Upload
hendrik-surya-adhi-putra
View
141
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tinjauan pustaka Demam Berdarah Dengue
Citation preview
1
Tinjauan Pustaka
Demam Berdarah Dengue Grade II
I. PENDAHULUAN
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan gejala utama demam 2-7 hari, nyeri
kepala (cephalgia), nyeri retroorbital, nyeri otot dan sendi, yang disertai leukopenia,
ruam limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang di tandai oleh hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrom ) adalah demam berdarah
yang disertai oleh tanda-tanda syok.1
Sampai saat ini DBD masih merupakan masalah kesehatan di beberapa negara,
terutama daerah tropik seperti Indonesia. Di Indonesia pada tahun 1995-1997 dilaporkan
proporsi kasus DBD menurut kelompok umur telah bergeser menjadi lebih banyak
ditemukan pada kelompok umur lebih dari 15 tahun.2
Sejak Januari sampai tanggal 17
Maret 2004 Kejadian Luar Biasa DBD di Indonesia telah menimbulkan 39.938 kasus
dengan 498 kematian atau CFR 1,3% dan Incidence Rate 15/100.000 penduduk.2 Di
provinsi Bali pada tahun 2003, jumlah penderita adalah sebesar 2.363 orang dan 7 orang
diantaranya meninggal, sedangkan pada tahun 2004 sebesar 1.890 orang dan 8 orang
diantaranya meninggal, dan pada tahun 2005 sebesar 3.594 orang dan 18 orang
diantaranya meninggal.9
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne
Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
Virus ini mempunyai empat jenis serotipe : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. DEN-3
adalah serotype yang terbanyak yang ditemukan di indonesia.1 DEN-1 dan DEN-2
ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-II, sedangkan DEN-3 dan
DEN-4 ditemukan saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk
batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil-eter dan natrium
dioksikolat, stabil pada suhu 70C.
2
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu : manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ini sendiri ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypty betina. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus
dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Sekali virus dapat
masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan menularkan
virus selama hidupnya (infected). Pada manusia, virus memerlukan waktu 4-6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan sakit.
Gejala klinis DBD sangat bervariasi dari yang ringan atau yang asimtomatik
sampai yang berat dengan syok atau perdarahan, bahkan mungkin dengan kematian.
Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi hanya terhadap serotipe yang
bersangkutan, sehingga tidak dapat menimbulkan antibodi dan memberikan perlindungan
yang memadai terhadap serotipe lainnya. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman
tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman
pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD
serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis
kurang memadai.
Jumlah kasus DHF paling tinggi terjadi pada akhir musim hujan. Perubahan
musim agaknya mempengaruhi frekuensi gigitan dan panjang umur nyamuk, perubahan
itu pula yang mempengaruhi kebiasaan manusia untuk tinggal di dalam rumah.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit juga disebabkan
karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru,
kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor
nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat serotipe virus yang
bersirkulasi sepanjang tahun.
Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi
kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa
melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang
ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode
tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, dan Dengue Shock
Syndrome
2.1.1 Demam Dengue
Demam Dengue adalah infeksi virus Dengue tanpa disertai dengan kebocoran
plasma. Secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39-40°C, bersifat
bifasik, menetap antara 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai
berikut:
Nyeri kepala
Nyeri reto-orbital
Mialgia/artralgia
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif)
Leukopenia
2.1.2 Demam Berdarah Dengue
DBD adalah infeksi virus Dengue yang disertai dengan kebocoran plasma.
Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit
antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan hemostasis
dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopenia (sedang
sampai berat) dan hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalu dijumpai.5
2.1.3 Dengue Shock Syndrome
Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan suatu keadaan infeksi dari Demam
Berdarah Dengue yang ditandai dengan adanya kegagalan dari sirkulasi, termasuk
menyempitnya tekanan nadi (<20 mmHg).1
2.2 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi
4
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari
(vijfdaagse koorts) kadang-kadang juga disebut sebagai demam sendi (knokkel koorts).
Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai
dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue
di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan
kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulakan penyakit dengan
manifestasi berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian menyebar
ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968
penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi.5
Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan tahun 1972 yaitu di Sumatera Barat,
Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, dan Bali tahun 1973. Tahun 1994 DBD telah
menyebar di seluruh propinsi di Indonesia. Pada tahun 1994 insidennya 9,7 per 100.000
penduduk dan sampai tahun 1996 terjadi kecenderungan peningkatan insiden.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran virus Dengue
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) urbanisasi yang tidak
terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk di daerah
endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.5
Morbiditas dan Mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara
lain status imunisasi penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu
30 tahun sejak ditemukannnya virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah
penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai
saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence Rate meningkat dari 0,005 per 100.000
penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100.000 penduduk pada
tahun 2000. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. Di Indonesia, karena pola suhu
dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak
berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai
5
awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekiter bulan
April-Mei setiap tahun.5
2.3 Virus Dengue
Demam Dengue (DD) dan DBD disebabkan virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis seroptipe, yaitu : DEN-1, DEN-2,
DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe
yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat
kurang, sehingga tidak akan memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe
yang lain tersebut. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3
atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan
sejak tahun 1975 dibeberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe
ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang
dominan dan diasumsikan benyak yang menunjukkan manifestasi klinis yang berat.5
Virus Dengue mempunyai karakteristik yang sama dengan flavivirus lain,
genomnya terdiri RNA rantai tunggal (single stranded), dikelilingi oleh nukleokapsid
ikosahedral dan ditutupi oleh amplop lipid. Diameter virion sekitar 50nm. Genom
flavivirus panjangnya 11kb (kilobase), disusun oleh 3 gen protein struktural yaitu yang
mengkode nukleokapsid atau protein inti (core: C), protein membran (membrane: M),
dan protein amplop (envelope: E), dan 7 gen protein non struktural (NS) (Rothman,
2004). Untuk menginfeksi sel target, VD menggunakan glikoprotein pada amplop virus,
yang mengandung komponen yang dibutuhkan untuk berikatan dan melakukan fusi
dengan sel target dan juga untuk berinteraksi dengan reseptor di sel target. Sel target
primer yang telah diketahui pada infeksi VD adalah monosit dan makrofag.
Kemungkinan sel target lain adalah sel dendritik dari monosit imatur (immature
monocyte-derived dendritic cells).3
Di Indonesia, serotipe 1, 2, 3, dan 4 telah berhasil diisolasi dari darah penderita.
Dari sebagian besar penderita DBD derajat berat maupun yang meninggal, diisolasi
DEN-3. Selama 17 tahun terakhir serotipe yang mendominasi adalah serotipe DEN-2 dan
6
DEN-3. Fakta yang ada sekarang adalah semua jenis virus dapat ditemukan pada kasus
fatal. Artinya semua serotipe VD dapat saja membuat kematian.
2.4 Patogenesis Infeksi Virus Dengue
Hipotesis infeksi heterolog sekunder (the secondary heterologous infection
hyphotesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut sebagai
konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan menderita
DHF apabila mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda
dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun. Hipotesis lain
yang menentangnya adalah hipotesis virulensi virus, menurut hipotesis ini perbedaan
virulensi serotipe virus dengue adalah penyebab terjadinya DHF.1
Kelemahan hipotesis pertama adalah ketika dilaporkan adanya kasus DSS pada
seorang anak wanita berusia 3 tahun di jakarta yang mengalami infeksi primer.
Kelemahan hipotesis kedua adalah tidak adanya bukti eksperimental, baik percobaan
binatang maupun kultur jaringan yang dapat membuktikan perbedaan virulensi keempat
serotiope virus dengue tersebut.1
Hipotesis teori infeksi sekunder menyatakan secara tidak langsung bahwa
penderita yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog
maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
inflamasi seperti TNF α, IL-1,PAF, IL-6 dan histamine menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskuler dan mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma, protein dan
elektrolit. Keadaan ini dapat berkembang menjadi hipovolemia dan syok.1
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
7
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal
ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena
itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.5
8
Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya syok pada DBD5
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar
2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat
satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.5
9
Gambar 2.2 Patogenesis Perdarahan pada DBD5
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.
2.5 Spektrum Klinis Penyakit
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus
dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness),
10
Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD)
dan Sindrom Syok Dengue (SSD).
2.6 Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak kadang-
kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri
otot, tulang, atau sendi, mual muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk
makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang
tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama
di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekie. Hasil
pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni.
Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa.
Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan
perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan
menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan
dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai
kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang
dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.5
11
2.7 Demam Berdarah Dengue
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri
menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang
ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan
dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada
bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif,
kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas
pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus diternukan tersebar di daerah
ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal
dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran
cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi
dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran
hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesar hati lebih
sering ditemukan pada penderita dengan syok.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat
mengalami syok.
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan
pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/l biasa ditemukan pada hari ke-3
sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai
hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari
peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul
dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya
terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai
hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah
leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, Iimfositosis relatif dengan limfosit
12
atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat
kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi
tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan
antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan
pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama
sebelah kanan. Berat ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya
penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.5
2.8 Dengue Shock Syndrome
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3
sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke
dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-
Iemah, tekanan nadi < 20 mmHg dan hipotensi. Jadi untuk menilai tekanan nadi
perhatikan tekanan sistolik dan diastolik, misalnya 100/90 mmHg (berarti tekanan nadi
10 mmHg) atau hipotensi (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang).
Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat perhatian serius, oleh karena bila
tidak diatasi sebaik-baiknya dan secepatnya dapat menyebabkan kematian. Pasien dapat
dengan cepat masuk ke dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock), pada saat itu
tekanan darah dan nadi tidak dapat terukur lagi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar
sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan
adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau
pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya
seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk
prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari kadang-kadang
ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik
baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. Sebagian besar pasien
masih tetap sadar walaupun telah memasuki fase terminal. Pasien dengan perdarahan
intraserebral dapat disertai kejang dan koma. Ensefalopati dapat terjadi berhubungan
dengan gangguan metabolik dan elektrolit.4,5
13
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang setelah
demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah, akral (ujung) ekstremitas teraba dingin, disertai dengan kongesti kulit.
Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan
plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pasien biasanya akan sembuh spontan
setelah pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus berat, keadaan umum pasien
mendadak menjadi buruk setelah beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat
setelah suhu turun, antara hari sakit ke 3-7, terdapat tanda kegagalan sirkulasiberupa kulit
teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut,
pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, keeil sampai tak teraba. Pada saat akan terjadi
syok, beberapa pasien tampak sangat lemah, dan sangat gelisah. Sesaat sebelum syok
seringkali pasien mengeluh nyeri perut.
2.9 Kriteria Diagnosis dan Derajat Penyakit
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO lahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk
mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).5
Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlansung terus menerus selama 2-7
hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
Uji torniquet positif,
Petekie, ekimosis, purpura,
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau
melena.
c. Pembesaran hati.
d. Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin dan pasien tampak gelisah.
14
Kriteria Laboratoris
a. Trombositopeni (100.000/l atau kurang).
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
Dua kriteria pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan
hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau
hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan atau
terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia
mendukung diagnosis DBD.
Derajat Penyakit (WHO, 1997)5
DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya menifestasi
perdarahan ialah uji torniquet.
Derajat II : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, adan anak tampak gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.
Catatan : Adanya trombositopenia disertai hemokonsentrasi membedakan DBD derajat
I/II dengan DD.
2. 10 Pemeriksaan Penunjang5,6
2.10.1 Pemeriksaan laboratorium
Darah. Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining pasien demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai
gambaran limfosit plasma biru.
15
Uji tourniquet ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan vaskular. Uji ini juga
dapat memberikan hasil positif pada infeksi virus selain virus dengue. Pemeriksaan
dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada tekanan sistolik
ditambah diastolik dibagi 2 selama 5 menit. Hasil positif bila ditemukan 10 atau lebih
petekie per 2,5 cm2 atau 1 inchi.
Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DHF merupakan indikator
terjadinya perembesan plasma. Selain hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia,
dan leukopenia.
Masa pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa perdarahan biasanya
memanjang. Pada pemeriksaan kimia darah tampak hipoproteinemia, hiponatremia serta
hipokloremia pada kebocoran plasma. Serum alanin-aminotransferase (SGOT/SGPT),
ureum dan pH darah mungkin meningkat.
IgM terdeteksi pada hari ke-5, meningkat sampai minggu III, menghilang setelah 60-
90 hari. IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke-14, sedangkan pada infeksi
sekunder mulai hari ke-2. Interpretasi pemeriksaan IgM dan IgG :
Urine. Mungkin ditemukan albuminuria ringan
Sumsum tulang. Pada awalnya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari ke-
5 dengan gangguan maturasi sedangkan pada hari ke-10 biasanya sudah kembali normal.5
Serologi.
1. Uji Hambatan Hemaglutinasi yang merupakan gold standard WHO untuk
mendiagnosis infeksi virus dengue.
2. Uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi
3. Uji ELISA
4. Uji Dengue Blot Dot imunoasai Dengue Stick
Ig M G Interpretasi
+ - Infeksi primer
- + Kemungkinan infeksi sekunder
+ + Infeksi sekunder
16
Isolasi virus
Ada beberapa cara isolasi dikembangkan , yaitu :
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 – 3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia ( LLCKMK2 ) dan nyamuk A. alboptctus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva.
2.10.2. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan namun apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien
tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.5
2.11 Diagnosis Banding
1. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus
atau infeksi protozoa, leptospirosis dan malaria.
2. Demam cikungunya.
3. Sepsis, meningokokus.
4. Idiopatic thrombocytopenia purpura.
5. Leukemia atau anemia aplastik.
6. Hepatitis akut dan leptospirosis jika DBD terdapat hepatomegali.
2.12 Penatalaksanaan
Prinsip utama penatalaksanaan DBD adalah terapi suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat pendarahan. Asupan cairan harus dijaga terutama cairan oral. Jika
asupan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi. 1,2,3
17
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit dalam Indonesia (PAPDI) telah
menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria3
:
Penatalaksanaan kasus tersangka DBD dan tanpa syok
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Penatalaksanaan DBD dewasa dengan peningkatan hematokrit >20%
Penatalaksanaan DBD dewasa dengan perdarahan spontan
Penatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada dewasa
Indikasi Pemberian Darah
Taerdapat perdarahan secara klinis
Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit turun,
diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgBB
Apabila kadar hematokrit >40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil
Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskuler desiminator (DIC) pada syok berat dengan
perdarahan masif
Pemberian transfusi suspensi trombosit harus selalu disertai lasma segar.
2.13 Kriteria Pemulangan Pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila :5,6
- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipretik
- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit > 50.000 / ul
- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
2.14 Prognosis
Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan,
18
umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.
DBD derajat II dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.
Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50% tetapi dengan terapi
penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2%. Tanda-tanda prognosis yang baik pada
DSS adalah pengeluaran urin yang cukup dan kembalinya nafsu makan.5,6
2.15 Komplikasi Dengue Shock Syndrome
Pada syok yang berkepanjangan atau tidak diatasi dengan baik maka dapat terjadi
beberapa komplikasi sebagai berikut :5
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi
penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apati atau
somnolen, dapat disertai kejang, dan dapat terjadi pada DBD/DSS. Apabila pada pasien
syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya ensefalopati, syok
harus diatasi terlebih dulu. Apabila syok telah teratasi, maka perlu dievaluasi kembali
mengenai kesadaran pasien. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah teratasi dan
kesadaran tetap menurun (hati-hati bila jumlah trombosit < 50.000/l). Pada ensefalopati
dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT
memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas darah, dan
hiponatremia (bila mungkin periksa kadar amoniak darah).
19
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang.
Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah
syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml/kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok
belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok
berulang. Pada keadaan syok berat seringkali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai
penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar dan kreatinin
2.16 Demam Berdarah Dengue Grade II
DBD grade II merupakan infeksi virus dengue yang disertai dengan manifestasi
perdarahan spontan dan pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya
trombositopenia (< 100.000/mm3) serta bukti kebocoran plasma. Manifestasi perdarahan
tersebut muncul akibat respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi system komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi system koagulasi melalui kerusakan endotel pembuluh darah (gambar 2.1).
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
1. Mekanisme terjadinya perdarahan pada DBD
Pada pasien DBD penyebab terjadinya perdarahan adalah vaskulopati, trombositopeni
dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Bagan
yang ditunjukkan pada gambar 2.4. menunjukkan bahwa komplek virus antibodi
mengakibatkan trombositopenia dan juga gangguan fungsi trombosit. Selain itu komplek
virus antibodi ini mengaktifkan faktor Hageman (faktor XIIa) sehingga terjadi gangguan
sistem koagulasi dan fibrinolisis yang memperberat perdarahan, serta mengaktifkan
sistem kinin dan komplemen yang mengakibatkan peningkatan permiabilitas pembuluh
darah dan kebocoran plasma serta meningkatkan risiko terjadinya KID yang juga
memperberat perdarahan yang terjadi.
20
Perdarahan kulit seperti torniquet (uji Rumple Leede, uji bendung) positif,
petekie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva merupakan jenis perdarahan yang
terbanyak. Petekie muncul pada hari-hari pertama demam dan merupakan tanda yang
tersering ditemukan. Epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena merupakan
tanda perdarahan lain yang bisa terjadi pada pasien DBD. Kadang-kadang dijumpai pula
hematuri atau perdarahan subkonjungtiva.
Gambar 2.4. Patofisiologi perdarahan pada DBD10
Tidak semua tanda perdarahan tersebut terjadi pada penderita DBD. Perdarahan
yang paling ringan adalah uji torniquet positif. Hal ini berarti bahwa telah terjadi
peningkatan fragilitas kapiler. Hal ini juga dapat dijumpai pada penyakit yang disebabkan
oleh virus lain seperti juga seperti campak, demam chikungunya, infeksi bakteri seperti
pada tifus abdominalis. Uji torniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie
dalam diameter 2,5 cm di lengan bawah bagian depan (volar) termasuk pada lipatan siku
(fossa cubiti) 2,3
.
Vi-ab
XIIa
Trombosit Pembekuan Fibrinolisis Kinin Komplemen
Agregasi TF3 Plasmin
RES Fibrin
Anafilatoksin
Trombositopenia FDP
Permeabilitas pb
darah
PERDARAHAN KID
Hipoksia
asidosis
SYOK
Volume plasma
21
2. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa (Protokol 4)9
Kasus DBD
Perdarahan spontan dan masif: - Epistaksis tidak terkendali
- Hematemesis melena
- Perdarahan otak
Syok (-)
↓
Hb, Ht, Trombo, Leuko, Pemeriksaan hemostasis (KID)
Golongan adarah, uji cocok serasi
KID (+) KID (-)
Tranfusi komponen darah: Tranfusi komponen darah:
- PRC (Hb<10g/dl) - PRC (Hb<10g%)
FFP FFP
- TC (tromb<100.000) - TC (tromb<100.000)
- Heparinisasi 5000-10000/24jam drip - Monitoring Hb, Ht, Tromb. tiap 4-6 jam
- Monitoring Hb, Ht, Tromb. tiap 4-6 jam - Ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam
- Ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam kemudian
kemudian
- Cek APTT tiap hari, target 1,5-2,5 kontrol
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro,Nainggolan L. Demam Berdarah Dengue. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid III. Edisi ketiga. Jakarta;Balai Penerbit FKUI;1996.p.1709-1721
2. Hadinegoro Srh. Satari HI. Demam Berdarah dengue .naskah lengkap pelatihan
bagi Dokter Spesialis Anak dan Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana
Kasus DBD.Jakarta :Balai Penerbit FKUI :2000.
3. Hadinegoro, Sri Rejeki. Soegijanto, Soegeng. Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue Di Indonesia. Jakarta ; Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Republik Indonesia ; 2001
4. Widodo D. Sindrom renjatan dengue pada orang dewasa. In : Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta ; Pusat Informasi dan Penerbitan
Penyakit Dalam FKUI ; 2000
5. Merati, Tuti Parwati. Demam Berdarah Dengue. In : Pedoman Diagnosis Dan
Terapi Penyakit Dalam RSUP Sanglah. Denpasar ; Lab/SMF Penyakit Dalam FK
UNUD/RS Sanglah ; 1994. p.215-220.
6. Rani, A. Azis. Demam Berdarah Dengue. In : Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta ; Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006.
7. Mansjoer Arif, Suprohaita, Ika Wardhani Wahyu, Setiowulan Wiwiek. Kapita
Selekta Kedokteran FK UI edisi III jilid 2 th.2000. h. 430-431.
8. Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Dengue Fever. in : N Engl J
Med;2002.p.1770-73.
9. Suseno U, Rosita R, Lebang Y. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Indonesia.
In: Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Jakarta ; Departemen Kesehatan ; 2005.
10. Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. Pathophysiology and management of
dengue hemorrhagic fever. Journal Compilation. Transfusion Alternatives in
Transfusion Medicine. 2006;8(suppl 1);pp3-11.
11. Zein U. Divisi Penyakit Tropik & Infeksi Fakultas Kedokteran USU Medan, In:
Pedoman Penatalaksanaan ODC Pasien DBD Dewasa. Medan ; 2004.