44
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menyontek menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Menyontek merupakan salah satu dari perilaku curang dan tidak jujur. Menyontek bukan salah satu hal yang aneh pada masa sekarang ini. Perilaku tidak terpuji ini bahkan sudah membudaya di Indonesia, walaupun tentu saja tidak ada yang mau mengakui hal tersebut. Di Indonesia hampir semua kalangan melakuka hal ini dan didominasi oleh kalangan pelajar. Kalau kita perhatikan, menyontek sudah bukan hal yang tabu dan terlarang buat mereka. Cukup sering terdengar ditempat-tempat publik seperti angkutan umum, para pelajar yang baru selesai ujian membicarakannya dengan penuh semangat dan tanpa malu-malu mengenai aksi menyontek yang mereka barusan lakukan ditengah ujian misalnya bagaimana mengelabui guru pengawas dan trik menyontek yang mereka lakukan. Ironisnya ketika hasil ujian dibagikan mereka malah terlihat bangga akan nilai bagus yang mereka dapat. Mereka secara psikologis mendapat kepuasan 1

BUDAYA MENCONTEK

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PPKN

Citation preview

Page 1: BUDAYA MENCONTEK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menyontek menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S.

Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan

orang lain sebagaimana aslinya. Menyontek merupakan salah satu dari

perilaku curang dan tidak jujur. Menyontek bukan salah satu hal yang aneh

pada masa sekarang ini. Perilaku tidak terpuji ini bahkan sudah membudaya di

Indonesia, walaupun tentu saja tidak ada yang mau mengakui hal tersebut.

Di Indonesia hampir semua kalangan melakuka hal ini dan didominasi oleh

kalangan pelajar. Kalau kita perhatikan, menyontek sudah bukan hal yang tabu

dan terlarang buat mereka. Cukup sering terdengar ditempat-tempat publik

seperti angkutan umum, para pelajar yang baru selesai ujian membicarakannya

dengan penuh semangat dan tanpa malu-malu mengenai aksi menyontek yang

mereka barusan lakukan ditengah ujian misalnya bagaimana mengelabui guru

pengawas dan trik menyontek yang mereka lakukan.

Ironisnya ketika hasil ujian dibagikan mereka malah terlihat bangga

akan nilai bagus yang mereka dapat. Mereka secara psikologis mendapat

kepuasan tertentu dan bisa mendapatkan kebebasan karena terlapas dari beban

tertentu, tapi jika hal ini tidak segera diubah mereka kedepannya akan menjadi

pecundang. Pada dasarnya sebuah sistem ujian dilakukan untuk mengukur

sejauh mana kemampuan siswa pada suatu materi yang diajarkan untuk

menghargai nilai dari kejujuran dan mental yang kuat ketika berada dalam

suasana ujian.

Guru sebenarnya tahu mana siswa yang benar-benar pintar sehingga tahu

mana nilai yang hasil kejujuran dari otak atau kecurangan. Tapi, apalah daya

banyak guru yang mengambil nilai sepenuhnya dari ulangan, tidak peduli mau

menyontek atau tidak. Dalam hal ini kasihan sekali yang jujur tapi mendapat

nilai sama atau lebih kecil dari yang menyontek.

1

Page 2: BUDAYA MENCONTEK

Kata-kata “mendingan hasil sendiri walau jelek daripada nilai bangus

dari pada hasil menyontek”, sepertinya sudah kehilangan makna. Begitu

banyak yang mengungkapkan kata-kata manis itu tapi tetap saja tidak

menggoyahkan hati para penyontek.

Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah

hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak

kemampuan kognitif dari efektif dan psikomotor, inilah yang membuat

mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan

praktek menyontek.

Ketika penulis berada di Sekolah Menengah Atas, masalah ini

semakin banyak saja, dan suatu peristiwa yang penulis saksikan seorang juara

kelas dibuat malu oleh gurunya karena dicurigai menyontek atau bekerja

sama. Padahal menurut penulis waktu itu tidak mungkin seorang juara kelas

menyontek, pasti jawabannya yang dicontek teman-teman yang lain sehingga

jawaban mereka sama semua.

Dan masih di sekolah tersebut teman penulis yang nilainya pas-pasan

pada semerter pertama, dan mendapat rangking 25 dari 30 siswa, tiba-tiba

masuk sepuluh besar di kelas itu disebabkan ketika ulangan umum semester

kedua ia duduk sebangku dengan juara kelas. Apa ini adil dan objektif?

Untuk itu penulis mengangkat masalah “Budaya Menyontek Sebagai

Pengaruh Prestasi Siswa” karena penulis merasa prihatin dengan kondisi

pendidikan dewasa ini yang kurang efektif dalam mengawasi siswa yang

gemar menyontek sehingga tercipta suatu generasi bobrok masa depan.

B. Rumusan Masalah

Dalam karya tulis ini, penulis akan membahas mengenai pengertian

menyontek, menyontek sebagai budaya dalam pendidikan khususnya bagi

siswa.

1. Apakah menyontek dapat mempengaruhi prestasi siswa kelas?

2. Mengapa siswa kelas Menyontek?

3. Sejauh mana menyontek dapat mempengaruhi prestasi siswa?

4. Apakah budaya menyontek dapat hilang dari dalam diri siswa?

2

Page 3: BUDAYA MENCONTEK

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis mengangkat masalah ini yaitu :

1. Mengetahui prestasi siswa secara keseluruhan.

2. Mengetahui dan membandingkan keinginan belajar setiap siswa.

3. Mengetahui dampak-dampak dari menyontek.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Secara teoritis manfaat dari karya ilmiah ini yaitu memberikan penjelasan

pada pembaca tentang hakikat menyontek.

2. Diharapkan kepada siswa agar lebih percaya diri sahingga tidak lagi

menyontek setelah mengetahui dampak-dampak menyontek.

E. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu hanya untuk mengetahui

sejauh mana penyontek dapat mempengaruhi prestasi siswa.

3

Page 4: BUDAYA MENCONTEK

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Menyontek

1. Menurut Ahli

Pengertian menyontek atau menjiplak menurut Purwadarminta

sebagai suatu kegiatan mencontoh/meniru/mengutip tulisan, pekerjaan

orang lain sebagaimana aslinya. Cheating (menyontek) menurut Wikipedia

Encyclopedia sebagai suatu tindakan tidak jujur yang dilakukan secara

sadar untuk menciptakan keuntungan yang mengabaikan prinsip keadilan.

Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pelanggaran aturan main

yang ada.

Abdullah Alhadza dalam Admin (2004) mengutip pendapat dari

Bower (1964) yang mendefinisikan “cheating is manifestation of using

illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success

or avoid academic failure),” maksudnya “menyontek” adalah perbuatan

yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang

sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari

kegagalan akademis. Pendapat Bower ini juga senada dengan Deighton

(1971) yang menyatakan “Cheating is attempt an individuas makes to

attain success by unfair methods.” Maksudnya, cheating adalah upaya

yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-

cara yang tidak jujur.

Dalam konteks pendidikan atau sekolah, beberapa perbuatan yang

termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan

teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan

tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada

pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak

luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan

teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan

tugas ujian di kelas ataupun take home test.

4

Page 5: BUDAYA MENCONTEK

Dalam perkembangan mutakhir “menyontek” dapat ditemukan

dalam bentuk perjokian seperti kasus yang sering terjadi dalam

UMPTN/SMPTN, memberi lilin atau pelumas kepada lembaran jawaban

komputer atau menebarkan atom magnit dengan maksud agar mesin

scanner komputer dapat terkecoh ketika membaca lembar jawaban

sehingga gagal mendeteksi jawaban yang salah atau menganggap semua

jawaban benar, dan banyak lagi cara-cara yang sifatnya spekulatif maupun

rasional.

Dalam tingkatan yang lebih intelek, sering kita dengar plagiat karya

ilmiah seperti dalam wujud membajak hasil penelitian orang lain,

menyalin skripsi, tesis, ataupun desertasi orang lain dan mengajukannya

dalam ujian sebagai karyanya sendiri.

Ternyata praktik “menyontek” banyak macamnya, dimulai dari

bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang canggih. Teknik

“menyontek” tampaknya mengikuti pula perkembangan teknologi, artinya

semakin canggih teknologi yang dilibatkan dalam pendidikan semakin

canggih pula bentuk ”menyontek” yang bakal menyertainya. Bervariasi

dan beragamnya bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai

“menyontek” maka sekilas dapat diduga bahwa hampir semua pelajar

pernah melakukan ”menyontek” meskipun mungkin wujudnya sangat

sederhana dan sudah dalam kategori yang dapat ditolerir.

Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa apapun bentuknya, dengan

cara sederhana ataupun dengan cara yang canggih, dari sesuatu yang

sangat tercela sampai kepada yang mungkin dapat ditolerir, ”menyontek”

tetap dianggap oleh masyarakat umum sebagai perbuatan ketidakjujuran,

perbuatan curang yang bertentangan dengan moral dan etika serta tercela

untuk dilakukan oleh seseorang yang terpelajar.

Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan

“menyontek” dalam tulisan ini adalah segala perbuatan atau trik-trik yang

tidak jujur, perilaku tidak terpuji atau perbuatan curang yang dilakukan

oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-

tugas akademik terutama yang terkait dengan evaluasi/ujian hasil belajar.

5

Page 6: BUDAYA MENCONTEK

2. Menurut Kalangan Pelajar

Siswa menyontek adalah sebuah kebohongan yang didasarkan pada

aspek-aspek tertentu. A. Besse Ika Putri (2011) menyontek adalah

perbuatan dosa yang mengakibatkan seseorang menjadi koruptor.

Akhsan Yunus (2011) menyontek adalah menjiplak pekerjaan

orang lain secara sengaja baik pernyataan yang benar maupun salah.

Sungguh dunia pendidikan kita sangat “hebat” siswa menyatakan

bahwa mereka semua melakukan praktek menyotek dalam proses belajar

menyajar.

B. Faktor Siswa Menyontek

Menurut Nugroho (2008), yang menjadi penyebab munculnya

tindakan ”menyontek” bisa dipengaruhi beberapa hal. Baik yang sifatnya

berasal dari dalam (internal) yakni diri sendiri maupun dari luar (eksternal)

misalnya dari guru, orang tua maupun sistem pendidikan itu sendiri. Faktor

dari dalam diri sendiri

1. Kurangnya rasa percaya diri pelajar dalam mengerjakan soal. Biasanya

disebabkan ketidaksiapan belajar baik persoalan malas dan kurangnya

waktu belajar.

2. Orientasi pelajar pada nilai bukan pada ilmu.

3. Sudah menjadi kebiasaan dan merupakan bagian dari insting untuk

bertahan.

4. Merupakan bentuk pelarian/protes untuk mendapatkan keadilan. Hal ini

disebabkan pelajaran yang disampaikan kurang dipahami atau tidak

mengerti dan sehingga merasa tidak puas oleh penjelasan dari guru.

5. Melihat beberapa mata pelajaran dengan kacamata yang kurang tepat,

yakni merasa ada pelajaran yang penting dan tidak penting sehingga

mempengaruhi keseriusan belajar.

6. Terpengaruh oleh budaya instan yang mempengaruhi sehingga pelajar

selalu mencari jalan keluar yang mudah dan cepat ketika menghadapi

suatu persoalan termasuk test/ujian.

7. Tidak ingin dianggap sok suci dan lemahnya tingkat keimanan.

6

Page 7: BUDAYA MENCONTEK

Faktor dari Guru

1. Guru tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik sehingga

yang terjadi tidak ada variasi dalam mengajar dan pada akhirnya murid

menjadi malas belajar.

2. Guru terlalu banyak melakukan kerja sampingan sehingga tidak ada

kesempatan untuk membuat soal-soal yang variatif. Akibatnya soal yang

diberikan antara satu kelas dengan kelas yang lain sama atau bahkan dari

tahun ke tahun tidak mengalami variasi soal.

3. Soal yang diberikan selalu berorientasi pada hafal mati dari text book.

4. Tidak ada integritas dan keteladan dalam diri guru berkenaan dengan

mudahnya soal diberikan kepada pelajar dengan imbalan sejumlah uang.

Faktor dari Orang Tua

1. Adanya hukuman yang berat jikalau anaknya tidak berprestasi.

2. Ketidaktahuan orang tua dalam mengerti pribadi dan keunikan masing-

masing dari anaknya, sehingga yang terjadi pemaksaan kehendak

Faktor dari Sistem Pendidikan

1. Meskipun pemerintah terus memperbaharui sistem kurikulum yang ada,

akan tetapi sistem pengajarannya tetap tidak berubah, misalnya tetap

terjadi one way yakni dari guru untuk siswa.

2. Muatan materi kurikulum yang ada seringkali masih tumpang tindih dari

satu jenjang ke jenjang lainnya yang akhirnya menyebabkan pelajar/siswa

menganggap rendah dan mudah setiap materi. Sehingga yang terjadi bukan

semakin bisa melainkan pembodohan karena kebosanan.

Faktor-faktor penyebab siswa menyontek yang dilihat penulis di sekolah

antara lain adalah:

1. Tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa

angka dan nilai yang diperoleh siswa dalam ujian.

2. Akhlak yang buruk, diantaranya khianat, zalim, melanggar hak, bohong,

dan menipu. Hal ini disebabkan karena pendidikan moral baik di rumah

maupun di sekolah kurang diterapkan dalam kehidupan siswa.

3. Sikap malas yang terukir dalam diri siswa sehingga ketinggalan dalam

menguasai mata pelajaran dan kurang bertanggung jawab.

7

Page 8: BUDAYA MENCONTEK

4. Kurang mengerti arti dari pendidikan.

5. Anak remaja lebih sering menyontek dari pada anak SD, karena masa

remaja bagi mereka penting sekali memiliki banyak teman dan populer di

kalangan teman- teman sekelasnya.

Dari beberapa faktor penyebab di atas, dapat dikatakan siswa memiliki

masalah di sekolah dan konsep diri yang rendah. Maka sebagai guru

berkewajiban memberikan motivasi kepada siswa agar tidak siswa yang

menyontek saat ujian dan ulangan dengan membiasakan bersikap jujur dalam

setiap perbuatan yang dilakukan siswanya dan membangkitkan konsep

percaya diri dan berusaha diri yang lebih baik.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam setiap kegiatan secara

maksimal guru agama Islam dalam memahami masalah siswa, menurut

Muhaimin dan Abd. Mujib adalah sebagai berikut:

1. Siswa bukanlah miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri

sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan denagan orang

dewasa.

2. Siswa mengikuti periode- periode perkembangan tertentu dan mempunyai

pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implimintasi terhadap

pendidikan adalah bagaimana menyesuaikan proses pendidiakn itu dengan

pola dan tempo, serta irama dan perkembangan siswa itu sendiri.

3. Siswa memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu

semaksimal mungkin.

4. Siswa memiliki perbedaan antara individu – individu dengan individu

yang lain, baik perbedaan yang disebabkan faktor endogen ( fitrah)

maupun eksogen ( lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi,

sosial, bakat, minat dan lingkungan yang mempengaruhinya.

5. Siswa dipandang sebagai kesatuan sistem manusia ( cipta, rasa ,karsa).

6. Siswa merupakan objek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif.

8

Page 9: BUDAYA MENCONTEK

C. Menyontek sebagai Budaya

1. Dalam Pendidikan

Menyontek atau cheating memang bukan hal baru dalam dunia

pendidikan, yang biasanya dilakukan oleh seorang atau sekelompok siswa

pada saat menghadapi ujian (test), misalnya dengan cara melihat catatan

atau melihat pekerjaan orang lain atau pada saat memenuhi tugas

pembuatan makalah dengan cara menjiplak karya orang lain dengan tanpa

mencantumkan sumbernya (plagiat).

Menurut Wikipedia cheating merupakan tindakan bohong, curang,

penipuan guna memperoleh keuntungan teretentu dengan mengorbankan

kepentingan orang lain. Meski tidak ditunjang dengan bukti empiris,

banyak orang menduga bahwa maraknya korupsi di Indonesia sekarang ini

memiliki korelasi dengan kebiasaan menyontek yang dilakukan oleh

pelakunya pada saat dia mengikuti pendidikan.

Sebenarnya, secara formal setiap sekolah atau institusi pendidikan

lainnya pasti telah memiliki aturan baku yang melarang para siswanya

untuk melakukan tindakan nyontek. Namun kadang kala dalam prakteknya

sangat sulit untuk menegakkan aturan yang satu ini. Pemberian sanksi atas

tindakan nyontek yang tidak tegas dan konsisten merupakan salah satu

faktor maraknya perilaku nyontek.

2. Dalam Ujian

Menurut Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti

yang dikutip Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari

dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep

diri dan harga diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-

orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya,

anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan

memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun,

anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan

lingkungan di luar pribadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus

sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi.

9

Page 10: BUDAYA MENCONTEK

Menurut Penulis (2009) dalam makalahnya mengenai masalah

menyontek yang ia istilahkan dengan “Mempatron” menyebarkan

kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 100 orang teman

sekolah. Dari hasil koesioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan

seseorang melakukan cheating dengan pengelompokan sebagai berikut.

a. Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating

meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.

b. Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku

(buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata

demi kata dari buku teks.

c. Merasa guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.

d. Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.

e. Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi

tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.

f. Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi

dengan belajar keras atau serius.

g. Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur

tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan,

sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.

h. Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali

lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk

berdekatan.

i. Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia,

sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada

kemampuan mengingat.

j. Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari

sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.

k. Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan

pribadi kepada guru lebih efektif daripada belajar serius.

l. Penugasan guru yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa

terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.

10

Page 11: BUDAYA MENCONTEK

m. Yakin bahwa guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan

berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas

dengan mengelabui guru yang bersangkutan.

3. Tuntutan Siswa

Kenyataan di lapangan memberikan sebuah analisis bahwa sistem

evaluasi yang diterapkan sekarang ini tidak memberikan celah bagi peserta

didik untuk membuktikan diri sebagai “seseorang” dengan cara lain

kecuali dengan mendapatkan nilai yang baik. Dalam sosiologi, salah satu

motif setiap orang untuk berinteraksi adalah untuk mendapatkan

penghargaan dari lingkungannya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan

penghargaan ini harus ditempuh dengan mendapatkan nilai yang baik

maka dengan itu dapat dilakukan cara apapun untuk mendapatkan nilai

yang baik.

Umumnya siswa telah mengerti mana hal yang baik dan mana hal

yang buruk. Siswa menganggap bahwa menyontek adalah hal yang wajar.

Buktinya 50% dari siswa menyatakan bahwa menyontek adalah sesuatu

yang biasa.

Mari kita bandingkan sistem evaluasi yang dinamakan UAN

dengan sistem evaluasi yang dinamakan EBTANAS. Walaupun dalam

sistem EBTANAS masih menggunakan evaluasi kuantitatif, tetapi dalam

EBTANAS tidak mengenal istilah kelulusan sekolah. Walaupun seseorang

peserta EBTANAS mendapatkan nilai yang minim, tetapi masih dapat

meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat

dengan anggapan buruk mengenai peserta didik yang tidak naik kelas,

peserta didik yang tidak lulus ujian, maupun peserta didik yang tertinggal

dalam pelajaran. Ketika masih menerapkan sistem EBTANAS, koran-

koran tidak banyak dipenuhi dengan berita kontroversial seperti halnya

ketika sistem UAN dilaksanakan. Inilah analisis “dangkal” untuk membuat

kesimpulan bahwa sistem EBTANAS masih jauh lebih baik dari pada

sistem UAN. Lebih jauh lagi ketika kita bandingkan sistem evaluasi dalam

sekolah formal dengan sistem evaluasi yang diterapkan di pesantren-

11

Page 12: BUDAYA MENCONTEK

pesantren tradisional. Pesantren tradisional tidak mengenal pengkelas-

kelasan dan justifikasi berdasarkan tingkat kecakapan santri, tetapi murni

didasarkan oleh materi yang diberikan. Setiap santri berhak untuk

mengikuti kelas manapun dengan tingkat kesulitan apapun dengan

sekehendak santri. Pesantren pun tidak mengenal jangka waktu pengajaran

ataupun jangka waktu belajar. Setiap santri berhak untuk menentukan

apakah dia merasa cukup atau tidak dalam menerima sebuah materi ajar.

Keunggulan pesantren tradisional dengan segala kekurangan

terutama terkait kesejahteraan adalah dapat menciptakan seseorang dengan

totalitas hasrat keilmuan, kesederhanaan, dan orang-orang yang dapat

melebur dengan masyarakatnya.

Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan menyontek dalam

konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam

menyontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan

penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini

terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku

dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau

lingkungan lain atas tindakan menyontek. Penerapan budaya malu lebih

kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa

menyontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan

sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin

menyontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan

mengawasi dan menghakiminya ketika dia menyontek. Suatu ironi hal ini

tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos

masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.

Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah

permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang menyontek karena

ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada

individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada

penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati

sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting

dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah

12

Page 13: BUDAYA MENCONTEK

bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku

sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.

D. Keinginan Siswa Untuk Belajar

Keinginan siswa untuk belajar sudah cukup besar, namun ketakutan

akan momok seperti tidak naik kelas, nilai yang merah, dan sebagainya

membuat mereka menyontek apapun resikonya. Menyontek dalam hal seperti

ini adalah satu-satunya jalan terbaik bagi para siswa untuk menyelesaikan

masalah tersebut.

Banyak faktor yang mendorong siswa menyontek. Salah satunya

karena kondisi otak yang sulit diajak kompromi untuk mengingat rumus-

rumus, macam-macam teori dan sebagainya. Awalnya mereka sudah berusaha

belajar, tapi karena cara mereka belajar yang salah yaitu dengan sistem SKS

(Sistem Kejar Semalam) akhirnya jadi lupa semua. Bagaimana tidak, dalam

semalam harus belajar untuk dua sampai tiga pelajaran yang catatannya sangat

banyak, mungkin bisa sampai sebuku tulis. Lalu mereka berfikir daripada

tidak bisa menjawab, mereka akhirnya membuat catatan - catatan mini yang

kemudian dipergunakan saat kondisi mendesak sebagai antisipasi mengatasi

kelupaan.

Ada juga menyontek karena sudah jadi kebiasaan, yang awalnya atas

dasar coba - coba. Setelah dijalani, ternyata mereka ketagihan karena ada jalan

pintas. Sebenarnya mereka bisa menyelesaikan soal - soal ujian tanpa bantuan

lain. Namun karena sudah biasa jadi agak riskan kalau tidak melihat isi si

'kertas mini' ini alias contekan, seperti ada yang hilang saja gitu. Mereka jadi

merasa tidak percaya diri dengan kemampuan dirinya sendiri.

Kohlberg dalam Pidarta (2000) mengemukakan ada tiga tingkat

perkembangan moral kognisi yaitu:

1. Tingkat prekonvensional

Orientasi kepatuhan dan hukuman seperti kebaikan dan keburukan.

Orientasi egois yang naif seperti tindakan yang betul ialah yang

memuaskan kebutuhan orang lain.

2. Tingkat Konvensional

13

Page 14: BUDAYA MENCONTEK

Orientasi anak baik, seperti perilaku yang baik ialah bila disenangi orang

lain.

Orientai mempertahankan peraturan dan norma sosial, seperti perilaku

yang baik ialah yang sesuai dengan haarapan keluarga, kelompok atau

bangsa.

3. Tingkat Post-konvensional

Orientasi kontrak sosial yang legal seperti tindakan yang betul ialah yang

mengikuti standar masyarakat.

Orientasi prinsip etika seperti tindakan yang betul ialah melatih kesadaran

mengikuti keadilan dan kebenaran universal.

Sangat miris rasanya, jika siswa hanya menghabiskan waktunya untuk

belajar. Ini semua berarti tingkat keinginan siswa hanya 40%, meskipun

itu sudah cukup banyak namun setengah dari siswa menghabiskan waktu

senggangnya untuk menonton TV.

E. Cara-cara Siswa Menyontek

Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai

menurut Megawangi (2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif

(hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan

spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga

bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran

agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata

juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan

apresiasi.

Pengalaman penulis ketika di Sekolah Dasar budaya menyontek sudah

mulai ada, ketika latihan menjawab soal-soal matematika, beberapa teman-

teman sudah berani melihat jawaban temanya dan menyalinnya. Di Sekolah

Menengah Pertama, penulis menjadi korban teman yang nakal dan malas yang

secara tiba-tiba mengambil jawaban penulis dan menyalinnya di lembar

jawabannya, perbuatan ini tidak bisa dicegah karena ada rasa takut dan

kasihan dengannya. Bahkan terkadang mereka tanpa takut dan malu melihat

buku catatan dan meminta jawaban kepada teman yang dianggap pintar ketika

14

Page 15: BUDAYA MENCONTEK

ujian. Perbuatan ini mungkin saja diketahui oleh pengawas atau guru mata

pelajaran yang diujikan, atau mungkin pula mereka pura-pura tidak tahu,

entahlah yang jelas nilai ujian mereka ternyata hasilnya cukup baik.

Di bawah ini penulis memaparkan bebarapa cara siswa menyontek :

1. Kertas Ajaib

Cara ini biasa disebut konsep, namun penulis menyebutnya sebagai

“Kertas Ajaib”. Sama saja dengan merangkum, tetapi isi buku yang

penting-penting ditulis pada selembar kertas berukuran kecil.

2. Buku Pintar

Buku Pintar, siswa biasanya menyimpan buku catatan, buku tugas, atau

buku paket dibawah laci meja saat tas atau bawaan lain siswa dikumpul di

depan ruangan ujian.

3. Google

Teknologi yang semakin berkembang di saat sekarang ini membuat

menyontek menjadi lebih mudah, siswa yang membawa handphone dapat

mencari jawaban dari soal ujian dengan mengakses link-link yang ada di

Goggle.

4. Nge-Batik

Cara ini biasanya digunakan saat ujian dadakan atau siswa yang tidak tahu

kalau sebenarnyaada ujian. Cara ini cukup mudah, poin-poin penting dari

materi yang akan diujiankan ditulis diatas meja dengan menggunakan

bolpoin.

5. SMS Penyelamat

SMS (Short Message Service) digunakan olehb siswa saat benar-benar

tidak tahu kemana untuk mencari jawaban. Biasanya untuk cara seperti ini

siswa mengirimkan SMS untuk teman yang berada di ruang ujian lain.

F. Dampak-Dampak Menyontek

Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi

psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan

berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan

lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal ( keyakinan

15

Page 16: BUDAYA MENCONTEK

dan harapan), serta faktor penentu eksternal ("hadiah" dan "hukuman")

merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses

interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi,

retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.

Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan

tingkah laku menyontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul

ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang

akan dicapai jika ia menyontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang

memberikan atensi terhadap stimulus perilaku menyontek itu menjadi sebuah

informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun

pengalaman mengenai perilaku menyontek, baik secara maya (imaginary)

maupun nyata (visual).

Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan

pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku menyontek untuk

memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam

melakukan tingkah laku menyontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga

mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku

tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di

mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan

konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia menyontek.

Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi

apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan

atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang

dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan

dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan

kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku

cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar

iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan

terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.

Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai

agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa,

kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena

16

Page 17: BUDAYA MENCONTEK

sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk menyontek. Masalah

kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang

mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk menyontek. Bila ia

menyontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.

Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya

menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu

sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari

pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar mengungkapkan, bahwa

menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya

sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan

pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali

saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.

Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus

menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya

akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak

jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor.

(Poedjinoegroho, 2006)

Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan

pada pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan

menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat

stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way

communication antara guru dan siswa. Kelompok kerja makalah, presentasi,

pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang

tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa dengan soal-soal

yang banyak tapi dikerjakan dengan menyontek. (Widiawan,1995).

Jika masalah menyontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang,

tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas

pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang

pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa

akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja

disemua sektor kehidupan.

17

Page 18: BUDAYA MENCONTEK

Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan menyontek dalam konteks

masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam menyontek.

Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya

malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya

konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di

depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan

menyontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk

mendoktrin setiap orang bahwa menyontek adalah upaya yang sangat

memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap

pelaku. Setiap orang yang ingin menyontek akan merasa bahwa setiap orang

bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia

menyontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang

dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.

Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah

permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang menyontek karena

ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu

maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman

terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan

bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku

sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu

sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan

menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.

Lewis R. Aiken dalam Admin (2004) melaporkan bahwa

kecenderungan melakukan ”menyontek” di Amerika Serikat meningkat

sehingga tidak saja memprihatinkan dunia pendidikan tetapi juga telah

menjadi bagian keprihatinan kalangan politisi. Dikatakan bahwa kasus

”menyontek” tidak hanya melibatkan siswa sebagai individu pelaku tetapi

”menyontek” disinyalir telah dilakukan oleh institusi pendidikan dengan

melibatkan pejabat-pejabat pendidikan seperti guru, superintendant, school

districtst dll. Pada penelitian Aiken yang ditujukan kepada kasus CAP dan

CTBS (California Achievement Program dan California Test for Basic Skills),

suatu ujian yang diselenggarakan oleh lembaga independen ditemukan bahwa

18

Page 19: BUDAYA MENCONTEK

alasan siswa melakukan ”menyontek” karena adanya tekanan yang dirasakan

oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya, guru, dan diri mereka sendiri

untuk mendapatkan nilai tinggi. Selanjutnya, alasan bagi pejabat pendidikan

untuk membantu siswa dalam mengerjakan tes atau mengubah jawaban yang

salah dengan jawaban yang benar sebelum lembaran jawaban diserahkan

kepada lembaga penyelenggara, adalah karena hal itu menyangkut reputasi

sekolah, menyangkut anggaran pendidikan yang akan dibayar oleh

masyarakat. Hal itu terjadi karena hasil tes tidak saja mengevaluasi

kemampuan individual siswa tetapi juga mengevaluasi reputasi dan

kompetensi guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan lainnya yang

memiliki akuntabilitas langsung kepada masyarakat, politisi, dan kalangan

bisnis.

Terlepas dari semua itu, banyak siswa yang mengakui bahwa mereka

menyontek pasda saat tidak tahu jawaban dari soal-soal yang diberikan oleh

guru dan termasuk saat ulangan berlangsung. Pada dasarnya koesioner tidak

menyadari bahwa ketidakmapuan mereka menjawab soal ujian merupakan

salah satu faktor penyebab mereka menyontek.

G. Pengaruh Menyontek Bagi Prestasi Siswa

Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh

dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan

menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang

terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha.

Fenomena menyontek sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar

di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek

dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi

pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.

Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah

hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak

kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat

mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan

praktek menyontek.

19

Page 20: BUDAYA MENCONTEK

Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh

dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan

menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang

terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha.

H. Penanggulangan Menyontek Bagi Siswa

Meskipun tenaga pengajar harus mengambil tindakan untuk

mempertahankan dan mengembangkan pola perilaku dipihak siswa yang

mendukung belajar disekolah, namun ia akan tetap dihadapkan pada perilaku

yang menghambat dan di fromokasikan dengan siswa yang menganggu dan

mengancam.

Pada saat ini, tidak dapat disangkal bahwa guru dikelas kerap

ditantang untuk mengatasi tingkah laku sejumlah siswa yang deskruftif, lebih-

lebih dikota besar. Gejala umum ini bersumber pada berbagai faktor

penyebab, yaitu runtuhnya disiplin hidup bersama dalam masyarakat,

menipisnya kesadaran dan tanggung jawab sosial banyak kalangan, suasana

sekolah yang kurang memberikan kepuasan pada siswa, rasa ketertiban

sebagai tenaga kependidikan dipihak sejulah guru yang mengendor. Guru

sebagai orang terdekat dalam pembelajaran disekolah, memiliki tanggung

jawab membimbing siswa. Tindakan guru pada umumnya dalam pelaksanaan

ujian dan ulangan dengan memberikan penguatan dan peneguhan terhadap

sikap dan perilaku mereka yang positif, dimana mereka berusaha sendiri

menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tertib.

Namun bila tidak ada perilaku positif yang dapat diberikan penguatan

dan peneguhan maka dibutuhakan pendekatan lain yaitu:

1. Cuing Promping, yaitu siasat memberikan tanda, guru menyajikan suatu

perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa siswa

diharapkan berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, tetapi

belum dilakukan.

2. Model, yaitu guru memberikan model yang ditiru oleh siswanya.

20

Page 21: BUDAYA MENCONTEK

3. Shaping, yaitu membuat tingkah laku secara berlahan-lahan, yaitu setiap

tingkah laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa guru atau teman, cara

ini memerlukan kesabaran yang sangat dari guru.

Adapun tindakan kuratif guru, berlaku bagi siswa yang sudah terbiasa dengan

contek-menyontek, dengan memberikan peringatan . bentuk kongkrit dari

peringatan dapat bermacam- macam, yaitu :

1. Teguran Verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dengan berbicara suara

kecil sehingga tidak terdengar oleh teman sekelas.

2. Mengambil suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti

kegiatan tertentu atau menyerahkan benda yang dipegangnya.

3. Mengisolasi siswa dari teman – temannya untuk waktu tidak terlalu lama,

seperti memindahkannya diruang kosong atau tempat yang jarang dilalui

orang.

4. Memberikan sanksi yang berat kepada para pelajar pencontek dan kepada

semua pihak yang berperan di dalamnya.

5. Memberikan pelajaran akhlak kepada para pelajar, sekaligus

menyadarkaan bahwa Allah selalu mengawasinya, sekaligus menyadarkan

akan pentingnya amanah, kejujuran, serta menjelaskan hramnya perbuatan

khianat, bohong, serta menipu.

6. Menumbuhkan pada diri pelajar rasa percaya diri pada diri sendiri, karena

merupakan pangkal keberhasilan dan prestasi. Guru menjadikan diri

sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran.

Jadi dari bentuk tindakan guru yang telah dipaparkan, guru dapat

membantu siswanya untuk meninggalkan kebiasaan menyontek dalam ujian

atau ulangan dengan berusaha.

1. Membentuk hubungan saling menghargai antara guru –siswa, serta

menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.

2. Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek,

karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.

3. Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan

menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.

21

Page 22: BUDAYA MENCONTEK

4. Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas

dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai

penerapan disiplin.

5. Menekankan “ Belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu

siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah, dan

nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.

6. Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru

menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran

dan kejujuran.

7. Menggunakan test subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.

Dari uraian di atas dapat diidentifikasi bahwa ada empat faktor yang

menjadi penyebab menyontek yaitu:

1. Faktor individual atau pribadi dari penyontek.

2. Faktor lingkungan atau pengaruh kelompok.

3. Faktor sistem evaluasi.

4. Faktor guru atau penilai.

Berkenaan dengan asas moral di atas, dapat ditegaskan bahwa yang

terpenting dalam pendidikan moral adalah bagaimana menciptakan faktor

kondisional yang dapat mengundang dan memfasilitasi seseorang untuk selalu

berbuat secara moral dalam ujian (tidak “menyontek”) maka caranya adalah

mengkondisikan keempat faktor di atas ke arah yang mendukung, yaitu

sebagai berikut:

Faktor pribadi dari penyontek

1. Bangkitkan rasa percaya diri.

2. Arahkan self consept mereka ke arah yang lebih proporsional.

3. Biasakan mereka berpikir lebih realistis dan tidak ambisius.

Faktor Lingkungan dan Kelompok

Ciptakan kesadaran disiplin dan kode etik kelompok yang sarat

dengan pertimbangan moral.

Faktor Sistem Evaluasi

1. Buat instrumen evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat dan tetap).

2. Terapkan cara pemberian skor yang benar-benar objektif.

22

Page 23: BUDAYA MENCONTEK

3. Lakukan pengawasan yang ketat.

4. Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan kematangan peserta didik

dan dengan mempertimbangkan prinsip paedagogy serta prinsip

andragogy.

Faktor Guru

1. Berlaku objektif dan terbuka dalam pemberian nilai.

2. Bersikap rasional dan tidak ”menyontek” dalam memberikan tugas

ujian/tes.

3. Tunjukkan keteladanan dalam perilaku moral.

4. Berikan umpan balik atas setiap penugasan.

Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para siswa

sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari

remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak hal, tetapi tidak dalam

hal ujian. Dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi

contek menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan

merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada

awalnya memang bukan hal gampang, tapi kalau kita memang meniatkan

dalam hati, yakinlah bahwa tak ada satu hal pun yang tidak mungkin.

23

Page 24: BUDAYA MENCONTEK

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menyontek adalah salah satu wujud perilaku dan ekspresi mental

seseorang. Ia bukan merupakan sifat bawaan individu, tetapi sesuatu yang

lebih merupakan hasil belajar/pengaruh yang didapatkan seseorang dari hasil

interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, menyontek lebih sarat

dengan muatan aspek moral daripada muatan aspek psikologis.

Dalam batas-batas tertentu menyontek dapat dipahami sebagai sesuatu

fenomena yang manusiawi, artinya perbuatan menyontek bisa terjadi pada

setiap orang sehingga asumsi di depan yang menyatakan bahwa ada korelasi

antara perilaku menyontek di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti

korupsi di masyarakat adalah terlalu spekulatif dan sulit dibuktikan secara

nalar ilmiah. Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa menyontek bisa

membawa dampak negatif baik kepada individu, maupun bagi masyarakat.

Dampak negatif bagi individu akan terjadi apabila praktek menyontek

dilakukan secara kontinyu sehingga menjurus menjadi bagian kepribadian

seseorang.

Selanjutnya, dampak negatif bagi masyarakat akan terjadi apabila

masyarakat telah menjadi terlalu permisif terhadap praktek menyontek

sehingga akan menjadi bagian dari kebudayaan, dimana nilai-nilai moral akan

terkaburkan dalam setiap aspek kehidupan dan pranata sosial.

Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya menyontek sangat

ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang,

mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku menyontek. Seseorang yang

memiliki nalar moral, yang tahu bahwa menyontek adalah perbuatan tercela,

sangat mungkin akan melakukannya apabila ia dihadapkan kepada kondisi

yang memaksa.

24

Page 25: BUDAYA MENCONTEK

Mencegah menyontek tidaklah cukup dengan sekedar mengintervensi

aspek kognitif seseorang, akan tetapi yang paling penting adalah penciptaan

kondisi positif pada setiap faktor yang menjadi sumber terjadinya menyontek,

yaitu pada faktor siswa, pada lingkungan, pada sistem evaluasi dan pada diri

guru.

Oleh karena setiap orang berpotensi untuk melakukan menyontek dan

terdapatnya gejala kecenderungan semakin maraknya praktek menyontek di

dunia pendidikan, maka perlu segera dilakukan review atau reformulasi sistem

atau cara pengujian, penyelenggaraan tes yang berlangsung selama ini baik

yang diselenggarakan secara massal oleh suatu badan atau kepanitiaan

maupun yang diselenggarakan secara individual oleh setiap guru.

Dengan Pemaparan dan Isi karya tulis diatas dapat disimpulkan bahwa

menyontek dapat berpengaruh bagi prestasi siswa.

B. Saran

1. Pemberian tes lisan ini dilakukan penulis secara bertahap, tidak sekaligus

pada waktu ulangan atau ujian, karena cara ini menggunakan waktu yang

lama. Disamping itu tes tulisan juga masih digunakan sebagai pembanding

kemampuan siswa-siswi

2. Penulis mengharapkan ada kesepakatan bersama semua komponen yang

terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk memerangi masalah

menyontek atau cheating bagi pelajar dalam ulangan atau ujian yang

diberikan oleh guru, sekolah maupun pemerintah (Ujian Nasional). Karena

sistem sekarang ini masih menggunakan penilaian nasional, maka yang

terpenting kita sebagai subyek pendidikan yang berlaku jujur dalam

mengelola pendidikan. Guru dalam menilai harus jujur, pengawas harus

jujur mengawasi para siswa, kepala sekolah harus jujur dan bijaksana

dalam mengambil keputusan. Jangan malu dan takut dikatakan gagal

meluluskan siswa-siswinya dalam ujian.

25

Page 26: BUDAYA MENCONTEK

3. Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para siswa sebenarnya

kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari remaja

tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak tetapi dalam ujian, kita

kerja sendiri-sendiri dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan

meminimalisasi contek-menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa

percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah

kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan hal gampang.

26

Page 27: BUDAYA MENCONTEK

DAFTAR PUSTAKA

Purwanto, Ngalim, Drs.,M., MP., 2004, Psikologi Pendidikan, Rosdakarya, Bandung

Alhadza, Abdullah, 2004, Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal

Megawangi, Ratna, 2005, Indonesia Merdeka, Manusia Indonesia Merdeka?. http://www.suarapembaruan.com.

Poedjinoegroho, Baskoro. E, 2006, Biasa Mencontek Melahirkan Koruptor, http://ilman05.blogspot.com

Rakasiwi, Agus, 2007, Nyontek, Masuk Katagori “Kriminogen”, http://www.pikiran-rakyat.com

Suparno, Paul, DR, SJ, 2000, Sekolah Memasung Kebebasan Berfikir Siswa, http://www.kompas.com/kompas

Vegawati, Dian., Oki, Dwita.,P.S., Noviani, Dewi Rina, 2004, Perilaku Mencontek di Kalangan Mahasiswa, http://www.pikiran-rakyat.com

Widiawan, Kriswanto, Ir, 1995, Menyontek Jadi Budaya Baru, http://www.bpkpenabur.or.id/kwiyata

http://www.google.com

27