Upload
ekho109
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
1/41
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
2/41
Memang pada 1825 kita tahu sesuatu ternyata terjadi dan ribuan orang akan tewas dalam
perang.
Gunung Merapi meletus;
pucuknya seolah terlontar mencapai langit.
Yogyakarta serasa tertutup olehnya.
Langit menjadi api....
Baris-baris dalamBabad Dipanegaraitu, yang disebut sebagai otobiografi sang pangeran
pemberontak, disusul dengan sebuah deskripsi: Diponegoro bersama istrinya keluar dari
pekarangan rumah Tegalrejo. Ia menyaksikan gunung yang sedang terbakar dan bumi yang
terguncang. Sang pangeran tak kaget. Ia tersenyum dalam hati: murka Allah telah datang.
Itu saat apokaliptik, pertanda Ratu Adil akan muncul, sebagaimana tercantum dalam
"Ramalan Joyoboyo".
Dalam khazanah sastra dan pemikiran Jawa, ramalan tampaknya satu bentuk wacana
harapan-harapan yang hancur, baik yang kita dengar dari sang guru pertapa di Blitar maupun
dari sebuah sumber yang disebut sebagai Raja Jayabaya. Tapi dari puing-puingnya terbit
harapan yang radikal: di dunia yang tak adil, ada yang membawa penangkal semua itu,
disebut "Ratu Adil".
Dalam mithologi lain, "tokoh" ini, Mesiah, hadir dalam waktu yang oleh orang Yunani (dan
kemudian dipergunakan dalam theologi Kristen) disebut kairos,saat penantian yang intens
yang melebur "dulu", "kini", dan "nanti". Tapi bila sebagian agama yakin Juru Selamat akan
datang pada akhir zaman, di tengah paceklik dan kolera di Jawa pada abad ke-19 itu, atau
kapan saja kehidupan sosial remuk-redam, justru waktu sendiri yang seakan-akan berakhir.
Maka Ratu Adil, seperti yang dikisahkan dalam riwayat Diponegoro, tak mengenal "kelak".
Dalam meditasinya di Gua Selarong, sang pangeran merasa ia dipertemukan dengan Ratu
Adil sendiri (meskipun ia tak bisa melihat wajahnya) di atas sebuah bukit.
Pada saat itulah tekadnya matang: ia akan melawan zamannya yang buruk. Dengan itu
tampak kesadaran bahwa janji tentang Keadilan hanya bisa dipenuhi dalam waktu kehidupanpraktis sehari-waktu yang linear, yang dapat dihitung dalam hari, pekan, bulan, dan tahun.
Kairosditarik ke dalam kronos,waktu yang linear itu. Dengan kata lain, Keadilan (dengan
"K") hanya bisa jadi keadilan dalam sejarah. Diponegoro melancarkan perang yang sengit
untuk sebuah harapan yang radikal seraya tahu bukan dia sang Ratu Adil yang mengatasi
waktu. Ia hanya sarananya. Sebuah nujum menyebut, peran itu tak akan lama:sira
srananipun/ mapan iku tan dawa..."(engkaulah sarananya/ meskipun hal itu tak akan lama).
"Sekali berarti, sudah itu mati," tulis Chairil Anwar dalam sajaknya, Diponegoro.Yang
penting bukanlah hidup atau mati, melainkan membuat perjuangan berarti. Dengan itulah
harapan mendapatkan "daya mesianik": harapan akan Keadilan itu mampu melebur batas
waktu.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
3/41
Goenawan Mohamad
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
4/41
Pengawal
Sabtu, 15 Maret 2014
Putu Setia
Bung Karno hilang. Ketika diintip ke kamarnya sekitar pukul tujuh pagi, tak ada siapa pun di
sana. Penjaga Istana Tampaksiring panik, pengawal pun juga bingung, ke mana presiden. I
Gde Putu Riyasse selaku protokol pemerintah Bali-orang yang selalu mendampingi Bung
Karno di Bali-menenangkan petugas. "Nanti saya cari, pasti tak jauh dari sini," kata Riyasse.
Seperti yang diduga, Riyasse menemukan Bung Karno minum kopi di warung kolam renang
di bawah istana. Ia mengenakan pakaian tidur, piyama kedodoran tanpa kopiah. Ia asyikngobrol dengan peminum kopi yang lain. Ketika Riyasse menjelaskan orang berpiyama itu
adalah Bung Karno, seluruh orang yang ada di warung itu langsung bersimpuh hormat-dan
terheran-heran. Riyasse lalu meminta Bung Karno kembali ke istana. "Masak Bapak enggak
boleh ngobrol?" kata Bung Karno.
Kisah ini dituturkan Nyonya S. Riyasse dalam buku kecilIn Memorium I Gde Putu Riyasse.
Tak disebutkan kapan "insiden Tampaksiring" itu, tapi Putu Riyasse menjadi protokol pemda
Bali 1958-1962. Masih banyak anekdot di sekitar Bung Karno yang direkam Nyonya Riyasse
untuk mengenang almarhum suaminya yang meninggal dunia pada Januari 2002. Misalnya,
ketika pengawal memaksa Bung Karno meninggalkan pesta pada saat dia asyik menari lenso.
Bung Karno tunduk pada pengawal, tetapi ngedumelkepada Riyasse, "Masak Bapak tak
boleh bersenang-senang."
Suatu kali Bung Karno ke Gallery Le Mayeur (kini Museum Ni Polok) hanya ditemani
Riyasse dan Sabur. Bung Karno tertarik pada sebuah lukisan. "Bapak suka ini, ayo beli."
Riyasse bertanya: "Siapa yang bayar?" Bung Karno bingung, tak ada yang membawa uang.
Akhirnya tak jadi membeli. Penjaga galeri tak mengizinkan beli lukisan dengan berutang, ia
tak tahu siapa peminat itu.
Yang hendak dikisahkan adalah presiden pertama republik ini ternyata suka blusukandan itu
sering dilakukan tanpa pengawalan-baik karena pengawalnya dilarang maupun dikecoh.
Presiden dikawal ketat tentulah keharusan protokoler. Di era Bung Karno malah ada pasukan
khusus Tjakrabirawa. Bahwa sesekali Bung Karno kesal dengan pengawalan ketat, itu juga
sangat manusiawi.
Di era presiden selanjutnya, pasukan pengawal cukup disebut Pasukan Pengawal Presiden
(Paswalpres). Kini ada tiga grup pasukan elite ini, Grup A untuk ring satu (paling dekat
dengan presiden), ring B dan C yang lebih jauh. Wakil presiden pun dikawal dengan satuan
ini. Begitu pula mantan presiden dan wakil presiden, juga mendapat pengawalan dari satuan
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
5/41
ini, tentu disesuaikan dengan situasi. Namun belum lama ini Presiden SBY membentuk Grup
D yang tugasnya khusus mengawal mantan presiden dan wakil presiden.
Kenapa para mantan yang sudah "bebas" ini harus dikawal dengan ketat, sampai membentuk
grup baru? Barangkali sebagai penghormatan atas jasa para mantan itu, dan bentuk
penghormatan ini diharapkan menimbulkan rasa aman. Tetapi Jusuf Kalla merasa tak perlu
dikawal ketat. "Bikin susah ke restoran saja," katanya. Boleh jadi. Kalau pengawal ikut,
makan apa tidak kikuk? Tapi, kalau tak diajak makan, apa manusiawi? Ke mana-mana kan
ikut terus.
Bahwa grup baru ini dibentuk menjelang SBY menjadi mantan, mungkin kebetulan. Juga
sebuah kebetulan kalau SBY memang suka dan mau dikawal ketat. Perilaku masing-masing
mantan tentu beda, ada yang ingin bebas, ada yang masih takut bebas keluyuran. Kalau
Jokowi memenangi pemilihan presiden nanti, apa yang dilakukannya? Apakah dia meniru
Bung Karno, suka lepas dari pengawalan? Orang tahu kalau blusukandijaga ketat, apalahartinya.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
6/41
Hak Pendidikan Difabel
Senin, 17 Maret 2014
Suyitno. Peneliti Filsafat Pendidikan di Sekolah Jubilee, Jakarta
Difabel (penyandang disabilitas) serta sejumlah pengamat dan praktisi pendidikan memprotes
keras persyaratan baru Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang
dinilai diskriminatif terhadap kaum difabel. Pembatasan terhadap penyandang disabilitas
untuk masuk program studi tertentu tersebut dinilai sebagai bentuk ketidakadilan dalam
prinsip kesetaraan hak mendapat pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
merespons kritik tersebut dengan menegaskan bahwa tidak ada motif diskriminasi dalam
konteks itu. Persyaratan tersebut dibuat sebagai formulasi regulasi semata, tanpa ada tendensi
diskriminatif.
Dua pandangan tersebut merepresentasikan perspektif berbeda dalam melihat persoalan yang
sama. Kalangan yang memprotes persyaratan SNMPTN berangkat dari perspektif filsafat
pendidikan, yang menegaskan tentang pendidikan sebagai hak dasar setiap manusia tanpa ada
diskriminasi. Sedangkan Kemdikbud bertolak dari perspektif instrumentalis (regulatif) dalam
melihat persoalan yang sama. Yang pertama mengacu pada aspek substansial, sedangkan
yang kedua lebih kepada domain artifisial. Dalam kondisi yang ideal, kedua perspektif
tersebut sebenarnya tidak akan mengarah pada kesimpulan yang berbeda, karena yang satu(regulasi pendidikan) merupakan interpretasi dan derivasi dari yang lain (filosofi pendidikan).
Masalahnya, di negara kita, filosofi dan regulasi pendidikannya tidak simetris, tidak integral,
dan tidak bertopang pada nalar yang sama. Bahkan terkadang bertolak belakang. Apa yang
lahir sebagai sebuah regulasi kerap bertentangan dengan basis filosofinya. Demikian juga
sebaliknya: filosofi pendidikan diderivasi dalam bentuk berbeda dalam regulasi.
Menurut saya, problem inilah yang terjadi dan berpolemik dalam persyaratan SNMPTN.
Dilihat semata dalam perspektif regulasi, persyaratan tersebut memang tampak seperti tidak
memiliki nuansa diskriminatif. Namun, jika dilihat dalam perspektif filsafat pendidikan,
regulasi tersebut mengandung unsur diskriminasi. Ketidakmenyatuan nalar pendidikan kita,
antara filosofi dan regulasi, merupakan salah satu problem krusial dalam dunia pendidikan
kita.
Di beberapa negara lain, pendidikan memiliki blueprintfilosofis yang menjadi panduan
regulasi dalam jangka panjang. Sedangkan di negara kita, regulasi pendidikan sering
mengalami perubahan dalam jangka waktu yang sangat pendek. Pendidikan kita tidak
sistematis dari tingkat nalar hingga praktis. Akibatnya, terjadi inkonsistensi dalam berbagai
aspek: kurikulum, regulasi berkaitan dengan guru, ujian nasional, anggaran, serta soal konten
buku bacaan sekolah. Dalam kondisi yang masih penuh problematik seperti inilah pemenuhan
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
7/41
hak-hak dasar pendidikan penyandang disabilitas juga terkena dampaknya.
Persyaratan SNMPTN hendaknya dikembalikan pada perspektif yang seharusnya, yaitu
filsafat pendidikan. Persyaratan tersebut sebenarnya tidak perlu dibuat karena lebih bernuansa
diskriminatif ketimbang apresiasi terhadap hak pendidikan kaum difabel. Regulasi tersebutterkesan membatasi hak mereka tanpa ada alternatif pemenuhan dalam bentuk lainnya, karena
konsep pendidikan inklusi kita memang belum maksimal. Baiknya, persyaratan tersebut
dicabut agar tidak melukai mental dan psikologi anak didik yang berasal dari kaum difabel.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
8/41
Energi Positif Jokowi
Senin, 17 Maret 2014
Mimin Dwi Hartono, Koordinator Jaringan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia (SIDNet)
Pencalonan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden membawa energi positif bagi bangsa di
tengah pesimisme publik atas calon-calon presiden dari partai politik lain. Ia seakan hadir
untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia yang mencapai titik nadir. Kehadiran Jokowi
semoga merupakan tonggak untuk mengakhiri politik era Reformasi yang kental dengan
pencitraan, modal besar, dan korup.
Keputusan Bu Mega selaras dengan aspirasi masyarakat umum yang mendukung Jokowi,
sekaligus menyangkal spekulasi bahwa Bu Mega masih berambisi sebagai capres. Bu Mega
berhasil menerjemahkan keinginan rakyat meskipun diwarnai dengan dinamika politik
internal partai yang kuat. Meskipun dicapreskan oleh PDI Perjuangan, Jokowi telah menjadi
capres rakyat Indonesia yang rindu pada perubahan.
Jokowi mempunyai rekam jejak yang baik dalam kinerja di pemerintahan, antikorupsi, bersih
dari catatan atas kejahatan terhadap hak asasi manusia, dan menampilkan model
kepemimpinan yang merakyat.
Pencapresan Jokowi disambut dengan suka cita dan harapan yang tinggi oleh masyarakat
luas. Respons positif masyarakat di daerah-daerah dan di dunia media sosial (Facebook dan
Twitter) setidaknya membuktikan bahwa Jokowi didukung oleh berbagai kalangan, dari kelas
bawah, menengah, hingga atas.
Jokowi, sebagai sosok yang sederhana dan merakyat, menjadi harapan adanya perubahan
nasib rakyat. Sosok Jokowi, yang layaknya seperti rakyat kebanyakan, membuat rakyat
merasa terwakili, termasuk mereka yang belum pernah bertemu secara langsung. Setiap kata
dan tindakan Jokowi seakan merepresentasikan kehendak rakyat.
Negara ini patut bersyukur karena pencapresan Jokowi akan menggairahkan pesta demokrasi,
khususnya yang terdekat adalah untuk memilih anggota DPRD/DPR/DPD pada 9 April, dan
pemilihan presiden-wakil presiden. Masyarakat pemegang hak pilih diperkirakan akan
antusias dalam mempergunakan hak pilihnya. Sebelumnya, banyak di antara pemegang hak
pilih yang terkesan cuek dan tidak peduli akan pemilu. Kehadiran Jokowi dipastikan akan
mengubah sikap mereka karena ada sosok yang menjadi harapan rakyat. Rendahnya tingkat
partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009 yang hanya mencapai sekitar 78 persen diperkirakan
akan banyak berubah dalam pemilu kali ini.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
9/41
Sedangkan bagi calon legislator dari PDIP, mereka akan mendapat keuntungan politis dari
pencapresan Jokowi. Popularitas Jokowi diperkirakan akan mampu mendongkrak suara PDIP
di tingkat daerah dan secara nasional. Hal ini sejalan dengan keinginan PDIP agar mampu
memperoleh suara atau kursi yang cukup untuk mencalonkan Jokowi sebagai presiden.
Sedangkan bagi rival-rival Jokowi yang terlebih dulu mendeklarasikan pencapresannya, akan
tertantang untuk mampu bersaing dengan Jokowi. Popularitas Jokowi yang sangat tinggi yang
diindikasikan dari berbagai hasil survei, baik oleh lembaga survei maupun media massa,
diperkirakan akan semakin meningkat setelah dia secara resmi dicapreskan. Jokowi harus
mampu mempertahankan dan meningkatkan performanya di tengah serangan politik yang
pasti akan semakin gencar.
Kehadiran Jokowi dan popularitasnya yang fenomenal telah membangunkan kembali
optimisme rakyat. Selama ini, rakyat apriori dengan sistem politik yang dikuasai oleh dinasti,
para pemodal, dan politikus yang korup. Hanya mereka yang punya modal finansial dan
politik yang mampu maju sebagai capres ataupun pimpinan daerah.
Jokowi berkontribusi dalam mengubah konstelasi politik tersebut, bahwa siapa pun yang
mempunyai kemampuan dan rekam jejak kinerja yang baik akan bisa menjadi pemimpin.
Intinya, kehadiran Jokowi menjadi energi positif bagi bangsa ini secara keseluruhan. Inilah
momentum untuk mengembalikan mandat pemilu yang sebenarnya, yaitu dari, oleh, dan
untuk rakyat.
Tugas Jokowi tentu tidak mudah karena harapan rakyat bertumpu di pundaknya. Segenappermasalahan bangsa yang menumpuk dan belum terselesaikan harus mampu ia tangani.
Korupsi yang akut dan sistemik, sumber daya alam dan mineral yang dieksploitasi
berlebihan, pelanggaran hak asasi manusia, serta buruknya penegakan hukum, adalah
pekerjaan yang menunggu Jokowi jika berhasil menjadi presiden.
Tentu kita tidak akan mendahului hasil pemilu legislatif dan pemilihan presiden-wakil
presiden, serta melompati kehendak Tuhan. Namun kehadiran Jokowi telah memberikan
harapan besar bagi rakyat untuk berpartisipasi mengawal dan memantau proses pergantian
presiden-wakil presiden secara damai dan demokratis.
Jokowi bukanlahsuperman, yang bisa menyelesaikan akumulasi persoalan bangsa dalam
sekejap dan seorang diri. Tidak adil jika beban bangsa hanya disandarkan kepadanya.
Namun, dengan kehadiran Jokowi, rakyat semakin antusias dan bersemangat dalam merebut
hak-haknya atas kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya, yang selama ini dikuasai oleh para
pembajak demokrasi dan pemburu rente ekonomi. Rakyat pasti akan mampu menyelesaikan
berbagai persoalan bangsa jika dipimpin oleh orang yang tepat dan tidak mempunyai beban
sejarah yang kelam.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
10/41
Semiotika Iklan Rokok
Senin, 17 Maret 2014
Ignatius Haryanto. Peneliti media
Minggu-minggu ini, jika kita melayangkan pandang ke sejumlah media luar ruang (billboard)
produk rokok, kita menemukan kalimat yang cukup mencolok, "Merokok Membunuhmu",
dan kemudian di sampingnya ada gambar seseorang yang sedang merokok dengan bayang-
bayang gambar tengkorak di belakangnya. Namun yang lebih besar daripada dua tanda
tersebut adalah "Gentlemen, This Is Taste", mendampingi gambar seorang atau beberapa
orang lelaki yang menampilkan wajah riang gembira.
Sejumlah media luar ruang yang berubah tersebut, bersama dengan sejumlah iklan rokok di
media lainnya, mencoba menyesuaikan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan
pada Kemasan Produk Tembakau. Permenkes itu merupakan turunan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Menghasilkan Permenkes ini bukanlah pekerjaan
mudah saat berhadapan dengan kekuatan besar perusahaan-perusahaan rokok yang tak ingin
dikekang ketat di sebuah negeri yang langka. Mengapa langka? Karena Indonesia mungkin
adalah satu dari sedikit negara yang belum mau menandatangani FCTC (FrameworkConvention on Tobacco Control) keluaran WHO (World Health Organization).
Mereka yang belajar tentang ilmu tanda (semiotika) pastilah tahu bagaimana membedah
elemen-elemen dari media luar ruang tersebut, dan bisa mencoba melihat apa sebenarnya
pesan utama yang mau disampaikan dari media luar ruang yang besar-besar itu.
Di satu sisi, peringatan kesehatan sangatlah jelas, "Merokok Membunuhmu". Namun, di sisi
lain, taglinebertuliskan "Gentlemen, This Is Taste" jauh lebih besar daripada peringatan
positif sebelumnya. Di satu sisi ada gambar yang "mencoba menakut-nakuti" berupa gambar
seorang yang merokok dengan bayangan tengkorak di belakangnya, namun gambar yang
lebih besar menggambarkan wajah pria-pria riang gembira-walau tak menggambarkan ia
sedang merokok. Namun, di samping gambar tersebut, logo atau nama perusahaan yang
mensponsorinya sangatlah jelas.
Inilah negeri yang sangat permisif pada perusahaan rokok, dan seolah dianggap perusahaan
rokok telah berkontribusi banyak bagi kehidupan masyarakat di Indonesia (menyediakan
lapangan pekerjaan, mensponsori kegiatan olahraga, mensponsori kegiatan kebudayaan,
belum lagi promosi yang sangat gencar terhadap anak muda, dan lain-lain). Perusahaan yang
sama ini juga yang diduga mencoba menjegal aneka peraturan yang hendak membatasi ruang
gerak rokok di ruang publik.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
11/41
Jadi, apakah peringatan "Merokok Membunuhmu" dan gambar tengkorak yang membayangi
gambar orang yang sedang merokok tersebut cukup menyampaikan pesannya? Menurut
penulis, sih, tidak, karena esensi peringatan soal kesehatan tersebut masih jauh lebih kecil
daripada promosi besar-besaran terhadap aksi merokok itu sendiri. Minggu lalu, ketikapenulis sempat menonton film di sebuah bioskop, hampir semua merek besar rokok tampil
sebelum film, seolah-olah berlomba menjejalkan pesan "Merokok Itu Keren" ketimbang
"Merokok Membunuhmu". Iklan-iklan yang sekarang ini bermunculan malah seolah-olah
mempermainkan pembatasan yang ditujukan pada dirinya.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
12/41
Tolonglah Riau
Selasa, 18 Maret 2014
Fachruddin Mangunjaya, Dosen Universitas Nasional, Jakarta
Kebakaran hutan dan lahan di Riau kembali merepotkan. Sebagai kasus lingkungan, hal ini
dapat menjadi momok pada setiap tahun, bahkan beberapa kali dalam setahun. Kejadian yang
berulang merupakan sebuah ironi, yang menunjukkan gagalnya semua sektor dan
penanggung jawab untuk belajar tentang upaya penanggulangan yang tepat dan cepat untuk
kebakaran hutan dan lahan.
Dalam sebulan ini, asap menyelimuti Riau. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan, bahkan
membawa kematian. Belum lagi kerugian materi seperti kebun masyarakat yang ikut terbakar
dan terjadinya gagal panen, tertundanya penerbangan, serta ditutupnya kantor dan sekolah
yang tidak dapat ditoleransi. Kerugiannya dikabarkan mencapai Rp 15 triliun (Koran Tempo,
15 Maret 2014).
Kesedihan dan keprihatinan tentu sangat mendalam dan kontra-produktif, terutama dalam
upaya pengurangan emisi global dan pencegahan perubahan iklim. Kebakaran hutan sudah
pasti akan menambah jumlah emisi karbon tahunan Indonesia. Padahal, negara ini berupaya
keras menurunkan emisi sebesar 26 persen, yang umumnya bersumber dari kebakaran danalih guna lahan.
Kasus kebakaran di Riau sesungguhnya merupakan ujung dari sebuah kesemrawutan tata
kelola perizinan dan pembukaan lahan yang tidak terkendali. Selain perusahaan dengan
jutaan hektare konsesi kayu pembuatanpulp yang mendapatkan izin sejak awal 1980-an,
perizinan tambahan diberikan oleh pemerintah daerah untuk mendapatkan rente ekonomi
pembangunan. Tentu saja, hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan dan-dipastikan-
banyaknya kolusi dan pelanggaran aturan serta korupsi, sehingga gubernurnya dipenjara
hingga 14 tahun.
Akibatnya, dalam kurun waktu tiga dekade, tercatat hutan alam di Riau telah mengalami
perubahan yang sangat dahsyat. Sejak 1982, tutupan hutan alam Provinsi Riau menciut
hingga 65 persen. Dalam rentang waktu tersebut, lebih dari 4 juta hektare hutan Riau atau
seluas Provinsi Sumatera Barat lenyap hanya dalam 25 tahun. Bila dihitung secara kasar,
hutan seluas dua kali lebih luas wilayah Jakarta atau Singapura lenyap dari Riau setiap tahun.
Ke mana perginya hutan itu? Ternyata, sebanyak 53 persen berubah menjadi perkebunan
kelapa sawit dan hutan tanaman industri untuk bubur kertas. Kampanye Green Peace
beberapa waktu lalu menyatakan industri dan perkebunan pun telah merambah habis lahan
gambut yang sangat tinggi ikatan karbonnya. Hal ini akan sangat berbahaya apabila
kebakaran lahan terjadi.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
13/41
Jadi, apa solusinya? Melihat besarnya investasi di Riau, selain penegakan hukum yang
mempunyai efek jera, Riau seharusnya ditolong, dikawal, serta mendapatkan perhatian dan
pengawasan yang baik, termasuk oleh badan penegakan hukum seperti KPK.Tinjau kembali
izin para pengusaha yang nakal dan cabut izinnya. Kemudian, lantaran investasi yangterlampau mahal, pengamanan atausafeguardbagi Riau pun harus memadai. Bagaimanapun,
negara harus berpihak pada masyarakat dan 6 juta warga Riau yang menjadi korban.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang telah berupaya keras membuat satuan-
satuan untuk penanggulangan kebakaran hutan. Di Kementerian Kehutanan masih ada Satuan
Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) yang juga dapat diberdayakan untuk tanggap darurat
kebakaran hutan. Sayangnya, upaya ini ternyata tidaklah cukup, ketika tantangan yang
dihadapi melebihi kapasitas tenaga di satu kementerian saja. Jadi, penanggulangan yang
dilakukan pun harus dibuat secara sistematis.
Riau merupakan aset besar bangsa Indonesia. Selain potensi mineralnya yang kaya akan
minyak bumi dan berkontribusi bagi negara, hutan alamnya pun telah telanjur dibuka pula
untuk kepentingan ekonomi. Pepatah Melayu mengatakan, "nasi sudah jadi bubur." Untuk
itu, sudah sewajarnya bila Riau mendapatkan perhatian lebih dalam hal pengawalan.
Sebagai negara besar,dengan kekayaan alam dan jarak yang jauh terpisah dan luas, Indonesia
sewajarnya mempunyai koordinasi yang baik dalam penanggulangan api liar, yang
potensinya tidak saja ada di Sumatera, tapi juga di pulau-pulau lain, seperti Kalimantan,
Sulawesi, Jawa, bahkan Papua. Bila kebakaran terjadi, kepanikan yang muncul adalah soalpenanggung jawab, pemerintah pusat dan daerah, atau kementerian mana yang bertanggung
jawab.
Untuk mengatasi hal ini, dapatlah kita belajar dari pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan
mempunyai pusat koordinasi inter-agency, semacam The National Interagency Coordination
Center (NICC). Lembaga ini bisa melibatkan angkatan udara (air force) yang terlatih untuk
membawa pesawat pengebom air dan pasukan angkatan darat untuk memadamkan api secara
cepat. Lembaga ini mempunyai perjanjian kerja sama dengan Departemen Pertahanan,
Kementerian Perkebunan/Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, lembaga ini
mempunyai intelijen untuk memprediksi api atas laporan masyarakat secara langsung.
Dengan cara ini, bencana tidak menjadi berlarut-larut dan parah seperti bencana api liar yang
kita jumpai setiap tahun di negara tercinta ini.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
14/41
Hari Hak Konsumen Sedunia
Selasa, 18 Maret 2014
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
Di tengah hiruk-pikuk kampanye partai politik menjelang pemilihan umum 9 April 2014,
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan 250 lembaga konsumen di dunia (dari
130 negara) baru saja memperingati Hari Hak Konsumen Sedunia (HKKS) atau World
Consumer Right Day, yang jatuh pada 15 Maret.
Peringatan HKKS berawal dari pidato Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di depan
Kongres pada 15 Maret 1962. Dia menyatakan, "...konsumen adalah kelompok ekonomi
terbesar, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi publik dan
swasta. Namun mereka adalah satu-satunya kelompok penting...yang pandangannya sering
tidak didengar...." Kutipan pidato itu diadopsi oleh Consumers Internasional sebagai HKKS.
Consumers Internasional bermarkas di London dan beranggotakan 250 lembaga konsumen
dari 130 negara di dunia, termasuk YLKI sebagai anggota penuhnya.
Tema yang diusung pada HKKS 2014 adalah "Tegakkan Hak-hak Konsumen Seluler" (Fix
Our Phone Right). Tema ini menjadi sangat penting, mengingat pertumbuhan pengguna
seluler terus menanjak, baik di level internasional maupun nasional. Kini, jumlah penggunaseluler di seluruh dunia mencapai 6,8 miliar (2013). Padahal, pada 2010 jumlahnya hanya 5,4
miliar, dan 6 miliar pada 2011. Di Indonesia, pengguna seluler tumbuh pesat bak cendawan
di musim hujan. Hampir setiap orang Indonesia memiliki telepon seluler. Pantas jika jumlah
pengguna telepon seluler di Indonesia mencapai lebih dari 250 juta orang, lebih besar
daripada jumlah penduduk Indonesia (sekitar 230 juta orang).
Ironisnya, di samping maraknya penggunaan telepon seluler, pelanggaran hak-hak konsumen
pengguna seluler juga tak kalah masifnya. Menurut Bidang Pengaduan YLKI, selama lebih
dari lima tahun terakhir pengaduan telepon seluler menduduki peringkat tertinggi, yakni
seputar dugaan pencurian pulsa, tarif menyesatkan, pesan pendek promosi dan penipuan,
tagihan melonjak (billing shock), dan sinyal yang buruk.
Secara sistemik, potret permasalahan konsumen seluler di Indonesia saat ini adalah belum
adanya akses dan keandalan jaringan. Hal ini terjadi karena infrastruktur telekomunikasi
belum merata, hanya menumpuk di daerah tertentu (kota besar dan Pulau Jawa). Selain itu,
adanya kontrak standar tidak adil yang dibuat oleh operator, kemudian adanya tagihan tidak
masuk akal. Hal ini sering terjadi karena operator seluler jarang atau bahkan tidak pernah
mengedukasi konsumennya. Di samping itu, lemahnya perlindungan data pribadi milik
konsumen, plus kurang responsifnya operator terhadap pengaduan/keluhan konsumen oleh
operator seluler. Padahal, salah satu hak mendasar konsumen adalah hak untuk didengar
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
15/41
pendapat dan keluhannya (UU Perlindungan Konsumen).
Masifnya pelanggaran hak-hak konsumen seluler menunjukkan masih lemahnya pengawasan
operator seluler oleh regulator, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan
Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Kedua institusi itu nyaris tak berdayamenghadapi operator seluler.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
16/41
Tak Cukup Satu Jokowi
Selasa, 18 Maret 2014
Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan
Orang Indonesia punya tabiat unik: terlalu banyak berharap, termasuk kepada tokoh semacam
Joko Widodo. Gubernur DKI itu kini digadang-gadang menjadi Presiden RI, bukan hanya
oleh Megawati dan PDIP, tapi juga publik pengagum Jokowi (panggilan akrab Joko Widodo).
Betapa berat beban Jokowi, apalagi jika kelak ia benar-benar terpilih menjadi Presiden RI.
Seluruh harapan rakyat ditumpahkan kepada dia. Dan, biasanya rakyat hanya tahu beres.
Padahal, problem negara ini tumpang-tindih, silang-sengkarut, dan karut-marut, dari soal
korupsi, keadilan, lapangan kerja, pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dominasi modal asing,
pluralisme, sampai multikulturalisme.
Di mata rakyat, Jokowi cenderung dianggap memiliki kemampuan berlapis-lapis dan bisa
mengerjakan apa saja. Hal ini dalam terminologi budaya Jawa disebut hangabehi. Orang
macam ini biasanya dipanggil Den Bei. Dan, diam-diam rakyat telah berharap Jokowi bisa
menjadi Den Bei yang menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Horizon harapan yang
terlalu luas ini otomatis menjadi beban bagi Jokowi. Kita berharap Jokowi tidak menjadi
"korban" den-beisme.
Den-beisme telah tumbuh dalam masyarakat kita yang cenderung menggantungkan harapan
kepada pihak atau orang lain. Menunggu perubahan dari pihak atau orang lain telah menjadi
psikologisme publik. Psikologi rindu heroini tampak juga dalam beberapa kasus. Misalnya,
kalau ada atlet bagus, ia pun dituntut masyarakat untuk bisa menyanyi, menjadi bintang film,
bahkan menjadi pengkhotbah agama dan politikus. Syukur-syukur dia bisa menyelamatkan
Indonesia dari kehancuran.
Sekarang, gejala seperti itu juga masih terjadi, bahkan lebih "gila". Seorang pesohor-
penyanyi, presenter, pelawak, bintang sinetron-"dipaksa" menjadi politikus oleh para pemilik
perusahaan politik bernama partai politik. Atau, mereka pun sengaja memaksakan diri untuk
menjadi anggota badan legislatif, tanpa harus belajar politik. Yang penting mereka punya
uang, popularitas, dan penampilan keren. Kompetensi dianggap "tidak terlalu penting".
Runtuhnya hukum kompetensi dalam jagat politik nasional disebabkan oleh (salah satunya)
menguatnya kuasa uang, di mana parpol tak lebih dari lembaga usaha "mobil rental" untuk
menuju pusat kekuasaan. Efeknya sangat mengerikan: demokrasi gagal terwujud secara ideal
karena dijalankan tanpa prasyarat kompetensi, transparansi, kesetaraan, dan penegakan
hukum.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
17/41
Krisis kebudayaan (etika dan etos) dalam politik di Indonesia menyebabkan publik tidak lagi
sepenuhnya percaya kepada para penyelenggara. Dalam situasi buram itu, Jokowi muncul
secara fenomenal melalui kinerja yang penuh integritas, komitmen, kapabilitas, dan dedikasi.
Kultur blusukan, turun ke bawah, dan jemput bola salju masalah sangat melekat dalam
dirinya. Publik pun kagum. Padahal, seluruh kebijakan yang dilakukan Jokowi sangat biasadan memang menjadi kewajiban pejabat publik. Namun, karena ia hanya "sendirian bekerja"-
sementara yang lain memble atau bahkan nyolong-Jokowi menjadi tampak berkilau.
Kini, harapan seluruh pendamba perubahan dialamatkan kepada Jokowi. Kita mestinya
"kasihan" kepadanya. Persoalan Indonesia tak bisa diselesaikan hanya oleh satu orang
Jokowi. Dibutuhkan ribuan Jokowi dari lintas bidang dan kepakaran yang dapat bersinergi
dengan berbasis rasa saling percaya (berkomitmen). Ini semua penting untuk menciptakan
Indonesia yang lebih bermartabat.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
18/41
Mobil Kampanye Politik
Rabu, 19 Maret 2014
Flo. K. Sapto W., praktisi pemasaran
Jika sempat mengamati mobil dan pengemudi yang digunakan tim sukses atau kandidat
dalam berkampanye, terutama di daerah, akan ada beberapa hal menarik. Jika ditelisik lebih
jauh, akan cukup mudah mengenali kepemilikan mobil-mobil itu. Dalam soal mobil rental,
tidak banyak yang bisa diulas selain bahwa itu adalah murni bisnis. Sedangkan ihwal
kepemilikan mobil pengusaha, kiranya bisa ada beberapa penafsiran. Tentu kedekatan
pengusaha dengan politikus sudah menjadi semacam simbiosis mutualisme. Meski demikian,
hubungan semacam ini pun bagi pengusaha merupakan sebuah strategisurvival. Jika hanya
mendukung salah satu tim sukses dan kandidat, akan ada semacam "dosa masa lalu"
seandainya yang menang adalah kandidat lain. Dengan demikian, sangat masuk akal jika
fasilitas mobil dan pengemudi yang dimiliki diberikan kepada semua tim sukses dan
kandidat.
Tidak jarang bahkan fasilitas itu termasuk akomodasi. Akibatnya, sering kali rombongan tim
sukses kandidat tertentu bertemu dengan tim sukses dari kandidat lain di hotel atau restoran
yang sama. Sebuah kedewasaan berdemokrasi jika masing-masing dari mereka kemudian
saling sapa dan berjabat tangan. Namun, di balik itu, keberadaan mereka di hotel dan restorantertentu tersebut bisa ditarik benang merahnya. Fasilitas akomodasi itu tak lain merupakan
bagian dari servis dari pengusaha. Bagaimana sebaiknya relasi bisnis-politik ini dimaknai?
Bagi pengusaha, hal ini bisa diartikan sebagai bagian dari investasi. Kelak, siapa pun
pemenangnya, imbal jasa atas segala servis selama kampanye akan menjadi modal bagi
sejumlah kemudahan operasi bisnisnya. Minimal pengusaha itu tidak akan ditempatkan
dalam posisi yang berseberangan. Sedangkan bagi politikus, hal ini semestinya menjadi
sebuah kehati-hatian tersendiri. Ihwal pengusaha yang memberikan dukungan hanya kepada
salah satu tim sukses atau kandidat, mereka akan bisa dihargai sebagai bagian dari simpati
atau kesesuaian ideologi perjuangan. Tapi pengusaha yang memberikan dukungan kepada
hampir semua tim sukses dan kandidat justru bisa berpotensi memainkan kartu truf.
Speechless, sebuah film komedi romantik yang ditulis oleh Robert King dan dirilis pada akhir
1994, bisa dijadikan ilustrasi. Bintang dalam film ini, yaitu Michael Keaton (Kevin Vallick)
dan Geena Davis (Julia Mann), adalah penulis naskah pidato kampanye bagi kandidat dari
Partai Demokrat dan Republik. Setting-nya adalah pemilu di New Mexico. Pengusaha yang
tidak suka kepada salah satu kandidat bisa merekayasa sebuah pembocoran rahasia suap.
Sebagai akibatnya, kandidat yang terkena isu suap itu kemudian terpaksa menerima
kekalahan tidak terhormat. Pihak pemberi donasi bahkan bisa juga memperkarakan hal ini
kelak ketika kandidat sudah menjabat. Padahal belakangan diketahui bahwa pengusaha
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
19/41
terkait sebetulnya menyuap beberapa kandidat sekaligus. Sangat dimungkinkan,
ketidaksukaan pengusaha ini terkait dengan negosiasi pengembalian jasa dan pelayanan yang
telah diberikan selama berkampanye. Pada akhirnya, pengusaha yang trickyakan lebih
mendukung kandidat yang memberi peluang pengembalian (return of investment) paling
menguntungkan. Jika demikian halnya, siapa sebetulnya yang sedang berpolitik? *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
20/41
Melengkapi Jokowi
Rabu, 19 Maret 2014
M. Alfan Alfian, dosen pascasarjana ilmu politik Universitas Nasional, Jakarta
Jokowi sudah mendapat mandat dari Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden PDIP.
Terlepas dari pro-kontra, babak baru demokrasi elektoral 2014 dimulai. Megawati tengah
benar-benar memakai Jokowi sebagai kartu politik rasionalnya. Keyakinan efek Jokowi akan
melipatgandakan perolehan dukungan populer dalam pemilu legislatif tampak sekali
merupakan pertimbangan utamanya. Analisis ragam temuan lembaga-lembaga survei menjadi
rujukan yang tak terelakkan.
Tentu terdapat faktor tersembunyi yang publik luas tidak tahu persis sehingga Megawati
mendukung Jokowi. Tapi, yang jelas, Jokowi sudah disodorkan dan PDIP siap diuji dalam
pemilu. Lazim terjadi dalam kompetisi elektoral, bahkan apabila urusannya terkait dengan
perebutan kepemimpinan nasional ke depan, aneka pendapat atas Jokowi segera terlontar.
Dalam proses politik di level elite, Prabowo Subianto dan pihak Partai Gerindra tampak
sekali tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya, menyusul keputusan Megawati itu.
Perjanjian Batu Tulis diungkit lagi. Yang mengemuka adalah perbedaan tafsir. Kubu
Gerindra mengartikan PDIP ingkar janji. Kubu PDIP menafsirkan perjanjian tersebutotomatis gugur, menyusul kekalahan pasangan Megawati-Prabowo dalam Pilpres 2009. Di
sisi lain, karena dianggap melanggar etika dan "hukum", Jokowi digugat ke pengadilan. Ini
bagian dari dinamika.
Jokowi memang fenomena politik ajaib dalam dinamika dan konstelasi politik saat ini. Karier
politiknya melesat bak meteor, dari wali kota yang belum usai masa jabatan keduanya,
kemudian terpilih sebagai gubernur. Belum dua tahun pula jabatan barunya ini usai, sekarang
sudah jadi calon presiden. Terlepas dari moncernya peluang politik Jokowi, kritik
terhadapnya mudah dilayangkan, bahwa ia tidak lepas dari problem etis kepemimpinan.
Jawaban lazim yang sering mengemuka dari pendukung Jokowi biasanya dikaitkan dengan
prioritas kebutuhan pemimpin nasional.
Dalam politik, etika sangat subyektif. Lazim seorang politikus mengatakan bahwa dia bisa
memutuskan dan melakukan apa saja, termasuk apabila orang lain mempermasalahkannya
secara etis, asalkan tidak melanggar hukum formal. Dalam demokrasi prosedural, tentu saja
pemenuhan prosedur politiklah yang dipentingkan, sementara etika selalu dipandang
multitafsir. Publiklah yang pada akhirnya memberikan penilaian, betapapun tidak semua
lapisan paham persoalan-persoalan keetisan demokrasi.
Fenomena Jokowi memang segera jadi preseden bahwa, selama aturan mainnya tidak
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
21/41
mempersoalkan wali kota aktif dicalonkan sebagai gubernur, atau gubernur aktif dicalonkan
sebagai presiden oleh partai pengusung untuk dikompetisikan dalam perhelatan elektoral,
Jokowi tidak sendirian. Ini persoalan tersendiri. Bahwa kelak harus ada aturan agar pejabat
publik mengabdi kepada publik luas hingga akhir massa jabatannya. Paling tidak, ini
pekerjaan rumah ke depan.
Jokowi, secara perorangan, memang sangat populer belakangan ini sebagai capres. Ia
terlontar sekaligus pelontar. Ia memperoleh momentum naik tangga kekuasaan, di tengah
krisis model "kepemimpinan yang lain". Dengan posisinya sebagai ekstrem model
kepemimpinan yang berbeda dengan model Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi naik
daun. Ia mendekonstruksi kepemimpinan arus utama. Model blusukan, yang lazim saja
dilakukan siapa pun, di tangannya menjadi "sesuatu". Jokowi kini berada dalam posisi
ekstrem alternatif, dan itulah yang diyakini merevisi potensi golput.
Jokowi, dengan gayanya, cenderung masuk ke kategori--meminjam Herbert Feith--solidarity
maker. Ia tampil populis, dan seolah hanya dengan cara menyapa publik setiap saat, itulah
model kepemimpinan yang terbaik untuk saat ini. Itu tidak salah, tapi belum sepenuhnya
lengkap. Yang mendampinginya, sebagai calon wakil presiden, semestinya sosok dengan tipe
administrator atauproblem solver, yang memastikan sistem pemerintahan bekerja dengan
baik dan efektif. Kimia politik atau kecocokan perlu, selain pasangannya itu bijak, kaya
pengalaman, komunikatif, dan merupakan stabilisator hubungan eksekutif dengan lembaga
lain, terutama parlemen.
Kalau saja PDIP menang dalam pemilu kali ini, koalisi terbatas dengan yang lain, khususnyayang ber-"platform nasionalis" tetap diperlukan. PDIP membutuhkan kebersamaan. Karena
itu, pasangan Jokowi seyogianya memang yang mengakomodasi mitra koalisi terbesarnya.
PDIP mungkin bisa melengkapi pasangan Jokowi dengan kadernya sendiri atau yang non-
partai, tapi tampaknya pilihan demikian akan lebih pas dalam konteks capres inkumben.
Padahal PDIP sendiri selama ini berada di wilayah "oposisi". Dan seandainya memang masuk
ke pemerintahan, kebersamaan politik diperlukan, demi stabilitas dan efektivitas
pemerintahan.
Mungkinkah Jokowi menang? Kemungkinan kalah masih terbuka. Salah satu penentu
kekalahannya, tidak tertutup kemungkinan, adalah ketidaktepatan memilih pasangan.*
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
22/41
Ibadah Sosial
Rabu, 19 Maret 2014
Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial
INDONESIA, dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, seharusnya menjadi
sebuah negara yang nyaman dan tenteram, sekaligus terdepan. Watak agama (Islam), yang
memuliakan seluruh makhluk, selayaknya membuat penganutnya memiliki kepedulian
terhadap lingkungan sosial yang tinggi, sebagai perwujudan ibadah. Ibadah dimaksud bukan
hanya yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan), tapi juga ibadah yang
berdimensi sosial (hubungan manusia dengan manusia).
Ibadah yang terbaik pastilah yang punya dua dimensi sekaligus. Tidak hanya perwujudan
takwa kepada Tuhan, tapi sekaligus juga memiliki nilai-nilai kasih sayang terhadap sesama.
Misalnya, orang boleh saja 10 kali berhaji. Namun, tanpa kepedulian terhadap sekitarnya,
makna ibadahnya menjadi hambar. Selain itu, ibadah tidak perlu terjebak dalam materialisme
atau kebendaan.
Kualitas ibadah lebih ditentukan oleh hati yang terpancar melalui sikap dan perilakunya.
Sebab, tak jarang orang beribadah terjebak dalam riya'. Misalnya, kesalehan diri dimaknai
dengan busana yang melekat pada tubuh, ucapan-ucapan khas ke-Arab-araban, naik haji atauumrah berkali-kali, hingga membikin masjid besar-besar dan megah. Padahal, tiap kali masuk
waktu salat, masjid kosong-melompong. Akibatnya, masjid pun mengalami pergeseran
makna. Ia menjadi tempat untuk pernyataan identitas. Ditambah lagi, secara berkala, masjid
itu mengadakan tablig akbar dengan mengundang ustad selebritas, yang menguras uang tak
sedikit. Sedangkan tak jauh dari masjid, banyak anak putus sekolah, anak telantar, orang
miskin, yatim piatu, serta kaum duafa.
Kemajuan teknologi memang mendorong manusia terbawa ke arus pencitraan/gaya hidup.
Beribadah bukan lagi sebagai ruang komunikasi antara makhluk dan khaliknya. Ibadah bukan
lagi dimaknai sebagai hubungan antara seseorang dan Tuhan hingga orang lain tak perlu tahu.
Sebaliknya, ibadah justru dirayakan, bahkan diiklankan.
Televisi berperan besar pada pergeseran nilai-nilai spiritual semacam itu. Masyarakat
dibanjiri program-program yang menggerus eksistensi agama. Di televisi, dengan mudah
ditemukan hal-hal yang bersifat tiba-tiba. Tiba-tiba menjadi ustad, tiba-tiba menjadi dai, dan
tiba-tiba menjadi orang saleh. Televisi seperti punya standar sendiri dalam hal itu. Tokoh-
tokoh yang mereka kreasikan itu diberi ruang demi kepentingan industri televisi itu sendiri.
Acara berlabel agama, yang konon untuk memperbanyak orang melakukansyiar, dikemas
seolah-olah demi kepentingan umat. Maka, pendangkalan pun terjadi. Panutan umat, yang
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
23/41
semestinya terdidik akhlaknya sedari kanak-kanak, dicomot begitu saja oleh pemilik modal.
Ironisnya, umat dengan mudah digerakkan secara kolektif untuk menaruh hormat pada hasil
produk industri itu. Padahal produk itu belum tentu bisa memberi pencerahan.
Kita telah memasuki era konsumerisme, di mana penampilan luar lebih dikedepankandaripada nilai-nilai spiritual. Ibadah yang berbaur dengan gaya hidup, hasrat ingin tampil,
akhirnya yang menggerakkan banyak orang dalam beribadah. Orang beramal saleh karena
ingin mendapatkan pujian. "Aku" dengan sadar melakukan ibadah untuk konsumsi publik.
Kita makin terjauhkan dari ibadah yang berdimensi keilahian sekaligus kemanusiaan. Ibadah
kita yang berdimensi sosial makin rapuh. *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
24/41
Setelah Deklarasi Marunda
Kamis, 20 Maret 2014
Ridho Imawan Hanafi, Peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate
Pencapresan Jokowi oleh PDIP setidaknya memunculkan dua situasi yang berbeda dalam
perkembangan dinamika politik kepartaian menjelang pemilihan legislatif, yakni bagi PDIP
dan partai lain. Yang pertama, bagi PDIP, pencapresan Jokowi telah menerbitkan optimisme
mengenai masa depan partai berlambang banteng moncong putih itu. Semangat ganda
muncul dan menjadi daya dorong bagi kader dan simpatisan mereka dalam memenangi
kompetisi elektoral, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden mendatang.
Nama Jokowi kini menjadi semacam garansi kemenangan. Berbagai potret sigi yang dirilis
banyak lembaga survei berkompeten memperlihatkan penunjuk jalan akan perolehan suara
PDIP jika Jokowi dicapreskan sebelum pemilihan legislatif digelar. Pencapresan Jokowi
diprediksi bisa mendongkrak perolehan suara PDIP. Karena itu, wajar jika nanti dalam PDIP
terhampar harapan tidak saja dapat memenuhipresidential thresholdsebesar 20 persen, tapi
juga melebihi target yang dicanangkan: 27,02 persen.
Target tersebut bukan tidak mungkin akan tercapai. Hal-hal berikut bisa membantu
menjelaskan kemungkinan tersebut. Internal PDIP terlihat solid dalam mengusung Jokowisebagai capres. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, seorang yang memiliki peran
sentral dalam langkah politik partai, menggenggam penuh keputusan politiknya untuk
mengusung Jokowi. Semua elemen partai juga satu suara, berada di belakang Megawati
untuk mengamankan Jokowi.
Soliditas seperti itu tentu memudahkan partai. Artinya, PDIP tidak dihadapkan pada sebuah
ruang spekulasi, seperti yang terlihat pada sebagian partai lain. PDIP memiliki elektabilitas
yang tinggi, dan peluang menang di pemilihan legislatif juga besar. Selain itu, calon presiden
PDIP berpeluang menjadi pemenang. Di sebagian partai, tampak antara partai dan capresnya
belum kongruen peluangnya seperti yang terlihat pada PDIP. Dengan kata lain, elektabilitas
partainya tinggi, sedangkan capresnya belum, atau sebaliknya.
Dengan adanya soliditas internal dan ditambah momentum peluang tersebut akan menjadi
modal politik yang penting bagi para kader PDIP dari pusat sampai daerah yang sedang
berusaha menjadi calon anggota legislatif. Sambil itu, mereka dapat memupuk keyakinan
politik bahwa dengan menang pemilihan legislatif, Jokowi akan bisa meraih kursi presiden.
Bagi PDIP, inilah momentum untuk kembali memerintah setelah satu dasawarsa memilih
untuk berada di luar pemerintahan.
Yang kedua, situasi menguntungkan yang dipetik PDIP tersebut berbeda halnya dengan partai
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
25/41
lain. Pencapresan Jokowi kini bisa dikatakan memunculkan perasaan "harap-cemas" bagi
partai di luar PDIP. Prospek elektoral Jokowi yang dinilai bisa melambungkan perolehan
suara PDIP membuat mawas partai lain mengenai nasib perolehan suara mereka. Karena hasil
riset survei di antaranya juga memperlihatkan bahwa pencapresan Jokowi turut menyedot
suara partai untuk kemudian teralihkan ke PDIP.
Kondisi tersebut mau tidak mau akan memaksa partai-partai untuk meninjau ulang strategi
politiknya. Di hadapan mereka kini terdapat kandidat presiden lawan yang kekuatannya
belum bisa terbendung oleh kandidat-kandidat lain. Sementara sebelumnya masih terdapat
ketidakpastian apakah PDIP akan mencapreskan Jokowi atau tidak, setelah deklarasi
Marunda terikrar, kini hal itu terang-benderang. Dalam artian, peta politik yang sebelumnya
sedikit samar, sekarang sudah tergambar dengan jelas.
Sedangkan untuk agenda pemilihan presiden, masing-masing partai yang saat ini sebagian
sudah memiliki calon presiden tidak bisa bersikap terlalu kaku untuk mempertahankan
pendirian pengusungan calonnya. Mereka dapat memilih melakukan koalisi agar bisa
mengimbangi persaingan dengan Jokowi. Koalisi seperti itu mensyaratkan pasangan capres
dan cawapres dengan performa yang bisa mendekati elektabilitas Jokowi. Jika tidak
memenuhi syarat itu, harapan untuk bisa bersaing sulit dicapai.
Pilihan lainnya, bagi partai yang belum memiliki capres unggulan, yang bisa mereka lakukan
adalah bersaing untuk memperebutkan cawapresnya Jokowi. Cawapres PDIP adalah posisi
yang saat ini menjadi incaran mengingat posisi tersebut menjanjikan kekuasaan.
Dalam dua cermatan tersebut, khusus bagi PDIP, sikap optimisme boleh saja ditaburkan
dalam masa kampanye. Para calon anggota legislatif mereka juga bisa memanfaatkan modal
positif di atas. Hanya, sikap optimisme tidak serta-merta ditingkatkan levelnya sehingga
menjadi surplus optimisme. Karena surplus optimisme bisa menawarkan jebakan yang
membuat mereka hanya memanfaatkan momentum partai yang positif dan popularitas Jokowi
semata tanpa mengimbanginya dengan kerja optimal.
Selain itu, PDIP perlu bersiap dengan sorotan-sorotan yang muaranya mendegradasi partai
dan Jokowi. Karena besar kemungkinannya akan muncul beragam upaya dari pihak-pihak
yang berada dalam posisi berseberangan dengan PDIP dan Jokowi menginginkan dukungan
suara pada Jokowi tergerus. Namun, sebagai partai yang tampaknya bersiap diri untuk
menang, saya kira PDIP sudah menyiapkan langkah antisipasinya. *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
26/41
Akar Kepemimpinan
Kamis, 20 Maret 2014
Munawir Aziz, peneliti dan penulis buku
Isu kepemimpinan menjadi bagian penting dalam ritme pemilihan umum. Orang-orang di
negeri tengah demam pemimpin. Demam ini tampak di televisi, koran, majalah, hingga
warung-warung kopi. Dari Jakarta hingga ke pelosok-pelosok desa. Wajah calon pemimpin
memaksa mata untuk melotot atau sekadar melirik mereka. Hasilnya? Pelbagai karakter
kepemimpinan tampak tersebar, siap disajikan, dan dikonsumsi publik. Tentu saja, laiknya
masakan yang dihidangkan: ada yang ditelan, ada yang dimuntahkan. Inilah gambaran
pertarungan politik menjelang pemilihan umum legislatif maupun presiden.
Dari peta pertarungan politik-survei lembaga, catatan media, atau indeks media sosial-yang
tampak menonjol adalah sosok Jokowi. Sosok ini sudah ditetapkan sebagai calon presiden
dari PDIP, setelah mendapat mandat tertulis dari sang ratu: Megawati Soekarnoputri.
Pembacaan dari pelbagai sisi menjadi menarik untuk menafsirkan Jokowi.
Apa yang menjadikan Jokowi tampil sebagai figur yang kuat dalam kepemimpinan? Tentu
saja,settingpolitik, strategi media, dan kampanye simpatik yang dilakukan Jokowi selama ini
menjadi instrumen utama. Tapi, akar kepemimpinan menjadi penting di tengah pertarungandengan tokoh-tokoh lainnya.
Jokowi memahami benar konteks dan teks. Ia mampu membahasakan teks dengan bersandar
pada konteks. Ketika di Solo, ia menggunakan strategi priayi Jawa yang menebar kharisma.
Hubungan dengan Keraton Solo dijaga rapi, lalu menyiapkan akar kekuasaan dan komunikasi
terbuka dengan masyarakatnya. Kemudian, ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia tampil
sebagai figur yang terbuka, dengan segala strategi komunikasi dan blusukanpolitiknya. Inilah
yang menandai akar kepemimpinan Jokowi.
Jokowi mampu mentransformasikan nilai, akar kepemimpinan, dan lobi-lobi kekuasaan yang
menjadi bagian dari strategi sang pemimpin. Ia mampu berbicara dengan bahasa petani,
bahasa pedagang, bahasa wong cilik, sekaligus mengikuti logika bahasa politis, bahasa
cukong, bahasa wartawan luar negeri, hingga diplomat internasional. Strategi komunikasi
inilah yang tidak dimiliki oleh calon-calon presiden yang lain: kuatnya akar kepemimpinan.
Dengan penggunaan bahasa yang tepat sasaran inilah Jokowi mampu menciptakan kondisi
bahwa dirinya adalah berita. Gaya kepemimpinan, formulasi bahasa, dan visi kebijakan inilah
yang mendorongnya tampil sebagai petarung yang menguasai medan, tanpa lupa menyapa
lawan.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
27/41
Jangan lupa, hadirnya Jokowi di panggung-panggung politik juga menggunakan simbolisasi
pemimpin. Ketika di Solo, Jokowi menghadirkan dirinya sebagai Joko Tingkir, sang
penguasa kerajaan Pajang. Simbolisasi ini penting untuk menguatkan akar kepemimpinan.
Saat ini, simbol Jenderal Soedirman-sang pahlawan revolusi-menjadi strategi untuk
menguatkan akar kepemimpinan Jokowi. Simbolisasi pemimpin menjadi energi yangdigerakkan untuk menguatkan visi dan mengeksekusi misi.
Di ronde awal pertarungan, Jokowi sudah memiliki amunisi kuat dan energi segar: ia
memiliki akar kepemimpinan kuat. Inilah yang tidak dimiliki oleh petarung-petarung lain di
tengah ambruknya makna politik pencitraan yang menjadi strategi penguasa dalam satu
dekade terakhir. *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
28/41
Topeng Indonesia Raya
Kamis, 20 Maret 2014
AGUS DERMAWAN T., PENGAMAT BUDAYA DAN SENI
"Begitu memasuki tahun politik, Indonesia langsung menjadi negeri topeng." Kalimat ini
banyak kali diucapkan oleh mereka yang tahu watak politik di Indonesia, atau watak orang
Indonesia yang bermain politik. "Banyak politikus yang tiba-tiba bermanis-manis muka
dengan rakyat. Padahal tadinya selalu mengerut dan kecut. Banyak bandit tiba-tiba jadi
malaikat pemberi harapan. Namun begitu proyek politik sampai tujuan, mulutnya melahap
segala yang ada di hadapan.
Rumus sosial menulis, krisis moral selalu ditandai dengan banyaknya orang yang memasang
muka palsu. Dan astaga, Indonesia ternyata adalah tempatnya! Celakanya, kemeriahan
karnaval topeng politik-sosial ini menenggelamkan mitos Indonesia sebagai negeri penghasil
topeng yang andal dalam aspek visual, serta fasih dalam memformulasi fungsi dan
falsafahnya. Juga memangkas pemahaman bahwa sungguh pada mulanya topeng adalah
presentasi dari wajah dan karakter yang baik-baik belaka. Lalu, tengoklah kenyataan ini.
Di Kalimantan ada topeng yang menstilisasi wajah leluhur, untuk difungsikan sebagai ikon
upacara adat mengayau dalam suku Dayak. Di Jawa Tengah dicipta topeng yangmenggambarkan makhluk-makhluk dongeng dan mitologi, yang mewujudkan wajah para
dewa sampai Panji Semirang sang lelaki pujaan. Di Batak Simalungun, Sumatera Utara, ada
topeng kubur yang diciptakan khusus untuk tarian tortor toping-toping atau tortor huda-huda.
Tari seremoni kematian bagi mereka berkedudukan dan sudah menjalanisayur matuah,
kehidupan yang sempurna.
Di Bali ada topeng yang berbentuk barong ket, barong lembu yang memiliki taksu atau
pasupati, sehingga topeng-topeng ini sanggup mengusung kekuatan gaib, dan mampu
menjaga keamanan desa. Di Pulau Dewata ini juga dikenal topeng pajegan, atau topeng yang
dipakai menari secara sendirian (majeg), sambil kerasukan. Di tengah ekstasi, si topeng
sering bergumam seperti whistle blower: membongkar aneka cara kebusukan teman dan
lawan.
Sekali lagi, konotasi topeng Indonesia yang manis, lurus, bersih, dan apik, rontok ketika
Indonesia memasuki tahun politik! Ada yang menduga rontoknya konotasi ini lantaran
dibawa kodrat etimologi kata itu sendiri. Kata "topeng", menurutEnsiklopedi Nasional
Indonesia(2004) berawal dari kata tup yang artinya "tutup" dan eng, imbuhan yang muncul
karena gejala pembentukan bahasa. Namun orang Jawa menyebutkan topeng bermula dari
kata tupdan kata aeng(aneh, ganjil, salah). Maka topeng adalah benda untuk menutupisegala sesuatu yang salah, yang ganjil, atau yang aeng-aeng.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
29/41
Karena itu, di Indonesia sang topeng lantas sering kali berkonotasi negatif dan memilukan.
Kita pun ingat ungkapan, "koruptor bertopeng Wibisana", yang artinya, koruptor itu
bertatakrama, religius, seperti tokoh wayang Wibisana yang cakap parasnya. Ini semacam
penegasan dari apa yang dituturkan penyair Inggris, Lord Byron (1788-1824): "Topengmemang disalahgunakan. Engkau tahu, kebenaran sering dipakai sebagai topeng untuk
melakukan kebohongan!"
Hal inilah yang menyebabkan seniman perajin topeng seluruh Indonesia ragu bekerja, sambil
menghirup angin politik yang ngeri-ngeri sedap aromanya. Atau sekalian mencipta topeng-
topeng antagonis yang menggambarkan orang licik, bengis, sengit, penipu, serakah, pengecut,
pengobral janji. *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
30/41
Cuti Kampanye?
Arya Budi,Peneliti Pol-Tracking Institute
Mafhum disadari publik bahwa Maret 2014 adalah bulan politik menuju pemilu legislatif 9
April 2014. Tanda yang paling nyata adalah cuti kerja pejabat publik dari level pusat hingga
daerah. Secara spesifik, hal ini terkait dengan akan dimulainya kampanye rapat umum pada
16 Maret mendatang, sehingga beberapa pejabat publik-kader partai, baik di legislatif
maupun eksekutif (pusat dan daerah), terlihat "beramai-ramai" mengajukan cuti untuk
keperluan kampanye.
Pejabat publik yang melakukan cuti kampanye berada paling tidak dalam empat kategori: (1)
kabinet pemerintahan meliputi presiden/wapres dan menteri; (2) kepala daerah, baik tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota; dan (3) anggota DPR. Namun semua pejabat publik terkait
pada dasarnya masuk satu kategori politik: kader partai.
Artinya, jika komposisi kabinet adalah 19 menteri partai dari 34 menteri, akan terjadi
kekosongan pemerintahan lebih dari 50 persen, termasuk presiden jika melakukan cuti
kampanye sepanjang kampanye rapat terbuka beberapa hari ke depan. Meskipun mereka yang
mengajukan cuti dari kabinet SBY-Boediono akan lebih banyak dari partai, ada beberapa
menteri, seperti Dahlan Iskhan, yang juga berpotensi cuti kampanye untuk Demokrat.
Dengan kata lain, Indonesia dalam beberapa hari ke depan hingga 9 April nyaris berada pada
kondisi auto-pilot state. Yaitu, kondisi negara di mana birokrasi bekerja dengan nalarnya
sendiri secara prosedural dan reguler tanpa komando akselerasi. Indonesia sebagai sebuah
negara akan tetap berjalan, tapi sekadar "melayang di angkasa". Konsekuensi atas loyalitas
ganda-pemerintah dan kader partai-para pejabat publik ini fatal: diskonektivitas kratos
(pemerintah) dan demos(rakyat). Sebagai misal, survei opini publik Pol-Tracking Institute
pada Oktober 2013 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen publik tidak mengetahui kinerjamenteri.
Selain menteri dan problem pemerintahan pusat, hampir semua kepala daerah-dalam hitungan
ratusan dari 524 bupati/wali kota dan gubernur-yang berangkat sebagai kader partai, akan
"membiarkan" rakyat di daerahnya, karena kebutuhan partai menjadi jurkamda (daerah)
untuk mengamankan dan mengembangkan basis pemilih. Dalam kasus tertentu, beberapa
kepala daerah yang sudah berputar di perbincangan nasional akan menjadi jurkamnas partai,
seperti Gubernur DKI Joko Widodo.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
31/41
Sedangkan anggota Dewan yang "cuti kampanye", mereka akan lebih banyak melakukan hal
itu untuk dirinya sendiri sebagai caleg inkumben. Paling tidak, ada 507 dari 560 caleg yang
kembali terjun ke daerah sebagai juru kampanye dirinya dan partainya. Hal ini belum
termasuk ribuan caleg inkumben DPRD. Alhasil, daftar absensi dan kursi kosong di ruang
sidang telah menjadi rahasia umum.
Akhirnya, dengan analisis atas tiga kategori pejabat publik "berkepentingan partai" ini, dalam
beberapa hari ke depan, secara hampir bersamaan, Indonesia akan mengalami semacam
vacuum of powerdari level pusat hingga daerah sepanjang kampanye rapat umum dimulai
sejak 16 Maret 2014.
Cuti kampanye, apalagi mengambil jam kerja, oleh pejabat publik menyisakan problem
representasi karena pejabat publik yang naik melalui jalur pemilu-bukan diangkat ataupun
ditunjuk seperti menteri-dipilih publik secara langsung, seperti presiden dan wakil presiden,
kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota), dan anggota Dewan.
Secara teoretik dalam nalar representasi, meminjam istilah Dickerson dan Flanagan (1990),
pejabat publik, terutama anggota Dewan, berada pada irisan representasi publik (delegate),
representasi partai (mandate), dan representasi atas dirinya sendiri (trustee). Artinya, jika
dikaitkan dengan pemilu legislatif April 2014, pejabat publik di kursi eksekutif
(presiden/wapres dan kepala daerah) serta pejabat publik di kursi legislatif hanya akan berada
pada representasi mandatekarena cuti kampanye adalah sebuah "tugas kepartaian" walaupun
dalam beberapa kasus memberi insentif elektoral secara individual.
Artinya, dalam konteks cuti kampanye, para pejabat publik, baik eksekutif maupun legislatif,
benar-benar meninggalkan representasi delegatesebagai sebuah representasi wajib karena
suara pejabat publik, terutama eksekutif, benar-benar berasal dari publik. Bagi pejabat publik
di kursi eksekutif, maka dia masuk pada kepentingan representasi partai karena pemilu
legislatif tidak berkonsekuensi langsung terhadap dirinya. Sementara pejabat publik di
legislatif lebih banyak masuk pada kepentingan representasi dirinya sendiri.
Selain problem representasi, walaupun tidak bisa disebut sebagai abuse of powerakibat
kerentanan pejabat publik menggunakan dana negara, pejabat publik yang melakukan cuti
kampanye, mau tidak mau, menggunakan anggaran negara karena jasa pengawalan, rumahdinas, mobil, dan beberapa fasilitas negara yang terus melekat kepadanya, hampir sulit
dilepaskan sepanjang cuti kampanye.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
32/41
Jokowi, Mengapa Monorel?
Jum'at, 21 Maret 2014
Herry Gunawan, Pendiri Plasadana.com
Setelah terlunta selama dua tahun, akhirnya bulan lalu India meresmikan layanan monorel
pertamanya. Kehadiran alat transportasi masyarakat urban itu akan membawa negara
berpenduduk 1,2 miliar-terbesar kedua di dunia-ini menuju era baru jasa transportasi kelas
dunia.
Bagi warga India, mungkin juga masyarakat di kota padat seperti Jakarta, monorel
merupakan moda transportasi harapan. Selama ini, dengan kondisi kemacetan, bus yang sesak
dan tak nyaman membuat kehadiran monorel semacam udara segar-janji perjalanan cepat dan
nyaman di kota yang sibuk.
Tentu jangan bayangkan kecepatannya bisa seperti Formula 1. Cukup 60 kilometer per jam
dengan tujuh stasiun perhentian. Namun perputarannya tetap bisa mengangkut warga dengan
kuantitas bejibun. Bahkan di Jakarta, dengan kecepatan seperti itu, mungkin hanya pembalap
motor jalanan yang mampu menandinginya. Itu pun kalau tidak hujan.
Karena itulah, sebentar lagi Jakarta pun akan punya monorel. Terlepas belakangan ini banyaknada sumbang dari para buzzeryang ingin proyek triliunan itu dibatalkan. Tekad Gubernur
DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi, yang kini jadi calon presiden terkuat, itu sudah bulat.
Jakarta sebagai kota yang alat transportasinya "semrawut" menjadikan monorel sebagai salah
satu solusi penting.
Hasil riset The Monorail Project di Amerika, sebuah lembaga nirlaba yang memberikan
edukasi tentang transportasi, mengungkapkan bahwa dari dua miliar penumpang yang masuk
ke monorel di dunia, tidak ada satu pun kecelakaan. Aman. Beda jauh dengan Metro Mini.
Dari sisi biaya pun terbilang efektif. Warga tak perlu ditakut-takuti dengan ongkos puluhan
ribu sekali jalan. Di mana-mana, tak akan lebih dari satu dolar. Tak jauh beda dengan feeder
busway.
Apakah ongkos yang sekitar Rp 11 ribuan itu mahal? Kalau menggunakan data survei biaya
hidup harian Badan Pusat Statistik, ya, tentu tidak. Hasil survei 2012 itu menyebutkan,
komponen biaya transportasi, jasa keuangan, dan komunikasi warga Jakarta sebesar 19,15
persen dari Rp 7.500.726 atau sekitar Rp 1,4 juta. Sudah pasti, dari angka ini biaya
terbesarnya adalah transportasi.
Lalu, bagi kota dan warganya dalam jangka panjang apa pentingnya? Yang pasti, monorel
adalah moda transportasi cepat. Di tengah kota yang padat, macet, dan sibuk, plus
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
33/41
keterbatasan lahan, moda yang diusung Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI
Jakarta-bukan calon presiden-ini menjadi pilihan cermat.
Alat transportasi seperti monorel akan sangat membantu pertumbuhan ekonomi. Ada
beberapa hal yang diharapkan bisa menjadi kontribusinya. Moda ini akan mempengaruhi efekjejaring karena menghubungkan banyak lokasi dengan mudah. Kantor, pusat bisnis, dan
lainnya. Hal ini, secara eksponensial, berpotensi meningkatkan nilai efektivitas transportasi
yang selama ini menjadi hambatan.
Pergerakan manusia di kota yang padat sekalipun, dengan moda transportasi yang jalan cepat
di atas kepala kita itu, akan menurunkan biaya dan waktu yang selama ini terbuang saat raga
harus berpindah lokasi. Tentu tak kalah penting, nikmatnya menyaksikan kemacetan
kendaraan pribadi dari atas monorel. Jokowi, segeralah! Jangan terlelap, walaupun ayam
sedang berkokok. *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
34/41
Githok
Jum'at, 21 Maret 2014
Tulus Wijanarko, @TulusWijanarko
Githok, ini dari bahasa Jawa, adalah sebutan untuk bagian belakang leher kita. Karena
posisinya demikian, tak mungkin setiap orang mampu melihatgithok-nya sendiri-juga
kotoran atau daki yang menempel di sana.
Dalam kultur Jawa,githokdipakai untuk mengungkapkan perilaku orang yang berlagak
selalu benar nan suci. Seraya tak sudi melihat kekurangan diri, orang ini gemar menyalahkan
pihak lain. "Uwong kok ora iso ngilo githoke dewe (Orang kok tak mau berkaca pada
githok/kekurangannya sendiri)," demikian ungkapan yang kerap terlontar untuk pemilik sifat
tak elok itu.
Kazanah pewayangan menyediakan stok banyak untuk menggambarkan karakter macam itu.
Selain oleh tokoh antagonis, sifat ini kadang diidap para protagonis. Para kesatria kerap
terpeleset untuk berlaku merasa benar sendiri.
Lakon Ekalaya Palastra, misalnya, menggambarkan Raden Arjuna yang tak bisa menerima
kenyataan ada kesatria lain (Ekalaya) yang lebih unggul dalam ilmu memanah! Arjuna gagalmemahami bahwa ia kalah karena kuranggentur(spartan) berlatih. Ia juga menuding Resi
Durna, guru memanahnya, telah berkhianat mengajar kesatria lain. Saat itulah Arjuna berlaku
tidak bisa menengokgithok-nya sendiri.
Saya kerap teringat lakon itu setiap memergoki kelakuan orang yang menolak bermawas diri.
Hari-hari ini saya melihatnya pada para petinggi partai politik yang rajin mengecam dan
mengancam para penganut golongan putih (golput). Mereka memandang warga yang tidak
menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum itu bagai pengidap sampar yang mesti
dienyahkan saja.
Mereka tak sudi menyadari bahwa kebobrokan partai politiklah yang menjadi sumber
penolakan para penghayat. Bagaimana mau percaya kepada partai politik kalau banyak kader
berlaku lancung nyolongduit rakyat? Faktanya, penjara di kantor KPK saat ini disesaki
rombongan para politikus beragam partai.
Serenceng kebobrokan kader partai kian terpampang jelas dari polah mereka di DPR.
Panggung parlemen tak ubahnya etalase dari kelakuan memuakkan para politikus. Lihat, gaji
anggota parlemen Indonesia adalah yang terbesar keempat di dunia, tapi prestasi mereka
sangat menyedihkan. Pendapatan yang lebih dari Rp 1 miliar setahun itu nyatanya tak
diimbangi dengan hasil kerja yang dahsyat.
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
35/41
Sebaliknya, hal-hal berikut inilah yang lebih diingat rakyat. Anggota parlemen adalah mereka
yang suka pelesir bertopeng studi banding. Mereka yang malas datang ke ruang sidang, dan
jika hadir sering terlihat tidur lelap. Dan, adalah mereka yang tak becus menuntaskan
pembahasan undang-undang sesuai dengan target. Pada 2013, mereka hanya mampumembahas tujuh undang-undang, dari 70 yang dicanangkan.
Tumpukan daki padagithokpartai politik itulah yang tak mau diakui para petinggi partai
politik. Dan, asal tahu saja, 90 persen anggota parlemen tersebut kini maju lagi dalam
pemilihan legislatif. Sungguh, ora iso ngilo githoke dewe! Itulah alasan utama maraknya
golput.
Dalam lakon pewayangan di atas, tokoh Ekalaya memotong ibu jarinya sendiri memenuhi
perintah Resi Durna menunjukkan baktinya sebagai kesatria. Dalam dunia nyata, para
"golputer"-lah yang memotong kepercayaannya terhadap partai politik karena berbagai
kebusukan yang ada di dalamnya! *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
36/41
Dampak Inovasi pada Pertumbuhan
Sabtu, 22 Maret 2014
Joseph E. Stiglitz, Peraih Hadiah Nobel Ekonomi
Di seantero dunia, ada antusiasme yang kuat pada jenis inovasi teknologi yang dilambangkan
Silicon Valley. Dalam pandangan banyak orang, inovasi teknologi Amerika ini
mencerminkan keunggulan komparatif sebenarnya negara itu yang berusaha ditiru negara-
negara lain. Namun ada teka-teki yang sulit dijawab: sulit mendeteksi manfaat yang
dibawakan inovasi ini dalam statistik Produk Domestik Bruto (PDB).
Apa yang terjadi saat ini analog dengan perkembangan yang terjadi beberapa dekade lalu,
pada awal era komputer pribadi. Pada 1987, ekonom Robert Solow, yang dianugerahi Hadiah
Nobel atas karya ilmiahnya mengenai pertumbuhan, mengeluh bahwa, "Anda bisa melihat era
komputer ini di mana-mana, tapi tidak dalam statistik produktivitas." Ada beberapa
penjelasan yang mungkin dapat dikemukakan mengenai hal ini.
Mungkin PDB tidak benar-benar menangkap adanya peningkatan dalam taraf hidup yang
dibawakan inovasi era komputer. Atau mungkin inovasi itu tidak begitu signifikan seperti
yang diyakini mereka yang antusias mengelu-elukannya. Ternyata, sedikit-banyaknya ada
kebenaran pada kedua perspektif ini.
Ingat bagaimana beberapa tahun yang lalu, sesaat sebelum ambruknya Lehman Brothers,
sektor finansial yang membanggakan inovasi yang mereka bawakan. Mengingat lembaga-
lembaga keuangan telah menarik minat tenaga-tenaga terbaik dan tercemerlang dari seantero
dunia, orang pasti mengharap banyak. Tapi, setelah dicermati lebih dekat, ternyata sebagian
besar dari inovasi yang mereka bawakan tidak lebih daripada merancang cara-cara yang lebih
baik untuk menipu, memanipulasi pasar tanpa tertangkap (setidak-tidaknya sekian lama), dan
mengeksploitasi kekuatan pasar.
Pada periode ini, ketika banyak sumber daya mengalir ke sektor "inovasi" ini, pertumbuhan
PDB merosot lebih tajam daripada sebelumnya. Bahkan, di saat-saat terbaik, ia tidak
berujung pada peningkatan taraf hidup (kecuali bagi para bankir), dan ia pada akhirnya
berujung pada krisis yang baru sekarang kita melepaskan diri dari lilitannya. Kontribusi
sosial neto semua "inovasi" ini negatif.
Begitu juga gelembung dot-com yang mendahului periode ini ditandai oleh inovasi--situs-
situs web yang memungkinkan orang bisa memesan makanan dan minuman online. Paling
tidak era ini mewariskansearch enginesyang efisien dan infrastruktur optik serat.
Dua hal jelas adanya. Pertama, profitabilitas dari suatu inovasi mungkin bukan ukuran yang
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
37/41
bagus untuk menilai kontribusi netonya pada taraf hidup kita. Dalam ekonomi di mana
pemenang memperoleh segala-galanya, seorang inovator yang mengembangkan situs web
yang lebih baik dalam penjualan makanan, hewan piaraan, termasuk deliverylangsung ke
tempat pemesan, mungkin menarik setiap orang di dunia yang menggunakan Internet untuk
memesan makanan demikian. Sang inovator, dengan begitu, bisa meraup laba yang cukupbesar. Tapi, tanpa layanan deliveryitu, sebagian dari laba itu bakal jatuh ke tangan orang lain.
Kontribusi neto situs web ini pada pertumbuhan ekonomi sebenarnya relatif kecil.
Lagi pula, jika inovasi, seperti ATM dalam perbankan, berujung pada meningkatnya PHK,
tidak satu pun dari ongkos sosial--tidak juga penderitaan mereka yang di-PHK atau
meningkatnya biaya fiskal untuk membayar pesangon mereka yang di-PHK--tecermin dalam
profitabilitas perusahaan.
Begitu juga metrik PDB kita tidak mencerminkan ongkos meningkatnya ketidakamanan yang
mungkin dirasakan individu-individu dengan meningkatnya risiko kehilangan pekerjaan.
Tidak kurang pentingnya, ia sering tidak mencerminkan dengan akurat peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang dibawakan inovasi.
Bagaimanapun, kita tidak bisa menghindari kegelisahan bahwa, pada akhirnya, kontribusi
inovasi akhir-akhir ini pada pertumbuhan taraf hidup mungkin jauh lebih rendah daripada
yang diklaim mereka yang antusias itu. Banyak upaya intelektual telah dicurahkan untuk
merancang cara-cara yang lebih baik untuk memaksimalkan anggaran iklan dan pemasaran--
dengan target konsumen terutama mereka yang berada, yang mungkin membeli produksi
bersangkutan. Tapi taraf hidup mungkin meningkat lebih tinggi jika semua bakat yanginovatif itu dialokasikan pada penelitian yang lebih mendasar, atau bahkan pada penelitian
terapan yang bisa menghasilkan produk-produk baru.
Ya, adanya hubungan satu sama lain dengan lebih baik melalui Facebook atau Twitter sangat
berharga. Tapi bagaimana bisa kita membandingkan inovasi-inovasi ini dengan inovasi-
inovasi seperti laser, transistor, mesin Turing, dan pemetaan genom manusia, yang masing-
masing telah menyebabkan banjir produk-produk transformatif?
Sudah tentu ada alasan untuk merasa lega. Walaupun kita tidak tahu seberapa besar inovasi-
inovasi akhir-akhir ini memberikan kontribusi pada kesejahteraan kita, setidak-tidaknya kita
tahu bahwa tidak seperti gelombang inovasi finansial yang menandai ekonomi global pra-
krisis, efeknya positif. *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
38/41
Jalan Terjal Pasar Klithikan
Sabtu, 22 Maret 2014
Arif Novianto, Peneliti Politik di Bulaksumur Empat, Yogyakarta
Sejak dibukanya keran liberalisasi ekonomi (termasuk pasar retail) di Indonesia pada 1997-an
sampai sekarang, gempuran pasar retail modern (hipermarket, supermarket, dan minimarket)
ke Indonesia telah mendapatkan titik temunya. Akibatnya, tak dapat dimungkiri, kehadiran
pasar retail modern ini secara telak telah mengeksklusi (menyingkirkan) pasar-pasar rakyat
atau sering disebut sebagai pasar tradisional.
Namun, berdasarkan hasil penelitian yang pernah saya lakukan di pasar tradisional Klithikan
Pakuncen, Yogyakarta, tidak semua pasar tradisional harus tereksklusi dengan bombardir
kehadiran pasar retail modern ini. Masih adanya eksistensi pasar tradisional di tengah
persaingan yang tidak seimbang dengan pasar modern ini terjadi lantaran tiga hal utama.
Pertama, barang-barang komoditas yang dijual tak sama dan memiliki ciri khas tertentu.
Pasar Klithikan memang terkenal karena barang yang dijualnya dapat dikatakan khas, yaitu
barang-barang kuno atau antik, barang-barang second, ataupun barang-barang bajakan (KW)
dengan harga miring. Hal tersebut membuat tempat ini dapat tetap bertahan karena
komoditas tersebut tak diperdagangkan di pasar retail modern.
Kedua, modernisasi pengelolaan pasar. Sebelum direlokasi ke Pasar Klithikan Pakuncen, para
pedagang di Pasar Klithikan adalah para PKL di sekitar trotoar Jalan Mangkubumi, Jalan
Asemgede, dan Alun-alun Kidul Keraton Yogyakarta. Relokasi ini merupakan inisiatif
Pemerintah Kota Yogyakarta, agar aktivitas perdagangan di trotoar tersebut tidak membuat
kemacetan. Juga agar para pedagang dapat berjualan di tempat yang lebih bersih, teratur,
dan nyaman dengan pengelolaan secara modern. Alhasil, pengelolaan yang modern ini
membuat Pasar Klithikan menjadi salah satu dari ikon Kota Yogyakarta.
Ketiga, mekanisme transaksi yang berbeda. Bila kita melakukan transaksi jual-beli di pasar
modern, kita hanya disuguhi barang dengan harga yang sudah ditentukan. Artinya tidak ada
proses interaksi sosial di sana. Maka, keunggulan yang dimiliki pasar tradisional dibanding
pasar modern adalah adanya hubungan interaksi sosial dan budaya di dalam setiap relasi jual-
beli. Adanya proses komunikasi secara langsung dengan saling menawar harga antara penjual
dan pembeli di dalam pasar tradisional ini telah menciptakan ikatan keakraban dan
kekerabatan yang berbalut kehangatan di antara mereka. Proses tersebutlah yang kemudian
menciptakan kenangan tersendiri.
Studi di Pasar Klithikan ini menunjukkan bahwa ketika pasar rakyat atau tradisional tidak
memiliki ciri khas komoditas tertentu dan pengelolaan yang modern, ia sudah pasti akan
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
39/41
tereksklusi akibat relasi modal yang timpang dengan pasar modern. Jadi, terobosan kebijakan
dari pemerintah untuk memodernisasi dan memberdayakan pasar rakyat serta membatasi
kehadiran pasar retail modern menjadi sangat penting untuk dilakukan. Pasar rakyat adalah
napas perekonomian nasional. *
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
40/41
Trah
Sabtu, 22 Maret 2014
Amarzan Loebis, [email protected]
BEBERAPA pekan sebelum Megawati Soekarnoputri "memberi mandat" kepada Joko
Widodo untuk maju sebagai calon presiden Republik Indonesia dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, masih beredar rumor tentang faktor "trah Sukarno" dan "bukan trah
Sukarno" yang bakal ikut menentukan pilihan Mega. Karena namanya "rumor", asal
muasalnya sulit ditelusuri.
Ada jurnalis yang mengatakan rumor itu dibisikkan oleh narasumber yang identitasnya tak
boleh diungkapkan. Dalam praktek jurnalistik, narasumber anonim seperti ini, apalagi
"berbisik" pula, patut dikategorikan sebagai narasumber yang sangat layak tidak dipercayai.
"Trah" merujuk pada kelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan, yakni
dipertalikan oleh silsilah. Pada masyarakat Jawa, rumpun keluarga yang berkembang
membentuk susur-galur yang rimbun kemudian membakukan "trah" itu, misalnya sebagai
"Trah Wongsokapirun". Siapa pun yang terhisab dalam trah itu tak cukup sekadar saling
mengenal atau dikenal, tapi juga harus diakui dan mengakui. "Trah", dengan demikian,
mengandung unsur "formal" dan "legal".
Begitu pula dalam masyarakat anjing. "Anjing Trah" bukan anjing biasa, apalagi anjing
geladak. Anjing trah, yang dalam masyarakat internasional disebut sebagaipurebred dog,
harus mendapat pengakuan dari Federation Cynologique Internationale, atawa Federasi
Kinologi Internasional yang berkantor di Thuin, Belgia. Pada tingkat nasional, pengakuan itu
diberikan oleh Perkumpulan Kinologi Indonesia (Perkin) yang kantor pusatnya ada di Jakarta.
"Anjing Kintamani" adalah satu-satunya anjing Indonesia yang sudah diakui sebagai anjing
trah.
Pada masyarakat manusia, "trah" sering dihubungkan dengan "dinasti" dan "wangsa".
Ketiganya bisa seolah-olah sama, tapi sebetulnya berbeda. "Trah" lebih dekat ke "wangsa",
lebih ke konteks "nasionalitas". Adapun "dinasti" lebih dekat ke konstruksi kekuasaan,
seperti misalnya "Dinasti Tang" atau "Dinasti Kim Il Sung". Indonesia belum pernah
mengenal bentuk kekuasaan kedinastian itu. Dalam sejarah peradaban modern, bentuk
kedinastian yang paling jelas bisa dilihat pada Korea Utara, "republik sosialis" paling aneh di
alam semesta.
Dengan menunjuk Joko Widodo sebagai calon presiden partainya, Megawati bukan saja
terkesan bijak, melainkan juga sangat berani. Ia, dalam pandangan tradisional Jawa, telah
memutus rantai emosional partainya dengan "bapak rohani" partai nasionalis itu, yakni
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 17.3.2014-22.3.2014
41/41
Sukarno. Dengan putusnya "rantai emosional" ini, Mega dan partainya berpeluang
melangkah memasuki sejarah baru yang lebih rasional dan realistis.
Pada tingkat inilah, seyogianya, Megawati dan perangkat partainya tidak sekadar mengarak
gambar Sukarno hilir-mudik di masa kampanye. Lebih dari itu, ada tuntutan untuk mengkajidan mendalami "ajaran-ajaran Sukarno" secara rasional, realistis, dan dinamis. Putusnya "trah
Sukarno" dalam rantai politik PDI Perjuangan tidak akan membuat Mega dan partainya
kepaten obor. Inilah saatnya mengungkai dan membedah ajaran-ajaran Sukarno yang
meliputi Marhaenisme dan "Sukarnoisme" yang --menurut kesan saya--tak banyak dilakukan
Megawati dan partainya selama ini. *