Upload
hazby-trijati
View
47
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu dari banyak permasalahan yang dihadapi dunia saat ini
adalah peningkatan secara signifikan jumlah populasi dunia termasuk
didalamnya yaitu peningkatan populasi lanjut usia baik di negara maju
maupun negara berkembang. Peningkatan tersebut diprediksikan akan
terus terjadi selama dua atau tiga dekade yang akan datang. Total
jumlah populasi lanjut usia (usia diatas 60 tahun) di seluruh dunia
diperkirakan akan meningkat dari 605 juta pada tahun 2000 menjadi 1,2
miliar pada tahun 2025. Saat ini sekitar 60% populasi lanjut usia berada
di negara berkembang. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 75%
(843 juta) pada tahun 2025 (WHO, 2007).
Peningkatan jumlah populasi lanjut usia berdampak pada
perubahan yang signifikan pada sistem pelayanan kesehatan. Hal ini
menjadi permasalahan penting pada negara yang menyediakan asuransi
dan sistem jaminan sosial karena pada lansia penyakit yang diderita
bersifat degeneratif sehingga pengobatannya harus dilakukan secara
berkesinambungan dan kausa penyakitmya belum tentu dapat
dihilangkan secara keseluruhan.
Rencana baru dan inovatif untuk pelayanan kesehatan komunitas
dan pelayanan kesehatan jangka panjang bagi pasien lanjut usia sangat
berguna untuk menanggulangi permasalahan seperti urbanisasi,
perubahan struktur sosial, dan partisipasi wanita dalam dunia kerja. Hal
tersebut membuatpenanganan permasalahan kesehatan usia lanjut
menjadi suatu hal yang kompleks. Suatu permasalahan kesehatan
memerlukan penanganan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan
responsif khususnya terhadap permasalahan kesehatan usia lanjut pada
tingkat layanan primer (WHO, 2007).
2
Adanya perubahan pada sistem kesehatan berdampak pada
perubahan dalam pendidikan tenaga kesehatan termasuk pendidikan
kedokteran. WHO menyarankan agar dokter-dokter di masa depan
haruslah terlatih dengan baik dalam melayani kesehatan pasien usia
lanjut. Terjadinya peningkatan jumlah pasien lanjut usia maka
pelayanan kesehatan usia lanjut bukan lagi menjadi penanganan
spesialistik namun menjadi bagian dalam praktik pelayanan kesehatan
sehari-hari (WHO, 2007).
Institusi pendidikan dokter harus dapat merespon perkembangan
tersebut dengan menghasilkan lulusan yang kompeten. Oleh karena itu
pendidikan mengenai geriatri dan semua permasalahannya menjadi
bagian yang penting dalam kurikulum pendidikan dokter (WHO, 2007).
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1 TujuanUmum
Secara umum tujuan penulisan referat ini adalah dapat
memberikan pemahaman kepada penulis maupun kepada
pembaca mengenai kepentingan ilmu geriatri dalam kurikulum
pendidikan dokter.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui minimum geriatry competencies untuk mahasiswa
kedokteran.
2. Mengetahui penerapan ilmu geriatri pada kurikulum
pendidikan dokter.
3
I.2.3 Manfaat
1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas
mengenai pengajaran ilmu geriatri pada mahasiswa
kedokteran bagi penulis
2. Memberikan wawasan tentang kepada mahasiswa lain
mengenai pengajaran ilmu geriatri pada mahasiswa
kedokteran
3. Memberikan tambahan referensi bagi almamater
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lanjut Usia
2.1.1 Definisi dari Berbagai Referensi
Menurut Boedhi Darmojo (2004) menjadi tua bukanlah suatu
penyakit atausakit, tetapi suatu proses perubahan di mana
kepekaan bertambah atau bataskemampuan beradaptasi menjadi
berkurang yang sering dikenal dengangeriatri giant, dimana
lansia akan mengalami 13 gejala yaitu: imobilisasi,instabilisasi
(mudah jatuh), intelektualisia, impotensia, imunodefiasi,
infeksimudah terjadi impaksi (konstipasi), iantrogenes,insomnia,
impairment of (gangguan pada penglihatan,
pendengaran,pengecapan, penciuman, komunikasi dan integritas
kulit, inaniation(malnutrisi).
Klasifikasi pada lansia menurut Darmojo (2004)
adalahpralansia seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia
yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia resiko
tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
Tujuan hidup manusia adalah menjadi tua tetapi tetap sehat
(healthy aging). Healthy aging dipengaruhi oleh faktor (Darmojo,
2004):
1. Endogenic aging yang dimulai dengan cellular aging,
lewat tissue dan anatomical aging ke arah proses
menuanya organ tubuh. Proses ini seperti jam yang
berputar.
2. Exogenic factor, yang dapat dibagi dalam sebab lingkungan
(environment) dimana seseorang hidup dan faktor
sosiobudaya yang paling tepat disebut gaya hidup (life
5
style). Faktor exogenic aging sekarang lebih dikenal
dengan sebutan faktor risiko.
Healthy aging di bidang kesehatan dengan cara peningkatan
mutu (promotion) kesehatan, pencegahan penyakit (prevention),
pengobatan penyakit (curative), pemulihan kesehatan
(rehabilitation) sehingga keadaan patologik pun dapat
disembuhkan agar menjadi healthy aging(Darmojo, 2004).
Menua di definisikan sebagai proses yang mengubah seorang
dewasa sehat menjadi seorang yang ‘frail’ (lemah, rentan) dengan
berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan
kematian secara eksponensial. Menua juga didefinisikan sebagai
penurunan seiring waktu yang terjadi pada sebagian besar mahluk
hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan
terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas
dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait usia
(Sudoyo, 2009).
Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologist
ketika membicarakan proses menua (Sudoyo, 2009):
1. Aging (bertambahnya umur): menunjukan efek waktu, suatu
proses perubahan, biasanya bertahap dan spontan.
2. Senescence (menjadi tua): hilangnya kemampuan sel untuk
membelah dan berkembang dan seiring waktu akan
menyebabkan kematian.
3. Homeostenosis: penyempitan atau berkurangnya cadangan
homeostatis yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem
organ.
Istilah aging yang hanya menunjukan efek waktu, dianggap
tidak mewakili apa yang terjadi pada proses menua. Sebab
berbagai proses yang terjadi seiring waktu, seperti perkembangan
(development), istilah yang sering digunakan dalam di bidang
6
pediatrik, dapat di sebut aging.Aging merupakan proses yang
terus berlangsung (continuum), yang di mulai dengan
perkembangan (development) yaitu proses generatif seiring waktu
yang dibutuhkan untuk kehidupan, dan dilanjutkan dengan
senescence yaitu proses degeneratif yang inkompatibel dengan
kehidupan. Istilah senescence juga digunakan untuk
menggambarkan turunnya fungsi efisien suatu organisme sejalan
dengan penuaan dan meningkatnya kemungkinan kematian.
Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu, karena
banyak perubahan selama aging mungkin tidak merusak dan
mungkin suatu perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh,
kebijakan (wisdom) yang meningkat seiring usia tidak dianggap
sebagai senescence melainkan suatu aging, walaupun hal itu
merupakan bagian dari proses menua. Sebaliknya, gangguan
memori yang terjadi selama aging merupakan manifestasi
senescence. Sementara konsep homeostenosis menunjukan bahwa
seiring dengan bertambahnya usia maka makin kecil kapasitas
seorang tua untuk membawa dirinya ke keadaan homeostatis
setelah terjadinya suatu ‘challenge’ adalah kondisi atau perubahan
yang mengganggu homeostenosis (Sudoyo, 2009).
Beberapa istilah lain yang perlu dikemukakan terkait dengan
proses menua adalah gerontology, geriatric, dan
longetivty.Gerontology adalah ilmu yang mempelajari proses
menua dan semua aspek biologi, sosiologi, dan sejarah yang
terkait dengan penuaan. Geriatri menunjukan pada pemberian
pelayanan kesehatan untuk usia lanjut. Geriatric merupakan
cabang ilmu kedokteran yang mengobati kondisi dan penyakit
yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut. Pasien
geriatri adalah pasien usia lanjut dengan multipatologi atau
penyakit ganda. Sementara longevity merujuk pada lama hidup
seorang individu. Dua aspek longevity adalah mean longevity dan
7
maximum longevity. Mean longevity merupakan longevity rata-
rata suatu, disebut pula usia harapan hidup (life expectancy).
Mean longevity dihitung berdasarkan penjumlahan umur semua
anggota populasi saat meninggal dibagi jumlah anggota populasi
tersebut. Maximum longevity (life span) merupakan usia saat
meninggal dari anggota populasi yang hidup paling lama. Pada
manusia, maximum longevity diyakini sekitar 110-120 tahun
(Sudoyo, 2009).
2.1.2 Masalah-masalah yang Dialami atau Terjadi pada Pasien
Lansia
Dewasa akhir (late adulthood) atau lanjut usia, biasanya
merujuk pada tahap siklus kehidupan yang dimulai pada usia 65
tahun. Ahli gerontologi membagi lanjut usia menjadi dua
kelompok: young-old, berusia 65-74 tahun; dan old-old, berusia
75 tahun ke atas. Kadang-kadang digunakan istilah oldest old
untuk merujuk pada orang-orang yang berusia 85 tahun ke atas
(Sadock dan Sadock, 2007).
Idealnya seorang lansia dapat menjalani proses menua secara
normal sehingga dapat menikmati kehidupan yang bahagia dan
mandiri. Penuaan yang sukses merupakan suatu kombinasi dari
tiga komponen:(1) penghindaran dari penyakit dan
ketidakmampuan; (2) pemeliharaan kapasitas fisik dan kognitif
yang tinggi di tahun-tahun berikutnya; dan (3) keterlibatan secara
aktif dalam kehidupan yang berkelanjutan (Hoyer dan Roodin,
2003).
Masalah-masalah yang berhubungan dengan usia lanjut
adalah masalah kesehatan baik kesehatan fisik maupun mental,
masalah sosial, masalah ekonomi, dan masalah psikologis.
Banyak orang menghadapi proses penuaan dengan keprihatinan.
Di banyak negara, penuaan dikaitkan dengan ketidakmampuan,
8
defisit kognitif, dan kesendirian (Hoyer & Roodin, 2003). Proses
menua merupakan sebuah waktu untuk berbagai kehilangan:
kehilangan peran sosial akibat pensiun, kehilangan mata
pencaharian, kehilangan teman dan keluarga.
Ketika manusia semakin tua, mereka cenderung untuk
mengalami masalah-masalah kesehatan yang lebih menetap dan
berpotensi untuk menimbulkan ketidakmampuan. Kebanyakan
lansia memiliki satu atau lebih keadaan atau ketidakmampuan
fisik yang kronis. Masalah kesehatan kronik yang paling sering
terjadi pada lansia adalah artritis, hipertensi, gangguan
pendengaran, penyakit jantung, katarak, deformitas atau
kelemahan ortopedik, sinusitis kronik, diabetes, gangguan
penglihatan, varicose vein (Sadock dan Sadock, 2007).
Ketidakmampuan fungsional yang merupakan akibat dari
beberapa penyakit medis yang terjadi bersama-sama dan
ketidakmampuan ortopedik dan neurologik pada lansia
merupakan suatu kehilangan yang besar. Ketidakmampuan fisik
tampaknya membawa jumlah kejadian hidup negatif yang lebih
tinggi. Ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan keterbatasan
untuk melakukan aktivitas sosial atau aktivitas di waktu luang
(leisure activities) yang bermakna, isolasi, dan berkurangnya
kualitas dukungan sosial.
Dalam Goldman (2000) disebutkan bahwa berbagai
kehilangan dan kejadian hidup yang merugikan merupakan
penentu utama penyakit-penyakit psikiatrik pada lansia.
Kehilangan teman-teman dan orang-orang yang dicintai
menyebabkan terjadinya isolasi sosial. Kehilangan anak atau yang
lebih sering kehilangan pasangan merupakan faktor risiko penting
untuk depresi mayor, hipokondriasis, dan penurunan fungsi.
Lansia lebih mudah untuk mengalami isolasi sosial. Dalam
Hoyer dan Roodin (2003) disebutkan bahwa lansia memiliki
9
jaringan dukungan sosial yang lebih kecil daripada orang yang
lebih muda, dan jaringan ini didominasi oleh sanak saudara.
Menurut Goldman (2000), pengunduran diri (retirement) atau
kehilangan fungsi utama di rumah, terutama ketika hal tersebut
tidak direncanakan atau diinginkan, berhubungan dengan
kelesuan, involusi (degenerasi progresif), dan depresi. Retirement
berhubungan dengan pengurangan pendapatan personal sebesar
sepertiga sampai setengahnya. Perubahan peran akan berdampak
langsung pada penghargaan diri. Retirement juga akan
menyebabkan perubahan gaya hidup pada pasangannya dan
menyebabkan beberapa adaptasi dalam hubungan mereka. Dalam
Hoyer dan Roodin (2003) disebutkan bahwa sekitar 15% lansia
mengalami kesulitan-kesulitan besar dalam penyesuaian diri
terhadap retirement.
Hal-hal di atas menyebabkan lansia menjadi lebih rentan
untuk mengalami masalah kesehatan mental. Gangguan yang
sering terjadi meliputi depresi, kecemasan, alkoholisme, dan
gangguan dalam penyesuaian terhadap kehilangan atau disabilitas
fungsional (Hoyer dan Roodin, 2003).
2.1.3 Prinsip Pelayanan Kesehatan Pada Lanjut Usia
Mengingat berbagai kekhususan perjalanan dan penampilan
penyakit pada usia lanjut, terdapat dua prinsip utama yang harus
dipenuhi guna melaksanakan pelayanan kesehatan pada lanjut
usia, yaitu pendekatan holistik atau lengkap, serta tatakerja dan
tatalaksana secara tim (Martono dan Pranarka, 2009).
10
2.1.3.1 Prinsip Holistik
Pelayanan kesehatan usia lanjut sangat unik karena
menyangkut berbagai aspek, yaitu (Martono dan Pranarka,
2009):
1. Seorang pasien usia lanjut harus dipandang sebagai
manusia seutuhnya, meliputi pula lingkungan kejiwaan
dan sosial ekonomi. Hal ini ditunjukan antara lain bahwa
aspek diagnosis penyakit pada pasien usia lanjut
menggunakan tata cara khusus yang disebut sebagai
pengkajian geriatrik, yang bukan saja meliputi seluruh
organ dan sistem, akan tetapi menyangkut aspek kejiwaan
dan lingkungan sosial ekonomi.
2. Sifat holistik mengandung artian baik secara vertikal atau
horizontal. Secara vertikal dalam arti pemberian pelayanan
harus dimulai dari pelayanan di masyarakat sampai ke
pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit yang
mempunyai pelayanan subspesialis geriatri. Holistik
secara horizontal berarti bahwa pelayanan kesehatan harus
merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan usia lanjut
secara menyeluruh. Oleh karenanya, pelayanan kesehatan
harus bekerja secara lintas sektoral dengan dinas/lembaga
terkait dibidang kesejahteraan, misalnya agama,
pendidikan, dan kebudayaan, serta dinas sosial.
3. Pelayanan holistik juga berarti pelayanan harus mencakup
aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan
(kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Begitu pentingnya
aspek pemulihan ini, sehingga WHO menganjurkan agar
diagnosis penyakit pada usia lanjut harus meliputi 4
tingkatan penyakit, sebagai berikut (Martono dan
Pranarka, 2009):
11
a) Disease (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada
pasien, misalnya penyakit jantung iskemik.
b) Impairment (kerusakan atau gangguan), yaitu adanya
gangguan atau kerusakan dari organ akibat penyakit,
misalnya pada keadaan di atas: infark miokard akut
atau kronis.
c) Disability (ketidakmampuan), yaitu akibat obyektif
pada kemampuan fungsional dari organ atau individu
tersebut. Pada kasus di atas misalnya terjadi
dekompensasi jantung.
d) Handicap (hambatan) yaitu akibat sosial dari
penyakit. Pada kasus tersebut di atas ketidakmampuan
pasien untuk melakukan aktivitas sosial baik di
rumah, maupun di lingkungan sosialnya.
2.1.3.2 Prinsip Tatakerja dan Tatalaksana Dalam Tim
Tim geriatri merupakan bentuk kerjasama multidisiplin
yang bekerja secara interdisiplin dalam mencapai tujuan
pelayanan geriatri yang dilaksanakan. Yang dimaksud dengan
kata multi-disiplin di sini adalah berbagai disiplin ilmu
kesehatan yang secara bersama-sama melakukan penanganan
pada pasien usia lanjut. Komponenya berbeda dengan berbagai
tim yang kita kenal pada populasi usia lain. Pada tim geriatri,
komponen utama terdiri dari dokter, pekerja sosiomedik, dan
perawat. Tergantung dari kompleksitas dan jenis layanan yang
diberikan, anggota tim bisa ditambah dengan tenaga
rehabilitasi medik (dokter, fisioterapi, terapi okupasi, terapi
wicara, dan lain-lain), psikolog dan/atau psikiater, ahli farmasi,
ahli gizi, dan tenaga lain yang bekerja dalam layanan tersebut
(Martono dan Pranarka, 2009).
12
Istilah interdisiplin diberikan sebagai suatu tatakerja
dimana masing-masing anggotanya saling tergantung satu
sama lain. Perbedaan dengan tim multidisplin yang bekerja
secara multidisiplin pula dimana tujuan seolah-olah dibagi
secara kaku berdasarkan disiplin masing-masing anggota. Pada
tim interdisiplin, tujuan merupakan tujuan bersama. Masing-
masing anggota mengerjakan tugas sesuai disiplinnya sendiri-
sendiri, akan tetapi tidak secara kaku. (pada skema di bawah
digambarkan sebagai garis terputus). Disiplin lain bisa
memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara
periodik dilakukan pertemuan antara anggota tim untuk
mengadakan evaluasi kerja yang telah dicapai, dan kalau perlu
mengadakan perubahan demi tujuan bersama yang hendak
dicapai. Dengan kata lain, pada tim multidisiplin kerjasama
terutama bersifat pada pembuatan dan penyerasian konsep,
sedangkan pada interdisiplin kerjasama meliputi pembuatan
dan penyerasian konsep serta penyerasian tindakan. Secara
praktis, tatakerja interdisiplin dari tim geriatri adalah melalui
konferensi, bersama-sama menentukan prioritas masalah,
menekankan kualitas hidup, membuat program penanganan
dan evaluasi berdasarkan prioritas masalah, serta menentukan
kondisi setting limits (Martono dan Pranarka, 2009).
13
Gambar 2.1 Perbedaan skematis tim multidisiplin dan interdisiplin
Tim geriatri disamping mengadakan pengkajiaan
masalah yang ada, juga mengadakan pengkajian sumber daya
manusia dan sosial ekonomi digunakan untuk penatalaksanaan
masalah pasien tersebut (Martono dan Pranarka, 2009).
Gambar 2.2 Alurkerjapenatalaksanaanpasiengeriatrik
Dengan prinsip pelayanan geriatri seperti gambar di atas,
konsep pelayanan kesehatan pada populasi usia lanjut
direncanakan dan dilaksanakan. Untuk mengupayakan prinsip
holistik yang berkesinambungan, secara garis besar pelayanan
kesehatan pada lanjut usia dapat dibagi sebagai berikut
(Darmojo, 2004):
1. Pelayanan kesehatan lanjut usia di masyarakat
(Community Based Geriatric Service)
Pada upaya pelayanan kesehatan ini, semua upaya
kesehatan yang berhubungan dan dilaksanakan oleh
masyarakat harus diupayakan berperan serta dalam
menangani kesehatan para lanjut usia. Puskesmas dan
14
dokter praktek swasta merupakan tulang punggung
layanan di tingkat ini. Puskesmas berperan dalam
membentuk kelompok atau klub lanjut usia. Di dalam dan
melalui klub lanjut usia ini pelayanan kesehatan dapat
lebih mudah dilaksanakan, baik usaha promotif, preventif,
kuratif, atau rehabilitatif. Dokter praktek swasta terutama
menangani para lansia yang memerlukan tindakan kuratif
insidental. Seperti telah dikemukakan di atas, semua
pelayanan kesehatan harus diintegrasikan dengan layanan
kesejahteraan yang lain dari dinas sosial, agama,
pendidikan dan kebudayaan, dan lain-lain. Peran serta
lembaga swadaya masyarakat untuk membentuk layanan
sukarela misalnya dalam pendirian badan yang
memberikan layanan bantu perawatan (home nursing),
kebersihan rumah atau pemberian makanan bagi para
lansia (meals on wheels) juga perlu didorong.
Pada dasarnya layanan kesehatan lansia ditingkat
masyarakat seharusnya mendayagunakan dan
mengikutsertakan masyarakat termasuk para lansia
semaksimal mungkin. Hal yang harus dikerjakan adalah
meningkatkan kepedulian dan pengetahuan masyarakat
dengan berbagai cara antara lain: ceramah, simposium,
lokakarya, dan penyuluhan-penyuluhan.
2. Pelayanan kesehatan lansia di masyarakat berbasis rumah
sakit
Pada layanan tingkat ini, rumah sakit setempat yang
telah melakukan layanan geriatri bertugas membina lansia
yang berada di wilayahnya, baik secara langsung atau
tidak langsung melalui pembinaan pada puskesmas yang
berada di wilayah kerjanya “Transfer of Knowledge”
berupa lokakarya, simposium, ceramah-ceramah baik
15
kepada tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum perlu
dilaksanakan. Di lain pihak, rumah sakit harus selalu
bersedia bertindak sebagai rujukan dari layanan kesehatan
yang ada di masyarakat.
3. Layanan kesehatan lansia berbasis rumah sakit (hospital
based geriatric service)
Pada layanan ini rumah sakit, tergantung dari jenis
layanan yang ada, menyediakan berbagai layanan bagi
para lanjut usia. Mulai dari layanan sederhana berupa
poliklinik lansia, sampai pada layanan yang lebih maju,
misalnya bangsal akut, klinik siang terpadu (day hospital),
bangsal kronis dan panti rawat wredha (nursing homes).
Di samping itu, rumah sakit jiwa juga menyediakan
layanan kesehatan jiwa bagi lansia dengan pola yang
sama. Pada tingkat ini, sebaiknya di laksanakan suatu
layanan terkait (con join care) antara unit geriatri rumah
sakit umum dengan unit psikogeriatri suatu rumah sakit
jiwa, terutama untuk menangani penderita penyakit fisik
dengan komponen gangguan psikis berat atau sebaliknya.
2.2 Permasalahan Kelompok Lansia dalam Sistem Kesehatan Global
dan Indonesia
Populasi di dunia ini bertambah tua seiring waktu (WHO, 2012).
Didukung oleh berbagai faktor, termasuk di antaranya perbaikan dalam
bidang kesehatan (sanitasi, nutrisi, inovasi pengobatan seperti
penemuan vaksin dan antibiotik), umur harapan hidup pun semakin
meningkat. Pembangunan suatu negara terutama dalam bidang
industrialisasi juga menyebabkan bertambahnya harapan hidup dan
kualitas hidup di suatu negara. Adapun faktor-faktor lain yang berkaitan
ialah:
16
1. Turunnya angka kematian bayi dan anak (dalamrangka turunnya
morbiditas dan mortalitas penyakit pada umumnya).
2. Metode persalinan atau kebidanan yang lebih baik.
3. Turunnya kematian karena penyakit infeksi dengan ditemukannya
obat atau antibiotika baru.
4. Kemajuan teknologi dalam bidang diagnostik dan terapi.
5. Kemajuan pengetahuan dalam bidang gizi.
6. Kemajuan pengetahuan dalam bidang imunisasi.
7. Kemajuan IPTEK dalam bidang prevensi lainnya.
8. Kemajuan IPTEK dalam bidang rehabilitasi penyakit.
Umur harapan hidup pada dasarnya dianggap sebagai kunci
indikator bagi perbaikan status kesehatan suatu populasi. Oleh sebab
itu, penuaan populasi global merupakan salah satu pencapaian terbesar
dalam sejarah kemanusiaan. Namun demikian, secara paradoks kondisi
ini juga membawa tantangan bagi sistem kesehatan di seluruh
dunia.Segera, jumlah populasi lansia akan lebih tinggi dibanding anak-
anak, khususnya di negara berkembang. Saat proporsi lansia dan
lamanya masa kehidupan semakin meningkat, berbagai permasalahan
pun bermunculan (WHO, 2000).
2.2.1 Pertambahan Populasi Lansia
Salah satu fitur utama dari populasi dunia beberapa dekade
terakhir ini adalah peningkatan pesat jumlah absolut dan relatif
dari penduduk lansia, baik di negara maju maupun negara
berkembang. Kondisi ini cenderung akan mengalami percepatan
dalam dua atau tiga dekade mendatang. Total jumlah populasi
lanjut usia (usia diatas 60 tahun) di seluruh dunia diperkirakan
akan meningkat dari 605 juta (tahun 2000) menjadi 1,2 miliar di
tahun 2025 (WHO, 2002). Di tahun 2050 mendatang presentasi
dari orang-orang berusia 60 tahun ke atas diprediksikan akan
17
mencapai 22% (2 miliar) dari total populasi dunia (United
Nation, 2009).
Gambar 2.3. Populasi Berusia 60 Tahun ke Atas dari Tahun 1950-2050
(United Nation, 2009)
Dewasa ini sekitar 60% populasi lanjut usia lansia di seluruh
dunia yang berjumlah 600 juta, akan hidup dan bertempat tinggal
di negara-negara berkembang. Sebelumnya angka ini pada 1960
adalah 50% dan pada tahun 2025 mendatang jumlah tersebut
diperkirakan meningkat menjadi 75% (843 juta) (WHO, 2007).
Meskipun negara maju umumnya memiliki profil populasi yang
umur harapan hidupnya lebih panjang dibanding negara
berkembang, mayoritas penduduk lansia dan penuaan populasi
tercepat berada di negara berkembang. Di antara tahun 2010 dan
2050, jumlah di atas (60%) diproyeksikan akan meningkat >250%
(3 kali lipat). Jika dibandingkan dengan hasil proyeksi penuaan
populasi di negara maju yang hanya sebesar 71%, negara
berkembang tentunya akan memiliki jumlah penduduk lansia
18
yang jauh lebih banyak. Kenaikan jumlah sebanyak ini terutama
akan terjadi di Asia. (WHO, 2011)
Di kawasan Asia Pasifik mereka yang berusia di atas 60
tahun dewasa ini berjumlah kurang dari 10% dari jumlah
penduduk seluruhnya, sedangkan yang berusia di atas 80 tahun
berjumlah 1% dari jumlah penduduk. Menjelang tahun 2050
angka-angka iniakan meningkat menjadi 25% untuk yang berusia
di atas 60 tahun dan 5% untuk yang berusia di atas 80 tahun
(Access Economics PTY Limited, 2006). Gambar di bawah ini
menunjukkan peningkatan proporsional penduduk lansia di
beberapa negara berkembang, salah satu di antaranya adalah
Indonesia.
Gambar 2.4 Persentasi Penduduk Usia 60 Tahun Ke Atas di Berbagai Negara
Berkembang
(WHO, 2002)
Menurut laporan data demografi penduduk internasional yang
dikeluarkan oleh Bureau of the Census USA (1993), dilaporkan
19
bahwa Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai
kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414%, suatu angka paling
tinggi di seluruh dunia. Sebagai perbandingan kami kutip: Kenya
347%, Brazil 255%, India 242%, China 220%, Jepang 129,
Jerman 66% dan Swedia 33% (Kinsella dan Taeuber,
1993).Indonesia diharapkan beranjak dari urutan ke-10 pada
tahun 1980 menjadi urutan ke-5 atau 6 pada tahun 2020 sebagai
negara yang banyak jumlah populasi lansianya (WHO, 1989).
Bahkan dengan terpecahnya USSR, Indonesia akan menduduki
urutan ke-4 atau ke-5.
Penuaan pada dasarnya menghasilkan 2 konsekuensi, yakni
keuntungan dan kerugian. Penuaan akan berdampak pada pensiun
dan sistem keamanan sosial, meningkatnya kebutuhan akan
perawatan kesehatan primer, membutuhkan lebih banyak tenaga
kerja kesehatan terlatih, dan meningkatkan kebutuhan untuk
perawatan jangka panjang, khususnya dalam masalah
demensia.Namun, didapatkan juga keuntungan yang sama besar.
Orang tua adalah panutan bagi keluarga, masyarakat dan tenaga
kerja formal maupun informal. Mereka adalah gudang
pengetahuan. Mereka dapat membantu generasi yang lebih muda
dalam menghindari membuat kesalahan yang sama.Jika kita dapat
memastikan orang tua dapat hidup sehat serta hidup lebih lama
sehingga terjadi peningkatan angka usia harapan hidup, maka
diharapkan berdampak pada perpanjangan usia produktif.
Orangtua yang produktif tentu akan memiliki keunggulan
kompetitif dari segi pengalaman. (WHO, 2012)
Transisi Demografis
Bertambahnya penduduk lansia membawa dunia ini di
ambang perubahan demografi. Sejak permulaan catatan sejarah,
diketahui bahwa jumlah populasi anak-anak jauh melampaui
jumlah populasi orang tua. Namun demikian, saat ini faktanya
20
mulai berlawanan. Dengan suksesnya penerapan metode
kontrasepsi dalam menekan laju pertumbuhan penduduk, dan
keberhasilan dalam bidang pengobatan yang memungkinkan
seseorang dapat hidup hingga usia tua, penuaan populasi akan
terus berlanjut dan terjadi pergeseran piramida populasi.
Kombinasi antara penurunan angka fertilitas dan mortalitas pada
kasus ini dikenal dengan istilah transisi demografik. Transisi
demografik menggambarkan suatu kondisi dimana lebih sedikit
jumlah anak-anak yang memasuki populasi, sementara di saat
yang sama, populasi dewasa dan lansia terus mengalami penuaan.
Sebagai konsekuensinya, jumlah populasi lansia akan lebih tinggi
dibanding anak-anak (0-14 tahun), dan ini terjadi khususnya di
Negara berkembang (WHO, 2002).
Gambar 2.5 Perbandingan populasi anak-anak dan lansia dalam
persentasi secara global : 1950-2050
(United Nations, 2010)
21
2.2.2 Transisi Epidemiologis dan Beban Penyakit Global (Global
Burden Disease) yang Ditimbulkan
Keberhasilan dalam melawan berbagai penyakit infeksi dan
parasitik merupakan “kemenangan” bagi proyek kesehatan publik
di akhir abad ke-20. Jutaan jiwa mendapatkan imunisasi, dan
bahkan dewasa ini, standar hidup yang lebih baik, khususnya
ketersediaan nutrisi, diet sehat dan air bersih mulai mengurangi
infeksi yang sifatnya serius dan mencegah kematian di antara
anak-anak. Banyak bayi yang bertahan melewati masa awal
kehidupan yang sangat rentan hingga akhirnya memasuki usia
dewasa. Segera, populasi ini akan memasuki usia lanjut. Jika
dijumlahkan dengan total populasi lansia saat ini, hasilnya adalah
peningkatan progresif dalam populasi usia tua. Transisi demografi
– seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya – bukan lagi hal
yang asing di kalangan ahli demografi. Namun demikian, dampak
sesungguhnya di balik fenomena tersebut, tidak diantisipasi
sebagaimana mestinya.
Menurunnya angka fertilitas dan mortalitas yang menyertai
perkembangan sosioekonomi juga berarti pergeseran pada
penyebab utama penyakit dan kematian di seluruh dunia. Pada
permulaan era nonindustri, risiko tinggi akan kematian tidak
mengenal usia, dan hanya sejumlah kecil populasi yang mencapai
usia lanjut (WHO, 2011). Hal ini terutama disebabkan karena
mewabahnya penyakit menular seperti infeksi, malnutrisi dan
penyakit akut lainnya yang seringkali mengancam nyawa bayi
dan anak-anak (WHO, 2002). Saat ini,penyakit tidak menular
(noncommunicable disease) yang terutama diderita oleh populasi
dewasa dan lansia, membawa beban terbesar dalam kesehatan
22
global. Fenomena ini dikenal dengan istilah transisi epidemiologi
(WHO, 2011).
Tingginya angka kematian akibat penyakit infeksi umumnya
dihubungkan dengan kemiskinan, diet tidak sehat, dan
keterbatasan infrastruktur yang ditemukan terutama di negara
berkembang. Namun demikian, meskipun masih banyak negara
berkembang yang mengalami tingginya angka kematian anak
akibat penyakit infeksi dan parasit, peningkatan jumlah penderita
penyakit kronis dan degeneratif juga terjadi di negara-negara ini.
Faktanya, beberapa penyakit tidak menular – seperti depresi dan
penyakit jantung – justru dengan cepat menggantikan penyakit
infeksius sebagai penyebab utama kematian dan disabilitas di
negara berkembang.
Peningkatan jumlah penderita penyakit tidak menular(seperti
penyakit jantung, kanker, dan diabetes) mencerminkan perubahan
dalam gaya hidup dan diet di negara berkembang, sebagaimana
halnya penuaan. Potensi biaya ekonomi dan sosial dari penyakit-
penyakit ini meningkat secara tajam seiring penuaan populasi
sehingga akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu
negara (WHO, 2011).
Berdasarkan berbagai data proyeksi beban global penyakit
(Global Burden of Disease) dan data hasil penelitian
epidemiologis lainnya, diketahui bahwa masalah kesehatan yang
diasosiasikan dengan populasi lansia berdampak besar terhadap
kesejahteraan populasi secara global. Setelah 10-15 tahun
mendatang, masyarakat di seluruh dunia akan mengalami
kematian dan disabilitas yang lebih berat akibat penyakit tidak
menular seperti penyakit jantung, kanker, dan diabetes
dibandingkan penyakit infeksi dan parasit. Beban yang
ditimbulkan diukur dengan memperkirakan angka loss of healthy
years of life karena penyakit spesifik. Di tahun 2008, penyakit
23
tidak menular mencakup sekurang-kurangnya 86% beban
penyakit di negara berpenghasilan tinggi, 65% di negara
berpenghasilan menengah, dan 37% di negara berpenghasilan
rendah. Data-data ini kemudian menyingkirkan “mitos” yang
mengatakan bahwa penyakit tidak menular, seperti keganasan dan
penyakit jantun, merupakan penyakit yang hanya diderita oleh
kaum makmur.
Hasil proyeksi beban dari penyakit tidak menular di
negaraLMIC menunjukkan hasil yang mengejutkan. Diperkirakan
bahwa di tahun 2030 yang akan datang, beban dari penyakit-
penyakit ini akan mencapai 1/2 dari total beban penyakit di
negara berpenghasilan menengah, dan 3/4 dari total beban
penyakit di negara berpenghasilan rendah. Secara berurutan
penyakit infeksi akan mencapai persentase 30% dan 10%, di
negara berpenghasilan tinggi kemudian menengah (WHO, 2011).
Gambar 2.6. Meningkatnya beban penyakit tidak menular : 2008-2030(WHO, 2011)
24
2.2.3 Rekomendasi WHO
1. Pelayanan kesehatan
a. Memperkuat pelayanan kesehatan primer
Masalah kualitas, keamanan dan akses untuk perawatan
primer pada usia lanjut, termasuk deteksi dini dan
pengelolaan kondisi umum seperti hipertensi dan diabetes,
sering tidak dipahami dengan baik. WHO akan bekerja
untuk mengidentifikasi strategi yang dapat meningkatkan
upaya yang ada untuk memperkuat sistem kesehatan agar
pelayanan lebih efektif dan lebih mudah diakses bagi orang
tua, terutama di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. (WHO, 2012)
Sebagai contoh, fokus WHO dalam program
pencegahan kebutaan bertujuan untuk menyediakan
kapasitas teknis untuk negara agar dapat membantu dalam
mengatasi penyakit mata kronis yang berkaitan dengan usia
seperti katarak, retinopati diabetes, glaukoma, degenerasi
makula terkait usia dan presbiopia yang tak dapat dikoreksi.
Program WHO untuk pencegahan ketulian mendukung
pemerintah untuk mengembangkan rencana nasional yang
komprehensif untuk kesehatan telinga dan pendengaran.
Masalah pendengaran yang berkaitan dengan usia harus
menjadi komponen utama dari rencana ini.(WHO, 2012)
b. Pemanfaatan teknologi
Inovasi dan teknologi dapat membantu orang tua dalam
banyak cara: untuk lebih memonitor status kesehatan dan
mendeteksi tanda-tanda awal penyakit, menghubungkan
orang tua dengan penyedia layanan kesehatan, mendukung
metode baru dalam pendekatan medis, memastikan
25
pengumpulan dan pemantauan data yang lebih baik;
menciptakan kesempatan pelatihan bagi petugas kesehatan
dan perawat; mengembangkan versi baru dari diagnostik,
monitoring dan alat bantu, dan untuk membantu orang tua
dyang mengalami kehilangan fungsional agar tetap
independen.Mendorong pengembangan / adaptasi dan
transfer teknologi tepat guna dan solusi inovatif untuk
pengaturan ini dapat membantu kita mencapai kesetaraan
kesehatan. (WHO, 2012)
c. Membangun keterampilan tenaga kerja kesehatan
Kurikulum baru diperlukan untuk memastikan bahwa
tenaga kerja global memiliki keterampilan yang tepat untuk
menangani dengan populasi lanjut usia yang akan
mendominasi permintaan dalam pelayanan medis kelak.
WHO telah melakukan suatu tinjauan global awal dalam
kurikulum medis. Tinjauan ini mengidentifikasi sejumlah
pendekatan yang mungkin agarpendidikan di universitas
lebih relevan dengan kebutuhan populasi lanjut usia.
(WHO, 2012)
WHO bekerjasama dengan organisasi-organisasi
pendidikan kedokteran untuk mengembangkan lebih lanjut
dan memberikan bimbingan kepada perguruan tinggi dalam
mengembangkan kurikulum mereka dengan cara yang akan
paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di
abad ke-21.(WHO, 2012)
2. Rehabilitasi dan perawatan jangka panjang
a. Meningkatkan fungsi melalui rehabilitasi
Salah satu konsekuensi umum dari penyakit tidak
menular adalah hilangnya fungsi yang akhirnya mengarah
kepada ketidakmampuan orang tua untuk tetap independen.
Bukti menunjukkan bahwa rehabilitasi dapat mengurangi
26
masalah ini, memperpendek rawat inap dan meningkatkan
kualitas hidup. (WHO, 2012)
b. Mendukung perawatan jangka panjang
Informasi tentang model terbaik dari perawatan jangka
panjang baik di negara maju dan berkembang amat terbatas.
Kesenjangan meliputi informasi tentang kualitas, akses dan
keamanan. Perlu dipahami lebih baik bagaimana
mendukung pekerja formal dan informal yang bekerja
merawat orang-orang di akhir hidupnya atau ketika mereka
mengalami penurunan fungsional yang menyebabkan
hilangnya kemandirian mereka. (WHO, 2012)
c. Pedoman dalam mengatasi keterbatasan
Kelemahan adalah masalah penting dan kompleks yang
sering dikaitkan dengan hilangnya kemandirian, kebutuhan
untuk perawatan jangka panjang dan ketergantungan yang
signifikan pada keluarga. WHO bekerja sama dengan 10/66
Dementia Research Group, King College, London dan
Yayasan Kesehatan Masyarakat India untuk
mengembangkan pedoman dan intervensi baru bagi orang
tua denga latar belakang ekonomi yang berkekurangan.
Intervensi tersebut menargetkan gizi, imobilitas,
inkontinensia, jatuh, gangguan pengelihatan, pendengaran,
dan neuropsikologi (masalah perilaku, kognitif, dan
psikologis)(WHO, 2012).
d. Memberikan perawatan paliatif
Perawatan paliatif harus tersedia untuk semua pasien
dengan penyakit yang mengancam jiwa. Namun jutaan
orang tua terus mati dalam tekanan dan rasa sakit, hanya
karena kurangnya akses terhadap pengobatan dan dukungan
yang tepat. WHO akan bekerja untuk memberikan
rekomendasi tentang bagaimana negara-negara dapat secara
27
efektif mengintegrasikan perawatan paliatif ke dalam sistem
kesehatan mereka, pada seluruh kelompok penyakit dan
tingkat perawatan, untuk memastikan penyediaan paling
efisien perawatan paliatif dan cakupan yang terbaik untuk
pasien. Selain itu, WHO akan bekerja untuk
mengembangkan pedoman tentang apa yang dikategorikan
aman, perawatan akhir-hidup yang berkualitas dan
mengembangkan teknologi yang memfasilitasi perawatan
tersebut, dalam kemitraan dengan para pemimpin sektor
non-pemerintah dan swasta.(WHO, 2012)
e. Meningkatkan perawatan dan layanan bagi penderita
demensia
WHO menerbitkan Mental Health Gap Action
Programme (mhGAP) pada tahun 2008 dengan tujuan untuk
memperluas perawatan dan layanan untuk orang dengan
gangguan mental dan neurologis termasuk demensia. Dalam
mhGAP, panduan intervensi berbasis bukti menyediakan
flow chart sederhana untuk manajemen orang dengan
demensia dalam perawatan kesehatan primer oleh penyedia
layanan kesehatan yang tidak terspesialisasi.(WHO, 2012)
Pada April 2012, WHO meluncurkan laporan
Dementia: a public health priority dengan tujuan untuk
meningkatkan kesadaran demensia sebagai prioritas
kesehatan masyarakat. Laporan ini diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran di tingkat internasional dan
nasional untuk mengatasi dampak demensia sebagai satu
ancaman bagi kesehatan global.(WHO, 2012)
3. Pencegahan penyakit
a. Gangguan Pengelihatan
Sebuah strategi baru WHO dalam menanggulangi
masalah kebutaan dan gangguan penglihatan akan
28
diterapkan pada 2014-2019. Komponen utama bertujuan
mencegah dan mengobati penyakit mata kronis, dimana
orang tua berada pada risiko terbesar. WHO akan terus
mempromosikan layanan perawatan mata yang
komprehensif dan terpadu di negara-negara dengan bekerja
sama dengan pemerintah dan mitra internasional, misalnya
melalui workshop yang berhubungan dengan pencegahan
kebutaan. WHO akan terus membahas gangguan refraksi
yang saat ini menjadi penyebab utama gangguan
penglihatan di dunia, dengan meningkatkan kapasitas
negara untuk menyediakan kacamata dengan biaya yang
terjangkau dan memastikan orang tua memiliki akses ke
layanan kesehatan.(WHO, 2012)
Selain itu, WHO akan melaporkan hasil penelitian
mengenai presbiopia di sejumlah negara. WHO akan terus
mempromosikan layanan bedah berkualitas tinggi yang
terjangkau untuk menghilangkan katarak, yang saat ini
menjadi penyebab utama kebutaan pada orang tua di
seluruh dunia. Sebuah program baru untuk meningkatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai penyakit mata akibat
diabetes saat ini sedang dikembangkan oleh WHO. Selain
itu, WHO sedang mempersiapkan laporan teknis intervensi
kesehatan masyarakat untuk penyakit mata kronis yang
tidak menular. Laporan ini akan terfokus pada kondisi di
atas tetapi juga pada glaukoma dan degenerasi makula
terkait usia.(WHO, 2012)
b. Ketulian dan gangguan pendengaran
Pada tahun 2012 WHO menerapkan kembali Program
pencegahan ketulian dan gangguan pendengaran. Selama
dua tahun ke depan WHO akan bekerja dengan negara-
negara yang dipilih untuk memperkuat pencegahan dan
29
pengendalian gangguan pendengaran dalam perawatan
kesehatan primer. Hal ini penting diperhatikan agar
program terfokus pada akses ke layanan untuk orang tua
karena kelompok ini sangat rentan terhadap gangguan
pendengaran. Seperti halnya pencegahan kebutaan dan
gangguan penglihatan, WHO akan mempromosikan
layanan-layanan kesehatan primer dalam konteks pelayanan
kesehatan yang komprehensif dan sistem kesehatan yang
kuat.(WHO, 2012)
c. Kesehatan mulut
Kesehatan mulut yang buruk umum dialami orang tua
di seluruh dunia. Pembusukan gigi dan kurangnya
perawatan gigi, penyakit gusi yang parah, kehilangan gigi,
gigi palsu yang tidak pas, mulut kering, kanker mulut, nyeri
mulut dan ketidaknyamanan, dan keterbatasan fungsi lisan
dan sosial adalah kondisi yang mengganggu kualitas hidup.
Penyakit kronis dan kesehatan mulut yang buruk terkait
secara tidak langsung dikarenakan faktor risiko umum
untuk penyakit tidak menular, langsung, kehilangan gigi
adalah karena gizi buruk sedangkan penyakit gusi dikaitkan
dengan diabetes. Masalah mulut sering terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah, sementara masalah
kesenjangan terjadi secara global.(WHO, 2012)
Orang tua yang tidak mendapat pelayanan kesehatan
karena tingginya biaya perawatan, dan kurangnya
ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan kesehatan gigi dan
mulut. Tindakan kesehatan mulut merupakan bagian dari
pencegahan penyakit tidak menular dan promosi kesehatan
umum, kesehatan gigi dan mulut orang usia lanjut
dipromosikan melalui peningkatan sistem kesehatan yang
terjangkau.(WHO, 2012)
30
4. Kegiatan lain
a. Memastikan keamanan obat
Salah satu risiko utama bagi orang tua adalah
penggunaan obat yang tidak rasional. WHO sedang
mengembangkan protokol peresepan obat, pendekatan
pasien untuk memberdayakan pasien usia lanjut untuk
mengelola obat mereka sendiri dan pendekatan masyarakat
untuk meningkatkan kesadaran dan merasionalisasikan
permintaan obat yang paling sering digunakan oleh orang-
orang tua. (WHO, 2012)
b. Isu-isu gender
Strategi untuk meningkatkan kesehatan sering
ditargetkan kepada isu mengenai reproduksi wanita dan
seringkali berkaitan dengan tantangan kesehatan pada usia
tua juga. Untuk mengatasi kebutuhan perempuan
melampaui tahun-tahun reproduksi, WHO sedang
mengembangkan inisiatif pada pendekatan klinis terkait
kesehatan perempuan. (WHO, 2012)
c. Mengatasi kebutuhan orang tua dalam situasi darurat
Keadaan darurat dan bencana baru-baru ini telah
menunjukkan bahwa, sementara orang tua adalah salah satu
kelompok penduduk rentan yang paling signifikan,
kebutuhan mereka sering kurang diperhatikan. WHO akan
bekerja dengan mitra seperti HelpAge International untuk
memastikan kebutuhan orang tua yang lebih diperhatikan
dalam assesment masyarakat berisiko, pengurangan
kerentanan, risiko komunikasi, perencanaan respon, operasi,
dan pemulihan. WHO bekerja sama dalam hal kesehatan
mental, fasilitas kesehatan yang lebih aman, penyakit tidak
31
menular dan cacat yang berkaitan dengan bencana sehingga
diharapkan akan memberikan kontribusi untuk
pengetahuan dan tindakan untuk meningkatkan kesehatan
orang tua dalam keadaan darurat dan bencana.(WHO, 2012)
d. Global Network of Age-friendly Cities and Communities
Untuk mendorong terciptanya lingkungan yang
mendukung penuaan yang sehat dan aktif, WHO telah
mengembangkan Global Network of Age-friendly Cities and
Communities.(WHO, 2012)
Saat ini program nasional atau regional yang terkait
dengan Global Network of Age-friendly Cities and
Communities sedang berlangsung di negara-negara
termasuk Kanada, Perancis, Irlandia, Portugal, Rusia,
Slovenia, Spanyol dan Amerika Serikat. Masing-masing
telah berkomitmen untuk menjalankan siklus perbaikan
berkelanjutan yang akan membahas aspek-aspek kunci dari
lingkungan seperti aksesibilitas, transportasi, hubungan
antargenerasi, dan penyediaan layanan. Konferensi global
pertama pada kota ramah lanjut usia diadakan pada akhir
2011, dan sedang diadakan rencana untuk meluncurkan
sebuah portal elektronik yang menghubungkan kota-kota.
(WHO, 2012)
2.3 Perubahan Sistem Kesehatandan Pendidikan Dokter dalam
Menghadapi Fenomena Penuaan Populasi
Terlepas dari letak, tingkat perkembangan maupun
kekayaannya, tidak satupun negara di dunia ini yang bebas dari
fenomena penuaan populasi. Terlebih di negara berkembang,
penuaan penduduk yang cepat merupakan kontributor utama
terjadinyaperubahan tuntutan terhadap sistem perawatan
kesehatan. Seiring peningkatan populasilansia sistem ini harus
32
mengakomodasi kebutuhan perawatan orang dewasa yang lebih
tua bersama kebutuhan mendesak lainnya (seperti perawatan
maternal dan anak). Sistem perawatan kesehatan negara-negara
maju juga harus menyesuaikan sistem mereka dengan transisi
epidemiologiakibat penuaan populasi yang lebih lanjut. Namun,
kewaspadaan diperlukan untuk menghindari munculnya penyakit
dan disabilitas pada orang tua (yang tentunya akan menghasilkan
tuntutan tinggi bagi pelayanan kesehatan). (Keller et al, 2002)
Penting untuk mengoptimalkan kesehatan generasi lansia
agar tantangan dari pergeseran populasi dapat dihadapi dan
peluang yang ada dapat dimaksimalkan. Dengan kata lain, jika
kita memastikan bahwa populasi lansia dapat memiliki umur
panjang dan kesehatan pada saat yang sama, peluang
menguntungkan di balik penuaan populasi akan semakin besar
dan beban yang ditimbulkan akan semakin ringan. Kedua poin
tersebut merupakan kunci utama terwujudnya “active ageing”,
dan untuk mewujudkannya, dibutuhkan adaptasi yang sebaik
mungkin dari sistem kesehatan. (WHO, 2012)
Sebagai bagian dari sistem kesehatan, tenaga kesehatan –
apapun bentuknya – memegang peranan signifikan dalam
mengimbangi dampak transisi epidemiologi mengingat sejumlah
determinan dari active ageing bergantung pada sistem tersebut.
Hanya saja, fakta mengatakan bahwa saat ini tenaga kesehatan
sangat kurang dipersiapkan dalam menghadapi dampak global
dari penuaan populasi. Fakta ini ditemukan khususnya di negara
LMIC, di mana berbagai studi membuktikan bahwa hanya sekitar
4-14% populasi lansia yang mendapatkan perawatan kesehatan
secara efektif. Angka yang sangat mengkhawatirkan, mengingat
inilah gambaran persentasi tenaga kesehatan yang kompeten
dalam menangani permasalahan medis penduduk lansia,
33
sementara peningkatan drastis populasi tersebut akan terjadi pada
1 dekade mendatang. (WHO, 2012).
Gambar 2.7. Determinan Active Ageing
(WHO, 2002)
Rancangan baru dan inovatif bagi perawatan kesehatan
jangka panjang penduduk lansia sangatlah mendesak saat ini.
Sepanjang abad 21, kebutuhan akan tenaga kesehatan akan sangat
meningkat. Tenaga kesehatan ini diharapkan dapat membiasakan
diri dengan perawatan orang tua apapun bidang spesialisnya,
mengingat dalam praktek sehari-hari perawatan pasien lansia
bukanlah pengecualian dalam aktivitas mereka. Lebih jauh, saat
sistem perawatan kesehatan di negara berkembang semakin
ditantang oleh menggandanya beban penyakit tidak menular, issu
berikutnya akan semakin kompleks. Selain membiasakan diri
dengan perawatan pasien berusia lanjut, tenaga kerja pelayanan
kesehatan primer (dokter umum), secara partikular, juga
34
diharapkan akan mendapatkan pelatihan dalam pencegahan dan
penanganan penyakit tidak menular. (Keller et al, 2002)
2.3.1 Perubahan Paradigma dan Peran Pendidikan Dokter dalam
Menghadapi Perubahan Sistem Kesehatan
Meningkatnya jumlah penduduk lansia juga berarti lebih
banyak tenaga profesional kesehatan yang dibutuhkan – tapi
“lebih” dalam kasus ini tidak hanya terfokus pada kuantitas,
melainkan juga kualitas dan relevansi profesional yang
bersangkutan (WHO, 2011). Institusi pendidikan dokter harus
dapat merespon tuntutan tersebut dengan menghasilkan lulusan
yang kompeten. Untuk mencapai tujuan ini, reformasi dalam
bidang pendidikan dokter harus dilakukan (WHO, 2007).
Mahasiswa kedokteran saat ini merupakan generasi “dokter
masa depan”. Generasi ini dapat menjadi “pondasi kuat” dari
sistem pelayanan kesehatan masyarakat di masa yang akan
datang. Juga penting untuk ditekankan bahwa hampir semua
“dokter masa depan” akan lebih banyak menangani pasien lansia
di kemudian hari.Dengan demikian, prinsip dasar dari perawatan
orang tua seharusnya tidak hanya menjadi perhatian eksklusif
bagi para spesialis kedokteran geriatrik. Oleh sebab itu, WHO
sangat merekomendasikan agar tiap mahasiswa kedokteran
dibekali dengan kompetensi yang memadai sebagai respon
terhadap tantangan penuaan populasi.Akhirnya, pendidikan
mengenai geriatri dan semua permasalahannya menjadi bagian
yang penting untuk termuat dalam kurikulum pendidikan dokter
(WHO, 2007).
Melatih para calon profesional kesehatan secara memadai
dalam bidang geriatri merupakan faktor yang sebaiknya tidak
diabaikan.Institusi pendidikan – khususnya di negara berkembang
yang saat ini menghadapi kesenjangan dalam tenaga ahli – harus
35
meningkatkan kapasitas, metode mengajar dan juga
kurikulumnya. Kegagalan dalam melakukan hal tersebut,
menempatkan ancamanbagi tiap strategi untuk mempersiapkan
sistem perawatan kesehatan dalam menghadapi penuaan populasi
(WHO, 2002).
2.3.2 Penerapan Geriatri dalam Kurikulum Pendidikan Dokterdi
Berbagai Negara
Rancangan infrastruktur sistem kesehatan yang mendukung
penduduk lansia hanya dapat dikembangkanmelalui program
edukasi yang dirancang khususdalam bidang geriatri dan
gerontologi (WHO, 2002). Faktor ini menekankan betapa
pentingnya ilmu geriatri dalam pendidikan dokter. Beberapa
edukator dalam pendidikan kedokteran juga mengakui bahwa
geriatri merupakan salah satu area penting dalam instruksi dan
pelatihan selama masa pembelajaran (Council of Internal
Medicine, 1981). Terlebih lagi, kebutuhan terhadap pengetahuan
ini akan terus meningkat seiring penuaan populasi, khususnya di
negara berkembang. Namun demikian, bahkan saat populasi
dunia ini semakin menua, dan di saat yang sama peningkatan
proporsi penduduk lansia berlangsung lebih cepat di negara
berkembang, geriatri seringkali dianggap sebagai disiplin ilmu
yang nonesensial (Diachun et al, 2010).
Menyadari pentingnya masalah di atas, salah satu program
WHO, ALC – Ageing and Life Course Programme – telah
merancang suatu studi berjudul the Teaching Geriatric in Medical
Education(TeGeMe) untuk mengetahui bagaimana kedokteran
geriatri dimuat dalam kurikulum pendidikan dokter di seluruh
dunia. Saat itu, WHO juga mengundang International Federation
of Medical Student’s Associations (IFMSA) untuk menjadi
kolaborator dalam implementasi studinya. Studi TeGeMe
36
kemudian dilakukan di tahun 1999, dengan melibatkan banyak
anggota IFMSA dari berbagai asosiasi mahasiswa kedokteran
regional. Di tahun 2002, hasil studi tersebut diterbitkan dalam
dokumen berjudul Global Survey on Geriatrics in the Medical
Curriculum (WHO, 2002).
A. Studi TeGeMe I
Metodologi
Metodologi studi TeGeMeI menggunakan 2 daftar
pertanyaan yang disusun oleh komite WHO/IFMSA di tahun
1999. Daftar pertama, adalah daftar pertanyaan dalam lingkup
nasional, termasuk pertanyaan umum mengenai pendidikan
dokter (pilot kurikulum) dan tentang eksis atau tidaknya
kurikulum geriatri dalam kurikulum nasional/objektif (jika ada) di
negara partisipan. Daftar kedua, merupakan pertanyaan lingkup
lokal, memuat pertanyaan mengenai ada tidaknya pelatihan
khusus dalam geriatri di institusi di mana partisipan mengenyam
pendidikan (Keller et al, 2002).
Kemudian dua macam analisis dilakukan terhadap
mahasiswa kedokteran dari berbagai negara untuk mengevaluasi
bagaimana tiap institusi memuat ilmu geriatri dalam
kurikulumpendidikan dokter di seluruh dunia. Analisis pertama
merupakan analisis individual yang dilakukan terhadap tiap
sekolah kedokteran, demi mendapatkan gambaran yang sesuai
mengenai status pendidikan geriatri di institusi pendidikan
tersebut. Analisis kedua merupakan analisis kelompok, yang
dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara region geografis
atau antar-negara dengan berbagai tingkat perkembangan (Keller
et al, 2002).
37
Data dari Lingkup Nasional : Model Kurikulum di Berbagai
Negara
Sebanyak 53% dari semua negara memiliki kurikulum yang
diregulasi secara nasional. Negara-negara di Amerika tampaknya
tidak memiliki kurikulum nasional. Oleh karena itu, sebagian
besar keputusan untuk pengadaan kurikulum dilakukan oleh
institusi terkait (79%). 73% negara di Afrika dan >50% negara di
Eropa memiliki kurikulum atau objektif nasional. Sementara itu,
di Asia sendiri tidak ditemukan gambaran spesifik terkait geriatri
dalam kurikulum pendidikan dokternya (Keller et al, 2002).
Gambar 2.8. Model Kurikulum Pendidikan Dokter secara Global
(Keller et al, 2002)
Gambar 2.9. Persentasi Model Kurikulum dari Berbagai Belahan
Dunia
(Keller et al, 2002)
38
Status Kedokteran Geriatri dalam Kurikulum Nasional
Setelah data mengenai model kurikulum dikelompokkan,
analisis kemudian dilakukan terhadap status kedokteran geriatri
dalam kurikulum tersebut. Dengan memfokuskan analisis di
negara yang memiliki kurikulum nasional dan sekolah kedokteran
yang memiliki kurikulum independen, diketahui bahwa 41% dari
negara-negara tesebut memuat geriatri dalam kurikulumnya
“dengan berbagai cara”. 50% negara ini memuat geriatri ke dalam
kurikulum karena diharuskan oleh negara (mandatory). “Other”
merujuk ke “tidak spesifik”. Secara keseluruhan, hanya sebagian
kecil dari negara-negara ini yang memberlakukan aturan dalam
masa pembelajaran” (10%), “jam pembelajaran” (8 %), atau
“konten pembelajaran” (5%). Lebih jauh, hanya 1/3 dari negara
tanpa kurikulum geriatri yang menyatakan akan memasukkan
geriatri dalam kurikulum mereka di kemudian hari (Keller et al,
2002).
39
Gambar 2.10. Status Kedokteran Geriatri dalam Kurikulum
Nasional
(Keller et al, 2002)
Data dari Tingkat Lokal
Suatu analisis mendalam dilakukan terhadap semua sekolah
yang hadir sebagai perwakilan dari berbagai negara. Secara
singkat, penilaian yang dilakukan terhadap negara ini didasarkan
pada:
Pelatihan ditawarkan dalam kedokteran geriatri dan fasilitas
untuk pelatihan ini;
Karakteristik pelatihan, dan
Konten yang berhubungan dengan Geriatri dalam kurikulum
Hasil analisis ini dipresentasikan dengan terlebih dahulu
mengelompokkan negara-negara yang hadir berdasarkan
klasifikasi dari World Bank. Klasifikasi tersebut meliputi : (1)
Negara Berpenghasilan Tinggi, (2) Negara dalam Transisi
Ekonomi dan (3) Negara lainnya (all other countries).
Tabel 2.1. Klasifikasi Negara Partisipan
Negara
Berpenghasilan Tinggi
Negara dalam
Transisi Ekonomi
Negara lainnya
Austria, Kanada,
Denmark,Finlandia,
Jerman, Yunani,China -
Hong Kong
SAR,Islandia, Israel,
Malta,
Kuwait, Belanda, New
Bulgaria, Kroasia,
Republik Ceko,
Estonia, Latvia,
Lithuania, Polandia,
Republik Slovakia,
Ukraina
El Salvador, Ghana,
Guatemala, Jamaika,
Lebanon, FYR
Makedonia, Otoritas
Palestina, Panama,
Uruguay, Yugoslavia
40
Zealand, Norwegia,
Portugal,Spanyol,
Swedia, Swiss
(Keller et al, 2002)
Aspek berikut diperhitungkan untuk mengevaluasi
pendidikan kedokteran geriatridi di setiap sekolah:
Keberadaan unit independen untuk kedokteran geriatrik di
fakultas, atau bangsal geriatridi rumah sakit (universitas), dan
jika tidak;
Keberadaan sub-unit atau sub-bangsal, dan jika tidak;
Fasilitas lain yang memberikan pelatihan dalam kedokteran
geriatrik;
Susunan dan konten dalam kelas kedokteran geriatrik;
Aspek penuaan yang diajarkan dalam kelas lainnya
Kedokteran geriatri (jika ditawarkan) menjadi subjek wajib
atau pilihan;
Jika geriatri tidak diajarkan, adakah niat untuk
memasukkannya ke dalam kurikulum di masa yang akan
datang (Keller et al, 2002).
Fasilitas yang Memberikan Pelatihan Geriatri
Unit independen untuk kedokteran geriatri di fakultas
kedokteran terdapat di 24% dari semua sekolah yang
berpartisipasi, di 38% sekolah di negara-negara berpenghasilan
tinggi, 15% dari sekolah di negara dalam ekonomi transisi, dan
12,5% sekolah di "negara-negara lain”. Bangsal independen
rumah sakit ditemukan pada 39% dari semua sekolah yang
berpartisipasi, di 43% sekolah di negara-negara berpendapatan
tinggi, di 22% sekolah di ekonomi dalam transisi dan 8% dari
41
sekolah yang berada dalam kelompok "negara-negara lain”. Sub-
unit ada di 23% dari semua sekolah yang berpartisipasi, 25%
sekolah di negara-negara berpenghasilan tinggi, 33% sekolah di
"negara-negara lain”, dan 10% dari sekolah negara transisi
ekonomi. Di 64% dari semua sekolah-sekolah ini, subunit tersebut
berada di bawah unit Penyakit Dalam, 33% di bawah unit
kedokteran umum. Sub-bangsal dilaporkan di 21% dari semua
sekolah yang berpartisipasi, di 21% sekolah di negara-negara
berpenghasilan tinggi,15% sekolah di negara transisi, dan 21%
sekolah di "negara-negara lain".(Keller et al, 2002)
Gambar 2.11 Keberadaan Fasilitas Geriatri di Sejumlah
Negara
(Keller et al, 2002)
Karakteristik Pendidikan Geriatri
Tiga puluh delapan persen dari sekolah di negara-negara
berpenghasilan tinggimenawarkan studi pascasarjana dalam
kedokteran geriatrik, tetapi hanya 7,5% dari sekolah di negara
42
transisiyang menawarkan studi pasca-sarjana di kedokteran
geriatrik, dan tidak ada sekolah di "negara lain " yang
menawarkan ini. Mengikutsertakan perspektif perjalanan hidup”
dalam pelatihan hanya dilakukan oleh 22% sekolah, dan ini lagi-
lagi di negara berpenghasilan tinggi, tidak begitu banyak di
negara transisi ekonomi, dan sangat sedikit di "negara lain" (30-
15-8% secara berurutan). Dari segi durasi, secara umum
diterapkanjam pembelajaran selama 20-40 jam. Tiap 5 sekolah di
negara berpenghasilan tinggi dan negara dalam transisi ekonomi
menawarkan pelatihan praktik di bangsal, tapi hanya sedikit
sekolah "negara lain" yang menawarkan ini (25-20-4% secara
berurutan). (Keller et al, 2002)
Sekolah yang Tidak Mengajarkan Geriatri
Sebanyak 27% partisipan yang hadir menyatakan bahwa
mereka samasekali tidak mendapatkan pelatihan dalam bidang
geriatri. 19% dari sekolah tersebut berada di negara
berpenghasilan tinggi, 43% di negara yang mengalami transisi
ekonomi, dan sisanya adalah kelompok negara lain. Alasan
mengapa di balik kesenjangan pelatihan tersebut sangatlah
beragam. Kebanyakan menyatakan tidak adanya geriatri dalam
kurikulum pendidikan sebagai alasan. Sebagian besar partisipan
lainnya mengatakan bahwa “Masyarakat Lansia bukanlah issu
prioritas”. (Keller et al, 2002)
43
Gambar 2.12 Alasan mengapa Geriatri Tidak Diajarkan di
Berbagai Negara
(Keller et al, 2002)
B. Kualitas danKuantitas Pendidikan Geriatri dengan Proporsi
Penduduk Lansia
Sebuah indikator yang GERIND dibuat untuk memfasilitasi
analisis dan membandingkan situasi pembelajaran geriatri antara
negara partisipan. Indikator ini akan menggambarkan 2 poin
penting, yakni “seberapa banyak yang dipelajari mahasiswa
kedokteran dalam bidang geriatri” dan “bagaimana penilaian
terhadap kedokteran geriatri di universitas tersebut”. Skor
maksimum untuk indeks ini adalah sejumlah 100. Pada dasarnya,
semakin tinggi skor GERIND maka semakin baik kualitas dan
kuantitas pendidikan geriatri yang dimiliki oleh suatu negara.
Akhirnya, dengan memasangkan skor tersebut bersama proporsi
penduduk lansia yang dimiliki oleh suatu negara, dibuatlah 3
klasifikasi negara yang menggambarkan baik kualitas-kuantitas
pendidikan geriatri dan proporsi penduduk lansia di negara
tersebut :
44
Group A: “Old population – weak in geriatrics
education” countries
Tabel 2.2. Negara Group A
(Keller et al, 2012)
Group B: “Young population – weak in geriatrics
education ” – countries
Tabel 2.3. Negara Group B
(Keller et al, 2002)
45
Group C: “Old population – strong in geriatrics
education” – countries
Tabel 2.4 Negara Group C
(Keller et al, 2002)
Kesimpulan dari skor GERIND dan klasifikasi negara di
dalamnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Group A : “proporsi penduduk lansia tinggi – level pelatihan
kedokteran geriatri tidak memadai”, tampaknya negara-negara ini
akan menghadapi tantangan besar menghadapi penuaan populasi
mengingat persiapan untuk pelayanan di masa yang akan datang
sangatlah rendah. Meningjatkan pelatihan multidisiplin dalam bidang
geriatri sangat direkomendasikan di negara-negara ini.
Grup B : kelompok ini mencakup negara dengan populasi yang
terbilang masih cukup muda namun taraf pendidikan geriatri rendah.
Tingkat pendidikan geriatri pada kasus Grup B adalah setara dengan
grup A. Meskipun populasi penduduk lansianya lebih rendah
dibanding grup A, pelatihan dalam bidang geriatri juga
direkomendasikan bagi negara-negara yang termasuk dalam kelompok
ini mengingat dalam 25 tahun mendatang, ledakan populasi lansia
akan terjadi di negara-negara ini.
46
Grup C: Negara Grup C menawarkan berbagai kesempatan
tinggi dalam pelatihan kedokteran geriatri dan memiliki proporsi
penduduk lansia yang tinggi dalam kependudukannya. Nilai GERIND
rata-rata untuk Grup C adalah 77,9. Angka ini mencerminkan adanya
sejumlah besar fasilitas geriatri serta geriatri menjadi subjek yang
wajib di sebagian besar negara-negara ini, dan sering dimasukkan
dalam kurikulum nasional (di mana ada kurikulum nasional). Untuk
Grup C, peningkatan sebesar 57% pada populasi berusia 60 +
diprediksikan terjadi dalam 25 tahun ke depan, tapi dari data dalam
studi TeGeMe I, dapat disimpulkan bahwa generasi “dokter masa
depan”di negara-negara ini sudah dilatih dengan baik. Namun
demikian, di beberapa negara, harmonisasi nasional mungkin akan
berguna (Keller et al, 2002).
Gambaran Kurikulum Geriatri di Beberapa Benua
Asia – China, Hong Kong SAR
Kedua sekolah kedokteran dari Hong Kong ikut berpartisipasi
dalam studi TeGeMe. Universitas China (The Chinese
University disingkat CU) memiliki kurikulum konservatif, dan
Universitas Hong Kong (University of Hong Kong disingkat
UHK) dengan problem-based curriculum. Tidak ada kurikulum
nasional di negara ini. Di kedua sekolah ini, geriatri diwajibkan
dan studi pasca-sarjana juga ditawarkan. Konten pembelajaran
dalam bidang geriatri meliputi berbagai aspek termasuk geriatri
rehabilitatif akut dan kronis. Perspektif perjalanan hidup
diberikan melalui sesi khusus dalam “ageing” dan pediatri
selama 4 tahun. Di CU, kelas khusus dengan berbagai tema :
presentasi penyakit pada orang lanjut usia, peresepan, perubahan
fisiologis pada penuaan, nutrisi, rehabilitasi, mode pemberian
layanan, issu di akhir kehidupan dan perawatan paliatif
diberikan. Kunjungan terhadap pasien berusia lanjut juga
47
ditawarkan, dan ada interaksi dengan terapis (CU), UHK dengan
para sukarelawan.
Eropa – Norway
Dua dari empat sekolah kedokteran di negara ini berpartisipasi
dalam studi TeGeMe. Institusi ini adalah Norges
TeknisknaturvitenskapeligeUniversitet (NTNU, 493 pelajar) dan
Bergen (865 pelajar). Tipe kurikulum di Bergen adalah
konservatif, sedangkan NTNU menggunakanproblem-based
curriculum. Sama halnya dengan Hongkong, kurikulum nasional
tidak ada di negara ini. Kedua sekolah kedokteran tersebut
memiliki unit independen untuk geriatri dan bangsal geriatri di
rumah sakit universitasnya. Mengajarkan geriatri dilaporkan
wajib di negara ini. 20-40 jam per minggu dialokasikan untuk
studi geriatri dan di dalam kurikulumnya, perspektif perjalanan
hidup juga diajarkan. Selain aspek klinis dari geriatri, pelajaran
tentang aspek psikososial dan etika juga tercakup dalam
kurikulumnya.
Amerika – Kanada
Sepuluh dari enam belas sekolah kedokteran yang ada di negara
Kanada berpartisipasi dalam studi TeGeMe. Mayoritas dari
sekolah di negara ini memiliki kurikulum yang terintegrasi.
Kurikulum nasional tidak ada. 9 sekolah kedokteran memiliki
unit geriatri yang independen dan semua sekolah ini memiliki
bangsal khusus untuk geriatri di rumah sakit institusinya.
Sekolah-sekolah kedokteran di Kanada mengajarkan aspek
geriatri dalam rentang yang luas. 6 sekolah mengajarkan
perspektif perjalanan hidup, dan kunjungan pasien berusia lanjut
juga ditawarkan. Interaksi dengan para tenaga kesehatan di
lapangan juga diberikan, antara lain dengan para psikiater,
perawat, gerontologis dan juga pekerja sosial. Semua aspek
48
(kecuali aspek sosial dan pencegahan penyakit) terkait penuaan
diajarkan dalam kurikulumnya.
Afrika – Afrika Selatan
Dua universitas dari afrika selatan mengambil bagian dalam
studi TeGeMe, antara lain Stellenbosch University, Cape Town
dan University of Cape Town Medical School. Di negara ini,
pembelejaran geriatri adalah wajib baik bagi para mahasiswa
kedokteran umum dan pasca-sarjana dalam bidang penyakit
dalam. Geriatri pasca-sarjana memakan waktu kurang lebih 40
jam dalam 1 blok yang mencakup kuliah dari dosen, bed-side
teaching, dan interaksi dengan profesional kesehatan lainnya
(Keller et al, 2002).
Terlepas dari keberhasilan beberapa negara dalam
menerapkan geriatri dalam kurikulumnya, secara keseluruhan,
kesimpulan data yang didapatkan dari 36 negara melalui studi
TeGeMe adalah mayoritas dari sistem kesehatan di dunia ini tidak
dipersiapkan untuk menyediakan perawatan memadai bagi
populasi lansia, meskipun ledakan populasi ini akan terjadi dalam
waktu dekat (Keller et al, 2002).
2.4 Pendidikan Ilmu Geriatri pada Kurikulum Pendidikan
Dokter
2.4.1 Kurikulum Geriatri WHO
Model kurikulum berbasis kompetensi yang terintegrasi
baik horizontal maupun vertikal, serta berorientasi pada
masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat dalam
konteks pelayanan kesehatan primer.
Isi kurikulum harus berorientasi pada masalah kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat dalam konteks pelayanan
49
kesehatan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga,
serta memiliki muatan lokal yang spesifik.
Daftar kurikulum geriatri yang diterapkan dalam
pendidikan kedokteran:
1. Cognitive and behavioral disorders
2. Medication management
3. Self-care capacity
4. Falls, balance, gait disorders
5. Atypical presentation of disease
6. Palliative care
7. Hospital care for elders
8. Health care planning and promotion
Kompetensi Minimum Mahasiswa Kedokteran dalam Bidang Geriatri
Lulusan mahasiswa kedokteran, dalam permasalahan spesifik pasien
usia lanjut harus mampu:
Manajemen Kesehatan
1 Menjelaskan dampak terkait usia pada pemilihan obat dan
penentuan dosis berdasarkan pengetahuan terkait dengan
perubahan fungsi ginjal dan hepar, komposisi tubuh dan
sensitivitas saraf pusat.
2 Mengidentifikasi pengobatan termasuk obat antikolinergik,
psikoaktif, antikoagulan, anelgetik, hipoglikemik dan obat-obat
kardiovaskular yang menjadi kontraindikasi atau digunakan
dalam pengawasan pada pasien lansia dan menjelaskan tentang
permasalahan potensial yang berkaitan dengan penggunaannya.
3 Mendokumentasikan dengan lengkap rekam medik pasien,
termasuk resep obat, penggunaan herbal dan obat-obatan
alternatif, dan dosis yang diberikan pada setiap pengobatan,
frekuensi, indikasi, keuntungan, efek samping, dan pengawasan
kepatuhan pengobatan.
50
Cognitive and Behavioral Disorder
1 Membandingkan dan membedakan manifestasi klinis dari
delirium, demensia, dan depresi
2 Membuat diagnosis banding dan menerapkan evaluasi awal
pada pasien dengan delirium, dementia atau depresi
3 Pada pasien delirium, penting untuk menginisiasi diagnosis
kerja sehingga mengetahui penyebabnya.
4 Melaksanakan dan menginterpretasikan suatu penilaian
kognitif pasien lansia mengenai memori atau fungsi
5 Membuat evaluasi dan rencana tatalaksana non farmakologis
untuk pasien dementia atau delirium
Self-Care Capacity
1 Menilai dan menguraikan kemampuan dasar dan fungsional
pasien usia tua dengan mengumpulkan riwayat medis pasien
dari berbagai sumber, dan memastikan untuk menyertakan data
mengenai kegiatan dan aktivitas sehari-hari, serta data
konfirmasi pemeriksaan pendengaran dan pengelihatan.
2 Mengembangkan rencana manajemen awal untuk pasien
dengan defisit fungsional, termasuk intervensi adaptif dan
keterlibatan anggota tim interdisipliner dari berbagai disiplin
ilmu yang sesuai, seperti sosial
pekerjaan, perawatan, rehabilitasi, gizi, dan farmasi.
3 Mengidentifikasi dan menilai kondisi keamanan di lingkungan
rumah, dan membuat rekomendasi mengenai hal tersebut.
Falls, Ballance, Gait Disorders
1 Tanyakan pada pasien atau pengasuh mereka apakah pasien
berusia > 65 tahun, tentang riwayat jatuh dalam satu tahun
terakhir, perhatikan gerakan pasien saat dari kursi dan berjalan
(atau berpindah), kemudian catat dan interpretasikan temuan.
2 Pada pasien yang mengalami jatuh, buatlah diagnosis banding
dan rencana evaluasi yang membahas mengenai beberapa
51
etiologi yang diidentifikasi dari riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik dan penilaian fungsional.
Health Care Planning And Promotion
1 Mendefinisikan dan membedakan jenis status, proses
pelayanan kesehatan, dan arahan di berbagai tingkat pelayanan
kesehatan.
2 Mengidentifikasikan dengan akurat situasi klinis harapan
hidup, status fungsional, preferensi pasien atau tujuan
perawatan harus memenuhi standar rekomendasi untuk tes
skrining pada pasien lanjut usia.
3 Mengidentifikasikan dengan akurat situasi klinis di mana
harapan hidup, status fungsional, preferensi pasien atau tujuan
perawatan harus memenuhi standar rekomendasi untuk
pengobatan pada pasien lanjut usia.
Atypical Presentation of Disease
1 Mengidentifikasi setidaknya 3 perubahan fisiologis penuaan
untuk setiap sistem organ dan dampaknya terhadap pasien,
termasuk proses homeostenosis (penurunan mekanisme
homeostatis terkait usia).
2 Membuat diagnosis banding berdasarkan gejala dan tanda
khusus dari kondisi umum lain pada pasien, termasuk sindrom
koroner akut, dehidrasi, infeksi saluran kemih, akut abdomen,
dan pneumonia.
Palliative Care
1 Menilai dan menyediakan manajemen awal untuk nyeri dan
gejala lainnya berdasarkan tujuan perawatan pasien.
2 Mengidentifikasi kebutuhan psikologis, sosial, dan spiritual
pasien dengan mempertimbangkan penyakit yang diderita dan
pertimbangan anggota keluarga pasien, serta menghubungkan
kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan anggota tim
interdisipliner yang sesuai.
52
3 Memberikan perawatan paliatif (termasuk rumah sakit) pilihan
pengobatan aktif dan positif untuk penyakit yang sedang
diderita pasien.
Hospital Care for Elders
1 Mengidentifikasi potensi bahaya dari rawat inap untuk semua
pasien lanjut usia (termasuk imobilitas, delirium, efek samping
pengobatan, malnutrisi, dekubitus, prosedur perawatan,
sebelum, selama dan pasca operasi,
inkontinensia urin transien, dan infeksi nosokomial) dan
mengidentifikasi potensi strategi pencegahan.
2 Menjelaskan risiko, indikasi, alternatif, dan kontraindikasi
penggunaan kateter (Foley) pada pasien lanjut usia.
3 Menjelaskan risiko, indikasi, alternatif, dan kontraindikasi
untuk penggunaan terapi fisik dan farmakologis.
4 Mengkomunikasikan rencana rawat jalan (misalnya, daftar obat
yang akurat, rencana tindak lanjut (follow-up), termasuk
membandingkan /membedakan saat yang tepat untuk rawat
jalan.
5 Melakukan pemeriksaan surveilans pada daerah kulit yang
berisiko tinggi terkena dekubitus dan mengidentifikasi bila
terdapat ulser.
2.4.2 Ilmu Geriatri pada Standar Kompetensi Dokter
Indonesia
Keterampilan klinis perlu dilatihkan sejak awal hingga
akhir pendidikan dokter secaraberkesinambungan. Dalam
melaksanakan praktik, lulusan dokter harus menguasai
keterampilan klinis untuk mendiagnosis maupun melakukan
penatalaksanaan masalah kesehatan (SKDI, 2012).
Kemampuan klinis di dalam standar kompetensi ini dapat
ditingkatkan melaluipendidikan dan pelatihan berkelanjutan
53
dalam rangka menyerap perkembanganilmu dan teknologi
kedokteran yang diselenggarakan oleh organisasi profesi
ataulembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi,
demikian pula untukkemampuan klinis lain di luar standar
kompetensi dokter yang telah ditetapkan.Pengaturan
pendidikan dan pelatihan kedua hal tersebut dibuat oleh
organisasiprofesi, dalam rangka memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan yang terjangkaudan berkeadilan (pasal
28 Undang Undang Praktik Kedokteran no.29/2004).
Tujuan
Daftar Keterampilan Klinis ini disusun dengan tujuan
untuk acuan bagi institusi pendidikan dokter dalam
menyiapkan sumber daya yang berkaitan dengan
keterampilan minimal yang harus dikuasai oleh lulusan
dokter layanan primer (SKDI, 2012).
Sistematika
Daftar Keterampilan Klinis dikelompokkan menurut
sistem tubuh manusia untuk menghindari pengulangan. Pada
setiap keterampilan klinis ditetapkan tingkat kemampuan
yang harus dicapai di akhir pendidikan dokter dengan
menggunakan Piramid Miller (knows, knows how, shows,
does) (SKDI, 2012).
Gambar 4 menunjukkan pembagian tingkat
kemampuan menurut Piramida Miller dan alternatif cara
mengujinya pada mahasiswa.
a. Tingkat kemampuan 1 (Knows): Mengetahui dan
Menjelaskan
Lulusan dokter mampu menguasai pengetahuan teoritis
termasuk aspek biomedikdan psikososial keterampilan
54
tersebut sehingga dapat menjelaskan kepada pasien/klien
dan keluarganya, teman sejawat, serta profesi lainnya
tentang prinsip, indikasi, dan komplikasi yang mungkin
timbul. Keterampilan ini dapat dicapai mahasiswa
melalui perkuliahan, diskusi, penugasan, dan belajar
mandiri, sedangkan penilaiannya dapat menggunakan
ujian tulis (SKDI, 2012).
Gambar 4. Tingkat kemampuan menurut Piramida Miller dan alternatif cara mengujinya pada mahasiswa. Dikutip dari Miller (1990), Shumway dan Harden (2003)
b. Tingkat kemampuan 2 (Knows How): Pernah melihat
atau didemonstrasikan
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari
keterampilan ini dengan penekanan pada clinical
reasoning dan problem solving serta berkesempatan
untuk melihat dan mengamati keterampilan tersebut
dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung
pada pasien/masyarakat. Pengujian keterampilan tingkat
Does
Shows
Knows How
Knows
Work-based assesment,
Eg. Portfolio, logbook, Multisource, feedback, Mini-CEX
Written assessment
Clinical and practical assesment,
eg. OSCE, long case
Written assesment,
eg. MCQ, EMI
55
kemampuan 2 dengan menggunakan ujian tulis pilihan
berganda atau penyelesaian kasus secara tertulis dan/atau
lisan (oral test) (SKDI, 2012).
c. Tingkat kemampuan 3 (Shows): Pernah melakukan
atau pernah menerapkan dibawah supervisi
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori
keterampilan ini termasuk latarbelakang biomedik dan
dampak psikososial keterampilan tersebut,
berkesempatan untuk melihat dan mengamati
keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau
pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat, serta
berlatih keterampilan tersebut pada alat peraga dan/atau
standardized patient.Pengujian keterampilan tingkat
kemampuan 3 dengan menggunakan ObjectiveStructured
Clinical Examination (OSCE) atau Objective Structured
Assessmentof Technical Skills (OSATS) (SKDI, 2012).
d. Tingkat kemampuan 4 (Does): Mampu melakukan
secara mandiri
Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya
tersebut denganmenguasai seluruh teori, prinsip,
indikasi, langkah-langkah cara melakukan,komplikasi,
dan pengendalian komplikasi. Selain pernah
melakukannya di bawahsupervisi, pengujian
keterampilan tingkat kemampuan 4 dengan
menggunakan Workbased Assessment misalnya mini
CEX, portfolio, logbook, dan sebagainya(SKDI, 2012).
Penilaian:
4A. Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter
56
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai
internsip dan/atauPendidikan Kedokteran Berkelanjutan
(PKB).
Keterampilan Klinis tentang Pembinaan kesehatan usia
lanjut berada pada daftar Kesehatan Masyarakat/Kedokteran
Pencegahan/Kedokteran Komunitas yang memiliki tingkat
kompetensi 4A. Dengan demikian di dalam Daftar
Keterampilan Klinis ini tingkat kompetensi tertinggi adalah
4A.
Tabel Matriks Tingkat Keterampilan Klinis, Metode,
Pembeajaran dan Metode Penilaian untuk setiap tingkat
kemampuan.
Kriteria Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4A
Tingkat Mampu
57
keterampilan
Klinis
melakukan
secara
mandiri
Mampu melakukan di
bawah supervisi
Memahami clinical reasoning dan
problem solving
Memahami teori keterampilan
Metode
Pembelajaran
Melakukan
pada pasien
Berlatih dengan alat peraga
atau pasien bersandar
Observasi langsung, demonstrasi
Perkuliahan, diskusi, penugasan, belajar mandiri
Metode
penilaian
Ujian tulis Penyelesaian
kasus secara
tertulis dan /
lisan (oral
test)
Objective
Structured
Clinical
Examinatio
n (OSCE)
Workbass
ed
Assesment
seperti
mini-CEX,
Portfolio,
logbook,
dsb
KESEHATAN MASYARAKAT / KEDOKTERAN
PENCEGAHAN / KEDOKTERAN KOMUNITAS
84
Perencanaan dan pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi upaya pencegahan dalam berbagai tingkat
pelayanan
4A
58
85Mengenai perilaku dan gaya hidup yang
membahayakan4A
86Memperlihatkan kemampuan pemeriksaan medis
di komunitas4A
87 Penilaian terhadap risiko masalah kesehatan 4A
88Memperlihatkan kemampuan penelitian yang
berkaitan dengan lingkungan4A
89
Memperlihatkan kemampuan perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi suatu
intervensi pencegahan kesehatan primer,
sekunder, dan tersier
4A
90
Melaksanakan kegiatan pencegahan spesifik
seperti vaksinasi, pemeriksaan medis berkala dan
dukungan sosial
4A
91
Melakukan pencegahan dan penatalaksanaan
kecelakaan kerja serta merancang program untuk
individu, lingkungan, dan institusi kerja
4A
92 Menerapkan 7 langkah keselamatan pasien 4A
93
Melakukan langkah-langkah diagnosis penyakit
akibat kerja dan penanganan pertama di tempat
kerja, serta melakukan pelaporan PAK
4A
94
Merencanakan program untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat termasuk kesehatan
lingkungan
4A
95
Melaksanakan 6 program dasar puskesmas:
1)Promosi kesehatan, 2)Kesehatan lingkungan,
3)KIA termasuk KB, 4)Perbaikan gizi masyarakat,
5)Penanggulangan penyakit imunisasi, ISPA,
Diare, TB, Malaria, 6)Pengobatan penanganan
kegawatdaruratan
4A
96 Pembinaan kesehatan usia lanjut 4A
59
97
Menegakkan diagnosis holistik pasien individu
dan keluarga, dan melakukan terapi dasar secara
holistik
4A
98 Melakukan rehabilitasi medik dasar 4A
99Melakukan rehabilitasi sosial pada individu,
keluarga, dan masyarakat4A
100Melakukan penalaksanaan komprehensif pasien,
keluarga, dan masyarakat4A
2.4.3 Standar Pendidikan Profesi Dokter
Standar Pendidikan Profesi Dokteradalah standar
minimal yang harus dipenuhi oleh institusi pendidikan
kedokteran dalam menyelenggarakanpendidikan dokter (KKI,
2006).
Sejak disahkan tahun 2006, seluruh institusi
penyelenggara pendidikan kedokteran telah mencoba untuk
mengimplementasikan standar tersebut. Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) sebagai lembaga yang mengesahkan standar
juga melakukan upaya untuk menjamin diterapkannya
standar tersebut, oleh karena itu KKI secara terus-menerus
melakukan bimbingan teknis penerapan standar pendidikan
profesi tersebut kepada seluruh institusi penyelenggara
pendidikan kedokteran (KKI, 2006).
Hasil dari bimbingan teknis yang telah dilakukan,
dijumpai kenyataan bahwa walaupun standar pendidikan
sudah diterapkan di masing-masing institusi penyelenggara,
namun belum diimplementasikan secara utuh dan sempurna.
Ditemukan banyak permasalahan dan kendala dalam
penerapan standar, antara lain belum siapnya perangkat dan
manajemen Institusi Pendidikan dalam perubahan kurikulum,
60
kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya SDM pengajar
baik dari segi jumlah maupun kualifikasi, dan rumah sakit
pendidikan yang belum memenuhi standar yang telah
ditetapkan (KKI, 2006).
Isi Kurikulum (KKI, 2006)
1. Isi kurikulum meliputi prinsip-prinsip metode ilmiah,
ilmu biomedik, ilmu kedokteran klinik, ilmu humaniora,
ilmu kedokteran komunitas dan ilmu kedokteran
keluarga yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi
Dokter.
4. Prinsip-prinsip metode ilmiah meliputi metodologi
penelitian, filsafat ilmu, berpikir kritis, biostatistik dan
evidence-basedmedicine.
5. Ilmu biomedik meliputi anatomi, biokimia, histologi,
biologi sel dan molekuler, fisiologi, mikrobiologi,
imunologi, parasitologi, patologi, dan farmakologi. Ilmu-
ilmu biomedik dijadikan dasar ilmu kedokteran klinik
sehingga mahasiswa mempunyai pengetahuan yang
cukup untuk memahami konsep dan praktik kedokteran
klinik.
6. Ilmu-ilmu humaniora meliputi ilmu perilaku, psikologi
kedokteran, sosiologi kedokteran, antroplogi kedokteran,
agama, etika dan ukum kedokteran, bahsa, Pancasila
serta kewarganegaraan.
7. Ilmu kedokteran klinis meliputi ilmu penyakit dalam
serta percabangannya, ilmu bedah, ilmu penyakit anak,
ilmu kebidanan dan kandungan, ilmu kesehatan kulit dan
kelamin, ilmu kesehatan mata, ilmu THT, radiologi,
anestesi, ilmu kedokteran forensik dan medikolegal.
61
8. Ilmu kedokteran komunitas terdiri dari ilmu kesehatan
masyarakat, ilmu kedoketeran pencegahan, epidemiologi
ilmu kesehatan kerja, ilmu kedokteran keluarga, dan
pendidikan kesehatan masyarakat.
9. Komponen penting dari setiap kurikulum adalah
tersedianya kesempatan bagi mahasiswa untuk
mengadakan kontak efektif secara personal dengan
pasien seawal mungkin.
10. Selama kontak dimanfaatkan untuk mempelajari
interaksi faktor penyebab, patogenesis, faktor fisik, dan
psikologis, keluarga, komunitas, sosial dan lingkungan
yang mempengaruhi perjalanan penyakit pasien.
Struktur, Komposisi dan Durasi Kurikulum
1. Struktur kurikulum terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
sarjana kedokteran dan tahap profesi dokter. Tahap
sarjana kedokteran dilakukan minimal 7 semster (112
minggu atau minimal 4480 jam atau minimal 144 SKS)
dan diakhiri dengan gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked).
tahap profesi dokter dilakukan minimal 3 semster
(minimal 72 minggu atau minimal 2880 jam) di RS
Pendidikan dan wahana pendidikan lain, serta diakhiri
dengan gelar Dokter (dr).
2. Kurikulum dilaksanakan dengan pendekatan atau strategi
SPICES (Student centred, Probelm-based, Integrated,
Community-based, Electived/ Early clinical Exposure,
Systematic).
3. Kurikulum pendidikan dokter di tingkat institusi terdiri
dari muatan yang disusun berdasar Standar Kompetensi
Dokter yang disahkan oleh KKI dan muatan lokal. Bban
muatan lokal maksimal 20% dari seluruh kurikulum.
62
4. Muatan lokal kurikuluk institusi dikembangkan oleh
setiap institusi sesuai dengan visi, misi, dan kondisi
lokal, dapat merupakan materi wajib dan atau materi
efektif.
5. Materi efektif memberi kesempatan kepada mahasiswa
untuk mengembangkan minat khusus (KKI, 2006).
Manajemen Program Pendidikan
Untuk mengelola program pendidikan, institusi
pendidikan memiliki unit pendidikan kedokteran yang
mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pengembangan kurikulum. Unit ini beranggotakan berbagai
disiplin ilmu dan di bawah tanggung jawab pimpinan institusi
(KKI, 2006).
Hubungan antara Kurikulum dengan Praktik
Kedokteran dan Sistem pelayanan Kesehatan
Mahasiswa harus mendapat mengalaman belajar
lapangan di dalam Sistem Pelayanan Kesehatan yang
secaranyata termuat di dalam kurikulum (KKI, 2006).
Persentase Penduduk usia 60tahun ke atasdi Negara Berkembang
63
1975 2000 20250
5
10
15
20
25
ThailandSouth AfricaIndonesiaMexicoBrazil IndiaChinaLebanon
World Health Organisation (WHO), 2000)
2.4.4 Penerapan Rekomendasi WHO dalam Kurikulum
Pendidikan Kedokteran di Indonesia
Rekomendasi WHO yang berkaitan dengan pendidikan
kedokteran dalam bidang geriatri adalah Cognitive and
behavioral disorders, Medication management, Self-care
capacity, Falls, balance, gait disorders, Atypical presentation
of disease, Palliative care, Hospital care for elders, dan
Health care planning and promotion. Implementasi
rekomendasi WHO tersebut dalam SPPDI dan SKDI tampak
dalam isi kurikulum pendidikan kedokteran yang ditentukan
oleh KKI.Misalnya dalam SPPDI tujuan pendidikan dokter
Indonesia adalah menghasilkan dokter layanan primer,
pelayanan geriatri juga masuk dalam layanan primer. Dalam
hal ini, karena ilmu geriatri merupakan ilmu yang melibatkan
berbagai macam disiplin ilmu maka ilmu geriatri pun
64
mendapat perhatian yang sama besarnya seperti ilmu-ilmu
kedokteran lainnya.
Rekomendasi WHO dalam penanganan cognitive and
behavioral disorders pada lansia diterapkan dalam kurikulum
mengenai ilmu-ilmu humaniora meliputi ilmu perilaku,
psikologi kedokteran, sosiologi kedokteran, antroplogi
kedokteran, agama, etika dan ukum kedokteran, bahasa,
Pancasila serta kewarganegaraan dalam SPPDI.
Falls, balance, gait disorder berkaitan dengan
kurikulum ilmu kedokteran klinis dalam SPPDI. Sedangkan
Medication management, Self-care capacity, Atypical
presentation of disease, Palliative care, Hospital care for
elders, dan Health care planning and promotion berkaitan
dengankurikulum ilmu kedokteran klinik, ilmu humaniora,
ilmu kedokteran komunitas, ilmu kedokteran keluarga, dan
evidence-basedmedicine.
AREA KOMPETENSI
Kompetensi dibangun dengan pondasi yang terdiri atas profesionalitas yang
luhur, mawas diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif, dan
ditunjang oleh pilar berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu
kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan
(Gambar 2). Oleh karena itu area kompetensi disusun dengan urutan sebagai
berikut:
1. Profesionalitas yang Luhur
2. Mawas Diri dan Pengembangan Diri
3. Komunikasi Efektif
4. Pengelolaan Informasi
5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
6. Keterampilan Klinis
65
7. Pengelolaan Masalah Kesehatan
Gambar. Pondasi dan Pilar Kompetensi
B. KOMPONEN KOMPETENSI
Area Profesionalitas yang Luhur
1. Berke-Tuhanan Yang Maha Esa/Yang Maha Kuasa
2. Bermoral, beretika dan disiplin
3. Sadar dan taat hukum
4. Berwawasan sosial budaya
5. Berperilaku profesional
Area Mawas Diri dan Pengembangan Diri
6. Menerapkan mawas diri
7. Mempraktikkan belajar sepanjang hayat
8. Mengembangkan pengetahuan
Area Komunikasi Efektif
9. Berkomunikasi dengan pasien dan keluarga
66
10. Berkomunikasi dengan mitra kerja
11. Berkomunikasi dengan masyarakat
Area Pengelolaan Informasi
12. Mengakses dan menilai informasi dan pengetahuan
13. Mendiseminasikan informasi dan pengetahuan secara efektif kepada
profesional kesehatan, pasien, masyarakat dan pihak terkait untuk
peningkatan mutu pelayanan kesehatan
Area Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
14. Menerapkan ilmu Biomedik, ilmu Humaniora, ilmu Kedokteran
Klinik, dan ilmu Kesehatan Masyarakat/ Kedokteran
Pencegahan/Kedokteran Komunitas yang terkini untuk mengelola
masalah kesehatan secara holistik dan komprehensif.
Area Keterampilan Klinis
15. Melakukan prosedur diagnosis
16. Melakukan prosedur penatalaksanaan yang holistik dan
komprehensif
Area Pengelolaan Masalah Kesehatan
17. Melaksanakan promosi kesehatan pada individu, keluarga dan
masyarakat
18. Melaksanakan pencegahan dan deteksi dini terjadinya masalah
kesehatan pada individu, keluarga dan masyarakat
19. Melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan individu, keluarga
dan masyarakat
20. Memberdayakan dan berkolaborasi dengan masyarakat dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan
21. Mengelola sumber daya secara efektif, efisien dan
berkesinambungan dalam penyelesaian masalah kesehatan
22. Mengakses dan menganalisis serta menerapkan kebijakan kesehatan
spesifik yang merupakan prioritas daerah masing-masing di
Indonesia
67
Salah satu tantangan terbesar bagi institusi pendidikan kedokteran dalam
melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah menerjemahkan
standar kompetensi ke dalam bentuk bahan atau tema pendidikan dan
pengajaran. Daftar Pokok Bahasan ini disusun berdasarkan masukan dari
pemangku kepentingan yang kemudian dianalisis dan divalidasi
menggunakan metode focus group discussion (FGD) dan nominal group
technique (NGT) bersama dengan konsil kedokteran, institusi pendidikan
kedokteran, organisasi profesi, dan perhimpunan.
Daftar Pokok Bahasan ini ditujukan untuk membantu institusi pendidikan
kedokteran dalam penyusunan kurikulum, dan bukan untuk membatasi
bahan atau tema pendidikan dan pengajaran. Pokok bahasan pada geriatri
masuk ke dalam area kompetensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
dimana penjabarannya adalah:
1. Struktur dan fungsi
a. Struktur dan fungsi pada tingkat molekular, selular, jaringan, dan
organ
b. Prinsip homeostasis
c. Koordinasi regulasi fungsi antarorgan atau sistem:
Integumen
Skeletal
Kardiovaskular
Respirasi
Gastrointestinal
Reproduksi
Tumbuh-kembang
Endokrin
Nefrogenitalia
Darah dan sistem imun
Saraf pusat-perifer dan indra
2. Penyebab penyakit
68
a. Lingkungan: biologis, fisik, dan kimia
b. Genetik
c. Psikologis dan perilaku
d. Nutrisi
e. Degeneratif/usia tua
3. Patomekanisme penyakit
a. Trauma
b. Inflamasi
c. Infeksi
d. Respons imun
e. Gangguan hemodinamik (iskemik, infark, thrombosis, syok)
f. Proses penyembuhan (tissue repair and healing)
g. Neoplasia
h. Pencegahan secara aspek biomedik
i. Kelainan genetik
j. Nutrisi, lingkungan, dan gaya hidup
4. Etika kedokteran
5. Prinsip hukum kedokteran
6. Prinsip-prinsip pelayanan kesehatan (primer, sekunder,
dan tersier)
7. Prinsip-prinsip pencegahan penyakit
8. Prinsip-prinsip pendekatan kedokteran keluarga
9. Mutu pelayanan kesehatan
10. Prinsip pendekatan sosio-budaya
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Peningkatan jumlah populasi lanjut usia berdampak pada
perubahan yang signifikan pada sistem pelayanan kesehatan. Adanya
69
perubahan pada sistem kesehatan berdampak pada perubahan dalam
pendidikan tenaga kesehatan termasuk pendidikan kedokteran. WHO
menyarankan agar dokter-dokter di masa depan haruslah terlatih dengan
baik dalam melayani kesehatan pasien usia lanjut.
3.2 Saran
Untuk menghadapi tantangan globalisasi akibat bertambahnya
populasi usia lanjut, seorang dokter harus menguasai ilmu dan
keterampilan mengenai geriatri agar dapat memberikan pelayanan yang
baik bagi pasien usia lanjut.