Upload
sabrinatjo
View
214
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ikfr
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral
karena gangguan nervus Facialis perifer yang bersifat akut dengan
penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang
terjadi dalam 6 bulan. Bell;s palsy merupakan penyebab paralisis fasial
yang paling sering didunia. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada
tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles
Bell.
Bell’s palsy ini diketahui oleh pasien ketika pasien dalam keadaan
sedang bercermin atau bisa diketahui dari orang-orang sekitarnya. Bell’s
palsy terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total
pada salah satu sisi wajah, sehingga menyebabkan pasien sulit
tersenyum atau menutup salah satu kelopak mata, dapat terjadi rasa nyeri
di sekitar rahang atau di belakang telinga pada salah satu sisi wajah yang
terpengaruh, wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi. Hal ini
sangat menyiksa diri karena membuat orang menjadi kurang percaya diri.
Wajah kelihatan tidak cantik karena mulut mencong, mata tidak bisa
berkedip, mata berair, dll.
Tujuan penatalaksaan rehabilitasi medik pada penderita Bell’s
palsy ialah untuk memulihkan kekuatan dari otot wajah yang mengalami
kelemahan, melancarkan sirkulasi darah pada wajah, mencegah
kelumpuhan parsial yang bisa menjadi kelumpuhan komplit, agar
penderita bisa percaya diri kembali dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Istilah Bell’s Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk
kelumpuhan nervus Facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang
penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainan neurologik lain.
Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya akan
sembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh
dengan meninggalkan gejala.
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral
karena gangguan nervus Fasialis perifer yang bersifat akut dengan
penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang
terjadi dalam 6 bulan.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Secara umum, Bell palsy terjadi lebih sering pada orang dewasa.
Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45
tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Di
Amerika Serikat, kejadian tahunan Bell palsy adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang. Bell palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari
kasus kelumpuhan wajah akut unilateral, dengan sisi kanan terkena 63%.
Orang dengan diabetes memiliki risiko 29% lebih tinggi dari yang
dipengaruhi oleh Bell palsy dibandingkan orang tanpa diabetes.
2.3 ETIOLOGI
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan
penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga
sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular,
imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab. Adanya
peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy,
terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.
2
Terdapat pula beberapa teori yang telah di kemukakan yang terdiri dari
teori ischemic vascular, teori virus, teori kombinasi.
Teori ischemic vascular. Teori ini dikemukakan oleh Mc. Groven pada
tahun 1955 menyatakan bahwa adanya ketidak stabilan otonomik
dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan
spame pada arteriol dan statis pada vena dibagian bawah kanalis
spinalis. Vasospasme ini menyebabkan isemik dan terjadinya
oedema. Hasilnya adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang
melayani ekspresi wajah.
Teori infeksi virus. Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab
infeksi yang dapat ditemukan pada kasus nervus Facialis adalah otitis
media, meningitis bakteri, infeksi HIV, penyakit limfe. Pada tahun 1972
Mc Cromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada
ganglion geniculatum dapat mengalami reaktivasi kembali saat daya
tahan tubuh menurun. Adanya reaktivasi kembali dari infeksi ini
menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan oedem saraf Facialis
sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena sel saraf
tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup.
Teori kombinasi dikemukakan oleh Zalvan meyatakan bahwa
kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau
reaktivitas virus Herpes Simplex dan merupakan reaksi imunologis
sekunder atau karena proses vascular sehingga menyebabkan
inflamasi dan penekanan saraf perifer ipsilateral.
Adanya paparan angin/suhu yang dingin (misal sering terpapar AC,
suhu udara yang dingin, menyetir mobil dengan kaca dibuka ) dianggap
bisa mencetuskan terjadinya Bell’s palsy. Akan tetapi sekarang diyakini
adanya virus dari HSV yang ada pada ganglion geniculatum dan juga
beberapa peneliti melakukan pemeriksaan pada cairan endoneural pada
nervus Facialis dan menemukan adanya virus HSV tersebut. Viirus ini
diyakini bisa berpindah secara axonal dari saraf sensori dan menempati
ganglion. Pada saat terjadi stress akan timbul reaktivasi kembali dari virus
3
HSV (HSV tipe I dan virus Herpes Zooster) yang menyebabkan
kerusakkan pada nervus Facialis.
2.4 PATOFISIOLOGI
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat
mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan
kejadian patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan
yang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama
dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat
keempat dan kelima akibat dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat
gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi
selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau
dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan
cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan
trauma, kompresi dapat terjadi tiba-tiba atau lambat progresif dalam 5- 10
hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada
tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun
hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes
zoster cephalicus. Diawali dengan penggembungan aksoplasma,
kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan
kehilangan akson-akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural
tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada
derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube
telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma,
dan perineurium dan epineurium pada trauma derajat kelima,
penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama.
Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan
mayor pada akson, yaitu: (1)perubahan pada jarak antara nodus renvier
(2)akson-akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis
daripada akson normal (3)terdapat pemecahan dan penyilangan dari
akson-akson yang menginervasi kembali kelompok-kelompok otot yang
diinervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel-motor
4
unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor-faktor ini,
dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter. Terdapat juga gerakan
yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup
mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama
regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction.
Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan
disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan
pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-faktor ini,
dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis,
menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. Spasme ini dapat
dirasakan cukup nyeri.
Paparan udara yang dingin, mengendarai mobil dengan jendela
terbuka, terpapar angin yang cukup kencang diduga sebagai salah satu
penyebab dari Bell’s palsy, karena nervus Facialis bisa sembab, akibatnya
ia terjepit di dalam foramen Stilomastoideus dan menyebabkan
kelumpuhan pada nervus Facialis yang menyebabakan paralisis pada
wajah.
2.5 GAMBARAN KLINIS
Kelumpuhan dari nervus Facialis memberikan ciri khas sehingga
bisa didiagnosa dengan inspeksi. Otot wajah yang sakit tidak dapat
digerakkan, tampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik
kearah sisi yang sehat, lipatan-lipatan di dahi akan menghilang.
Gambaran klinis yang dapat diketahui dari pasien bisa tergantung dari
letak nervus Facialis yang mengalami kerusakkan:
Kerusakkan setinggi foramen Stylomastoideus
Gejala: kelumpuhan wajah pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup kelopak mata dan tidak dapat mengerutkan
kening pada sisi lesi.
Sudut mulut pada sisi yang terkena lesi jatuh dan tidak bisa diangkat.
Pengecapan dan sekresi air liur masih baik.
5
Lesi setinggi diantara chorda tympani dengan N. Stapedeus (didalam
canalis facialis)
Gejala: sama seperti gejala di foramen stylomastoideus dan ditambah
dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan gangguan salivasi
Lesi setinggi diantara N.Stapedius dan ganglion geniculatum.
Gejala: sama seperti gejala pada lesi diantara chorda tympani dan
N.Stapedeus ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu
Hyperakusis.
Lesi setinggi ganglion Geniculatum.
Gejala: sama seperti gejala pada lesi diantara N. Stapedius dan
Ganglion Geniculatum ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar
hidung dan gangguan sekresi air mata.
Gangguan yang paling sering ditemui adalah kerusakkan pada
tempat setinggi Foramen Stylomastoideus dan pada setinggi ganglion
geniculatum. Penyebab yang sering terjadi pada ganglion Geniculatum
adalah Herpes zoster, mastoiditis, otitis media.
2.6 DIAGNOSA
Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan
kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada
bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot
dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan
kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.
A. Anamnesa
Nyeri postauricular. Hampir 50% nyeri di region mastoid.
Aliran air mata. Dua pertiga mengeluh aliran mata mata.
Disebabkan karena penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata.. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir
hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air
mata tidak dipercepat.
Mata kering.
Kelopak mata tidak bisa di tutup dengan sempurna
6
Hyperacusis: kerusakkan toleransi pada tingkatan tertentu pada
telinga akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
Nyeri kepala.
Adanya terjadi gangguan atau perubahan pada indera pengecapan.
Adanya gejala-gejala seperti mulut miring saat bangun tidur, terlihat
miring saat bercermin, saat berkumur, saat sikat gigi.
Riwayat pekerjaan dan menanyakan aktivitas yang dilakukan pada
malam hari di luar ruangan atau di ruangan yang terbuka.
Menanyakan riwayat penyakit yang pernah diderita seperti Herpes
zoster, infeksi saluran pernafasan, dll.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Diagnosa Bell’s palsy biasanya ditegakkan berdasarkan gejala
yang muncul.
Kelemahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus
Facialis tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan
bagian bawah) pada sisi yang terkena. Perhatikan gerakan
volunteer bagian atas wajah yang terkena.
Lakukan pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan
ini akan menemukan kelemahan di bagian sisa wajah yang terkena,
kemudian meminta pasien untuk menutup matanya dan pada mata
pasien yang terkena akan memutar keatas.
Bila terdapat hyperakusis, saat stetoskop diletakkan ditelinga
pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada cabang
muskulus stapedius yang mengalami paralisis.
Pemeriksaan produksi air mata (Tes Schimmer) dan pemeriksaan
pengecapan (Tes Gustometri).
Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke ataupun
kelaianan sentral yang lainnnya adalah tidak terdapat kelainan
pemeriksaan saraf cranialis lain, motoric dan sensorik ekstremitas
dalam batas normal, pasien tidak mampu untuk mengangkat alis
dan dahi pada bagisan sisi wajah yang mengalami kelumpuhan.
7
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada penyakit Bell’s palsy juga dilakukan pemeriksaan penunjang
dengan tujuan untuk membedakan penyebab sekunder dari paralisis
nervus Facialis.
Dibutuhkan pemeriksaan CT Scan untuk mengetahui adanya
keterlibatan saraf pusat dalam penyebab paralisis nervus Facialis,
fraktur tulang, dan mungkin adanya metastase.
Pemeriksaan MRI dilakukan jika pasien mempunyai neoplasma yang
ada di tulang temporal, otak, atau bisa untuk evaluasi sclerosis multiple.
Uji konduksi saraf untuk menentukan derajat denervasi dengan cara
mengukur kecapatan listrik pada nervus Facialis kanan dan kiri.
Uji Schimmer menggunakan kertas filter khusus diletakkan di kelopak
mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan adanya
rembesan atau mengeringnya air mata pada kertas filter tersebut
mengetahui adanya lesi pada nervus Facialis.
Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah, dilakukan dengan cara
sederhana yaitu ada rasa manis (gula), rasa asam, dan rasa pahit.
Menggunakan elektrogustometri yang membanding reaksi antara sisi
yang sehat dengan sisi yang sakit menggunakan stimulasi dari listrik
pada 2/3 depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau ada rasa metalik.
Gangguan rasa kecap menunjukkan lesi nervus facialis setinggi chorda
tympani.
2.7DIAGNOSA BANDING
Stroke
Meningitis
Tumor otak yang menekan saraf
Abses otak
Tumor kelenjar parotis
Guilain Barre Syndrome
Ramsay Hunt Syndrome
8
2.8 PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis
yang sempit. Steroid, terutama Prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset. Dosis pemberian prednison
(maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg)
adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti
empat hari tappering off.
Kombinasi antivirus (asiklovir/ valasiklovir) dan kortikosteroid
berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang
lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Terapi dengan
valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg
per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian
selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan
dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali
pemberian selama 7-10 hari.
Dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih
tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara
oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.
Pemberian neurotropic (B1, B6, B12).
B. Non-medikamentosa
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan
dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi
pasien dengan paralisis fasialis.
Teknologi intervensi fisioterapi yang digunakan untuk
mengatasi problematika pada kasus bell’s palsy adalah infra red,
electrical stimulation, dan terapi latihan.
Infra red
Pengaruh fisiologis sinar infra red, jika diabsorbsikan ke
kulit maka kulit akan timbul pada tempat dimana sinar tadi
9
diabsorbsi. Pengaruh lainya antara lain meningkatkan proses
metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah, pigmentasi,
pengaruh terhadap jaringan otot, destruksi jaringan,
meningkatkan kerja kelenjar keringat.
Lampu Infra Red diletakkan tegak lurus dengan area
terapi dengan jarak 45 - 60 cm. Evaluasi dilakukan sebelum
dilakukan penyinaran dan saat penyinaran, apakah ada panas
yang terlalu tinggi atau terlalu banyak keringat yang keluar.
Dosis :Dosis waktu : 15 menit
Pengulangan : 1x1 hari
Electrical Stimulation
Efek fisiologis ketika menetapkan jenis yang dirasakan
adalah tusukan-tusukan ringan karena stimulasi saraf
sensorik. Efek fisiologis terhadap sensoris akan menimbulkan
rasa tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal, sedangkan
efek terhadap motoric adalah kontraksi tetanik yang akan lebih
mudah menimbulkan kontraksi. Merangsang saraf motorik
harus dengan intensitas yang cukup untuk menghindari dari
kelelahan otot. Tujuan dilakukannya electrical simulation ialah
menstimulasi otot untuk mencegah atau memperlambat
terjadinya atrofi otot wajah yang mengalami kelemahan sambil
menunggu proses dari regenerasi dan juga memperkuat otot
yang mengalami kelemahan.
Massage otot wajah
Massage otot wajah sebagai manipulasi sistemik dan
ilmiah dari jaringan tubuh yang dimaksudkan untuk
pemulihan/perbaikan. Pada fase akut dari Bell’s palsy
dilakukan gentle massage yang bertujuan utnuk mengurangi
odema, mempertahankan tonus otot dan memberi relaksasi
pada otot wajah. Setelah melewati fase akut diberikan terapi
deep kneading massage yang bertujuan melancarkan aliran
pembuluh darah, aliran limfe, meningkatkan nutrisi untuk
10
serabut-serabut otot serta meningkatkan gerakan
intramuscular untuk melepaskan adanya perlengketan.
Latihan volunter otot wajah setelah melewati fase akut bisa
berupa menutup mata, mengerutkan dahi, mengangkat alis
selama 5 detik, tersenyum, mengangkat sudut mulut dan
bersiul, semua latihan latihan ini dilakukan dengan konsentrasi
penuh dan bisa menghadap cermin.
Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai
dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi,
kontrol gerakan, dan relaksasi.
a. Kategori inisiasi : ditujukan pada pasien dengan asimetri
wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai
gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan
berupa massage superfisial disertai latihan gerak yang
dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2
set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
b. Kategori fasilitasi : ditujukan pada pasien dengan asimetri
wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi
sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi
yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot
wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di
depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan
ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap
untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan
ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set
perhari.
c. Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien
dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih
mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat
sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi
jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi,
11
namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis
pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi
meditasi-relaksasi.
d. Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada
pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah
karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot
wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan
kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu
meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan
untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.
Latihan ini cukup dilakukan 1-2kali per hari.
C. Program Psikologis
Pada kasus kasus tertentu terdapat pasien yang mengalami
gangguan psikis. Adanya penurunan rasa percaya diri saat
bergaul di lingkungan masyarakat karena gangguan ekspresi
wajah, rasa minder, merasa tidak sempurna terutama bagi wanita,
pasien yang sedang dalam berkarir dan juga pada pasien usia
muda yang mengharuskan mereka untuk selalu tampil di depan
umum, sehingga mereka membutuhkan psikolog untuk
berkosultasi guna mengurangi rasa minder yang mereka rasakan.
D. Program Terapi Okupasi
Memberikan latihan latihan pada otot wajah dalam bentuk
yang bisa dilakukan pasien dalam kehidupan sehari–hari, latihan
terapi ini dilakukan secara bertahap dan jangan membuat pasien
merasa lelah. Bisa meminta pasien untuk latihan berkumur,
bersiul, latihan buka tutup mata, latihan mengerutkan dahi, berlatih
memakai sedotan.
E. Program Ortetik Prostetik
Dilakukan pemasangan plester “Y” yang bertujuan agar
sudut mulut pasien tidak jatuh. Juga perhatikan adanya kontak
iritan pada saat pemasangan plester pada pasien. Pemasang
12
plester ini dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada
perubahan setelah fisioterapi.
F. Program Sosial Medik
Pada program ini petugas sosial medik membantu pasien
dalam hal pekerjaan, dan biaya hidup. Dalam hal pekerjaan
petugas sosial medik membantu pasien untuk menghubungi
tempat kerjanya agar sementara waktu ditempatkan ditempat
yang tidak terlalu ramai karena pasien masih cenderung minder
dalam menghadapi banyak orang di sekitar tempat kerjanya.
Untuk masalah biaya dibantu mencarikan fasilitas kesehatan
ditempat kerjanya atau bisa menghubungi keluarga pasien.
G. Latihan Mandiri di Rumah
Pasein bisa melakukan hal-hal sederhana jika sedang
berada di rumah dengan bantuan keluarga untuk membantu
pasien melakukan terapi-terapi sederhana.
Pasien bisa melakukan pemijatan pada wajah dengan arah ke
atas menggunakan tangan kearah sisi wajah yang sehat.
Latihan bersiul, latihan minum pakai sedotan, latihan
berkumur, pada saat makan mencoba menggunakan sisi yang
sakit pada saat mengunyah, menarik sudut mulut ke samping
kanan atau kiri.
Untuk perlindungan mata bisa menggunakan tetes mata
(golongan artifial tears) 3x sehari, memakai kacamata gelap
sewaktu berpergian di siang hari, menutup mata secara pasif
sewaktu akan tidur.
2.9 EDUKASI
Pasien disarankan untuk kompres air hangat setiap pagi dan sore
hari selama 10-15 menit.
Pasien disarankan melindungi mata dari terpaan debu dan angin
secara langsung untuk menghindari terjadinya iritasi dan tidak
lupa menggunakan tetes mata setiap harinya.
13
Pasien disarankan untuk tidak tidur dilantai, saat tidur
menggunakan penutup mata dan jangan menggunakan kipas
angin secara langsung menerpa wajah.
Pasien diajarkan untuk melatih gerakan-gerakan di depan kaca
(mirror exercise) seperti: mengangkat alis dan mengkerutkan dahi
ke atas, menutup mata, tersenyum, bersiul, menutup mulut
dengan rapat, mencucu, mengangkat sudut bibir ke atas dan
memperlihatkan gigi-gigi, mengembang kempiskan cuping hidung,
mengucapkan kata-kata labial L,M,N,O dengan dilakukan sesering
mungkin.
Saat keluar malam menggunakan helm full face dengan kaca
tertutup serta memakai selayer atau masker.
2.10 KOMPLIKASI
Kontraktur : hal ini terlihat dari tertariiknya otot, sehingga lipatan
nasolabial terlihat sangat jelas pada sisi yang lumpuh. Terjadi
bila kembalinya fungsi sangat terbatas. Kontraktur tidak terlihat
jelas pada saat istirahat tapi terlihat jelas pada saat otot wajah
bergerak.
Crocodile tear phenomenon : keluarnya air mata pada saat
penderita makan. Hal ini timbul karena beberapa bulan setelah
terjadinya paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi dari
serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi
menuju kelenjar lacrimalis.
Hemifacial spasme : adanya kedutan pada wajah (otot wajah
bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan spasme otot
wajah biasanya ringan. Stadium awal mengenai satu sisi wajah
saja, tetapi kemudian dapat mengenai sisi lainnya . Kelelahan
dan gangguan psikis bisa memperberat spasme ini. Komplikasi
ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna yang bisa timbul
dalam beberapa bulan kemuda atau 1-2 tahun kemudian.
14
Synkinesis : dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu
persatu atau tersendiri, selalu timbul gerakan yang bersamaan.
Misal pasien diminta untuk memejamkan mata, maka akan
timbul gerakkan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi
musculus platisma, dan berkerutnya dahi, hal ini di karenakan
innervasi yang salah serabut saraf yang mengalami regenerasi
bersambung dengan serabut- serabut otot yang salah.
2.11 PROGNOSIS
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan
komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele
permanen.
Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh
total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik
dalam 3 minggu.
Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten,
dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat
rekuren.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah
paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total),
dengan pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal
dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi
komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes,
adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan,
refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy.
15
DAFTAR PUSTAKA
Gilden DH. Clinical practice Bell’s palsy. N Engl J Med. 2004; 351:1323-
31. 18.
Handoko Lowis, Maulana N Gaharu, 2012; Bell’s Palsy, Diagnosis dan
Tata Laksana di Pelayanan Primer. Artikel Pengembangan
Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Jurnal Indonesia
Medical Assocation. Vol:62 No1. Neurologist, Jakarta: Medical
Center Hospital
Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al.
Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a
multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol.
2007;28:408-13.
Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, Morris AM.The
spectrum of electrophysiological abnormalities in Bell’s palsy. Can J
Neurol Sci. 2001;28:130-3.
J Indon Med Assoc. 2012. Volume: 62, Nomor: 1,
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile
/1118/1104.
Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia:
Medscape. 2010.
Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian
Rakyat.
16