101
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB Kriteria Dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung Dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat 2012

Buku i (kikpkl)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Buku i (kikpkl)

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat

Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB

Kriteria Dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung Dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

2012

Page 2: Buku i (kikpkl)

i

Provinsi Hijau (Green Province) Jawa Barat adalah kebijakan Pemprov

Jabar dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dinyatakan Perda Jawa

Barat No 2 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Provinsi Jawa Barat tahun 2008-2013. Dalam rangka perwujudan Provinsi

hijau tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mentargetkan pencapaian

kawasan lindung sebesar 45 persen dari luas daratan Jawa Barat. Strategi

pencapaian luas kawasan lindung tersebut dilakukan atas dasar pencapaian

luas (kuantitas) dan peningkatan kualitas dari kawasan lindung.

Pencapaian target kawasan lindung sangat dipengaruhi oleh kinerja

pengelolaan kawasan lindung yang dilakukan oleh instansi yang

berwenang. Kewenangan pengelolaan kawasan lindung ada yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan

kewenangan perorangan (private). Untuk dapat mengukur kinerja

pengelolaan kawasan lindung diperlukan kriteria dan indikator. Indikator

yang baik harus bersifat spesifik (Specific), terukur (Measurable), dapat

diterima ata diaplikasikan (Achievable), dapat dipertanggungjawabkan

(Responsibility), serta dapat dilacak ulang (treasureable).

Buku Kriteria dan Indikator ini menyajikan kriteria, indikator, dan verifier

kinerja pengelolaan kawasan lindung. Sistem penilaian (assesment) yang

dikembangkan adalah bersifat mandatory untuk mendorong dan membina

para pihak yang mengelola kawasan lindung. Kriteria dan indikator ini tidak

bersifat kaku (rigid), oleh karena itu bisa dirubah dan disesuaikan dengan

paradigma terbaru. Semoga Buku Kriteria dan Indikator yang telah disusun

ini dapat mendorong pencapaian target kawasan lindung di Provinsi Jawa

Barat.

Bandung, Oktober 2012

PENYUSUN

KATA PENGANTAR

Page 3: Buku i (kikpkl)

ii

KATA PENGANTAR ........................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................. ii

DAFTAR TABEL ................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... iv

I. PENDAHULUAN ....................................................................... I-1

1.1. Latar Belakang .................................................................... I-1

1.2. Maksud dan Tujuan ............................................................. I-4

1.3. Sasaran .............................................................................. I-4

1.4. Sistematika Penulisan .......................................................... I-5

1.5. Daftar Istilah Penting ........................................................... I-5

II. PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DALAM RANGKA

PERWUJUDAN GREEN PROVINCE ........................................ II-1

2.1. Landasan Hukum ................................................................ II-1

2.2. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province .................................................. II-8

2.3. Tipologi Kawasan Lindung Jawa Barat .................................... II-13

III. METODE PENENTUAN KRITERIA DAN INDIKATOR ............... III-1

3.1. Kerangka Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator dan Verifier .... III-1

3.2. Tahapan Penetapan Kriteria dan Indikator ............................ III-4

IV. KRITERIA DAN INDIKATOR PENGELOLAAN KAWASAN

LINDUNG JAWA BARAT .......................................................... IV-1

4.1. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik ..................... IV-1

4.2. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Kebijakan ................. IV-7

4.3. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Sosial ........................ IV-13

4.4. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Ekonomi .................. IV-19

V. PENUTUP ................................................................................... V-1

REFERENSI ....................................................................................... VI-1

DAFTAR ISI

Page 4: Buku i (kikpkl)

iii

Tabel 2-1 Kriteria penetapan tipe kawasan lindung Jawa Barat ........ II-14

Tabel 2-2 Sebaran Lokasi Tipe Kawasan Lindung di Setiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat ........................................ II-16

Tabel 2-3 Luas tipe kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat .................................................................... II-8

Tabel 2-4 Kegiatan Penataan Kawasan Lindung dalam

Meningkatkan Fungsi Lindung ....................................... II-24

Tabel 2-5 Kriteria untuk Memilih Kriteria dan Indikator Kinerja

Pengelolaan Kawasan Lindung ...................................... II-29

Tabel 3-1 Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator .... III-6

Tabel 3-2 Penjelasan Setiap Kriteria dan Indikator ........................ III-6

Tabel 3-3 Jenis Data, Sumber Data, Metode Verifikasi dan

Instrumen Verifikasi Setiap Indikator ............................. III-6

DAFTAR TABEL

Page 5: Buku i (kikpkl)

iv

Gambar 2-1 Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung ............................ II-10

Gambar 2-2 Alur Pengelolaan Kawasan Lindung .............................. II-12

Gambar 2-3 Peta Sebaran Kawasan Lindung Provinsi Jawa Barat ......... II-16

Gambar 3-1 Dimensi pengembangan kriteria dan indikator

pengelolaan kawasan lindung ......................................... III-2

Gambar 3-2 Metode penetapan prinsip, kriteria , indikator dan verifier

pegelolaan kawasan lindung ........................................... III-4

Gambar 4-1 Jumlah prinsip, kriteria, indikator dan verifier yang ditetapkan ..................................................................... IV-1

DAFTAR GAMBAR

Page 6: Buku i (kikpkl)

v

Tabel 1. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator

Aspek Biofisik ............................................................ L-1

Tabel 2. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator

Aspek Kebijakan ...................................................... L-8

Tabel 3. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator

Aspek Sosial ............................................................. L-19

Tabel 4. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator

Aspek Ekonomi ......................................................... L-24

DAFTAR LAMPIRAN

Page 7: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

I-1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi orientasi

pembangunan negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia sejak diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia)

yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN),

dan World WideFund for Nature (WWF) pada 1980. Pada dasarnya,

pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi tiga pilar, yakni : ekonomi, lingkungan dan sosial yang dapat dicapai melalui pengembangan dua strategi

utama, yakni : strategi pertumbuhan hijau (Green Growth Strategies) dan ekonomi hijau (Green Economy). Sehingga kedua strategi tersebut menjadi

fokus dalam mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara internasional, belum terdapat kesepakatan tentang

pengertian strategi pertumbuhan hijau ataupun ekonomi hijau tersebut. Namun,

Pemerintah Indonesia secara sukarela berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% jika

mendapat bantuan internasional pada tahun 2020 untuk bidang BAU (business as usual). Hal tersebut dinyatakan pada pertemuan G-20 di Pittsburgh,

Pensylvania, Amerika Serikat tanggal 25 September 2009. Untuk memenuhi

komitmen tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

(RAN-GRK). Pada pasal 6 Perpres tersebut mengharuskan Gubernur menyususun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-

GRK). Implementasi RAN/RAD-GRK diprioritaskan kepada bidang berbasis lahan, khususnya kehutanan dan pertanian. Pada tahun 2000 sektor berbasis lahan

menyumbang emisi GRK sekitar 65% dari emisi nasional. Emisi tersebut berasal

dari perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land Use Change and Forestry/LUCF) sebesar 47%, kegiatan pertanian (5%) dan kebakaran lahan

gambut 13 %.

Pesatnya laju pembangunan di wilayah Jawa Barat telah memberikan dampak

negatif terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidup, sehingga berdampak

merugikan terhadap masyarakat. Dampak negatif terhadap kualitas lingkungan,

antara lain : berkurangnya sumberdaya alam, meningkatnya pencemaran dan

memacu perubahan iklim secara global (global warming). Pertumbuhan sektor

Page 8: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

I-2

industri telah memacu peningkatan pembuangan limbah dari Bahan Berbahaya

dan Beracun (B3) yang merusak lingkungan. Pertumbuhan industri kendaraan

bermotor telah berkontribusi terhadap pencemaran udara yang diakibatkan dari

gas buang kendaraan, meningkatkan suhu udara, meningkatkan konsumsi BBM,

serta menimbulkan masalah sosial antara lain kemacetan lalu lintas.

Pemerintah Jawa Barat berkeinginan untuk menjadi provinsi hijau (Green

Province) dengan menerapkan strategi pembangunan hijau. Komitmen

Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini dituangkan dalam dokumen RPJMD Provinsi

Jabar tahun 2008-2013, pada kebijakan bidang lingkungan point 6b berbunyi:

“meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka mewujudkan

provinsi yang hijau (Green Province) didukung upaya menciptakan provinsi

yang bersih (Clean Province)”. Kata Green Province juga muncul dalam

dokumen RKPD Jabar tahun 2011 (Pergub no. 29 tahun 2010) pada Rencana

Program Tematik tujuan umum ke-8 dengan sasaran : “meningkatnya fungsi dan

luas kawasan lindung dan pengendalian luasan lahan kritis”. Kegiatan

tematiknya adalah Konservasi dan rehabilitasi kawasan hulu DAS prioritas

(Cimanuk, Citarum, Ciliwung dan Citanduy) dan kawasan pesisir serta pulau kecil

melalui Jabar Green Province. Kebijakan tersebut diperkuat dengan arahan

Gubernur Jawa Barat dalam beberapa pernyataan (statement) antara lain: (1)

“Pemerintah provinsi Jabar menargetkan pada tahun 2025 mendatang menjadi

Green Province. Salah satu indikatornya dengan menjadikan 45 persen luas

wilayah di Jabar menjadi kawasan lindung...” (Pidato Gubernur Ahmad

Heryawan yang disampaikan pada seminar 'Peluang dan Tantangan penerapan

Clean Development Mechanism di Jawa Barat', di ITB, Senin 19/1/2009); (2) “

Untuk menjadi Green Province sedikitnya Jawa Barat harus memiliki 45 persen

kawasan lindung ...” (Pidato Gubernur Ahmad Heryawan pada Green Festival di

Monumen Perjuangan, Jalan Dipatiukur, Jum’at 25/11/2011).

Hal penting yang harus diperhatikan dalam mewujudkan green province Jawa

Barat adalah kejelasan definisi Green Province dimaksud oleh Pemerintah dan

masyarakat Jawa Barat. Oleh karena itu, perlu didefinisikan prasyarat dan

kebutuhan operasionalisasi dan kuantifikasi green province yang diinginkan.

Demikian juga, filosofi dan sistem nilai disamping konsep dan hubungannya

kedalam kebijakan Provinsi Jawa Barat harus dibuat secara eksplisit. Di pihak

lain, kearifan lokal dan politik yang melandasi harus dibuat dan tetap di bawah

payung pembangunan berkelanjutan. Dalam memberikan arahan yang jelas dan

capaian yang diinginkan, diperlukan kriteria yang dapat menunjukan derajat

strategis dan kebijakan yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Salah satu indikator Green Province Jawa Barat adalah pencapaian kawasan

lindung sebesar 45 persen. Pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat telah

diatur dalam Perda Jawa Barat no 2 tahun 2006 tentang Kawasan Lindung dan

Page 9: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

I-3

Perda Jawa Barat no 22 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Jawa Barat. Pada Perda no 22 tahun 2010 disebutkan bahwa target

pencapaian 45 persen kawasan lindung di Jawa Barat diharapkan pada tahun

2018.

Strategi pencapaian luas kawasan lindung 45 persen di Jawa Barat, dilakukan

atas dasar pencapaian luas/kuantitas dan peningkatan kualitas dari kawasan

lindung. Pecapaian luas kawasan lindung ditempuh, melalui : (a). peningkatan

fungsi kawasan lindung di dalam dan di luar kawasan hutan; (b). pemulihan

kembali secara bertahap kawasan lindung yang telah berubah fungsi; (c).

pengalihan fungsi secara bertahap kawasan hutan cadangan dan hutan produksi

terbatas menjadi hutan lindung; (d) pembatasan pengembangan prasarana

wilayah di sekitar kawasan lindung untuk menghindari tumbuhnya kegiatan

perkotaan yang mendorong alih fungsi kawasan lindung; (f). penetapan luas

kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara

itu, peningkatan kualitas kawasan lindung dilakukan, melalui : (a). optimalisasi

pendayagunaan kawasan lindung hutan dan non hutan melalui jasa lingkungan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (b). pengendalian pemanfaatan

sumberdaya alam dan sumberdaya buatan pada kawasan lindung; (c).

pencegahan kerusakan lingkungan akibat kegiatan budidaya; (d). rehabilitasi

lahan kritis di kawasan lindung; dan (e). penyusunan arahan insentif dan

disinsentif serta pengenaan sanksi dalam hal alih fungsi dan/atau penerbitan izin

pembangunan dan/atau kegiatan di kawasan lindung.

Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan lindung merupakan alat

pengendalian (controling tools) untuk mengontrol pencapaian target kawasan

lindung baik secara kuantitas maupun kualitas. Kriteria dan indikator tersebut

harus merujuk kepada kebijakan pengelolaan kawasan lindung (Perda Jabar no 2

tahun 2006) dan kebijakan tata ruang provinsi Jabar (Perda Jabar no 22 tahun

2010). Penetapan kriteria indikator pengelolaan kawasan lindung tidak terlepas

dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustained development) yang teridir

dari aspek kebijakan, sosial, ekonomi dan biofisik. Dalam konsep pembangunan

berkelanjutan, tujuan utama pengelolaan kawasan lindung adalah terpenuhinya

syarat kondisi biofisik kawasan lindung yang mampu memberikan fungsi lindung

bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, indikator yang sesuai dipakai dalam

aspek biofisik adalah indikator luaran (ouput). Namun demikian, disadari bahwa

keberadaan kawasan lindung secara fisik dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat

di sekitarnya, yang menggantungkan kebutuhan hidupnya dari kawasan lindung.

Keberadaan kawasan lindung sangat diharapkan oleh masyarakat dapat

meningkatkan perekonomian mereka. Oleh karena itu diperlukan aspek

kebijakan yang mengatur bagaimana pemanfaatan kawasan lindung dari aspek

ekonomi yang tidak memberikan dampak buruk bagi kondisi fisik kawasan

lindung. Kebijakan juga diperlukan untuk mengatur interaksi masyarakat dengan

Page 10: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

I-4

keberadaan kawasan lindung, agar segala aktivitas masyarakat dapat diarahkan

untuk mendorong perwujudan kualitas biofisik kawasan lindung yang baik serta

partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan lindung semakin

meningkat.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud kegiatan Penyusunan Kriteria Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung

dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat adalah menyediakan alat

(tools) untuk monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan lindung di Jawa

Barat dalam rangka mewujudkan Jawa Barat sebagai provinsi hijau (Green

Province). Tujuan penyusunan kriteria dan indikator adalah :

a. Membuat alat ukur kinerja pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat

yang terdiri dari serangkaian kriteria dan indikator yang SMART

(Specific/scientific, Measurable, Achievable, Resources Availability,

Treasurable) serta mudah diaplikasikan di lapangan.

b. Memberi acuan standar nilai dalam pencapaian kinerja pengelolaan

kawasan lindung di Jawa Barat dalam rangka perwujudan Green Province.

1.3. Sasaran

Sasaran pengguna buku kriteria dan indikator ini adalah para pihak (stakeholder)

baik pemerintah daerah kabupaten/kota, provinsi maupun pemerintah pusat

yang terkait dalam pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat.

1.4. Sistematika Penulisan

Buku Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka

Perwujudan Green Province Jawa Barat ini disusun dalam empat bagian penting.

Bagian pertama adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang, maksud dan

tujuan, sasaran pengguna, sistematika penulisan dan daftar istilah yang

digunakan. Bagian kedua adalah Dasar Pemikiran yang berisi landasan hukum

dan konsep pengelolaan kawasan lindung. Bagian ketiga adalah Metode

Penentuan Kriteria yang berisi penjelasan pengertian prinsip, kriteria, indikator

Page 11: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

I-5

dan verifier; konsep penetapan kriteria dan indikator serta metode

penetapannya. Bagian keempat adalah Penjelasan Kriteria dan Indikator pada

masing-masing aspek, yaitu : aspek biofisik, kebijakan, sosial dan ekonomi.

1.5. Daftar Istilah Penting

Beberapa peristilahan penting yang digunakan dalam Buku Kriteria dan

Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green

Province Jawa Barat ini adalah :

1. Prinsip adalah suatu aturan atau kebenaran fundamental yang mendasari

pola berpikir atau bertindak.

2. Kriteria adalah ukuran yang digunakan untuk mengetahui/menilai apakah

kemajuan yang dicapai dapat memenuhi prinsip.

3. Indikator adalah variabel atau komponen dari sistem pengelolaan yang

mencerminkan atau mengindikasikan situasi atau kondisi yang diperlukan

oleh kriteria.

4. Verifier adalah data atau informasi yang dapat menambah kejelasan dan

memudahkan penilaian terhadap suatu indikator.

5. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

6. Instansi Terkait adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten/Kota, instansi

vertikal dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

7. Pengelolaan Kawasan Lindung adalah upaya penetapan, pelestarian

dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.

8. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber

daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa,

guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

9. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan

suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi

menampung air hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke danau atau ke

laut secara alami, yang batasnya di darat merupakan pemisah topografi,

sedangkan di laut sampai dengan daerah perairan yang masih

terpengaruh aktivitas daratan.

Page 12: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

I-6

10. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata

air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan

memelihara kesuburan tanah.

11. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau

ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap.

12. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan

satwa serta ekosistemnya.

13. Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-

pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada

tanah negara maupun tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh

pejabat yang berwenang.

14. Kawasan Berfungsi Lindung di Luar Kawasan Hutan Lindung

adalah kawasan yang memiliki nilai perlindungan terhadap daerah di

bawahanya, yang tidak selalu harus berupa hutan.

15. Kawasan Resapan Air adalah daerah bercurah hujan tinggi, berstruktur

tanah yang mudah meresapkan air dan mempunyai geomorfologi yang

mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.

16. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang

mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi

pantai.

17. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai,

termasuk pada sungai buatan/kanal/saluran/irigasi primer yang

mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi

sungai.

18. Kawasan Sekitar Waduk dan Situ adalah kawasan tertentu di

sekeliling waduk dan situ yang mempunyai manfaat penting untuk

mempertahankan kelestarian fungsi waduk dan situ.

19. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang

mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi

mata air.

20. Tanah Timbul adalah daratan yang terbentuk secara alami maupun

buatan karena proses pengendapan di sungai, danau, pantai dan/atau

lahan timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai negara.

Page 13: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

I-7

21. Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya

mempunyai kekhasan tumbuhan satwa dan ekosistemnya atau ekosistem

tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara

alami.

22. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri

khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk

kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

23. Suaka Alam Laut dan Perairan Lainnya adalah daerah yang mewakili

ekosistem khas di lautan maupun perairan lainnya, yang merupakan

habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi

perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada.

24. Kawasan Hutan Payau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan

habitat alami hutan payau atau jenis tanaman lain yang berfungsi

memberikan perlindungan kepada keanekaragaman hayati pantai dan

lautan.

25. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk

tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

pariwisata dan rekreasi.

26. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan

koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli

dan atau bukan jenis asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata

dan rekreasi.

27. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan

utama untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.

28. Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah adalah kawasan suaka alam

dan pelestarian alam yang diperuntukkan bagi pengembangan dan

pelestarian pemanfaatan plasma nutfah tertentu.

29. Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat

wisata berburu.

30. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan

yang merupakan lokasi tinggalan budaya manusia dan benda alam yang

mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan

beserta lingkungannya yang diperlukan bagi pelestarian, pengembangan

dan pemanfaatan.

Page 14: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

I-8

31. Kawasan Konservasi Lingkungan Geologi adalah lahan yang

mempunyai ciri geologi unik/khas, langka dan atau mempunyai fungsi

ekologis yang berguna bagi kehidupan dan menunjang pembangunan

berkelanjutan dan atau mempunyai nilai ilmiah tinggi untuk pendidikan.

32. Kawasan Rawan Bencana Gunung Berapi adalah kawasan yang

sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana akibat letusan gunung

berapi.

33. Kawasan Rawan Gempa Bumi adalah kawasan yang pernah terjadi

dan diidentifikasi mempunyai potensi terancam bahaya gempa bumi baik

gempa bumi tektonik maupun vulkanik.

34. Kawasan Rawan Gerakan Tanah adalah kawasan yang berdasarkan

kondisi geologi dan geografi dinyatakan rawan longsor atau kawasan yang

mengalami kejadian longsor dengan frekuensi cukup tinggi.

35. Kawasan Rawan Banjir adalah daratan yang berbentuk flat, cekungan

yang sering atau berpotensi menerima aliran air permukaan yang relatif

tinggi dan tidak dapat ditampung oleh drainase atau sungai, sehingga

melimpah ke kanan dan ke kiri serta menimbulkan masalah yang

merugikan manusia.

36. Masyarakat Adat adalah masyarakat asli yang telah secara turun

temurun tinggal dan melaksanakan pola hidup khas setempat, yang taat

berpegang teguh kepada norma-norma adat yang ada dan berlaku

membumi, dan mempunyai lembaga adat yang merupakan suatu

kesatuan sistem pengambilan keputusan.

Page 15: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-1

BAB II

PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DALAM RANGKA PERWUJUDAN GREEN PROVINCE

2.1. Landasan Hukum

2.1.1. Undang–Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-undang No. 26 tahun 2007 menyebutkan Penataan Ruang

adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

pengendalian pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata

ruangnya. Undang-undang ini juga menjelaskan pengertian

perencanaan tata ruang sebagai suatu proses untuk menentukan

(penyusunan dan penetapan) “Struktur Ruang” yaitu susunan pusat-

pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang

berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang

secara hirarkis memiliki hubungan fungsional, dan “Pola Ruang” yaitu

distribusi pola ruang dalam suatu wilayah yang meliputi ruang untuk

fungsi lindung dan ruang untuk fungsi budidaya. Pengertian pemafaatan

ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang

sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksaan

program. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk

mewujudkan tertib tata ruang melalui penetapan peraturan zonasi,

perizinan terkait pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif.

Penataan ruang secara prinsip harus didasarkan pada karakteristik, daya

dukung, dan daya tampung lingkungan. Sehingga dapat dicapai

keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistemnya. Mengacu

pada Pasal (17) ayat (3) bahwa Rencana Pola Ruang meliputi

peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut ayat (4)

peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya meliputi peruntukan

ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi,

pertahanan, dan keamanan. Kemudian pada ayat (5) disebutkan dalam

rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),

dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling

sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.

Page 16: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-2

Dalam tahap pemanfaatan ruang, harus dapat memberikan dukungan

terhadap kepentingan pertimbangan optimasi pengelolaan sumberdaya

alam dan buatan. Kepentingan pertimbangan optimasi pengelolaan

sumberdaya alam dan buatan lebih diarahkan untuk tujuan peningkatan

ekonomi wilayah dengan menata kegiatan yang terspesialisasikan,

terkonsentrasi, dan terlokalisasi dalam pengelolaan pemanfaatan ruang

dalam sistem wilayah. Sehingga akan memberikan keuntungan ekonomi

dan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan wilayah.

Tahapan selanjutnya dalam proses penataan ruang adalah pengendalian

pemanfaatan ruang yang dilakukan melalui cara pemberian izin

pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan

sanksi (pasal 35). Perizinan pemanfaatan ruang dimaksud sebagai upaya

penertiban pemanfaatan ruang. Setiap pelaksanaan pembangunan harus

diupayakan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan

ruang diatur dan diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah

daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan

ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang

dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenakan

sanksi administratif, sanksi pidana penjara, atau sanksi pidana denda.

Pemberian insentif dalam pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai

upaya memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan

dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan masyarakat maupun

oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain dapat

berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana

(infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan,

dan pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai

perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan atau

mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang,

yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi,

pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan

kompensasi dan finalti.

Berdasarkan uraian Undang–undang No. 26 Tahun 2007, maka Kriteria

Indikator terkait ketersediaan rencana tata ruang yang mengacu pada

undang–undang dan peraturan lainnya merupakan kriteria dan indikator

prasyarat bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah

Daerah Kota/Kabupaten dalam menjamin kawasan lindung. Pemerintah

Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten

harus menjamin keberadaan dan meningkatkan fungsinya dalam menuju

Green Province.

Page 17: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-3

2.1.2. Peraturan Daerah Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2010

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat

Tahun 2009-2029

Peraturan Daerah No. 22 tahun 2010 telah ditetapkan pengertian,

strategi dan tipe Kawasan Lindung. Dalam Perda tersebut kawasan

lindung diartikan sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya

alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna

kepentingan pembangunan berkelanjutan.

Selanjutnya, pada Perda RTRWP Jawa Barat tahun 2010 tersebut juga

telah ditetapkan kebijakan pengembangan kawasan lindung yang terdiri

dari dua kebijakan, yakni : pertama pencapaian luas kawasan lindung

sebesar 45% dan kedua menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan

lindung. Strategi-strategi pencapaian luas kawasan lindung sebagai

berikut :

a. Peningkatan fungsi kawasan lindung di dalam dan di luar kawasan

hutan;

b. Pemulihan secara bertahap kawasan lindung yang telah berubah

fungsi;

c. Pengalihan fungsi secara bertahap kawasan hutan cadangan dan

hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung;

d. Pembatasan pengembangan prasarana wilayah di sekitar kawasan

lindung untuk menghindari tumbuhnya kegiatan perkotaan yang

mendorong alih fungsi kawasan lindung; dan

e. Penetapan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran

Sungai (DAS).

2.1.3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 9 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat

Tahun 2005–2025

RPJPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 – 2025 menuangkan terkait

pengelolaan kawasan lindung adalah Misi Ketiga : “Mewujudkan

Lingkungan Hidup yang Asri dan Lestari”, yaitu : mengelola sumberdaya

alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan, menjaga fungsi dan

Page 18: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-4

daya dukung, serta menjaga pemanfaatan ruang yang serasi antara

kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan antara kawasan perkotaan

dan kawasan perdesaan.

Adapun sasaran mewujudkan pembangunan di bidang lingkungan hidup

dan lestari, meliputi :

a. Meningkatnya keseimbangan antara jumlah penduduk terhadap

daya dukung dan daya tampung lingkungan;

b. Terkendalinya pertumbuhan penduduk secara alamiah maupun

penduduk migrasi;

c. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku ramah

lingkungan;

d. Terkendalinya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup

yang efektif, efisien dan bernilai tambah.

Perwujudan lingkungan hidup yang asri dan lestari ditujukan untuk

meningkatkan kualitas hidup manusia dan menjamin tersedianya sumber

daya berkelanjutan bagi pembangunan.

Adapun langkah-langkah strategis yang dilakukan sebagai berikut :

1. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan

sinergisitas implementasi di seluruh sektor dan wilayah menjadi

prasyarat utama dalam pelaksanaan berbagai kegiatan

pembangunan.

2. Pengendalian pertumbuhan penduduk dan persebaran diarahkan

untuk menjaga daya tampung suatu wilayah dalam suatu kesatuan

ruang.

3. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku ramah

lingkungan melalui peningkatan pendidikan lingkungan sejak dini,

sosialisasi, komunikasi dan informasi lingkungan, serta

memperkenalkan berbagai kearifan lokal kepada seluruh lapisan

masyarakat.

4. Penataaan ruang diarahkan untuk mewujudkan penataan ruang

yang berkelanjutan, mendukung daya saing daerah, dan

berkeadilan, serasi, serta mampu mewadahi perkembangan wilayah

dan aktivitas perekonomian dengan tetap menjaga keseimbangan

daya dukung dan daya tampung lingkungan.

5. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup diarahkan

untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pengelolaan,

memantapkan kepranataan, menguatkan sistem informasi

Page 19: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-5

sumberdaya alam dan lingkungan, mengoptimalkan penggunaan

teknologi ramah lingkungan, serta menguatkan kelembagaan

pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup, terutama

pengelola sumber daya air, sumber daya pesisir dan laut serta

kawasan lindung.

6. Upaya penanganan bencana ke depan lebih diarahkan pada

pengurangan resiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan

iklim. Pengurangan resiko bencana diarahkan kepada pencegahan

lebih dini, mitigasi, dan peningkatan kesiapsiagaan, untuk

meminimalkan tingkat kerusakan, kerugian ekonomi, bahkan korban

jiwa.

7. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan diarahkan

pada upaya peningkatan peran masyarakat dalam melakukan

pencegahan serta kontrol terhadap pencemaran dan kerusakan

lingkungan.

8. Pemulihan kualitas lingkungan diarahkan kepada upaya rehabilitasi

lahan kritis, baik melalui sistem vegetasi maupun sipil teknis,

reklamasi lahan pasca maupun bekas penambangan, penataan

daerah resiko tinggi bencana (gerakan tanah, tsunami, dan banjir),

penataan kawasan kumuh perkotaan, pemulihan kualitas ekosistem

kawasan lindung, perlindungan atau pemulihan daerah resapan air,

pemulihan kualitas sumberdaya air permukaan, air tanah, dan

pesisir.

9. Pelestarian fungsi kawasan lindung diarahkan pada pemulihan

kondisi dan peningkatan fungsi kawasan lindung untuk menjaga

keseimbangan ekosistem kawasan, kestabilan iklim baik mikro

maupun makro, manfaat ekologis dan menjaga sumber daya

ekonomi kawasan.

2.1.4. Peraturan Daerah no 2 tahun 2009 tentang RPJMD Provinsi

Jawa Barat tahun 2008-2013

Munculnya istilah Green Province pertama kali pada RPJMD Provinsi

Jawa Barat tahun 2008–2013 yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah

No. 25 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Daerah No. 2 Tahun

2009 tentang RPJMD Provinsi Jawa Barat tahun 2008–2013.

Istilah Green Province tercantum pada BAB IV (Strategi

Pembangunan), sub bab 4.1. (Kebijakan Pembangunan), pada Misi 4:

Page 20: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-6

(Meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk

pembangunan berkelanjutan), kebijakan bidang lingkungan hidup butir

6c (Meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka

mewujudkan Green Province didukung upaya menciptakan provinsi

yang bersih Clean Province).

Kebijakan bidang lingkungan hidup tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Meningkatkan upaya pemulihan dan konservasi sumberdaya air,

udara, hutan dan lahan;

b. Mengurangi resiko bencana;

c. Meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka

mewujudkan Green Province didukung upaya menciptakan provinsi

Clean Province.

Sedangkan program bidang lingkungan hidup terkait dengan kawasan

lindung yang diamanatkan dalam Perda tersebut meliputi :

1. Program Pengelolaan Kawasan Lindung, dengan sasaran :

a. Terlaksananya penataan dan perbaikan fungsi kawasan lindung;

b. Meningkatnya pengamanan dan perlindungan kawasan lindung;

c. Berkembangnya kawasan lindung baru;

d. Meningkatnya kemitraan dan pemberdayaan masyarakat sekitar

kawasan lindung.

2. Program Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Laut, dengan sasaran :

a. Terlaksananya rehabilitasi mangrove dan terumbu karang di

Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Barat;

b. Meningkatnya vegetasi pelindung pantai di kawasan wisata

pantai utara dan selatan Jawa Barat;

c. Tersedianya pranata pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil,

melalui penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Laut.

Indikator kinerja pencapaian luas kawasan lindung terhadap luas Jawa

Barat meningkat 27% (pada tahun 2007); 30-31% (pada midterm); 34-

35% (pada tahun 2013). Sedangkan kebijakan bidang kehutanan adalah

meningkatkan pengamanan dan pencegahan kerusakan kawasan hutan.

Kebijakan tersebut direalisasikan melalui Program Pengelolaan Kawasan

Lindung, dengan sasaran meningkatnya peran serta masyarakat desa

hutan dalam pengamanan kawasan hutan dan hutan kota sebagai ruang

terbuka hijau. Sosok Jabar pada tahun 2013 menurut bidang kehutanan

adalah Terciptanya kawasan konservasi dan kawasan lindung dari

Page 21: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-7

berbagai gangguan pengrusakan hutan, sesuai dengan perencanaan tata

ruang kehutanan.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa dalam RPJMD Provinsi

Jawa Barat tahun 2008-2013 telah ditetapkan bahwa salah satu upaya

dalam pencapaian Green Province Jawa Barat melalui pencapaian luas

kawasan lindung dan telah ditetapkan pula indikator kinerja pencapaian

luas kawasan lindung terhadap luas Jawa Barat mulai tahun 2007

sampai 2012. Dengan demikian, secara landasan hukum arah

pencapaian Green Province ditekankan melalui pencapaian luas

kawasan lindung, yang diharapkan dapat direalisasikan pada tahun

2013.

2.1.5. Peraturan Ggubernur Jawa Barat No. 29 tahun 2010 tentang

RKPD provinsi Jabar tahun 2011

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun

2011 adalah pelaksanaan tahun ketiga dari periode kepemimpinan

Kepala Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008–2013, dan sekaligus

merupakan penjabaran dari skema Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008–2013,

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Tahun 2005–

2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011. Penyusunan RKPD

ditujukan sebagai upaya mewujudkan perencanaan pembangunan

daerah yang sinergis antara perencanaan pembangunan nasional

dengan provinsi dan kabupaten/kota maupun dengan provinsi yang

berbatasan.

Arah kebijakan RKPD Tahun 2011 terdiri dari dua belas kebijakan. Pada

arah Kebijakan Kedelapan, yakni : Kebijakan pembangunan yang

berkaitan dengan Peningkatan Kualitas Lingkungan dan

Penanganan Bencana diarahkan pada : (1) merehabilitasi lahan kritis

secara massal, terutama di hulu DAS prioritas; (2) mewujudkan tata

ruang untuk pembangunan berkelanjutan sebagai realisasi Jabar Green

Province; (3) meningkatkan kualitas mitigasi bencana dan

penanggulangan korban bencana secara akurat; (4) meningkatkan

pengelolaan dan pemrosesan sampah terpadu regional.

Berdasarkan RKPD provinsi Jawa Barat tahun 2011, khususnya terkait

dengan kebijakan pembangunan dalam peningkatan kualitas lingkungan

dan penanganan bencana telah secara konsisten dimuat dan selalu

Page 22: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-8

mendapatkan dukungan APBD. Hal tersebut ditunjukkan pada tahun

anggaran 2011 bagi peningkatan kualitas lingkungan dan penanganan

bencana telah dialokasikan dana sebesar Rp. 1,321 trilyun.

2.2. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung dalam

Rangka Perwujudan Green Province

Green Province merupakan bagian dari pertumbuhan hijau dan ekonomi hijau

pada skala regional (provinsi). Pertumbuhan hijau dan ekonomi hijau

merupakan dua strategi dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Strategi pertumbuhan hijau (Green Growth Strategies) digaungkan oleh

Organization Cooperation and Development (OECD) yang berpusat di Paris,

yakni organisasi negara-negara maju yang pertumbuhan ekonominya sudah

sangat tinggi. Kemudian United Nations Environmental Programme (UNEP) juga

meluncurkan suatu strategi yang disebut ekonomi hijau (Green Economy).

Kedua strategi tersebut meskipun berbeda memiliki makna/arti yang sama yakni

sebagai langkah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) dengan menfokuskan pilar ekonomi yang mengintegrasikan pilar

lingkungan sekaligus pilar sosial. Namun demikian, secara internasional sampai

saat sekarang belum ada kesepakatan mengenai pengertian dari strategi Green

Economy atau Green Growth.

Indonesia mengartikan Green Economy sebagai suatu proses transformasi dalam

pembangunan ekonomi dan investasi ke arah pembangunan berkelanjutan,

bertujuan untuk merubah paradigma pembangunan. Sehingga ketiga pilar

pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan hidup, ekonomi dan sosial dapat

saling mendukung. Sebagai bentuk komitmennya Indonesia menyanggupi untuk

menurunkan emisi GRK menjadi 41% ke dalam strategi Green Economy

Indonesia.

Dalam mewujudkan Green Economy tersebut peranan Pemerintah Daerah

menjadi penting. Salah satu bentuk peran pemerintah provinsi diwujudkan

dalam Green Province. Dengan demikian, Green Province dapat diartikan sebagai

penerapan pembangunan berkelanjutan di seluruh kabupaten dan kota di

wilayahnya dengan menjaga lingkungan hidup sekaligus memanfaatkan

sumberdaya alam secara bertanggungjawab.

Dukungan perwujudan sebagai Green Province, Pemerintah Provinsi Jawa

Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) telah

mengalokasikan ruang kawasan lindung (KL) sebesar 45% dari luas wilayah total

Page 23: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-9

daratan Jawa Barat (total luas daratan Jawa Barat 3.709.528,44 ha). Hal ini

didukung oleh kebijakan-kebijakan seperti Perda Jabar No. 2/2006 (tentang

Kawasan Lindung), Perda Jabar No 22/2010 (tentang RTRWP) dan Perda no.

2/2009 (RPJM Jabar 2008-2013).

Secara konseptual, perwujudan Green Province dapat dicapai melalui langkah-

langkah berikut :

1. Penyiapan Green Resources, merupakan landasan (akar) dalam

mewujudkan green province yaitu green culture, green coverage, land and

water conservation, green research dan recycle material.

2. Pemastian landasan pelaksanaan pembangunan berbasis Green

Development yakni pembangunan yang ramah lingkungan meliputi

sustainable development based spatial, green building, sustainable forest

management, sustainable farming, dan penerapan environmental friendly

technology.

3. Memastikan proses pembangunan menggunakan Green Process yakni

proses pembangunan yang menghasilkan dampak minimal pada

lingkungan dan sosial yakni safe operation, efficiency production and

waste reduction, energy and water saving, dan environmental control.

4. Mengendalikan bahwa semua produk yang diproduksi dan beredar di Jawa

Barat adalah Green Product yakni berbagai produksi yang dihasilkan

memiliki tingkat keamanan dan menjamin kelestarian lingkungan yakni

preservation endangered wildlife and biodiversity, save for human, green

waste, dan environment friendly product.

Mengacu pada tahap dalam memastikan pelaksanaan pembangunan berbasis

Green Development adalah pembangunan berbasis pada perencanaan ruang.

Pembangunan harus mendukung kegiatan sosial ekonomi dan struktur ruang

yang melindungi proses pembangunan. Perlindungan pembangunan dilakukan

dengan mengalokasikan ruang sesuai fungsinya antara kawasan budidaya dan

kawasan lindung. Peranan Kawasan Lindung dalam perwujuan Green Province

Jawa Barat menjadi penting, karena beberapa hal berikut :

1. Pendistribusian pola ruang sebagai kawasan berfungsi lindung sebesar

45% dari luas daratan, sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan

pengembangan sosial dan ekonomi di Jawa Barat secara optimal;

2. Kawasan berfungsi lindung merupakan ruang untuk mewujudkan Green

Province dalam aspek ketercapaian penutupan lahan serta konservasi

tanah dan air, sebagai salah satu tulang punggung dalam penurunan

emisi GRK;

Page 24: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-10

3. Keberadaan Kawasan Lindung dan Kualitas Kawasan Lindung merupakan

awal dari peta jalan (road map) dalam perwujudan Green Province.

Pengelolaan Kawasan Lindung yang baik adalah pengelolaan kawasan lindung

yang menjamin tidak terjadinya perubahan fungsi kawasan lindung, kepastian

keberadaan lokasi kawasan lindung, pemanfaatan kawasan lindung secara lestari

dan upaya perlindungan serta peningkatan fungsi kawasan lindung. Tahapan

pengelolaan kawasan yang menunjang hal tersebut meliputi tahapan : (1)

Penataan Kawasan Lindung, (2) Pengelolaan Kawasan Lindung, (3) Perlindungan

dan Peningkatan Fungsi Kawasan lindung.

(1) Penataan Kawasan Lindung

Penataan Kawasan Lindung dimasudkan sebagai kegiatan rancang bangun

unit pengelolaan kawasan lindung. Mencakup pengelompokkan

sumberdaya hutan sesuai dengan tipenya dan potensi yang terkandung di

dalamnya dengan tujuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi

masyarakat secara lestari.

(2) Pengelolaan Kawasan Lindung

Prinsip dasar pengelolaan kawasan lindung ditujukan untuk meningkatkan

manfaat kawasan lindung secara lestari. Tiga pilar pengelolaan kawasan

lindung lestari yakni lingkungan, sosial dan ekonomi, sebagai bentuk

pengelolaan dalam meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dapat

menunjang kehidupan manusia. Secara konseptual, kerangka dasar

pengelolaan kawasan lindung seperti Gambar 2-1.

Nilai Etika/Budaya

Variabilitas sosial

Pengelolaan Kawasan Lindung

Variabilitas Ekonomi

Kualitas Lingkungan Kebijakan Lingkungan

Gambar 2-1. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung

Page 25: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-11

Terjaminnya variabilitas ekologi, variabilitas ekonomi dan kualitas

lingkungan akan berdampak terhadap terjaminnya kelestarian kawasan

lindung yang dikelola. Kebijakan yang mendukung pengelolaan kawasan

lindung akan sangat mendukung tercapainya kelestarian kawasan lindung.

Di sisi lain, aspek nilai etika/budaya juga sangat berpengaruh dalam sistem

pengelolaan kawasan lindung. Masyarakat dengan nilai etika/budaya yang

baik, akan berakibat pada terjaganya kawasan lindung. Dengan demikian,

kelestarian kawasan lindung akan terjamin.

(3) Perlindungan dan peningkatan fungsi kawasan lindung

Dalam beberapa hal, Kawasan Lindung sering dijadikan sebagai areal

cadangan untuk kegiatan budidaya yang menyebabkan kawasan lindung

mengalami tekanan terhadap pengurangan luasan maupun fungsi kawasan.

Oleh karena itu, kegiatan perlindungan di kawasan lindung menjadi penting.

Perlindungan di kawasan lindung ditujukan dalam rangka melindungi

kawasan tersebut dari konversi lahan, perambahan kawasan, kebakaran,

penebangan liar serta penambangan liar. Kegiatan-kegiatan tersebut

diprediksi dapat mengganggu fungsi pokok kawasan lindung dan

keanekaragaman hayati.

Mengacu pada landasan hukum dan prinsip pengelolaan kawasan lindung, dalam

mewujudkan capaian luas kawasan lindung dapat dilakukan melalui intervensi

sebagai berikut :

1. Dukungan RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dalam memberi

kepastian sebaran dan luas kawasan lindung;

2. Dukungan arah kebijakan jangka panjang maupun jangka menengah di

tingkat provinsi dan kabupaten/kota pro perlindungan kawasan lindung

yang mendukung arah kebijakan pengelolaan kawasan lindung;

3. Dukungan program dan kegiatan dalam meningkatkan kondisi dan fungsi

kawasan lindung;

4. Kegiatan Sosial di tataran masyarakat yang mendukung keberadaan dan

kondisi kawasan lindung;

5. Kegiatan ekonomi yang mampu meningkatkan manfaat kawasan lindung

dalam menunjang kesejahteraan masyarakat.

Dengan arah intervensi tersebut diharapkan pencapaian luas kawasan lindung

akan mendukung ke arah tercapainya Green Province Jawa Barat (Gambar 2-

2).

Page 26: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-12

RTRW PROPINSI

JAWA BARAT

2009 - 2029

RTRW

KABUPATEN/ KOTA

DI JAWA BARAT

RPJMD

PROVINSI JAWA

BARAT

RKPD PROVINSI

JABAR LEVEL

PROVINSI

PROGRAM dan

KEGIATAN

KEGIATAN

EKONOMI

PENCAPAIAN

LUAS

KAWASAN

LINDUNG

KEPASTIAN

SEBARAN

DAN LUAS KL

ARAH KEBIJAKAN

PENGELOLAAN

KL

KEGIATAN

SOSIAL

MENINGKATKAN

KONDISI DAN

FUNGSI KL

MENDUKUNG

KEBERADAAN

DAN KONDISI KL

PENINGKATAN

KEMANFAATAN

KL

RPJMD

KABUPATEN/

KOTA JAWA

BARAT

RKPD KAB/KOTA

DI JABAR

PROGRAM dan

KEGIATAN

KEGIATAN

SOSIAL

KEGIATAN

EKONOMI LEVEL

KABUPATE

N/KOTA

MENUJU

GREEN

PROVINCE

Gambar 2-2. Alur Pengelolaan Kawasan Lindung

Page 27: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-13

2.3. Tipologi Kawasan Lindung Jawa Barat

Menurut Perda Jabar no 22 tahun 2010, tipe kawasan lindung di Jawa Barat

dikelompokkan ke dalam beberapa tipe (tipologi), yaitu :

a. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya,

meliputi :

1. Kawasan hutan lindung;

2. Kawasan resapan air;

b. Kawasan perlindungan setempat, meliputi :

1. Sempadan pantai;

2. Sempadan sungai;

3. Kawasan sekitar waduk dan danau/situ;

4. Kawasan sekitar mata air;

5. RTH di Kawasan Perkotaan;

c. Kawasan suaka alam, meliputi :

1. Kawasan cagar alam;

2. Kawasan suaka margasatwa;

3. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;

4. Kawasan mangrove;

d. Kawasan pelestarian alam, meliputi :

1. Taman nasional;

2. Taman hutan raya;

3. Taman wisata alam;

e. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

f. Kawasan rawan bencana alam, meliputi :

1. Kawasan rawan tanah longsor;

2. Kawasan rawan gelombang pasang;

3. Kawasan rawan banjir;

g. Kawasan lindung geologi, meliputi :

1. Kawasan cagar alam geologi dan kawasan kars;

2. Kawasan rawan bencana alam geologi;

3. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah;

h. Taman buru;

i. Kawasan perlindungan plasma nutfah eks-situ;

Page 28: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-14

j. Terumbu karang;

k. Kawasan koridor bagi satwa atau biota laut yang dilindungi; dan

l. Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung.

Penentapan tipologi kawasan lindung tersebut berdasarkan kriteria yang diatur

dalam Peraturan Daerah no 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung. Perda tersebut saat ini tengah direvisi. Kriteria penentuan tipe kawasan

lindung Jawa Barat disajikan pada Tabel 2-1.

Tabel 2-1. Kriteria penetapan tipe kawasan lindung Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Kriteria

1. Perlindungan Kawasan di Bawahnya

a. Hutan Lindung Skor ≥175, lereng ≥ 40%, ketinggian 2000 mdpl, tanah sangat peka erosi (lereng 15%), resapan air, perlindungan pantai.

b. Kawasan berfungsi lindung non hutan

Skor 125-175, curah hujan >1000 mm/th, lereng 15%, ketinggian 1000-2000 mdpl.

c. Kawasan resapan air Curah hujan >1000 mm/th, pasir halus min 1/16 mm, kecepatan air 1 m/hr, kedalaman muka air tanah >10 m, lereng <15%, kedudukan muka air dangkal > tinggi dari muka air dalam.

2. Kawasan Perlindungan Setempat

a. Sempadan pantai Sekurang-kurangnya 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

b. Sempadan sungai

>5 m sungai bertanggul di pedesaan, >3 m dari tanggul sungai perkotaan, >10 m dari tepi sungai tidak bertanggul diperkotaan dan kedalaman tidak lebih besar 3m, >15 m dari tepi sungai tidak bertanggul di perkotaan dan kedalaman 3-20 m, >30 m dari tepi sungai tidak bertanggul di perkotaan dan kedalaman tidak lebih besar 20 m, >100 m dari tepi sungai, garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan.

c. Kawasan sekitar waduk dan situ

> 50 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

d. Kawasan sekitar mata air > 200 m radius dari sekitar mata air.

e. Tanah timbul Sedimentasi di sungai dan atau pesisir pantai.

3. Kawasan Suaka Alam

a. Cagar Alam - Keanekaragaman flora dan fauna serta tipe ekosistem.

- Memiliki kondisi alam baik dan asli, ciri khas potensi, komunitas ekosistem langka.

b. Suaka Margasatwa Habitat satwa dengan populasi tinggi, satwa langka perlu dikonservasi, tempat hidup satwa migran tertentu.

c. Suaka Alam Laut dan Perairan laut dan darat, pesisir, sungai gugusan karang

Page 29: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-15

No. Jenis Kawasan Lindung Kriteria

Perairan-nya dan atol yang memiliki khas keragaman dan ekosistem.

d. Kawasan Hutan Payau

>130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah.

4. Kawasan Pelestarian Alam

a. Taman Nasional Mempunyai luas untuk proses ekologis, khas dan unik tumbuhan dan satwa dan gejala alam, ekosistem utuh, terbagi beberapa zona.

b. Taman Hutan Raya Mempunyai tumbuhan dan satwa asli/bukan asli, keindahan alam dan gejala alam, dan koleksi tumbuhan dan satwa.

c. Taman Wisata Alam Mempunyai daya tarik alam, kondisi lingkungan mendukung pengembangan wisata alam.

5. Taman Buru Areal cukup dan lapangan tidak membahayakan, terdapat satwa buru yang dapat dikembangbiakan.

6. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah

Plasma nutfah yang belum ada di kawasan konservasi, tempat kehidupan satwa baru dengan areal cukup luas dan lapangan tidak membahayakan.

7. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan

Memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sekurang-kurangnya berumur 50 tahun, benda alam yang dianggap penting untuk sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

8. Kawasan Konservasi Geologi

a. Kawasan Cagar Alam Geologi

Memiliki wujud dan ciri geologi unik, langka dan khas.

b. Kawasan Kars Batuan karbonat memperlihatkan bentang alam kars.

9. Kawasan Rawan Bencana Alam

a. Kawasan rawan bencana gunung api

Kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi dari pusat letusan gunung api.

b. Kawasan rawan gempa Kawasan yang mempunyai sejarah kegempaan yang merusak; dilalui oleh patahan aktif; catatan kegempaan dengan kekuatan (magnitudo) lebih besar dari 6 pada Skala Richter; potensi terjadi pembuburan tanah (Liquifaction).

c. Kawasan rawan gerakan tanah

Kawasan dengan kerentanan gerakan tanah.

d. Kawasan rawan banjir Daerah dengan ketinggian 0-25mdpl, kemiringan di bawah 5%, sedimentasi tinggi > 20.000 m3/th.

10 Hutan Kota Luas >2.500 M2 dan sekurang-kurangnya 10% dari luas wilayah.

Tipe kawasan lindung yang terdapat di wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat

bervariasi, ada yang memiliki beberapa tipologi kawasan lindung ada juga yang

hanya memiliki satu tipologi kawasan lindung. Kabupaten pada umumnya

memiliki tipologi kawasan lindung yang lebih bervariasi dibandingka dengan

wilayah kota. Sebaran tipe kawasan lindung di Jawa Barat dapat dilihat pada

Gambar 2-3 dan Tabel 2-2.

Page 30: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-16

Tabel 2-2. Sebaran Lokasi Tipe Kawasan Lindung di Setiap Kabupaten/Kota

di Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

1. Perlindungan Kawasan di Bawahnya

a. Hutan Lindung Hutan lindung yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH):

1) Bogor

2) Sukabumi

3) Cianjur

4) Purwakarta

5) Bandung Utara

6) Bandung Selatan

7) Garut

8) Tasikmalaya

9) Ciamis

Gambar 2-3. Peta Sebaran Kawasan Lindung Provinsi Jawa Barat (RTRW Jabar, 2010)

Page 31: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-17

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

10) Sumedang

11) Majalengka

12) Indramayu

13) Kuningan

b. Kawasan berfungsi lindung non hutan

Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung, tersebar di Kabupaten/Kota

c. Kawasan resapan air Kawasan resapan air, tersebar di Kabupaten/Kota

2. Kawasan Perlindungan Setempat

d. Sempadan pantai 1) Kabupaten Bekasi

2) Kabupaten Karawang

3) Kabupaten Sukabumi

4) Kabupaten Cianjur

5) Kabupaten Subang

6) Kabupaten Garut

7) Kabupaten Tasikmalaya

8) Kabupaten Ciamis

9) Kabupaten Cirebon

10) Kota Cirebon

11) Kabupaten Indramayu

f. Sempadan sungai Terletak di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS)

g. Kawasan sekitar waduk dan Situ

a) Waduk Darma, terletak di Kabupaten Kuningan

b) Waduk Saguling, terletak di Kabupaten Bandung

c) Waduk Cirata, terletak di Kabupaten Bandung, Cianjur dan Purwakarta

d) Waduk Jatiluhur, terletak di Kabupaten Purwakarta

e) Waduk Situpatok dan Waduk Sedong, terletak di Kabupaten Cirebon

f) Waduk Cipancuh dan Waduk Situ Bolang, terletak di Kabupaten Indramayu

g) Lain-lain waduk yang tersebar di Kabupaten/Kota

h) Situ, tersebar di Kabupaten/Kota

h. Kawasan sekitar mata air

Kawasan sekitar mata air, tersebar di Kabupaten/Kota

i. Tanah Timbul Tanah timbul, tersebar di Kabupaten/Kota

Page 32: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-18

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

3. Kawasan Suaka Alam

a. Cagar Alam 1) Cagar Alam Arca Domas dan Cagar Alam Yan Lapa, terletak di Kabupaten Bogor

2) Cagar Alam Talaga Warna, terletak di Kabupaten Bogor dan Cianjur

3) Cagar Alam Cadas Malang, Cagar Alam Bojong Lorang Jayanti dan Cagar Alam Takokak, terletak di Kabupaten Cianjur

4) Cagar Alam Gunung Simpang, terletak di Kabupaten Cianjur dan Bandung

5) Cagar Alam Telaga Patengan, Cagar Alam Gunung Malabar, Cagar Alam Cigenteng Cipanji I/II, Cagar Alam Yung Hun dan Cagar Alam Gunung Tilu, terletak di Kabupaten Bandung

6) Cagar Alam Papandayan (Perluasan) dan Cagar Alam Kawah Kamojang, terletak di Kabupaten Bandung dan Garut

7) Cagar Alam Tangkubanperahu, terletak di Kabupaten Bandung dan Subang

8) Cagar Alam Talagabodas dan Cagar Alam Leuweung Sancang, terletak di Kabupaten Garut

9) Cagar Alam Sukawayana, Cagar Alam Cibanteng, Cagar Alam Tangkuban Perahu (Palabuhanratu), Cagar Alam Pelabuhan Ratu dan Cagar Alam Dungus Iwul, terletak di Kabupaten Sukabumi

10) Cagar Alam Burangrang, terletak di Kabupaten Purwakarta

11) Cagar Alam Gunung Jagat, terletak di Kabupaten Sumedang

12) Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Cagar Alam Panjalu/Koordera, terletak di Kabupaten Ciamis

13) Lain-lain cagar alam, tersebar di Kabupaten/Kota

b. Suaka Margasatwa Suaka margasatwa, yaitu:

1) Suaka Margasatwa Cikepuh, terletak di Kabupaten Sukabumi

2) Suaka Margasatwa Gunung Sawal, terletak di Kabupaten Ciamis

3) Suaka Margasatwa Sindangkerta, terletak di Kabupaten Tasikmalaya

4) Lain-lain suaka margasatwa, tersebar di Kabupaten/Kota

c. Suaka Alam Laut dan perairannya

1) Suaka Alam Laut Leuweung Sancang, terletak di Kabupaten Garut

Page 33: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-19

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

2) Suaka Alam Laut Pangandaran, terletak di Kabupaten Ciamis

3) Suaka Alam Laut Pulau Biawak, terletak di Kabupaten Indramayu

4) Suaka Alam Cipatujah, terletak di Kabupaten Tasikmalaya

5) Suaka Alam Ujung Genteng, terletak di Kabupaten Sukabumi

6) Lain-lain suaka alam laut, tersebar di Kabupaten/Kota

d. Kawasan Hutan Payau

1) Muara Gembong, terletak di Kabupaten Bekasi

2) Tegalurung, Mayangan dan Pangarengan, terletak di Kabupaten Subang

3) Tanjung Sedari, terletak di Kabupaten Karawang

4) Eretan, Kandanghaur, Losarang, Cantigi, Pasekan, Indramayu, Balongan dan Krangkeng, terletak di Kabupaten Indramayu

5) Lain-lain kawasan hutan payau, tersebar di Kabupaten/Kota

4. Kawasan Pelestarian Alam

a. Taman Nasional 1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, terletak di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor

2) Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, terletak di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor

3) Taman Nasional Gunung Ciremai, terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka

4) Lain-lain taman nasional, tersebar di Kabupaten/Kota

b. Taman Hutan Raya 1) Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, terletak di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung

2) Taman Hutan Raya Pancoran Mas, terletak di Kota Depok

3) Taman Hutan Raya Kuningan, terletak di Kabupaten Kuningan

4) Taman Hutan Raya Gunung Palasari dan Taman Hutan Raya Gunung Kunci, terletak di Kabupaten Sumedang

5) Lain-lain taman hutan raya, tersebar di Kabupaten/Kota

c. Taman Wisata Alam 1) Taman Wisata Alam Talaga Warna, Taman Wisata Alam Gunung Salak Endah, Taman Wisata Alam Gunung Pancar, Taman Wisata Alam Cilember, Taman Wisata Alam Curug Luhur dan Taman Wisata Alam

Page 34: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-20

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

Gunung Nangka, terletak di Kabupaten Bogor

2) Taman Wisata Alam Sukawayana, terletak di Kabupaten Sukabumi

3) Taman Wisata Alam Jember, terletak di Kabupaten Cianjur

4) Taman Wisata Alam Telaga Patengan dan Taman Wisata Alam Cimanggu, terletak di Kabupaten Bandung

5) Taman Wisata Alam Tangkubanperahu, terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang

6) Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut

7) Taman Wisata Alam Papandayan, Taman Wisata Alam Talagabodas dan Taman Wisata Alam Gunung Guntur, terletak di Kabupaten Garut

8) Taman Wisata Alam Gunung Tampomas dan Taman Wisata Alam Gunung Lingga, terletak di Kabupaten Sumedang

9) Taman Wisata Alam Linggarjati, terletak di Kabupaten Kuningan

10) Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran, terletak di Kabupaten Ciamis

11) Taman Wisata Alam Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya

12) Taman Wisata Alam Gunung Parang dan Taman Wisata Alam Cibungur, terletak di Kabupaten Purwakarta

13) Lain-lain taman wisata alam, tersebar di Kabupaten/Kota

5. Taman Buru Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, terletak di Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan

Kabupaten Sumedang

6. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah

a. Muara Gembong, terletak di Kabupaten Bekasi

b. Kebun Raya Bogor, terletak di Kota Bogor

c. Taman Safari Indonesia, Taman Buah Cileungsi dan Gunung Salak Endah, terletak di Kabupaten Bogor

d. Taman Bunga Nusantara dan Kebun Raya Cibodas, terletak di Kabupaten Cianjur

e. Pantai Pangumbahan dan Perairan Sukawayana, terletak di Kabupaten Sukabumi

f. Jatiluhur/Sanggabuana, terletak di Kabupaten Purwakarta

g. Kawah Putih dan Gunung Patuha, terletak di

Page 35: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-21

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

Kabupaten Bandung

h. Kebun Binatang Bandung, terletak di Kota Bandung

i. Cimapag/Rancabuaya dan Arboretum Cibeureum, terletak di Kabupaten Garut

j. Gunung Cakrabuana, Sirah Cimunjul dan Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya

k. Majingklak, Karangkamulyan, Cipanjalu dan Cukang Taneuh, terletak di Kabupaten Ciamis

l. Kebun Raya Kuningan, terletak di Kabupaten Kuningan

m. Lain-lain kawasan perlindungan plasma nutfah, tersebar di Kabupaten/Kota

7. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan

a. Istana Bogor, Batu Tulis, Makam Mbah Dalem, Museum Zoologi dan Vihara Budha Sena, terletak di Kota Bogor

b. Batu Tulis Ciaruteun dan Gua Gudawang, terletak di Kabupaten Bogor

c. Istana Cipanas, Situs Megalitik Gunung Padang dan Makam Dalem Cikundul, terletak di Kabupaten Cianjur

d. Makam Sunan Gunungjati, terletak di Kabupaten Cirebon

e. Gua Sunyaragi, Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan, terletak di Kota Cirebon

f. Museum Linggarjati dan Situs Budaya Cipari, terletak di Kabupaten Kuningan

g. Kampung Naga, terletak di Kabupaten Tasikmalaya

h. Cadas Pangeran, Desa Adat Rancakalong, Museum Geusan Ulun, Makam Cut Nyak Dien dan Makam Dayeuh Luhur, terletak di Kabupaten Sumedang

i. Candi Cangkuang dan Kampung Dukuh, terletak di Kabupaten Garut

j. Ciung Wanara Karang Kamulyan, Kampung Kuta dan Astana Gede Kawali, terletak di Kabupaten Ciamis

k. Gedung Sate, Gedung Pakuan, Gedung Landraad dan Gedung Merdeka, terletak di Kota Bandung

l. Observatorium Bosscha, Situs Bojongmenje dan Situs Gua Pawon, terletak di Kabupaten Bandung

m. Museum Perjuangan Rengasdengklok, Tugu Proklamasi Rengasdengklok, Kawasan Percandian Batujaya dan Cibuaya, Situs Candi Jiwa dan Situs Makam Pulo Batu Wadas, terletak di Kabupaten Karawang

n. Kampung Adat Cipta Gelar, terletak di Kabupaten Sukabumi

o. Lain-lain kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, tersebar di Kabupaten/Kota

Page 36: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-22

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

8. Kawasan Konservasi Geologi

a. Kawasan Cagar Alam Geologi

1) Cagar Alam Geologi Gua Pawon, terletak di Kabupaten Bandung

2) Cagar Alam Geologi Ciletuh, terletak di Kabupaten Sukabumi

b. Kawasan Kars 1) Citatah-Tagog Apu, terletak di Kabupaten Bandung

2) Ciseeng, Gunung Kembar, Gunung Batu dan Ciampea, terletak di Kabupaten Bogor

3) Bumiayu, terletak di Kabupaten Sukabumi

9. Kawasan Rawan Bencana Alam

a. Kawasan rawan bencana gunung api

a) Kawasan Gunung Salak, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi

b) Kawasan Gunung Gede Pangrango, terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi

c) Kawasan Gunung Halimun, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi

d) Kawasan Gunung Tangkubanparahu, terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang

e) Kawasan Gunung Papandayan, terletak di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung

f) Kawasan Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut

g) Kawasan Gunung Guntur, terletak di Kabupaten Garut;

h) Kawasan Gunung Ciremai, terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka

b. Kawasan rawan gempa 1) Kabupaten Ciamis

2) Kabupaten Cianjur

3) Kabupaten Garut

4) Kabupaten Majalengka

5) Kabupaten Sumedang

6) Kabupaten Bogor

7) Kabupaten Sukabumi

8) Kota Sukabumi

9) Kabupaten Subang

10) Kabupaten Purwakarta

11) Kabupaten Kuningan

c. Kawasan rawan gerakan 1) Kabupaten Bogor

Page 37: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-23

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

tanah 2) Kabupaten Cianjur

3) Kabupaten Sukabumi

4) Kabupaten Purwakarta

5) Kabupaten Subang

6) Kabupaten Bandung

7) Kabupaten Sumedang

8) Kabupaten Garut

9) Kabupaten Tasikmalaya

10) Kabupaten Ciamis

11) Kabupaten Majalengka

12) Kabupaten Kuningan

d. Kawasan rawan banjir Kawasan rawan banjir, tersebar di Kabupaten/Kota

10 Hutan Kota a. Hutan Kota Babakan Karet, terletak di Kabupaten Cianjur

b. Lain-lain hutan kota, tersebar di Kabupaten/Kota

Sumber: RTRW Provinsi Jawa Barat (2010).

Selain tipologinya, luas kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat

juga bervariasi, ada yang luas dan ada pula yang sempit. Kabupaten Garut

memiliki luas kawasan lindung paling luas, yakni seluas 309.001, 28 ha. Luas

masing-masing tipologi kawasan lindung pada setiap kabupaten/kota di Jawa

Barat disajikan pada Tabel 2-3.

Proses penilaian kinerja harus memperhatikan aspek keadilan (fairness). Bobot

nilai tinggi akan diberikan jika energi (upaya/pengorbanan) yang dilakukan

dalam pengelolaan kawasan lindung juga tinggi, begitupun sebaliknya. Salah

satu yang dapat dijadikan penentuan bobot nlilai kinerja tersebut adalah tipologi

kawasan lindung. Dalam buku ini, tipologi kawasan lindung ditentukan pada

setiap indikator berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja

pengelolaan kawasan lindung pada indikator yang bersangkutan. Faktor-faktor

yang dimaksud bisa bersifat beban, penghambat atau pendukung dalam upaya

pencapaian kinerja. Beberapa faktor yang dapat dipertimangkan dalam

penentuan tipologi kawasan lindung antara lain: luas dan jenis kawasan lindung,

indeks Fiskal APBD , jumlah penduduk, angka kemiskinan, indeks pembangunan

manusia (IPM), dan sebagainya. Interaksi dan korelasi yang bersifat posistif

Page 38: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-24

sangat diharapkan terjadi antar faktor faktor tersebut diatas dengan kondisi dan

pngelolaan kawasan lindung.

Berdasarkan luas dan jenis kawasan lindung, maka tipologi kabupaten yang ada

di Jawa Barat dapat dikelompokan menjadi kabupaten dengan kawasan lindung

yang besar, sedang dan kecil. Kabupaten yang memiliki kawasan lindung yang

besar akan memerlukan kinerja dan sumberdaya yang cukup besar untuk

mengelola dan melestarikan kawasan lindung. Berbeda halnya dengan

kabupaten yang memiliki kawasan lindung yang relatif kecil yang hanya

memerlukan upaya, kinerja dan sumberdaya yang relatif kecil.

Tipologi kabupaten berdasarkan luas kawasan lindung mempengaruhi

pencapaian kinerja suatu indikator tertentu yang berbeda dengan indikator

yang tidak dipengaruhi oleh luas kawasan lindung. Akan tetapi semua indikator

sangat dipengaruhi oleh faktor faktor tertentu sesua dengan bidangnya. Oleh

karena itu pemahaman tentang faktor yang mempengaruhi kinerja suatu

indikator harus dikaji menjadi suatu tipologi yang menjadi pertimbangan dalam

penilaian suatu indikator terutama dalam penentuan bobot indikator pada

kabupaten tertentu.

Page 39: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

II-25

Tabel 2-3. Luas tipe kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat

NO KAB/KOTA

LUAS WILAYAH Kab/kota

KAWASAN LINDUNG KAWASAN BUDI DAYA Persentase Luas KL terhadap total KL

Hutan Non Hutan Total KL Jumlah luas

(ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (%)

1 KAB. BANDUNG 176,565.27 52,843.86 29.93 53,373.68 30.23 106,217.53 60.16 2,201.33 1.25 6.42

2 KAB. BANDUNG BARAT 130,617.28 21,705.42 16.62 42,689.68 32.68 64,395.09 49.30 15,469.00 11.84 3.89

3 KAB. BEKASI 128,127.40 11,449.87 8.94 3,548.65 2.77 14,998.52 11.71 - - 0.91

4 KAB. BOGOR 298,015.40 43,478.12 14.59 67,967.89 22.81 111,446.02 37.40 39,685.95 13.32 6.74

5 KAB. CIAMIS 281,412.60 5,725.67 2.03 112,487.05 39.97 118,212.72 42.01 30,738.66 10.92 7.14

6 KAB. CIANJUR 358,684.80 51,238.93 14.29 163,984.46 45.72 215,223.40 60.00 41,841.56 11.67 13.01

7 KAB. CIREBON 105,604.20 7.17 0.01 1,412.53 1.34 1,419.70 1.34 4,388.81 4.16 0.09

8 KAB. GARUT 309,001.30 93,270.69 30.18 153,202.38 49.58 246,473.06 79.76 11,949.95 3.87 14.90

9 KAB.INDRAMAYU 207,182.30 5,595.04 2.70 644.26 0.31 6,239.30 3.01 30,895.88 14.91 0.38

10 KAB. KARAWANG 191,209.30 8,601.42 4.50 15,217.16 7.96 23,818.58 12.46 13,435.27 7.03 1.44

11 KAB. KUNINGAN 122,289.30 9,572.31 7.83 51,970.98 42.50 61,543.28 50.33 25,241.90 20.64 3.72

12 KAB. MAJALENGKA 131,904.80 10,144.55 7.69 35,266.04 26.74 45,410.58 34.43 17,957.04 13.61 2.74

13 KAB. PURWAKARTA 96,845.12 2,561.36 2.64 37,148.54 38.36 39,709.90 41.00 18,296.13 18.89 2.40

14 KAB. SUBANG 215,644.30 12,644.13 5.86 35,986.51 16.69 48,630.64 22.55 13,654.09 6.33 2.94

15 KAB. SUKABUMI 417,701.30 50,062.31 11.99 227,682.21 54.51 277,744.52 66.49 57,302.04 13.72 16.79

16 KAB. SUMEDANG 156,061.70 18,528.39 11.87 71,782.72 46.00 90,311.11 57.87 28,205.67 18.07 5.46

17 KAB. TASIKMALAYA 267,522.40 17,138.76 6.41 156,351.64 58.44 173,490.40 64.85 31,165.40 11.65 10.48

18 KOTA BANDUNG 16,440.12 0.98 0.01 164.04 1.00 165.02 .00 - - 0.01

19 KOTA BANJAR 9,793.34 - - - - - - 1,153.79 11.78 -

20 KOTA BEKASI 0,159.01 - - - - - - - - -

21 KOTA BOGOR 10,981.58 - - 234.50 2.14 234.50 2.14 - - 0.01

22 KOTA CIMAHI 4,468.39 - - - - - - - - -

23 KOTA CIREBON 3,329.72 - - - - - - - - -

24 KOTA DEPOK 18,973.00 7.00 0.04 - - 7.00 0.04 - - 0.00

25 KOTA SUKABUMI 5,301.05 - - 1,236.70 23.33 1,236.70 23.33 445.55 8.40 0.07

26 KOTA TASIKMALAYA 21,101.42 1,188.38 5.63 6,581.29 31.19 7,769.66 36.82 261.05 1.24 0.47

JUMLAH

3,704,936.40

415,764.34 11.22 1,238,932.90 33.44 1,654,697.2

4 44.66 384,289.07 10.37 100.00

SUMBER : RTRWP Jabar tahun 2010

Page 40: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

III-1

BAB III

METODE PENENTUAN

KRITERIA DAN INDIKATOR

3.1. Kerangka Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator dan Verifier

Tercapainya kawasan lindung sebesar 45% dari luas total daratan Jawa Barat

merupakan tujuan utama pogram Green Province Jawa Barat. Tujuan lainnya

adalah tumbuhnya budaya hijau (Green culture) di masyarakat Jawa Barat yang

mendorong kesadaran tinggi dalam melestarikan lingkungan hijau di wilayah

Jawa Barat. Perwujudan hijau secara fisik (Green based on land coverage) pada

kawasan lindung merupakan unsur utama menuju tercapainya Green Province

Jawa Barat. Namun demikian, hijau secara fisik sulit dicapai tanpa adanya

budaya/kultur baru cinta lingkungan yang dimiliki masyarakat Jawa Barat.

Aktivitas ekonomi dalam pemanfaatan kawasan lindung atau sumberdaya alam

seringkali mengorbankan kepentingan eksosistemnya. Sehingga menurunkan

daya dukung sumberdaya alam. Demikian pula, kegiatan sosial, norma dan

budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan kawasan lindung turut

berpengaruh dalam upaya pelestarian kawasan lindung. Oleh karena itu,

kegiatan ekonomi, dan sosial dalam interaksi dengan pemanfaatan biofisik

kawasan lindung perlu didukung dengan serangkaian kebijakan dari pemerintah

agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi kawasan lindung.

Dalam hal ini, aspek kebijakan menjadi payung atau prasyarat yang harus

dipenuhi agar tujuan pengelolaan kawasan lindung dapat tercapai dengan baik.

Dalam rangka mengukur tercapainya tujuan pengelolaan kawasan lindung, perlu

dibuat kriteria dan indikator yang tepat. Kriteria dan indikator yang tepat, yaitu

kriteria indikator yang memiliki sifat terukur, sederhana atau mudah

diaplikasikan di lapangan, murah, serta mudah ditelusuri ulang. Kritera dan

indikator yang akan dikembangkan dalam pengelolaan kawasan lindung Jawa

Barat meliputi empat aspek, yaitu : aspek kebijakan, biofisik, ekonomi dan

Page 41: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

III-2

sosial. Tipe indikator yang dikembangkan adalah kombinasi indikator input,

output dan outcome.

Kriteria dan indikator yang ditetapkan disusun secara dua dimensi, yaitu dimensi

vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal terdiri dari komponen Prinsip, Kriteria,

Indikator dan Verifier, sedangkan dimensi horizontal terdiri dari komponen

kebijakan, biofisik, ekonomi dan sosial (Gambar 3-1). Prinsip adalah suatu

aturan atau kebenaran fundamental yang mendasari pola berpikir atau

bertindak. Kriteria adalah standar yang digunakan untuk mengetahui/menilai

apakah kemajuan yang dicapai dapat memenuhi prinsip. Indikator adalah

variabel atau komponen dari sistem pengelolaan yang mencerminkan atau

mengindikasikan situasi atau kondisi yang diperlukan oleh kriteria. Verifier

adalah data atau informasi yang dapat menambah kejelasan dan memudahkan

penilaian terhadap suatu indikator. Secara keseluruhan hirarki pada Gambar 3-

1 menggambarkan hubungan yang erat dan utuh antara tujuan (Prinsip) pada

tingkat atas dengan Kriteria dan Indikator sampai ke tingkat terbawah yaitu

Verifier (Penguji). Kerangka kerja ini harus memenuhi logika dasar agar tetap

terjalin utuh.

Gambar 3-1. Dimensi pengembangan kriteria dan indikator pengelolaan

kawasan lindung

Perencanaan, impelementasi dan pengendalian Prinsip

(tujuan)

Kriteria

Indikator

Verifier

(penguji)

Kebijakan Biofisik ekonomi sosial

Page 42: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

III-3

Prinsip (tujuan) umum pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat adalah

tercapainya luas kawasan lindung sebesar 45% dari total luas daratan Jawa

Barat serta terpeliharanya kualitas kawasan lindung yang mampu memberikan

fungsi perlindungan lingkungan hidup secara optimal bagi kenyamanan dan

kesejahteraan masyarakat Jawa Barat (Perda Jawa Barat No. 22 tahun 2012).

Prinsip tersebut diberlakukan sebagai kerangka kerja utama untuk mewujudkan

langkah-langkah menuju pengelolaan kawasan lindung lestari, melalui

penyusunan dan pengembangan kriteria, indikator, dan verifier. Prinsip umum

tersebut dijabarkan lebih lanjut pada setiap aspek pengelolaan meliputi aspek

kebijakan, bofisik, sosial dan ekonomi.

Kriteria dapat dipandang sebagai prinsip tingkat kedua yang menambah arti

pada prinsip dan membuatnya menjadi berfungsi atau lebih operasional. Kriteria

dapat memiliki satu atau lebih indikator dimana informasi yang disediakan oleh

indikator dapat diintegrasikan dan cara penilaian dapat ditafsirkan menjadi

semakin jelas. Verifier (pengukur) ini memberikan rincian spesifik yang

menunjukkan atau mencerminkan keadaan suatu indikator yang diinginkan.

Keterangan yang disebutkan dalam verifier ini memberikan arti tambahan,

presisi dan juga kondisi spesifik lokasi suatu indikator tertentu.

Kriteria dan indikator yang akan ditetapkan harus memenuhi kaidah SMART

(specific, measurable, achievable, responsibility, treasureable)

1. Spesipik (Specific)

Kriteria yang dibuat harus bersifat spesipik sesuai dengan objek yang akan

dinilai (assessment).

2. Terukur (Measurable)

Kriteria dan indikator yang dikembangkan harus dapat terukur dan

terstandarisasi.

3. Dapat diterima/dipahami (Achievable)

Kriteria dan indikator yang akan dikembangkan harus dapt diterima dan

mudah dipahami serta mudah diaplikasikan di lapanan

4. Responsibility (responsibility)

Kriteria dan indikator yang dikembangkan harus dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara saintifik maupun

operasional

5. Dapat ditelusuri ulang (treasureable)

Kriteria dan indikator yang digunakan dalam penilaian dapat ditelusuri

ulang, untuk mengecek validitas datanya.

Page 43: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

III-4

3.2. Tahapan Penetapan Kriteria dan Indikator

Secara garis besar, tahapan penentuan kriteria dan indikator meliputi (1)

Identifikasi potensi dan masalah, kebijakan, isu strategis, stakeholder dan tujuan

pengelolaan kawasan lindung; (2) Gap analysis; (3) Penentuan prinsip, kriteria,

indikator dan verifier; (4) Pengujian validasi kriteria dan indikator di lapangan,

serta evaluasi ulang validitas kriteria dan indikator. Metode penetapan prinsip,

kriteria, indikator dan verifier secara diagramatik disajikan pada Gambar 3-2.

Gambar 3-2. Metode penetapan prinsip, kriteria, indikator dan verifier

pegelolaan kawasan lindung

Identifikasi potensi, masalah, kebijakan,

stake holder, isu strategis dan tujuan

(prinsip), pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat

Gap analysis Kondisi faktual dengan kondisi

yang ideal (diharapkan)

Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator

dan Verifier (PKIV) pengelolaan

kawasan lindung secara empirik dan

saintifik

Pengujian PKIV saintifik dan

empirik di lapangan

Uji Validitas PKIV

OK ?

PKIV

Operasional

(SMART)

Re-

Evaluasi &

koreksi PKIV

Y

N

Aspek kebijakan Biofisik

Sosek Ekonomi

Page 44: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

III-5

3.2.1. Identifikasi potensi, masalah, kebijakan, stakeholder, isu

strategis dan tujuan pengelolaan kawasan lindung

Identifikasi potensi dan permasalahan kawasan lindung perlu

diketahui untuk memahami segala permasalahan dan potensi yang

bisa dikembangkan dalam pengelolaan kawasan lindung secara

lestari. Selain itu, analisis stakeholder (para pihak) dan kebijakan

yang mengatur pemanfaatan kawasan lindung perlu dilakukan untuk

mengetahui arah pengembangan pengelolaan kawasan lindung.

3.2.2. Gap analysis

Gap analysis dilakukan terhadap kondisi faktual (eksisting) dengan

kondisi ideal yang diharapkan. Gap analysis dapat dijadikan dasar

untuk menentukan standar (syarat) kecukupan yang harus dipenuhi

pada salah satu aspek dalam pengelolaan kawasan lindung. Gap

analysis dilakukan secara spasial (keruangan).

3.2.3. Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator dan Verifier

pengelolaan kawasan lindung secara empirik dan

saintifik

Setelah mempelajari pemasalahan, isu startegis, kebijakan dan gap

analysis maka dapat disusun prinsip, kriteria, indikator dan verifier

yang bersifat saintifik dan empirik. Untuk mempermudah

penyusunan kriteria dan indikator dibuatkan tabel panduan yang

mencakup: aspek penilaian, prinsip, kriteria, indikator, verifier, bobot

penilaian (Tabel 3-1). Penjelasan kriteria, argumentasi pentingnya

kriteria, penjelasan indikator dan argumentasi pentingnya indikator

(Tabel 3-2) serta jenis data dan sumber data, metode verifikasi dan

instrumen verifikasi.

Page 45: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

III-6

Tabel 3-1. Kriteria, indikator, verifier dan kematangan indikator

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian

(kematangan indikator)

Tabel 3-2. Penjelasan setiap kriteria dan indikator

No Kriteria Penjelasan

Kriteria

Argumentasi Pentingnya

Kriteria Indikator

Penjelasan Indikator

Argumentasi pentingnya Indikator

Tabel 3-3. Jenis data, sumber data, metode verifikasi dan instrumen verifikasi

setiap indikator

INDIKATOR VERIFIER JENIS DATA

SUMBER DATA

METODE VERIFIKASI

INSTRUMEN VERIFIKASI

3.2.4. Pengujian Kriteria dan Indikator di Lapangan

Kriteria dan indikator yang telah disusun dan dirumuskan tidak

langsung ditetapkan dan dipergunakan sebagai alat evaluasi baku.

Kriteria dan indikator tersebut harus diuji terlebih dahulu dengan

proses validasi dan verifikasi di lapangan. Pengujian kriteria dan

indikator dilakukan untuk mengetahui tingkat penerapan indikator dan

verifier di lapangan.

Pengujian pertama yang akan dilakukan adalah uji coba alat/model

evaluasi yang telah dirumuskan dengan cara mencocokkan dengan

Page 46: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

III-7

kondisi riil di lapangan (validasi empirik). Selain itu model/alat evaluasi

tersebut dipergunakan untuk melakukan evaluasi berdasarkan sampel

data kondisi riil yang ada (validasi operasional). Pengujian ini

dilakukan dengan melibatkan unsur pengguna/pemanfaat program

kawasan lindung, terutama dari unsur pemerintah daerah. Pengujian

juga dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan model/alat evaluasi

dan indikator tersebut kepada pihak yang berkepentingan

(stakeholders) terhadap terwujudnya kawasan lindung lestari.

Pengujian direncanakan dilakukan dengan menggunakan beberapa

sampel wilayah di tingkat kabupaten/kota yang berada dalam lingkup

Provinsi Jawa Barat. Dimana alat evaluasi tersebut diterapkan pada

beberapa instansi terkait dan kalangan masyarakat.

Diharapkan dari hasil pengujian dapat diperoleh kriteria dan indikator

yang bisa menjadi alat evaluasi yang cukup representatif dan efektif.

Namun bersifat sederhara, realistik dan operasional/implementif untuk

mengukur target pencapaian kawasan lindung di suatu wilayah

tertentu.

3.2.5. Penetapan Kriteria dan Indikator Skala Operasional

Kriteria dan indikator operasional ditetapkan setelah dilakukan uji coba

di lapangan. Validitas kriteria dan indikator dapat ditempuh melalui

forum diskusi/pembahasan. Pada forum tersebut dilakukan

pembahasan secara mendalam atas usulan-usulan perbaikan (korektif)

kriteria dan indikator yang sulit ditetapkan di lapagan. Diharapkan dari

forum diskusi/pembahasan diperoleh saran-saran masukan dan

rekomendasi bagi penyempurnaan lebih lanjut. Sehingga

menghasilkan kriteria dan indikator yang cukup valid dan bersifat

operasional untuk digunakan di lapangan.

3.2.6. Re-Evaluasi Kriteria dan Indikator

Kriteria dan indikator kawasan lindung yang telah ditetapkan bukan

bersifat kaku (rigid), tetapi dapat mengalami perubahan terus-

menerus sesuai dengan perkembangan kondisi dan kasus yang

ditemui di lapangan saat dilakukan penilaian. Perbaikan, dapat

dilakukan dalam periode waktu yang konstan seperti setiap setahun

sekali atau dalam kurun waktu yang diperlukan tanpa ditentukan

sebelumnya. Melalui tahapan proses tersebut diharapkan kriteria dan

Page 47: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

III-8

indikator menjadi lebih relevan, reliable dan applicable sehingga

memiliki reevansi yang tinggi terhadap kondisi serta mengikuti waktu.

Page 48: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-1

BAB IV

KRITERIA DAN INDIKATOR

PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

JAWA BARAT

Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat setelah diuji di

lapangan ditetapkan sebanyak empat prinsip, 19 kriteria, 40 indikator dan 93

verifier (Tabel 4-1) . Kriteria Indikator yang disusun meliputi aspek aspek yaitu

aspek biofisik, kebijakan, sosial dan ekonomi. Indikator biofisik lebih bersifat

indikator output, sedangkan indikator kebijakan pada umumnya bersifat input.

Indikator ekonomi bersifat ouput dan outcome.

Tabel 4-1. Jumlah prinsip, kriteria, indikator dan verifier yang ditetapkan

Aspek Prinsip Kriteria Indikator Verifier

Biofisik 1 4 13 28

Kebijakan 1 6 11 29

Sosial 1 3 8 24

Ekonomi 1 6 8 12

Jumlah 4 19 40 93

4.1. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik

Aspek biofisik menjadi landasan dalam penilaian kawasan lindung karena

kawasan lindung sangat erat hubungannya dengan kondisi biofisik. Kondisi

Page 49: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-2

biofisik, yaitu : kondisi fisik lahan beserta vegetasinya yang mendukung dalam

peranan kawasan lindung di suatu wilayah. Dimana kawasan lindung adalah :

suatu wilayah dengan keadaan sumberdaya alam air, flora dan fauna seperti

hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sekitar sumber mata air, alur

sungai, dan kawasan lindung lainnya sebagimana diatur Kepres 32 Tahun 1990.

Terdapat tiga kriteria biofisik yang menjadi dasar pertimbangan dalam

penentuan suatu wilayah sebagai kawasan lindung, yaitu faktor kelerengan

lapangan, faktor jenis tanah menurut kepekaan terhadap erosi, dan faktor rata-

rata intensitas hujan harian. Selain itu, dalam wilayah kawasan lindung yang

berfungsi sebagai tata air, banjir dan erosi sangat mementingkan keberadaan

vegetasi dengan kondisi yang optimum di suatu wilayah.

Berdasarkan luas, secara fisik Provinsi Jawa Barat telah menetapkan kawasan

lindung di provinsi pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 tahun 2006

ditetapkan seluas 45%. Untuk mewujudkan rencana pencapaian kawasan

lindung tentunya terdapat kendala-kendala yang dihadapi. Dengan menetapkan

prinsip, kriteria, indikator pada aspek biofisik ini diharapkan dapat menjadi alat

monitoring terhadap kondisi kawasan lindung di wilayah Provinsi Jawa Barat.

4.1.1. Prinsip Aspek Biofisik

Prinsip (tujuan) pengelolaan kawasan lindung dilihat dari aspek biofisik adalah :

Terciptanya kondisi biofisik kawasan lindung yang semakin baik sesuai dengan

tipologinya, meliputi luas dan kejelasan, kesesuaian peruntukan atau fungsinya,

kualitas fisik, serta upaya pelestariannya. menurut tipologi kawasan lindung.

4.1.2. Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik

Pada aspek biofisik dari satu prinsip yang menjadi landasan diurai ke dalam

empat kriteria dan 13 indikator, yaitu sebagai berikut :

1) Luas dan kejelasan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan luar

kawasan, terdiri atas 2 indikator.

2) Kesesuaian peruntukkan dan fungsi kawasan lindung, terdiri atas 1

indikator.

3) Kualitas kawasan lindung pada seluruh tipe kawasan lindung, terdiri atas 6

indikator.

4) Upaya-upaya pelestarian kawasan lindung, terdiri atas 4 indikator.

Uraian detail masing-masing kriteria dan indikator sebagi berikut :

Page 50: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-3

1) Luas dan kejelasan kawasan lindung, baik kawasan lindung dalam

kawasan dan di luar kawasan.

Kriteria ini menunjukkan luas dan letak masing–masing tipe kawasan

lindung dalam suatu wilayah administratif, yang sudah ditandai batasnya

secara jelas baik di dalam peta maupun di lapangan. Kriteria ini menjadi

penting, karena untuk mendukung fungsi optimal dari suatu kawasan

lindung memerlukan luas yang optimum sehingga luas dan kejelasan batas

kawasan lindung penting untuk kepastian kawasan lindung dimaksud.

Kriteria ini mencakup dua indikator, sebagai berikut:

a. Penataan batas kawasan lindung pada kawasan hutan negara.

Setiap jenis kawasan lindung harus memiliki tata batas yang jelas. Tata

batas merupakan pemisah antara kawasan lindung dalam kawasan dengan

luar kawasan. Indikator ini bertujuan agar terjadi penataan batas kawasan

yang jelas untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan kawasan

lain. Hal ini penting karena kawasan lindung pada dasarnya memiliki tata

kelola khusus yang berbeda dengan kawasan lainnya. Penataan kawasan

hutan negara relatif jelas karena sudah ada aturan yang jelas.

b. Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan

Pada umumnya penadaan batas di luar kawasan hutan masih jarang dan

relatif sulit untuk dilakukan, apalagi pada tanah milik. Namun demikian

kejelasan kawasan lindung pada kawsan di luar hutan negara sangat

penting untuk memberikan insentif dan dis-insentif yang berkeadilan.

Kejelasan batas-batas kawasan lindung pada lahan milik juga penting untuk

mencegah terjadinya konflik tenurial dan konflik sosial.

2) Kesesuaian peruntukkan dan fungsi kawasan lindung.

Kriteria ini dimasukkan sebagai standar penilaian kawasan lindung untuk

mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) dan atau zona kelas kemampuan lahan dan yang ada di

Kawasan lindung. Kepentingan kriteria ini dapat mengetahui

permasalahan penggunaan lahan di kawasan lindung. Aspek

pengendalian kawasan lindung tergambar dari kesesuaian penggunaan

lahan di kawasan lindung.

Kriteria ini mencakup satu indikator yaitu :Kesesuaian peruntukan kawasan

lindung.

Indikator kesesuaian peruntukan lahan di kawasan lindung untuk

mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana tata ruang

Page 51: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-4

wilayah (RTRW) dan atau zona kelas kemampuan lahan dan yang ada di

Kawasan lindung.

Indikator kesesuaian peruntukan dan fungsi kawasan lindung untuk

mengetahui permasalahan dari penggunaan lahan di kawasan lindung.

Aspek pengendalian kawasan lindung tergambar dari kesesuaian

penggunaan lahan di kawasan lindung.

3) Kualitas kawasan lindung pada seluruh tipe kawasan lindung.

Kualitas kawasan lindung sangat terkait dengan fungsi kawasan lindung.

Semakin baik kualitas kawasan lindung, maka fungsi lindung akan semakin

terpenuhi. Fungsi kawasan lindung akan terpenuhi jika total area kawasan

berfungsi dengan baik. Kualitas kawasan lindung menjadi gambaran dari

fungsi kawasan lindung. Kualitas kawasan lindung dapat digambarkan

dengan tingkat penutupan vegetasinya yang mencakup keseluruhan

kawasan lindung atau yang dibandingkan dengan luas area.

Mencakup enam indikator yaitu :

a. Penutupan vegetasi di kawasan lindung Tipe I (Sempadan pantai;

Sempadan sungai; Kawasan sekitar waduk/danau; Kawasan sekitar mata

air; Kawasan mangrove Taman nasional;Tahura; Taman Wisata Alam;

Kawasan rawan tanah longsor; Kawasan rawan gelombang pasang;

Kawasan rawan banjir; Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung).

Kualitas kawasan lindung dapat digambarkan dengan kualitas penutupan

vegetasi. Kawasan lindung tipe I merupakan kawasan lindung yang

difungsikan untuk menghindari bahaya, seperti : erosi, longsor dan

banjir. Fungsi lainnya adalah sebagai kawasan resapan air. Adanya

fungsi ganda dari kawasan lindung tipe satu yang mempunyai fungsi

ganda ini mengharuskan kawasan lindung ini harus berada dalam

keadaan kualitas yang lebih baik yang diwujudkan dengan tingkat

penutupan vegetasi yang rapat pada keselurahan areal kawasan

lindung tipe I ini terutama dalam menghindarkan bahaya yang timbul

akibat rendahnya tingkat/kualitas penutupan vegetasi.

b. Penutupan vegetasi di kawasan lindung dg Tipe II (Kawasan resapan air;

RTH; Kawasan yang memberi perlindungan air tanah; KPN eks-situ;

Kawasan koridor bagi satwa).

Kawasan ini dari segi kondisi fisik alaminya tidak memberikan bahaya

longsor, banjir atau bahaya lainnya. Namun fungsi yang dikedepankan

Page 52: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-5

adalah fungsi manfaat yang ingin diperoleh seperti respan air, dan

keanekaragaman hayati. Untuk memperoleh manfaat dari kawasan

lindung tipe II maka diperlukan tingkat penutupan vegetasi dengan

tingkat penutupan yang optimal, yaitu minimal tingkat penutupan

vegetasi dengan kerapatan sedang (diperkirakan sekitar diatas 40%

karapatan tajuk pohonnya).

c. Keberadaan RTH di kawasan perkotaan atau kawasan budidaya yang

berfungsi lindung

Bagi Kabupaten atau kota yang tidak memiliki kawasan lindung, maka

keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi sangat penting. RTH di

kawasan perkotaan memberikan perlindungan terhadap polusi udara dan

fungsi hiroorologis serta fungsi sosial. Luas RTH minimal 30% dari luas

daratan di wilayah kota.

d. Debit air sungai yang dipengaruhi oleh kawasan lindung.

Debit air sungai menggambarkan fungsi hidroorologis kawasan lindung

dan merupakan output dari proses yang terjadi pada kawasan lindung.

Baik buruknya kawasan lindung dapat digambarkan dari kualitas debit

air sungai. Debit air sungai menjadi indikator kualitas kawasan dan

signal peringatan bagi bahaya yang terjadi akibat buruknya kawasan

lindung.

e. Keanekaragaman jenis pohon pada kawasan lindung di luar kawasan

atau non hutan

Keanekaragaman jenis pohon menggambarkan jumlah jenis pohon di

kawasan lindung. Keanekaragaman pohon merupakan keanekaragaman

kunci yang mendukung bagi keanekaragaman satwa, dan spesies non

pohon. Keanekaragaman hayati dalam kawasan lindung menjadi

gambaran ketahanan ekosistem dalam kawasan lindung, serta upaya

konservasi sumberdaya hayati di kawasan lindung.

f. Pengelolaan keanekaragaman hayati di Kawasan Lindung

Indikator ini menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan dalam menjaga

dan meningkatkan keanekaragaman hayati secara terencana dan

terkendali. Keanekaragaman hayati bersifat dinamis apabila tidak

dilakukan penanganan secara baik maka keanekaragaman hayati bisa

Page 53: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-6

menurun. Penurunan keanekaragaman hayati dapat menurunkan

kualitas kawasan lindung.

4) Upaya-upaya pelestarian kawasan lindung.

Upaya yang dilakukan oleh pengelola dalam menangani, menjaga dan

meningkatkan fungsi kawasan lindung. Keberadaan kawasan lindung dalam

keadaan kritis yang masih belum tertangani masih cukup tinggi. Disamping

itu, ancamanpun cukup tinggi pula, sehingga upaya pelestarian kawasan

lindung harus terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya pelestarian kawasan

lindung dapat mencakup tiga indikator, yaitu :

a. Aktivitas penanaman, pemeliharaaan, perlindungan dan pengamanan

pada kawasan lindung.

Indikator ini merupakan upaya pokok dalam pelestarian kawasan lindung

untuk menjaga kelangsungan dan kelestarian suatu kawasan lindung.

b. Pengurangan lahan kritis pada berbagai tipe kawasan lindung.

Lahan kritis adalah lahan di kawasan lindung yang tidak berfungsi

lindung, dan berpotensi memberikan dampak buruk/ bahaya serta tidak

memberikan manfaat yang optimal. Saat ini luas kritis masih cukup

tinggi dan menjadi fokus utama untuk dikurangi.

c. Ketersediaan bibit untuk mendukung upaya penanaman di kawasan

lindung

Jaminan pengadaan bibit merupakan penunjang utama dalam

pelestarian kawasan lindung. Pengadaan bibit adalah faktor penting

dalam menunjang kelestarian kawasan lindung dan menjadi titik kritis

dalam penanganan kawasan lindung. Kawasan lindung yang telah

ditanami dengan tegakan pohon memerlukan regenerasi dari bibit

alami maupun buatan.

d. Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan

terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan

wilayah setempat di kawasan lindung.

Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan

terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan

wilayah setempat di kawasan lindung non hutan

Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek biofisik disajikan pada Lampiran

Tabel 1

Page 54: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-7

4.2. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Kebijakan

Kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy dikaitkan dengan keputusan

pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat dalam melakukan aktivitas yang

diharapkan, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Dalam

mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi dalam

mewujudkan kesejahteraannya. Hal pertama yang harus diatur adalah

ruang/wilayahnya. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan tentang penataan

ruang dengan tujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,

produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan

Nasional sesuai dengan (Pasal 3 UU No.26/2007):

a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan;

b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan

sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Salah satu yang diatur dalam penataan ruang adalah Pola Ruang yakni distribusi

peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk

fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya dalam wujud

Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya yang dituangkan dalam Rencana Tata

Ruang. Hasil proses penataan ruang adalah Rencana Tata Ruang yang

dituangkan dalam Peta Rencana Tata Ruang (RTRW) Nasional, Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Sebaran dan luas kawasan lindung dan kawasan budidaya

sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya, akan terlihat dari rencana

tata ruang tersebut.

Pengaturan pola ruang yang sesuai dengan ketentuan tersebut, diharapkan

aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat akan aman, nyaman, produktif, dan

berkelanjutan. Aktivitas masyarakat sebagaimana tersebut, peran Kawasan

Lindung menjadi penting karena memiliki fungsi utamanya adalah melindungi

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber

daya buatan. Komitmen pemerintah mengenai keberadaan dan luasan kawasan

lindung diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah, Rencana Program dan

Kegiatan serta dukungan APBD dalam kepastian proses-proses pembangunan

yang menjamin kawasan lindung, upaya perlindungan dan pelestarian serta

pengaturan pemanfaatan kawasan lindung secara lestari.

Page 55: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-8

Berdasarkan hal tersebut, maka Aspek Kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan

Kawasan Lindung merupakan indikasi tentang komitmennya untuk menjamin

keberadaan dan luasan kawasan lindung. Sehingga fungsi utama kawasan

lindung menjadi maksimal. Dari aspek Kebijakan tersebut, fokus assessment

akan dilihat dari Prinsip, Kriteria dan Indikator serta Verifier yang memastikan

bahwa arahan aktivitas menjamin keberadaan dan luasan kawasan lindung.

4.2.1. Prinsip Aspek Kebijakan

Prinsip pengelolaan kawasan lindung ditinjau dari aspek kebijakan adalah

Dukungan kebijakan dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di

masyarakat, menjamin kepastian kawasan lindung, serta upaya perlindungan,

pemanfaatan dan peningkatan fungsi kawasan lindung termasuk cagar budaya

dan ilmu pengetahuan.

Kebijakan merupakan dasar untuk mengarahkan aktivitas kegiatan ekonomi dan

sosial dalam pengelolaan kawasan lindung adalah kebijakan menumbuh

kembangkan budaya hijau dan kebijakan tata ruang, agar:

a. Terwujudnya perilaku (life style) masyarakat yang mendukung pengelolaan

kawasan lindung;

b. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

c. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan

sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

d. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang

Prinsip ini mendorong Pemerintah Provinsi/Kabupaten untuk memiliki aturan

yang dapat mengarahkan masyarakat dan proses pembangunan dalam hal

berikut:

a. Menumbuhkembangkan budaya hijau di masyarakat sebagai modal sosial

(social capital) dalam mendukung keberadaan kawasan lindung melalui

kebiasaan menanam pohon di kalangan masyarakat dan menanamkan

prinsip pengelolaan kawasan lindung di kalangan generasi melalui

pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau

Peraturan lainnya.

b. Menjamin keberadaan dan sebaran kawasan lindung sesuai dengan aturan

di atasnya, memberikan akses pembangunan ekonomi tidak di lakukan di

kawasan lindung sehingga keberadaan (lokasi) dan luasan kawasan lindung

secara lestari dan fungsi utamanya untuk perlindungan lingkungan dalam

mendukung kehidupan masyarakat yang aman, nyaman dan berkelanjutan.

Page 56: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-9

c. Menjamin bahwa akan dilakukan perlindungan dan pelestarian kawasan

lindung dari segala tekanan baik dari manusia, alam maupun tekanan

pembangunan.

d. Menjamin bahwa upaya pemanfaatan Kawasan Lindung dalam bentuk

manfaat jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu tidak mengganggu

fungsi utamanya dan keuntungannya dikembalikan kepada upaya

perlindungan dan pelestarian kawasan lindung.

e. Menjamin bahwa dampak lingkungan terhadap kesehatan berbasis

lingkungan dan tingkat produktivitas pertanian, peternakan dan perikanan

menjadi tanggungjawab Pemerintah

f. memastikan bahwa Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota memiliki

aturan yang dapat mengarahkan masyarakat dan proses pembangunan

dalam menjamin keberadaan dan kelestarian benda cagar budaya sehingga

bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menggali kearifan

lokal sebagai modal pembangunan

Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi

terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai

penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Indonesia, benda

cagar budaya harus berumur sekurang-kurangnya 50 tahun (UU No.5 tahun

1992). Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi,

tetapi terdapat berbagai disiplin ilmu yang dapat melakukan analisis

terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar

budaya dengan kebudayaan sekarang.

4.2.2. Kriteria Aspek Kebijakan

Kriteria atau standard yang menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota memiliki aturan dalam menjamin untuk menumbuh

kembangkan budaya hijau di masyarakat, menjamin kepastian Kawasan

Lindung, serta upaya perlindungan, pemanfaatan dan peningkatan fungsi

kawasan lindung, adalah sebagai berikut.

1. Kejelasan kebijakan untuk meningkatkan budaya menanam

pohon.

Kejelasan kebijakan untuk meningkatkan budaya menanam pohon

merupakan standard yang dapat menjamin bahwa terdapat aturan

Page 57: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-10

dalam mencitakan iklim/kondisi yang mampu menumbuh-kembangkan

budaya hijau di masyarakat sehingga terjadi peningkatan modal sosial

sebagai modal dasar dalam mendukung keberadaan dan luasan kawasan

lindung sehingga fungsi kawasan lindung menjadi optimal dan lestari.

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian

terhadap keberadaan dan substansi kebijakan yang menjamin kondisi di

atas.

2. Kebijakan yang menjamin kepastian kawasan lindung dalam

RTRW Kabupaten/Kota.

Kebijakan tentang Penataan Ruang merupakan standard utama dalam

memastikan keberadaan dan sebaran Kawasan Lindung di setiap

kabupaten/kota. Keberadaan RTRW Kabupaten/Kota merupakan indikasi

bahwa arah pembangunan yang akan dilakukan telah menjamin

terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan; terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam

dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;

dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak

negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian

tentang keberadaan dan substansi kebijakan yang menjamin pemastian

kawasan lindung telah teralokasikan sesuai dengan proporsi di setiap

kabupaten/kota.

3. Kebijakan yang mendukung upaya perlindungan kawasan

lindung

Secara kewenangan Kawasan Lindung dibedakan atas Kawasan Lindung

yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Provinsi dan Kabupaten/Kota. Standard kebijakan dalam pengeloaan

kawasan lindung adalah keberadaan kebijakan untuk melakukan upaya

perlindungan kawasan lindung yang enjadi tanggungjawabnya dan

mendukung upaya Pemerintah Pusat dalam melakukanupaya

perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggngjawabnya.

Assessment yang dilakukan terhadap keterpenuhan standard ini adalah

melalui kajian terhadap keberadaan kebijakan untuk melakukan upaya

perlindungan dan mendukung upaya yang dilakukan Pemerintah Pusat

dalam melakukan perlidungan kawasan lindung yang menjadi

tanggungjawabnya.

Page 58: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-11

4. Kejelasan kebijakan mekanisme pengaturan pemanfaatan

kawasan lindung secara lestari yang menjadi tanggung-

jawabnya dan mendukung upaya pemanfaatan kawasan

lindung secara lestari yang menjadi tanggung-jawab pusat/

provinsi.

Kawasan Lindung dapat dimanfaatkan secara terbatas yang tidak

mengganggu fungsi utamanya dalam bentuk pemanfaatan kawasan

lindung, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan non

kayu. Standard keterpenuhan aspek kebijakan adalah adanya

pengaturan pemanfaatan kawasan lindung secara lestari sehingga

menjamin bahwa pemanfaatan kawasan lindung menggunakan prinsip-

prinsip kelestarian di Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya

dan mendukung upaya yang dilakukan untuk pemanfaatan Kawasan

Lindung yang menjadi tanggungjawab Pusat.

Assesment yang dilakukan terhadap keterpenuhan standard ini adalah

melalui kajian pedoman, SOP maupun aturan lainnya dalam

pemanfaatan Kawasan Lindung yang tidak bertentangan dengan

peraturan di atasnya.

5. Kejelasan kebijakan dalam menjaga dan meningkatkan fungsi

kawasan lindung di kawasan lindung yang menjadi tanggung-

jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan

fungsi kawasan lindung di kawasan lindung yang menjadi

tanggung-jawab pusat/provinsi.

Dalam mewujudkan kondisi Kawasan Lindung dalam menjamin fungsi

utamanya dapat berangsung, maka diperlukan untuk melindung,

menjaga dan meningkatkan kualitas penutupan lahan di Kawasan

Lindung. Keterpenuhan terhadap standard dari aspek ini menjadi

penting dalam menjamin keberlangsungan fungsi kawasan lindung

secara optimal.

Assessment yang dilakukan adalah melalui kajian tentang berbagai

peraturan yang menjamin upaya perlindungan dan peningkatan fungsi

kawasan lindung.

6. Kejelasan kebijakan dalam melindungi dan melestarikan cagar

budaya dan ilmu pengetahuan baik berupa gedung/monumen

(heritage) maupun budaya asli lokal (local native culture) dan

lingkungannya.

Page 59: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-12

Kejelasan kebijakan dalam pengelolaan Cagar budaya ditujukan untuk

menjaga atau melakukan konservasi terhadap benda-benda alam atau

buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan dan kebudayaan. Dalam konteks ini didalamnya perlu

melindungi komunitas dan lingkungannya. Oleh karena itu keterpenuhan

terhadap standard dariaspek ini menjadi penting dalam menjamim

keberlanjutan Cagar Alam.

Assessment yang dilakukan adalah melalui kajian tentang berbagai

peraturan yang menjamin Cagar Alam secara lestari untuk meningkatkan

kemanfaatan bagi ilmu pengetahuan dan pelestarian budaya.

4.2.3. Indikator Aspek Kebijakan

Terdapat 11 indikator pada aspek kebijakan, yaitu:

1. Ketersediaan Kebijakan, program dan alokasi dana dalam

menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat.

2. Ketersediaan kebijakan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat

TK, SD, SMP dan SMA/SMK.

3. RTRW Kab/Kota telah memenuhi legal aspek.

4. Ketersediaan program dan alokasi APBD dalam penataan batas kawasan

lindung hutan dan penandaan batas kawasan lindung non hutan.

5. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota yang melindungi kawasan

lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya

perlindungan yang menjadi tanggungjawab provinsi/ pusat.

6. Ketersediaan Program dan alokasi APBD dalam perlindungan kawasan

lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya

perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggung jawab

pusat/provinsi.

7. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Izin Pemanfaatan

Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan memfasilitasi

masyarakat untuk memperoleh Izin Pemanfaatan di Zona Pemanfaatan

Hutan Pelestarian Alam dari Pemerintah Pusat yang menjadi

tanggungjawab pusat.

8. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tekait pengaturan pola dan

budidaya tanaman di kawasan lindung lahan milik.

9. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang menjaga dan

meningkatkanfungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan

mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung

yang dilakukan Pemerintah Pusat/Provinsi.

Page 60: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-13

10. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan

pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau

sejarah.

11. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan

pelestarian komunitas budaya asli lokal, kesenian asli dan lingkungan yang

mendukungnya.

Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek kebijakan disajikan pada Lampiran

Tabel 2.

4.3. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Sosial

Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi

kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi pemenuhan generasi yang akan

datang. Dalam operasionalnya tidak terlepas dari ketiga ranah yaitu ranah

ekonomi, lingkungan dan social atau triple bottom line. Indikator pembangunan

dalam dimensi sosial sangat menentukan keberhasilan pembangunan secara

keseluruhan. Beberapa hal yang terkait dengan permasalahan-permasalahan

pada dimensi sosial seperti, demokrasi dan good governance, partisipasi

masyarakat, empowerment (pemberdayaan), hak asasi manusia, keadilan,

kesinambungan lingkungan, kesetaraan gender, dan lain-lain. Komponen-

komponen ini menjadi indikator yang dapat menciptakan kondisi untuk mencapai

tujuan pembangunan sesungguhnya, yaitu kesejahteraan masyarakat dan

keadilan sosial.

Pembangunan sosial sebagai bagian dari pembangunan nasional telah

memperoleh pengakuan yang luas. Terbukti dengan diselenggarakannya

Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Sosial (World Summit on

Social Development) di Copenhagen, Denmark tanggal 6-12 Maret 1995 yang

lalu. Pada konferensi tersebut dibahas tiga isu utama yang sedang melanda

dunia yaitu kemiskinan, penciptaan dan perluasan lapangan kerja dan

penumbuhan gerakan solidaritas sosial nasional.

Oleh sebab itu untuk dapat memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat

melalui pembangunan khususnya pembangunan sosial maka perlu

dilakukan tidak hanya membangun untuk kepentingan organisasi dan

masyarakat secara massal tetap juga memperhatikan kepentingan individu,

keluarga dan kelompok dalam masyarakat. Perspektif mikro menekankan

kepada pembangunan individual, keluarga, kelompok dan terkadang termasuk

Page 61: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-14

juga organisasi. Program-program pembangunan harus diarahkan kepada

penguatan individu, keluarga dan kelompok agar mereka dapat memperoleh

kesejahteraan (well-being) sebagai modal sosial dalam pembangunan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Bain dan Hick yang dipetik Krishna dan

Shradder (2000) yang mengatakan bahwa modal sosial mempunyai dua

dimensi. Dimensi yang pertama yaitu dimensi kognitif, berkaitan nilai

dan kepercayaan, solidaritas dan resiprositas yang mendorong ke arah

terciptanya kerjasama dalam masyarakat guna mencapai tujuan bersama.

Setiap kelompok etnik memiliki dimensi kognitif atau kadang disebut juga

sebagai dimensi budaya sekalipun dalam kadar yang berbeda. Kekayaan

nilai-nilai budaya sebagai modal sosial memungkinkan terpeliharanya

hubungan yang harmonis, baik sesama warga masyarakat secara internal

maupun dengan orang-orang dari kelompok suku/etnisitas yang berbeda.

Dimensi modal sosial yang kedua yaitu dimensi struktural, yang berupa

susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat pada

tingkat lokal, yang mewadahi dan mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan

kolektif yang bermanfaat bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu untuk

mencapai kemajuan dalam pembangunan terlebih dalam pembangunan sosial

maka pembentukan invididu-individu yang tangguh dari segi mental dan

kejiwaan, keluarga yang kukuh dan kelompok sosial yang kuat merupakan

fondasi dasar dalam pembangunan. Individu, keluarga dan kelompok

sosial sedemikian mempunyai kemandirian dan daya tahan dari pengaruh

dan situasi perubahan di luar mereka. Kemandirian dan ketahanan ini

memungkinkan mereka terhindar dari masalah-masalah sosial seperti

maladjustment, keruntuhan rumah tangga, dan konflik sosial antara

kelompok dalam masyarakat. Situasi harmoni sedemikian memberi peluang

kepada setiap orang untuk membangun diri mereka mencapai tingkat

pendidikan tertinggi, memperoleh derajat kesehatan yang tinggi dan mencapai

kesejahteraan ekonomi yang memadai.

Dalam operasionalnya pembangunan hutan berkelanjutan harus mengikuti

konsep pembangunan berkelanjutan tersebut di atas. Pembangunan hutan

dalam konteks pengelolaan kawasan lindung harus memberikan manfaat

secara sosial dan ekonomi berkaitan dengan bagaimana sebuah kawasan

atau ekosistem dapat diidentifikasi dan kemudian dilindungi karena mutlak

keberadaannya untuk memenuhi kebutuhan dasar sebuah komunitas yang

dinamis.

Dengan masuknya masyarakat dan berbagai pihak lainnya dalam pengelolaan

hutan, maka membawa implikasi bagaimana membangun pengelolaan hutan

khususnya kawasan lindung secara lestari yang mempertimbangkan aspek

sosial, ekonomi dan ekologi. Hasil Konferensi Helsingki merumuskan 6 kriteria

Page 62: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-15

manajemen perhutanan sosial yang berkelanjutan yaitu a). mempertahan dan

meningkatkan sumberdaya hutan dan kontribusinya terhadap siklus karbon; b).

mempertahankan kesehatan hutan dan vitalitasnya; c). mempertahankan

meningkatkan fungsi produktif dari hutan; d). memelihara, mengkonservasi dan

meningkatkan diversifikasi biologi dalam ekosistem hutan; e). memelihara dan

meningkatkan fungsi protektif dalam menajemen hutan; f.) dan memelihara

fungsi sosial ekonomi dan fungsi lainnya dari hutan (Wolfslehner et al. 2005).

Dalam pengelolaan sumberdaya hutan khususnya di Jawa Barat yang telah

ditetapkan minimal 45% kawasan lindung, ha rus memperha t i kan

dampak-dampak langsung pada sumber kehidupan masyarakat lokal sering

terabaikan hingga bahkan hilang sama sekali. Hal ini dapat menyebabkan

konflik antara kepentingan unit pengelolaan dan masyarakat tidak

bisa dihindari. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan harus

mengacu konsep dalam paradigm pembangunan dengan tujuan pembangunan

milinium (milinium development goals/MDG) yang telah menjadi kesepakatan

masyarakat internasional, termasuk masyarakat Indonesia, disebutkan bahwa

tujuan pembangunan social adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat,

meningkatnya kualitas kehidupan serta tercukupinya kebutuhan dasar. Untuk

mewujudkan tujuan tersebut diperlukan pendekatan pembangunan berkeadilan

dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.

Kaitannya dengan keterlibatan masyarakat dalam konteks pembangunan

kehutanan yang berkelanjutan, menurut Keraf dalam Siahaan (2007) bahwa

terdapat lima prinsip, yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial adalah semua orang dan kelompok

masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses

pembangunan dan kegiatan pembangunan;

2. Prinsip Demokrasi adalah pembangunan dilaksanakan atas kehendak rakyat,

kepentingan rakyat dan untuk kesejahtaraan rakyat. Dengan kata lain adalah

partisipasi rakyat diperlukan dalam merencanakan dan merumuskan

kegiatan atau agenda pembangunan;

3. Prinsip Pendekatan Integral adalah pembangunan berkelanjutan

mengedepankan integralisasi antara pengelolaan sumberdaya manusia

dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam lainnya;

4. Prinsip Perspektif Hari Esok adalah mengelola dengan cara yang arif

sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan ganerasi sekarang dan

akan datang;

5. Prinsip Menuntut dan Menghargai Keanekaragaman Hayati.

Page 63: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-16

Kemudian filosofi bahwa pemerintah terlibat dalam pengelolaan hutan

berkembang dari teori etika lingkungan (Antroposentris) dengan implikasinya

bahwa sumberdaya alam dan lingkungan disediakan untuk kepentingan manusia

untuk memenuhi kebutuhannya. Pemerintah memiliki kepentingan terhadap

sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjalankan amanah Undang-Undang

Dasar 1945 pasal 33 yaitu mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan

rakyat.

Dengan demikian, maka kepentingan pemerintah dalam pengelolaan hutan

adalah melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Peluso

(2006) dalam Maring (2010) menyatakan kepentingan negara dalam

pengelolaan sumberdaya hutan adalah mewujudkan kekuasaannya atas

sumberdaya hutan melalui cara menguasai hutan, spesies, tenaga kerja dan

aspek ideologis. Dengan demikian pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat

ini harus dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dalam kerangka

melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat.

Untuk dapat menjamin keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan

lindung tidak terlepas dari aspek kelembagaan. Aspek kelembagaan merupakan

salah satu hal terpenting dalam pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

kawasan lindung. Ada beberapa hal dalam aspek kelembagaan pemberdayaan

masyarakat ini yakni: pertama, peran dan sinergitas diantara para pihak

(stakeholder), baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan;

kedua, akses masyarakat terhadap sumber daya kawasan dan dalam proses

pengambilan keputusan; ketiga, social capital (kepercayaan, kebersamaan,

partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan; keempat, posisi tawar

masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan.

Berdasarkan hal tersebut, maka Aspek Sosial dalam konteks pengelolaan

Kawasan Lindung merupakan indikasi tentang dukungan masyarakat terhadap

keberadaan kawasan lindung agar dapat berfungsi secara optimal. Dari aspek

social tersebut, fokus assessment akan dilihat dari Prinsip, Kriteria dan Indikator

serta Verifier yang memastikan bahwa arahan aktivitas social dapat menjamin

keberadaan dan luasan kawasan lindung.

4.2.1. Prinsip Aspek Sosial

Prinsip adalah suatu kebenaran atau hukum yang mendasari pola berpikir atau

bertindak yang melandasi pola hubungan yang harmonis antara masyarakat

dengan kawasan lindung untuk menjamin kualitas kawasan lindung baik

keberadaan dan luasannya agar dapat berfungsi secara optimal. Memperhatikan

tipe dan sebaran kawasan lindung di Jawa Barat, maka Prinsip sosial terkait

dengan pengelolaan kawasan lindung adalah : Pengakuan dan keterjaminan

Page 64: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-17

manfaat social dan kelembagaan bagi masyarakat adat/setempat. Dalam

assessment terhadap Prinsip dimaksud adalah memastikan bahwa masyarakat

memiliki kelembagaan yang dapat mengarahkan dan meningkatkan keterlibatan

secara aktif masyarakat dalam proses pembangunan dengan memanfaatkan

modal sosial (social capital) untuk mendukung keberadaan kawasan lindung

melalui internalisasi budaya pada praktek-praktek masyarakat yang diwujudkan

dalam kearifan local dan kearifan tradisional pelestarian kawasan lindung.

4.2.2. Kriteria Aspek Sosial

Kriteria dari Aspek Sosial adalah suatu standar yang digunakan untuk menilai

dukungan masyarakat dalam bentuk kelembagaan dan keterlibatan masyarakat

untuk menjamin keberadaan dan luasan kawasan lindung sesuai dengan

Prinsipnya.

Kriteria atau standard yang menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota memiliki skema yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam

pengelolaan kawasan lindung, adalah sebagai berikut.

1. Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyara-

kat setempat dengan kawasan lindung.

Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat setempat

dengan kawasan lindung merupakan standar yang menjamin kawasan

masyarakat hukum adat/masyarakat setempat dengan kawasan lindung

terdapat tanda-tanda batas yang jelas yang sebagai bukti pengakuan atas

keberadaan masyarakat adat/masyarakat setempat. Kejelasan batas ini

untuk menjamin kepastian kawasan lindung sehingga dapat dikelola

secara lestari.

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian

terhadap yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat setempat

dengan kawasan lindung.

2. Kejelasan organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam

pengelolaan kawasan lindung bersama.

Kejelasan organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam pengelolaan

kawasan lindung bersama merupakan standar yang dapat menjamin

bahwa keberadaan organisasi masyarakat sebagai kumpulan individu

dalam masyarakat memiliki kepedulian dan memiliki komitmen yang kuat

dalam pengelolaan kawasan lindung bersama sehingga dapat dicapai

pengelolaan kawasan lindung secara berkelanjutan.

Page 65: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-18

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian

terhadap organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam pengelolaan

kawasan lindung bersama.

3. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung merupakan

standar yang dapat menjamin bahwa pengelolaan kawasan lindung secara

berkelanjutan dapat terwujud dengan keterlibatan masyarakat dalam

setiap tahap kegiatan pengelolaan kawasan lindung.

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian

terhadap Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung.

4.2.3. Indikator Aspek Sosial

Indikator adalah variabel atau komponen dari ekosistem Kawasan Lindung atau

sistem pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status suatu kriteria.

Terdapat delapan indikator dalam aspek sosial yaitu:

1. Batas-batas yang jelas antara kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat

setempat dengan kawasan lindung

2. Mekanisme resolusi konflik penguasaan lahan yang efektif

3. Ketersediaan organisasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung

4. Keseimbangan hak dan kewajiban stakeholder dalam pemanfaatan kawasan

lindung

5. Ketersediaan tata cara pemanfaatan kawasan lindung

6. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KL

7. Praktek pelestarian kawasan lindung secara tradisional di lahan adat

8. Praktek budaya lokal dalam pelestarian kawasan lindung

Adapun Indikator dari masing-masing kriteria dapat dilihat pada Lampiran Tabel

3.

Page 66: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-19

4.4. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Ekonomi

Tantangan besar yang dihadapi Provinsi Jawa Barat sampai tahun 2025 adalah

memulihkan dan menguatkan kembali daya dukung lingkungan dalam

pelaksanaan pembangunan. Bersamaan dengan itu keterlibatan masyarakat

untuk melakukan berbagai penguatan bagi terwujudnya perilaku dan budaya

ramah lingkungana, serta sadar resiko bencana perlu terus

ditumbuhkembangkan. Pengelolaan dan pelestarian kawasan lindung dengan

prinsip keberlanjutan menjadi tumpuan bagi upaya peningkatan kualitas

lingkungan hidup dimasa depan, karena penerapan prinsip–prinsip

pembangunan berkelanjutan dan sinergitas implementasi di seluruh sektor dan

wilayah menjadi prasyarat dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan.

Pembiayaan penataan jasa lingkungan merupakan aspek penting yang selama ini

sulit dilaksanakan karena terkait kerjasama dan komitmen antar pihak atau antar

daerah. Penerapan prinsip yang mencemari dan merusak harus membayar, pola

pembagian peran hulu-hilir atau pusat–daerah, bagi hasil pajak untuk

lingkungan, dana lingkungan, serta pola pembiayaan pemeliharaaan lingkungan

harus mulai dilakukan.

Usaha pelestarian fungsi kawasan lindung, yaitu fungsi lingkungan, sosial dan

ekonomi, diarahkan pada pemulihan kondisi dan peningkatan fungsi kawasan

lindung untuk menjaga keseimbangan ekosistem kawasan, kestabilan iklim baik

mikro maupun makro, manfaat ekologis dan menjaga sumber daya ekonomi

kawasan. Dalam kaitan pengurangan resiko bencana alam, kawasan lindung

bermanfaat besar guna mencegah atau mengurangi besaran serta dampak

akibat bencana alam, seperti banjir, longsor, dan tsunami, sedangkan potensi

yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi yaitu dari sisi manfaat jasa lingkungan

nilai tambah keanekaragaman hayati, dan sumberdaya air. Mengingat besarnya

peran dan fungsi yang diharapkan dari kawasan lindung di Jawa Barat, maka

dalam setiap pemanfaatannya harus dalam kaidah-kaidah konservasi.

4.4.1. Prinsip Aspek Ekonomi

Dalam konteks perwujudan kawasan lindung menuju Jawa Barat sebagai

Provinsi Hijau (Green Province), Prinsip aspek ekonomi diperlakukan sebagai

kerangka kerja primer untuk mendukung terwujudnya kawasan lindung dengan

pendekatan sustainable development. Prinsip ini menjadi dasar dalam menyusun

dan mengembangkan kriteria, indikator dan pengukur. Prinsip dapat juga

dianggap sebagai kearifan manusia. Kearifan di sini didefinisikan sebagai

pertambahan pengetahuan seseorang atau suatu kelompok yang dihasilkan oleh

Page 67: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-20

kemampuan dalam mengambil kesimpulan setelah mereka memiliki tingkat

pemahaman yang mamadai tentang suatu bidang pengetahuan. Oleh karena itu

kearifan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan.

Memperhatikan Visi, Misi dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (2000-

2025) dan Jangka Menengah (2008-2013) Jawa Barat, maka Prinsip Aspek

Ekonomi terkait dengan Kawasan Lindung adalah : Pemanfaatan kawasan

lindung secara ekonomi berupa jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati

secara berkelanjutan.

Dalam Assessment prinsip aspek ekonomi ini, mencoba untuk mengukur secara

kuantitatif/pendekatan moneter potensi-potensi ekonomi yang dimiliki kawasan

lindung dengan tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung kawasan.

Jasa wisata alam dan wisata budaya serta multiplier efeknya merupakan

manfaat yang bisa diperoleh dari pengelolaan kawasan lindung, dengan

karakteristik yang dimiliki yang harus menekankan fungsi konservasi maka

pemanfaatan jasa wisata alam dan multiplier efeknya harus berbasis daya

tampung dan daya dukung kawasan, sehingga kelestarian jasa lingkungan dari

kawasan lindung dapat terpelihara.

4.4.2. Kriteria Aspek Ekonomi

Kriteria kawasan lindung bidang ekonomi dalam rangka menuju Jawa Barat

sebagai Provinsi Hijau (Green Province), diturunkan dari manfaat ekonomi yang

bisa diperoleh dari kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam arah

pembangunan RPJMD 2008-2013 Jawa Barat. Pengukuran manfaat ekonomi

dari kawasan lindung, dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran

besarnya manfaat yang bisa diperoleh dari kawasan lindung secara terukur,

yang pada akhirnya akan memberikan pesan/bahasa yang mudah dipahami

kepada masyarakat, sehingga tumbuh motivasi yang kuat untuk terus menjaga

kelestariannya. Adapun kriteria kinerja pengelolaan kawasan lindung

berdasarkan aspek ekonomi terdapat sebanyak enam kriteria yaitu :

1. Nilai ekonomi dari berbagai macam dampak akibat perubahan iklim mikro.

Jasa wisata alam dan wisata budaya serta multiplier efeknya merupakan

manfaat yang bisa diperoleh dari pengelolaan kawasan lindung, dengan

karakteristik yang dimiliki yang harus menekankan fungsi konservasi maka

pemanfaatan jasa wisata alam dan multiplier efeknya harus berbasis daya

tampung dan daya dukung kawasan, sehingga kelestarian jasa lingkungan

dari kawasan lindung dapat terpelihara.

Page 68: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-21

2. Nilai ekonomi dari berbagai macam dampak akibat perubahan iklim mikro.

Perubahan cuaca yang tidak menentu memberikan dampak negatif, yaitu

semakin berkembangnya penyakit-penyakit berbasis lingkungan, penurunan

produktivitas sektor perikanan & pertanian. Merujuk teori yang

dikemukakan oleh Hendrik L. Blum, bahwa pengaruh kondisi lingkungan

terhadap kesehatan manusia mencapai 40%. Sehingga terwujudnya

kawasan lindung dengan kualitas maupun kuantitas yang baik, maka akibat

buruk yang ditimbulkan akibat perubahan iklim yang tidak terkendali dapat

diatasi.

3. Terpeliharanya fungsi pengaturan tata air kawasan lindung secara

berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan/ konsumsi air masyarakat.

Sumberdaya air merupakan kebutuhan dasar manusia dan mahluk hidup

lainnya, sehingga keberadaan dan kesinambungan ketersediaannya sangat

dibutuhkan. Dengan salah satu fungsinya sebagai pengatur tata air, maka

kawasan lindung mempunyai peran sangat penting dalam menjaga dan

mewujudkan keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini. Hal ini

membuktikan bahwa kawasan lindung memiliki nilai dan peran yang sangat

penting dalam menjaga keberlangsungan kehidupan seluruh mahluk hidup,

sehingga wajib untuk memelihara dan menjaga kelestariannya.

4. Nilai manfaat kawasan lindung dalam mengurangi besaran serta dampak

dari bencana longsor, banjir dan tsunami

Erosi dan banjir salah satunya diakibatkan oleh deras dan besarnya

limpasan air permukaan, hal ini terjadi karena tidak adanya kawasan yang

dapat menyerap dan mengurangi kecepatan air untuk akhirnya tersimpaan

dalam tanah, kawasan lindung dengan pepohonanya diharapkan dapat

menanggulangi bencana alam tersebut, juga bencana tsunami dengan

penanaman hutan mangrove diharapkan dapat mengurangi besaran dan

dampak dari bencana. Sehingga kawasan lindung harus terpelihara dan

terjaga kelestariannya, agar fungsinya sebagai penyeimbang ekosisitem

alam dapat terjamin.

5. Pemanfaatan keanekaragaman hayati melalui kegiatan budidaya

Jawa Barat mempunyai potensi yang besar dan variatif dalam menghasilkan

produk-produk sumberdaya hayati, kondisi ini didukung oleh kondisi

agroekosistem yang cocok untuk pengembangan komoditas pertanian

dalam arti luas (tanaman pangan, ternak, ikan dan hutan). Saat ini Jawa

Barat merupakan produsen untuk 40 jenis komoditas agribisnis di

Indonesia. Sehingga dengan mengembangkan nilai tambah

Page 69: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

IV-22

keanekaragaman hayati akan menambah nilai ekonomi total dari

keberadaan kawasan lindung, sehingga terbangunnya kawasan lindung

yang terjaga kelestariannya akan terwujud

6. Kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan lindung.

Kondisi umum masyarakat sekitar kawasan hutan umumnya miskin, dengan

ditumbuhkembangkannya kegiatan ekonomi yang disesuaikan dengan daya

dukung, daya tampung dan karakteristik kawasan diharapkan tingkat

kesejahteraan masyarakat dari tahun ke tahun berikutnya bisa meningkat.

4.4.3. Indikator Aspek Ekonomi

Indikator kinerja pengelolaan kawasan lindung yang ditetapkan sebanyak

delapan indikator yaitu:

1. Pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pengelolaan dan pemanfaatan

objek wisata alam dan wisata budaya dengan tidak merusak fungsinya

sebagai kawasan lindung 2. Peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata

budaya/zona pemanfaatan di kawasan lindung 3. Terukur secara ekonomi nilai kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan

iklim mikro, dengan mengukur biaya penanganan dampaknya (outcome)

terhadap kesehatan masyarakat dan pengadaan gerakan penanaman

pohon secara massal 4. Penurunan tingkat produktivitas sektor pertanian dan sektor perikanan

akibat kondisi kawasan lindung yang buruk 5. Perubahan biaya untuk konsumsi yang harus dikeluarkan oleh PDAM dan

industry 6. Terukurnya nilai manfaat kawasan lindung sebagai pencegah dan

mengurangi besaran bencana dengan mengukur tingkat kerugian baik

moril maupun material akibat terjadinya longsor, banjir dan tsunami 7. Jumlah produksi dari jenis-jenis yang telah dibudidayakan yang bersumber

dari kawasan lindung 8. Jumlah masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung yang memiliki

pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari

Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek ekonomi disajikan pada Lampiran

Tabel 4.

Page 70: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

V-1

PENUTUP

Kriteria dan Indikator Kinerja Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka

Perwujudan Green Province Jawa Barat disusun sebagai pedoman dalam tata

kelola kawasan lindung di Jawa Barat untuk mencapai kuantitas dan kualitas

kawasan lindung yang diinginkan. Pencapaian kuantitas (luasan) dan kualitas

kawasan lindung yang baik merupakan salah satu indikator perwujudan Provinsi

Hijau (Green Province) Jawa Barat. Kriteria dan indikator ini disusun dengan

melibatkan proses partisipasi aktif para pihak terutama SKPD yang terkait

dengan pengelolaan kawasan lindung melalui proses FGD. Kriteria dan indikator

yang disusun bersifat saintifik dan implementatif (operasional) dengan

memperhatikan prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable, Responsibility,

Treasureable) sehingga tercipta kriteria yang sederhana, terukur dan mudah

dilaksanakan di lapangan serta dapat ditelusuri ulang.

Kriteria dan indikator ini bersifat mandatory, dari pemerintah provinsi ke

pemerintah kabupaten/kota, bertujuan untuk pembinaan dan monev program

pengelolaan kawasan lindung. Kriteria dan indkator yang disusun tidak bersifat

rigid, yang berarti dapat disesuaikan dengan kondisi permasalahan di lapangan

dan dapat dikoreksi atau disesuaikan dengan hasil kajian di lapangan.

Kriteria dan indikator yang telah disusun ini diharapkan dapat dijadikan acuan

dalam mengevaluasi dan memonitoring kebijakan-kebijakan Pemerintah Jawa

Barat dalam mencapai kawasan lindung sebesar 45%. Kriteria dan indikator

sebagai tools untuk mengukur kualitas kawasan lindung di Jawa Barat. Secara

indikatif luas kawasan lindung yang sudah ditetapkan provinsi Jabar, di atas peta

sudah mencapai 45%, namun secara kualitas fungsinya tidak semua lokasi

kawasan lindung terkelola dengan baik.

Kriteria dan indikator ini sangat perlu untuk mencapai pengelolaan kawasan

lindung yang berkelanjutan. SITH Institut Teknologi Bandung telah berusaha

keras untuk menyusun kriteria dan indikator tersebut. Maka dalam kesempatan

ini, SITH menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

semua pihak yang terlibat, terutama kepada pihak Pemerintah Provinsi Jawa

Barat, khususnya Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan

kesempatan dalam penyusunan kriteria dan indikator ini. Semoga dengan

hadirnya kriteria dan indikator ini, kinerja pengelolaan kawasan lindung dapat

lebih ditingkatkan ke arah yang lebih baik.

Page 71: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

VI-1

REFERENSI

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Laporan Perkembangan

Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.

Bappenas. 2010. Rancangan Strategi Nasional REDD+. UN-REDD Programme

Indonesia. Jakarta.

Forest Stewardship Council. 2005. Principle Criteria and Indicators of Good Forest Management in Poland. Union of Assocciation “Working Group

FSC-Poland”. Poland.

Gordon, M., Hickey and JL. Innes. 2005. Scientific Review and Gap Analysis of

Sustainable Forest Management Criteria and Indicators Initiatives.

Forest Research Extension Partnership. British Columbia.

Hearne, RR. 2006. Criteria and Indicators for Effective Water Management

Institutions. Departement of Agribusiness and Applied Economics North Dakota State University. USA.

High Conservation Value Forest (HCVF). 2009. Toolkit for Malaysia : A national guide for identifying, managing and monitoring High Conservation

Value Forests. First Edition. WWF. Malaysia.

Kartikasari, A. 1999. Acuan Genrik Kriteria dan Indikator CIFOR. Center for International Forestry Research (CIFOR). Jakarta. Indonesia.

Kementerian Kehutanan RI. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P. 68/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard an

Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

Jakarta.

Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah

Aliran Sungai. Dirjen RLPS. Jakarta.

Krishna, A., and E. Shradder. 2000. Cross-cultural measures of social capital: A tool and results from India And Panama. Washington, D.C.: World Bank.

Maring P. 2010. Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan, dan

Kolaborasi? Lembaga Pengkajian Antropolgi Kekuasaan Indonesia.

Jakarta.

Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat, (edisi Indonesia). Kophalindo. Jakarta.

Page 72: Buku i (kikpkl)

Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

VI-2

Purwanto, E, R. Pamekas dan H. Syamaun. 2008. Pengendalian Pembangunan

Lingkungan dan Konservasi di NAD-NIAS dalam Rangka Perwujudan Kebijakan “Green Province”. Pusat Pengendalian Lingkungan dan

Konservasi. Kedeputian Operasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Leung Bata. Banda Aceh.

Rodenburg, C, T. Baycan-Levent, E. van Leeuwen and P. Nijkamp. 2001. Urban

Economic Indicators for Green Development in Cities. Vrije Universiteit Amsterdam, The Netherlands.

Siahaan, NHT., 2007. Hutan Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Pancuran Alam. Jakarta.

Stork, NE., TJB. Boyle, V. Dale, H. Eeley, B. Finegan, M. Lawes, N. Manokaran, R. Prabhu and J. Soberon. 1997. Criteria and Indicators for Assessing

the Sustainability of Forest Management: Conservation of Biodiversity.

Center for International Forestry Research. Jakarta. Indonesia.

Undang-undang RI. 2007. Undang-undang nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang. Jakarta.

Wolfslehner, B.; Vacik, H. and Lexer, M.J. (2005) Application of the Analytic

Network Process in multi-criteria analysis of sustainable forest

management. Forest Ecology and Management 207, 157-170.

Page 73: Buku i (kikpkl)
Page 74: Buku i (kikpkl)

L-1

LAMPIRAN

Tabel 1. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Biofisik

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER

Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

Terciptanya kondisi biofisik kawasan lindung yang semakin baik sesuai dengan tipologinya, meliputi luas dan kejelasan, kesesuaian peruntukan atau fungsinya, kualitas fisik, serta upaya pelestariannya. menurut tipologi kawasan lindung.

F.1. Luas dan kejelasan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan luar kawasan

F.1.1. Penataan batas kawasan lindung pada kawasan hutan negara

1. Kelengkapan dokumen tata batas (berita acara tata batas) untuk kawasan lindung hutan

2. Posisi tata batas (pal/patok) kawasan lindung di lapangan

3. Kondisi tata batas kawasan lindung

4. Prosentase penataan batas

Baik (3)

Penataan batas kawasan lindung pada hutan negara sudah mencapai 75% atau lebih dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik didukung oleh dokumen tata batas yang lengkap dan sah.

Sedang (2)

Penataan batas kawasan lindung hutan negara sudah mencapai 50%-75% dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik didukung oleh dokumen tata batas yang lengkap dan sah.

Buruk (1)

Penataan batas kawasan lindung hutan negara kurang dari 50% atau tidak ada dokumen yang mendukung.

Page 75: Buku i (kikpkl)

L-2

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER

Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

F.1.2. Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan

1. Kelengkapan dokumen penandaan batas untuk kawasan lindung non hutan

2. Posisi tanda batas (pal/patok/plang/pagar) kawasan lindung di lapangan

3. Kondisi tanda batas kawasan lindung

4. Prosentase penandaan batas

Baik (3) Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan sudah mencapai 50% atau lebih dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik didukung oleh dokumen tanda batas yang lengkap.

Sedang (2) Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan sudah mencapai 30%-50% dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik didukung oleh dokumen tanda batas yang lengkap.

Buruk (1) Penandaan batas kawasan di luar kawasan hutan kurang dari 30% atau tidak ada dokumen yang mendukung.

F.2. Kesesuaian peruntukan dan fungsi kawasan lindung

F.2.1. Kesesuaian peruntukan kawasan lindung

1. Indeks Kesesuaian Kawasan Lindung (IKKL) IKKL = LPS/Luas Kawasan Lindung LPS : Luas penggunaan lahan (land use) yang sesuai di kawasan lindung

Baik (3) IKKL > 75% Sedang (2) IKKL 40% - 75% Buruk (1) IKKL < 40%

Page 76: Buku i (kikpkl)

L-3

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER

Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

F.3. Kualitas kawasan lindung pada seluruh tipe kawasan lindung

F.3.1. Penutupan vegetasi pada kawasan lindung Tipe I (Hutan Lindung, Sempadan pantai; Sempadan sungai; Kawasan sekitar waduk/danau; Kawasan Cagar Alam, Kawasan Suaka Margasatwa, Kawasan mangrove; Taman nasional; Tahura; Taman Wisata Alam; Taman Buru; Kawasan Cagar Alam geologi dan kars; Kawasan Rawan Tanah Longsor; Kawasan Rawan Gelombang pasang; Kawasan rawan banjir; Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung)

1. Persentase luas areal bervegetasi rapat terhadap luas kawasan lindung tipe 1 (Ket.: vegetasi rapat adalah tingkat penutupan tajuk >70%)

Baik (3) >75% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi rapat . Sedang (2) 50%-75% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi rapat Buruk (1) <50% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi rapat

F.3.2. Penutupan vegetasi pada kawasan lindung Tipe II (Kawasan resapan air; Kawasan sekitar mata air; Kawasan yang memberi perlindungan air tanah; Konservasi Plasma Nutfah eksitu; Kawasan koridor bagi satwa; RTH)

1. Persentase luas areal bervegetasi sedang terhadap luas kawasan lindung tipe 2 (Ket.: vegetasi rapat adalah tingkat penutupan tajuk 40% - 70%)

Buruk (1) <50% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi sedang. Sedang (2) 50%-75% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi sedang . Baik (3) >75% dari luas areal lindung tersebut bertutupan vegetasi sedang.

Page 77: Buku i (kikpkl)

L-4

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER

Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

F.3.3. Keberadaan RTH di kawasan perkotaan atau kawasan budidaya yang berfungsi lindung

1. Rasio Tutupan kawasan RTH

2. Luas Ruang terbuka hijau

Baik

>30 % dari RTH tersebut bertutupan vegetasi sedang

Sedang

>30 % kawasan budidaya berupa RTH dan 10 – 30 % diantaranya berpenutupan sedang

Buruk

Areal RTH kurang dari 30 %

F.3.4. Debit air sungai yang

dipengaruhi oleh kawasan lindung.

1. Debit sungai (KRS)

Koefisien Regim Sungai (KRS) = Q maks/Q min

Baik (3) Debit sungai rata–rata KRS < 50 Sedang (2) Debit sungai rata–rata KRS < 50 atau Debit sungai rata–rata KRS 50 – 120 Buruk (1) Debit sungai rata-rata KRS > 120

F.3.5. Keanekaragaman jenis pohon pada kawasan lindung di luar kawasan atau non hutan

1. Jumlah jenis (spesies) pohon dewasa per ha pada kawasan lindung di luar kawasan atau non hutan

Baik Jumlah pohon dewasa lebih dari 35 spesies Sedang Jumlah pohon dewasa lebih dari 5- 35 spesies Buruk Jumlah pohon dewasa kurang dari 5 spesies

Page 78: Buku i (kikpkl)

L-5

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER

Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

F.3.6. Pengelolaan keanekaragaman hayati pada seluruh tipe kawasan lindung

1. Rencana pengelolaan keanekaragaman hayati (dokumen)

2. Implementasi (pelaksanaan pengelolaan keanekaragaman hayati)

3. Hasil implementasi (pencapaian hasil pengelolaan kawasan lindung)

Baik (3) Terdapat perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati di kawasan lindung, rencana tersebutdi implementasikan dengan baik dan terdapat dokumen hasil pengelolaan keanekaragaman hayati Sedang (2) Terdapat perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati dan diimplementasikan di lapangan dengan baik Buruk (1) Terdapat perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati tetapi tidak diimplementasikan di lapangan

F.4. Upaya-upaya pelestarian kawasan lindung

F.4.1. Aktifitas penanaman, pemeliharaan, perlindungan, dan pengamanan pada kawasan lindung

1. Tersedianya perangkat

perencanaan yang

mendukung pelestarian

kawasan lindung

2. Implementasi kegiatan

penanaman

3. Implementasi kegiatan

pemeliharaan

4. Implementasi kegiatan

perlindungan/pengamanan

Baik (3) Memiliki perencanaan, dan terdapat implementasi penanaman, pemeliharaan, perlindungan/pengamanan sesuai target Sedang (2) Memiliki perencanaan, dan implementasi penanaman, pemeliharaan, perlindungan/pengamanan tidak sesuai target Buruk (1) Tidak memiliki perencanaan, dan tidak ada implementasi penanaman, pemeliharaan, perlindungan/pengamanan

Page 79: Buku i (kikpkl)

L-6

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER

Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

F. 4.2. Pengurangan lahan kritis pada berbagai tipe kawasan lindung

1. Rasio luas lahan kritis saat ini dengan kondisi 3 tahun sebelumnya

2. Luas hasil kegiatan penanaman (rehabilitasi) lahan kritis

Baik (3) Luas lahan kritis berkurang minimal 10% (data 3 tahunterakhir) Sedang (2) Luas lahan kritis tetap sampai 10% Buruk (1) Luas lahan kritis bertambah

F.4.3. Ketersediaan bibit untuk mendukung upaya penanaman di kawasan lindung.

1. Keberadaan persemaian

permanen atau non

permanen tempat

memproduksi bibit

berkualitas

2. Kemampuan menyediakan

atau mensuplai bibit yang

berkualitas dalam jumlah

yang memadai

Baik (3) Kebutuhan bibit dapat dipenuhi dari persemaian permanen atau non permanen yang berada di wilayahnya sendiri dengan jumlah mencukupi dan kualitas yang baik. Sedang (2) Kebutuhan bibit dapat dipenuhi sebagian dari persemaian permanen atau non permanen yang berada di wilayahnya sendiri dengan jumlah mencukupi kebutuhan dengan kualitas sedang. Buruk (1) Kebutuhan bibit sebagian besar dipenuhi dari persemaian permanen atau non permanen di luar wilayahnya dan atau jumlah bibit tidak memenuhi serta kualitasnya jelek.

Page 80: Buku i (kikpkl)

L-7

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER

Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

F.4.4. Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan wilayah setempat di kawasan lindung

1. Kegiatan inventarisasi dan monitoring

2. Perlindungan terhadap

spesies flora dan fauna

Baik Inventarisasi dan monitoring dilakukan secara kontinyu dan terdata, serta untuk flora dan fauna jarang, langka dan terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan wilayah setempat di kawasan lindung. Sedang Inventarisasi dan monitoring dilakukan secara kontinyu dan terdata, tetapi untuk flora dan fauna jarang, langka dan terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan wilayah setempat di kawasan lindung. Buruk Inventarisasi dan monitoring dilakukan secara insidental

Page 81: Buku i (kikpkl)

L-8

Tabel 2. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Kebijakan

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

Dukungan kebijakan dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat, menjamin kepastian kawasan lindung, serta upaya perlindungan, pemanfaatan dan peningkatan fungsi kawasan lindung termasuk cagar budaya dan ilmu pengetahuan

K.1. Kejelasan kebijakan untuk meningkatkan budaya menanam pohon

K.1.1. Kebijakan, program dan alokasi dana dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat

1. Adanya kebijakan berupa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain untuk menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat

2. Terdapat program tahunan yang mendorong tumbuhnya budaya menanam pohon

3. Terdapat alokasi dana

dalam APBD untuk melaksanakan program dalam mendorong tumbuhnya budaya menanam pohon

Baik (3)

Terdapat Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat; dengan dukungan program dan alokasi APBD setiap tahun memenuhi

Sedang (2)

Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota, atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain dalam menumbuh kembangkan budaya menanam pohon di masyarakat, tetapi dukungan program dan alokasi APBD tidak memenuhi

Buruk (1)

Tidak terdapat Peraturan Kabupaten/Kota, atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat

Page 82: Buku i (kikpkl)

L-9

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

K.1.2. Ketersediaan kebijakan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK

1. Adanya kebijakan berupa Perda Kab/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK

2. Terdapat program yang mendukung kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK

3. Terdapat alokasi dana dalam APBD untuk melaksanakan dan mengembangkan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK

Baik (3)

Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan SMA/SMK; dengan dukungan program dan alokasi APBD setiap tahun

Sedang (2)

Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan SMA/SMK; tetapi dukungan program dan alokasi APBD tidak setiap tahun

Buruk (1)

Tidak terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan SMA/SMK

Page 83: Buku i (kikpkl)

L-10

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

K.2. Kebijakan yang menjamin kepastian kawasan lindung dalam RTRW Kabupaten/Kota

K.2.1. RTRW Kab/Kota telah memenuhi legal aspek

1. Persetujuan RTRW Kabupaten/ Kota oleh provinsi

2. Penetapan RTRW Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota

Baik (3)

RTRW Kabupaten/Kota telah mendapatkan persetujuan provinsi Jawa Barat dan telah ditetapkan dengan Perda Kab/Kota

Sedang (2)

RTRW Kabupaten/ Kota telah mendapatkan persetujuan provinsi Jawa Barat tetapi belum ditetapkan dengan Perda Kab/Kota

Buruk (1)

RTRW Kabupaten/ Kota belum mendapatkan persetujuan provinsi Jawa Barat dan atau belum ditetapkan dengan Perda Kab/Kota

Page 84: Buku i (kikpkl)

L-11

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

K.2.2. Ketersediaan program dan alokasi APBD dalam penataan batas kawasan lindung hutan dan penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan

1. Terdapat program penataan batas, penandaan batas serta sosialisasi batas kawasan lindung dengan penggunaan lahan lainnya yang menjadi tanggungjawab Pemda Kabupten/Kotadan program-program yang mendukung penataan batas yang menjadi tanggung jawab pusat/provinsi

2. Terdapat alokasi APBD dalam mendukung program penataan batas, penandaan batas dan kegiatan sosialisasi batas kawasan lindung

Baik (3) Terdapat program penataan batas dan penandaan batas di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung program penataan batas dan penandaan batas di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat serta telah dilakukan sosialisasi dengan dukungan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat program penataan batas dan penandaan batas di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung program penataan batas dan penandaan batas di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat serta telah dilakukan sosialisasi tetapi dukungan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat program penataan batas, penandaan batas maupun sosialisasi batas kawasan lindung

Page 85: Buku i (kikpkl)

L-12

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

K.3. Kebijakan yang mendukung upaya perlindungan kawasan lindung

K.3.1 Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain yang melindungi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya perlindungan yang menjadi tanggungjawab provinsi/ pusat

1. Terdapat Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang perlindungan kawasan lindung di kawasan hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan baik di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya maupun di kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/ pusat

2. Terdapat Peraturan

Daerah tentang pelarangan konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di lahan milik (privat)

Baik (3) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain mengenai perlindungan kawasan lindung di kawasan hutan negara dan Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain yang mencegah konversi kawasan lindung di lahan milik menjadi kawasan budidaya Sedang (2) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain mengenai perlindungan kawasan lindung di kawasan hutan negara atau Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain pelarangan konversi kawasan lindung di lahan milik menjadi kawasan budidaya Buruk (1) Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain mengenai perlindungan kawasan lindung di kawasan hutan negara maupun perda pelarangan konversi kawasan lindung di lahan milik menjadi kawasan budidaya

Page 86: Buku i (kikpkl)

L-13

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

K.3.2. Ketersediaan Program dan alokasi APBD dalam perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggung jawab pusat/provinsi

1. Terdapat Program Pemda Kabupaten/Kota mengenai pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan kawasan lindung di lahan milik (privat) menjadi kawasan budidaya

2. Terdapat alokasi APBD dalam mendukung program pengamanan dan perlindungan kawasan lindung dan pemberian insentif dalam pencegahan konversi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di lahan milik

Baik (3) Terdapat program terkait pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi kawasan budidaya dengan dukungan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat program terkait pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi kawasan budidaya tetapi dukungan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat program terkait pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di hutan negara dari perambahan kawasan, kebakaran dan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi kawasan budidaya

K.4. Kebijakan mengenai mekanisme pengaturan pemanfaatan

K.4.1. Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain

1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain

Baik (3) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan dan perizinan pemanfaatan kawasan

Page 87: Buku i (kikpkl)

L-14

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

kawasan lindung secara lestari yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya pemanfaatan kawasan lindung secara lestari yang menjadi tanggungjawab pusat/ provinsi

Kabupaten/Kota tentang Izin Pemanfaatan Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh Izin Pemanfaatan di Zona Pemanfaatan Hutan Pelestarian Alam dari Pemerintah Pusat yang menjadi tanggungjawab pusat

Kabupaten/Kota tentang Izin Pemanfaatan Kawasan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan serta Pemungutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu Dari Hutan Lindung dan Zona Pemanfaatan Hutan Pelestarian Alam Secara Lestari telah mengacu pada peraturan dan perundang-undangan di atasnya

2. Terdapat Petunjuk Teknis Tentang Perizinan Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan serta Pemungutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu dari hutan lindung, dan zona pemanfaatan di hutan suaka alam mengacu peraturan dan perundang-undangan di atasnya

3. Terdapat kegiatan

sosialisasi perizinan pemanfaatan kawasan lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu

lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu maupun jasa lingkungan secara lestari sesuai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Menteri serta ditunjang keberadaan pedoman teknis dan kegiatan sosialisasi yang memadai Sedang (2) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan dan perizinan pemanfaatan kawasan lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu maupun jasa lingkungan secara lestari sesuai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Menteri, tetapi belum dilengkapi oleh keberadaan pedoman teknis dan kegiatan sosialisasi yang kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan dan perizinan pemanfaatan kawasan lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu maupun jasa lingkungan secara lestari atau tidak sesuai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri

Page 88: Buku i (kikpkl)

L-15

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

maupun jasa lingkungan berdasarkan Peraturan dan Perundang-undangan di atasnya

K.4.2. Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tekait pengaturan pola dan budidaya tanaman di kawasan lindung lahan milik (privat)

1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan pola dan budidaya tanaman di kawasan lindung lahan milik (privat)

2. Terdapat mekanisme

pemberian insentif/ disinsentif dan pemberian sanksi dalam mendorong upaya konservasi di kawasan lindung lahan milik (privat)

3. Terdapat alokasi dana

APBD kabupaten/ kota untuk mendukung pengawasan pola tanam dan pemberian insentif di kawasan lindung lahan milik (privat)

Baik (3) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan pola tanam di kawasan lindung lahan milik (privat) dan mekanisme pemberian insentif/disinsentif serta pemberian sanksi dengan dukungan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan pola tanam di kawasan lindung lahan milik (privat) dan mekanisme pemberian insentif/disinsentif serta pemberian sanksi tetapi dukungan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut pengaturan pola tanam di kawasan lindung lahan milik (privat), dan mekanisme pemberian insentif/disinsentif disinsentif serta pemberian sanksi

Page 89: Buku i (kikpkl)

L-16

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

K.5. Kejelasan kebijakan dalam menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkat-kan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/ provinsi

K.5.1 Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tentang menjaga dan meningkatkanfungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dilakukan Pemerintah Pusat/Provinsi

1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait dengan upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang di lakukan pemerintah pusat/ provinsi

2. Terdapat program reklamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dalam menjaga dan meningkatan fungsi kawasan lindung yang menjadi tangungjawabnya dan mendukung dalammenjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat

3. Tersedia anggaran APBD

untuk melaksanakan

Baik (3) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggung jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/provinsi serta didukung program daerah terkait reklamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggung jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/provinsi, tetapi kurang didukung program daerah terkait rekalamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dan APBD yang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung di kawasan lindung yang menjadi tanggung jawabnya serta tidak mendukung upayamenjaga dan meningkatan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/provinsi

Page 90: Buku i (kikpkl)

L-17

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

program reklamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dalam menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tangungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat

K.6 Kejelasan kebijakan dalam melindungi dan melestarikan cagar budaya dan ilmu pengetahuan baik berupa gedung/ monumen (heritage) maupun budaya asli lokal (local native culture) dan lingkungannya

K.6.1 Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah

1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang perlindungan dan pelestarian monumen/ gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah

2. Terdapat program dalam upaya perlindungan dan pelestarian monumen/ gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah

3. Tersedia anggaran APBD untuk melaksanakan

Baik (3) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah, dengan dukungan program dan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah tetapi dukungan program dan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian

Page 91: Buku i (kikpkl)

L-18

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER Bobot Penilaian (kematangan indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

program perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah

monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah

K.6.2. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli lokal, kesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya

1. Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain tentang perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, dan atau komunitas kesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya

2. Terdapat program perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, atau berkesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya

3. Tersedia anggaran APBD untuk melaksanakan Program perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, komunitas kesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya

Baik (3) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, atau kesenian asli beserta lingkungannya, dengan dukungan program dan APBD yang memadai Sedang (2) Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, atau kesenian asli beserta lingkungannya tetapi dukungan program dan APBD kurang memadai Buruk (1) Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain terkait perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli, atau kesenian asli beserta lingkungannya

Page 92: Buku i (kikpkl)

L-19

Tabel 3. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Sosial

Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

Pengakuan dan keterjaminan manfaat sosial, dan kelembagaan bagi masyarakat adat/setempat

S.1.Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat /masyarakat setempat dengan kawasan lindung

S.1.1. Batas-batas

yang jelas

antara

kawasan

masyarakat

hukum

adat/masyarak

at setempat

dengan

kawasan

lindung

1. Pengakuan batas-batas

kawasan lindung oleh

masyarakat hukum

adat/masyarakat setempat

2. Kesepakatan masyarakat

dalam penetapan batas

kawasan lindung dilakukan

secara partisipatif

3. Terdapat dokumen kesepakatan tata batas kawasan masyarakat okum adat/masyarakat setempat dengan KL

Baik (3) Batas-batas kawasan lindung diakui oleh masyarakat hukum adat/masyarakat setempat, dilakukan penetapan batas pada KL di dalam kawasan dan penandaan batas pada KL di luar kawasan secara partisipatif dan terdokumentasi dengan baik di atas 75%. Sedang (2) Batas-batas kawasan lindung yang diakui oleh masyarakat hokum adat/masyarakat setempat dan dilakukan penetapan batas pada KL di dalam kawasan dan penandaan batas pada KL di luar kawasan secara partisipatif antara 50-75% Buruk (1) Batas-batas kawasan lindung yang diakui oleh masyarakat hokum adat/masyarakat setempat dan dilakukan penetapan batas pada KL di dalam kawasan dan penandaan batas pada KL di luar kawasan secara partisipatif kurang dari 50%

S.1.2. Mekanisme resolusi konflik penguasaan lahan yang efektif

1. Terdapat kesepakatan tertulis

atas mekanisme penyelesaian

konflik lahan

2. Terdapat tanggung jawab

yang jelas para pihak dalam

penyelesaian konflik lahan

yang telah disepakati

3. Terdapat sanksi dalam

pelaksanaan kesepakatan

Baik (3) Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas mekanisme penyelesaian konflik lahan serta efektif dalam penyelesaian konflik lahan sebanyak di atas 75% kawasan lindung pangkuan desa Sedang (2) Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas mekanisme penyelesaian konflik lahan tetapi kurang efektif dalam penyelesaian konflik lahan sebanyak 50-75% kawasan lindung pangkuan desa

Page 93: Buku i (kikpkl)

L-20

Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

atas penyelesaian konflik

lahan Buruk (1) Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas mekanisme penyelesaian konflik lahan kurang dari 50% kawasan lindung pangkuan desa

S.2. Kejelasan organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam pengelolaan kawasan lindung bersama

S.2.1. Ketersediaan organisasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung

1. Terdapat organisasi

masyarakat yang mengelola

atau bekerjasama dalam

pengelolaan kawasan lindung

2. Terdapat rincian tugas pokok

dan fungsi yang jelas dalam

organisasi masyarakat yang

mengelola atau bekerjasama

dalam pengelolaan kawasan

lindung

3. Terdapat perjanjian

kerjasama pengelolaan

kawasan lindung antara

organisasi masyarakat dalam

pengelolaan kawasan lindung

bersama pemangku kawasan

lindung

Baik (3) Terdapat organisasi masyarakat yang mengelola kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun organisasi masyarakat yang bekerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung dan kelengkapannya serta perjanjian kerjasama pengelolaan kawasan lindung bersama sebanyak di atas 75% kawasan lindung pangkuan desa Sedang (2) Terdapat organisasi masyarakat yang mengelola kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau bekerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung dan kelengkapannya namun belum terdapat perjanjian kerjasama pengelolaan kawasan lindung antara organisasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung bersama pemangku kawasan lindung sebanyak 50-75% kawasan lindung pangkuan desa Buruk (1) Tidak terdapat organisasi masyarakat yang mengelola kawasan lindung di luar kawasan hutan maupun organisasi masyarakat yang bekerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan kelengkapannya sebanyak kurang dari 50% kawasan lindung pangkuan desa

S.2.2. Keseimbangan hak dan

1. Terdapat uraian kesepakatan

hak dan kewajiban dalam

Baik (3) Terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan kewajiban,

Page 94: Buku i (kikpkl)

L-21

Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

kewajiban stakeholder dalam pemanfaatan kawasan lindung

pengelolaan KL di dalam

kawasan hutan

2. Adanya aturan mekanisme

insentif dan disinsentif yang

jelas dalam pengaturan hak

dan kewajiban pengelolaan

KL di dalam kawasan hutan

3. Adanya pemahaman dan

ketaatan terhadap hak dan

kewajiban stakeholder dalam

pemanfaatan kawasan

lindung di dalam kawasan

hutan

aturan mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dan diimplementasikan dengan baik oleh para pihak dalam pemanfaatan kawasan lindung Sedang (2) Terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan kewajiban, aturan mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasn hutan namun belum diimplementasikan dengan baik oleh para pihak dalam pemanfaatan kawasan lindung Buruk (1) Tidak terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan kewajiban, aturan mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan

S.2.3. Ketersediaan

tata cara

pemanfaatan

kawasan

lindung

1. Pemanfaatan KL terdefinisi

dan dipahami dengan jelas

2. Akses dan distribusi yang

jelas dalam pemanfaatan KL

oleh stakeholder

3. Penetapan kompensasi atas

hilangnya peluang/

kesempatan masyarakat

dalam memanfaatkan KL

Baik (3) Terdapat kejelasan akses dan distribusi dalam pemanfaatan oleh stakeholder baik kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, dipahami dengan baik oleh stakeholder pada tingkat local serta terdapat kompensasi atas hilangngnya peluang/ kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan kawasan lindung Sedang (2) Terdapat kejelasan akses dalam pemanfaatan kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan dan kurang dipahami namun distribusi nya belum adil dirasakan oleh stakeholder pada tingkat local

Page 95: Buku i (kikpkl)

L-22

Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

Buruk (1) Tidak terdapat kejelasan akses dan distribusi dalam pemanfaatan oleh stakeholder baik kawasan lindung di dalam hutan maupun di luar kawasan hutan pada tingkat local

S.3. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung

S.3.1. Keterlibatan

masyarakat

dalam

pengelolaan KL

1. Keterlibatan masyarakat

dalam perencanaan

pengelolaan KL

2. Kontribusi masyarakat dalam

pengelolaan KL

3. Keterlibatan masyarakat

dalam pengambilan

keputusan pengelolaan KL

Baik (3) Masyarakat terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan serta memberikan kontribusi dalam pengelolaan kawasan lindung baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan Sedang (2) Masyarakat terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan namun tidak memberikan kontribusi dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan Buruk (1) Masyarakat tidak terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan

S.3.2. Praktek

pelestarian kawasan lindung secara tradisional di lahan adat

1. Teridentifikasinya kearifan

masyarakat adat dalam

melestarikan KL secara

tradisional

2. Terdapat institusi adat dalam

pengelolaan KL

3. Terpeliharanya cara-cara

pelestarian KL secara

tradisional

Buruk (1) Tidak terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan Sedang (2) Terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan namun cara cara pelestarian kawasan lindung secara tradisional kurang terpelihara dengan baik

Page 96: Buku i (kikpkl)

L-23

Prinsip Kriteria Indikator Verifier Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

Baik (3) Terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan dan cara cara pelestarian kawasan lindung secara tradisional terpelihara dan terdokumentasi dengan baik

S.3.3. Praktek budaya

lokal dalam

pelestarian

kawasan

lindung

1. Teridentifikasinya kearifan

masyarakat lokal dalam

melestarikan kawasan

lindung

2. Terdapat institusi lokal dalam

pelestarian kawasan lindung

3. Terpeliharanya cara-cara

pelestarian kawasan lindung

dalam komunitas lokal

Baik (3) Terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal dalam melestarikan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan serta cara cara pelestarian kawasan lindung dalam komunitas lokal terpelihara dan terdokumentasi dengan baik Sedang (2) Terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal dalam mengelola kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan namun cara cara pelestarian kawasan lindung dalam komunitas lokal kurang terpelihara dengan baik Buruk (1) Tidak terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal dalam melestarikan kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan

.

Page 97: Buku i (kikpkl)

L-24

Tabel 4. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Ekonomi

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)

Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)

Pemanfaatan kawasan lindung secara ekonomi berupa jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan

E.1 Pengembangan manfaat jasa wisata alam dan wisata budaya di kawasan lindung berbasis daya tampung & daya dukung kawasan

E.1.1 Pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pengelolaan dan pemanfaatan objek wisata alam dan wisata budaya dengan tidak merusak fungsinya sebagai kawasan lindung

1. Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan objek wisata alam serta wisata budaya

2. Biaya operasional

yang digunakan untuk pemeliharaan kelestarian kawasan wisata alam dan wisata budaya

BAIK (3) Proporsi antara pendapatan dan biaya pemeliharaan menggambarkan diperolehnya keuntungan juga dapat terpenuhinya semua kebutuhan biaya untuk menjaga kelestariannya. SEDANG (2) Proporsi antara pendapatan dan biaya pemeliharaan menggambarkan dapat terpenuhinya semua kebutuhan biaya untuk menjaga kelestariannya. BURUK (1) Pemanfaatan kawasan lindung sebagai wisata alam dan wisata budaya menyebabkan kerusakan

E.1.2 Peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan di kawasan lindung

1. Jumlah lapangan usaha yang tercipta dan terkoordinir .

2. Jumlah tenaga kerja yang terserap dari kegiatan pengelolaan dan pengusahaan wisata alam dan wisata budaya

BAIK (3) Meningkatnya peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan dan tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan.

SEDANG (2) Menurunnya peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan dan tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan.

BURUK (1) Meningkatnya peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan namun melebihi kapasitas daya dukung kawasan.

E.2 Nilai ekonomi dari E.2.1 Terukur secara 1. Nilai ekonomi kawasan BAIK (3)

Page 98: Buku i (kikpkl)

L-25

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)

Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)

berbagai macam dampak akibat perubahan iklim mikro

ekonomi nilai kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro, dengan mengukur biaya penanganan dampaknya (outcome) terhadap kesehatan masyarakat dan pengadaan gerakan penanaman pohon secara massal

lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro, yang digambarkan dengan besaran alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan (ISPA, DBD, Kaligata)

2. Alokasi anggaran

pelaksanaan gerakan penanaman pohon secara massal

Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro tinggi, yang digambarkan dengan besaran alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan (seperti ISPA, DBD, Kaligata) dan gerakan penanaman pohon secara massal yang cenderung menurun. SEDANG (2) Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro sedang, yang digambarkan dengan besaran alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan (seperti ISPA, DBD, Kaligata) dan gerakan penanaman pohon secara massal yang tetap. BURUK (1) Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro menurun, yang digambarkan dengan besaran alokasi anggaran pemerintah untuk penanganan kesehatan masyarakat berbasis lingkungan (seperti ISPA, DBD, Kaligata) dan gerakan penanaman pohon secara massal yang meningkat.

E..2.2 Penurunan tingkat produktivitas sektor pertanian dan sektor perikanan akibat kondisi kawasan lindung yang buruk

1. Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran untuk penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor

BAIK (3) Nilai kawasan lindung secara ekonomi meningkat, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan ikilm yang cenderung menurun SEDANG (2) Nilai kawasan lindung secara ekonomi tetap, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran

Page 99: Buku i (kikpkl)

L-26

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)

Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)

pertanian 2. Nilai ekonomi

kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran untuk penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor perikanan

penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan ikilm yang cenderung tetap BURUK (1) Nilai kawasan lindung secara ekonomi buruk, digambarkan dengan besaran alokasi anggaran penanganan menurunnya tingkat produktivitas sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan ikilm yang cenderung meningkat

E.3 Terpeliharanya fungsi pengaturan tata air kawasan lindung secara berkesinam -bungan untuk memenuhi kebutuhan/ konsumsi air masyarakat

E.3.1 Perubahan biaya untuk konsumsi yang harus dikeluarkan oleh PDAM dan industri

1. Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil selama tiga tahun kebelakang

BAIK (3) Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil menurun

SEDANG (2) Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil menurun

BURUK (1) Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil menurun

E.4 Nilai manfaat kawasan lindung dalam mengurangi besaran serta dampak dari bencana longsor, banjir dan tsunami

E.4.1 Terukurnya nilai manfaat kawasan lindung sebagai pencegah dan mengurangi besaran bencana dengan mengukur tingkat kerugian baik moril maupun material akibat terjadinya

1. Nilai manfaat

kawasan lindung

sebagai pencegah

longsor/banjir/tsuna

mi yang digambarkan

dengan besaran

alokasi anggaran di

APBD untuk

BAIK (3) Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD jumlahnya menurun

SEDANG (2) Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD jumlahnya tetap

Page 100: Buku i (kikpkl)

L-27

PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)

Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)

longsor, banjir dan tsunami

penanganan bencana

akibat terjadinya

longsor/banjir/tsuna

mi pada tiga tahun

kebelakang

BURUK (1) Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya

bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD

jumlahnya meningkat

E.5 Pemanfaatan keanekaragaman hayati melalui kegiatan budidaya

E.5.1 Jumlah produksi dari jenis-jenis yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung

1. Jumlah produksi dari jenis-jenis yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung selama tiga tahun

BAIK (3) Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung meningkat

SEDANG (2) Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung tetap

BURUK (1) Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung menurun

E.6 Kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan lindung

E.6.1 Jumlah masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung yang memiliki pendapatan

di atas US$ 1 (PPP) / hari

1. Jumlah masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari pada tiga tahun kebelakang

BAIK (3) Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung meningkat

SEDANG (2) Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung tetap

BURUK (1) Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung menurun

Page 101: Buku i (kikpkl)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI

Jalan Ganesha 10 Bandung 40132 Telp. +6222 251 1575, 2500258, Fax. +6222 2534107

E-mail : [email protected]