9
RESUME BISNIS YANG DIAKUI SEBAGAI PEMBANGUNAN Swastanisasi Kawasan Industri Sejak pertengahan 1980an, industri-industri skala menengah di Jepang dan di negara-negara industry baru (NIB) di Asia Timur semakin merasakan tingginya biaya faktor-faktor produksi, seperti upah tenaga kerja dan lahan industri. Karena ciri produk-produk industri tersebut merupakan komoditas yang dikonsumsi masyarakat di banyak negara dengan margin keuntungan yang tidak terlalu besar, maka mau tidak mau para pemilik industri ini harus keluar dari masalah tekanan biaya faktor- faktor produksi tadi. Dalam hal tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat responsif dan reaktif dalam menyikapi kecenderungan ekonomi meningkatnya arus modal dari negara-negara industri di Asia. Hal ini selain karena pemerintah memiliki keinginan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, juga karena perumus kebijakan ekonomi Indonesia menyadari bahwa negeri ini merupakan salah satu negara yang mampu menyediakan faktor-faktor produksi murah yang dibutuhkan para investor, yakni tenaga kerja dan tanah, di samping sumber alam dan bahan baku. Dalam aktualisasi respon meeka, pemodal besar dan pengusaha yang dekat dengan pengusaha lain dengan mudah bergandengan

Bisnis Yang Diakui Sebagai Pembangunan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bisnis Yang Diakui Sebagai Pembangunan

RESUME

BISNIS YANG DIAKUI SEBAGAI PEMBANGUNAN

Swastanisasi Kawasan Industri

Sejak pertengahan 1980an, industri-industri skala menengah di Jepang dan di negara-

negara industry baru (NIB) di Asia Timur semakin merasakan tingginya biaya faktor-faktor

produksi, seperti upah tenaga kerja dan lahan industri. Karena ciri produk-produk industri

tersebut merupakan komoditas yang dikonsumsi masyarakat di banyak negara dengan margin

keuntungan yang tidak terlalu besar, maka mau tidak mau para pemilik industri ini harus

keluar dari masalah tekanan biaya faktor-faktor produksi tadi.

Dalam hal tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat responsif dan

reaktif dalam menyikapi kecenderungan ekonomi meningkatnya arus modal dari negara-

negara industri di Asia. Hal ini selain karena pemerintah memiliki keinginan untuk mengejar

pertumbuhan ekonomi, juga karena perumus kebijakan ekonomi Indonesia menyadari bahwa

negeri ini merupakan salah satu negara yang mampu menyediakan faktor-faktor produksi

murah yang dibutuhkan para investor, yakni tenaga kerja dan tanah, di samping sumber alam

dan bahan baku.

Dalam aktualisasi respon meeka, pemodal besar dan pengusaha yang dekat dengan

pengusaha lain dengan mudah bergandengan tangan dengan pemodal asing dalam melakukan

kegiatan investasi. Artinya, mereka tidak hanya terlibat dalam bisnis penyediaan tanah dan

tenaga kerja, tetapi juga memperkuat integrasi ekonomi di antara sesama kapitalis Asia yang

dimotori oleh para kapitalis Jepang dan NIB Asia.

Arus Dana Internasional dari Jepang dan NIB

Perubahan ekonomi global, terutama di kawasan Asia Pasifik ditandai dengan

peningkatan mencolok biaya beberapa faktor produksi, membuat arus dana internasinal

mengalir ke negara-negara berkembang yang ditandai dengan dominasi peranan dana yang

berasal dari investasi langsung dana swasta. Sementara dana yang berasal dari lembaga-

lembaga dana multilateral cenderung mengecil.

Page 2: Bisnis Yang Diakui Sebagai Pembangunan

Keadaan ini memaksa modal yang telah terakumulasi selama periode sukses tersebut

mengandung dua strategi ganda. Pertama, mereka mempersiapkan perekonomian berorientasi

pengembangan industri jasa dan industri high-tech. Kedua, untuk mempertahankan

keuntungan yang selama ini didapat dari industri-industri padat tenaga kerja dan berteknologi

rendah, ditempuh kebijakan relokasi ke lokasi-lokasi produksi yang lebih murah di negara-

negara berkembang Asia lainnya.

Menangkap Peluang dari Relokasi Industri

Problem selanjutnya yang dihadapi negara-negara pencari modal tersebut adalah

bagaimana berkompetisi di antara mereka, seperti terlihat dalam upaya mereka

mengeksploitasi keunggulan-keunggulan komparatif masing-masing negara. Caranya tidak

hanya dengan menampilkan diri sebagai negara yang memiliki keunggulan-keunggulan

komparatif tertentu, tetapi juga harus menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi dengan

kepentingan kapitalis. Untuk itu, transparansi ekonomi, deregulasi dan debirokrasi adalah

cara-cara untuk melakukan adaptasi tersebut.

Deregulasi yang terbit dalam bentuk Keppres No. 53 Tahun 1989 adalah yang paling

mencerminkan jawaban pemerintah terhadapa tuntutan para calon investor asing, khususnya

mereka yang ingin merelokasi industrinya dari Jepang dan NIB ke luar negeri. Deregulasi ini

berisi kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada swasta, asing, dan

domestik, membuka bisnis kawasan industry yang dibutuhkan calon investor karena

pemerintah tidak memiliki dana untuk itu.

Swastanisasi Kawasan Industri

Selama dua puluh tahun sejak adanya kawasan industri di Indonesia, pemerintah

memiliki delapan kawasan industri. Dari segi latar belakang, terrdapat dua alasan berkenaan

dengan pendirian kawasan industri tersebut. Pertama, memanfaatkan sumber daya dan potensi

lokal yang tersedia di lokasi untuk menarik minat para investor dalam mengembangkan

industri di daerah tersebut. Kedua, kawasan industri didirikan atas tekanan atas permintaan

pasar. Namun di sisi lain, di saat Indonesia makin mengintegrasikan diri dengan ekonomi

pasar internasional, kemampuan finansial pemerintah untuk menyediakan infrastruktur

semakin rendah.

Page 3: Bisnis Yang Diakui Sebagai Pembangunan

Posisi Indonesia di Tengah Persaingan Merebut Modal Asing

Meskipun Indonesia telah cukup lama melibatkan diri ke dalam ekonomi pasar bebas

dan pertumbuhan investasi naik cukup tinggi setelah menerbitkan berbagai kebijakan

deregulasi dan debirokrasi, namun kemapuan Indonesia untuk menarik dan menahan modal

yang beredar di sekitar Asia masih tertinggal disanding dengan negara-negara lain. Jika

deregulasi yang telah digelindingkan sejak sepuluh tahun yang lalu bertujuan untuk menarik

minat swasta asing menanamkan modalnya ke Indonesia, tampaknya hasil yang dicapai

Indonesia belum maksimal.

Dampak Keppres No. 53 Tahun 1989

Tingginnya minat swasta mendirikan dan mengelola kawasan-kawasan industri seperti

tercermin pada perkembangan jumlah perusahaan, bukan berarti mencerminkan

kemampuannn mereka yang sesungguhnya. Lebih jauh, hal tersebut belum dapat dijadikan

indikasi bahwa kalangan swasta domestik di Indonesia sudah semakin tumbuh dan berperan

sejalan dengan semakin terbukanya peluang swasta untuk berperan dalam perekonomian.

Kenyataannya, hanya sebagian kecil pemodal swasta yang mampu memanfaatkan peluang

yang diberikan oleh pemerintah. Mereka adalah pengusaha besar yang selain memiliki modal

kuat dan jaringan yang luas dengan kalangan bisnis di luar negeri, juga telah memiliki

manajemen dan teknologi untuk mengelola usaha industri. Karena performance seperti itu

mereka lebih mudah melakukan joint venture dengan pemodal asing untuk mempercepat

pengembangan usaha kawasan industri.

Awal persoalan yang membuat gagal upaya pemerintah untuk mendorong berdirinya

kawasan-kawasan industri sangat terkait dengan isi Keppres tersebut. Dari berbagai peraturan

tersebut, tidak ada ketentuan mengenai persyaratan-persyaratan professional bagi setiap

pengusaha yang terlibat di dalam usaha kawasan industri, seperti pengalaman dibidang terkait

atau SDM professional yang dimiliki untuk bidang-bidang usaha itu. Dilihat dari

perbandingan perkembangan antara jumlah perusahaan kawasan industri yang tumbuh dengan

nilai investasi dan jumlaj proyek investasi asing yang masuk ke Indonesia selama lima tahun

Sejak Swastanisasi kawasan industri pada 1989, korelasi itu tampak belum terbukti.

Di bidang sosial, bahkan politik, implikasi dari hal tersebut memacu sektor properti ini

juga banyak bersifat negatif. Di pihak pengusaha, keuntungan yang mereka peroleh sangat

Page 4: Bisnis Yang Diakui Sebagai Pembangunan

besar. Namun di pihak masyarakat golongan menengah ke bawah, pengorbanan mereka untuk

jangka panjang tentu tidak sedikit. Bisnis spekulasi tanah yang berkembang karena tidak

berkembangnya industri manufaktur seperti yang diramalkan dan tidak realistisnya

penguasaan lahan untuk perumahan tentu akan mendorong harga rumah naik lebih cepat

dibanding jika pengadaan tanah tidak dikuasai oleh para pengusaha yang menjadikan tanah

sebagai barang spekulasi.

Sedangkan dampak sosial ekonomi akibat komersialisasi lahan yang terkonsentrasi,

seperti di Jawa Barat bisa lebih jauh berakibat buruk terhadap kualitas pembangunan nasional.

Sebab, yang terjadi kemudian bukan hanya kesenjangan sosial ekonomi secara vertikal, tetapi

juga kesenjangan antar regional karena makin intensifnya penanaman modal di sekitar

wilayah Jakarta, sementara penambahan modal di wilayah-wilayah lain di Indonesia tetap

tumbuh lambat.

Memacu Pertumbuhan Ekonomi dengan Konsumtifisme

Bagi pemerintah, meningkatnya konsumsi dan konsumtifisme masyrakat terhadap

barang dan jasa di kota-kota besar berfungsi seperti mesin produksi untuk meningkatkan

penerimaan melalui pungutan pajak dan retribusi. Sedangkan bagi badan-badan usaha

pemerintah yang bergerak di bidang jasa seperti telekomunikasi, peningkatan konsumtifisme

itu akan memperbesar permintaan akan jasa yang dijual.

Pertumbuhan usaha perdagangan dan jasa perkotaan menjadikan kebijakan investasi

yang dibuat pemerintah membuahkan dikotomi dalam pembangunan. Di satu sisi, harus

diakui, kebijakan ini memang untuk menjaga kelangsungan pembangunan ekonomi yang

mencakup kelangsungan tersedianya sumber penerimaan dana negara dan penciptaan

lapangan kerja. Di sisi lain, kebijakan investasi yang dilakukan tersebut juga mebawa benih

persoalan sosial, yang lambat laun akan meningkatkan inefisiensi ekonomi dalam masyarakat

golongan bawah.

Benih persoalan tersebut bersumber dari kebijakan-kebijakan investasi yang memiliki

beberapa ciri. Pertama, untuk mendorong pertumbuhan investasi, pemerintah menerbitkan

kebijakan swastanisasi hingga mencakup sektor-sektor yang berkaitan dengan publik.

Swastanisasi seperti ini jelas memiliki ciri serta implikasi yang sangat brbeda dari

swastanisasi perusahaan-perusahaan negara. Kedua adalah hilangnya atau makin

Page 5: Bisnis Yang Diakui Sebagai Pembangunan

berkurangnya kontrol pemerintah dalam pengaturan tata ruang. Meskipun pemerintah

memiliki Rencana Umum Tata Ruang Nasional (RUTRN), Namun sifatnya sangat teknis-

ekonomis.

Dalam kondisi ekonomi Indonesia seperti saat ini, di mana pertumbuhannya sangat

tergantung pada sektor jasa dan industri, fungsi ruang sangat mudah berubah mengikuti

kepentingan ekonomi, terutama melalui kebijakan pemerintah di bidang investasi yang

cenderung tunduk kepada kehendak pasar.

Kepentingan Negara

Dalam situasi di mana pengaruh ekonomi pasar sanagt dominan lembaga Ditjen Pajak

lebih memilih melakukan interaksi saling memanfaatkan daripada mengganggu bekerjanya

sistem ekonomi pasar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pilihan ini diperkuat oleh

perubahan struktur penerimaan negara yang bertumpu pada penerimaan pajak, dimana sistem

ekonomi pasar juga menjanjikan peningkatan terus-menerus dari sumber-sumber pajak.

Lokalisasi

Kebijakan melokalisasi suatu kawasan dan memproteksi daerah-daerah utama pusat-

pusat kebudayaan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin,meski disadari bahwa di era

globalisasi, informasi tentang kemewahan sangat mudah diakses. Namun, sistem sosial dan

budaya lokal yang ada di berbagai daerah lain justru dapat digunakan sebagai instrumen

kelembagaan untuk mengendalikan kesenjangan sosial dan ekonomi, akibat kejayaan

kapitalisme.

Pengorbanan di Balik Strategi Pertumbuhan

Selain masih adanya usaha mendorong perkembangan industri nonmigas berorientasi

ekspor, juga adanya tindakan memacu produktifitas ekonomi perkotaan melalui upaya

maksimalisasi output dari semua potensi ekonomi, terutama di sektor-sektor jasa dan

perdagangan di dalam negeri. Dalam perjalanannya, dua sektor tersebut semakin berperan

sebagai sektor andalan dalam pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara. Sementara di

bidang ekspor nonmigas masih banyak kendala yang perlu diatasi untuk mendapatkan

penerimaan ekspor. Di bidang penerimaan dalam negeri, tampak hasil yang cukup memuaskan

dari dua sekotr tersebut. Kinerja perdagangan dalam negeri dan industri jasa tersebut

Page 6: Bisnis Yang Diakui Sebagai Pembangunan

tampaknya telah berhasil mengurangi kecemasan pemerintah atas lambatnya pertumbuhan

ekspor. Meski dari segi perkembangan devisa tidak banyak membantu negara Namun hasil

yang didapat dari pertumbuhan keduanya dapat dinikmati oleh pemerintah dan sejumlah pihak

tertentu.

Di balik penampilan hasil yang menggembirakan tersebut, ternyata beban-beban

ekonomi, sosial dan sebagainya meningkat, yang harus dipikul masyarakat, khususnya di

lingkungan pusat kegiatan jasa dan perdagangan. Tanpa diperhitungkan sebagai biaya

pembangunan, banyak diantara kegiatan-kegiatan ekonomi yang tumbuh pesat tersebut adalah

hasil dari kegiatan masyarakat sehari-hari yang tidak efisien. Dapat dikatakan bahwa dalam

hal tersebut merupakan external diseconomies pada sebagian kegiatan usaha.