22
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Tukak Peptik 2.1.1. Definisi Tukak Peptik Tukak didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa lambung dan/atau duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi lokal (Valle, 2005). Disebut tukak apabila robekan mukosa berdiameter ≥ 5 mm kedalaman sampai submukosa dan muskularis mukosa atau secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Robekan mukosa < 5 mm disebut erosi dimana nekrosis tidak sampai ke muskularis mukosa dan submukosa. Tukak peptik merujuk kepada penyakit di salur pencernaan bagian atas yang disebabkan oleh asam dan pepsin. Spektum penyakit tukak peptik adalah luas meliputi kerusakan mukosa, eritema, erosi mukosa dan ulkus.

Chapter II 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

isi bab 2

Citation preview

Page 1: Chapter II 2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Tukak Peptik

2.1.1. Definisi Tukak Peptik

Tukak didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa lambung dan/atau duodenum yang

menyebabkan terjadinya inflamasi lokal (Valle, 2005). Disebut tukak apabila robekan

mukosa berdiameter ≥ 5 mm kedalaman sampai submukosa dan muskularis mukosa atau

secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan

diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Robekan mukosa <

5 mm disebut erosi dimana nekrosis tidak sampai ke muskularis mukosa dan submukosa.

Tukak peptik merujuk kepada penyakit di salur pencernaan bagian atas yang

disebabkan oleh asam dan pepsin. Spektum penyakit tukak peptik adalah luas meliputi

kerusakan mukosa, eritema, erosi mukosa dan ulkus.

Gambar 2.1. Esofagus, Lambung & Duodenum

Page 2: Chapter II 2

2.1.2. Patogenesis Tukak Peptik

Kerusakan pada mukosa gastroduodenum berpunca daripada ketidakseimbangan antara

faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor yang melindungi mukosa tersebut. Oleh

sebab itu, kerusakan mukosa tidak hanya terjadi apabila terdapat banyak faktor yang

merusakkan mukosa tetapi juga dapat terjadi apabila mekanisme proteksi mukosa gagal.

Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi

bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada epitel serta

regenerasi epitel. Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang merupakan faktor

predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara lain daerah geografis, jenis

kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan infeksi bakteria agresif.

Pada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac, dan aspirin

(terutamanya pada dosis tinggi), kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase

menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat turut terhambat. Efek yang tidak

diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah penghambatan sistesis prostaglandin secara

sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum sehingga melemahkan proteksi

mukosa. Tukak dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan

efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan bahaya perdarahan pada tukak

(Silbernagl, 2000).

2.1.3. Etiologi Tukak Peptik

1. Infeksi Helicobacter Pylori

Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan dengan

infeksi Helicobacter pylori. Helicobacter Pylori adalah bakteri gram negatif, hidup dalam

suasana asam pada lambung/duodenum, ukuran panjang sekitar 3µm dan diameter 0,5µm,

punya ≥ 1 flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mukus permukaan

epitel antrum lambung, karena pada epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo

yang dikenali oleh H.Pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.

Page 3: Chapter II 2

Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik adalah pertama dengan memproduksi toksik

yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Protease dan fospolipase menekan sekresi

mukus sehingga daya tahan mukosa menurun menyebabkan asam lambung berdifusi balik.

Hal ini menyebabkan nekrosis jaringan dan akhirnya berkomplikasi menjadi tukak peptik.

Kedua mekanisme terjadi tukak peptik dengan menginduksi respon imun lokal pada mukos

sehingga terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini

melalui mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN. Seterusnya,

peningkatkan level gastrin menyebabkan meningkatnya sekresi asam lambung yang masuk

ke duodenum lalu menjadi tukak duodenum.

2. Sekresi asam lambung

Normal produksi asam lambung kira-kira 20 mEq/jam. Pada penderita tukak,

produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam.

3. Pertahanan Mukosal Lambung

NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat menimbulkan kerusakan

pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan,

khususnya pada pembuluh darah.

Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada

asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat

hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui 4 tahap yaitu : pertama,

penurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan

duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan duodenum menurun. Kedua,

penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa.

Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa. Hal demikian terjadi akibat hambatan COX-1

akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel

epitel. Tahap keempat berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet

dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan

leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimulai dengan

pelepasan protease, radikal bebas oksigen berakibat kerusakan epitel dan endotel

Page 4: Chapter II 2

menyebabkan statis aliran mikrovaskular sehingga terjadinya iskemia dan akhirnya

terjadi tukak peptik.

Tukak lambung memiliki beberapa tipe,yaitu :

Tipe 1, yang paling sering terjadi. Terletak pada kurvatura minor atau proximal

insisura,dekat dengan junction mukosa onsitik dan antral.

Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak duodenum.

Tipe 3, terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer).

Tipe 4, terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia.

2.1.4. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Sekitar 90% dari penderita mengeluh nyeri pada epigastrium, seperti terbakar

disertai mual, muntah, perut kembung, berat badan menurun, hematemesis, melena dan

anemia disebabkan erosi yg superficial atau erosi dalam pada mukosa gastrointestinal

(McPhee, 1997).

Pemeriksaan Penunjang

Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas ( UGIE-Upper

Gastrointestinal Endoscopy) dan biopsi lambung (untuk deteksi kuman H.Pylori, massa

tumor, kondisi mukosa lambung)

1. Pemeriksaan Radiologi.

Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis tukak peptik.

Gambaran berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari pinggiran tukak.

Apabila permukaan pinggir tukak tidak teratur dicurigai ganas.

2. Pemeriksaan Endoskopi

Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal disertai

lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran tukak. Gambaran tukak akibat keganasan

adalah :Boorman-I/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-IV/linitis plastika (scirrhus)

Page 5: Chapter II 2

.Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12 minggu setelah terapi eradikasi.

Keunggulan endoskopi dibanding radiologi adalah : dapat mendeteksi lesi kecil diameter <

0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi darah dengan penyemprotan air,dapat

memastikan suatu tukak ganas atau jinak, dapat menentukan adanya kuman H.Pylori

sebagai penyebab tukak.

3. Invasive Test :

Rapid Urea Test adalah tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim

urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat, membuat suasana menjadi

basa, yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa lambung diletakkan

pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang mengandung urea dan pH

indikator, jika terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut maka akan diubah menjadi

ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan warna.

Untuk pemeriksaan histologi, biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak

minimum 4 sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran

dari dasar, pinggir dan sekitar tukak, minimal 6 sampel. Pemeriksaan kultur tidak biasa

dilakukan pada pemeriksaan rutin

4. Non Invasive Test.

Urea Breath Test adalah untuk mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan

keberadaan urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-13,C-14)

produksi dalam perut, diabsorpsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan

akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan. Stool antigen test juga mengidentifikasi adanya

infeksi H.Pylori melalui mendeteksi keadaan antigen H.Pylori dalam faeces.

2.1.5. Terapi Tukak Peptik

1. Terapi non medikamentosa

a) Dianjurkan rawat jalan, apabila gagal atau adanya komplikasi dianjurkan rawat

inap.

Page 6: Chapter II 2

b) Untuk kontrol diet, air jeruk yang asam, minuman coca cola, bir, kopi dikatakan

tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tetapi dapat

menambah sekresi asam lambung.

c) Penderita dianjurkan untuk berhenti merokok oleh karena dapat mengganggu

penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat sekresi bikarbonat pancreas,

menambah keasaman duodeni, menambah refluks duodenogastrik akibat relaksasi

sfingter pylorus sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak.

2. Terapi medikamentosa

a) Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik, membentuk

garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin dapat bekerja

pada pH lebih tinggi dari 4, maka penggunaan antacida juga dapat mengurangkan

aktivitas pepsin.

b) Antagonis Reseptor H2/ARH2.

Penggunaan obat antagonis reseptor H2 digunakan untuk menghambat sekresi

asam lambung yang dikatakan efektif bagi menghambat sekresi asam nocturnal.

Strukturnya homolog dengan histamine. Mekanisme kerjanya secara kompetitif

memblokir perlekatan histamine pada reseptornya sehingga sel parietal tidak dapat

dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi bersifat reversible. Dosis

terapeutik yang digunakan adalah Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari, dosis

maintenance 400 mg, Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg,

Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg, Famotidine : 1 x 40

mg malam hari, Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75

mg malam hari.

c) Proton Pump Inhibitor/PPI: mekanisme kerja adalah memblokir kerja enzim

K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan

untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung.

PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli,menyebabkan

pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor agresif pepsin

Page 7: Chapter II 2

dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs,

Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40 mg, Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60

mg.

d) Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth Subsalisilat/BSS)

Membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan

melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin dan efek bakterisidal

terhadap H.Pylori.

e) Sukralfat: Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida yang

berikatan dengan kutub positif melekul proteinàlapisan fisikokemikal pada dasar

tukakàmelindungi tukak dari asam dan pepsin. Membantu sintesa prostaglandin,

kerjasama dengan EGF ,menambah sekresi bikarbonat &mukus, peningkatan daya

pertahanan dan perbaikan mukosal.

f) Prostaglandin: Mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan sekresi mukus,

bikarbonat, peningkatan aliran darah mukosa, pertahanan dan perbaikan mukosa.

Digunakan pada tukak lambung akibat komsumsi NSAIDs.

g) Penatalaksanaan infeksi H.Pylori.

Tujuan eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan tukak

dan mencegah kekambuhan. Lama pengobatan eradikasi H.Pylori adalah 2

minggu,untuk kesembuhan tukak,bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3 – 4

minggu lagi ( Finkel R., 2009)

3. Tindakan Operasi

Indikasi untuk melakukan tindakan operasi apabila terapi medik gagal atau

terjadinya komplikasi seperti perdarahan, perforasi, dan obstruksi. Hal ini dapat dilakukan

dengan tindakan vagotomy yaitu dengan melakukan pemotongan cabang saraf vagus yang

menuju lambung menghilangkan fase sefalik sekresi lambung. Tindakan operasi lain seperti

antrektomi dan gastrektomi juga dapat dilakukan apabila adanya indikasi dilakukan operasi.

Page 8: Chapter II 2

2.1.6. Komplikasi

Tukak dapat berkomplikasi pada perdarahan. Pendarahan berlaku pada 15-20% pasien

tukak peptik. Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak peptik yaitu pada dinding

posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria

pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Dikatakan 25% daripada kematian

akibat tukak peptik adalah disebabkan komplikasi pendarahan ini (Kumar, 2005).

Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi di lambung sehingga

menyebabakan terjadinya peritonitis. Perforasi terjadi pada 5% pasien tukak peptik.

Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal, dinyatakan

sebagai bulan sabit translusen antara bayangan hati dan diafragma.

Pada tukak juga dapat berkomplikasi menjadi obstruksi. Tukak prepilorik dan

duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis atau

oedem dan spasme. Mual,kembung setelah makan merupakan gejala-gejala yang sering

timbul. Apabila obstruksi bertambah berat dapat timbul nyeri dan muntah (Kumar, 2005).

Page 9: Chapter II 2

2.2. Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs)

2.2.1. Definisi

Obat antiinflamasi non steroid, atau yang dikenal dengan NSAID (Non Steroidal Anti-

inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda

nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). Istilah "non steroid"

digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki

khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika.

Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1

(cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim COX ini berperan dalam memacu

pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Prostaglandin berperan

dalam proses inflamasi (Finkel, 2009).

NSAID dibagi lagi menjadi beberapa golongan, yaitu :

a) Golongan salisilat (diantaranya aspirin/asam asetilsalisilat, metil salisilat,

magnesium salisilat, salisil salisilat, dan salisilamid),

b) Golongan asam arilalkanoat (diantaranya diklofenak, indometasin, proglumetasin,

dan oksametasin),

c) Golongan profen/asam 2-arilpropionat (diantaranya ibuprofen, alminoprofen,

fenbufen, indoprofen, naproxen, dan ketorolac),

d) Golongan asam fenamat/asam N-arilantranilat (diantaranya asam mefenamat, asam

flufenamat, dan asam tolfenamat),

e) Golongan turunan pirazolidin (diantaranya fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan

fenazon),

f) Golongan oksikam (diantaranya piroksikam, dan meloksikam),

g) Golongan penghambat COX-2 (celecoxib, lumiracoxib),

h) Golongan sulfonanilida (nimesulide), serta

i) Golongan lain (licofelone dan asam lemak omega 3).

Page 10: Chapter II 2

Penggunaan NSAID yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana terdapat

kehadiran rasa nyeri dan radang. Secara umum, NSAID diindikasikan untuk merawat gejala

penyakit seperti rheumatoid arthritis, osteoarthritis, encok akut, nyeri haid, migrain dan

sakit kepala, nyeri setelah operasi, nyeri ringan hingga sedang pada luka jaringan,

demam, ileus, dan renal colic .

Sebagian besar NSAID adalah asam lemah, dengan pKa 3-5, diserap baik pada lambung

dan usus halus. NSAID juga terikat dengan baik pada protein plasma (lebih dari 95%), pada

umumnya dengan albumin. Hal ini menyebabkan volume distribusinya bergantung pada

volume plasma. NSAID termetabolisme di hati oleh proses oksidasi dan konjugasi sehingga

menjadi zat metabolit yang tidak aktif, dan dikeluarkan melalui urin atau cairan empedu.

2.2.2. Penggunaan NSAIDs dalam pengobatan

NSAIDs umunya diberikan secara dini dimaksudkan untuk mengatasi rematik akibat

inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang

bermakna. Selain itu, NSAIDs juga memberikan efek analgesik yang sangat baik. NSAIDs

terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenasi sehingga menekan sintesis

prostaglandin. NSAIDs bekerja dengan cara;

Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal

Menghambat pembebasan dan aktivasi mediator inflamasi (histamin, serotonin,

enzim lisosomal, dan enzim lainnya)

Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan

Menghambat proliferasi selular

Menetralisasi radikal oksigen

Menekan rasa nyeri

(Sudoyo, dkk, 2007).

2.2.3. Efek samping NSAIDs pada pengobatan

Page 11: Chapter II 2

Semua NSAIDs secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas NSAIDs yang umum

dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis, terutama jika NSAIDs

digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok, atau dalam keadaan

stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping

gastrointestinal akibat NSAIDs. Pada pasien sensitif dapat digunakan preparat NSAIDs yang

berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidi.

Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan NSAIDs antara lain

adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta penekanan system

hematopoetik (Sudoyo, dkk, 2007). Menurut Katzung (1998), efek samping yang dapat

terjadi pada penggunaan NSAIDs antara lain;

1. Efek terhadap saluran cerna

Pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada lambung

(intoleransi). Gastritis yang timbul pada aspirin mungkin disebabkan oleh iritasi mukosa

lambung oleh tablet yang tidak larut atau karena penghambatan prostaglandin pelindung.

Perdarahan saluran cerna bagian atas yang berhubungan dengan penggunaan NSAIDs

biasanya berkaitan dengan erosi lambung. Peningkatan kehilangan darah yang sedikit

melalui tinja secara rutin serta peningkatan kehilangan darah yang sedikit melalui tinja

secara rutin berhubungan dengan konsumsi NSAIDs ; kira-kira 1 mL darah normal yang

hilang dari tinja per hari meningkat sampai kira-kira 4 mL per hari pada penderita yang

minum NSAIDs dosis biasa dan pada dosis lebih tinggi. Di lain pihak, dengan terapi yang

tepat, ulkusnya sembuh, meskipun diberikan bersamaan. Muntah juga dapat terjadi

sebagai akibat rangsangan susunan saraf pusat setelah absorbsi dosis besar NSAIDs.

2. Efek susunan saraf pusat

Dengan dosis yang lebih tinggi, penderita bisa mengalami ”salisilisme”-tinitus,

penurunan pendengaran, dan vertigo-yang reversibel dengan pengurangan dosis. Dosis

salisilat yang lebih besar lain dapat menyebabkan hiperpnea melalui efek langsung terhadap

Page 12: Chapter II 2

medula oblongata. Pada kadar salisilat toksik yang rendah, bisa timbul respirasi alkalosis

sebagai akibat peningkatan ventilasi. Kemudian asidosis akibat pengumpulan turunan asam

salisilat dan depresi pusat pernapasan.

3. Efek samping lainnya

Dalam dosis harian 2 g atau lebih kecil, biasanya meningkatkan kadar asam urat

serum. Dapat menimbulkan hepatitis ringan yang biasanya asimtomatik, terutama pada

penderita dengan kelainan yang mendasarinya seperti lupus eritematosus sistemik serta

artritis rematoid juvenilis dan dewasa. Dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi

glomerulus yang reversibel pada penderita dengan dasar penyakit ginjal, tetapi dapat pula

(meskipun jarang) tejadi pada ginjal normal. Pada dosis biasa mempunyai efek yang dapat

diabaikan terhadap toleransi glukosa. Sejumlah dosis toksik akan mempengaruhi sistem

kardiovaskular secara langsung serta dapat menekan fungsi jantung dan melebarkan

pembuluh darah perifer. Dosis besar akan mempengaruhi otot polos secara langsung. Reaksi

hipersensitifitas bisa timbul setelah konsumsi pada penderita asma dan polip hidung serta

bisa disertai dengan bronkokonstruksi dan syok. Dikontrainsikasikan pada penderita

hemofilia. Juga tidak dianjurkan bagi wanita hamil dan anak-anak.