Upload
ribnu31
View
78
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Secara klinis, asma ditandai oleh adanya episode batuk rekuren, napas pendek, rasa sesak
di dada, dan mengi (wheezing); secara fisiologis, ditandai oleh adanya penyempitan saluran napas
bronkus yang reversibel dan meluas, dan adanya peningkatan nyata responsivitas bronkus terhadap
stimulan yang terhirup dan secara patologis, ditandai oleh remodeling mukosa bronkus, disertai
penumpukan kolagen di bawah lamina retikularis epitel bronkus dan hiperplasia sel seluruh
struktur paru, pembuluh darah, otot polos, serta sel kelenjar sekretorik dan goblet.
Pada asma ringan, gejala hanya timbul pada saat-saat tertentu, seperti pada saat terpajan
alergen atau polutan tertentu, melakukan aktivitas fisik, atau setelah infeksi virus pada saluran
pernapasan atas. Berbagai bentuk asma yang lebih berat ditandai dengan seringnya serangan
dispneu disertai mengi, terutama pada malam hari, dan dapat juga ditandai oleh adanya
penyempitan saluran napas kronik, menyebabkan gangguan pernapasan kronik. Konsekuensi asma
ini sebagian besar dapat dicegah, karena terapi efektif untuk meredakan bronkokonstriksi akut
(pereda jangka pendek) dan untuk menurunkan gejala serta mencegah serangan (kontroler jangka
panjang) sudah tersedia (tapi jarang digunakan secara optimal). Penyebab terjadinya penyempitan
saluran napas pada serangan asma akut meliputi kontraksi otot polos saluran napas, pengentalan
sumbat mukus yang viskosa dan tebal pada lumen saluran napas, dan penebalan mukosa
bronkus akibat edema, infiltrasi sel, dan hiperplasia sel otot polos, vaskular, dan sekretorik. Dari
berbagai penyebab obstruksi saluran napas ini, kontraksi otot polos adalah yang paling mudah
ditangani menggunakan terapi terkini, penanganan edema dan infiltrasi sel membutuhkan terapi
berkepanjangan menggunakan agen anti-inflamasi.
Dengan demikian, gejala asma jangka pendek paling efektif diredakan oleh agen-agen
pelemas otot polos saluran napas. Perangsang adrenoseptor-p merupakan agen yang paling efektif
dan paling banyak digunakan. Teofilin, suatu obat metilxantin, dan obat anti-muskarinik juga
digunakan untuk memulihkan konstriksi saluran napas.
Kontrol asma jangka panjang paling efektif dicapai menggunakan agen-agen anti-inflamasi,
seperti kortikosteroid inhalasi. Kontrol asma jangka panjang juga dapat dicapai, walaupun kurang
efektif, menggunakan antagonis jalur leukotrien atau penghambat degranulasi sel mast, seperti
kromolin atau nedokromil. Akhirnya, uji-uji klinis telah menetapkan efektivitas pengobatan asma
menggunakan antibodi monoklonal terhumanisasi, omalizumab yang memiliki sasaran spesifik
IgE, antibodi yang bertanggung jawab untuk sensitisasi alergik.
Perbedaan antara "pereda jangka pendek" dan "kontroler jangka panjang" telah menjadi kabur.
Teofilin, yang dianggap sebagai suatu bronkodilator, dapat menghambat beberapa fungsi limfosit
dan cukup menurunkan inflamasi mukosa saluran napas. Kortikosteroid inhalasi, yang dianggap
sebagai suatu kontroler jangka panjang, mempunyai efek bronkodilatasi cepat yang cukup baik.
Dua perangsang adrenoseptor-P yang baru-baru ini dipasarkan, salmeterol dan formoterol,
tampaknya efektif meningkatkan kualitas kontrol asma jika ditambahkan pada pengobatan
kortikosteroid inhalasi.
PATOGENESIS ASMA
Model imunologi klasik menampilkan asma sebagai penyakit yang diperantarai oleh
imunoglobulin reaginik (IgE). Bahan-bahan asing yang memicu produksi IgE dideskripsikan
sebagai "alergen"; alergen yang paling umum adalah protein dari tungau debu rumah, kecoa,
sisik kulit kucing, lumut, dan serbuk sari. Kecenderungan untuk memproduksi IgE ditentukan
secara genetic, kejadian asma dan penyakit alergi lainnya berbeda-beda pada tiap keluarga.
Setelah diproduksi, antibodi IgE berikatan dengan sel mast dalam mukosa saluran napas. Pada
pemajanan ulang terhadap alergen spesifik, interaksi antigen-antibodi pada permukaan sel mast
memicu pelepasan mediator yang tersimpan dalam granul sel disertai sintesis dan pelepasan
mediator lainnya. Ketika dilepaskan, histamin, triptase, leukotrien C4 dan D4, serta prostagladin D2
berdifusi melewati mukosa saluran napas memicu kontraksi otot dan kebocoran vaskular yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya bronkokonstriksi akut pada "respons asma cepat". Dalam
4-6 jam, respons ini sering diikuti oleh fase bronkokonstriksi kedua yang bertahan lebih lama, yakni
"respons asma lambat", yang disertai dengan adanya influks sel inflamasi ke dalam mukosa
bronkus dan peningkatan responsivitas bronkus yang dapat bertahan untuk beberapa minggu
setelah inhalasi alergen tunggal. Diperkirakan, mediator yang bertanggung jawab atas respons
lambat ini adalah sitokin, yang khas diproduksi oleh limfosit TH2, terutama interleukin 5, 9, dan
13. Sitokin tersebut tampaknya menarik dan mengaktifkan eosinofil, merangsang produksi IgE
oleh limfosit B, dan secara langsung merangsang produksi mukus oleh sel epitel bronkus. Tidak
jelas apakah limfosit atau sel mast pada mukosa saluran napas yang menjadi sumber utama
mediator yang bertanggung jawab atas respons inflamasi lambat, tapi efek menguntungkan terapi
kortikosteroid disebabkan oleh kemampuan mereka menghambat produksi sitokin pada saluran
napas.
Model paparan terhadap alergen tidak memproduksi ulang semua karakteristik asma.
Kebanyakan serangan asma tidak dipicu oleh inhalasi alergen, tapi dipicu oleh infeksi virus pada
pernapasan. Beberapa pasien asma dewasa tidak menunjukkan sensitivitas alergik terhadap
alergen, dan bahkan pada orang-orang yang memiliki sensitivitas alergik, derajat keparahan gejala
hanya sedikit berkorelasi dengan kadar alergen di atmosfer. Lebih jauh lagi, bronkospasme dapat
dipicu oleh rangsangan non-alergenik, seperti akuades, olahraga, udara dingin, sulfur dioksida,
dan gerakan pernapasan yang cepat.
Kecenderungan munculnya bronkospasme setelah pemajanan stimuli yang tidak
mempengaruhi saluran napas orang sehat merupakan ciri khas pada asma, dan terkadang disebut
"hiperreaktivitas bronkus nonspesifik" untuk membedakannya dengan responsivitas bronkus
terhadap antigen spesifik. Reaktivitas bronkus dinilai dengan mengukur penurunan volume
ekspirasi paksa dalam 1 detik (forced expiratory volume in 1 second, FEVJ yang dipicu oleh
inhalasi metakolin aerosol dengan konsentrasi yang ditingkatkan secara bertahap. Reaktivitas
saluran napas yang berlebihan ini tampaknya penting dalam patogenesis asma, karena dapat
ditemukan pada hampir semua pasien asma dan derajatnya berkorelasi dengan derajat keparahan
klinis asma.
Mekanisme yang mendasari hiperreaktivitas bronkus tampaknya terkait dengan inflamasi
mukosa saluran napas. Agen-agen yang meningkatkan reaktivitas bronkus, seperti pemajanan
ozon, inhalasi alergen, dan infeksi virus pernapasan, juga menyebabkan inflamasi saluran napas.
Peningkatan reaktivitas akibat inhalasi alergen ditandai oleh adanya peningkatan eosinofil dan
leukosit polimorfonuklear pada cairan bilas bronkus. Peningkatan reaktivitas yang terkait dengan
respons asma lambat akibat inhalasi alergen ini sifatnya bertahan lama dan, karena peningkatan
reaktivitas ini dicegah oleh kortikosteroid inhalasi, diperkirakan disebabkan oleh inflamasi
saluran napas.
Apapun mekanisme yang bertanggung jawab atas hipereaktivitas bronkus,
bronkokonstriksi sendiri tampaknya tidak hanya diakibatkan oleh efek langsung mediator yang
dilepas tapi juga oleh aktivasi jalur neural atau humoral. Bukti pentingnya jalur neural ini
sebagian besar berasal dari penelitian laboratorium pada hewan percobaan. Bronkospasme
yang dipicu inhalasi histamin pada anjing diredakan oleh praterapi menggunakan inhalasi agen
anestetik topikal, oleh pemotongan nervus vagus, dan oleh praterapi menggunakan atropin. Akan
tetapi, penelitian pada penderita asma menunjukkan bahwa penggunaan atropin hanya
menyebabkan penurunan respons bronkospastik terhadap antigen dan terhadap rangsangan
nonalergenik. Aktivitas pada jalur neural lainnya, seperti sistem nonadrenergik, nonkolinergik,
mungkin berkontribusi pada respons bronkomotor terhadap stimuli.
Hipotesis yang dihasilkan dari penelitian-penelitian ini bahwa bronkospasme pada asma
disebabkan oleh kombinasi pelepasan mediator dan responsivitas berlebihan terhadap efek
mediator tersebut memperkirakan bahwa asma dapat secara efektif diobati menggunakan obat-
obat yang memiliki kerja yang berlainan. Bronkospasme pada asma dapat dipulihkan atau
dicegah, sebagai contoh, menggunakan obat-obat yang bekerja menurunkan jumlah IgE yang
berikatan dengan sel mast (antibodi anti-IgE), mencegah degranulasi sel mast (kromolin atau
nedokromil, agen simpatomimetik, penyekat kanal kalsium), menghalangi kerja mediator yang
dilepaskan (anti-histamin dan antagonis reseptor leukotrien), menghambat efek asetilkolin yang
dilepaskan oleh saraf vagal motorik (antagonis muskarinik), atau secara langsung melemaskan otot
polos saluran napas (agen simpatomimetik, teofilin).
Pendekatan kedua pada pengobatan asma ditujukan tidak hanya untuk mencegah atau
memulihkan bronkospasme akut tapi juga untuk menurunkan tingkat responsivitas bronkus.
Karena peningkatan responsivitas tampaknya terkait dengan inflamasi saluran napas dan karena
inflamasi saluran napas merupakan salah satu ciri respons asma lambat, strategi pengobatan asma
dilakukan dengan menurunkan pemajanan terhadap alergen yang memicu inflamasi dan dengan
terapi kontinu menggunakan agen anti-inflamasi, terutama kortikosteroid inhalasi.
FARMAKOLOGI DASAR OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM PENGOBATAN ASMA
Obat-obat yang paling banyak digunakan dalam penatalaksanalan asma adalah agonis
adrenoseptor, atau agen simpatomimetik (digunakan sebagai "pereda" atau bronkodilator) dan
kortikosteroid inhalasi (digunakan sebagai "kontroler atau agen antiinflamasi).
OBAT SIMPATOMIMETIK
Agonis adrenoseptor memiliki beberapa efek farmakologik penting dalam pengobatan
asma, yaitu melemaskan otot polos saluran napas dan menghambat pelepasan mediator
bronkokonstriksi dari sel-sel mast. Agonis adrenoseptor juga menghambat kebocoran
mikrovaskular dan meningkatkan transpor mukosiliar melalui peningkatan aktivitas silia. Seperti
pada jaringan lain, agonis p merangsang adenilil siklase dan meningkatkan pembentukan cAMP
intrasel.
Ciri efek agonis adrenoseptor yang paling khas pada saluran napas adalah relaksasi otot
polos saluran napas. Meskipun tidak terdapat bukti mengenai adanya persarafan simpatik yang
nyata pada otot polos saluran napas manusia, terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa
terdapat adrenoseptor pada otot polos saluran napas. Pada umumnya, perangsangan reseptor P2
melemaskan otot polos saluran napas, menghambat pelepasan mediator, dan menyebabkan
takikardia serta tremor otot rangka sebagai suatu efek samping.
Obat-obat simpatomimetik yang telah banyak digunakan dalam pengobatan asma meliputi
epinefrin, efedrin, isoproterenol, dan albuterol serta agen-agen selektif-P2 lainnya. Karena epinefrin
dan isoproterenol meningkatkan laju dan kekuatan kontraksi jantung (diperantarai terutama oleh
reseptor β,) obat-obat ini hanya digunakan untuk keadaan-keadaan khusus.
Pada umumnya, agonis adrenoseptor paling baik diberikan melalui inhalasi karena cara ini
menghasilkan efek lokal yang paling hebat pada otot polos saluran napas dan mempunyai
toksisitas sistemik terkecil. Deposisi aerosol bergantung pada ukuran partikel, pola pernapasan
(volume tidal dan laju aliran udara) dan geometri saluran napas. Bahkan pada partikel
berukuran optimal sekitar 2-5 mm, 80-90% total dosis aerosol menumpuk di dalam mulut atau
faring. Partikel berukuran di bawah 1-2 um tetap tersuspensi dan dapat dihembuskan ke luar.
Deposisi dapat ditingkatkan dengan menahan napas pada saat inspirasi.
Epinefrin merupakan bronkodilator kerja cepat yang efektif bila disuntikkan subkutan
(0,4 ml larutan 1:1000) atau dihirup dalam bentuk mikroaerosol dari tabung yang bertekanan (320
meg per puff). Bronkodilatasi maksimal dicapai dalam 15 menit setelah inhalasi dan berlangsung
selama 60-90 menit. Karena epinefrin merangsang reseptor-reseptor α dan β sama kuatnya dengan
reseptor (β2, takikardia, aritmia dan perburukan angina pektoris merupakan efek-efek simpang yang
mengganggu. Efek kardiovaskular epinefrin berguna untuk mengobati vasodilatasi akut dan syok
serta bronkospasme pada anafilaksis, tapi penggunaannya pada asma telah digantikan oleh agen-
agen yang lebih selektif terhadap β2.
Efedrin digunakan di Cina selama lebih dari 2000 tahun sebelum diperkenalkan ke
dalam kedokteran Barat pada tahun 1924. Dibandingkan dengan epinefrin, efedrin mempunyai
durasi kerja dan aktivitas yang lebih lama pada pemberian per oral, efek-efek sentral yang lebih
menonjol, dan potensi yang jauh lebih lemah. Karena perkembangan obat-obat agonis yang lebih
selektif terhadap β2 dan lebih efektif, efedrin sekarang jarang digunakan dalam pengobatan asma.
Isoproterenol adalah suatu bronkodilator kuat; bila dihirup dalam bentuk mikroaerosol dari
tabung bertekanan, isoproterenol dosis 80-120 meg akan menghasilkan bronkodilatasi maksimal
dalam 5 menit. Isoproterenol memiliki masa kerja 60 sampai 90 menit. Peningkatan laju mortalitas
asma di Inggris pada pertengahan tahun 1960an disebabkan oleh aritmia jantung akibat pemakaian
isoproterenol inhalasi dosis tinggi. Isoproterenol saat ini jarang digunakan untuk mengobati asma.
Obat-obat Selektif-Beta2
Saat ini, obat-obat agonis adrenoseptor selektif β, merupakan simpatomimetik yang paling
banyak digunakan dalam pengobatan asma. Struktur agen-agen ini berbeda dengan epinefrin
karena mempunyai substitusi yang lebih besar pada gugus amino dan dalam posisi gugus
hidroksil pada cincin aromatik. Agonis adrenoseptor selektif β2 efektif setelah dihirup atau
diberikan secara oral dan memiliki masa kerja yang lama.
Albuterol, terbutalin, metaproterenol, dan pirbuterol tersedia dalam bentuk inhaler dosis-
terukur (metered dose inhaler). Jika diberikan per inhalasi, obat-obat ini menyebabkan
bronkodilatasi yang setara dengan yang dihasilkan oleh isoproterenol. Bronkodilatasi maksimum
tercapai dalam waktu 15-30 menit dan menetap selama 3-4 jam. Semua obat ini dapat
diencerkan dalam saline untuk diberikan melalui nebulizer tangan. Karena partikel yang
dihasilkan melalui nebulizer lebih besar dibandingkan dengan yang dihasilkan melalui inhaler
dosis terukur, harus diberikan dosis yang lebih besar (2,5-5,0 mg vs 100-400 meg) tapi dosis ini
tidaklah lebih efektif. Dengan demikian, terapi nebulisasi hanya boleh digunakan oleh pasien yang
tidak mampu mengoordinasi inhalasi pada penggunaan inhaler dosis terukur.
Albuterol dan terbutalin juga tersedia dalam bentuk tablet. Dosis biasanya adalah 1 tablet,
diberikan 2 sampai 3 kali sehari, efek simpang utamanya, yakni tremor otot rangka, gelisah, dan
kelemahan pada saat-saat tertentu, dapat dikurangi dengan memberikan dosis awal separuh dosis
biasa untuk terapi 2 minggu pertama, tapi jalur pemberian ini tidak lebih baik dibandingkan
dengan terapi inhalasi.
Di antara berbagai obat tersebut, hanya terbutalin yang tersedia dalam bentuk suntikan
subkutan (0,25 mg). Indikasi pemberian terbutalin subkutan ini sama dengan indikasi pemberian
epinefrin subkutan asma berat yang memerlukan terapi darurat ketika terapi aerosol tidak tersedia
atau tidak efektif namun, harus dlingat bahwa terbutalin memiliki masa kerja yang panjang sehingga
pemberian terbutalin berulang dapat menimbulkan efek-efek kumulatif yang baru terlihat
belakangan.
Generasi terbaru agonis selektif β2 kerja panjang meliputi salmeterol dan formoterol. Kedua
obat ini merupakan agonis selektif β2 kuat yang memiliki durasi kerja yang lama (12 jam atau
lebih) akibat kelarutannya yang tinggi dalam lemak. Hal ini memungkinkan obat-obat tersebut
larut di membran sel otot polos dalam konsentrasi yang tinggi atau, mungkin, terikat pada
molekul yang "bertambat" di dekat adrenoseptor. Obat-obat ini tampaknya berinteraksi dengan
kortikosteroid inhalasi untuk meningkatkan kontrol asma. Obat-obat ini tidak di-rekomendasikan
sebagai terapi tunggal untuk asma.
Toksisitas
Inhalasi obat-obat simpatomimetik pada mulanya me-nimbulkan kekhawatiran akan
kemungkinan timbulnya aritmia jantung dan hipoksemia pada penggunaan akut dan takifilaksis
atau toleransi jika diberikan berulang. Kerja vasodilatasi agonis β2 memang dapat meningkatkan
perfusi bagian paru yang tidak terventilasi dengan baik dan menurunkan tekanan oksigen arteri
(PaO2) untuk sementara waktu. Namun, efek ini biasanya kecil dan dapat ditimbulkan oleh obat
bronkodilator apapun, pentingnya efek ini bergantung pada PaO2 awal pasien. Pemberian
oksigen tambahan yang rutin diberikan pada terapi serangan asma akut berat dapat
menghilangkan kekhawatiran yang ditimbulkan efek ini. Kekhawatiran lain, bahwa terapi agonis
β dapat menyebabkan aritmia jantung letal, tampaknya tidak berdasar. Pada pasien yang
memerlukan terapi darurat asma berat, ketidakteraturan irama jantung membaik akibat terapi
bronkodilator, yang memperbaiki pertukaran gas.
Konsep yang menyatakan bahwa obat-obat agonis β memperburuk gejala klinis asma
dengan menginduksi takifilaksis terhadap kerjanya sendiri masih tetap beliim terbukti.
Kebanyakan penelitian telah memperlihatkan bahwa hanya terjadi sedikit perubahan respons
terhadap stimulasi β setelah pengobatan obat-obat agonis β jangka panjang, tapi beberapa
penelitian menunjukkan hilangnya kemampuan terapi agonis β untuk menghambat respons
terhadap olahraga, metakolin, atau tantangan antigen (disebut sebagai hilangnya kerja
bronkoprotektif).
Kekhawatiran bahwa penggunaan inhaler agonis β secara intens dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas belum diselidiki melalui penelitian epidemiologik. Penggunaan inhaler
secara intens sering mengindikasikan bahwa pasien harus mendapat terapi profilaktik yang lebih
efektif dengan menggunakan kortikosteroid.
Walaupun betul bahwa agonis adrenoseptor β2 tampaknya merupakan bronkodilator yang
aman dan efektif bagi sebagian besar pasien, terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa
risiko efek simpang yang ditimbulkan akibat terapi kronik agonis β kerja lama dapat lebih besar
pada beberapa pasien, kemungkinan karena variasi genetik reseptor β. Dua penelitian retrospektif
dan satu studi prospektif telah menunjukkan perbedaan antara pasien homozigot glisin versus
homozigot arginin pada lokus B-16 reseptor β. Di antara pasien homozigot arginin, suatu genotip
yang ditemukan pada 16% populasi Kaukasian di AS tapi lebih sering ditemukan pada orang
Afrika Amerika, kontrol asma memburuk dengan penggunaan teratur albuterol atau salmeterol,
sedangkan kontrol asma membaik dengan terapi obat-obat ini pada pasien homozigot glisin pada
lokus yang sama. Temuan-temuan ini perlu diulang dengan melakukan penelitian yang lebih besar,
tapi tampaknya menarik untuk berspekulasi bahwa melalui penelitian pada pasien dalam jumlah
besar ini, varian genetiklah yang menjadi dasar adanya peningkatan mortalitas asma pada
penggunaan teratur agonis β kerja lama.
OBAT-OBAT METILXANTIN
Tiga metilxantin yang penting adalah teofilin, teobromin, dan kafein. Zat-zat tersebut
terutama berasal dari minuman (masing-masing teh, kokoa, dan kopi). Arti penting teofilin sebagai
agen terapeutik pada terapi asma telah memudar karena telah ditemukannya obat yang lebih
efektif, yakni agen adrenoseptor inhalasi untuk asma akut dan agen anti-inflamasi inhalasi untuk
asma kronik. Akan tetapi, harga teofilin yang lebih murah menjadikannya obat yang lebih
menguntungkan untuk digunakan pada pasien golongan ekonomi lemah yang tinggal di
lingkungan dengan pelayanan kesehatan yang terbatas.
Kimiawi
Seperti diperlihatkan di bawah, teofilin adalah 1,3-dime-tilxantin; teobromin adalah 3,7-
dimetilxantin; dan kafein adalah 1,3,7-trimetilxantin. Preparat teofilin yang sering digunakan
untuk pengobatan adalah aminofilin, suatu kompleks teofilin-etilendiamin. Produk metabolik,
yakni xantin (bukan asam urat) yang terdemetilasi parsial, diekskresi dalam urine.
Mekanisme Kerja
Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan kerja metilxantin, tapi tidak ada
yang ditetapkan sebagai mekanisme kerja pasti metilxantin. Secara in vitro, konsentrasi tinggi
berbagai metilxantin tersebut dapat menghambat famili enzim fosfodiesterase. Karena
fosfodiesterase menghidrolisis siklik nukleotida, penghambatan ini menghasilkan konsentrasi
cAMP, dan pada beberapa jaringan, konsentrasi cGMP, intrasel yang lebih tinggi. CAMP
bertanggung jawab untuk berbagai fungsi sel, seperti perangsangan fungsi jantung, relaksasi otot
polos, penurunan aktivitas imun dan inflamasi sel-sel tertentu, dan lainnya.
Dari berbagai isoform fosfodiesterase yang berhasil dikenali, PDE4 tampaknya merupakan
isoform fosfodiesterase yang paling berperan langsung dalam kerja metilxantin pada otot polos
saluran napas dan pada sel-sel inflamasi. Inhibisi PDE4 dalam sel-sel inflamasi menurunkan
pelepasan sitokin dan kemokin dari sel-sel tersebut, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan
migrasi dan aktivasi sel imun.
Dalam usaha menurunkan toksisitas sambil tetap mempertahankan efektivitas
terapeutiknya, telah dikem-bangkan penghambat berbagai isoform PDE4 yang lebih selektif,
terutama untuk terapi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Beberapa agen penghambat telah
sampai pada tahap lanjut pengembangan klinis (seperti, roflumilast, cilomilast, tofimilast), tapi
hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada yang disetujui oleh FDA. Walaupun beberapa obat
tampaknya menjanjikan, tidak ada yang sepenuhnya bebas dari efek simpang utama kelompok obat
ini, yakni mual dan muntah.
Mekanisme lain yang diajukan adalah inhibisi reseptor permukaan sel terhadap adenosin.
Reseptor-reseptor ini memodulasi aktivitas adenilil siklase, dan adenosin terbukti memicu
kontraksi otot polos saluran napas yang diisolasi dan pelepasan histamin dari sel mast saluran
napas. Akan tetapi, derivat xanlin yang tidak memiliki sitat antagonisme adenosin (mis,
enprofylline) mungkin cukup kuat menghambat bronkokonstriksi pada pasien asma.
Farmakodinamik Metilxantin
Seperti pada otot polos, metilxantin juga mempunyai efek pada sistem saraf pusat,
ginjal, otot jantung, dan otot rangka. Dari ketiga metilxantin, teofilin merupakan obat yang
efeknya paling selektif pada otot polos, sedangkan kafein paling jelas mempengaruhi sistem saraf
pusat.
A. EFEK PADA SISTEM SARAF PUSAT
Dalam dosis rendah dan sedang, metilxantin, khususnya kafein, menyebabkan rangsangan
ringan pada korteks dengan peningkatan kewaspadaan dan memperlambat kelelahan. Kafein
yang terkandung dalam minuman, mi-salnya 100 mg kafein dalam secangkir kopi, cukup untuk
menimbulkan kegelisahan dan insomnia pada pasien yang sensitif dan bronkodilatasi ringan
pada pasien asma. Dosis lebih besar yang diperlukan untuk menimbulkan bronkodilatasi yang
lebih efektif sering menyebabkan kegelisahan dan tremor pada beberapa pasien. Dosis yang
sangat tinggi, akibat overdosis karena ketidaksengajaan atau karena ingin bunuh diri,
menyebabkan stimulasi medular dan kejang, yang dapat berujung pada kematian.
B. EFEK KARDIOVASKULAR
Metilxantin mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif pada jantung. Pada
konsentrasi rendah, efek-efek ini tampaknya dihasilkan dari peningkatan pelepasan katekolamin
pada ujung saraf, yang disebabkan oleh penghambatan reseptor adenosin prasinaptik. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi (> 10 umol/1, 2 ng/L), influks kalsium mungkin meningkat secara
langsung melalui peningkatan cAMP yang dihasilkan dari penghambatan fosfodiesterase. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi (> 100 umol/L), sekuestrasi (penyimpanan) kalsium oleh retikulum
sarkoplasmik terganggu.
Manifestasi klinis efek-efek ini pada fungsi kardiovaskular berlainan di antara individu.
Konsumsi normal kopi dan minuman lain yang mengandung metilxantin biasanya menghasilkan
takikardia ringan, peningkatan curah jantung, dan peningkatan tahanan tepi sehingga sedikit
meningkatkan tekanan darah. Pada orang-orang yang sensitif, konsumsi beberapa cangkir kopi
dapat menyebabkan aritmia. Pada dosis besar, agen-agen ini juga melemaskan otot polos
vaskular kecuali pada pembuluh darah otak, tempat mereka menyebabkan kontraksi otot polos
vaskular.
Dalam keadaan-keadaan tertentu, metilxantin menurunkan viskositas darah dan dapat
memperbaiki aliran darah. Mekanisme yang menyebabkan efek ini belum sepenuhnya dipahami,
tetapi efek ini dimanfaatkan dalam pengobatan klaudikasio intermiten menggunakan
pentoxifylline, suatu obat dimetilxantin. Walaupun demikian, tidak terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa terapi ini lebih baik dibandingkan pendekatan-pendekatan lain.
C. EFEK PADA SALURAN PENCERNAAN
Metilxantin merangsang sekresi asam lambung dan enzim-enzim pencernaan. Walaupun
demikian, kopi dekafein pun mempunyai efek stimulasi kuat pada sekresi, yang berarti bahwa
sekretagogue utama dalam kopi bukanlah kafein.
P. EFEK PADA GINJAL
Metilxantin, khususnya teofilin, mempunyai efek diuretik lemah. Efek ini terjadi karena
meningkatnya/filtrasi glomerulus dan berkurangnya absorbsi natrium pada tubulus. Efek diuresis
ini tidak cukup kuat untuk dimanfaatkan dalam terapi.
E. EFEK PADA OTOT POLOS
Efek utama metilxantin pada asma adalah bronkodilatasi. Penggunaan metilxantin tidak
menimbulkan toleransi, tapi efek-efek simpang, terutama terhadap sistem saraf pusat, dapat
membatasi dosisnya. Selain efeknya pada otot polos saluran napas, obat-obat ini pada konsentrasi
cukup menghambat pelepasan histamin dari jaringan paru yang diinduksi oleh antigen. Efeknya
pada transpor mukosiliar belum diketahui.
F.EFEK PADA OTOT RANGKA
Kerja metilxantin pada pernapasan mungkin tidak hanya terbatas pada saluran napas saja,
karena metilxantin juga memperkuat kontraksi otot rangka dalam preparat terpisah in vitro dan
memperbaiki kontraktilitas dan memulihkan kelelahan diafragma pada pasien-pasien PPOK.
Efek teofilin pada kerja diafragma ini dibandingkan efek pada pusat pernapasan berperan dalam
kemampuannya meningkatkan respons ventilasi terhadap hipoksia dan mengurangi sesak napas,
bahkan pada pasien-pasien obstruksi saluran napas ireversibel.
Penggunaan Klinis Metilxantin
Di antara xantin-xantin, teofilin merupakan bronkodilator yang paling efektif dan telah
terbukti dapat meredakan obstruksi saluran napas pada asma akut serta mengurangi derajat
keparahan gejala dan kehilangan waktu untuk bekerja atau sekolah pada penderita asma kronis.
Teofilin dasar hanya sedikit larut dalam air sehingga diberikan dalam bentuk garam yang
berisi teofilin dasar dalam jumlah yang bervariasi. Kebanyakan preparat teofilin diabsorpsi
dengan baik melalui saluran pencernaan, tapi absorpsi supositoria rektal tidak dapat diandalkan.
Peningkatan kerja preparat teofilin lebih banyak dihasilkan dari pembahan fisik obat
ketimbang formulasi kimiawi baru. Sebagai contoh, pada pemberian oral, peningkatan permukaan
teofilin anhidrosa dalam bentuk mikrokristalin memfasilitasi pelarutannya untuk menghasilkan
absorpsi teofilin yang cepat dan sempurna. Berbagai preparat lepas lambat tersedia dan
menghasilkan kadar darah terapeutik teofilin yang dapat bertahan selama 12 jam atau lebih.
Preparat-preparat obat ini menguntungkan karena pemberiannya lebih jarang, kurangnya
fluktuasi kadar teofilin dalam darah, dan, pada banyak kasus, lebih efektif untuk mengobati
bronkospasme nokturnal.
Teofilin hanya boleh digunakan jika tersedia metode untuk mengukur kadar teofilin dalam
darah karena teofilin memiliki jendela terapeutik yang sempit, dan efek terapeutik dan toksiknya
terkait dengan kadarnya dalam darah. Perbaikan fungsi paru berkaitan erat dengan kadar teofilin
dalam plasma yang berkisar antara 5-20 mg/L. Anoreksia, mual, muntah, rasa tidak enak dalam
abdomen, sakit kepala, dan ansietas terjadi pada kadar 15 mg/L pada beberapa pasien dan menjadi
sering pada kadar lebih besar dari 20 mg/L. Kadar teofilin yang lebih tinggi (>40 mg/L) dapat
menimbulkan kejang atau aritmia; kedua hal ini mungkin tidak didahului oleh gejala awal pada
saluran cerna atau gejala neurologik.
Bersihan plasma teofilin bervariasi secara luas. Karena teofilin dimetabolisme oleh hati,
teofilin dosis normal yang diberikan pada pasien yang memiliki penyakit hati dapat menyebabkan
penumpukan toksik obat. Sebaliknya, bersihan plasma teofilin dapat ditingkatkan melalui induksi
enzim hati dengan merokok sigaret atau perubahan dalam diet. Pada orang dewasa normal,
bersihan plasma rata-rata adalah 0,69 mL/kg/menit. Bersihan teofilin pada anak-anak ternyata
lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa (1-1,5 mL/kg/menit). Neonatus dan bayi muda
mempunyai bersihan yang paling lambat. Kalaupun dosis rumatan diubah untuk mengoreksi faktor-
faktor di atas, kadar plasma bervariasi sangat luas.
Teofilin meningkatkan kontrol asma jangka-panjang jika digunakan sebagai terapi
rumatan tunggal atau jika ditambahkan ke inhalasi korikosteroid. Teofilin tidaklah mahal dan
dapat digunakan per oral. Akan tetapi, penggunaannya juga memburuhkan pengukuran kadar
plasma pada waktu-waktu tertentu, teofilin sering menyebabkan efek samping minor yang tidak
mengenakkan (terutama insomnia); dan overdosis, baik karena ketidaksengajaan maupun
kesengajaan, dapat menyebabkan toksisitas berat atau kematian. Untuk terapi oral dengan
formulasi lepas-seketika (prompt-release), dosis teofilin biasanya adalah 3-4 mg/kg tiap 6 jam.
Perubahan dalam dosis menyebabkan timbulnya konsentrasi baru teofilin yang stabil dalam 1-2
hari sehingga dosis dapat ditingkatkan pada jarak waktu 2-3 hari sampai konsentrasi plasma
terapeutik tercapai (10-20 mg/L) atau sampai timbul efek simpang.
AGEN ANTIMUSKARINIK
Pengamatan pada penggunaan daun Datura stramonium untuk terapi asma di India telah
berujung pada penemuan atropin, yakni suatu inhibitor kompetitif asetilkolin yang kuat pada
reseptor "muskarinik" pascaganglion, sebagai bronkodilator. Ketertarikan pada potensi manfaat
agen-agen antimuskarinik meningkat akibat terbuktinya peran nervus vagus dalam respons
bronkospastik hewan per-cobaan. Ketertarikan ini juga meningkat melalui pengem-bangan analog
arropin poten yang tidak diserap dengan baik setelah pemberian aerosol dan, dengan demikian,
relatif bebas dari efek sistemik mirip atropin.
Mekanisme Kerja
Antagonis muskarinik menghambat efek asetilkolin pada reseptor-reseptor muskarinik
secara kompetitif. Dalam saluran napas, asetilkolin dibebaskan dari ujung-ujung eferen saraf
vagus, dan antagonis muskarinik secara efektif dapat memblokade kontraksi otot polos saluran
napas serta memblokade peningkatan sekresi mukus yang terjadi sebagai respons terhadap
aktivitas vagus. Diperlukan konsentrasi antagonis muskarinik yang sangat tinggi (bahkan lebih
tinggi dari yang dapat dicapai menggunakan terapi maksimal) untuk dapat menghambat respons
otot polos saluran napas terhadap perangsangan nonmuskarinik. Selektivitas antagonis muskarinik
ini menjadikan obat ini digunakan dalam penelitian untuk memeriksa peranan jalur parasimpatik
dalam respons bronkomotor, tetapi membatasi manfaat-nya dalam pencegahan bronkospasme.
Dalam dosis yang diberikan, obat-obat antimuskarinik hanya menghambat bagian respons yang
diperantarai oleh reseptor-reseptor muskarinik, yang bervariasi sesuai stimulus, dan lebih lanjut
ternyata bervariasi di antara individu-individu dalam memberikan respons terhadap stimulus yang
sama.
Penggunaan Klinis Antagonis Muskarinik
Obat-obat antimuskarinik merupakan bronkodilator yang efektif. Atropin, yang merupakan
prototipe antagonis muskarinik, menyebabkan bronkodilatasi bila diberikan intra-vena dalam dosis
yang lebih rendah dari yang diperlukan untuk meningkatkan frekuensi denyut jantung. Selekti-
vitas efek atropin dapat lebih ditingkatkan melalui pemberian obat secara inhalasi atau melalui
penggunaan derivat amonium kuartener atropin yang lebih selektif, yakni ipratropium bromida.
Ipratropium dapat diberikan dalam dosis besar melalui jalur ini karena tidak diabsorpsi dengan
baik ke dalam sirkulasi dan tidak dengan cepat memasuki susunan saraf pusat. Penelitian obat ini
menunjukkan bahwa derajat keterlibatan jaras parasimpatik dalam respons bronkomotor bervariasi
di antara individu-individu. Pada beberapa orang, bronkokonstriksi dihambat secara efektif; pada
lainnya, bronkokonstriksi hanya sedikit dihambat. Kegagalan antagonis muskarinik dosis besar
untuk menghambat respons bronkokonstriksi lebih jauh menandakan bahwa terdapat mekanisme
lain yang berperan dalam respons bronkokonstriksi selain jalur refleks parasimpatik.
Akan tetapi, pun pada pasien yang hanya sedikit memperoleh manfaat dari agen
antimuskarinik ini, bronkodilatasi dan inhibisi parsial bronkokonstriksi tetap memiliki potensi
manfaat klinis, dan agen antimuskarinik bermanfaat pada pasien yang tidak dapat menggunakan
agen agonis β inhalasi. Walaupun obat antimuskarinik tampaknya kurang efektif jika dibandingkan
dengan agen agonis β dalam memulihkan bronkospasme pada asma, penambahan ipratropium
meningkatkan bronkodilatasi yang dihasilkan oleh nebulisasi albuterol pada asma akut berat.
Ipratropium tampaknya juga efektif untuk pasien PPOK yang memiliki komponen parsial
reversibel. Agen anti-muskarinik selektif jangka panjang, tiotropium, disetujui sebagai
pengobatan PPOK. Obat ini juga diberikan melalui inhalasi, dan dosis tunggal 18 meg memiliki
durasi kerja selama 24 jam. Inhalasi tiotropium harian terbukti tidak hanya meningkatkan
kapasitas fungsional pasien PPOK, tapi juga menurunkan frekuensi eksaserbasi penyakit tersebut.
KORTIKOSTEROID
Mekanisme Kerja
Kortikosteroid telah digunakan untuk mengobati asma sejak tahun 1950 dan diasumsikan
bekerja melalui efek anti-inflamasinya yang luas, diperantarai sebagian melalui inhibisi produksi
sitokin. Kortikosteroid tidak secara langsung melemaskan otot polos saluran napas tapi
menurunkan reaktivitas bronkus dan menurunkan frekuensi eksaserbasi asma jika digunakan
secara teratur. Efek kortikosteroid pada obstruksi saluran napas sebagian disebabkan oleh efek
kontraksinya pada pembuluh darah yang bengkak di mukosa bronkus dan potensiasinya terhadap
efek agonis reseptor β, tapi kerjanya yang paling penting adalah menghambat inflamasi mukosa
eosinofilik dan limfositik pada saluran napas pasien asma.
Penggunaan Klinis Kortikosteroid
Berbagai penelitian klinis mengenai kortikosteroid secara konsisten menunjukkan bahwa
kortikosteroid efektif meningkatkan semua parameter dalam kontrol asma derajat keparahan
gejala, uji kaliber saluran napas dan reaktivitas bronkus, frekuensi eksaserbasi, dan kualitas hidup.
Karena efek sampingnya yang berat bila diberikan secara kronis, kortikosteroid per oral dan
parenteral hanya boleh digunakan untuk pasien yang memerlukan segera, mis, yang tidak
mengalami perbaikan secara adekuat dengan bronkodilator, atau yang mengalami perburukan
gejala meskipun telah diobati dengan bronkodilator dosis rumatan. Terapi teratur atau "kontroler"
dilaksanakan menggunakan kortikosteroid aerosol.
Pengobatan darurat sering diawali menggunakan prednison oral dosis 30-60 mg per hari
atau metilprednisolon intravena dosis 1 mg/kg setiap 6 jam; dosis harian diturunkan setelah
obstruksi saluran napas membaik. Pada kebanyakan pasien, terapi kortikosteroid dapat dihentikan
setelah satu minggu atau 10 hari, tetapi pada pasien-pasien lain, gejala dapat memburuk sewaktu
dosis diturunkan ke tingkat dosis yang lebih rendah. Karena supresi adrenal oleh kortikosteroid
bergantung pada besarnya dosis kortikosteroid yang digunakan dan karena sekresi kortikosteroid
mempunyai variasi diurnal, kortikosteroid biasa diberikan pada pagi hari setelah sekresi ACTH
endogen telah mencapai puncaknya. Namun, untuk mencegah asma nokturnal, kortikosteroid
inhalasi atau oral paling efektif jika diberikan pada malam hari.
Terapi aerosol merupakan cara yang paling efektif untuk menghindari efek simpang
sistemik terapi kortikosteroid. Munculnya kortikosteroid seperti beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon telah memungkinkan pemberian
kortikosteroid melalui saluran napas, yang memiliki tingkat absorbsi sistemik yang minimum.
Dosis harian beklometason rata-rata 4 semprot, diberikan dua kali sehari (400 meg/ hari), setara
dengan prednison oral sekitar 10-15 mg/hari dalam mengontrol asnia, dengan efek sistemik yang
jauh lebih sedikit. Memang, satu hal yang perlu diperhatikan dalam mengubah terapi pasien dari
kortikosteroid oral ke inhalasi adalah harus dilakukannya penurunan dosis oral secara bertahap
untuk menghindari presipitasi insufisiensi adrenal. Walaupun sudah menerima terapi inhalasi
kortikosteroid aerosol dosis standar, pada pasien yang membutuhkan terapi prednison kontinu,
dosis inhalasi yang lebih tinggi tampaknya lebih efektif, dosis inhalasi flutikason hingga
mencapai 2000 meg/hari efektif untuk mencegah pemanjangan terapi prednison pada pasien.
Walaupun inhalasi steroid dosis tinggi ini dapat menyebabkan supresi adrenal, risiko toksisitas
sistemik akibat penggunaan kronik inhalasi ini tampaknya sangat kecil jika dibandingkan dengan
risiko toksisitas sistemik akibat terapi kortikosteroid oral yang digantikan.
Masalah khusus yang ditimbulkan oleh kortikosteroid topikal inhalasi adalah timbulnya
kandidiasis orofaring. Risiko ini dapat dikurangi dengan cara berkumur-kumur dengan air dan
meludahkannya setiap kali habis inhalasi. Suara serak juga dapat disebabkan dari efek lokal lang-
sung kortikosteroid inhalasi pada pita suara. Agen-agen ini tidak memiliki komplikasi jangka-
pendek lainnya pada orang dewasa tapi dapat meningkatkan risiko jangka panjang osteoporosis
dan katarak. Pada anak-anak, terapi kortikosteroid inhalasi terbukti memperlambat laju
pertumbuhan, tapi efek ini tampaknya hanya berlangsung singkat: Asma sendiri memperlambat
pubertas, dan tidak ada bukti yang menyatakan bahwa terapi kortikosteroid inhalasi pada masa
kanak-kanak mempengaruhi tingginya pada waktu dewasa nanti.
Suatu pendekatan baru untuk memperkecil risiko toksisitas dari absorpsi sistemik kortikosteroid
inhalasi menjadi dasar dikembangkannya ciclesonide. Kortikosteroid yang masih diteliti ini diinhalasi
sebagai prekursor obat, yang menjadi aktif melalui pembelahan oleh esterase pada sel epitel bronkus.
Ketika diabsorbsi ke dalam sirkulasi, produk aktifhya terikat erat pada protein serum sehingga sulit
mencapai reseptor glukokortikoid di kulit, mata, dan tulang, memperkecil risikonya untuk
menyebabkan penipisan kulit, katarak, osteoporosis, atau perlambatan pertumbuhan sementara.
Penggunaan kronik kortikosteroid inhalasi efektif mengurangi gejala-gejala dan
memperbaiki fungsi paru pada pasien asma ringan. Penggunaan ini juga mengurangi atau
menghilangkan kebutuhan akan kortikosteroid oral pada pasien-pasien asma yang lebih berat.
Berbeda dengan obat-obat perangsang β dan teofilin, penggunaan kronik kortikosteroid inhalasi
dapat mengurangi reaktivitas bronkus. Karena efektivitas dan keamanan kortikosteroid inhalasi,
obat ini sekarang rutin diresepkan untuk pasien yang membutuhkan lebih dari sekedar inhalasi
agonis β pada waktu-waktu tertentu untuk meredakan gejala. Terapi ini diteruskan selama 10-12
bulan dan kemudian dihentikan untuk menentukan apakah terapi jangka panjang masih perlu
dilanjutkan. Kortikosteroid inhalasi tidak bersifat kuratif. Pada kebanyakan pasien, manifestasi
asma muncul lagi dalam beberapa minggu setelah terapi dihentikan, meskipun mereka telah
menggunakan inhalasi dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih.
KROMOLIN & NEDOKROMIL
Kromolin natrium (dinatrium kromoglikat) dan nedokromil natrium merupakan garam yang
stabil tapi sangat tidak larut. Bila digunakan sebagai aerosol (menggunakan nebulizer atau inhaler
dosis terukur), obat ini efektif menghambat asma yang diinduksi oleh antigen dan asma akibat
aktivitas fisik, dan pemakaian kronik obat-obat ini (4 kali sehari) sedikit mengurangi derajat
reaktivitas bronkus keseluruhan. Akan tetapi, obat-obat ini tidak berefek pada tonus otot polos
saluran napas dan tidak efektif memulihkan bronkospasme pada asma, obat-obat ini hanya
bermanfaat sebagai profilaksis.
Kromolin sangat sukar diabsorpsi dari saluran pen-cernaan dan harus diinhalasi sebagai
bubuk yang sangat halus (microfine) atau larutan teraerosolisasi. Nedokromil juga mempunyai
bioavailabilitas yang sangat rendah dan tersedia hanya dalam bentuk aerosol dosis terukur.
Mekanisme Kerja
Kromolin dan nedokromil memiliki struktur yang berbeda tapi tampaknya memiliki
mekanisme kerja yang serupa: pengubahan fungsi kanal klorida lambat (delayed chloride channel)
pada membran sel sehingga menghambat aktivasi sel. Mekanisme kerja ini pada saluran napas
tampaknya yang menjadi mekanisme kerja nedokromil dalam menghambat batuk; pada sel mast,
menghambat respons cepat terhadap tantangan antigen, dan pada eosinofil, menghambat respons
inflamasi akibat inhalasi alergen. Efek inhibisi pada sel mast tampaknya spesifik untuk tipe sel
tertentu, karena kromolin memiliki efek inhibisi yang kecil pada mediator yang dilepaskan oleh
basofil manusia. Efek ini juga tampaknya spesifik untuk tiap organ yang berbeda, karena kromolin
menghambat degranulasi sel mast pada manusia dan paru-paru primata tapi tidak pada kulit. Hal
ini pada gilirannya dapat mencerminkan perbedaan-perbedaan pada sel mast yang ditemukan di
berbagai tempat yang berbeda, seperti juga perbedaan-perbedaan pada kandungan protease netral
sel mast tersebut.
Hingga akhir-akhir ini, gagasan bahwa kromolin menghambat degranulasi sel mast diterima
dengan sangat baik sehingga inhibisi suatu respons oleh kromolin dianggap menandakan
keterlibatan sel mast dalam respons tersebut. Gagasan sederhana ini telah dipatahkan sebagian
oleh penemuan bahwa kromolin dan nedokromil menghambat fungsi sel selain sel mast dan
sebagian lagi oleh penemuan bahwa nedokromil menghambat munculnya respons lambat, bahkan
jika diberikan setelah respons dini terhadap tantangan antigen, yi, setelah terjadi degranulasi sel
mast.
Penggunaan Klinis Kromolin dan Nedokromil
Pada uji-uji klinis jangka-pendek, praterapi menggunakan kromolin atau nedokromil
memblokade bronkokonstriksi yang disebabkan oleh inhalasi alergen, oleh aktivitas fisik, oleh
sulfur dioksida, dan oleh berbagai penyebab asma akibat kerja/okupasional. Efek protektif akut
yang diberikan oleh terapi kromolin dalam dosis tunggal ini mem-buatnya berguna untuk
diberikan sesaat sebelum aktivitas fisik atau sebelum paparan terhadap alergen yang tidak
mungkin dihindari.
Jika digunakan secara teratur (dua sampai empat sem-protan, dua sampai empat kali sehari)
oleh pasien penderita asma tahunan (bukan musiman), kromolin dan nedokromil cukup nyata
menurunkan keparahan gejala dan kebutuhan akan pengobatan menggunakan bronkodilator.
Obat-obat ini tidak sekuat atau seefektif kortikosteroid inhalasi. Pada umumnya, pasien-pasien
usia muda penderita asma ekstrinsik tampaknya menunjukkan respons yang paling baik. Saat ini,
satu-satunya cara untuk me-nentukan apakah pasien akan berespons adalah melalui uji
terapeutik selama 4 minggu. Penambahan nedokromil ke dalam kortikosteroid inhalasi dosis
standar tampaknya meningkatkan kontrol asma.
Larutan kromolin juga bermanfaat mengurangi gejala-gejala rinokonjungtivitis alergik.
Pemakaian larutan kromolin melalui semprot hidung atau tetes mata beberapa kali sehari efektif
pada kira-kira 75% penderita, walaupun pada puncak musim pollen.
Karena sukar diabsorpsi, kromolin dan nedokromil memiliki efek-efek simpang yang kecil
dan hanya terjadi pada lokasi penumpukan. Efek-efek simpang ini berupa gejala-gejala ringan,
seperti iritasi tenggorokan, batuk, mulut kering, dan efek-efek yang jarang terjadi, seperti sesak
dada dan mengi. Beberapa di antara gejala-gejala ini dapat dicegah dengan inhalasi agonis
adrenoseptor β2 sebelum terapi kromolin atau nedokromil. Jarang terjadi efek samping yang berat.
Efek simpang yang telah dilaporkan adalah dermatitis, miositis, atau gastroenteritis reversibel
yang ditemukan pada kurang dari 2% pasien, dan telah dilaporkan pula beberapa kasus infiltrasi
pulmonar disertai eosinofilia atau anafilaksis, yang jumlahnya sangat sedikit. Kejadian toksisitas
yang sedikit ini menyebabkan kromolin digunakan secara luas pada anak-anak, terutama mereka
yang sedang dalam masa pertumbuhan cepat. Untuk anak yang mengalami kesulitan dalam
menggunakan inhaler, kromolin dapat diberikan melalui aerosol solusio 1%.
PENGHAMBAT JALUR LEUKOTRIEN
Karena keterlibatan leukotrien dalam berbagai penyakit inflamasi dan dalam anafilaksis,
berbagai usaha telah dilakukan untuk mengembangkan obat yang memblokade sintesis atau
reseptor turunan asam arakidonat ini. Leukotrien dihasilkan dari kerja 5-lipoksigenase pada asam
arakidonat dan disintesis oleh berbagai sel inflamasi dalam saluran napas, termasuk eosinofil, sel
mast, makrofag, dan basofil. Leukotrien B4 (LTB4) merupakan kemoatraktan neutrofil yang poten, dan
LTC4 dan LTD4 memiliki banyak efek yang muncul pada keadaan asma, meliputi bronkokonstriksi,
peningkatan reaktivitas bronkus, edema mu-kosa, dan hipersekresi mukus. Penelitian-penelitian
terdahulu menetapkan bahwa pemaparan antigen terhadap jaringan paru manusia yang
tersensitisasi menyebabkan pembentukan leukotrien, sedangkan penelitian lain pada manusia
menunjukkan bahwa inhalasi leukotrien tidak hanya menyebabkan bronkokonstriksi tapi juga
peningkatan reaktivitas bronkus terhadap histamin yang bertahan selama beberapa hari.
Telah dipikirkan dua cara untuk memutus jalur leukotrien: penghambatan 5-lipoksigenase,
dengan demikian mencegah sintesis leukotrien; dan inhibisi ikatan LTD4 pada reseptornya di
jaringan target, sehingga mencegah kerja leukotrien. Efektivitas dalam memblokade respons
saluran napas terhadap aktivitas fisik dan terhadap paparan antigen telah terbukti dimiliki oleh
obat-obat ini: zileuton, suatu penghambat 5-lipoksigenase, dan zafir-lukast dan montelukast,
antagonis reseptor LTD4. Semua obat ini terbukti meningkatkan kontrol asma dan menurunkan
frekuensi eksaserbasi asma pada uji klinis pasien rawat jalan. Efek obat-obat ini pada berbagai
gejala, diameter saluran napas, reaktivitas bronkus, dan inflamasi saluran napas kurang nyata jika
dibandingkan dengan efek kortikosteroid inhalasi, tapi keduanya hampir seimbang dalam
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Keuntungan utama penghambat jalur leukotrien adalah
bahwa obat-obat ini digunakan secara oral; beberapa pasien terutama anak-anak memiliki angka
ketaatan yang buruk bila menggunakan terapi inhalasi. Montelukast disetujui penggunaannya untuk
anak berusia minimal 6 tahun.
Beberapa pasien tampaknya memiliki respons tertentu yang menguntungkan, tapi tidak ada
perangkat klinis yang memungkinkan diketahuinya "unsur yang berespons" ini sebelum suatu uji
coba terapi dilakukan. Di AS, zileuton disetujui penggunaannya dalam dosis oral 400-800 mg, di-
berikan 2-4 kali senari; zafirlukast, 20 mg, dua kali sehari; dan montelukast, 10 mg (untuk
devvasa) atau 4 mg (pada anak), sekali sehari.
Berbagai uji penghambat leukotrien telah menunjukkan peran penting leukotrien dalam
terjadinya asma yang diinduksi aspirin. Sudah sejak lama diketahui bahwa 5-10% penderita
asma sangat sensitif terhadap aspirin se-hingga ingesti aspirin dalam dosis yang sangat kecil pun
menyebabkan bronkokonstriksi hebat dan menimbulkan gejala-gejala akibat pelepasan histamin
secara sistemik, seperti kemerahan dan kram perut. Karena reaksi terhadap aspirin ini tidak ada
kaitannya dengan adanya sensitisasi alergik terhadap aspirin atau metabolitnya dan karena
reaksi ini dapat dihasilkan oleh semua jenis obat anti-iriflamasi non steroid, tampaknya reaksi ini
dihasilkan dari penghambatan prostaglandin sintetase (siklooksigenase), yang mengubah
metabolisme asam arakidonat dari jalur prostaglandin ke jalur leukotrien. Gagasan ini juga
didukung oleh penemuan bahwa penggunaan harian penghambat jalur leukotrien menurunkan
respons terhadap pajanan antigen dan meningkatkan kontrol asma secara keseluruhan.
Dari berbagai agen ini, zileuton merupakan obat yang paling jarang diresepkan, karena
obat ini dahulu harus diminum dalam dosis empat kali sehari (saat ini telah dikembangkan dosis
zileuton dua kali sehari) dan karena obat ini dahulu menimbulkan toksisitas hati. Antagonis
reseptor leukotrien tampaknya aman untuk digunakan. Laporan mengenai timbulnya sindrom
Churg-Strauss (vaskulitis sistemik disertai perburukan asma, infiltrat paru, dan eosinofilia)
tampaknya hanya merupakan suatu kebetulan, yang timbul akibat menurunnya dosis prednison
yang digunakan. Penurunan dosis prednison ini timbul akibat penambahan zafirlukast atau
montelukast.
OBAT-OBAT LAIN DALAM PENGOBATAN ASMA
Antibodi Monoklonal Anti-lgE
Suatu pendekatan dalam terapi asma yang sepenuhnya baru memanfaatkan kemajuan
dalam bidang biologi molekular untuk menjadikan antibody IgE sebagai target terapi. Dari
sekumpulan antibodi monoklonal terhadap antibodi IgE yang dimunculkan dalam mencit, dipilih
satu antibodi monoklonal yang memiliki sasaran pada bagian IgE yang berikatan dengan reseptor
IgE (reseptor FCe-Rl dan FCe-R2) di sel mast dan berbagai sel inflamasi Iainnya. Omalizumab
(suatu antibodi monoklonal IgE) menghambat ikatan IgE pada sel mast tapi tidak mengaktifkan
IgE yang sudah terlebih dulu terikat pada sel ini sehingga tidak memicu degranulasi sel mast.
Omalizumab juga dapat menghambat sintesis IgE oleh limfosit B. Antibodi tikus murine secara
genetik telah disesuaikan untuk manusia melalui mekanisme penggantian seluruh asam aminonya,
kecuali satu fraksi kecil, dengan asam amino yang ditemukan dalam protein manusia.
Omalizumab tampaknya tidak menyebabkan sensitisasi ketika diberikan pada manusia.
Penelitian mengenai omalizumab pada sukarelawan penderita asma menunjukkan bahwa
pemberiannya mele-bihi 10 minggu menurunkan kadar IgE plasma hingga ke tingkat yang
sangat kecil dan secara signifikan menurunkan derajat keparahan respons bronkospastik cepat
dan lambat terhadap pajanan antigen. Uji-uji klinis telah menunjukkan bahwa pemberian anti-IgE
MAb secara intravena atau injeksi subkutan berulang dapat meringankan derajat keparahan asma
dan menurunkan kebutuhan akan kortikosteroid pada pasien penderita asma sedang dan berat,
terutama pasien yang jelas-jelas memiliki faktor presipitasi antigen di lingkungan, dan meringankan
gejala nasal dan konjungtiva pada pasien penderita rinitis alergi tahunan atau musiman. Efek
omalizumab yang paling penting adalah menurunkan frekuensi dan derajat keparahan eksaserbasi
asma, pun sambil menurunkan kebutuhan pasien akan kortikosteroid. Analisis gabungan beberapa
uji klinis menunjukkan bahwa pasien yang paling berespons terhadap omalizumab adalah,
untungnya, pasien yang paling membutuhkan terapi ini, contohnya pasien yang memiliki riwayat
eksaserbasi berulang, pasien dalam terapi kortikosteroid dosis tinggi, dan pasien yang fungsi
parunya buruk. Analisis ini juga menunjukkan bahwa eksaserbasi yang paling banyak dicegah
adalah eksaserbasi yang paling penting untuk dicegah: terapi Omalizumab menurunkan
eksaserbasi yang memerlukan tindakan rawat inap sebesar 88%. Biaya terapi olizumab yang mahal
setara dengan besarnya keuntungan terapi ini bagi pasien asma berat yang ditandai dengan
seringnya eksaserbasi.
FARMAKOLOGI KLINIS OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM
PENGOBATAN ASMA
Asma merupakan jenis penyakit yang memiliki dua ranah waktu. Pada ranah waktu
masa kini, asma menjadi penting karena gangguan yang ditimbulkannya, seperti batuk, terbangun
di malam hari, dan.sesak napas, mengganggu kemampuan seseorang untuk berolahraga atau
melakukan aktivitas apapun yang diinginkannya. Untuk asma ringan, mungkin hanya dibutuhkan
sesekali inhalasi bronkodilator. Untuk asma yang lebih berat, diperlukan terapi kontroler jangka-
panjang, seperti kortikosteroid inhalasi, untuk meredakan gejala atau memulihkan fungsi. Ranah
waktu asma yang kedua adalah risikonya di masa mendatang, seperti eksaserbasi, atau risiko
penurunan fungsi paru progresif. Kepuasan seorang pasien terhadap kemampuannya
mengendalikan gejala dan mempertahan-kan fungsi melalui penggunaan intensif agonis β2 inhalasi
tidak berarti bahwa risiko asma di masa mendatang juga ikut terkendali. Pada kenyataannya,
penggunaan dua atau lebih tabung agonis β2 tiap bulannya merupakan penanda meningkatnya
risiko fatalitas asma.
Tantangan untuk menilai keparahan dan menyesuaikan terapi pada kedua ranah waktu
asma ini saling berbeda. Untuk meredakan gangguan yang ditimbulkan asma pada ranah masa
kini, dapat ditanyakan informasi-informasi penting, seperti frekuensi dan keparahan gejala,
frekuensi penggunaan agonis β2 inhalasi untuk meredakan gejala, frekuensi terbangun di malam
hari, dan kemampuan berolahraga. Lebih sulit lagi untuk memperkirakan risiko terjadinya
eksaserbasi di masa mendatang. Pada umumnya, pasien yang memiliki gejala yang tidak
terkontrol dengan baik pada masa kini memiliki risiko eksaserbasi yang lebih tinggi di masa
mendatang, tapi beberapa pasien tampaknya tidak sadar akan keparahan obstruksi saluran napas
yang mereka alami (terkadang disebut sebagai "poor perceivers") dan hanya dapat diketahui dari
pengukuran fungsi paru, seperti spirometri. Penurunan FEVt berkorelasi dengan peningkatan
risiko serangan asma di masa mendatang. Penanda lainnya terjadinya peningkatan risiko serangan
asma adalah fungsi paru yang tidak stabil (adanya variasi FEV1 yang besar dalam tiap kunjungan,
perubahan yang besar menggunakan terapi bronkodilator), reaktivitas bronkus yang ekstrem,
atau banyaknya eosinofil dalam sputum atau banyaknya nitrogen dioksida dalam udara ekspirasi.
Penilaian berbagai parameter ini dapat mengenali pasien asma yang membutuhkan peningkatan
terapi untuk mencegah eksaserbasi.
BRONKODILATOR
Bronkodilator, seperti albuterol inhalasi, sangat efektif, aman, dan tidak mahal. Pasien
yang gejala asmanya hanya timbul sewaktu-waktu umumnya hanya memerlukan agonis
reseptor-β2 inhalasi, yang hanya digunakan bila perlu. Bila gejala-gejala asma membutuhkan
penggunaan terapi "penyelamat" ini lebih dari dua minggu, jika gejala terbangun di malam hari
terjadi lebih dari dua kali sebulan, atau jika FEV1 kurang dari 80%, diperlukan peng-obatan
tambahan. Pengobatan tambahan pertama yang disarankan adalah kortikosteroid inhalasi dosis
rendah, walaupun terapi menggunakan antagonis reseptor leukotrien atau kromolin dapat juga
digunakan. Teofilin saat ini dicadangkan untuk pasien yang gejala-gejalanya tetap sulit dikontrol
meskipun telah diobati secara teratur menggunakan kombinasi obat anti-inflamasi inhalasi dan
agonis β2 sewaktu. Jika penambahan teofilin masih gagal untuk memperbaiki gejala-gejala asma
atau jika efek simpangnya mengganggu, kadar teofilin plasma perlu diperiksa untuk memastikan
bahwa kadar tersebut masih dalam kisaran terapi (10-20 mg/L).
Peringatan penting untuk pasien asma ringan adalah, walaupun risiko serangan berat dan
mengancam nyawa pada pasien asma ringan lebih rendah dibandingkan pasien asma berat,
bukan berarti tidak ada risiko sama se-kali. Semua pasien asma harus diberitahu mengenai satu
tindakan sederhana yang harus dilakukan pada serangan asma yang berat dan menakutkan:
gunakan hingga empat puff albuterol tiap 20 menit sampai 1 jam. Jika tidak membaik setelah empat
puff dalam 1 jam, mereka harus menggunakan pengobatan tambahan selama di perjalanan menuju
Instalasi Gawat Darurat atau sarana pelayanan kesehatan yang tingkatannya lebih tinggi.
ANTAGONIS MUSKARINIK
Peranan antagonis muskarinik inhalasi dalam pengobatan asma masih terbatas. Bila
diberikan dalam dosis yang cukup, efeknya pada tahanan saluran napas dasar menye-rupai
besarnya efek obat-obat simpatomimetik. Efek obat-obat antimuskarinik dan simpatomimetik
yang diberikan dalam dosis penuh pada saluran napas terbukti hanya bersifat aditif pada pasien
penderita obstruksi saluran napas berat yang datang ke instalasi gawat darurat. Obat-obat
antimuskarinik tampaknya lebih bermanfaat untuk keadaan penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) diban-dingkan untuk asma, Obat ini berguna sebagai terapi al-ternatif untuk pasien yang
tidak toleran terhadap agonis adrenoseptor-β2.
Walaupun diperkirakan bahwa antagonis muskari-nik dapat mengeringkan sekresi
saluran napas dan meng-ganggu bersihan mukosiliar, pengukuran langsung volume cairan sekresi
dari satu kelenjar submukosa saluran napas pada binatang percobaan memperlihatkan bahwa
atropin hanya sedikit mengurangi laju sekresi dasar. Akan tetapi, obat ini menghambat
peningkatan sekresi mukus akibat stimulasi vagus. Pada pemakaian obat-obat ini, tidak di-
temukan adanya laporan kasus pengentalan mukus.
KORTIKOSTEROID
Jika gejala asma sering muncul atau jika obstruksi saluran napas masih tetap berat
meskipun telah diobati meng-gunakan bronkodilator, kortikosteroid inhalasi dapat mulai
digunakan. Untuk pasien yang menderita gejala asma berat atau obstruksi saluran napas berat
(contoh, perkiraan FEV1 < 50%), terapi inisial menggunakan kom-binasi kortikosteroid inhalasi dan
oral (contoh, 30 mg/ hari prednison selama 3 minggu) tepat untuk dilakukan. Setelah gejala klinis
membaik, biasanya setelah- 7-10 hari, dosis oral harus dihentikan atau diturunkan hingga
mencapai dosis terkecil untuk mengendalikan gejala.
Satu masalah yang timbul dalam penggunaan terapi kortikosteroid inhalasi adalah ketaatan
pasien. Analisis pada resep-resep baru menunjukkan bahwa kortikosteroid hanya digunakan
secara teratur oleh sebagian kecil pasien. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya "fobia
steroid" akibat penekanan di media massa mengenai bahaya penggunaan kortikosteroid oral
jangka panjang dan adanya kesalahan dalam menyamakan kortikosteroid dengan steroid anabolik,
yang digunakan para atlet untuk meningkatkan kekuatan otot mereka. Ketakutan terhadap
toksisitas kortikosteroid membuat pendekatan pada pasien yang gejalanya membaik setelah terapi
kortikosteroid untuk melanjutkan penggunaan demi mencegah serangan menjadi sulit untuk
dilakukan. Konteks ini menyebabkan timbulnya perhatian pada laporan-laporan terbaru yang
menyatakan bahwa menginstruksikan pasien asma persisten ringan untuk memulai terapi
kortikosteroid inhalasi hanya jika gejala memburuk sama efektifnya dengan menggunakan terapi
kortikosteroid inhalasi dua kali sehari untuk mempertahankan fungsi paru dan mencegah
serangan asma.
Pada pasien penderita asma yang lebih berat, yang gejalanya tidak cukup dikontrol
menggunakan kortikosteroid inhalasi dosis standar, dapat dipikirkan dua pilihan: menggandakan
dosis kortikosteroid inhalasi atau menambah agonis reseptor-β2 kerja lama (salmeterol atau
formoterol) Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa terapi kombinasi mi lebih efektif
dibandingkan dengan penggandaan dosis kortiokosteroid inhalasi, tapi FDA telah mengeluarkan
peringatan bahwa penggunaan agonis β kerja lama terkait dengan peningkatan signifikan secara
statistik risiko kematian atau sekarat akibat serangan asma terutama pada bangsa Afrika Amerika,
walaupun peningkatan ini sangat kecil jumlahnya. Peringatan FDA ini belurri terlalu
mempengaruhi jumlah peresepan kombinasi flutikason inhalasi (kortikosteroid) dan salmeterol
(agonis β kerja-lama) dosis tetap, kemungkinan karena kombinasi obat-obat ini dalam inhaler
tunggal memberikan banyak keuntungan. Inhaler kombinasi ini memang tepat untuk digunakan;
inhaler kombinasi ini memastikan bahwa agonis β kerja-lama tidak akan digunakan sebagai suatu
terapi tunggal (yang diketahui tidak akan melindungi dari serangan); dan inhaler ini menghasilkan
perbaikan gejala klinis dan fungsi paru yang segera dan bertahan lama serta menurunkan frekuensi
eksaserbasi yang membutuhkan terapi kortikosteroid oral. Pasien yang diresepkan terapi
kombinasi tersebut harus diberi instruksi yang jelas mengenai obat tersebut, bahwa agonis β2
inhalasi kerja pendek standar, seperti albuterol, hanya digunakan untuk meredakan gejala akut.
KROMOLIN DAN NEDOKROMIL; ANTAGONIS LEUKOTRIEN
Inhalasi kromolin atau nedokromil, atau tablet oral antagonis reseptor leukotrien, dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif terapi kortikosteroid inhalasi pada pasien asma yang gejalanya
muncul lebih dari dua kali dalam se-minggu atau yang terbangun akibat asma lebih dari dua kali
dalam satu bulan. Kedua terapi ini bahkan tidak seefektif inhalasi kortikosteroid dosis kecil, tapi
keduanya dapat mengatasi masalah "fobia steroid".
Kromolin dan nedokromil dapat juga digunakan pada pasien yang gejalanya muncul sesuai
musim atau setelah terpajan stimulan yang jelas-jelas memicu serangan, seperti olahraga atau
pajanan terhadap sisik hewan atau iritan. Pada pasien yang gejalanya berlangsung terus-menerus
atau timbul tanpa pemicu yang jelas, manfaat obat-obat ini baru dapat ditetapkan setelah
dilakukannya suatu uji terapeutik obat inhalasi melalui pemberian sebanyak empat kali sehari
dalam 4 minggu. Jika pasien berespons terhadap terapi ini, dosis kemudian dapat dioptimalkan.