44
BELL’S PALSY Oleh : Nadia Oktarina 1210313046 Indah Mutiara Sari 1210313029 Preseptor : dr. Novialdi, Sp.THT-KL(K) BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER (THT-KL) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2016 1

Css Bells Palsy

Embed Size (px)

DESCRIPTION

css

Citation preview

Page 1: Css Bells Palsy

BELL’S PALSY

Oleh :

Nadia Oktarina 1210313046

Indah Mutiara Sari 1210313029

Preseptor :

dr. Novialdi, Sp.THT-KL(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA DAN LEHER (THT-KL)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2016

1

Page 2: Css Bells Palsy

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’ s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor

neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem

saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan

unilateral dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi

lainnya atau kelainan lokal.1-3

Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang

melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis

fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.2 Insidens sindrom ini sekitar 23

kasus per 100 000 orang setiap tahun.1. Insiden meningkat dengan

bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus

berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3

Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48

jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan

pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi

wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,

pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2

Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,

motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan

sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1, 2

Perjalanan alamiah Bell’ s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini

sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien

dengan Bell’ s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus

membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis

persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.

Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bell’s palsy oleh dokter pelayanan

primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis

banding yang mungkin didapatkan.1

2

Page 3: Css Bells Palsy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FUNGSI NERVUS FASIALIS

Nervus fasial merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam

tulang, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang

temporal.4 Nervus ini mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari

7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf

lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan

serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik

untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.3

Nervus fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu komponen mototris,

sensoris dan parasimpatis.4 Komponen motoris mensarafi m.stapedius, venter

posterior m.digastriks dan otot wajah, kecuali m.levator palpebra

superior.Komponen sensoris mempersarafi dua pertiga anterior lidah untuk

mengecap, melalui n.korda timpani. Komponen parasimpatis memberikan

persarafan pada glandula lakrimalis, submandibula dan lingualis.4

Nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian

intracranial, intratemporal dan ekstrakranial: 5

1. Intrakranial: Awalnya serat motorik membelok disekitar nukleus nervus

VI dan kemudian bergabung dengan serat sensorik (nervus Wrisberg).

Nervus fasial bersamaan dengan nervus vestibulokoklearis dan nervus

abdusen meninggalkan batang otak pada pontomedullary junction.

Kemudia berjalan melalui cerebellopontine angle bersama dengan nervus

vestibulokoklearis memasuki kanal auditori internal.

2. Intratemporal: Bagian dari nervus fasialis mulai dari kanal auditori

internal hingga foramen stilomastoideus, kemudian dibagi menjadi empat

segmen:

a. Segmen meatus: terletak di kanal auditori internal. Foramen meatus

merupakan bagian tersempit dari apertura kanalis fasialis. Panjang

nervus fasial dari batang otak ke kanal auditori internal adalah 23-24

mm.

3

Page 4: Css Bells Palsy

b. Segmen labirin (3-5 mm): bagian ini memanjang dari kanal auditori

internal (foramen meatus) ke ganglion genikulatum. Kanal falopi

pada segmen labirin merupakan daerah paling sempit dan rentan

terhadap kompresi pada Bell’s Palsy.

c. Segmen timpani (8-11 mm): memanjang dari ganglion genikulatum

hingga eminensia piramidalis kemudian ke arah inferior. Segmen

timpani terletak diatas tingkap oval dan di bawah kanalis

semisirkularis.

d. Segmen mastoid atau segmen vertikal (10-14 mm): memanjang dari

piramid ke foramen stilomastoideus.

Gambar 2.1 Nervus fasialis bagian intratemporal. 5

3. Ekstrakranial: nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui foramen

stilomastoideus. Disini saraf menyilang prosessus stiloideus dan

memasuki kelenjar parotis. Bagian ekstrakranial dari foramen

stilomastoideus hingga bagian cabang perifernya terletak di kelenjar

parotis.

4

Page 5: Css Bells Palsy

Cabang nervus fasialis5

1. Nervus Petrosus Superfisial Mayor: Cabang ini keluar dari ganglion

genikulatum dan membawa serat sekretomotor preganglion ke kelenjar

lakrimalis dan kelenjar mukosa hidung.

2. Nervus menuju stapedius: Cabang ini muncul pada genu ke-dua dan

membawa serat motorik ke otot stapedius.

3. Chorda tympani: Muncul dari pertengahan segmen vertikal mastoid dan

melewati incus dan leher maleus. Cabang ini meninggalkan kavum telinga

tengah melalui fisura petrotimpani. Cabang ini membawa serat sekretomotor

parasimpatis preganglion ke kelenjar submandibula dan sublingual serta serat

gustatorik.

4. Communicating branch: bergabung dengan cabang aurikular dari nervus

vagus dan mensarafi konka, lekukan retroaurikula, meatus posterior dan

permukaan luar dari membran timpani.

5. Nervus aurikula posterior: mensarafi otot pinna dan otot occipitofrontalis.

6. Cabang muskular: mensarafi muskulus stilohyoid dan digastrikus.

7. Cabang terminal: setelah nervus fasial menyilang di prosesus stiloideus,

bercabang menjadi dua bagian yaitu temporofasial atas dan servikofasial

bawah. Cabang yang lebih kecil termasuk temporal, zigomatikus, bukal,

madibular, dan servikal. Cabang-cabang ini mensarafi seluruh otot ekspresi

wajah (kecuali otot levator palpebra superior) dan membentuk pes anserinus.

Tabel.1 Cabang terminalnervus fasialis pada otot wajah, glandula parotis dan

metode pemeriksaan5

Cabang Otot wajah yang diinervasi

Geraka wajah

Temporal Frontalis, corrugatorsupercilii, procerus dan orbicularis okuli bagian atas

Mengangkat alis

Zygomaticus Orbikularis okuli bagian bawah

Memejamkan mata dengan kuat

Buccal Zygomaticus mayor dan minor, levator anguli oris, buccinators, rbikularis okuli bagian

Menunjukkan gigi

5

Page 6: Css Bells Palsy

atasRamus mandibularis Orbikularis okuli bagian

bawah, depressor anguli oris, depressor labii inferior, mentalis

Bersiul

Cervical Platisma Kontraksi platisma

Gambar 2.3 Cabang nervus fasialis setelah keluar dari foramen stilomastoideus5

6

Page 7: Css Bells Palsy

Gambar. nervus fasialis: segmen dan fungsi6

Aliran Darah dan daerah yang di suplai oleh Nervus Fasialis5

1. Arteri labirin, cabang dari arteri serebelar inferior anterior: segmen

meatus dalam kanal auditori internal

2. Arteri petrosal, cabang dari arteri meningea media: area perigenikulatum.

3. Arteri stilomastoideus, cabang dari arteri aurikula posterior: segmen

mastoid dan timpani.

ANATOMI OTOT WAJAH

Otot – otot wajah tertanam pada facia superficialis, dan hampir semua

berorigo pada tulag cranium serta berinsersio ke kulit. Lubang – lubang pada

wajah yaitu orbita, cavum nasi, dan cavum oris, dilindungi oleh palpebrae, nares,

7

Page 8: Css Bells Palsy

dan labia oris. Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau dilatator struktur-

struktur tersebut. Fungsi lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah.

Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus facialis.7

Gambar. gambaran anterior dan lateral otot wajah superficial yang berhubungan

dengan ekspresi8

8

Page 9: Css Bells Palsy

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk

terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-

otot tersebut secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut m.

frontalis, m. sourcilier, m. piramidalis, m. orbikularis okuli, m. zigomatikus, m.

relever komunis, m. businator, m. orbikularis oris, m. triangularis, m. mentalis.4

Gambar. Ekspresi yang dihasilkan oleh kontraksi otot wajah 8

Otot – otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi.

Sehingga, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus facialis jenis

sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat

persarafan dari dua sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari

wajah. Pada cabang saraf yang mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang

berjalan bersama nervus facialis.7

Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis ( lesi

traktus piramidalis atau korteks motorik ) mengakibatkan kelumpuhan pada otot-

otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir

( upper motor neuron ) nervus facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia.

Hal ini dapat dijumpai pada stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan

otot wajah, baik yang volunter, maupun yang involunter lumpuh.7

9

Page 10: Css Bells Palsy

Gambar. pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b)lesi supranuklear9

DEFINISI BELL’S PALSY

Bell’ s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor

neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem

saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan

unilateral dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi

lainnya atau kelainan lokal.1-3

EPIDEMIOLOGI BELL’S PALSY

Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang

melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis

fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.2 Insidens sindrom ini sekitar 23

kasus per 100 000 orang setiap tahun.1. Insiden meningkat dengan

bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus

berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3

10

Page 11: Css Bells Palsy

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO BELL’S PALSY

Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, terdapat lima teori yang

kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’ s palsy, yaitu iskemik vaskular,

virus, bakteri, herediter, dan imunologi.1,2

Kemungkinan mekanisme penyebab Bell’s Palsy: 1,3,5,7

Infeksi virus: teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit

ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di

ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam

minggu setelah mengalami Bell’ s palsy. Murakami et al. menggunakan

teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom

virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling

saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’ s palsy yang dilakukan

dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al.

menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan

paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian

ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya

temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat

diadopsi.1. Menurut Holland, HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus

Bell’s palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar 13%

kasus. Herpes zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf

fasialis dalam bentuk Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6%

dalam bentuk Ramsay Hunt Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine

herpete ini diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga kelumpuhan

saraf fasialis yang idiopatik.3

Iskemia vaskular: iskemia primer dapat diinduksi oleh dingin atau stres

emosional. Hal tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler yang

meningkat sehingga menyebabkan eksudasi cairan, edema, dan kompresi

mikrosirkulasi dari saraf tersebut.

Herediter: Sekitar 10% pasien memiliki riwayat keluarga mengalami

Bell’s Palsy. Predisposisi herediter berupa kanal falopi yang sempit dapat

menjadi faktor risiko saraf rentan terhadap edema ringan.

11

Page 12: Css Bells Palsy

Autoimunitas: beberapa studi menemukan adanya perubahan limfosit-T

pada pasien ini.

MANIFESTASI KLINIK BELL’S PALSY

Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari

48 jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan

pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi

wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,

pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2

Gejala awal pada penyakit ini dapat berupa kelumpuhan muskulus

fasialis, tidak mampu menutup mata, nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%),

perubahan pengecapan (57%), hiperakusis (30%), kesemutan pada dagu dan

mulut, epiphora, nyeri ocular, penglihatan kabur.2 Kelumpuhan saraf fasialis

dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari

dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.3

Bila dilihat dari letak lesi, manifestasi klinis Bell’ s palsy dapat berbeda.1

Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang

menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata,

kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat

terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus

orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan

makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan

air liur keluar dari sudut mulut.1 Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan

dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk

semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan

menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama.1 Bila lesi

terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis

(sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion

genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi sertadapat

melibatkan saraf kedelapan1.

Jika ditinjau darin etiologi, derajat, sisi lesi dan progresivitas inflamasi

saraf fasialis, Bell’s palsy dibedakan dalam 3 fase yaitu :

12

Page 13: Css Bells Palsy

Fase akut (0-3 minggu): Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion

genikulatum, biasanya akibat infeksi virus Herpes Simpleks (HSV).

Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat

menyebabkan edema saraf.

Fase sub akut (4-9 minggu): Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai

berkurang.

Fase kronik (> 10 minggu): Edema pada saraf menghilang, tetapi pada

beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada

sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.

DIAGNOSIS DAN BELL’S PALSY

Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,

motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan

sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1,2

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan

kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian

bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi

dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer

terjadi pada satu sisi wajah.3 Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai

secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan metode

Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak

lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.3, 4

Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis seharusnya menjalani

pemeriksaan THT yang lengkap seperti pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan

massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari

N.VII dan N.VIII. Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka

dianjurkan pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Magnetic

Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila

terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan

untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan

kelopak mata dalam melindungi kornea.3

13

Page 14: Css Bells Palsy

PEMERIKSAAN NERVUS FASIALIS

Tujuan pemeriksaan fungsi n. fasialis ialah untuk menentukan letak lesi

dan menentukan derajat kelumpuhannya. Derajat kelumpuhan ditetapkan

berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen (%).4

1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk

terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke

sepuluh otot-otot

a. M. frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas

b. M. sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis

c. M. piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan

hidung ke atas

d. M. orbikularis okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata

kuat-kuat

e. M. zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil

memperlihatkan gigi.

f. M. relever komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke

depan sambil memeperlihatkan gigi

g. M. businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi

h. M. orbikularis oris : diperiksa dengan menyuruh penderita bersiul

i. M. triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke

bawah

j. M. mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang

tertutup rapat ke depan.

Pada tiap gerakan dari ke sepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara

kanan dan kiri.

a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka (3)

b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu (1)

c. Diantaranya dinilai dengan angka dua (2)

d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol (0)

14

Page 15: Css Bells Palsy

Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan

mempunyai nilai 30.

Terdapat sistem grading yang dikembangkan oleh House and Brackmann dengan

skala I sampai VI.2

Tabel.

Grade Karakteristik

Grade I Fungsi fasial normal.Grade II (disfungsi ringan)

Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil. Sinkinesis ringan dapat terjadi. Simetris normal saat istirahat. Gerakan dahi sedikit sampai baik. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan

sedikit usaha. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.

Grade III (disfungsi moderat)

Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial

dapat ditemukan. Simetris normal saat istirahat. Gerakan dahi sedikit sampai moderat. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan

usaha. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.

Grade IV (disfungsi moderat sampai berat)

Kelemahan dan asimetri jelas terlihat. Simetris normal saat istirahat. Tidak terdapat gerakan dahi. Mata tidak menutup sempurna. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal

Grade V (disfungsi berat)

Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat. Tidak terdapat gerakan pada dahi. Mata menutup tidak sempurna. Gerakan mulut hanya sedikit.

Grade VI (paralisis total)

Asimetris luas. Tidak ada gerakan.

Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan

IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang buruk.

Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut sebagai

inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut

dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada rekam medik

pasien saat pertama kali datang memeriksakan diri15

Page 16: Css Bells Palsy

2. Tonus

Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan

terhadap kesempurnaan mimic/ekspresi muka. Freyss menganggap

penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap

tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne

mengemukakan bahwa tonus yang jelek member gambaran prognosis

yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu

seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan.

Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai

minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.4

3. Sinkinesis

Sinkinesis menentukan suatu kompliaksi dari paresis fasialis yang sering

kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai

berikut :4

a. Penderita diminta untuk memejamkan mata kuat-kuat kemudian kita

melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau

pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2).

Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan

sisi normal nilainya dikurang satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari

gradasinya.

b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,

kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.

Penilaian seperti pada (a).

c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan

emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot di sekitar mulut.

Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan

tidak simetris.

4. Hemispasme

16

Page 17: Css Bells Palsy

Hemispasme merupakan suatu kompliaksi yang sering dijumpai pada

penyembuhan paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita

diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip-

ngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak gerakan otot-otot

pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat

kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak.

Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1).

Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya

berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis fasialis

dibandingkan dengan nilai tersebut, dikalikan dua untuk persentasenya.4

5. Schimmer test atau nasolacrymal reflex : dianggap sebagai pemeriksaan

terbailk untuk mengetahui fungsi serabut-serabut pada simpatis dari

n.fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor

setinggi ganglion genikulatum yang berfungsi dalam proses lakrimasi

pada mata kanan dan kiri.4, munilsin Cara pemeriksaan dengan meletakkan

kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar

konjungtiva selama 3 menit.4, 11 Freys menyatakan bahwa kalau ada beda

kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis. Lesipada

tempat ini dapat menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea

akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.4,3

Gambar. schirmer test10

17

Page 18: Css Bells Palsy

6. Reflex stapedius : Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada

kelumpuhan saraf fasialis. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi

cabang stapedius dari saraf fasialis.3 Untuk menilai reflex stapedius

digunakan elektrokaustik impedans meter, yaitu dengan cara memberikan

rangsang pada m.stapedius.4 pada telinga ipsilateral atau kontralateral

diberikan nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu

gerakan respon suatu gerakan refleks dari otot stapedius, gerakan ini

mengubah tegangan membran timpani dan menyebabkan perubahan

impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada telinga

satunya dengan pendengaran normal, dan refleks tersebut dapat

dibangkitkan, maka disuga saraf ketujuh masih utuh pada titik ini.

hilangnya refleks ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu

kelainan pada bagian aferen nervus fasialis.11 Tes ini merupakan tes yang

paling objektif dari beberapa tes topografi saraf fasialis lainnya. Pada

kasus Bell’s palsy dengan refleks stapedius yang masih normal

menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.3

7. Gustometri : sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n.

korda timpani, salah satu cabang nervus fasialis, pada pemeriksaan fungsi

n. korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan dan

kiri. Dapat digunakam garam dan jus lemon serta gula atau sakarin.11

Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.4

Disamping fungsi pengecapan, khorda timpani juga berperan dalam

fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi duktus Wharton’s dengan

mengukur produksi saliva dalam 5 menit.3 Pemeriksaan uji salvias dapat

dilakukan dengan kanulasi kelenjar submandibularis. Sepotong kecil

tabung polietilen No. 50 diselipkan pada duktus Wharton. Sepotong kapas

yang telah dicelupkan ke dalam jus lemon ditempatkan dalam mulut, dan

pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat

dibandingkan selama satu menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25%

dianggap abnormal, dapat diprediksi khorda timpani tidak berfungsi

baik.3, 11

18

Page 19: Css Bells Palsy

Gambar. Lesi topografik dari nervus fasialis. (A) lesi diatas ganglion

genikulatum merusak serat motorik pada otot wajah dan stapedius,

serat sekretomotor ke kelenjar lakrimal dan submandibular, serta

serat pengecap; (B) Lesi diantara ganglion genikulatum dan saraf

stapedius tidak mengganggu serat sekretomotor kelenjar lakrimal;

(C) Lesi diantara nervus stapedius dan korda timpani tidak

mengganggu fungsi refleks stapedial dan lakrimasi; (D) Lesi

dibawah korda timpani hanya mempengaruhi ekspresi wajah. 5

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang

perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf

kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat 19

Page 20: Css Bells Palsy

dilakukan bila adanya riwayat paralisis rekuren, curiga adanya lesi pada

Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis

media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), metastasis tulang, ada riwayat

trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1

bulan.1, 3

Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di

tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi multipel

sklerosis. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan

kontras saraf fasialis.1, 3

Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy dapat digunakan sebagai

prediktor kesembuhan. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi

(EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan

elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut

setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100% dan

negative-predictive-value (NPV) 96%.1 Spektrum abnormalitas yang didapatkan

berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),

pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex

didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini

sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu

kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas

gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.1

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi

sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai

kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di

hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai

perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis

multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis

optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,

atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.1

Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis

media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum

20

Page 21: Css Bells Palsy

timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster

otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat

nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi

virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis

bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik

berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli

bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus

kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah

(angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris,

perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang

hiperkalsemia.1

21

Page 22: Css Bells Palsy

Gambar. algoritma diagnosis banding nervus fasialis6

TATALAKSANA BELL’S PALSY

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa

identifikasi dini dan merujuk ke spesialis sara (jika tersedia) apabila terdapat

kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang

menjadi diagnosis banding Bell’ s palsy.1 Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy

adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi

kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan

insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan

seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi

pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bell’s palsy

membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.3

Karena prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik, pengobatan

masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII

(saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan

untuk pasien dalam 1-4 hari onset. Hal penting yang perlu diperhatikan:2

a. Pengobatan inisial

- Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk

pengobatan Bells’ palsy.

- Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi

saraf kranial, jika diberikan pada onset awal. Steroid, terutama

prednisolon 1 mg /kgBB per hari (maksimal 70 mg) yang dimulai dalam

72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil

pengobatan.1 Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau maksimal

40-60 mg/hari selama 6 hari, diikuti empat hari tapering off.1, 2

Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid

jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,

diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan

terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.1

b. Antiviral: Beberapa penelitian menyatakan bahwa didapatkan hasil yang

lebih baik pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan

22

Page 23: Css Bells Palsy

prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.1 Dosis

pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari

melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari.

Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per

hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan

dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)

untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali

selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan

preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah

mual, diare, dan sakit kepala.1,2

c. Lindungi mata

- Perawatan mata: kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar

benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata

buatan (artificial tears) pada siang hari, pelumas (saat tidur), kaca mata,

plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral

(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).1, 2

d. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan

menurunkan sequel.2 Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara

halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan

melingkar.1 Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam

empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan

paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh

dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik.

Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,

meditasi relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat

kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu

kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.1

Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-

berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang

lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai

latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang

dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.

23

Page 24: Css Bells Palsy

Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah

ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan

tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi

jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi

neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan

gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk

membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan

sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.

Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri

wajah ringan-sedangsaat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit

gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa

mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi

neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara

simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya,

dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi

Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan

kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan

hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan

lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di

depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi

dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan

ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2

kali per hari.

Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami

perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu

dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki

kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi

wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit

atau bedah plastik.

e. Terapi pembedahan pada kasus Bell’s palsy masih kontroversi. Terapi

dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang

komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG)

24

Page 25: Css Bells Palsy

menunjukkan penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi

saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada

pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy

sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan

pendekatan transmastoid.3

KOMPLIKASI BELL’S PALSY

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’ s palsy mengalami sekuele

berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat

Bell’ s palsy, adalah:1, 3

(1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan

paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis. Dapat terjadi akibat penekanan

saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang

tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot

wajah. Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora

dan hidung tersumbat.1, 3

(2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan

pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau

sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal)1, 3

(3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf

fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang

mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari

sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2)

crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat

regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada

saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm),

yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi

pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi

bilateral tidak terjadi bersamaan).1

PROGNOSIS BELL’S PALSY

25

Page 26: Css Bells Palsy

Perjalanan alamiah Bell’ s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini

sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien

dengan Bell’ s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus

membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis

persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.

Prognosis Bell’s palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia

pasien dan derajat kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai

prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik

dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bell’s palsy dengan House-

Brackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada

House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang

permanen.3

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit

(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-

aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’ s

palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus

dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke

prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan

total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan

fungsi pengecapan dalam minggu pertama.1

Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan

prognosis, House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan

untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien

Bell’ s palsy.1

Rekurensi pada kasus Bell’s palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-

anak.3 Terdapat 6% kasus Bell’s palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini

dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen

di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi

yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Rekurensi

meningkat pada pasien dengan riwayat Bell’s palsy dalam keluarga. Umumnya

rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit.3

26

Page 27: Css Bells Palsy

DAFTAR PUSTAKA

1. Lowis H, Gaharu MN. Bell’s palsy, diagnosis dan tata laksanadi

pelayanan primer. Artikel pengembangan pendidikan keprofesian

berkelanjutan (p2kb). Jakarta: j indon med assoc. 2012:62:1-6

2. Menkes. PermenkesNomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis

bagi Dokter di FaslitasPelayananKesehatan Primer. 2014;319-23.

3. Munilson J, Edward y, Triana W. Diagnosis dan penatalaksanan bell’s

palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas. 2011:1-6

4. Sjarifuddib, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan nervus fasialis

perifer. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.

Jakarta: BadanPenerbitFakultasKedokteranUniveritas Indonesia.

2012:114-117.

5. Bansal M. Disease of Ear Nose and Throat Head and Neck Surgery. New

Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd. 2013:255-67

6. Probst R. Facial nerve. In: Probst R, Grevers G, Iro H, editor. Basic

otorhinolaryngology. New York: Thieme. 2006:289-96

7. Istiqomah DN. Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bells palsy sinistra.

Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Surakarta. 2014:1-26.

27

Page 28: Css Bells Palsy

8. Graaff VD. Human Anatomy. McGraw-Hill. 2001:250-2.

9. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s Palsy: Diagnosis and Management.

University of Illinois at Chicago College of Medicine, Chicago, Illinois.

2007:1-6.

10. 10 TR. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition, revised and expanded.

New York: Thieme. 2003:97-99.

11. Maisel RH, Levine SC. Gangguan saraf fasialis. In: Adams LG, Boies

RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 7th Ed. Edisi

Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2012:139-52.

28