3
Gadis itu Bernama Tegar Oleh : Farhana Rizka Isnaini ‘Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian,dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.” Pagi itu ada yang berubah. Entah Aku yang terlalu perasa atau memang dirinya yang memancarkan aura yang berbeda. Gadis itu biasa saja. Pipinya gembil, hidungnya kecil membulat diujungnya, matanya lebar dengan berbingkai kacamata minus setengah dan berkulit sawo matang. Tak ada kelebihan fisik yang terlalu menonjol pada dirinya. Hanya saja, ada ketegaran yang luar biasa dari gadis itu. Ada ketabahan yang tak dapat terlukiskan dalam kelam matanya. Dia pendengar yang luar biasa. Didepannya Aku habis kehilangan daya. Pertahanan yang aku bangun atas nama area yang tak boleh terjamah luluh seketika. Kata-kataku bagai air yang mengalir, deras tak dapat aku bendung. Dia menelanjangiku hingga tulang. Dan takkan pernah ada rahasia yang dapat aku sembunyikan. Didepannya aku seolah menjadi manusia yang kurang manusia. Pernah suatu ketika aku bercerita tentang mereka. Tentang pergejolakan yang ada dalam darah yang mengalirkan darahku juga. Didepannya aku tak pernah takut untuk menyuarakan apa yang aku rasakan. Aku tak perlu menjadi seorang munafik demi merebut sebagian simpatinya. Karena,pada saat itu juga perhatiannya dia berikan seutuhnya padaku. Aku tak perlu bersembunyi dibalik topeng. Dan aku tak perlu merangkai kata

Cerpen gadis itu bernama tegar- farhana-xii ipa c - 14

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Cerpen gadis itu bernama tegar- farhana-xii ipa c - 14

Gadis itu Bernama Tegar

Oleh : Farhana Rizka Isnaini

‘Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar.

Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian,dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih

dan menyakitkan.”

Pagi itu ada yang berubah. Entah Aku yang terlalu perasa atau memang dirinya yang memancarkan aura yang berbeda.

Gadis itu biasa saja. Pipinya gembil, hidungnya kecil membulat diujungnya, matanya lebar dengan berbingkai kacamata minus setengah dan berkulit sawo matang. Tak ada kelebihan fisik yang terlalu menonjol pada dirinya. Hanya saja, ada ketegaran yang luar biasa dari gadis itu. Ada ketabahan yang tak dapat terlukiskan dalam kelam matanya. Dia pendengar yang luar biasa. Didepannya Aku habis kehilangan daya. Pertahanan yang aku bangun atas nama area yang tak boleh terjamah luluh seketika. Kata-kataku bagai air yang mengalir, deras tak dapat aku bendung. Dia menelanjangiku hingga tulang. Dan takkan pernah ada rahasia yang dapat aku sembunyikan. Didepannya aku seolah menjadi manusia yang kurang manusia.

Pernah suatu ketika aku bercerita tentang mereka. Tentang pergejolakan yang ada dalam darah yang mengalirkan darahku juga. Didepannya aku tak pernah takut untuk menyuarakan apa yang aku rasakan. Aku tak perlu menjadi seorang munafik demi merebut sebagian simpatinya. Karena,pada saat itu juga perhatiannya dia berikan seutuhnya padaku. Aku tak perlu bersembunyi dibalik topeng. Dan aku tak perlu merangkai kata untuk mendramatisir suasana. Terkadang, tanpa berceritapun dia tahu apa yang sedang aku rasakan. Bersamanya seperti dia ada dan aku merasa cukup.

“Lalu sikap apa yang sebaiknya aku ambil?” tanyaku.

“Mereka bukan anak kecil. Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Apa yang mereka kerjakan untuk kebaikanmu juga. Bukankah begitu?” dengan bijak dia menjawab.

Suatu kali dia bercerita tentang jauh. Tentang seseorang yang selalu menghiasi hatinya beberapa tahun belakangan. Aku tahu, gadis itu tak bisa dikatakan setia. Banyak lelaki yang dia ceritakan pernah membuat hatinya kembang-kempis saat masih memiliki hubungan dengan sang jauh. Tetapi yang juga aku tahu. Tak pernah ada seorang lelakipun yang dia kasihi sebesar kasihnya pada pria yang kusebut jauh itu. Dia mencintai pria ini lebih

Page 2: Cerpen gadis itu bernama tegar- farhana-xii ipa c - 14

dari apapun juga. Dia mencintainya dengan hati. Dia tak perlu kata-kata berkiasan untuk sekedar menyenangkan. Dia tak perlu wajah rupawan untuk sekedar melenakan.

Dia bercerita tanpa beban. Tetapi ada kesedihan yang terpancar. Aku mungkin bukan paranormal. Tapi aku tak butuh seorang paranormal untuk menebak apa yang sedang dia rasakan. Perasaan dan chemistry lebih kuat dari kuali berisi kembang tujuh rupa dan segelas air putih. Ingin sekali aku bertanya “Ada apa,apa yang sedang kamu rasakan?” tapi tidak mungkin. Aku berusaha memaklumi tentang apa yang dia ceritakan. Mencoba mengerti dan masuk jalan pikirannya.

Tapi pagi ini pernyataannya membuat aku dan teman-teman yang dekat dengannya terkejut.

“Aku putus dari Pria itu. Dia sedang menjalin hubungan dengan gadis lain.” Sahutnya santai. Ada getir yang tersirat dari pernyataannya.

“Kok bisa? Emangnya siapa gadis itu? Kapan putusnya?” kata seorang temanku memborong pertanyaan.

“Ya mungkin dia udah bosah kali. Taudeh, emang sih aku ngga tau siapa gadis itu, tapi perasaanku bilang kalau hatinya udah ngga sama lagi.” Katanya dengan enteng. Dia pembohong yang pandai. Tapi tak pernah cukup lihai untuk sembunyi dari perasaanku.

Pembicaraanpun berlanjut. Dia bercerita tentang lelaki lain yang kembali mengembang-kempiskan perasaannya. Belakangan ini kita tahu, sang jauh sedang mengejar gadis yang notabene masih satu sekolah dengan kita. Seorang teman yang memang pandai untuk’mencuri-dengar’ berkata bahwa sang jauh mendekati gadis itu lewat jejaring sosial. Ah, setahuku hubungan yang berawal dari dunia maya akan berakhir dengan abu-abu. tak dapat ditebak akhirnya.

Kembali aku mengagumi ketabahannya. Tak mungkinlah seseorang yang pernah jatuh cinta dan tergila-gila dengan mudahnya bertingkah seolah dia ‘tidak apa-apa’sewaktu hubungan yang dibinanya atas nama cinta dan perjuangan yang tak boleh sia-sia hancur begitu saja. Aku pernah mengalaminya. Dan butuh waktu lama untuk menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat dengan seutas perasaan mutual. Atau pada akhirnya aku paham, atau memahami betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian. Tapi nyatanya dia mampu untuk itu. Atau setidaknya berusaha untuk mampu dan melepaskan.

“Kamu beneran udah ngga cinta dia lagi?” kataku suatu hari

“InsyaAllah udah enggak. Kan pada kenyataannya hidup hanya untuk menerima dan melepaskan. Mungkin ini adalah waktu buatku melepaskan dia. Kalau nanti kita dipertemukan kembali di kesempatan yang sama dan perasaan yang kembali terikat, itu memang sudah takdir. Aku cuma bisa menjalaninya.” Ujarnya. Ketabahan itu kembali bertahta dalam perkataannya. Tak ada lagi getir. Dan aku harap perasaanku tak salah mengertikan perkataannya barusan.