotoh saat mereka berafiliasi dengan komunitas pendukung Persib.

2. Kerangka TeoriSebelum memulai pembahasan, beberapa

hal mendasar tentang campur kode dan baster yang mendasari penelitian ini menjadi penting untuk dipahami. Kridalaksana (1993) dan Suwito (1983) secara spesifik telah menjelaskan macam-macam campur kode yang dibedakan berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya. Pertama, penyisipan unsur-unsur yang berbentuk kata. Kata yang dimaksudkan adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Kridalaksana, 1993:87). Kedua, penyisipan unsur-unsur yang berbentuk frasa. Yang dimaksud dengan frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif, gabungan kata itu dapat rapat dan dapat renggang (Kridalaksana, 1993:59). Ketiga, penyisipan unsur-unsur yang berbentuk baster. Baster adalah hasil perpaduan dua unsur bahasa berbeda yang membentuk satu makna. Keempat, penyisipan unsur-unsur berbentuk perulangan kata. Perulangan kata yang dimaksud adalah kata yang dihasilkan dari proses reduplikasi. Penelitian ini akan berfokus pada penyisipan unsur-unsur berbentuk baster. Kelima, penyisipan unsur-unsur yang berbentuk ungkapan atau idiom. Idiom yang dimaksudkan adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, setiap anggota memiliki makna yang ada karena bersama dengan anggota yang lain (Kridalaksana, 1993:80). Terakhir, penyisipan unsur-unsur berbentuk klausa. Klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terjadi dari subjek dan predikat dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 1993:110). Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa campur kode merupakan pemakaian minimal dua bahasa dalam situasi-situasi tertentu dan muncul dalam wujud kata, frase, baster, klausa (perulangan kata), dan ungkapan. Seperti ditunjukkan pada pembahasan data, penggunaan campur kode menghasilkan gaya berkomunikasi setiap konteks komunikasi.

Kajian ini membahas bentuk-bentuk baster melalui kajian morfosemantis dengan hanya membahas sisi bentuk, fungsi, dan makna data. Bentuk kata (morphos) itu sendiri terdiri atas bentuk asal dan bentuk dasar. Bentuk asal adalah satuan yang paling kecil yang menjadi asal suatu kata kompleks. Misalnya, kata berpakaian terbentuk dari bentuk asal pakai yang mendapat afiks –an sehingga menjadi pakaian, dan kemudian mendapat afiks ber- menjadi berpakaian (Ramlan, 2009). Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar. Kata berpakaian, misalnya terbentuk dari bentuk dasar pakaian dengan afiks ber-. Selanjutnya, kata pakaian terbentuk dari bentuk dasar pakai dengan afiks –an (Ramlan, 2009). Apabila kata makan yang termasuk ke dalam kelas kata verbal mendapat afiks –an menjadi makanan yang berkelas kata nomina, dapat dikatakan bahwa afiks –an berfungsi mengubah kata verbal menjadi kata nominal. Fungsi tersebut adalah proses morfologis yang berhubungan dengan ketatabahasaan (Ramlan, 2009).

Proses morfologis juga mempunyai fungsi semantik, misalnya kata sepeda memiliki arti leksikal seperti dijelaskan dalam kamus. Akibat melekatnya afiks ber- pada kata itu, berubahlah arti leksikalnya menjadi ‘mempunyai sepeda’ atau ‘menggunakan sepeda’. Afiks ber- mempunyai fungsi semantik menyatakan makna ‘mempunyai’ atau ‘menggunakan’ dan fungsi semantik seperti ini disebut makna (Ramlan, 2009).Bentukan-bentukan baster dalam delapan

belas pampangan dalam komunitas Bobotoh ID dijadikan data dalam penelitian ini. Data sendiri menurut Sudaryanto (1990) tidak sama dengan objek penelitian (atau gegenstand). Sebagai ilustrasi, jika seseorang meneliti morfem afiks ber- dalam bahasa Indonesia, objek penelitiannya

Page 5: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

Tisna Prabasmoro, et al: Baster dan Identitas Penutur ...

151

adalah afiks ber-. Namun, dalam penelitan itu afiks ber- tidak pernah menjadi data. Datanya adalah kata-kata yang mengandung afiks ber-. Kata jadian atau polimorfemik berprefiks ber- seperti pada kata berjuang, belajar, bekerja, berdamai, berpakaian, berkeinginan, bersepeda diharapkan dapat dipahami ihwal afiks ber- tersebut. Dengan demikian, data dapat diidentifikasi atau dijadikan sebagai bahan penelitian dan bukan sebagai objek penelitian. Sebagai bahan pun data bukanlah bahan mentah, melainkan bahan jadi; dia mewujud/hadir karena pemilihan dan pemilahan aneka macam tuturan.

Bentuk baster sebagai varian dari campur kode adalah bagian dari interferensi. Perihal ini Weinreich (1953) berpendapat bahwa interferensi terjadi karena adanya persentuhan sistem suatu bahasa dengan unsur-unsur bahasa lain oleh penutur yang bilingual. Persentuhan ini kemudian mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yang digunakannya, baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun semantis. Kontak bahasa ini juga dapat mengakibatkan alih kode sebagai peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu dan dilakukan dengan sadar.

Dalam hubungannya dengan pembahasan perihal identitas, penelitian ini akan merujuk pada ungkapan Connolly (1991) dalam Ivanič (1998) tentang identitas yang membentuk dan memengaruhi identitas yang lain, dan juga pada (Black, 2009) perihal identitas dan ruang maya. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai pembaca status facebook, bobotoh secara umum, baik terafiliasi atau tidak terafiliasi dengan sebuah komunitas pendukung Persib tertentu, mengafilisasikan dirinya dengan identitas (kelompok) Bobotoh ID. Setelah membaca, mereka terlibat dalam bentuk atau praktik yang memberikan respon terhadap status yang mereka baca. Praktik menyepakati atau membantah status-status Bobotoh ID memberikan mereka identitas yang tersendiri dalam dunia maya akan dibicarakan pada bagian pembahasan.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Campur Kode, Wujud Baster, dan

Pampangan Facebook Bobotoh ID

Pada kajian ini, wujud baster yang dikumpulkan dan dianalisis adalah data berprefiks me- yang bertemu dengan kata dasar bahasa Sunda. Delapan belas bentukan baster tersebut adalah menérékél, memaké, meménta, memeunteun, meméré, menéwak, menumpak, mengantos, menggabrug, mengajleng, menggentos, menghontal, menghuleng, menglawan, mengleungit, menyiwit, menyokot, dan menyieun. Prefiks me- memiliki empat variasi bentuk ketika dihubungkan dengan kata dasar, yaitu me-, mem-, men-, meng-, dan meny-. Variasi ini bergantung pada fonem awal kata dasar yang dilekatinya. Bunyi sengau m, n, ng, ny, bunyi antara, fungsinya sebagai pelancar ucapan. Semua bentuk awalan yang mirip itu melambangkan satu morfem (yang sama) disebut alomorf (Badudu, 1983). Seperti diketahui, prefiks me-, mem-, meng-, dan meny- dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi membuat dasar kata menjadi verba. Penjelasan perihal bentuk, dasar, dan arti delapan belas bentukan baster akan dilakukan per data pada bagian berikutnya. Pun perihal penyimpangan-penyimpangan secara kaidah morfologis bahasa Indonesia yang ditemukan dalam bentukan-bentukan baster tersebut.

Data 1: Kata menérékél

(Bobotoh ID, 2016a)

Bentukan baster menérékél mempergunakan sufiks me- ditambah bentuk aktif bahasa Sunda nérékél(kata dasar térékél) yang berarti ‘naik dengan cepat’. Dalam bahasa Indonesia, bentuk atau alomorf me- digunakan apabila bentuk dasarnya dimulai dengan fonem /r/, /l/, /w/, /y/, /m/, /n/, /ny/, dan/ng/. Beberapa contoh kata dalam bahasa Indonesia adalah merakit, melekat, mewarnai, meyakini, memerah, menanti, menyanyi, menganga (Chaer, 2008). Secara bentuk, prefiks me- dapat bergabung dengan kata dasar térékél menjadi bentukan kata menérékél karena fonem awal dari kata

Page 6: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

152

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 147–162

dasarnya adalah /t/.Afiks me- dalam bentukan baster

menérékél memiliki makna gramatikal ‘melakukan’ (dasar) sehingga verba tersebut berarti ‘melakukan kegiatan naik dengan cepat’. Namun demikian, bentuk atau alomorf mem- digunakan apabila bentuk dasarnya dimulai dengan fonem /b/, /p/, /f/, dan /v/. Dengan catatan fonem /b/, /f/, dan /v/ tetap berwujud, sedangkan fonem /p/ tidak diwujudkan tetapi disenyawakan dengan bunyi nasal dari prefiks itu. Beberapa contoh untuk bentuk atau alomorf mem- adalah membina, membawa, memfitnah, memfrasakan, memveto, memvitaminkan, memotong, dan memutuskan (Chaer, 2008). Pada penelitian ini terdapat empat buah data verba bentuk baster yang ditemukan mempergunakan prefiks mem-, yaitu memaké, meménta, memeunteun, dan meméré. Secara lebih detail penjelasan bentukan kata-kata tersebut tertuang pada analisis data berikutnya.Data 2: Kata memaké

(Bobotoh ID, 2018a)

Secara bentuk, prefiks mem- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda paké yang berarti ‘memakai’, ‘menggunakan’, ‘dijadikan sebab musabab’. Mem+paké menjadi bentukan kata memaké karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /p/ dengan meluluhkan /p/ menjadi /m/.

Data 3:Kata meménta

(Bobotoh ID, 2018b)

Secara bentuk, prefiks mem- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda pénta yang berarti ‘pinta, minta, meminta, memohon dengan biasa’. Mem+pénta menjadi bentukan kata meménta karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /p/ dengan meluluhkan /p/ menjadi /m/.

Data 4: Kata memeunteun

(Bobotoh ID, 2018c)

Secara bentuk, prefiks mem- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda peunteun yang berarti ‘nilai’. Mem+peunteun menjadi bentukan kata memeunteun dan berarti ‘menilai’ karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /p/ dengan meluluhkan /p/ menjadi /m/.

Data 5: Kata meméré

(Bobotoh ID, 2018d)

Secara bentuk, prefiks me- tidak dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda béré yang berarti ‘beri’, ‘kasih’, ‘sumbang’. Me+béré menjadi bentukan kata meméré karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /b/. Merujuk pada aturan atau kaidah morfologis bahasa Indonesia sebagaimana halnya me+beri menjadi memberi seharusnya bentukan kata me+béré tersebut adalah membéré bukan meméré.

Afiks mem- dalam bentukan baster memaké, meménta dan meméré diikuti oleh dasar yang memiliki makna gramatikal melakukan (dasar) sehingga bentukan memaké dan meménta tersebut berarti melakukan kegiatan ‘memakai’ dan ‘meminta’, sedangkan baster meméré tidak mengikuti kaidah morfologis bahasa Indonesia walaupun dari sisi makna dapat berarti ‘melakukan kegiatan beri, kasih atau sumbang’.

Page 7: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

Tisna Prabasmoro, et al: Baster dan Identitas Penutur ...

153

Adapun bentukan baster memeunteun terdiri atas afiks mem- yang diikuti oleh bentukan dasar yang memiliki komponen makna (+benda hasil) sehingga bentukan kata tersebut berarti ‘membuat nilai’.

Mengacu pada kaidah morfologis bahasa Indonesia, alomorf men- digunakan ketika bentuk dasarnya dimulai dengan fonem /d/ dan /t/. Hal ini berlaku dengan catatan fonem /d/ tetap diwujudkan, sedangkan fonem /t/ tidak diwujudkan melainkan disenyawakan dengan bunyi nasal yang ada pada prefiks tersebut. Beberapa contoh bentukan ini adalah mendidik, menulis, menerobos (Chaer, 2008). Dua buah bentukan baster yang mempergunakan prefiks men- yang telah ditemukan pada pampangan facebook Bobotoh ID dijelaskan pada data berikutnya.

Data 6: Kata menéwak

(Bobotoh ID, 2018e)

Secara bentuk, prefiks men- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda téwak yang berarti ‘tangkap’. Men+téwak menjadi bentukan kata menéwak karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /t/ luluh menjadi /n/.

Data 7: Kata menumpak

(Bobotoh ID, 2018f)

Secara bentuk, prefiks men- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda tumpak yang berarti ‘naik’, ‘mengendarai’: tumpak kuda ‘menunggang kuda’. Men+tumpak menjadi bentukan kata menumpak karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /t/ dengan meluluhkan /t/ menjadi /n/. Prefiks men- dalam bentukan baster menéwak dan menumpak memiliki makna gramatikal melakukan (dasar) sehingga kata tersebut berarti melakukan kegiatan ‘tangkap’ dan ‘mengendarai’.

Dalam bahasa Indonesia, bentuk meng- digunakan jika bentuk dasarnya dimulai dengan fonem /k/, /g/, /h/, /kh/, /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/. Hal ini berlaku dengan catatan bahwa fonem /k/ tidak diwujudkan, tetapi disenyawakan dengan nasal yang ada pada prefiks itu, sedangkan fonem-fonem yang lain tetap diwujudkan. Beberapa contoh bentukan ini adalah mengirim, menggali, menghibur, mengkhianati, mengambil, mengiris, mengutus, mengekor, mengobrol (Chaer, 2008). Verba baster yang ditemukan dalam data yang dikumpulkan dengan penggunaan prefiks meng- ada delapan buah, yaitu verba mengantos, menggabrug, mengajleng, menggentos, menghontal, menghuleng, menglawan, dan mengleungit sebagaimana yang tertuang pada data-data berikut.

Data 8: Kata mengantos

(Bobotoh ID, 2018g)

Secara bentuk, prefiks meng- sebagai alomorf dari prefiks me- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda antos yang berarti ‘tunggu’. Dengan demikian, meng+antos menjadi bentukan kata mengantos karena kata dasarnya mempunyai fonem awal /a/.

Data 9: Kata menggabrug

(Bobotoh ID, 2017a)

Secara bentuk, prefiks meng- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda gabrug yang berarti ‘menyergap’, ‘merangkul’. Meng+gabrug menjadi bentukan kata menggabrug karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /g/.

Data 10: Kata mengajleng

(Bobotoh ID, 2018h)

Page 8: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

154

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 147–162

Secara bentuk, prefiks meng- sebagai alomorf dari prefiks me- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda ajleng yang berarti ‘loncat’. Dengan demikian, meng+ajleng menjadi bentukan kata mengajleng karena kata dasarnya mempunyai fonem awal /a/.

Data 11: Kata menggentos

(Bobotoh ID, 2017b)

Secara bentuk, prefiks meng- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda gentos yang berarti ‘ganti’; bahasa halus dari ganti atau genti’. Meng+gentos menjadi bentukan kata menggentos karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /g/.

Data 12:Kata menghontal

(Bobotoh ID, 2017c)

Secara bentuk, prefiks meng- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda hontal yang berarti ‘meraih’ atau ‘mengambil barang dsb. yang jauh atau yang tinggi hanya dengan tangan’. Meng+hontal menjadi bentukan kata menghontal karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /h/.

Data 13:Kata menghuleng

(Bobotoh ID, 2017d)

Secara bentuk, prefiks meng- dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda huleng yang berarti ‘termenung’. Meng+huleng menjadi bentukan kata menghuleng karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /h/.

Data 14: Kata menglawan

(Bobotoh ID, 2018i)

Secara bentuk, prefiks meng- tidak dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda lawan yang berarti ‘lawan’. Meng+lawan menjadi bentukan kata menglawan karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /l/. Untuk memenuhi kaidah morfologis bahasa Indonesia, kata yang muncul seharusnya adalah melawan bukan menglawan.

Data 15: Kata mengleungit

(Bobotoh ID, 2017e)

Secara bentuk, prefiks meng- tidak dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda leungit yang berarti ‘hilang’. Meng+leungit menjadi bentukan kata mengleungit karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /l/.

Prefiks meng- dalam bentukan baster mengantos, menggabrug, menggentos, menghontal, dan menghuleng memiliki makna gramatikal melakukan (dasar) sehingga kata-kata tersebut berarti melakukan kegiatan ‘tunggu’, ‘sergap’, ‘ganti’, ‘mengambil barang dsb. yang jauh atau yang tinggi hanya dengan tangan’ dan ‘termenung’ sehingga kata-kata tersebut dapat berarti ‘menunggu’, ‘menyergap’, ‘mengganti’, ‘mengambil sesuatu yang jauh atau tinggi hanya dengan tangan saja’, dan ‘merenung’. Dua kata bentukan baster menglawan dan mengleungit tidak mengikuti kaidah morfologis bahasa Indonesia walaupun dari sisi makna dapat berarti ‘melawan’ dan ‘menghilang’.

Bentuk alomorf meny- digunakan apabila fonem awal bentuk dasarnya adalah fonem /c/, /j/, dan /s/. Kaidah yang berlaku dalam bahasa tulis bunyi adalah bunyi [ñ] pada prefiks itu diganti atau dituliskan dengan huruf /n/ pada dasar yang dengan fonem /c/ dan /j/,

Page 9: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

Tisna Prabasmoro, et al: Baster dan Identitas Penutur ...

155

sedangkan yang dimulai dengan fonem /s/ diluluhkan. Mengikuti kaidah ini, kata mencuri (lafalnya: [meñcuri]), mencicil (lafalnya: [meñcicil]), menjaga (lafalnya: [meñjaga]), menyikat, menyusul (Chaer, 2008). Pada penelitian ini terdapat tiga data berbentuk baster pada verba menyiwit, menyokot dan menyieun. Fonem-fonem awal kata dasar tersebut adalah /c/ untuk verba menyiwit dan menyokot dan fonem /j/ untuk verba menyieun. Bentukan ini tidak sesuai dengan kaidah karena menurut (Chaer, 2008), alomorf meny- hanya muncul jika fonem awal kata dasarnya adalah /s/ walaupun dalam pelafalan muncul meny- ketika fonem awal dari kata dasar adalah /c/.

Data 16: Kata menyiwit

(Bobotoh ID, 2016b)

Secara bentuk, prefiks meny- tidak dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda ciwit yang berarti ‘cubit’. Meny+ciwit menjadi bentukan kata menyiwit karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /c/.

Data 17: Kata menyokot

Bobotoh ID, 2018j)

Secara bentuk, prefiks meny- tidak dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda cokot yang berarti ‘mengambil’. Meny+cokot menjadi bentukan kata menyokot karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /c/.

Data 18: Kata menyieun

(Bobotoh ID, 2018k)

Secara bentuk, prefiks meny- tidak dapat bergabung dengan kata dasar bahasa Sunda jieun yang berarti ‘membuat, membangun’. Meny+jieun menjadi bentukan kata menyieun karena fonem awal dari kata dasarnya adalah /c/.

Prefiks meny- dalam bentukan baster menyiwit, menyokot dan menyieun memiliki makna gramatikal melakukan (dasar) sehingga kata-kata tersebut berarti melakukan kegiatan ‘cubit’, ‘ambil’ dan ‘membuat’. Namun demikian, ketiga kata bentukan baster tersebut tidak mengikuti kaidah morfologis bahasa Indonesia walaupun dari sisi makna dapat berarti ‘mencubit, ‘mengambil’ dan ‘membuat’.

Dalam hubungannya dengan data penelitian, kaidah dan bentuk-bentuk baru, Chaer dan Agustina (2004:62) menyatakan bahwa dalam variasi atau ragam bahasa terdapat dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Variasi bahasa tersebut dapat menimbulkan bentuk-bentuk baru yang mengikuti kaidah gramatika atau dapat juga menyalahi kaidah gramatika bahasa yang dipakai selama interaksi dapat dilakukan dengan efektif. Dalam konteks ini, ketidaktepatan pemakaian bahasa secara gramatikal oleh “admin” dapat dipandang sebagai gejala sosial karena individu tersebut merupakan anggota dari kelompok sosialnya. Pengamatan hal seperti itu selalu dihubungkan dengan kegiatannya dalam masyarakat karena pemilihan variasi bahasa sesuai dengan konteks sosial dapat dilakukan oleh sosiolinguistik.

Sosiolinguistik membahas hal yang terjadi akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual ini dengan istilah interferensi. Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual (Chaer & Agustina, 2004). Interferensi dapat terlihat dalam perubahan sistem suatu bahasa, baik mengenai sistem fonologi, morfologi, maupun sistem lainnya. Interferensi dalam

Page 10: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

156

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 147–162

bidang morfologi, antara lain, terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks-afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Bentukan-bentukan tersebut biasanya menyimpang dari sistematika morfologi bahasa tujuan dan dipandang sebagai pengacauan karena merusak sistem suatu bahasa, tetapi mempunyai kontribusi, terutama dalam bidang kosakata.

Jika suatu kelompok sosial mempunyai atau mempergunakan dua bahasa, kontak bahasa dapat menimbulkan suatu peristiwa bilingualisme dan peristiwa ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai bilingualitas seperti yang dikatakan oleh Nababan (1993:28) bahwa bilingualisme berimplikasi pada bilingualitas atau seseorang harus mempunyai dahulu bilingualitas sebelum dia dapat mengerjakan bilingualisme. Akibat dari kedwibahasaan ini adalah timbulnya rekayasa atau penyimpangan kaidah bahasa.

3.2 Bobotoh, Identitas, dan LiterasiBagian kedua pembahasan berfokus pada

penghubungan identitas dengan literasi. Literasi di sini diartikan sebagai suatu kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan kegiatan membaca dan menulis (Hasugian, 2008; Subandiyah, 2013). Selain itu, dengan data seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal pembahasan, bagian ini juga akan menjelaskan hubungan identitas dengan keahlian/pengetahuan dan persamaan dan perbedaan karakter sebuah komunitas yang berperan penting dalam penentuan identitas. Sebelum pembahasan perihal persinggungan antara literasi dengan identitas, paragraf-paragraf berikutnya akan membahas pengaruh kemajuan teknologi dalam penyebaran dan pertukaran i n f o r m a s i .

Literasi informasi dan praktik-praktiknya tidak dapat dilepaskan dengan bahasa. Ivanič(Ivanič, 1998:57–58) menulis bahwa literasi berarti the ability to use written language yang kemudian berkembang menjadi the ability to understand and/or use pelbagai jenis alat, sarana, atau ilmu yang secara umum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dari perkembangan

makna tersebut, muncullah peristilahan-peristilahan seperti literasi komputer, literasi media, dan literasi politik. Namun demikian, yang penting digarisbawahi adalah bahwa dalam kata-kata theability tersimpan makna telah terlampauinya suatu proses mendapatkan sebuah pengetahuan tertentu agar kemudian, seperti yang nanti akan diulas, pemilik pengetahuan tersebut dapat membedakan dirinya dengan individu lain. Namun pada intinya, literasi berhubungan erat dengan bahasa dan keterampilan berbahasa, yaitu pengetahuan bahasa tulis dan lisan. Oleh karena itu, berkelindan dengan kegiatan kultural tertanam dalam konteks sosial. Meskipun semua data yang dianalisis berbentuk bahasa tertulis, yang digarisbawahi adalah bahwa bahasa sebagai salah satu alat untuk mengekspresikan identitas sosial berlaku untuk semua sistem bahasa. Keinginan-keinginan yang sama kuatnya untuk mengidentifikasikan diri juga termanifestasi dalam bahasa ujaran dan bahasa yang tersampaikan melalui pemakaian atribut-atribut fisik Persib. Dengan perkataan lain, data dalam bahasa tertulis tersebut adalah suatu bentuk pilihan sebagaimana mereka memilih untuk merekayasa bahasa sebagai bagian dari pemilihan kelompok dan identitas.

Kemajuan teknologi yang pesat dan proses globalisasi yang sedang dan terus berlangsung telah mengubah teknik dan strategi komunikasi tradisional dalam ruang-ruang publik dan privat. Kecanggihan teknologi terbaru telah mempercepat transportasi dan memastikan semua orang untuk dapat melakukan kegiatan bisnis lintas batas negara dan berkomunikasi antarruang fisik dan maya. Tidak hanya itu, globalisasi telah memungkinkan terjadinya kolonialisme elektronik atau electronic colonialism (Mcphail, 1987), yaitu sebuah metonimia untuk serangan media massa global yang memengaruhi pikiran, perbuatan, dan bahasa pembaca atau pendengar melalui repetisi penayangan/pesan. Bentuk kolonialisme elektronik, seperti iklan dan film, yang diproduksi secara massal dalam bahasa Inggris dan menggunakan sistem media berkualitas tinggi, ditengarai telah menjadi

Page 11: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

Tisna Prabasmoro, et al: Baster dan Identitas Penutur ...

157

penyebab terpinggirkannya bahasa lokal/daerah, bahkan nasional. Fenomena gaya berbahasa remaja Jakarta Selatan dan “keminggris”-nya pejabat-pejabat negara yang menyelipkan kosakata bahasa Inggris adalah beberapa contoh terkini dari kasus tersebut. Seperti yang telah dituliskan oleh Steger, [M]ore than 80% of the content posted on the Internet is in English (2003:84) tidak berlebihan jika beberapa penelitian kemudian mendukung dan/atau mematahkan dampak dari paparan bahasa Inggris pada beberapa bentuk komunikasi lisan dan tulisan.

Merujuk pada data yang telah diuraikan dan dijelaskan pada bagian awal pembahasan, Bobotoh IDtidak terpengaruh dengan paparan bahasa Inggris di internet atau di situs jejaring sosial, seperti yang diutarakan oleh Steger (2003). Sebaliknya, delapan belas kata: nérékél, paké, pénta, peunteun, béré, téwak, tumpak, antos, gabrug,ajleng, gentos, hontal, huleng, lawan, leungit, ciwit, cokot, dan jieun adalah kata dasar yang berasal dari bahasa Sunda. Kata-kata tersebut digabungkan dengan prefiks bahasa Indonesia me- yang memiliki empat variasi bentuk ketika dihubungkan dengan kata dasar, yaitu me-, mem-, men-, meng-, dan meny- dan menghasilkan seperti yang telah dijelaskan. Meskipun pembacaan status-status ini sangat mungkin dilakukan oleh individu yang tidak beretnis Sunda, Bobotoh ID dengan jelas dan tegas mencirikan identitas komunitasnya dengan penggunaan kata-kata dalam bahasa Sunda tersebut. Hal yang lain adalah “admin”Bobotoh ID secara konsisten menempatkan posisinya sebagai penulis pampangan yang tertarik dengan perkembangan Persib dan bobotoh. Selain menjadi ciri identitas komunitas, konsistensi tersebut diperlukan untuk menyinkronkan nama laman facebook Bobotoh ID dengan tujuan dibukanya laman tersebut. Dengan isi berita yang sama dengan yang ditemukan pada situs berita lainnya, Bobotoh ID secara kreatif menciptakan, mengeksplorasi, dan merekayasa bentukan-bentukan kata sehingga memunculkan kata/bentukan baru yang belum pernah dikenal sebelumnya.

Dengan mempertimbangkan bagaimana praktik-praktik literasi tersebut berhubungan dengan keterampilan berbahasa, pengetahuan dan keahlian Bobotoh ID tersebut merupakan

hasil dari pengalaman-pengalaman kerja, pertemanan dan pergaulan, dan kepemilikan minat yang khusus dan membentuk dimensi jati diri Bobotoh ID. Secara keseluruhan pengetahuan tersebut mewujudkan identitas dan kesadaran yang memengaruhi pilihan-pilihan “admin” Bobotoh ID, terutama dalam hal kesenangan, pemikiran, dan pilihan-pilihan menghabiskan waktu senggang. Dari kepemilikan keahlian atau pengetahuan Bobotoh ID tersebut, dapat dikatakan bahwa identitas adalah produk dari pikiran dan pengalaman yang sebagiannya merupakan juga hasil dari berhubungan atau berafiliasi dengan individu atau kelompok tertentu dalam konteks sosial mereka. Dengan begitu, identitas yang dimiliki Bobotoh ID merupakan hasil konstruksi sosial yang terbentuk dari hasil pengaruh-pengaruh sosial masyarakat di sekeliling mereka dan tetap bersifat cair karena identitas tersebut selalu membuka dirinya terhadap kontestasi dan perubahan yang mengemuka.

Hal lainnya yang dapat menjadi telaah identitas adalah dua kelompok yang melakukan tindak komunikasi. Dari sisi pengirim pesan, Bobotoh ID sebagai pemilik ide yang ingin menyampaikan pesan kepada pembacanya berharap berita, pendapat, atau ajakannya dapat dipahami oleh mereka yang menerima dan membaca pesan sesuai dengan yang dimaksudkan. Namun demikian, kegiatan memutakhirkan pampangan pada facebook Bobotoh ID tidak dapat dikatakan sebagai kegiatan netral tanpa pengaruh latar belakang kebanggaan etnis yang wajar, pilihan kesenangan, atau kemampuan berdwibahasa. Dalam merencanakan dan menuliskan statusnya, Bobotoh ID membawa serta komitmen-komitmennya berdasarkan minat, nilai, dan keyakinannya yang terbentuk dari, atau berhubungan erat dengan, sejarahnya sebagai “admin” perempuan/laki-laki beretnis Sunda yang secara khusus terhubung dengan sebuah atau beberapa individu dan komunitas penggemar Persib. Dalam konteks ini, Bobotoh ID adalah entitas yang berpengaruh dari suatu ideologi dominan yang dapat membentuk people’s sense of themselves (Ivanič, 1998:13). Isu-isu dominasi dan kekuasaan ini relevan terhadap semua aspek konstruksi sosial dari identitas, terutama ketika bahasa menjadi beberapa dari sekian banyak pilihan alat untuk

Page 12: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

158

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 147–162

merangkul target pembaca tertentu.Sementara itu, dari sisi pembaca, kegiatan

membaca dan mengikuti status-status terkini Bobotoh ID tidak hanya berarti secara pasif menerima informasi yang telah disampaikan atau diekspresikan oleh pengirim pesan, tetapi juga berhubungan dengan identitas dirinya dan orang lain. Setiap pembaca mengidentifikasikan dirinya dengan cara melihat perbedaan mereka dengan orang lain. Sebagaimana yang ditulis oleh Connolly (1991) dalam Ivanič (1998) that identity only establishes itself inrelation to difference: that in order to talk of identity at all it is necessary for there to be other identities, other affiliations which are being rejected. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa suatu identitas terbentuk dan terbangun karena terdapat identitas yang berbeda; suatu identitas terbentuk karena memang ada identitas yang lain karena seseorang tidak dapat mengafilisasikan dirinya dengan identitas (kelompok) tersebut. Dalam praktiknya, para pembaca status akan membicarakan, mendiskusikan, dan saling memberikan komentar atas status atau komentar pembaca lainnya. Pembaca yang merupakan pendukung Persib akan memiliki kecenderungan untuk saling mendukung dan mengatakan hal yang hampir serupa, sedangkan pendukung yang bukan bobotoh, terutama dari kelompok yang menjadi pesaing atau rival Persib/bobotoh akan berkencenderungan untuk tidak sepakat, merendahkan atau menghujat status atau komentar bobotoh. Dengan demikian, persamaan, batasan-batasan, dan perbedaan kelompok-kelompok sosial merupakan pembentuk dari identitas dan memainkan peranan penting dalam menyepakati atau membantah status-status Bobotoh ID.

Kegiatan dua kelompok ini merepresentasikan keinginan bobotoh secara individual atau komunitas pendukung Persib untuk mengidentifikasi uniformitas mereka dengan individu atau kelompok sosial lainnya. Dalam waktu yang sama, kegiatan ini sekaligus memisahkan atau membedakan diri mereka dengan individu dan kelompok lain yang bukan bobotoh. Dalam usahanya mencari persamaan tersebut, mereka menentukan pilihan fonetik, siktaksis, dan leksikal mereka dalam bahasa yang direkayasa, namun tetap tidak membiarkan pembaca tersesat dalam makna. Rekayasa bahasa yang dilakukan dilatarbelakangi oleh

faktor keakraban, permintaan, kebanggaan terhadap daerah, dan penghormatan, juga menyumbangkan kosakata bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia. Para bobotoh atau pendukung klub sepakbola Persib yang didominasi oleh penutur yang berbahasa ibu Sunda sesuai dengan letak geografisnya mengakibatkan munculnya kontak bahasa yang menghasilkan variasi bahasa sebagai bentuk dukungan mereka terhadap klub sepakbola yang mereka cintai. Identitas berdasarkan kesamaan etnis, penggunaan bahasa, dan kecintaan kepada Persib ini membangkitkan rasa perkumpulan yang satu, unifikasi yang homogen, dan menjadi a key to identity because it offers, so intensely, a sense of both self and others, of the subjective in the collective (Frith, 1996:110).

Sebagai penutur bahasa Sunda, Bobotoh ID mengekspresikan pesan khususnya kepada masyarakat yang dituju melalui media bahasa dengan cara yang khas dan tetap memenuhi fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi. Secara konsisten mereka mengidentifikasi kelompok mereka dan memanifestasikan kecintaan mereka terhadap anggotanya dan Persib dalam bahasa. Melalui pemutakhiran status-status, mereka menunjukkan bagaimana individu dan kelompok dapat konsisten dalam identifikasi mereka, dan bagaimana konsistensi itu termanifestasikan dalam kelokalan yang selalu unik karena tidak dapat ditemukan di tempat lain sebagaimana dikatakan oleh Black (Black, 2009:689), youths’literacy, learning, and identity practices are both shaped by and shape the interactions they have in online spaces. Hal ini dapat diartikan bahwa globalisasi dan kemajuan teknologi memang memungkinkan, atau bahkan mengharuskan para penggemar sepakbola untuk mengembangkan ritual dan tempat (fisik atau maya) yang baru. Bobotoh ID melakukan yang lebih dari itu: mereka membentuk identitas komunitas di dunia nyata yang fisik dan kemudian bersama dengan pembacanya melahirkan sebuah identitas “baru” di dunia maya yang merupakan identitas yang sudah ada di dunia nyata tanpa meninggalkan ciri khas lokal mereka. Hasil dari tindakan penciptaan budaya sadar Bobotoh ID dalam bentuk repertoar (perbendaharaan bahasa) di laman facebook mereka tidak hanya mampu mengartikulasikan identitas lokal, tetapi juga

Page 13: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

Tisna Prabasmoro, et al: Baster dan Identitas Penutur ...

159

dapat dianggap mampu mengartikulasikan identitas penggemar lokal dalam ruang lokal, nasional, bahkan internasional yang mengglobal.

4. Penutup4.1 Simpulan

Pembahasan menunjukkan hasil dua kategori rekayasa bahasa Indonesia yang dipengaruhi bilingualitas sebagai berikut:

Tabel Kategori

Kategori IKata Dasar Rekayasatérékél menérékél, me + nérékél paké memaké, me + maképénta meménta, me + méntapeunteun memeunteun, me + meunteun béré meméré, me + mérétéwak menéwak, me + néwaktumpak menumpak, me + numpakciwit menyiwit, me + nyiwitcokot menyokot, me + nyokotjieun menyieun, me + nyieun

Kategori IIKata Dasar Rekayasaantos mengantos, me + ngantosgabrug menggabrug, me + ngagabrug ajleng mengajleng, me + ngajlenggentos menggentos, me + ngagentos hontal menghontal, me + ngahontalhuleng menghuleng, me + ngahulenglawan menglawan, me + ngalawanleungit mengleungit, me + ngaleungit

Kategori I mengindikasikan afiks me- ditempelkan langsung pada bentuk aktif kata kerja Bahasa Sunda yang dianggap sebagai kata dasar. Kategori II mengindikasikan adanya pengaruh ragam nonformal nge- seperti pada

ngelawan yang diformalkan alih-alih dari melawan menjadi menglawan. Baik dalam kategori pertama maupun kedua, tampak adanya usaha menjadikan kosakata Bahasa Sunda sebagai bahasa Indonesia walaupun ada yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia seperti menglawan dan mengleungit.

Para penutur bahasa dapat mengekspresikan pesan khususnya kepada masyarakat yang dituju melalui media bahasa dengan berbagai macam cara sehingga memenuhi fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi. Faktor-faktor seperti siapa yang berbicara, kepada siapa, dalam bahasa apa, kapan, di mana, dan mengenai apa masalah pembicaraan itu dapat menimbulkan variasi bahasa yang tidak terhingga, terutama bagi para penutur dalam suatu masyarakat yang mempunyai kemampuan berbahasa lebih dari satu. Keinginan-keinginan yang sama kuatnya untuk mengidentifikasikan diri sebagai bobotoh juga termanifestasi dalam bahasa yang tersampaikan melalui pemutakhiran pampangan mereka di facebook. Dengan perkataan lain, delapan belas data dalam penelitian ini adalah suatu bentuk pilihan sebagaimana mereka memilih untuk merekayasa bahasa sebagai bagian dari proses pemilihan identitas. Seperti yang telah ditunjukkan, Persib memberikan bobotoh sebuah situs untuk mengembangkan identitas pribadi dan kelompok pendukungnya, termasuk kemampuan menulis dan proses memahami yang mengikutinya. Selama proses ini berlangsung, bobotoh mengembangkan identitas daringnya sebagai penulis dan pembaca yang berpengatahuan khusus yang mengartikulasikan identitas lokalnya dalam lingkungan yang dimediasi teknologi.

4.2 SaranKajian-kajian lokal yang mendalami sifat

dan motif yang memengaruhi pilihan topik status masih belum banyak dilakukan. Sehubungan dengan itu, penulis berharap mudah-mudahan kajian ini menjadi pembuka untuk penelitian lainnya yang sejenis.

Page 14: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

160

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 147–162

Daftar PustakaAuer, P. 2005. “A postscript: Code Switching and Social Identity”. Journal of Pragmatics, 37, 403–

410. https://doi.org/doi:l0.l0161j.pragma.2004.10.010Badudu, J. S. 1983. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.Bautista, M. L. S. 2004. “Tagalog-English Code Switching as a Mode of Discourse”. Asia Pacific

Education Review, 5(2), 226–233. https://doi.org/10.1007/BF03024960Black, R. W. 2009. “English-Language Learners, Fan Communities, and 21st-Century Skills”. Journal

of Adolescent & Adult Literacy, (8), 688--697. Indian Veterinary Journal, 52(8), 688–697. https://doi.org/10.1598/JAAL.52.8.4

Cahyadi, A. 2012. “Permasalahan Sumberdaya Air Pulau Karang Sangat Kecil (Studi Kasus di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta)”. Semarang: Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Diponegoro Semarang. https://doi.org/10.17605/OSF.IO/G2D5M

Chaer, A. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.Chaer, A. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakart: PT Rineka Cipta.Chaer, A., & Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.Couto, M. C. P., & Gullberg, M. 2017. “Code-Switching within the Noun Phrase: Evidence

from Three Corpora”. International Journal of Bilingualism, 1–20. https://doi.org/10.1177/1367006917729543

Davis, B. H., & Brewer, J. 1997. Electronic Discourse: Linguistic Individuals in Virtual Space. SUNY Series in Computer-Mediated Communication. New York: State University of New York Press.

Eldridge, J. 1996. “Code-Switching in a Turkish Secondary School”. ELT Journal, 50(4), 303–311. https://doi.org/10.1093/elt/50.4.303

Frith, S. 1996. “Music and Identity”. Questions of Cultural Identity, 1, 108–128. https://doi.org/10.1080/08098139709477889

Hall, S. 2006. “Encoding/Decoding”. In M. G. D. Durham & D. M. Kellner (Eds.), Media and Cultural Studies: Key Works (pp. 163–173). Malden,: Blackwell. https://doi.org/10.1177/026858094009002003

Hardjana, A. M. 2003. Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal. Yogyakarta: Kanisius.Hasugian, J. 2008. “Urgensi Literasi Informasi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan

Tinggi Jonner Hasugian, Program Studi Ilmu Perpustakaan”. Pustaha : Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, 4(2), 34–44. https://doi.org/10.1016/j.jcmg.2014.07.017

Ibrahim, G. A. 2011. “Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya”. Linguistik Indonesia, 29(1), 35–52. Retrieved from http://www.mlindonesia.org/images/files/29 No. 01 Feb 2011.compressed.pdf#page=37

Ivanič, R. 1998. Writing and Identity. (B. Streer & L. Verhoeven, Eds.) (Vol. 5). Amsterdam: John Benjamins. https://doi.org/10.1075/swll.5

Kridalaksana, H. 1993. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Li, D. C. S. 2000. “Cantonese-English Code-Switching Research in Hong Kong: a Y2K Review”.

World Englishes, 19(3), 305–322. https://doi.org/10.1111/1467-971X.00181Liu, D., Ahn, G.-S., Baek, K.-S., & Han, N.-O. 2004. “South Korean High School English Teachers’

Code Switching: Questions and Challenges in the Drive for Maximal Use of English in Teaching”. TESOL Quarterly, 38(4), 605. https://doi.org/10.2307/3588282

Page 15: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

Tisna Prabasmoro, et al: Baster dan Identitas Penutur ...

161

Marfai, M. A., Cahyadi, A., & Anggraini, D. F. 2013. “Tipologi, Dinamika, dan Potensi Bencana di Pesisir Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul”. Forum Geografi, 27(2), 151–162. Retrieved from https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/4332/FG-5.pdf?sequence=1

Mazrui, A. M. 1995. “Slang and Code-Switching: The Case of Sheng in Kenya”. Afrikanistische Arbeitspapiere: Schriftenreihe Des Kölner Instituts Für Afrikanistik, 42, 168–179. Retrieved from http://www.qucosa.de/fileadmin/data/qucosa/documents/9529/2_10_Mazrui.pdf

Mcphail, T. L. 1987. Electronic Colonialism: The Future of International Broadcasting and Communication. Sage Publications, Inc.

Nababan, P. W. J. 1993. Sosiolinguistik suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.Pfaff, C. W. 1979. “Linguistic Society of America”. Language, 55(2), 291–318. https://doi.

org/10.2307/4341113Ramlan, M. 2009. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.Redjo, S. I., & As’ari, H. 2017. “Pengelolaan Pemerintah dalam Pengaturan Pulau – Pulau Kecil

Terluar Indonesia”. Agregasi, 5(2), 174–201. Retrieved from https://ojs.unikom.ac.id/index.php/agregasi/article/viewFile/445/334

Setati, M., Bapoo, A., & Reed, Y. 2002. “Incomplete Journeys: Code-Switching and Other Language Practices in Mathematics, Science and English Language Classrooms in South Africa”. Language and Education, 16(2), 128–149. https://doi.org/10.1080/09500780208666824

Siregar, B. U. 2017. “Perpaduan Pemelajaran dan Pembelajaran dalam Upaya Pemertahann Bahasa Daerah”. Denpasar: Udayana University Press. Retrieved from https://www.researchgate.net/profile/Ardianto_Tola2/publication/315528670_BAHASA_MUNA_SEBAGAI_PENGUAT_IDENTITAS_KULTURAL_KOMUNITAS_MUNA_DAN_PENYANGGAH_HARMONI_SOSIAL_PADA_MASYARAKAT_MUTIKULTURAL_DI_KOTA_BITUNG/links/58d3caec458515e6d9031156/BAHASA-MUNA-SE

Steger, M. B. 2003. Globalization a Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.Subandiyah, H. 2013. “Pembelajaran Literasi dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia”. Paramasastra,

2(1), 111–123. Retrieved from https://journal.unesa.ac.id/index.php/paramasastra/article/download/1502/1017

Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset.Teeuw, A. 1994. Indonesia: Antara Kelisananan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.Weinreich, U. 1953. Languages in Contact, Findings and Problems. New York: Linguistic Circle of

New York.

Page 16: BASTER DAN IDENTITAS PENUTUR: STATUS KOMUNITAS …

162

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 147–162