Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

  • Upload
    ekho109

  • View
    237

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    1/39

    Sekarpandan

    Senin, 10 November 2014

    Namanya Sekarpandan. Ia pendek, pantatnya menggelembung. Dalam wayang kulit Cirebon,

    ia satu dari sembilan punakawan yang mengiringi lima kesatria Pandawa.

    Sekarpandan mendapat bentuk tubuh itu setelah ia mengejek Semar yang ingin jadi suami

    kakaknya, Sudiragen. Tapi ia kalah bertarung dengan calon ipar yang buruk rupa itu, terlontar

    jatuh ke rumpun pandan, dan seketika itu juga berubah wujudnya: ia jadi replika orang yang

    dicemoohnya. Juga dalam watak.

    Mirip Semar, watak Sekarpandan lebih serius ketimbang kocak. Ia arif dan sakti.

    Agaknya karena itulah pelukis kaca gaya Cirebon yang termasyhur, Rastika, membuat

    kaligrafi dengan sosok Sekarpandan. Endo Suanda, etnomusikolog yang luas penelitiannya

    dalam seni rakyat, menunjukkan kepada saya: kaligrafi berbentuk tubuh Sekarpandan itu

    adalah formasi huruf Arab yang berbunyi "Bismillah-irrahman-irrahim".

    Kaligrafi: sebuah metamorfosis. Kata itu datang dari bahasa Yunani kallos (keindahan)

    dangraphos (tulisan), tapi sebenarnya Rastika tak cuma mau memperindah aksara yang kaku.

    Di dalam karyanya tiap huruf, tiap kata, dilahirkan baru, sering secara mengejutkan dan

    nyaris tak terbaca lagi: aksara jadi gambar, dan teks terkadang mendapatkan apa yang dalam

    tradisi kaligrafi Cina disebut kuang,bentuk yang "gila-gilaan".

    Penemuan lain Endo Suanda: dalam salah satu lukisan kaca Rastika tampak adegan wayang

    kulit ketika Begawan Mintaraga bertapa. Jika diperhatikan, panah di tangan sang begawan

    sebenarnya aksara Arab yang membentuk simbolisasi: bismillahjadi panah, panah jadi

    bismillah.

    Mengubah kata ke dalam gambar--atau simbol--seperti itu tentu saja tidak hanya ditemukan

    dalam kaligrafi tradisional. Versishu(tulisan tangan) yang digabungkan

    dengan hua(lukisan) di Tiongkok lama juga tampak dalam "hieroglif" zaman ini:signagedi

    bandara-bandara internasional yang dengan desain yang apik menunjukkan tempat ambilbagasi atau toilet; rambu lalu lintas yang dengan menarik mengingatkan pengendara mobil

    akan jalan yang licin.

    Dalam The Hall of Uselessness,Simon Ley (nama pena pakar sinologi terkenal, Pierre

    Ryckmans) melihat analogisignagemodern dengan huruf Cina yang "piktografis" itu: kedua-

    duanya "memberikan arah tanpa bahasa", penanda visual yang serta-merta dimengerti orang

    dari berbagai ragam penjuru.

    Dengan analogi itu Ley menunjukkan betapa berbedanya bahasa Cina dengan bahasa-bahasa

    dalam peradaban Yahudi dan Kristen. Alkitab bercerita tentang proyek Menara Babil yangambruk: manusia gagal membangun wadah untuk saling mengerti dengan bahasa yang

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    2/39

    tunggal. Sementara itu dalam kebudayaan Tiongkok, kata Ley, orang hidup terus dalam

    keadaan "pra-Babil". Aksara Cina sepertisignage:penanda yang "melintasi semua perbedaan

    ujaran", menyampaikan makna seraya "melampaui bahasa". Bahasa-yang-melampaui-bahasa

    itu, metalanguage, kata Ley, "menghubungkan umat manusia kepada asal-usulnya yang

    paling awal" dan menawarkan tanda persatuannya yang hakiki.Saya kira di sini Ley keliru. Bukan penanda visual itu sendiri yang membuat manusia bersatu

    dalam memahami makna. "Persatuan" itu punya riwayat--khususnya riwayat kekuasaan.

    Tanpa tangan besi dan administrasi yang efektif di masa Maharaja Qin Shi Huang, 281-247

    Sebelum Masehi, Tiongkok tak akan memiliki Menara Babil ini: tulisan Cina yang

    dibakukan, setelah berabad-abad di wilayah yang luas itu huruf yang sama dibunyikan

    berbeda-beda dan disusun berlainan.

    Begitu jugasignage.Di lorong-lorong bandara dan mallssimbol itu diseragamkan maknanya

    oleh pasar global zaman ini. Mereka diakui dan dikukuhkan hanya oleh orang-orang yang

    biasa keluar-masuk tempat-tempat itu. Di jalan raya antarkota, gambar piring, sendok, dan

    garpu (atau pisau) sama sekali bukan metalanguage:mereka yang tak pernah bersantap

    dengan cara "Barat" tak akan segera tahusignageitu menunjuk ke lokasi tempat makan.

    Makna gambar, juga huruf Cina, perlu kodifikasi, dan kodifikasi, agar diterima secara luas,

    perlu ditopang hegemoni.

    Namun pada akhirnya kodifikasi, juga hegemoni, tak bisa mutlak. Pesan yang disampaikan

    simbol visual itu mau tak mau akan disentuh sejarah, dipengaruhi pengalaman yang berbeda,

    dan beroleh bunyi yang berlainan. Signageyang sama di bandara Kuala Lumpur dibunyikan

    "tandas" dan di stasiun bus Palembang "kamar kecil". Pernah kaligrafi berwujud Semardianggap menghina Quran oleh seorang ulama yang tak kenal tradisi Cirebon.

    Ada seorang penelaah yang menunjukkan, dalam tiap kaligrafi Cina--dan agaknya kaligrafi

    mana pun, seperti dalam karya Rastika--tersirat dua kutub yang tarik-menarik. Di satu pihak

    koordinat yang membuat sebaris kaligrafi tampak proporsional, tak berlebihan, di atas bidang

    datar. Di pihak lain ada "pusat gerak" yang tumbuh dari dinamika kuas (atau pena) dan

    tangan pencipta. Ketegangan di antara kedua kutub itu membuat huruf-huruf itu seakan-akan

    merendek dan melonjak, bahkan menerabas ke luar. Kaligrafi hidup dengan gaya meliuk

    merentang yang tak bisa diseragamkan.

    Itulah yang membedakannya dengan huruf dalam tipografi modern, barisan aksara di atas

    bidang horizontal dengan kaki yang terukur dan teratur. Tujuan utamanya menstabilkan arti

    dan pengertian. Tapi ada yang hilang di sana: gerak, bunyi, sejarah. Tak ada pengalaman

    hidup yang kaya yang mengubah gerak dan bunyi, seakan-akan tak ada sejarah yang

    menggeser arti dan pengertian.

    Tak mengherankan bila di barisan huruf itu--yang wujud ekstremnya berupa akronim, jauh

    dari kaligrafi--mudah berkutat konsep yang beku dan jiwa yang statis. Tak akan lahir

    Sekarpandan yang ganjil tapi sakti.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    3/39

    Goenawan Mohamad

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    4/39

    Subsidi

    Sabtu, 08 November 2014

    Putu Setia

    Inilah kisah sebuah negeri yang berputar-putar di lingkaran tanpa ujung. Perdebatan

    berulang-ulang tanpa ada keputusan yang pasti atau keputusannya diulur-ulur. Salah satunya

    adalah pro dan kontra pengurangan subsidi bahan bakar minyak.

    Pemerintahan boleh berganti presiden dan menteri. Namun subsidi untuk minyak tetap tinggi.

    Tak sebanding dengan dana yang dikucurkan untuk menyejahterakan rakyat. Subsidi untuk

    minyak selama lima tahun terakhir mencapai Rp 1.300 triliun, sementara uang yangdisalurkan untuk kesejahteraan rakyat tak sampai Rp 1.000 triliun.

    Bagi pemerintah dan yang pro pada pengurangan subsidi, analisisnya sederhana. Kalau uang

    sebanyak itu terus-menerus untuk subsidi minyak, kapan pemerintah membangun jalan lebih

    banyak, memperbaiki irigasi, membantu petani dengan pupuk murah, memberikan pelayanan

    kesehatan, membangun sekolah, dan seterusnya. Rakyat di desa paling menghabiskan

    premium 2 liter sehari untuk ke pasar atau ke kebun dengan sepeda motor. Sedangkan orang

    mampu di kota menghabiskan 20-an liter sehari dengan mobilnya. Subsidi lebih dinikmati

    oleh mereka yang kaya, bukan oleh rakyat desa.

    Mereka yang menolak pengurangan subsidi alasannya juga sederhana. Kalau harga minyak

    naik, ongkos angkutan juga naik. Akibatnya, kebutuhan pokok pun naik. Rakyat semakin

    menjerit karena menanggung beban lebih banyak, sementara penghasilannya tak ikut naik.

    Wong cilikakan tambah sengsara, buruh-buruh tambah menderita. Lihat demonstrasi sudah

    meledak di mana-mana. Semuanya demi rakyat.

    Para pengamat yang menolak pengurangan subsidi--sambil menyebut demi wong cilik--

    meminta pemerintah mencari alternatif. Dari yang masuk akal tapi sulit sampai yang abstrak.

    Misalnya, dibuat aturan dengan memanfaatkan teknologi agar minyak untuk rakyat tetap

    murah tetapi minyak untuk yang kaya boleh tinggi. Yang abstrak, ambil uang negara yang

    ditileppara koruptor, baik koruptor yang sudah dihukum maupun yang masih dikejar. Lalu,

    cari energi alternatif. Apa misalnya? Ya, pemerintah harus berpikir, dong.

    Perdebatan ini terus berulang setiap ada rencana pemerintah menaikkan harga minyak, siapa

    pun presidennya. Wartawan tinggal copy-pasteberita-berita tahun lalu dengan hanya

    mengubah tanggal dan sedikit merevisi nama tokoh. Karena pasti ada tokoh baru yang

    muncul, misalnya, mereka yang ngebetjadi menteri tetapi nasib membuatnya di luar

    pemerintahan.

    Lucunya, setiap perdebatan itu pasti panjang dan membuat pemerintah bimbang untuk

    mengambil keputusan yang cepat. Lagi pula wacana kenaikan harga minyak itu jauh-jauhhari dikumandangkan, mungkin maksudnya sosialisasi, tapi yang terjadi malah keriuhan pro-

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    5/39

    kontra. Yang diuntungkan adalah penimbun minyak, baik penimbun kelas jeriken di pedesaan

    maupun kelas drum di kota dan kelas tanker di laut. Yang dibuat sibuk adalah polisi, karena

    menjaga SPBU dari antrean panjang. Minyak langka. Rakyat yang jauh dari SPBU

    menderita, membeli seliter premium Rp 20 ribu hanya untuk motor yang mengangkut hasil

    panen dari kebun. Dan mereka mengomel: "Kalomemang naik, ya, naikkan, dong,langkabegini jatuhnya lebih mahal."

    Tahun lalu, ketika Presiden SBY mau menaikkan harga minyak, yang menolak keras adalah

    PDI Perjuangan. Materi pro-kontra sama. Sekarang, di awal pemerintahan Presiden Joko

    Widodo, pro-kontra pun sama. Bedanya, yang menolak adalah Partai Gerindra dan

    sekutunya. Andai kenaikan harga sekarang batal dan dicoba lagi tahun depan, semuanya akan

    berulang. Termasuk tulisan ini, tinggal ganti beberapa kalimat saja.Duh, sebuah negeri yang

    tak pernah selesai.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    6/39

    Obsesi Kecepatan

    Senin, 10 November 2014

    Dian R. Basuki, peminat masalah sains

    Apakah Anda merasakan perubahan dalam diri Anda: cenderung kian tidak sabar manakala

    akses internet begitu lelet,merasa kesal tatkala proses loading laptopterasa lamban, atau

    uring-uringan ketika jalanan padat membuat Anda sukar berkendara dengan cepat.

    Banyak orang cenderung menetapkan kecepatan sebagai fitur kunci dalam memilih produk

    dan jasa: telepon seluler, tablet, sepeda motor, mobil, jasa kurir, transportasi, pesan-antarmakanan, apa lagi? Nyaris dalam setiap hal, kecepatan menjadi ukuran untuk menentukan

    kualitasnya. Semakin cepat, semakin bagus. Semakin cepat, semakin mahal.

    Konsumen memiliki ekspektasi tinggi terhadap kecepatan. Restoran cepat saji akan

    memberikan bonus kepada konsumen bila hidangan tersaji lebih lambat dari yang dijanjikan.

    Penumpang akan mendapat kompensasi bila kereta terlambat.

    Perubahan dari mekanik ke elektronik telah meningkatkan kecepatan secara signifikan.

    Sebelumnya, pesan tidak terkirim dengan kecepatan melebihi pergerakan manusia, kuda,

    kereta, atau kapal. Kini, kata, suara, informasi, dan gambar dapat ditransmisikan melewati

    jarak yang sangat jauh pada kecepatan yang amat tinggi. Mengikuti perubahan teknologi ini,

    meningkat pula ekspektasi manusia terhadap kecepatan.

    Kecepatan, sepertinya, telah menjadi obsesi masyarakat. Obsesi manusia terhadap kecepatan

    barangkali belum pernah sehebat sekarang. Ketika kita mengirim pesan pendek dan jaringan

    telekomunikasi terganggu selama 1 menit, kita sudah merasa sangat kesal. Bandingkan

    dengan masa ketika kakek kita mengirim surat dari Surabaya dan sampai di Jakarta paling

    cepat 1 minggu kemudian--pada masa itu, yang disebut 'pos kilat' memerlukan dua-tiga hari.

    Dalam masyarakat kapitalistik (apatah kita bukan masyarakat kapitalistik?), kecepatan punya

    makna meninggalkan yang lain di belakang, membiarkan yang lain tertatih-tatih di tengah

    pacuan, menaruh orang-orang berjalan di pedestrian.

    Obsesi kecepatan berarti kecemasan dan ketakutan untuk tertinggal; menjadi pendorong

    untuk membeli mobil baru yang lebih cepat, laptopyang lebih cepat, saham yang meroket.

    Jeda, keterlambatan, berhenti, dan bergerak perlahan dianggap sebagai hilangnya kesempatan

    dan memberi keunggulan kepada pesaing.

    Hasrat kita akan kecepatan meningkat sekian kali lipat--walaupun ini tidak selalu berujung

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    7/39

    pada peningkatan kualitas produk, jasa, maupun produktivitas. Dengan pemakaian teknologi

    informatika, pembuatan e-KTPseyogianya bisa selesai dalam beberapa menit. Dalam

    praktek, warga memperoleh e-KTPpaling cepat satu minggu kemudian karena menunggu

    tanda tangan bapak/ibu camat. Kontradiksi di dalam obsesi kecepatan.

    Obsesi masyarakat tercermin di jalanan: pengendara sepeda motor, mobil, bus,pick-up,

    berpacu untuk segera sampai di tempat tujuan. Karyawan ingin segera tiba di kantor,

    sayangnya bukan untuk langsung bekerja, melainkan mengobrol dulu dengan rekan sembari

    minum kopi. Dalam obsesi kecepatan, ada ambiguitas, mungkin sejenis kerinduan akan irama

    dan tempo yang lebih lambat.

    Tentu saja, kita memang harus membayar untuk obsesi ini. Speedaholicmenjadikan stres

    meningkat, kegelisahan bertambah, ambiguitas yang menegangkan, dan keterasingan yang

    kian mencekam. Kecepatan mengubah kimiawi otak kita, menyisakan sedikit waktu saja bagi

    kita untuk sempat menikmati wanginya aroma bunga mawar. *

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    8/39

    Agama, Negara, dan Perkawinan

    Senin, 10 November 2014

    Franz Magnis-Suseno, cendekiawan

    Baik agama maupun negara amat berkepentingan dalam hal perkawinan. Perkawinan

    sekaligus merupakan bentuk luhur realisasi seksualitas, kekuatan pemberian Tuhan untuk

    menjamin keturunan yang, karena dahsyatnya naluri, juga secara potensial destruktif.

    Perkawinan juga merupakan ruang pemantapan sikap manusia paling luhur, cinta yang mesra

    dan mendalam.

    Semua agama yakin bahwa kekuatan itu adalah anugerah Tuhan dan, karena itu, luhur. Dan

    karena itu pula, pengaturan seksualitas dan pemantapan hubungan laki-laki dengan

    perempuan dalam perkawinan termasuk hal yang suci, yang diterima dari tangan Tuhan, yang

    karena selalu terancam dinodai oleh manusia, dilindungi serta diinisiasi dengan upacara yang

    resmi. Gereja saya misalnya, Gereja Katolik, hanya mengakui sah hubungan seksual antara

    laki-laki dan perempuan apabila disahkan dalam upacara pernikahan sesuai dengan aturan

    Gereja. Semua agama berharap hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan

    dilaksanakan dalam bentuk yang diridai Tuhan.

    Negara pun amat berkepentingan. Dalam masyarakat pra-modern, negara dan agama belum

    terpisah tajam. Namun pada zaman sekarang, di mana dalam suatu negara, misalnya NKRI,

    hidup orang dengan keyakinan beragama yang berbeda, negara sudah lama menetapkan

    undang-undang tentang perkawinan yang diakui sah di negara itu. Karena negara merupakan

    penetap dan penjamin hukum, suatu perkawinan hanya sah apabila sah menurut hukum yang

    berlaku dalam suatu negara.

    Perkawinan sah menjadi kepentingan negara karena dua alasan. Alasan pertama adalah

    jaminan keturunan. Karena keturunan hanya bisa dihasilkan dari hubungan laki-laki dengan

    perempuan, hubungan itu perlu dilindungi. Dan karena anak yang lahir hanya akan menjadimanusia utuh kalau dia selama kurang-lebih 20 tahun menjadi dewasa dalam lingkungan

    sosial yang stabil, dengan acuan pada ayah dan ibu, maka negara amat berkepentingan agar

    orang tua--yang akan mendapat anak lagi--membentuk persatuan yang stabil. Persatuan itu

    disebut keluarga. (Karena pertimbangan ini, menjadi jelas juga mengapa tuntutan agar

    hubungan sejenis diberi kedudukan sama dengan hubungan beda jenis tidaklah masuk akal.

    Tanpa perlu masuk ke wilayah moralitas pun, sudah jelas bahwa--berbeda dengan hubungan

    keluarga beda jenis--negara tidak berkepentingan atas hubungan sejenis. Negara melindungi

    keluarga karena berkepentingan melindungi keturunannya.)

    Alasan kedua adalah eksplosivitas seksualitas manusia. Kalau dibiarkan dilaksanakan secara

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    9/39

    anarkistik, bisa terjadi segala macam konflik dan kekacauan. Karena itu, realisasi kekuatan

    dahsyat yang namanya seksualitas diatur oleh semua masyarakat di dunia, tanpa kecuali.

    Undang-Undang Perkawinan RI menetapkan bahwa upacara perkawinan menurut agama

    otomatis diakui juga sebagai upacara negara. Artinya, orang yang kawin sah menurut agamasekaligus dicatat sudah kawin sah juga oleh negara, meskipun agama bukanlah negara.

    Ketetapan ini sangat tepat dalam negara Pancasila, yang melihat religiositas masyarakat

    sebagai nilai yang perlu dijunjung tinggi.

    Sayang, UU Perkawinan itu sendiri sejak semula sudah mengotori niatnya sendiri dengan

    membatasi perkawinan pada lima (sekarang: enam) agama "yang diakui". Dengan demikian,

    selama 40 tahun undang-undang ini membuat sebagian masyarakat tidak dapat menikah

    secara sah. Apa itu penganut agama di luar yang lima itu, apakah itu--lebih memalukan lagi--

    agama-agama asli (seperti Marapu atau Kaharingan), mereka tidak dapat menikah secara sah

    karena pernikahan menurut agama/kepercayaan/adat mereka tidak diakui negara, dan anak-

    anak mereka secara hukum adalah anak tidak sah. Jelas, undang-undang ini cacat berat,

    memalukan, dan menggerogoti Pancasila karena menistakan sebagian warga bangsa

    berdasarkan keyakinan religius mereka.

    Lagi pula, kalaupun agama-agama hanya mengakui suatu perkawinan sah di hadapan Tuhan

    apabila dilakukan sesuai dengan aturannya, tidak berarti bahwa negara boleh memaksa orang

    menikah menurut suatu agama. Urusan akhirat bukan urusan negara. Agama, misalnya agama

    saya, memang mendesak umatnya untuk tidak menikah beda agama. Betul juga bahwa

    perbedaan dalam keyakinan beragama bisa menambah risiko kegagalan suatu perkawinan.Tapi itu tidak berarti bahwa negara boleh memaksa orang Katolik kawin menurut agama

    Katolik. Paksaan dalam hal agama tanpa kecuali harus ditolak. Kalau orang memang mau

    kawin tidak menurut aturan agamanya, negara wajib memungkinkan perkawinan itu. Segenap

    warga berhak kawin, entah dari sudut agama yang bersangkutan dianggap sah atau tidak.

    Karena itu, dapat diharapkan bahwa pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk

    Pasal 1 ayat 2 UU Perkawinan 1974 ditanggapi oleh MK dengan penjelasan resmi bahwa

    ketetapan "perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

    kepercayaan" tidak berarti bahwa "perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum

    masing-masing agama dan kepercayaan", apalagi tidak "hanya menurut hukum enam agama

    yang diakui". Keagamaan sepasang orang boleh didukung, tapi tidak boleh dikontrol oleh

    negara. Tentu, orang harus dapat kawin juga di luar konteks agama.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    10/39

    Politik Titipan

    Selasa, 11 November 2014

    E.H. Kartanegara, Wartawan

    Politik titipan. Dua kata itu kembali sering terdengar di antara pembicaraan dan analisis

    politik kontemporer kita.

    Dari berbagai kajian sejarah politik di Indonesia, politik titipan ini menjadi salah satu tema

    menarik sekaligus menantang untuk ditelaah mendalam. Dalam sejarah pergerakan para

    tokoh politik kita pada dekade awal abad ke-20, misalnya, banyak momen dramatis munculdi sekitar makna "titip-menitip" ini. Kepada Cindy Adams, penulis bukuBung Karno,

    Penyambung Lidah Rakyat Indonesiayang terkenal itu, konon, dengan suara bergetar,

    Presiden RI pertama itu menceritakan kisahnya pada masa remaja ketika oleh orang tuanya,

    Soekemi Sosrodihardjo, ia dititipkan pada H.O.S. Tjokroaminoto.

    Di rumah pendiri Syarikat Islam itulah Sukarno yang masih berumur 16 tahun menimba ilmu

    sekaligus mereguk pengalaman dan mempelajari dinamika politik kala itu. Membaca banyak

    buku dan berdiskusi dengan sejumlah tokoh yang kemudian dikenal sebagai Bapak

    Pergerakan Nasional, seperti Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, juga Abdul Muis, Agus Salim,

    Ahmad Dahlan, dan Tan Malaka.

    Dari kajian sangat serius Benedict R.O'G. Anderson,Language and Power, Exploring

    Political Cultures in Indonesia,misalnya, kita dapat membaca perilaku politik para tokoh itu

    yang sebenarnya berangkat dari politik tradisional Jawa dengan gaya dan aturan Barat.

    Maklum, sebagian dari mereka bukanlah politikus kelas bangsawan, melainkan berasal dari

    kalangan priayi rendah. Kelas inilah yang dari awalnya adalah orang-orang desa yang

    dititipkan di keraton-keraton oleh orang tua mereka. Dari sinilah katasowan tetap

    dilestarikan hingga sekarang.

    Sowan--ungkapan kesopanan dalam bahasa Jawa yang menyatakan kedatangan "kawula"

    menghadap pihak yang lebih "dituakan", lebih dihormati--ini masih kita lihat di pesantren-

    pesantren saat para orang tua menitipkan anak-anak mereka kepada para kiai agar dididik

    menjadi santri. Bukankah dalam urusan politik, kita juga sering mendengar ungkapan "sowan

    politik" yang seolah menunjukkan mereka masih satu keluarga?

    Tema politik keluarga yang diselewengkan Soeharto dijadikan fokus kajian Saya Sasaki

    Shiraishi dalam Young Heroes: The Indonesian Family in Politics(Cornell; 1997), untuk

    menyoroti sepak terjang politik titipan yang dikendalikan Soeharto pada era Orde Baru.

    Dalam studi ringkas ini, kita menemukan pemahaman bahwa sungguh pun banyak ideologi

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    11/39

    dan buah pemikiran besar yang memukau, politik kita belum sepenuhnya bebas dari rekatan

    keluarga.

    Dalam keluarga versi Orde Baru, politik tidak terbatas pada kelihaian mengelola kepentingan

    (management of interest), tapi yang lebih menentukan adalah kuasa Soeharto sebagai centerof interestmembagi berbagai paket politik titipan kepada kroninya. Di sinilah terletak

    kekuatan sekaligus kelemahan politik titipan versi Soeharto.

    Ya, politik titipan bukan tidak memiliki kaitan dengan masa lalu. Tinggal bagaimana para

    wakil rakyat menggalang keberanian politik untuk meningkatkan kontrol yang menjadi hak

    mereka agar sejarah kelam Orde Baru tidak terulang lagi.

    Bukankah dalam demokrasi, presiden, wakil presiden, dan para wakil rakyat sesungguhnya

    juga titipan? Mereka pemegang amanat rakyat, dan segala bentuk penyelewengan akan

    dibaca secara kritis oleh rakyat.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    12/39

    Ketika MenteriBlusukan

    Selasa, 11 November 2014

    Putu Setia, @mpujayaprema

    Gaya kerja Joko Widodo yang suka blusukandibawa sampai ia dilantik sebagai presiden.

    Akhirnya, kita disuguhi gaya yang menyimpang dari presiden yang selama ini kita kenal.

    Tatkala mengumumkan kabinet, Jokowi--begitu presiden kita disapa--meminta menterinya

    berlari. Saat ke Sinabung, Jokowi merunyamkan kerja panitia daerah karena tak mau diatur

    harus lihat ini dan itu. Gaya Jokowi menular kepada para menteri.

    Menteri Olahraga meninjau para atlet pelatnas. Menteri Perdagangan bersama Menteri

    Koperasi meninjau pasar dinihari, Menteri Kelautan dan Perikanan menyapa para nelayan,

    Menteri Perhubungan memeriksa kakus di Bandara Soekarno-Hatta. Semua bergerak,

    termasuk Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri meloncat pagar di sebuah rumah saat

    blusukanpada malam hari. Ulah menteri ini membuat politikus Golkar Nurul Arifin merasa

    mual. "Saya ingin muntah lihat pejabat yang sering blusukan," kata Nurul, mantan artis yang

    gagal kembali ke Senayan.

    Tak cuma Nurul yang kepingin muntah. Seorang pengacara terkenal juga mengecam gaya

    Hanif Dhakiri. Kata pengacara, Hanif harus mendapat izin pengadilan untuk melakukan hal

    tersebut. Hanif membantah melakukan pencitraan.

    Sejatinya bantahan itu tak lagi diperlukan manakala kita disuguhkan bagaimana nasib

    puluhan calon TKI yang disekap di kamar sempit. Wanita itu tak berdaya dan harga diri

    mereka--setelah merasa tertipu dan menderita--diselamatkan oleh seorang menteri.

    Seharusnya Nurul Arifin menyusul ke penampungan itu, menanyakan sudah berapa kali

    kaumnya itu muntah-muntah, dibanding mengecam tindakan sang menteri. Apakah seorang

    pengacara begitu tumpul mata hatinya untuk menyaksikan penyekapan dengan kedok

    "menunggu pengiriman" yang tak kunjung tiba?

    Sekali lagi, kita tak terbiasa melihat menteri blusukan. Kita terbiasa melihat menteri yang

    tekun di kamarnya dan kita tak tahu apa kesibukannya. Atau menteri keluar dari kantornya

    dengan berjas lengkap, seraya pura-pura bergegas ke mobil, tapi akhirnya membuka kaca

    mobil untuk bisa diwawancarai wartawan.

    Betul juga, blusukanseperti itu adalah tugas dari staf menteri, mungkin para direktur teknis.

    Tapi bukankah rutinitas harus didobrak dan bukankah "kejutan" harus ada sesekali untuk

    memotivasi para staf? Menteri yang terbiasa hanya menerima laporan dari stafnya akan

    mudah diperdaya. Ia seperti duduk di menara gading dan melihat ke bawah denganpandangan yang selalu asri. Ia berjarak dan tak melihat ada debu di kaki rakyat.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    13/39

    Lagi pula, tak setiap dinihari Menteri Perdagangan turun ke pasar. Kalau begitu, lebih baik

    tak usah jadi menteri, sekalian saja jadi pedagang.Blusukanyang sesekali itu pastilah akan

    menjadi bahan pembahasan, dicari pangkal masalahnya, dikaji, diolah, dan diputuskan

    bagaimana cara agar kasus-kasus buruk yang ditemui bisa diatasi. Kelak, kalau ada blusukan

    lagi dan kasusnya serupa, bolehlah kita nyinyir, "Lho, dulu sudah terjadi, kokterulang?"

    Artinya, mari kita lihat hasil kerjanya, bukan cara blusukan-nya.Petantang-petenteng

    Menteri Susi Pudjiastuti harus kita tunggu hasilnya, apakah nelayan menjadi sejahtera

    dibanding sebelumnya. Efek lompat pagar Menteri Hanif bisa dianggap berhasil setelah

    tenaga kerja menjadi aman. Juara di SEA Games atau damainya suporter Persija dan Persib

    boleh dicatat sebagai keberhasilan Menpora. Para menteri belum sebulan bekerja, belum

    waktunya kita pura-pura mual.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    14/39

    Infrastruktur Papua dan KomitmenPemerintah

    Selasa, 11 November 2014

    Bambang Darmono, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)

    Sudah menjadi rahasia umum, tingginya harga-harga barang di Tanah Papua merupakan

    akibat dari miskin dan buruknya infrastruktur. Tingkat kemahalan menjadi lebih ekstrem di

    wilayah Pegunungan Tengah yang sangat bergantung pada awan yang menggelayut di

    wilayah tersebut. Karena semua diangkut melalui udara, semakin lama awan menggelayut,

    semakin mahal harga barang-barang. Ada kalanya harga semen per sak di Papua mencapai

    Rp 1,7 juta lebih. Kondisi semacam ini tidak harus terjadi apabila pembangunan infrastruktur

    dasar konsisten dilaksanakan.

    Benar, pemerintah telah memperhatikan masalah infrastruktur ini dengan dua Perpres yang

    mencakupi persoalan infrastruktur. Pada 2007, diterbitkan Inpres Nomor 5/2007, yang

    berkaitan dengan percepatan pembangunan. Dipandang tidak cukup berjalan, dikeluarkan

    Perpres 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B). Tidak

    tanggung-tanggung, Perpres 65/ 2011 dikawal oleh Perpres 66/2011 tentang Unit Percepatan

    Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

    UP4B menyadari bahwa paradigma pembangunan infrastruktur di tanah Papua adalah

    membangun benua kecil dalam rangka menciptakan konektivitas antara kabupaten-kabupaten

    baru dengan sasaran menciptakan sentra-sentra aktivitas ekonomi produktif. Dari paradigma

    itu, perlu dana otonomi khusus guna menyiapkan SDM di Papua, sedangkan dana untuk

    infrastruktur harus ditopang melalui skema APBN melalui inisiatif presiden. Dengan

    demikian, manusia asli Papua akan mendapatkan manfaat langsung dari pembangunan

    infrastruktur.

    Pada 2012, atas dorongan UP4B, pemerintah menerbitkan Perpres 40/2012 tentang

    pembangunan ruas-ruas jalan P4B. Apabila ruas-ruas jalan ini diselesaikan, persoalan jalan di

    wilayah Pegunungan Tengah dan area terisolasi di tanah Papua akan terselesaikan dan akan

    mendorong P4B. Selain menghubungkan jalan strategis dan jalan nasional, ruas-ruas ini

    menghubungkan sentra-sentra ekonomi di kabupaten baru yang terbentuk setelah UU

    Otonomi Khusus Papua berlaku.

    Dalam hal infrastruktur, konsep dasar membuka keterisolasian wilayah Pegunungan Tengah

    telah diletakkan. Kita paham bahwa di Tanah Papua tersedia sungai-sungai besar yang dapat

    dilayari sampai pedalaman. Pelabuhan Sungai Boven Digoel sebagai salah satu contoh, dan

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    15/39

    Pelabuhan Sungai Asiki di wilayah yang sama adalah contoh lain. Pelabuhan sungai ini dapat

    diintegrasikan dengan pembangunan depo Pertamina guna menjangkau wilayah Pegunungan

    Tengah, seperti depo Pertamina yang sedang disiapkan di Mumugu, Kabupaten Asmat.

    Kita juga paham bahwa kondisi geografis dan demografis di wilayah Pegunungan Tengahmembutuhkan biaya mahal dan waktu yang sangat panjang untuk membangun jaringan

    distribusi listrik sampai ke kampung-kampung apabila kita membangun PLTA di salah satu

    tempat. Sedangkan tersedia ratusan curug yang dapat dimanfaatkan untuk membangun PLTM

    atau PLTMH yang sangat ramah dan cocok dengan kondisi wilayah serta mudah untuk

    didistribusikan.

    Semua hal ini telah disiapkan dan dikaji bersama stakeholder terkait-yang belum tinggal

    penyediaan dana dan pelaksanaan. Apalagi dalam Perpres 40/2013 juga telah ditetapkan

    bahwa membangun ruas-ruas tertentu dalam jalan P4B dengan mendayagunakan Satuan Zeni

    TNI yang terbukti andal, cepat, dan diterima masyarakat. Komisi I DPRI juga merestui

    pemanfaatan Satuan Zeni TNI untuk membuka ruas-ruas P4B ini. Penggunaan Zeni TNI ini

    bertujuan meminimalkan pengaruh para kontraktor pendatang yang menjamur di Tanah

    Papua.

    Sayang, semua konsep dasar yang sangat diterima untuk membuka wilayah Pegunungan

    Tengah ini pada 2014 tidak didanai. Akibatnya, Satuan Zeni TNI yang telah menggelar

    peralatan untuk membuka wilayah ini harus kembali sebelum tugasnya dalam Perpres

    40/2013 dapat diselesaikan. Padahal, menyiapkan kondisi psikologis masyarakat agar mudah

    menerima satuan-satuan TNI terlibat dalam pembangunan di pedalaman Papua sangatlahsulit.

    Andai kata pemerintah serius dan semua itu bisa terwujud, tidak hanya persoalan harga

    semen, tapi juga harga BBM dapat dibeli dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Berbagai

    macam barang kebutuhan pokok bisa lebih murah, perekonomian rakyat bisa menggeliat,

    pendidikan akan dapat berjalan, demikian pula pelayanan kesehatan yang sangat didambakan

    masyarakat. Persoalan besarnya adalah inkonsistensi pemerintah dalam mendanai program

    yang telah dibuatnya. Semoga pemerintah baru tidak terjebak dalam inkonsistensi yang sama.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    16/39

    Pemerataan dan Keadilan Pendidikan

    Rabu, 12 November 2014

    Darmaningtyas, aktivis pendidikan di Taman Siswa

    Salah satu persoalan besar dalam pendidikan nasional adalah pemerataan dan keadilan akses

    ataupun kualitas pendidikan antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali, terutama Indonesia bagian

    timur. Jawa-Bali, dengan segala fasilitas pendukungnya, relatif tidak mengalami masalah

    akses pendidikan dasar. Jika ada daerah yang masih mengalami masalah akses, itu lantaran

    saking kebangetan pemimpin daerahnya.

    Demikian pula soal kualitas pendidikan, hampir semua sekolah dan kampus terbaik

    menumpuk di Jawa. Tapi, di Indonesia bagian timur, persoalan akses pun masih bermasalah.

    Geografi tempat tinggal mereka yang terdiri atas pulau-pulau kecil dan tidak ditopang oleh

    infrastruktur transportasi yang memadai menjadi salah satu hambatan utamanya, terutama

    untuk tingkat SMP hingga pendidikan tinggi. Untuk tingkat SD tidak menjadi masalah karena

    setiap pulau ada SD. Apalagi soal kualitas pendidikan, sampai hari ini masih banyak satu SD

    diajar oleh 2-3 guru saja. Ini harus terselesaikan selama lima tahun mendatang.

    Kesenjangan akses dan kualitas pendidikan itu akan berpengaruh terhadap akses sumber daya

    ekonomi, sehingga berdampak kesenjangan ekonomi pula. Karena itu, pengurangan

    kesenjangan akses dan kualitas pendidikan antar-daerah semestinya menjadi prioritas

    program pendidikan pada masa pemerintah Jokowi-JK. Hal itu mengingat salah satu visi

    mereka adalah mengurangi kesenjangan dalam semua aspek kehidupan, sehingga kebijakan

    di setiap kementerian yang berorientasi keadilan harus tinggi. Untuk itulah kebijakan

    pendidikan itu sendiri tidak boleh mempertajam akses ataupun kualitas pendidikan antar-

    wilayah, tapi justru mengurangi kesenjangan. Perlu ada kebijakan yang berpihak untuk

    mengurangi kesenjangan akses dan kualitas pendidikan antara Jawa-Bali dan luar Jawa.

    Salah satu strategi untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa-Bali dan Indonesia timuradalah perlu adanya kebijakan afirmatif dengan cara percepatan di timur dan pelambatan di

    barat. Kebijakan-kebijakan yang mempercepat perbaikan akses dan kualitas pendidikan di

    timur, seperti penambahan guru, sarana, fasilitas pendidikan, buku-buku, dan pendanaan

    untuk operasional pendidikan, mutlak perlu dilakukan. Cara berpikir lama yang memberikan

    porsi anggaran kepada daerah sesuai dengan jumlah penduduk atau murid, seperti pada

    pemberian BOS (Bantuan Operasional Sekolah), perlu dikoreksi dan disesuaikan dengan

    tingkat kebutuhan lapangan. Bila sekolah-sekolah di timur perlu anggaran yang lebih besar

    untuk menambah guru, prasarana dan sarana, serta fasilitas pendidikan lainnya, hal itu sah-

    sah saja meskipun jumlah penduduknya lebih sedikit daripada di Jawa.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    17/39

    Pelambatan di barat bukan berarti secara sengaja sekolah-sekolah di barat ditahan tidak boleh

    maju, melainkan alokasi anggarannya diprioritaskan ke timur. Wilayah ini memang perlu

    pendanaan lebih besar, mengingat kondisi masyarakatnya yang mayoritas tidak mampu dan

    sedikitnya sektor swasta di sana.

    Sebaliknya, Indonesia bagian barat memiliki masyarakat kelas menengah yang amat besar,

    dan 80 persen industri pun berada di barat. Mereka dapat digerakkan untuk mendukung

    penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah tinggal membuat regulasi agar partisipasi

    masyarakat sungguh-sungguh berasal dari golongan mampu saja, tidak membebani golongan

    miskin. Juga sektor swasta yang memberikan bantuan untuk penyelenggaraan pendidikan

    mendapatkan keringanan pajak.

    Karena itu, penegerian perguruan tinggi swasta di Jawa harus dihentikan agar anggarannya

    dapat dialihkan ke timur. Biarkan PTS-PTS yang merupakan cermin partisipasi masyarakat

    itu tetap berstatus PTS, pemerintah tinggal memberikan subsidi saja agar tetap dapat

    terjangkau oleh masyarakat dengan kualitas tinggi.

    Hal yang perlu dicatat adalah upaya mengatasi kesenjangan pendidikan tidak dapat dilakukan

    oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja, melainkan perlu sinergi dengan

    kementerian terkait, seperti Infrastruktur dan Perumahan, Perhubungan, ESDM, Maritim,

    Kominfo, dan Daerah Tertinggal; mengingat masalah terbesar justru ada di luar pendidikan,

    seperti akses menuju ke sekolah, komunikasi dengan pihak luar, serta penerangan (listrik).

    Membangun sekolah dengan segenap fasilitasnya dan mengirimkan banyak guru ke sanatidak otomatis menjawab masalah bila infrastruktur dan sarana transportasi serta jaringan

    telekomunikasinya buruk. Pun pasokan listriknya terbatas. Koordinasi sinergis antar-sektor

    dengan mengabaikan ego sektoralnya merupakan kunci keberhasilan mengurangi

    kesenjangan akses dan kualitas pendidikan nasional antara Jawa-Bali dan Indonesia bagian

    timur. Semua perlu memiliki persepsi yang sama bahwa pendidikan merupakan anak tangga

    pertama untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

    Rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2014-2019 di bawah Menteri

    Anies Baswedan perlu diarahkan pada pengurangan kesenjangan akses dan kualitas

    pendidikan tersebut, sehingga indikatornya pun amat jelas.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    18/39

    Kerja Ikhlas

    Rabu, 12 November 2014

    Iwel Sastra, komedian, @iwel_mc

    Nasruddin Hoja terlihat sedang mencari sesuatu di pinggir jalan. Seorang temannya

    memperhatikan Nasruddin, kemudian dengan penasaran menanyakan apa yang sedang

    dilakukan olehnya. Sambil terus melakukan aktivitasnya, Nasruddin mengatakan sedang

    mencari cincinnya yang hilang. Lalu temannya menyarankan agar Nasruddin mengingat-ingat

    di mana kira-kira cincinnya hilang.

    Dengan sangat yakin, Nasruddin menjawab bahwa cincinnya hilang di dalam gudang. Lantas,

    temannya bertanya, kalau cincinnya hilang di gudang, kenapa Nasruddin justru mencarinya di

    pinggir jalan? Dengan santai, Nasruddin berujar, "Gudang sangat gelap. Mana bisa aku

    mencarinya di sana? Di sini cukup terang."

    Kisah di atas saya kutip dari buku 360 Cerita Jenaka Nasruddin Hoja. Menurut saya,

    Nasruddin bukanlah satu-satunya orang yang melakukan hal demikian. Melakukan sesuatu

    bukan untuk mencapai tujuan, melainkan melihat susah-mudahnya usaha itu dilakukan.

    Tujuan Nasruddin adalah mencari cincin yang hilang, tapi dia tidak mau bersusah payah

    mencari cincin tersebut di tempat hilangnya lantaran gelap. Nasruddin mencarinya di tempat

    terang, meskipun dia tahu cincin tersebut tidak berada di sana.

    Ini hampir sama dengan kisah pemain sepak bola yang melakukan gol bunuh diri dengan

    alasan lebih mudah memasukkan bola ke gawang sendiri dibanding ke gawang lawan.

    Seringkali kita mendengar seseorang mengeluh dengan mengatakan dia sudah bekerja keras,

    tapi belum bisa menghasilkan apa-apa. Bisa jadi orang ini dalam bekerja juga menganut

    paham yang dilakukan Nasruddin. Bekerja keras di tempat yang menurutnya mudah untuk

    menemukan hasil meskipun sebenarnya tempat tersebut bukanlah tempat yang bisamenghasilkan.

    Ada cerita tentang seorang ayah yang sering bekerja di bawah terik matahari berharap

    anaknya tidak seperti dia. Sang ayah memotivasi anaknya untuk belajar keras supaya nanti

    bisa bekerja di ruangan yang dingin. Rupanya anak ini memahami makna motivasi sang ayah

    dengan penafsiran sendiri. Setelah lulus sekolah, dia bekerja di pabrik es. Menurut dia, yang

    penting di ruangan yang dingin, he-he-he

    Istilah kerja, kerja, dan kerja sering kita dengar seusai pidato pelantikan Jokowi sebagai

    presiden. Sebelumnya, kita mendengar nama kabinet seperti Kabinet Persatuan Nasional,

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    19/39

    Kabinet Gotong Royong, atau Kabinet Indonesia Bersatu. Sedangkan Jokowi memberi nama

    kabinetnya sangat singkat, yaitu Kabinet Kerja. Ini menekankan pada semangat Jokowi yang

    ingin semua menterinya segera bekerja setelah dilantik. Semoga saja menteri yang dilantik ini

    segera tahu apa yang harus dikerjakan. Jangan sampai di tahun pertama menjabat, kerjanya

    hanya bekerja mencari tahu apa yang harus dikerjakan.

    Presiden seperti Jokowi tidak cukup hanya dibantu oleh menteri yang memiliki semangat

    kerja keras. Selain kerja keras, para menteri harus bekerja cerdas. Jangan seperti Nasruddin

    yang bekerja keras menemukan cincinnya yang hilang dengan cara kerja bodoh. Sampai

    kapan pun tidak akan membuahkan hasil. Kerja keras dan kerja cerdas ini harus didukung

    oleh kerja ikhlas. Bekerja ikhlas untuk rakyat bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga,

    atau partai politik. Jangan sampai terjadi ada menteri yang bekerja keras, bekerja cerdas, tapi

    karena tidak ikhlas, yang terjadi kemudian kerjanya bolak-balik memenuhi panggilan KPK.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    20/39

    Kartu Sakti dan Akurasi Data

    Rabu, 12 November 2014

    Kadir,bekerja di Badan Pusat Statistik

    Pemerintah Jokowi-JK baru saja meluncurkan tiga program jaminan sosial yang direncanakan

    bakal menyasar 15,5 juta rumah tangga kurang mampu atau 25 persen penduduk Indonesia

    yang secara ekonomi berada di strata paling bawah. Ketiga program tersebut adalah Program

    Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Program

    Indonesia Sehat (PIS).

    Dalam prakteknya, penyaluran program menggunakan empat "kartu sakti", yakni Kartu

    Keluarga Sejahtera sebagai penanda keluarga kurang mampu; kartu HP (SIM card), yang

    berisi uang elektronik yang digunakan untuk mengakses Simpanan Keluarga Sejahtera; serta

    Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan penanda penerima

    manfaat PIP dan PIS.

    Dari ketiga program jaminan sosial yang baru diluncurkan tersebut, PSKS--bantuan langsung

    non-tunai yang diberikan dalam bentuk rekening simpanan melalui layanan keuangan digital-

    -merupakan terobosan baru.

    Selain mempermudah masyarakat kurang mampu dalam mendapatkan bantuan, terobosan

    tersebut dapat membuka akses mereka untuk masuk ke dalam sistem perbankan, sehingga

    dapat mendorong masyarakat miskin untuk menabung, sekaligus membuka akses

    mendapatkan pinjaman dari bank yang bisa digunakan untuk kegiatan produktif.

    Bila terlaksana dengan baik, program jaminan sosial yang baru saja diluncurkan pemerintah

    berpotensi memberikan solusi terhadap dua persoalan kronis negeri ini: kemiskinan dan

    ketimpangan. Di Brasil, program sejenis dengan nama Bolsa Familia (tabungan keluarga)

    terbukti ampuh dalam mereduksi kesenjangan hingga 17 persen dalam lima tahun danmenekan angka kemiskinan dari 42,7 persen menjadi 28,8 persen (Kompas,5 November).

    Namun implementasi program bukannya tanpa hambatan. Sedikitnya, ada dua kendala yang

    kemungkinan besar bakal terjadi di lapangan. Pertama, program berpeluang tidak tepat

    sasaran. Hal itu terjadi ketika program menyasar rumah tangga yang seharusnya tidak

    menerima bantuan (inclusion error), dan/atau mengabaikan rumah tangga kurang mampu

    (exclusion error).

    Peluang program tidak tepat sasaran cukup besar. Pasalnya, data yang dijadikan acuan

    penerima manfaat program adalah data lama, yakni hasil Pendataan Program Perlindungan

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    21/39

    Sosial (PPLS) 2011 yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik. Data tersebut kini dikelola oleh

    Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Padahal kondisi

    kemiskinan sangatlah dinamis. Faktanya, jangankan setahun, dalam kurun enam bulan pun

    status kemiskinan rumah tangga bisa berubah.

    Kedua, konflik sosial akibat program yang tidak tepat sasaran juga bakal terjadi. Konflik bisa

    terjadi antara penerima dan yang tidak, serta antara masyarakat dan aparat pemerintah yang

    dianggap bertanggung jawab terhadap penetapan penerima manfaat program.

    Karena itu, akurasi data rumah tangga sasaran penerima manfaat program sangatlah krusial.

    Pengalaman Brasil menunjukkan, salah satu penentu keberhasilan Bolsa Familia adalah

    akurasi data, yang tentu saja merupakan outputdari sistem pendataan yang dilakukan secara

    teliti. Dalam soal ini, pemerintah tampaknya terkesan terburu-buru. Meski sulit dan

    membutuhkan waktu, data rumah tangga sasaran semestinya dimutakhirkan dan diverifikasi

    terlebih dulu.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    22/39

    Tujuh Samurai Versus Satu Calon Petahana

    Kamis, 13 November 2014

    Indra J. Piliang. Sang Gerilya Institute

    Menjelang Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar pada Januari 2015, delapan kandidat

    ketua umum muncul ke permukaan. Kedelapan kandidat ini bisa berkurang atau bertambah.

    Hanya, mengingat waktu yang kian sempit, tampaknya jumlah itu justru akan berkurang.

    Apalagi, kedelapan kandidat sudah mulai bergerilya ke daerah-daerah guna mencari

    dukungan. Semakin banyak waktu yang disediakan kandidat untuk menemui pimpinan partai

    di daerah-daerah, kian terbangun komitmen yang kuat guna memenangi pertarungan.

    Berdasarkan perkembangan di lapangan, terlihat upaya sistematis untuk mengusung kembali

    Aburizal Bakrie (ARB) sebagai Ketua Umum. Upaya ini tentu sah-sah saja dan tidak

    melanggar aturan organisasi. Yang dikeluhkan, adanya situasi yang kurang baik berupa

    pembatasan pergerakan kandidat-kandidat di luar calon inkumben (petahana). Meski belum

    tentu merupakan bagian dari gerakan politik Slipi, sejumlah nama yang dekat dengan atau

    merupakan bagian dari tim sukses calon-calon di luar inkumben mengalami perlakuan yang

    tidak simpatik. Beberapa dari mereka dipecat dari kedudukannya sebagai pengurus partai

    dengan alasan revitalisasi atau pelanggaran aturan organisasi.

    Aksi lainnya adalah pengumpulan tanda tangan dukungan bagi calon inkumben yang

    dilakukan kandidat dengan cara menemui pimpinan partai di daerah-daerah. Berdasarkan

    Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar dan pengalaman dalam munas

    sebelumnya, sama sekali tidak ada syarat berupa dukungan daerah-daerah untuk maju sebagai

    kandidat. Namun, karena Munas merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam tubuh

    partai, bisa saja aturan dalam Anggaran Dasar itu diubah peserta Munas. Karena itu, setiap

    kandidat idealnya diberi surat dukungan yang sama oleh pemilik suara sehingga tidak

    memunculkan sikap diskriminatif.

    Delapan kandidat tersebut bisa dikerucutkan menjadi dua blok besar, yakni blokstatus quo

    dan blok anti-status quo. Blokstatus quohanya terdiri atas satu nama, yakni Aburizal Bakrie

    sebagai calon inkumben. Blok anti-status quoberada di tangan tujuh kandidat lainnya yang

    dikenal sebagai Tujuh Samurai. Blok-blok ini tentu saja bagian dari dinamika politik yang

    terjadi.

    Kalau melihat secara obyektif, kepemimpinan ARB memang berhasil mempertahankan

    soliditas Partai Golkar. Hampir tidak ada gejolak yang berarti. Perbedaan pendapat baru

    mencuat dalam pilpres 2014. Dari sini, terlepas dari kegagalannya menjadi capres atau

    cawapres, ARB terlihat memainkan peran elegan dalam Koalisi Merah Putih (KMP). ARB

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    23/39

    kurang berhasil menjaga rivalitas antar-faksi di dalam tubuh Golkar, termasuk menyikapi

    persaingan antara tiga ormas pendiri Partai Golkar. Namun ARB justru mampu menempatkan

    diri sebagai sosok yang mempertemukan pelbagai kepentingan dalam tubuh KMP.

    Masalahnya, KMP bukanlah Partai Golkar. Model koalisi atau aliansi dalam politik Indonesiabersifat jangka pendek. Menjelang pemilu dan pilpres yang diadakan serentak pada 2019,

    KMP dipastikan kembali ke habitat aslinya, yakni menonjolkan partai masing-masing.

    Kecuali memang terdapat upaya serius untuk mengubah sejumlah hal penting dalam paket

    undang-undang dalam bidang politik, misalnya membolehkan keikutsertaan dalam pemilu

    legislatif berdasarkan koalisi kepartaian, pemilu legislatif dengan sistem distrik, penggunaan

    nomor urut, pengembalian hak recall, atau aliansi dan koalisi permanen yang digalang untuk

    mengajukan pasangan capres dan cawapres sejak jauh-jauh hari.

    KMP bisa saja melakukan terobosan-terobosan baru lewat penguasaan di parlemen,

    sebagaimana yang terjadi dalam sejumlah sidang paripurna DPR dan MPR sebelumnya.

    Penyusunan APBN 2015, misalnya, merupakan salah satu bentuknya. Di sinilah Golkar

    memiliki peran besar. Apabila terjadi penggantian kepemimpinan, arah KMP bisa berubah.

    Bahkan, Golkar bisa ditarik keluar dari KMP. Namun bukan hal mudah untuk melakukan itu.

    Golkar perlu berhitung dengan keras, keuntungan apa yang mereka dapatkan setelah keluar

    dari KMP? Apalagi, watak pemerintah Jokowi benar-benar tak memberi kesempatan kepada

    pimpinan partai untuk memasuki kabinet. Mereka wajib meninggalkan status sebagai

    pemimpin partai dan hanya menjadi anggota biasa.

    Kemampuan kandidat selain ARB untuk menawarkan pemikiran dan terobosan alternatifmasih ditunggu. Romantisme pilpres 2014 perlu ditinggalkan. Keberadaan Golkar sudah jelas

    di luar pemerintah. Bukan mustahil Golkar kembali dikeroyok opini publik apabila

    memutuskan bergabung dengan pemerintah di tengah jalan, baik oleh pihak KMP, Koalisi

    Indonesia Hebat, maupun masyarakat sipil. Perseteruan tradisional Partai Golkar versus PDIP

    menjadi ingatan kolektif apabila kerja sama politik dilakukan di tengah jalan. Contohnya,

    kritik politikus PDIP kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla soal rencana kenaikan harga bahan

    bakar minyak bersubsidi bisa jadi nanti menyerempet ke masalah kehadiran Golkar dalam

    barisan koalisi pendukung pemerintah.

    Selama belum ada gagasan yang lebihgenuine, Tujuh Samurai bakal kesulitan menghadapi

    ketangguhan ARB sebagai calon inkumben.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    24/39

    Papua dan Kabinet Kerja

    Kamis, 13 November 2014

    Komarudin Watubun, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Dapil Papua (2014-2019)

    Fenomena pemerintah kali ini, dengan segala bentuk inovasi dan aksesori yang berbeda

    dengan pemerintah sebelumnya, tentu memberikan harapan baru kepada masyarakat.

    Susunan kabinet yang ada juga mendapat penilaian yang beragam. Idealnya, kurang afdal

    menilai (kerja) orang sebelum ia memberikan bukti. Namun tentu tidak salah juga--bahkan

    wajib hukumnya--melakukan pengawasan sejak masa awal pemerintah baru bekerja,

    termasuk memaknai pesan dan kampanye yang disampaikan dalam dua kunjungan Jokowi kePapua.

    Jika pemerintah Jokowi-JK dan Kabinet Kerja gagal memberi makna yang sejati, jangan

    harap Papua berubah. Papua akan tetap seperti zaman dulu kala, menjadi sumber eksploitasi

    pusat yang tiada henti. Sebaliknya, jika berhasil, pemerintah Jokowi akan menorehkan

    catatan sejarah bermakna, yakni rakyat Papua yang sejahtera dan bermartabat.

    Selama berkampanye di Papua, Jokowi telah banyak mengemukakan pandangannya tentang

    apa yang ingin ia lakukan untuk Papua. Dalam bidang ekonomi, salah satu hal yang membuat

    masyarakat Papua antusias dan berharap banyak kepada Jokowi adalah konsep Presiden

    untuk mengatasi masalah kenaikan harga-harga barang. Konsep tol laut juga banyak memikat

    masyarakat Papua. Konsep ini memang lain daripada yang lain, "menohok" langsung ke arah

    jantung persoalan kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.

    Pesan lainnya adalah soal pengelolaan sumber daya alam (SDA) Papua. Dalam dua kali

    kunjungannya ke Papua, Jokowi mengatakan SDA Papua harus sebesar-besarnya

    diperuntukkan bagi kemakmuran Papua, bukan wilayah lain. Hingga saat ini, rakyat Papua

    yakin janji tersebut bukan sebatas retorika Jokowi. Terbukti, Jokowi-JK telah berhasil

    merebut hati dan pikiran rakyat Papua, sehingga suara pasangan ini mencapai lebih dari 72persen untuk Provinsi Papua dan 67 persen lebih untuk Provinsi Papua Barat. Jokowi

    "berhasil" memandang permasalahan Papua dari sudut pandang hati dan pikiran orang Papua,

    bukan memaksakan kehendak Jakarta.

    Kini, rakyat Papua menunggu implementasi riil dari janji itu sejak awal kepemimpinan

    Jokowi sebagai Presiden. Pemerintah Jokowi-JK harus segera menunjukkan langkah-langkah

    nyata dalam semua aspek. Sebab, kekecewaan atas ihwal inilah yang sering memicu

    kemarahan masyarakat Papua, sehingga berdampak meningkatnya masalah keamanan dan

    aksi-aksi gerakan sipil bersenjata yang ingin keluar dari negara kesatuan republik indonesia.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    25/39

    Selama lebih dari 10 tahun, Jakarta sering berkelit bahwa di Papua sudah ada Undang-

    Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Namun, sayangnya, otonomi

    tersebut tidak sejalan dengan tujuannya. Seringkali otonomi diidentikkan dengan jumlah dana

    untuk Papua. Padahal, masyarakat Papua sendiri "bingung" soal angka yang dimaksudkan.

    Jangan sampai ada klaim pemerintah pusat telah menyalurkan dana ke Papua dalam rangkaotonomi khusus. Padahal dana itu hanya menumpang atau transit di Papua untuk selanjutnya

    kembali ke Jakarta dan dimanfaatkan oleh penguasa serta pengusaha dari pusat dan sebagian

    kalangan elite di Papua semata.

    Saatnya menyongsong Jokowi-JK dan kabinetnya untuk bekerja dengan hati yang tulus,

    layaknya matahari menyinari bumi yang tidak meminta kompensasi apapun.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    26/39

    Kolom Agama

    Kamis, 13 November 2014

    Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme

    Kisruh pengosongan kolom agama di kartu tanda penduduk telah keluar dari gelanggang

    pokok perdebatan yang sesungguhnya. Sebagian masyarakat mengira wacana yang digulirkan

    Menteri Dalam Negeri adalah menghapus kolom agama di KTP. Akibatnya, perdebatan

    semakin tidak konstruktif karena menuding pemerintah ateis dan menempatkan agama

    sebagai identitas yang tak terlalu penting.

    Akar filosofis pengosongan kolom agama di KTP sejatinya hanya ditujukan kepada

    penghayat kepercayaan yang notabenetidak diakui secara resmi oleh negara. Sedangkan

    masyarakat yang menganut salah satu dari enam agama yang diakui negara tetap

    mencantumkan kolom agama. Kehendak pemerintah tersebut seharusnya memperoleh

    dukungan penuh karena berupaya mengembalikan hak warga negara untuk memilih agama

    dan keyakinan yang secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945.

    Penganut kepercayaan selama ini menjadi tumbal politik pilih kasih, salah satunya soal

    pengaturan pencatatan kependudukan yang bias, terutama soal diskriminasi. Praktek

    administrasi kependudukan mewajibkan setiap warga mencantumkan satu dari lima agama

    yang diakui pemerintah dalam KTP. Aturan ini jelas menyulitkan penghayat kepercayaan

    karena dipaksa berafiliasi kepada agama tertentu yang bertentangan dengan nuraninya.

    Keyakinan adalah persoalan pencarian kebenaran sebagai urusan manusia dengan Tuhan

    yang tidak bisa direcoki oleh rezim ataupun otoritas mana pun. Pemaksaan dalam hal agama

    merupakan sisi gelap demokrasi tuna adab yang harus disingkirkan.

    Sejarah pahit pemaksaan tersebut mengingatkan kita pada peristiwa pada masa Orde Baru.

    Dalam bidang pendidikan, pada 1975, kurikulum pendidikan sekolah dasar dan lanjutan

    melarang mata pelajaran agama Konghucu diajarkan di sekolah-sekolah. Umat Konghucudipaksa mengikuti pelajaran agama lain. Dalam bidang administrasi kependudukan, pada

    1977, Mendagri mengeluarkan instruksi rahasia untuk menetapkan peraturan khusus

    pembuatan kartu keluarga dan KTP. KTP bagi etnis Cina hanya diberi kode khusus dengan

    tanda O.

    Diskresi pemerintah untuk memutus mata rantai diskriminasi dalam administrasi

    kependudukan tersebut menunjukkan bahwa negara memiliki iktikad baik untuk meniadakan

    pelembagaan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan dikotomi agama/kepercayaan.

    Sebab, Pasal 28 e UUD 1945 dengan tegas melindungi hak asasi warga negara, terutama hak

    setiap warga negara untuk memeluk agama dan menganut kepercayaannya, hak untuk bebas

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    27/39

    dari diskriminasi, serta hak untuk berkesamaan kedudukan di hadapan hukum dan

    pemerintahan.

    Wacana pengosongan kolom agama pada KTP bagi penghayat kepercayaan sejatinya baru

    dinilai sebatas langkah kecil. Sebab, masih banyak persoalan lebih besar yang dihadapimereka dalam kaitan dengan layanan birokrasi kependudukan. Penganut kepercayaan tertentu

    selama ini tidak bisa mencatatkan perkawinannya karena agama yang dianut tidak diakui

    negara. Walhasil, mereka dipaksa pindah sejenak ke agama lain untuk melegalkan

    perkawinannya.

    Anak-anak penganut aliran kepercayaan yang sedang mengenyam pendidikan juga kerap

    dipaksa memilih salah satu mata pelajaran pendidikan agama di luar keyakinannya. Apa

    boleh buat, negara harus menegakkan konstitusi, sehingga setiap warga negara memiliki

    kedudukan setara dalam memperoleh hak asasinya.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    28/39

    Infrastruktur Kartu Indonesia Sehat

    Kamis, 13 November 2014

    Franka Soeria Natanegara Semin,pengamat, berdomisili di Turki.

    Berbicara tentang Kartu Indonesia Sehat (KIS), kita akan diingatkan tentang kartu BPJS

    (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Dua-duanya memiliki kegunaan sama, yaitu

    membantu pengobatan warga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Bedanya, KIS

    adalah penyempurnaan dari program BPJS, sehingga akses kesehatan yang diberikan

    memiliki lingkup lebih luas kepada seluruh warga Indonesia.

    Namun tentu tidaklah mudah untuk memulai suatu program yang sifatnya masif. Program

    seperti ini memerlukan sosialisasi yang jitu, prosedur yang tepat dan mudah, serta

    infrastruktur pendukung yang kuat. Saat KIS dibagikan ke masyarakat, diharapkan

    infrastrukturnya telah terbentuk, sehingga bisa digunakan dengan efisien dan dapat mencegah

    manipulasi transaksi di lapangan. Infrastruktur yang dimaksudkan ada dua: memadainya

    jumlah rumah sakit dan tenaga ahli untuk menampung jumlah pasien yang dirujuk ke rumah

    sakit dan perlunya sistem pemantauan dalam setiap transaksi untuk menghindari manipulasi

    di lapangan.

    Perlu diperhatikan ketersediaan ranjang yang ada. Sampai saat ini tercatat ada 16 ribu ranjang

    yang tersedia di rumah sakit seluruh Indonesia. Sementara itu, jumlah total pemegang KIS

    berkisar 80 jutaan orang nantinya. Apabila, misalnya, hanya 3 persen yang harus dirujuk ke

    rumah sakit, jumlah total ranjang yang diperlukan sejumlah 24 ribu. Apabila yang dihitung

    hanya ranjang kelas 3 dan 4, kemungkinan besar jumlahnya di bawah 10 ribu saja. Jumlah ini

    jelas tidak memadai. Hal ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah.

    Tantangan berikutnya adalah kebutuhan akan sistem yang efektif untuk memantau setiap

    transaksi di lapangan, dari pemantauan terhadap diagnosa dan obat yang tepat hingga tagihan

    ke pemerintah yang sesuai dengan pelayanan. Sebetulnya pelayanan kesehatan nasional inimirip dengan asuransi kesehatan swasta, di mana perusahaan asuransi swasta bekerja sama

    dengan berbagai rumah sakit dan memantau setiap kasus dengan teliti. Ini sangat penting

    karena tagihan rumah sakit harus sesuai dengan aturan polis yang dikeluarkan. Perusahaan

    asuransi biasanya menunjuk third party processor(TPA) dalam menganalisis setiap

    transaksi.

    Program kesehatan nasional ini seharusnya juga dapat menganut sistem yang sama.

    Menunjuk BPJS sebagai TPA-nya tidak dapat begitu saja menyelesaikan masalah, karena

    nantinya akan ada jumlah transaksi yang cukup besar setiap bulannya.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    29/39

    Rasanya mustahil untuk dilakukannya analisis secara manual pada setiap kasus. Salah satu

    contoh yang baik adalah perusahaan asuransi swasta menggunakan sistem online monitoring

    yang disediakan oleh PT Telkom melalui anak perusahaannya, Admedika. Semua kasus

    menjalaniscreeningmelalui sistem ini dan perusahaan asuransi bisa mengetahui jumlah

    kasus yang berjalan, termasuk jumlah biayanya, sehingga bisa mengetahui liabilitysetiapsaat.

    Sistem onlineseperti ini juga bisa membantu penyaringan dari awal penyakit yang tidak

    tercantum dalam polis. Intinya, dengan sistem online,manipulasi di lapangan akan terkendali

    dengan baik. Tujuan KIS yang baik sebaiknya diiringi dengan infrastruktur yang kuat. Sistem

    manual akan menjadi momok bagi pemerintah dan hanya akan menyulitkan di kemudian

    hari.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    30/39

    Korupsi dan Politik

    Jum'at, 14 November 2014

    Ahmad Taufik, dosen STIKOM Bandung, mantan kandidat komisioner KPK 2014.

    Seorang anggota DPR dari sebuah partai besar memiliki sebidang tanah yang luas di sebuah

    tempat di Jawa Timur. Dia memang dikenal sebagai seorang pengusaha real estate. Di tengah

    tanahnya ada sebuah jalan kampung kecil. Sebagai seorang anggota DPR, dia mengusulkan

    anggaran pembangunan infrastruktur jalan itu atas nama kepentingan publik. Kemudian,

    anggaran sebesar Rp 120 miliar disetujui panitia anggaran DPR.

    Akibat persetujuan itu, setidaknya ada dua keuntungan yang diperoleh anggota DPR dan

    pengusaha real estateyang memiliki lahan itu. Pertama, dia memperoleh akses jalan tanpa

    perlu membangunnya sendiri sebagai pengusaha real estate. Kedua, harga tanah miliknya

    melambung sekian kali lipat karena adanya akses jalan di atas lahan miliknya.

    Bisa dibayangkan, hal seperti itu bukan hanya satu, melainkan banyak peristiwa. Hal ini tak

    terjangkau petugas pemberantasan korupsi. Smooth legal corruption, korupsi resmi yang

    dilakukan secara perlahan-lahan berbalut anggaran untuk kepentingan publik, tapi

    sesungguhnya memuat kepentingan pribadi untuk menangguk keuntungan. Dimulai dari

    perencanaan, sampai pelaksanaannya, korupsi di sini tak terendus petugas pemberantas

    korupsi.

    Korupsi dan politik memang berhubungan erat. Contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari

    korupsi yang berhubungan dengan (proses) politik. Tak mengherankan jika ada yang

    menawarkan rumusan korupsi politik ataupolitical corruption. Menurut Ketua Muda Pidana

    Mahkamah Agung, hakim Artidjo Alkostar,political corruptionatau korupsi politik adalah

    kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuasaan politik (Alkostar, 2009).

    Robert G. Thobaben, dalam bukuIssues in American Political Life(2005), menyatakansecara sempit korupsi politik mengacu pada tindakan pejabat publik yang tidak jujur dan

    ilegal, antara lain menerima suap. Dalam arti luas, korupsi dapat mencakup tindakan pejabat

    publik yang tidak ilegal, tapi terjadi secara integral dalam sistem pemerintahan yang

    demokratis. Sebagai contoh, pejabat terpilih menerima sumbangan kampanye besar dari

    individu kaya atau menerima honor saat memberi pidato atau kuliah umum untuk kelompok

    kepentingan.

    Korupsi politik yang dikemukakan Thobaben tersebut memuat elemen pokok bahwa pelaku

    perbuatan yang tidak jujur dan melawan hukum adalah pemegang kekuasaan politik atau

    pejabat publik. Korupsi politik merupakan spesies darigenuskorupsi yang umum. Lebih

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    31/39

    tinggi lagi, korupsi politik ada yang disebut top hat crime, korupsi politik yang dilakukan

    oleh orang yang memiliki kekuasaan politik tertinggi, seperti presiden, kepala negara, ketua

    atau anggota parlemen, dan pejabat tinggi pemerintahan. Korupsi politik memiliki dampak

    merusak yang lebih dahsyat dibanding korupsi biasa.

    Para pelaku korupsi politik, yang mempunyai kekuasaan politik dengan segala kewenangan,

    kesempatan, dan sarana dapat memperlancar dan memiliki modus operandi dalam

    memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Yang dirisaukan

    banyak orang, pemegang kekuasaan politik itu bisa mengubah aturan untuk melemahkan

    upaya pemberantasan/penindakan korupsi. Misalnya, dalam UU MD3 atau rencana revisi UU

    KPK.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    32/39

    Tafsir TransformatifBlusukan

    Kamis, 13 November 2014

    Wawan Sobari, Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya

    Pada awal era pemerintahan Kabinet Kerja, para menteri melakukan blusukan.Melalui

    kegiatan inspeksi mendadak, misalnya, para petinggi itu turun mendatangi warga di terminal,

    pelabuhan, pasar, bandara, rumah sakit, instansi pelayanan perizinan, pusat pelatihan

    olahraga, hingga tempat penampungan calon tenaga kerja migran.

    Sejumlah kalangan mengkritik blusukan menteri sebagai upaya pencitraan.Blusukanditudingmenjadi instrumen populis para pejabat publik agar mereka dipersepsikan sebagai sosok yang

    dekat dengan rakyat (populist appearance), lewat aktivitasnya mendatangi kantong-kantong

    warga.

    Selain pengkritik, tak sedikit pula kalangan yang mengapresiasi blusukansebagai metode

    sederhana guna mengontrol praktek-praktek diskresi birokrasi bawahan (street level

    bureaucracy). Para pejabat publik bisa mendengar keluhan dari masyarakat, sekaligus

    menyaksikan faktanya secara langsung.

    Dalam konteks demokrasi, blusukanmenjadi relevan saat sebuah rezim yang berkuasa

    mengklaim pemerintahannya demokratis. Praktek blusukan dinilai selaras dengan prinsip

    utama demokrasi, yakni kesetaraan (Somerville, 2011). Demokrasi menghendaki tak adanya

    perbedaan jarak antara pemimpin dan rakyat saat menentukan keputusan publik.

    Ketika rakyat tampaknya mengadu kepada pejabat, sebenarnya mereka sedang

    menyampaikan haknya untuk mendapat perlakuan yang setara dalam segala aspek, misalnya

    hak sebagai seorang penumpang, pengungsi, pasien, calon TKI, pedagang, petani, nelayan,

    atau atlet. Dengan mengeluh, rakyat meminta agar setiap satu suaranya diperhitungkan dalam

    keputusan. Dengan kata lain, blusukan merupakan satu media untuk mengakomodasi danmensintesis berbagai pandangan mengenai persoalan-persoalan publik.

    Saat pemilu presiden 2014 lalu, blusukanmenjadi salah satu instrumen populisme moderat

    yang konsisten dengan demokrasi.Blusukan, yang mempraktekkan interaksi sejajar lewat

    temu muka langsung antara kandidat dan rakyat, menjadi cara kampanye populer yang

    menawarkan gagasan dan solusi sederhana terhadap permasalahan warga. Secara tak

    langsung, warga menjadi sadar akan hak dan suara mereka dalam pemilu, yang bisa

    dikonversikan menjadi tuntutan dan kebutuhan.

    Dalam praktek partisipasi, blusukansecara positif berguna untuk meminimalkan praktek-

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    33/39

    praktek tiran partisipasi instrumental. Misalnya, pelaksanaan partisipasi seremonial dalam

    kegiatan-kegiatan perencanaan pembangunan dari tingkat desa. Dalam prakteknya,

    musyawarah ternyata cenderung hanya menjadi forum curah aspirasi perwakilan warga yang

    hadir, tanpa ada jaminan diakomodasi saat pembahasan anggaran oleh pihak eksekutif dan

    legislatif. Karena itu, pertemuan-pertemuan seperti itu dapat lebih banyak menampung suarakalangan elite dan terpelajar ketimbang kebutuhan dan permintaan khalayak pada umumnya

    (elite capture).

    Bertolak belakang dengan partisipasi instrumental, blusukanbisa bermakna transformatif bila

    memenuhi tiga kriteria partisipasi, sebagaimana dikatakan Chambers (1997). Hal itu adalah

    tidak membuat jarak dengan warga, menciptakan kesetaraan posisi, dan menanggalkan label

    keprofesionalan atau belajar dari warga saat berdialog dengan mereka. Bila sudah dijalankan,

    blusukantransformatif akan menjadi masukan berharga dan meningkatkan kualitas

    keputusan-keputusan pemerintah.

    Pun, dalam praktek-praktek perencanaan partisipatoris, blusukansebenarnya merupakan

    insentif positif bagi warga untuk terlibat karena para elite mau berinteraksi secara langsung.

    Dalam bahasa Jawa dikenal ungkapan diwongke atau diorangkan, yang bermakna

    penghargaan atau memberi perhatian. Warga terdorong untuk terlibat dan berkontribusi

    karena merasa suaranya direkenatau didengar dan dipertimbangkan oleh para petinggi.

    Untuk itu, blusukanakan berkontribusi dalam mendorong kebijakan pembangunan yang lebih

    akomodatif, karena mampu membuka akses yang setara kepada setiap warga, terutama untuk

    kaum minoritas dan marginal. Selain itu, blusukanbisa mendorong keaktifan warga untukterlibat, termasuk kalangan swasta. Bahkan, tak mustahil hal ini akan memunculkan jejaring

    yang mempersatukan para warga yang secara sukarela mendedikasikan sebagian waktu dan

    keahliannya untuk kemanfaatan publik.

    Namun perlu pula diingat bahwa partisipasi transformatif ala blusukanbisa berpotensi tiran

    bila hanya mengandalkan keluhan atau aspirasi warga secara parsial. Di sinilah letak

    pentingnya dukungan data-data makro-sosial-ekonomi masyarakat seperti yang dirilis Badan

    Pusat Statistik. Untuk memperbanyak jalur partisipasi, warga bisa pula memanfaatkan laman

    LAPOR yang dikelola UKP4 untuk menyampaikan pengaduan soal pelayanan dan

    pembangunan.

    Terakhir, guna melembagakan blusukanperlu dilakukan kajian mengenai posisi dan

    kemungkinan penggunaanya dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah

    sesuai dengan UU 25/2004. Tujuannya adalah agar blusukantak sekadar menjadi aksi-aksi

    sporadis dan kerap dituding bermotif pencitraan.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    34/39

    Momentum Hari Santri

    Sabtu, 15 November 2014

    Junaidi Abdul Munif,penulis

    Presiden Joko Widodo mewacanakan Hari Santri yang akan diperingati setiap 1 Muharram.

    Wacana ini mendapatkan respons pro dan kontra.

    Selama ini, sebagai mayoritas, umat Islam mengalami pasang-surut hubungan dengan negara.

    Sudah lama pesantren distigmakan sebagai lembaga tradisional dan kaum santri dianggap

    "kolot" karena dituduh enggan menerima kemajuan.

    Santri dicitrakan hidup berkutat pada pengajian kitab kuning, sebagian bersikap nyinyir

    dengan buku-buku putih, yakni buku-buku yang ditulis oleh orang non-muslim atau berisi

    wacana kontemporer. Tapi itu dulu, ketika pesantren dicitrakan demikian. Kini, ketika santri

    juga mendapatkan akses yang sama untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, santri

    terbukti berhasil beradaptasi tanpa kehilangan ciri khas kepesantrenan.

    Secara terminologi,santrimerupakan pelajar yang mengenyam pendidikan di pesantren. Gus

    Dur menyebut pesantren sebagai subkultur dari kultur Indonesia. Di pesantren memang

    banyak ditemukan moda kebudayaan yang unik dangenuine. Pesantren adalah lembaga

    pendidikan tertua di Indonesia, dengan model pengajaran yang diawasi penuh oleh kiai.

    Ada jutaan orang yang pernah menjadi santri dan masih menjadi santri. Distribusinya pun tak

    terbatas pada komunitas keagamaan, tapi juga telah merambah ke segala bidang kehidupan.

    Dari kiai kelas kampung sampai birokrat di kancah nasional, banyak ditemukan mereka yang

    alumni pesantren.

    Penghargaan kepada kaum santri dan komunitas pesantren sangat penting karena kiprah

    mereka pada masa kolonialisme dan pasca-kemerdekaan sudah tidak perlu diragukan lagi.Tradisi pesantren yang mulai tertanam pada abad ke-9 di Barus, dan pada abad ke-19

    melahirkan proto-nasionalisme yang digagas kiai yang mengajar di Mekkah-Madinah

    (Zamakhsyari Dhofier, [revisi] 2011), adalah saksi hidup perjalanan bangsa.

    Bagi kaum santri sendiri, penghargaan ini disikapi dengan dualisme di atas. Yang setuju

    beralasan bahwa sudah saatnya santri "dihargai" oleh negara dengan diberi hari peringatan.

    Saatnya negara membalas budi kepada kaum santri. Yang tidak setuju berargumen bahwa

    perjuangan santri adalah mengharap rida Allah semata dan tiada sangkut-pautnya dengan

    negara.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    35/39

    Sebenarnya, penghargaan kaum santri justru menemukan momentumnya ketika maraknya

    model keberagamaan Islam yang justru menafikan kebinekaan Indonesia dan berhasrat ingin

    mendirikan negara khilafah. Gerakan seperti ini bertentangan dengan tekad kaum santri yang

    ingin meneguhkan keberadaan NKRI. Khasanah keilmuan pesantren pun belum banyak

    tergali, terutama ilmu-ilmu pesantren yang tidak berkaitan dengan agama.

    Berbicara tentang santri, sebetulnya berbicara tentang keindonesiaan yang beragam budaya,

    nasionalisme yang berpadu dengan ajaran Islam. Santri merupakan penyokong nasionalisme

    yang utama. Ideologi santri berjalan pada aras pernyataan Gus Dur, "Kita adalah orang

    Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang hidup di Indonesia."

    Pernyataan Gus Dur tersebut merupakan kesimpulan dari sejarah panjang kedatangan Islam

    di Nusantara. Wali Songo berhasil memadukan unsur lokal dengan Islam, sehingga

    melahirkan kebudayaan Islam santri yang khas dan tiada duanya di dunia. Semoga Hari

    Santri bukan merupakan siasat politik Jokowi sebagai "balas budi" pasca-pemilu presiden

    2014. *

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    36/39

    Budi Sang Kerbau

    Sabtu, 15 November 2014

    Heri Priyatmoko, Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM

    Kabar mengejutkan tentang kematian kerbau bule alias Kyai Slamet, hewan piaraan khas

    masyarakat agraris yang menjadi pusaka Keraton Kasunanan, awal bulan lalu,

    mengemukakan dua fakta.

    Pertama, orang tiada lagi percaya atas "kesaktian" kerbau istana sampai berani

    menombaknya. Kedua, betapa kejam perilaku manusia terhadap binatang yang mestinyadibelaskasihani itu.

    Menarik untuk membentangkan lembaran sejarah lokal dan mencomot kearifan budaya

    perihal kerbau. Banyak sumber mengatakan kerbau adalah hewan istimewa dalam peradaban

    Nusantara sepanjang masa dibanding kambing, burung, dan lainnya. Kerbau pernah mewakili

    kepercayaan kuno totemisme, yakni penyembahan manusia terhadap hewan yang diyakini

    membawa ketenteraman semesta. Kepala kerbau dijadikan persembahan utama sewaktu

    pihak kerajaan hendak membangun jembatan dan memperbaiki kapal besar Rajamala.

    Harapannya, kegiatan lancar, tanpa memakan korban.

    Mundur ke periode prasejarah. Arca-arca kepala yang menyerupai kerbau ditemukan pada

    kubur batu di Jawa Timur. Pahatan kerbau juga terdapat pada sarkofagus di situs Munduk

    Tumpeng, Bali. Ini dikaitkan dengan simbol kesuburan dan kendaraan arwah. Sampai

    sekarang, ornamen atau bagian tubuh kerbau dipilih untuk menghiasi rumah adat Toraja.

    Berarti, kerbau berhasil menembus ruang dan waktu.

    Di lingkungan pedesaan, kerbau dianggap kawan sejati petani, bahkan patron bagi dunia

    pertanian. Kenyataan historis ini dicatat rapi oleh Thomas Raffles dalam bukunya yang

    menjadi klasik, The History of Java. Pembesar pemerintah kolonial Inggris itu mengatakankerbau di Jawa lebih kecil daripada kerbau Sumatera atau Semenanjung Malaya, tapi lebih

    gemuk ketimbang kerbau Bengali atau kerbau pulau di timur laut Jawa.

    Orang Sunda menyebut kerbau dengan nama munding. Penyebutan itu bukan tanpa riwayat.

    Para pangeran dan keluarga bangsawan menyandang gelar maesa lalean atau munding sari

    demi menghormati tokoh yang kali pertama mengenalkan cara bercocok tanam di kawasan

    Sunda (lalean).

    Boleh dibilang, nasib baik petani sebagian bergantung pada kerbau, sebagian lagi alam. Tidak

    mengherankan bila di beberapa desa di Jawa saban malam Jumat Paing didapati orang sibuk

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    37/39

    menyiapkan sesaji untuk kesejahteraan kerbau mereka. Romo Sindhunata (2010) menuturkan

    masyarakat petani percaya bahwa kerbau tersebut memiliki roh dan danyang-danyang.

    Dengan sesaji itu, dipanggillah roh dan para danyang supaya bersedia melindungi kerbau itu,

    membuatnya menjadi sentosa, sehat, dan kuat membajak.

    Kerbau menguntit sampai ke panggung hiburan manusia. Dalamjanturan jejerpada

    pertunjukan wayang, diuraikan bahwa kerbau, sapi, kambing itik, dan ayam merupakan

    binatang peliharaan wong Jawa. DalamManikmaya, diceritakan bahwa kerbau dan banteng

    telah dijinakkan untuk menemani manusia mencari nafkah, seperti membajak, menjadi alat

    transportasi, dan binatang niaga. Pada titik tertentu, kerbau menjadi simbol kekayaan warga

    yang tinggal di desa.

    Dari kilas balik ini, terang bahwa kerbau adalah lambang keselamatan dan kesejahteraan

    masyarakat Nusantara. Negeri ini di masa lampau banyak berutang budi kepada kerbau. *

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    38/39

    Pembangunan Infrastruktur danKonektivitas

    Sabtu, 15 November 2014

    Atantya H. Mulyanto,pengamat kebijakan publik

    Presiden Joko Widodo menyampaikan paparan yang memukau para pemimpin dunia dan

    CEO yang hadir dalam APEC CEO Summit di Beijing, Cina. Intisari pidato Presiden adalah

    isu infrastruktur dan konektivitas. Infrastruktur adalah kata kunci kemajuan suatu bangsa.

    Sebab, pembangunan infrastruktur akan menimbulkan efek bangkitan dan tarikan bagi

    aktivitas perekonomian lainnya.

    Terdapat sejumlah tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia (Dardak, 2013).

    Pertama, sebaran penduduk, luas wilayah, dan kondisi geografis. Kedua, paradigma

    "pembangunan cepat" yang mengedepankan sasaran fisik semata sering kali mengorbankan

    kualitas infrastruktur.

    Ketiga, di bidang sumber daya air, sebagian daerah aliran sungai (DAS) telah rusak, yaitu 62

    DAS dari jumlah total 470 DAS, sehingga mengakibatkan penurunan fungsi daerah

    tangkapan dan resapan air. Saat ini jaringan irigasi yang terbangun mencapai 6,77 juta

    hektare (1,67 juta ha belum berfungsi), dan jaringan irigasi rawa 1,8 juta ha untuk

    mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional. Namun ada masalah lain berupa alih

    fungsi lahan pertanian sekitar 35 ribu ha per tahun.

    Keempat, di bidang jalan, jaringan jalan nasional 37 persen dalam kondisi baik, 44 persen

    sedang, 8 persen rusak ringan, kurang dari 11 persen rusak berat, atau 81 persen dalam

    kondisi mantap dan 19 persen tidak mantap. Di samping keterbatasan dana, ada masalah

    kurangnya keandalan jalan yang disebabkan ketidakdisiplinan pengguna jalan, seperti

    kendaraan dengan muatan berlebih dan masih perlu ditingkatkannya kompetensi pelaksana

    proyek.

    Kelima, terkait dengan konektivitas, di bidang pelabuhan, Indonesia sebagai salah satu negara

    maritim terbesar di dunia masih sangat tertinggal dibanding negara lain dalam ketersediaan

    pelabuhan dan industri pendukungnya, termasuk galangan kapal.

    Isu konektivitas juga menjadi visi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Terjemahannya

    adalah, dengan membangun infrastruktur pelabuhan yang dapat menghubungkan seluruh

    wilayah Indonesia, pasokan dan distribusi logistik barang dapat dilakukan secara efektif dan

    efisien. Pelabuhan yang dimaksud adalah pelabuhan laut dalam (deep sea port). Dengandemikian, kapal-kapal besar berkapasitas 3.000-4.000 TEUS dapat bersandar.

  • 7/26/2019 Caping+Cari angin+kolom Tempo 9.11.2014-15.11.2014

    39/39

    Namun RAPBN 2015 dipastikan tidak menyediakan ruang fiskal yang cukup untuk

    pembangunan program tol laut. Karena itu, Presiden Jokowi menegaskan bahwa program

    andalannya tersebut bakal dibangun tanpa anggaran negara.

    Lalu, dari mana sumber pendanaan program tersebut? Pertama, pembangunan programdiserahkan ke beberapa BUMN (Pelindo, IPC, dan sebagainya). Kedua, investasi diserahkan

    ke investor lokal. Terakhir, menyerahkan ke investor luar negeri. Investasi dapat

    menggunakan skema PPP (public private partnership).

    Pada kesimpulannya, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,

    pemerintah harus memiliki kebijakan pembangunan infrastruktur komprehensif yang

    meliputi, pertama, pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air baku

    dengan membangun reservoirtampungan air baku, penanganan konservasi, dan pengendalian

    banjir. Untuk mendukung kedaulatan pangan, jumlah waduk harus lebih banyak lagi. Saat ini

    di Indonesia terdapat 236 bendungan besar dan kecil dan lebih dari 19 ribu jaringan irigasi

    yang mengairi area sawah sekitar 4,8 juta ha. Sebanyak 11 waduk ditargetkan mulai dibangun

    pada akhir 2014. Pada 2014-2019, minimal ada 20 bendungan lagi sehingga mampu

    menambah ketersediaan air 14 miliar meter kubik.

    Kedua, bidang infrastruktur jalan pembangunan difokuskan untuk mendukung penyusunan

    cetak biru transportasi sistem jaringan multimoda yang sesuai dengan cetak biru sistem

    logistik nasional, keterpaduan antar-moda transportasi seperti jaringan jalan KA, bandar

    udara, dan pelabuhan laut.

    Ketiga, bidang infrastruktur permukiman meliputi perbaikan kualitas rumah tinggal

    masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), penyediaan sarana dan prasarana umum air

    minum pada kawasan kumuh, permukiman nelayan, serta pembangunan infrastruktur

    permukiman untuk mendukung sektor perikanan dan agrobisnis.

    Rumah tapak (landed house) untuk MBR harus ditingkatkan kualitasnya agar tercipta

    kehidupan yang lebih sehat. Kegiatan lain adalah pengembangan kawasan-kawasan

    agropolitan (desa pertanian maju) maupun minapolitan (desa nelayan maju), serta

    mendukung revitalisasi kawasan untuk pengembangan pariwisata. Dengan demikian,

    kawasan agropolitan dan minapolitan dapat menjadi embrio bagi munculnya kota-kota

    berbasis agro yang lebih tertata pada masa mendatang. Jadi, defisit pasokan rumah (backlog)

    yang saat ini diperkirakan mencapai 15 juta dapat teratasi secara bertahap.

    Seluruh dimensi pembangunan tersebut harus dilaksanakan secara lintas sektoral,

    komprehensif, dan terstruktur antar-kementerian dan lembaga, agar terciptaIndonesia

    incorporatedyang menjadi cita-cita kita semua, bangsa Indonesia. *