25
BAB 1 PENDAHULUAN Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus Facialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan. Bell;s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering didunia. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell. Bell’s palsy ini diketahui oleh pasien ketika pasien dalam keadaan sedang bercermin atau bisa diketahui dari orang-orang sekitarnya. Bell’s palsy terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total pada salah satu sisi wajah, sehingga menyebabkan pasien sulit tersenyum atau menutup salah satu kelopak mata, dapat terjadi rasa nyeri di sekitar rahang atau di belakang telinga pada salah satu sisi wajah yang terpengaruh, wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi. Hal ini sangat menyiksa diri karena membuat orang menjadi kurang percaya diri. Wajah kelihatan tidak cantik karena mulut mencong, mata tidak bisa berkedip, mata berair, dll. Tujuan penatalaksaan rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy ialah untuk memulihkan kekuatan 1

Bells Palsy

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ikfr

Citation preview

Page 1: Bells Palsy

BAB 1

PENDAHULUAN

Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral

karena gangguan nervus Facialis perifer yang bersifat akut dengan

penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang

terjadi dalam 6 bulan. Bell;s palsy merupakan penyebab paralisis fasial

yang paling sering didunia. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada

tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles

Bell.

Bell’s palsy ini diketahui oleh pasien ketika pasien dalam keadaan

sedang bercermin atau bisa diketahui dari orang-orang sekitarnya. Bell’s

palsy terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total

pada salah satu sisi wajah, sehingga menyebabkan pasien sulit

tersenyum atau menutup salah satu kelopak mata, dapat terjadi rasa nyeri

di sekitar rahang atau di belakang telinga pada salah satu sisi wajah yang

terpengaruh, wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi. Hal ini

sangat menyiksa diri karena membuat orang menjadi kurang percaya diri.

Wajah kelihatan tidak cantik karena  mulut mencong, mata tidak bisa

berkedip, mata berair, dll.

Tujuan penatalaksaan rehabilitasi medik pada penderita Bell’s

palsy ialah untuk memulihkan kekuatan dari otot wajah yang mengalami

kelemahan, melancarkan sirkulasi darah pada wajah, mencegah

kelumpuhan parsial yang bisa menjadi kelumpuhan komplit, agar

penderita bisa percaya diri kembali dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

1

Page 2: Bells Palsy

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Istilah Bell’s Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk

kelumpuhan nervus Facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang

penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainan neurologik lain.

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya akan

sembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh

dengan meninggalkan gejala.

BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral

karena gangguan nervus Fasialis perifer yang bersifat akut dengan

penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang

terjadi dalam 6 bulan.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Secara umum, Bell palsy terjadi lebih sering pada orang dewasa.

Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000

populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45

tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Di

Amerika Serikat, kejadian tahunan Bell palsy adalah sekitar 23 kasus per

100.000 orang. Bell palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari

kasus kelumpuhan wajah akut unilateral, dengan sisi kanan terkena 63%.

Orang dengan diabetes memiliki risiko 29% lebih tinggi dari yang

dipengaruhi oleh Bell palsy dibandingkan orang tanpa diabetes.

2.3 ETIOLOGI

Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan

penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga

sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular,

imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab. Adanya

peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy,

terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.

2

Page 3: Bells Palsy

Terdapat pula beberapa teori yang telah di kemukakan yang terdiri dari

teori ischemic vascular, teori virus, teori kombinasi.

Teori ischemic vascular. Teori ini dikemukakan oleh Mc. Groven pada

tahun 1955 menyatakan bahwa adanya ketidak stabilan otonomik

dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan

spame pada arteriol dan statis pada vena dibagian bawah kanalis

spinalis. Vasospasme ini menyebabkan isemik dan terjadinya

oedema. Hasilnya adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang

melayani ekspresi wajah.

Teori infeksi virus. Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab

infeksi yang dapat ditemukan pada kasus nervus Facialis adalah otitis

media, meningitis bakteri, infeksi HIV, penyakit limfe. Pada tahun 1972

Mc Cromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada

ganglion geniculatum dapat mengalami reaktivasi kembali saat daya

tahan tubuh menurun. Adanya reaktivasi kembali dari infeksi ini

menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan oedem saraf Facialis

sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena sel saraf

tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup.

Teori kombinasi dikemukakan oleh Zalvan meyatakan bahwa

kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau

reaktivitas virus Herpes Simplex dan merupakan reaksi imunologis

sekunder atau karena proses vascular sehingga menyebabkan

inflamasi dan penekanan saraf perifer ipsilateral.

Adanya paparan angin/suhu yang dingin (misal sering terpapar AC,

suhu udara yang dingin, menyetir mobil dengan kaca dibuka ) dianggap

bisa mencetuskan terjadinya Bell’s palsy. Akan tetapi sekarang diyakini

adanya virus dari HSV yang ada pada ganglion geniculatum dan juga

beberapa peneliti melakukan pemeriksaan pada cairan endoneural pada

nervus Facialis dan menemukan adanya virus HSV tersebut. Viirus ini

diyakini bisa berpindah secara axonal dari saraf sensori dan menempati

ganglion. Pada saat terjadi stress akan timbul reaktivasi kembali dari virus

3

Page 4: Bells Palsy

HSV (HSV tipe I dan virus Herpes Zooster) yang menyebabkan

kerusakkan pada nervus Facialis.

2.4 PATOFISIOLOGI

Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat

mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan

kejadian patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan

yang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama

dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat

keempat dan kelima akibat dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat

gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi

selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau

dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan

cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan

trauma, kompresi dapat terjadi tiba-tiba atau lambat progresif dalam 5- 10

hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada

tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun

hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes

zoster cephalicus. Diawali dengan penggembungan aksoplasma,

kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan

kehilangan akson-akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural

tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada

derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube

telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma,

dan perineurium dan epineurium pada trauma derajat kelima,

penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama.

Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan

mayor pada akson, yaitu: (1)perubahan pada jarak antara nodus renvier

(2)akson-akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis

daripada akson normal (3)terdapat pemecahan dan penyilangan dari

akson-akson yang menginervasi kembali kelompok-kelompok otot yang

diinervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel-motor

4

Page 5: Bells Palsy

unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor-faktor ini,

dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter. Terdapat juga gerakan

yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup

mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama

regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction.

Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan

disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan

pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-faktor ini,

dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis,

menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. Spasme ini dapat

dirasakan cukup nyeri.

Paparan udara yang dingin, mengendarai mobil dengan jendela

terbuka, terpapar angin yang cukup kencang diduga sebagai salah satu

penyebab dari Bell’s palsy, karena nervus Facialis bisa sembab, akibatnya

ia terjepit di dalam foramen Stilomastoideus dan menyebabkan

kelumpuhan pada nervus Facialis yang menyebabakan paralisis pada

wajah.

2.5 GAMBARAN KLINIS

Kelumpuhan dari nervus Facialis memberikan ciri khas sehingga

bisa didiagnosa dengan inspeksi. Otot wajah yang sakit tidak dapat

digerakkan, tampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik

kearah sisi yang sehat, lipatan-lipatan di dahi akan menghilang.

Gambaran klinis yang dapat diketahui dari pasien bisa tergantung dari

letak nervus Facialis yang mengalami kerusakkan:

Kerusakkan setinggi foramen Stylomastoideus

Gejala: kelumpuhan wajah pada sebelah lesi

Tidak dapat menutup kelopak mata dan tidak dapat mengerutkan

kening pada sisi lesi.

Sudut mulut pada sisi yang terkena lesi jatuh dan tidak bisa diangkat.

Pengecapan dan sekresi air liur masih baik.

5

Page 6: Bells Palsy

Lesi setinggi diantara chorda tympani dengan N. Stapedeus (didalam

canalis facialis)

Gejala: sama seperti gejala di foramen stylomastoideus dan ditambah

dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan gangguan salivasi

Lesi setinggi diantara N.Stapedius dan ganglion geniculatum.

Gejala: sama seperti gejala pada lesi diantara chorda tympani dan

N.Stapedeus ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu

Hyperakusis.

Lesi setinggi ganglion Geniculatum.

Gejala: sama seperti gejala pada lesi diantara N. Stapedius dan

Ganglion Geniculatum ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar

hidung dan gangguan sekresi air mata.

Gangguan yang paling sering ditemui adalah kerusakkan pada

tempat setinggi Foramen Stylomastoideus dan pada setinggi ganglion

geniculatum. Penyebab yang sering terjadi pada ganglion Geniculatum

adalah Herpes zoster, mastoiditis, otitis media.

2.6 DIAGNOSA

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan

kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada

bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot

dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan

kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.

A. Anamnesa

Nyeri postauricular. Hampir 50% nyeri di region mastoid.

Aliran air mata. Dua pertiga mengeluh aliran mata mata.

Disebabkan karena penurunan fungsi orbicularis oculi dalam

mengalirkan air mata.. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir

hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air

mata tidak dipercepat.

Mata kering.

Kelopak mata tidak bisa di tutup dengan sempurna

6

Page 7: Bells Palsy

Hyperacusis: kerusakkan toleransi pada tingkatan tertentu pada

telinga akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

Nyeri kepala.

Adanya terjadi gangguan atau perubahan pada indera pengecapan.

Adanya gejala-gejala seperti mulut miring saat bangun tidur, terlihat

miring saat bercermin, saat berkumur, saat sikat gigi.

Riwayat pekerjaan dan menanyakan aktivitas yang dilakukan pada

malam hari di luar ruangan atau di ruangan yang terbuka.

Menanyakan riwayat penyakit yang pernah diderita seperti Herpes

zoster, infeksi saluran pernafasan, dll.

B. PEMERIKSAAN FISIK

Diagnosa Bell’s palsy biasanya ditegakkan berdasarkan gejala

yang muncul.

Kelemahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus

Facialis tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan

bagian bawah) pada sisi yang terkena. Perhatikan gerakan

volunteer bagian atas wajah yang terkena.

Lakukan pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan

ini akan menemukan kelemahan di bagian sisa wajah yang terkena,

kemudian meminta pasien untuk menutup matanya dan pada mata

pasien yang terkena akan memutar keatas.

Bila terdapat hyperakusis, saat stetoskop diletakkan ditelinga

pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada cabang

muskulus stapedius yang mengalami paralisis.

Pemeriksaan produksi air mata (Tes Schimmer) dan pemeriksaan

pengecapan (Tes Gustometri).

Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke ataupun

kelaianan sentral yang lainnnya adalah tidak terdapat kelainan

pemeriksaan saraf cranialis lain, motoric dan sensorik ekstremitas

dalam batas normal, pasien tidak mampu untuk mengangkat alis

dan dahi pada bagisan sisi wajah yang mengalami kelumpuhan.

7

Page 8: Bells Palsy

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada penyakit Bell’s palsy juga dilakukan pemeriksaan penunjang

dengan tujuan untuk membedakan penyebab sekunder dari paralisis

nervus Facialis.

Dibutuhkan pemeriksaan CT Scan untuk mengetahui adanya

keterlibatan saraf pusat dalam penyebab paralisis nervus Facialis,

fraktur tulang, dan mungkin adanya metastase.

Pemeriksaan MRI dilakukan jika pasien mempunyai neoplasma yang

ada di tulang temporal, otak, atau bisa untuk evaluasi sclerosis multiple.

Uji konduksi saraf untuk menentukan derajat denervasi dengan cara

mengukur kecapatan listrik pada nervus Facialis kanan dan kiri.

Uji Schimmer menggunakan kertas filter khusus diletakkan di kelopak

mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan adanya

rembesan atau mengeringnya air mata pada kertas filter tersebut

mengetahui adanya lesi pada nervus Facialis.

Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah, dilakukan dengan cara

sederhana yaitu ada rasa manis (gula), rasa asam, dan rasa pahit.

Menggunakan elektrogustometri yang membanding reaksi antara sisi

yang sehat dengan sisi yang sakit menggunakan stimulasi dari listrik

pada 2/3 depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau ada rasa metalik.

Gangguan rasa kecap menunjukkan lesi nervus facialis setinggi chorda

tympani.

2.7DIAGNOSA BANDING

Stroke

Meningitis

Tumor otak yang menekan saraf

Abses otak

Tumor kelenjar parotis

Guilain Barre Syndrome

Ramsay Hunt Syndrome

8

Page 9: Bells Palsy

2.8 PENATALAKSANAAN

A. Medikamentosa

Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis

permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis

yang sempit. Steroid, terutama Prednisolon yang dimulai

dalam 72 jam dari onset. Dosis pemberian prednison

(maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg)

adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti

empat hari tappering off.

Kombinasi antivirus (asiklovir/ valasiklovir) dan kortikosteroid

berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang

lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Terapi dengan

valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik.

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg

per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian

selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan

dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali

pemberian selama 7-10 hari.

Dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih

tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara

oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.

Pemberian neurotropic (B1, B6, B12).

B. Non-medikamentosa

Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan

dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi

pasien dengan paralisis fasialis.

Teknologi intervensi fisioterapi yang digunakan untuk

mengatasi problematika pada kasus bell’s palsy adalah infra red,

electrical stimulation, dan terapi latihan.

Infra red

Pengaruh fisiologis sinar infra red, jika diabsorbsikan ke

kulit maka kulit akan timbul pada tempat dimana sinar tadi

9

Page 10: Bells Palsy

diabsorbsi. Pengaruh lainya antara lain meningkatkan proses

metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah, pigmentasi,

pengaruh terhadap jaringan otot, destruksi jaringan,

meningkatkan kerja kelenjar keringat.

Lampu Infra Red diletakkan tegak lurus dengan area

terapi dengan jarak 45 - 60 cm. Evaluasi dilakukan sebelum

dilakukan penyinaran dan saat penyinaran, apakah ada panas

yang terlalu tinggi atau terlalu banyak keringat yang keluar.

Dosis :Dosis waktu : 15 menit

Pengulangan : 1x1 hari

Electrical Stimulation

Efek fisiologis ketika menetapkan jenis yang dirasakan

adalah tusukan-tusukan ringan karena stimulasi saraf

sensorik. Efek fisiologis terhadap sensoris akan menimbulkan

rasa tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal, sedangkan

efek terhadap motoric adalah kontraksi tetanik yang akan lebih

mudah menimbulkan kontraksi. Merangsang saraf motorik

harus dengan intensitas yang cukup untuk menghindari dari

kelelahan otot. Tujuan dilakukannya electrical simulation ialah

menstimulasi otot untuk mencegah atau memperlambat

terjadinya atrofi otot wajah yang mengalami kelemahan sambil

menunggu proses dari regenerasi dan juga memperkuat otot

yang mengalami kelemahan.

Massage otot wajah

Massage otot wajah sebagai manipulasi sistemik dan

ilmiah dari jaringan tubuh yang dimaksudkan untuk

pemulihan/perbaikan. Pada fase akut dari Bell’s palsy

dilakukan gentle massage yang bertujuan utnuk mengurangi

odema, mempertahankan tonus otot dan memberi relaksasi

pada otot wajah. Setelah melewati fase akut diberikan terapi

deep kneading massage yang bertujuan melancarkan aliran

pembuluh darah, aliran limfe, meningkatkan nutrisi untuk

10

Page 11: Bells Palsy

serabut-serabut otot serta meningkatkan gerakan

intramuscular untuk melepaskan adanya perlengketan.

Latihan volunter otot wajah setelah melewati fase akut bisa

berupa menutup mata, mengerutkan dahi, mengangkat alis

selama 5 detik, tersenyum, mengangkat sudut mulut dan

bersiul, semua latihan latihan ini dilakukan dengan konsentrasi

penuh dan bisa menghadap cermin.

Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai

dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi,

kontrol gerakan, dan relaksasi.

a. Kategori inisiasi : ditujukan pada pasien dengan asimetri

wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai

gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan

berupa massage superfisial disertai latihan gerak yang

dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2

set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.

b. Kategori fasilitasi : ditujukan pada pasien dengan asimetri

wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi

sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi

yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot

wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di

depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan

ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap

untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan

ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set

perhari.

c. Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien

dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih

mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat

sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi

jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi

neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi,

11

Page 12: Bells Palsy

namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis

pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi

meditasi-relaksasi.

d. Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada

pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah

karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang

digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot

wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan

kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu

meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan

untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.

Latihan ini cukup dilakukan 1-2kali per hari.

C. Program Psikologis

Pada kasus kasus tertentu terdapat pasien yang mengalami

gangguan psikis. Adanya penurunan rasa percaya diri saat

bergaul di lingkungan masyarakat karena gangguan ekspresi

wajah, rasa minder, merasa tidak sempurna terutama bagi wanita,

pasien yang sedang dalam berkarir dan juga pada pasien usia

muda yang mengharuskan mereka untuk selalu tampil di depan

umum, sehingga mereka membutuhkan psikolog untuk

berkosultasi guna mengurangi rasa minder yang mereka rasakan.

D. Program Terapi Okupasi

Memberikan latihan latihan pada otot wajah dalam bentuk

yang bisa dilakukan pasien dalam kehidupan sehari–hari, latihan

terapi ini dilakukan secara bertahap dan jangan membuat pasien

merasa lelah. Bisa meminta pasien untuk latihan berkumur,

bersiul, latihan buka tutup mata, latihan mengerutkan dahi, berlatih

memakai sedotan.

E. Program Ortetik Prostetik

Dilakukan pemasangan plester “Y” yang bertujuan agar

sudut mulut pasien tidak jatuh. Juga perhatikan adanya kontak

iritan pada saat pemasangan plester pada pasien. Pemasang

12

Page 13: Bells Palsy

plester ini dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada

perubahan setelah fisioterapi.

F. Program Sosial Medik

Pada program ini petugas sosial medik membantu pasien

dalam hal pekerjaan, dan biaya hidup. Dalam hal pekerjaan

petugas sosial medik membantu pasien untuk menghubungi

tempat kerjanya agar sementara waktu ditempatkan ditempat

yang tidak terlalu ramai karena pasien masih cenderung minder

dalam menghadapi banyak orang di sekitar tempat kerjanya.

Untuk masalah biaya dibantu mencarikan fasilitas kesehatan

ditempat kerjanya atau bisa menghubungi keluarga pasien.

G. Latihan Mandiri di Rumah

Pasein bisa melakukan hal-hal sederhana jika sedang

berada di rumah dengan bantuan keluarga untuk membantu

pasien melakukan terapi-terapi sederhana.

Pasien bisa melakukan pemijatan pada wajah dengan arah ke

atas menggunakan tangan kearah sisi wajah yang sehat.

Latihan bersiul, latihan minum pakai sedotan, latihan

berkumur, pada saat makan mencoba menggunakan sisi yang

sakit pada saat mengunyah, menarik sudut mulut ke samping

kanan atau kiri.

Untuk perlindungan mata bisa menggunakan tetes mata

(golongan artifial tears) 3x sehari, memakai kacamata gelap

sewaktu berpergian di siang hari, menutup mata secara pasif

sewaktu akan tidur.

2.9 EDUKASI

Pasien disarankan untuk kompres air hangat setiap pagi dan sore

hari selama 10-15 menit.

Pasien disarankan melindungi mata dari terpaan debu dan angin

secara langsung untuk menghindari terjadinya iritasi dan tidak

lupa menggunakan tetes mata setiap harinya.

13

Page 14: Bells Palsy

Pasien disarankan untuk tidak tidur dilantai, saat tidur

menggunakan penutup mata dan jangan menggunakan kipas

angin secara langsung menerpa wajah.

Pasien diajarkan untuk melatih gerakan-gerakan di depan kaca

(mirror exercise) seperti: mengangkat alis dan mengkerutkan dahi

ke atas, menutup mata, tersenyum, bersiul, menutup mulut

dengan rapat, mencucu, mengangkat sudut bibir ke atas dan

memperlihatkan gigi-gigi, mengembang kempiskan cuping hidung,

mengucapkan kata-kata labial L,M,N,O dengan dilakukan sesering

mungkin.

Saat keluar malam menggunakan helm full face dengan kaca

tertutup serta memakai selayer atau masker.

2.10 KOMPLIKASI

Kontraktur : hal ini terlihat dari tertariiknya otot, sehingga lipatan

nasolabial terlihat sangat jelas pada sisi yang lumpuh. Terjadi

bila kembalinya fungsi sangat terbatas. Kontraktur tidak terlihat

jelas pada saat istirahat tapi terlihat jelas pada saat otot wajah

bergerak.

Crocodile tear phenomenon : keluarnya air mata pada saat

penderita makan. Hal ini timbul karena beberapa bulan setelah

terjadinya paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi dari

serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi

menuju kelenjar lacrimalis.

Hemifacial spasme : adanya kedutan pada wajah (otot wajah

bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan spasme otot

wajah biasanya ringan. Stadium awal mengenai satu sisi wajah

saja, tetapi kemudian dapat mengenai sisi lainnya . Kelelahan

dan gangguan psikis bisa memperberat spasme ini. Komplikasi

ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna yang bisa timbul

dalam beberapa bulan kemuda atau 1-2 tahun kemudian.

14

Page 15: Bells Palsy

Synkinesis : dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu

persatu atau tersendiri, selalu timbul gerakan yang bersamaan.

Misal pasien diminta untuk memejamkan mata, maka akan

timbul gerakkan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi

musculus platisma, dan berkerutnya dahi, hal ini di karenakan

innervasi yang salah serabut saraf yang mengalami regenerasi

bersambung dengan serabut- serabut otot yang salah.

2.11 PROGNOSIS

Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan

komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele

permanen.

Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh

total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik

dalam 3 minggu.

Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten,

dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat

rekuren.

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah

paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total),

dengan pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal

dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi

komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes,

adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan,

refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy.

15

Page 16: Bells Palsy

DAFTAR PUSTAKA

Gilden DH. Clinical practice Bell’s palsy. N Engl J Med. 2004; 351:1323-

31. 18.

Handoko Lowis, Maulana N Gaharu, 2012; Bell’s Palsy, Diagnosis dan

Tata Laksana di Pelayanan Primer. Artikel Pengembangan

Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Jurnal Indonesia

Medical Assocation. Vol:62 No1. Neurologist, Jakarta: Medical

Center Hospital

Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al.

Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a

multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol.

2007;28:408-13.

Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, Morris AM.The

spectrum of electrophysiological abnormalities in Bell’s palsy. Can J

Neurol Sci. 2001;28:130-3.

J Indon Med Assoc. 2012. Volume: 62, Nomor: 1,

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile

/1118/1104.

Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia:

Medscape. 2010.

Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian

Rakyat.

16