28
ASMA BRONKIAL 1. Definisi Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasann yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala pernapasan. 1 Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri- ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. 2 2. Epidemiologi Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai 1

Case Report Asma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Asma

Citation preview

Page 1: Case Report Asma

ASMA BRONKIAL

1. Definisi

Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasann

yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang

reversible dan gejala pernapasan.1 Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,

fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode

sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan

fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah

episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada

ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran

napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.2

2. Epidemiologi

Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi

masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi

dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun

cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma

bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian.

Selama sepuluh tahun terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma

bronkial dan penyakit alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai

belahan dunia. Semua penelitian ini walaupun memakai berbagai metode dan

kuisioner namun mendapatkan hasil yang konsisten untuk prevalensi asma

bronkial sebesar 5-15% pada populasi umum dengan prevalensi lebih banyak pada

wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang

pasti namun diperkirakan berkisar 3-8%.3

Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi (atopi)

dan 50% pasien asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi. Asma

bronkial atopi ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap satu atau lebih alergen

seperti debu, tungau rumah, bulu binatang dan jamur. Atopi ditandai oleh

peningkatan produksi IgE sebagai respon terhadap alergen. Prevalensi asma 1

Page 2: Case Report Asma

2

bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%. Asma bronkial merupakan interaksi

yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Data pada penelitian saudara

kembar monozigot dan dizigot, didapatkan kemungkinan kejadian asma bronkial

diturunkan sebesar 60-70%.3

3. Patogenesis

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel.

Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel

epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf. Hiperresponsif bronkus

adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai rangsangan dan

menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respon bronkus biasanya

mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada saluran nafas atas, atau paparan

bahan kimia. Hiperesponsif bronkus dihubungkan dengan proses inflamasi saluran

napas. Pemeriksaan histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel

radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental.

Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi

pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T disertai

pelepasan epitel bronkus.4

Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic

protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen dari

bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa. Sel epitel

sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel bronkus merupakan

kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini mungkin dapat menerangkan berbagai

mekanisme hiperresponsif bronkus oleh karena paparan ozon, infeksi virus, dan

alergen. Kerusakan epitel mempunyai peranan terhadap terjadinya hiperresponsif

bronkus melalui cara pelepasan epitel yang menyebabkan hilangnya pertahanan,

sehingga bila terinhalasi, bahan iritan akan langsung mengenai submukosa yang

seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot

polos bronkus terhadap bahan spasmogen.4

Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula

akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan leukotrin dapat

Page 3: Case Report Asma

3

menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi ekstravasasi makromolekul.

Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan edema saluran napas sehingga terjadi

pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa. Keadaan ini menyebabkan

peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang konstraksi otot polos bronkus.

Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada

saluran napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari

mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan peningkatan kebocoran

mikrovaskuler, hal ini berperan dalam terjadinya asma pada malam hari. 4

Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan

patogenesis asma masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada tonus

bronkus terjadi sangat cepat. Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan

nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator

inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan

terjadinya reaksi reseptor saraf otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran

nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi

mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel

inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab

bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa

rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan

bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi.

Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena rangsangan reseptor sensorik

pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre) oleh mediator inflamasi.4

4. Faktor Risiko2

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor

lingkungan.

1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya

mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,

Page 4: Case Report Asma

4

penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan

faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,

prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak

perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih

sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor risiko

asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran

napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun

mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan

asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status

kesehatan.

2. Faktor Lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit

binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).

3. Faktor Lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,

jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,

tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.

c. Bahan yang mengiritasi

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

Page 5: Case Report Asma

5

Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu

juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala

asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami

stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah

pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih

sulit diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,

sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang

dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada

usia dini.

f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

g. Exercise-induced asthma

Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga

tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika

melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling

mudah menimbulkan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi

segera setelah selesai aktivitas tersebut.

h. Perubahan cuaca

Cuaca yang lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi

asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya

serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,

seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari

beterbangan).

i. Status ekonomi

5. Diagnosis dan Klasifikasi

Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera

didiagnosis dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1 Diagnosis penyakit asma bronkial

perlu dipikirkan apabila ada gejala batuk yang disertai dengan wheezing (mengi)

yang karakteristik dan timbul secara episodik. Gejala batuk terutama terjadi pada

Page 6: Case Report Asma

6

malam atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan aktivitas fisik. Adanya riwayat

penyakit atopik pada pasien atau keluarganya memperkuat dugaan adanya

penyakit asma. Dermatitis atopik dan alergi makanan merupakan penyakit alergi

yang pertama kali muncul pada usia tahun pertama anak, kemudian dapat

berkembang menjadi alergi respiratorik.2

Pada pemeriksaan fisik terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien.

Pasien dengan kondisi sangat berat akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot

tambahan untuk membantu bernapas juga harus menjadi perhatian, sebagai

indikator adanya obstruksi yang berat. Adanya retraksi otot

sternokleidomastoideus dan suprasternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi

paru.1

Frekuensi pernapasan (RR) > 30 x/menit, takikardi > 120 x/menit atau

pulsus paradoxus > 12 mmHg merupakan tanda vital adanya serangan asma akut

berat. Lebih dari 50% pasien dengan asma akut berat, frekwensi jantungnya

berkisar antara 90-120 x/menit. Umumnya keberhasilan pengobatan terhadap

obstruksi saluran pernapasan dihubungkan dengan penurunan frekwensi denyut

jantung, meskipun beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek

bronkotropik dari bronkodilator.1

Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) perlu dilakukan

pada seluruh pasien asma akut untuk mengeksklusi hipoksemia. Pengukuran SpO2

diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke dalam gagal napas dan kemudian

memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukan

agar SpO2 92% tetap terjaga.1

Pemeriksaan radiologis dilakukan hanya untuk menyingkirkan

kemungkinan adanya penyakit paru lain. Pemeriksaan patologi ditemukan adanya

hipertrofi otot polos bronkus, peningkatan sekresi mukus dalam lumen bronkus,

edema pada mukosa saluran nafas, inflamasi pada dinding dan lumen saluran

napas dengan infiltrasi sel eosinofil dan netrofil.2

Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat

yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma

diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan

persisten berat seperti ditunjukkan pada tabel 1.

Page 7: Case Report Asma

7

Berdasarkan beratnya serangan1

1. Serangan asma ringan : sesak nafas saat berjalan, berbicara kalimat,

kesadaran mungkin agitasi, frekuensi nafas meningkat, terdapat

penggunaan otot bantu napas, mengi terdengar keras, nadi 100-120

kali/menit, pulsus paradoksus tidak ada, APE sesudah terapi awal > 80%,

PaO2 normal, PaCO2 < 45 mmHg dan saturasi O2>95%.

2. Serangan asma sedang

Sesak napas saat berbicara dan lebih suka duduk, berbicara kata-kata,

kesadaran biasanya agitasi, frekuensi napas meningkat, penggunaan otot

napas ada, mengi terdengar tanpa stetoskop, nadi 100-120x/menit, pulsus

paradoksus mungkin ada, APE sesudah terapi awal 60-80%, PaO2 > 60

mmHg, PaCO2 < 45 mmHg dan saturasi O2 91-95%.

3. Serangan asma berat

Sesak napas saat istirahat dan duduk membungkuk, berbicara kata demi

kata, kesadaran biasanya agitasi, frekuensi 30x/menit, penggunaan otot

napas ada, mengi terdengar keras, nadi 120x/menit, pulsus paradoksus

sering ada >25 mmHg, APE sesudah terapi awal < 60% < 100 L/menit,

PaO2 < 60 mmHg, PaCO2 > 45 mmHg dan saturasi O2<90%.

6. Penatalaksanaan

Page 8: Case Report Asma

8

Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal,

bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi

reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka

kematian akibat asma. Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka

pendek dapat menyebabkan kematian, sedangkan jangka panjang dapat

mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun.

Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat

yang tepat, cara untuk menghindari faktor pencetus. Dalam penanganan pasien

asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar,

pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan dalam

rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan, jamur, dan alergen di luar

rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi udara. Obat aspirin

dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor pencetus asma. Olah raga dan

peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma. Psikoterapi

dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma.5

Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala

dan obstruksi saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua

kelompok besar yaitu reliever dan controller. Reliever adalah obat yang cepat

menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi saluran napas. Controller adalah obat

yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Obat yang termasuk

golongan reliever adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin,dan kortikosteroid

sistemik. Agonis beta-2 adalah bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan

asma. Agonis Beta-2 mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas

kapiler, dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan

agonis beta-2 merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan

ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsif

bronkus. Obat agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol

dan isoprenalin, merupakan obat golongan simpatomimetik. Efek samping obat

golongan agonis beta-2 dapat berupa gangguan kardiovaskuler, peningkatan

tekanan darah, tremor, palpitasi, takikardi dan sakit kepala. Pemakaian agonis

beta-2 secara reguler hanya diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak

dapat lepas dari bronkodilator.6

Page 9: Case Report Asma

9

Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya

ipratropium bromid dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid mempunyai efek

menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan

menghambat pembentukan cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa

kering di mulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan

dengan kerja obat agonis beta-2 yang diberikan secara inhalasi. Ipratropium

bromid digunakan sebagai obat tambahan jika pemberian agonis beta-2 belum

memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk

penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem atau pada penderita

yang disertai dengan bronkitis yang kronis.6

Obat golongan xantin seperti teofilin dan aminofilin adalah obat

bronkodilator yang lemah, tetapi jenis ini banyak digunakan oleh pasien karena

efektif, aman, dan harganya murah. Dosis teofilin peroral 4 mg/kgBB/kali, pada

orang dewasa biasanya diberikan 125-200 mg/kali. Efek samping yang

ditimbulkan pada pemberian teofilin peroral terutama mengenai sistem

gastrointestinal seperti mual, muntah, rasa kembung dan nafsu makan berkurang.

Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis

tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi, takikardi dan aritmia, stimulasi

sistem saraf pusat .5,6

Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi

seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil, dan antihistamin

aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat dapat juga

digunakan sebagai controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah

bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita

asma. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap

lebih aman daripada kortikosteroid. Perkembangan terbaru natrium kromoglikat

menghasilkan natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai

tambahan pada penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi

belum mendapat hasil yang optimal.6

Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma,

biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik

Page 10: Case Report Asma

10

seperti rinitis alergi. Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada sebagian

penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma.5

Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang paling kuat. Kortikosteroid

menekan respons inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler,

menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah kemotaksis dan aktivitas sel

inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrin.

Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitifitas otot pernafasan yang dipengaruhi

oleh stimulasi beta-2 melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian

steroid dianjurkan dengan dosis seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid

peroral dapat diberikan secara intermiten beberapa hari dalam sebulan atau dosis

tunggal pagi selang sehari (alternate day), atau dosis tunggal pagi hari.4

Pemberian kortikosteroid peroral sering menimbulkan efek samping pada

saluran cerna seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh, osteoporosis,

peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri, hipokalemi,

moonface, retensi natrium dan cairan, obesitas, cushing syndrom, bullneck dan

yang paling ditakutkan adalah terjadinya supresi kelenjar adrenal. Efek samping

timbul terutama pada pemberian sistemik dalam jangka lama, maka lebih baik

diberikan obat steroid kerja pendek misalnya prednison, hidrokortison, atau

metilprednisolon. Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral, kemudian diturunkan

secara bertahap 50% setiap 3-5 hari. Hidrokortison diberikan 4 mg/kgBB secara

bolus diikuti 3 mg/kgBB/6jam. Metilprednisolon diberikan 50-100 mg/6 jam

secara intravena. Sekarang ini tersedia kortikosteroid dalam bentuk inhalasi

seperti budesonide, fluticasone. Dosis budesonide inhalasi untuk orang dewasa

bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah 400-1600 mikrogram/hari dibagi

dalam 2-4 dosis, sedangkan untuk anak dianjurkan 200-400 mikrogram/hari

dibagi dalam 2-4 dosis. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi lebih baik

dibandingkan pemberian secara sistemik, karena konsentrasi obat yang tinggi

pada tempat pemberian langsung dibawa melalui pernafasan dan bekerja langsung

pada saluran napas sehingga memberikan efek samping sistemik yang lebih kecil.

Penelitian dari Agertoft dan Pedersen menunjukkan bahwa pemakaian budesonide

tidak mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi

merupakan pilihan pertama untuk menggantikan steroid sistemik pada penderita

Page 11: Case Report Asma

11

asma kronik yang berat. Efek samping yang sering ditimbulkan dapat berupa

kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara serak, infeksi paru, dan kerusakan

mukosa. Pernah dilaporkan efek samping dispnoe dan bronkospasme pada

penggunaan kortikosteroid inhalasi. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa

penggunaan kortikosteroid secara inhalasi tidak menyebabkan terjadinya

osteoporosis, gangguan pertumbuhan, dan gangguan toleransi glukosa.4

Pemberian kortikosteroid sistemik lebih sering menimbulkan efek samping,

maka sekarang dikembangkan pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan

pemberian obat inhalasi yaitu mula kerja yang cepat karena obat bekerja langsung

pada target organ, diperlukan dosis yang kecil secara lokal, dan efek samping

yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma kortikosteroid inhalasi

merupakan pilihan yang lebih baik.4

ILUSTRASI KASUS

Page 12: Case Report Asma

12

IDENTITAS PASIEN:

Identitas Pasien

Nama : Nn. Susilawati

Umur : 21 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : islam

Pekerjaan : Karyawan salon

Status : Belum menikah

Alamat : Sungai Pagar

Masuk RS : 8 Maret 2011

Tanggal Pemeriksaan : 8 Maret – 10 Maret 2011

ANAMNESIS

Autoanamnesis

Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan sesak

nafas. Sesak nafas bertambah bila pasien batuk, batuk (+) disertai dahak

dan nafas berbunyi ‘ngik’. Pasien berobat ke puskesmas dan keluhan

belum berkurang, namun sesak muncul kembali setelah obat habis.

Sejak 1 hari SMRS keluhan sesak nafas pasien muncul kembali, pasien

langsung berobat ke klinik dokter, diberi pengasapan namun keluhan sesak

tidak berkurang dan obatnya masih ada.

Sejak 6 jam SMRS sesak nafas yang dirasakan pasien semakin berat, pada

pernafasan terdengar bunyi ‘ngik’ semakin keras, pasien lebih suka posisi

duduk daripada berbaring, sesak bertambah jika pasien berbicara dan

pasien hanya dapat mengucapkan beberapa kata ketika berbicara. Pasien

Page 13: Case Report Asma

13

juga mengeluhkan batuk-batuk berdahak, dahak bewarna putih, tidak

berdarah, demam(-), pasien dibawa ke IGD RSUD AA dan diberi

pengasapan lagi, karena belum tampak perubahan, pasien dirawat inap di

NURI 11.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat asma dari kecil, sesak nafas timbul bila pasien

terpapar debu, asap rokok, stres dan jika terlalu kecapean setelah bekerja.

Gejala sesak lebih kurang 2 kali dalam seminggu, gejala sesak napas

malam >2x dalam sebulan. Sesak napas dirasakan mengganggu aktivitas

dan tidur

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung

Lebih kurang 2 tahun yang lalu pernah menderita keluhan yang sama

Pasien juga mempunyai riwayat nyeri diulu hati

Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah pasien menderita asma.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan

Pekerjaan pasien karyawan disebuah salon kecantikan sudah lebih kurang

1 tahun, pasien tidak suka mengkonsumsi sayur dan buah

Ventilasi di kamar pasien kurang baik. Di kamar terdapat 1 jendela

berukuran < 1 m2 yang jarang dibuka.

Pemeriksaan Umum

Kesadaran : Komposmentis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 72x/i

Nafas : 27x/menit

Suhu : 36,50C

Pemeriksaan Fisik

Page 14: Case Report Asma

14

Kepala

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor,

diameter 3 mm, refleks cahaya +/+

Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)

Thoraks

Paru

Inspeksi : Bentuk dan gerakan dada kanan = kiri, pernapasan

torakoabdominal, gerakan otot bantu napas (+), sela iga melebar (-),

retraksi iga (-)

Palpasi : Fremitus kanan=kiri

Perkusi : Sonor, batas bawah paru kanan dan kiri pada thorakal X.

Batas paru-hepar = RIC VI dengan peranjakan 2 jari. Batas paru-lambung

= RIC VII

Auskultasi : Ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), ronki kering (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus kordis teraba lemah di RIC V 1 jari medial LMCS

Perkusi : Batas-batas jantung

Kanan : RIC V linea sternalis dextra

Kiri : RIC V 1 jari medial linea mid clavicula sinistra

Auskultasi : bunyi jantung normal, bising jantung (-)

Abdomen

Inspeksi : Perut datar , venectasi (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan dan nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Tympani

Auskultasi : Bising usus 5x/menit

Ekstremitas (Superior et inferior)

Akral hangat, pitting udem(-), clubbing finger (-)

Pemeriksaan Penunjang

Page 15: Case Report Asma

15

Hasil laboratorium tanggal 8 Maret 2011 :

Darah rutin

Hb : 13,2 gr%

Leukosit : 12.000/mm3

Trombosit : 278000/mm3

Hematokrit : 41 vol%

Kimia darah

Gula darah sewaktu (GDS) : 114 mg/dl

Kolesterol : 168 mg/dl

Dbilirubin : 0,1 mg/dl

Tbilirubin : 0,9 mg/dl

AST : 24 IU/L

ALT : 11 IU/L

Albumin : 3,7 gr/dl

Total Protein : 8,2 gr/dl

Resume

Pasien Nn. Susi, 21 tahun, masuk ke Nuri II RSUD AA melalui IGD pada

tanggal 8 maret 2011 pukul 08.00 WIB dengan keluhan utama sesak nafas hebat

sejak 6 jam SMRS. Nafas berbunyi ‘ngik’, hilang timbul, pasien lebih suka posisi

duduk daripada berbaring, pasien hanya dapat mengucapkan beberapa kata ketika

berbicara. Pasien juga mengeluhkan batuk-batuk, berdahak dan bewarna putih.

Pasien memiliki riwayat asma dari kecil, sesak nafas timbul bila pasien terpapar

debu, asap rokok, dan bila terlalu kecapean, saat tidur malam, lebih kurang 2x

dalam seminggu, gejala sesak nafas malam > 2 kali dalam sebulan, mengganggu

aktivitas dan tidur. Pasien juga memiliki riwayat asma sejak kecil dan bapak

pasien juga punya keluhan yang sama.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan penggunaan otot bantu pernapasan (+),

ekspirasi memanjang (+) dan wheezing (+/+).

DAFTAR MASALAH

Page 16: Case Report Asma

16

Asma bronkial sedang pada asma persisten ringan

Nyeri ulu hati

RENCANA PEMERIKSAAN

Spirometri

Analisa gas darah

Rencana Penatalaksanaan

Non Farmakologi

- Istirahat

- hindari faktor pemicu seperti asap

- menjaga kebersihan kamar tidur agar tidak banyak debu menumpuk

Farmakologi

- IVFD D5% 20 tts/i + aminofilin drip 1 ampul

- O2 5 L/i

- Nebulizer Combivent 3x1

- Salbutamol 2x2 mg

- Dexamethasone 3x1 ampul

- Ambroxol 3x1 cth

- Ranitidin 2x1 gr

Follow Up

9 Maret 2011

S : sesak nafas berkurang, batuk berdahak (+), tidak selera makan

O : TD 90/70 mmHg, nadi 72x/i, nafas 30x/i, wheezing (+/+)

A : Asma bronkial ringan pada asma persisten ringan

P : IVFD D5% 20 tts/i + aminofilin drip 1 ampul

- Salbutamol 2x1 mg

- Ambroxol 3x1 cth

- Dexamethasone 3x1 ampul

- Ranitidin 2x1 gr

- B-Complex 3x1 tab

Page 17: Case Report Asma

17

Follow up

10 Maret 2011

S : Sesak nafas berkurang, batuk kadang-kadang ada dan berdahak putih,

nyeri ulu hati berkurang

O : TD 100/80 mmHg, nadi 89x/i, nafas 28x/menit

A : Asma bronkial ringan pada asma persisten ringan

P : IVFD D5% 20 tts/i + aminofilin drip 1 ampul

- Salbutamol 2x2 mg

- Ambroxol 3x1 cth

- Dexamethasone 3x1 ampul

- Ranitidin 2x1 gr

- B-Complex 3x1 tab

PEMBAHASAN

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis asma bronkial sedang pada asma

persisten ringan karena adanya keluhan sesak nafas yang timbul bila pasien

terpapar debu dan asap rokok. Bila sesak nafas timbul terdengar suara ‘ngik’.

Sesak terutama timbul pada malam hari. Gejala sesak nafas > 1 kali dalam

seminggu, gejala sesak nafas malam > 2 kali dalam sebulan, sesak nafas

mengganggu aktivitas da tidur. Hal ini sesuai dengan kriteria klasifikasi derajat

asma persisten ringan berdasarkan gambaran klinis. Pasien lebih suka posisi

duduk, sesak bertambah jika pasien berbicara dan pasien hanya dapat

mengucapkan beberapa kata ketika berbicara. Hal ini sesuai dengan kriteria

beratnya serangan asma yaitu serangan asma sedang. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan adanya ekspirasi memanjang dengan wheezing terdengar pada kedua

lapangan baru.

Asma bronkial dicirikan sebagai suatu penyakit kesulitan bernafas, batuk,

dada sesak dan adanya suara wheezing. Gejala asma dapat terjadi secara spontan

atau mungkin diperberat dengan pemicu yang berbeda antar pasien. Frekuensi

asma mungkin memburuk pada malam hari oleh karena tonus bronkomotor dan

Page 18: Case Report Asma

18

reaktivitas bronkus mencapai titik terendah antara jam 3-4 pagi, meningkatkan

gejala bronkokontriksi.

Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga

saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi

jalan nafas dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (beta-2 agonis

dan antikolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran napas serta mencegah

kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid sistemik lebih awal.

Penyuluhan:

Pencegahan kekambuhan asma dilakukan dengan pencegahan sensitisasi

alergi. Penderita sebaiknya mengurangi pajanan dengan beberapa alergen indoor

dan outdoor. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah emosi-stres, terlalu

lelah dan faktor lain. Pasien diupayakan untuk dapat memahami sistem

penanganan asma secara mandiri. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin

yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai

pengontrol. Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi

serangan dikenal sebagai pelega dan pasien juga dianjurkan untuk berolahraga

misalnya senam asma.

Page 19: Case Report Asma

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Dalam: buku

ajar ilmu penyakit dalam jilid II ed.4. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal. 978-87.

2. Rengganis I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah

Kedokteran Indonesia. 2008;58(11):444-51.

3. Sastrawan IGP, Suryana K, Rai IBN. Prevalensi asma bronkial atopi pada

pelajar di Desa Tenganan. Jurnal Penyakit Dalam. 2008;9(1):48-53.

4. Meiyanti, Mulia JI. Perkembangan patogenesis dan pengobatan asma

bronkial. Jurnal Kedokteran Trisakti. 2000;19(3):125-32.

5. Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:

Airlangga University press: 1989 ;1-11.

6. Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. Hubungan antara

Eosinofil sputum dengan Hiperaktivitas Bronkus pada Asma Persisten

Sedang. Jurnal Respirologi Indonesia: 2006;1-45.