Upload
pinangmerah-kostputri
View
73
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB
Kriteria Dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung Dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
2012
i
Provinsi Hijau (Green Province) Jawa Barat adalah kebijakan Pemprov
Jabar dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dinyatakan Perda Jawa
Barat No 2 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Provinsi Jawa Barat tahun 2008-2013. Dalam rangka perwujudan Provinsi
hijau tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mentargetkan pencapaian
kawasan lindung sebesar 45 persen dari luas daratan Jawa Barat. Strategi
pencapaian luas kawasan lindung tersebut dilakukan atas dasar pencapaian
luas (kuantitas) dan peningkatan kualitas dari kawasan lindung.
Pencapaian target kawasan lindung sangat dipengaruhi oleh kinerja
pengelolaan kawasan lindung yang dilakukan oleh instansi yang
berwenang. Kewenangan pengelolaan kawasan lindung ada yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan
kewenangan perorangan (private). Untuk dapat mengukur kinerja
pengelolaan kawasan lindung diperlukan kriteria dan indikator. Indikator
yang baik harus bersifat spesifik (Specific), terukur (Measurable), dapat
diterima ata diaplikasikan (Achievable), dapat dipertanggungjawabkan
(Responsibility), serta dapat dilacak ulang (treasureable).
Buku Kriteria dan Indikator ini menyajikan kriteria, indikator, dan verifier
kinerja pengelolaan kawasan lindung. Sistem penilaian (assesment) yang
dikembangkan adalah bersifat mandatory untuk mendorong dan membina
para pihak yang mengelola kawasan lindung. Kriteria dan indikator ini tidak
bersifat kaku (rigid), oleh karena itu bisa dirubah dan disesuaikan dengan
paradigma terbaru. Semoga Buku Kriteria dan Indikator yang telah disusun
ini dapat mendorong pencapaian target kawasan lindung di Provinsi Jawa
Barat.
Bandung, Oktober 2012
PENYUSUN
KATA PENGANTAR
ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... iv
I. PENDAHULUAN ....................................................................... I-1
1.1. Latar Belakang .................................................................... I-1
1.2. Maksud dan Tujuan ............................................................. I-4
1.3. Sasaran .............................................................................. I-4
1.4. Sistematika Penulisan .......................................................... I-5
1.5. Daftar Istilah Penting ........................................................... I-5
II. PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DALAM RANGKA
PERWUJUDAN GREEN PROVINCE ........................................ II-1
2.1. Landasan Hukum ................................................................ II-1
2.2. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province .................................................. II-8
2.3. Tipologi Kawasan Lindung Jawa Barat .................................... II-13
III. METODE PENENTUAN KRITERIA DAN INDIKATOR ............... III-1
3.1. Kerangka Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator dan Verifier .... III-1
3.2. Tahapan Penetapan Kriteria dan Indikator ............................ III-4
IV. KRITERIA DAN INDIKATOR PENGELOLAAN KAWASAN
LINDUNG JAWA BARAT .......................................................... IV-1
4.1. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik ..................... IV-1
4.2. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Kebijakan ................. IV-7
4.3. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Sosial ........................ IV-13
4.4. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Ekonomi .................. IV-19
V. PENUTUP ................................................................................... V-1
REFERENSI ....................................................................................... VI-1
DAFTAR ISI
iii
Tabel 2-1 Kriteria penetapan tipe kawasan lindung Jawa Barat ........ II-14
Tabel 2-2 Sebaran Lokasi Tipe Kawasan Lindung di Setiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat ........................................ II-16
Tabel 2-3 Luas tipe kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat .................................................................... II-8
Tabel 2-4 Kegiatan Penataan Kawasan Lindung dalam
Meningkatkan Fungsi Lindung ....................................... II-24
Tabel 2-5 Kriteria untuk Memilih Kriteria dan Indikator Kinerja
Pengelolaan Kawasan Lindung ...................................... II-29
Tabel 3-1 Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator .... III-6
Tabel 3-2 Penjelasan Setiap Kriteria dan Indikator ........................ III-6
Tabel 3-3 Jenis Data, Sumber Data, Metode Verifikasi dan
Instrumen Verifikasi Setiap Indikator ............................. III-6
DAFTAR TABEL
iv
Gambar 2-1 Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung ............................ II-10
Gambar 2-2 Alur Pengelolaan Kawasan Lindung .............................. II-12
Gambar 2-3 Peta Sebaran Kawasan Lindung Provinsi Jawa Barat ......... II-16
Gambar 3-1 Dimensi pengembangan kriteria dan indikator
pengelolaan kawasan lindung ......................................... III-2
Gambar 3-2 Metode penetapan prinsip, kriteria , indikator dan verifier
pegelolaan kawasan lindung ........................................... III-4
Gambar 4-1 Jumlah prinsip, kriteria, indikator dan verifier yang ditetapkan ..................................................................... IV-1
DAFTAR GAMBAR
v
Tabel 1. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator
Aspek Biofisik ............................................................ L-1
Tabel 2. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator
Aspek Kebijakan ...................................................... L-8
Tabel 3. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator
Aspek Sosial ............................................................. L-19
Tabel 4. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator
Aspek Ekonomi ......................................................... L-24
DAFTAR LAMPIRAN
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
I-1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi orientasi
pembangunan negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia sejak diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia)
yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN),
dan World WideFund for Nature (WWF) pada 1980. Pada dasarnya,
pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi tiga pilar, yakni : ekonomi, lingkungan dan sosial yang dapat dicapai melalui pengembangan dua strategi
utama, yakni : strategi pertumbuhan hijau (Green Growth Strategies) dan ekonomi hijau (Green Economy). Sehingga kedua strategi tersebut menjadi
fokus dalam mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara internasional, belum terdapat kesepakatan tentang
pengertian strategi pertumbuhan hijau ataupun ekonomi hijau tersebut. Namun,
Pemerintah Indonesia secara sukarela berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% jika
mendapat bantuan internasional pada tahun 2020 untuk bidang BAU (business as usual). Hal tersebut dinyatakan pada pertemuan G-20 di Pittsburgh,
Pensylvania, Amerika Serikat tanggal 25 September 2009. Untuk memenuhi
komitmen tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAN-GRK). Pada pasal 6 Perpres tersebut mengharuskan Gubernur menyususun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-
GRK). Implementasi RAN/RAD-GRK diprioritaskan kepada bidang berbasis lahan, khususnya kehutanan dan pertanian. Pada tahun 2000 sektor berbasis lahan
menyumbang emisi GRK sekitar 65% dari emisi nasional. Emisi tersebut berasal
dari perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land Use Change and Forestry/LUCF) sebesar 47%, kegiatan pertanian (5%) dan kebakaran lahan
gambut 13 %.
Pesatnya laju pembangunan di wilayah Jawa Barat telah memberikan dampak
negatif terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidup, sehingga berdampak
merugikan terhadap masyarakat. Dampak negatif terhadap kualitas lingkungan,
antara lain : berkurangnya sumberdaya alam, meningkatnya pencemaran dan
memacu perubahan iklim secara global (global warming). Pertumbuhan sektor
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
I-2
industri telah memacu peningkatan pembuangan limbah dari Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3) yang merusak lingkungan. Pertumbuhan industri kendaraan
bermotor telah berkontribusi terhadap pencemaran udara yang diakibatkan dari
gas buang kendaraan, meningkatkan suhu udara, meningkatkan konsumsi BBM,
serta menimbulkan masalah sosial antara lain kemacetan lalu lintas.
Pemerintah Jawa Barat berkeinginan untuk menjadi provinsi hijau (Green
Province) dengan menerapkan strategi pembangunan hijau. Komitmen
Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini dituangkan dalam dokumen RPJMD Provinsi
Jabar tahun 2008-2013, pada kebijakan bidang lingkungan point 6b berbunyi:
“meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka mewujudkan
provinsi yang hijau (Green Province) didukung upaya menciptakan provinsi
yang bersih (Clean Province)”. Kata Green Province juga muncul dalam
dokumen RKPD Jabar tahun 2011 (Pergub no. 29 tahun 2010) pada Rencana
Program Tematik tujuan umum ke-8 dengan sasaran : “meningkatnya fungsi dan
luas kawasan lindung dan pengendalian luasan lahan kritis”. Kegiatan
tematiknya adalah Konservasi dan rehabilitasi kawasan hulu DAS prioritas
(Cimanuk, Citarum, Ciliwung dan Citanduy) dan kawasan pesisir serta pulau kecil
melalui Jabar Green Province. Kebijakan tersebut diperkuat dengan arahan
Gubernur Jawa Barat dalam beberapa pernyataan (statement) antara lain: (1)
“Pemerintah provinsi Jabar menargetkan pada tahun 2025 mendatang menjadi
Green Province. Salah satu indikatornya dengan menjadikan 45 persen luas
wilayah di Jabar menjadi kawasan lindung...” (Pidato Gubernur Ahmad
Heryawan yang disampaikan pada seminar 'Peluang dan Tantangan penerapan
Clean Development Mechanism di Jawa Barat', di ITB, Senin 19/1/2009); (2) “
Untuk menjadi Green Province sedikitnya Jawa Barat harus memiliki 45 persen
kawasan lindung ...” (Pidato Gubernur Ahmad Heryawan pada Green Festival di
Monumen Perjuangan, Jalan Dipatiukur, Jum’at 25/11/2011).
Hal penting yang harus diperhatikan dalam mewujudkan green province Jawa
Barat adalah kejelasan definisi Green Province dimaksud oleh Pemerintah dan
masyarakat Jawa Barat. Oleh karena itu, perlu didefinisikan prasyarat dan
kebutuhan operasionalisasi dan kuantifikasi green province yang diinginkan.
Demikian juga, filosofi dan sistem nilai disamping konsep dan hubungannya
kedalam kebijakan Provinsi Jawa Barat harus dibuat secara eksplisit. Di pihak
lain, kearifan lokal dan politik yang melandasi harus dibuat dan tetap di bawah
payung pembangunan berkelanjutan. Dalam memberikan arahan yang jelas dan
capaian yang diinginkan, diperlukan kriteria yang dapat menunjukan derajat
strategis dan kebijakan yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
Salah satu indikator Green Province Jawa Barat adalah pencapaian kawasan
lindung sebesar 45 persen. Pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat telah
diatur dalam Perda Jawa Barat no 2 tahun 2006 tentang Kawasan Lindung dan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
I-3
Perda Jawa Barat no 22 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Barat. Pada Perda no 22 tahun 2010 disebutkan bahwa target
pencapaian 45 persen kawasan lindung di Jawa Barat diharapkan pada tahun
2018.
Strategi pencapaian luas kawasan lindung 45 persen di Jawa Barat, dilakukan
atas dasar pencapaian luas/kuantitas dan peningkatan kualitas dari kawasan
lindung. Pecapaian luas kawasan lindung ditempuh, melalui : (a). peningkatan
fungsi kawasan lindung di dalam dan di luar kawasan hutan; (b). pemulihan
kembali secara bertahap kawasan lindung yang telah berubah fungsi; (c).
pengalihan fungsi secara bertahap kawasan hutan cadangan dan hutan produksi
terbatas menjadi hutan lindung; (d) pembatasan pengembangan prasarana
wilayah di sekitar kawasan lindung untuk menghindari tumbuhnya kegiatan
perkotaan yang mendorong alih fungsi kawasan lindung; (f). penetapan luas
kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara
itu, peningkatan kualitas kawasan lindung dilakukan, melalui : (a). optimalisasi
pendayagunaan kawasan lindung hutan dan non hutan melalui jasa lingkungan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (b). pengendalian pemanfaatan
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan pada kawasan lindung; (c).
pencegahan kerusakan lingkungan akibat kegiatan budidaya; (d). rehabilitasi
lahan kritis di kawasan lindung; dan (e). penyusunan arahan insentif dan
disinsentif serta pengenaan sanksi dalam hal alih fungsi dan/atau penerbitan izin
pembangunan dan/atau kegiatan di kawasan lindung.
Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan lindung merupakan alat
pengendalian (controling tools) untuk mengontrol pencapaian target kawasan
lindung baik secara kuantitas maupun kualitas. Kriteria dan indikator tersebut
harus merujuk kepada kebijakan pengelolaan kawasan lindung (Perda Jabar no 2
tahun 2006) dan kebijakan tata ruang provinsi Jabar (Perda Jabar no 22 tahun
2010). Penetapan kriteria indikator pengelolaan kawasan lindung tidak terlepas
dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustained development) yang teridir
dari aspek kebijakan, sosial, ekonomi dan biofisik. Dalam konsep pembangunan
berkelanjutan, tujuan utama pengelolaan kawasan lindung adalah terpenuhinya
syarat kondisi biofisik kawasan lindung yang mampu memberikan fungsi lindung
bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, indikator yang sesuai dipakai dalam
aspek biofisik adalah indikator luaran (ouput). Namun demikian, disadari bahwa
keberadaan kawasan lindung secara fisik dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat
di sekitarnya, yang menggantungkan kebutuhan hidupnya dari kawasan lindung.
Keberadaan kawasan lindung sangat diharapkan oleh masyarakat dapat
meningkatkan perekonomian mereka. Oleh karena itu diperlukan aspek
kebijakan yang mengatur bagaimana pemanfaatan kawasan lindung dari aspek
ekonomi yang tidak memberikan dampak buruk bagi kondisi fisik kawasan
lindung. Kebijakan juga diperlukan untuk mengatur interaksi masyarakat dengan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
I-4
keberadaan kawasan lindung, agar segala aktivitas masyarakat dapat diarahkan
untuk mendorong perwujudan kualitas biofisik kawasan lindung yang baik serta
partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan lindung semakin
meningkat.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud kegiatan Penyusunan Kriteria Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung
dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat adalah menyediakan alat
(tools) untuk monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan lindung di Jawa
Barat dalam rangka mewujudkan Jawa Barat sebagai provinsi hijau (Green
Province). Tujuan penyusunan kriteria dan indikator adalah :
a. Membuat alat ukur kinerja pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat
yang terdiri dari serangkaian kriteria dan indikator yang SMART
(Specific/scientific, Measurable, Achievable, Resources Availability,
Treasurable) serta mudah diaplikasikan di lapangan.
b. Memberi acuan standar nilai dalam pencapaian kinerja pengelolaan
kawasan lindung di Jawa Barat dalam rangka perwujudan Green Province.
1.3. Sasaran
Sasaran pengguna buku kriteria dan indikator ini adalah para pihak (stakeholder)
baik pemerintah daerah kabupaten/kota, provinsi maupun pemerintah pusat
yang terkait dalam pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat.
1.4. Sistematika Penulisan
Buku Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat ini disusun dalam empat bagian penting.
Bagian pertama adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang, maksud dan
tujuan, sasaran pengguna, sistematika penulisan dan daftar istilah yang
digunakan. Bagian kedua adalah Dasar Pemikiran yang berisi landasan hukum
dan konsep pengelolaan kawasan lindung. Bagian ketiga adalah Metode
Penentuan Kriteria yang berisi penjelasan pengertian prinsip, kriteria, indikator
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
I-5
dan verifier; konsep penetapan kriteria dan indikator serta metode
penetapannya. Bagian keempat adalah Penjelasan Kriteria dan Indikator pada
masing-masing aspek, yaitu : aspek biofisik, kebijakan, sosial dan ekonomi.
1.5. Daftar Istilah Penting
Beberapa peristilahan penting yang digunakan dalam Buku Kriteria dan
Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green
Province Jawa Barat ini adalah :
1. Prinsip adalah suatu aturan atau kebenaran fundamental yang mendasari
pola berpikir atau bertindak.
2. Kriteria adalah ukuran yang digunakan untuk mengetahui/menilai apakah
kemajuan yang dicapai dapat memenuhi prinsip.
3. Indikator adalah variabel atau komponen dari sistem pengelolaan yang
mencerminkan atau mengindikasikan situasi atau kondisi yang diperlukan
oleh kriteria.
4. Verifier adalah data atau informasi yang dapat menambah kejelasan dan
memudahkan penilaian terhadap suatu indikator.
5. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
6. Instansi Terkait adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten/Kota, instansi
vertikal dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
7. Pengelolaan Kawasan Lindung adalah upaya penetapan, pelestarian
dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.
8. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber
daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa,
guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
9. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi
menampung air hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke danau atau ke
laut secara alami, yang batasnya di darat merupakan pemisah topografi,
sedangkan di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
I-6
10. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah.
11. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap.
12. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.
13. Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-
pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada
tanah negara maupun tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh
pejabat yang berwenang.
14. Kawasan Berfungsi Lindung di Luar Kawasan Hutan Lindung
adalah kawasan yang memiliki nilai perlindungan terhadap daerah di
bawahanya, yang tidak selalu harus berupa hutan.
15. Kawasan Resapan Air adalah daerah bercurah hujan tinggi, berstruktur
tanah yang mudah meresapkan air dan mempunyai geomorfologi yang
mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.
16. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
pantai.
17. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai,
termasuk pada sungai buatan/kanal/saluran/irigasi primer yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
sungai.
18. Kawasan Sekitar Waduk dan Situ adalah kawasan tertentu di
sekeliling waduk dan situ yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi waduk dan situ.
19. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
mata air.
20. Tanah Timbul adalah daratan yang terbentuk secara alami maupun
buatan karena proses pengendapan di sungai, danau, pantai dan/atau
lahan timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai negara.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
I-7
21. Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan satwa dan ekosistemnya atau ekosistem
tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara
alami.
22. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri
khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk
kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
23. Suaka Alam Laut dan Perairan Lainnya adalah daerah yang mewakili
ekosistem khas di lautan maupun perairan lainnya, yang merupakan
habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi
perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada.
24. Kawasan Hutan Payau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan
habitat alami hutan payau atau jenis tanaman lain yang berfungsi
memberikan perlindungan kepada keanekaragaman hayati pantai dan
lautan.
25. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi.
26. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli
dan atau bukan jenis asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata
dan rekreasi.
27. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan
utama untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
28. Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah adalah kawasan suaka alam
dan pelestarian alam yang diperuntukkan bagi pengembangan dan
pelestarian pemanfaatan plasma nutfah tertentu.
29. Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat
wisata berburu.
30. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan
yang merupakan lokasi tinggalan budaya manusia dan benda alam yang
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
beserta lingkungannya yang diperlukan bagi pelestarian, pengembangan
dan pemanfaatan.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
I-8
31. Kawasan Konservasi Lingkungan Geologi adalah lahan yang
mempunyai ciri geologi unik/khas, langka dan atau mempunyai fungsi
ekologis yang berguna bagi kehidupan dan menunjang pembangunan
berkelanjutan dan atau mempunyai nilai ilmiah tinggi untuk pendidikan.
32. Kawasan Rawan Bencana Gunung Berapi adalah kawasan yang
sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana akibat letusan gunung
berapi.
33. Kawasan Rawan Gempa Bumi adalah kawasan yang pernah terjadi
dan diidentifikasi mempunyai potensi terancam bahaya gempa bumi baik
gempa bumi tektonik maupun vulkanik.
34. Kawasan Rawan Gerakan Tanah adalah kawasan yang berdasarkan
kondisi geologi dan geografi dinyatakan rawan longsor atau kawasan yang
mengalami kejadian longsor dengan frekuensi cukup tinggi.
35. Kawasan Rawan Banjir adalah daratan yang berbentuk flat, cekungan
yang sering atau berpotensi menerima aliran air permukaan yang relatif
tinggi dan tidak dapat ditampung oleh drainase atau sungai, sehingga
melimpah ke kanan dan ke kiri serta menimbulkan masalah yang
merugikan manusia.
36. Masyarakat Adat adalah masyarakat asli yang telah secara turun
temurun tinggal dan melaksanakan pola hidup khas setempat, yang taat
berpegang teguh kepada norma-norma adat yang ada dan berlaku
membumi, dan mempunyai lembaga adat yang merupakan suatu
kesatuan sistem pengambilan keputusan.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-1
BAB II
PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DALAM RANGKA PERWUJUDAN GREEN PROVINCE
2.1. Landasan Hukum
2.1.1. Undang–Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-undang No. 26 tahun 2007 menyebutkan Penataan Ruang
adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata
ruangnya. Undang-undang ini juga menjelaskan pengertian
perencanaan tata ruang sebagai suatu proses untuk menentukan
(penyusunan dan penetapan) “Struktur Ruang” yaitu susunan pusat-
pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
secara hirarkis memiliki hubungan fungsional, dan “Pola Ruang” yaitu
distribusi pola ruang dalam suatu wilayah yang meliputi ruang untuk
fungsi lindung dan ruang untuk fungsi budidaya. Pengertian pemafaatan
ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksaan
program. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan terkait pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif.
Penataan ruang secara prinsip harus didasarkan pada karakteristik, daya
dukung, dan daya tampung lingkungan. Sehingga dapat dicapai
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistemnya. Mengacu
pada Pasal (17) ayat (3) bahwa Rencana Pola Ruang meliputi
peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut ayat (4)
peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya meliputi peruntukan
ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi,
pertahanan, dan keamanan. Kemudian pada ayat (5) disebutkan dalam
rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling
sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-2
Dalam tahap pemanfaatan ruang, harus dapat memberikan dukungan
terhadap kepentingan pertimbangan optimasi pengelolaan sumberdaya
alam dan buatan. Kepentingan pertimbangan optimasi pengelolaan
sumberdaya alam dan buatan lebih diarahkan untuk tujuan peningkatan
ekonomi wilayah dengan menata kegiatan yang terspesialisasikan,
terkonsentrasi, dan terlokalisasi dalam pengelolaan pemanfaatan ruang
dalam sistem wilayah. Sehingga akan memberikan keuntungan ekonomi
dan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan wilayah.
Tahapan selanjutnya dalam proses penataan ruang adalah pengendalian
pemanfaatan ruang yang dilakukan melalui cara pemberian izin
pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan
sanksi (pasal 35). Perizinan pemanfaatan ruang dimaksud sebagai upaya
penertiban pemanfaatan ruang. Setiap pelaksanaan pembangunan harus
diupayakan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan
ruang diatur dan diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang
dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenakan
sanksi administratif, sanksi pidana penjara, atau sanksi pidana denda.
Pemberian insentif dalam pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai
upaya memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan masyarakat maupun
oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain dapat
berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana
(infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan,
dan pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai
perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan atau
mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang,
yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi,
pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan
kompensasi dan finalti.
Berdasarkan uraian Undang–undang No. 26 Tahun 2007, maka Kriteria
Indikator terkait ketersediaan rencana tata ruang yang mengacu pada
undang–undang dan peraturan lainnya merupakan kriteria dan indikator
prasyarat bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kota/Kabupaten dalam menjamin kawasan lindung. Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten
harus menjamin keberadaan dan meningkatkan fungsinya dalam menuju
Green Province.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-3
2.1.2. Peraturan Daerah Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2010
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009-2029
Peraturan Daerah No. 22 tahun 2010 telah ditetapkan pengertian,
strategi dan tipe Kawasan Lindung. Dalam Perda tersebut kawasan
lindung diartikan sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya, pada Perda RTRWP Jawa Barat tahun 2010 tersebut juga
telah ditetapkan kebijakan pengembangan kawasan lindung yang terdiri
dari dua kebijakan, yakni : pertama pencapaian luas kawasan lindung
sebesar 45% dan kedua menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan
lindung. Strategi-strategi pencapaian luas kawasan lindung sebagai
berikut :
a. Peningkatan fungsi kawasan lindung di dalam dan di luar kawasan
hutan;
b. Pemulihan secara bertahap kawasan lindung yang telah berubah
fungsi;
c. Pengalihan fungsi secara bertahap kawasan hutan cadangan dan
hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung;
d. Pembatasan pengembangan prasarana wilayah di sekitar kawasan
lindung untuk menghindari tumbuhnya kegiatan perkotaan yang
mendorong alih fungsi kawasan lindung; dan
e. Penetapan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran
Sungai (DAS).
2.1.3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 9 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2005–2025
RPJPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 – 2025 menuangkan terkait
pengelolaan kawasan lindung adalah Misi Ketiga : “Mewujudkan
Lingkungan Hidup yang Asri dan Lestari”, yaitu : mengelola sumberdaya
alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan, menjaga fungsi dan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-4
daya dukung, serta menjaga pemanfaatan ruang yang serasi antara
kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan antara kawasan perkotaan
dan kawasan perdesaan.
Adapun sasaran mewujudkan pembangunan di bidang lingkungan hidup
dan lestari, meliputi :
a. Meningkatnya keseimbangan antara jumlah penduduk terhadap
daya dukung dan daya tampung lingkungan;
b. Terkendalinya pertumbuhan penduduk secara alamiah maupun
penduduk migrasi;
c. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku ramah
lingkungan;
d. Terkendalinya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang efektif, efisien dan bernilai tambah.
Perwujudan lingkungan hidup yang asri dan lestari ditujukan untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia dan menjamin tersedianya sumber
daya berkelanjutan bagi pembangunan.
Adapun langkah-langkah strategis yang dilakukan sebagai berikut :
1. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan
sinergisitas implementasi di seluruh sektor dan wilayah menjadi
prasyarat utama dalam pelaksanaan berbagai kegiatan
pembangunan.
2. Pengendalian pertumbuhan penduduk dan persebaran diarahkan
untuk menjaga daya tampung suatu wilayah dalam suatu kesatuan
ruang.
3. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku ramah
lingkungan melalui peningkatan pendidikan lingkungan sejak dini,
sosialisasi, komunikasi dan informasi lingkungan, serta
memperkenalkan berbagai kearifan lokal kepada seluruh lapisan
masyarakat.
4. Penataaan ruang diarahkan untuk mewujudkan penataan ruang
yang berkelanjutan, mendukung daya saing daerah, dan
berkeadilan, serasi, serta mampu mewadahi perkembangan wilayah
dan aktivitas perekonomian dengan tetap menjaga keseimbangan
daya dukung dan daya tampung lingkungan.
5. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup diarahkan
untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pengelolaan,
memantapkan kepranataan, menguatkan sistem informasi
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-5
sumberdaya alam dan lingkungan, mengoptimalkan penggunaan
teknologi ramah lingkungan, serta menguatkan kelembagaan
pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup, terutama
pengelola sumber daya air, sumber daya pesisir dan laut serta
kawasan lindung.
6. Upaya penanganan bencana ke depan lebih diarahkan pada
pengurangan resiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan
iklim. Pengurangan resiko bencana diarahkan kepada pencegahan
lebih dini, mitigasi, dan peningkatan kesiapsiagaan, untuk
meminimalkan tingkat kerusakan, kerugian ekonomi, bahkan korban
jiwa.
7. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan diarahkan
pada upaya peningkatan peran masyarakat dalam melakukan
pencegahan serta kontrol terhadap pencemaran dan kerusakan
lingkungan.
8. Pemulihan kualitas lingkungan diarahkan kepada upaya rehabilitasi
lahan kritis, baik melalui sistem vegetasi maupun sipil teknis,
reklamasi lahan pasca maupun bekas penambangan, penataan
daerah resiko tinggi bencana (gerakan tanah, tsunami, dan banjir),
penataan kawasan kumuh perkotaan, pemulihan kualitas ekosistem
kawasan lindung, perlindungan atau pemulihan daerah resapan air,
pemulihan kualitas sumberdaya air permukaan, air tanah, dan
pesisir.
9. Pelestarian fungsi kawasan lindung diarahkan pada pemulihan
kondisi dan peningkatan fungsi kawasan lindung untuk menjaga
keseimbangan ekosistem kawasan, kestabilan iklim baik mikro
maupun makro, manfaat ekologis dan menjaga sumber daya
ekonomi kawasan.
2.1.4. Peraturan Daerah no 2 tahun 2009 tentang RPJMD Provinsi
Jawa Barat tahun 2008-2013
Munculnya istilah Green Province pertama kali pada RPJMD Provinsi
Jawa Barat tahun 2008–2013 yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah
No. 25 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Daerah No. 2 Tahun
2009 tentang RPJMD Provinsi Jawa Barat tahun 2008–2013.
Istilah Green Province tercantum pada BAB IV (Strategi
Pembangunan), sub bab 4.1. (Kebijakan Pembangunan), pada Misi 4:
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-6
(Meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk
pembangunan berkelanjutan), kebijakan bidang lingkungan hidup butir
6c (Meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka
mewujudkan Green Province didukung upaya menciptakan provinsi
yang bersih Clean Province).
Kebijakan bidang lingkungan hidup tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Meningkatkan upaya pemulihan dan konservasi sumberdaya air,
udara, hutan dan lahan;
b. Mengurangi resiko bencana;
c. Meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka
mewujudkan Green Province didukung upaya menciptakan provinsi
Clean Province.
Sedangkan program bidang lingkungan hidup terkait dengan kawasan
lindung yang diamanatkan dalam Perda tersebut meliputi :
1. Program Pengelolaan Kawasan Lindung, dengan sasaran :
a. Terlaksananya penataan dan perbaikan fungsi kawasan lindung;
b. Meningkatnya pengamanan dan perlindungan kawasan lindung;
c. Berkembangnya kawasan lindung baru;
d. Meningkatnya kemitraan dan pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan lindung.
2. Program Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Laut, dengan sasaran :
a. Terlaksananya rehabilitasi mangrove dan terumbu karang di
Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Barat;
b. Meningkatnya vegetasi pelindung pantai di kawasan wisata
pantai utara dan selatan Jawa Barat;
c. Tersedianya pranata pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil,
melalui penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Laut.
Indikator kinerja pencapaian luas kawasan lindung terhadap luas Jawa
Barat meningkat 27% (pada tahun 2007); 30-31% (pada midterm); 34-
35% (pada tahun 2013). Sedangkan kebijakan bidang kehutanan adalah
meningkatkan pengamanan dan pencegahan kerusakan kawasan hutan.
Kebijakan tersebut direalisasikan melalui Program Pengelolaan Kawasan
Lindung, dengan sasaran meningkatnya peran serta masyarakat desa
hutan dalam pengamanan kawasan hutan dan hutan kota sebagai ruang
terbuka hijau. Sosok Jabar pada tahun 2013 menurut bidang kehutanan
adalah Terciptanya kawasan konservasi dan kawasan lindung dari
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-7
berbagai gangguan pengrusakan hutan, sesuai dengan perencanaan tata
ruang kehutanan.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa dalam RPJMD Provinsi
Jawa Barat tahun 2008-2013 telah ditetapkan bahwa salah satu upaya
dalam pencapaian Green Province Jawa Barat melalui pencapaian luas
kawasan lindung dan telah ditetapkan pula indikator kinerja pencapaian
luas kawasan lindung terhadap luas Jawa Barat mulai tahun 2007
sampai 2012. Dengan demikian, secara landasan hukum arah
pencapaian Green Province ditekankan melalui pencapaian luas
kawasan lindung, yang diharapkan dapat direalisasikan pada tahun
2013.
2.1.5. Peraturan Ggubernur Jawa Barat No. 29 tahun 2010 tentang
RKPD provinsi Jabar tahun 2011
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun
2011 adalah pelaksanaan tahun ketiga dari periode kepemimpinan
Kepala Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008–2013, dan sekaligus
merupakan penjabaran dari skema Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008–2013,
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Tahun 2005–
2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011. Penyusunan RKPD
ditujukan sebagai upaya mewujudkan perencanaan pembangunan
daerah yang sinergis antara perencanaan pembangunan nasional
dengan provinsi dan kabupaten/kota maupun dengan provinsi yang
berbatasan.
Arah kebijakan RKPD Tahun 2011 terdiri dari dua belas kebijakan. Pada
arah Kebijakan Kedelapan, yakni : Kebijakan pembangunan yang
berkaitan dengan Peningkatan Kualitas Lingkungan dan
Penanganan Bencana diarahkan pada : (1) merehabilitasi lahan kritis
secara massal, terutama di hulu DAS prioritas; (2) mewujudkan tata
ruang untuk pembangunan berkelanjutan sebagai realisasi Jabar Green
Province; (3) meningkatkan kualitas mitigasi bencana dan
penanggulangan korban bencana secara akurat; (4) meningkatkan
pengelolaan dan pemrosesan sampah terpadu regional.
Berdasarkan RKPD provinsi Jawa Barat tahun 2011, khususnya terkait
dengan kebijakan pembangunan dalam peningkatan kualitas lingkungan
dan penanganan bencana telah secara konsisten dimuat dan selalu
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-8
mendapatkan dukungan APBD. Hal tersebut ditunjukkan pada tahun
anggaran 2011 bagi peningkatan kualitas lingkungan dan penanganan
bencana telah dialokasikan dana sebesar Rp. 1,321 trilyun.
2.2. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung dalam
Rangka Perwujudan Green Province
Green Province merupakan bagian dari pertumbuhan hijau dan ekonomi hijau
pada skala regional (provinsi). Pertumbuhan hijau dan ekonomi hijau
merupakan dua strategi dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
Strategi pertumbuhan hijau (Green Growth Strategies) digaungkan oleh
Organization Cooperation and Development (OECD) yang berpusat di Paris,
yakni organisasi negara-negara maju yang pertumbuhan ekonominya sudah
sangat tinggi. Kemudian United Nations Environmental Programme (UNEP) juga
meluncurkan suatu strategi yang disebut ekonomi hijau (Green Economy).
Kedua strategi tersebut meskipun berbeda memiliki makna/arti yang sama yakni
sebagai langkah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dengan menfokuskan pilar ekonomi yang mengintegrasikan pilar
lingkungan sekaligus pilar sosial. Namun demikian, secara internasional sampai
saat sekarang belum ada kesepakatan mengenai pengertian dari strategi Green
Economy atau Green Growth.
Indonesia mengartikan Green Economy sebagai suatu proses transformasi dalam
pembangunan ekonomi dan investasi ke arah pembangunan berkelanjutan,
bertujuan untuk merubah paradigma pembangunan. Sehingga ketiga pilar
pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan hidup, ekonomi dan sosial dapat
saling mendukung. Sebagai bentuk komitmennya Indonesia menyanggupi untuk
menurunkan emisi GRK menjadi 41% ke dalam strategi Green Economy
Indonesia.
Dalam mewujudkan Green Economy tersebut peranan Pemerintah Daerah
menjadi penting. Salah satu bentuk peran pemerintah provinsi diwujudkan
dalam Green Province. Dengan demikian, Green Province dapat diartikan sebagai
penerapan pembangunan berkelanjutan di seluruh kabupaten dan kota di
wilayahnya dengan menjaga lingkungan hidup sekaligus memanfaatkan
sumberdaya alam secara bertanggungjawab.
Dukungan perwujudan sebagai Green Province, Pemerintah Provinsi Jawa
Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) telah
mengalokasikan ruang kawasan lindung (KL) sebesar 45% dari luas wilayah total
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-9
daratan Jawa Barat (total luas daratan Jawa Barat 3.709.528,44 ha). Hal ini
didukung oleh kebijakan-kebijakan seperti Perda Jabar No. 2/2006 (tentang
Kawasan Lindung), Perda Jabar No 22/2010 (tentang RTRWP) dan Perda no.
2/2009 (RPJM Jabar 2008-2013).
Secara konseptual, perwujudan Green Province dapat dicapai melalui langkah-
langkah berikut :
1. Penyiapan Green Resources, merupakan landasan (akar) dalam
mewujudkan green province yaitu green culture, green coverage, land and
water conservation, green research dan recycle material.
2. Pemastian landasan pelaksanaan pembangunan berbasis Green
Development yakni pembangunan yang ramah lingkungan meliputi
sustainable development based spatial, green building, sustainable forest
management, sustainable farming, dan penerapan environmental friendly
technology.
3. Memastikan proses pembangunan menggunakan Green Process yakni
proses pembangunan yang menghasilkan dampak minimal pada
lingkungan dan sosial yakni safe operation, efficiency production and
waste reduction, energy and water saving, dan environmental control.
4. Mengendalikan bahwa semua produk yang diproduksi dan beredar di Jawa
Barat adalah Green Product yakni berbagai produksi yang dihasilkan
memiliki tingkat keamanan dan menjamin kelestarian lingkungan yakni
preservation endangered wildlife and biodiversity, save for human, green
waste, dan environment friendly product.
Mengacu pada tahap dalam memastikan pelaksanaan pembangunan berbasis
Green Development adalah pembangunan berbasis pada perencanaan ruang.
Pembangunan harus mendukung kegiatan sosial ekonomi dan struktur ruang
yang melindungi proses pembangunan. Perlindungan pembangunan dilakukan
dengan mengalokasikan ruang sesuai fungsinya antara kawasan budidaya dan
kawasan lindung. Peranan Kawasan Lindung dalam perwujuan Green Province
Jawa Barat menjadi penting, karena beberapa hal berikut :
1. Pendistribusian pola ruang sebagai kawasan berfungsi lindung sebesar
45% dari luas daratan, sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan
pengembangan sosial dan ekonomi di Jawa Barat secara optimal;
2. Kawasan berfungsi lindung merupakan ruang untuk mewujudkan Green
Province dalam aspek ketercapaian penutupan lahan serta konservasi
tanah dan air, sebagai salah satu tulang punggung dalam penurunan
emisi GRK;
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-10
3. Keberadaan Kawasan Lindung dan Kualitas Kawasan Lindung merupakan
awal dari peta jalan (road map) dalam perwujudan Green Province.
Pengelolaan Kawasan Lindung yang baik adalah pengelolaan kawasan lindung
yang menjamin tidak terjadinya perubahan fungsi kawasan lindung, kepastian
keberadaan lokasi kawasan lindung, pemanfaatan kawasan lindung secara lestari
dan upaya perlindungan serta peningkatan fungsi kawasan lindung. Tahapan
pengelolaan kawasan yang menunjang hal tersebut meliputi tahapan : (1)
Penataan Kawasan Lindung, (2) Pengelolaan Kawasan Lindung, (3) Perlindungan
dan Peningkatan Fungsi Kawasan lindung.
(1) Penataan Kawasan Lindung
Penataan Kawasan Lindung dimasudkan sebagai kegiatan rancang bangun
unit pengelolaan kawasan lindung. Mencakup pengelompokkan
sumberdaya hutan sesuai dengan tipenya dan potensi yang terkandung di
dalamnya dengan tujuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat secara lestari.
(2) Pengelolaan Kawasan Lindung
Prinsip dasar pengelolaan kawasan lindung ditujukan untuk meningkatkan
manfaat kawasan lindung secara lestari. Tiga pilar pengelolaan kawasan
lindung lestari yakni lingkungan, sosial dan ekonomi, sebagai bentuk
pengelolaan dalam meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dapat
menunjang kehidupan manusia. Secara konseptual, kerangka dasar
pengelolaan kawasan lindung seperti Gambar 2-1.
Nilai Etika/Budaya
Variabilitas sosial
Pengelolaan Kawasan Lindung
Variabilitas Ekonomi
Kualitas Lingkungan Kebijakan Lingkungan
Gambar 2-1. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-11
Terjaminnya variabilitas ekologi, variabilitas ekonomi dan kualitas
lingkungan akan berdampak terhadap terjaminnya kelestarian kawasan
lindung yang dikelola. Kebijakan yang mendukung pengelolaan kawasan
lindung akan sangat mendukung tercapainya kelestarian kawasan lindung.
Di sisi lain, aspek nilai etika/budaya juga sangat berpengaruh dalam sistem
pengelolaan kawasan lindung. Masyarakat dengan nilai etika/budaya yang
baik, akan berakibat pada terjaganya kawasan lindung. Dengan demikian,
kelestarian kawasan lindung akan terjamin.
(3) Perlindungan dan peningkatan fungsi kawasan lindung
Dalam beberapa hal, Kawasan Lindung sering dijadikan sebagai areal
cadangan untuk kegiatan budidaya yang menyebabkan kawasan lindung
mengalami tekanan terhadap pengurangan luasan maupun fungsi kawasan.
Oleh karena itu, kegiatan perlindungan di kawasan lindung menjadi penting.
Perlindungan di kawasan lindung ditujukan dalam rangka melindungi
kawasan tersebut dari konversi lahan, perambahan kawasan, kebakaran,
penebangan liar serta penambangan liar. Kegiatan-kegiatan tersebut
diprediksi dapat mengganggu fungsi pokok kawasan lindung dan
keanekaragaman hayati.
Mengacu pada landasan hukum dan prinsip pengelolaan kawasan lindung, dalam
mewujudkan capaian luas kawasan lindung dapat dilakukan melalui intervensi
sebagai berikut :
1. Dukungan RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dalam memberi
kepastian sebaran dan luas kawasan lindung;
2. Dukungan arah kebijakan jangka panjang maupun jangka menengah di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota pro perlindungan kawasan lindung
yang mendukung arah kebijakan pengelolaan kawasan lindung;
3. Dukungan program dan kegiatan dalam meningkatkan kondisi dan fungsi
kawasan lindung;
4. Kegiatan Sosial di tataran masyarakat yang mendukung keberadaan dan
kondisi kawasan lindung;
5. Kegiatan ekonomi yang mampu meningkatkan manfaat kawasan lindung
dalam menunjang kesejahteraan masyarakat.
Dengan arah intervensi tersebut diharapkan pencapaian luas kawasan lindung
akan mendukung ke arah tercapainya Green Province Jawa Barat (Gambar 2-
2).
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-12
RTRW PROPINSI
JAWA BARAT
2009 - 2029
RTRW
KABUPATEN/ KOTA
DI JAWA BARAT
RPJMD
PROVINSI JAWA
BARAT
RKPD PROVINSI
JABAR LEVEL
PROVINSI
PROGRAM dan
KEGIATAN
KEGIATAN
EKONOMI
PENCAPAIAN
LUAS
KAWASAN
LINDUNG
KEPASTIAN
SEBARAN
DAN LUAS KL
ARAH KEBIJAKAN
PENGELOLAAN
KL
KEGIATAN
SOSIAL
MENINGKATKAN
KONDISI DAN
FUNGSI KL
MENDUKUNG
KEBERADAAN
DAN KONDISI KL
PENINGKATAN
KEMANFAATAN
KL
RPJMD
KABUPATEN/
KOTA JAWA
BARAT
RKPD KAB/KOTA
DI JABAR
PROGRAM dan
KEGIATAN
KEGIATAN
SOSIAL
KEGIATAN
EKONOMI LEVEL
KABUPATE
N/KOTA
MENUJU
GREEN
PROVINCE
Gambar 2-2. Alur Pengelolaan Kawasan Lindung
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-13
2.3. Tipologi Kawasan Lindung Jawa Barat
Menurut Perda Jabar no 22 tahun 2010, tipe kawasan lindung di Jawa Barat
dikelompokkan ke dalam beberapa tipe (tipologi), yaitu :
a. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya,
meliputi :
1. Kawasan hutan lindung;
2. Kawasan resapan air;
b. Kawasan perlindungan setempat, meliputi :
1. Sempadan pantai;
2. Sempadan sungai;
3. Kawasan sekitar waduk dan danau/situ;
4. Kawasan sekitar mata air;
5. RTH di Kawasan Perkotaan;
c. Kawasan suaka alam, meliputi :
1. Kawasan cagar alam;
2. Kawasan suaka margasatwa;
3. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
4. Kawasan mangrove;
d. Kawasan pelestarian alam, meliputi :
1. Taman nasional;
2. Taman hutan raya;
3. Taman wisata alam;
e. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
f. Kawasan rawan bencana alam, meliputi :
1. Kawasan rawan tanah longsor;
2. Kawasan rawan gelombang pasang;
3. Kawasan rawan banjir;
g. Kawasan lindung geologi, meliputi :
1. Kawasan cagar alam geologi dan kawasan kars;
2. Kawasan rawan bencana alam geologi;
3. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah;
h. Taman buru;
i. Kawasan perlindungan plasma nutfah eks-situ;
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-14
j. Terumbu karang;
k. Kawasan koridor bagi satwa atau biota laut yang dilindungi; dan
l. Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung.
Penentapan tipologi kawasan lindung tersebut berdasarkan kriteria yang diatur
dalam Peraturan Daerah no 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung. Perda tersebut saat ini tengah direvisi. Kriteria penentuan tipe kawasan
lindung Jawa Barat disajikan pada Tabel 2-1.
Tabel 2-1. Kriteria penetapan tipe kawasan lindung Jawa Barat
No. Jenis Kawasan Lindung Kriteria
1. Perlindungan Kawasan di Bawahnya
a. Hutan Lindung Skor ≥175, lereng ≥ 40%, ketinggian 2000 mdpl, tanah sangat peka erosi (lereng 15%), resapan air, perlindungan pantai.
b. Kawasan berfungsi lindung non hutan
Skor 125-175, curah hujan >1000 mm/th, lereng 15%, ketinggian 1000-2000 mdpl.
c. Kawasan resapan air Curah hujan >1000 mm/th, pasir halus min 1/16 mm, kecepatan air 1 m/hr, kedalaman muka air tanah >10 m, lereng <15%, kedudukan muka air dangkal > tinggi dari muka air dalam.
2. Kawasan Perlindungan Setempat
a. Sempadan pantai Sekurang-kurangnya 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
b. Sempadan sungai
>5 m sungai bertanggul di pedesaan, >3 m dari tanggul sungai perkotaan, >10 m dari tepi sungai tidak bertanggul diperkotaan dan kedalaman tidak lebih besar 3m, >15 m dari tepi sungai tidak bertanggul di perkotaan dan kedalaman 3-20 m, >30 m dari tepi sungai tidak bertanggul di perkotaan dan kedalaman tidak lebih besar 20 m, >100 m dari tepi sungai, garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan.
c. Kawasan sekitar waduk dan situ
> 50 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
d. Kawasan sekitar mata air > 200 m radius dari sekitar mata air.
e. Tanah timbul Sedimentasi di sungai dan atau pesisir pantai.
3. Kawasan Suaka Alam
a. Cagar Alam - Keanekaragaman flora dan fauna serta tipe ekosistem.
- Memiliki kondisi alam baik dan asli, ciri khas potensi, komunitas ekosistem langka.
b. Suaka Margasatwa Habitat satwa dengan populasi tinggi, satwa langka perlu dikonservasi, tempat hidup satwa migran tertentu.
c. Suaka Alam Laut dan Perairan laut dan darat, pesisir, sungai gugusan karang
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-15
No. Jenis Kawasan Lindung Kriteria
Perairan-nya dan atol yang memiliki khas keragaman dan ekosistem.
d. Kawasan Hutan Payau
>130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah.
4. Kawasan Pelestarian Alam
a. Taman Nasional Mempunyai luas untuk proses ekologis, khas dan unik tumbuhan dan satwa dan gejala alam, ekosistem utuh, terbagi beberapa zona.
b. Taman Hutan Raya Mempunyai tumbuhan dan satwa asli/bukan asli, keindahan alam dan gejala alam, dan koleksi tumbuhan dan satwa.
c. Taman Wisata Alam Mempunyai daya tarik alam, kondisi lingkungan mendukung pengembangan wisata alam.
5. Taman Buru Areal cukup dan lapangan tidak membahayakan, terdapat satwa buru yang dapat dikembangbiakan.
6. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah
Plasma nutfah yang belum ada di kawasan konservasi, tempat kehidupan satwa baru dengan areal cukup luas dan lapangan tidak membahayakan.
7. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan
Memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sekurang-kurangnya berumur 50 tahun, benda alam yang dianggap penting untuk sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
8. Kawasan Konservasi Geologi
a. Kawasan Cagar Alam Geologi
Memiliki wujud dan ciri geologi unik, langka dan khas.
b. Kawasan Kars Batuan karbonat memperlihatkan bentang alam kars.
9. Kawasan Rawan Bencana Alam
a. Kawasan rawan bencana gunung api
Kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi dari pusat letusan gunung api.
b. Kawasan rawan gempa Kawasan yang mempunyai sejarah kegempaan yang merusak; dilalui oleh patahan aktif; catatan kegempaan dengan kekuatan (magnitudo) lebih besar dari 6 pada Skala Richter; potensi terjadi pembuburan tanah (Liquifaction).
c. Kawasan rawan gerakan tanah
Kawasan dengan kerentanan gerakan tanah.
d. Kawasan rawan banjir Daerah dengan ketinggian 0-25mdpl, kemiringan di bawah 5%, sedimentasi tinggi > 20.000 m3/th.
10 Hutan Kota Luas >2.500 M2 dan sekurang-kurangnya 10% dari luas wilayah.
Tipe kawasan lindung yang terdapat di wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat
bervariasi, ada yang memiliki beberapa tipologi kawasan lindung ada juga yang
hanya memiliki satu tipologi kawasan lindung. Kabupaten pada umumnya
memiliki tipologi kawasan lindung yang lebih bervariasi dibandingka dengan
wilayah kota. Sebaran tipe kawasan lindung di Jawa Barat dapat dilihat pada
Gambar 2-3 dan Tabel 2-2.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-16
Tabel 2-2. Sebaran Lokasi Tipe Kawasan Lindung di Setiap Kabupaten/Kota
di Jawa Barat
No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi
1. Perlindungan Kawasan di Bawahnya
a. Hutan Lindung Hutan lindung yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH):
1) Bogor
2) Sukabumi
3) Cianjur
4) Purwakarta
5) Bandung Utara
6) Bandung Selatan
7) Garut
8) Tasikmalaya
9) Ciamis
Gambar 2-3. Peta Sebaran Kawasan Lindung Provinsi Jawa Barat (RTRW Jabar, 2010)
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-17
No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi
10) Sumedang
11) Majalengka
12) Indramayu
13) Kuningan
b. Kawasan berfungsi lindung non hutan
Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung, tersebar di Kabupaten/Kota
c. Kawasan resapan air Kawasan resapan air, tersebar di Kabupaten/Kota
2. Kawasan Perlindungan Setempat
d. Sempadan pantai 1) Kabupaten Bekasi
2) Kabupaten Karawang
3) Kabupaten Sukabumi
4) Kabupaten Cianjur
5) Kabupaten Subang
6) Kabupaten Garut
7) Kabupaten Tasikmalaya
8) Kabupaten Ciamis
9) Kabupaten Cirebon
10) Kota Cirebon
11) Kabupaten Indramayu
f. Sempadan sungai Terletak di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS)
g. Kawasan sekitar waduk dan Situ
a) Waduk Darma, terletak di Kabupaten Kuningan
b) Waduk Saguling, terletak di Kabupaten Bandung
c) Waduk Cirata, terletak di Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta
d) Waduk Jatiluhur, terletak di Kabupaten Purwakarta
e) Waduk Situpatok dan Waduk Sedong, terletak di Kabupaten Cirebon
f) Waduk Cipancuh dan Waduk Situ Bolang, terletak di Kabupaten Indramayu
g) Lain-lain waduk yang tersebar di Kabupaten/Kota
h) Situ, tersebar di Kabupaten/Kota
h. Kawasan sekitar mata air
Kawasan sekitar mata air, tersebar di Kabupaten/Kota
i. Tanah Timbul Tanah timbul, tersebar di Kabupaten/Kota
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-18
No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi
3. Kawasan Suaka Alam
a. Cagar Alam 1) Cagar Alam Arca Domas dan Cagar Alam Yan Lapa, terletak di Kabupaten Bogor
2) Cagar Alam Talaga Warna, terletak di Kabupaten Bogor dan Cianjur
3) Cagar Alam Cadas Malang, Cagar Alam Bojong Lorang Jayanti dan Cagar Alam Takokak, terletak di Kabupaten Cianjur
4) Cagar Alam Gunung Simpang, terletak di Kabupaten Cianjur dan Bandung
5) Cagar Alam Telaga Patengan, Cagar Alam Gunung Malabar, Cagar Alam Cigenteng Cipanji I/II, Cagar Alam Yung Hun dan Cagar Alam Gunung Tilu, terletak di Kabupaten Bandung
6) Cagar Alam Papandayan (Perluasan) dan Cagar Alam Kawah Kamojang, terletak di Kabupaten Bandung dan Garut
7) Cagar Alam Tangkubanperahu, terletak di Kabupaten Bandung dan Subang
8) Cagar Alam Talagabodas dan Cagar Alam Leuweung Sancang, terletak di Kabupaten Garut
9) Cagar Alam Sukawayana, Cagar Alam Cibanteng, Cagar Alam Tangkuban Perahu (Palabuhanratu), Cagar Alam Pelabuhan Ratu dan Cagar Alam Dungus Iwul, terletak di Kabupaten Sukabumi
10) Cagar Alam Burangrang, terletak di Kabupaten Purwakarta
11) Cagar Alam Gunung Jagat, terletak di Kabupaten Sumedang
12) Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Cagar Alam Panjalu/Koordera, terletak di Kabupaten Ciamis
13) Lain-lain cagar alam, tersebar di Kabupaten/Kota
b. Suaka Margasatwa Suaka margasatwa, yaitu:
1) Suaka Margasatwa Cikepuh, terletak di Kabupaten Sukabumi
2) Suaka Margasatwa Gunung Sawal, terletak di Kabupaten Ciamis
3) Suaka Margasatwa Sindangkerta, terletak di Kabupaten Tasikmalaya
4) Lain-lain suaka margasatwa, tersebar di Kabupaten/Kota
c. Suaka Alam Laut dan perairannya
1) Suaka Alam Laut Leuweung Sancang, terletak di Kabupaten Garut
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-19
No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi
2) Suaka Alam Laut Pangandaran, terletak di Kabupaten Ciamis
3) Suaka Alam Laut Pulau Biawak, terletak di Kabupaten Indramayu
4) Suaka Alam Cipatujah, terletak di Kabupaten Tasikmalaya
5) Suaka Alam Ujung Genteng, terletak di Kabupaten Sukabumi
6) Lain-lain suaka alam laut, tersebar di Kabupaten/Kota
d. Kawasan Hutan Payau
1) Muara Gembong, terletak di Kabupaten Bekasi
2) Tegalurung, Mayangan dan Pangarengan, terletak di Kabupaten Subang
3) Tanjung Sedari, terletak di Kabupaten Karawang
4) Eretan, Kandanghaur, Losarang, Cantigi, Pasekan, Indramayu, Balongan dan Krangkeng, terletak di Kabupaten Indramayu
5) Lain-lain kawasan hutan payau, tersebar di Kabupaten/Kota
4. Kawasan Pelestarian Alam
a. Taman Nasional 1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, terletak di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor
2) Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, terletak di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor
3) Taman Nasional Gunung Ciremai, terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka
4) Lain-lain taman nasional, tersebar di Kabupaten/Kota
b. Taman Hutan Raya 1) Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, terletak di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung
2) Taman Hutan Raya Pancoran Mas, terletak di Kota Depok
3) Taman Hutan Raya Kuningan, terletak di Kabupaten Kuningan
4) Taman Hutan Raya Gunung Palasari dan Taman Hutan Raya Gunung Kunci, terletak di Kabupaten Sumedang
5) Lain-lain taman hutan raya, tersebar di Kabupaten/Kota
c. Taman Wisata Alam 1) Taman Wisata Alam Talaga Warna, Taman Wisata Alam Gunung Salak Endah, Taman Wisata Alam Gunung Pancar, Taman Wisata Alam Cilember, Taman Wisata Alam Curug Luhur dan Taman Wisata Alam
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-20
No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi
Gunung Nangka, terletak di Kabupaten Bogor
2) Taman Wisata Alam Sukawayana, terletak di Kabupaten Sukabumi
3) Taman Wisata Alam Jember, terletak di Kabupaten Cianjur
4) Taman Wisata Alam Telaga Patengan dan Taman Wisata Alam Cimanggu, terletak di Kabupaten Bandung
5) Taman Wisata Alam Tangkubanperahu, terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang
6) Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut
7) Taman Wisata Alam Papandayan, Taman Wisata Alam Talagabodas dan Taman Wisata Alam Gunung Guntur, terletak di Kabupaten Garut
8) Taman Wisata Alam Gunung Tampomas dan Taman Wisata Alam Gunung Lingga, terletak di Kabupaten Sumedang
9) Taman Wisata Alam Linggarjati, terletak di Kabupaten Kuningan
10) Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran, terletak di Kabupaten Ciamis
11) Taman Wisata Alam Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya
12) Taman Wisata Alam Gunung Parang dan Taman Wisata Alam Cibungur, terletak di Kabupaten Purwakarta
13) Lain-lain taman wisata alam, tersebar di Kabupaten/Kota
5. Taman Buru Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, terletak di Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan
Kabupaten Sumedang
6. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah
a. Muara Gembong, terletak di Kabupaten Bekasi
b. Kebun Raya Bogor, terletak di Kota Bogor
c. Taman Safari Indonesia, Taman Buah Cileungsi dan Gunung Salak Endah, terletak di Kabupaten Bogor
d. Taman Bunga Nusantara dan Kebun Raya Cibodas, terletak di Kabupaten Cianjur
e. Pantai Pangumbahan dan Perairan Sukawayana, terletak di Kabupaten Sukabumi
f. Jatiluhur/Sanggabuana, terletak di Kabupaten Purwakarta
g. Kawah Putih dan Gunung Patuha, terletak di
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-21
No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi
Kabupaten Bandung
h. Kebun Binatang Bandung, terletak di Kota Bandung
i. Cimapag/Rancabuaya dan Arboretum Cibeureum, terletak di Kabupaten Garut
j. Gunung Cakrabuana, Sirah Cimunjul dan Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya
k. Majingklak, Karangkamulyan, Cipanjalu dan Cukang Taneuh, terletak di Kabupaten Ciamis
l. Kebun Raya Kuningan, terletak di Kabupaten Kuningan
m. Lain-lain kawasan perlindungan plasma nutfah, tersebar di Kabupaten/Kota
7. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan
a. Istana Bogor, Batu Tulis, Makam Mbah Dalem, Museum Zoologi dan Vihara Budha Sena, terletak di Kota Bogor
b. Batu Tulis Ciaruteun dan Gua Gudawang, terletak di Kabupaten Bogor
c. Istana Cipanas, Situs Megalitik Gunung Padang dan Makam Dalem Cikundul, terletak di Kabupaten Cianjur
d. Makam Sunan Gunungjati, terletak di Kabupaten Cirebon
e. Gua Sunyaragi, Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan, terletak di Kota Cirebon
f. Museum Linggarjati dan Situs Budaya Cipari, terletak di Kabupaten Kuningan
g. Kampung Naga, terletak di Kabupaten Tasikmalaya
h. Cadas Pangeran, Desa Adat Rancakalong, Museum Geusan Ulun, Makam Cut Nyak Dien dan Makam Dayeuh Luhur, terletak di Kabupaten Sumedang
i. Candi Cangkuang dan Kampung Dukuh, terletak di Kabupaten Garut
j. Ciung Wanara Karang Kamulyan, Kampung Kuta dan Astana Gede Kawali, terletak di Kabupaten Ciamis
k. Gedung Sate, Gedung Pakuan, Gedung Landraad dan Gedung Merdeka, terletak di Kota Bandung
l. Observatorium Bosscha, Situs Bojongmenje dan Situs Gua Pawon, terletak di Kabupaten Bandung
m. Museum Perjuangan Rengasdengklok, Tugu Proklamasi Rengasdengklok, Kawasan Percandian Batujaya dan Cibuaya, Situs Candi Jiwa dan Situs Makam Pulo Batu Wadas, terletak di Kabupaten Karawang
n. Kampung Adat Cipta Gelar, terletak di Kabupaten Sukabumi
o. Lain-lain kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, tersebar di Kabupaten/Kota
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-22
No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi
8. Kawasan Konservasi Geologi
a. Kawasan Cagar Alam Geologi
1) Cagar Alam Geologi Gua Pawon, terletak di Kabupaten Bandung
2) Cagar Alam Geologi Ciletuh, terletak di Kabupaten Sukabumi
b. Kawasan Kars 1) Citatah-Tagog Apu, terletak di Kabupaten Bandung
2) Ciseeng, Gunung Kembar, Gunung Batu dan Ciampea, terletak di Kabupaten Bogor
3) Bumiayu, terletak di Kabupaten Sukabumi
9. Kawasan Rawan Bencana Alam
a. Kawasan rawan bencana gunung api
a) Kawasan Gunung Salak, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi
b) Kawasan Gunung Gede Pangrango, terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi
c) Kawasan Gunung Halimun, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi
d) Kawasan Gunung Tangkubanparahu, terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang
e) Kawasan Gunung Papandayan, terletak di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung
f) Kawasan Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut
g) Kawasan Gunung Guntur, terletak di Kabupaten Garut;
h) Kawasan Gunung Ciremai, terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka
b. Kawasan rawan gempa 1) Kabupaten Ciamis
2) Kabupaten Cianjur
3) Kabupaten Garut
4) Kabupaten Majalengka
5) Kabupaten Sumedang
6) Kabupaten Bogor
7) Kabupaten Sukabumi
8) Kota Sukabumi
9) Kabupaten Subang
10) Kabupaten Purwakarta
11) Kabupaten Kuningan
c. Kawasan rawan gerakan 1) Kabupaten Bogor
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-23
No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi
tanah 2) Kabupaten Cianjur
3) Kabupaten Sukabumi
4) Kabupaten Purwakarta
5) Kabupaten Subang
6) Kabupaten Bandung
7) Kabupaten Sumedang
8) Kabupaten Garut
9) Kabupaten Tasikmalaya
10) Kabupaten Ciamis
11) Kabupaten Majalengka
12) Kabupaten Kuningan
d. Kawasan rawan banjir Kawasan rawan banjir, tersebar di Kabupaten/Kota
10 Hutan Kota a. Hutan Kota Babakan Karet, terletak di Kabupaten Cianjur
b. Lain-lain hutan kota, tersebar di Kabupaten/Kota
Sumber: RTRW Provinsi Jawa Barat (2010).
Selain tipologinya, luas kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat
juga bervariasi, ada yang luas dan ada pula yang sempit. Kabupaten Garut
memiliki luas kawasan lindung paling luas, yakni seluas 309.001, 28 ha. Luas
masing-masing tipologi kawasan lindung pada setiap kabupaten/kota di Jawa
Barat disajikan pada Tabel 2-3.
Proses penilaian kinerja harus memperhatikan aspek keadilan (fairness). Bobot
nilai tinggi akan diberikan jika energi (upaya/pengorbanan) yang dilakukan
dalam pengelolaan kawasan lindung juga tinggi, begitupun sebaliknya. Salah
satu yang dapat dijadikan penentuan bobot nlilai kinerja tersebut adalah tipologi
kawasan lindung. Dalam buku ini, tipologi kawasan lindung ditentukan pada
setiap indikator berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja
pengelolaan kawasan lindung pada indikator yang bersangkutan. Faktor-faktor
yang dimaksud bisa bersifat beban, penghambat atau pendukung dalam upaya
pencapaian kinerja. Beberapa faktor yang dapat dipertimangkan dalam
penentuan tipologi kawasan lindung antara lain: luas dan jenis kawasan lindung,
indeks Fiskal APBD , jumlah penduduk, angka kemiskinan, indeks pembangunan
manusia (IPM), dan sebagainya. Interaksi dan korelasi yang bersifat posistif
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-24
sangat diharapkan terjadi antar faktor faktor tersebut diatas dengan kondisi dan
pngelolaan kawasan lindung.
Berdasarkan luas dan jenis kawasan lindung, maka tipologi kabupaten yang ada
di Jawa Barat dapat dikelompokan menjadi kabupaten dengan kawasan lindung
yang besar, sedang dan kecil. Kabupaten yang memiliki kawasan lindung yang
besar akan memerlukan kinerja dan sumberdaya yang cukup besar untuk
mengelola dan melestarikan kawasan lindung. Berbeda halnya dengan
kabupaten yang memiliki kawasan lindung yang relatif kecil yang hanya
memerlukan upaya, kinerja dan sumberdaya yang relatif kecil.
Tipologi kabupaten berdasarkan luas kawasan lindung mempengaruhi
pencapaian kinerja suatu indikator tertentu yang berbeda dengan indikator
yang tidak dipengaruhi oleh luas kawasan lindung. Akan tetapi semua indikator
sangat dipengaruhi oleh faktor faktor tertentu sesua dengan bidangnya. Oleh
karena itu pemahaman tentang faktor yang mempengaruhi kinerja suatu
indikator harus dikaji menjadi suatu tipologi yang menjadi pertimbangan dalam
penilaian suatu indikator terutama dalam penentuan bobot indikator pada
kabupaten tertentu.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
II-25
Tabel 2-3. Luas tipe kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat
NO KAB/KOTA
LUAS WILAYAH Kab/kota
KAWASAN LINDUNG KAWASAN BUDI DAYA Persentase Luas KL terhadap total KL
Hutan Non Hutan Total KL Jumlah luas
(ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (%)
1 KAB. BANDUNG 176,565.27 52,843.86 29.93 53,373.68 30.23 106,217.53 60.16 2,201.33 1.25 6.42
2 KAB. BANDUNG BARAT 130,617.28 21,705.42 16.62 42,689.68 32.68 64,395.09 49.30 15,469.00 11.84 3.89
3 KAB. BEKASI 128,127.40 11,449.87 8.94 3,548.65 2.77 14,998.52 11.71 - - 0.91
4 KAB. BOGOR 298,015.40 43,478.12 14.59 67,967.89 22.81 111,446.02 37.40 39,685.95 13.32 6.74
5 KAB. CIAMIS 281,412.60 5,725.67 2.03 112,487.05 39.97 118,212.72 42.01 30,738.66 10.92 7.14
6 KAB. CIANJUR 358,684.80 51,238.93 14.29 163,984.46 45.72 215,223.40 60.00 41,841.56 11.67 13.01
7 KAB. CIREBON 105,604.20 7.17 0.01 1,412.53 1.34 1,419.70 1.34 4,388.81 4.16 0.09
8 KAB. GARUT 309,001.30 93,270.69 30.18 153,202.38 49.58 246,473.06 79.76 11,949.95 3.87 14.90
9 KAB.INDRAMAYU 207,182.30 5,595.04 2.70 644.26 0.31 6,239.30 3.01 30,895.88 14.91 0.38
10 KAB. KARAWANG 191,209.30 8,601.42 4.50 15,217.16 7.96 23,818.58 12.46 13,435.27 7.03 1.44
11 KAB. KUNINGAN 122,289.30 9,572.31 7.83 51,970.98 42.50 61,543.28 50.33 25,241.90 20.64 3.72
12 KAB. MAJALENGKA 131,904.80 10,144.55 7.69 35,266.04 26.74 45,410.58 34.43 17,957.04 13.61 2.74
13 KAB. PURWAKARTA 96,845.12 2,561.36 2.64 37,148.54 38.36 39,709.90 41.00 18,296.13 18.89 2.40
14 KAB. SUBANG 215,644.30 12,644.13 5.86 35,986.51 16.69 48,630.64 22.55 13,654.09 6.33 2.94
15 KAB. SUKABUMI 417,701.30 50,062.31 11.99 227,682.21 54.51 277,744.52 66.49 57,302.04 13.72 16.79
16 KAB. SUMEDANG 156,061.70 18,528.39 11.87 71,782.72 46.00 90,311.11 57.87 28,205.67 18.07 5.46
17 KAB. TASIKMALAYA 267,522.40 17,138.76 6.41 156,351.64 58.44 173,490.40 64.85 31,165.40 11.65 10.48
18 KOTA BANDUNG 16,440.12 0.98 0.01 164.04 1.00 165.02 .00 - - 0.01
19 KOTA BANJAR 9,793.34 - - - - - - 1,153.79 11.78 -
20 KOTA BEKASI 0,159.01 - - - - - - - - -
21 KOTA BOGOR 10,981.58 - - 234.50 2.14 234.50 2.14 - - 0.01
22 KOTA CIMAHI 4,468.39 - - - - - - - - -
23 KOTA CIREBON 3,329.72 - - - - - - - - -
24 KOTA DEPOK 18,973.00 7.00 0.04 - - 7.00 0.04 - - 0.00
25 KOTA SUKABUMI 5,301.05 - - 1,236.70 23.33 1,236.70 23.33 445.55 8.40 0.07
26 KOTA TASIKMALAYA 21,101.42 1,188.38 5.63 6,581.29 31.19 7,769.66 36.82 261.05 1.24 0.47
JUMLAH
3,704,936.40
415,764.34 11.22 1,238,932.90 33.44 1,654,697.2
4 44.66 384,289.07 10.37 100.00
SUMBER : RTRWP Jabar tahun 2010
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
III-1
BAB III
METODE PENENTUAN
KRITERIA DAN INDIKATOR
3.1. Kerangka Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator dan Verifier
Tercapainya kawasan lindung sebesar 45% dari luas total daratan Jawa Barat
merupakan tujuan utama pogram Green Province Jawa Barat. Tujuan lainnya
adalah tumbuhnya budaya hijau (Green culture) di masyarakat Jawa Barat yang
mendorong kesadaran tinggi dalam melestarikan lingkungan hijau di wilayah
Jawa Barat. Perwujudan hijau secara fisik (Green based on land coverage) pada
kawasan lindung merupakan unsur utama menuju tercapainya Green Province
Jawa Barat. Namun demikian, hijau secara fisik sulit dicapai tanpa adanya
budaya/kultur baru cinta lingkungan yang dimiliki masyarakat Jawa Barat.
Aktivitas ekonomi dalam pemanfaatan kawasan lindung atau sumberdaya alam
seringkali mengorbankan kepentingan eksosistemnya. Sehingga menurunkan
daya dukung sumberdaya alam. Demikian pula, kegiatan sosial, norma dan
budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan kawasan lindung turut
berpengaruh dalam upaya pelestarian kawasan lindung. Oleh karena itu,
kegiatan ekonomi, dan sosial dalam interaksi dengan pemanfaatan biofisik
kawasan lindung perlu didukung dengan serangkaian kebijakan dari pemerintah
agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi kawasan lindung.
Dalam hal ini, aspek kebijakan menjadi payung atau prasyarat yang harus
dipenuhi agar tujuan pengelolaan kawasan lindung dapat tercapai dengan baik.
Dalam rangka mengukur tercapainya tujuan pengelolaan kawasan lindung, perlu
dibuat kriteria dan indikator yang tepat. Kriteria dan indikator yang tepat, yaitu
kriteria indikator yang memiliki sifat terukur, sederhana atau mudah
diaplikasikan di lapangan, murah, serta mudah ditelusuri ulang. Kritera dan
indikator yang akan dikembangkan dalam pengelolaan kawasan lindung Jawa
Barat meliputi empat aspek, yaitu : aspek kebijakan, biofisik, ekonomi dan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
III-2
sosial. Tipe indikator yang dikembangkan adalah kombinasi indikator input,
output dan outcome.
Kriteria dan indikator yang ditetapkan disusun secara dua dimensi, yaitu dimensi
vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal terdiri dari komponen Prinsip, Kriteria,
Indikator dan Verifier, sedangkan dimensi horizontal terdiri dari komponen
kebijakan, biofisik, ekonomi dan sosial (Gambar 3-1). Prinsip adalah suatu
aturan atau kebenaran fundamental yang mendasari pola berpikir atau
bertindak. Kriteria adalah standar yang digunakan untuk mengetahui/menilai
apakah kemajuan yang dicapai dapat memenuhi prinsip. Indikator adalah
variabel atau komponen dari sistem pengelolaan yang mencerminkan atau
mengindikasikan situasi atau kondisi yang diperlukan oleh kriteria. Verifier
adalah data atau informasi yang dapat menambah kejelasan dan memudahkan
penilaian terhadap suatu indikator. Secara keseluruhan hirarki pada Gambar 3-
1 menggambarkan hubungan yang erat dan utuh antara tujuan (Prinsip) pada
tingkat atas dengan Kriteria dan Indikator sampai ke tingkat terbawah yaitu
Verifier (Penguji). Kerangka kerja ini harus memenuhi logika dasar agar tetap
terjalin utuh.
Gambar 3-1. Dimensi pengembangan kriteria dan indikator pengelolaan
kawasan lindung
Perencanaan, impelementasi dan pengendalian Prinsip
(tujuan)
Kriteria
Indikator
Verifier
(penguji)
Kebijakan Biofisik ekonomi sosial
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
III-3
Prinsip (tujuan) umum pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat adalah
tercapainya luas kawasan lindung sebesar 45% dari total luas daratan Jawa
Barat serta terpeliharanya kualitas kawasan lindung yang mampu memberikan
fungsi perlindungan lingkungan hidup secara optimal bagi kenyamanan dan
kesejahteraan masyarakat Jawa Barat (Perda Jawa Barat No. 22 tahun 2012).
Prinsip tersebut diberlakukan sebagai kerangka kerja utama untuk mewujudkan
langkah-langkah menuju pengelolaan kawasan lindung lestari, melalui
penyusunan dan pengembangan kriteria, indikator, dan verifier. Prinsip umum
tersebut dijabarkan lebih lanjut pada setiap aspek pengelolaan meliputi aspek
kebijakan, bofisik, sosial dan ekonomi.
Kriteria dapat dipandang sebagai prinsip tingkat kedua yang menambah arti
pada prinsip dan membuatnya menjadi berfungsi atau lebih operasional. Kriteria
dapat memiliki satu atau lebih indikator dimana informasi yang disediakan oleh
indikator dapat diintegrasikan dan cara penilaian dapat ditafsirkan menjadi
semakin jelas. Verifier (pengukur) ini memberikan rincian spesifik yang
menunjukkan atau mencerminkan keadaan suatu indikator yang diinginkan.
Keterangan yang disebutkan dalam verifier ini memberikan arti tambahan,
presisi dan juga kondisi spesifik lokasi suatu indikator tertentu.
Kriteria dan indikator yang akan ditetapkan harus memenuhi kaidah SMART
(specific, measurable, achievable, responsibility, treasureable)
1. Spesipik (Specific)
Kriteria yang dibuat harus bersifat spesipik sesuai dengan objek yang akan
dinilai (assessment).
2. Terukur (Measurable)
Kriteria dan indikator yang dikembangkan harus dapat terukur dan
terstandarisasi.
3. Dapat diterima/dipahami (Achievable)
Kriteria dan indikator yang akan dikembangkan harus dapt diterima dan
mudah dipahami serta mudah diaplikasikan di lapanan
4. Responsibility (responsibility)
Kriteria dan indikator yang dikembangkan harus dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara saintifik maupun
operasional
5. Dapat ditelusuri ulang (treasureable)
Kriteria dan indikator yang digunakan dalam penilaian dapat ditelusuri
ulang, untuk mengecek validitas datanya.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
III-4
3.2. Tahapan Penetapan Kriteria dan Indikator
Secara garis besar, tahapan penentuan kriteria dan indikator meliputi (1)
Identifikasi potensi dan masalah, kebijakan, isu strategis, stakeholder dan tujuan
pengelolaan kawasan lindung; (2) Gap analysis; (3) Penentuan prinsip, kriteria,
indikator dan verifier; (4) Pengujian validasi kriteria dan indikator di lapangan,
serta evaluasi ulang validitas kriteria dan indikator. Metode penetapan prinsip,
kriteria, indikator dan verifier secara diagramatik disajikan pada Gambar 3-2.
Gambar 3-2. Metode penetapan prinsip, kriteria, indikator dan verifier
pegelolaan kawasan lindung
Identifikasi potensi, masalah, kebijakan,
stake holder, isu strategis dan tujuan
(prinsip), pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat
Gap analysis Kondisi faktual dengan kondisi
yang ideal (diharapkan)
Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator
dan Verifier (PKIV) pengelolaan
kawasan lindung secara empirik dan
saintifik
Pengujian PKIV saintifik dan
empirik di lapangan
Uji Validitas PKIV
OK ?
PKIV
Operasional
(SMART)
Re-
Evaluasi &
koreksi PKIV
Y
N
Aspek kebijakan Biofisik
Sosek Ekonomi
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
III-5
3.2.1. Identifikasi potensi, masalah, kebijakan, stakeholder, isu
strategis dan tujuan pengelolaan kawasan lindung
Identifikasi potensi dan permasalahan kawasan lindung perlu
diketahui untuk memahami segala permasalahan dan potensi yang
bisa dikembangkan dalam pengelolaan kawasan lindung secara
lestari. Selain itu, analisis stakeholder (para pihak) dan kebijakan
yang mengatur pemanfaatan kawasan lindung perlu dilakukan untuk
mengetahui arah pengembangan pengelolaan kawasan lindung.
3.2.2. Gap analysis
Gap analysis dilakukan terhadap kondisi faktual (eksisting) dengan
kondisi ideal yang diharapkan. Gap analysis dapat dijadikan dasar
untuk menentukan standar (syarat) kecukupan yang harus dipenuhi
pada salah satu aspek dalam pengelolaan kawasan lindung. Gap
analysis dilakukan secara spasial (keruangan).
3.2.3. Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator dan Verifier
pengelolaan kawasan lindung secara empirik dan
saintifik
Setelah mempelajari pemasalahan, isu startegis, kebijakan dan gap
analysis maka dapat disusun prinsip, kriteria, indikator dan verifier
yang bersifat saintifik dan empirik. Untuk mempermudah
penyusunan kriteria dan indikator dibuatkan tabel panduan yang
mencakup: aspek penilaian, prinsip, kriteria, indikator, verifier, bobot
penilaian (Tabel 3-1). Penjelasan kriteria, argumentasi pentingnya
kriteria, penjelasan indikator dan argumentasi pentingnya indikator
(Tabel 3-2) serta jenis data dan sumber data, metode verifikasi dan
instrumen verifikasi.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
III-6
Tabel 3-1. Kriteria, indikator, verifier dan kematangan indikator
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian
(kematangan indikator)
Tabel 3-2. Penjelasan setiap kriteria dan indikator
No Kriteria Penjelasan
Kriteria
Argumentasi Pentingnya
Kriteria Indikator
Penjelasan Indikator
Argumentasi pentingnya Indikator
Tabel 3-3. Jenis data, sumber data, metode verifikasi dan instrumen verifikasi
setiap indikator
INDIKATOR VERIFIER JENIS DATA
SUMBER DATA
METODE VERIFIKASI
INSTRUMEN VERIFIKASI
3.2.4. Pengujian Kriteria dan Indikator di Lapangan
Kriteria dan indikator yang telah disusun dan dirumuskan tidak
langsung ditetapkan dan dipergunakan sebagai alat evaluasi baku.
Kriteria dan indikator tersebut harus diuji terlebih dahulu dengan
proses validasi dan verifikasi di lapangan. Pengujian kriteria dan
indikator dilakukan untuk mengetahui tingkat penerapan indikator dan
verifier di lapangan.
Pengujian pertama yang akan dilakukan adalah uji coba alat/model
evaluasi yang telah dirumuskan dengan cara mencocokkan dengan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
III-7
kondisi riil di lapangan (validasi empirik). Selain itu model/alat evaluasi
tersebut dipergunakan untuk melakukan evaluasi berdasarkan sampel
data kondisi riil yang ada (validasi operasional). Pengujian ini
dilakukan dengan melibatkan unsur pengguna/pemanfaat program
kawasan lindung, terutama dari unsur pemerintah daerah. Pengujian
juga dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan model/alat evaluasi
dan indikator tersebut kepada pihak yang berkepentingan
(stakeholders) terhadap terwujudnya kawasan lindung lestari.
Pengujian direncanakan dilakukan dengan menggunakan beberapa
sampel wilayah di tingkat kabupaten/kota yang berada dalam lingkup
Provinsi Jawa Barat. Dimana alat evaluasi tersebut diterapkan pada
beberapa instansi terkait dan kalangan masyarakat.
Diharapkan dari hasil pengujian dapat diperoleh kriteria dan indikator
yang bisa menjadi alat evaluasi yang cukup representatif dan efektif.
Namun bersifat sederhara, realistik dan operasional/implementif untuk
mengukur target pencapaian kawasan lindung di suatu wilayah
tertentu.
3.2.5. Penetapan Kriteria dan Indikator Skala Operasional
Kriteria dan indikator operasional ditetapkan setelah dilakukan uji coba
di lapangan. Validitas kriteria dan indikator dapat ditempuh melalui
forum diskusi/pembahasan. Pada forum tersebut dilakukan
pembahasan secara mendalam atas usulan-usulan perbaikan (korektif)
kriteria dan indikator yang sulit ditetapkan di lapagan. Diharapkan dari
forum diskusi/pembahasan diperoleh saran-saran masukan dan
rekomendasi bagi penyempurnaan lebih lanjut. Sehingga
menghasilkan kriteria dan indikator yang cukup valid dan bersifat
operasional untuk digunakan di lapangan.
3.2.6. Re-Evaluasi Kriteria dan Indikator
Kriteria dan indikator kawasan lindung yang telah ditetapkan bukan
bersifat kaku (rigid), tetapi dapat mengalami perubahan terus-
menerus sesuai dengan perkembangan kondisi dan kasus yang
ditemui di lapangan saat dilakukan penilaian. Perbaikan, dapat
dilakukan dalam periode waktu yang konstan seperti setiap setahun
sekali atau dalam kurun waktu yang diperlukan tanpa ditentukan
sebelumnya. Melalui tahapan proses tersebut diharapkan kriteria dan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
III-8
indikator menjadi lebih relevan, reliable dan applicable sehingga
memiliki reevansi yang tinggi terhadap kondisi serta mengikuti waktu.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-1
BAB IV
KRITERIA DAN INDIKATOR
PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG
JAWA BARAT
Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat setelah diuji di
lapangan ditetapkan sebanyak empat prinsip, 19 kriteria, 40 indikator dan 93
verifier (Tabel 4-1) . Kriteria Indikator yang disusun meliputi aspek aspek yaitu
aspek biofisik, kebijakan, sosial dan ekonomi. Indikator biofisik lebih bersifat
indikator output, sedangkan indikator kebijakan pada umumnya bersifat input.
Indikator ekonomi bersifat ouput dan outcome.
Tabel 4-1. Jumlah prinsip, kriteria, indikator dan verifier yang ditetapkan
Aspek Prinsip Kriteria Indikator Verifier
Biofisik 1 4 13 28
Kebijakan 1 6 11 29
Sosial 1 3 8 24
Ekonomi 1 6 8 12
Jumlah 4 19 40 93
4.1. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik
Aspek biofisik menjadi landasan dalam penilaian kawasan lindung karena
kawasan lindung sangat erat hubungannya dengan kondisi biofisik. Kondisi
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-2
biofisik, yaitu : kondisi fisik lahan beserta vegetasinya yang mendukung dalam
peranan kawasan lindung di suatu wilayah. Dimana kawasan lindung adalah :
suatu wilayah dengan keadaan sumberdaya alam air, flora dan fauna seperti
hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sekitar sumber mata air, alur
sungai, dan kawasan lindung lainnya sebagimana diatur Kepres 32 Tahun 1990.
Terdapat tiga kriteria biofisik yang menjadi dasar pertimbangan dalam
penentuan suatu wilayah sebagai kawasan lindung, yaitu faktor kelerengan
lapangan, faktor jenis tanah menurut kepekaan terhadap erosi, dan faktor rata-
rata intensitas hujan harian. Selain itu, dalam wilayah kawasan lindung yang
berfungsi sebagai tata air, banjir dan erosi sangat mementingkan keberadaan
vegetasi dengan kondisi yang optimum di suatu wilayah.
Berdasarkan luas, secara fisik Provinsi Jawa Barat telah menetapkan kawasan
lindung di provinsi pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 tahun 2006
ditetapkan seluas 45%. Untuk mewujudkan rencana pencapaian kawasan
lindung tentunya terdapat kendala-kendala yang dihadapi. Dengan menetapkan
prinsip, kriteria, indikator pada aspek biofisik ini diharapkan dapat menjadi alat
monitoring terhadap kondisi kawasan lindung di wilayah Provinsi Jawa Barat.
4.1.1. Prinsip Aspek Biofisik
Prinsip (tujuan) pengelolaan kawasan lindung dilihat dari aspek biofisik adalah :
Terciptanya kondisi biofisik kawasan lindung yang semakin baik sesuai dengan
tipologinya, meliputi luas dan kejelasan, kesesuaian peruntukan atau fungsinya,
kualitas fisik, serta upaya pelestariannya. menurut tipologi kawasan lindung.
4.1.2. Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik
Pada aspek biofisik dari satu prinsip yang menjadi landasan diurai ke dalam
empat kriteria dan 13 indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Luas dan kejelasan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan luar
kawasan, terdiri atas 2 indikator.
2) Kesesuaian peruntukkan dan fungsi kawasan lindung, terdiri atas 1
indikator.
3) Kualitas kawasan lindung pada seluruh tipe kawasan lindung, terdiri atas 6
indikator.
4) Upaya-upaya pelestarian kawasan lindung, terdiri atas 4 indikator.
Uraian detail masing-masing kriteria dan indikator sebagi berikut :
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-3
1) Luas dan kejelasan kawasan lindung, baik kawasan lindung dalam
kawasan dan di luar kawasan.
Kriteria ini menunjukkan luas dan letak masing–masing tipe kawasan
lindung dalam suatu wilayah administratif, yang sudah ditandai batasnya
secara jelas baik di dalam peta maupun di lapangan. Kriteria ini menjadi
penting, karena untuk mendukung fungsi optimal dari suatu kawasan
lindung memerlukan luas yang optimum sehingga luas dan kejelasan batas
kawasan lindung penting untuk kepastian kawasan lindung dimaksud.
Kriteria ini mencakup dua indikator, sebagai berikut:
a. Penataan batas kawasan lindung pada kawasan hutan negara.
Setiap jenis kawasan lindung harus memiliki tata batas yang jelas. Tata
batas merupakan pemisah antara kawasan lindung dalam kawasan dengan
luar kawasan. Indikator ini bertujuan agar terjadi penataan batas kawasan
yang jelas untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan kawasan
lain. Hal ini penting karena kawasan lindung pada dasarnya memiliki tata
kelola khusus yang berbeda dengan kawasan lainnya. Penataan kawasan
hutan negara relatif jelas karena sudah ada aturan yang jelas.
b. Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan
Pada umumnya penadaan batas di luar kawasan hutan masih jarang dan
relatif sulit untuk dilakukan, apalagi pada tanah milik. Namun demikian
kejelasan kawasan lindung pada kawsan di luar hutan negara sangat
penting untuk memberikan insentif dan dis-insentif yang berkeadilan.
Kejelasan batas-batas kawasan lindung pada lahan milik juga penting untuk
mencegah terjadinya konflik tenurial dan konflik sosial.
2) Kesesuaian peruntukkan dan fungsi kawasan lindung.
Kriteria ini dimasukkan sebagai standar penilaian kawasan lindung untuk
mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) dan atau zona kelas kemampuan lahan dan yang ada di
Kawasan lindung. Kepentingan kriteria ini dapat mengetahui
permasalahan penggunaan lahan di kawasan lindung. Aspek
pengendalian kawasan lindung tergambar dari kesesuaian penggunaan
lahan di kawasan lindung.
Kriteria ini mencakup satu indikator yaitu :Kesesuaian peruntukan kawasan
lindung.
Indikator kesesuaian peruntukan lahan di kawasan lindung untuk
mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana tata ruang
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-4
wilayah (RTRW) dan atau zona kelas kemampuan lahan dan yang ada di
Kawasan lindung.
Indikator kesesuaian peruntukan dan fungsi kawasan lindung untuk
mengetahui permasalahan dari penggunaan lahan di kawasan lindung.
Aspek pengendalian kawasan lindung tergambar dari kesesuaian
penggunaan lahan di kawasan lindung.
3) Kualitas kawasan lindung pada seluruh tipe kawasan lindung.
Kualitas kawasan lindung sangat terkait dengan fungsi kawasan lindung.
Semakin baik kualitas kawasan lindung, maka fungsi lindung akan semakin
terpenuhi. Fungsi kawasan lindung akan terpenuhi jika total area kawasan
berfungsi dengan baik. Kualitas kawasan lindung menjadi gambaran dari
fungsi kawasan lindung. Kualitas kawasan lindung dapat digambarkan
dengan tingkat penutupan vegetasinya yang mencakup keseluruhan
kawasan lindung atau yang dibandingkan dengan luas area.
Mencakup enam indikator yaitu :
a. Penutupan vegetasi di kawasan lindung Tipe I (Sempadan pantai;
Sempadan sungai; Kawasan sekitar waduk/danau; Kawasan sekitar mata
air; Kawasan mangrove Taman nasional;Tahura; Taman Wisata Alam;
Kawasan rawan tanah longsor; Kawasan rawan gelombang pasang;
Kawasan rawan banjir; Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung).
Kualitas kawasan lindung dapat digambarkan dengan kualitas penutupan
vegetasi. Kawasan lindung tipe I merupakan kawasan lindung yang
difungsikan untuk menghindari bahaya, seperti : erosi, longsor dan
banjir. Fungsi lainnya adalah sebagai kawasan resapan air. Adanya
fungsi ganda dari kawasan lindung tipe satu yang mempunyai fungsi
ganda ini mengharuskan kawasan lindung ini harus berada dalam
keadaan kualitas yang lebih baik yang diwujudkan dengan tingkat
penutupan vegetasi yang rapat pada keselurahan areal kawasan
lindung tipe I ini terutama dalam menghindarkan bahaya yang timbul
akibat rendahnya tingkat/kualitas penutupan vegetasi.
b. Penutupan vegetasi di kawasan lindung dg Tipe II (Kawasan resapan air;
RTH; Kawasan yang memberi perlindungan air tanah; KPN eks-situ;
Kawasan koridor bagi satwa).
Kawasan ini dari segi kondisi fisik alaminya tidak memberikan bahaya
longsor, banjir atau bahaya lainnya. Namun fungsi yang dikedepankan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-5
adalah fungsi manfaat yang ingin diperoleh seperti respan air, dan
keanekaragaman hayati. Untuk memperoleh manfaat dari kawasan
lindung tipe II maka diperlukan tingkat penutupan vegetasi dengan
tingkat penutupan yang optimal, yaitu minimal tingkat penutupan
vegetasi dengan kerapatan sedang (diperkirakan sekitar diatas 40%
karapatan tajuk pohonnya).
c. Keberadaan RTH di kawasan perkotaan atau kawasan budidaya yang
berfungsi lindung
Bagi Kabupaten atau kota yang tidak memiliki kawasan lindung, maka
keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi sangat penting. RTH di
kawasan perkotaan memberikan perlindungan terhadap polusi udara dan
fungsi hiroorologis serta fungsi sosial. Luas RTH minimal 30% dari luas
daratan di wilayah kota.
d. Debit air sungai yang dipengaruhi oleh kawasan lindung.
Debit air sungai menggambarkan fungsi hidroorologis kawasan lindung
dan merupakan output dari proses yang terjadi pada kawasan lindung.
Baik buruknya kawasan lindung dapat digambarkan dari kualitas debit
air sungai. Debit air sungai menjadi indikator kualitas kawasan dan
signal peringatan bagi bahaya yang terjadi akibat buruknya kawasan
lindung.
e. Keanekaragaman jenis pohon pada kawasan lindung di luar kawasan
atau non hutan
Keanekaragaman jenis pohon menggambarkan jumlah jenis pohon di
kawasan lindung. Keanekaragaman pohon merupakan keanekaragaman
kunci yang mendukung bagi keanekaragaman satwa, dan spesies non
pohon. Keanekaragaman hayati dalam kawasan lindung menjadi
gambaran ketahanan ekosistem dalam kawasan lindung, serta upaya
konservasi sumberdaya hayati di kawasan lindung.
f. Pengelolaan keanekaragaman hayati di Kawasan Lindung
Indikator ini menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan dalam menjaga
dan meningkatkan keanekaragaman hayati secara terencana dan
terkendali. Keanekaragaman hayati bersifat dinamis apabila tidak
dilakukan penanganan secara baik maka keanekaragaman hayati bisa
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-6
menurun. Penurunan keanekaragaman hayati dapat menurunkan
kualitas kawasan lindung.
4) Upaya-upaya pelestarian kawasan lindung.
Upaya yang dilakukan oleh pengelola dalam menangani, menjaga dan
meningkatkan fungsi kawasan lindung. Keberadaan kawasan lindung dalam
keadaan kritis yang masih belum tertangani masih cukup tinggi. Disamping
itu, ancamanpun cukup tinggi pula, sehingga upaya pelestarian kawasan
lindung harus terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya pelestarian kawasan
lindung dapat mencakup tiga indikator, yaitu :
a. Aktivitas penanaman, pemeliharaaan, perlindungan dan pengamanan
pada kawasan lindung.
Indikator ini merupakan upaya pokok dalam pelestarian kawasan lindung
untuk menjaga kelangsungan dan kelestarian suatu kawasan lindung.
b. Pengurangan lahan kritis pada berbagai tipe kawasan lindung.
Lahan kritis adalah lahan di kawasan lindung yang tidak berfungsi
lindung, dan berpotensi memberikan dampak buruk/ bahaya serta tidak
memberikan manfaat yang optimal. Saat ini luas kritis masih cukup
tinggi dan menjadi fokus utama untuk dikurangi.
c. Ketersediaan bibit untuk mendukung upaya penanaman di kawasan
lindung
Jaminan pengadaan bibit merupakan penunjang utama dalam
pelestarian kawasan lindung. Pengadaan bibit adalah faktor penting
dalam menunjang kelestarian kawasan lindung dan menjadi titik kritis
dalam penanganan kawasan lindung. Kawasan lindung yang telah
ditanami dengan tegakan pohon memerlukan regenerasi dari bibit
alami maupun buatan.
d. Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan
terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan
wilayah setempat di kawasan lindung.
Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan
terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan
wilayah setempat di kawasan lindung non hutan
Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek biofisik disajikan pada Lampiran
Tabel 1
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-7
4.2. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Kebijakan
Kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy dikaitkan dengan keputusan
pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat dalam melakukan aktivitas yang
diharapkan, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Dalam
mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi dalam
mewujudkan kesejahteraannya. Hal pertama yang harus diatur adalah
ruang/wilayahnya. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan tentang penataan
ruang dengan tujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional sesuai dengan (Pasal 3 UU No.26/2007):
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Salah satu yang diatur dalam penataan ruang adalah Pola Ruang yakni distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya dalam wujud
Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya yang dituangkan dalam Rencana Tata
Ruang. Hasil proses penataan ruang adalah Rencana Tata Ruang yang
dituangkan dalam Peta Rencana Tata Ruang (RTRW) Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Sebaran dan luas kawasan lindung dan kawasan budidaya
sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya, akan terlihat dari rencana
tata ruang tersebut.
Pengaturan pola ruang yang sesuai dengan ketentuan tersebut, diharapkan
aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat akan aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan. Aktivitas masyarakat sebagaimana tersebut, peran Kawasan
Lindung menjadi penting karena memiliki fungsi utamanya adalah melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
daya buatan. Komitmen pemerintah mengenai keberadaan dan luasan kawasan
lindung diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah, Rencana Program dan
Kegiatan serta dukungan APBD dalam kepastian proses-proses pembangunan
yang menjamin kawasan lindung, upaya perlindungan dan pelestarian serta
pengaturan pemanfaatan kawasan lindung secara lestari.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-8
Berdasarkan hal tersebut, maka Aspek Kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan
Kawasan Lindung merupakan indikasi tentang komitmennya untuk menjamin
keberadaan dan luasan kawasan lindung. Sehingga fungsi utama kawasan
lindung menjadi maksimal. Dari aspek Kebijakan tersebut, fokus assessment
akan dilihat dari Prinsip, Kriteria dan Indikator serta Verifier yang memastikan
bahwa arahan aktivitas menjamin keberadaan dan luasan kawasan lindung.
4.2.1. Prinsip Aspek Kebijakan
Prinsip pengelolaan kawasan lindung ditinjau dari aspek kebijakan adalah
Dukungan kebijakan dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di
masyarakat, menjamin kepastian kawasan lindung, serta upaya perlindungan,
pemanfaatan dan peningkatan fungsi kawasan lindung termasuk cagar budaya
dan ilmu pengetahuan.
Kebijakan merupakan dasar untuk mengarahkan aktivitas kegiatan ekonomi dan
sosial dalam pengelolaan kawasan lindung adalah kebijakan menumbuh
kembangkan budaya hijau dan kebijakan tata ruang, agar:
a. Terwujudnya perilaku (life style) masyarakat yang mendukung pengelolaan
kawasan lindung;
b. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
c. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
d. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang
Prinsip ini mendorong Pemerintah Provinsi/Kabupaten untuk memiliki aturan
yang dapat mengarahkan masyarakat dan proses pembangunan dalam hal
berikut:
a. Menumbuhkembangkan budaya hijau di masyarakat sebagai modal sosial
(social capital) dalam mendukung keberadaan kawasan lindung melalui
kebiasaan menanam pohon di kalangan masyarakat dan menanamkan
prinsip pengelolaan kawasan lindung di kalangan generasi melalui
pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau
Peraturan lainnya.
b. Menjamin keberadaan dan sebaran kawasan lindung sesuai dengan aturan
di atasnya, memberikan akses pembangunan ekonomi tidak di lakukan di
kawasan lindung sehingga keberadaan (lokasi) dan luasan kawasan lindung
secara lestari dan fungsi utamanya untuk perlindungan lingkungan dalam
mendukung kehidupan masyarakat yang aman, nyaman dan berkelanjutan.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-9
c. Menjamin bahwa akan dilakukan perlindungan dan pelestarian kawasan
lindung dari segala tekanan baik dari manusia, alam maupun tekanan
pembangunan.
d. Menjamin bahwa upaya pemanfaatan Kawasan Lindung dalam bentuk
manfaat jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu tidak mengganggu
fungsi utamanya dan keuntungannya dikembalikan kepada upaya
perlindungan dan pelestarian kawasan lindung.
e. Menjamin bahwa dampak lingkungan terhadap kesehatan berbasis
lingkungan dan tingkat produktivitas pertanian, peternakan dan perikanan
menjadi tanggungjawab Pemerintah
f. memastikan bahwa Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota memiliki
aturan yang dapat mengarahkan masyarakat dan proses pembangunan
dalam menjamin keberadaan dan kelestarian benda cagar budaya sehingga
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menggali kearifan
lokal sebagai modal pembangunan
Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi
terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Indonesia, benda
cagar budaya harus berumur sekurang-kurangnya 50 tahun (UU No.5 tahun
1992). Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi,
tetapi terdapat berbagai disiplin ilmu yang dapat melakukan analisis
terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar
budaya dengan kebudayaan sekarang.
4.2.2. Kriteria Aspek Kebijakan
Kriteria atau standard yang menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota memiliki aturan dalam menjamin untuk menumbuh
kembangkan budaya hijau di masyarakat, menjamin kepastian Kawasan
Lindung, serta upaya perlindungan, pemanfaatan dan peningkatan fungsi
kawasan lindung, adalah sebagai berikut.
1. Kejelasan kebijakan untuk meningkatkan budaya menanam
pohon.
Kejelasan kebijakan untuk meningkatkan budaya menanam pohon
merupakan standard yang dapat menjamin bahwa terdapat aturan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-10
dalam mencitakan iklim/kondisi yang mampu menumbuh-kembangkan
budaya hijau di masyarakat sehingga terjadi peningkatan modal sosial
sebagai modal dasar dalam mendukung keberadaan dan luasan kawasan
lindung sehingga fungsi kawasan lindung menjadi optimal dan lestari.
Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian
terhadap keberadaan dan substansi kebijakan yang menjamin kondisi di
atas.
2. Kebijakan yang menjamin kepastian kawasan lindung dalam
RTRW Kabupaten/Kota.
Kebijakan tentang Penataan Ruang merupakan standard utama dalam
memastikan keberadaan dan sebaran Kawasan Lindung di setiap
kabupaten/kota. Keberadaan RTRW Kabupaten/Kota merupakan indikasi
bahwa arah pembangunan yang akan dilakukan telah menjamin
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan; terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian
tentang keberadaan dan substansi kebijakan yang menjamin pemastian
kawasan lindung telah teralokasikan sesuai dengan proporsi di setiap
kabupaten/kota.
3. Kebijakan yang mendukung upaya perlindungan kawasan
lindung
Secara kewenangan Kawasan Lindung dibedakan atas Kawasan Lindung
yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Standard kebijakan dalam pengeloaan
kawasan lindung adalah keberadaan kebijakan untuk melakukan upaya
perlindungan kawasan lindung yang enjadi tanggungjawabnya dan
mendukung upaya Pemerintah Pusat dalam melakukanupaya
perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggngjawabnya.
Assessment yang dilakukan terhadap keterpenuhan standard ini adalah
melalui kajian terhadap keberadaan kebijakan untuk melakukan upaya
perlindungan dan mendukung upaya yang dilakukan Pemerintah Pusat
dalam melakukan perlidungan kawasan lindung yang menjadi
tanggungjawabnya.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-11
4. Kejelasan kebijakan mekanisme pengaturan pemanfaatan
kawasan lindung secara lestari yang menjadi tanggung-
jawabnya dan mendukung upaya pemanfaatan kawasan
lindung secara lestari yang menjadi tanggung-jawab pusat/
provinsi.
Kawasan Lindung dapat dimanfaatkan secara terbatas yang tidak
mengganggu fungsi utamanya dalam bentuk pemanfaatan kawasan
lindung, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan non
kayu. Standard keterpenuhan aspek kebijakan adalah adanya
pengaturan pemanfaatan kawasan lindung secara lestari sehingga
menjamin bahwa pemanfaatan kawasan lindung menggunakan prinsip-
prinsip kelestarian di Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya
dan mendukung upaya yang dilakukan untuk pemanfaatan Kawasan
Lindung yang menjadi tanggungjawab Pusat.
Assesment yang dilakukan terhadap keterpenuhan standard ini adalah
melalui kajian pedoman, SOP maupun aturan lainnya dalam
pemanfaatan Kawasan Lindung yang tidak bertentangan dengan
peraturan di atasnya.
5. Kejelasan kebijakan dalam menjaga dan meningkatkan fungsi
kawasan lindung di kawasan lindung yang menjadi tanggung-
jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan
fungsi kawasan lindung di kawasan lindung yang menjadi
tanggung-jawab pusat/provinsi.
Dalam mewujudkan kondisi Kawasan Lindung dalam menjamin fungsi
utamanya dapat berangsung, maka diperlukan untuk melindung,
menjaga dan meningkatkan kualitas penutupan lahan di Kawasan
Lindung. Keterpenuhan terhadap standard dari aspek ini menjadi
penting dalam menjamin keberlangsungan fungsi kawasan lindung
secara optimal.
Assessment yang dilakukan adalah melalui kajian tentang berbagai
peraturan yang menjamin upaya perlindungan dan peningkatan fungsi
kawasan lindung.
6. Kejelasan kebijakan dalam melindungi dan melestarikan cagar
budaya dan ilmu pengetahuan baik berupa gedung/monumen
(heritage) maupun budaya asli lokal (local native culture) dan
lingkungannya.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-12
Kejelasan kebijakan dalam pengelolaan Cagar budaya ditujukan untuk
menjaga atau melakukan konservasi terhadap benda-benda alam atau
buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Dalam konteks ini didalamnya perlu
melindungi komunitas dan lingkungannya. Oleh karena itu keterpenuhan
terhadap standard dariaspek ini menjadi penting dalam menjamim
keberlanjutan Cagar Alam.
Assessment yang dilakukan adalah melalui kajian tentang berbagai
peraturan yang menjamin Cagar Alam secara lestari untuk meningkatkan
kemanfaatan bagi ilmu pengetahuan dan pelestarian budaya.
4.2.3. Indikator Aspek Kebijakan
Terdapat 11 indikator pada aspek kebijakan, yaitu:
1. Ketersediaan Kebijakan, program dan alokasi dana dalam
menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat.
2. Ketersediaan kebijakan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat
TK, SD, SMP dan SMA/SMK.
3. RTRW Kab/Kota telah memenuhi legal aspek.
4. Ketersediaan program dan alokasi APBD dalam penataan batas kawasan
lindung hutan dan penandaan batas kawasan lindung non hutan.
5. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota yang melindungi kawasan
lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya
perlindungan yang menjadi tanggungjawab provinsi/ pusat.
6. Ketersediaan Program dan alokasi APBD dalam perlindungan kawasan
lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya
perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggung jawab
pusat/provinsi.
7. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Izin Pemanfaatan
Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan memfasilitasi
masyarakat untuk memperoleh Izin Pemanfaatan di Zona Pemanfaatan
Hutan Pelestarian Alam dari Pemerintah Pusat yang menjadi
tanggungjawab pusat.
8. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tekait pengaturan pola dan
budidaya tanaman di kawasan lindung lahan milik.
9. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang menjaga dan
meningkatkanfungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan
mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung
yang dilakukan Pemerintah Pusat/Provinsi.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-13
10. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan
pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau
sejarah.
11. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan
pelestarian komunitas budaya asli lokal, kesenian asli dan lingkungan yang
mendukungnya.
Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek kebijakan disajikan pada Lampiran
Tabel 2.
4.3. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Sosial
Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi pemenuhan generasi yang akan
datang. Dalam operasionalnya tidak terlepas dari ketiga ranah yaitu ranah
ekonomi, lingkungan dan social atau triple bottom line. Indikator pembangunan
dalam dimensi sosial sangat menentukan keberhasilan pembangunan secara
keseluruhan. Beberapa hal yang terkait dengan permasalahan-permasalahan
pada dimensi sosial seperti, demokrasi dan good governance, partisipasi
masyarakat, empowerment (pemberdayaan), hak asasi manusia, keadilan,
kesinambungan lingkungan, kesetaraan gender, dan lain-lain. Komponen-
komponen ini menjadi indikator yang dapat menciptakan kondisi untuk mencapai
tujuan pembangunan sesungguhnya, yaitu kesejahteraan masyarakat dan
keadilan sosial.
Pembangunan sosial sebagai bagian dari pembangunan nasional telah
memperoleh pengakuan yang luas. Terbukti dengan diselenggarakannya
Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Sosial (World Summit on
Social Development) di Copenhagen, Denmark tanggal 6-12 Maret 1995 yang
lalu. Pada konferensi tersebut dibahas tiga isu utama yang sedang melanda
dunia yaitu kemiskinan, penciptaan dan perluasan lapangan kerja dan
penumbuhan gerakan solidaritas sosial nasional.
Oleh sebab itu untuk dapat memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat
melalui pembangunan khususnya pembangunan sosial maka perlu
dilakukan tidak hanya membangun untuk kepentingan organisasi dan
masyarakat secara massal tetap juga memperhatikan kepentingan individu,
keluarga dan kelompok dalam masyarakat. Perspektif mikro menekankan
kepada pembangunan individual, keluarga, kelompok dan terkadang termasuk
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-14
juga organisasi. Program-program pembangunan harus diarahkan kepada
penguatan individu, keluarga dan kelompok agar mereka dapat memperoleh
kesejahteraan (well-being) sebagai modal sosial dalam pembangunan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Bain dan Hick yang dipetik Krishna dan
Shradder (2000) yang mengatakan bahwa modal sosial mempunyai dua
dimensi. Dimensi yang pertama yaitu dimensi kognitif, berkaitan nilai
dan kepercayaan, solidaritas dan resiprositas yang mendorong ke arah
terciptanya kerjasama dalam masyarakat guna mencapai tujuan bersama.
Setiap kelompok etnik memiliki dimensi kognitif atau kadang disebut juga
sebagai dimensi budaya sekalipun dalam kadar yang berbeda. Kekayaan
nilai-nilai budaya sebagai modal sosial memungkinkan terpeliharanya
hubungan yang harmonis, baik sesama warga masyarakat secara internal
maupun dengan orang-orang dari kelompok suku/etnisitas yang berbeda.
Dimensi modal sosial yang kedua yaitu dimensi struktural, yang berupa
susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat pada
tingkat lokal, yang mewadahi dan mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan
kolektif yang bermanfaat bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu untuk
mencapai kemajuan dalam pembangunan terlebih dalam pembangunan sosial
maka pembentukan invididu-individu yang tangguh dari segi mental dan
kejiwaan, keluarga yang kukuh dan kelompok sosial yang kuat merupakan
fondasi dasar dalam pembangunan. Individu, keluarga dan kelompok
sosial sedemikian mempunyai kemandirian dan daya tahan dari pengaruh
dan situasi perubahan di luar mereka. Kemandirian dan ketahanan ini
memungkinkan mereka terhindar dari masalah-masalah sosial seperti
maladjustment, keruntuhan rumah tangga, dan konflik sosial antara
kelompok dalam masyarakat. Situasi harmoni sedemikian memberi peluang
kepada setiap orang untuk membangun diri mereka mencapai tingkat
pendidikan tertinggi, memperoleh derajat kesehatan yang tinggi dan mencapai
kesejahteraan ekonomi yang memadai.
Dalam operasionalnya pembangunan hutan berkelanjutan harus mengikuti
konsep pembangunan berkelanjutan tersebut di atas. Pembangunan hutan
dalam konteks pengelolaan kawasan lindung harus memberikan manfaat
secara sosial dan ekonomi berkaitan dengan bagaimana sebuah kawasan
atau ekosistem dapat diidentifikasi dan kemudian dilindungi karena mutlak
keberadaannya untuk memenuhi kebutuhan dasar sebuah komunitas yang
dinamis.
Dengan masuknya masyarakat dan berbagai pihak lainnya dalam pengelolaan
hutan, maka membawa implikasi bagaimana membangun pengelolaan hutan
khususnya kawasan lindung secara lestari yang mempertimbangkan aspek
sosial, ekonomi dan ekologi. Hasil Konferensi Helsingki merumuskan 6 kriteria
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-15
manajemen perhutanan sosial yang berkelanjutan yaitu a). mempertahan dan
meningkatkan sumberdaya hutan dan kontribusinya terhadap siklus karbon; b).
mempertahankan kesehatan hutan dan vitalitasnya; c). mempertahankan
meningkatkan fungsi produktif dari hutan; d). memelihara, mengkonservasi dan
meningkatkan diversifikasi biologi dalam ekosistem hutan; e). memelihara dan
meningkatkan fungsi protektif dalam menajemen hutan; f.) dan memelihara
fungsi sosial ekonomi dan fungsi lainnya dari hutan (Wolfslehner et al. 2005).
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan khususnya di Jawa Barat yang telah
ditetapkan minimal 45% kawasan lindung, ha rus memperha t i kan
dampak-dampak langsung pada sumber kehidupan masyarakat lokal sering
terabaikan hingga bahkan hilang sama sekali. Hal ini dapat menyebabkan
konflik antara kepentingan unit pengelolaan dan masyarakat tidak
bisa dihindari. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan harus
mengacu konsep dalam paradigm pembangunan dengan tujuan pembangunan
milinium (milinium development goals/MDG) yang telah menjadi kesepakatan
masyarakat internasional, termasuk masyarakat Indonesia, disebutkan bahwa
tujuan pembangunan social adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat,
meningkatnya kualitas kehidupan serta tercukupinya kebutuhan dasar. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut diperlukan pendekatan pembangunan berkeadilan
dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.
Kaitannya dengan keterlibatan masyarakat dalam konteks pembangunan
kehutanan yang berkelanjutan, menurut Keraf dalam Siahaan (2007) bahwa
terdapat lima prinsip, yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial adalah semua orang dan kelompok
masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses
pembangunan dan kegiatan pembangunan;
2. Prinsip Demokrasi adalah pembangunan dilaksanakan atas kehendak rakyat,
kepentingan rakyat dan untuk kesejahtaraan rakyat. Dengan kata lain adalah
partisipasi rakyat diperlukan dalam merencanakan dan merumuskan
kegiatan atau agenda pembangunan;
3. Prinsip Pendekatan Integral adalah pembangunan berkelanjutan
mengedepankan integralisasi antara pengelolaan sumberdaya manusia
dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam lainnya;
4. Prinsip Perspektif Hari Esok adalah mengelola dengan cara yang arif
sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan ganerasi sekarang dan
akan datang;
5. Prinsip Menuntut dan Menghargai Keanekaragaman Hayati.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-16
Kemudian filosofi bahwa pemerintah terlibat dalam pengelolaan hutan
berkembang dari teori etika lingkungan (Antroposentris) dengan implikasinya
bahwa sumberdaya alam dan lingkungan disediakan untuk kepentingan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya. Pemerintah memiliki kepentingan terhadap
sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjalankan amanah Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 33 yaitu mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan
rakyat.
Dengan demikian, maka kepentingan pemerintah dalam pengelolaan hutan
adalah melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Peluso
(2006) dalam Maring (2010) menyatakan kepentingan negara dalam
pengelolaan sumberdaya hutan adalah mewujudkan kekuasaannya atas
sumberdaya hutan melalui cara menguasai hutan, spesies, tenaga kerja dan
aspek ideologis. Dengan demikian pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat
ini harus dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dalam kerangka
melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat.
Untuk dapat menjamin keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
lindung tidak terlepas dari aspek kelembagaan. Aspek kelembagaan merupakan
salah satu hal terpenting dalam pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan lindung. Ada beberapa hal dalam aspek kelembagaan pemberdayaan
masyarakat ini yakni: pertama, peran dan sinergitas diantara para pihak
(stakeholder), baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan;
kedua, akses masyarakat terhadap sumber daya kawasan dan dalam proses
pengambilan keputusan; ketiga, social capital (kepercayaan, kebersamaan,
partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan; keempat, posisi tawar
masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan.
Berdasarkan hal tersebut, maka Aspek Sosial dalam konteks pengelolaan
Kawasan Lindung merupakan indikasi tentang dukungan masyarakat terhadap
keberadaan kawasan lindung agar dapat berfungsi secara optimal. Dari aspek
social tersebut, fokus assessment akan dilihat dari Prinsip, Kriteria dan Indikator
serta Verifier yang memastikan bahwa arahan aktivitas social dapat menjamin
keberadaan dan luasan kawasan lindung.
4.2.1. Prinsip Aspek Sosial
Prinsip adalah suatu kebenaran atau hukum yang mendasari pola berpikir atau
bertindak yang melandasi pola hubungan yang harmonis antara masyarakat
dengan kawasan lindung untuk menjamin kualitas kawasan lindung baik
keberadaan dan luasannya agar dapat berfungsi secara optimal. Memperhatikan
tipe dan sebaran kawasan lindung di Jawa Barat, maka Prinsip sosial terkait
dengan pengelolaan kawasan lindung adalah : Pengakuan dan keterjaminan
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-17
manfaat social dan kelembagaan bagi masyarakat adat/setempat. Dalam
assessment terhadap Prinsip dimaksud adalah memastikan bahwa masyarakat
memiliki kelembagaan yang dapat mengarahkan dan meningkatkan keterlibatan
secara aktif masyarakat dalam proses pembangunan dengan memanfaatkan
modal sosial (social capital) untuk mendukung keberadaan kawasan lindung
melalui internalisasi budaya pada praktek-praktek masyarakat yang diwujudkan
dalam kearifan local dan kearifan tradisional pelestarian kawasan lindung.
4.2.2. Kriteria Aspek Sosial
Kriteria dari Aspek Sosial adalah suatu standar yang digunakan untuk menilai
dukungan masyarakat dalam bentuk kelembagaan dan keterlibatan masyarakat
untuk menjamin keberadaan dan luasan kawasan lindung sesuai dengan
Prinsipnya.
Kriteria atau standard yang menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota memiliki skema yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan kawasan lindung, adalah sebagai berikut.
1. Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyara-
kat setempat dengan kawasan lindung.
Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat setempat
dengan kawasan lindung merupakan standar yang menjamin kawasan
masyarakat hukum adat/masyarakat setempat dengan kawasan lindung
terdapat tanda-tanda batas yang jelas yang sebagai bukti pengakuan atas
keberadaan masyarakat adat/masyarakat setempat. Kejelasan batas ini
untuk menjamin kepastian kawasan lindung sehingga dapat dikelola
secara lestari.
Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian
terhadap yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat setempat
dengan kawasan lindung.
2. Kejelasan organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam
pengelolaan kawasan lindung bersama.
Kejelasan organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam pengelolaan
kawasan lindung bersama merupakan standar yang dapat menjamin
bahwa keberadaan organisasi masyarakat sebagai kumpulan individu
dalam masyarakat memiliki kepedulian dan memiliki komitmen yang kuat
dalam pengelolaan kawasan lindung bersama sehingga dapat dicapai
pengelolaan kawasan lindung secara berkelanjutan.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-18
Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian
terhadap organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam pengelolaan
kawasan lindung bersama.
3. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung merupakan
standar yang dapat menjamin bahwa pengelolaan kawasan lindung secara
berkelanjutan dapat terwujud dengan keterlibatan masyarakat dalam
setiap tahap kegiatan pengelolaan kawasan lindung.
Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian
terhadap Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung.
4.2.3. Indikator Aspek Sosial
Indikator adalah variabel atau komponen dari ekosistem Kawasan Lindung atau
sistem pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status suatu kriteria.
Terdapat delapan indikator dalam aspek sosial yaitu:
1. Batas-batas yang jelas antara kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat
setempat dengan kawasan lindung
2. Mekanisme resolusi konflik penguasaan lahan yang efektif
3. Ketersediaan organisasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung
4. Keseimbangan hak dan kewajiban stakeholder dalam pemanfaatan kawasan
lindung
5. Ketersediaan tata cara pemanfaatan kawasan lindung
6. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KL
7. Praktek pelestarian kawasan lindung secara tradisional di lahan adat
8. Praktek budaya lokal dalam pelestarian kawasan lindung
Adapun Indikator dari masing-masing kriteria dapat dilihat pada Lampiran Tabel
3.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-19
4.4. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Ekonomi
Tantangan besar yang dihadapi Provinsi Jawa Barat sampai tahun 2025 adalah
memulihkan dan menguatkan kembali daya dukung lingkungan dalam
pelaksanaan pembangunan. Bersamaan dengan itu keterlibatan masyarakat
untuk melakukan berbagai penguatan bagi terwujudnya perilaku dan budaya
ramah lingkungana, serta sadar resiko bencana perlu terus
ditumbuhkembangkan. Pengelolaan dan pelestarian kawasan lindung dengan
prinsip keberlanjutan menjadi tumpuan bagi upaya peningkatan kualitas
lingkungan hidup dimasa depan, karena penerapan prinsip–prinsip
pembangunan berkelanjutan dan sinergitas implementasi di seluruh sektor dan
wilayah menjadi prasyarat dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan.
Pembiayaan penataan jasa lingkungan merupakan aspek penting yang selama ini
sulit dilaksanakan karena terkait kerjasama dan komitmen antar pihak atau antar
daerah. Penerapan prinsip yang mencemari dan merusak harus membayar, pola
pembagian peran hulu-hilir atau pusat–daerah, bagi hasil pajak untuk
lingkungan, dana lingkungan, serta pola pembiayaan pemeliharaaan lingkungan
harus mulai dilakukan.
Usaha pelestarian fungsi kawasan lindung, yaitu fungsi lingkungan, sosial dan
ekonomi, diarahkan pada pemulihan kondisi dan peningkatan fungsi kawasan
lindung untuk menjaga keseimbangan ekosistem kawasan, kestabilan iklim baik
mikro maupun makro, manfaat ekologis dan menjaga sumber daya ekonomi
kawasan. Dalam kaitan pengurangan resiko bencana alam, kawasan lindung
bermanfaat besar guna mencegah atau mengurangi besaran serta dampak
akibat bencana alam, seperti banjir, longsor, dan tsunami, sedangkan potensi
yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi yaitu dari sisi manfaat jasa lingkungan
nilai tambah keanekaragaman hayati, dan sumberdaya air. Mengingat besarnya
peran dan fungsi yang diharapkan dari kawasan lindung di Jawa Barat, maka
dalam setiap pemanfaatannya harus dalam kaidah-kaidah konservasi.
4.4.1. Prinsip Aspek Ekonomi
Dalam konteks perwujudan kawasan lindung menuju Jawa Barat sebagai
Provinsi Hijau (Green Province), Prinsip aspek ekonomi diperlakukan sebagai
kerangka kerja primer untuk mendukung terwujudnya kawasan lindung dengan
pendekatan sustainable development. Prinsip ini menjadi dasar dalam menyusun
dan mengembangkan kriteria, indikator dan pengukur. Prinsip dapat juga
dianggap sebagai kearifan manusia. Kearifan di sini didefinisikan sebagai
pertambahan pengetahuan seseorang atau suatu kelompok yang dihasilkan oleh
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-20
kemampuan dalam mengambil kesimpulan setelah mereka memiliki tingkat
pemahaman yang mamadai tentang suatu bidang pengetahuan. Oleh karena itu
kearifan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan.
Memperhatikan Visi, Misi dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (2000-
2025) dan Jangka Menengah (2008-2013) Jawa Barat, maka Prinsip Aspek
Ekonomi terkait dengan Kawasan Lindung adalah : Pemanfaatan kawasan
lindung secara ekonomi berupa jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati
secara berkelanjutan.
Dalam Assessment prinsip aspek ekonomi ini, mencoba untuk mengukur secara
kuantitatif/pendekatan moneter potensi-potensi ekonomi yang dimiliki kawasan
lindung dengan tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung kawasan.
Jasa wisata alam dan wisata budaya serta multiplier efeknya merupakan
manfaat yang bisa diperoleh dari pengelolaan kawasan lindung, dengan
karakteristik yang dimiliki yang harus menekankan fungsi konservasi maka
pemanfaatan jasa wisata alam dan multiplier efeknya harus berbasis daya
tampung dan daya dukung kawasan, sehingga kelestarian jasa lingkungan dari
kawasan lindung dapat terpelihara.
4.4.2. Kriteria Aspek Ekonomi
Kriteria kawasan lindung bidang ekonomi dalam rangka menuju Jawa Barat
sebagai Provinsi Hijau (Green Province), diturunkan dari manfaat ekonomi yang
bisa diperoleh dari kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam arah
pembangunan RPJMD 2008-2013 Jawa Barat. Pengukuran manfaat ekonomi
dari kawasan lindung, dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran
besarnya manfaat yang bisa diperoleh dari kawasan lindung secara terukur,
yang pada akhirnya akan memberikan pesan/bahasa yang mudah dipahami
kepada masyarakat, sehingga tumbuh motivasi yang kuat untuk terus menjaga
kelestariannya. Adapun kriteria kinerja pengelolaan kawasan lindung
berdasarkan aspek ekonomi terdapat sebanyak enam kriteria yaitu :
1. Nilai ekonomi dari berbagai macam dampak akibat perubahan iklim mikro.
Jasa wisata alam dan wisata budaya serta multiplier efeknya merupakan
manfaat yang bisa diperoleh dari pengelolaan kawasan lindung, dengan
karakteristik yang dimiliki yang harus menekankan fungsi konservasi maka
pemanfaatan jasa wisata alam dan multiplier efeknya harus berbasis daya
tampung dan daya dukung kawasan, sehingga kelestarian jasa lingkungan
dari kawasan lindung dapat terpelihara.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-21
2. Nilai ekonomi dari berbagai macam dampak akibat perubahan iklim mikro.
Perubahan cuaca yang tidak menentu memberikan dampak negatif, yaitu
semakin berkembangnya penyakit-penyakit berbasis lingkungan, penurunan
produktivitas sektor perikanan & pertanian. Merujuk teori yang
dikemukakan oleh Hendrik L. Blum, bahwa pengaruh kondisi lingkungan
terhadap kesehatan manusia mencapai 40%. Sehingga terwujudnya
kawasan lindung dengan kualitas maupun kuantitas yang baik, maka akibat
buruk yang ditimbulkan akibat perubahan iklim yang tidak terkendali dapat
diatasi.
3. Terpeliharanya fungsi pengaturan tata air kawasan lindung secara
berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan/ konsumsi air masyarakat.
Sumberdaya air merupakan kebutuhan dasar manusia dan mahluk hidup
lainnya, sehingga keberadaan dan kesinambungan ketersediaannya sangat
dibutuhkan. Dengan salah satu fungsinya sebagai pengatur tata air, maka
kawasan lindung mempunyai peran sangat penting dalam menjaga dan
mewujudkan keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini. Hal ini
membuktikan bahwa kawasan lindung memiliki nilai dan peran yang sangat
penting dalam menjaga keberlangsungan kehidupan seluruh mahluk hidup,
sehingga wajib untuk memelihara dan menjaga kelestariannya.
4. Nilai manfaat kawasan lindung dalam mengurangi besaran serta dampak
dari bencana longsor, banjir dan tsunami
Erosi dan banjir salah satunya diakibatkan oleh deras dan besarnya
limpasan air permukaan, hal ini terjadi karena tidak adanya kawasan yang
dapat menyerap dan mengurangi kecepatan air untuk akhirnya tersimpaan
dalam tanah, kawasan lindung dengan pepohonanya diharapkan dapat
menanggulangi bencana alam tersebut, juga bencana tsunami dengan
penanaman hutan mangrove diharapkan dapat mengurangi besaran dan
dampak dari bencana. Sehingga kawasan lindung harus terpelihara dan
terjaga kelestariannya, agar fungsinya sebagai penyeimbang ekosisitem
alam dapat terjamin.
5. Pemanfaatan keanekaragaman hayati melalui kegiatan budidaya
Jawa Barat mempunyai potensi yang besar dan variatif dalam menghasilkan
produk-produk sumberdaya hayati, kondisi ini didukung oleh kondisi
agroekosistem yang cocok untuk pengembangan komoditas pertanian
dalam arti luas (tanaman pangan, ternak, ikan dan hutan). Saat ini Jawa
Barat merupakan produsen untuk 40 jenis komoditas agribisnis di
Indonesia. Sehingga dengan mengembangkan nilai tambah
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
IV-22
keanekaragaman hayati akan menambah nilai ekonomi total dari
keberadaan kawasan lindung, sehingga terbangunnya kawasan lindung
yang terjaga kelestariannya akan terwujud
6. Kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan lindung.
Kondisi umum masyarakat sekitar kawasan hutan umumnya miskin, dengan
ditumbuhkembangkannya kegiatan ekonomi yang disesuaikan dengan daya
dukung, daya tampung dan karakteristik kawasan diharapkan tingkat
kesejahteraan masyarakat dari tahun ke tahun berikutnya bisa meningkat.
4.4.3. Indikator Aspek Ekonomi
Indikator kinerja pengelolaan kawasan lindung yang ditetapkan sebanyak
delapan indikator yaitu:
1. Pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pengelolaan dan pemanfaatan
objek wisata alam dan wisata budaya dengan tidak merusak fungsinya
sebagai kawasan lindung 2. Peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata
budaya/zona pemanfaatan di kawasan lindung 3. Terukur secara ekonomi nilai kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan
iklim mikro, dengan mengukur biaya penanganan dampaknya (outcome)
terhadap kesehatan masyarakat dan pengadaan gerakan penanaman
pohon secara massal 4. Penurunan tingkat produktivitas sektor pertanian dan sektor perikanan
akibat kondisi kawasan lindung yang buruk 5. Perubahan biaya untuk konsumsi yang harus dikeluarkan oleh PDAM dan
industry 6. Terukurnya nilai manfaat kawasan lindung sebagai pencegah dan
mengurangi besaran bencana dengan mengukur tingkat kerugian baik
moril maupun material akibat terjadinya longsor, banjir dan tsunami 7. Jumlah produksi dari jenis-jenis yang telah dibudidayakan yang bersumber
dari kawasan lindung 8. Jumlah masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung yang memiliki
pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari
Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek ekonomi disajikan pada Lampiran
Tabel 4.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
V-1
PENUTUP
Kriteria dan Indikator Kinerja Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat disusun sebagai pedoman dalam tata
kelola kawasan lindung di Jawa Barat untuk mencapai kuantitas dan kualitas
kawasan lindung yang diinginkan. Pencapaian kuantitas (luasan) dan kualitas
kawasan lindung yang baik merupakan salah satu indikator perwujudan Provinsi
Hijau (Green Province) Jawa Barat. Kriteria dan indikator ini disusun dengan
melibatkan proses partisipasi aktif para pihak terutama SKPD yang terkait
dengan pengelolaan kawasan lindung melalui proses FGD. Kriteria dan indikator
yang disusun bersifat saintifik dan implementatif (operasional) dengan
memperhatikan prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable, Responsibility,
Treasureable) sehingga tercipta kriteria yang sederhana, terukur dan mudah
dilaksanakan di lapangan serta dapat ditelusuri ulang.
Kriteria dan indikator ini bersifat mandatory, dari pemerintah provinsi ke
pemerintah kabupaten/kota, bertujuan untuk pembinaan dan monev program
pengelolaan kawasan lindung. Kriteria dan indkator yang disusun tidak bersifat
rigid, yang berarti dapat disesuaikan dengan kondisi permasalahan di lapangan
dan dapat dikoreksi atau disesuaikan dengan hasil kajian di lapangan.
Kriteria dan indikator yang telah disusun ini diharapkan dapat dijadikan acuan
dalam mengevaluasi dan memonitoring kebijakan-kebijakan Pemerintah Jawa
Barat dalam mencapai kawasan lindung sebesar 45%. Kriteria dan indikator
sebagai tools untuk mengukur kualitas kawasan lindung di Jawa Barat. Secara
indikatif luas kawasan lindung yang sudah ditetapkan provinsi Jabar, di atas peta
sudah mencapai 45%, namun secara kualitas fungsinya tidak semua lokasi
kawasan lindung terkelola dengan baik.
Kriteria dan indikator ini sangat perlu untuk mencapai pengelolaan kawasan
lindung yang berkelanjutan. SITH Institut Teknologi Bandung telah berusaha
keras untuk menyusun kriteria dan indikator tersebut. Maka dalam kesempatan
ini, SITH menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang terlibat, terutama kepada pihak Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, khususnya Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan
kesempatan dalam penyusunan kriteria dan indikator ini. Semoga dengan
hadirnya kriteria dan indikator ini, kinerja pengelolaan kawasan lindung dapat
lebih ditingkatkan ke arah yang lebih baik.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
VI-1
REFERENSI
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Laporan Perkembangan
Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Bappenas. 2010. Rancangan Strategi Nasional REDD+. UN-REDD Programme
Indonesia. Jakarta.
Forest Stewardship Council. 2005. Principle Criteria and Indicators of Good Forest Management in Poland. Union of Assocciation “Working Group
FSC-Poland”. Poland.
Gordon, M., Hickey and JL. Innes. 2005. Scientific Review and Gap Analysis of
Sustainable Forest Management Criteria and Indicators Initiatives.
Forest Research Extension Partnership. British Columbia.
Hearne, RR. 2006. Criteria and Indicators for Effective Water Management
Institutions. Departement of Agribusiness and Applied Economics North Dakota State University. USA.
High Conservation Value Forest (HCVF). 2009. Toolkit for Malaysia : A national guide for identifying, managing and monitoring High Conservation
Value Forests. First Edition. WWF. Malaysia.
Kartikasari, A. 1999. Acuan Genrik Kriteria dan Indikator CIFOR. Center for International Forestry Research (CIFOR). Jakarta. Indonesia.
Kementerian Kehutanan RI. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P. 68/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard an
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
Jakarta.
Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah
Aliran Sungai. Dirjen RLPS. Jakarta.
Krishna, A., and E. Shradder. 2000. Cross-cultural measures of social capital: A tool and results from India And Panama. Washington, D.C.: World Bank.
Maring P. 2010. Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan, dan
Kolaborasi? Lembaga Pengkajian Antropolgi Kekuasaan Indonesia.
Jakarta.
Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat, (edisi Indonesia). Kophalindo. Jakarta.
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat
VI-2
Purwanto, E, R. Pamekas dan H. Syamaun. 2008. Pengendalian Pembangunan
Lingkungan dan Konservasi di NAD-NIAS dalam Rangka Perwujudan Kebijakan “Green Province”. Pusat Pengendalian Lingkungan dan
Konservasi. Kedeputian Operasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Leung Bata. Banda Aceh.
Rodenburg, C, T. Baycan-Levent, E. van Leeuwen and P. Nijkamp. 2001. Urban
Economic Indicators for Green Development in Cities. Vrije Universiteit Amsterdam, The Netherlands.
Siahaan, NHT., 2007. Hutan Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Pancuran Alam. Jakarta.
Stork, NE., TJB. Boyle, V. Dale, H. Eeley, B. Finegan, M. Lawes, N. Manokaran, R. Prabhu and J. Soberon. 1997. Criteria and Indicators for Assessing
the Sustainability of Forest Management: Conservation of Biodiversity.
Center for International Forestry Research. Jakarta. Indonesia.
Undang-undang RI. 2007. Undang-undang nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Jakarta.
Wolfslehner, B.; Vacik, H. and Lexer, M.J. (2005) Application of the Analytic
Network Process in multi-criteria analysis of sustainable forest
management. Forest Ecology and Management 207, 157-170.
L-1
LAMPIRAN
Tabel 1. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Biofisik
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
Terciptanya kondisi biofisik kawasan lindung yang semakin baik sesuai dengan tipologinya, meliputi luas dan kejelasan, kesesuaian peruntukan atau fungsinya, kualitas fisik, serta upaya pelestariannya. menurut tipologi kawasan lindung.
F.1. Luas dan kejelasan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan luar kawasan
F.1.1. Penataan batas kawasan lindung pada kawasan hutan negara
1. Kelengkapan dokumen tata batas (berita acara tata batas) untuk kawasan lindung hutan
2. Posisi tata batas (pal/patok) kawasan lindung di lapangan
3. Kondisi tata batas kawasan lindung
4. Prosentase penataan batas
Baik (3)
Penataan batas kawasan lindung pada hutan negara sudah mencapai 75% atau lebih dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik didukung oleh dokumen tata batas yang lengkap dan sah.
Sedang (2)
Penataan batas kawasan lindung hutan negara sudah mencapai 50%-75% dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik didukung oleh dokumen tata batas yang lengkap dan sah.
Buruk (1)
Penataan batas kawasan lindung hutan negara kurang dari 50% atau tidak ada dokumen yang mendukung.
L-2
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
F.1.2. Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan
1. Kelengkapan dokumen penandaan batas untuk kawasan lindung non hutan
2. Posisi tanda batas (pal/patok/plang/pagar) kawasan lindung di lapangan
3. Kondisi tanda batas kawasan lindung
4. Prosentase penandaan batas
Baik (3) Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan sudah mencapai 50% atau lebih dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik didukung oleh dokumen tanda batas yang lengkap.
Sedang (2) Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan sudah mencapai 30%-50% dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik didukung oleh dokumen tanda batas yang lengkap.
Buruk (1) Penandaan batas kawasan di luar kawasan hutan kurang dari 30% atau tidak ada dokumen yang mendukung.
F.2. Kesesuaian peruntukan dan fungsi kawasan lindung
F.2.1. Kesesuaian peruntukan kawasan lindung
1. Indeks Kesesuaian Kawasan Lindung (IKKL) IKKL = LPS/Luas Kawasan Lindung LPS : Luas penggunaan lahan (land use) yang sesuai di kawasan lindung
Baik (3) IKKL > 75% Sedang (2) IKKL 40% - 75% Buruk (1) IKKL < 40%
L-3
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
F.3. Kualitas kawasan lindung pada seluruh tipe kawasan lindung
F.3.1. Penutupan vegetasi pada kawasan lindung Tipe I (Hutan Lindung, Sempadan pantai; Sempadan sungai; Kawasan sekitar waduk/danau; Kawasan Cagar Alam, Kawasan Suaka Margasatwa, Kawasan mangrove; Taman nasional; Tahura; Taman Wisata Alam; Taman Buru; Kawasan Cagar Alam geologi dan kars; Kawasan Rawan Tanah Longsor; Kawasan Rawan Gelombang pasang; Kawasan rawan banjir; Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung)
1. Persentase luas areal bervegetasi rapat terhadap luas kawasan lindung tipe 1 (Ket.: vegetasi rapat adalah tingkat penutupan tajuk >70%)
Baik (3) >75% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi rapat . Sedang (2) 50%-75% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi rapat Buruk (1) <50% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi rapat
F.3.2. Penutupan vegetasi pada kawasan lindung Tipe II (Kawasan resapan air; Kawasan sekitar mata air; Kawasan yang memberi perlindungan air tanah; Konservasi Plasma Nutfah eksitu; Kawasan koridor bagi satwa; RTH)
1. Persentase luas areal bervegetasi sedang terhadap luas kawasan lindung tipe 2 (Ket.: vegetasi rapat adalah tingkat penutupan tajuk 40% - 70%)
Buruk (1) <50% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi sedang. Sedang (2) 50%-75% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi sedang . Baik (3) >75% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi sedang.
L-4
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
F.3.3. Keberadaan RTH di kawasan perkotaan atau kawasan budidaya yang berfungsi lindung
1. Rasio Tutupan kawasan RTH
2. Luas Ruang terbuka hijau
Baik
>30 % dari RTH tersebut bertutupan vegetasi sedang
Sedang
>30 % kawasan budidaya berupa RTH dan 10 – 30 % diantaranya berpenutupan sedang
Buruk
Areal RTH kurang dari 30 %
F.3.4. Debit air sungai yang
dipengaruhi oleh kawasan lindung.
1. Debit sungai (KRS)
Koefisien Regim Sungai (KRS) = Q maks/Q min
Baik (3) Debit sungai rata–rata KRS < 50 Sedang (2) Debit sungai rata–rata KRS < 50 atau Debit sungai rata–rata KRS 50 – 120 Buruk (1) Debit sungai rata-rata KRS > 120
F.3.5. Keanekaragaman jenis pohon pada kawasan lindung di luar kawasan atau non hutan
1. Jumlah jenis (spesies) pohon dewasa per ha pada kawasan lindung di luar kawasan atau non hutan
Baik Jumlah pohon dewasa lebih dari 35 spesies Sedang Jumlah pohon dewasa lebih dari 5- 35 spesies Buruk Jumlah pohon dewasa kurang dari 5 spesies
L-5
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
F.3.6. Pengelolaan keanekaragaman hayati pada seluruh tipe kawasan lindung
1. Rencana pengelolaan keanekaragaman hayati (dokumen)
2. Implementasi (pelaksanaan pengelolaan keanekaragaman hayati)
3. Hasil implementasi (pencapaian hasil pengelolaan kawasan lindung)
Baik (3) Terdapat perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati di kawasan lindung, rencana tersebutdi implementasikan dengan baik dan terdapat dokumen hasil pengelolaan keanekaragaman hayati Sedang (2) Terdapat perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati dan diimplementasikan di lapangan dengan baik Buruk (1) Terdapat perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati tetapi tidak diimplementasikan di lapangan
F.4. Upaya-upaya pelestarian kawasan lindung
F.4.1. Aktifitas penanaman, pemeliharaan, perlindungan, dan pengamanan pada kawasan lindung
1. Tersedianya perangkat
perencanaan yang
mendukung pelestarian
kawasan lindung
2. Implementasi kegiatan
penanaman
3. Implementasi kegiatan
pemeliharaan
4. Implementasi kegiatan
perlindungan/pengamanan
Baik (3) Memiliki perencanaan, dan terdapat implementasi penanaman, pemeliharaan, perlindungan/pengamanan sesuai target Sedang (2) Memiliki perencanaan, dan implementasi penanaman, pemeliharaan, perlindungan/pengamanan tidak sesuai target Buruk (1) Tidak memiliki perencanaan, dan tidak ada implementasi penanaman, pemeliharaan, perlindungan/pengamanan
L-6
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
F. 4.2. Pengurangan lahan kritis pada berbagai tipe kawasan lindung
1. Rasio luas lahan kritis saat ini dengan kondisi 3 tahun sebelumnya
2. Luas hasil kegiatan penanaman (rehabilitasi) lahan kritis
Baik (3) Luas lahan kritis berkurang minimal 10% (data 3 tahunterakhir) Sedang (2) Luas lahan kritis tetap sampai 10% Buruk (1) Luas lahan kritis bertambah
F.4.3. Ketersediaan bibit untuk mendukung upaya penanaman di kawasan lindung.
1. Keberadaan persemaian
permanen atau non
permanen tempat
memproduksi bibit
berkualitas
2. Kemampuan menyediakan
atau mensuplai bibit yang
berkualitas dalam jumlah
yang memadai
Baik (3) Kebutuhan bibit dapat dipenuhi dari persemaian permanen atau non permanen yang berada di wilayahnya sendiri dengan jumlah mencukupi dan kualitas yang baik. Sedang (2) Kebutuhan bibit dapat dipenuhi sebagian dari persemaian permanen atau non permanen yang berada di wilayahnya sendiri dengan jumlah mencukupi kebutuhan dengan kualitas sedang. Buruk (1) Kebutuhan bibit sebagian besar dipenuhi dari persemaian permanen atau non permanen di luar wilayahnya dan atau jumlah bibit tidak memenuhi serta kualitasnya jelek.
L-7
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
F.4.4. Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan wilayah setempat di kawasan lindung
1. Kegiatan inventarisasi dan monitoring
2. Perlindungan terhadap
spesies flora dan fauna
Baik Inventarisasi dan monitoring dilakukan secara kontinyu dan terdata, serta untuk flora dan fauna jarang, langka dan terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan wilayah setempat di kawasan lindung. Sedang Inventarisasi dan monitoring dilakukan secara kontinyu dan terdata, tetapi untuk flora dan fauna jarang, langka dan terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan wilayah setempat di kawasan lindung. Buruk Inventarisasi dan monitoring dilakukan secara insidental
L-8
Tabel 2. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Kebijakan
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
Dukungan kebijakan dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat, menjamin kepastian kawasan lindung, serta upaya perlindungan, pemanfaatan dan peningkatan fungsi kawasan lindung termasuk cagar budaya dan ilmu pengetahuan
K.1. Kejelasan kebijakan untuk meningkatkan budaya menanam pohon
K.1.1. Kebijakan, program dan alokasi dana dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat
1. Adanya kebijakan berupa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain untuk menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat
2. Terdapat program tahunan yang mendorong tumbuhnya budaya menanam pohon
3. Terdapat alokasi dana
dalam APBD untuk melaksanakan program dalam mendorong tumbuhnya budaya menanam pohon
Baik (3)
Terdapat Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat; dengan dukungan program dan alokasi APBD setiap tahun memenuhi
Sedang (2)
Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota, atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain dalam menumbuh kembangkan budaya menanam pohon di masyarakat, tetapi dukungan program dan alokasi APBD tidak memenuhi
Buruk (1)
Tidak terdapat Peraturan Kabupaten/Kota, atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat
L-9
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.1.2. Ketersediaan kebijakan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK
1. Adanya kebijakan berupa Perda Kab/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK
2. Terdapat program yang mendukung kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK
3. Terdapat alokasi dana dalam APBD untuk melaksanakan dan mengembangkan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK
Baik (3)
Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan SMA/SMK; dengan dukungan program dan alokasi APBD setiap tahun
Sedang (2)
Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan SMA/SMK; tetapi dukungan program dan alokasi APBD tidak setiap tahun
Buruk (1)
Tidak terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan SMA/SMK
L-10
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.2. Kebijakan yang menjamin kepastian kawasan lindung dalam RTRW Kabupaten/Kota
K.2.1. RTRW Kab/Kota telah memenuhi legal aspek
1. Persetujuan RTRW Kabupaten/ Kota oleh provinsi
2. Penetapan RTRW Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota
Baik (3)
RTRW Kabupaten/Kota telah mendapatkan persetujuan provinsi Jawa Barat dan telah ditetapkan dengan Perda Kab/Kota
Sedang (2)
RTRW Kabupaten/ Kota telah mendapatkan persetujuan provinsi Jawa Barat tetapi belum ditetapkan dengan Perda Kab/Kota
Buruk (1)
RTRW Kabupaten/ Kota belum mendapatkan persetujuan provinsi Jawa Barat dan atau belum ditetapkan dengan Perda Kab/Kota
L-11
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.2.2. Ketersediaan program dan alokasi APBD dalam penataan batas kawasan lindung hutan dan penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan
1. Terdapat program penataan batas, penandaan batas serta sosialisasi batas kawasan lindung dengan penggunaan lahan lainnya yang menjadi tanggungjawab Pemda Kabupten/Kotadan program-program yang mendukung penataan batas yang menjadi tanggung jawab pusat/provinsi
2. Terdapat alokasi APBD dalam mendukung program penataan batas, penandaan batas dan kegiatan sosialisasi batas kawasan lindung
Baik (3) Terdapat program penataan batas dan penandaan batas di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung program penataan batas dan penandaan batas di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat serta telah dilakukan sosialisasi dengan dukungan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat program penataan batas dan penandaan batas di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung program penataan batas dan penandaan batas di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat serta telah dilakukan sosialisasi tetapi dukungan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat program penataan batas, penandaan batas maupun sosialisasi batas kawasan lindung
L-12
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.3. Kebijakan yang mendukung upaya perlindungan kawasan lindung
K.3.1 Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain yang melindungi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya perlindungan yang menjadi tanggungjawab provinsi/ pusat
1. Terdapat Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang perlindungan kawasan lindung di kawasan hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan baik di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya maupun di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/ pusat
2. Terdapat Peraturan
Daerah tentang pelarangan konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di lahan milik (privat)
Baik (3) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain mengenai perlindungan kawasan lindung di kawasan hutan negara dan Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain yang mencegah konversi kawasan lindung di lahan milik menjadi kawasan budidaya Sedang (2) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain mengenai perlindungan kawasan lindung di kawasan hutan negara atau Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain pelarangan konversi kawasan lindung di lahan milik menjadi kawasan budidaya Buruk (1) Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain mengenai perlindungan kawasan lindung di kawasan hutan negara maupun perda pelarangan konversi kawasan lindung di lahan milik menjadi kawasan budidaya
L-13
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.3.2. Ketersediaan Program dan alokasi APBD dalam perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggung jawab pusat/provinsi
1. Terdapat Program Pemda Kabupaten/Kota mengenai pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan kawasan lindung di lahan milik (privat) menjadi kawasan budidaya
2. Terdapat alokasi APBD dalam mendukung program pengamanan dan perlindungan kawasan lindung dan pemberian insentif dalam pencegahan konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di lahan milik
Baik (3) Terdapat program terkait pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi kawasan budidaya dengan dukungan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat program terkait pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi kawasan budidaya tetapi dukungan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat program terkait pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi kawasan budidaya
K.4. Kebijakan mengenai mekanisme pengaturan pemanfaatan
K.4.1. Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
Baik (3) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan dan perizinan pemanfaatan kawasan
L-14
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
kawasan lindung secara lestari yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya pemanfaatan kawasan lindung secara lestari yang menjadi tanggungjawab pusat/ provinsi
Kabupaten/Kota tentang Izin Pemanfaatan Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh Izin Pemanfaatan di Zona Pemanfaatan Hutan Pelestarian Alam dari Pemerintah Pusat yang menjadi tanggungjawab pusat
Kabupaten/Kota tentang Izin Pemanfaatan Kawasan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan serta Pemungutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu Dari Hutan Lindung dan Zona Pemanfaatan Hutan Pelestarian Alam Secara Lestari telah mengacu pada peraturan dan perundang-undangan di atasnya
2. Terdapat Petunjuk Teknis Tentang Perizinan Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan serta Pemungutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu dari hutan lindung, dan zona pemanfaatan di hutan suaka alam mengacu peraturan dan perundang-undangan di atasnya
3. Terdapat kegiatan
sosialisasi perizinan pemanfaatan kawasan lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu
lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu maupun jasa lingkungan secara lestari sesuai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Menteri serta ditunjang keberadaan pedoman teknis dan kegiatan sosialisasi yang memadai Sedang (2) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan dan perizinan pemanfaatan kawasan lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu maupun jasa lingkungan secara lestari sesuai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Menteri, tetapi belum dilengkapi oleh keberadaan pedoman teknis dan kegiatan sosialisasi yang kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan dan perizinan pemanfaatan kawasan lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu maupun jasa lingkungan secara lestari atau tidak sesuai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri
L-15
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
maupun jasa lingkungan berdasarkan Peraturan dan Perundang-undangan di atasnya
K.4.2. Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tekait pengaturan pola dan budidaya tanaman di kawasan lindung lahan milik (privat)
1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan pola dan budidaya tanaman di kawasan lindung lahan milik (privat)
2. Terdapat mekanisme
pemberian insentif/ disinsentif dan pemberian sanksi dalam mendorong upaya konservasi di kawasan lindung lahan milik (privat)
3. Terdapat alokasi dana
APBD kabupaten/ kota untuk mendukung pengawasan pola tanam dan pemberian insentif di kawasan lindung lahan milik (privat)
Baik (3) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan pola tanam di kawasan lindung lahan milik (privat) dan mekanisme pemberian insentif/disinsentif serta pemberian sanksi dengan dukungan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan pola tanam di kawasan lindung lahan milik (privat) dan mekanisme pemberian insentif/disinsentif serta pemberian sanksi tetapi dukungan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan pola tanam di kawasan lindung lahan milik (privat), dan mekanisme pemberian insentif/disinsentif disinsentif serta pemberian sanksi
L-16
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.5. Kejelasan kebijakan dalam menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkat-kan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/ provinsi
K.5.1 Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tentang menjaga dan meningkatkanfungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dilakukan Pemerintah Pusat/Provinsi
1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait dengan upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang di lakukan pemerintah pusat/ provinsi
2. Terdapat program reklamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dalam menjaga dan meningkatan fungsi kawasan lindung yang menjadi tangungjawabnya dan mendukung dalammenjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat
3. Tersedia anggaran APBD
untuk melaksanakan
Baik (3) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggung jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/provinsi serta didukung program daerah terkait reklamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggung jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/provinsi, tetapi kurang didukung program daerah terkait rekalamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dan APBD yang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung di kawasan lindung yang menjadi tanggung jawabnya serta tidak mendukung upayamenjaga dan meningkatan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/provinsi
L-17
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
program reklamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dalam menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tangungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat
K.6 Kejelasan kebijakan dalam melindungi dan melestarikan cagar budaya dan ilmu pengetahuan baik berupa gedung/ monumen (heritage) maupun budaya asli lokal (local native culture) dan lingkungannya
K.6.1 Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah
1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang perlindungan dan pelestarian monumen/ gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah
2. Terdapat program dalam upaya perlindungan dan pelestarian monumen/ gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah
3. Tersedia anggaran APBD untuk melaksanakan
Baik (3) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah, dengan dukungan program dan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah tetapi dukungan program dan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian
L-18
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
program perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah
monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah
K.6.2. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli lokal, kesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya
1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, dan atau komunitas kesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya
2. Terdapat program perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, atau berkesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya
3. Tersedia anggaran APBD untuk melaksanakan Program perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, komunitas kesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya
Baik (3) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, atau kesenian asli beserta lingkungannya, dengan dukungan program dan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, atau kesenian asli beserta lingkungannya tetapi dukungan program dan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, atau kesenian asli beserta lingkungannya
L-19
Tabel 3. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Sosial
Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
Pengakuan dan keterjaminan manfaat sosial, dan kelembagaan bagi masyarakat adat/setempat
S.1.Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat /masyarakat setempat dengan kawasan lindung
S.1.1. Batas-batas
yang jelas
antara
kawasan
masyarakat
hukum
adat/masyarak
at setempat
dengan
kawasan
lindung
1. Pengakuan batas-batas
kawasan lindung oleh
masyarakat hukum
adat/masyarakat setempat
2. Kesepakatan masyarakat
dalam penetapan batas
kawasan lindung dilakukan
secara partisipatif
3. Terdapat dokumen kesepakatan tata batas kawasan masyarakat okum adat/masyarakat setempat dengan KL
Baik (3) Batas-batas kawasan lindung diakui oleh masyarakat hukum adat/masyarakat setempat, dilakukan penetapan batas pada KL di dalam kawasan dan penandaan batas pada KL di luar kawasan secara partisipatif dan terdokumentasi dengan baik di atas 75%. Sedang (2) Batas-batas kawasan lindung yang diakui oleh masyarakat hokum adat/masyarakat setempat dan dilakukan penetapan batas pada KL di dalam kawasan dan penandaan batas pada KL di luar kawasan secara partisipatif antara 50-75% Buruk (1) Batas-batas kawasan lindung yang diakui oleh masyarakat hokum adat/masyarakat setempat dan dilakukan penetapan batas pada KL di dalam kawasan dan penandaan batas pada KL di luar kawasan secara partisipatif kurang dari 50%
S.1.2. Mekanisme resolusi konflik penguasaan lahan yang efektif
1. Terdapat kesepakatan tertulis
atas mekanisme penyelesaian
konflik lahan
2. Terdapat tanggung jawab
yang jelas para pihak dalam
penyelesaian konflik lahan
yang telah disepakati
3. Terdapat sanksi dalam
pelaksanaan kesepakatan
Baik (3) Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas mekanisme penyelesaian konflik lahan serta efektif dalam penyelesaian konflik lahan sebanyak di atas 75% kawasan lindung pangkuan desa Sedang (2) Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas mekanisme penyelesaian konflik lahan tetapi kurang efektif dalam penyelesaian konflik lahan sebanyak 50-75% kawasan lindung pangkuan desa
L-20
Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
atas penyelesaian konflik
lahan Buruk (1) Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas mekanisme penyelesaian konflik lahan kurang dari 50% kawasan lindung pangkuan desa
S.2. Kejelasan organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam pengelolaan kawasan lindung bersama
S.2.1. Ketersediaan organisasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung
1. Terdapat organisasi
masyarakat yang mengelola
atau bekerjasama dalam
pengelolaan kawasan lindung
2. Terdapat rincian tugas pokok
dan fungsi yang jelas dalam
organisasi masyarakat yang
mengelola atau bekerjasama
dalam pengelolaan kawasan
lindung
3. Terdapat perjanjian
kerjasama pengelolaan
kawasan lindung antara
organisasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan lindung
bersama pemangku kawasan
lindung
Baik (3) Terdapat organisasi masyarakat yang mengelola kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun organisasi masyarakat yang bekerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung dan kelengkapannya serta perjanjian kerjasama pengelolaan kawasan lindung bersama sebanyak di atas 75% kawasan lindung pangkuan desa Sedang (2) Terdapat organisasi masyarakat yang mengelola kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau bekerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung dan kelengkapannya namun belum terdapat perjanjian kerjasama pengelolaan kawasan lindung antara organisasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung bersama pemangku kawasan lindung sebanyak 50-75% kawasan lindung pangkuan desa Buruk (1) Tidak terdapat organisasi masyarakat yang mengelola kawasan lindung di luar kawasan hutan maupun organisasi masyarakat yang bekerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan kelengkapannya sebanyak kurang dari 50% kawasan lindung pangkuan desa
S.2.2. Keseimbangan hak dan
1. Terdapat uraian kesepakatan
hak dan kewajiban dalam
Baik (3) Terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan kewajiban,
L-21
Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
kewajiban stakeholder dalam pemanfaatan kawasan lindung
pengelolaan KL di dalam
kawasan hutan
2. Adanya aturan mekanisme
insentif dan disinsentif yang
jelas dalam pengaturan hak
dan kewajiban pengelolaan
KL di dalam kawasan hutan
3. Adanya pemahaman dan
ketaatan terhadap hak dan
kewajiban stakeholder dalam
pemanfaatan kawasan
lindung di dalam kawasan
hutan
aturan mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dan diimplementasikan dengan baik oleh para pihak dalam pemanfaatan kawasan lindung Sedang (2) Terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan kewajiban, aturan mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasn hutan namun belum diimplementasikan dengan baik oleh para pihak dalam pemanfaatan kawasan lindung Buruk (1) Tidak terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan kewajiban, aturan mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan
S.2.3. Ketersediaan
tata cara
pemanfaatan
kawasan
lindung
1. Pemanfaatan KL terdefinisi
dan dipahami dengan jelas
2. Akses dan distribusi yang
jelas dalam pemanfaatan KL
oleh stakeholder
3. Penetapan kompensasi atas
hilangnya peluang/
kesempatan masyarakat
dalam memanfaatkan KL
Baik (3) Terdapat kejelasan akses dan distribusi dalam pemanfaatan oleh stakeholder baik kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, dipahami dengan baik oleh stakeholder pada tingkat local serta terdapat kompensasi atas hilangngnya peluang/ kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan kawasan lindung Sedang (2) Terdapat kejelasan akses dalam pemanfaatan kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan dan kurang dipahami namun distribusi nya belum adil dirasakan oleh stakeholder pada tingkat local
L-22
Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
Buruk (1) Tidak terdapat kejelasan akses dan distribusi dalam pemanfaatan oleh stakeholder baik kawasan lindung di dalam hutan maupun di luar kawasan hutan pada tingkat local
S.3. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung
S.3.1. Keterlibatan
masyarakat
dalam
pengelolaan KL
1. Keterlibatan masyarakat
dalam perencanaan
pengelolaan KL
2. Kontribusi masyarakat dalam
pengelolaan KL
3. Keterlibatan masyarakat
dalam pengambilan
keputusan pengelolaan KL
Baik (3) Masyarakat terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan serta memberikan kontribusi dalam pengelolaan kawasan lindung baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan Sedang (2) Masyarakat terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan namun tidak memberikan kontribusi dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan Buruk (1) Masyarakat tidak terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan
S.3.2. Praktek
pelestarian kawasan lindung secara tradisional di lahan adat
1. Teridentifikasinya kearifan
masyarakat adat dalam
melestarikan KL secara
tradisional
2. Terdapat institusi adat dalam
pengelolaan KL
3. Terpeliharanya cara-cara
pelestarian KL secara
tradisional
Buruk (1) Tidak terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan Sedang (2) Terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan namun cara cara pelestarian kawasan lindung secara tradisional kurang terpelihara dengan baik
L-23
Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
Baik (3) Terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dan cara cara pelestarian kawasan lindung secara tradisional terpelihara dan terdokumentasi dengan baik
S.3.3. Praktek budaya
lokal dalam
pelestarian
kawasan
lindung
1. Teridentifikasinya kearifan
masyarakat lokal dalam
melestarikan kawasan
lindung
2. Terdapat institusi lokal dalam
pelestarian kawasan lindung
3. Terpeliharanya cara-cara
pelestarian kawasan lindung
dalam komunitas lokal
Baik (3) Terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal dalam melestarikan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan serta cara cara pelestarian kawasan lindung dalam komunitas lokal terpelihara dan terdokumentasi dengan baik Sedang (2) Terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal dalam mengelola kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan namun cara cara pelestarian kawasan lindung dalam komunitas lokal kurang terpelihara dengan baik Buruk (1) Tidak terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal dalam melestarikan kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan
.
L-24
Tabel 4. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Ekonomi
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)
Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)
Pemanfaatan kawasan lindung secara ekonomi berupa jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan
E.1 Pengembangan manfaat jasa wisata alam dan wisata budaya di kawasan lindung berbasis daya tampung & daya dukung kawasan
E.1.1 Pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pengelolaan dan pemanfaatan objek wisata alam dan wisata budaya dengan tidak merusak fungsinya sebagai kawasan lindung
1. Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan objek wisata alam serta wisata budaya
2. Biaya operasional
yang digunakan untuk pemeliharaan kelestarian kawasan wisata alam dan wisata budaya
BAIK (3) Proporsi antara pendapatan dan biaya pemeliharaan menggambarkan diperolehnya keuntungan juga dapat terpenuhinya semua kebutuhan biaya untuk menjaga kelestariannya. SEDANG (2) Proporsi antara pendapatan dan biaya pemeliharaan menggambarkan dapat terpenuhinya semua kebutuhan biaya untuk menjaga kelestariannya. BURUK (1) Pemanfaatan kawasan lindung sebagai wisata alam dan wisata budaya menyebabkan kerusakan
E.1.2 Peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan di kawasan lindung
1. Jumlah lapangan usaha yang tercipta dan terkoordinir .
2. Jumlah tenaga kerja yang terserap dari kegiatan pengelolaan dan pengusahaan wisata alam dan wisata budaya
BAIK (3) Meningkatnya peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan dan tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan.
SEDANG (2) Menurunnya peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan dan tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan.
BURUK (1) Meningkatnya peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan namun melebihi kapasitas daya dukung kawasan.
E.2 Nilai ekonomi dari E.2.1 Terukur secara 1. Nilai ekonomi kawasan BAIK (3)
L-25
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)
Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)
berbagai macam dampak akibat perubahan iklim mikro
ekonomi nilai kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro, dengan mengukur biaya penanganan dampaknya (outcome) terhadap kesehatan masyarakat dan pengadaan gerakan penanaman pohon secara massal
lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro, yang digambarkan dengan besaran alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan (ISPA, DBD, Kaligata)
2. Alokasi anggaran
pelaksanaan gerakan penanaman pohon secara massal
Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro tinggi, yang digambarkan dengan besaran alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan (seperti ISPA, DBD, Kaligata) dan gerakan penanaman pohon secara massal yang cenderung menurun. SEDANG (2) Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro sedang, yang digambarkan dengan besaran alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan (seperti ISPA, DBD, Kaligata) dan gerakan penanaman pohon secara massal yang tetap. BURUK (1) Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro menurun, yang digambarkan dengan besaran alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan (seperti ISPA, DBD, Kaligata) dan gerakan penanaman pohon secara massal yang meningkat.
E..2.2 Penurunan tingkat produktivitas sektor pertanian dan sektor perikanan akibat kondisi kawasan lindung yang buruk
1. Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran untuk penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor
BAIK (3) Nilai kawasan lindung secara ekonomi meningkat, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan ikilm yang cenderung menurun SEDANG (2) Nilai kawasan lindung secara ekonomi tetap, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran
L-26
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)
Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)
pertanian 2. Nilai ekonomi
kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran untuk penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor perikanan
penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan ikilm yang cenderung tetap BURUK (1) Nilai kawasan lindung secara ekonomi buruk, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan ikilm yang cenderung meningkat
E.3 Terpeliharanya fungsi pengaturan tata air kawasan lindung secara berkesinam -bungan untuk memenuhi kebutuhan/ konsumsi air masyarakat
E.3.1 Perubahan biaya untuk konsumsi yang harus dikeluarkan oleh PDAM dan industri
1. Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil selama tiga tahun kebelakang
BAIK (3) Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil menurun
SEDANG (2) Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil menurun
BURUK (1) Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil menurun
E.4 Nilai manfaat kawasan lindung dalam mengurangi besaran serta dampak dari bencana longsor, banjir dan tsunami
E.4.1 Terukurnya nilai manfaat kawasan lindung sebagai pencegah dan mengurangi besaran bencana dengan mengukur tingkat kerugian baik moril maupun material akibat terjadinya
1. Nilai manfaat
kawasan lindung
sebagai pencegah
longsor/banjir/tsuna
mi yang digambarkan
dengan besaran
alokasi anggaran di
APBD untuk
BAIK (3) Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD jumlahnya menurun
SEDANG (2) Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD jumlahnya tetap
L-27
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)
Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)
longsor, banjir dan tsunami
penanganan bencana
akibat terjadinya
longsor/banjir/tsuna
mi pada tiga tahun
kebelakang
BURUK (1) Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya
bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD
jumlahnya meningkat
E.5 Pemanfaatan keanekaragaman hayati melalui kegiatan budidaya
E.5.1 Jumlah produksi dari jenis-jenis yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung
1. Jumlah produksi dari jenis-jenis yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung selama tiga tahun
BAIK (3) Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung meningkat
SEDANG (2) Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung tetap
BURUK (1) Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung menurun
E.6 Kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan lindung
E.6.1 Jumlah masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung yang memiliki pendapatan
di atas US$ 1 (PPP) / hari
1. Jumlah masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari pada tiga tahun kebelakang
BAIK (3) Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung meningkat
SEDANG (2) Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung tetap
BURUK (1) Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung menurun
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132 Telp. +6222 251 1575, 2500258, Fax. +6222 2534107
E-mail : [email protected]