Upload
nana-sri-rahayu-wissenschaft
View
36
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
css
Citation preview
BELL’S PALSY
Oleh :
Nadia Oktarina 1210313046
Indah Mutiara Sari 1210313029
Preseptor :
dr. Novialdi, Sp.THT-KL(K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER (THT-KL)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’ s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem
saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan
unilateral dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi
lainnya atau kelainan lokal.1-3
Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis
fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.2 Insidens sindrom ini sekitar 23
kasus per 100 000 orang setiap tahun.1. Insiden meningkat dengan
bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3
Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2
Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,
motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan
sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1, 2
Perjalanan alamiah Bell’ s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell’ s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bell’s palsy oleh dokter pelayanan
primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis
banding yang mungkin didapatkan.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FUNGSI NERVUS FASIALIS
Nervus fasial merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam
tulang, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang
temporal.4 Nervus ini mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari
7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf
lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan
serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik
untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.3
Nervus fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu komponen mototris,
sensoris dan parasimpatis.4 Komponen motoris mensarafi m.stapedius, venter
posterior m.digastriks dan otot wajah, kecuali m.levator palpebra
superior.Komponen sensoris mempersarafi dua pertiga anterior lidah untuk
mengecap, melalui n.korda timpani. Komponen parasimpatis memberikan
persarafan pada glandula lakrimalis, submandibula dan lingualis.4
Nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
intracranial, intratemporal dan ekstrakranial: 5
1. Intrakranial: Awalnya serat motorik membelok disekitar nukleus nervus
VI dan kemudian bergabung dengan serat sensorik (nervus Wrisberg).
Nervus fasial bersamaan dengan nervus vestibulokoklearis dan nervus
abdusen meninggalkan batang otak pada pontomedullary junction.
Kemudia berjalan melalui cerebellopontine angle bersama dengan nervus
vestibulokoklearis memasuki kanal auditori internal.
2. Intratemporal: Bagian dari nervus fasialis mulai dari kanal auditori
internal hingga foramen stilomastoideus, kemudian dibagi menjadi empat
segmen:
a. Segmen meatus: terletak di kanal auditori internal. Foramen meatus
merupakan bagian tersempit dari apertura kanalis fasialis. Panjang
nervus fasial dari batang otak ke kanal auditori internal adalah 23-24
mm.
3
b. Segmen labirin (3-5 mm): bagian ini memanjang dari kanal auditori
internal (foramen meatus) ke ganglion genikulatum. Kanal falopi
pada segmen labirin merupakan daerah paling sempit dan rentan
terhadap kompresi pada Bell’s Palsy.
c. Segmen timpani (8-11 mm): memanjang dari ganglion genikulatum
hingga eminensia piramidalis kemudian ke arah inferior. Segmen
timpani terletak diatas tingkap oval dan di bawah kanalis
semisirkularis.
d. Segmen mastoid atau segmen vertikal (10-14 mm): memanjang dari
piramid ke foramen stilomastoideus.
Gambar 2.1 Nervus fasialis bagian intratemporal. 5
3. Ekstrakranial: nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui foramen
stilomastoideus. Disini saraf menyilang prosessus stiloideus dan
memasuki kelenjar parotis. Bagian ekstrakranial dari foramen
stilomastoideus hingga bagian cabang perifernya terletak di kelenjar
parotis.
4
Cabang nervus fasialis5
1. Nervus Petrosus Superfisial Mayor: Cabang ini keluar dari ganglion
genikulatum dan membawa serat sekretomotor preganglion ke kelenjar
lakrimalis dan kelenjar mukosa hidung.
2. Nervus menuju stapedius: Cabang ini muncul pada genu ke-dua dan
membawa serat motorik ke otot stapedius.
3. Chorda tympani: Muncul dari pertengahan segmen vertikal mastoid dan
melewati incus dan leher maleus. Cabang ini meninggalkan kavum telinga
tengah melalui fisura petrotimpani. Cabang ini membawa serat sekretomotor
parasimpatis preganglion ke kelenjar submandibula dan sublingual serta serat
gustatorik.
4. Communicating branch: bergabung dengan cabang aurikular dari nervus
vagus dan mensarafi konka, lekukan retroaurikula, meatus posterior dan
permukaan luar dari membran timpani.
5. Nervus aurikula posterior: mensarafi otot pinna dan otot occipitofrontalis.
6. Cabang muskular: mensarafi muskulus stilohyoid dan digastrikus.
7. Cabang terminal: setelah nervus fasial menyilang di prosesus stiloideus,
bercabang menjadi dua bagian yaitu temporofasial atas dan servikofasial
bawah. Cabang yang lebih kecil termasuk temporal, zigomatikus, bukal,
madibular, dan servikal. Cabang-cabang ini mensarafi seluruh otot ekspresi
wajah (kecuali otot levator palpebra superior) dan membentuk pes anserinus.
Tabel.1 Cabang terminalnervus fasialis pada otot wajah, glandula parotis dan
metode pemeriksaan5
Cabang Otot wajah yang diinervasi
Geraka wajah
Temporal Frontalis, corrugatorsupercilii, procerus dan orbicularis okuli bagian atas
Mengangkat alis
Zygomaticus Orbikularis okuli bagian bawah
Memejamkan mata dengan kuat
Buccal Zygomaticus mayor dan minor, levator anguli oris, buccinators, rbikularis okuli bagian
Menunjukkan gigi
5
atasRamus mandibularis Orbikularis okuli bagian
bawah, depressor anguli oris, depressor labii inferior, mentalis
Bersiul
Cervical Platisma Kontraksi platisma
Gambar 2.3 Cabang nervus fasialis setelah keluar dari foramen stilomastoideus5
6
Gambar. nervus fasialis: segmen dan fungsi6
Aliran Darah dan daerah yang di suplai oleh Nervus Fasialis5
1. Arteri labirin, cabang dari arteri serebelar inferior anterior: segmen
meatus dalam kanal auditori internal
2. Arteri petrosal, cabang dari arteri meningea media: area perigenikulatum.
3. Arteri stilomastoideus, cabang dari arteri aurikula posterior: segmen
mastoid dan timpani.
ANATOMI OTOT WAJAH
Otot – otot wajah tertanam pada facia superficialis, dan hampir semua
berorigo pada tulag cranium serta berinsersio ke kulit. Lubang – lubang pada
wajah yaitu orbita, cavum nasi, dan cavum oris, dilindungi oleh palpebrae, nares,
7
dan labia oris. Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau dilatator struktur-
struktur tersebut. Fungsi lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah.
Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus facialis.7
Gambar. gambaran anterior dan lateral otot wajah superficial yang berhubungan
dengan ekspresi8
8
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-
otot tersebut secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut m.
frontalis, m. sourcilier, m. piramidalis, m. orbikularis okuli, m. zigomatikus, m.
relever komunis, m. businator, m. orbikularis oris, m. triangularis, m. mentalis.4
Gambar. Ekspresi yang dihasilkan oleh kontraksi otot wajah 8
Otot – otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi.
Sehingga, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus facialis jenis
sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari dua sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari
wajah. Pada cabang saraf yang mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang
berjalan bersama nervus facialis.7
Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis ( lesi
traktus piramidalis atau korteks motorik ) mengakibatkan kelumpuhan pada otot-
otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir
( upper motor neuron ) nervus facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia.
Hal ini dapat dijumpai pada stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan
otot wajah, baik yang volunter, maupun yang involunter lumpuh.7
9
Gambar. pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b)lesi supranuklear9
DEFINISI BELL’S PALSY
Bell’ s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem
saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan
unilateral dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi
lainnya atau kelainan lokal.1-3
EPIDEMIOLOGI BELL’S PALSY
Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis
fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.2 Insidens sindrom ini sekitar 23
kasus per 100 000 orang setiap tahun.1. Insiden meningkat dengan
bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3
10
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO BELL’S PALSY
Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, terdapat lima teori yang
kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’ s palsy, yaitu iskemik vaskular,
virus, bakteri, herediter, dan imunologi.1,2
Kemungkinan mekanisme penyebab Bell’s Palsy: 1,3,5,7
Infeksi virus: teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit
ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di
ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam
minggu setelah mengalami Bell’ s palsy. Murakami et al. menggunakan
teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom
virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling
saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’ s palsy yang dilakukan
dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al.
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan
paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian
ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya
temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat
diadopsi.1. Menurut Holland, HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus
Bell’s palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar 13%
kasus. Herpes zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf
fasialis dalam bentuk Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6%
dalam bentuk Ramsay Hunt Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine
herpete ini diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga kelumpuhan
saraf fasialis yang idiopatik.3
Iskemia vaskular: iskemia primer dapat diinduksi oleh dingin atau stres
emosional. Hal tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler yang
meningkat sehingga menyebabkan eksudasi cairan, edema, dan kompresi
mikrosirkulasi dari saraf tersebut.
Herediter: Sekitar 10% pasien memiliki riwayat keluarga mengalami
Bell’s Palsy. Predisposisi herediter berupa kanal falopi yang sempit dapat
menjadi faktor risiko saraf rentan terhadap edema ringan.
11
Autoimunitas: beberapa studi menemukan adanya perubahan limfosit-T
pada pasien ini.
MANIFESTASI KLINIK BELL’S PALSY
Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari
48 jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2
Gejala awal pada penyakit ini dapat berupa kelumpuhan muskulus
fasialis, tidak mampu menutup mata, nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%),
perubahan pengecapan (57%), hiperakusis (30%), kesemutan pada dagu dan
mulut, epiphora, nyeri ocular, penglihatan kabur.2 Kelumpuhan saraf fasialis
dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari
dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.3
Bila dilihat dari letak lesi, manifestasi klinis Bell’ s palsy dapat berbeda.1
Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang
menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata,
kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat
terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus
orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan
makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan
air liur keluar dari sudut mulut.1 Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan
dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk
semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan
menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama.1 Bila lesi
terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion
genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi sertadapat
melibatkan saraf kedelapan1.
Jika ditinjau darin etiologi, derajat, sisi lesi dan progresivitas inflamasi
saraf fasialis, Bell’s palsy dibedakan dalam 3 fase yaitu :
12
Fase akut (0-3 minggu): Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion
genikulatum, biasanya akibat infeksi virus Herpes Simpleks (HSV).
Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat
menyebabkan edema saraf.
Fase sub akut (4-9 minggu): Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai
berkurang.
Fase kronik (> 10 minggu): Edema pada saraf menghilang, tetapi pada
beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada
sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.
DIAGNOSIS DAN BELL’S PALSY
Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,
motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan
sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1,2
Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan
kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian
bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi
dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer
terjadi pada satu sisi wajah.3 Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai
secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan metode
Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak
lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.3, 4
Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis seharusnya menjalani
pemeriksaan THT yang lengkap seperti pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan
massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari
N.VII dan N.VIII. Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka
dianjurkan pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila
terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan
kelopak mata dalam melindungi kornea.3
13
PEMERIKSAAN NERVUS FASIALIS
Tujuan pemeriksaan fungsi n. fasialis ialah untuk menentukan letak lesi
dan menentukan derajat kelumpuhannya. Derajat kelumpuhan ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen (%).4
1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke
sepuluh otot-otot
a. M. frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas
b. M. sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan
hidung ke atas
d. M. orbikularis okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat
e. M. zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi.
f. M. relever komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke
depan sambil memeperlihatkan gigi
g. M. businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi
h. M. orbikularis oris : diperiksa dengan menyuruh penderita bersiul
i. M. triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke
bawah
j. M. mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang
tertutup rapat ke depan.
Pada tiap gerakan dari ke sepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara
kanan dan kiri.
a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka (3)
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu (1)
c. Diantaranya dinilai dengan angka dua (2)
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol (0)
14
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai 30.
Terdapat sistem grading yang dikembangkan oleh House and Brackmann dengan
skala I sampai VI.2
Tabel.
Grade Karakteristik
Grade I Fungsi fasial normal.Grade II (disfungsi ringan)
Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil. Sinkinesis ringan dapat terjadi. Simetris normal saat istirahat. Gerakan dahi sedikit sampai baik. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan
sedikit usaha. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
Grade III (disfungsi moderat)
Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial
dapat ditemukan. Simetris normal saat istirahat. Gerakan dahi sedikit sampai moderat. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan
usaha. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
Grade IV (disfungsi moderat sampai berat)
Kelemahan dan asimetri jelas terlihat. Simetris normal saat istirahat. Tidak terdapat gerakan dahi. Mata tidak menutup sempurna. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal
Grade V (disfungsi berat)
Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat. Tidak terdapat gerakan pada dahi. Mata menutup tidak sempurna. Gerakan mulut hanya sedikit.
Grade VI (paralisis total)
Asimetris luas. Tidak ada gerakan.
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan
IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang buruk.
Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut sebagai
inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut
dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada rekam medik
pasien saat pertama kali datang memeriksakan diri15
2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
terhadap kesempurnaan mimic/ekspresi muka. Freyss menganggap
penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap
tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne
mengemukakan bahwa tonus yang jelek member gambaran prognosis
yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu
seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan.
Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai
minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.4
3. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu kompliaksi dari paresis fasialis yang sering
kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai
berikut :4
a. Penderita diminta untuk memejamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2).
Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan
sisi normal nilainya dikurang satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot di sekitar mulut.
Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan
tidak simetris.
4. Hemispasme
16
Hemispasme merupakan suatu kompliaksi yang sering dijumpai pada
penyembuhan paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita
diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip-
ngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak gerakan otot-otot
pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat
kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak.
Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1).
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya
berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis fasialis
dibandingkan dengan nilai tersebut, dikalikan dua untuk persentasenya.4
5. Schimmer test atau nasolacrymal reflex : dianggap sebagai pemeriksaan
terbailk untuk mengetahui fungsi serabut-serabut pada simpatis dari
n.fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor
setinggi ganglion genikulatum yang berfungsi dalam proses lakrimasi
pada mata kanan dan kiri.4, munilsin Cara pemeriksaan dengan meletakkan
kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar
konjungtiva selama 3 menit.4, 11 Freys menyatakan bahwa kalau ada beda
kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis. Lesipada
tempat ini dapat menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea
akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.4,3
Gambar. schirmer test10
17
6. Reflex stapedius : Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada
kelumpuhan saraf fasialis. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi
cabang stapedius dari saraf fasialis.3 Untuk menilai reflex stapedius
digunakan elektrokaustik impedans meter, yaitu dengan cara memberikan
rangsang pada m.stapedius.4 pada telinga ipsilateral atau kontralateral
diberikan nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu
gerakan respon suatu gerakan refleks dari otot stapedius, gerakan ini
mengubah tegangan membran timpani dan menyebabkan perubahan
impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada telinga
satunya dengan pendengaran normal, dan refleks tersebut dapat
dibangkitkan, maka disuga saraf ketujuh masih utuh pada titik ini.
hilangnya refleks ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu
kelainan pada bagian aferen nervus fasialis.11 Tes ini merupakan tes yang
paling objektif dari beberapa tes topografi saraf fasialis lainnya. Pada
kasus Bell’s palsy dengan refleks stapedius yang masih normal
menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.3
7. Gustometri : sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n.
korda timpani, salah satu cabang nervus fasialis, pada pemeriksaan fungsi
n. korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan dan
kiri. Dapat digunakam garam dan jus lemon serta gula atau sakarin.11
Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.4
Disamping fungsi pengecapan, khorda timpani juga berperan dalam
fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi duktus Wharton’s dengan
mengukur produksi saliva dalam 5 menit.3 Pemeriksaan uji salvias dapat
dilakukan dengan kanulasi kelenjar submandibularis. Sepotong kecil
tabung polietilen No. 50 diselipkan pada duktus Wharton. Sepotong kapas
yang telah dicelupkan ke dalam jus lemon ditempatkan dalam mulut, dan
pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat
dibandingkan selama satu menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25%
dianggap abnormal, dapat diprediksi khorda timpani tidak berfungsi
baik.3, 11
18
Gambar. Lesi topografik dari nervus fasialis. (A) lesi diatas ganglion
genikulatum merusak serat motorik pada otot wajah dan stapedius,
serat sekretomotor ke kelenjar lakrimal dan submandibular, serta
serat pengecap; (B) Lesi diantara ganglion genikulatum dan saraf
stapedius tidak mengganggu serat sekretomotor kelenjar lakrimal;
(C) Lesi diantara nervus stapedius dan korda timpani tidak
mengganggu fungsi refleks stapedial dan lakrimasi; (D) Lesi
dibawah korda timpani hanya mempengaruhi ekspresi wajah. 5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat 19
dilakukan bila adanya riwayat paralisis rekuren, curiga adanya lesi pada
Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis
media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), metastasis tulang, ada riwayat
trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1
bulan.1, 3
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di
tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi multipel
sklerosis. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan
kontras saraf fasialis.1, 3
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy dapat digunakan sebagai
prediktor kesembuhan. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi
(EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut
setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100% dan
negative-predictive-value (NPV) 96%.1 Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex
didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini
sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu
kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas
gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.1
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi
sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai
kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di
hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai
perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis
multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.1
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis
media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum
20
timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster
otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat
nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi
virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis
bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik
berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli
bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus
kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah
(angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris,
perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang
hiperkalsemia.1
21
Gambar. algoritma diagnosis banding nervus fasialis6
TATALAKSANA BELL’S PALSY
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa
identifikasi dini dan merujuk ke spesialis sara (jika tersedia) apabila terdapat
kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang
menjadi diagnosis banding Bell’ s palsy.1 Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy
adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi
kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan
insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan
seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi
pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bell’s palsy
membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.3
Karena prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatan
masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII
(saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan
untuk pasien dalam 1-4 hari onset. Hal penting yang perlu diperhatikan:2
a. Pengobatan inisial
- Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
pengobatan Bells’ palsy.
- Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi
saraf kranial, jika diberikan pada onset awal. Steroid, terutama
prednisolon 1 mg /kgBB per hari (maksimal 70 mg) yang dimulai dalam
72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil
pengobatan.1 Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau maksimal
40-60 mg/hari selama 6 hari, diikuti empat hari tapering off.1, 2
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,
diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan
terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.1
b. Antiviral: Beberapa penelitian menyatakan bahwa didapatkan hasil yang
lebih baik pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan
22
prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.1 Dosis
pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari.
Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per
hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan
dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)
untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali
selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan
preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah
mual, diare, dan sakit kepala.1,2
c. Lindungi mata
- Perawatan mata: kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar
benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata
buatan (artificial tears) pada siang hari, pelumas (saat tidur), kaca mata,
plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).1, 2
d. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan
menurunkan sequel.2 Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara
halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan
melingkar.1 Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam
empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan
paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh
dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik.
Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,
meditasi relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat
kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu
kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.1
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-
berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang
lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai
latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang
dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
23
Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah
ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan
tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi
jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi
neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan
gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk
membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan
sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri
wajah ringan-sedangsaat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit
gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara
simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya,
dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan
kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan
hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di
depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi
dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan
ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2
kali per hari.
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami
perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu
dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki
kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi
wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit
atau bedah plastik.
e. Terapi pembedahan pada kasus Bell’s palsy masih kontroversi. Terapi
dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang
komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG)
24
menunjukkan penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi
saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada
pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy
sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan
pendekatan transmastoid.3
KOMPLIKASI BELL’S PALSY
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’ s palsy mengalami sekuele
berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat
Bell’ s palsy, adalah:1, 3
(1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan
paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis. Dapat terjadi akibat penekanan
saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang
tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot
wajah. Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora
dan hidung tersumbat.1, 3
(2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau
sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal)1, 3
(3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf
fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang
mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari
sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2)
crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada
saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm),
yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi
pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi
bilateral tidak terjadi bersamaan).1
PROGNOSIS BELL’S PALSY
25
Perjalanan alamiah Bell’ s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell’ s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Prognosis Bell’s palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia
pasien dan derajat kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai
prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik
dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bell’s palsy dengan House-
Brackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada
House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang
permanen.3
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit
(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-
aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’ s
palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus
dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke
prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan
total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan
fungsi pengecapan dalam minggu pertama.1
Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan
prognosis, House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan
untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien
Bell’ s palsy.1
Rekurensi pada kasus Bell’s palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-
anak.3 Terdapat 6% kasus Bell’s palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini
dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen
di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi
yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Rekurensi
meningkat pada pasien dengan riwayat Bell’s palsy dalam keluarga. Umumnya
rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit.3
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Lowis H, Gaharu MN. Bell’s palsy, diagnosis dan tata laksanadi
pelayanan primer. Artikel pengembangan pendidikan keprofesian
berkelanjutan (p2kb). Jakarta: j indon med assoc. 2012:62:1-6
2. Menkes. PermenkesNomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis
bagi Dokter di FaslitasPelayananKesehatan Primer. 2014;319-23.
3. Munilson J, Edward y, Triana W. Diagnosis dan penatalaksanan bell’s
palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. 2011:1-6
4. Sjarifuddib, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan nervus fasialis
perifer. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Jakarta: BadanPenerbitFakultasKedokteranUniveritas Indonesia.
2012:114-117.
5. Bansal M. Disease of Ear Nose and Throat Head and Neck Surgery. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd. 2013:255-67
6. Probst R. Facial nerve. In: Probst R, Grevers G, Iro H, editor. Basic
otorhinolaryngology. New York: Thieme. 2006:289-96
7. Istiqomah DN. Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bells palsy sinistra.
Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta. 2014:1-26.
27
8. Graaff VD. Human Anatomy. McGraw-Hill. 2001:250-2.
9. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s Palsy: Diagnosis and Management.
University of Illinois at Chicago College of Medicine, Chicago, Illinois.
2007:1-6.
10. 10 TR. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition, revised and expanded.
New York: Thieme. 2003:97-99.
11. Maisel RH, Levine SC. Gangguan saraf fasialis. In: Adams LG, Boies
RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 7th Ed. Edisi
Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2012:139-52.
28