Bent on It

Embed Size (px)

Citation preview

69

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan Simpulan dalam penelitian ini, yaitu :1. Modifkasi bentonit dengan kation Cu2+ memberikan hasil yang baik pada

proses interkalasi bentonit, hal ini dapat dilihat dari afinitas elektronnya, morfologinya, kristalinitasnya, dan analisis gugus fungsinya. Karakteristik bentonit hasil interkalasi mempunyai tingkat kristalinitas yang lebih baik dibandingkan dengan bentonit alam jika dilihat dari difraktogramnya. Mineral khas dari bentonit yaitu mineral monmorillonit tetap dipertahankan pasca modifikasi namun memberikan pelebaran puncakOH yang diakibatkan adanya ion Cu2+ yang berikatan dengan molekul

air. Pori bentonit hasil modifikasi (Cu-BP) juga semakin baik jika dilihatdengan foto SEM. 2. Proses adsorpsi urea oleh Cu-BP dipengaruhi oleh waktu kontak, pH, dan

konsentrasi awal urea. Semakin lama waktu pengadukan , semakin banyak jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP, dan mencapai keadaan optimum pada waktu pengadukan selama 4 jam. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP semakin meningkat seiring bertambahnya satuan pH, dan mencapai keadaan optimum pada pH 6 satuan. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP meningkat seiring meningkatkan konsentrasi awal urea yang dikontakkan, adsorpsi urea oleh Cu-BP mencapai optimum padakonsentrasi awal urea 10 g/100 mL.

69

70

3. Cu-BP mempunyai efektivitas adsorpsi urea yang lebih baik daripada bentonit alamnya. Adsorpsi urea oleh Cu-BP terjadi pada pH 6, konsentrasi urea awal 4 gram/100 mL, dan selama 4 jam dengan daya adsorpsi sebesar 2,42 gram/gram Cu-BP, sedangkan pada kondisi yang sama bentonit alam hanya mempunyai daya adsorpsi sebesar

0,7 gram/gram bentonit alam.

5.2. Saran Saran yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini yaitu : 1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menentukan kondisi optimum padaproses interkalasi bentonit dengan kation Cu2+, sehingga didapatkan

material bentonit yang mempunyai sifat-sifat yang lebih baik. 2. Perlu dilakukan analisis urea dalam material Cu-BP pasca adsorpsi urea oleh Cu-BP. 3. Perlu adanyan penelitian lanjutan untuk desorpsi urea dari Cu-BP, sehingga akan didapatkan efeftivitas Cu-bentonit sebagai pupuk.

92 71

DAFTAR PUSTAKA Akhadi, Yuli P. 2000. Adsorpsi Kadmium Oleh Bentonit Alam dan Na-Bentonit Sebagai Penukar Kation. Jurnal Sains dan Matematika, No.2 Alberty , R. A and Daniels, F. 1983. Physical Chemsitry. New York : John Willey & Sons, hal. 230 234 Anonim. Synthesis of Urea. www.textoscientificos.com. 26 September 2006, 11 : 26 WIBAnonim. Pupuk Kaltim.http://pupukkaltim.com. 26 September 2006, 11: 37 WIB Anonim. Mikroskop Elektron. www.wilkipediaindonesia.com. 22 Juni 2007,

10 : 36 WIB Arryanto, Yateman. 2006. Teknologi Nano Dalam Struktur Silika Alumina lempung Alam dan Terapannya di Masa Depan. SEMNAS Kimia dan Pendidikan Kimia FMIPA Unnes Aryanti Irma, Karna Wijaya, Iqmal Tahir, Bambang Setiaji. 2002. Analisis Porosimetri dan Difraksi sinar X Terhadap Interkalasi Azobenzena ke Dalam Ruang Antar Lapis Monmorillonit. Prosiding Seminar Nasional Kimia XXII Universitas Gajah Mada , hal. 100 106 Benarsconi, G. 1995. Teknologi Kimia. Jakarta : Pradnya Paramita, hal 34 56. Castellan, G. W. 1983. Physical Chemsitry. London : Addison Wesley Published Company hal. 420 427 Cotton, F. A dan Wilkinson. 1988. Basic Inorganic Chemistry. New York : John Wiley and Sons, hal. 577 582Eickhoff dan Metz.W., 1997. The Formation of CuCl2-Graphite Form Meltz With

KCl : The Equilibrium of Nucleation, Carbon, 35 : 299 306.

Fessenden dan Fessenden, 1999. Kimia Organik (Jilid 1). Jakarta : PT. Penerbit Erlangga Mahameru, hal : 212 238. Han, Y.S., Matsumoto, H., Yamanaka. 1997. Chem. Mater., 8, 2013 Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Jakarta : Erlangga, hal. 154 194 Herlina, Anni. 1999. Pembuatan, Karakterisasi Dan Uji Aktivitas Struktur Bentonit Pada Peningkatan Kualitas Minyak Jelantah. Skripsi. Yogyakarta : FMIPA UGM, hal. 8

72 93

Hery dan Rinaldi, Nino. 2002. Karakterisasi Bentonit Termodifikasi dengan Polikation Alumunium. Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 2, No. 3, hal. 173 176. Inel, Oguz et al. 1997. Cu And Pb Adsorption On Some Bentonit Clays. Osmangazi University, Departmen of Chemical Engineering. Turkey Journal Chemistry. Vol 22 (1998) hal. 243 252. Kastono dan Dody. 2005. Pengaruh Nomor Ruas Stek dan Dosis Pupuk Urea Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kumis Kucing. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 No. 1, 2005. Hal : 56 64 Khopkar, S. M. 1984. Konsep Dasar Kimia Analitik (terjemahan). Bombay : Analytical Laboratory Department of Chemistry Indian Institut of Technology Bombay, hal. 204 243. Kurniawan, Cepi. 2002. Kajian Kinerja Bentonit Sebagai Adsorben Zat Warna Sintetis Dalam Limbah Tekstil. Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia. Hal : 27 48. Lestari, Siswati. 2002. Pembuatan Lempung Terpilar Bimetal Al-Cr dan Aplikasinya Sebagai Katalis Pada Hidrorengkah Fraksi Berat Minyak Bumi. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Liu, Jiahao. Xin Chen. Zhengzhong Shao dan Ping Zhou. 2003. Preparation and Charcterization of Chitosan / Cu (II) Affinity Membran for Urea Adsorption. Shanghai : Department of Macromolekular Sciens, Fudan University, Peoples Republic of China. Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta : CV Rajawali, hal.l 4 6. Muhdarina dan Amilia. 2003. Pilarisasi Kaolinit Alam untuk Meningkatkan Kapasitas Tukar Kation. Jurnal Natur Indonesia, 6 (1), hal. 20 - 23. Nurahmi, Emi. 2001. Uji Stabilitas Struktur Bentonit Terhadap Perlakuan Asam Sulfat dan Pemanasan. Skripsi. Yogyakarta : FMIPA UGM, hal. 1 2. Oscik, J. 1982. Adsorption. New York : John Wilwy and Sons, hal. 4 25. PT. Tunas Inti Makmur. 2000. Data Spesifikasi Kandungan Kimia dan Fisika Produk Lempung Natrium Bentonit. Semarang. Pudjaatmaka, A Hadyana dan Qodratillah, Meity Taqdir. 2002. Jakarta : balai Pustaka, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hal : 8

94 73

Robert. L Pecsok, L. Donald Shields, Thomas Cairns and Ian G McWilliam. 2000. Modern Methodsof Chemical Analysis. New York : John Wiley and Sons. Hal : 226 237 Rusman, Iip Izul falah, damn RHA SAhirul Alim. Interkalasi Cu Pada karbon Aktif dan Pemanfaatannya Sebagai Katalis Dehidrasi n AMilalkohol. Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 1, No. 1, hal. 23 29. Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Spektrokopi. Yogyakarta : Liberti. Hal : 12 37 Setiawan, Iwan. 2002. Uji Stabilitas Struktur Na-Monmorillonit Terhadap Perlakuan Asam Sulfat dan Asam Klorida. Skripsi. Yogyakarta : FMIPA UGM Scott, W. A. N. 1996. Colling Gem (Kamus Saku Kimia). Jakarta : Erlangga, hal. 84 85. Soedarmo. 1981. Petunjuk Praktek Bahan Galian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan menengah Kejuruan. Bagian Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Teknologi. Jakarta : Depdikbud, hal 40. Sofia. 2002. Investigation The Adsorpstion Properties Of The Natural Adsorbens Zeolit And Bentonit Towards Copper Ions, Mining And Mineral Processing. Annual of university of mining and geology St. Ivan Rilski. Vol 44 45 part II, hal. 93-97 Sukandarrumidi. 1999. Bahan Galian Industri. Yogyakarta : UGM Press, hal. 72 78. Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta : Rineka Cipta IKAPI hal 88. Tan, K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Yogyakarta : UGM Press, hal. 34 42. Tarigan, Poris. 1986. Spektrometri Massa. Bandung : Alumni, hal. 51 54. Schubert, Ulrirch. 2002 . Synthesis of Inorganic Materials. New York : WilleyVCH, hal. 45-59. Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Spektrokopi. Yogyakarta : Liberti. Hal. 45 100. Vaugan, D. E. W. 1988. Pillared Clays A historical Prespective, Catalysis Today. 2. 187 198.Cr2O3 dan Pemanfaatannya Sebagai Inang Senyawa p-nitroanilin.95

Wijaya, Karna. Iqmal Tahir. Ahmad baikuni. 2002. Sintessis LEmpung Terpilar Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 2, No. 2, hal. 11 19.

74

Wijaya Karna, Ani Setyo P, Sri Sudiono, Emi nurahmi. 2002. Studi Stabilitas Termal dan Asam Lempung Bentonit. Indonesia Journal of Chemistry, Vol. 2, No. 2, hal. 20 - 25. Yang, Ralph T. 2000. Pillared Clay as Superior Catalyst for Selective Catalytic Reduction of NO J of Catalist. Michigan : Department of Chemical Engineering University of Michigan.Yong-Guo Zhou , Yue-Dong Yang , Xue-Min Guo , Gui-Ru Chen. 2002. Effect of

molecular weight and degree of deacetylation of chitosan on urea adsorption properties of copper chitosan. Journal of Applied Polymer Science, Volume 89, Issue 6 , Pages 1520 1523

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul Indonesia merupakan negara agraris, dimana sebagian besar penduduknya bercocok tanam. Pembangunan pertanian di Indonesia tetap dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi semenjak sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional karena justru pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain pertumbuhannya negatif. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia : (1) potensi sumber dayanya yang besar dan beragam, (2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar, (3) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini dan (4) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan (Kastono. 1999). Untuk meningkatkan produktivitas pertanian diperlukan usaha perbaikan teknik budidaya. Salah satu usaha tersebut adalah dengan melakukan pemupukan yang efektif pada media tumbuh tanaman. Pemupukan bertujuan untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang kurang sesuai di dalam tanah, sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti penggunaan pupuk dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi tinggi. Efisiensi pemupukan haruslah dilakukan, karena kelebihan atau ketidaktepatan pemberian pupuk merupakan pemborosan yang berarti mempertinggi input. Keefisienan pupuk diartikan sebagai jumlah kenaikan hasil yang dapat

1

2

dipanen atau parameter pertumbuhan lainnya yang diukur sebagai akibatpemberian satu satuan pupuk/hara.

Kastono (1999) mengemukakan bahwa pemupukan mempunyai dua tujuan utama, yaitu: (1) mengisi perbekalan zat makanan tanaman yang cukup, dan (2) memperbaiki atau memelihara keutuhan kondisi tanah, dalam hal struktur, kondisi pH, potensi pengikat terhadap zat makanan tanaman dan sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut pemupukan harus mengikuti prinsip enam tepat, yaitu: tepat jumlah, jenis, cara, tempat, waktu, dan disesuaikan dengan sifat/jenis tanah. Kenyataan di lapangan, penggunaan pupuk di persawahan Indonesia sangat boros, sehingga trilliunan rupiah terbuang sia-sia. Petanipun harus menanggung biaya cukup besar untuk membeli pupuk yang digunakan untuk menyuburkan tanaman padinya. Situasi penyediaan dan distribusi pupuk saat ini masih menjadi masalah nasional, dan penggunaannya tidak rasional. Oleh karena itu, sejalan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani, rekomendasi teknologi pemupukan ini perlu di dorong karena dapat meningkatkan efisiensi pupuk sekitar 20% sampai 44% (http://agroIndonesia.com). Saat ini, kebutuhan pupuk buatan untuk padi sawah sekitar 4,2 juta ton per tahun atau 75 persen dari total penggunaan pupuk (5,6 juta ton), sebagian besar (75 persen) adalah pupuk urea. Saat ini penggunaan pupuk padi sawah sering tidak rasional dan berimbang dengan kisaran yang sangat lebar, yaitu 50 800 kg urea per ha, 0 200 kg SP-36 per ha, dan 0 150 kg KCl per ha (http://kompas.com).

3

Hal ini menyebabkan tingkat produktivitas yang tidak optimal, tidak efisien dan mubazir. Diperlukan suatu rangkaian penelitian dan pengembangan teknologi, serta rekomendasi pemupukan untuk padi sawah yang efisien. Diperlukan pengembangan material murah dan mudah diperoleh oleh petani. BPPT telah berhasil mengembangkan zeolit alam sebagai pupuk alami tetapi kinerjanya belum cukup optimal, sehingga diperlukan usaha untuk meningkatkan efektifitas pemupukan. Potensi cadangan lempung di Indonesia sangatlah besar dan tersebar hampir di seluruh daerah terutama di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan, namun pemanfaatannya belum optimal. Lempung dapat didefinisikan sebagai campuran partikel-partikel pasir, debu dan bagian-bagian tanah liat yang mempunyai sifat-sifat karakteristik yang berlainan dalam ukuran yang kirakira sama. Salah satu ciri partikel-partikel tanah liat adalah mempunyai muatan ion positif yang dapat dipertukarkan. Material ini mempunyai daya serap dengan berubahnya kadar kelembapan. Tanah liat mempunyai luas permukaan yang sangat besar (Mahida, 1984). Lempung merupakan adsorben yang sangat kuat dengan luas permukaan yang tinggi terutama setelah diaktivasi oleh asam. Mineral lempung terdiri atas berbagai jenis, antara lain : kaolinit, monmorilonit, illit atau mika, dan antapulgit. Monmorilonit yang dikenal dengan nama komersil bentonit merupakan kelompok mineral smektit yang tersusun oleh kerangka aluminosilikat yang membentuk struktur lapis, mempunyai muatan positif yang merata pada permukaannya dan merupakan penukar kation yang baik (Nurahmi, 2001).

4

Salah satu modifikasi lempung adalah dengan metode interkalasi. Interkalasi merupakan penyisipan suatu spesies pada ruang antarlapis dari padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya. Dengan interkalasi material lempung akan mempunyai pori yang besar, karena interkalan akan mendorong lapisan atau membuka antar lapisan untuk mengembang, sehingga akan meningkatkan kinerja adsorpsinya. Dalam penelitian skala laboratorium ini akan dikaji mengenaiinterkalasi bentonit dengan kation Cu2+ dan karakterisasinya serta uji aktvitas

bentonit sebagai pengikat urea dalam upaya untuk meningkatkan efektifitaspemupukan. Jiahao dkk (2003) telah mampu mengembangkan Cu2+ yang

diembankan ke dalam kitosan sebagai adsorben urea dalam darah. Membran ini diaplikasikan dalam sistem dialisis darah di dalam tubuh. Interkalasiterhadap karbon aktif dengan Cu2+ mampu meningkatkan surafe area dari karbon aktif tersebut, yaitu dari 286,9 m2/g menjadi 613 m2/g (Rusman, 1999).

1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini antara lain :1. Bagaimanakah karakteristik bentonit yang dinterkalasi dengan kation Cu2+

ditinjau dari morfologinya, X-ray difraction dan spektrum infra merahnya (IR) ? 2. Bagaimanakah kondisi optimum adsorpsi urea oleh Cu Bentonit ? 3. Bagaimanakah efektivitas Cu-bentonit sebagai pengadsorpsi urea ?

5

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :1. Mengetahui karakteristik bentonit terinterkalasi dengan kation Cu2+,

2. Mengetahui kondisi optimum adsorpsi urea oleh Cu Bentonit, 3. Mengetahui efektivitas Cu-bentonit sebagai binding agent pupuk urea dibandingkan dengan bentonit alam. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu : 1. Memberikan informasi tentang karakteristik bentonit terinterkalasi dengankation Cu2+,

2. Memberikan informasi tentang kondisi optimum adsorpsi urea oleh Cu Bentonit, 3. Memberikan informasi tentang efektivitas Cu-bentonit sebagai binding agent pupuk urea dibandingkan dengan bentonit alam. 1.5 Sistematika Tugas Akhir II Untuk memberikan gambaran isi dari penelitian ini, maka garis besar sistematika Tuga Akhir II ini adalah sebagai berikut : A. Bagian Pendahuluan Bagian ini terdiri dari halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan, abstrak, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran.

6

B. Bagian Isi Bagian ini terdiri dari lima bab, yaitu : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika Tugas Akhir II. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka berisi tinjauan literatur yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir meliputi bentonit yang berisi tentang definisidan sifat-sifat bentonit, proses interkalasi, tembaga, urea, binding agent, metode nessler, spektronik UV-Vis, spektrokopi infra merah, metode difraksi sinar-X, dan Scanning Electron Microscopy BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisi mengenai populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, alat dan bahan, prosedur kerja, dan metode nalisis data. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi mengenai pembahasan berisi mengenai hasil penelitian. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Penutup berisi simpulan dan saran-saran C. Bagian Akhir Bagian ini terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bentonit Bentonit adalah nama dagang untuk jenis lempung yang mengandung mineral monmorilonit antara 80 90 %. Fragmen sisa umumnya merupakan campuran dari mineral-mineral pengotor seperti kuarsa, kristobalit, feldspar, dan mineral-mineral lempung lain, tergantung pada daerah geologisnya. Menurut kamus geologi, bentonit adalah endapan karang yang dibentuk dari perubahan tempat dari abu vulkanis, komposisi terbesar dari tanah liat monmorillonit yang pada umumnya mempunyai kemampuan cukup besar untuk menyerap air, juga dipakai secara komersil dalam cairan drilling, katalis, cat, pengisi plastik dan sebagainya (Andu, 1987). Menurut Soedarmo (1981), bentonit adalah jenis batuan hasil alterasi dari material-material, gelas, tuff atau abu vulkanis. Komposisi mineral utamanya adalah mineral monmorillonit dan sedikit biedelit dengan sejumlah mineral-mineral pengikutnya seperti orthoklas, oligoklas biotit, pyroxen dan kwarsa. Bentonit merupakan mineral yang terdiri dari kristal alumino-silikat terhidrasi yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensi. Ion-ion logam tersebut dapat diganti oleh kation lain tanpa merusak struktur bentonit dan dapat menyerap air secara reversible. Bentonit tidak dapat diidentifikasi hanya berdasarkan analisa komposisi kimianya saja, melainkan harus dianalisa strukturnya. Struktur kristal bentonit, semua

7

8

atom Si dalam bentuk tetrahedral, sedangkan atom Al dalam bentuk Oktahedral. Struktur kristal monmorillonit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Stuktur Kristal Monmorillonit (Yateman, 2006). Saat ini dikenal sekitar dua jenis utama bentonit alam, yang masingmasing mempunyai nilai komersial berbeda. Bentonit dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Bentonit yang dapat menyerap air sekitar delapan kali volumenya dan dapat mengembang sampai beberapa kali. 2. Bentonit yang tidak dapat mengembang, jenis ini digunakan sebagai bleaching clay. Dalam bidang pertambangan bentonit di Indonesia belum banyak dikenal namun untuk beberapa daerah sudah diadakan penyelidikan-penyelidikan, misalnya di Wonogiri, Purwokerto, Palembang, Bintan dan lain-lain. Bentonit mempunyai ciri khas, yaitu kalau diraba seperti lilin dan teksturnya seperti sabun. Bagian-bagian yang dekat permukaan tanah condong berwarna hijau kekuningan atau abu-abu dan menjadi terang pada waktu dikeringkan. Endapan yang ada di bawah permukaan tanah condong berwarna

9

abu-abu kebiruan. Selain itu ada pula yang berwarna putih, coklat terang dan coklat kemerahan. Berdasarkan proses terbentuknya di alam, bentonit dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1. Natrium Bentonit (Swelling Bentonite)Bentonit jenis ini mempunyai kandungan ion Na+ relatif lebih banyak dibandingkan dengan kandungan ion Ca2+ dan Mg2+, selain itu bentonit juga memiliki sifat mengembang apabila terkena air. Kandungan Na2O

umumnya lebih besar dari 2%. Bentonit jenis natrium banyak digunakan sebagai pencampur pembuatan cat, perekat pasir cetak dalam industri pengecoran dan sebagainya. 2. Kalsium Bentonit (Non Swelling Bentonite)Bentonit jenis ini memiliki kandungan ion Ca2+ dan Mg2+ yang relatif lebih banyak dibandingkan kandungan ion Na+-nya, mempunyai sifat

sedikit menyerap air, dan bila didespersikan ke dalam air akan cepat mengendap (tidak membentuk suspensi), serta memiliki pH 4 -7. Cabentonit digunakan untuk bahan cat warna dan sebagai bahan perekat pasir cetak. (Sukandarrumidi, 1999) Perbedaan dan perbandingan sifat-sifat lainnya antara Na-bentonit dengan Ca-bentonit dapat dilihat pada Tabel 1.

10

Tabel 1. Sifat-sifat Na-bentonit dan Ca-bentonit Sifat Fisik Ca-bentonit Na-bentonit Kekuatan dalam keadaan basah Tinggi Perkembangan daya ikat Cepat Kekuatan tekan Sedang Panas Rendah Kering Rendah Keawetan : Daya tahan terhadap penyusutan Rendah Daya mengembang Tidak baik Kemantapan terhadap panas pada temperatur cetak Sangat baik Daya mengalirkan pasir Mudah Sedang Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sangat baik Sedang sukar

(Sukandarrumidi, 1999)Kemampuan menukar ion pada bentonit tidak hanya ditentukan oleh jenis dan jumlah ion, tetapi juga oleh gerakan kisi-kisi kristal monmorillonit. Sifat bentonit sangat tergantung pada dominasi pertukaran ion. Bentonit dapat digunakan untuk penghilangan ion Pb, Cd, Cu, Zn dari suatu larutan (Inel et al., 1997). Kemampuan bentonit dalam mengadsorpsi logam berat ini juga memungkinkan untuk menjadikan interkalasi terhada bentonit. Untuk meningkatkan kemampuan daya serap dan daya tukar ionnya, bentonit harus diaktivasi terlebih dahulu dengan pemanasan dan modifikasi dengan asam agar porositas, luas permukaan dan keasamannya meningkat. Penelitian yang telah dilakukan oleh Iwan (2002) menunjukan bahwa pemanasan pada bentonit mengakibatkan terjadinya perubahan strectching SiO-Si yang menyebabkan terjadinya gugus Si-O-Si pada sheet oktahedral maupun tetrahedral.

11

Dengan pemanasan pada Na-bentonit pada konsentrasi 3 Mmengakibatkan terjadinya perubahan deformasi ikatan H2O, hal ini karena H2O yang ada mengalami peruraian atau pelepasan. Pemanasan pada temperatur 1000 200 0C menyebabkan bentonit kehilangan molekul air yang

mengisi ruang antar layer, sehingga struktur semula menjadi hilang. Perubahan ini bersifat reversibel, tetapi akan menjadi permanen apabiladipanaskan di atas temperatur 200 0C. Pemanasan pada 200 0C dengan variasi

konsentrasi asam menunjukan intensitas panjang gelombang yang berbedapula, hal ini berarti bahwa struktur pada ikatan H2O mengalami perubahan.

Stretching Si-O-Si mengalami peningkatan, hal ini terjadi karena semakin tinggi konsentrasi maka semakin besar pula kandungan Si-O-Si yang terikat pada Na-bentonit. Pemanasan yang semakin tinggi dapat mengakibatkan puncak bentonit menjadi semakin melebar dan meluas sehingga pada akhirnyabenar-benar- runtuh pada temperatur 300 oC. Pemanasan di atas 500 700 OC

menyebabkan proses pengeluaran molekul-molekul air dari rangkaian kristal (framework), sehingga dua gugus OH yang berdekatan saling melepaskan satu molekul air (Iwan, 2002). Menurut Iwan (2002), pengolahan lempung dengan asam mineral(H2SO4) dapat meningkatkan porositas dan keasaman permukaan, sehingga

memiliki sifat lebih efektif sebagai pendukung katalis karena dapat mengalami perubahan pada struktur bentonitnya. Hasil analisis XRD dan IR menunjukan bahwa pada konsentrasi asam 2 N, kation-kation yang ada dalam layerlempung lepas dan pada konsentrasi asam di atas 4 N terjadi pelepasan Al3+

12

dan Mg2+ dari kerangka oktahedral yang menyebabkan perubahan volume pori

yang sangat tinggi. Untuk mencapai penyerapan yang optimal diperlukan pemurnian mineral alam sebelum digunakan atau dimodifikasi strukturnya dan dibuat dalam ukuran butiran tertentu dengan menggunakan binder polimer misalnya poli akrilo nitril dan poli vinil alkohol sehingga komposit bentonit dapat dibuat dalam berbagai bentuk misalnya granula, pelet, serbuk, lembaran hollow, dan sebagainya. Melalui interkalasi, bentonit akan mempunyai luas permukaan yang lebih besar daripada bentonit alamnya. Selain itu, dengan interkalasi kinerja adsorpsi dari bentonit juga meningkat, bahkan material hasil interkalasi ini dapat dilanjutkan dengan proses pilarisasi. 2.2. Proses Interkalasi Interkalasi adalah suatu penyisipan spesies tamu (ion, atom, atau molekul) ke dalam antarlapis senyawa berstruktur lapis. Schubert (2002) mendefinisikan interkalasi adalah suatu penyisipan suatu spesies pada ruang antarlapis dari padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya. Atom-atom atau molekul-molekul yang akan disisipkan disebut sebagai interkalan, sedangkan yang merupakan tempat yang akan dimasuki atom-atom atau molekul-molekul disebut sebagai interkalat. Metode ini akan memperbesar pori material, karena interkalan akan mendorong lapisan atau membuka antar lapisan untuk mengembang. Menurut ogawa dalam Rusman (1999), mekanisme pembentukan interkalasi dapat dikelompokan menjadi lima golongan, yaitu :

13

1. Senyawa interkalasi yang terbentuk dari pertukaran kation Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk dari pertukaran kation tamu dengan kation yang menyetimbangkan muatan lapis. Jumlah kation tamu yang dapat terinterkalasi tergantung pada jumlah muatan yang terkandung pada lapisan bahan inang. Lempung terpilar adalah salah satu contoh senyawa terinterkalasi yang diperoleh dari pertukaran kation. Spesies tamu dalam hal ini berperan sebagai pilar yang akan membuka lapisan-lapisan lempung. 2. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol dan pembentukan ikatan hidrogen Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk jika spesies tuan rumah (host) bersifat isolator dan tidak memiliki muatan permukaan. Interaksi antara spesies tamu dan lapisan spesies tuan rumah hanya berupa interaksi dipol dan ikatan hidrogen, oleh karena itu jenis interkalasi ini tidak stabil dan senyawa yang terinterkalasi ini dengan mudah dapat digantikan. 3. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol antara spesies tamu dan ion-ion di dalam antar lapis Senyawa interkalasi jenis ini dapat terjadi melalui pertukaran molekulmolekul solven. Pertukaran tersebut terjadi antara molekul-molekul solven yang mensolvasi ion-ion dalam antarlapis dengan molekul-molekul tamu. Hal tersebut terjadi, jika molekul tamu mempunyai polaritas yang tinggi. Pada material lempung, molekul monomer dapat terinterkalasi melalui penggantian dengan molekul air.

14

4. Senyawa interkalasi yang dibentuk dengan ikatan hidrogen Bila dibandinkan dengan senyawa interkalasi yang lain, maka spesies tamu akan terikat lebih kuat di dalam spesies induk, sehingga deinterkalasi lebih sulit terjadi. 5. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari transfer muatan Senyawa interkalasi yang terbentuk jika lapisan bahan induk bersifat konduktif. Reaksi interkalasinya dapat dinyatakan sebagai berikut :xA+ + xe- + [Z] A+x[Z]x-

xA- +

[Z]

Ax-[Z]x+ + e-

dimana A adalah ion tamu dan Z adalah spesies induk. Masuknya interkalan ke dalam lapisan interkalat maka susunan yang dimiliki interkalat mengalami perubahan. Gambar 2 menjelaskan tentang proses interkalasi dalam lempung. Lempung yang semula berbentuk lapisan alumino silikat, dengan masuknya interkalan diantara lapisan mengakibatkan lapisan terdekatnya akan terpisah menjadi lapisan alumino silikat interkalanalumino silikat.

Gambar 2. Proses Interkalasi dalam Lempung (Yateman, 2006)

15

Menurut Eickhoff dan Metz dalam Rusman (1999), mekanisme reaksi yang terjadi pada interkalasi logam klorida dalam grafit, MClx, dan gas klorin teradsorp menyebabkan suatu transfer nilai dari grafit dengan inti sehingga reaksinya adalah :nC + MClx + Cl2(ads) CnMClx+1 (ads) CnMClx+1(int)

dimana ads dan int secara berturut-turut menunjukan spesies teradsorpdan spesies terinterkalasi, M adalah ion logam seperti Cu2+, Co2+, dan Cd2+. Reaksi selanjutnya MClx netral masuk ke sisi grafit dan membentuk

kelompok interkalat lebih besar, reaksinya yaitu :CnMClx+1(int) (m-1)MClx Cn(MClx)mCl Reaksi interkalasi yang terjadi pada CuCl2 dalam bentonit

(monmorillonit) menurut mekanisme di atas dapat diramalkan sebagai berikut:spesies teradsorp pada permukaan bentonit (CuCl2, Cl2, dan CuCl3) yang akan

menyebabkan transfer muatan dari monmorillonit, dan memperbesar jarakantara 2 lapisan alumino silikat, kemudian ion-ion CuCl3

- masuk ke antara

lapisan alumino silikat, mengahasilka reaksi :

n(Al-Si) + CuCl2 Cl2(ads)

(Al-Si)nCuCl3(ads)

(Al-Si)nCuCl3(int)

CuCl2 netral akan masuk bereaksi dengan (Al-Si)nCuCl3(int) ke kristal dan

menambah kelompok interkalat menjadi lebih besar. Reaksinya :(Al-Si)nCuCl3(int) + (m-1)CuCl2 (Al-Si)n(CuCl2)mCl

Penyebaran kelompok-kelompok interkalasi pada pusat memiliki kecepatan yang tergantung pada ukurannya. Interkalasi berlangsung terus menerus sampai keadaan setimbang.

16

2.3. Tembaga Tembaga (Cu) merupakan unsur logam transisi dengan nomor atom 29 dan nomor massa 63,546. Pada Sistem Periodik Unsur (SPU), unsur tembagaterletak pada periode 4 golongan IB dengan konfigurasi elektron [Ar] 3d10 4s1.

Potensial ionisasi elektron pada 4s sangat rendah sehingga elektron dalam unsur tembaga mudah terlepas membentuk Cu (I), sedangkan Cu (II) terbentuk dengan cepat oleh lepasnya 1 elektron dari orbital 3d. Oleh karena itu, tembaga memiliki bilangan oksidasi 1 dan 2. Tembaga termasuk logam berat dengan massa jenis padatan murninyasebesar 8,96 mg/ml pada suhu 20 oC, dengan titik didih dan titik lelehnya berturut-turut yaitu 1083 oC dan 2595 oC. Tembaga juga merupakan salah satu

unsur logam murni yang kuat, keras, tahan lama, dan banyak digunakan sebagai paduan logam (alloy), pelapisan logam (electroplating) dan penghantar listrik atau conductor (Cotton, dan Wilkinson, 1998). Tembagatidak larut dalam HCl dan H2SO4 encer, namun larut dalam asam nitrat 8 M

dan asam sulfat pekat dengan reaksi sebagai berikut :

3Cu(s) + 8NO3(aq)

3Cu2+

(aq) + 6NO3

-

(aq) + 2NO(g) + 4H2O...(1)

Cu(s) + 2H2SO4(aq)

Cu2+

(aq) + SO4

2-

(aq) + SO2(g) + H2O(aq)...(2)

Senyawa tembaga di alam terdapat dalam 2 bentuk, yaitu Cu(I) danCu(II). Tembaga (I) diturunkan dari Cu(I) oksida, Cu2O yang berwarna

17

merah., sedangkan senyawa yang lain adalah senyawa yang tidak berwarna dan kebanyakan tidak larut dalam air dan mudah dioksidasi menjadi Cu(II) yang dapat diturunkan dari Cu(II) oksida yang berwarna hitam (Vogel,1990). Pada umumnya, Cu(II) berasal dari Cu (II) nitrat atau Cu(II) sulfat. Tembaga (II) nitrat dapat berupa Cu(II) nitrat trihidrat maupun heksahedrat yang merupakan kristal biru bening yang larut dalam air dan alkohol. Tembaga (II)nitrat akan kehilangan 3 molekul air pada temperatur 26,4 oC dan pada temperatur 170 oC akan terdekomposisi. Senyawa ini dihasilkan dengan

melarutkan senyawa tembaga (II) oksida dan asam nitrat dalam air, diuapkan dan kemudian dikristalkan. Tembaga (II) sulfat merupakan kristal biru, dapat terfluroresensi di udara secara lambat, berwarna putih jika terhidrasi, mudah larut dalam air dan larut dengan baik dalam alkohol dan gliserol. Tembaga (II) sulfat dapat dibuat dari pelarutan asam sulfat dan Cu (II) oksida dalam jumlah besar, kemudian diuapkan dan dikristalkan (Scott, 1996). Penggunaan tembaga sebagai pengikat urea telah dilakukan oleh Jiahao (2003) sebagai afinitas membran untuk adsorpsi urea dalam proses dialisis darah. Jiahao menginterkalasikan tembaga(II) ke dalam chitosan, hasil yang diacapai Cu(II)/Chitosan dapat mengadsorpsi urea dalam darah hingga 78,8 mg/g. Logam Cu dibutuhkan oleh sistem enzim oksidatif. Logam Cu yang dibutuhkan sebagai kompleks Cu-protein seperti terlihat pada gambar 3, yang mempunyai fungsi tertentu pada pembentukan hemoglobin, pembuluh darah, kalogen dan myelin otak. Konsumsi tembaga (Cu) yang baik bagi manusia

18

adalah 2,5 mg/kg berat tubuh orang dewasa dan 0,05 mg/kg berat tubuh untuk anak-anak dan bayi. O H H N CR H H O

RN

C Cu

H N H

H

R

C O

NH

COR

Gambar 3. Struktur Kompleks Cu-protein 2.4 Urea Urea (carbamide) merupakan padatan kristalin putih dengan rumuskimia CO(NH2)2, yang sebagian besar kandungannya adalah nitrogen. Urea ini

biasanya dalam bentuk curah dan butiran. Senyawa urea memiliki berat jenis1,3 g/l dengan titik leleh 133 oC. Urea larut dalam air tetapi tidak larut dalam

pelarut organik. Senyawaan nitrogen ini juga merupakan produk akhir dari metabolisme yang disekresikan oleh mamalia, dan disintesis dalam daur urea (reaksi biokimia yang mengubah amoniak menjadi urea). Urea juga disintesis dalam skala industri dari amoniak dan karbon dioksida untuk digunakan dalam resin urea-formaldehid (resin sintesis mengandung gugus ulangan -NH-CO-O-) dan obat-obatan, sebagai sumber nitrogen nonprotein bagi ternak ruminansia, dan pupuk nitrogen. Urea merupakan material kering dalam bentuk butiran atau curah,Urea-N secara cepat terhidrolisis menjadi NH4

+. Pupuk ini sering kali

19

digunakan untuk aplikasi langsung dalam pupuk campuran, dan dalam larutan Nitrogen. N (Nitrogen) yang pada aplikasi ini berwujud sebagai Urea-N, dan sekitar 66% dari Urea-N dihidrolisa menjadi Amonia-N dalam penggunaan 1 hari hingga 1 minggu. Reaksi urea terhidrolisis dalam air dapat dilihat pada reaksi dalam gambar 4.NH 2

H2O 2 NH4+ + CO32H2N

O

u rea

Gambar 4. Reaksi Urea Terhidrolisis Dalam Air (Fessenden dan Fessenden, 1999) 2.5. Binding Agent Binding agent dalam kamus kimia mempunyai arti sebagai pengikat suatu molekul dengan metode adsorpsi (Hadyana, 2002). Dalam penelitian ini bentonit yang sudah terinterkalasi dimaksudkan agar dapat mengikat pupuk urea dengan adsorpsi yang lemah, sehingga proses desorpsinya dapat dilakukan dengan mudah. Adsorpsi adalah gejala pengumpulan molekulmolekul suatu zat pada permukaan lain sebagai akibat ketidakjenuhan gaya pada permukaan tersebut (Alberty dan Daniels, 1993). Proses adsorpsi dapat terjadi pada seluruh permukaan benda, tetapi yang sering terjadi adalah bahan padat menyerap partikel yang berada pada limbah cair. Bahan yang diserap disebut adsorbat atau solute, sedangkan bahan penyerapnya disebut adsorben. Material-material yang dapat digunakan sebagai adsorben diantaranya adalah asam humat, tanah diatomae, bentonit, biomassa mikroorganisme air, karbon aktif, alumina, silika gel, dan zeolit.

20

Adsorpsi yang terjadi pada permukaan zat padat disebabkan oleh adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat. Energi potensial permukaan dari molekul turun dengan mendekatnya molekul ke permukaan. Molekul teradsorpsi dapat dianggap membentuk fasa dua dimensi dan biasanya terkonsentrasi pada permukaan atau antar muka (Alberty dan Daniels, 1983). Adsorpsi dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Adsorpi Fisika Adsorpsi fisik, terjadi karena adanya gaya mempunyai jarak jauh tapi lemah dan energi yang dilepaskan jika partikel teradsorpsi secara fisik mempunyai orde besaran yang sama dengan entalpi kondensasi. Adsorpsi ini bersifat reversible, berlangsung pada temperatur rendah, dan tidak perlu aktivasi. Penerapannya antara lain pada penentuan luas permukaan, analisis kromatografi, pemurnian gas dan pertukaran ion. 2. Adsorpsi Kimia Dalam adsorpsi kimia, proses adsorpsi terjadi dengan adanya pembentukan ikatan kimia dengan sifat yang spesifik karena tergantung pada jenis adsorben dan adsorbatnya. Adsorpsi kimia bersifat ireversibel, berlangsung pada temperatur tinggi, dan tergantung pada energi aktivasi. Penerapannya antara lain pada proses korosi dan katalisis heterogen (Alberty dan Daniels, 1983).

21

Proses Adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Konsentrasi Proses adsorpsi sangat sesuai untuk memisahkan bahan dengan konsentrasi yang rendah dari campuran yang mengandung bahan lain dengan konsentrasi tinggi. 2. Luas Permukaan Proses adsorpsi tergantung pada banyaknya tumbukan yang terjadi antara partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Tumbukan efektif antara partikel itu akan meningkat dengan meningkatkanya luas permukaan. Jadi, semakin luas permukaan adsorben maka adsorpsi akan semakin besar. 3. Suhu Adsorpsi akan lebih cepat berlangsung pada suhu rendah. Namun demikian pengaruh suhu adsorpsi zat cair tidak sebesar pada adsorpsi gas. 4. Ukuran partikel Semakin kecil ukuran partikel yang diadsorpsi maka proses adsorpsinya akan berlangsung lebih cepat. 5. pH pH mempunyai pengaruh dalam proses adsorpsi. pH optimum dari suatu proses adsorpsi ditetapkan melalui uji laboratorium. 6. Waktu kontak Waktu untuk mencapai keadaan setimbang pada proses serapan logam oleh adsorben berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam. (Bernasconi, 1995).

22

Permukaan zat padat dapat mengadsorpsi zat terlarut dari larutannya. Hal ini disebabkan karena adanya pengumpulan molekul-molekul suatu zat pada permukaan zat lain sebagai akibat ketidakseimbangan gaya-gaya pada permukaan tersebut. Biasanya adsorpsi diikuti dengan pengamatan isotherm adsorpsi yaitu hubungan antara banyaknya zat yang teradsorpsi persatuan berat adsorben dengan konsentrasi zat terlarut pada temperatur tertentu atau tetap yang dinyatakan dengan kurva (Oscik,1982). Dalam adsorpsi antar fase padat-gas pada tekanan rendah, mekanismenya semata-mata tergantung pada sifat gaya yang bekerja antara molekul-molekul adsorben dan adsorbat. Dalam kasus yang paling sederhana yaitu adsorpsi larutan biner. Interaksi molekul dalam adsorpsi larutan biner ditunjukan pada Gambar 5. Mekanismenya adsorpsi larutan biner tergantung pada beberapa factor sebagai berikut: 1. Gaya yang bekerja diantara molekul-molekul adsorbat (Z) dan permukaan adsorben. 2. Gaya yang bekerja diantara molekul-molekul pelarut (S) dan permukaan adsorben. 3. Gaya yang bekerja diantara molekul-molekul larutan (Z dan S) baik dalam lapisan permukaan maupun dalam fasa ruahnya. Z S

ZS

Gambar 5. Interaksi Molekul dalam Adsorpsi Larutan Biner (Oscik,1982).

23

2.6. Metode NesslerUrea di dalam air akan terhidrolisis menjadi ion NH4

+ (amonium). Ion-

ion amonium diturunkan dari amonia (NH3), dan ion hidrogen (H+). Ciri-ciri

khas ion amonium adalah serupa dengan ciri-ciri khas ion logam alkali. Dengan elektrolisis memakai katoda dari merkurium dapat dibuat amonium amalgam, yang mempunyai sifat-sifat serupa dengan amalgam dari natrium atau kalium . Garam-garam amonium umumnya adalah senyawa-senyawa yang larut dalam air, dengan membentuk larutan yang tidak berwarna (kecuali bila anionnya berwarna). Dengan pemanasan, semua garam amonium terurai menjadi amonia dan asam yang sesuai, kecuali jika asamnya tidak mudah menguap. Garam amonium dapat dihilangkan secara kuantitatif dari campuran kering dengan pemanasan (Vogel, 1990). Ion amonium dalam suasana basa akan bereaksi dengan larutan nessler membentuk senyawa kompleks yang berwarna kuning sampai coklat. Endapan coklat atau pewarnaan coklat atau kuning dihasilkan sesuai dengan jumlah ion amonium yang terdapat. Endapan tersebut adalah merkurium (II) amidoiodida basa. Reaksinya adalah :NH4

+ + 2[HgI4] + 4OH-

HgO.Hg(NH2)I + 7I- + 3H2O

Warna yang terbentuk diukur serapannya secara spektrofotometer pada panjang gelombang 400 425 nm (Vogel, 1990). 2.7. Spektrofotometri UV_Vis Spektrofotometri UV_Vis adalah suatu metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik dengan materi. Radiasi

24

elektromagnetik adalah sinar dengan panjang gelombang UV_Vis sedangkan materinya adalah molekul atau senyawa kimia. Bila radiasi pada daerah panjang gelombang UV_Vis melewati suatu molekul dengan energi yang cukup, maka energi tersebut akan diserap dan di dalam molekul terjadi transisi elektromagnetik sehingga molekul akan tereksitasi (Sastrohamidjojo, 2001). 1. Aspek analisis kuantitatif Suatu senyawa kompleks bila dilewati sinar dengan panjang gelombang tertentu akan tampak berwarna, hal ini terjadi karena sebagian sinar diserap dan sebagian lagi diteruskan. Warna yang tampak dapat terjadi karena sebagian energi digunakan untuk mentransmisikan elektron dari suatu orbital ke orbital yang lain yang energinya lebih tinggi, sehingga muncul warna spesifik. Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena mereka mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi. Panjang gelombang dimana absorpsi terjadi, tergantung pada kuat elektron itu terikat dalam molekul itu. Elektron dalam suatu ikatan kovalen tunggal akan terikat dengan kuat, dan diperlukan radiasi berenergi tinggi atau panjang gelombang pendek, untuk eksitasinya. Jika suatu molekul mengandung sebuah elektron seperti klor yang mempunyai pasangan elektron menyendiri, sebuah elektron tak terikat kuat (non bonding) dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi. Karena elektron non bonding tak terikat kuat seperti elektron bonding sigma, maka absorpsinya terjadi pada panjang gelombang yang lebih panjang (Tarigan, 1986).

25

Spektra serapan dapat diperoleh dengan menggunakan sampel dalam berbagai bentuk, antara lain : gas, lapisan tipis cairan, larutan dalam berbagai pelarut, dan bahkan zat padat. Kebanyakan kerja analisis dalam bentuk larutan, dan dalam hal ini tingkat absorpsi berbanding lurus dengan konsentrasi, jarak yang diarungi radiasi melewati larutan dan tebal larutan. Pernyataan ini dinyatakan dalam hukum Beer, yaitu : A=a.b.c Jika konsentrasi c dinyatakan dalam mol/liter (molar) dan tebal larutan dalam cm, maka absorbansinya disebut absorbtivitas molar ( ), sehingga : A= .b.c Jika dihubungkan dengan hukum Bouger menjadi :Log c I0e = .b . It

(Robert dkk, 2000) 2. Instrumentasi Instrumentasi yang digunakan untuk mempelajari absorbansi maupun emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi panjang gelombang disebut spektrofotometer. Diagram blok spektrofotometri UV_Vis dapat dilihat pada Gambar 6. Sumber sinar monokromator Wadah sampel

rekorder amplifier detektor

Gambar 6. Diagram Blok Spektrofotometri UV_Vis

26

Instrumentasi spektrofotometri UV_Vis terdiri atas : a. Sumber Sinar Sumber sinar digunakan untuk keperluan mendapatkan berkas sinar dengan panjang gelombang tertentu. Biasanya yang digunakan yaitu lampu hidrogen atau deuterium pada panjang gelombang ultraviolet dan lampu wolfram pada spektrum gelombang gelombang visibel. b. Monokromator Alat ini untuk menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang gelombang, yaitu dengan membuat sinar polikromatis menjadi sinar monokromatis. Monokromator terdiri dari serangkaian peralatan optik antara lain lensa cermin prisma atau grating. c. Wadah Sampel Umumnya disebut kuvet, terbuat dari kuarsa. Cara penggunaannya yaitu larutan tunggal dimasukan ke dalam kuvet. d. Detektor Fungsinya untuk mendeteksi sampel, dengan cara mengubah energi sinar menjadi energi listrik. Untuk spektrofotometer detektor yang digunakan adalah photo cell yang mampu mengubah sinyal analisik radiasi elektromagnetik menjadi sinyal tegangan listrik. Energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk menggerakan jarum atau mengubah angka digital. e. Amplifier Amplifier ini berfungsi untuk menguatkan sinyal yang dihasilkan oleh detektor.

27

f. Rekorder Sinyal dari detektor biasanya diperkuat, kemudian direkam sebagai spektrum yang berbentuk puncak-puncak. Plot antara panjang gelombang dan absorbansi akan menghasilkan spektrum (Sastrohamidjojo, 2001). 2.8. Spektroskopi Infra Merah Atau Infra Red (IR) Atom-atom dalam suatu molekul tidaklah diam, melainkan bervibrasi atau bergetar. Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang menghubungkan dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan oleh pegas (Hendayana, 1994). Bila radiasi Infra Merah dilewatkan melalui suatu cuplikan (dapat berupa padatan / cairan murninya), maka molekul-molekul dapat menyerap energi radiasi, sehingga terjadi perubahan tingkat vibrasi, yakni dari tingkat dasar atau ground state ke tingkat vibrasi tereksitasi atau exited state (Khopkar, 1984). Spektroskopi Infra Red (IR) merupakan teknik analisis kimia yang metodenya berdasarkan pada penyerapan sinar infra merah oleh molekul senyawa. Panjang gelombangm IR tergolong pendek, yakni 0,78 1000 m, sehingga tidak mampu mentransisikan elektron, melainkan hanya menyebabkan molekul bergetar atau bervibrasi (Khopkar, 1984). Spektrokopi IR digunakan untuk penentuan struktur, yakni informasi penting tentang gugus fungsional suatu molekul. Penentuan struktur ini dilakukan dengan melihat plot apektrum IR yang terdeteksi oleh alat spektrofotometer IR. Spektrum ini menyatakan jumlah radiasi IR yang diteruskan melalui cuplikan sebagai fungsi frekuensi atau bilangan

28

gelombang. Semakin rumit struktur suatu molekul, semakin banyak bentukbentuk vibrasi yang meungkin terjadi. Akibatnya kita akan melihat banyak pita-pita absorpsi yang diperoleh pada spektrum IR. Perlu diketahui bahwa atom-atom dengan massa rendah cenderung lebih mudah bergerak dibanding atom dengan massa atom lebih tinggi, contohnya adalah vibrasi yang melibatkan atom hidrogen sangat berarti (Hendayana, 1994). Dalam spektrofotometer, mula-mula sinar infra merah dilewatkan melalui sampel dan larutan, kemudian dilewatkan pada monokromator untuk menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray radiation). Berkas sinar ini kemudian didespersikan melalui prisma atau grating. Dengan melewatkannya melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor yang akan mengubah berkas sinar menjadi sinyal listrik yang selanjutnya direkam oleh rekorder (Tarigan, 1986) Instrumentasi spektrofotometer infra merah antara lain : 1. Sumber radiasi Sumber radiasi yang umum digunakan adalah Nerts atau lampu Glower, yang terbuat dari oksida zirkonium dan itrium, berupa batang berongga dengan diameter 2 mm dan panjang 30 mm. Batang ini dipanaskan sampaisuhu 1500 2000 oC dan akan memberikan radiasi di atas 7000 cm-1.

2. Monokromator Monokromator yang digunakan dalam spektrofotometer IR terdiri dari berbagai macam bahan, seperti prisma dan celah yang terbuat dari gelas,lelehan silika, LiF, CaF2, BaF2, NaCl, AgCl, Kbr atau CsI. Prisma NaCl

29

digunakan untuk daerah radiasi 4000 600 cm-1. Dispersi paling tinggi

dihasilkan dari refleksi grating yang disubtitusikan dalam prisma. 3. Detektor Detektor yang banyak digunakan adalah detektor termal, yaitu termokopel. Bolometer memberikan sinyal listrik sebagai hasil perubahan dalam tahanan konduktor metal dengan temperatur. (Khopkar, 1984) Pengerjaan sampel untuk spektrofotometer IR menggunakan window material, berupa alkali halida seperti NaCl, KBr atau CsI. Sampel yang dikerjakan dalam bentuk cair pada suhu kamar dan keadaan murni biasanya menggunakan jarum suntik untuk meneteskan sampel (Khopkar, 1984). Salah satu teknik pengerjaan sampel berupa padatan adalah dengan tektik KBr pelet. Teknik KBr pelet yaitu, padatan sampel digerus dalam mortal kecil bersama padatan dengan kristal KBr kering dalam jumlah sedikit sekali (0,5 2 mg cuplikan + 100 mg KBr kering). Campuran tersebut kemudian dipress dengan alat penekan hidrolitik hingga menjadi pelet yang transparan. KBr harus kering dan akan lebih baik bila penumbukan dilakukan di bawah lampu IR untuk mencegah terjadinya kondensasi uap dari atmosfer. Tablet cuplikan tipis tersebut kemudian dinetralkan di tempat sel spektrofotometer IR dengan lubang mengarah ke dalam radiasi (Sastrohamidjojo, 2001). Spektrofotometer IR digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui karakteristik padatan yang dihasilkan, seperti struktur ikatan dan gugus fungsi yang dikandungnya. Analisis identifikasi gugus fungsi dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik spektrum ikatan tertentu, mialnya spektrum IR

30

ikatan C=O terletak pada 1700 cm-1, bentuknya runcing (tajam) ata7u dikatakan spektrum kuat. Spektrum vibrasi OH terletak sekitar 3500 cm-1,

pada umumnya berikatan hidrogen sehingga melebar. Spektrumnya tidak tajam. Bila ada ikatan C=O dan gugus OH maka dimungkinkan senyawa adalah asam. 2.9. Metode Difraksi Sinar- X (X-Ray Difraction) Difraksi sinarX merupakan suatu metode analisis yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik sinar-X(mempunyai sebesar 0,5 2,5 Ao dan energi + 107 eV) yaitu pengukuran

radiasi sinar-X yang terdifraksi oleh bidang kristal. Penghamburan sinar-X oleh unti-unit padatan kristalin, akan menghasilkan pola difraksi yang digunakan untuk menentukan susunan partikel pada kisi padatan. Spektrum sinar-X terdiri dari spektrum yang kontinyu dan diskrit. Spektrum kontinyu atau spektrum putih dihasilkan oleh potensial yang lebih rendah dari 20 kV. Proses terjadinya adalah berkas elektron dengan energi yang kurang tinggi tidak dapat menembus awan elektron dalam atom target, tetapi akan terserap oleh awan tersebut dan diubah menjadi awan panas. Spektrum diskrit atau karakteristik atau khas dihasilkan oleh potensial lebih tinggi dari 20 kV. Radiasi sinar-X merupakan radiasi polikromatis, untuk mendapatkanradiasi yang monokromatis digunakan filter. Syarat logam filter : Ka-T < K-F

< K-T, dapat menyerap radiasi a dan serta mempunyai nomor atom < 1

satuan dari nomor atom target. Contoh-contoh logam target dengan filter yang sesuai adalah tercantum pada Tabel 2.

31

Tabel 2. Contoh-contoh Logam Target dengan Filter yang Sesuai Logam target Mo Logam filter Zr Cu Ni Co Fe Fe Mn Cr V

Pada tahu 1913, tak lama setelah sinar-X ditemukan oleh Willhem Rotgen, Max Van Loe berpendapat bahwa jika sinar-X dengan yang jarak = jarak antara bidang kristal (d) maka akan didifraksi oleh bidang kristal tersebut. Pendekatan paling awal pada analisis pola difraksi yang dihasilkan oleh kristal, dengan menganggap bidang kisi sebagai cermin dan kristal sebagai tumpukan bidang kisi pemantul dengan pemisahan d (Gambar 7). Sesuai dengan Hukum Bragg : jika dua berkas sinar-X yang pararel mengenai bidang-bidang kisi kristal yang sama dengan jarak antar bidang (d), maka perbedaan jarak yang ditempuh kedua kedua sinar tersebut berbanding langsung dengan panjang gelombangnya.

Gambar 7. Difraksi Sinar X pada Kristal AB + BC = n. AB = BC = d sin 2 d sin = n. 2 d sin = .

32

Pola XRD memberikan data berupa jarak interplanar (d spacing),Sudut difraksi (2 ), intensitas relatif (I/Io), indeks miller (dhkl), lebar puncak,

parameter unit sel (a, b, c, a, dan ). Analisa kualitatif maupun kuantitatif data tersebut memeberikan informasi tentang kemurnian mineral, identifikasi jenis mineral dengan membandingkan data d yang diperoleh dengan data d dari Joint Comitted of Powder Diffaction Standart ( JCPDS) dan diperjelas dengan XRD Simulated Pattern, derajat kristallinitas dengan menghitung luas puncak pada daerah yang memberikan intensitas tinggi dan memungkinkan untuk menentukan sistem kristal dan spesi oksida dari logam katalis. Ukuran partikel logam pada katalis berpengemban dapat dianalisa dengan Persamaan Scherrer.k B cos T

t=

t merupakan ukuran partikel (), merupakan panjang gelombang yang digunakan dalam analisis (), k merupakan konstanta kekasaran permukaan sampel (0,92), B merupakan lebar puncak terkoreksi (radian), danB merupakan sudut Bragg (0 ).

2.10. Scanning Electron Maicroscope (SEM) Mikroskop pemindai elektron atau SEM adalah sebuah mikroskop yang mampu melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya.

33

Mikroskop elektron ini menggunakan jauh lebih banyak energi dan radiasi elektro magnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya. Prinsip dasar dari electron microscopy ini yaitu memfokuskan sinar elektron (electron beam) di permukaan obyek dan mengambil gambarnya dengan mendeteksi elektron yang muncul dari permukaan obyek (Wikipediaindonesia, 2007). Penggunaan detektor X-ray memudahkan dalam mengambil gambar dari electron yang tereksitasi yang ditampilkan dalam layar. Prinsip dasar electron microscopy ditampilkan dalam gambar 8.

Gambar 8. Prinsip dasar electron microscopy( wilkipediaindonesia, 2007) Prosedur kerja analisis SEM yaitu pertama-tama dilakukan suatu upaya untuk menghilangkan penumpukan elektron (charging) di permukaan obyek, dengan membuat suasana dalam ruang sampel tidak vakum tetapi diisi dengan sedikit gas yang akan mengantarkan muatan positif ke permukaan obyek, sehingga penumpukan elektron dapat dihindari. Pengkodisian menimbulkan masalah karena kolom tempat elektron dipercepat dan ruang

34

filamen elektron yang dihasilkan memerlukan tingkat vakum yang tinggi. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan memisahkan sistem pompa vakum ruang obyek dan ruang kolom serta filamen, dengan menggunakan sistem pompa untuk masing-masing ruang. Di antaranya kemudian dipasang satu atau lebih piringan logam platina yang biasa disebut (aperture) berlubang dengan diameter antara 200 hingga 500 mikrometer yang digunakan hanya untuk melewatkan elektron, sementara tingkat kevakuman yang berbeda dari tiap ruangan tetap terjaga (wilkipediaindonesia, 2007)

35

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Populasi Dan Sampel Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah bentonit jenis Na-bentonit. Sampel adalah sebagian populasi yang akan diteliti. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Na-bentonit yang dibeli dari CV. Indrasari Semarang. 3.2. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas, terikat dan terkendali. a. Variabel terikat : jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-bentonit b. Variabel bebas : waktu kontak, konsentrasi urea, dan pH urea saat diadsorpsi.c. Variabel terkendali : massa bentonit, konsentrasi Cu2+, suhu kalsinasi, dan pH Cu2+ yang digunakan untuk interkalasi

3.3. Alat dan Bahan 1. Alat-alat yang digunakan dalam kigiatan penelitian ini adalah sebagai berikut : * oven * Spectronik UV-Vis * Neraca analitik * Corong Gooch

* magnetic stirrer * Shaking machine * PH meter

* Pompa vakum * Tanur 35

* Alat-alat gelas

36

* XRD Philips * Shimadzu FTIR-8400 * NOVA 1200e - Quantachrome instrument * SEM 2. Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah : * Bentonit alam, diperoleh dari CV Indrasari Semarang* CuCl2.2H2O pa diperoleh dari laboratorium Kimia Unnes

* Aquades diperoleh dari laboratorium Kimia Unnes * Pupuk Urea Sriwijaya * Reagen Nessler Balai Laboratorium Kesehatan Semarang.* Amonium Klorida pa diperoleh dari laboratorium Kimia Unnes

* Larutan buffer Universal * Larutan buffer asetat* Gas N2 dari laboratorium Kimia Unnes

3.4. Prosedur Kerja Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yakni preparasi material poribentonit, interkalasi bentonit dengan kation Cu2+, dan uji aktivitas Cu-

bentonit. Secara skematis rangkaian penelitian dapat diamati pada gambar 9, 10, 11, 12, dan 13.

37

200 gram BentonitDi ayak 100 mesh 100 g bentonit powder 1500 ml aquades dan distirer 24 jam

disaring

Endapan bentonit Suspensi bentonitDi oven 110 oC

sampai kering

Bentonit kering

Digerus dan diayak 100 mesh Bentonit powder

Gambar 9. Diagram Alir Preparasi Material Pori Bentonit

38

50 Bentonit Powder500 ml CuCl 0,3 M dan Buffer Asetat sampai pH < 3

Suspensi bentonitdi refluks 24 jam T=70 oC

Suspensi bentonitdekantasi 24 jam, lalu disaring

Endapan bentonit

Masih mengandung ion Cl-

AgNO3 1M

Pencucian

Air cucian

dengan aquades Uji Cl-

Endapan bebas ClPengeringan T=110 oC

Bentonit terinterkalasiDikalsinasi pada suhu 300 o C

selama 4 jam

Cu-BP

Gambar 10. Diagram Alir Interkalasi Bentonit dengan kation Cu2+

39

1 gr Cu - BP10 gr urea / 100 ml air

Suspensi cu-BP-urea

Diaduk dengan waktu kontak divariasi 1, 2, 3, 4, 5 jam

Suspensi cu-BP-urea

disaring

filtrat+ Lar. Nessler

Komplek ammonium-nessler (kuning)Diukur absorbansinya dengan spektronik UV_Vis

Data konsentrasi Urea sisa

Gambar 11. Diagram Alir Uji Aktivitas Cu-BP, Adsorpsi Urea pada Cu-BP dengan Variasi Waktu Kontak

40

1 gr Cu - BP10 gr urea / 100 ml air

Suspensi cu-BP-urea

Ditambah buffer dengan variasi pH 2, 5, 7, 9, dan 12

Suspensi cu-BP-urea

Diaduk dengan waktu kontak optimum

Suspensi cu-BP-urea

disaring

filtrat+ Lar. Nessler

Komplek ammonium-nessler (kuning)Diukur absorbansinya dengan spektronik UV_Vis

Data konsentrasi Urea sisa

Gambar 12. Diagram Alir Uji Aktivitas Cu-BP, Adsorpsi Urea pada Cu-BP dengan Variasi pH

41

1 gr Cu - BPDitambah urea dengan variasi 1, 2, 3, 4, dan 5 ( gr/100 mL)

Suspensi cu-BP-urea

Ditambah buffer dengan pH optimu m

Suspensi cu-BP-urea

Diaduk dengan waktu kontak optimum

Suspensi cu-BP-urea

disaring

filtrat+ Lar. Nessler

Komplek ammonium-nessler (kuning)Diukur absorbansinya dengan spektronik UV_Vis

Data konsentrasi Urea sisa

Gambar 13. Diagram Alir Uji Aktivitas Cu-BP, Adsorpsi Urea pada Cu-BP dengan Variasi Konsentrasi Urea.

42

Secara terperinci, tahapan penelitian ini dijelaskan sebagai berikut : 1. Preparasi Material Pori Bentonit. Bentonit alami yang digunakan sebagai material dasar berbentuk powder (100 mesh). Jenis bentonit ini di cuci dengan aquades dengan perbandingan (1 : 15), kemudian di aduk selama 24 jam pada suhu kamar.Endapan disaring dan dikeringkan pada suhu 110 oC. Pengeringan pada

suhu tersebut bertujuan untuk menurunkan kadar air dan material organik. Bentonit kemudian digerus dan diayak 100 mesh.2. Interkalasi Bentonit dengan Kation Cu2+

50 gram bentonit 100 mesh didespersikan ke dalam larutan CuCl2.2H2O

konsentrasi 0,3 M dengan perbandingan 1 : 10. Campuran ini kemudiandirefluks pada suhu 70oC selama 24 jam. Temperatur dijaga konstan

dengan tujuan untuk memudahkan pertukaran kation (Akhadi, 2000). Hasil refluk larutan didekantasi selama 24 jam. Pencucian terhadap endapanbentonit dilakukan dengan air bebas ion untuk menghilangkan ion Cl-. Hasil pilarisasi kemudian dikeringkan pada suhu 110oC, kemudian digerus dan diayak 100 mesh. Sampel dikalsinasi pada suhu 300oC selama 4 jam

dan dialiri udara Nitrogen. 3. Karakteristik Bentonit a. Analisis Morfologi Foto SEM Karakterisasi dengan menggunakan mikroskop pemindai elektron atau scanning electron microscope (SEM) dilakukan untuk mngetahui bentuk morfologi dari bentonit hasl modifikasi. Langkha karakterisasi ini yaitu dengan mengambil foto SEM dari bentonit sebelum dan sesudah

43

modifikasi. Hasilnya dibandingkan dan dianalisis morfologi dan perubahan- perubahan yang terjadi. Analsis SEM ini dilakukan di departemen kimia Institut Teknologi Bandung. b. Analisis Pola Difraksi dengan Sinar X (XRD Powder) X-Ray Diffraction (Difraksi sinar X). langkah karakterisasi ini dilakukan untuk menganalisis kandungan material dasar dalam bentonit sebelum atau sesudah dipilarisasi dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) Phillips. Selain itu XRD dapat digunakan untuk mengetahui pola diffraksi basal spacing setelah dimodifikasi. c. Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR Fourier Transform Infra Red (FTIR). Pada langkah ini digunakan Shimadzu FTIR-8400 untuk mengetahui junis gugus fungsi yang terdapat pada bentonit terutama untuk mengamati perubahan pola gugus Si-O dan Al-OH pada bentonit alami dan bentonit termodifikasi. 4. Adsorpsi Urea Pada Material Cu-Bentonit a. Variasi Waktu Kontak Cu-BP dimasukan ke dalam erlemenyer yang berisi larutan urea, 10 gram urea dalam 100 ml air. Campuran ditempatkan pada shaking machine dan dilakukan variasi waktu kontak (1, 2, 3, 4, 5 jam). Filtrat dipisahkan dengan cara sentrifuge. Masing-masing filtrat di analisis kadar residu urea dengan metode nessler b. Variasi pH Cu-BP dimasukan ke dalam erlemenyer yang berisi larutan urea dengan perbandingan 10 g/100 mL.pH larutan urea divariasi (2, 5, 7,9,12)

44

dan dijaga konstan dengan larutan buffer. Campuran ditempatkan pada shaking machine dengan waktu kontak hasil optimasi. Filtrat dipisahkan dengan cara sentrifuge. Masing-masing filtrat di analisis kadar residu urea dengan metode nessler. c. Variasi Konsentrasi Urea Dari hasil optimasi waktu kontak dan pH, langkah selanjutnya adalah mencampurkan Cu-BP dengan larutan urea pada pH optimum dan dilakukan variasi konsentrasi (1, 3, 5, 7 dan 9 g/100mL). Campuran ditempatkan pada shaking machine dengan waktu kontak optimum. Masing-masing filtrat di analsis kadar residu urea dengan metode nessler. 5. Metode Analisis Data a. Analisis Kualitatif dari Spektra Sinar-X, Spektrofotometri IR dan SEM. Alat X-Ray Diffraction Phillips yang terdapat di UGM Yogyakarta digunakan untuk menganalisis bentuk kristal bentonit sebelum dan sesudah modifikasi. Spektra yang dihasilkan dari diffraksi sinar-X dicocokkan dengan data 20 atau harga d JCPDS (Joint Commitee on Powder Defrraction Standar), kemudian dianalisis untuk mengetahui komponen yang terdapat dalam bentonit. Sedangkan spektra yang dihasilkan dari spektrofotometri IR dianalisis untuk mengetahui ikatan yang terjadi dan gugus fungsi yang terdapat dalam bentonit, yakni dengan membandingkan spektra sebelum dan sesudah pilarisasi. Analisis Morfologi permukaaan dilakukan dengan mengambil gambar dengan foto SEM. Foto ini dapat melihat morfologi permukaan

45

bentonit alam dengan bentonit modifikasi (Cu-BP) serta bentonit yang sudah dikontakkan dengan urea (Cu-Urea), dengan perbesaran hingga 10000 kali. Hasil komparasi antara ketiga foto ini dapat menjelaskan perubahan yang terjadi pada bentonit. b. Analisis Adsorpsi Bentonit Jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP dilakukan dengan cara menghitung kadar amonium dalam larutan pasca proses adsorpsi secara spektrofotometri dengan metode nessler. Instrumen yang digunakan yaitu spektronik UV_Vis. Penentuan ini dilakukan di balai kesehatan Jawa Tengah. Banyaknya urea yang teradsorpsi diketahui dengan cara mengurangkan konsentrasi urea mula-mula dengan konsentrasi urea sisa.Cawal : konsentrasi urea mula-mula sebelum adsorpsi Csisa : konsentrasi urea setelah adsorpsi, dihitung dengan

memplotingkan konsentrasi dengan absorbansiCserap : Urea awal - Urea sisa

Uadsorp : Jumlah urea teradsorpsi dalam material Cu-BP, dengan

VxC rumus, U a ds o rp g s er ap =ad so rb en

46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Preparasi Material Cu-Bentonit Modifikasi terhadap bentonit alam dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja bentonit. Kinerja bentonit alam sebagai adsorben maupun sebagai pengemban katalis masih kurang optimal, karena strukturnya yang masih berlapis-lapis, mudah mengembang, dan masih mengandung pengotor baik pengotor organik maupun pengotor anorganik. Perlakuan awal yang dikerjakan terhadap sampel adalah pencucian bentonit alam. Bentonit alam yang digunakan dalam penelitian ini dicuci dengan akuades, dengan tujuan untuk menghilangkan pengotor-pengotor organik yang ada pada bentonit terutama yang menempel pada bagian permukaan bentonit.Dehidrasi dilakukan pada suhu 110oC sampai kering untuk mengurangi

kandungan air dan pengotor organik yang masih menutupi permukaan bentonit. Preparasi Cu bentonit dilakukan dengan cara mendespersikan materialbentonit hasil pencucian ke dalam larutan CuCl2.2H2O 0,3 M dan direfluks pada suhu 70oC selama 24 jam. pH bentonit setelah dikontakkan dengan larutan CuCl2.2H2O adalah 3. Menurut Akhadi (2000) pertukaran kation akan berjalan optimum jika dilakukan pada suhu + 70oC dan lama pengadukan selama 24 jam.

Dengan beberapa pertimbangan, salah satunya yaitu untuk memaksimalkan pertukaran kationnya, refluks dilakukan dua tahap. Setelah didekantasi selama 24jam, endapan dikeringkan dan dikalsinasi pada suhu 300oC, dengan tujuan untuk46

47

menghilangkan molekul-molekul air dalam kerangka Aluminosilikat dan untuk membentuk oksida CuO agar bentonit mempunyai struktur yang kokoh. Menurut Heri dan Nino (2002), semakin kecil muatan dan ukuran ion yang dapat dipertukarkan, maka pertukaran ion akan semakin mudah terjadi.Kation Na+ yang terdapat dalam bentonit merupakan kation yang paling mudah

untuk dipertukarkan dengan kation lain (Akhadi, 2000), sehingga penurunankonsentrasi kation Na dan kenaikan konsentrasi Cu2+ di dalam bentonit dapat

menjelaskan terjadinya pertukaran kation. Ilustrasi mekanisme reaksi pertukaranyang melibatkan kation Cu2+ dapat dijelaskan sebagai berikut (Rusman dkk.,

2002) :Montmorillonit-(Na+)2 + Cu2+ Monmorillonit-Cu2+ + 2Na+

Bentonit hasil interkalasi, yang selanjutnya disebut dengan Cu-BP secara visual berwarna hijau kecoklatan, lain halnya dengan bentonit alam yang berwarna abu-abu keputihan. Cu-BP yang berwarna hijau kecoklatan diperkirakantelah terinterkalasi kation Cu2+ yang dalam bentuk kompleks CuCl2.Cu(OH)

dengan berwarna hijau (Vogel, 1990). Hasil interkalasi bentonit dapat dilihat pada Gambar 14.

48

Gambar 14. Bentonit Alam (a), Cu-BP (b). 4.2 Karakterisasi Bentonit Lempung Bentonit yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lempung Bentonit yang diperoleh secara komersil dari CV. Indrasari Semarang. Bahan ini memiliki komposisi kimia yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 3. Komposisi Kimia Bentonit Alam Komponen Konsentrasi (%) 51.50 SiO2 18.13 Al2O3 5.67 Fe2O3 0.56 TiO2 0.02 MnO2 CaO 2.78 MgO 1.25 K2O 0.32 Na2O 3.74 LOI 16.00

Sumber : CV. Indrasari SemarangDari tabel di atas, oksida logam yang berpeluang untuk dapat ditukartempatnya oleh kation Na+ dan kation Cu2+ pada proses pertukaran kation yaitu : Ti2+, Mn2+, Ca2+, Mg2+, K+, Na+, karena diikat relatif lemah dalam struktur

49

monmorillonit, sedangkan SiO2 dan Al2O3 tidak mudah untuk ditukar karena

merupakan penyusun rangka kristal monmorillonit. 4.1.1. Analisis Scanning Electron Microscope (SEM) Bentonit merupakan senyawa amorf dan mempunyai struktur belapis, hal ini seperti teramati pada Gambar 15 terlihat adanya lapisan-lapisan khas lempung.

SEM Bentonit alam 2000 x SEM Bentonit alam 10000 x

Gambar 15. Foto SEM Bentonit Alami (Kurniawan, 2004) Analisis permukaan dengan SEM memperlihatkan bahwa bentonit alam mempunyai kenampakan yang berlapis-lapis serta amorf, namun masih mempunyai pori. Interkalasi dimaksudkan untuk mengubah senyawa berlapis menjadi material mikropori atau mesopori dengan tetap mempertahankanstruktur berlapisnya. Hasil dari proses interkalasi bentonit dengan kation Cu2+

ditampilkan pada Gambar 16.

50

SEM Cu-BP 10000 x

Gambar 16. Foto SEM Cu-BP Gambar 16 memperlihatkan bahwa terjadi perubahan terhadap material bentonit sesudah dilakukan proses interkalasi. Perubahan ini dapat diamati secara jelas pada bagian permukaan bentonit. Tampak pada gambar telah terbentuk struktur pori yang tersebar pada struktur berlapis dari bentonit, walaupun ukuran pori yang terbentuk tidak sama (heterogen). Kristalinitas dari Cu-Bp juga lebih baik daripada bentonit alamnya. Struktur berlapis dari bentonit itu sendiri juga tampak dipertahankan, terlihat masih terdapat jarak antara lapisan yang satu dengan yang lainnya. Alasan terbentuknya pori yang heterogen disebabkan karena proses interkalasi dalam penelitian ini tidak diawali dengan pembentukan Na-bentonit yang bertujuan untuk lebih menghomogenkan kation di dalam bentonit. Tidak adanya surfaktan sebagai senyawa template organik juga berpengaruh pada pembentukan pori. Terbentuknya struktur berpori dalam material Cu-BP menjelaskan bahwa telah terjadi interkalasi di dalam material bentonit.

51

Pori-pori yang terbentuk pada permukaan bentonit memungkinkan material ini untuk melakukan kinerja adsorpsi yang lebih baik daripada bentonit alamnya. Kandungan logam Cu pada material bentonit juga berpengaruh pada sifat adsorbennya, hal ini berkaitan dengan afinitas elektronnya yang semakin meningkat sehingga mempunyai daya adsorpsi yang lebih baik. SEM Cu-urea 5000 x

Gambar 17. Foto SEM Cu-BP yang dikontakan dengan urea Analisis Cu-BP setelah dikontakan dengan urea mengalami perubahan pada pemukaannya. Analisis dengan SEM, Gambar 17 teramati adanya senyawa lain yang menempel pada permukaan bentonit, senyawa yang diperkirakan sebagai adsorbat dari pupuk urea sebagai benda bulat dan kasar, serta teramati pula rongga-rongga pada material tersebut. Diperkirakan bahwa benda bulat tersebut merupakan urea yang terserap pada permukaan bentonit, dengan sifat adsorpsi fisisorpsi karena hanya terikat pada bagian permukaan saja.

52

4.1.2. Analisis Gugus Fungsi pada Bentonit dengan Spektra Infrared (IR) Spektrokopi inframerah merupakan metode analisis yang sangat mudah dan cepat untuk mengkaji perubahan struktur lempung terpilar atau terinterkalasi di dalamnya. Spektra inframerah ini dapat mengetahui keberadaan gugus-gugus fungsional utama di dalam struktur senyawa yang diidentifikasi. Metode analisis spektrokopi inframerah sangat bermanfaat untuk melengkapi data karakteristik difraksi sinar X. Identifikasi yang dihasilkan lebih bersifat kualitatif yakni pengenalan keberadaan gugus-gugus fungsional yang ada. Pada kasus identifikasi bentonit, tinjauan utama yaitu untuk melihat keberdaan gugus hidroksi yang disebabkan molekul air yang terserap atom gugus O-H pada permukaan lapisan oktahedral serta gugus Si-O-Si pada lapisan tetrahedral. Beberapa senyawa memiliki karakteristik khusus pada daerah serapan inframerah. Seperti halnya senyawa lain, bentonit memberikan serapan pada daerah inframerah. Meskipun demikian, pita-pita serapan tersebut belum dapat dispesifikkan untuk satu jenis mineral karena bentonit tersusun atas banyak jenis atom dan banyak terjadi interaksi ikatan antaratom dalam mineral. Spektra infra merah bentonit alam, Cu-BP, dan Cu-BP-Urea ditampilkan pada Gambar 18.

53

Gambar 18. Spektra FTIR bentonit alam (a), Cu-BP (c), dan Cu-BP-Urea (b)

Interprestasi spektum inframerah bentonit alam, Cu-BP, dan Cu-BPurea dapat dilihat pada Tabel 4.

54

Tabel 4. Interprestasi spektum inframerah bentonit alam, Cu-BP, dan Cu-BP-urea No Hasil Analsis Intreprestasi Gugus Fungsional (tipe vibrasi) 1. 3425,3 (B-alam) 3409,9 (Cu-BP) 3463,9 (Cu-urea) 3500 3200Frekuensi daerah serapan (cm-1)

Vibrasi Ikatan H (Sastrohamidjojo, 2001) 3650 3200 3500 3200 Gugus OH (Sastrohamidjojo, 2001) Vibrasi Rentang OH Bebas 3440,8 (Sastrohamidjojo, 2001) Vibrasi renggang OH (Wijaya dkk., 2002) 4000 - 3000atau gugus OH oktahedral danGetaran renggang dari air yang terserap

(Wijaya.dkk, 2002 2. 3359,5 (Cu-urea) 3750 3000 Renggang N-H (Clifford J, 1982)

3. 1670,2 (Cu-urea) 1690 - 1640 Ikatan rangkap C-N (Clifford J, 1982) 4. 1627,8 (B-alam) 1624,0 (Cu-BP) 1624,0 (Cu-urea) 5. 1041,5 (B-alam) 1055 (Cu-BP) 1045,3 (Cu-urea) 1637,5 Monmorillonit (Wijaya dkk., 2002)

6. 918,1 (Cu-alam) 923,8 (CuBP) 921,9 (Cu-urea) 7. 794,6 (B-alam) 792,7 (Cu-BP) 790,8 (Cu-urea) 8. 516,9 (B-alam) 516,9 (Cu-urea) 8. 470,6 (B-alam) 474,5 (Cu-BP) 470,6 (Cu-urea) 9. 355,6 (B-alam) 366,4 (Cu-BP) 380,0 (Cu-BP) 414,7 (Cu-BP)

Renggangan asimetris O-Si-O (Wijaya dkk., 2002) 1082 Vibrasi rentangan Si-O 1135 1100 (Sastrohamidjojo, 2001) 1041,5 916,1 Vibrasi Si-O-Si (John.A.Dean, 1998) Monmorillonit dan vibrsi tekuk OVibrasi Si-O (Kurniawan, 2002) 915 Al-O (Aryanti dkk., 2002) 794,6 Karaktristik SiO2 (Kurniawan, 2002) Monmorillonit (Kurniawan, 2002)1039,6 522,7 Vibrasi renggangan Mg-O (Wijaya dkk., 1992) 470,6 Vibrasi tekuk Si-O (Wijaya dkk., 2002) 300 - 500 Intensitas kuat dari unsur logam(Sastrohamidjojo, 2001)

55

Spektra FTIR yang tercantum pada Gambar 18 memperlihatkan puncak-puncak serapan gugus gugus fungsional dari bentonit dan Cu-BP. Berdasarkan spektra bentonit alam (a) di atas vibrasi Si-O pada lapisantetrahedral teramati pada bilangan gelombang 470,6 cm-1 dan 794,6 cm-1 yang dihasilkan dari vibrasi Si-O-Al , Si-O-Si, dan karakteristik SiO2. Puncak serapan pada 1041,5 cm-1 yang melebar memberikan gambaran tentang vibrasi

tekuk ikatan O-Si-O dari lapisan silika. Pita pada bilangan gelombang794,6 cm-1 merupakan karakteristik dari kuarsa (SiO2). Mineral yang

didominasi oleh montmorillonit puncak ini menunjukkan vibrasi dari tekukhidroksida logam seperti Mg2+ dan Fe3+ (Srasra et al., 1994), pada spektra teramati pada bilangan gelombang 516,9 cm-1 sebagai vibrasi regangan Mg-O.

Vibrasi dari atom-atom khas monmorillonit muncul pada bilangangelombang 1627,8; dan 918,1 cm-1. Pita serapan yang melebar pada panjang gelombang 3425,3 cm-1 merupakan uluran dari gugus OH yang terletak pada

lapisan oktahedral, yaitu gugus OH yang terikat pada Al (Kurniawan, 2002) danpada pita serapan 1627,8 cm-1 terdeteksi sebagai vibrasi tekuk dari air terhidrat.

Spektra inframerah Cu-BP (Gambar 18, c) menunjukan pita-pita serapan pada bilangan gelombang 300 400; 474,5; 792,7; 923,8; 1055; 1624;dan 3409,9 cm-1. Pita serapan 300 400 cm-1 dengan intensitas yang tajam

diidentifikasi sebagai serapan vibrasi suatu logam, dimungkinkan serapan inimerupakan vibrasi dari Cu2+ yang terinterkalasi pada lapisan silika dari

bentonit. Vibrasi Si-O pada lapisan tetrahedral tidak begitu mengalami perubahan pasca interkalasi bentonit, hal ini teramati pada bilangan gelombang

56

474,5 cm-1 dan 1055 cm-1. Vibrasi regangan Mg-O pada bentonit pasca

interkalasi tidak teramati, kemungkinan hal ini diakibatkan adanya pertukarankation dalam lapisan lempung yaitu antara Mg2+ dengan Cu2+. Pita serapan kuarsa (SiO2) juga tidak mengalami perubahan yang signifikan pasca modifikasi, vibrasi SiO2 teramati pada bilangan gelombang 792, 7 cm-1. Manea

dan Badulescu mengungkapkan bahwa dalam larutan dengan pH rendah pertukaran ion pada lempung terutama lapisan oktahedral teramati sebagai pitaserapan dengan bilangan gelombang 610 dan 770 cm-1 (Kurniawan,2002).

Mineral khas dari bentonit yaitu mineral monmorillonit tetapdipertahankan, hal ini teramati pada bilangan gelombang 1624 dan 923,8 cm-1.

Pergeseran dan pelebaran pada pita vibrasi OH dimana terjadi pelebaran yangsangat besar teramati pada bilangan gelombang 3409,9 cm-1. Daerah antara 4000 3000 cm-1 merupakan getaran regang dari air yang terserap dan gugus

OH oktahedral (Wijaya dkk., 2002). Peleberan pita ini disebabkan banyaknya molekul air yang terkandung dalam kerangka silikaalumina dari bentonit, walaupun pada proses preparasi telah dilakukan dehidrasi molekul air melalui pengeringan maupunkalsinasi. Fenomena ini berkaitan dengan adanya kation Cu2+ yang terinterkalasi

di dalam bentonit. Adanya logam Cu berada dalam bentuk kationnya, dapat diamati pada pelebaran pita spektra yang teramati pada bilangan gelombang3409,9 cm-1. Pelebaran spektra ini mengindikasikan bahwa molekul air yangterserap dalam material bentonit disebabkan adanya kompleks antara Cu2+

57

dengan H2O. Ion Cu (II) termasuk sistem d9 yang dapat membentuk kompleks dengan mengikat 4 ligan H2O membentuk geometri segiempat planar atau 6 H2O membentuk oktahedral dengan adanya distorsi. Dengan adanya fenomena

ini maka kandungan air di dalam material Cu-BP justru lebih banyak daripada kandungan air dalam bentonit alam.Adanya kation Cu2+ memungkinkan untuk pembentukan kompleks

dengan urea, sehingga adsorspsi urea yang terjadi di dalam material Cu-BP tidak hanya dipengaruhi oleh ukuran pori, tetapi juga dipengaruhi oleh afinitas elektron dan adanya atom pusat untuk pembentukan kompleks dengan urea. Penjelasan mengenai adanya senyawa urea dalam material Cu-BP ditampilkan pada Gambar 18 (b). Gambar 18 (b) memperlihatkan pita serapan komposit Cu-BP-Urea.Bilangan gelombang 3359,5 cm-1 merupakan vibrasi simetris NH2. Adanya senyawa urea (CO(NH2)2) di dalam material Cu-BP juga dapat diamati pada bilangan gelombang 1326,9 cm-1 yang merupakan vibrasi C-H amina, bilangan

gelombang 1670,2 merupakan vibrasi ikatan rangkap C N. Lapisan khas monmorillonit dari Cu-BP-Urea tetap dipertahankan pada bilangan gelombang1624 cm-1 dan 921, 9 cm-1.

Ada dua kemungkinan dengan adanya logam Cu dalam bentonit, muatan permukaan bentonit menjadi cenderung negatif (yang kaya oksigen/oksida), tapi ada juga bagian yang positif (yang kaya logam valensi tinggi). Fenomena permukaan bentonit disajikan pada Gambar 19.

58 Tetrahedral site

----------

+++++++++

Oksida logam

Ex changeable kation multivalen

Oktahedral site

Gambar 19. Fenomena Permukaan bentonit Sebaran muatan seperti di atas tidaklah homogen. Jadi urea bisa berinteraksi dengan bentonit dengan memanfaatkan gugus karbonil dan gugus aminanya. Seperti yang diketahui senyawa urea mempunyai dua gugus fungsional, yaitu gugus karbonil dan gugus amina. Gugus karbonil cenderung bersifat postif dan gugus amina bersifat relatif negatif. Strukur urea dapat dilahat pada Gambar 20.Ujung karbonil relative negatif

Ujung Amina relative p ositif

Gambar 20. Struktur Urea Dalam 3 Dimensi Dari proses dekomposisi Urea:CO(NH2)2 + 2H2O CO3 Spesi CO3 2- + 2NH4+

2- merupakan spesi yang akan berinteraksi dengan site + merupakan spesi yang akan

positif pada bentonit, sedangkan gugus NH4

59

berinteraksi dengan site negatif pada bentonit. Kondisi seperti ini yang menyebabkan bentonit digunakan sebagai adsorben senyawa organik maupun anorganik yang bersifat anionik dan kationik. 4.1.3. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) Secara umum mineral lempung menunjukan refleksi d(001) (basalspacing) pada kisaran sudut 2 teta antara 2o sampai 10o. Mineral lempung

diidentifikasi oleh refleksi bidang (001). Intensitas tertinggi dari mineral lempung diperoleh dari bidang tersebut. Difraktogram dari bentonit alam ditampilkan pada Gambar 21. Meskipun bentonit dikelompokkan pada mineral amorf, tetapi mineral dasarnya berbentuk kristalin. Analisis kualitatif terhadap bentonit alam menunjukan bahwa bentonit alam tersusun atas mineralmonmorillonit, kristobalit, a-Quarsa, SiO2, dan CaCO3. Tentu saja komposisi

masing-masing mineral berbeda-beda karena proses pembentukannya di alam dan distribusi mineral sangat heterogen.

60

Gambar 21. Difraktogram Bentonit Alam (a), dan Cu-BP (b) Difraktogram bentonit alam yang ditunjukan pada gambar 21 (a) dan dicocokan dengan JCPDS menunjukan hasil dengan beberapa kategori yaitumineral penyusun utama monmorillonit yang ditunjukan oleh harga 2 =5,733o

(d=15,40242 Ao), 2 =18,3033o (d=4,84319 Ao), 2 =44,93o (d=2,01586 Ao), dan 2 =62,165o (d=1,49204 Ao). Puncak tajam pada 2 =25,9o (d=3,43279 Ao), 2 =28,36o (d=3,14448 Ao), 2 =55,47o (d=1,65520 Ao), 2 =57,33o (d=1,60584 Ao), 2 =64,71o (d=1,43937 Ao), dan 2 =65,42o (d=1,42546 Ao) merupakankarakteristik dari mineral kristobalit. Sementara untuk puncak tajam 2 =40,46o

(d=2,27766 Ao) merupakan karakteristik puncak dari mineral a-Quarsa, 2 =28,98o (d=3,07860 Ao) menunjukan adanya SiO2, serta 2 =35,855o (d= d=2,50249 Ao) menunjukan adanya SiO2 dan CaCO3. Dari data difraktogram

61

tersebut dapat disimpulkan bahwa lempung yang digunakan adalah lempung monmorillonit. Perlakuan modifikasi terhadap suatu mineral monmorillonit akan membawa perubahan dan pergerseran bidang refleksi bidang d(001). Difraktogram dari bentonit termodifiksi (Cu-BP) ditampilkan pada Gambar 21 (b). Modifikasi terhadap bentonit alam ini juga tetap dapat mempertahankan struktur kompenen mineral utamanya yaitu mineral monmorillonit yangteridentifikasi pada harga 2 =18,04o (d=4,91328 Ao), 2 =25,98o (d=3,42689 Ao), 2 =44,78o (d=2,02227 Ao), dan 2 =62,025o (d=1,49507 Ao). Karakteritik dari kristobalit dapat dilihat pada 2 =21,8066o (d=4,07239 Ao), 2 =32,49o (d=2,75358 Ao), 2 =55,24o (d=1,66154 Ao), 2 =56,64o(d=1,62375 Ao), dan 2 =65,35o (d=1,42682 Ao). Puncak tajam pada 2 =29,55o

(d=3,0205 Ao), 2 =35,755o (d=2,50926 Ao), dan 2 =38,36o (d=2,34464 Ao)

merupakan puncak karateristik untuk mineral a-Quarsa. Sementarakaraketeristik untuk Cu ditunjukan pada 2 =16,3525o (d=5,41631 Ao), 2 =44,78o (d=2,02227), 2 =48,13o (d=1,88904 Ao), 2 =50,18o (d=1,81657 Ao), 2 =57,375o (d=1,60468 Ao), dan 2 =76,13o (d=1,24936 Ao).

Berdasarkan difraktogram bentonit alam dan bentonit modifikasi (Cu-BP) di atas dapat diamati bahwa telah terjadi penurunan basal spacing dari bentonit alamnya, hal ini ditunjukan dari pergeseran bidang refleksi d(001) dari15,40242 Ao (2 =5,733o) menjadi 10,11510 Ao (2 =8.735o). Pada proses

interkalasi seharusnya akan terjadi peningkatan basal spacing yang diakibatkan adanya interkalan (spesi logam) yang mampu menyokong tiap lapisan (layer)

62

pada struktur bentonit. Kejanggalan ini diakibatkan oleh adanya molekulmolekul air yang mengisi jarak antar lapis dari struktur Cu-BP , sehingga akan mempengaruhi pengukuran bidang refleksi d(001). Asumsi lain dari penurunan basal spacing ini yaitu bahwa proses interkalasi tidak sepenuhnya membuat interkalat dalam bentuk oksidanya, sehingga struktur mineral yang diinterkalasi akan runtuh pasca pemanasan (kalsinasi). Hal ini juga mengindikasikan selmengkerut karena terjadi pemutusan ikatan Al-O-Al (1,69 Ao) dan digantikan oleh Si-O-Si (1,61 Ao) (Hamdan, 1992). Konsenkuensi di atas adalah penurunan

intensitas puncak (I) dan munculnya intensitas gabungan dari puncak-puncak yang kurang tinggi sehingga terjadi pelebaran puncak/broadening (Jozefaciuk, 2002). 4.2. Penentuan Kondisi Adsorpsi Untuk mengetahui kondisi optimum adsorpsi dilakukan pengukuran beberapa parameter dengan absorbansi sampel sebagai variabel terikat dari semua tahap percobaan. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah waktu pengadukan, derajat keasaman (pH), dan konsentrasi pupuk urea. 4.2.1. Optimasi Waktu Pengadukan Proses adsorpsi urea oleh bentonit modifikasi (Cu-BP) dipengaruhi oleh waktu reaksi, semakin lama waktu reaksi jumlah urea yang diadsorpsi atau yang terikat akan semakin banyak dan proses adsorpsi semakin efektif, hingga mencapai keadaan setimbang. Hasil penelitian tentang optimasi waktu reaksi (waktu kontak) urea terhadap Cu-BP disajikan dalam Gambar 22.

63

Optimasi Waktu Kontak3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0123456 Waktu Kontak (jam)

Gambar 22. Grafik Optimasi Waktu Kontak (Data Dari Lampiran 9) Kondisi awal adsorpsi urea oleh adsorben Cu-BP yaitu pada pH 6, jumlah adsorben bentonit 1 gram, dan konsentrasi urea 10 gram/100 mL. Gambar 22 menunjukan bahwa waktu pengadukan (waktu kontak) optimum adsorpsi urea oleh Cu-BP dicapai pada waktu 4 jam yaitu sebesar 2,86 gram/gram Cu-BP. Waktu kontak 1 jam, urea yang teradsorpsi oleh adsorben Cu-BP yaitu sebesar 1,54 gram/gram Cu-BP. Jumlah urea yang teradsorpsi terus meningkat hingga mencapai optimum pada waktu 4 jam. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP menurun pada waktu kontak 5 jam, yaitu sebesar 2,64 gram/gram Cu-BP, hal ini menunjukan telah tercapainya kesetimbangan adsorpsi. Penurunan jumlah urea yang teradsorpsi ini diasumsikan terjadi akibat adanya interaksi adsorben dengan adsorbat yang kelewat jenuh, dimana spesies adsorbat yang teradsorpsi oleh adsorben Cu-BP terlalu lama (melebihi waktu kontak optimum). Asumsi lain menyebutkan

64

bahwa proses pengadukan juga akan mengakibatkan terjadinya tumbukan antara partikel adsorbat dengan partikel adsorben secara tepat dan kontinyu, sehingga ada kemungkinan adsorbat akan dilepaskan kembali oleh adsorben (Oscik, 1992). 4.2.2. Penentuan pH Optimum Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya adsorspi urea pada adsorben Cu-BP adalah derajat keasaman (pH). Untuk mengetahui besarnya pH optimum pada adsorspi urea perlu dilakukan dengan memvariasikan pH pada waktu kontak dan konsentrasi tertentu. Hasil pengukuran untuk mengetahui pH optimum pada adsorpsi urea oleh Cu-BP dapat dilihat pada Gambar 23.

Optimsi pH Adsorpsi3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 02468101214 pH

Gambar 23. Optimasi pH Adsorpsi (Data Dari Lampiran 11) Gambar 23 menunjukan bahwa pH optimum untuk adsorpsi urea oleh Cu-BP terjadi pada pH 6, yaitu sebesar 2,86 gram/gram Cu-BP. Yong-Guo

65

Zhou,dkk (2002) menunjukan bahwa pH optimum adsorspi urea oleh logam Cu yang diembankan pada chitosan terjadi pada pH 6. Kondisi yang terlalu asam (pH 2) dan terlalu basa (pH 12) tidak dapat memberikan hasil yang baik dalam proses adsorpsi urea oleh Cu-BP. Kondisi yang terlalu basa akan menyebabkan urea terhidrolisis secara cepat menjadi ammonium dan akhirnya menguap menjadi amoniak, sehingga kadar urea yang ada dalam larutan menjadi sangat kecil. Kondisi yang terlalu asam menyababkan permukaan bentonit kelebihan proton yang akan mengganngu proses adsorpsi pupuk urea. Kondisi asam (pH 2) memberikan adsorpsi urea sebesar 1, 36 gram/gram Cu-BP dan kondisi basa (pH 12) hanya memberikan adsorpsi urea sebesar 1,22 gram/gram Cu-BP. 4.2.3. Penentuan Konsentrasi Urea Optimum Hasil penelitian tentang pengaruh derajat keasaman (pH) terhadap adsorpsi urea oleh adsorben Cu-BP disajikan dalam Gambar 24.Optimasi Konsentrasi3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0246810 Konsent rasi awal (g/100 mL) 12

Gambar 24. Optimasi Konsentrasi Urea (Data Dari Lampiran 13)

66

Gambar 24 menunjukan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi awal urea, kemampuan adsorpsi Cu-BP akan semakin meningkat hingga sampai pada konsentrasi tertentu. Berdasarkan Gambar 25, bahwa konsentrasi optimum adsorpsi urea oleh Cu-BP terjadi pada konsentrasi awal urea 10 gram/100 mL yaitu sebesar 2,86 gram/gram Cu-BP. Pada proses adsorpsi terdapat permukaan penyerap yang berupa adsorben. Adsorben ini terdapat permukaan sisi aktif yang proporsional dengan permukaan dengan luas permukaan penyerap (adsorben). Dengan adanya sisi aktif yang proporsional dengan permukaan adsorben ini, jika konsentrasi urea meningkat tetapi luas permukaan adsorben tetap, maka secara linear daya adsorpsi akan semakin meningkat hingga pada konsentrasi tertentu. Konsentrasi yang terlalu berlebih pada proses adsorpsi juga akan menimbulkan kompetisi antar molekulnya untuk masuk ke dalam pori atau untuk berikatan dengan sisi aktifnya. Kompetisi ini akan mengakibatkan sintering pada pori-pori adsorben, sehingga akan menurunkan daya adsorpsinya. 4.3. Efektivitas Cu-BP Sebagai Binding Agent Pupuk Urea Efektivitas Cu-BP sebagai binding agent pupuk urea dilihat dari hasil analisis urea yang teradsorpsi oleh Cu-Bp dan urea yang teradsorpsi oleh bentonit alam pada kondisi optimum. Hasil analisis efektivitas Cu-BP sebagai binding agent pupuk urea dapat dilihat dalam Gambar 25.

67

Efektivitas Cu-BP Sebagai Binding Agent Pupuk Ur ea 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0123 456Konsen trasi Urea (g/100 mL)

Cu-BP B-Alam

Gambar 25. Perbandingan Daya Adsorpsi Cu-Bp dengan Bentonit Alam Hasil pengukuran adsorpsi urea seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 25, memperlihatkan bahwa Cu-BP mempunyai daya adsrorpsi urea yang lebih besar daripada bentonit alam. Efektivitas Cu-BP sebagai binding agent pupuk urea terlihat pada kondisi pH 6, konsentrasi urea 4 g/100 mL, dan waktu kontak 4 jam dapat mengadsorpsi pupuk urea sebesar 2,42 g/g Cu-BP, sedangkan Bentonit alam pada kondisi yang sama yaitu pada pH 6, konsentrasi urea 4 g/100 mL, dan waktu pengadukan 4 jam hanya mampu mengadsorpsi pupuk urea sebesar 0,7 g/g bentonit alam. Perbedaan daya adsorpsi ini disebabkan adanya modifikasi bentonitalam melalui proses interkalasi dengan kation Cu2+. Dengan proses interkalasi

akan memberikan struktur pori serta kristalinitas yang lebih baik dari bentonit alamnya. Kemampuan mengadsorpsi pupuk urea dipengaruhi oleh

68

kekristalinitas dan struktur pori dari betonit (Cu-BP). Interkalasi bentonitdengan kation Cu2+ juga meningkatkan afinitas dari permukaan bentonit.

Meningkatkannya afinitas elektron ini memberikan kemudahan dalam mengadsorpsi pupuk urea. Berbeda dengan bentonit alam, yang struktur morfologinya masih berlapis-lapis menyebabkan proses adsorpsi tidak maksimal. Banyaknya impuritis seperti mineral organik maupun mineral anorganik mengakibatkan proses adsorpsi juga tidak optimal, oleh karena itu daya adsorpsi dari betonit modifikasi (Cu-BP) lebih baik dari bentonit alam.

69

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan Simpulan dalam penelitian ini, yaitu :1. Modifkasi bentonit dengan kation Cu2+ memberikan hasil yang baik pada

proses interkalasi bentonit, hal ini dapat dilihat dari afinitas elektronnya, morfologinya, kristalinitasnya, dan analisis gugus fungsinya. Karakteristik bentonit hasil interkalasi mempunyai tingkat kristalinitas yang lebih baik dibandingkan dengan bentonit alam jika dilihat dari difraktogramnya. Mineral khas dari bentonit yaitu mineral monmorillonit tetap dipertahankan pasca modifikasi namun memberikan pelebaran puncakOH yang diakibatkan adanya ion Cu2+ yang berikatan dengan molekul

air. Pori bentonit hasil modifikasi (Cu-BP) juga semakin baik jika dilihatdengan foto SEM. 2. Proses adsorpsi urea oleh Cu-BP dipengaruhi oleh waktu kontak, pH, dan

konsentrasi awal urea. Semakin lama waktu pengadukan , semakin banyak jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP, dan mencapai keadaan optimum pada waktu pengadukan selama 4 jam. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP semakin meningkat seiring bertambahnya satuan pH, dan mencapai keadaan optimum pada pH 6 satuan. Jumlah urea yang teradsorpsi oleh Cu-BP meningkat seiring meningkatkan konsentrasi awal urea yang dikontakkan, adsorpsi urea oleh Cu-BP mencapai optimum padakonsentrasi awal urea 10 g/100 mL.

69

70

3. Cu-BP mempunyai efektivitas adsorpsi urea yang lebih baik daripada bentonit alamnya. Adsorpsi urea oleh Cu-BP terjadi pada pH 6, konsentrasi urea awal 4 gram/100 mL, dan selama 4 jam dengan daya adsorpsi sebesar 2,42 gram/gram Cu-BP, sedangkan pada kondisi yang sama bentonit alam hanya mempunyai daya adsorpsi sebesar

0,7 gram/gram bentonit