Upload
vanlien
View
230
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata Bidang Ilmu : Sejarah
LAPORAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
I GUSTI KETUT KALER : SEBUAH BIOGRAFI INTELEKTUAL
Dr. Drs. I Putu Gede Suwitha, SU Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, MA
Dra. A.A. Ayu Rai Wahyuni, MSi Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, S.S. M.Hum
Drs. I Wayan Tagel Edy, MS
PROGRAM STUDI / JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA Februari 2015
Dibayari oleh DIPA PNBP Universitas Udayana
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor : 016/UD 14.1.1/PNL.01.03.00/2015BAB I
2
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. …. i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. …. 1
1.1LATAR BELAKANG ............................................................................... …. 1
1.2RUMUSAN MASALAH .......................................................................... … 2
1.3KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................... … 2
1.4TUJUAN KEGIATAN .............................................................................. … 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. … 5
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. … 6
BAB IV I GUSTI KETUT KALER DAN PENGABDIANNYA…………….. 7
4.1 MASA KECIL I GUSTI KETUT KALER………………………………… 7
4.2 PENDIDIKAN …………………………………………………………….. 9
4.3 MASA BERUMAH TANGGA ………………………………………….. 11
4.4 MASA TUA ………………………………………………………………. 13
BAB V MASA PENGABDIAN I GUSTI KETUT KALER ………………… 16
5.1 SEBAGAI PENDIDIK ……………………………………………….. … 16
5.2 SEBAGAI PEJUANG ………………………………………………….. 17
5.3 SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ………... 23
BAB VI BEBERAPA HASIL KARYA I GUSTI KETUT KALER ………... 31
6.1 HASIL KARYA DALAM BIDANG AGAMA ……………………….… 31
6.2 HASIL KARYA DALAM BIDANG KEBUDAYAAN ………………… 36
KESIMPULAN …………………………………………………………….…. 45
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... ….. 46
3
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menulis biografi seorang tokoh sejak dahulu dirasakan penting
manfaatnya.Dalam lingkup nasional, seorang yang berjasa terhadap bangsa dan
negara atau seorang tokoh yang berjasa dalam bidang tertentu sudah banyak ditulis
biografinya. Demikian juga seorang tokoh penting dalam tingkat lokal peranannya
hampir sama, hanya saja dalam lingkup yang lebih kecil (mikro).
Dalam hubungan ini tim jurusan sejarah memprakarsai untuk menulis
biografi seorang tokoh lokal yang berjasa dalam memperkuat dan memajukan adat
istiadat dan agama Hindu di Bali dalam kerangka memperkuat budaya, adat dan
ajeg Bali yang sekarang mendapat momentum yang sangat tepat. Tokoh yang
dimaksud adalah I Gusti Ketut Kaler, seorang tokoh yang pada masa hidupnya
didorong oleh rasa cinta kebudayaan, khususnya adat dan agama Hindu, sangat
berjasa dalam memperkuat akar-akar budaya.Fondasi budaya Bali ketika itu belum
ajeg, belum mengakar, karena Indonesia khususnya Bali baru menyelesaikan
revolusi fisik yang berakhir setelah tahun 1950 an.
Orang arif berkata bahwa kita belajar dari sejarah dan belajar dari
pengalaman, karena pengalaman itu adalah guru kehidupan.Menulis biografi
seorang tokoh karena tokoh tersebut menarik dan mempunyai suatu atau pelbagai
perbuatan yang patut diketengahkan. Peran I Gusti Ketut Kaler, baik sebagai
cendikiawan maupun pemikir dengan gagasan-gagasannya yang cemerlang tentang
budaya dan adat, sehingga menarik untuk ditulis. Dalam kenyataannya peran
seseorang dalam suatu jaman tampak dalam proses sejarah. Bahkan tidak jarang
sangat menentukan perkembangan yang terjadi dalam suatu jaman. Oleh karena itu
tidak mengherankan seorang pemikir Barat – Carlyle berpendapat bahwa : sejarah
dunia merupakan serangkaian riwayat hidup orang-orang besar. Pandangan tersebut
tentu sangat bersifat determinisme dan dengan sendirinya mengandung kebenaran.
Munculnya seorang tokoh di tengah-tengah masyarakat tidak bisa
dipisahkan dengan situasi di masyarakat pada jamannya.Kemunculan seorang I
Gusti Kaler telah dikenal luas, baik dalam lingkungan masyarakat umum di Bali,
maupun di kalangan birokrasi pada waktu itu, dimana sanga tokoh aktif mengabdi
pada jawatan agama propinsi Bali. Di kalangan tokoh agama, adat, dan budaya
4
tokoh ini dikenal berjuang untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan : mau
dibawa kemana adat, budaya dan agama.
1.2 Rumusan Masalah
Biografi yang ideal menurut Kuntowijoyo (2003), hendaknya mampu
mengangkat aspek kejiwaan seorang tokoh. Dengan kata lain bukan menekankan
“makna subyektif”, seperti tokoh menafsirkan sendiri suatu kejadian. Biografi yang
beraspek sejarah kejiwaan harusnya mengangkat soal-soal “dibawah sadar” yang
merupakan penjelasan dari luar yang dipikirkan oleh sejarawan, bukan oleh
tokoh.Untuk menulis biografi model ini yang harus mendapat perhatian adalah
penjelasan pembentukan pribadi, interaksi dengan lingkungan dan perkembangaan
kejiwaan (Kuntowijoyo, 2003). Berdasarkan latar belakang kondisi yang telah
digambarkan diatas, dapat diajukan beberapa permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana kehidupan I Gusti Ketut Kaler pada waktu kecil
b. Pengaruh lingkungna sosial budaya yang mana yang membentuk atau
mempengaruhi pikirannya.
c. Bagaimana pendidikannya dan pengaruh guru-gurunya
d. Bagaimana konsep pemikirannya dalam pengembangan budaya, adat, dan
agama.
e. Demikian pula mau dibawa kemana adat, budaya, dan agama Hindu.
1.3 Kerangka Pemikiran
Biografi I Gusti Ketut Kaler merupakan biografi sejarah intelektual
meminjam konsep Kuntowijoyo (2003).Penulisan sejarah intelektual berangkat dari
suatu pemahaman bahwa semua perbuatan manusia selalu dipengaruhi oleh pikiran,
karena dalam kesehariannya mereka berdampingan dengan ide. Hal ini dapat dilihat
dari ide atau pemikiran-pemikiran yang menyertai perjuangan dalam
memasyarakatkan adat dan budaya Bali terutama dalam bukunya : Butir-butir
tercecer tentang adat Bali. Menurut Nyoman Wijaya (2012 : 9-10). Biografi
intelektual seorang tokoh harus melacak pemikiran dalam tiga hal yaitu :
pemikiran-pemikiran tokoh yang berpengaruh pada kejadian sejarah : konteks
5
sejarah tempat pemikiran tokoh tersebut muncul, tumbuh dan berkembang (sejarah
di permukaan) dan pengaruh pemikirannya pada masyarakat.
Pemikiran pertama yang berpengaruh, pada kejadian sejarah mengarah pada
genesis pemikiran I Gusti Ketut Kaler, yang tentu mendapat pengaruh dari
pemikiran-pemikiran sebelumnya. Demikian juga konsistensi pemikirannya.
Evaluasi pemikirannya dengan melihat tahapan-tahapan pemikiran, perubahan,
varian pemikirannya.Hal ini mengacu seperti yang dikatakan Wijaya kita lihat pada
teks-teks yang ada.
Pemikiran kedua atau pendekatan dengan melihat pada konteks sejarah,
konteks budaya.Apakah pemikiran I Gusti Ketut Kaler dilator belakangi oleh
peristiwa sejarah, baik peristiwa yang besar maupun peristiwa yang kecil namun
cukup berpengaruh.Apakah pemikiran mempunyai latar belakang politik, budaya
atau budaya seperti gelombang triwangsa.Selanjutnya menurut Nyoman Wijaya,
menyasar pada hubungan antara pemikiran dengan masyarakat.
Dalam penulisan biografi, tidak cukup hanya proses menerangkan, tetapi
juga mengerti sang tokoh. Menerangkan adalah proses menjelaskan dari luar
sebagai proses sebab akibat di luar kesadarannya. Mengerti sang tokoh merupakan
“proses dari dalam” berdasarkan “makna subyektif”, sebagaimana ia menafsirkan
hidupnya. Jadi penulisan biografi bukan hanya berusaha memaknai, tetapi juga
mendalami kepribadiannya seperti yang dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992).
1.4 Tujuan Kegiatan
Didasari atas permasalahan diatas, tujuan umum penelitian adalah untuk
mengkaji pemikiran I Gusti Ketut Kaler dalam bidang adat, budaya, dan agama.
Dalam hal ini akan dilihat adanya kesinambungan pemikiran beliau dalam kerangka
: teks, konteks dan pengaruh pemikirannya pada masyarakat. Tujuan khusus yang
hendak dicapai dalam penulisan biografi adalah ingin mengungkapkan secara
indept tentang biografi I Gusti Ketut Kaler sebagai tokoh pemikir dalam bidang
adat, budaya, dan agama, terutama akan lebih berpusat pada hal-hal sebagai berikut
a. Melestarikan pemikiran I Gusti Ketut Kaler terutama dalam bidang adat,
budaya, dan agama.
b. Kemudian mengembangkan pemikirannya dalam konteks kekinian untuk
mengembangkan budaya, adat, dan agama kedepan.
6
c. Kisah hidup dan perjuangan sang tokoh akan berguna bagi generasi penerus
dan masyarakat ilmiah di Bali.
d. Akhirnya melalui penulisan biografi akan dapat melengkapi kesejarahan
dalam konteks masyarakat Bali.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Untuk menyelesaikan jenis penulisan sejarah yang berupa autobiografi dan
biografi dalam arti yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti aspek-
aspek ekonomi, budaya, dan politik digunakan teori yang dikembangkan oleh
Sartono Kartodirdjo yang berjudul Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia : Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia, 1982. Teori ini sangat relevan
dengan fenomena biografi komprehensif yang akan dikerjakan.
Pendekatan biografi juga dianjurkan oleh Taufik Abdullah. Penulis biografi
dapat mempersoalkan seberapa jauh ia dapat mengetahui sepenuhnya kehidupan
seseorang yang paling fundamental, bagaimana penulis biografi mengungkap dan
mengerti pergumulan aktor sejarah dengan lingkungan yang mengintari. Masalah
ini akan menjadi lebih sulit bagi penulis biografi yang harus berhadapan dengan
tokoh “besar”. Makin dianggap “besar” seorang tokoh, makin sulit pula untuk
mengetahui tokoh tersebut. (Taufik Abdullah, Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Jakarta :LP3ES, hlm. 1-19.).
Pendekatan psikologi yang oleh Dilthey dikenal dengan pendekatan
verstehen juga digunakan. Dengan metode verstehen, peneliti berusaha
menempatkan diri pada subjek yang diteliti seakan-akan peneliti terlibat dalam
proses kejiwaan yang dialami aktor sejarah, dan sekaligus berada di luarnya.
Dengan mempertemukan dimensi luar (mengetahui) dan dimensi dalam
(“menghayati”).Verstehen adalah kemampuan untuk memasuki alam pikiran actor
sejarah pada kelampauan. Lihat Sartono Kartodirdjo dengan judul tulisan “Max
Weber dan Dilthey” dalam Lembaran Sedjarah No. 6 : UGM, 1970 ; R.F. Beerling
dalam Filsafat Dewasa Ini I (Djakarta : Balai Pustaka, 1950); dan Taufik Abdullah
dalam Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
1978.
Di samping hal diatas, kerangka konseptual juga diambil dari buku-buku
terbitan Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan yang sudah mengerjakan biografi tokoh-tokoh nasional dan tokoh-
tokoh lokal.
BAB III
METODE PENELITIAN
8
Untuk menunjang analisis dipergunakan metode sejarah, baik dalam
pengumpulan sumber (data) maupun dalam analisis. Dengan studi komprehensif,
dengan metode autobiografi yang diedisikan akan dapat diketahui lingkungan
sosial-budaya seorang actor sejarah, jiwa zamannya (zeitgeist-nya). Misalnya,
bagaimana figure seorang aktor sejarah mengenai perkembangan segi
intelektualnya, bagaimana waktu kecilnya, pengaruh lingkungan sosial-kultural,
pengaruh pendidikan gurunya, konsep pemikirannya, dan sebagainya.Dalam hal ini,
pendekatan antropologi dan sosiologi mengenai pengaruh lingkungan sangat
membantu sebagai kerangka konseptual.
Seseorang yang berjasa atau seorang pahlawan pada hakikatnya adalah
manusia biasa.Ia tidak lepas dari lingkungan dan zaman di mana ia dilahirkan,
hidup, dan mengembangkan segala aktivitasnya. Untuk itu, untuk mendapat
gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut, perlu kita coba menghayati
dan memahami manusia dan masyarakat tempat hidupnya.Untuk itu, untuk
mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut, perlu kita coba
menghayati dan memahami manusia masyarakat tempat hidupnya.Untuk itu, untuk
mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut perlu kita coba
menghayati dan memahami manusia dan tempat hidupnya. Untuk itu, konsep-
konsep psikologi dengan pendekatan verstehen akan sangat membantu. Dari segi
kejiwaan, mengapa seorang aktor sejarah mempunyai ide atau pemikiran seperti itu
akan sangat membantu analisis.
Penelitian ini juga menerapkan apa yang disebut dengan life history, dalam
hal ini ingin mengetahui kehidupan seorang tokoh I Gusti Ketut Kaler. Data yang
diperoleh akan dilengkapi dengan data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis.
Gagasan dan pemikiran luhur serta berbobot akan diperoleh untuk mengetahui
mengapa perlu didirikan universitas di Bali, dan menuju kemana Universitas
Udayana dalam menghadapi tantangan masa depan.
BAB IV
9
I GUSTI KETUT KALER DAN PENGABDIANNYA
4.1 Masa Kecil I Gusti Ketut Kaler
I Gusti Ketut Kaler adalah seorang budayawan, pemerhati masalah adat istiadat
Bali sekaligus dikenal sebagai tokoh politik PNI (Partai Nasional Indonesia) pada
jamannya.I Gusti Ketut Kaler dikenal juga sebagai seorang pejuang pada masa revolusi
fisik tahun 1945 sampai dengan 1950. Ia lahir di Banjar Tengah, Desa Blahkiuh,
Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, pada tanggal 1 Agustus 1923 dari
pasangan I Gusti Ketut Gendjor dan I Gusti Ayu Made Onggar. Berdasarkan kalender
Bali, kelahiran I Gusti Ketut Kaler jatuh pada hari Rabu (Budha) Wage dengan wuku
langkir.Berdasarkan kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Bali, orang yang
lahir, pada masa itu dipercayai mempunyai watak satria wibawa, berlaku ramah dalam
pergaulan dan memiliki watak yang keras. Kaler adalah putra kelima dan anak laki-laki
satu-satunya dari enam bersaudara yaitu : I Gusti Ayu Putu Raka, I Gusti Ayu Made
Ngurah, I Gusti Ayu Nyoman Rai, I Gusti Ayu Nyoman Muklik, I Gusti Ketut Kaler,,
dan I Gusti Ayu Cemeng.
Apabila dilihat dari silsilah keluarga, I Gusti Ketut Kaler adalah keturunan
Arya Kepakisan yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Nama Kaler sendiri mulai
digunakan pada masa Dalem Sagening, Raja Klungkung.Salah satu dari Patih Raja
Klungkung adalah I Gusti Kaler Pranama, yang menurut cerita Puri yang didiaminya
terletak di sebelah Utara (Ler) dari kerajaan.Kemudian berlanjut pada masa Kerajaan
Mengwi dimana keturunan I Gusti Ketut Kaler Pranama di kerajaan ini juga menempati
Puri yang berada di sebelah Utara dari kerajaan.
Dari gambaran mengenai silsilah I Gusti Ketut Kaler dapat disimpulkan bahwa
Kaler berasal dari keluarga bangsawan sebagai keturunan Ksatria.Keturunan atau
10
golongan Ksatria pada masyarakat Bali mempunyai kedudukan yang cukup tinggi pada
masyarakat.Mengenai tingkatan atau status pada masyarakat yang di Bali dikenal
sebagai sistem kasta sebenarnya sudah ada sejak jaman sebelum Kerajaan
Majapahit.Akan tetapi ada perbedaan yang menyolok dalam pengkastaan seseorang
antara jaman sebelum Majapahit dan sesudahnya.
Sistem kekerabatan yang berlaku di masyarakat Bali adalah sistem
paternalistik, yakni sistem kekerabatan yang dilihat dari sistem keturunan
Ayah.Berlakunya sistem ini dapat dilihat dari sistem hak waris, dan penerus keturunan
hanya pada anak laki-laki.Apabila terjadi perkawinan yang eksogami (campuran),
wanita dari kasta yang lebih tinggi kawin dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah
maka kasta dari pihak istri disesuaikan dengan kasta pihak suami.Namun apabila istri
memiliki kasta yang lebih rendah dibandingkan suaminya maka haknya disesuaikan
dengan kasta suaminya.
Desa Blahkiuh tempat Kaler dilahirkan dan disebarkan adalah sebuah desa
yang berhawa sejuk dan bertanah subur yang cocok untuk tanaman perkebunan seperti
cengkeh, kopi, coklat, vanili, dan areal persawahan. Wilayah Desa Blahkiuh di sebelah
Utara dibatasi oleh Desa Sangeh, batas sebelah Timur Desa Bongkasa, batas sebelah
Selatan Desa Abiansemal, dan batas sebelah Barat Sungai Ayunan.
Orang Tua I Gusti Ketut Kaler adalah seorang petani yang mempunyai lahan
yang cukup luas.Selain sebagai petani ayahnya adalah Kelian Desa Blahkiuh yang
cukup disegani masyarakat. Sejak kecil Kaler dikenal sebagai anak yang selalu ingin
tahu, setiap ada pertemuan-pertemuan adat baik itu di rumah orang tuanya maupun di
wantilan desa ia selalu ingin tahu apa yang dibicarakan pada pertemuan tersebut.
Kaler dikenal sebagai remaja yang energik, senang berolah raga seperti olah
raga atletik dan sepak bola. Menurut I Gusti Putu Oka, salah seorang teman
11
sepermainannya dulu, ia dan Kaler selalu menempati posisi penyerang depan. Selain
sebagai pemain Kaler juga menjadi wasit dalam pertandingan sepak bola.Hobi lainnya
adalah memancing yang sangat digemarinya sejak kecil hingga tua. Kesenangan
memancing ini kadang kala digunakannya untuk mencari inspirasi untuk menulis,
kesenangan ini sudah mulai dilakukan semenjak ia lulus Sekolah Dasar.
Dalam menulis ia sering menggunakan nama samara “Arya Utara Wungsu”
yang mempunyai arti : Arya berarti dari golongan Ksatria, Utara sama artinya dengan
Kaler, dan Wungsu mempunyai arti bungsu.
4.2 Pendidikan
Pada usia delapan tahun tepatnya tahun 1931, I Gusti Ketut Kaler mulai
mengecap pendidikan formal di Sekolah Desa, walaupun sebelumnya ayahnya telah
berusaha untuk memasukkannya ke HIS (Holland Inlandshe School) di Denpasar.
Sebagai anak seorang Kelian Desa tidak memungkinkannya untuk masuk ke sekolah
tersebut.
Setelah lulus dari Sekolah Desa tahun 1934, ia melanjutkan ke Vervolg School
dan tamat pada tahun 1939. Pelajaran yang diajarkan di Vervolg School diantaranya
bahasa Melayu, menulis latin, bahasa Bali dan berhitung. Berbarengan dengan
pendidikannya di sekolah formal, kaler juga mengenyam pendidikan non formal, yakni
belajar mengenai kebudayaan dan masalah adat istiadat pada masyarakat Bali.Ia belajar
ilmu tersebut kepada I Gusti Agung Putu Mayun, seorang Punggawa di Abiansemal.
Selain Kaler, yang belajar kepada I Gusti Agung Putu Mayun pada saat itu
adalah I Gusti Putu Oka dan Ida Bagus Mayun yang keduanya adalah teman
sepermainan. I Gusti Agung Putu Mayun mengajarkan kepada mereka mengenai
kebudayaan dan adat istiadat Bali yang bersumber dari lontar-lontar.Pelajaran pertama
12
dimulai dengan bagaimana membaca lontar yang kemudian dilanjutkan mengenai
pemahaman mengenai isi lontar tersebut. Proses belajar mengajar ini dilaksanakan di
sebuah padepokan yang dikenal dengan Padepokan Dukuh.
I Gusti Agung Putu Mayun dikenal sebagai seorang guru yang berdisiplin
tinggi, murid-muridnya diharuskan datang tepat waktu dan tidak bolah lalai dengan
tugas yang ia berikan. Lontar-lontar yang dipelajari antara lain, lontar Bharata Yudha
dan lontar Sutasoma.
Diantara ketiga murid tersebut, Kaler merupakan murid yang paling tertarik
mengenai apa yang diajarkan oleh gurunya. Ketertarikannya mengenai masalah-masalah
budaya dan adat istiadat Bali dapat dilihat dari keingintahuannya yang besar mengenai
hal tersebut.Iaselalu membaca buku-buku yang memberikan informasi mengenai
budaya dan adat.
Dari gambaran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perhatian I Gusti
Ketut Kaler terhadap masalah-masalah kebudayaan dan adat istiadat Bali sudah tumbuh
sejak ia mulai mengenyam pendidikan formal maupun informal.
Tahun 1936 setelah ia tamat dari Vervolg School, Kaler bekerja sebagai juru
tulis di Desa Abiansemal sampai dengan tahun 1939. Setelah selama tiga tahun bekerja
sebagai juru tulis, ia mengikuti Kursus Guru Desa yang pada waktu itu bernama Cursus
Voor Volksondenr Wijzer. Kursus ini ditempuhnya selama dua tahun, tahun 1941 ia
mulai mengajar di Sekola Desa di Intaran. Kemudian pada tahun 1942 ia dipindahkan
ke Sekolah Desa Blahkiuh dan pada tahun 1943 ia dipindahkan kembali ke Sekolah
Desa Mengwitani. Mengenai bagaimana I Gusti Ketut Kaler mengajar, salah seorang
mantan muridnya di Sekolah Desa Blahkiuh menceritakan pengalamannya. I Gusti
Ketut Kaler adalah seorang guru yang berdisiplin tinggi, sebelum pelajaran dimulai, ia
sudah berada di dalam kelas, dan selalu memeriksa tugas-tugas yang Ia berikan. Bahkan
13
menurut mantan muridnya yang lain I Made Chandra, perhatian I Gusti Ketut Kaler
terhadap murid-muridnya tidak saja pada lingkungan sekolah melainkan juga ketika
diluar jam sekolah. Apabila ia melihat muridnya bermain diluar jam belajar ia akan
menegurnya.
Tahun 1944 ia mendapat tugas belajar pada kursus Rinzi Zakyu Yesusyo yaitu
kursus yang diselenggarakan pemerintah Jepang untu persamaan Sekolah Guru Belanda
(SGB). Setelah lulus dari kursus ini pada tahun 1945, I Gusti Ketut Kaler diangkat
menjadi guru Sihang Gakko di Singaraja.
4.3 Masa Berumah Tangga
Perkawinan adalah suatu hal yang wajar dan penting.Ajaran agama
menganjurkan adanya perkawinan sebagai sarana menciptakan generasi penerus. Pada
tanggal 10 Oktober 1943 di usia yang terbilang cukup untuk melangsungkan sebuah
perkawinan pada masa itu. Kaler mempersunting seorang gadis dari golongan kasta
biasa yang berasal dari desanya sendiri.Gadis tersebut bernama Ni Ketut Moning anak
seorang petani dari banjar Benah Kawan.Ni Ketut Moning pada masa itu dikenal
sebagai salah satu kembang desa yang menjadi rebutan pemuda desa Blahkiuh pada
masa itu.
Perkawinan tersebut sempat ditentang oleh orang tuanya yang mengharapkan
Kaler bisa mendapatkan gadis dengna derajat yang sama. Akan tetapi setelah Kaler
mendesak dan menunjukkan keinginannya yang besar untuk mempersunting gadis
pujaannya itu, membuat orang tuanya menyerah dan merestui perkawinan tersebut.
Perkawinan Kaler dengan Ni Ketut Moning menghasilkan Sembilan orang
putra putri yaitu : I Gusti Agung Ayu Sudartini, I Gusti Agung Ayu Sudarmi, I Gusti
Agung Ayu Sudarti, I Gusti Agung Sudarniti, I Gusti Agung Putu Sudarsana, I Gusti
14
Agung Made Sudarma, I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja, I Gusti Agung Ayu
Sudarningsih, dan I Gusti Agung Ayu Sudarmiati.
Kaler sebagai seorang kepala rumah tangga berusaha untuk selalu menjalankan
tugas dan kewajibannya dengan baik. Sebagai seorang bapak ia berusaha dekat dengan
anak-anaknya, diajaknya mereka untuk selalu terbuka dan membicarakan masalah-
masalah yang mereka hadapi.
Profesi sebagai seorang guru pada masa itu adalah profesi yang cukup
terpandang di masyarakat.Kaler yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar menyadari
pentingnya pendidikan untuk putra putrinya. Kepada mereka, ia sebagai seorang bapak
menanamkan suatu pengertian bahwa pengalaman itu adalah guru yang terbaik, rasa
tanggungjawab pada diri sendiri, hidup sederhana seperti masyarakat umumnya,
berwatak jujur dan bersikap sopan pada siapapun.
I Gusti Ketut Kaler dimata anak-anaknya adalah figur yang mempunyaiwatak
yang keras dalam hal disiplin, ia selalu bertanggungjawab dalam setiap tugasnya. Watak
dan sikap seperti itulah yang masih diingat mengenai ayahnya. Watak dan sikap Kaler
yang keras dan disiplin ini tidak membuatnya menjadi kaku dan menciptakan jarak
antara ia dan keluarganya.
Keluarga ini dikenal sebagai keluarga yang sederhana dan harmonis.Hubungan
antara suami, istri dan anak-anak berjalan baik.Keluarga I Gusti Ketut Kaler yang
termasuk kedalam keluarga lingkungan puri tidak menjadikan keluarga ini menjadi
sombong, melainkan sebaliknya.Keluarga ini oleh lingkungannya dijadikan tempat
untuk bertanya dan belajar mengenai kehidupan.Anak-anak bermain dan belajar disini,
para orang tua belajar mengenai lontar dan membicarakan masalah-masalah adat dan
perkembangan desa mereka.
15
Satu hal lagi yang patut di teladani dari keluarga ini adalah tersedianya waktu
untuk berlibur bersama menikmati alam.Kaler yang mempunyai kesenangan
memancing ikan di sungai, seringkali mengajak keluarganya turut serta sekaligus untuk
bersantai dan menikmati makanan yang dibawa dari rumah.Di saat-saat seperti inilah
keakraban anggota keluarga terbina.
Perhatian dan rasa kasih sayang terhadap putra-putrinya tidak hanya
diperlihatkan sejak mereka masih anak-anak melainkan terus berlanjut pada saat mereka
remaja dan menikah.Ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi anak-anaknya.
Salah satu pendapatnya mengenai keluarga yang selalu diingat oleh orang-orang yang
pernah dekat dengannya, adalah bahwasannya rumah merupakan tempat yang tepat
untuk menerapkan ilmu yang didapat sepanjang ilmu tersebut dapat menciptakan
kebaikan bagi keluarga tersebut.Keberhasilan pemimpin keluarga adalah tercermin dari
keharmonisan keluarga tersebut.
4.4 Masa Tua
I Gusti Ketut Kaler memasuki masa pensiun pada tanggal 1 September 1979,
dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Bagian Urusan Bali pada Kantor Agama Daerah
Tingkat I Bali.
Ia dikenal sebagai pemerhati masalah kebudayan serta adat istiadat Bali tetap
eksis memberikan pandangan dan pemikirannya serta juga lontaran kritik terhadap
kebijakan pemerintah mengenai masalah tersebut di atas. Kritik-kritik dan
pandangannya mengenai kebijaksanaan pemerintah dapat dilihat dari tulisan-tulisannya
di surat kabar seperti harian Bali Post. Usahanya untuk melestarikan budaya dan adat
istiadat Bali diwujudkannya dengan tulisannya yang dimulai pada tahun 1979 di harian
Bali Post dengan judul “Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali”.
16
Kaler berharap dengan adanya tulisan ini umat Hindu dapat lebih memahami
mengenai adat dan budayanya.Pentingnya umat Hindu di Bali memahami budaya dan
adat istiadat adalah dikarenakan hubungan Agama Hindu di Bali dengan budaya
berkaitan erat dan sejalan. Butir-butir tercecer tentang adat Bali akan sangat berguna
untuk melestarikan adat kehidupan umat beragama Hindu khususnya umat Hindu di
Bali.
Kegiatan I Gusti Ketut Kaler di masa tuanya selain menulis adalah,
memberikan pembekalan khusus berupa materi persiapan mahasiswa kedokteran yang
akan terjun ke masyarakat. Pembekalan tersebut diberikan dengan tujuan untuk
mempersiapkan mental dokter muda dalam menghadapi masyarakat yang
beragam.Dipercayanya Kaler untuk memberikan materi pembekalan tersebut, dengan
pertimbangan bahwa I Gusti Ketut Kaler merupakan orang yang tepat dan mengerti
benar permasalahan kemasyarakatan.
Memasuki tahun 1990-an, keaktifannya di luar rumah mulai berkurang.Hal itu
berkaitan dengan kondisi kesehatan fisiknya yang mulai menurun. Penyakit paru-
parunya mulai kambuh kembali, akan tetapi hal itu tidak menyurutkan minatnya untuk
terus menulis dan memposisikan dirinya sebagai orang yang terus konsisten terhadap
budaya dan adat istiadat Bali yang harus terus dipertahankan. Berdasarkan keterangan
dokter paru-paru yang merawatnya, kambuhnya penyakit paru-paru I Gusti Ketut KAler
adalah berkaitan dengan kebiasaan merokok yang tidak bisa ditinggalkannya.Selain itu
kebiasaannya begadang hingga larut malam tanpa mengindahkan kesehatan fisiknya.
I Gusti Ketut Kaler terus menuangkan ide-ide pemikirannya yang diketik
dengan mesin tik tuanya.Terkadang pada saat-saat tertentu Kaler mengundang para
wartawan untuk mendengarkan pandangan-pandangannya mengenai budaya dan adat
istiadat maupun kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah. Sampai pada akhirnya, Ia
17
tidak bisa lagi untuk mengetik sendiri naskahnya dan oleh pihak keluarganya
didatangkan asisten untuk mengetik. Salah seorang teman I Gusti Ketut Kaler yang
berprofesi wartawan yang sering diundangnya berdiskusi adalah I Gusti Ngurah
Supartha.Ia sering diajak mendiskusikan masalah-masalah yang sedang menghangat
terutama sekali masalah kebudayaan. Menurutnya Kaler adalah orang yang keras dan
konsisten dalam mempertahankan pendapatnya, misalnya pada tahun 1980-an muncul
kasus penggunaan kata-kata yang bersifat religi untuk kegunaan bidang komersial. Ia
beraksi dengan mengirimi surat kepada gubernur untuk memperhatikan hal tersebut.
Kemudian memasuki tahun 1995, penyakit yang dideritanya semakin parah dan
harus segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Sanglah.Setelah mendapatkan pemeriksaan
dan pengobatan dalam beberapa hari, kesehatannya tidak menunjukkan tanda-tanda
kesembuhan.Pada akhirnya pada tanggal 28 Desember 1995, I Gusti Ketut Kaler
menghembuskan nafas yang terakhir akibat penyakit paru-paru yang dideritanya.
BAB V
MASA PENGABDIAN I GUSTI KETUT KALER
18
5.1 Sebagai Pendidik
Perlu diingatkan kembali bahwa dalam medan informal tidak selalu ada guru
formal, berbeda dengan medan formal, dan non formal, misalnya apabila pengajaran
dilakukan secara perorangan yang mungkin juga mengambil tempat di rumah pribadi
seperti esring dilakukan oleh I Gusti Ketut Kaler. Pengajaran semacam itu, apabila
dilihat dari fungsi dan peranan guru di atas, berlangsung dalam situasi seperti itu terjadi
proses belajar dan mengajar secara resmi. Karena itu kedudukan guru dalam hal ini
digolongkan sebagai guru formal. Harus dibedakan dari kedudukan guru non formal dan
informal lainnya, dimana proses belajar mengajar antar guru dan murid tidak terjadi
dalam situasi resmi seperti itu.
Dengan mengikuti pembatasan guru atas tiga pengertian di atas kiranya akan
lebih memudahkan dalam memahami peranan I Gusti Ketut Kaler dalam profesinya
sebagai guru atau pendidik. Tahun 1941, I Gusti Ketut Kaler lulus dari Kursus Guru
Desa yang waktu itu bernama Inlandsch Volkonsderwijzer. Karir mengajarnya yang
pertama setelah tamat dari kursus Guru Sekolah Desa adalah di sekolah desa.Kemudian
pada tahun 1942, I Gusti Ketut Kaler dipindahtugaskan mengajar di Sekolah Desa
Blahkiuh di kampung halamannya.
Tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia termasuk juga daerah Bali.Dengan
bergantinya penjajah di wilayah Indonesia dengan sendirinya merubah sistem yang telah
ada sebelumnya.Perubahan tersebut juga terjadi dalam sistem pendidikan. Guru-guru
yang berasal dari pendidikan diberhentikan atau ditugaskan untuk mengikuti persamaan
pendidkan guru model Jepang. Sekolah tersebut bernama Rinsi Zyokyu Yoseizyo.
Sebagai seorang guru desa pada saat itu, Kaler mendapat kesempatan untuk
mengikuti Sekolah Persamaan Guru tersebut. Mulai Maret 1944 sampai dengan Maret
19
1945, ia mengikuti Rinsi Zyokyu Yoseizyo (Sekolah Pendidikan Guru) di Singaraja.
Setelah tamat dari Sekolah Pendidikan Guru tersebut, ia diangkat menjadi guru
Sihanggakko di Singaraja. Sekolah Shihanggakko ini adalah Sekolah Guru B. selain
mendapat tugas mengajar di Sekolah Guru B ia juga ditugaskan di Djosi Sihanggakko
(Sekolah Guru A) di Singaraja.
Pada dasarnya tujuan dari penerapan sistem pendidikan Jepang di wilayah
jajahannya Asia Timur Raya adalah untuk menanamkan semangat Hiokko Itiu yaitu
menanamkan arti perang Asia Timur Raya dan kemenangan di pihak Nippon. Oleh
karena itu dalam sistem pendidikan Jepang disamping belajar ilmu pengetahuan juga
diajarkan latihan baris berbaris dan latihan perang, mengerjakan kerajinan tangan
seperti memintal benang, merajut peralatan dari sabut kelapa dan sebagainya.
Suatu hal yang dianggap penting pada waktu itu adalah para pelajar diwajibkan
ikut menanam kapas dan pohon jarak seperti juga yang dikerjakan oleh masyarakat
banyak, dengan tujuan untuk membantu kepentingan perang.
5.2 Sebagai Pejuang
Pengabdian I Gusti Ketut Kaler pada bangsanya tidak saja terbatas dalam
bidang pendidikan melainkan juga ia turut serta dalam usaha mengusir penjajah.
Keterlibatannya terutama sekali saat terjadinya revolusi fisik di Bali tahun 1945-
1950.Keterlibatan Kaler dalam perlawanan terhadap penjajahan dapat dilihat dari
keaktifannya dalam Organisasi Kepemudaan yang mempunyai visi perlawanan terhadap
bangsa penjajah seperti Belanda dan Jepang.
Tanggal 19 Pebruari 1942, Jepang mendarat di Pulau Bali dengan perlawanan
yang tidak berarti dari tentara Hindia Belanda yang sudah berkuasa sebelumnya di
Pulau Bali. Pada awalnya kedatangan tentara Jepang di Pulau Bali membuat rakyat
20
ketakutan, karena umumnya tentara Jepang yang pertama kali mendarat di pulau Bali
berwajah seram, bengis dan kasar. Kemudian setelah tiga bulan mereka berada di Bali,
yaitu pada bulan Mei 1942, balatentara Jepang yang pertama kali mendarat di Bali
digantikan oleh Angkatan Laut Jepang. Serdadu-serdadu Angkatan Laut Jepang ini
mulai mendekati penduduk dengan cara beramah tamah.
Tidak lama kemudian, Angkatan Laut Jepang dengan resmi mulai menjalankan
pemerintahan sipil dengan pegawai-pegawainya didatangkan langsung dari negeri
Matahari Terbit.Pemerintahan sipil ini disebut Pemerintahan Minseibu, yang dikepalai
oleh Cokang yang berkedudukan di Singaraja. Untuk mendapatkan simpati dari rakyat
Indonesia pada umumnya dan rakyat Bali pada khususnya, pemerintah Pendudukan
Balatentara Jepang Raya mengatakan bahwa kedatangan mereka ini tiada lain adalah
untuk kepentingan Bangsa Asia yang terjajah.
Pada saat itu Jepang sedang menghadapi negara Serikat seperti : Amerika,
Inggris, dan Australia. Jepang berusaha mempropoganda masyarakat Indonesia pada
umumnya dan masyarakat Bali khususnya, bahwa perang tersebut merupakan perang
antara negara-negara Serikat dengan negara Asia yang termasuk di dalamnya negara
Indonesia.
Pemuda-pemuda Indonesia banyak yang direkrut untuk menjadi Tentara
Pembela Tanah Air (PETA) demi kepentingan perang tersebut.Demikian berhasilnya
propaganda yang dilancarkan oleh Jepang dengan lembaga khususnya Sendenbu-
Sendeka dan Naimobu, sehingga rakyat Indonesia tidak merasa jika tenaga dan hartanya
dikuras untuk kepentingan perang Jepang.
Kian hari permintaan penjajah Jepang kian bertambah seiring membengkaknya
keperluan perang.Sebagian besar hasil pertanian diambil untuk keperluan perang.
Pemerintah Jepang membentuk Barisan Pekerja Sukarela Bali (BPSB) yang nantinya
21
akan dikirim ke Sulawesi dan Kalimantan sebagai pelopor pembukaan lahan pertanian.
Akibat dari rongrongan ini lambat laun rakyat Indonesia tidak terkecuali rakyat Bali
menderita kemiskinan dan kelaparan yang hebat. Banyak rakyat yang mati, seperti
halnya Barisan Pekerja Sukarela Bali yang dikirim ke Kalimantan dan Sulawesi akibat
miskinnya pengetahuan akan wilayah yang baru dan persediaan makanan yang menipis.
Peperangan yang menimbulkan kemiskinan dan penderitaan ini menyadarkan
para pemuda untuk memberontak melawan penindasan.Mereka membentuk gerakan
bawah tanah yang dipimpin oleh Made Widjakusuma, I Gusti Ngurah Rai, Nyoman
Mantik, dan kawan-kawannya.Gerakan bawah tanah ini berusaha menjalin hubungan
dengan pemuda-pemuda di Jawa.
Pada saat itu I Gusti Ketut Kaler sudah mulai mengajar di Sekolah
Sihanggakko Sug sebagai guru Bahasa Indonesia.Ia sebagai pemuda merasa tergerak
untuk ikut gerakan tersebut. Sebagai seorang guru yang mengerti Bahasa Jepang, Kaler
bertugas untuk mengartikan dokumen-dokumen berbahasa Jepang ke dalam Bahasa
Indonesia. Selain itu, ia dan para pemuda lainnya bertugas untuk mempropagandakan
mengenai kebebasan dan persiapan untuk melawan penindasan Jepang. Sebagai seorang
guru Kaler tidak mendapatkan kesulitan yang berarti untuk menjelaskan kepada murid-
muridnya mengenai perlawanan-perlawanan para pemuda terhadap penjajah Jepang
untuk meraih kemerdekaan.Di Pulau Jawa dan pulau lainnya, semangat untuk merdeka
dengan melawan balatentara Jepang terus dikobarkan.
Persiapan-persiapan dan pembagian tugas sudah terencana dengan baik.Kontak
hubungan dengan pemuda Pergerakan di Pulau Jawa sudah terjalin. Melalui siaran radio
Jepang di Tokyo yang diterima para pemuda Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1945,
Bangsa Indonesia mengetahui kekalahan Jepang terhadap negara Sekutu. Kemudian
pada tanggal 17 Agutus 1945 Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno-Hatta.
22
Berita mengenai Proklamasi Kemerdekaan tersebut sesungguhnya sudah
langsung di dengar oleh pemuda-pemuda di Bali tidak lama setelah
pembacaannya.Akan tetapi tentara Jepang baru mengumumkannya pada tanggal 21
Agustus 1945.Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sekolah-sekolah
bentukan Jepang terlantar begitu saja.Namun keadaan ini tidak berlangsung lama, pada
tanggal 23 Agustus 1945 Mr. I Gusti Ketut Pudja tiba dari Jakarta.Ia memberitahukan
bahwa dirinya telah diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur Sunda Kecil.
Akan tetapi masyarakat masih berada dalam kebingungan bahwa dikabarkan
Pemerintah Republik Indonesia telah terbentuk namun kenyataannya tentara
pendudukan Jepang masih berkuasa.Mengenai masalah pendidikan, Gubernur Sunda
Kecil berinisiatif untuk mengaktifkan kembali sekolah-sekolah yang dulu telah
ada.Guru-guru pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dikumpulkan dan diberi tugas
untuk mengajar kembali.I Gusti Ketut Kaler yang dianggap sebagai orang yang
mengerti mengenai pengajaran mendapat tugas sebagai Kepala Sekolah di Sekolah
Rakyat Kesiman.Ia memutuskan untuk tidak membatasi mereka yang berkeinginan
untuk sekolah.
Tidak lama setelah ia dipindahtugaskan ke Kesiman Denpasar, pada tanggal 30
September 1945, lahirlah organisasi pemuda yang bersifat sentral dengan nama pemuda
Republik Indonesia (PRI). Dengan lahirnya PRI di Denpasar dan PESINDO di
Singaraja, semakin tegaslah kehendak pemuda-pemuda revolusioner yang tergabung di
dalamnya.Kedua organisasi pemuda ini mempunyai tujuan dan hasrat tegas terhadap
Indonesia Merdeka.
Sebagai seorang pemuda yang peduli akan perjuangan demi kedaulatan
bangsanya I Gusti Ketut Kaler masuk menjadi anggota PRI dan langsung dipercaya
sebagai Ketua Ranting Kesiman. Dalam waktu singkat, cita-cita dan semangat pemuda-
23
pemuda revolusioner sudah dapat meluas ke daerah-daerah lainnya.Para pemuda ini
mendukung sepenuhnya pemerintah Republik Indonesia merdeka secara perlahan dan
pasti mereka mulai menyusun kekuatan guna melawan tentara Jepang.
Bentuk perlawanan mereka mula-mula ditunjukkan melalui tuntutan yang
diajukan secara tertulis.Tuntutan mereka berupa pengakuan bahwa Bangsa Indonesia
telah merdeka dan berhak untuk mengatur wilayahnya.Akan tetapi tuntutan secara
tertulis tidak dihiraukan oleh tentara Jepang.Karena usaha tersebut tidak berhasil,
pemerintah dan rakyat Bali pada khususnya berdemonsntrasi dan menyampaikan
ultimatum penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan Indonesia.Pada akhirnya atas
desakan rakyat yang begitu besar, Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada
pemerintah sipil Propinsi Sunda Kecil di bawah kekuasaan Pemerintah Republik
Indonesia.
Pada tanggal 18 Pebruari 1946, tentara Serikat mendarat di Benoa dengan
membawa tugas melucuti tentara Jepang dan memulihkan keamanan.Kemudian pada
tanggal 2 Maret 1946, Serdadu Gajah Merah yang merupakan satu kesatuan alat
pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di bawah pimpinan F.H.
Ter Meulen mendarat di pantai sanur.Kedatangan pasukan Gajah Merah NICA yang
memboncengi tentara sekutu dengan tujuan untuk berkuasa kembali di wilayah
Republik Indonesia. Tanggal 11 Maret 1946, NICA melancarkan aksinya dengan
menangkap dan memenjarakan Gubernur Sunda Kecil Mr. Pudja, Ketua KNI (Komite
Nasional Indonesia) Manuaba, dan beberapa orang kepala jawatan pemerintah Republik
Indonesia.
Melihat situasi yang semakin tidak menentu pasca pendaratan tentara serikat
termasuk di dalamnya tentara NICA, Tentara Republik Indonesia (TRI) Sunda Kecil
yang dipimpin oleh Gusti Ngurah Rai merencanakan perfusion seluruh organisasi
24
perjuangan yang ada di Sunda Kecil. Pada tanggal4 April 1946 rencana tersebut
direalisasikan dengan pertemuan di desa Munduk Malang dengan pembentukan Dewan
Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah
Rai. Jadi jelas disini DPRI adalah penggabungan dari PRI dan PESINDO di satu pihak
dengan TRI dan resimen Sunda Kecil di lain pihak. Mereka dari PRI dan PESINDO,
sesuai dengan langkah perjuangan bersenjata, lalu dimobilisasikan ke dalam kesatuan
Tentara Resimen Sunda Kecil di bawah komando MBU (Markas Besar Umum).
I Gusti Ketut Kaler sebagai anggota PRI yang termasuk juga dalam Dewan
Perjuangan Republik Indonesia turut aktif menjalankan garis perjuanga yang
ditetapkan.Ia dan pemuda revolusioner lainnya bertugas menyadarkan masyarakat
pentingnya perjuangan, melatih para pemuda lainnya dalam Palang Merah, persiapan
persediaan bahan makanan dan pakaian serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
perjuangan. Segera pula disusun kesatuan-kesatuan dalam regu dengan pembagian yang
rapi, juga direncanakan penyerbuan perang gerilya, baik yang berupa serangan
mendadak, cegatan di jalanan, serbuan pos-pos musuh maupun aksi-aksi lainnya dengan
cermat dan teliti.
Penyerangan pertama terhadap tentara NICA terjadi di desa Bebetin, Buleleng
pada tanggal 9 April 1946, kemudian disusul dengan pertempuran-pertempuran lainnya
di Denpasar, Penebel Tabanan, dan daerah lainnya.Puncaknya adalah pertempuran
terbesar pada tanggal 20 Nopember 1946 yang dikenal dengan peristiwa Puputan
Margarana. Peristiwa ini menewaskan para pemimpin-pemimpin kesatuan DPRI antara
lain : Kolonel Ngurah Rai, Major Wisnu, Major Debes, Major Sugianyar, Letnan
Dwinda dan lain-lain.
Selanjutnya militer Belanda melakukan penangkapan terhadap pemuda-
pemuda revolusioner lainnya termasuk I Gusti Ketut Kaler.Kaler ditangkap dan
25
dipenjarakan di Penjara Denpasar dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1948. Selepas
dari penjara ia bergabung kembali dengan PDRI yang dipimpin oleh Ida Bagus Tantera
dan menjabat sebagai Komandan Awang-awang. PDRI dibawah pimpinan Tantera
bertekad untuk memperjuangkan Negara Republik Indonesia dalam bentuk kesatuan
dan berseru kepada seluruh rakyat agar tetap tenang dan waspada dari serangan musuh.
Pada tanggal 17 Januari 1948, terjadi perundingan antara Indonesia dan
Belanda yang disaksikan oleh Dewan Keamanan Bangsa-Bangsa (PBB) di atas sebuah
kapal yang bernama Renville yang kemudian dikenal dengan Persetujuan Renville.Pada
tanggal 14 Mei 1948, secara tidak diduga dan membuat kaget seluruh rakyat, Anggota
staf pimpinan MBU DPRI memutuskan untuk mengadakan penyerahan umum kepada
Dewan Raja-raja Bali.
Keputusan tersebut mereka laksanakan berdasarkan kesadaran untuk merubah
bentuk perjuangan kedalam bentuk perjuangan yang lebih nyata.Mereka sadar
kemerdekaan ini telah didapatkan, sekarang tinggalah bagaimana menyusun dan
membangun, agar kemerdekaan itu betul-betul sempurna dan kuat.
5.3 Sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Pertumbuhan dan perkembangan organisasi di Bali berkaitan erat dengan
perkembangan pendidikan di kalangan masyarakat Bali. Sebagai ciri tumbuhnya
kesadaran masyarakat akan kemajuan di bidang pendidikan, muncul gagasan dari
kalangan masyarakat terpelajar untuk mendirikan organisasi yang bercorak modern.
Pembukaan sekolah-sekolah modern sebagai imbas dari politik etis, lama-
kelamaan menjadi boomerang bagi pemerintah colonial karena sedikit demi sedikit para
pelajar mulai sadar tentang kehidupan sosia politik bangsanya yang masih terbelakang.
Kesadaran politik para pelajar di Bali pada awalnya adalah untuk meningkatkan harkat
26
dan harga diri masyarakat Bali, seperti dapat dilihat dengan berdirinya Perkumpulan
Setiti Bali di Singaraja pada tahun 1917.Hal ini sebagai reaksi atas pergerakan Sarekat
Islam yang dibawa oleh H.O.S Cokroaminoto di Bali.Perkumpulan ini berdiri sampai
tahun 1920, bergerak dalam bidang adat istiadat, agama, dan ekonomi.
Pada tahun 1920 di Denpasar berdiri Perguruan Taman Siswa yang dibawa
oleh I Putu Kaler dari Jawa, tetapi mengalami kemacetan.Pada tahun 1924, lahirlah
perkumpulan Shanti yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan dan kebudayaan
masyarakat Bali, namun perkumpulan ini tidak berlangsung lama karena timbul
pertentangan di kalangan anggota-anggotanya. Pertentangan yang tajam mengenai
masalah kasta yang menjadi sebab utama, sehingga pada tahun 1924 berdirilah Bali
Adnyana yang dipelopori oleh golongan Tri Wangsa seperti I Gusti Cakratanaya.
Golongan Jaba juga mendirikan perkumpulan sendiri yakni Suryakanta pada tanggal 1
Nopember 1925 yang dipelopori oleh I Ketut Sandi, Ketut Nasa, I Nengah Metra.
Perkumpulan Suryakanta ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal organisasi yang
bersifat nasionalisme karena pemimpin-pemimpinnya adalah para pelajar yang lulus
dari Jawa dan dapat mengecap pergaulan yang luas dan bersifat nasional.
Pada tahun 1933 di Denpasar berdiri organisasi yang bersifat nasional dan
bergerak dalam bidang pendidikan yaitu Taman Siswa atas inisiatif Nyoman
Pegeg.Taman Siswa ini bertujuan membangun semangat nasionalisme di kalangan
masyarakat Bali dan lebih banyak bergerak dalam bidang pendidikan.Lewat pendidikan
ini mereka dapat mengikuti perkembangan situasi politik di Jawa.Pada pertengahan dasa
warsa tahun 30-an, di kalangan perempuan Bali mulai ada kesadaran berorganisasi,
meskipun masih bersifat elit dan terbatas di kalngan intern saja yaitu dengan berdirinya
Perkumpulan Peroekoenan Istri di Denpasar tahun 1934. Pada tanggal 14 Juli 1935 di
27
Denpasar berdiri Perkumpulan Eka Laksana yang anggota-anggotanya terdiri dari
pelajar-pelajar Bali dan Lombok, mengukuhkan tali persaudaraan anggota-anggotanya.
Pada akhir tahun 1935 berdiri satu perkumpulan profesi yaitu Persatoean
Goeroe-Goeroe Denpasar yang dipelopori oleh guru-guru H.I.S. seperti : I Nyoman
Merta dan I Gusti Putu Merta. Pada tanggal 26 Juli 1936 berdiri perkumpulan Bali
Dharma Laksana sebagai hasil fusi dari 2 buah organisasi yang bertujuan sama yaitu
memperluas Studie Fond, untuk memperluas pendidikan dan pengajaran di kalangan
rakyat Bali. Fusi ini dilakukan oleh Bali Studi Fond Singaraja dengan Eka Laksana
Denpasar. Perkumpulan ini adalah perkumpulan yang terbesar dan terluas selama masa
penjajahan Belanda dan mempunyai pengaruh yang cukup mendalam tidak hanya di
pulau Bali saja, tetapi juga pada masyarakat Bali di luar pulau seperti Yogyakarta,
Surabaya, ataupun Makasar. Untuk menerangkan dan menyebarkan ide-idenya, Bali
Dharma Laksana mempunyai majalah yang terbit setiap bulan sekali yang bernama
Djatajoe.Bali Dharma Laksana pada mulanya adalah perkumpulan yang bergerak dalam
bidang sosial, tetapi lama kelamaan mulai terpengaruh oleh unsur-unsur politik karena
banyak anggota-anggotanya yang terlibat dalam partai politik.
Kemerdekaan RI yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal
17 Agustus 1945 menyebabkan semangat Rakyat Indonesia semakin menggelora. Berita
tentang Kemerdekaan RI di Bali dibawa oleh Mr. I Gusti Ketut Pudja yang telah
diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Gubernur Sunda Kecil Mr. I Gusti Ketut Pudja
tiba di Singaraja pada tanggal 23 Agustus 1945, dan kedatangannya ini menjelaskan
semangat rakyat semakin bergelora. Setelah kemerdekaan inilah muncul kembali
organisasi sosial politik Parrindo (Partai Rakyat Indonesia) di Denpasar pada tanggal 6
Desember 1946 yang diketuai oleh I Gusti Putu Merta. Parrindo didirikan dengan tujuan
memperjuangkan Indonesia Merdeka dan menghapuskan penjajahan di atas bumi
28
Indonesia.Dalam geraknya Parrindo lebih berorientasi memperjuangkan kemerdekaan
melalui pendidikan rakyat.Langkah nyata yang dilakukan Parrindo, yakni pada tanggal
8 Desember 1946 Parrindo mendirikan Sekolah Lanjut Umum dan Kursus-kursus
Pemberantasan Buta Huruf (PBH).Dengan konsep perjuangan yang dilakukan Parrindo
inilah menarik masyarakat luas hingga menyebar hampir di seluruh Bali.
Melihat gerak inilah pemerintah Belanda mulai resah.Untuk itu pemerintah
mulai melakukan ganjalan-ganjalan terhadap program-program Parrindo.Taktik pertama
adalah dengan mendirikan organisasi tandingan yaitu PADI (Partai Demokrasi
Indonesia) yang dipimpin oleh Dewa Agung Gde Oka yang tujuannya bekerjasama
dengan NICA.Taktik Belanda ini kurang berhasil malah Parrindo semakin lama
semakin besar.Oleh karena itu Belanda menggunakan taktik kedua yaitu memfitnah
para pemimpin Parrindo dan menuduh partai ini mempunyai niat tidak baik dan
mempunyai hubungan dengan para perusuh dan perampok. Dengan tuduhan itu
Parrindo dinyatakan sebagai partai terlarang dan I Gusti Putu Merta beserta pemimpin
yang lain ditangkap dan dipenjarakan. Tahun 1949 I Gusti Putu Merta dibebaskan oleh
pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT).
Konferensi Meja Bundar (KMB) di den Haag telah mengakhiri konflik
bersenjata antara Republik Indonesia dengan Belanda dan menjadikan NIT (Negara
Indonesia Timur) sebagai bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Di Bali,
para pejuang yang tergabung dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
kemudian menerima pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 dengan
turun dari gunung-gunung untuk menyambut pemerintah RIS. Dalam bidang politik
terbentuknya RIS menyebabkan suatu kestabilan, sehingga pada tanggal 15 Mei 1949
Gubernur Sunda Kecil mengumumkan dicabutnya keadaan Darurat Perang atau Staat
Orloog Van Beleg (SOB) hingga memungkinkan terbentuknya partai-partai politik
29
seperti : Partai Nasional Indonesia (PNI), Kesatuan Pemuda Nasional Indonesia (KPNI),
Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Rakyat Murba Indonesia (IRMI), dan lain
sebagainya.
Terbentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali diawali dengan PNI
cabang Singaraja pada tanggal 27 Maret 1950 yang kemudian disusul pembentukan PNI
cabang Jembrana, Tabanan, dan Badung. Dengan terbentuknya cabang PNI di beberapa
daerah di Bali muncul gagasan dari I Gusti Putu Merta untuk mendrikan Dewan
Pimpinan Daerah Bali.Atas usulan tersebut pada pertengahan bulan Mei 1950 diadakan
pertemuan di Denpasar untuk pembentukan DPD PNI daerah Bali. Dalam pertemuan itu
berhasil ditetapkan susunan pengurus DPD PNI daerah Bali yakni Ketua : I Gusti Putu
Merta; Sekretaris : I Gede Putu Kamayana; Bendahara : I Ketut Kaut.
Secara hitungan waktu, PNI adalah organisasi yang cepat berkembang dan
mendapatkan dukungan yang luas dari segala lapisan masyarakat Bali.Hal itu tidak
terlepas dari masuknya para elit bangsawan yang mempunyai pengaruh yang luas
terhadap rakyatnya.Selain itu PNI sebagai organisasi politik terbuka yang tidak
membedakan agama, suku dan ras, menarik minat rakyat Bali untuk bergabung.Seperti
juga rakyat Bali pada umumnya, I Gusti Ketut Kaler juga tertarik untuk masuk PNI dan
langsung menjadi Ketua Ranting PNI Blahkiuh, Badung, tempat dia berdomisili.
Pasca pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 oleh Belanda
kepada Indonesia, rakyat mendesak pemerintah untuk mengadakan perubahan. Tuntutan
rakyat akan perubahan tersebut antara lain : mengenai pembentukan susunan
pemerintahan yang baru sesuai dengan kehendak perjuangan dan jiwa nasional bangsa
Indonesia.
Tuntutan rakyat mengenai perubahan ketatanegaraan di Bali ditanggapi
pemerintah dengan mengadakan siding Peruman Agung pada tanggal 6 Juni
30
1950.Siding tersebut pada intinya menyetujui adanya perubahan di dalam susunan
pemerintahan di Bali.
Salah satu perubahan tersebut diantaranya adalah pembentukan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Bali.Pembentukan lembaga ini adalah masih bersifat
sementara dan pembagian kursi dewan diputuskan melalui kompromi politik.Kursi-
kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dibagi antara organisasi-organisasi politik
dan organisasi-organisasi lainnya yang ada tanpa memperhatikan besar kecilnya
keanggotaan.
Berdasarkan kompromi politik tersebut terbentuklah DPRD Bali dengan 41
anggota yang keanggotaannya terdiri dari : Partai Nasional Indonesia, Masyumi, KPNI,
IRMI, GBI, Persatuan Wanita Indonesia, Golongan Tani, serta orang-orang yang tidak
terikat partai dan organisasi.
Pelantikan anggota DPRD Bali yang pertama dilaksanakan pada tanggal 25
September 1950 di Pendopo Bali Hotel Denpasar.I Gusti Ketut Kaler adalah salah
seorang yang terpilih untuk duduk di kursi DPRD Bali mewakili organisasi politik
PNI.Dipercayakannya Kaler mewakili PNI di DPRD Bali yang pertama, adalah
berdasarkan pertimbangan sikapnya yang tegas dalam mempertahankan pendapat.Orang
yang mempunyai sikap tegas dan mewakili suara rakyat yang pantas duduk di Lembaga
Perwakilan Rakyat.
DPRD Bali yang mewakili rakyat Bali mempunyai rasa tanggung jawab yang
besar untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat Bali.Peranan I Gusti Ketut Kaler
dalam Lembaga Perwakilan Rakyat adalah bersifat kolektif, artiya hasil-hasil keputusan
yang diambil DRPD adalah bersifat bersama.Akan tetapi ada beberapa keputusan
penting yang dihasilkan DPRD Bali atas usaha PNI untuk meningkatkan kesejahteraan
petani.Salah satu keputusan tersebut adalah ditetapkannya peraturan tentang
31
penyakap.Peraturan ini dibuat karena sering terjadinya pencabutan tanah garapan secara
sewenang-wenang oleh pemilik tanah. Selanjutnya DPRD Bali juga menghasilkan suatu
keputusan yang berkaitan dengna martabat wanita Bali yakni, peraturan mengenai
larangan memotret wanita Bali. Pelarangan yang dimaksud adalah pemotretan wanita
Bali dalam keadaan terbuka dadanya lebih-lebih dalam keadaan telanjang.
Di samping itu, PNI lewat wakil-wakilnya di DPRD juga telah
memperjuangkan pengembangan Industri Kecil dan sektor pariwisata di Bali.I Gusti
Ketut Kaler aktif menjadi anggota DPRD Bali sejak DPRD Bali yang pertama sampai
dengan tahun 1960. Dalam kurun waktu tersebut telah banyak yang ia sumbangkan bagi
masyarakat Bali. Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir jabatannya di DPRD sebagai
wakil ketua dewan.Sebagai anggota dewan, I Gusti Ketut Kaler pada masa situ dikenal
sebagai anggota yang rajin turun ke desa-desa.Tujuannya turun ke desa adalah untuk
lebih dekat dengan rakyatnya dan mensosialisasikan keputusan-keputusan dewan.
Tak lama setelah lepas dari jabatan tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Agustus
1960 I Gusti Ketut Kaler diangkat kembali sebagai anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS).Ia diangkat sebagai utusan alim ulama Hindu Bali. Pada
posisinya yang baru inilah peranannya cukup dirasakan bagi proses pengakuan agama
Hindu di Indonesia.
Proses untuk mendaptkan legalitas dari Pemerintah mengenai Agama Hindu
sudah dimulai sejak tahun 1952. Dewan Pemerintah Daerah Bali pada tanggal 14
November 1952 mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara
Daerah Bali untuk membentuk Dinas Agama Otonom Daerah Bali. Usulan tersebut
disetujui dengan dikeluarkannya surat keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Bali tanggal 24 Maret 1953. Dengan dibentuknya Dinas Agama Otonom Daerah Bali,
pelayanan keagamaan umat Hindu lebih baik dari yang sebelumnya.
32
Memasuki tahun 1957, kaum intelektual Hindu lebih banyak mengadakan
konferensi untuk membicarakan perjuangan memperoleh pengakuan dan kedudukan
Agama Hindu Bali dalam Kementerian Agama.Pada tanggal 28 sampai dengan 31 Juli
1957 berlangsung Konferensi Angkatan Muda Hindu Bali.Konferensi ini berlangsung di
Denpasar atas inisiatif dari gerakan Kumara Bhavana yang dipimpin oleh Wedastera
Suyasa. Masalah yang dibahas dalam konferensi ini adalah : pertama, Agama Hindu dan
perjuangannya; kedua, masalah pendidikan, kebudayaan, tourisme dan perjuangannya;
ketiga, organisasi-organisasi dan perjuangannya.
Pada tahun 1958 pihak Kementerian Agama Republik Indonesia meminta agar
Jawatan Agama Hindu Bali yang otonom itu segera dibubarkan, karena memang sudah
tidak disetujui dari sejak berdirinya. Sementara itu, pihak Kementerian Agama belum
memberikan kepastian tentang diterimanya Agama Hindu Bali menjadi bagian dalam
Kementerian Agama.Oleh karena itu, Kaum Intelektual Hindu memandang perlu
mengadakan Gerakan Aksi Bersama. Gerakan ini dipimpin oleh I Gusti Ketut Kaler dari
Dinas Agama dan akan segera mengirimkan delegasinya ke Jakarta.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh gerakan ini adalah, mengirim telegram
atau surat kilat kepada Menteri Agama, perdana menteri, Presiden, Dewan Nasional,
Ketua Parlemen, Ketua Konstituante, Menteri Dalam Negeri, Penguasa Perang Pusat,
Kepala Daerah Setempat (Walikota, Bupati, Residen, Gubernur), dan sebagainya. Isi
dari telegram tersebut adlah menuntut dengan segera diadakannya Bagian Hindu Bali di
dalam Kementerian Agama Republik Indonesia; Mempertahankan Kedudukan Jawatan
Agama Hindu Bali Otonom; menghapuskan Kementerian Agama yang ada atau
meninjau kembali struktur organisasi kementerian Agama dan menuntut agar semua
agama di Indonesia mendapat perlakuan yang sama.
BAB VI
BEBERAPA HASIL KARYA I GUSTI KETUT KALER
33
Semasa hidupnya I Gusti Ketut Kaler selain dikenal sebagai budayawan,
pemerhati masalah adat istiadat, Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang cukup
produktif. apabila dipilah-pilah karyanya yang terpenting adalah : (1) Dalam bidang
Agama ; (2) dan bidang Kebudayaan khususnya masalah adat. Hasil karya I Gusti Ketut
Kaler tersebut berupa artikel yang dimuat di majalah ataupun surat kabar dan juga
dalam bentuk buku yang telah diperbanyak.
Untuk mengetahui ide-ide pemikiran I Gusti Ketut Kaler, dalam bab ini akan
diungkapkan hasil karya I Gusti Ketut Kaler; seperti kumpulan tulisannya di Harian Bali
Post mulai tahun 1979 sampai dengan tahun 1981, yang kemudian diterbitkan dalam
bentuk buku oleh percetakan CV. Kayumas Agung Denpasar.
6.1 Hasil Karya Dalam Bidang Agama
Dengan latar belakang jabatan yang pernah disandangnya di Kantor Urusan
Agama, sedikit banyak dapatlah dipahami konstribusi pemikirannya dalam bidang
agama.Salah satu wujud nyatanya tersebut yakni perjuangannya untuk menuntut
pengakuan Agama Hindu sebagai salah satu agama yang diakui secara resmi di
Indonesia. Ia dipercaya untuk mengkoordinir suatu aksi yang dikenal dengan “Gerakan
aksi bersama menuntut bagian Hindu dalam Kementerian Agama Republik Indonesia”,
pada than 1958, dan perjuangannya ketika menjabat sebagai anggota MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementera) yang dijabatanya dari tahun 1960-1968. Semasa
menjabat di MPRS, I Gusti Ketut Kaler turut mengkonsep dan memperjuangkan
Rancangan Ketetapan (Rantap) MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1967, tentang
peningkatan Biro Hindu Bali Departemen Agama menjadi Direktorat bahkan menjadi
Direktorat Jenderal. Sedangkan hasil karya tulisannya dalam bidang agama adalah,
34
seperti misalnya :Tuntunan Muspa yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1971 oleh
penerbit Guna Agung, Denpasar.
Pada masa itu Kaler menyadari bahwa telah cukup banyak buku yang berisikan
tuntunan dan bimbingan mengenai pelaksanaan ajaran Agama Hindu.Akan tetapi buku
tersebut huruf dan bahasanya masih menggunakan sistematika lontar.I Gusti Ketut
Kaler mempunyai kesimpulan bahwa generasi muda kebanyakan tidak dapat membaca
dan memahami apalagi untuk mengambil pelajaran dari padanya.Keadaan seperti inilah
yang mendorong I Gusti Ketut Kaler menulis buku-buku tuntunan ajaran Agama Hindu
ke dalam bahasa yang mudah dipahami.Terbukti setelah buku tersebut diterbitkan,
sambutan masyarakat begitu besar.
Selain alasan tersbeut di atas penyusunan buku Tuntunan Muspa, sebagaimana
ditulis dalam kata pendahuluannya, Kaler mempunyai harapan agar masyarakat Hindu
khususnya di Bali melaksanakan ajaran agama dengan baik, mengerti apa yang
dilakukannya, tidak sekedar Mulo keto, memang begitu adanya tanpa ada usaha untuk
mengetahui latar belakang perintah ajaran tersebut. Buku Tuntunan Muspa ini
memberikan gambaran atau cara-cara bersembahyang umat Hindu kepada Tuhannya
secara lebih praktis dalam pemahamannya.
Kaler memberikan keterangan mengenai Muspa menjadi beberapa bagian,
bagian pertama mengenai persiapan Muspa.Persiapan yang harus dilakukan oleh umat
sebelum Muspa pertama adalah Wahya, yakni persiapan pengetahuan mengenai gerak
dan sikap diri mengenai pelaksanaan Muspa.Kedua, Adyamika atau sikap batin yang
baik.Untuk melakukan sembah yang baik adalah ketenangan hati.
Lebih jelasnya Kaler memberikan penjabaran langkah-langkah persiapan
Muspa serta alat-alat yang digunakan sebagai berikut :
35
1. Asuci Laksana, mandi atau membersihkan tubuh serta berpakaian bersih dan
sopan.
2. Bunga, adalah lambang dari kesucian hati dan jiwa. Gunakanlah bunga yang
segar sebagai bentuk dari kesungguhan hati.
3. Dupa, apinya dupa adalah Angga Sarira Hyang Agni. Api dengan sinarnya,
adalah penerangan dalam alam ini. Ini berarti bahwa Hyang Agni adalah maha
melihat atau saksi dari segala perbuatan manusia.
4. Air, hendaklah air yang digunakan adalah air bersih. Walaupun sebelumnya
sudah mandi dan menyucikan diri, maka pada permulaan Muspa hendaknya
berkumur dan cuci tangan. Ini penting dilakukan karena dalam Muspa kedua indra
inilah yang paling besar peranannya.
Dalam bab lain Kaler juga, menerangkan mengenai sikap Muspa yang baik.
Sikap Muspa yang baik yaitu :
1. Tempat duduk atau posisi duduk. Hendaklah dalam menentukan tempat duduk
atau posisi duduk di depan atau menghadap Pelinggih atau Stana dari Ida
Sanghyang Widhi dalam jarak seperlunya.
2. Sikap duduk. Cara duduk untuk Muspa yang baik adalah masila untuk pria dan
matimpuh untuk wanita. Usahakan sikap duduk tersebut dengan badan yang tegak
tetapi tidak kaku.
3. Katupan tangan. Kiranya sudah jelas, bahwa Muspa diwujudkan dengan
mengatupkan yang pada ujung jarinya berisi sedikit bunga serta diangkat naik
setinggi kepala.
4. Letak bunga. Dalam Muspa bunga digunakan dengan cara menjepitnya di
ujung jari. Bunga adalah perwujudan dari kesucian hati. Oleh karena itu jepitlah
36
bunga di antara jari tengah kedua belah tangan. Kesucian hati yang dilambangkan
dengan bunga merupakan tajuk dari pelaksanaan Muspa.
5. Sikap hati. Muspa harus dilakukan dengan kesucian dan ketenangan hati.
Ketenangan hati dapat dicapai dengan mengurangi pengaruh-pengaruh yang
menyentuh hati. Pengaruh itu biasanya datang dari Panca Indra terutama mata.
Untuk ketenangan hati hendaklah mata dipejamkan waktu melaksanakan Muspa.
Pernapasan yang teratur juga merupakan usaha untuk menenangkan hati.
Selanjutnya mengenai Muspa itu sendiri Kaler menerangkan urutan
pelaksanaannya sebagai berikut :
a. Muspa puyung (pendahuluan sembah), dengan tangan lebih tinggi dari ubun-
ubun dan mengucapkan puja ; “Om, atma tatwatma suddhamam ya nama swaha”.
Yang mempunyai arti ; “Ya Tuhan, jiwatma hamba pada hakekatnya suci, hingga
wajarlah hamba berhubungan dengan Dikau” kemudian tangan diturunkan.
b. Melakukan sembah. Sembah dilakukan dengan bunga di tangan dan
mengangkatnya lebih tinggi dari ubun-ubun dengan membaca puja-puja.
c. Muspa puyung (penutup sembah) dengan tangan lebih tinggi dari ubun-ubun
dan mengucapkan puja ; “Om, dewa suksma parama cintia ya nama swaha; Om,
canti, canti, canti”. Yang artinya ; “Ya Tuhan, dipersilahkan kembali secara gaib ke
kahyangan, hamba telah selesaikan Muspa yang kita lakukan”.
Dari buku Tuntunan Muspa ini bisa digambarkan mengenai ide-ide I Gusti
Ketut Kaler untuk memudahkan pemahaman perintah agama untuk dilaksanakan.
Idenya itu diwujudkan ke dalam buku hasil dari alih bahasa yang mudah dimengerti
oleh generasi sekarang.
Hasil karya yang lain, adalah Cudami Pewiwahan / Perkawinan Dalam
Masyarakat Hindu di Bali. Buku ini mengungkapkan tentang masalah agama dan
37
kaitannya dengan masalah budaya khususnya mengenai perkawinan dalam masyarakat
Hindu di Bali.Dalam tulisannya ini I Gusti Ketut Kaler menerangkan masalah makna
perkawinan yakni, ikatan lahir batin, bahkan kemanggulangan pribadi antara seornag
laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kaler dalam bukunya juga menerangkan syarat dan larangan perkawinan dalam
masyarakat Hindu Bali. Syarat perkawinan tersebut ialah :
1. Tentang Umur. Secara pasti mengenai umur berapa angka tahun tertentu
memang tidak ada, akan tetapi seorang wanita boleh melakukan perkawinan apabila
telah dewasa. Kedewasaan wanita ditandai dengan datang bulan/menstruasi,
sedangkan pada kaum laki-laki apabila sudah bekerja atau berpenghasilan.
2. Kesehatan. Kesehatan yang dimaksud disini adalah keadaan fisik atau jasmani
yang sehat dan tidak memiliki cacat atau penyakit menahun. Contoh dari penyakit
menahun tersebut antara lain : a). Gila atau sakit ingatan; b) Lelaki mandul atau
impoten; c). Lelaki yang basur atau buah pelir membesar; dan d). Wanita kuming
atau tidak pernah datang bulan.
Dalam sub bab upacara pokok dalam perkawinan I Gusti Ketut Kaler
mengungkapkan unsur-unsur upacara apa yang harus dilaksanakan. Unsur-unsur
upacara tersebut antara lain adalah : 1). Adanya sesajen yang dihaturkan ke Surya
(matahari) dan di Pemerajan (tempat sembahyang keluarga). 2). Hadirnya wakil
masyarakat (biasanya Prajuru Desa minimal Kelihan Desa) selaku unsur Manusa Sakti
dalam wujud yang sebenarnya. 3). Disajikannya Sajen Byakala / Pekala-kalaan oleh
kedua mempelai selaku sarana penyucian. 4). Disajikannya sajen sesayut oleh kedua
mempelai, selaku upaya keagamaan untuk mengikat kedua pribadi yang bersangkutan
guna menjadi tunggal selaku suami istri.
38
Setelah selesai upacara perkawinan khusus dalam lingkungan keluarga,
selanjutnya dilaksanakan acara yang melibatkan masyarakat. Tujuan dari pelaksanaan
upacara yang melibatkan masyarakat adalah :
1. Untuk memberitahukan kepada masyarakat lingkungan mengenai telah
terjadinya perkawinan tersebut, sehingga keabsahannya mendapatkan dukungan,
pengakuan, dan penghormatan masyarakat.
2. Dengan terjadinya perkawinan tersebut berubahlah kedudukan masing-masing
yang bersangkutan dalam keluarganya. Secara langsung berubah pulalah
kewajibannya dalam masyarakat desa atau banjar.
Dari tulisannya ini, I Gusti Ketut Kaler menyumbangkan pemikirannya
mengenai pelaksanaan perkawinan yang berlaku pada masyarakat Hindu di Bali.Ia
berharap buku ini dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam pelaksanaan upacara
perkawinan yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu sekaligus sejalan dengan budaya
masyarakat Bali.
6.2 Hasil Karya dalam Bidang Kebudayaan
Salah satu perhatian yang besar I Gusti Ketut Kaler dalam wujud kebudayaan
adalah dalam wujud permasalahan adat.Menurut Koentjaraningrat ada tiga wujud
kebudayaan. Wujud pertama adalah, cultural system (ide-ide), gagasan, nilai, norma,
peraturan ; kedua, cocial system (kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia
dan masyarakat); dan ketiga, artifacts (kebudayaan fisik).
Adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat merupakan salah satu dari wujud
kebudayaan. Adat terkatagori dalam wujud kebudayaan cultural system yang artinya
adat merupakan suatu gagasan, nilai, norma yang berisi peraturan yang berlaku pada
masyarakat tertentu.
39
Masalah adat menjadi salah satu perhatian I Gusti Ketut Kaler.Bentuk
perhatiannya itu diwujudkan dalam tulisan mengenai adat yang dimuat dalam Harian
Umum Bali Post.Hasil karya I Gusti Ketut Kaler dalam bidang Adat Bali yang
dirasakan kegunaannya bagi usaha pelestarian adat kehidupan umat Beragama Hindu di
Bali, adalah bukunya yang berjudul Butir-buti Tercecer Tentang Adat Bali.Buku ini
diterbitkan dalam 2 jilid oleh percetakan CV. Kayumas Agung, dan merupakan
kumpulan tulisannya di harian Bali Post tahun 1979-1981.Buku Butir-Butir Tercecer
Tentang Adat Bali diterbitkan pertama kali tahun 1982 dan kemudian atas permintaan
masyarakat buku tersebut dicetak kembali pada tahun 1994.
Kecenderungannya untuk menulis mengenai adat yang tercecer timbul dari rasa
tanggung jawabnya untuk mewariskan nilai-nilai budaya dalam hal ini adalah masalah
adat.Kaler menyadari adanya pergeseran jaman pada masa ini, dimana orang tua hampir
tidak ada waktu untuk bercerita tentang adat yang berlaku pada masyarakat. Oleh
karena itu ia berkenan untuk menuliskannya dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh
generasi sekarang.
Buku Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali, berisikan kumpulan materi
mengenai adat yang berlaku pada masyarakat Bali. Adat yang berlaku pada masyarakat
berkaitan erat dengan permasalahan agama dan kehidupan sosial masyarakatnya.Salah
satu materi adat yang berkaitan dengan kedua hal tersebut di atas adalah konsep Tri Hita
Karana.Secara harfiah kata demi kata mempunyai arti :Tri, artinya tiga ; Hita, artinya
baik, senang, lestari; dan Karana, artinya sebab musabab atau sumbernya sebab. Jadi
kata Tri Hita Karana jika dirangkaikan mempunyai arti Tiga buah unsur yang
merupakan sumbernya sebab timbulnya kebaikan.
Jelas disini Tri Hita Karana adalah yang menjadi landasan untuk mencapai
kebahagiaan manusia lahir dan bathin.Ketiga sebab utama tersebut dapat dicerminkan
40
dalam hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), antara
manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan hubungan antara manusia dengan alam
sekitarnya (Palemahan).
Manusia tetap manusia.Ia dilengkapi oleh cipta, rasa dan karsa, selaku daya
kemampuan jiwa sesuai dengan anugerah-Nya. Manusia, tidaklah puas hanya dengan
menempati Bhuana Agung dalam keadaan alamiah semata sebagai wadah baginya.Dari
hasil interaksi sesama manusia, mereka mulai membuat rumah, banjar, desa, dan bahkan
membentuk suatu negara sebagai wadah bersama.
Sejalan dengan pembentukan wadah tersebut konsep Tri Hita Karana selaku
unsur tri tunggal diterapkan pula dalam bentuk wadah tersebut misalnya :
1. Rumah
a. Unsur Tuhan (Parahyangan) dilambangkan dalam bentuk Pemrajan / Sanggah
(tempat umat Hindu bersembahyang sehari-hari).
b. Unsur manusia (Pawongan) sebagai yang menempati rumah tersebut.
c. Dan bangunan rumah secara keseluruhan sebagai wujud dari Palemahan.
2. Desa
a. Unsur Tuhan (Parahyangan) diwujudkan dalam bentuk Pura Desa.
b. Semua warga desa merupakan perwujudan dari Pawongan.
c. Tanah wilayah desa termasuk di dalamnya daerah pemukiman adalah
palemahannya.
Konsep Tri Hita Karana pada masa pembangunan sekarang ini mempunyai
keterkaitan yang erat.Konsep ini bisa dijadikan sebagai landasan pembangunan
masyarakat maupun pembangunan fisik, khususnya di Bali.
Kesepakatan tokoh-tokoh Bali mengenai keselarasan konsep ini dengan
permasalahan pembangunan, tercermin dalam Diskusi Terbatas bertema “Tri Hita
41
Karana, Tafsir Konstektual dan Tantangan Dalam Penerapannya”, yang diadakan oleh
Harian Umum Bali Post di Rumah Makan Sari Warta Boga, Sabtu, 9 Agustus 1997.
Menurut Ketut Wiana, Tri Hita Karana merupakan konsep yang hendak
dipakai untuk mencapai tujuan hidup yaitu :Dharma, Artha, Kama, dan Moksha.
Pencapaian tujuan ini memerlukan suasana keharmonisan yang bisa dicapai dengan
konsep Tri Hita Karana, oleh karena itu konsep ini harus dijabarkan dalam konsep tata
ruang, sehingga terwujud kehidupan yang harmonis.
Sedangkan Ir. Nyoman Gelebet berbicara lebih kongret mengenai masalah ini,
menurutnya bagaimanapun konsep Tri Hita Karana harus diwujudkan menjadi
Peraturan Daerah (PERDA) Tata Ruang dan Pola Dasar Pembangunan Bali agar tidak
hanya menjadi pasal karet.
Ibu Gedong Bagoes Oka dalam pendapatnya mengenai konsep Tri Hita Karana
adalah, sesungguhnya jiwa dari konsep ini ada dalam Veda/Vedanta.Konsep ini
hendaknya dipakai sebagai pegangan Umat Hindu dalam menciptakan kehidupan
masyarakat yang sejahtera, Jagat Thita.Sejahtera menurut Visi Vedanta ialah, hidup
manusia dimana dirangsang pemikiran dan sikapnya untuk meningkatkan diri, hingga
menuju dan menempuh jalan ke Widhi (Tuhan).Konsep Tri Hita Karana memberikan
petunjuk singkat dan jelas bagaimana manusia bisa menciptakan keharmonisan.
Pada diskusi ini sempat muncul polemik terhadap permasalahan siapa yang
sesungguhnya memunculkan konsep Tri Hita Karana tersebut.
Menurut I Made Japa, orang yang tahu banyak awal mula lahirnya konsep Tri
Hita Karana, konsep ini dalam situasi tatanan kemasyarakatan yang kacau balau akibat
peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Masyarakat pemberontakan Partai
Komunis Indonesia.Masyarakat satu dengan yang lainnya saling curiga, terjadi
perkelahian hampir setiap hari antar banjar bahkan antar desa.
42
Akibat situasi yang semakin memanas tersebut, para tokoh Bali seperti Ida
Bagus Mantra, I Gusti Ngurah Pindha dan I Gusti Ketut Kaler berinisiatif membentuk
Badan Perjuangan Umat Hindu Bali (BPUHB) dan Badan Perjuangan Umat Hindu
Dharma).Kedua organisasi ini bertugas memberikan pemikiran dan rumusan pemecahan
masalah yang berkembang di masyarakat.
I Gusti Ketut Kaler selaku Pimpinan Kantor Agama Daerah (KAD) turun ke
desa-desa untuk memberikan penyuluhan dengan mengacu pada konsep Tri Hita
Karana. Dengan adanya penyuluhan dan proses sosialisasi konsep Tri Hita Karana oleh
I Gusti Ketut Kaler, masyarakat Bali mulai hidup dengan tenang. Atas dasar
keberhasilan inilah, kedua organisasi perjuangan umat Hindu sepakat bahwa konsep Tri
Hita Karana dijadikan acuan dalam pelaksanaan penyuluhan agama dan adat di desa-
desa.
Bahkan menurut Ngurah Oka Supartha, I Gusti Ketut Kaler telah menyusun
buku mengenai awig-awig desa di Bali.Buku ini berisi pedoman dalam penyusunan
peraturan desa.
Sedangkan menurut Merta Sutedja, konsep Tri Hita Karana adalah hasil
pemikirannya yang ia rumuskan pada tahun 1968. Konsep ini Ia ciptakan dari rasa
keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Bali pada masa itu. Untuk pertama kali
konsep ini ditulisnya dengan ejaan Tri Ita Karana dengan unsurnya manusia, urip dan
bhuana. Konsep Tri Hita Karana menurut Merta Sutedja adalah hasil pemahamannya
mengenai terhadap Lontar Sutasoma dan Lontar Ramayana.
Untuk mensosialisasikan konsep ini Merta Sutedja menghadap I Gusti Bagus
Sugriwa dan I Gusti Ketut Kaler, dua tokoh budayawan Bali dan sekaligus mantan
gurunya di Sekolah Dasar Kayumas Kelod Denpasar.Kedua tokoh ini sangat senang dan
mendorong Merta Sutedja untuk terus menggali kebudayaan Bali.
43
Berdasarkan data yang ada untuk menentukan pencetus konsep Tri Hita Karana
memanglah sulit. Dari kedua belah pihak mempunyai bukti-bukti yang mendukung,
akan tetapi untuk saat ini permasalahan tersebut tidaklah begitu penting untuk
dipermasalahkan. Seperti juga kesepakatan yang terjadi dalam diskusi mengenai konsep
Tri Hita Karana.Peserta diskusi tersebut seperti Ir. Nyoman Gelebet dan Ibu Gedoeng
Bagoes Oka sepakat bahwa permasalahan tersebut tidak perlu dimunculkan, karena
sekarang yang terpenting adalah bagaimana menerapkan konsep tersebut secara nyata.
Pada dasarnya konsep ini pada tataran ide memang cukup baik.Konsep Tri Hita
Karana memberikan gambaran kepada masyarakat Bali tentang pentingnya
keseimbangan.Batasan-batasan terhadap eksploitasi alam, hubungan dengan sesama
manusia dan rasa syukur kepada penciptanya.Niat baik pemerintah daerah Bali untuk
menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai landasan pembangunan daerah adalah
langkah yang baik.Akan tetapi tidaklah hanya sekedar wacana belaka yang hanya
dibicarakan dalam forum diskusi tanpa ada wujud nyata pelaksanaanya.
Perkembangan Pariwisata Budaya yang dicanangkan pemerintah daerah Bali
sudah seharusnya memikirkan konsep Tri Hita Karana menjadi Peraturan Daerah
(PERDA), yang mendukung perkembangan Pariwisata Budaya.
Perihal lainnya yang tertulis dalam buku Butir-butir Tercecer Tentang Adat
Bali adalah permasalahan hubungan kemasyarakatan, misalnya tenggang rasa kepada
tetangga.Hokum adat Sepat Gantung sebagai contoh. Hokum adat ini diterapkan untuk
memecahkan persoalan adanya tanaman atau bangunan yang melanggar pekarangan
orang lain. Sepat gantung adalah suatu alat yang biasanya digunakan buruh bangunan
untuk membuat garis lurus vertical (atas bawah).
Contoh kasus, apabila ada pohon buah yang mana batang dahannya melewati
batas tanah pekarangan orang lain, apabila ada kesepakatan diantara keduanya (pemilik
44
pohon dan pemilik tanah yang dilanggar) membiarkan dahan yang melanggar untuk
tidak dipotong dengan syarat buah dahan tersebut menjadi milik tanah yang dilanggar.
Dalam hal bangunan Hukum Adat Sepat Gantung adalah suatu acuan bagi seseorang
dalam mendirikan bangunan, seperti bagian atap atau talang melanggar batas tanah
orang lain.
Ide pemikiran I Gusti Ketut Kaler dalambidang kebudayaan tidak saja terbatas
pada permasalahan adat saja melainkan juga bentuk kebudayaan lainnya.Kebudayaan
bercocok tanam pada masyarakat Bali yang berciri khas pengairan yang dikenal dengan
Subak menjadi perhatiannya juga. Wujud perhatiannya dapat dilihat dari surat
bertanggal 17 Agustus 1975, yang dikirim kepada Instansi Pertanian mengenai “Satu
gagasan tentang Cagar Budaya” (Museum Subak). Kaler memandang perlu didirikan
museum Subak di Bali dengan beberapa pertimbangan :
1. Subak, adalah suatu lembaga pengaturan perairan sawah yang hanya ada di
Bali.
2. Sebagai suatu lembaga asli / tradisional, ia tidak terlepas dari terjangan proses
akulturasi kebudayaan.
3. Oleh karena itu selagi masih ada informan, data, dan kelengkapannya yang
berkaitan dengan Subak perlu didirikannya museum Subak.
Secara lebih jelasnya mengenai tujuan pendirian Museum Subak, Kaler
memberikan penjelasannya :
1. Menghimpun berbagai macam benda dan data tentang Subak serta yang
bertalian dengan itu, dan menyuguhkannya selaku sarana penelitian / studi.
2. Menyelamatkan / mengamankan berbagai benda tentang dan yang bertalian
dengan Subak, khususnya yang mempunyai nilai sejarah.
45
3. Menyuguhkan penerangan secara visual dan dramatisasi tentang dan yang
bertalian dengan Subak, baik untuk pelajaran / penelitian maupun bagi wisatawan.
Usulan mengenai pembangunan Museum Subak ini ditanggapi dan diterima
oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, pada masa
itu.
Pada musim tanam tahun 1979, Subak Rijasa memperoleh juara I Supra Insus
Tingkat Nasional, berhubungan dengan hal tersebut, gubernur mempunyai gagasan
untuk mendirikan Museum Subak di Desa Sanggulan, Kabupaten Daerah Tingkat II
Tabanan. Pada tahun 1979 pembangunan Museum Subak ini mulai dilaksanakan, dan
secara resmi dibuka pada tanggal 13 Oktober 1981.
Museum Subak ini terdiri dari :
1. Bangunan atau komplek suci dengan Padmasana, Bedugul dan lainnya. Tata
Ruang dan Tata Letak dari bangunan-bangunan dimaksud disesuaikan dengan
lingkungan di sekitarnya dengan mengikuti pola pembangunan tradisional :Tri
Mandala, Tri Angga, dan Asta Kosala Kosali.
2. Bangunan utama terdiri dari dua gedung yaitu, gedung pusat informasi dan
gedung pameran.
3. Museum Terbuka yang diwujudkan sebagai Subak Mini, yang dipakai sebagai
peragaan kegiatan Subak mulai dari sistem irigrasi sampai proses kegiatan petani di
sawah.
Konsep Subak itu sendiri pada dasarnya bagian dari cerminan konsep Tri Hita
Karana.Unsur Parhyangan di dalam sistem Subak diwujudkan dalam pembangunan
Pura. Pura-pura yang ada di lingkungan Subak antara lain :
a. Pura Bedugul, yang dibangun pada setiap tempat pembagian air dan bangunan
bendungan.
46
b. Pura Ulun Siwi, yang dibangun pada setiap wilayah Subak atau beberapa
Subak yang mempunyai sumber air yang sama.
c. Pura Ulun Danu, yang terdapat pada keempat danau yang ada di Bali yaitu :
Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan.
Unsur Pawongan pada sistem Subak terwujud dalam : (1) Awig-awig, yang
memuat bentuk hukum tertulis yaitu seperangkat kaedah-kaedah sebagai pedoman
bertingkah laku dalam masyarakat petani, dan disertai sanksi-sanksi yang dilaksanakan
secara tegas dan nyata. (2). Anggota, secara umum anggota Subak dapat dibedakan atas
tiga kelompok, (a), Krama Pengayah / Anggota Aktif yaitu anggota Subak yang secara
aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan Subak. (b). Krama Pengampel/ Anggota Pasif
yaitu, anggota Subak yang karena alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalam
kegiatan-kegiatan Subak. (c). Krama leleputan / Anggota Khusus yaitu, anggota Subak
yang dibebaskan dari berbagai kewajiban Subak, karena yang bersangkutan memegang
jabatan tertentu di dalam masyarakat, seperti pemangku, bendesa adat, ataupun
sulinggih.
Adapun unsur Palemahan di dalam sistem Subak adalah : (1). Irigrasi, irigrasi
adalah sistem pengairan untuk keperluan bercocok tanam. Sistem Irigasi Subak terdiri
dari ;empalan / bending dam yang berfungsi sebagai bangunan pengambil air dari
sumbernya (sungai), dan aungan / terowongan, tempat air dialirkan. (2). Tanah, unsur
ini merupakan tempat utama bagi para petani untuk bercocok tanam.
Kiprah I Gusti Ketut Kaler dalam bidang kebudayaan tidak terbatas pada
bidang diatas saja. Tahun 1970, I Gusti Ketut Kaler diangkat oleh Gubernur Bali
sebagai anggota team penasehat pembuatan film di daerah Bali atau yang menyangkut
daerah Bali.
Tugas dari team ini antara lain; memberikan pertimbangan kepada gubernur
terhadap permohonan melakukan pengambilan gambar di daerah Bali, dan
mendampingi pemohon pembuatan film pada saat pengambilan gambar dan
memberikan pertimbangan serta batasan-batasan mana saja yang boleh diambil
47
gambarnya. Beberapa film yang dibuat di Bali dengan mendapatkan pertimbangan team
ini antara lain; Film Pandji Tengkorak, Kabut Di Kintamani, dan Kutukan Dewata.
KESIMPULAN
I Gusti Ketut Kaler dilahirkan dari kelurga Puri yang cukup
terpandang.Ayahnya menjabat sebagai Kelian Desa yang cukup disegani.Ayahnya
mempunyai pengetahuan yang baik tentang adat dan agama.Aktifitas ayahnya sebagai
tokoh adat, menarik minat Kaler muda untuk mempedalam pengetahuan tentang adat,
agama, dan budaya.
Sarana untuk menambah pengetahuan mengenai alat dan buaya cukup tersedia
dirumahnya, yaitu berupa lontar-lontar koleksi ayahnya.Disamping itu yang membentuk
kepribadian Kaler muda adalah gurunya di sekolah desa dan juga sekolah Jeoang yang
disamakan dengan SGB (Sekolah Guru Barwah). Guru pada jaman itu mampu
membentuk karakter anak didiknya.
Fakultas internal dan eksternal tersebut telah mempengaruhi pembentukan
kepribadiannya dan Pak Kaler kemudian melejit dalam bidang pemerintahan dan juga
politik, disamping budaya.I Gusti Ketut Kaler sepakat bahwa modernisasi bukan
westernisasi.
48
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1978. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta : LP3ES. ________. 1978. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press. Beerling, R.F. 1950. Filsafat Dewasa Ini. Djakarta : Balai Pustaka. Parimartha, I Gde. 1998. Prof. Dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah :Sebuah
Biografi Pendidikan. Denpasar : Upada Sastra. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana. Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia
:Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia. _______________. 1970. “Max Weber dan Dilthey”, dalam Lembaran Sejarah No.
6 Yogyakarta : UGM. Wijaya, Nyoman. 2012. Menerobos Badai :Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti
Ngurah Bagus.Denpasar : Pustaka Larasan.