49
Referat BATUK KRONIK BERULANG PADA ANAK Oleh: 1. M. AZMAN PASHA (10700182) 2. PANJI SUARCANA GAMA (10700080) Dosen Pembimbing: Dr. Endah Tjiptaningsih Sp.A SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD DR. MOHAMAD SALEH PROBOLINGGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA 2014

Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BKB

Citation preview

Page 1: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Referat

BATUK KRONIK BERULANG PADA ANAK

Oleh:

1. M. AZMAN PASHA (10700182)

2. PANJI SUARCANA GAMA (10700080)

Dosen Pembimbing:

Dr. Endah Tjiptaningsih Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD DR. MOHAMAD SALEH PROBOLINGGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2014

Page 2: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

BAB I

PENDAHULUAN

Batuk merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh (dalam sistem

respirasi) yang alami yang berupa suatu reflex primitif saluran nafas untuk

mengeluarkan sekret berlebih atau kotoran dan benda asing yg masuk ke jalan

nafas. Batuk tidak selalu berarti suatu hal yang patologis, bisa juga merupakan

suatu hal yang fisiologis. Pada orang dewasa dikatakan bahwa volume dahak

yang dikeluarkan dalam tiap batuk sekitar 30ml. Sebuah studi yang mengukur

batuk secara obyektif menemukan bahwa anak sehat dengan rerata umur 10

tahun biasanya mengalami 10x batuk (rentang hingga 34) dalam 24 jam,

sebagian besar batuk terjadi pada siang hari1. Angka ini meningkat selama

infeksi respiratorik, yang bisa terjadi hingga 8x lipat per tahun pada anak sehat.

Walaupun sebagian besar anak batuk tidak mengalami kelainan paru yang

serius, batuk dapat sangat mengganggu dan sulit untuk diatasi. Sampai batas

tertentu batuk kronik pada anak adalah normal dan mempunyai prognosis yang

baik. Jika batuk kronik yang terjadi sangat sering atau berat, maka sangat

mungkin terdapat penyakit yang mendasarinya2.

Pada dasarnya batuk sendiri merupakan suatu reflex tubuh yang harus

dipelihara, karena fungsinya yang sangat penting bagi tubuh. Respon batuk

dapat terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor batuk di saluran nafas

maupun di luar saluran nafas. Rangsangan yang terjadi bisa akibat rangsangan

mekanik maupun kimiawi. Reseptor batuk di saluran nafas merupakan ujung

akhir dari n. vagus (N.X) yang berada pada sel – sel rambut getar dari faring

sampai bronkiolus, hidung. Yang berada di luar saluran nafas antara lain sinus –

sinus paranasal, saluran telinga dan memban timpani, pleura, lambung, perikard

dan diafragma.

Jenis rangsangan yang dapat menimbulkan timbulnya respon batuk

antara lain:

1. Udara dingin

2. Benda asing (contoh: debu, serbuk sari, partikel polutan, dll)

Page 3: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

3. Radang atau adanya edema saluran nafas

4. Adanya tekanan pada saluran nafas (contoh: tumor, kanker, dll)

5. Jumlah Lendir yang banyak pada saluran nafas

6. Kontraksi berlebih pada saluran nafas (contoh: asma)

Definisi batuk kronik bervariasi, ada yang menyatakan batuk kronik adalah

batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu, ada yang

mengambil batasan 3 minggu, bahkan 4 minggu.1 Unit Kerja Koordinasi

Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) membuat

batasan batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama

dengan 2 minggu. sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang

dari 2 minggu. Selain batuk akut dan kronik beberapa literatur menyebutkan

pembagian lain yaitu batuk sub akut tetapi UKK Respirologi tidak menggunakan

istilah batuk sub akut. Selain batuk kronik dikenal istilah batuk kronik berulang

(BKB) yaitu batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu

dan/atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut.7

Terkadang sulit untuk menentukan masalah yang memicu terjadinya

batuk kronik pada pasien, tetapi yang tersering adalah batuk kronik dikarenakan

post nasal drip, asma dan refluks asam yang merupakan gejala khas dari

gastroesophageal reflux disease (GERD). Batuk kronik biasanya menghilang

sesudah faktor pemicu dapat dihilangkan.4

Etiologi

Dalam menentukan diagnosis etiologi batuk kronik perlu

dipertimbangkan faktor usia. (Tabel 1)

Tabel 1. Etiologi Batuk Kronik Berdasarkan Usia7

Bayi Anak (usia muda) Anak (usia lebih tua)

Kongenital Aspirasi Asma

- Trakeomalasia Pasca infeksi virus Rokok (aktif)

- Vascular ring Asma Postnasal drip

Page 4: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Infeksi: Tuberkulosis Pasca infeksi virus

- Pertusis, virus, Pertusis Infeksi

- Klamidia OMSK* Tuberkulosis

Asma GER* OMSK*

Pneumonia aspirasi Bronkiektasis Bronkiektasis

GER* Psikogenik

Rokok pasif Tumor

*OMSK: otitis media supurativa kronik;

GER: gastro-esophageal reflux

Tatalaksana

Tatalaksana batuk kronik tergantung pada penyakit dasar sebagai

etiologinya. Pada keadaan infeksi bakteri maka pemberian antibiotik merupakan

pilihan utama sedangkan pada asma pemberian bronkodilator sebagai obat

utamanya, demikian juga yang lainnya. Namun pada keadaan tertentu

diperlukan pengobatan suportif lain seperti misalnya mukolitik, fisioterapi, dan

lain-lain. Secara garis besar tatalaksana batuk kronik dibagi dalam 2 kelompok

besar yaitu farmakologik dan non farmakologik. 8

Farmakologik

Tatalaksana farmakologi pada batuk dikenal sebagai obat utama dan obat

suportif. Yang termasuk obat utama adalah antibiotik, bronkodilator, dan

antiinflamasi, sedangkan yang termasuk suportif adalah mukolitik dan

antitusif.10 Pada batuk kronik dengan penyebab utama infeksi bakteri maka

pengobatan utamanya adalah antibiotik. Jenis antibiotik yang diberikan

tergantung dugaan etiologinya, misalnya pada faringitis yang diduga bakteri

maka pilihan utama adalah golongan penisilin sedangkan pada rinosinusitis

sebagai pilihan utama adalah kombinasi amoksislin dan asam klavulanat serta

pada pneumonia atipik pilihan utama adalah makrolid dan lain-lain. Selain

pilihan antibiotik yang berbeda juga perlu diperhatikan lamanya pemberian

antibiotik misalnya faringitis bakteri cukup dengan 7 hari sedangkan pada

rinosinusitis diberikan selama 3 minggu.11 Penyebab batuk kronik yang sering

adalah asma sehingga pengobatan utama pada saat serangan asma adalah

bronkodilator.14 Pada asma terjadi keadaan bronkokonstriksi akibat pajanan

alergen pada saluran respiratorik sehingga terjadi obstruksi dengan akibat

Page 5: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

hipoksemia dan hiperkarbia yang harus ditatalaksana sesegera mungkin untuk

mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.15 Bronkodilator yang digunakan

sebaiknya dalam bentuk inhalasi karena mempunyai awitan yang cepat,

langsung menuju sasaran, dosis kecil, dan efek samping kecil. Pada serangan

asma, bronkodilator yang digunakan adalah yang termasuk dalam golongan

short acting sedangkan pada tatalaksana jangka panjang digunakan long acting

beta-2 agonist (sebagai ajuvan terhadap obat pengendali utama yaitu steroid

inhalasi). Bronkodilator yang sering digunakan pada serangan asma adalah

salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan ipratropium bromida, sedangkan pada

tatalaksana jangka panjang adalah formoterol, salmeterol, dan bambuterol.9

Pada batuk kronik yang didasari inflamasi sebagai faktor etiologi seperti rinitis

alergika dan asma pemberian antiinflamasi merupakan pilihan utama. Pada

rinitis alergika antiinflamasi yang dianjurkan adalah kortikosteroid intranasal

selama 4-8 minggu. Pemberian kortikosteroid intranasal juga diberikan pada

rinosinusitis yang disertai dengan alergi selama 3 minggu.11 Penggunaan

antiinflamasi untuk asma terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu untuk

tatalaksana serangan asma dan tatalaksana di luar serangan asma. Untuk

mengatasi serangan asma, antiinflamasi (kortikosteroid) yang digunakan

umumnya sistemik yaitu pada serangan asma sedang dan serangan asma berat.

Pada serangan asma ringan umumnya tidak diberikan kortikosteroid kecuali

pernah mengalami serangan berat yang memerlukan perawatan sebelumnya.

Pemberian kortikosteroid pada asma di luar serangan diberikan secara inhalasi

yaitu pada asma episodik sering dan asma persisiten. Pada keadaan tersebut

umumnya kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan long acting beta-2

agonist.7

Selain pengobatan utama beberapa kasus diberikan obat suportif seperti

mukolitik dan antitusif.5,8 Cara kerja mukolitik ada beberapa mekanisme yaitu

meningkatkan ketebalan lapisal sol, mengubah viskositas lapisan gel,

menurunkan kelengketan lapisan gel, dan meningkatkan kerja silia. Selain

mukolitik beberapa keadaan dapat mempengaruhi kondisi tersebut di atas yang

dapat bekerja sama yaitu hidrasi yang cukup, obat-obat beta-2 agonis, antitusif

dan lain-lain. Selain bekerja dengan mekanisme tersebut di atas mukolitik dapat

pula memecah ikatan mukoprotein atau ikatan disulfid dari sputum sehingga

sputum mudah untuk dikeluarkan. Antitusif merupakan obat suportif lain yang

Page 6: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

diberikan pada batuk kronik tetapi penggunaan antitusif terutama bagi anak-

anak harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pemberian antitusif justru akan

membuat sputum tidak dapat keluar karena menekan refleks batuk yang

dibutuhkan untuk mengeluarkan sputum selain antitusif pun dapat menurunkan

kerja silia.8 Antitusif perlu dipertimbangkan pada kasus pertusis yang dapat

terjadi apnea akibat batuk yang berat sehingga tidak dapat inspirasi karena

batuknya. Pada keadaan tersebut antitusif dapat diberikan tetapi secara umum

pemberian antitusif sedapat mungkin dihindarkan.8 Pada asma pemberian

antitusif merupakan kontraindikasi karena akan memperberat keadan asmanya.7,9

Non farmakologik

Selain tatalaksana farmakologik diperlukan pula penatalaksanaan non

farmakologi seperti pencegahan terhadap alergen, pengendalian lingkungan, dan

hidrasi yang cukup.8,10 Pada penyakit yang hanya timbul akibat adanya pajanan

alergen maka faktor pencegahan terhadap alergen merupakan hal yang harus

dilakukan misalnya pencegahan terhadap asap rokok, tungau debu rumah, atau

makanan tertentu yang menyebabkan alergi. Selain itu pengaturan lingkungan

seperti kebersihan lingkungan dan pengaturan suhu serta kelembaban

merupakan hal yang perlu diperhatikan. 7,9 Dengan suasana lingkungan yang

baik maka tatalaksana batuk kronik menjadi lebih baik. Hidrasi yang cukup

dapat berperan sebagai faktor yang memudahkan terjadinya pengeluaran sekret

lebih baik. Dengan hidrasi yang cukup dapat mengubah ketebalan lapisan sol

dan menurunkan viskositas lapisan gel serta menurunkan kelengketan lapisan

gel sehingga proses pengeluaran sekret menjadi lebih mudah.8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan

Pada bahasan referat ini penulis membatasi pembahasan pada Batuk Kronik

Berulang secara garis besar dan asma bronkial pada anak.

2.2 Pengertian

Pada diskusi Kelompok Pulmonologi Anak dalam Kongres Nasional

Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) V tahun 1981 di Medan telah disepakati

Page 7: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

bahwa BKB adalah keadaan klinis oleh berbagai penyebab dengan gejala batuk

yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan / atau batuk yang berulang

sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut, dengan atau tanpa disertai gejala

respiratorik atau non-respiratorik lainnya5.

Penyebab batuk tersering pada anak yang dihadapi dalam praktek sehari

– hari adalah infeksi respiratorik akut (IRA) yang sebagian besar penyebabnya

adalah virus4. Sebagian IRA karena virus tertentu dapat menyebabkan batuk

yang berkepanjangan yang disebut post infectious cough. Bila seorang anak

mengalami keadaan ini berulang-ulang akan terlihat sebagai batuk kronik.

Terdapat kesulitan dalam membedakan kedua hal tersebut, maka dalam

bidang Ilmu Kesehatan Anak dikenal istilah batuk kronik berulang (BKB) atau

chronic recurrent cough. Sebenarnya istilah itu terdiri dari dua pengertian

dengan kata penghubung dan/ atau, yaitu tepatnya batuk kronik dan atau batuk

berulang. Pengertiannya bila terpenuhi salah satu saja maka sudah bisa

dimasukkan sebagai Batuk Kronik Berulang.

2.3 Patofisiologi Batuk

Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini

berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di

luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di

laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang

pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor di dapat di

laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga

ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial, dan

diafragma.6

Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang

mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga

rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus

trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus,

menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang

dari perikardium dan diafragma.4

Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di

medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh

Page 8: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan

lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain – lain

menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot – otot laring, trakea, bronkus,

diafragma, otot – otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah efektor inilah tempat

mekanisme batuk terjadi.4

Gambar 1. Reseptor batuk.

Diunduh dari : http://www.asthma.partners.org/Images/CoughReceptors.gif

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :7

1. Fase iritasi

Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus

besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat

menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring

dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.

2. Fase inspirasi

Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot

abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,

Page 9: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam

paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks,

perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar

mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru

dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase

ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara

yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang

potensial. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya,

berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional.

Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50%

dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama

dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan

memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang

lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan

memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan

lebih mudah.

3. Fase kompresi

Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor

kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik.Pada fase ini tekanan

intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif.

Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka .Batuk

dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu

meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.

4. Fase ekspirasi/ekspulsi

Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot

ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan

kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan

bahan – bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang

bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan

disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi

akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.

Page 10: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Gambar 2. Fase batuk

Diunduh dari :

http://healthy-lifestyle.most-effective-solution.com/wp-content/uploads/2010/09/

human-anatomy-lungs.jpg

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan kondisi klinis anak Batuk Kronik Berulang (BKB) dibagi menjadi,

Kelompok I

Anak Relatif Tampak Sehat

Kelompok II

Penyakit Dasar Nyata

Bronkitis

Infeksi

(Virus / bakteri)Tuberkulosis

Alergi (Asma) Penyakit Paru

Supuratif Kronik

Aspirasi Paru

Berulang

Kimiawi

(Aspirasi susu /

isi lambung,

Inhalasi asap

rokok)

Benda Asing

Batuk post infeksi saluran nafas Bronkiektasis

Pertusis Defisiensi imun

Page 11: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Asma Atelektasis

Refleks Gastro-EsofagusDiskinesia Silia

Primer

Psikogen

Lesi Fokal

Respiratorik

Benda asing

Post Nasal Drip (PND) Trakeobronkomalasia

Tuberkulosis

(Kompresi oleh

kelenjar getah bening

di mediastinum atau

paru)

Tumor

Kista atau

hemangioma dari

laring atau trakea

Stenosis

Tabel 1. Klasifikasi Batuk Kronik Berulang pada Anak

Wahab dan Utomo mengungkapkan bahwa untuk Indonesia apabila seorang

dokter berhadapan dengan pasien anak yang memperlihatkan gejala batuk yang cukup

lama berulang dengan pengobatan atau menetap, maka sebaiknya dipikirkan

kemungkinan 3 hal, yaitu batuk karena Tb primer, batuk karena alergi (asma bronkial)

dan batuk karena kelainan jantung bawaan5.

TERAPI

Penatalaksanaan Batuk Kronik Berulang (BKB) terdiri dari kausatif,

simptomatik dan rehabilitatif. Pada BKB dengan diagnose pertusis, TBC, asma,

bronchitis maka pengobatan langsung ditujukan pada kelainan yang di dapat.

Page 12: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Pemberian antibiotika dapat dipertimbangakan sesuai dengan data empirik dan

epidemiologi yang ada dan sesuai pada penegakan diagnosa.

3. Asma Bronkial pada Anak

Pendahuluan

Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan

dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak

baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga

berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi

baik indoor maupun outdoor.8 Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di

Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar

6,5% pada usia sekolah menengah pertama.9

Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an, bronkokonstriksi

merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses

inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya

remodelling.

Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara

mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada

awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan

pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat

antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.10

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada

anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun

Negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup

yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun

outdoor.1,2 Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi

asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan sekitar 6,5% pada usia

sekolah menengah pertama.4 Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal

60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an

berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi

juga disertai adanya remodelling.5,6 Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak

pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk

mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi

bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan

Page 13: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga

harus dapat mencegah terjadinya remodelling. Selain upaya mencari tatalaksana asma

yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu pedoman tatalaksana asma yang bertujuan

sebagai standar penanganan asma, misalnya Global Initiative for Asthma (GINA) dan

Konsensus Internasional. Pedoman di atas belum tentu dapat dipakai secara utuh

mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga dianjurkan

untuk membuat suatu pedoman yang disesuaikan dengan kondisi masingmasing

negara.

Di Indonesia Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi dan Ikatan Dokter

Anak Indonesia (IDAI) telah membuat suatu Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA).

Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan asma

(eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis). Pada

asma episodik sering dan asma persisten, selain penanganan pada saat serangan,

diperlukan obat pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan terhadap

serangan asma.4

Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%

pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara

berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia,

prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun

sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS),

prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah

anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta).

Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding

perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki

lebih banyak menderita asma dibanding wanita.

Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade

terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO

memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan

NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan, laporan

dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia 0-17 tahun

atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada anak akibat

asma jarang.11

Page 14: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Patofisiologi

Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan

hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran

napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda

utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat

memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE)

terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara

dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga.

Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas

menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah

pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah

edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama

ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di

saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran

udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi

kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas

antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah,

kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif

dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.

Bronkokonstriksi

Edema

Hipersekresi mucus

Gambar 1. Patofisiologi Asma

PENCETUS

Alergen (polen, debu, tungau rumah tangga), Bahan iritan (Polusi, asap kendaraan), Aktifitas fisik (Olahraga)

Page 15: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Manifestasi Klinis

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada

anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas dada terasa

berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi

pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik

seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan

atopi pada pasien atau keluaeganya dapat menunjang penegakan diagnosis.

GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma

didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme

kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi

yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya

riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang

patut diduga suatu asma.

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, khususnya

anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid

sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih

definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya

dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih

lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan

(exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang

diagnosis.

Page 16: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Riwayat penyakit Pemeriksaan fisik Uji tuberkulin

Patut diduga asma: - Episodik- Nocturnal - Musiman - Pasca aktivitas

fisik - Riwayat atopi

penderita/keluarga

Tidak jelas asma: - Timbul masa

neonatus - Gagal tumbuh- Infeksi kronik - Muntah / tersedak - Kelainan fokal paru - Kelainan sistem

kardiovaskular

Periksa peak flow meter atu spirometer untuk menilai - Reversibilitas (? > 15%), - Variabilitas(> 15%)

(dianjurkan pada anak usia > 5 tahun)

Pertimbangkan pemeriksaan: - Foto roentgen toraks dan

water’s - Uji faal paru - Respons terhadap

bronkodilator - Uji provokasi bronkus - Uji keringat - Uji imunologis - Pemeriksaan motilitas silia - Pemeriksaan refluks GE

Berikan bronkodilator Tidak Berhasil

Berhasil

Diagnosis Kerja: Asma Tidak Mendukung diagnosis lain Mendukung diagnosis lain

Diagnosis dan tatalaksana penyakit lain

Bukan AsmaPertimbangkan Asma disertai penyakit lain

Berikan obat anti asma;Bila tidak berhasil nilai ulang diagnosis dan ketaatan berobat

Page 17: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Gambar 2. Alur Diagnosis Asma Pada Anak

Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap

pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaandiagnostik

lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan diagnosis

lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah

penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat,

cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek

tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu dipikirkan kemungkinan

diagnosis bukan asma.4

Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala

respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan

fokal paru dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan

adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga

perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji

defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.

Klasifikasi

Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana

lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda klinis,

uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.menjadi 4 klasifikasi yaitu asma

intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.

Tabel 3. Klasifikasi Serangan Asma Berdasarkan GINA

Gejala/hari Gejala/bulanPEF atau FEV1

PEF variability

Derajat 1

(Intermiten)

< 1 kali perminggu

Asimtomatik dan

nilai PEF normal

diantara serangan

< 2 kali sebulan > 80%

< 20%

Derajat 2

(Persisten Ringan)

> 1 kali perminggu

tapi < 1 kali perhari

Serangan dapat

> 2 kali sebulan > 80%

20-30%

Page 18: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

mengganggu

aktifitas

Derajat 3

(Persisten Jarang)

Sehari sekali

Serangan

mengganggu

aktivitas

> 1 kali seminggu 60%-80%

> 30%

Derajat 4

(Persisten Berat)

Terus menerus

sepanjang hari

Aktifitas fisik

terbatas

Sering < 60%

> 30%

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu

asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini tabel

klasifikasi asma berdasarkan PNAA:

Tabel 4. Klasifikasi Asma berdasarkan PNAA

Page 19: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Tabel 5. Penilaian Derajat Serangan Asma

Parameter

klinis, Fungsi

paru,

laboratorium

Ringan Sedang BeratAncaman Henti

Nafas

Sesak timbul

pada saat

(breathless)

Berjalan

Bayi:

Menangis

keras

Berbicara

Bayi:

- Tangis pendek

dan lemah

- Kesulitan

makan/minum

Istirahat

Bayi: Tidak

mau

makan/minum

Bicara Kalimat Penggal

kalimat

Kata-kata

Page 20: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Posisi Bisa berbaring Lebih suka

duduk

Duduk

bertopang

lengan

Kesadaran Mungkin

iritable

Biasanya

iritable

Biasanya

iritable

Bingung dan

mengantuk

Mengi

(wheezing)

Sedang, sering

hanya pada

akhir ekspirasi

Nyaring,

sepanjang

ekspirasi,

+ inspirasi

Sangat nyaring,

terdengar tanpa

stetoskop

Sulit/tidak

terdengar

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata / jelas

Sesak nafas Minimal Sedang Berat

Obat bantu

nafas

Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan

paradoks

torako-

abdominal

Retraksi Dangkal,

retraksi

interkostal

Sedang,

ditambah

retraksi

suprasternal

Dalam,

ditambah nafas

cuping hidung

Dangkal/hilang

Laju nafas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun

Tabel 6. Sistem Skoring Pernafasan

0 1 2

Sianosis - +, pada udara kamar +, pada 40% O2

Aktifitas otot-otot

pernafasan

tambahan

- Sedang Nyata

Pertukaran udara Baik Sedang Jelek

Keadaan mental Normal Depresi/gelisah Koma

Pulsus paradoksus

(Torr)

< 10 10-40 > 40

PaO2 70-100 < pada suhu kamar < pada 40% O2

PaCO2 < 40 40-65 >65

Page 21: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Skor:

0-4 : tidak ada bahaya

5-6 : akan terjadi gagal nafas siapkan Unit Gawat Darurat

> 7 : Gagal nafas

Diagnosis Banding

Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak

- Rinosinusitis

- Refluks gastroesofageal

- Infeksi respiratorik bawah viral berulang

- bronkiolitis

- Displasia bronkopulmoner

- Tuberkulosis

- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik

- Intratorakal

- Aspirasi benda asing

- Sindrom diskinesia silier primerDefisiensi imun

- Penyakit jantung bawaan

Penatalaksanaan

1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga

Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada

pasien dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi

dan penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai,

ketaatan dan pemantauan, dan yang paling utama adalah menguasai cara

penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya diberikan secara

individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis dan

informasi sederhana tentang macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara

menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian

perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi

kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar.

Page 22: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat

diberikan pada pasien dan keluarganya:

- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh

- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi

paparan terhadap faktor pencetus

- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller

- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan

keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna

mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan

penderita dan dokter menyesuaikan rencana pengelolaan asma guna mencapai

pengendalian asma jangka panjang dengan efek samping minimal.

Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu

penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:

- penggunaan obat-obatan dengan benar

- pemantauan gejala, aktivitas dan PEF

- mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana yang

sudah diprogramkan;

- segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif

dengan dokter yang memeriksa;- menjalankan strategi pengendalian

lingkungan guna mengurangi paparan alergen dan iritan;Edukasi yang baik

memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan keluarganya) sehingga

penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan mandiri (self

management) untuk berperan-serta aktif.

Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat

meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu mengelola diri secara mandiri,

mengurangi hari absensi sekolah, mengurangi kunjungan ke UGD dan

berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga sangat penting

program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan asma pada anak

2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma

Kriteria asma terkontrol

- Tidak ada gejala asma atau minimal

- Tidak ada gejala asma malam

Page 23: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

- Tidak ada keterbatasan aktivitas

- Nilai APE/VEP1 normal

- Penggunaan obat pelega napas minimal

- Tidak ada kunjungan ke UGD

Klasifikasi

-  Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi

-  Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol

-  Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah

3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko

Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran

yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang

menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang

berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi.

Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan

terhadap saluran respiratorik.

4. Tatalaksana asma jangka panjang

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin

tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci

tujuan yang ingin dicapai adalah17:

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan

berolahraga.

2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,

terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Asma Episodik Jarang

Page 24: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever)

seperti β2-agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan

asma biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat

inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit

untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak

yang sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik

penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.17 Bila

obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral.

Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam

tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di

Indonesia obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin

dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.18 Di samping itu

penggunaan β-agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan

efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi

dosisnya serta dikombinasikan dengan teofilin.

Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak

tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk

asma episodik ringan.18 Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu

memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya

pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu

steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.17 Jika dengan pemakaian

β2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-

aktivitas fisik) atau serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan

yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak

menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma

episodik sering.

Asma Episodik Sering

Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu

Page 25: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

(tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat

terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai

pengendali sudah terindikasi.16,18

Tahap pertama obat pengendali pada asma

episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid

hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga

digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan

100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia

kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari

flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan

beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara

flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka

panjang.16,17,18

Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat

pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek

terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu

waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah

pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak

menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau

aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan

dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam

tatalaksana Asma Persisten.

Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun

responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya

berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali

dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down).

Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya. 16,17,18Sebelum

melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara

penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti

rintis dan sinusitis dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara

optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.18

Page 26: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Asma Persisten

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu

dengan menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan

budenoside 200- 400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak

berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari

flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan

alternatif pengganti dengan menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah

dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow

Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.)

Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat

gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat

meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian

>400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang

dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak

berusia di atas 12 tahun atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA,

atau TSR, atau ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak

dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala

asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya.16,17,18

Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap

tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi

penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan

terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah

dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar

daripada bahaya efek samping obat.19 Untuk steroid oral sebagai dosis awal

dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis

terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara

sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.18

Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya

peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi.

Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada

rekomendasi. Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya

ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak

dengan asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini

Page 27: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak

lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.17Apabila dengan

pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan

klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi

bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya.

Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.18

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena

perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan

anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai

alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar

dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan

dengan usia.

Tabel 7. Anjuran Pemakaian Inhalasi disesuaikan dengan Usia

Usia Alat inhalasi

< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler

2-4 tahunNebuliser, Aerochamber, Babyhaler Alat hirupan (MDI) dengan

perenggang (spacer)

5-8 tahunNebuliser MDI dengan spacer Alat hirupan bubuk (Spinhaler,

Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)

> 8 tahun Nebuliser MDI (metered dose inhaler) Alat hirupan bubuk Autohaler

5. Pengobatan eksaserbasi akut

Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala

asma secara progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap

faktor pencetus, sedangkan serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan

kegagalan pengobatan jangka panjang.

Menurut buku Pedoman Nasional Asma Anak UKK Pulmonologi IDAI

2002, penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi serangan

Page 28: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

dan kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang, dan berat. Selain klasifikasi

derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat

serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan

antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan asma

(aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat mengalami

serangan ringan saja.

Sebaliknya seorang penderita asma ringan (episodik/jarang) dapat

mengalami serangan asma berat, atau bahkan serangan ancaman henti nafas

yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan bergantung pada

beratnya derajat serangan asma.

Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan

penyempitan jalan nafas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia,

mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan

tatalaksana mencegah kekambuhan.

Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis

atau teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena

onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan

beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa

spacer atau nebulizer.

Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan

terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.

2. Tatalaksana di ruang emergency

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat

serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara

nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi.

Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit.

Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana

awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat

serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan

dengan cepat dan jelas.

Page 29: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Berikut ini pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:

1. Serangan Asma ringan

Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat

menunjukkan respon yang baik. Pasien dengan derajat serangan asma ringan

diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat dipulangkan dan

jika setelah observasi selama 2jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan

sebagai serangan asma derajat sedang. Sebelum pulang pasien dibekali obat ß2-

agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus

serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek

selama 3-5 hari.

Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu

24 – 48 jam untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien

sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang

yang dilakukan di klinik rawat jalan

2. Serangan Asma sedang

Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga

kali pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan pasien

perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum

tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien yanga akan

diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di

unit gawat darurat (UGD). Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid

sistemik oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.

3. Serangan Asma berat

Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien

tidak menunjukkan respon yait gejala dan tanda serangan masih ada. Pada

keadaan ini pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan

ancaman henti napas pasien harus langsung dirawat diruang intensif. Pasien

diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan nebulisasi,

dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan

asidosis, diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap

asidosis dan pada pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto

toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan

pneumomediastinum.

Page 30: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

Pada ancaman henti napas hipoksemia tetp terjadi wlupun sudah diberi

oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45 mmHg). Pada ancaman

henti napas diperlukan ventilsi mekanik. Nebulisasi dengan β-

agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6

kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar

menjadi 4-6 jam.

Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per

bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan

sebagai berikut:

Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis

awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dlam dekstros 5% atau gram fisiologis

sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-30 menit.Jika pasien telah mendapat

aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis yng diberikan adalah setengah

dari dosis inisial.

Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-

20μ/ml.Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1

mg/kgBB/jam.

Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan

pemberian aminofilin dan kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil

pasien dapat dipulangkan dengan dibekali β2-agonis (hirupan atau oral) yang

diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga

pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang

tatalaksana.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chung KF. The clinical and pathophysiological chal- 69 lenge of cough. Dalam:

Chung KF, Widdicombe J, Boushey H, Penyunting. Cough. Massachusetts: Blackwell

Publishing, 2003. h. 3-10.

Page 31: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

6. Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Penyunting

Respiratory illness in chil- dren. Oxford: Blackwell S Publications 1994.

7. Chang AB. Causes, assessement and measurement of cough in children. Dalam:

Chung KF, Widdicombe J, Boushey H. Penyunting. Cough. Massachusetts:

Blackwell Publishing, 2003. h. 57-73.

8. McCool F D. Global Physiology and Pathophysiology of Cough. CHEST

January 2006 vol. 129 no. 1 suppl 48S-53S

9. Wahab AS, Utomo. Batuk kronik pada anak. MDK 6(11), 1987, 640.

10. Chung K F, Pavord ID (April 2008). Prevalence, pathogenesis, and causes of

chronic cough. Lancet 371 (9621): 1364–74.

11. Chung K F, Pavord ID (April 2008). Prevalence, pathogenesis, and causes of

chronic cough. Lancet 371 (9621): 1364–74.

12. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention

asthma in children. 2005

13. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah

Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI

14. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan

Anak FKUI-RSCM, Jakarta.

15. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR

16. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention

asthma in children. 2005

17. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan

Anak FKUI-RSCM, Jakarta

18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1023/Menkes/SK/XI 2008

Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma Menteri Kesehatan Republik

Indonesia

19. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR

1. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah

Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI

2.

3. .

4. Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI.

5. Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006

6.

Page 32: Batuk Kronik Berulang Pada Anak

7. Sidhartani, M. Peran edukasi pada penatalaksanaan asma pada anak. FK UNDIP

8. Nelson. Textbook of Pediatrics.

9.

Ini daftar isi ku man

4. Widdicombe J. A brief overview of the mechanism of cough. Dalam: Chung KF,

Widdicombe J, Broushey H, penyunting. Cough: causes, mechanism, and therapy.

Massachusetts:Blackwell, 2003.h.17-23.

5. Wubel C, Faro A. Chronic cough in children. Pediat care rev. 2003;3:5-10.

7. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman nasional asma anak. Jakarta: UKK

Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004.

8. Irwin RS, Medison JM. The diagnosis and treatment of cough. N Engl J Med.

2000;343:1715-21.

10. de Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax. 2003;58:998-1003.

11. Ahmad N, Zacharek MA. Allergic rhinitis and rhinosinusitis. Otolaryngol Clin N

Am. 2008;41:267-81.

9. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/ WHO Workshop

Report 2006.

14. Camargo CA, Rachelefsky G, Schatz M. Managing asthma exacerbations in the

emergency department: Summary of the National Asthma Education and Prevention

Program expert panel report 3 guidelines for the management of asthma exacerbations.

J Allergy Clin Immunol. 2009;124:S5-14.

15. Macias CG, Patel B. Quality improvement in pediatric emergency department

asthma care. Clin Ped Emerg Med. 2009;10:103-6.