Upload
vuonghanh
View
219
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BIAYA ADMINISTRASI PEMBIAYAAN DI BANK SYARIAH (Studi Bank Syariah di Daerah Istimewa Yogyakarta)
Oleh :
Samino Setiawan, S.Ag NIM : 05.233.334
TESIS
Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister Studi Islam
YOGYAKARTA 2009
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Samino Setiawan, S.Ag.
NIM : 05.233.334
Jenjang : Magister
Program Studi : Hukum Islam
Konsentrasi : Keuangan dan Perbankan Syariah
menyatakan bahwa naskah tesis ini secara keseluruhan adalah hasil
penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk
sumbernya.
Yogyakarta, 27 Juli 2009
Saya yang menyatakan,
Samino Setiawan, S.Ag. NIM: 05.233.334
iii
NOTA DINAS PEMBIMBING
Kepada Yth.
Direktur Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Assalamu’alaikum wr. wb.
Setelah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi terhadap penulisan tesis
yang berjudul:
BIAYA ADMINISTRASI PEMBIAYAAN DI BANK SYARIAH
(Studi Bank Syariah di Daerah Istimewa Yogyakarta)
yang ditulis oleh:
Nama : Samino Setiawan, S.Ag
NIM : 05.233.334
Jenjang : Magister (S2)
Program Studi : Hukum Islam
Konsentrasi : Keuangan dan Perbankan Syariah
saya berpendapat bahwa tesis tersebut sudah dapat diajukan kepada Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk diujikan dalam rangka memperoleh gelar
Magister Studi Islam.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Yogyakarta, 27 Juli 2009
Pembimbing,
Prof. Dr. H. Abd. Salam Arief, MA NIP. 19490521 198303 1 001
iv
ABSTRAK Perbankan syariah selama ini masih mengadopsi sistem perbankan konvensional dalam penentuan biaya administrasi pembiayaan. Sistem yang dilegalkan dan dibakukan bahwa biaya administrasi pembiayaan harus dimunculkan dengan cara yang sama dengan penentuan biaya administrasi kredit di perbankan konvensional. Indikasi permasalahan muncul karena adanya penggunaan konsep time value of money dalam penentuan biaya administrasi pembiayaan. Padahal, para ekonom muslim banyak yang berpendapat bahwa konsep tersebut dilarang oleh syariah. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengungkap bagaimana sebenarnya praktik pemberlakuan dan penentuan biaya administrasi pembiayaan di perbankan syariah. Selain itu, bagaimana tinjauan syariah atas praktik pemberlakuan dan penentuan biaya administrasi pembiayaan di perbankan syariah. Bentuk sampel dalam penelitian ini adalah purposive sample, karena pemilihan sampel didasarkan atas ciri-ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penelitian ini mengambil populasi (obyek) bank umum syariah meliputi dua bank fully sharia, dengan sampel Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, serta dua bank syariah dengan sistem dual banking, dengan sampel Bank BTN Syariah dan Bank BRI Syariah. Semuanya berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan metode grounded theory, yaitu teori yang dihasilkan diperoleh secara induktif dari penelitian tentang hasil wawancara. Oleh karena itu teori ditemukan, disusun dan dibuktikan melalui pengumpulan data yang sistematis dan analisis data yang berkenaan dengan hasil wawancara tersebut. Analisis data menggunakan pengkodean berbuka, pengkodean berporos dan pengkodean berpilih. Dilanjutkan dengan teknik analisis evaluasi yuridis-syar’i. Hasil pembahasan penelitian ini menunjukkan bahwa pertama pengukuran biaya administrasi pembiayaan berupa persentase tertentu. Pemberlakuan persentase yang dikalikan dengan plafon pembiayaan dan mengandung unsur waktu (time value of money). Kedua, pengakuan atas biaya administrasi pembiayaan dibebankan kepada nasabah pembiayaan. Pengakuan biaya administrasi yang dibebankan kepada nasabah di satu pihak, jelas akan menjadikan bank syariah mengakui biaya administrasi pembiayaan sebagai pendapatan. Evaluasi yuridis-syar’i terhadap pengukuran biaya administrasi pembiayaan menyatakan bahwa adanya indikasi riba nasi’ah dalam pembiayaan. Karakter penentuan dan pengukuran terlihat dengan jelas sama dengan metode interest yakni i = p x r x n. Dengan demikian, karakter penentuan dan pengukuran biaya administrasi pembiayaan yang mengandung unsur tersebut memiliki hukum sama dengan riba yaitu diharamkan. Kata kunci: biaya administrasi, pembiayaan, perbankan syariah dan riba.
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebahagian dilambangkan
dengan tanda, dan sebagian lain lagi dengan huruf dan tanda sekaligus.
Di bawah ini daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf latin:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
ba b Be ب
ta t Te ت
sa s| Es (dengan titik di atas) ث
Jim j Je ج
ha h} Ha (dengan titik di bawah) ح
kha kh Ka dan ha خ
dal d De د
zal z| Zet (dengan titik di atas) ذ
ra r Er ر
zai z Zet ز
sin s Es س
syin sy Es dan ye ش
sad s} Es (dengan titik di bawah) ص
dad d} De (dengan titik di bawah) ض
ta t} Te (dengan titik di bawah) ط
za z} Zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ` Koma terbalik (di atas) ع
gain g Ge غ
fa f Ef ف
qaf q Ki ق
kaf k Ka ك
lam l El ل
mim m Em م
nun n En ن
wau w We و
� ha h Ha
hamzah ' Apostrof ء
ya y Ye ي
vi
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau memotong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah a A
Kasrah i I
Dammah u U
b. Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat
dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf Nama
.…ي Fathah dan ya ai A dan I
.…و Fathah au A dan U
Contoh:
kataba - آ#"
%&' - fa`ala
z|ukira - ذآ)
yaz|habu - ,+ه"
'-. - su'ila
kaifa - آ0/
haula - ه1ل
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tandaa, yaitu:
Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda Nama
ا ي Fathah dan alif atau ya a> A dan garis di atas
Kasrah dan ya i> I dan garis di atas ي
Dammah dan wau u> U dan garis di atas و
vii
Contoh:
qa>la - 23ل
<rama - ر45
'03 - qi>la
yaqu>lu - ,16ل
4. Ta’ Marbutah
a. Ta marbut}ah yang hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah dan
d}ammah, transliterasinya adalah /t/.
b. Ta marbut}ah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah /h/.
c. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta marbut}ah itu ditransliterasikan
dengan ha (h).
Contoh:
raud}ah al-at}fa>l - ا;:29ل رو78
al-madi>nah al-Munawwarah - ا?<>A1رة ا?<=,>7
7BC: - t}alh}ah
5. Syaddah (tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, tanda syaddah atau tasydid, dalam transliterasi ini tanda
syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan
huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
<AD - rabbana>2ر
�ل - nazzala
� al-birr - ا�
al-hajj - ا���
�� - nu`ima
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
Namun, dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang .لا
viii
yang diikuti oleh huruf syamsiah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf
qamariah.
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan
huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya.
Baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf qamariah, kata sandang ditulis
terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sempang.
Contoh:
ar-rajulu - ا����
as-sayyidatu - ا������ة
��� asy-syamsu - ا�
�� al-qalamu - ا��
!� al-badi'u - ا�
al-jala>lu - ا�#"ل
7. Hamzah
Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof.
Namun itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata.
Bila hamzah itu terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan
Arab berupa alif.
Contoh:
ta'khuz|u>na - )'&%ون
an-nau'u - ا�+�*ء
syai'un - -,ء
inna - إن�
umirtu - ا0�ت
akala - اآ�
8. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fiil, isim maupun harf, ditulis terpisah.
Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim
diraangkaikan dengan kata lain karen ada huruf atau harkat yang dihilangkan
ix
maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata
lain yang mengikutinya.
Contoh:
-wa innalla>ha lahua khairu ar - ا��از4�5 &�� 3�* ا2 وإن�
ra>ziqi>n ibra>hi>m al-khali>l - ا�9��� إ8�اه��
9. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti
apa yang berlaku dalam EYD.
Huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan
permulaan kalimat.
Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya.
Contoh:
��� wa ma> muh}ammadun illa> Rasu>l - ر=*ل إ> و0;0�
�� al-h}amdu lilla>hi rabbi al-a>lami>n - ا��;��4� رب ��? ا��
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
rahmat dan hidayah-Nyalah maka penulis akhirnya dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi persyaratan
dalam meraih Gelar Magister Studi Islam, Program Studi Hukum Islam,
Konsentrasi Keuangan Perbankan Syariah, Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh
karenanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini
senantiasa penulis harapkan. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih
kepada para dosen dan para guru besar atas bimbingan dan penambahan wawasan
keilmuan selama penulis menempuh perkuliahan pada Program Studi Hukum
Islam Konsentrasi Keuangan Perbankan Syariah UIN Sunan Kalijaga. Khususnya
kepada Bapak Prof. Dr. Abd. Salam Arief, MA selaku pembimbing yang telah
berkenan meluangkan waktu guna memberikan bimbingan, arahan, dan saran-
saran dalam penulisan tesis ini, serta dengan segala hormat tiada kata-kata yang
tepat penulis ucapkan, selain ucapan terima kasih dengan setulus hati, kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Amin Abdullah, selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga.
2. Bapak Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen, selaku Direktur Pasca UIN Sunan
Kalijaga.
xi
3. Bapak Prof. Dr. Abd. Salam Arief, selaku Ketua Program Studi Hukum
Islam beserta seluruh staf pengajar dan karyawan atas segala kemudahan dan
fasilitas yang diberikan.
4. Bapak Ardiansyah, staf Bank Muamalat Yogyakarta.
5. Bapak Arie Nur Irwan, Pimpinan Bank Syariah Mandiri KCP Kaliurang,
Yogyakarta.
6. Bapak Purwadi, Pimpinan Bank BRI Syariah Yogyakarta.
7. Budi Suyono, Kasi Ritel BTN Syariah Cabang Yogyakarta.
8. Bapak dan Ibu penulis yang tidak lelah berdoa untuk semangat dan
kesuksesan penulis.
9. Kakak-kakakku dan Adik-adikku tercinta, tak kenal lelah untuk support-nya.
10. Crew OrbitTrust dan TrustMedia, yang senantiasa memberikan keleluasaan
waktu.
11. Teman-teman Pasca Angkatan 2005, atas persahabatan dan motivasi yang
diberikan.
Atas segala budi baik yang telah diberikan, semoga Allah SWT memberikan
balasan yang setimpal. Akhir kata, penulis berharap semoga penulisan ini dapat
mendatangkan manfaat khususnya dalam perkembangan bank syariah, agar tetap
syar’i dan menguntungkan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yogyakarta, 27 Juli 2009 Penulis
Samino Setiawan, S.Ag.
xii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................... ii
PENGESAHAN DIREKTUR ........................................................................... iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ...................................................................... iv
NOTA DINAS PEMBIMBING ........................................................................ v
ABSTRAKSI ..................................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................. xii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….….. 1
A. Latar Belakang ………..…………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………….……... 5
D. Kajian Pustaka …………..…………………………….……. 6
E. Kerangka Teori …………..…………………………….…… 9
F. Sistematika Pembahasan ……………………………………. 34
BAB II METODE PENELITIAN ………………………………………… 37
A. Desain Penelitian ……………………..………………….…. 37
B. Populasi dan Sampel ………………………………………... 38
C. Teknik Pengumpulan Data …………………………………. 40
1. Wawancara …………………………………………….. 40
2. Observasi ………...……………………………………... 42
3. Dokumentasi ……….……………………………….…... 42
D. Teknik Analisis Data …..………………………………….… 43
xiii
1. Tahap Deskriptif ……….……………………………….. 43
a. Pengkodean Berbuka……….……………………... 44
b. Pengkodean Berporos ……….……………………. 45
c. Pengkodean Berpilih ……….……………………... 46
2. Tahap Evaluasi Yuridis-Syar’i …..……………….…… 47
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG BIAYA ………………….…… 50
A. Pengertian Biaya ……………………………………….…… 50
B. Pengakuan dan Pengukuran Biaya………………………….. 53
C. Pencatatan Biaya ……………………………………………. 57
D. Biaya Administrasi Pembiayaan ……………………………. 60
BAB IV PEMBAHASAN ……………………………………..………..…. 67
A. Profil Obyek Penelitian .......................................................... 67
1. Bank Muamalat Indonesia ................................................ 67
a. Sejarah Singkat ......................................................... 67
b. Struktur Organisasi ................................................... 69
c. Produk dan Jasa ........................................................ 71
2. Bank Syariah Mandiri ...................................................... 72
a. Sejarah Singkat ......................................................... 72
b. Struktur Organisasi ................................................... 74
c. Produk dan Jasa ........................................................ 76
3. Bank BRI Syariah ............................................................. 77
a. Sejarah Singkat ......................................................... 77
b. Struktur Organisasi ................................................... 79
c. Produk dan Jasa ........................................................ 80
4. Bank BTN Syariah ........................................................... 80
a. Sejarah Singkat ......................................................... 80
b. Struktur Organisasi ................................................... 83
c. Produk dan Jasa ........................................................ 83
B. Uraian Hasil Wawancara ........................................................ 85
xiv
1. Pengertian biaya administrasi pembiayaan ...................... 85
2. Alasan munculnya biaya administrasi pembiayaan .......... 86
3. Ketentuan biaya administrasi pembiayaan ....................... 88
4. Besaran dan rincian tarif biaya administrasi pembiayaan 90
5. Komponen biaya administrasi pembiayaan ...................... 91
6. Biaya-biaya lain yang berkaitan dengan pembiayaan ...... 92
7. Pembebanan biaya administrasi pembiayaan ................... 93
C. Evaluasi Yuridis-Syar’i …………………………………… 94
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 106
A. Kesimpulan ............................................................................. 106
B. Saran ....................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 108
LAMPIRAN
1. Pengkodean Berbuka
2. Pengkodean Berporos
3. Pengkodean Terpilih
4. Data Dokumenter
TENTANG PENELITI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggiat perbankan syariah dikejutkan oleh pernyataan Wakil Presiden
Republik Indonesia Jusuf Kalla bahwa ketidakefisienan perbankan syariah
menjadi kendala utama perkembangannya di Indonesia. Ketidakefisienan
perbankan syariah di Indonesia itu terjadi karena biaya administrasi yang tinggi
apabila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Beliau menyampaikan:
Jika perbankan syariah mampu menciptakan efisiensi maka masyarakat juga akan melihatnya sebagai alternatif pembiayaan yang menguntungkan. Jika biaya administrasi yang dibebankan Bank Syariah masih seperti sekarang maka sulit berkembang baik di Indonesia. Esensinya adalah proses dan hasilnya, yakni proses halal dan hasil efisien.1 Biaya administrasi tinggi akan berdampak pada tingginya beban overhead
bagi perbankan syariah. Sejauh ini belum teratasi, maka masyarakat akan lebih
memilih bank konvensional yang lebih memberikan keringanan. Pada bank
konvensional misalnya, pada awal pengajuan pembiayaan, nasabah pada
umumnya harus menanggung biaya-biaya yang berupa biaya notaris, biaya
provisi, dan biaya administrasi/biaya survey. Besarnya biaya notaris tidak dapat
dipastikan, tergantung dari jaminan yang diajukan. Biaya provisi ditetapkan
sebesar 1% dari nilai pembiayaan yang disetujui. Misalnya, nilai pembiayaan
yang disetujui sebesar 1 milyar, maka biaya yang dikeluarkan adalah 1% dari Rp
1 milyar adalah Rp 10 juta ditambah biaya-biaya yang lain.
1 Sambutan pada Acara Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia di Jakarta, tanggal 13 Juni 2007, dikutip dari Sinar Pembaharuan edisi 14 Juni 2007.
2
Dipilihnya bank konvensional oleh masyarakat untuk tujuan pembiayaan,
merupakan indikasi bahwa masyarakat masih melihat faktor harga sebagai dasar
pertimbangan bila akan mengajukan pembiayaan. Masyarakat akan
membandingkan antara bank yang satu dengan bank yang lain sampai
menemukan bank mana yang paling murah, baik dari segi margin maupun biaya
administrasinya. Namun dalam kondisi tertentu masyarakat tidak melihat mahal
atau murahnya, melainkan masyarakat akan melihat mana yang lebih cepat proses
pencairannya. Dalam kondisi tersebut, masyarakat tidak lagi menghiraukan berapa
biaya administrasi dan margin yang ditetapkan, yang penting adalah pembiayaan
dapat terealisasi.
Biaya administrasi pembiayaan ditentukan oleh pihak bank. Ketentuan itu
meliputi nilai nominalnya, cara perhitungannya dan komponen-komponennya.
Pihak bank menetapkan biaya administrasi sebagai syarat yang harus dipenuhi
oleh calon nasabah dalam proses permohonan pembiayaan. Setiap bank
mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam setiap ketentuan pembayaran
biaya administrasi pembiayaan. Sebagian bank mengharuskan pembayarannya
dilakukan dimuka secara tunai atau mendebit rekening nasabah. Sebagian bank
yang lain membolehkan dengan memotong dari pembiayaan yang direalisasikan.
Misalnya, plafon pembiayaan yang dicairkan Rp 1 milyar setelah dipotong biaya
administrasi dan biaya lain-lain sebesar Rp 20 juta, maka yang diterima bersih
sebesar Rp 980 juta.
Adapun biaya administrasi pembiayaan yang diberlakukan di bank syariah
selama ini masih mengadopsi dari sistem perbankan konvensional. Mungkin
3
seperti sudah menjadi budaya yang dilegalkan dan dibakukan bahwa biaya
administrasi pembiayaan harus dimunculkan dengan cara sebagaimana yang
diterapkan pada bank konvensional. Biaya administrasi pembiayaan yang menjadi
pra syarat bagi terealisasinya pembiayaan, maka nasabah mau tidak mau harus
mengikutinya. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, karena secara umum bank
syariah juga menerapkan hal yang sama. Pada saat demikian, nasabah lebih
mempertimbangkan pembiayaan sebagai suatu kebutuhan, sehingga tidak lagi
terlalu mempertimbangkan berat-ringannya syarat yang ditentukan. Nasabah lebih
berkepentingan agar pembiayaan dapat terealisasi. Menolak syarat dan prosedur
yang ada, sama artinya tidak mengiginkan pembiayaan itu terealisasi. Dalam hal
ini, antara nasabah dan bank syariah pada posisi yang tidak berimbang. Pada
posisi yang demikian, cenderung berpotensi adanya pihak yang keberatan,
walaupun tidak secara eksplisit. Kondisi-kondisi yang tidak seimbang dalam
setiap transaksi syariah semaksimalmungkin dihindari, agar terbebas dari potensi
eksploitatif.
Selain biaya administrasi pembiayaan dan biaya lainnya, nasabah
pembiayaan bank syariah atas produk berbasis jual-beli masih harus menanggung
beban pajak ganda. Hal ini berbeda dengan perbankan konvensional. Perbankan
syariah menawarkan sebuah pembiayaan dengan transaksi murabahah dan
derivatnya bai’ bi tsaman ajil (BBA). Dengan skim ini, bank membeli barang
yang dibutuhkan oleh nasabah, kemudian pihak bank menjual lagi barang tersebut
kepada nasabah dengan harga asal ditambah dengan profit margin dan nasabah
akan membayar dengan cara angsuran. Dikarenakan terjadinya dua kali transaksi
4
jual-beli itulah, maka terjadi dua kali peralihan kepemilikan dengan transaksi jual-
beli. Karena itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,
utamanya Pasal 1A ayat (1), huruf a dan b, berarti juga terbebani dua kali
pembayaran pajak. Sebenarnya, dalam Peraturan Pemerintah No.144 Tahun 2000
Pasal 5 huruf d, jasa perbankan mendapatkan dispensasi untuk tidak terkena
kewajiban PPN. Namun menurut penafsiran Ditjen Pajak, transaksi murabahah
tidak dapat digolongkan sebagai jasa perbankan.2
Semua itu menyebabkan nasabah pembiayaan di bank syariah akan
menanggung beban pra pembiayaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan
bank konvensional. Bagi bank syariah, tingginya beban overhead dapat
mempengaruhi kinerja dan daya saing karena akan berpengaruh terhadap harga
jual (pricing) bank syariah sehingga menjadi relatif mahal. Begitu juga bagi
nasabah, permasalahan tersebut dapat mengurangi daya beli yang akhirnya lebih
memilih bank konvensional yang lebih murah. Berdasarkan uraian tersebut,
mendorong peneliti untuk mengkaji praktik biaya administrasi pembiayaan di
bank syariah. Selain itu, penekanan pembahasan juga melibatkan tinjauan syariah
terhadap praktik biaya administrasi pembiayaan di bank syariah yang beroperasi
di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
2 Sebagaimana dijelaskan Agus Triyanta, Solusi Pajak Ganda Bank Syariah, http://jawabali.com/fiskal-moneter/solusi-pajak-ganda-bank-syariah.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana praktik pemberlakuan biaya administrasi pembiayaan di bank
syariah?
b. Bagaimana tinjauan syariah atas praktik pemberlakuan biaya administrasi
pembiayaan di bank syariah?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik penerapan ketentuan
biaya administrasi pembiayaan yang berlaku di bank syariah dan komponen-
komponennya, serta mengetahui praktik penerapan ketentuan biaya administrasi
pembiayaan ditinjau dari perspektif syariah. Diharapkan dapat diketahui solusi
alternatif tentang penentuan biaya administrasi pembiayaan sesuai dengan prinsip
syariah dengan tidak mengesampingkan aspek bisnisnya. Adapun kegunaan
penelitian ini adalah :
1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
Dewan Syariah Nasional untuk meninjau kembali biaya administrasi
pembiayaan di bank syariah.
2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan konstruktif
terhadap setiap kebijakan manajemen bank syariah, sehingga kemurnian
konsep syariah tetap terjaga sebagai esensi yang harus dipertahankan, tanpa
6
harus mengesampingkan salah satu tujuan perusahaan yakni memperoleh
keuntungan.
D. Kajian Pustaka
Secara khusus penelitian tentang penerapan biaya administrasi pembiayaan
belum pernah dilakukan. Namun demikian, penelitian yang berkaitan dengan
topik penelitian tersebut sudah banyak dilakukan, yakni penelitian tentang
pembiayaan. Penelitian tentang pembiayaan yang tersusun dalam bentuk karya
ilmiah yang relevan dengan penelitian ini antara lain :
Tesis Jelita dengan judul ”Aplikasi Pembiayaan Musyarakah di Perbankan
Syariah (Studi Kasus di Bank Muamalat Indonesia Cabang Yogyakarta)” Tesis
ini meneliti tentang penerapan pembiayaan musyarakah ditinjau dari kesesuaian
dengan konsep syariah. Tesis ini menyimpulkan bahwa pelaksanaan pembiayaan
musyarakah di Bank Muamalat sudah sesuai dengan konsep musyarakah dan
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.3
Selanjutnya, Tesis Bahaudin dengan judul “Evaluasi Praktik Produk
Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus pada Bank BNI Syariah
Yogyakarta)” meneliti tentang praktik pembiayaan murabahah. Dari hasil
penelitiannya diperoleh bahwa dari segi obyek, beberapa tidak sesuai dengan
konsep murabahah, yakni obyek yang tidak jelas atau pengadaannya diwakilkan
kepada nasabah untuk membeli sendiri. Begitu pula keuntungan yang dikaitkan
3 Jelita, Aplikasi Pembiayaan Musyarakah di Perbankan Syariah (Studi Kasus di Bank Muamalat Indonesia Cabang Yogyakarta), tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta tahun 2007, tidak diterbitkan.
7
dengan jangka waktu. Semakin lama jangka waktunya, maka semakin besar
keuntungan yang ditetapkan.4
Berikutnya, Tesis Hendra Cipta berjudul “Penyelesaian Pembiayaan
Bermasalah (Studi Kasus di BNI Syariah Yogyakarta)” meneliti tentang
penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan jaminan. Dari hasil penelitiannya,
dalam pembiayaan jaminan hipotek menjadi salah satu syarat terpenuhinya
pembiayaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko pembiayaan macet.5
Tesis Destri Budi Nugraheni dengan judul “Penerapan Perlindungan
Nasabah Produk Pembiayaan KPR BTN Syariah Cabang Yogyakarta” dengan
tujuan untuk mengetahui penerapan hak-hak nasabah produk pembiayaan KPR
ditinjau dari ketentuan UU Perlindungan Konsumen, Peraturan Bank Indonesia,
dan Hukum Ekonomi Islam. Yaitu memberikan deskripsi secara mendalam
terhadap penerapan hak-hak nasabah produk pembiayaan KPR, baik sebelum
adanya transaksi dengan bank, pada saat transaksi, maupun sesudah transaksi
dengan bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak-hak nasabah belum
sepenuhnya diterapkan oleh bank sesuai ketentuan dalam UUPK, PBI, dan hukum
ekonomi Islam.6
Selanjutnya, karya ilmiah yang memaparkan tentang pembiayaan
kepemilikan Rumah BTN Syariah, yaitu skripsi Hilmy Insana Purnaningtyas
4 Bahaudin, Evaluasi Praktek Produk Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus pada Bank BNI Syariah Yogyakarta), tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta tahun 2003, tidak diterbitkan. 5 Hendra Cipta, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah (Studi Kasus pada Bank BNI Syariah Yogyakarta), tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2007, tidak diterbitkan. 6 Destri Budi Nugraheni Penerapan Perlindungan Nasabah Produk Pembiayaan KPR BTN Syariah Cabang Yogyakarta, tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2007, tidak diterbitkan.
8
dengan judul Tinjauan Yuridis Pembiayaan Kepemilikan Rumah BTN Syariah
Yogyakarta. Skripsi ini menekankan pada pelaksanaan pembiayaan kepemilikan
rumah pada BTN Syariah dan potensi pembiayaan kepemilikan rumah BTN
Syariah dalam masyarakat. Hasilnya, menurut peneliti pembiayaan kepemilikan
rumah di BTN Syariah belum bisa menerapkan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah secara murni. Namun demikian, pembiayaan kepemilikan rumah BTN
Syariah mempunyai potensi yang besar sehubungan dengan antusiasme
masyarakat muslim yang ingin bertransaksi sesuai syariah dan brand image BTN
sebagai bank yang melayani kredit kepemilikan rumah.7
Penelitian lain yang masih ada kaitannya dengan pembiayaan adalah Tesis
Fakhruddin Cikman yang berjudul ”Penyelesaian Piutang Murabahah (Studi
Kasus Bank Syariah Mandiri Cabang Yogyakarta)”, yang meneliti dari aspek
hukum. Yakni, bila terjadi sengketa antara nasabah pembiayaan murabahah
dengan bank. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa landasan hukum yang
diterapkan oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Yogyakarta dalam menyelesaikan
nasabah bermasalah tetap merujuk pada peraturan perundangan yang berlaku.
Kasus-kasus murabahah tidak sampai diselesaikan di Basyarnas maupun
Pengadilan Agama, melainkan diselesaikan secara internal antara nasabah dengan
pihak bank.8
Penelitian selanjutnya adalah skripsi Lailatul Masruroh dengan judul
”Tinjauan Konsep Murabahah terhadap Aplikasi Produk Pembiayaan pada Bank
7 Hilmy Insana, Tinjauan Yuridis Pembiayaan Kepemilikan Rumah BTN Syariah, skripsi koleksi perpustakaan Fakultas Hukum UGM, 2005, tidak diterbitkan. 8 Fakhruddin Cikman Penyelesaian Piutang Murabahah (Studi Kasus Bank Syariah Mandiri Cabang Yogyakarta), tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta tahun 2007, tidak diterbitkan.
9
Syariah Mandiri Cabang Yogyakarta.” dari penelitiannya diperoleh bahwa
ditinjau dari konsep syariah Islam terdapat kesesuaian dalam pelaksanaan akad,
prosedur pembiayaan, mekanisme pengadaan barang, penetapan margin dan
pelunasan pembayaran angsuran. Meskipun penetapan dan pelunasan pembayaran
angsuran terdapat perbedaan dari konsepnya. Yaitu pada penetapan margin
terdapat ketentuan hanya berdasarkan jangka waktu dan risiko. Kepastian
dilaksanakan setelah negosiasi diantara kedua belah pihak.9
Penelitian-penelitian tersebut lebih terfokus pada pembiayaan di bank
syariah, yakni dari segi praktik dan beberapa permasalahan yang timbul terkait
dengan pembiayaan di bank syariah. Kedudukan penelitian sebelumnya
dimaksudkan untuk membantu menganalisis data penelitian serta untuk
memposisikan penelitian ini di antara penelitian tersebut. Sepengetahuan penulis,
belum ada yang meneliti tentang praktik biaya administrasi pembiyaan di bank
syariah. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada biaya administrasi
pembiayaan di bank syariah.
E. Kerangka Teoritik
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa biaya administrasi adalah
sebagai pra syarat dalam proses pembiayaan. Seluruh aturan dan prosedurnya
ditetapkan oleh pihak bank dan diberlakukan kepada calon nasabah pembiayaan.
Ketidaksetaraan antara nasabah dengan pihak bank dalam proses pembiayaan,
9 Lailatul Masruroh, Tinjauan Konsep Murabahah terhadap Aplikasi Produk Pembiayaan pada Bank Syariah Mandiri Cabang Yogyakarta, skripsi koleksi perpustakaan STEI Yogyakarta tahun 2005, tidak diterbitkan.
10
menyebabkan nasabah tidak ada pilihan lain, kecuali harus mengikuti prosedur
yang berlaku. Bank akan merealisasikan pembiayaan bila nasabah memenuhi
terlebih dahulu syarat-syarat, termasuk di dalamnya biaya administrasi
pembiayaan. Dengan demikian, besar/kecilnya atau berat/ringannya tidak dapat
diukur secara obyektif bila dibandingkan dengan kebutuhan akan pembiayaan.
Nasabah yang satu mungkin mengatakan, biaya administrasi pembiayaan tidak
terlalu berat, sedangkan nasabah yang lain mungkin mengatakan sebaliknya.
Bersumber dari konsep bahwa setiap akad atau perjanjian baik dalam
transaksi bisnis maupun lainnya, maka sudah seharusnya mengedepankan asas-
asas akad yang Islami. Pembiayaan dalam hal ini adalah sebagai bagian dari
bentuk akad sehingga tetap berada pada falsafah Islam. Ditegaskan oleh Saad
Abdul Sattar al-Harran dalam bukunya yang berjudul Islamic Finance Partnership
Financing bahwa:
Prinsip ekonomi yang berbasis kejujuran dan kepercayaan tidak hanya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan. Setiap perusahaan yang Islami tetap mengedepankan prinsip keadilan untuk memperoleh keuntungan yang dapat dicapai dan diridhai oleh Allah SWT.10 Oleh karenanya, segala sesuatu yang melekat pada setiap akad yang
berhubungan dengan Islamic finance termasuk pembiayaan, baik berupa
syarat/pra syarat atau yang lainnya, tidak bertentangan dengan asas-asas Islam.
Asas-asas dalam akad dimaksud adalah asas ibahah/boleh (mabda’ al-ibahah),
asas kebebasan berakad (mabda’ hurriyah at-ta’aqud), asas
konsensualisme/kesepakatan (mabda’ ar-radha’iyyah), asas keseimbangan
10 Lihat di Saad Abdul Sattar al-Harran, Islamic Finance Partnership Financing, (Malaysia-Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publications (M) Sdn. Bhd., 1993), page 57.
11
(mabda’ at-tawazun fî al-mu’awadhah), asas kemaslahatan (mabda’ al-
maslahah), asas amanah (mabda’ al-amanah) dan asas keadilan (mabda’ al-
‘adalah).11
Asas ibahah merupakan asas umum dalam muamalah. Sebagaimana dalam
kaidah, “al-ashlu fîl-mu‘amalati ’ibâhatu illâ an-yadulla dalîlun ‘alâ tahrîmihâ.”
Artinya, bahwa hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.12 Kaidah “al-ashlu fîl-asyya
al-ibahah” ketika dirujukkan kepada al-Qur’ân dan al-Hadits, terdapat banyak
kesesuaiannya, seperti dalam Qs. al-Jâtsiyah/45 ayat 12, al-An’âm/6 ayat 146, al-
A’râf/7 ayat 30 dan al-Mâ’idah/5 ayat 5.13 Berdasarkan asas ibahah tersebut, siapa
saja boleh dan bebas membuat akad jenis apapun tanpa terikat dengan nama-nama
akad yang sudah ada dan memasukkan klausul apa saja sejauh tidak berakibat
memakan harta sesama dengan jalan yang bâthil atau tidak bertentangan dengan
asas yang lain. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari proses mengurangi risiko
terjadinya pelanggaran atas ketentuan syariah.14
Pemberlakuan falsafah dan asas dapat menjadi rujukan dalam realita
pembuatan akad bisnis yang dijalankan sehingga dapat berjalan secara harmoni
11 Lihat di Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 83-92. 12 Kaidah tersebut merupakan kebalikan dalam ibadah mahdhah yaitu “al-ashlu fîl ‘ibâdatil-buthlânu hatta yaqûmad-dalîlu ‘alâl-’amri.” Artinya bahwa hukum asal dalam hal ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya. 13 Baca di A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Cet.1, (Jakarta: Kencana Media Group, 2006), hlm. 52-53. 14 Selengkapnya tentang financial risk tolerance di buku Tariqullah Khan and Habib Ahmed, Risk Management An Analysis of Issues in Islamic Financial Industry, (Saudi Arabia-Jeddah: Islamic Development Bank and Islamic Research and Training Institute, 2001), page 115.
12
yakni tidak terlalu kaku juga tidak terlalu bebas. Adapun asas kebebasan berakad
dalam hukum Islam berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:15
a. Al-Qur’ân surah al-Mâ’idah/5 ayat 1, “Wahai orang-orang yang beriman,
penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian).”
b. Hadits Nabi Saw, “Orang-orang muslim senantiasa setia kepada syarat-
syarat (janji-janji) mereka.” (Hr. Hakim dari sahabat Abu Hurairah).
c. Hadits Nabi Saw, “Barang siapa yang menjual pohon kurma yang sudah
dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual (tidak ikut terjual), kecuali
apabila pembeli mensyaratkan lain.” (Hr. Bukhari).
d. Kaidah hukum Islam, “Pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak
dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka
melalui janji.”16
Selanjutnya, adalah asas konsensualisme atau kesepakatan. Artinya, untuk
terciptanya suatu akad cukup tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa
dipengaruhi formalitas-formalitas tertentu. Hal ini sesuai dengan dalil dan kaidah
sebagaimana dalam Qs. an-Nisâ/4 ayat 4 dan 29; Hadits Nabi Saw,
“Sesungguhnya jual-beli itu berdasarkan kata sepakat.” (Hr. Ibnu Hibban dan
Ibnu Majjah) dan kaidah hukum Islam, “al-ashlu fîl-‘uqûd ridhâ muta‘âqidayni.”
Berarti, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan kedua belah pihak sehingga
akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. Namun, tidak
diperbolehkan membuat kesepakatan yang melanggar ketentuan syariah.
15 Sebagaimana yang dituliskan oleh Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 83-92. 16 Lebih lengkapnya lihat Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 44.
13
Sebagaimana hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari ‘Aisyah ra, “kullu syarthin laisa fî kitâbillahi ta’âlâ fahuwa bâthilun wa
inkâna mi’ata syarthin” yang artinya setiap syarat (ikatan janji) yang tidak sesuai
dengan kitab Allah adalah bâthil meskipun seratus macam syarat.
Kesepakatan yang tertuang dalam janji bersifat mengikat. Sebagaimana
dalam Qs. al-Isrâ/17 ayat 34, “…dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan
dimintakan pertanggungjawabannya.” Juga dalam Qs. al-Qur’ân surah al-
Mâ’idah/5 ayat 1 yakni
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-Maidah/5: 1). Pada permulaan ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada setiap orang
yang beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah diikrarkannya, baik janji
prasetia hamba kepada Allah maupun janji yang dibuat di antara sesama manusia
termasuk kontrak bisnis. Perkataan ‘aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau
lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang
menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan
dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji (‘ahdu) dari
dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut
14
perikatan (‘aqad). Maka tepatilah setiap perikatan itu, “aufû bil’uqûdi.” Senada
dengan anjuran Rasulullah Saw bahwa orang-orang muslim senantiasa setia
kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka (Hr. Hakim dari sahabat Abu Hurairah).
Karenanya atsar dari Ibnu Mas’ud menyebutkan, “janji itu adalah utang.”
Untuk merealisasikan janji yang bersifat mengikat tersebut, asas amanah
atau kepercayaan (trust) sangat penting dalam akad. Walau demikian, asas
keseimbangan senantiasa ditegakkan, meskipun secara faktual jarang terjadi
keseimbangan antara para pihak yang bertransaksi. Namun, Islam tetap
menekankan keseimbangan dalam setiap transaksi. Karenanya, setiap akad di
dalamnya bertujuan untuk mencapai kemaslahatan semua pihak. Semua asas
dalam akad hanya dapat terlaksana bila prinsip keadilan dijunjung tinggi.
Keadilan merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh semua hukum yang
langsung diperintahkan Allah SWT, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
dengan taqwa.” (Qs. al-Mâ’idah/5: 8). Namun, terkait dengan biaya administrasi
pembiayaan belum ada peraturan khusus yang mengaturnya, baik dari dasar
pemungutan, besaran nominal, cara menghitungnya dan komponen-komponennya.
Beberapa bank syariah menetapkannya berdasarkan kebijakan masing-masing.
Senada dengan pendapat Angelo M. Venardos yang menuliskan bahwa setiap
masalah dalam praktik keuangan Islam mesti memperhatikan perkembangan
kontemporer. Venardos menuliskan :
Tujuan utama dari ekonomi Islam adalah membantu masyarakat untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan kebiasaan baik mereka, tanpa merugikan orang lain. Islam mendahulukan kesejahteraan sosial dan menjamin hak-hak setiap individu. Karenanya, perlu upaya untuk
15
menyesuaikan antara kondisi sosial dengan aturan Islam untuk membentuk lembaga keuangan dan perbankan yang baik.17 Dengan demikian, agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dalam
menetapkan biaya administrasi pembiayaan tetap perlu mengacu pada dua kaidah
utama yang terangkum dari al-Qur’ân yaitu prinsip ‘antarâdhim-minkum dan
prinsip lâ tazhlimûna wa lâ tuzhlamûna.18
a. Prinsip ‘Antarâdhim-minkum.
Setiap transaksi dalam Islam harus dilandasi pada prinsip kerelaan (sama-
sama ridha) kedua pihak yang bertransaksi. Sudah menjadi ijma’ ulama bahwa
keadaan suka sama suka adalah dasar semua perjanjian sebagaimana dijelaskan
dalam Qs. an-Nisâ/4 ayat 29.
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisâ/4: 29).
Ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang yang beriman karena
mengandung unsur hukum di dalamnya, “yâ’ayyuhâl-ladzîna ’âmanû.” Terbukti
17 Sesuai pendapat Angelo M. Venardos, Islamic Banking and Finance, (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2005), page 44. 18 Lihat selengkapnya tentang ethical and legal consequences of Islamic Legal rulings di Frank E. Vogel and Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return, (London-Boston: Kluwer Law International, 1998), page 41.
16
penjelasan hukum bagi orang-orang yang dimaksud yakni tidak diperbolehkan
memakan harta sesama manusia dengan cara yang bathil, “ lâ tâ’kulû ’amwalakum
baynakum bîl-bathili.” Kata bathil identik dengan makna fasad dan dzalim yang
terlarang dalam praktik bisnis apapun sehingga disebut dengan praktik mal-bisnis.
Al-bathil yang terambil dari kata dasar bathala disebut dalam al-Qur’ân sebanyak
36 kali dalam berbagai derivasinya. Kata bathala sendiri disebut satu kali dalam
Qs. al-A’râf/7 ayat 11, tubthilû disebut dua kali dalam Qs. al-Baqarah/2: 264 dan
Qs. Muhammad/47: 33, yubthilû disebut sekali dalam Qs. an-Anfal/8: 8, sayub-
thiluhû ada sekali di Qs. Yunus/10: 81. Bentuk kata bâthilun disebut paling
banyak yakni sebanyak 24 kali, bâthilan disebut dua kali sedangkan al-mub-thilûn
disebut lima kali. Kata al-bathil dan derivasinya digunakan sebagai lawan kata
benar atau yang hak dan bathil juga identik dengan syirik sehingga disukai oleh
orang musyrik. Secara bahasa bathil berarti dosa, salah, tidak adil, kehancuran,
kerugian juga disebut sebagai jalan menuju kepalsuan.19 Pensifatan kata bathil
yang buruk itulah yang menjadikan al-Qur’ân menggunakannya untuk
memberikan peringatan bahwa sifat yang berwujud perilaku bathil itu terlarang.
Pada saat yang sama, pelarangan dalam al-Qur’ân tersebut diikuti dengan
solusi pemecahan atas pelarangan sifat dan perilaku bathil. Inilah salah satu dari
keistimewaan al-Qur’ân yakni memberikan solusi sebagai jalan keluar atas apa
yang dilarangnya. Sebagaimana al-Qur’ân melarang perbuatan yang menuju zina
kemudian memberikan solusi menikah, larangan meminum khamr lalu
19 Penelusuran kata bathil, fasad dan zhalim dalam al-Qur’ân dapat dijadikan sebagai landasan prinsip dan konseptual yakni sebagai tolak ukur untuk menilai dan menetapkan suatu bisnis termasuk praktek mal-bisnis atau tidak. Pembahasan selengkapnya lihat di Muhamad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hlm. 228.
17
memberikan madu, melarang memakan daging babi kemudian menganjurkan
untuk memakan daging ternak lainnya dan ikan, mengharamkan riba namun
menghalalkan jual-beli dan lain sebagainya. Khusus pada Qs. an-Nisâ/4 ayat 29,
pelarangan atas sifat dan perilaku bathil diberikan solusinya yakni tijaratan
‘antarâdhim-minkum yaitu perniagaan yang dilakukan dengan kerelaan. Prinsip
‘antarâdhim-minkum sebagai jawaban atas kasus perbuatan bathil yang identik
dengan merampas tanpa memperdulikan hak orang lain. Jadi inti transaksi
tijaratan yang dilakukan ada dikerelaan kedua belah pihak. Solusi tersebut
merupakan bukti kecintaan Allah terhadap hamba-Nya yang beriman, ”innallaha
kâna-bikum rahîmâ.”
Agar prinsip ‘antarâdhim-minkum terpelihara, baik pada saat
berlangsungnya jual-beli ataupun sesudahnya, maka pihak-pihak yang
bertransaksi harus memiliki informasi yang sama tentang produk yang diperjual-
belikan (complete information). Dengan demikian, tidak ada pihak yang merasa
ditipu atau dirugikan karena ada yang unknown to one party yakni keadaan
dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini
disebut juga sebagai assymmetric information. Kondisi unknown to one party
dalam bahasa fiqh disebut tadlis. Kategori tadlis dapat terjadi pada empat hal yaitu
pertama kuantitas (pengurangan timbangan), kedua kualitas (penyembunyian
kecacatan obyek), ketiga harga (memanfaatkan ketidaktahuan harga pasar) dan
keempat waktu penyerahan penjual tidak mengetahui secara pasti barang akan
18
diserahkan kepada pembeli.20 Praktik tadlis tersebut dapat dihindari dengan
memberikan hal pilih (khiyar). Sebagaimana telah diterangkan dalam sebuah
hadits dari Hakim bin Hazzam, bahwa Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
Jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing di antara keduanya mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah; dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah seorang di antara keduanya memberi pilihan kepada yang lain. Beliau juga bersabda, jika salah seorang di antara keduanya memberi pilihan kepada yang lain, lalu keduanya menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli menjadi wajib. (Hr. Bukhari).21
Hak khiyar memberikan peluang kepada kedua belah pihak yang
bertransaksi untuk mencapai kesepakatan. Seringkali kasus penipuan terjadi
karena salah satu pihak tidak memiliki banyak waktu untuk memilih alternatif
yang ada. Masing-masing pihak mesti memastikan dalam khiyar majlis bahwa
tidak ada penipuan dalam transaksi yang akan disepakati. Sebagaimana telah
dijelaskan sebuah hadits dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa ada seorang laik-laki
mengatakan kepada Nabi Saw jika dia telah menipu dalam jual-beli, maka beliau
bersabda: Apabila kamu menjual maka katakanlah, ”Tidak ada penipuan.” (Hr.
Bukhari). Perintah ini tegas sebagai antisipasi adanya masalah yang mungkin
muncul dikemudian hari. Karenanya, Rasulullah Saw juga bersabda, “Bukanlah
termasuk umatku, orang yang melakukan penipuan.” (Hr. Ibnu Majjah dan Abu
20 Dituliskan ulang dari pendapat Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 31. 21 Idzâ tabâya‘ar-rajulâni fakullu wâhidin minhumâ bil-khiyâri mâ-lam yatafarra-qâ wa kânâ jamî‘â au yukhay-yiru ahadu-humâ lâ-khara fatabâya‘â ‘alâ dzalika faqad wa jabal-bay‘u wa in-tafarra-qâ ba‘da ay-yatabâya‘â wa-lam yat-ruk wâhidun minhumâl-bay‘a faqad wajabal-bay‘u. Baca di Abdullah bin Abdurrahman ali Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, cetakan ketiga, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Darul Falah, 2004), hlm. 578.
19
Daud). Inilah serangkaian upaya untuk menghilangkan kesempatan atau peluang
untuk menyalahi prinsip ‘antarâdhim-minkum.
b. Prinsip Lâ tazhlimûna wa lâ tuzhlamûna
Prinsip lâ tazhlimûna wa lâ tuzhlamûna berarti jangan menzalimi dan
jangan dizalimi. Kaidah ini bersumber dari Qs. al-Baqarah/2 ayat 279 yakni:
Artinya, ”Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Meskipun dalam ayat tersebut diterangkan khasus untuk kasus riba, namun
tidak berarti terhenti untuk kasus bisnis amoral lainnya. Jika diaplikasikan pada
setiap transaksi yang dilakukan, maka pihak-pihak yang bertransaksi tidak
diperbolehkan saling mendzalimi atau segala tindakan memperdaya antara satu
dengan yang lainnya. Praktik ekonomi yang melanggar prinsip lâ tazhlimûna wa
lâ tuzhlamûna yaitu ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy (rekayasa
pasar dalam demand), gharar (taghrir), maysir (judi) dan riba.22 Berikut ini
penjelasan selengkapnya:
22 The board ethical/economic system emphasizes fairness and productivity, honesty in trade and fair competition, the prohibition of hoarding wealth and worshipping and the protection of human being from their own folly and extravagance. Selengkapnya baca tentang the moral economy of Islam di buku Ibrahim Warde, Islamic Finance in the Global Economy, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2001), page 62.
20
1. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply).
Ikhtikar dalam kalimat ikhtakara as-syai’a menurut bahasa bermakna
mengumpulkan sesuatu dan menahannya dengan menunggu naiknya harga,
lalu menjualnya dengan harga yang tinggi.23 Dalam istilah ekonomi, ikhtikar
merupakan rekayasa pasar dalam supply, yakni produsen/penjual mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar
harga produk yang dijualnya naik. Hal ini dilakukan dengan cara menimbun
dan/atau membuat entry barier, yakni menghambat produsen/penjual lain
masuk ke pasar, agar ia menjadi produsen/penjual tunggal di pasar
(monopoli). Karena itu, biasanya para ekonom muslim menyamakan ikhtikar
dengan perilaku monopoli atau penimbunan. Hanya saja, ditekankan oleh Wan
Sulaiman Wan Yusof dalam tulisannya yang bertajuk Perspektif Islam tentang
Diferensiasi Harga bahwa:
Penyebab utama dari kegagalan pasar baik dalam perusahaan monopoli bukanlah teori ekonomi itu sendiri, tetapi manusia sebagai pelaku dari kegiatan ekonomi itu sendiri. Sebenarnya seorang monopolis juga seorang monopsonis, dia akan dapat mengawasi baik produk maupun bahan mentah, dengan demikian, kekuatannya menjadi ganda. Dia dapat menaikkan keuntungan tidak hanya dengan meningkatkan harga dan menurunkan jumlah dimana elastisitas permintaan tidak elastis, dan menurunkan harga serta meningkatkan jumlah dimana elastisitas permintaan menjadi elastis, tetapi dia juga mampu meningkatkan keuntungan dengan mengurangi biaya produksi.24
23 Taqyuddin An Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif dalam Perspektif Islam, terj. Moch. Maghfur Wahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hlm. 209. 24 Monopoly will sell the same output to different buyers with different prices at different markets where elasticity of demand for both markets are also differences. Pembahasan selengkapnya di Wan Sulaiman Wan Yusof, dkk., Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan: Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam, Lalu Mulyadi, dkk., (Yogyakarta: Magistra Insania Press dan MSI UII Yogyakarta, 2004), hlm. 163-186.
21
Namun tidak semua monopoli dan penimbunan termasuk kategori
ikhtikar. Sebagai contoh kisah Nabi Yusuf a.s. sebagai bendahara negara.
Beliau memutuskan untuk menimbun gandum pada musim panen untuk
menghadapi musim paceklik.25 Juga termasuk pemerintah yang memonopoli
sektor industri penting yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk
kemaslahatan masyarakatnya. Ihktikar dapat terjadi hanya apabila kondisi
menunjukkan adanya gejala yang disengaja oleh kemampuan manusia yaitu
pertama mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan menimbun atau
entry barier. Kedua menjual harga lebih tinggi dibandingkan harga sebelum
munculnya kelangkaan. Ketiga mengambil keuntungan lebih tinggi
dibandingkan keuntungan sebelum kedua karena adanya kejadian pertama dan
kedua.26
2. Bai’ Najasy (rekayasa pasar dalam demand).
Najasy yaitu sejenis penipuan dimana seseorang menawarkan suatu
barang dengan harga tinggi yang tidak bermaksud membeli tetapi untuk
menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli.27 Bai’ najasy merupakan
kebalikan dari ikhtikar yaitu rekayasa pasar dalam demand yang terjadi bila
seorang produsen atau pembeli menciptakan permintaan dengan berbagai janji
25 Sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Yusuf/12 ayat 47-48, “tazra’ûna sab’a sinîna da’aban famâ hasyadtum fadzarûhu fi sumbulihî illâ qalîlan mimmâ ta’kulûna, tsumma ya’tî min ba’di dzâlika sab’un syidâdun ya’kulna mâ qaddamtum lahunna.” 26 Termasuk juga dalam kategori spekulasi jika bentuk usaha yang pada hakikatnya merupakan gejala untuk membeli sesuatu dengan harga yang murah pada suatu waktu lalu menahannya dengan kesengajaan untuk menjual barang yang sama dan menaikkan harga tidak wajar dikemudian hari. Berdasarkan pendapat M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 292. 27 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 4, terjemanahan Suroyo dan Nastangin, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1996), hlm. 170.
22
dan sumpah palsu. Jelas perilaku ini dilarang dalam al-Qur’ân, sebagaimana
dijelaskan dalam Qs. an-Nahl/16 ayat 94 berikut ini:
Artinya, “Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.” (Qs. an-Nahl/16: 94). Jelas sekali bahwa bersumpah dengan berbagai upaya palsu untuk
tujuan menipu sesama manusia bukanlah perilaku yang dibenarkan, “wa-lâ
tattakhidzû ’aymanakum dakhalâ baynakum.” Rekayasa permintaan yang
berlebihan atas suatu produk juga termasuk dalam kategori dakhalâ. Seolah-
olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk
akan naik. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penyebaran isu, melakukan
order pembelian atau melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta
sentimen pasar. Bila harga sudah naik sampai level yang diinginkan, maka
yang bersangkutan akan melakukan aksi mengambil keuntungan dengan
melepas kembali obyek yang sudah dibeli.28
28 Selengkapnya lihat pada sub bab ketujuh tentang rekayasa jual-beli valuta asing dan saham di buku Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, terj. Irfan Syofwani, cetakan pertama, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 271.
23
3. Gharar (Taghrir).
Gharar berasal dari bahasa Arab yang berarti akibat, bencana, bahaya,
resiko dan sebagainya. Dalam bisnis, gharar berarti melakukan sesuatu secara
membabi buta tanpa pengetahuan yang cukup atau mengambil risiko sendiri
dari suatu perbuatan yang mengandung risiko, tanpa mengetahui dengan persis
apa akibatnya, atau memasuki kancah risiko tanpa mengatahui
konsekuensinya. Menurut Ibnu Taimiyah, gharar itu dilibatkan apabila
seorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan
bisnis atau jual-beli. Menurutnya, gharar itu terdapat dalam semua bisnis
yang salah satu pihaknya ada yang tidak tahu apa yang tersimpan atau bakal
diperolehnya pada akhir suatu jual-beli.
Gharar yang berarti penipuan atau khayalan juga dapat berarti risiko
atau bahaya. Dalam perspektif keuangan, gharar dimaksudkan dengan
ketidakpastian, resiko atau spekulasi. Secara jelas Frank E. Vogel and Samuel
L. Hayes menuliskan tentang sebab munculnya transaksi gharar yaitu:
1) Karena adanya salah satu pihak yang kekurangan informasi; 2) karena obyek transaksi diragukan keberadaannya; atau 3) karena obyek transaksi diluar kendali salah satu pihak.29
Maksudnya, bentuk-bentuk gharar antara lain tidak adanya kepastian penjual
untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad itu
sudah ada maupun belum ada, menjual sesuatu yang belum berada di bawah
penguasaan penjual, tidak adanya kepastian kriteria kualitas dan kuantitas
barang/jasa, tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat
29 Selengkapnya lihat di Frank E. Vogel and Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return, (Boston: Kluwer Law International, 1998), page 90.
24
pembayaran, tidak adanya ketegasan jenis dan obyek akad, kondisi obyek
akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam
transaksi, serta adanya unsur eksploitasi salah satu pihak karena informasi
yang kurang atau dimanipulasi dan ketidaktahuan atau ketidakpahaman yang
ditransaksikan.
Gharar atau disebut juga taghrir adalah situasi dimana terjadi
incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak
yang bertransaksi (urcentainty to both party). Bedanya dengan tadlis yakni
jika tadlis hanya salah satu pihak yang tidak mengetahui, sedangkan dalam
gharar/taghrir kedua belah pihak sama-sama tidak mengetahui kepastian apa
yang ditransaksikan. Afzalur Rahman menjelaskan dalam buku Banking and
Insurance bahwa :
Garar adalah keadaan dimana salah satu pihak tidak mengetahui bagian dari setiap transaksi bisnis yang dilakukannya.30 Taghrir terjadi bila kita mengubah sesuatu yang seharusnya bersifat
pasti menjadi tidak pasti. Sebagaimana dalam tadlis, sedangkan
gharar/taghrir terjadi karena empat hal, yaitu pertama kuantitas, yang terjadi
dalam kasus ijon, kedua kualitas, yang terjadi dalam kasus menjual sapi masih
dalam perut induknya, ketiga harga yaitu pengambilan margin 20% untuk satu
tahun atau 40% untuk dua tahun dan keempat waktu penyerahan, yakni
menjual barang hilang seharga Rp. x dan disetujui oleh pembelinya.
30 Berdasarkan pendapat Afzalur Rahman, Banking and Insurance, vol. 4., first edition, (London: The Muslim School Trust, 1979), page 133.
25
Karakteristik ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam gharar atau taghrir
menjadikannya gerbang menuju judi.
Meskipun secara teks gharar tidak dijumpai dalam al-Qur’ân, namun al-
Qur’ân memberikan solusi atas tindakan-tindakan yang mengarah pada
perilaku gharar yaitu wazinû bilqisthâsil-mustaqîmi yang artinya dengan
memberikan timbangan yang adil dan lurus sebagaimana mestinya.31 Selain
itu, secara tegas bahwa perilaku yang mengarah pada terjadinya gharar mesti
dihilangkan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut ini:
Artinya, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Qs. al-Muthaffifin/83: 1-3)
Allah telah menyampaikan ancaman yang pedas kepada orang-orang
yang curang dalam menakar dan menimbang, “wailul-lilmuthaffifîna.”
Perbuatan curang itu sering terjadi di pasar Makkah dan Madinah.
Diriwayatkan bahwa di Madinah ada seorang laki-laki bernama Abu Juhainah.
Ia memiliki dua macam timbangan besar dan kecil. Jika ia membeli gandum
atau kurma dari para petani, maka ia menggunakan timbangan yang besar,
“ iktâlû ‘alan nâsi yastaufûna.” Namun, pada saat menjualnya lagi kepada
orang lain ia menggunakan timbangan yang kecil, “kâlûhum awwazanûhum
31 Berdasarkan Qs. asy-Syu’arâ’/26: 181-183, Qs. al-Isrâ’/17: 35 dan Qs. al-An’âm/6: 152.
26
yukhsirûna.” Cara tersebut dilakukan untuk mendapatkan selisih lebih namun
secara tidak benar. Perilaku ekonomi ini merupakan wujud dari sifat tamak
dengan mengorbankan hak orang lain untuk kepentingan sendiri. Menumpuk
keuntungan dengan mencuri seperti memberi bobot tambahan di alat timbang
yang digunakan. Hal ini memungkinkan dilakukan oleh penjual karena penjual
yang menguasai alat penakar tersebut. Di pihak pembeli menjadi lemah karena
ketidaktahuan atas kecurangan tersebut. Sesungguhnya, orang-orang yang
curang itu akan mendapat balasannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
“walâ thaffafûl-kaila illâ muni’ûn-nabâta, yakni tidak pernah mereka yang
berbuat curang dalam menakar dan menimbang melainkan mereka akan
kehilangan kesuburan tumbuh-tumbuhan.” Bagi para pelaku kecurangan ini
hendaklah selalu ingat bahwa mereka dibangkitkan lagi untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu, “ûlâ’ika annahum mub‘ûtsûn.”
4. Maysir
Maysir atau perjudian adalah suatu permainan yang menempatkan salah
satu pihak harus menanggung beban pihak yang lain akibat permainan
tersebut. Setiap permainan atau pertandingan, baik yang berbentuk game of
chance, game of skill atau natural events, harus menghindari terjadinya zero
sume game, yakni kondisi yang menempatkan salah satu atau beberapa pemain
harus menanggung beban pemain yang lain. Akibatnya sejumlah modal justru
hanya berputar-putar saja tanpa adanya produktifitas yang bisa membangun
sektor riil. Sebagaimana yang dituliskan oleh Kausar Niazi dalam karyanya
Economic Concepts in Islam, bahwa :
27
Prinsip mendasar dilarangnya bunga dan judi karena tidak adanya tenaga kerja yang produktif untuk menghasilkan keuntungan, sehingga seakan-akan modal bekerja sendiri untuk menghasilkan kesejahteraan.32 Pendekatan judi umumnya akan cenderung terfokus pada statement
untung-untungan yang ditekankan pada spekulatif yang irrasional, tidak logis
dan tidak produktif. Allah SWT melarang secara tegas dalam firman-Nya:
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Baqarah/2: 219).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Hurairah
menerangkan sebab turunnya ayat ini. Ketika Rasulullah Saw berada di
Madinah ada sahabat yang meminum khamar dan berjudi karena perbuatan itu
sudah menjadi kebiasaan mereka. Lalu para sahabat bertanya kepada
Rasulullah Saw tentang hukumnya maka turunlah ayat ini, “yas’alûnaka
‘anilkhamri walmaisiri.” Jadi, ayat ini menjawab pertanyaan para sahabat
yang diajukan kepada Rasulullah Saw yaitu khamar dan judi lebih besar
dosanya dari manfaatnya, “wa itsmuhumâ akbaru min naf’ihimâ.” Mendengar
jawaban ini, para sahabat memahami bahwa minum khamar dan judi tidak
dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, Allah memberikan penegasan pada Qs.
32 Berdasarkan pendapat Kausar Niazi, Economic Concepts of Islam, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1977), page 29-33.
28
Al-Mâ’idah/5 ayat 3 dan 90. Fokus pelarangan dalam ranah ekonomi terletak
pada tidak berpengaruhnya aktivitas judi terhadap agregat supply/tidak
produktif. Sebagaimana ikhtikar, larangan penimbunan barang dikarenakan
berdampak pada berkurangnya agregat supply barang dan jasa. Dengan
demikian aktivitas yang tidak memberikan dampak meningkatkan agregat
supply barang dan jasa, merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Oleh karena
itu, judi diharamkan.
5. Riba
Riba yang berarti tambahan (ziyadah), juga mempunyai banyak arti
yang lain. Riba dari akar kata r-b-w yang digunakan dalam al-Qur’an
sebanyak 20 kali mempunyai arti growing (pertumbuhan)33, increasing
(peningkatan)34, swelling (bertambah)35, ringing (meningkat)36, dan being big
(menjadi besar)37, great (besar)38, dan hillock (bukit kecil)39. Menurut ulama,
prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Secara syariah, riba berarti
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi pengganti (bisnis riil)
atau penyeimbang40 (iwadh) karena unsur waktu atau tidak, baik secara
berlipat ganda atau tidak berlipat ganda.41 Mengambil riba menurut al-Qur’ân
33 Qs. al-Baqarah/2: 275, 276, 278; Ali Imran/3:130; an-Nisâ’/4: 161; ar-Rûm/30: 39. 34 Qs. al-Hajj/22: 5. 35 Qs. al-Baqarah/2: 276; ar-Rûm/30: 39. 36 Qs. ar-Ra’d/13: 17 37 Qs. al-Isrâ’/17: 24; as-Syu’arâ’/26:18 38 Qs. an-Nahl/16: 92 39 Qs. al-Baqarah/2: 265; al-Mu’minûn/23: 50 40 Transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi bisnis atau komersial yang meligitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti jual-beli, sewa gadai atau bagi hasil proyek. 41 Menurut Ibnu al-Arabi dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an; Badr ad-Din al-Ayni, pengarang kitab Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari; Imam Sarakhi dari Mazhab Hanafi; Raghib al-Asfahani; Imam an-Nawawi dari mazhab Syafi’I; Qatadah; Mujahid; Zaid bin Aslam; Ja’far ash-Shadiq dari Kalangan Syiah; Imam ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali.
29
adalah perbuatan yang dilarang. Namun, proses pelarangan riba diturunkan
secara bertahap, yaitu :42
Tahap pertama, Surat ar-Rûm/30 ayat 39. termasuk ayat makiyyah yang
diturunkan di Makkah sebelum Hijriyah. Ayat ini menunjukkan bahwa riba
masih merupakan indikasi bukan keharusan. Namun jelas menolak bahwa riba
seolah-olah dapat menolong mereka yang membutuhkan merupakan perbuatan
yang diridhai Allah.
Tahap kedua, surat an-Nisâ’/4 ayat 160-161. ayat ini termasuk ayat
madaniyah yang diturunkan di Madinah setelah Hijriyah. Ayat ini juga belum
secara tegas melarang perbuatan riba. Ayat ini membicarakan orang-orang
Yahudi yang telah melanggar hukum Taurat dengan memakan riba walaupun
telah dilarang. Untuk itu Allah mengancam orang-orang Yahudi dengan
ancaman yang keras.
Tahap ketiga, surat Ali Imran/3 ayat 130. ayat ini turun setelah kaum
muslimin mengalami kekalahan pada perang uhud pada tahun ketiga Hijriyah.
Ayat ini merupakan peraturan pertama yang melarang kaum muslim memakan
riba. Selain itu ayat ini juga menjelaskan bahwa sifat umum riba adalah
berlipat ganda.
Tahap keempat, surat al-Baqarah/2 ayat 275-279. ayat ini diturunkan
ketika suku Tsaqif dari Arab menagih riba. Padahal suku ini telah memeluk
Islam pada bulan ramadhan tahun ke-9 Hijriyah. Perlu dicatat bahwa Makkah
telah dikuasai oleh Islam setahun sebelumnya. Ayat-ayat terakhir yang 42 Islam mempertimbangkan riba sebagai bunga itu suatu kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan dalam kehidupan. Lihat selengkapnya di Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 3, terj. Soeroyo dan Nastangin, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 76-81.
30
menyangkut riba tersebut secara tegas mengharamkan segala bentuk riba,
bahkan Allah dan Rasul menyatakan perang terhadap pengambil riba.
Rasulullah Saw dalam amanat terakhir beliau pada saat haji wada’ (haji yang
terakhir) tanggal 9 Dzulhijjah 10 H, menegaskan tentang larangan riba, yaitu :
Dari Jâbir, ia berkata: “Rasulullah Saw telah melaknat orang yang makan riba, dan yang member makannya, dan penulisnya, dan dua saksinya, dan ia bersabda mereka itu sama.” (Hr. Muslim).43 Para ulama fiqh membagi riba menjadi dua macam yaitu riba fadhl dan
riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam jual-beli dan riba
nasi’ah adalah riba yang terjadi dalam hutang- piutang. Riba fadhl adalah riba
yang timbul akibat pertukaran barang yang sejenis yang tidak memenuhi
kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mitslin), sama kuantitasnya (sawa-an bi
sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).44 Hadits
Rasulullah Saw menjelaskan :
Dari Sa’id al-Khudri r.a, Rasulullah SAW bersabda: Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba.” (Hr. Muslim).
43 ‘An-jâbirin qâla: la‘ana rasûlullahi âkilar-ribâ, wa-mûkilahu, wa-kâtibahu, wa-syahidayhi, wa-qâla hum sawâ’un. Diambil dari Bâb Ribâ di A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajar al-‘Asqalani, cetakan keduapuluh enam, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002), hlm. 365. 44 Juga merujuk kepada keputusan bulat dari sejumlah konferensi internasional para fuqaha. Seperti Muktamar al-Fiqh al-Islami di Paris tahun 1951 dan di Kairo tahun 1965, lalu pertemuan Komite Fiqh OKI dan Rabithah ‘Alam Islami di Kairo tahun 1985 dan Makkah tahun 1986. Selengkapnya baca di Karnaen A. Perwataatmadja dan Hendri Tanjung, Bank Syariah: Teori, Praktik dan Peranannya, (Jakarta: Celestial Publishing, 2007), hlm. 11-12.
31
Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham; satu sha’ dengan satu sha’ karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya: “Wahai Rasul, bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberpa ekor kuda dan seekor unta dengan unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi Saw: ”Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).” (Hr. Muslim). Riba fadhl dapat ditemui dalam transaksi jual-beli valuta asing yang
tidak dilakukan secara tunai (spot).45 Selain itu, riba fadhl dapat ditemui pada
jenis jual-beli barter. Misalnya, satu kilogram beras dijual dengan satu
seperempat kilogram. Maka kelebihan seperempat kilogram tersebut termasuk
dalam kategori riba fadhl.
Adapun nasi’ah berasal dari kata nasa’a yang berarti penangguhan,
penundaan, tunggu, merujuk pada waktu yang diijinkan bagi peminjam untuk
membayar kembali utang beserta tambahannya. Riba nasi’ah mengacu pada
tambahan atas pinjaman. Inilah yang dinyatakan Nabi Saw, “Tidak ada riba
kecuali dalam nasi’ah.46 Riba nasi’ah adalah riba yang timbul akibat hutang-
piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko (al-
ghurmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi
dhaman). Terjadinya riba nasi’ah adalah karena munculnya keuntungan tanpa
munculnya risiko, atau hasil usaha tanpa munculnya biaya. Keuntungan dan
hasil usaha muncul hanya karena berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis
selalu ada kemungkinan untung dan rugi. Riba nasi’ah dalam hal ini adalah
45 Disebut juga sebagai bai’ al-ma’dum yakni melakukan penjualan atas barang yang belum dimiliki ( short selling). Lihat di Burhanuddin S., Pasar Modal Syariah: Tinjauan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2008), hlm. 142. 46 Penerapan pada entitas syariah dengan menggantikannya dengan sistem bagi hasil. Baca di Hamid Basyaib dan Mursyidi Prihantono (ed.), Bank Tanpa Bunga, (Yogyakarta: PT. Mitra Gama Widya dan Sema FE UII-Yayasan Adicita, 1993), hlm. 7.
32
menetapkan adanya keuntungan secara pasti dikemudian hari. Hal ini jelas
bertentangan dengan firman Allah Qs. al-Hasyr/59 ayat 18 dan QS.
Luqman/31 ayat 34, “wa-mâ tadrî nafsum-mâdzâ taksibu ghadân,” yang
artinya tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) atas apa yang
akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya. Sedangkan riba
adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
padanan (‘iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Riba
nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga
giro, tabungan dan deposito di perbankan konvensional dan praktik kredit para
rentenir.
Selain kedua jenis riba tersebut, terdapat pula riba jahiliyah. Yaitu, riba
yang ditimbulkan karena utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman
karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu
yang ditetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena bertentangan dengan kaidah
kullu qardhin jarra manfatan fahuwa ribâ yang artinya setiap pinjaman yang
mengambil manfaat adalah riba. Dari segi penundaan waktu penyerahannya,
riba jahiliyah tergolong dalam riba nasi’ah. Sedangkan dari segi obyek yang
dipertukarkan, tergolong riba fadhl.
Pada zaman jahiliyah para kreditur, apabila utang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada para debitur: “Lunaskan utang anda atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan.” Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran utangya dan kreditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru.47
47 Lihat penjelasan selengkapnya pada pembahasan hutang piutang di Ahim Abdurahim, Dalil-dalil Naqli Seri Ekonomi Islam, (Yogyakarta: UPFE UMY, 2001), hlm. 42-46.
33
Riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi
kartu kredit yang tidak dibayar penuh. Berdasar pada uraian tersebut, bank
syariah mesti terlepas dari unsur-unsur yang dapat menyebabkan hilangnya
prinsip syariah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, semua yang terlibat dalam transaksi bisnis
mesti memenuhi kepatuhan syariah tersebut, terutama dua kaidah utama yang
terangkum dari al-Qur’ân yaitu prinsip ‘antarâdhim-minkum dan prinsip lâ
tazhlimûna wa lâ tuzhlamûna. Sebagaimana Khalifah Umar ra, selaku kepala
negara, sangat teliti dan hati-hati mengenai pelaksanaan ketentuan tersebut. Beliau
seringkali berkeliling ke pasar-pasar. Bahkan beliau memberikan teguran keras
kepada para pedagang yang melanggar aturan perdagangan dengan berkata,
”Yang boleh berdagang di pasar ini hanya mereka yang memahami aturan-aturan!
Siapa saja yang mengambil keuntungan yang tidak pantas, baik secara sadar atau
tidak akan dikenakan denda!” Terdapat pula pusat-pusat perdagangan dan pekan-
pekan yang sangat membantu pelaksanaan kebijakan dagang Khalifah Umar ra.
Diantaranya berada di Ubulla, Yaman, Damaskus, Makkah dan Bahrain.48
Kebijakan tersebut juga sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Saw yang
bersumber dari al-Qur’ân, salah satunya keterangan Qs. al-Furqân/25 ayat 20:
48 Pekan-pekan dagang berkedudukan sangat penting. Beberapa pekan dagang yang menonjol adalah pekan dagang ‘Ukaz yang berada dekat Hijaz, yang berdekatan dengan Suhar. ‘Ukaz adalah sebuah oasis diantara Ta’if dan Nakhlah. Pekan dagang tersebut berlangsung pada tanggal 1-20 Zulkaidah. Setelah di ‘Ukaz, pasar berkala dilanjutkan di Mujarrah berlangsung pada 10 hari terakhir dibulan Zulkaidah. Sedangkan pekan di Dhul Majaz dilangsungkan pada tanggal 1-8 Zulhijjah, dan untuk selanjutnya pada pekan-pekan yang mengikuti musim haji. Selengkapnya ada di Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn al-Khatab, terj. Mansuruddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), hlm. 58-59.
34
Artinya, ”Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.” (Qs. al-Furqân/25: 20).
Rasulullah Saw juga berjalan di pasar-pasar untuk melakukan perniagaan
dan sekaligus memastikan kegiatan pasar berjalan dengan lancar, ”wa yamsyûna
fîl-’aswâqi.” Pasar mempunyai peran yang besar dalam kehidupan ekonomi.
Pencapaian kemaslahatan manusia dalam mata pencaharian tidak mungkin tanpa
adanya saling tukar menukar. Pasar adalah tempat yang mempunyai aturan yang
disiapkan untuk tukar menukar hak milik dan menukar barang antara produsen
dan konsumen. Oleh karena itu, Khalifah Umar ra mendirikan lembaga hisbah
sebagai lembaga resmi yang mengawasi berjalannya etika dan mencegah
penyimpangan dalam perekonomian, ”amar ma’ruf nahi mungkar.”49
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan pada penelitian ini dimulai dari bab pertama yang
menjelaskan tentang latar belakang masalah sehingga dapat diketahui rumusan
49 Hisbah secara etimologi dan terminology berkisar pada memerintahkan kebaikan dan mencegah kemakmuran. Peran muhtasib yakni mengawasi dengan berkeliling di pasar untuk memastikan tidak ada tindakan zalim diantara pelaku ekonomi di pasar. Penjelasan lengkap tentang hisbah bisa dibaca di Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, terj. Asmuni S.Z., cetakan pertama, (Jakarta: Khalifa, 2006), hlm. 585-718.
35
masalah yang akan diselesaikan. Pada bab pertama juga akan dipaparkan beberapa
penelitian terdahulu yang terkait dengan pembiayaan di perbankan syariah. Hanya
saja, penelitian ini lebih memfokuskan pada pelaksanaan dan evaluasi yuridis atas
penentuan biaya administrasi pembiayaan. Kerangka teori yang disajikan
menjadikan landasan bagi evaluasi yang akan dilakukan yakni seputar kaidah dan
proses ijtihad.
Pada bab kedua menjelaskan tentang desain penelitian disertai dengan
ketentuan populasi dan sampel penelitian. Teknik pengumpulan data yang
digunakan yaitu wawancara, observasi dan data dokumenter. Sedangkan teknik
analisis data meliputi tahap deskriptif dengan menggunakan proses pengkodean
berbuka, pengkodean berporos dan pengkodean berpilih. Juga tahap evaluatif
yuridis-syar’i yang menggunakan penalaran ta’lili yang menyebutkan nash
beserta ’illah . Namun, juga menggunakan penalaran istislahi yaitu upaya
penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan secara
umum.
Selanjutnya, pada bab ketiga akan dipaparkan tinjauan teori tentang biaya
yakni mulai dari berbagai pendapatan tentang biaya. Hal ini dilakukan untuk
menemukan definisi dan ruang lingkup biaya yang dimaksud dalam penelitian ini.
Penjelasan biaya juga dapat diketahui dari proses pengakuan dan pengukurannya.
Proses pengakuan biaya menempatkan status biaya, sedangkan pengukuran biaya
menunjukkan besaran biaya yang diakui. Pengakuan dan pengukuran tersebut
akan dicatat dengan menggunakan teori pencatatan biaya dalam bentuk ayat jurnal
yang terdiri dari sisi debet dan kredit. Semua landasan teori biaya tersebut yang
36
akan membantu peneliti untuk menjelaskan lebih lengkap tentang biaya
administrasi di perbankan syariah.
Pembahasan pada bab keempat penelitian ini mencakup tiga penjelasan
utama yaitu pertama tentang profil obyek penelitian yang meliputi dua unit bank
fully syariah, dan dua bank syariah dengan dual banking system yang berada di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Profil bank syariah meliputi sejarah
singkat, struktur organisasi dan produk-produk serta jasa. Sampel yang diteliti
terdiri dari Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah
dan Bank BTN Syariah. Kedua, pembahasan dilajutkan dengan menyajikan uraian
hasil wawancara sesuai dengan urutan panduan pertanyaan wawancara dan
berdasarkan data dari pengkodean berbuka, berporos dan berpilih. Ketiga,
penjelasan tentang tahap evaluatif yuridis-syar’i atau idrak al-ahkam asy-
syar’iyyah yakni upaya penggalian hukum syara’. Data yang telah diuraikan akan
dianalisis dengan menggunakan pendekatan normatif sehingga proses ijtihad akan
dilakukan bersumber pada al-Qur’ân, hadits dan ijma’ ulama.
Penelitian ini akan diakhiri pada bab kelima yang menjelaskan tentang
kesimpulan dari pembahasan pada bab keempat yang sekaligus menjawab
rumusan masalah penelitian. Sesuai dengan jumlah rumusan masalah, maka
kesimpulan juga berisi tentang dua poin penting sebagai jawaban atas rumusan
masalah tersebut. Selanjutnya, saran akan diberikan kepada pihak-pihak terkait
terutama para praktisi perbankan dan dewan pengawas syariah untuk
meninjaklanjuti hasil pembahasan penelitian ini tentang proses penentuan dan
pelaksanaan biaya administrasi pembiayaan.
106
BAB V
PENUTUP
Pada bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu kesimpulan dan saran.
Kesimpulan didasarkan pada pembahasan sebagai uraian dari rumusan masalah.
Sedangkan saran dihadirkan berdasarkan kesimpulan kepada pihak-pihak terkait.
D. Kesimpulan
1. Berdasarkan uraian dari hasil wawancara informan dapat diketahui bahwa
pertama pengukuran biaya administrasi pembiayaan berupa persentase
tertentu. Pemberlakuan persentase yang dikalikan dengan plafon
pembiayaan dan mengandung unsur waktu (time value of money). Kedua,
pengakuan atas biaya administrasi pembiayaan dibebankan kepada
nasabah pembiayaan. Pengakuan biaya administrasi yang dibebankan
kepada nasabah disatu pihak, jelas akan menjadikan bank syariah
mengakui biaya administrasi pembiayaan sebagai pendapatan.
2. Evaluasi yuridis-syar’i terhadap pengukuran biaya administrasi
pembiayaan menyatakan bahwa adanya indikasi riba nasi’ah dalam
pembiayaan. Karakter penentuan dan pengukuran terlihat dengan jelas
sama dengan metode interest yakni i = p x r x n. Dengan demikian,
karakter penentuan dan pengukuran biaya administrasi pembiayaan yang
mengandung unsur tersebut memiliki hukum sama dengan riba yaitu
diharamkan.
107
E. Saran
Upaya yang harus dilakukan yaitu menghilangkan unsur-unsur yang masuk dalam
kategori riba ketika menentukan dan mengukur biaya administrasi pembiayaan.
Biaya administrasi pembiayaan bukanlah fixed cost yang diperoleh dari
pengkalian atas plafon pembiayaan. Penentuan dan pengukuran biaya administrasi
pembiayaan dapat dilakukan berdasarkan real cost yaitu mengukur biaya
berdasarkan realisasi biaya yang benar-benar dikeluarkan. Apabila pengukuran
biaya administrasi pembiayaan berdasarkan real cost, maka cara tersebut akan
menghindari perhitungan potential cost yaitu biaya yang dikeluarkan hanya
perkiraan semata. Sedangkan pengakuan biaya administrasi pembiayaan yang real
cost dapat diakui oleh bank syariah sebagai pendapatan. Kegunaan pengakuan
pendapatan tersebut realisasinya akan digunakan untuk penggantian biaya
administrasi yang sebenarnya telah dikeluarkan.
108
DAFTAR PUSTAKA
A., Ivan Rahmawan. 2005. Kamus Istilah Akuntansi Syariah. Yogyakarta: Pilar Media
Abdeen, Adnan. 1981. English-Arabic Dictionary of Accounting and Finance.
Beirut: Librairie Du Liban Abdurahim, Ahim. 2001. Dalil-dalil Naqli Seri Ekonomi Islam. Yogyakarta:
UPFE UMY Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions. 2003.
Shari’a Standards. Bahrain: AAOIFI Ahmed, Tariqullah Khan and Habib. 2001. Risk Management An Analysis of
Issues in Islamic Financial Industry. Saudi Arabia-Jeddah: Islamic Development Bank and Islamic Research and Training Institute
Alvesson, Mats and Kaj. Skoldberg. 2000. Reflexive Methodology: New Vistas for
Qualitative Research. London: SAGE Publications Anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. terj. M.
Shodiq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad
dalam Fiqh Muamalah. Jakarta: RajaGrafindo Persada Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad
dalam Fiqh Muamalah. Jakarta: RajaGrafindo Persada Arifin, Johar dan Muhammad Fakhrudi. 1999. Kamus Istilah Pasar Modal,
Akuntansi, Keuangan dan Perbankan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Arifin, Zainul. 2005. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka
Alvabet Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. edisi revisi 4.
Jakarta: PT Rineka Cipta Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. edisi revisi 4.
Jakarta: PT Rineka Cipta
109
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Bahaudin, Evaluasi Praktek Produk Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah
(Studi Kasus pada Bank BNI Syariah Yogyakarta), tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta tahun 2003, tidak diterbitkan.
Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah: Menurut asy-Syatibi.
cetakan pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Basyaib, Hamid dan Mursyidi Prihantono (ed.). 1993. Bank Tanpa Bunga.
Yogyakarta: PT. Mitra Gama Widya dan Sema FE UII-Yayasan Adicita Beekun, Rafiq Issa. 1996. Islamic Business Ethics. Malaysia: IIIT. Black, James A. dan Dean J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian
Sosial. terj. E.Koeswara dkk. Bandung: Refika Aditama Chapra, Umer. 1997. Al-Qur’ân menuju Sistem Moneter yang Adil. Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa Chulsum, Umi dan Windy Novia. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Surabaya: Kashiko Danusiri, dkk. 2000. Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia.
cetakan pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (ed.). 1994. Handbook of Qualitative
Research. London: SAGE publications Destri Budi Nugraheni Penerapan Perlindungan Nasabah Produk Pembiayaan
KPR BTN Syariah Cabang Yogyakarta, tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2007, tidak diterbitkan.
Dillard. 1958. The Economics of John Maynard Keynes. eighth printing. Tokyo-
Japan: Kinokuniya Bookstore co., Ltd., Prentice-Hall, Inc. Djazuli, A. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Cet.1. Jakarta: Kencana Media Group
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
110
Ekelund, Robert B. and Robert F. Hébert. 1990. A History of Economic Theory and Method. New York: McGraw-Hill Publishing Company
Fakhruddin Cikman Penyelesaian Piutang Murabahah (Studi Kasus Bank Syariah
Mandiri Cabang Yogyakarta), tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta tahun 2007, tidak diterbitkan.
Fess, Philip E. and C. Rollin Niswonger. 1981. Accounting Principles. Ohio:
South-Western Publishing Co. Gadamer, Hans-Georg. 1975. Truth and Method. New York: Sheed and Ward Ltd. Ghazali dkk. (ed.). 1992. An Introduction to Islamic Finance. Malaysia: Quill
Publishers Guritno, T. 2005. Kamus Perbankan dan Bisnis: Inggris-Indonesia. cetakan
kelima. Jakarta: IndoPress Hanafi, Mamduh M. 2004. Keuangan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Hanafi, Mamduh M. dan Abdul Halim. 2005. Analisis Laporan Keuangan. Edisi
Kedua. Yogyakarta: UPP AMP YKPN Haritsi, Jaribah bin Ahmad al-. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab. terj.
Asmuni S.Z. cetakan pertama. Jakarta: Khalifa Harran, Saad Abdul Sattar al-. 1993. Islamic Finance Partnership Financin.
Malaysia-Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publications (M) Sdn. Bhd. Hasanuddin, Habib Nazir dan Muhammad. 2008. Ensiklopedi Ekonomi dan
Perbankan Syariah. cetakan kedua. Bandung: Kafa Publishing Hassan, A. 2002. Tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajar al-‘Asqalani. cetakan
keduapuluh enam. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro Hayes, Frank E. Vogel and Samuel L. 1998. Islamic Law and Finance: Religion,
Risk and Return. London-Boston: Kluwer Law International Hayes, Frank E. Vogel and Samuel L. 1998. Islamic Law and Finance: Religion,
Risk and Return. Boston: Kluwer Law International Hendra Cipta, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah (Studi Kasus pada Bank
BNI Syariah Yogyakarta), tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2007, tidak diterbitkan.
111
Hilmy Insana, Tinjauan Yuridis Pembiayaan Kepemilikan Rumah BTN Syariah, skripsi koleksi perpustakaan Fakultas Hukum UGM, 2005, tidak diterbitkan.
Horngren, Charles T. tt. Cost Accounting: A Managerial Emphasis. Jakarta: AK
Group Ikatan Akuntan Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Keuangan. per 1 September
2007. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Isaac, Stephen and William B. Michael. 1984. Handbook in Research and
Evaluation. second edition. California: EdiTS publishers Jauhar, Ahmad al-Mursi Husain. 2009. Maqashid Syariah. terj. Khikmawati.
Jakarta: Amzah Jelita, Aplikasi Pembiayaan Musyarakah di Perbankan Syariah (Studi Kasus di
Bank Muamalat Indonesia Cabang Yogyakarta), tesis koleksi perpustakaan Pasca Sarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta tahun 2007, tidak diterbitkan.
Karim, Adiwarman A. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta:
Rajagrafindo Persada Khallaf, Abdul Wahab. 1996. Ilmu Ushul Fiqh. terj. Noer Iskandar dan M.T.
Mansoer. Bandung: Gema Risalah Press Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi: Bagaimana
Meneliti dan Menulis Tesis. Jakarta: Erlangga Lailatul Masruroh, Tinjauan Konsep Murabahah terhadap Aplikasi Produk
Pembiayaan pada Bank Syariah Mandiri Cabang Yogyakarta, skripsi koleksi perpustakaan STEI Yogyakarta tahun 2005, tidak diterbitkan.
Lawrence, W. Neuman. 2000. Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches. fourth edition. Boston: Allyn and Bacon Maleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. edisi revisi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. terj. M. Nastangin.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa Mardalis. 2006. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi
Aksara
112
Mudjib, Abdul. 2001. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qawa’idul Fiqhiyyah). Jakarta: Kalam Mulia
Muhamad. 2000. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta:
UII Press Muhamad. 2004. Dasar-dasar Keuangan Islami. Yogyakarta: Ekonisia --------. 2004. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta: UPP AMP YKPN -------. 2005. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN Muhammad, Nashr Farid Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azza. 2009.
Qawa’id Fiqhiyyah. terj. Wahyu Setiawan. Jakarta: AMZAH Mulyadi. 1993. Akuntansi Biaya. Yogyakarta: STIE YKPN Mushlih, Abdul al-. dan Shalah ash-Shawi. 2004. Bunga Bank Haram?. terj. Abu
Umar Basyir. cetakan kedua. Jakarta: Darul Haq Nabhani, Taqyuddin An-. 1999. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif dalam
Perspektif Islam. terj. Moch. Maghfur Wahid. Surabaya: Risalah Gusti Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara Niazi, Kausar. 1977. Economic Concepts of Islam. Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf Nyazee, Imran Ahsan Khan. 2002. Theories of Islamic Law: The Methodology of
Ijtihâd. Kuala Lumpur-Malaysia: The Other Press Pass, Christopher dan Bryan Lowes. 1994. Kamus Lengkap Ekonomi. edisi kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga Perwataatmadja, Karnaen A. dan Hendri Tanjung. 2007. Bank Syariah: Teori,
Praktik dan Peranannya. Jakarta: Celestial Publishing Punch, Keith F. 2001. Developing Effective Research Proposals. London: SAGE
Publications Ra’ana, Irfan Mahmud. 1992. Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn al-
Khatab. terj. Mansuruddin Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus
113
Rahman, Afzalur. 1979. Banking and Insurance. vol. 4. first edition. London: The Muslim School Trust
Rahman, Afzalur. 1996. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid 4. Terj. Suroyo dan
Nastangin. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf Rahman, Afzalur. 1997. Doktrin Ekonomi Islam. jilid 3. terj. Soeroyo dan
Nastangin. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa Rahman, Asjmuni A. 1975. Qaidah-qaidah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang Reason, Peter and John Rowan (ed.). 1993. Human Inquiry: A Sourcebook of New
Paradigm Research. New York: John Wiley & Sons S, Burhanuddin. 2008. Pasar Modal Syariah: Tinjauan Hukum. Yogyakarta: UII
Press Sabardi, Agus. 1994. Manajemen Keuangan. Jilid 2. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN Shahab, Abdullah. 1985. Accounting Principles. Jilid 1. Bandung: Penerbit SAS Singleton, Royce A. and Bruce C. Straits. 1999. Approaches to Social Research.
third edition. New York: Oxford University Press Sudibyo, Bambang S. 2004. Pengantar Metode Penelitian. edisi revisi. Bandung:
STIE-STIMIK PASIM Sugiono. 1994. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta Sugiri, Slamet dan Bogat Agus Riyono. 2002. Akuntansi Pengantar 1. edisi
kelima. Yogyakarta: AMP YKPN Yogyakarta Suhardjanto, Djoko dan Sri Hatoko. 1992. Akuntansi Keuangan Dasar:
Pendekatan Siklus Akuntansi. Yogyakarta: Penerbit ANDI Offset Suyatno, Thomas dkk. 2003. Dasar-dasar Perkreditan. edisi keempat. Jakarta:
STIE Perbanas dan PT. Gramedia Syahrul, dkk. 2000. Kamus Lengkap Ekonomi: Istilah-istilah Akuntansi,
Keuangan dan Investasi. Jakarta: Citra Harta Prima Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
114
Tariqi, Abdullah Abdul Husain at-. 2004. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. terj. Irfan Syofwani. cetakan pertama. Yogyakarta: Magistra Insania Press
Taswan. 2006. Manajemen Perbankan: Konsep, Teknik dan Aplikasi. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. edisi kedua. cetakan kesembilan. Jakarta: Balai Pustaka Tim. 1992. Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis, dan Manajemen. Jakarta: PT Cipta Adi
Pustaka Warde, 2001. Ibrahim Islamic Finance in the Global Economy. Edinburgh:
Edinburgh University Press Warde, Ibrahim. 2000. Islamic Finance in the Global Economy. British:
Edinburgh University Press Venardos, Angelo M. 2005. Islamic Banking and Finance. Singapore: World
Scientific Publishing Co. Pte. Ltd Wiroso. 2005. Jual Beli Murabahah. Yogyakarta: UII Press Yusof, Wan Sulaiman Wan, dkk. 2004. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan:
Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam. Yogyakarta: Magistra Insania Press dan MSI UII Yogyakarta
Zakariya, Maulana Mohammad. 1993. Faza’il-E-Tijârat. New Delhi: Idara
Isha’at-E-Diniyat (p), Ltd.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PANDUAN WAWANCARA
1. Menurut bapak/ibu apa yang dimaksud dengan biaya administrasi
pembiayaan? 2. Mengapa biaya administrasi pembiayaan muncul? Apakah alasan yang
melatarbelakangi munculnya biaya administrasi? 3. Bagaimana ketetentuan biaya administrasi pembiayaan yang diterapkan? 4. Berapakah besaran dan rincian tarif biaya administrasi pembiayaan yang
berlaku? 5. Untuk komponen apa saja biaya administrasi pembiayaan diperlukan? 6. Selain biaya administrasi, apakah ada biaya-biaya lain yang dibebankan
kepada nasabah, yang muncul berkaitan dengan pembiayaan? Kalau ada sebutkan.
7. Mengapa biaya administrasi pembiayaan dibebankan kepada nasabah?
PENGKODEAN BERBUKA Wawancara 1 Hari, Tanggal : 23 Juni 2008 Durasi : 45.41 menit Nama : Arie Nur Irwan Jabatan : Kepala Cabang Pembantu Bank Syariah Mandiri Yogyakarta 1 5 10
P I
: :
Menurut bapak/ibu apa yang dimaksud dengan biaya administrasi pembiayaan? Ya kalau secara teknis di lapangan biaya administrasi memang dikenakan untuk pembiayaan. Karena memang biaya administrasi itu adalah bagian dari kewajiban bank untuk dicadanglan atas risiko pembiayaan yang diberikan kepada bank devisa. Jadi memang itu ketentuan Bank Indonesia yang diberlakukan bank-bank atas setiap nasabah pembiayaan. Dan saya rasa itu biaya yang dikenakan oleh setiap bank, baik bank-bank syariah maupun bank konvesnional. Cuma kalau di bank konvensioanl ada tambahan lagi biaya provisi, kalau di bank syariah hanya biaya administrasi 1%. Di luar itu kita tidak mengenakan biaya lainnya.
15 20
P I
: :
Mengapa biaya administrasi pembiayaan muncul? Apakah alasan yang melatarbelakangi munculnya biaya administrasi? Ya kalau alasan filosofis sih nggak ada. Ya kalau alasan manajemen yaitu tadi kalau biaya administrasi memang tidak kita masukan ke dalam pendapatan bank, tetapi langsung dibebankan sebagai cadangan risiko sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Kita membebankan biaya administrasi ini kepada nasabah pembiayaan dalam rangka memenuhi cadangan risiko 1%. Dari sisi syariah memang biaya administrasi dibolehkan dikenakan pada saat kita menyalurkan pembiayaan. Tidak ada larangan bahwa biaya administrasi tidak diperbolehkan dari sisi syariah.
25 30
P I
: :
Bagaimana ketetentuan biaya administrasi pembiayaan yang diterapkan? Secara prosentase, sesuai cadangan risiko. Saya pikir tidak ada alasan manajemen yang lain, ya memang nilai 1% sesuai dengan cadangan risiko (PPAP). Tapi memang kadang-kadang untuk pembiayaan yang besar itu nasabah prioritas itu bisa kita berikan. Itu juga dilihat kasus per kasus. Kalau kita meyakini bahwa nasabahnya itu secara financial itu bagus bisa juga kita sesuaikan, karena kita meyakini bahwa pembiayaan ini relatif lancar selama masa pembiayaan. Jadi itu memang kasus per kasus jadi tidak bisa general. Secara umum kebijakan 1% berlaku untuk seluruh pembiayaan.
35 40
P I
: :
Berapakah besaran dan rincian tarif biaya administrasi pembiayaan yang berlaku? Minimal 150.000,- di atas itu 1%. Ada beberapa pembiayaan yang kecil, memang 150 ribu itu termasuk di dalamnya selain pembebanan risiko, digunakan juga untuk akad-akad. Akad pembiayaan, surat pernyataan, dan segala macam dan semua itu dilakukan di bawah tangan. Kalau dilakukan di bawah tangan berarti termasuk biaya kertas, biaya cetak, survey dan segala macam termasuk biaya itu. (150ribu).
45
P I
: :
Untuk komponen apa saja biaya administrasi pembiayaan diperlukan? Jadi memang utamanya untuk pencadangan risiko. Tapi di dalam biaya administrasi juga ada blanded juga di dalamnya termasuk marketing melakukan kunjungan nasabah, penilaian jaminan.
50
P I
: :
Selain biaya administrasi, apakah ada biaya-biaya lain yang dibebankan kepada nasabah, yang muncul berkaitan dengan pembiayaan? Kalau ada sebutkan. Biaya notaries, appraisal independent, asuransi, dll.
P I
: :
Mengapa biaya administrasi pembiayaan dibebankan kepada nasabah? Itu untuk kepentingan nasabah.
PENGKODEAN BERPILIH
1. Menurut bapak/ibu apa yang dimaksud dengan biaya administrasi
pembiayaan?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI
=
PUR
=
BUD
=
ARD
W1(3-5)
=
W2(3-4)
=
W3(7-12)
=
W4(3-5)
Biaya administrasi pembiayaan adalah biaya-
biaya yang timbul akibat pengurusan/terkait
dengan pembiayaan. Biaya-biaya tersebut
dibebankan kepada nasabah yang mengajukan
pembiayaan.
2. Mengapa biaya administrasi pembiayaan muncul? Apakah alasan yang
melatarbelakangi munculnya biaya administrasi.
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI
=
PUR
=
BUDI
=
W1(15-20)
=
W2(7-10)
=
W3(16-17 &
21-25)
=
Secara umum responden mempunyai alasan
yang sama yakni alasan manajemen. namun,
yang membedakan adalah perlakuan biaya
administrasi tersebut. Responden ARI
memperlakukan biaya administrasi sebagai
cadangan risiko (PPAP). Sedangkan
responden PUR, BUDI dan ARDI
ARDI W4(22-24) memperlakukan biaya administrasi sebagai
pendapatan untuk mengganti biaya-biaya yang
dikeluarkan bank dalam proses pengajuan
pembiayaan.
3. Bagaimana ketetentuan biaya administrasi pembiayaan yang diterapkan?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI
=
PUR
=
BUDI
=
ARDI
W1(26-28)
=
W2(13-14)
=
W3(32-33)
=
W4(82-83)
Semua responden mengatakan hal yang sama,
yakni biaya administrasi pembiayaan dihitung
berdasarkan persentase dari plafon
pembiayaan.
4. Berapakah besaran dan rincian tarif biaya administrasi pembiayaan yang
berlaku?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI
=
PUR
=
BUDI
W1(36-37)
=
W2(21)
=
W3(46)
Responden ARI menyebutkan tarif biaya
administrasi minimal Rp 150.000,- di atas itu
1% dari plafon. Adapun responden PUR tidak
hafal secara rinci dan merekomendasikan
untuk melihat ketentuan rincian biaya
=
ARDI
=
W4(120)
administrasi pada bagian pembiayaan.
Responden BUDI menyebutkan 0,75% untuk
semua jenis pembiayaan. Sedangkan
responden ARDI menyebutkan tarif biaya
administrasi sebesar 1-1,5% untuk seluruh
pembiayaan.
5. Untuk komponen apa saja biaya administrasi pembiayaan diperlukan?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI
=
PUR
=
BUDI
=
ARDI
W1(45-47)
=
W2(23-24)
=
W3(120)
=
W4(127)
Pada dasarnya responden mengatakan hal
yang sama. Namun, hanya karena tidak hafal
secara detail, ketidaklengkapan responsen
yang satu dilengkapi responden yang lain.
Keempat responden menyebutkan biaya
administrasi pembiayaan diperlukan untuk
komponen seperti: kunjungan nasabah,
penilaian jaminan, biaya cetakan/kertas, biaya
survey, tiket pesawat dll.
6. Selain biaya administrasi, apakah ada biaya-biaya lain yang dibebankan
kepada nasabah, yang muncul berkaitan dengan pembiayaan? Kalau ada
sebutkan.
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI
=
PUR
=
BUDI
=
ARDI
W1(51)
=
W2(28)
=
W3(53&57-
58)
=
W4(127)
Selain biaya administrasi, semua responden
menyebutkan bahwa biaya yang muncul
antara lain: biaya notaries, asuransi, appraisal
independent, biaya PPAT, pajak jual beli, akte
jual beli, biaya balik nama, dan sertifikat.
7. Mengapa biaya administrasi pembiayaan dibebankan kepada nasabah?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI
=
PUR
=
BUDI
=
ARDI
W1(53)
=
W2(30)
=
W3(68-70)
=
W4(133-135)
Semua responden sepakat bahwa pembebanan
biaya administrasi kepada nasabah karena
yang utama adalah karena itu untuk
kepentingan nasabah sendiri.
PENGKODEAN BERPOROS
1. Menurut bapak/ibu apa yang dimaksud dengan biaya administrasi
pembiayaan?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI W1(3-5) Ya kalau secara teknis di lapangan biaya
administrasi memang dikenakan untuk
pembiayaan. Karena memang biaya
administrasi itu adalah bagian dari kewajiban
bank untuk dicadanglan atas risiko pembiayaan
yang diberikan kepada bank devisa.
PUR W2(3-4) Yaitu termasuk ke dalam fee based income.
Yaitu salah satunya uang jasa pengelolaan atas
timbulya pembiayaan kepada seorang debitur.
BUD W3(7-12) Kalau pengertian biaya administrasi terkait
dengan prakteknya, biaya administrasi adalah
biaya yang dibebankan kepada nasabah
khususnya pembiayaan terkait dengan biaya-
biaya formulir, biaya form, bisa dikatakan
didalamnya adalah biaya administrasi bank
sebelum proses akad atau sebelum proses
persetujuan pembiayaan diberikan.
ARD W4(3-5) Kalau menurut saya, biaya yang biasa
dikategorikan biaya aministrasi itu adalah
segala biaya yang timbul akibat pengurusan dari
pembiayaan yang diberikan nasabah
2. Mengapa biaya administrasi pembiayaan muncul? Apakah alasan yang
melatarbelakangi munculnya biaya administrasi.
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI W1(15-20) Ya kalau alasan manajemen yaitu tadi kalau
biaya administrasi memang tidak kita masukan
ke dalam pendapatan bank, tetapi langsung
dibebankan sebagai cadangan risiko sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia. Kita
membebankan biaya administrasi ini kepada
nasabah pembiayaan dalam rangka memenuhi
cadangan risiko 1%.
PUR W2(7-10) Alasannya fee based income. Tapi kita juga
mempertimbangkan factor cost juga, itu juga
kompensasi dari pengajuan pembiayaan,
sebenarnya bukan untuk pendapatan. Tapi untuk
menutup biaya-biaya…
BUDI W3(16-17
& 21-25)
Memang lebih condong kalau melihat disini
lebih mengarah pada teknis operasional, artinya
bank mengeluarkan biaya cetakan.
Kalau alasan awalnya yang mendasari bahwa itu
ada biaya yang ril kita keluarkan untuk cetakan-
cetakan, sehingga yang kedua adalah alasan
pendapatan atau fee based income. Tapi kalau
administrasi ini istilah bank fee based income
bukan itu sebenarnya. Pendapatan Cuma bukan
pengertian fee based income.
ARDI W4(22-24) Apalagi karena memang ada permohonan dari
nasabah untuk melakukan suatu pengurusan.
Karena ini juga demi untuk kepentingan
nasabah, tidak mungkin semuanya dibebankan
kepada bank.
3. Bagaimana ketetentuan biaya administrasi pembiayaan yang diterapkan?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI W1(26-28) Secara prosentase, sesuai cadangan risiko. Saya
pikir tidak ada alasan manajemen yang lain, ya
memang nilai 1% sesuai dengan cadangan risiko
(PPAP).
PUR W2(13-14) Saya tidak hafal tergantung jangka waktunya.
Pada prinsipnya prosentase dari plafon.
BUD W3(32-33) Kalau di kita prosentase dari plafon. Di lapangan
memang pro kontra, secara syar’i mestinya tetap
atau bagaimana.
ARD W4(82-83) Tapi kita rata-rata kita persentasekan hanya
supaya mudah saja secara teknisnya…
4. Berapakah besaran dan rincian tarif biaya administrasi pembiayaan yang
berlaku?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI W1(36-37) Minimal 150.000,- di atas itu 1%.
PUR W2(21) Wah saya tidak hafal, nanti biasa minta pada
bagian pembiayaan.
BUD W3(46) 0,75% semua sama.
ARD W4(120) 1-1,5% untuk seluruh pembiayaan, jadi sudah
kita perhitungkan.
5. Untuk komponen apa saja biaya administrasi pembiayaan diperlukan?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI W1(45-47) Jadi memang utamanya untuk pencadangan
risiko. Tapi di dalam biaya administrasi juga ada
blanded juga di dalamnya termasuk marketing
melakukan kunjungan nasabah, penilaian
jaminan.
PUR W2(23-24) Biaya percetakan, tapi itu kecil. Untuk sekedar
mengganti percetakan…
BUD W3(120) -
ARD W4(127) Kertas, biaya survey, notaries, asuransi, tiket
pesawatnya..
6. Selain biaya administrasi, apakah ada biaya-biaya lain yang dibebankan
kepada nasabah, yang muncul berkaitan dengan pembiayaan? Kalau ada
sebutkan.
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI W1(51) Biaya notaries, appraisal independent, asuransi,
dll.
PUR W2(28) Biaya notaries, asuransi… biaya PPAT.
BUD W3(53&57-
58)
Kalau perumahan ada biaya appraisal.
Trus ada biaya pajak jual beli, akte jual beli,
biaya balik nama, sertifikat, notaries, asuransi.
ARD W4(127) -
7. Mengapa biaya administrasi pembiayaan dibebankan kepada nasabah?
Responden Kodifikasi Jawaban
ARI W1(53) Itu untuk kepentingan nasabah.
PUR W2(30) Itu untuk kepentingan nasabah.
BUD W3(68-70) Ya mungkin filosofinya karena memang ini
untuk nasabah, jadi ada biaya dia untuk keluar
dulu. Karena produk-produknya pun banyak
peruntukannya untuk nasabah.
ARD W4(133-
135)
Ya untuk kepentingan nasabah, tapi kan tidak
semua kita bebankan. Lebih banyak biaya yang
tidak dibebankan kepada nasbah nasabah masuk
kepada biaya overhead kita.
TENTANG PENELITI IDENTITAS DIRI
Nama : Samino Setiawan Tempat, Tgl. Lahir : Ciamis, 06 Mei 1977 Jenis Kelamin : Laki-Laki Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia Pekerjaan : Wiraswasta Alamat Rumah : PerumDirgantara Asri I/7 Berbah, Sleman,Yogyakarta Alamat Kantor : Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 0.5 Sariharjo, Ngaglik,
Sleman, Yogyakarta 55581 Telepon : (0274) 6584304, 081 328 23 0858 Email/FB : [email protected] Nama Ayah : M.Asy’ari Nama Ibu : Salamah
PENDIDIKAN
Formal
2005 – 2009 : Program Magister(S2) Hukum Islam, Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
1997 – 2000 : Strata Satu (S-1), Muamalah, Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Syariah, STIS Yogyakarta.
1994 – 1997 : SMUN 01 Kendari, Sulawesi Tenggara. 1991 – 1994 : SMPN 03 Tinanggea, Kendari, Sulawesi Tenggara. 1985 – 1991 : SDN 02 Atarijaya, Tinanggea, Kendari, Sulawesi Tenggara. Non Formal Maret 2007 : Short Course Bank Syariah, SBTC Yogyakarta. KURSUS DAN SEMINAR
2005 : Seminar ’Microfinance Revolution’ UGM dan BRI Yogyakarta. 2002 : Seminar EURO, Uni Eropa Yogyakarta. 2002 : Kursus Komputer Office, Infikom Yogyakarta.
2002 : Kursus Bahasa Inggris, Infikom Yogyakarta. 2001 : Stadium Generale Ekonomi Islam, FE UGM Yogyakarta. 1999 : Simposium Ekonomi Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1999 : Pelatihan Dasar-Dasar Lembaga Keuangan Syariah,
DD Republika dan Depkop Yogyakarta. 1999 : Magang Kerja di BPR Syariah Amanah Ummah Bogor. ORGANISASI
2009 – Skrg : Ketua Takmir Masjid Quwwatul Islam, Berbah, Sleman, Yogyakarta
2008 – Skrg : Ketua WAKAFI Yogyakarta 1998 – 1999 : Ketua Lembaga Pengembangan Ekonomi Syariah STIS
Yogyakarta. 1998 – 1999 : Ketua Senat Mahasiswa STIS Yogyakarta. PENGALAMAN KERJA
2009 – Skrg : Direktur IFBI Yogyakarta. 2008 – Skrg : Owner/Direktur Trustmedia Publishing,Yogyakarta. 2007 – 2008 : Direktur Program Sharia Banking Education Yogyakarta. 2005 – Skrg : Owner/Direktur CV. Orbit Trust Printing and Packaging,
Yogyakarta. 2004 – 2006 : Marketing Asuransi Syariah Bumiputera Cabang Yogyakarta. 2000 – 2002 : Manajer BMT Nida Buana Syariah Yogyakarta.
KARYA ILMIAH Penelitian
1. Monopoli dalam Perspektif (Ekonomi) Islam: Suatu Kajian Teoritis, Skripsi, 2000, STIS Yogyakarta, tidak diterbitkan.
Artikel
1. Gharar dan Risiko dalam Investasi Syariah, Radar Jogja, 17 April 2009 2. Dalam Bisnis Tidak Sekedar Percaya, Radar Jogja, 1 Mei 2009 3. Monopoli dalam Perspektif Islam, Radar Jogja, 22 Mei 2009 4. Good Corporate Governance Bank Syariah, Radar Jogja, Juni 2009 5. Identifikasi Transaksi Dilarang dalam Islam, Radar Jogja, Juni 2009