24
BAB I PENDAHULUAN Pada tahun 1550, Fallopius menemukan bahwa terdapat sebuah lumen sempit di tulang temporal dimana didalamnya terdapat bagian dari perjalanan Nervus VII. Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang menelitit tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis, pada tahun 1828 berhasil menemukan perbedaan antara Nervus V dan Nervus VII, ia menyadari bahwa Nervus VII merupakan Nervus yang berperan besar dalam fungsi motorik wajah dan Nervus V berperan dalam sensibilitas wajah. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk mendiagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. Saraf fasialis (N VII) mengandung sekitar 10000 serabut saraf yang terdiri dari 7000 serabut saraf motorik untuk otot- otot wajah dan 3000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisi serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar paroti. Submandibula, sublingual, dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu: Segmen spuranuklear Segmen batang otak Segmen meatal Segmen labirin Segmen timpani Segmen mastoid Bell’s Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 1

bells palsy

Embed Size (px)

DESCRIPTION

general medicine

Citation preview

Page 1: bells palsy

BAB I

PENDAHULUAN

Pada tahun 1550, Fallopius menemukan bahwa terdapat sebuah lumen sempit di

tulang temporal dimana didalamnya terdapat bagian dari perjalanan Nervus VII. Sir Charles

Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang menelitit tentang sindroma kelumpuhan saraf

fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis, pada tahun 1828

berhasil menemukan perbedaan antara Nervus V dan Nervus VII, ia menyadari bahwa

Nervus VII merupakan Nervus yang berperan besar dalam fungsi motorik wajah dan Nervus

V berperan dalam sensibilitas wajah. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk mendiagnosis

setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.

Saraf fasialis (N VII) mengandung sekitar 10000 serabut saraf yang terdiri dari 7000

serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3000 serabut saraf lainnya membentuk saraf

intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisi serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior

lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar paroti. Submandibula, sublingual, dan lakrimal.

Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu:

Segmen spuranuklear

Segmen batang otak

Segmen meatal

Segmen labirin

Segmen timpani

Segmen mastoid

Segmen ekstra temporal

Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan nervus fasialis perifer menyebabkan

kelemahan dari otot pada salah satu sisi wajah, sehingga menyebabkan wajah ‘jatuh‘.

Kelumpuhan pada nervus dapat pula mempengaruhi indera perasa, produksi air mata, dan

saliva.. Kelumpuhan nervus fasialis diakibatkan proses nonsupuratif, non-neoplastik primer

namun sangat mungkin akibat edema pada bagian – bagian nervus fasialis di foramen

stylomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen lima persen dari seluruh lesi nervus

fasialis termasuk dalam kelompok ini. Bell‘s Palsy atau yang lebih sering disebut dengan

Idiopathic Facial Paralysis (IFP) ini adalah suatu paralisis Lower Motor Neuron yang bersifat

akut, perifer, unilateral, yang pada 80-90% kasus dapat hilang sendiri seiring berjalannya

waktu.

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 1

Page 2: bells palsy

Bell‘s Palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering menyerang

nervus kranialis dan penyebab kelumpuhan fasial yang paling sering di seluruh dunia,

merupakan bentuk paling sering dari kelumpuhan saraf wajah. Insiden Bell’s palsy

dilaporkan sekitar 40-70 % dari semua kelumpuhan saraf fsialis perifer akut. Kasus ini terjadi

pada sekitar 10-30 dari 100.000 orang per tahun. Insiden meningkat pada usia di atas 65

tahun, orang dengan diabetes melitus, atau pada wanita hamil. Sekitar 8-10 % kasus

berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit seperti ini.Sebenarnya tidak

ada hubungan antara bell’s palsy dengan stroke dan TIA, namun kelemahan yang terjadi pada

salah satu sisi wajah harus diperiksa secepatnya.

Sebenarnya tidak ada hubungan antara bell’s palsy dengan stroke dan TIA, namun

kelemahan yang terjadi pada salah satu sisi wajah harus diperiksa secepatnya.

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 2

Page 3: bells palsy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI

Nervus facialis bersifat somatomotorik, viseromotorik dan somatosensorik.Serat-

serat Upper Motor Neuron (UMN) dari N. fasialis (N. VII) berasal dari korteks serebrum

hingga nucleus N. fasialis. Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus

presentralis, serat-serat ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsula interna  (sebagai

traktus pontis) ke basis pedunkuli dan berakhir pada N.VII kontralateral. Komponen dari

N.VII yang menginervasi bagian atas wajah berasal dari korteks kedua sisi, sedangkan bagian

bawah wajah berasal dari korteks yang kontra lateral saja. Daerah motorik kedua, terletak di

lobus temporalis.

Serat-serat Lower Motor Neuron ( LMN ) berasal dari nucleus N,.VII ke bawah. Serabut

N.fasialis meningggalkan batang otak bersama N. Oktavus dan N. Intermedius masuk ke

dalam Os petrosum melalui meatus akustikus internus, sampai di kavum timpani bergabung

dengan ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari

ganglion ini N. VII bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum. Yang

menghantarkan impuls sekretomorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis. N.

fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoidium memberikan cabang untuk

mempersarafi otot-otot wajah mulai dari M.frontalis sampai M. platisma. Serabut-serabut

yang berkaitan degnan penutupan mata dan gerakan-gerakan volunteer wajah berasal dari 1/3

bagian bawah dari girus presentralis.

Nervus Facialis

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 3

Page 4: bells palsy

Perjalanan Nervus Facialis

Ganglion geniculatum

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 4

Page 5: bells palsy

ETIOLOGI

Penyebab Bell’s Palsy tidak jelas. Pada masa yang lalu, paparan dingin terhadap

wajah, seperti angin dingin, terkena AC terus menerus, dianggap sebagai satu-satunya

penyebab Bell‘s Palsy. Pada tahun 1972, McCormick yang pertama kali menyinggung bahwa

HSV (Herpes Simplex Virus) bertanggung jawab dalam menyebabkan Kelumpuhan Fasial

Idiopatik. Penemuan ini berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikel-vesikel,

kemudian menetap dan bersifat laten di ganglion geniculatum. Sejak saat itu, sering dilaukan

autopsi pada pasien Bell‘s Palsy dan hasilnya mengarah kepada terdapatnya HSV di Ganglion

geniculatum pada pasien Bell‘s Palsy. Diduga virus ini berjalan melalui akson sensoris dan

menetap di sel Ganglion. Sehingga pada saat stres, virusnya akan mengalami reaktivasi dan

merusak selubung mielin. Inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum menyebabkan

kompresi, iskemia, demielinasi saraf, merupakan salah satu penyebab Bell‘s palsy. Selain itu

penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan Bell Palsy antara lain :

- Infeksi pada telinga bagian tengah

- Fraktur

- Penyakit Autoimun

- Meningitis

- Penyakit Mikrovaskular

- Peradangan

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi pasti dari Bell palsy masih diperdebatkan. Bagian dari nervus facialis

yang melalui sebagian dari tulang temporal sering disebut sebagai kanalis facialis. Terdapat

teori yang menyatakan bahwa edema dan iskemi sehingga menyebabkan kompresi nervus

facialis dalam kanalis facialis ini . Penyebab edema dan iskemia belum diketahui.

Bagian pertama dari kanalis facialis, segmen labirin merupakan bagian yang paling

sempit dengan diameter hanya sekitar 0,66 mm . Diperkrakan, ini adalah lokasi yang paling

sering terjadi kompresi nervus facialis yang mengakibatkan Bell’s palsy Krena tempat yang

sempit dari kanalis facialis, sangat mungkin terjadi inflamasi , demielinasi , iskemik , atau

proses kompresi sehingga mengganggu konduksi saraf di situs ini .

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 5

Page 6: bells palsy

Cedera pada nervus facialis pada Bell’s palsy terjadi di sekitar nucleus saraf . Cedera

ini diperkirakan terjadi di dekat, atau pada ganglion geniculate. Jika lesi berada di proksimal

ganglion geniculate, terjadi kelumpuhan motorik disertai dengan gustatory dan kelainan

otonom . Lesi di antara ganglion geniculate dan chorda tympani juga menghasilkan efek yang

sama , Jika lesi pada foramen stylomastoid , dapat menyebabkan kelumpuhan wajah saja.

GEJALA

Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang

secara tiba-tiba, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hariPasien juga mengeluhkan

nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan

sensorik; juga dapat disertai hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi, dan

berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial maupun

komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1-7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.

Berdasarkan letak lesi,

manifestasi klinis Bell’s palsy

dapat berbeda. Bila lesi di

foramen stylomastoid, dapat

terjadi gangguan komplit yang

menyebabkan paralisis semua

otot ekspresi wajah. Saat

menutup kelopak mata, kedua

mata melakukan rotasi ke atas

(Bell’s phenomenon). Selain itu,

mata dapat terasa berair karena

aliran air mata ke sakus

lakrimalis yang dibantu

muskulus orbikularis okuli terganggu.

Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi

dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis

fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum)

akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan

menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 6

Page 7: bells palsy

yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap

suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan

berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.

Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut Chasid (1990) dan Djamil (2000) adalah:

a)      Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai berikut: mulu

tertarik ke sisi mulut yang sehatm, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam

pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup,

atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

b)      Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama seperti

penjelasan pada poin di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3

bagian anterior dan salvias di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah

menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara

pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.

c)      Lesis yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda dan

gejala seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya hiperakusis

(pendengaran yang sangat tajam)

d)     Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga poin

diatasm disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telingan dan di belakang telinga.

e)      Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada ganglion

genikuli, hanya saja disertai dengan tumbulnya tuli sebagi akibat terlibatnya nervus

vestibulocochlearis.

f)       Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala sama seperti di atas

disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus

vestibulocochlearis, nervus accessories dan nervus hypoglossus.

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral

atau perifer. Kelumpuhan santral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi

masih dapat berkontraksi karena dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral;

Sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 7

Page 8: bells palsy

FASE PENYAKIT

Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap etiologi, derajat, sisi lesi, dan

progresivitas inflamasi saraf fasialis, Bell’s palsy dibedakan dalam 3 fase, yaitu:

Fase akut (0-3 minggu)

Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya akibat

infeksi virus herpes simpleks. Inflamasi dapat meluas ke bagian proksimal dan

distal serta dapat menyebabkan edema saraf

Fase sub-akut (4-9 minggu)

Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang

Fase kronik (>10 minggu)

Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi

berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan

fibrosis saraf

DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan

perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi

yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor

apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian

tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis

atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,

atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.

Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan

mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan

suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak

vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan

titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis

bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa

gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor

serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor

kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus\ mandibula); dan sarcoidosis saat

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 8

Page 9: bells palsy

ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema

nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Fisik

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk

menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun

pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan

ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien

diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.

Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara

akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis (reflek

stapedius). Pemeriksaan produksi air mata (tes schirmer). Pemeriksaan gustometri

(pengecapan).

Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat

sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik

dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan

dahi pada sisi yang lumpuh.

Untuk menentukan derajat kelumpuhan Bell’s palsy, umumnya digunakan 2 sistem

grading, yaitu House-Brackmann Score dan  Yanagihara grading system (Y-system)

Grade HBS Y-system

Normal, fungsi pada semua area simetris I 40

Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata dengan

penuh dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada senyuman dengan

usaha maksimal, sedikit sinkinesis, tidak ada kontraktur atau spasme

II 32-38

Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan wajah

secara statis, tidak mampu mengangkat alis, penutupan mata yang

penuh dan kuat, gerakan mulut yang tidak simetris pada usaha

maksimal, selain itu terdapat sinkinesis, mass movement atau spasme

(walaupun tidak terlihat saat statis/ menyebabkan disfigurasi)

III 24-30

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 9

Page 10: bells palsy

Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi,

ketidakmampuan menggangkat alis, penutupan mata yang tidak

penuh dan asimetri mulut dengan usaha maksimal, sinkinesis yang

parah, mass movement, dan spasme

IV 16-22

Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan mata yang

tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut, sinkinesis, kontraktur,

namun spasme umumnya tidak didapati.

V 8-14

Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun spasme VI 0-6

Pemeriksaan Penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu

dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk

menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).

Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang

temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI

dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.

Pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik

dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut

setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-

value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo

Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada

pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan

blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu

kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2

hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 10

Page 11: bells palsy

PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalkasanaan Bell’s palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan,

mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka

penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur, serta mencegah

kelainan pada mata. Pengobatan harus dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah

pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini.

Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan

farmakologis seperti dijelaskan di bawah ini.

Terapi Non-farmakologis

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat

dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca

mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian

lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara

halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat

bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini

kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.4,5 Rehabilitasi fasial secara

komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi

pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan

pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi

edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di

rumah.

Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit,

yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi. Kategori inisiasi ditujukan

pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai

gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai

latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan

menghindari gerakan wajah berlebih. Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien

dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan

tidak terdapat sinkinesis.

Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih

agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 11

Page 12: bells palsy

gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan

wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per

hari.

Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan

simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan

terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot

wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi,

namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan

disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.

Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan

seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan

berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular

di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar

visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.

Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.

Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien

dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk

memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada

keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke

bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila

terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi

secara berurutan pada pasien.

Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam

patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis

permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama

prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi

hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon

(maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari

tappering off.

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 12

Page 13: bells palsy

Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang

(lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,

osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.

Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus

digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan

bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid.

Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan

pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang

hanya diterapi dengan prednisolon. Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan

valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. De Almeida et almenemukan

bahwa kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas

signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung

kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset. Namun, hasil

analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al dengan 1145 pasien menunjukkan

tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal

angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan

penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih

lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui

oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan

dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-

10 hari.

Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)

untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.

Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat

ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

PROGNOSIS

Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik, dapat sembuh tanpa deformitas,

terutama pada anak-anak. Penyembuhan komplit dapat tercapai pada 85% kasus,

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 13

Page 14: bells palsy

penyembuhan dengan asimetri otot wajah ringan 10% dan 5% penyembuhan dengan gejala

sisa berat

Deformitas pada Bell’s palsy dapat berupa:

Regenerasi motorik inkomplit

Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat

terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi

wajah. Regenerasi saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan

semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa

inkompetensi oral, epifora, dan hidung tersumbat.

Regenerasi sensorik inkomplit

Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia, atau disesthesia

Regenerasi Aberrant

Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf

yang tidak menyambung pada jalurnya, tapi menyambung dengan serabut

saraf yang ada di dekatnya, sehinga terjadi gerakan involunter yang mengikuti

gerakan volunter (sinkinesis)

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 14

Page 15: bells palsy

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Hartwig MS. Patofisiologi Ed. 6: Evaluasi Pasien Neurologik. Ed: Price S, Wilson L. Jakarta: ECG. 2006.

2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010

3. http://www.webmd.com/brain/tc/bells-palsy-topic-overview ; Diunduh pada 23 Januari 2014 pukul 08.00

4. Japardi I. Nervus Facialis. Bagian Bedah FK USU. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1961/1/bedah-iskandar%20japardi62.pdf pada 24 Januari 2014 pukul 02.00

5. Budiman G. Basic Neuroanatomical Pathway ed. 2. Jakarta; FK UI. 2013.6. Triana W, Munilson J, Edward Y. Diagnosis dan Penatalakssanaan Bell’s Palsy.

Bagiasn THDT Bedah Kepala Leher FK UNAND. Diunduh dari http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=bell's%20palsy%20unand&source=web&cd=3&ved=0CDUQFjAC&url=http://repository.unand.ac.id/17446/1/DIAGNOSIS_DAN_TATALAKSANA_BELLS_PALSY_.pdf&ei=DnbhUurgPIHZigff54GoDw&usg=AFQjCNGMYl_3RYhvVJTQGA4LR5kvygDxKg&bvm=bv.59568121,d.aGc pada 23 Januari 2014 pukul 08.00

7. http://www.springerimages.com/Images/MedicineAndPublicHealth/1- 10.1007_s00405-008-0646-4-3; Diunduh pada 24 Januari 2014 pukul 02.00

| Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 15