140
Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, membawa masyarakat pada suatu tatanan hidup yang serba cepat dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan penentu bagi suatu peradaban yang modren. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun tidak dapat dipungkiri kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan diringi dengan meningkatnya penyimpangan dan kejahatan dibidang ekonomi dan sosial. Ini dapat dilihat di negara maju ataupun dinegara yang sedang berkembang, jenis penyimpangan dan kejahatan semakin banyak ragamnya. Semakin tinggi pradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila kemajuan ilmu pengetahuan tidak diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka berpengaruh pada akses yang negatif. Munculnya tindak pidana baru pada bidang ilmu pengetahuan yang

Chapter I Farmasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, membawa masyarakat

pada suatu tatanan hidup yang serba cepat dan praktis. Kemajuan ilmu

pengetahuan merupakan penentu bagi suatu peradaban yang modren.

Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi

tentu saja membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi

rakyatnya. Namun tidak dapat dipungkiri kemajuan di bidang teknologi dan ilmu

pengetahuan diringi dengan meningkatnya penyimpangan dan kejahatan dibidang

ekonomi dan sosial. Ini dapat dilihat di negara maju ataupun dinegara yang

sedang berkembang, jenis penyimpangan dan kejahatan semakin banyak

ragamnya.

Semakin tinggi pradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu

pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila kemajuan ilmu

pengetahuan tidak diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka berpengaruh

pada akses yang negatif. Munculnya tindak pidana baru pada bidang ilmu

pengetahuan yang berkembang tersebut. Yang menimbulkan gangguan

ketenteraman, ketenangan dan sering kali menimbulkan kerugian materil

maupun immateril bagi masyarakat.

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpangan yang

hidup dalam masyarakat. Yang artinya tindak pidana akan selalu ada selama

manusia masih ada di muka bumi ini. Hukum sebagai sarana bagi penyelesaian

problematika ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu

perkembangan hukum khususnya hukum pidana perlu ditingkatkan

dan

Page 2: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

diupayakan secara terpadu. Kodifikasi, unifikasi bidang-bidang hukum tertentu

serta penyusunan Undang-undang baru sangat dibutuhkan untuk menjawab

semua tantangan dari semakin meningkatnya perkembangan tindak pidana.

Ilmu kesehatan adalah salah satu bidang ilmu yang mengalami

perkembangan paling cepat saat ini. Begitu pula dengan perkembangan tindak

pidana dibidang ilmu kesehatan. Adapun tindak pidana yang terjadi di

bidang ilmu kesehatan antara lain : malpraktek, pemalsuan obat, mengedarkan

obat tanpa izin dan transplantasi organ manusia.

Masalah kesehatan merupakan keprihatinan serius di setiap negara, baik

negara maju maupun sedang berkembang. karena kesehatan merupakan salah

satu faktor yang menentukan kemajuan suatu negara dan merupakan hak

asasi manusia. Negara memiliki kewajiban kepada rakyatnya untuk menyediakan

layanan kesehatan dan menetapkan aturan-aturan hukum yang terkait dengan

kepentingan perlindungan kesehatan.

Secara awam kesehatan dapat diartikan ketiadaan penyakit. Menurut

WHO kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis1. Dapat

disimpulkan kesehatan itu sangat penting dalam kelangsungan hidup masyarakat.

Jadi apabila terjadi tindak pidana di bidang kesehatan akan menyerang langsung

masyarakat baik secara materil maupun immateril. Sehingga masyarakat

tidak

dapat melangsungkan kehidupanya dengan baik.

Hukum kedokteran dan hukum kesehatan mulai di perkenalkan di

Indonesia dengan terbentuknya kelompok study untuk Hukum Kedokteran di

1 Titon Slamet Kurnia, Hak Atas Drajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia,Bandung,2007 hal 13

Page 3: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Universitas Indonesia pada tanggal 1 November 1982 di Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo oleh beberapa dokter dan sarjana hukum2. Hukum

kesehatan ini sebenarnya sudah lama diperkenalkan, namun dalam

perkembanganya hukum kesehatan ini masih kurang mendapat perhatian oleh

para sarjana hukum di indonesia. Ini dapat dilihat dari masih jarangnya

ditemukan buku-buku yang

membahas tentang hukum kesehatan.

Salah satu kejahatan dalam hukum kesehatan yang marak terjadi pada

saat ini adalah kejahatan dibidang farmasi. Farmasi adalah suatu profesi yang

berhubungan dengan seni dan ilmu dalam penyediaan bahan sumber alam dan

bahan sintetis yang cocok dan menyenagkan untuk didistribusikan dan

digunakan dalam pengobatan dan pencegahan suatu penyakit3. Masih segar di

ingatan, hebohnya kasus formalin dalam makanan, ditariknya produk pengusir

nyamuk HIT karena dikhawatirkan mengandung bahan yang berbahaya bagi

keamanan dan keselamatan konsumen. Juga kasus minuman isotonik yang

mengandung zat pengawet berbahaya yang disinyalir oleh Lembaga Komite

Masyarakat Anti

Bahan Pengawet (KOMBET). Adapun zat berbahaya yang terkandung

dalam minuman isitonik tersebut adalah natrium benzoat dan kalium sorbet yang

dapat menyebabkan penyakit yang dalam ilmu kedokteran disebut Sytemic

Lupus Erythematosus, yaitu penyakit yang mematikan yang dapat menyerang

seluruh tubuh dan sistem internal manusia itu sendiri. Sekarang heboh jamu

berbahaya, kosmetik berbahaya, makanan-minuman mengandung susu produk

RRC yang

berbahaya, beras mengandung bahan pengawet berbahaya dan seterusnya.

Page 4: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

2 Amri Amir, Bunga Ranpai Hukum Kesehatan, Jakarta 1997 hal 23 Moh. Anief, Farmasetika, Yogyakarta 1993 hal 11

Page 5: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Konsumen di Indonesia masih cenderung pasif meskipun sudah ada

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

mengatur tentang hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta memberikan

bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen.

Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka, sedangkan

pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya. Kondisi tersebut

cenderung untuk mendorong lahirnya berbagai bentuk pelanggaran pelaku usaha

terhadap hak konsumen namun pelaku usaha yang bersangkut an

tidak memperoleh sanksi hukum yang mengikat. Oleh karena itu pemerintah

selaku pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen

harus bersifat proaktif dalam melindungi hak-hak konsumen di Indonesia.

Terkait dengan sediaan farmasi yang akan dibahas oleh penulis, upaya

pemerintah untuk melindungi konsumen adalah melalui pembentukkan

lembaga yang bertugas untuk mengawasi pada suatu produk serta memberikan

perlindungan kepada konsumen

Di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi

peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM). BPOM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor

166

Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,

Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintah Non Departemen (LPND) yang mengatur mengenai pembentukan

lembaga- lembaga pemerintah nondepartemen. LPND adalah lembaga

pemerintah pusat yang dibentuk untuk menjalankan tugas pemerintahan tertentu

dari presiden serta bertanggung jawab langsung pada presiden. BPOM

merupakan salah satu LPND

Page 6: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

yang mempunyai tugas yang terkait dengan pengawasan obat dan makanan. 4

Tetapi lembaga yang bertugas mengawasi belum optomal dalam melakukan

tugasnya, ini terbukti dengan masih banyaknya ditemui obat dan makanan yang

tidak sesuai dengan standar kesehatan masih beredar di masyarakat.

Untuk mencapai kesembuhan jasmani dan rohani dari suatu penyakit,

tidak bisa lepas dari suatu pengobatan optimal dan benar. Namun apabila obat

yang diedarkan oleh pihak yang di tunjuk oleh Undang-Undang berhak

mengedarkan obat, mengedarkan obat dengan melakukan penyimpangan sudah

tentu obat tersebut tidak dapat digunakan dalam proses penyembuhan . Karena

mungkin saja obat tersebut tidak memenuhi standar racikan obat, kadaluarsa dan

aturan pakai. Obat seperti ini apabila digunakan dapat menimbulkan penyakit

baru bagi penggunanya bahkan dapat menimbulkan kematian.

Suatu perbuatan yang dapat menimbulkan sakit pada orang lain atau

bahkan menimbulkan kematian merupakan kejahatan dalam Undang-undang.

Perbuatan jahat merupakan suatu perbuatan yang harus dipidana. Dalam hal ini

yang bertanggung jawab adalah pihak yang ditunjuk Undang-undang berhak

mengedarkan obat dan memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Kebutuhan masyarakat atas perlindungan kesehatan merupakan hal yang

tidak bisa ditawar lagi, Karena langsung menyerang kebutuhan masyarakat yang

primer. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menegakan aturan

perundang

-undangan yang ada untuk menanggulangi permasalahan yang semakin kompleks

dalam hukum kesehatan ini.

4 ww w .t e s i s h u k u m. c o m, Tanggung Jawab Badan Pengawas Makana Dan Obat, terakhir kali

Page 7: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

di akses 12 februari 2010

Page 8: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Oleh sebab itu penulis mencoba mengkaji mengenai tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar untuk mengetahui bagaimana

sebenarnya tindak pidana ini. Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji

pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam

hukum positif Indonesia, faktor-faktor yang melatarbelakangi perbuatan ini serta

upaya penanggulanganya.

Page 9: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah

Dari uraian diatas adapun permasalahan yang akan dibahas penulis yaitu :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana mengedarkan sedian farmasi tanpa izin

edar dalam hukum positif indonesia

2. Bagaimana penerapan Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan

dan Undang-Undang No.36 tentang Kesehatan terhadap penegakan tindak

pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar (Studi Putusan

No

1902/Pid B/2004/PN Medan)

3. Upaya penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa

izin edar

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Secara umum yang menjadi tujuan penulis membahas skripsi ini adalah

guna melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, disamping

untuk membiasakan penulis dalam menyusun suatu karya ilmiah.

Adapun tujuan yang khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk

mengetahui :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan

farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan UU No.36 Tahun 12009

Tentang Kesehatan terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi

tanpa izin edar ( Studi Putusan No.1902/Pid B/2004/PN Medan )

Page 10: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam penanggulangan tindak

pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan skripsi ini diharapkan

bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:

a. Secara teoritis

Hasil penelitiaan ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu

hukum, Khususnya hukum pidana yang terkait dengan tindak pidana

kesehatan di bidang farmasi.

b. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Bagi aparat penegak hukum, sebagai sumbanagan pemikiran untuk

penanganan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

2. Akademisi dan praktisi hukum untuk memberi masukan dan gambaran

mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin

edar khususnya di kota medan.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “ Tindak Pidana Mengedar Sediaan Farmasi

Tanpa Izin Edar Menurut Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

(Studi Putusan No. 1902 /PID B/ 2004 / PN Medan) “ .

Penulisan ini dilakuka n penulis dimulai dengan mengumpulkan

bahan- bahan yang berkaitan dengan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi

tanpa izin edar, baik itu melalui literatur yang diperoleh dari buku-buku yang

ada di

Page 11: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

perpustakaan maupun media cetak dan elektronik, disamping itu juga

diadakan analisis kasus.

Dan sehubungan dengan penulisan skripsi ini, pada saat penulis menulis

skripsi ini belum ada judul yang sama. Walaupun ada yang membicarakan tindak

pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, namun objek yang dibahas

tidak sama. Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah di

tulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi maka hal itu akan menjadi tanggung

jawab penulis sepenuhnya.

E. Tinjauan kepustakaan

1. UU NO.23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN

Pelayanan kesehatan adalah hak semua orang. kekurangan dalam

pelayanan kesehatan masyarakat bisa disebabkan oleh sistem pelayanan

kesehatan yang buruk. Oleh karena itu diperlukan peraturan perundangan yang

menjamin terlaksananya sistem pelayanan kesehatan yang sempur na bagi

masyarakat.

Dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastiaan hukum untuk

meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan

kesehatan diperlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis bagi pemberi

jasa pelayanan kesehatan, makanan, minuman hasil produksi rumah tangga yang

masih dalam, pembinaan pemerintah, pelaksanaan hukum diberlakukan secara

bertahap. Perangkat hukum tersebut hendaknya dapat menjangkau

perkembangan yang masih kompleks yang terjadi dimasa akan datang.

Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dimaksud sebagai

landasan bagi berbagai peraturan mengenai sistem pelayanan kesehatan

bagi

Page 12: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

seluruh masyarakat. Undang-Undang ini mencakup pengaturan berbagai

hal pokok tentang kesehatan, antara lain:

1. Asas dan tujuan yang menjadi landasan dan memberi arah pembangunan

kesehatan yang dilaksanankan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang sehingga

terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa membedakan

status sosial;

2. Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang

optimal serta wajib untuk ikut serta didalam memelihara dan meningkatkan

derajat kesehatan;

3. Tugas dan tanggung jawab pemerintah pada dasarnya adalah mengatur,

membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan serta mengerakan

peran serta masyarakat;

4. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan

berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan

penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;

5. Sumber daya kesehatan sebagai pendukung upaya kesehatan, harus tetap

melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya, dengan pengertian

bahwa sarana kesehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat

yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan;

6. Ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa

pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.

Page 13: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

2. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita

bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia.

Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya

pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian

pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya

pembangunan kesehatan.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip

nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang

sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia,

peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.

Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-

angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh

masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang

mencakup upaya

Page 14: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu

dan berkesinambungan

Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring

dengan munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya

perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era

global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang

Nomor 23

Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa

dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada

pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat

adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan

membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya

pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan

pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.

Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum

menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di

dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini

masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.

Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu

faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada

sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni

paradigma

Page 15: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa

mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.

Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah

undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang

berwawasan sakit.

Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat

dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era

globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan

dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

3. Pengertian Tindak Pidana

Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok

yang menjadi titik perhatianya. Masalah pokok dalam hukum pidana

tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan

pidana serta korban.5 Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang

dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Istilah ini

terdapat dalam WvS Belanda dan demikian juga dalam Wvs Hindia Belanda

(KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit itu. 6

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah

yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf

diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan

5 Fuat Usfa & Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, , Malang ,2004 ,hal 316 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002, hal 67

Page 16: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,

peristiwa, pelanggaran dan perbuatan7.

Tindak pidana merupakan suatu peristiwa dasar dalam hukum

pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya

dengan istilah

”perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime) yang bisa diartikan secara yuridis

atau kriminologis. Isi dari pengertian tindak pidana tersebut dalam kenyataanya

tidak ada kesatuan pendapat diantara para sarjana.8

Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang

Poernomo9, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi :

a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu

pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si

pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum

dan menyelamatkan kesejahteraan umum ;

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit”

adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-

undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif

di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua

pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo 10, yaitu :

a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian

(feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.

7 Adawi Chazawi. Op. Cit, hal 698 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang ,1990, hal. 40

Page 17: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

9 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 9110 Ibid

Page 18: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

b. Definis panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit”

adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan

sengaja atau alfa oleh orang yang dapt dipertanggungjawabkan.

Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah

untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang

dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat

menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang.

Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan

pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara

tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-

diam

dianggap ada. 11

Pendapat Moeljanto sebagaimana yang dikemukakan oleh E.Y Kanter dan

S.R Sianturi12, memilih “perbuatan pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar

feit”. Beliau memberikan perumusan atau pembatas sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan

tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat

sebagai perbuatan yang tidak boleh menghambat akan tercapainya tata pergaulan

masyarakat yangdicita-citakan. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus

termasuk dalam unsur formil, yaitu mencocoki rumusan Undang-Undang,

dan Unsur materil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan

masyarakat atau sifat melawan hukum (rechtswiradigkeit).

Pengertian perbuatan hukum pidana tidaklah diikuti oleh hukum pidana

kita. Menurut sistem hukum adat tidaklah diadakan pemisahan antara pelanggaran

11 Ibid.12 EY. Kanter & Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapanya, Storia Grafika, Jakarta 2002, hal 208

Page 19: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

hukum yang memungkinkan reaksi dalam lapangan hukum pidana dan

pelanggaran hukum yang hanya dapat digugat di lapangan hukum perdata.

Berdasarkan hal tersebut, apabila terjadi suatu pelanggaran hukum maka petugas

hukum mengambil tindakan konkrit (inilah reaksi adat) guna membetulkan

hukum

yang dilanggar.13

Satochid Kartanegara14menganjurkan pemakaian istilah “tindak pidana”

hal ini karena istilah tindak (tindakan) , mencakup pengertian melakuka n

atau perbuatan dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat (passive

handeling). Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat tidak mencakup

pengertian mengakibatkan. Istilah peristiwa tidak menunjukkan kepada

hanya tindakan

manusia, sedangkan terjemahan pidana untuk straffbaar adalah sudah tepat.

Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau

boleh dan “feit” adalah perbuatan. Kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara

utuh ternyata diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim

hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht seolah-olah arti straf sama

dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya. 15

Kata “baar” mempunyai 2 istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat.

Secara literlijk bisa kita terima. Kata feit biasa digunakan 4 istilah yakni tindak,

peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk feit memang lebih

pas untuk diterjemahkan sebagai perbuatan. Kata perbuatan lebih lazim

digunakan dalam perbendaharaan hukum kita untuk mengartikan dari istilah

overtreding

Page 20: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

13 Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara baru, Jakarta, hal.1514 Satochid Kartenegara, Hukum Pidana Bag I, Balai lektur Mahasiswa, hal. 7415 Adawi Chazawi. Op. Cit. Hal.69

Page 21: Chapter I Farmasi

sebagai lawan dari istilah misdrijven (kejahatan) terhadap kelompok tindak

pidana masing-masing dalam buku III dan buku II KUHP.16

Kata “peristiwa”, menggambarkan pengertian yang lebih luas dari

pengertian perbuatan. Hal ini karena peristiwa tidak saja menunjuk kepada

perbuatan manusia melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja

disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata tetapi juga oleh alam seperti

matinya orang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsoryang

tidak masuk dalam hukum pidana. Peristiwa baru menjadi penting dalam hukum

pidana apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif

maupun

aktif). 17

Istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan

perundang-undangan walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatanya.

Tidak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen)

semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten).

Pengertian sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif

maupun perbuatan pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk

perbuatan yang untuk mewujudkanya diperlukan /disyaratkan adanya suatu

gerakan dari tubuh atau bagian tubuh manusia, misalnya mengambil pasal 362

KUHP “Barang siapa mengambil suatu barang yang sama sekali atau

sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang

itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian” atau merusak pasal

406 KUHP “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan

hakmembinasakan, merusak, membuat sehinga tidak bisa dipakai lagi atau

menghilangkan suatu barang yang sama sekali

Page 22: Chapter I Farmasi

16 Ibid.17 Ibid

Page 23: Chapter I Farmasi

atau sebagianya kepunyaan orang lain, dihukum penjara delapan bulan atau

denda”. Perbuatan pasif adalah suatu perbuatan tanpa melakukan suatu perbuatan

fisik apapun oleh karenanya, dengan demikian seorang tersebut telah

mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong pasal

351

KUHP “Barang siapa menyaksikan sendiri ada orang didalam keadaan maut,

lalai memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang

pertolongan itu dapat diberikannyaatau diadakanyadengan tidak atau

menguatirkanya, bahwa iya sendiri atau orang lain akan kena bahaya

dihukum kurungan” atau perbuatan membiarkan pasal 304 KUHP “Barang

siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,

sedang dia wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan pada

orang itu karena hukum yang berlaku atasnya

atau karena perjanjian, dihukum penjara”. 18

4. PENGERTIAN SEDIAN FARMASI

Adapun yang dimaksud dengan sediaan farmasi dalam Undang-Undang

No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan pemerintah No.72 Tahun

1998 Tentang pengamanan sediaan farmasi adalah obat, bahan obat,

obat tradisional dan kosmetik.

Obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan

perubahan dalam fungsi biologis melalui proses kimia. Sedangkan definisi

yang lengkap, obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk :

1. Pengobatan, peredaan, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik

atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; atau

Page 24: Chapter I Farmasi

18 Ibid

Page 25: Chapter I Farmasi

2. Dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organik pada

manusia atau hewan.

Obat dapat merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh (misalnya :

hormon, vitamin D) atau merupakan merupakan bahan-bahan kimia yang tidak

disintesis di dalam tubuh.

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di

atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada

beberapa penggolongan obat yang lain, dimana penggolongan obat itu

dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta

pengamanan distribusi. Berdasarkan undang-undang obat digolongkan dalam :

1. Obat Bebas

2. Obat Keras

3. Obat Psikotropika dan Narkoba

Berikut penjabaran masing-masing golongan tsb :

1. OBAT BEBAS

Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter

(disebut obat OTC = Over The Counter), terdiri atas obat bebas dan obat bebas

terbatas.

1.1. Obat bebas

Ini merupakan tanda obat yang paling “aman” . Obat bebas, yaitu

obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di warung, tanpa resep dokter,

ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat bebas ini digunakan

untuk mengobati gejala penyakit yang ringan. Misalnya : vitamin/multi vitamin

(Livron B Plex, )

1.2. Obat bebas terbatas

Page 26: Chapter I Farmasi

Obat bebas terbatas (dulu disebut daftar W). yakni obat-obatan yang

dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai

tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam. Contohnya, obat anti mabuk (Antimo),

anti flu (Noza). Pada kemasan obat seperti ini biasanya tertera peringatan yang

bertanda kotak kecil berdasar warna gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam,

dengan tulisan sebagai berikut :

P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.

P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari

badan. P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.

P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan19

Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu; sakit yang ringan

masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri, yang tentunya juga

obat yang dipergunakan adalah golongan obat bebas dan bebas terbatas yang

dengan mudah diperoleh masyarakat. Namun apabila kondisi penyakit

semakin serius sebaiknya memeriksakan ke dokter. Dianjurkan untuk tidak

sekali-kalipun melakukan uji coba obat sendiri terhadap obat – obat yang

seharusnya diperoleh

dengan mempergunakan resep dokter.

Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah diperoleh tanpa

menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat Bebas dan

Golongan Obat Bebas Terbatas, selain meyakini bahwa obat tersebut telah

memiliki izin beredar dengan pencantuman nomor registrasi dari Badan

Pengawas

Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan, terdapat hal- hal yang perlu

Page 27: Chapter I Farmasi

19 www. Phapros.com, Mengenal Penggolongan Obat, terakhir kali di akses 10 februari 2010

Page 28: Chapter I Farmasi

diperhatikan, diantaranya: Kondisi obat apakah masih baik atau sudak rusak,

Perhatikan tanggal kadaluarsa (masa berlaku) obat, membaca dan mengikuti

keterangan atau informasi yang tercantum pada kemasan obat atau pada brosur /

selebaran yang menyertai obat yang berisi tentang Indikasi merupakan petunjuk

kegunaan obat dalam pengobatan

Kontra-indikasi (yaitu petunjuk penggunaan obat yang tidak

diperbolehkan), efek samping (yaitu efek yang timbul, yang bukan efek

yang diinginkan), dosis obat (takaran pemakaian obat), cara penyimpanan obat,

dan informasi tentang interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan

dengan makanan yang dimakan.

2. OBAT KERAS

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya)

yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep

dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan

huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah

antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang

mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain)

Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan

bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau

menyebabkan mematikan.

3. PSIKOTROPIKA DAN NARKOTIKA

Obat-obat ini sama dengan narkoba yang kita kenal dapat menimbulkan

ketagihan dengan segala konsekuensi yang sudah kita tahu.

Page 29: Chapter I Farmasi

Karena itu, obat-obat ini mulai dari pembuatannya sampai pemakaiannya

diawasi dengan ketat oleh Pemerintah dan hanya boleh diserahakan oleh apotek

atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan

pemakaiannya pada pemerintah.

3.1.PSIKOTROPIKA

Psikotropika adalah Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau

merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku,

disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara

berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta

mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.

Menurut Undang-Undang No.5/1997 psikotropika dibedakan dalam 4

golongan sebagai berikut:

• Psikotropika golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan,

contoh: MDMA, ekstasi, LSD, ST

• Psikotropika golongan II : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan

dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh:

Amfetamin, fesiklidin, sekobarbital, metakualon,metilfenidat (Ritalin)

• Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan

serta

Page 30: Chapter I Farmasi

mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh

: Fenobarbital, flunitrazepam

• Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan

dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom

ketergantungan, contoh: Diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam,

khlordiazepoxide, nitrazepam (BK, DUM, MG).20

Bentuk psiotropika

a. Ekstasi

Ekstasi adalah salah satu obat bius yang di buat secara ilegal di sebuah

laboratorium dalam bentuk tablet atau kapsul.Ekstasi dapat membuat tubuh

si pemakai memiliki energi yang lebih dan juga bisa mengalami dehidrasi

yang tinggi. Sehingga akibatnya dapat membuat tubuh kita untuk terus bergerak.

b.Amfetamin

Nama aslinya methamphetamine. Berbentuk kristal seperti gula atau bumbu

penyedap masakan. Jenisnya antara lain yaitu gold river, coconut dan

kristal. Sekarang ada yang berbentuk tablet.Obat ini dapat di temukan dalam

bentuk kristal dan obat ini tidak mempunyai warna maupaun bau, maka ia

di sebut dengan kata lain yaitu Ice. Obat ini juga mempunyai pengaruh yang

kuat terhadap syaraf.

c.Diazepam

Sedatif (obat penenang) dan hipnotikum (obat tidur). Nama jalanan BDZ antara

20 penjelasan Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika

Page 31: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

lain BK, Lexo, MG, Rohip, Dum. Cara pemakaian BDZ dapat diminum,

disuntik intravena, dan melalui dubur.21

3.2 NARKOTIKA

Adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik

sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh

tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam

tubuh manusia.

Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan

semangat , halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek

ketergantungan bagi pemakainya.

Menurut Undang-Undang No 35 tahun 2009, Narkotika dibagi menjadi 3

golonggan, yaitu :

• Narkotika Golongan I

adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Merupakan kelompok narkotika yang terdiri atas : tanaman papaver

somniferum, opium mentah, opium masak, erythroxylon cocae (koka),

cannabis satira (ganja), tetra hydro cannabinol

• Narkotika Golongan II

adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan

terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

tinggi

21 http / w w w . h e n r y dun a n . b l o g s p o t. c o m , Rekaman Medis, terakhir kali di akses 18 februari 2010

Page 32: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan ketergantungan. Merupakan kelompok narkotika yang

terdiri atas : alpha-cethyl-metadol, alpha-medprodina, alpha-prodine,

phentanyl, pethidine, methadone

• Narkotika Golongan III

adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam

terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Merupakan

kelompok narkotika yang terdiri atas : asetildihidrokodeina, kodeina, etil

morfina. 22

BahanObat adalah sesuatu yang dapat dipergunakan atau dipakai untuk

tujuan membuat obat. Baik itu bahan kimia, tumbuhan, bahan mineral atau

campuran dari bahan tersebut.

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,

bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut

yang

secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau

sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, hewan atau tumbuhan yang

dilindungi, dan bahan kimia obat di dalam obat tradisional. Ini sesuai dengan

Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 246/Menkes/Per/V/1990

(Permenkes 246/1990) tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional

dan

Pendaftaran Obat Tradisional. 23

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksud untuk digunakan

pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ

genital

Page 33: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

22 penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika23 ww w .t e s i s h u k um . c o m , op cit

Page 34: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,

mewangikan, untuk mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan

atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan

Republik Indonesia Nomor Hk.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik. Kosmetik dibagi

2 (dua) golongan Berdasarkan bahan dan penggunaannya

1. Kosmetik golongan I adalah :

a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi;

b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa

lainnya; c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan

penandaan; d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim

serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.

2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I

5. Putusan No. 1902/ PID B/ 2004/ PN Medan

Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana mengedarkan

sediaan farmasi tanpa izin edar. Terdakwa dalam kasus ini telah terbukti

mengedarkan sediaan farmasi atau alat kesehatan tanpa izin edar, yang

hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

Bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan Medan berdasarkan surat perintah Tugas Kepala

Balai Besar Pengaawas Obat dan Makanan di Medan No : PO.02.02.82.824.2550.

Menemukan sejumlah obat yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar di dalam

toko obat berijin milik terdakwa.

Page 35: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

F. Metode penulisan

1. Pendekatan Masalah

Penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan dalam skripsi ini

adalah dengan menggunakan metode Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris.

Penelitian yuridis normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum

normatif atau penelitian hukum doktrinal

Menurut Soerjono Soekamto sebagaimana dikemukakan oleh burhan

ashofa, bentuk penelitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa:24

1. Inventaris hukum positif

2. Penemuan azas hukum

3. Penemuan hukum in concreto

4. Perbandingan hukum

5. Sejarah hukum

Soetandyo Wignosoebroto sebagaimana dikemukakan oleh Bambang

Sunggono, membagi penelitian hukum doktrinal sebagai berikut:25

1. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif

2. Penelitian yang berupa penemuaan azas-azas dan dasar- dasar falsafah

( dogma atau doktrinal ) hukum positif

3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang

layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian yang dilakukan dengan

melakukan study langsung dilapangan atau pada instansi-instansi terkait

guna

memperoleh data-data yang berkaitan penulisan skripsi.

24 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rieneke Cipta, Jakarta ,1996 ,hal 1425 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal 43

Page 36: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan, alasan dipilihnya kota Medan

dikarenakan terdapat kasus mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan

farmasi tanpa izin edar yang penyelesaiannya belum memuaskan, dalam

hal ini penelitian lapangan penulis melakukannya di Pengadilan Negeri Medan,

untuk mendapat gambaran atau bahan akurat dengan penulisan skripsi ini.

3. Sumber Dan Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

i. Data primer yaitu data yang dilakukan melalui studi lapangan. 26

Dilakukan

dengan menggali dan memahami secara mendalam persepsi mengenai Tindak

Pidana “Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar studi Putusan

No.1902/ Pid B/ 2004/ Pengadilan Negeri Medan” sehingga dapat dijadikan

untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini. Studi lapangan ini dilakukan

melalui pembahasan mengenai kasus No.1902/ Pid B/ 2004/ PengadilanNegeri

Medan. Jadi lapangan pokok bahasan dalam skripsi ini yaitu :

Pengadilan

Negeri Medan.

ii. Data skunder, diperoleh melalui studi pustaka yaitu dengan melakukan

penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, dokumen-dokumen

resmi hasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan tindak pidana mengedarkan sedian farmasi tanpa

izin

edar.27

Page 37: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984 hal 1227 Loc.cit

Page 38: Chapter I Farmasi

4. Metode Dan Analisis Data

Data yang diperoleh melalui pustaka dikumpulkan dan diurutkan lalu di

organisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.28 Analisis data

yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu

menganalisis melalui data lalu mengorganisasikan dalam pendapat atau

tanggapan dari responden dan data-data yang diperoleh dari lapangan, kemudian

dianalisis secara kualitatif sehingga memperoleh data yang dapat menjawab

permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sisitematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana

masing-masing bab diuraikan permasalahanya secara tersendiri, namun dalam

konteks yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematika

penulis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhanya dalam

beberapa bab berikut ini:

Bab I Pendahuluan:

Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang permasalahan,

permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II Pengaturan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa

Izin Edar Dalam Hukum Positif Indonesia

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan hukum terhadap

tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

Page 39: Chapter I Farmasi

28 Lexy Moelong, Metode penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Cetakan ke-10, Bandung,1999, halaman 103

Page 40: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Bab III Studi Kasus Putusan No. 1902 / Pid B / 2004 / PN Medan

Dalam hal ini akan dibahas mengenai penerapan Undang-Undang No.

23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.36 tahun

2009 tentang Kesehatan. STUDI PUTUSAN NO. 1902 /PID B/ 2004 /

PN MEDAN, apa saja yg menjadi unsur-unsur tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi dan pertanggung jawaban pidananya.

Bab IV Upaya Penaggulangan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan

Farmasi Tanpa Izin Edar Dan Upaya

Dalam bab ini dibahas mengenai upaya penangulangan tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar melalui kenijakan penal

dan non penal.

Bab V Penutup

Dalam bab ini akan diambil kesimpulan yang disertai dengan saran

dari penulis melalui penelitian yang dilakuka n oleh penulis.

Page 41: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Dalam uraian-uraian yang telah di jelaskan sebelumnya maka dalam hal

ini penulis berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang oleh

peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat

dihukum. Dengan demikian maka mengedarkan sediaan farmasi sebelum diberi

izin edar merupakan suatau tindak pidana. Adapun pengaturan tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif

Indonesia adalah :

A. Berdasarkan Undang-Undang NO.23 Tahun 1992 Tentang

Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992

Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495)

Pengertian sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal

1 ayat (9) yaitu sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan

kosmetik. Mengenai pengamanan sediaan farmasi diatur dalam pasal 39 sampai

pasal 43. Adapaun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah :

Pasal 39

Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselengarakan untuk

melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan

farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi sediaan mutu dan atau

keamanan dan atau kemamfaatan.

Pasal 40

31

Page 42: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

ayat (1) Sediaan farmasi berupa obat dan bahan obat harus memenuhi

syarat farmakof Indonesia atau buku standar lainya.

ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetik serta alat

kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.

Pasal 41

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah

mendapat izin edar.

ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus

memenuhi persyaratan objektif dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan

penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah

mendapat izin edar, yang kemudiaaan terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu

dan atau keamanan dan atau kemamfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 42

Pekerjan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan

farmasi yang beredar.

Pasal 43

Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan

ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi diatur

dalam Pasal 81 ayat (2), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang

siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa

izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dipidana dengan

pidana

Page 43: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.

140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah. 29

B. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor

144,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Pengertian sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal

1 ayat (4) yaitu, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan

kosmetik. Mengenai pengaturan pengamanan dan pengunaan sediaan farmasi

diatur dalam pasal 98 sampai pasal 108. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut

adalah :

Pasal 98

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat,

bermutu, dan terjangkau.

ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan

dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan

mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,

pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar

mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan

mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran

sebagaimana

dimaksud pada ayat (3).

29 Undang-undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Page 44: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Pasal 99

ayat (1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan

sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan,

dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga

kelestariannya.

ayat (2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk

mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan

menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan

keamanannya. ayat (3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan

sediaan farmasi. Pasal 100

ayat (1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman

digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan

kesehatan tetap dijaga kelestariannya.

ayat (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku

obat tradisional.

Pasal 101

ayat (1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk

mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan

menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan

keamanannya. ayat (2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi,

mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat

tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 102

Page 45: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

ayat (1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan

psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi

dan dilarang untuk disalahgunakan.

ayat (2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103

ayat (1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan

menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau

persyaratan tertentu.

ayat (2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta

penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 104

ayat (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk

melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan

farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau

keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.

ayat (2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara

rasional. Pasal 105

ayat (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi

syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat

kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.

Pasal 106

Page 46: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah

mendapat izin edar.

ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus

memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan

penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah

memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan

mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 108

ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian

mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat

serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh

tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam

Undang-Undang ini diatur dalam pasal 197, rumusan yang terdapat dalam

pasal ini adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan

Page 47: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar

sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidanana dengan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp

1.500.000.000,00 (satu miliar limaratus juta rupiah )

C. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 nomor 10, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3671) Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 5062)

Sebenarnya dalam kedua Undang-Undang diatas tidak ada pasal-

pasal yang secara langsung mengatur tentang mengedarkan sedian farmasi tanpa

izin edar, namun terdapat beberapa pasal yang sangat berkaitan erat dengan

mengedarkan sediaan farmasi.

1. Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika

Pengaturan mengenai peredaran psiotropika dalam Undang-Undang

ini diatur dalam pasal 8 sampai pasal 13. Adapun bunyi dari pasal-pasal

tersebut yaitu:

Pasal 8

Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan

Pasal 9

ayat (1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah

terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan

Page 48: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

ayat (2) Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika

yang berupa obat

Pasal 10

Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib

dilengkapi dengan dokumen pengangkutan psikotropika

Pasal 11

Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri

Pasal 12

ayat (1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud

dalam pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar

farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah

ayat (2) penyaluran psiotropika sebagaimana diatur dalam ayat 1 hanya dapat

dilakukan oleh :

a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan

sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan

atau lembaga pendidikan.

b. Pedagang basar farmasi kepada pedang besar farmasi lainnya,

sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga

penelitian dan atau lembaga pendidikan

c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah kepada rumah sakit

pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan pemerintah.

ayat (3) Psiotropika gokongan satu hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan

pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan atau pendidikan

guna psiotropika.

Page 49: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Pasal 13

Psiotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dapat

disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga

penelitian dan atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam

Undang-Undang ini diatura dalam pasal 60 ayat (1) huruf (c), rumusan

yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa memproduksi atau

mengedarkan psikotropoka berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen

yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaiman dimaksud dalam pasal

9 ayat (1) di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan pidana denda paling

banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) 30

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pengaturan mengenai peredaran narkotika dalam Undang-Undang

ini diatur dalam pasal 35 sampai pasal 38. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut

Pasal 35

Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan

penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan

perdagangan maupun pemindah tanganan, untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 36

ayat (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah

mendapatkan izin edar dari Menteri.

Page 50: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

30 Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika

Page 51: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran

Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Menteri.

ayat (3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk

obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada

Badan Pengawas Obat dan Makanan.

ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran

Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur

dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 37

Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami

maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan

Menteri.

Pasal 38

Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang

sah. Pasal 39

(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar

farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan

ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan

farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki

izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.

Pasal 40

ayat (1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan

Page 52: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Narkotika kepada:

a. pedagang besar farmasi tertentu;

b. apotek;

c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;

dan d. rumah sakit.

ayat (2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan

Narkotika kepada:

a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;

b. apotek;

c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;

d. rumah sakit; dan

e. lembaga ilmu pengetahuan;

ayat (3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya

dapat menyalurkan Narkotika kepada:

a. rumah sakit pemerintah;

b. pusat kesehatan masyarakat; dan

c. balai pengobatan pemerintah

tertentu. Pasal 41

Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi

tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika

Page 53: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

diatur dengan Peraturan Menteri.

Page 54: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam

Undang-Undang ini diatur menurut golongannya. Ketentuan mengenai tindak

pidanan mengedarkan narkotika golongan I diataur dalam pasal 113 ayat

(1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak

atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah).

Mengenai tindak pidana mengedarkan narkotika golongan II diatur dalam

pasal 118 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap

orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)

Mengenai tindak pidana mengedarkan narkotika golongan III diatur

dalam pasal 123 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta

rupiah) dan paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 31

31 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Page 55: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

D. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998

Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara

Nomor

3781)

Peraturan pemerintah tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat

kesehatan ini dibuat atas perintah UU kesehatan untuk mengatur hal teknis dan

oprasional dari UU tersebut. Pengaturan mengenai peredaran sediaan farmasi

dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dalam pasal 6 sampai pasal 8.

Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut

Pasal 6

Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan

penyerahan

Pasal 7

peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan

memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 8

ayat (1) Setiap pengankutan sedian farmasi dan alat kesehatan dalam

rangka peredaran harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi

dan alat kesehatan

ayat (2) Setiap pengankutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka

peredaran bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan

farmasi dan alat kesehatan.

Page 56: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Pasal 9 sampai pasal 10 Peraturan pemerintah ini mengatura mengenai

tata cara mendapatkan izin edar, adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah

Pasal 9

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan

setelah memperoleh izin edar dari menteri kesehatan

ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diperoduksi oleh

perorangan Pasal 10

ayat (1) Izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan diberikan atas

dasar permohonan secara tertulis kepada menteri kesehatan

ayat (2) Permohonan secara tertulis sebagaiman dalam ayat (1) disertai dengan

keterangan dan atau data mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan yang

dimohonkan untuk memperoleh izin edar serta contoh sediaan farmasi dan alat

kesehatan

ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin

edar sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan oleh menteri

kesehatan Pasal 11

Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin

edar dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi

dalam Peraturan Pemerintah ini diatura dalam pasal Pasal 75 huruf (b)

rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa memproduksi atau

mengedarkan Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi

dan atau alat kesehatan tanp izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41

ayat (1) dipidana

Page 57: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

denganpidan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling

banyak Rp. 140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah32

32 Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan AlatKesehatan

Page 58: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

BAB III

ANALISA KASUS PUTUSAN NO.1920 / PID B / 2004 / PN MEDAN

A. Kasus Posisi

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengangkat kasus tentang

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar di wilayah hukum Pengadilan

Negeri Medan. Pada kasus dengan No Putusan 1902/ Pid B/ 2004/ PN Medan,

dengan terdakwa Nerawati.

Bahwa terdakwa Nerawati pada hari Kamis tanggal 2 Oktober 2003,

sekitar pukul 14.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam

tahun

2003, di toko obat Dwi jaya jalan Mayor No.7-f Pajak Palapa Medan atau

setidak- tidaknya pada suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan

Negeri Medan, telah mengedarkan sedian farmasi dan atau alat kesehatan tanpa

izin edar, yang hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar, yang

dilakukan dengan cara sebagai berikut :

- Pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, terdakwa selaku pemilik

toko obat Dwi Jaya, telah membuka toko tersebut sejak tahun 2000 untuk

menjual obat-obatan pada pelanggan, dan tiba-tiba datang petugas

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Medan yaitu Sahat T.Marpaung,

Drs.Ramses Doloksaribu dan Dahlinar Astuty untuk melaksanakan tugas

pemeriksaan terhadap toko obat berizin berdasarkan Surat Perintah Tugas

Kepala Balai Besar POM di Medan Nomor : PO.02.02.82.824.2550 tanggal

30 September

2003.

Page 59: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

46

Page 60: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

- Kemudian para petugas Balai Besar POM melakukan pemeriksaan obat-

obatan yang berada di toko obat Dwi Jaya milik Nerawati, dan hasilnya

petugas menemukan sejumlah obat-obatan yang tidak terdaftar atau tanpa

izin edar yaitu : 13 (tiga belas) botol obat batuk, 60 (enam puluh) Tube

Fluoclnonide Oitment, 20 (dua puluh) pot salap HL, 10 (sepuluh) kotak Niu

Huang dan 16 (enam belas) tube cream Cinolone.

- Selanjutnya petugas Balai Besar POM melakukan penyitaan terhadap

obat- obatan tersebut dan terdakwa mengakui bahwa obat-obatan tanpa

izin edar tersebut diperoleh dengan membeli dari toko obat Kemenangan dan

toko obat Abadi, dan sebagian obat-obatan tersebut telah terjual secara eceran

kepada orang-orang yang datang ke toko obat tersebut.

- Berdasarkan keterangan ahli yaitu Dra. Florasari, Apt, menerangkan

bahwa obat-obatan yang telah disita dari toko Dwi Jaya milik terdakwa

tersebut, adalah benar obat yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar.

Dengan Dakwaan

Diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c “Barang siapa yang tampa

keahlian dan kewenangan dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan

atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana diatur dalam pasal41(1)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana

dendapaling banyak Rp. 140.000.000,00 (seratus enpat puluh juta rupiah” Jo

Pasal 41 ayat (1) “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan

setelah mendapat izin edar” Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang

Kesehatan.

Page 61: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Dengan Putusan

Menyatakan terdakwa Nerawati telah terbukti secara syah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin

edar” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c Jo Pasal 41

ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selam 6 (enam) bulan dengan masa hukuman percobaan selama 1 (satu) tahun

B. Analisis Kasus

1. Unsur-unsur Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan farmasi tanpa Izin

Edar

Syarat utama memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya

perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hal

ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya

sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana sifatnya harus pasti,

didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang

diperintahkan.

Pandangan tentang unsur-unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua

aliran, aliran monistis dan aliran dualistis.

a. Alir a n mo ni st is d ia nut o le h:

1. Simons

Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah sebagaiberikut:33

33Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal 44

Page 62: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

a. Perbuatan Manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

c. Melawan hukum (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (torekeningsvatbaar

persoon); Simon menyebutkan adanya dua unsur strafbaarfeit, yakni

1. Unsur objektif meliputi dari:

a. Perbuatan Orang;

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.

2. Unsur subjektif adalah:

a. Orang yang mampu bertanggung jawab;

b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan

kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan

atau keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

2.Van Hamel

Unsur-unsur tindak pidana menurut Van Hamel adalah sebagai berikut:

a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b. Melawan hukum;

c. Dilakukan dengan kesalahan;

d. Patut dipidana.

3. E. Mezger

Unsur-unsur tindak pidana menurut E. Mezger adalah:

Page 63: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

a. Perbuatan dalam arti yang luas (aktif atau membiarkan);

b. Sifat melawan hukum (baik yang bersifat objektif ataupun subektif);

c. Dapat dipertangungjawabkan kepada seseorang;

d. Diancam dengan pidana.

b. Alir a n dua list is d ia nt ar anya d ia nut o le h:

1. Moeljanto

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah sebagai berikut:

a. Perbuatan manusia;

b. Yang memenuhi rmusan dalam undang-undang(merupakan syarat formil);

c. Bersifat melawan hukum;

2. H.B. Vos

Unsur-unsur tindak pidana menurut H.B Vos adalah:

a. Kelakuan manusia

b. Diancam pidana dalam undang-undang.

c. Sifat Melawan hukum dalam tindak pidana

Salah satu unsur tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum,

unsur ini merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si

pembuat, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu

masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam unang-undang,

dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandmaszing” tatbestand dalam arti

sempit adalah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam

peraturan pidana, tastbestand dalam arti sempit ialah masing-masing unsur dari

rumusan delik, perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak senantiasa

bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat

melawan hukumnya

Page 64: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

perbuatan tersebut.34 Sifat melawan hukum hapus apabila diterobos

dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf35.

Sifat melawan hukum dibedakan atas empat bagian, yakni terdiri dari:36

1.Melawan hukum formil

Yaitu suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila ada perbuatan

diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang,

sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus hanya berdasrkan

suatu ketentuan undang-undang, jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama

dengan melawan atau bertentangtan dengan undang-undang.

2. Melawan hukum materil

Yaitu suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang

terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat

berlakunya asas-asas hukm yang tidak tertulis, sifat melawan

hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat

hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan

yang tidak tertulis.

Pengertian melawan hukum materil dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif dan sifat melawan

hukum materil dalam fungsinya yang negatif:37

a. Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif yaitu Mengakui

kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat

34Ibid. hal. 76.35 Samidjo, Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, halaman 123.36 D. Schffmeister et al, dalam J.F. Sahetapi (ed), Hukum Pidana, Liberty Edisi Pertama CetakanKe-1, Yogyakarta, halaman 39.37 Ibid. hal.81.

Page 65: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang,

jadi alasan tersebut sebagai pengahapus sifat melawan hukum.

b. Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif yaitu menganggap

suatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam

dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum

atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang, jadi disini diakui

hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

3. Sifat melawan hukum umum

Yaitu diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidannya yang

tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana (perbuatan pidana adalah

kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum

dan dapat dicela).

4. Sifat melawan hukum khusus

Yaitu sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari

rumusan delik.

Mengenai unsur-unsur tindak pidana yang menjadi dasar

dakwaan terhadap Nerawati, yang mana unsur-unsur tersebut adalah:

1. Menurut pasal 81 ayat (2) huruf (c) Undang-Undang No.23 tahun 1992

tentang Kesehatan, adapun rumusan pasal tersebut adalah Barang siapa

dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa

izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1), yaitu Sediaan

farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar

Unsur-unsur objektif :

a. Barang siapa : terdakwa Nerawati

Page 66: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

b. Perbuatan : mengedarkan

c. Objeknya : sediaan farmasi dan atau alat

kesehatan d. Keadaan : tanpa izin edar

Unsur subjektif : Dengan sengaja

2. Menurut pasal 197 Undang-Undang No.36 tahun 2009 Tentang

Kesehatan, rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah setiap orang

yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana

dimaksud dalam pasal

106 ayat (1), yaitu Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat

diedarkan setelah mendapat izin edar.

Unsur-unsur objektif :

a. Setiap orang : terdakwa Nerawati

b. Perbuatan : mengedarkan atau memproduksi

c. Objeknya : sediaan famasi dan atau alat

kesehatan d. Keadaan : tidak memiliki izin edar

unsur subjektif : Dengan sengaja

Dari pengamatan penulis terhadap kedua rumusan unsur-unsur tindak

pidana yang ada dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1992 dan Undang-Undang

No. 36 tahun 2009 tidak terdapat perbedaan, yang membedakan adalah lamanya

pidana penjara dan besarnya pidana denda.

Page 67: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

2. Pertanggungjawaban dalam tindak pidana mengedarkan sediaan

farmasi tanpa izin edar.

Pepatah mengatakan “tangan menjinjing, bahu memikul”, artinya

seseorang harus menanggung segala akibat dari tindakan atau kelakuanya,

di dalam hukum pidana juga ditentukan tentang hal seperti itu, yang

dinamakan pertanggungjawaban pidana. Bedanya, makna pepatah tadi

mengandung suatu pengertian yang sangat luas sekali, dalam hukum pidana

pertanggungjawaban

pidana dibatasi dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang. 38

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang

itu adalah tindak pidana yang dilakukanya. Pertanggungjawaban pidana pada

hakikatnyamerupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk

bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan,

diwujudkan dalam bentuk larangan (dan ancaman dengan pidana) atas perbuatan

tersebut.39

Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (toerekenigsvatbaar),

bilamana pada umunya : 40

1. Keadaan Jiwanya :

a. tidak tergangu oleh penyakit terus-menerus atau

sementara. b. tidak cacat dalam pertumbuhan

38 E.y Kanter & S. sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapanya, StoriaGrafika, Jakarta, 2002, Hal 24939 Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada PertanggungJawabaPidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal 4740 E.y Kanter & S. sianturi, Op. Cit, hal 250

Page 68: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

c. tidak terganggu karena terkejut, amarah yang meluap, mengigau

karena demam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam

keadaan sadar.

2. kemampuan jiwanya

a. dapat menginsyafi hakekat dari tindakanya

b. dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah

akan dilaksanakan atau tidak

c. dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan terebut.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang juga disebut

“criminal responsibility” artinya adalah orang yang telah melakukan suatu tindak

pidana, belum berarti ia harus dipidana, tetapi dia harus bertanggungjawab atas

perbuatan yang telah diperbuatnya. Mempertanggungjawabkan suatu perbuatan

berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak, disamping orang yang telah

melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan padanya untuk bisa

diminta pertanggungjawabannya. Asas pertanggungjawaban pidana berbunyi

“tidak ada pidana tanpa kesalahan”. Asas ini oleh masyarakat indonesia

dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada

orang tidak bersalah dijatuhi pidana. 41

Kesalahan merupakan suatu pertanggungjawaban pidana. Seseorang

melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi

masyarakat patut dicela. Dengan demikian seseorang mendapat pidana,

tergantung pada dua hal:42

41 Suharto, Hukum Pidana Materil, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, Hal.10642 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal.31

Page 69: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

1. harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain,

harus ada perbuatan melawan hukum. Jadi ada unsur objektif.

2. terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau

kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat

dipertanggung jawabkan padanya. Jadi ada unsur subjektif.

Suatu perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan

pidana. Selain perbuatan yang melawan hukum harus ada seseorang pembuat

yang bertanggungjawab atas perbuatanya, yaitu unsur kesalahan dalam arti kata

bertanggungjawab ( strafbaarheid van de dader). Pelaku tindak pidana tidak

dipidana jika ada alasan penghapusan kesalahan, karena orang yang bersalahlah

yang dipidana. Alasan penghapusan kesalahan atau penghapusan pidana disebut

juga subjectieve strafuitsluitingsgrounnd karena asasnya ‘tiada pidana

tanpa

kesalahan” (geen straf zonder schuld).43

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana ada yang dilakukan atas dasar

kesalahan dan ada juga yang dilakukan tanpa harus membuktikan adanya

kesalahan tersebut (strict liability). Kesalahan dapat dibagi menjadi dua macam

yaitu kesengajaan dan kealpaan. 44 Kesengajaan adalah kehendak yang

diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam

Undang-Undang, sedangkan kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih

ringan. Kealpaan biasanya terjadi karena pelaku melakukan perbuatannya karena

kurang hati-hati. 45

Pandangan normatif membuka pemahaman yang sempit mengenai

kesalahan. Kesalahan bukan hanya dipandang sebagai masalah psikologis

43 Ibid.44 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidan di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal.65

Page 70: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

45 Sudarto. Op.Cit., hal 124

Page 71: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

pembuat. Akibatnya, kesengajaan dan kealpaan kemudian dipandang sebagai

pertanda adanya suatu kesalahan, bukan kesalahan itu sendiri

konsekuensinya adalah, dalam perumusan tindak pidana tidak perlu dirumuskan

dengan sengaja atau karena kealpaan. Dengan demikian, apabila kesalahan

dilihat menurut teori normatif, terbuka kemungkinan untuk mengakui indikator

lain untuk menentukan adanya suatu kesalahan, selain psikologis pembuat. Selain

karena kesengajaan dan kealpaan, pembuat dapat saja dikatakan melakukan suatu

tindak pidana dengan kesalahan. Dengan kata lain kesengajaan atau

kealpaan merupakan pertanda

adanya kesalahan. 46

Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana kesehatan hanya dapat

diterapkan kepada orang yang melakukan tindak pidana kesahatan. Dalam

kasus (Putusan N0 1902 / Pid.B / 2004 / PN. Medan ) pelaku tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi yang diakwa dengan pasal 81ayat (2) huruf c

jo pasal 41 ayat (1) UU N0. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan terdakwa

dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan.

Menurut penulis terdakwa dapat mepertanggungjawabkan

perbuatannya karena, sewaktu mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin tersebut

terdakwa memenuhi unsur-unsur mampu bertanggungjawab , adapun

unsur-unsurnya adalah :

1. Keadan jiwa pelaku tidak terganggu atau tidak dibawah pengaruh apapun,

tidak terganggu oleh penyakit, tidak terganggu karena terkejut atau

amarah yang

meluap dan lain sebagainya.

Page 72: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

46 Cahirul Huda. Op. Cit., hal 82

Page 73: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

2. Kemampuan jiwa pelaku juga tidak terganggu karena pelaku dapat

menginsyafi perbuatanya dan dapat mementukan kehendaknya atas tindakan

tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak.

Menurut penulis, seseorang yang telah melakukan tindak pidana

kesehatan dan telah memenuhi unsur-unsu tindak pidana harus

dipertanggung jawabkan secara pidana. Orang tersebut harus

bertanggungjawab dengan menerima hukuman yang telah di jatuhkan

kepadanya akibat perbuatan pidana yang telah di lakukanya, yaitu mengedarkan

sediaan farmasi tanpa izin edar. Orang yang telah melakukan tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar ini harus bertanggungjawab secara

langsung terhadap perbuatan yang dilakukanya. Orang tersebut harus

bertanggungjawab karena dalam perbuatan pidana yang dibuatnya terdapat unsur

kesalahan berupa kesengajaan.

Oleh sebab itu, penulis memandang putusan yang diberikan majelis

hakim kepada terdakwa sanggatlah pantas untuk dipertanggungjawabkan

terdakwa.

Page 74: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI

Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dikatakan bahwa tiada suatu perbuatan yang

dapat dihukum kecuali apabila sudah diatur dalam peratuan perundang-

undangan. Ini maksudnya bahwa suatu perbuatan dapat dihukum hanya apabila

sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu jelaslah

bahwa kepada pembuat delik/tindak pidana harus diancam dengan hukuman

pidana.

Adanya hubungan tersebut karena memang sifat hukum

pidanasendiri yang mengharuskan adanya suatu ancaman hukuman yang

merupakan sanksi yang sifatnya untuk melindungi kepentingan orang banyak

atau kepentingan umum dengan memaksakan suatu penderitaan (Injury).

Mr. Tirtaadmidjaja memberikan pngertian bahwa hukum pidana adalah

bagian dari seluruh kumpulan norma-norma hukum yang mempunyai hukuman-

hukuman tertentu sebagai sanksi terhadap pelanggaran-pelanggarannya.

Dalam sistem hukum Indonesia secara garis besarnya ada 2(dua) tindakan

ataupun kebijakan yang dapat dilakukan terhadap suatu delik yang terjadi yaitu

kebijakan penal dan non penal.

A. Kebijakan Penal.

Kebijakan penal adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan

yang baik dengan situasi atau kondisi tertentu. Secara mendalam

dikemukakan juga bahwa juga bahwa kebijakan penal merupakan kebijakan

negara melalui alat- alat perlengkapanya yang berwenang utuk menetapkan

peraturan-peraturan yang

Page 75: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

59

Page 76: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

dikehendaki dan di perkirakan dapat digunakan untuk mengeksperesikan apa yang

terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang di cita-citakan.47

Kebijakan yang paling sering dilakukan adalah hukuman penjara.

Penekanan pemahaman kepenjaraan adalah semata-mata melihat pada perbuatan

jahat atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana. Oleh karena itu mereka harus

menebus kesalahannya di penjara. Adapun ciri utama pidana penjara adalah

harus lama, terdapat unsur derita dan berupa pembalasan masyarakat.

Dengan dipenjaranya pelaku kejahatan berarti pula kemerdekaannya telah

dirampas. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tujuan dikenakannya

pidana penjara adalah untuk mengadakan pembalasan dan untuk menakuti para

pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan

kejahatan. Pidana penjara ini masuk ke Indonesia melalui pasal 10 KUHP

dan sampai sekarang masih berlaku dan dikenal dengan Lembaga

Pemasyarakatan.

Untuk menetapkan hukuman penjara peranan hakim sangat diharapkan,

artinya bahwa kearifan dan kepekaan hakim dalam memeriksa dan

mengadili

setiap peristiwa pidana sangat menentukan sebelum menjatuhkan hukuman..

Oleh karena itu dalam penanggulangan kejahatan dengan

menggunakan sarana penal haruslah diperhatikan hal-hal sebagai berikut:48

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatkan tujuan pembangunan

nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

merata materil dan spritual berdasarkan Pancasila, maka hukum pidana

harus bertugas dan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi

kesejahteraan

dan pengayoman masyarakat.

Page 77: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

47 Soedarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal 15948 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta 2008,hal 28

Page 78: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh huku

m pidana adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu

perbuatan yang mendatangkan kerugian warga masyarakat. Perbuatan

yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang

tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan

perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana.

c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana

hukum pidana dengan sanksi yang negatif berupa pidana perlu disertai

penghitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan

akan tercapai.

d. Penggunaaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan

kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum jangan sampai

kelebihan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatan

efek dari peraturan itu akan menjadi kurang.

Kebijakan penal yang dapat dilakukan terhadap tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar pada kasus Putusan No. 1902/

PID B/ 2004/ PN Medan adalah dengan menerapkan hukuman yg terdapat

dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, yaitu Pasal 81

ayat (2) huruf c yang menerapkan hukumana penjara maksimal 7 tahun.

Untuk saat ini atas perubahan Undang-Undang t No.23 tahun 1992

tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang

Kesehatan, penerapan pasal 197 yang menerapakan hukuman penjara paling lama

15 tahun adalah kebijalan penal yang dapat diterapakan.

Page 79: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

B. Kebijakan Non Penal.

Kebijakan penanggulangan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan

sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu sasaran utamanya adalah

menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat

pada masalahatau kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat

menimbulakan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari

kebijakan penanggulanagan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini

mempunyai kedudukan yang strategisdan memegang peranan kunci yang harus

diintensifkan dan diefektifkan.49

Kebijakan non penal ini juga diperlukan untuk menanggulangi kejahatan,

kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana

sebagai hukumannya melainkan lebih memperhatikan aspek-aspek lainnya

seperti aspek psikologi, ekonomi, sosiologi tindakan konkret yang paling

nyata dilakukan adalah tindakan administrasi berupa pencabutan izin.

Adapun kebijakan non penal yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak

pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar adalah sebagai berikut :

a. Harus dilakukan dengan cara-cara yang sedikit agak lebih

bemoral seperti penyebarluasan ajaran-ajaran agama. Cara ini bisa

dilakukan oleh

tokoh-tokoh agama dalam suatu acara ibadah.

b. Melalui tindakan administrasi dengan melakuka n pencabutan izin apotik

atau toko obat.

49 Barda Nawawi Arief (buku III), Op. Chit.,hal. 33.

Page 80: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

c. Dalam membasmi kejahatan mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin

ini harus dilakukan dengan sifat memberantas, misalnya untuk

mencegah penyakit demam berdarah maka nyamuknya harus diberantas

juga.

d. Dengan cara mencabut izin pabrik besar farmasi yang mengedarkan

sediaan farmasi yang belum di registrasi kepada apotik atau toko-toko

obat berizin.

e. Memberikan peringatan keras kepada produsen yang bersangkutan dan

memerintahkan segera menarik peredaran produk yang belum mendapat

izin edar serta memusnahkannya

f. Pemerintah harus berperan dalam membina industri

maupun importir/distributor secara komprehensif, mulai dari

pembuatan, peredaran serta distribusi, agar masyarakat terhindar dari

penggunaan obat tanpa izin edar yang berisiko bagi pemeliharaan

kesehatan.

g. Dengan memberi penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat

yang menjadi korban tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi.

Disamping itu ada beberapa hal yang penting dilakukan dalam

upaya penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi :

1. Adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap

lembaga kesehatan.

Pemerintah dalam menjalankan sistem birokrasinya tentunya

mengharapkan agar setiap/segenap aparaturnya mulai tingkat pusat sampai

daerah menjalankan tugasnya dengan sebaik-baikya. Bahwa tugas pelayanan

publik yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan. Harapan pemerintah itu

sangat beralasan untuk menunjukkan citra pemerintah sebagai abdi

Page 81: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

masyarakat dan juga abdi

Page 82: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

negara. Namun karena adanya faktor lain ketika sedang melayani

masyarakat seperti kedekatan hubungan pribadi, maka sering kali harapan itu

tidak terwujud. Apabila ternyata tergiur menjalanan penyelewengan-

penyelewengan karena mungkin masyarakat akan memberi sejumlah uang agar

bisa menjalankan usaha.

Untuk itu maka pemerintah melakukan pengawasan terhadap kinerja

aparaturnya sebagai bentuk penertiban terhadap aparaturnya. Adapun

pengawasan itu dilakukan sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing.

2. Adanya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat.

Negara pada hakekatnya merupakan kekuatan dalam masyarakat yang

terorganisir dilengkapi dengan alat negara dan dengan demikian

bertentangan sekali dengan gelombang opini masyarakat yang teratur. Peran dan

fungsi masyarakat dalam hal ini adalah sebagai pengawas terhadap pelaku tindak

pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, dan sebagai gerbang awal dalam

penanganan tindak pidana ini.

Langkah-langkah tersebutlah yang harus dijalankan pemerintah dalam

rangka penanggulanagan tidak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa

izin edar dengan kebijakan non penal dalam kasus Putusan No. 1902/ PID B/

2004/ PN Medan.

Page 83: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melalui pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan pada bab-

bab sebelumnya dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan maka

dengan ini penulis akan mengambil kesimpulan yang merupakan jawaban atas

permasalahan yang diajukan sebagai berikut:

1. Tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar sebagai

mana diatur dalam Undang-Undang no.23 tahun 1992 tentang Kesehatan

dan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah tindak

pidana mengedarkan sediaan farmasi yang berupa obat, bahan obat, obat

tradisional dan kosmetik yg belum diregistrasi oleh pemerintah. Dalam

hal ini mentri kesehatan yang berhak memberi izin edar. Syarat sediaan

farmasi diberikan izin edar adalah sediaan farmasi tersebut telah lulus uji dari

segi mutu, keamanan dan kemanfaatan. Adapun peraturan perundang-

undangan di Indaonesia yamg mengatur mengenai tindak pidana mengedarkan

sediaan farmasi tanpa izin edar adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

2. Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

3. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

5. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan

Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

65

Page 84: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

2. Dalam tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar yang

diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c Jo Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang

No.23

Tahun 1992 Tentang Kesehatan sangat berperan dalam mengoptimalisasikan

hukum pidana sebagai sarana dalam upaya pencegahan kejahatan. Hal ini

didasarkan pada kasus Putusan No. 1902/ PID B/ 2004/ PN Medan yang

terjadi dimana dalam melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi

tanpa izin edar, pelaku dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi tanpa

izin edar untuk keuntungan pribadi.

3. Upaya penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa

izin edar dapat dilakukan melalui :

a. Kebijakan Penal.

Kebijakan ini dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana yang

merupakan sanksi dari suatu delik, misalnya : hukuman penjara, hukuman

denda, pidana kurungan, dan lainnya.

Kebijakan yang paling sering dilakukan adalah hukuman penjara.

Penekanan pemahaman kepenjaraan adalah semata-mata melihat pada

perbuatan jahat atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana. Oleh

karena itu mereka harus menebus kesalahannya di penjara. Adapun

ciri utama pidana penjara adalah harus lama, terdapat unsur derita dan

berupa pembalasan masyarakat.

Dengan dipenjaranya pelaku kejahatan berarti pula kemerdekaannya telah

dirampas. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tujuan dikenakannya

pidana penjara adalah untuk mengadakan pembalasan dan untuk

menakuti

Page 85: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

para pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan

kejahatan.

Kebijakan penal yang dapat dilakukan terhadap tindak pidana mengedarkan

sediaan farmasi tanpa izin edar adalah dengan menerapkan hukuman yg

terdapat dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1992 Tentang

Kesehatan, yaitu Pasal 81 ayat (2) huruf c yang menerapkan

hukumana penjara maksimal 7 tahun.

Untuk saat ini atas perubahan Undang-Undang t No.23 tahun 1992 tentang

Kesehatan menjadi Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan,

penerapan pasal 197 yang menerapakan hukuman penjara paling lama 15

tahun adalah kebijalan penal yang dapat diterapakan.

b. Kebijakan Non Penal.

Kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana

tindakan ini lebih bersifat administrasi dan lebih bermoral.

Kebijakan non penal ini juga diperlukan untuk menanggulangi

kejahatan kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana

hukum pidana sebagai hukumannya melainkan lebih memperhatikan

aspek-aspek lainnya seperti aspek psikologi, ekonomi, sosiologi tindakan

konkret yang paling nyata dilakukan adalah tindakan administrasi berupa

pencabutan izin tindakan non penal yang dapat dilakukan terhadap

pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi adalah sebagai berikut:

a. Harus dilakukan dengan cara-cara yang sedikit agak lebih bemoral

seperti penyebarluasan ajaran-ajaran agama. Cara ini bisa dilakukan

oleh tokoh-tokoh agama dalam suatu acara ibadah.

Page 86: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

b. Melalui tindakan administrasi dengan melakuka n pencabutan izin

apotik atau toko obat.

c. Dengan cara mencabut izin pabrik besar farmasi yang mengedarkan

sediaan farmasi yang belum di registrasi kepada apotik atau toko-toko

obat berizin.

d. Memberikan peringatan keras kepada produsen yang bersangkutan

dan memerintahkan segera menarik peredaran produkserta

memusnahkannya

e. Pemerintah harus berperan dalam membina industri maupun

importir/distributor secara komprehensif. Mulai dari pembuatan,

peredaran serta distribusi, agar masyarakat terhindar dari penggunaan

obat tanpa izin edar yang berisiko bagi pemeliharaan kesehatan.

f. Dengan memberi penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat

yang menjadi korban tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran dari penulis dalam penulisan skripsi

ini adalah:

1. Mengingat masih susahnya membedakan obat tanpa izin edar dengan

obat dengan izin edar, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan kepada

masyarakat dan memberikan informasi mengenai obat yang telah ditarik dari

pasar.

2. Dalam penanganan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa

izin, hendaknya dibuat suatu peraturan yang khusus mengatur mengenai

tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, sehingga dalam

menangani

Page 87: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

tindak pidana ini para aparat hukum dan para pihak yang terkait dapat

menindak dengan tegas karena payung hukum terhadap kejahatan ini

sudah jelas berikut dengan seluruh penjelasannya. Dengan cara ini, mudah-

mudahan dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana mengedarkan

sediaan farmasi tanpa izin edar.

3. Adanya pengawasan dari pemerintah dalam hal ini yang berwenang Balai

POM supaya lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan mulai dari tingkat

daerah sampai dengan pusat. Yang menjadi objek pengawasan adalah

pihak-pihak yang terkait, mulai dari produksi sampai peredaran, dengan lebih

mengoptimalkan Badan Pengawas yang ada didaerah baik daerah Tkt II

(Kab/Kota), daerah Tkt I (Propinsi) maupun tingkat pusat dengan melibatkan

seluruh unsur mulai dari masyarakat, aparat penegak hukum maupun

lembaga- lembaga tertentu. Dengan demikian praktek jual beli obat tanpa izin

edar tidak begitu mudah didapatkan, dan dapat mengurangi tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

4. Agar pemerintah mencoba untuk menganalisa lagi apa-apa saja faktor yang

menjadi penyebab mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, sehingga ada

suatu kesamaan persepsi tentang faktor penyebab mengedarkan sediaan

farmasi tanpa izin. Dengan demikian akan ditempuh slusi-solusi yang juga

sifatnya sama mulai dari tingkat pusat sampai kedaerah.

Page 88: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Slamet, Titon Kurnia. 2007. Hak Atas Drajat Kesehatan Optimal SebagaiHAM di Indonesia. Bandung.

Amir,Amri.1997. Bunga Ranpai Hukum Kesehatan. Jakarta.

Anief, Moh. 1993.Farmasetika. Yogyakarta.

Usfa, Usfa & Tongat.2004 Pengantar Hukum Pidana.Malang : UMM Press,

Chazawi, Adami. 2002. Pengantar Hukum Pidana Bag 1. Jakarta : Grafindo.

Chazawi, Adami. 2002. Pengantar Hukum Pidana bag III. Jakarta : Grafindo

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto

Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia

Kanter, EY & Sianturi. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia danPenerapanya. Jakarta :Storia Grafika

Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana.Jakarta : Aksara baru

Kartenegara, Satochid. Hukum Pidana Bag I. Balai lektur Mahasiswa

Ashofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rieneke Cipta

Bambang Sunggono, Bambang. 1998. Metode Penelitian Hukum. Jakarta

:Rajawali Pers

Soerjono Soekanto, Soerjono.1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press

Lexy Moelong, Lexy. 1999. Metode penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Page 89: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Samidjo. 1985. Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana. Bandung : Armico

Schffmeister,D et al, dalam J.F. Sahetapi (ed). Hukum Pidana. LibertyYogyakarta

Suharto. 2002. Hukum Pidana Materil. Jakarta. Sinar Grafika

Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami Dasar-Dasar HukumPidana. Jakarta : Pradnya Paramita

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidan di Indonesia.Bandung : Refika Aditama

Arief, Barda Nawawi.2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Jakarta : Kencana

Undang-Undang

Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran NegaraRepublik Indinesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor5063)

Undang-Undang NO.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor3495)

Undang-Undang No. Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1997 nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor3671)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062)

Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3781)

Page 90: Chapter I Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Sumber Lain

TesisHuku m.com. Tanggung Jawab Pengawas Obat dan

Makanan . www . t e s i s h uk u m . c o m . terakhir kali di akses 12 februari 2010

Pharpos.com. Mengenal Penggolongan Obat. www. Phapros.com.terakhir kali di akses 10 februari 2010

Blogspot, Henrydunan.com. Rekaman Medis. www. henrydunan.blogspot.com. terakhir kali di akses 18 februari 2010