13
BURAMNYA GARIS DEMARKASI DIMENSI HUKUM PIDANA DAN HUKUM ADMINISTRASI DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERORIENTASI PADA PEMBANGUNAN DAERAH 1 oleh Adhimas P. Hutomo, Adya Sepasthika, Elizabeth B. V. Simanjuntak, Josua Collins dan Guspita Arfina. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hakikat Indonesia sebagai welfare state atau Negara kesejahteraan dinyatakan secara tegas dalam alinea keempat pembukaan UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam konsep Negara kesejahteraan, Pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, sehingga Negara dan pemerintah harus terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. 3 Adapun jalan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menyelenggarakan pemerintahan yang berorientasi pembangunan. Dalam rangka tersebut, daerah diberikan otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diakomodir dalam Pasal 18 UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi tersebut juga meliputi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah yang merupakan subsistem keuangan Negara. Berbicara mengenai keuangan Negara, Muchsan berpendapat bahwa anggaran Negara merupakan inti dari keuangan Negara, sebab anggaran Negara merupakan alat penggerak untuk melaksanakan penggunaan keuangan Negara. 4 Sedangkan, salah satu konsekuensi hukum 1 Tulisan ini ditujukan untuk ALSA Legal Review Competition 2016. 2 Penulis adalah mahasiswa/i dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 14. 4 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara (Yogyakarta: Grasindo, 2013), hlm. 2.

"Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

BURAMNYA GARIS DEMARKASI DIMENSI HUKUM PIDANA DAN HUKUM

ADMINISTRASI DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

YANG BERORIENTASI PADA PEMBANGUNAN DAERAH1

oleh Adhimas P. Hutomo, Adya Sepasthika, Elizabeth B. V. Simanjuntak, Josua Collins dan

Guspita Arfina.2

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hakikat Indonesia sebagai welfare state atau Negara kesejahteraan dinyatakan secara

tegas dalam alinea keempat pembukaan UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa tujuan

Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial. Dalam konsep Negara kesejahteraan, Pemerintah ditempatkan sebagai

pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, sehingga Negara dan pemerintah

harus terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk

mewujudkan kesejahteraan umum.3

Adapun jalan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menyelenggarakan

pemerintahan yang berorientasi pembangunan. Dalam rangka tersebut, daerah diberikan

otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

diakomodir dalam Pasal 18 UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dalam UU 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi tersebut juga meliputi perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dengan daerah yang merupakan subsistem keuangan Negara. Berbicara

mengenai keuangan Negara, Muchsan berpendapat bahwa anggaran Negara merupakan inti

dari keuangan Negara, sebab anggaran Negara merupakan alat penggerak untuk

melaksanakan penggunaan keuangan Negara.4 Sedangkan, salah satu konsekuensi hukum

1 Tulisan ini ditujukan untuk ALSA Legal Review Competition 2016. 2 Penulis adalah mahasiswa/i dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 14. 4 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara (Yogyakarta: Grasindo, 2013), hlm. 2.

Page 2: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

dari otonomi tersebut adalah adanya pembagian antara anggaran pemerintah pusat dengan

daerah, yang diwujudkan dalam APBN dan APBD. Adapun pengelolaan APBD sendiri

diatur dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah Nomor 58 Tahun 2005.

Pengeluaran Pemerintah Daerah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran

pembangunan harus direncanakan secara cermat mengingat terbatasnya sumber pendanaan

daerah, sebab efisiensi pengeluaran daerah merupakan salah satu indikator dalam

menentukan kualitas belanja daerah untuk mencapai tujuan pembangunan. Namun, pada

praktiknya, Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah kepala daerah sebagai pemimpin

pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dihadapkan

dilema karena takut bersinggungan dengan ketentuan pidana korupsi yang disebabkan

tumpang tindihnya konsep kerugian keuangan Negara bila ditinjau dari dimensi hukum

pidana korupsi dan administrasi Negara, dalam hal menafsirkan kerugian keuangan Negara

dari dua perspektif hukum tersebut. Menurut hukum administrasi Negara, kerugian keuangan

Negara harus ditentukan secara tepat jumlahnya, namun menurut hukum pidana korupsi,

kerugian keuangan Negara tersebut bahkan dapat hanya dilihat potential loss-nya saja.

Dampak dari hal tersebut secara nyata dapat dilihat dari fakta tidak terserapnya APBD

secara maksimal. Bahkan, pada semester I tahun anggaran 2015, Kementerian Dalam Negeri

mencatat rata-rata realisasi belanja APBD di tingkat provinsi hanya 25,9%, sedangkan di

tingkat kabupaten sebesar 24,6%.5 Hal ini membuat sisa anggaran daerah yang seharusnya

dapat digunakan untuk pembangunan justru mengendap di Bank. Tersendatnya pencairan

anggaran daerah oleh sejumlah daerah telah menyebabkan banyak daerah tak mampu

mengeksekusi program dan kegiatan yang telah direncanakan melalui Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), dan

Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD).6 Terkait hal ini,

Reydonnyzar Moenek mengatakan bahwa satu hal mencolok yang menyebabkan hal

tersebut adalah kekhawatiran pada Pejabat Daerah untuk diseret ke wilayah pidana korupsi

5 Chandra G. Asmara Rochimawati, “Ini Penyebab Serapan Anggaran Pemda Rendah”, dalam

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/662482-ini-penyebab-serapan-anggaran-pemda-rendah, diakses pada 20

Januari 2016 6 W. Riawan Tjandra, “Inovasi, Diskresi, dan Korupsi”, dalam

http://nasional.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/Inovasi.Diskresi.dan.Korupsi?page=all, diakses pada 20

Januari 2016.

Page 3: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

saat melaksanakan suatu kebijakan7 karena terindikasi menyebabkan kerugian Negara dan

kelalaian administrasi. Padahal, apabila tidak ada kekhawatiran tersebut, para Pejabat Daerah

dapat saja menciptakan inovasi-inovasi berorientasi pembangunan dengan diskresinya.

Diskresi sendiri merupakan sarana hukum yang diberikan oleh hukum administrasi

Negara kepada Pejabat pemerintahan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan

berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara

terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum

penyelesaiannya oleh lembaga legislatif.8 Secara teoritis, diskresi merupakan jalan keluar

yang diberikan atas berbagai kelemahan aliran legisme yang melahirkan asas legalitas,

dimana asas legalitas sebenarnya hanya dianut oleh rezim hukum pidana, sedangkan hukum

administrasi tidak mengikuti asas ini.9 Lebih lanjut, S.F. Marbun10 mengatakan bahwa

kebebasan bertindak (freies ermessen) ini diberikan kepada pejabat Negara dalam

kepentingannya untuk melaksanakan tugas mewujudkan kesejahteraan.

1.2 Rumusan Masalah

Bila dicermati, kekhawatiran para pejabat daerah itu berawal dari ketidakpastian hukum

antara lain disebabkan biasnya persepsi kerugian keuangan Negara dan kaburnya batas

demarkasi antara hukum administrasi Negara dan hukum pidana yang dalam hal ini adalah

tindak pidana korupsi. Hal tersebut yang pada akhirnya mempengaruhi langkah kebijakan

pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangan daerah, yang pada akhirnya menghambat

pembangunan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, akan dikaji mengenai:

1) Bagaimana Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara di Indonesia memandang

konsep kerugian keuangan Negara dan penerapannya oleh Para Penegak Hukum?

2) Bagaimana seharusnya hukum di Indonesia mengakomodir kepentingan pemberantasan

korupsi dan penyelenggaraan pembangunan sehingga dapat berjalan beriringan?

7 Sabrina Asril, “Ini 5 Provinsi yang Penyerapan Anggarannya Sangat Rendah”, dalam

http://nasional.kompas.com/read/2015/08/24/16095331/Ini.5.Provinsi.yang.Penyerapan.Anggarannya.Sangat.Renda

h, diakses pada 18 Januari 2016. 8 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire dalam Penyelengaraan

Pemerintahan, dalam S.F. Marbun et.al., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta:

UII Press, 2001), hlm. 73. 9 Arfan Fair Muhlizi, “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”, dalam Jurnal

Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012, hlm 101. 10 S.F. Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia

(Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 73.

Page 4: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

II. PEMBAHASAN

2.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Pidana Korupsi dan

Administrasi Negara

2.1.1.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Pidana

Korupsi

Perlu dipahami, dalam melakukan penilaian terhadap dugaan korupsi, UU 31 Tahun

1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)

mengetengahkan tiga unsur, yakni ‘melawan hukum’, ‘menyalahgunakan wewenang’, yang

diikuti ‘merugikan keuangan negara’. Adapun, terkait konsep kerugian keuangan Negara

dalam dimensi hukum pidana, yang dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi sangatlah

luas. UU PTPK tidak memberikan definisi maupun penjelasan yang rigid terkait pengertian

kerugian keuangan Negara, karena yang diatur di dalamnya hanyalah penjelasan mengenai

keuangan Negara saja. Artidjo Alkostar mengatakan keuangan Negara mencakup seluruh

kekayaan Negara termasuk uang dan sesuatu yang berharga. Dalam hubungannya dengan

tindak pidana korupsi, yang harus dibuktikan adalah adanya kerugian keuangan Negara yang

mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan terdakwa.11 Namun, konsep kerugian

keuangan Negara tidak ditentukan secara tegas dalam kerangka hukum pidana, menyebabkan

kerugian keuangan Negara telah secara tegas dinyatakan sebagai delik formil yang

menekankan pada perbuatan terlepas dari akibat yang ditimbulkan. Hal ini disebabkan

dengan perumusan frasa ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian

Negara’ dan juga sehubungan dengan keberadaan norma Pasal 4 UU PTKP yang mengatur

bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku

korupsi.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa penggunaan frasa ‘dapat’ dalam UU PTPK dapat

dimaknai bahwa perbuatan-perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara merupakan perbuatan pidana meski kerugian Negara tersebut belum

terjadi. Pada praktiknya, terdapat perdebatan akan pemahaman dan penerapan kata “dapat

merugikan”. Kata “dapat merugikan” bertentangan dengan konsep actual loss di mana

11 H. Abdul Latif, Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenada Media

Group, 2014), hlm. 255.

Page 5: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

kerugian negara harus benar-benar sudah terjadi.12 Pendapat ini didukung oleh Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa akan sangat sulit

bila harus membuktikan jumlah tepat kerugian keuangan Negara dalam skema perkara

korupsi yang besar. Jadi, dapat dikatakan, tindakan merugikan keuangan Negara dalam

konstruksi hukum pidana tipikor hanya menekankan pada unsur melawan hukum,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan

atau kedudukannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi kerugian keuangan

Negara dalam dimensi hukum pidana sangatlah luas. Hal ini berarti penafsiran kerugian

keuangan Negara hanyalah secara argumentum a contrario dari definisi keuangan Negara

menurut Penjelasan dalam UU PTKP.

Junifer Girsang13 menyatakan bahwa terdapat ketidakpastian hukum dalam

penanganan perkara tindak pidana korupsi akibat tidak jelasnya definisi kerugian keuangan

Negara yang berimplikasi pada tidak jelasnya lembaga mana yang secara hukum berwenang

dan berhak untuk menyatakan bahwa telah terjadi kerugian keuangan Negara tersebut. Pada

prakteknya, Kejaksaan dan Polisi bergantung pada hasil audit institusi di luar penegak

hukum, yaitu BPK dan BPKP. Namun di sisi lain, Polisi Penyidik dan Jaksa Penyidik

terkadang memiliki perhitungan sendiri terhadap jumlah kerugian keuangan Negara yang

dituduhkannya. Dengan demikian, diperlukan adanya kejelasan definisi secara hukum

mengenai pengetian kerugian keuangan Negara, sebab dengan tidak jelas dan tidak

sinkronnya peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai pengertian (kerugian)

keuangan Negara telah menyebabkan multitafsir terhadap suatu perbuatan yang dianggap

melawan hukum, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian hukum.

2.1.2 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara

Berbeda dengan konsep kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum pidana

korupsi, konsep kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum administrasi Negara

memiliki pengertian yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka UU Perbendaharaan

Negara Nomor 1 Tahun 2004 (UU Perbendaharaan Negara) juncto Pasal 1 angka 15 UU

12 Emerson Yuntho, et.al., Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dlam Delik Tindak Pidana

Korupsi (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014), hlm. 28. 13 Junifer Girsang, Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam

Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: JG Publishing, 2012), hlm. 181.

Page 6: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15 Tahun 2006 (UU BPK). Kedua UU tersebut secara

hukum mengartikan kerugian keuangan Negara/Daerah sebagai suatu kondisi kekurangan

uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan

melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal ini berarti kerugian keuangan Negara dapat

berbentuk kerugian uang, surat berharga, dan barang dalam ruang lingkup definisi keuangan

Negara yang diatur oleh UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, UU BPK, dan UU

PTPK, namun diperjelas dengan spesifikasi berupa ‘yang nyata dan pasti jumlahnya, akibat

perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai’. Jadi, kerugian keuangan Negara

harus nyata dan pasti jumlahnya dan sebanding dengan pengertian keuangan Negara itu

sendiri.

Berbicara tentang hukum administrasi Negara, tentu tidak dapat terlepas dari aspek

kewenangan, sehingga akan selalu mengacu pada legalitas yang berintikan pada wewenang

dan legitimasi. Adapun lembaga yang secara implementatif dan atributif berwenang untuk

menilai dan/atau menetapkan kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan

sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU BPK. Hal ini juga merupakan konsekuensi hukum

dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa untuk memeriksa

pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan Negara diadakan satu badan pemeriksa

keuangan yang bebas dan mandiri, walaupun secara operasional BPK dapat saja

mendelegasikan weenang itu kepada delegataris (e.g. Akuntan Publik) sebagaimana

diakomodir dalam Pasal 9 ayat (3) UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara Nomor 15 Tahun 2004 (UU PPTJKN).

Dalam melakukan pemeriksaan, BPK akan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

sebagai output dari pemeriksaannya, jadi dapat dikatakan BPK menuangkan hasil kerjanya

dalam LHP BPK.14 Sedangkan, dalam melakukan pemeriksaan ini, BPK wajib memenuhi

seluruh standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh UU PPTJKN dan UU BPK, yaitu meliputi

standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang selanjutnya

dituangkan dalam Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)

Nomor 1 Tahun 2007 yang merupakan pedoman dalam pemeriksaan keuangan Negara dan

ukuran pelaksanaan kerja BPK. Adanya SPKN tersebut tentunya membuat pemeriksa tidak

14 Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer (Biro Humas dan LN BPK RI,

Tanpa Tahun), hlm. 82.

Page 7: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

akan bekerja secara sembarangan tanpa panduan dan standar baku yang jelas. Bahkan, semua

kondisi yang terungkap oleh pemeriksa tersebut merupakan fakta yang dialami secara

langsung oleh pihak terperiksa sebagai pihak yang mengalami langsung kejadian, sehingga

pihak terperiksa mengetahui semua fakta yang terjadi.15

Adapun, jenis LHP BPK terhadap pemeriksaan pengelolaan keuangan oleh Pemerintah

Daerah adalah LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). LKPD ini akan

disampaikan kepada BPK dan Kepala Daerah yang bersangkutan setelah sebelumnya

menerima laporan keuangan dari Kepala Daerah tersebut setelah tahun anggaran berakhir.16

Sedangkan fungsi dari LHP BPK sendiri salah satunya adalah mengomunikasikan hasil

pemeriksaan kepada Pihak yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.17

Dengan demikian, dapat dikatakan LHP BPK ini memiliki kedudukan penting sehubungan

dengan kepastian hukum terkait tidak jelasnya lembaga yang berwenang melakukan

penghitungan kerugian keuangan Negara dalam UU PTPK serta menciptakan keharmonisan

antara dimensi hukum pidana dengan administrasi Negara sebagai suatu kesatuan yang

integral untuk memberantas korupsi tanpa menghambat pembangunan.

2.2 Buramnya Batas Demarkasi Antara Dimensi Hukum Pidana Korupsi dan Administrasi

Negara dalam Penegakan Hukum

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014 (UU AP) dan

Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 juncto Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 (UU Pemda) secara hukum sebenarnya sudah cukup melindungi

pelaksanaan program dan kegiatan di daerah dari potensi kriminalisasi. Hal ini dapat dilihat

dalam pengaturannya mengenai Inovasi Daerah dan Diskresi. Di dalamnya diatur bahwa

dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraanya pemerintahan, Pemda dapat

melakukan inovasi, dan dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan Pemda

tidak mencapai sasaran yang ditetapkan, maka aparatur sipil Negara tidak dapat dipidana.18

15 M. Yusuf Jhon dan Dwi Setiawan, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 141. 16 Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum Administrasi

Negara, dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 169. 17 Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Nomor 1

Tahun 2007, TLN…., Lampiran VI butir 3. 18 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, LN…, TLN..., Pasal 386 jo.

Pasal 389.

Page 8: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

Adapun mengenai diskresi, diatur secara tegas bahwa diskresi harus sesuai dengan tujuan

filosofis dari diskresi itu sendiri, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

sesuai dengan AAUPB, berdasarkan alasan yang subjektif, tidak menimbulkan konflik

kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.19 Penggunaan diskresi tersebut diatur secara

limitatif dengan mengacu pada Pasal 22 UU AP, yaitu untuk melancarkan penyelenggaraan

pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi stagnansi pemerintahan. Selain

itu, diskresi dengan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan Negara harus

mendapat persetujuan dari atasan pejabat sesuai Undang-Undang.20

Jika dicermati ketentuan-ketentuan tersebut, sejatinya ingin mengonstruksikan suatu

penegasan garis demarkasi antara dimensi administrasi Negara dengan dimensi pidana

korupsi. Selanjutnya, untuk memperkuat garis demarkasi tersebut dalam tujuannya untuk

mengakomodir kepentingan pemberantasan korupsi dan pembangunan dalam kerangka

Negara hukum, Penulis berpendapat perlu diterapkan doktrin high degree of differentiation

yang berpandangan bahwa keberadaan sanksi administrative harus dipisahkan secara tegas

dari sanksi pidana. Jadi, masing-masing stelsel hukum berjalan sesuai koridornya masing-

masing dalam satu konstruksi Negara hukum. Hal ini sehubungan dengan asas hukum ne bis

in idem dan demi menjamin hak asasi manusia. Dengan diterapkannya hal ini, seharusnya

Pemda tidak perlu lagi khawatir kebijakan-kebijakannya dikriminalisasi dengan alasan-alasan

subyektif dari penegak hukum.

2.3 Analisis

Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpandangan bahwa terdapat ketidakpastian hukum

yang disebabkan oleh multitafsir konsep Kerugian Keuangan Negara dan tidak jelasnya garis

batas antara dimensi hukum pidana korupsi dengan administrasi Negara dalam upaya

penegakan hukum.

Terkait kerugian keuangan Negara, sebagai salah satu unsur pokok dari tindak pidana

korupsi, ternyata masih terdapat ketidakpastian hukum terkait kompetensi kewenangan

lembaga dalam menilai adanya kerugian keuangan Negara. Hal ini dikarenakan, dalam

dimensi hukum pidana, UU PTPK tidak secara jelas mengatur mengenai kompetensi lembaga

yang berwenang untuk menilai kerugian tersebut. Hal ini yang kemudian membuat Polisi

19 Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, LN…, TLN…, Pasal 24. 20 Ibid., Pasal 25 ayat (1) dan (2)

Page 9: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

Penyidik maupun Jaksa Penyidik seringkali memiliki penghitungan sendiri dan tidak

berdasarkan LHP yang dibuat BPK atau BPKP dalam menilai jumlah kerugian keuangan

Negara yang dituduhkan. Bahkan, Dian Puji Simatupang21 berpendapat bahwa Indonesia

merupakan salah satu Negara dengan cara menilai dan menghitung kerugian Negara yang

paling mudah, kurang rasional, dan tidak standar, sehingga sulit menjadikannya sebagai hasil

pemeriksaan yang meyakinkan dan memadai (reasonable assurance), sebab pada prakteknya

terlampau mudah untuk menilai dan menghitung kerugian Negara sehingga tidak ada standar,

syarat, dan prosedur yang baku, pasti, dan memenuhi keadilan. Hal ini yang kemudian

menyebabkan diskriminasi, karena indikator penilaian terhadap dugaan korupsi yang

dilakukan Pejabat Daerah mutlak dipegang instansi tertentu atas nama kewenangan yang

hanya didasari pada subjektivitas penilainya dalam koridor hukum pidana korupsi (i.e. UU

PTPK).

Terkait hal ini, dengan mengacu pada asas kesesuaian (congruency) yang terdapat dalam

teori perundang-undangan, yang berpandangan bahwa UU harus diterapkan sesuai dengan

tujuan pembentukannya sehingga harus dicegah perbedaan antara bunyi UU dan

penegakannya, maka, Penulis berpandangan bahwa seharusnya penegak hukum melihat

konsep kerugian keuangan Negara melalui koridor hukum administrasi Negara, dikarenakan:

1) Istilah kerugian keuangan Negara justru didefinisikan dan diatur secara rinci dalam

Undang-Undang Perbendaharan Negara dan UU BPK, di mana kedua Undang-

Undang tersebut berada dalam ruang lingkup hukum administrasi Negara dalam

konteks menjalankan fungsi pemerintahan.

2) Kerugian keuangan Negara merupakan akibat dari pelaksanaan kewenangan di

bidang keuangan Negara melalui pemberian delegasi atau mandat. Hal ini

memperjelas kedudukan kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum

administrasi Negara.

3) Istilah kekuasaan, jabatan dan discretion by officials (wewenang pejabat) merupakan

istilah yang selalu berhubungan dengan penyelenggaraan Negara yang lazim disebut

pemerintahan, sehingga pada hakekatnya berada dalam ruang lingkup hukum

administrasi Negara.

21 Dian Puji N Simatupang, BUMN, Efisiensi, dan Kerugian Negara, dalam Harian Media Indonesia

tanggal 16 Januari 2016.

Page 10: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

4) Pejabat daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya menggunakan instrumen

hukum administrasi Negara.

Selain itu perlu dipahami bahwa keputusan pemerintahan lebih mengutamakan pada

pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada kesesuaiannya dengan hukum yang berlaku

(rechtmatigheid). Namun, penegak hukum seringkali serta-merta hanya menempatkan unsur

‘kerugian keuangan negara’ pada kerangka hukum pidana, tanpa mempertimbangkan ketika

Pejabat Daerah melakukan tindakan pemerintahannya tersebut berada pada dimensi hukum

administrasi Negara. Padahal seharusnya penilaian terhadap tindakan pejabat tersebut

ditinjau dalam koridor hukumnya, yaitu dimensi hukum administrasi Negara dengan

menggunakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), terkhusus Asas

Kecermatan, Asas Penyalahgunan Wewenang, dan Asas Motivasi. Dengan demikian, jelas

bahwa secara konseptual tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan Negara berada dalam

dimensi ilmu hukum yang berbeda, di mana korupsi berada dalam dimensi ilmu hukum

pidana, sedangkan keuangan Negara terkait dengan pengelolaan dan tanggung jawabnya

berada dalam dimensi ilmu hukum administrasi Negara, sehingga pasti terdapat prinsip-

prinsip hukum yang berbeda. Jangan sampai tuduhan korupsi hanya didasari dengan

kesalahtindakan dan selisih biaya yang kemudian menimbulkan kerugian keuangan Negara.

Selanjutnya, ketidakpastian hukum disebabkan oleh buramnya garis batas dimensi hukum

pidana korupsi dan administrasi Negara. Sebenarnya diterbitkannya UUAP dan UU Pemda

baru, telah memberikan penegasan batas antara kedua dimensi hukum tersebut. Terkait hal

ini, Penulis berpendapat bahwa penerapan doktrin high degree of differentiation di Indonesia

akan mempertegas batas antara dua disiplin ilmu hukum tersebut. Doktrin tersebut sesuai bila

diterapkan di Indonesia, mengingat kedudukan Indonesia sebagai Negara hukum yang selain

berkepentingan dalam penegakan hukum juga wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Selain itu, penegasan tersebut juga dapat menghindari dari kekacauan politik hukum akibat

seolah menghalalkan segala cara untuk kepentingan pemberantasan korupsi tanpa

mempertimbangkan kepentingan awal dari welfare state yaitu pembangunan dan juga hak

asasi manusia.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

Page 11: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

1) Terdapat ketidakjelasan penafsiran mengenai konsep kerugian keuangan Negara akibat

tidak adanya standar, syarat, dan prosedur yang baku, pasti, dan memenuhi keadilan.

2) Para Penegak Hukum seharusnya bukan menggunakan parameter hukum pidana dalam

menilai adanya kerugian keuangan Negara, melainkan menggunakan parameter hukum

administrasi Negara, mengingat kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pejabat

daerah dalam konteks menjalankan administrasi pemerintahan.

3) Hukum pidana dan hukum administrasi Negara sejatinya dapat diposisikan pada

kedudukan yang tidak saling bersinggungan dalam kepentingannya memberantas korupsi

dan memacu pembangunan. Salah satunya adalah dengan penerapan doktrin high degree

of differentiation diperlukan untuk menegaskan garis demarkasi terkait ruang lingkup

administrasi Negara dan tindak pidana korupsi, sehingga proporsi hak, kewajiban, dan

tanggung jawab Pemerintah Daerah akan sejalan dengan tujuan awal Indonesia sebagai

welfare state, yaitu mewujudkan kesejahteraan. Sebab, apabila pemisahan antara

keduanya tidak jelas atau kabur, maka secara tidak langsung akan memperjelas etatisme

perekonomian dan menghambat laju pembangunan yang pada akhirnya seolah

memperlemah tanggung jawab publik Negara untuk mewujudkan kesejahteraan.

3.2 Saran

Diperlukan suatu kesepakatan mengenai standar penilaian kerugian keuangan Negara

yang jelas yang sebaiknya dirumuskan secara bersama-sama oleh pihak-pihak

berkepentingan (i.e. Penyidik Korupsi, Pemerintah Daerah) sehingga penegakan hukum

mempunyai penilaian yang rasional, tidak hanya didasari penilaian subyektif atas nama

kewenangan. Selain itu diperlukan penegasan garis batas antara konsep hukum pidana

korupsi dan administrasi Negara dengan menerapkan doktrin high degree of differentiation,

sehingga penegak hukum dalam melakukan penilaian tidak lagi mendasarinya dengan

penilaian subyektif hanya atas dasar kewenangan. Hal ini agar tidak terjadi tumpang tindih

yang menyebabkan ketidakpastian hukum, dimana trickle down effect dari ketidakpastian

hukum tersebut membuat para Pejabat Daerah khawatir apabila ingin melakukan tindakan

pemerintahan seperti misalnya diskresi inovatif yang bersentuhan langsung dengan keuangan

Negara, walaupun sesungguhnya memiliki motivasi baik yaitu mencapai tujuan

pembangunan.

Page 12: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Armando, Ade. Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer (Biro Humas dan LN

BPK RI, Tanpa Tahun).

Girsang, Junifer. Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam

Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: JG Publishing, 2012)

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)

Jhon, M. Yusuf dan Dwi Setiawan, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).

Latif, H. Abdul. Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenada

Media Group, 2014)

Marbun, S.F. et.al.. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: UII

Press, 2001).

Marbun, S.F. Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia

(Yogyakarta: UII Press, 2001)

Sinaga, Patuan. Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire dalam

Penyelengaraan Pemerintahan.

Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum

Administrasi Negara, dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015).

Tjandra, W Riawan. Hukum Keuangan Negara. (Yogyakarta: Grasindo, 2013)

Yuntho, Emerson. et.al.. Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak

Pidana Korupsi (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014)

JURNAL

Muhlizi, Arfan Fair. “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”. Jurnal

Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Page 13: "Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi"

Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

Nomor 1 Tahun 2007, TLN….

Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, LN…, TLN...

Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, LN…, TLN…

MEDIA

Asril, Sabrina. “Ini 5 Provinsi yang Penyerapan Anggarannya Sangat Rendah”, dalam

http://nasional.kompas.com/read/2015/08/24/16095331/Ini.5.Provinsi.yang.Penyerapan.A

nggarannya.Sangat.Rendah

Rochimawati, Chandra G. Asmara. “Ini Penyebab Serapan Anggaran Pemda Rendah”, dalam

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/662482-ini-penyebab-serapan-anggaran-pemda-

rendah.

Simatupang, Dian Pudji N. “BUMN, Efisiensi, dan Kerugian Negara”, dalam Harian Media

Indonesia tanggal 16 Januari 2016.

Tjandra, W. Riawan. “Inovasi, Diskresi, dan Korupsi”, dalam

http://nasional.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/Inovasi.Diskresi.dan.Korupsi?pag

e=all, diakses pada 20 Januari 2016.