Upload
muri-murdiana-agustin-ii
View
4
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kkkkk
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas struktural
atau fungsional ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa
penurunan filtrasi glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan
patologis atau kerusakan ginjal, termasuk ketidakseimbangan komposisi zat
didalam darah atau urine serta ada atau tidaknya gangguan hasil pemeriksaan
pencitraan.11
Secara epidemiologi, kejadian penyakit ginjal kronik di negara
berkembang didapatkan 40-60 kasus /1 juta penduduk/ tahun. Pada pasien-
pasien dengan penyebab hipertensi berat, glomerulonefritis dan obstruktif
uropati, insidensinya menjadi lebih tinggi bahkan dapat mencapai 100 kasus/1
juta penduduk/tahun. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1.800 kasus baru
penyakit ginjal kronik setiap tahun. Di Amerika serikat dijumpai 200.000
penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis reguler dengan peningkatan
10 persen setiap tahunnya. Pasien-pasien gagal ginjal terminal yang baru
terdiagnosa mencapai 100 pasien/ 1 juta penduduk. Insiden ini meningkat
empat kali lebih besar pada golongan kulit hitam dan hispanik dibanding
dengan golongan kaukasian yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia
pasien12. Sedangkan data di Indonesia, sedikit studi epidemiologis tentang
penyakit ginjal kronik. Sehingga sulit didapatkan pola morbiditas dan
mortalitas baik dari rumah sakit rujukan nasional maupun rujukan rumah sakit
provinsi .13
6
Universitas Sumatera Utara
Penyebab penyakit ginjal kronik dari beberapa data yang ada bervariasi
untuk setiap negara dimana tingkat insidensinya berbeda pada negara maju dan
negara berkembang. Di Amerika Serikat (1999 – 2005) etiologi terbanyak
adalah Diabetes melitus (44%), dengan DM tipe 1 (7%), DM tipe 2 (37%),
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar (27%), Glomerulonefritis (10%),
Nefritis interstitialis (4%), Kista dan penyakit bawaan lain (3%), penyakit
sistemik ( Lupus dan Vaskulitis) (2%), neoplasma (2%), penyakit lain (4%)
dan tidak diketahui (4%).12 Data etiologi penyebab ginjal di Indonesia pada
tahun 2005 adalah Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes melitus (18,65%),
Obstruksi dan infeksi (12,85%) Hipertensi (8,46%) dan lain lainnya
(13,65%).13
2.1. Patofisiologi serta konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK
Hiperfosfatemia pada PGK terjadi akibat kegagalan ginjal dalam
mengekskresi fosfat, tingginya asupan fosfat atau peningkatan pelepasan fosfat
dari ruang intraseluler. Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat,
sehingga hampir tidak mungkin terjadi hiperfosfatemia pada fungsi ginjal yang
masih normal. Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat
pada klirens kreatinin di atas 30 ml/menit. Hiperfosfatemia mengakibatkan
berbagai konsekwensi yang cukup memberikan kontribusi pada mortalitas dan
morbiditas PGK. Konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK adalah
hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal, kalsifikasi kardiovaskuler
dan jaringan ikat lunak serta kalsifilaksis.14-16
Universitas Sumatera Utara
2.2. Hiperparatiroidisme sekunder
Tiga faktor yang berperan terhadap patogenesis hiperparatiroidisme
sekunder adalah, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan hipokalsitriolemia
(kekurangan Calcitriol/ vitamin D Analog). Adapun indikasi pasien PGK
diberikan vitamin D Analog antara lain pasien yang menjalani hemodialisis
atau dialisis peritoneal dengan kadar HPTi > 300 pg/ml dianjurkan untuk
mendapat Calcitriol/ vitamin D analog (Paricalcitol, Alfacalcidol, atau
Doxercalciferol). Calcitriol/ vitamin D analog diberikan pada pasien dengan
kadar calsium serum < 9,5 mg/dl jika kadar HPTi plasma 300 – 600 pg/ml,
atau calsium serum < 10 mg/dl pada kadar HPTi plasma 1000 pg/dl. Skema 1
memperlihatkan patogenesis terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.5
Universitas Sumatera Utara
Level Rendah1,25 (OH)2 D3 Fosfat Retensi
Ketahanan Tulang PTH
Hypocalcemia
Hiperparatiroidisme
Penurunan Sensor
Ca
Penurunan Reseptor
1,25 (OH)2 D3
Gagal Ginjal Kronis
Skema 1. Patogenesis hiperparatiroidisme Sekunder17
Hipokalsitriolemia terjadi akibat penurunan massa ginjal. Hipokalsemia
terjadi melalui dua mekanisme yaitu, hiperfosfatemia yang mengakibatkan
perubahan keseimbangan fisikokimiawi, dan hipokalsitriolemia yang
mengakibatkan penurunan absorbsi kalsium di saluran cerna. Ketiga faktor
Universitas Sumatera Utara
diatas secara bersama-sama berkontribusi terhadap peningkatan sekresi
hormon paratiroid (HPT). 14,15
2.3. Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik
(GMT-PGK)
Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK)
ialah suatu sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada
metabolisme mineral dan tulang pada PGK. Sindrom ini mencakup salah satu
atau kombinasi dari hal-hal berikut :5
1. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme
kalsium, fosfat, HPT dan vitamin D.
2. Kelainan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume,
pertumbuhan linier dan kekuatannya.
3. Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.
Kalsifikasi GMT-PGK tergantung pada ada atau tidaknya salah satu
atau kombinasi dari ketiga komponen diatas.
Tabel 2.1 . Klasifikasi GMT-PGK5
Tipe Laboratorium
Abnormal
Gangguan
Tulang
Kalsifikasi Vaskuler atau
jaringan lunak
L + - -
LT + + -
LK + - +
LTK + + +
L = Laboratorium T = Tulang K = Kalsifikasi Vaskuler
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi Renal (OR) merupakan gangguan morfologi tulang pada
PGK. OR merupakan salah satu pemeriksaan komponen skeletal dari suatu
gangguan sistemik GMT-PGK yang dapat diukur melalui pemeriksaan
histomorfometri dari biopsi tulang. Termasuk dalam kelompok ini adalah,
osteomalasia, osteotis fibrosa, adynamic bone disease, dan jenis campuran.
Ada dua spektrum osteodistrofi renal yaitu, high turnover dan low turnover.
High turnover terjadi pada kadar fosfat tinggi-kalsium rendah HPT tinggi.
Termasuk spektrum ini adalah osteitis fibrosa. Sedangkan low turnover terjadi
pada kadar kalsium tinggi aluminium tinggi, dan termasuk dalam spektrum ini
adalah osteomalasia dan a dynamic bone disease. Salah satu bentuk
osteodistrofi renal yang berada di antara kedua spektrum diatas adalah bentuk
campuran.18,19
2.4. Kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak
Mekanisme lain, lewat mana hiperfosfatemia berkontribusi terhadap
peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien PGK adalah melalui terjadinya
kalsifikasi jaringan lunak, terutama pada kalsifikasi kardiovaskuler. Dari otopsi
dilaporkan bahwa, kalsifikasi kardiovaskuler terjadi pada hampir 60 % pasien
PGK yang menjalani hemodialisis.
Kalsifikasi ini terjadi pada miokardium, perikardium, sistem konduksi,
aorta, katup mitral dan arteri koroner. Keadaan ini dapat mengakibatkan
aritmia, disfungsi ventrikel, stenosis ataupun regurgitasi aorta dan mitral,
complete heart block, iskemia miokard dan payah jantung kongestif. Faktor-
faktor yang memicu terjadinya kalsifikasi kardiak ini adalah
hiperparatiroidisme, hiperfosfatemia-hiperkalsemia (peningkatan produk
Universitas Sumatera Utara
Ca x P), dan alkalinisasi jaringan. Pasien-pasien dengan kadar fosfat yang lebih
dari 6,5 mg/dl mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penyakit arteri koroner (termasuk infark miokard dan penyakit jantung
aterosklerotik). Resiko relatif kematian akibat penyakit jantung koroner 52 %
lebih tinggi pada pasien-pasien dengan kadar fosfat > 6,5 mg/dl dibandingkan
dengan kadar fosfat < 6,5 mg/dl. Prediktor yang paling nyata dalam terjadinya
kalsifikasi kardiak ini adalah tingginya perkalian produk Ca x P. Pasien-pasien
dengan dialisis regular yang mempunyai perkalian produk Ca x P lebih dari 55
mg2/dl2 mempunyai prevalensi kalsifikasi katup mitral lebih tinggi bermakna
dibandingkan normal. KDIGO menetapkan sasaran perkalian produk Ca x P
kurang dari 55 mg2 / dl2. 20-22
Selain di jaringan kardiovaskuler, hiperfosfatemia juga dapat
mengakibatkan kalsifikasi pada jaringan ikat lunak lain seperti otak, subkutan,
periartikuler, paru dan jaringan interstitial ginjal.21
2.5. Kalsifilaksis
Sindrom kalsifilaksis pertama kali dilaporkan oleh Selye thn 1962,
berupa nekrosis iskemia jaringan perifer, kalsifikasi vaskuler dan ulserasi kulit,
yang terjadi pada PGK yang menjalani hemodialisis reguler atau setelah
transplantasi ginjal. Patogenesis sindrom ini belum diketahui secara pasti,
diduga karena adanya obstruksi mekanis vaskuler akibat deposisi kalsium otot
polos, arterial dan terjadinya spasme vaskuler. Faktor predisposisi sindrom ini
adalah pasien PGK dengan hemodialisis yang mempergunakan kalsium
karbonat dosis tinggi, dialisat konsentrasi kalsium tinggi, obesitas, diabetes
melitus, pasca transplantasi, obat-obat golongan steroid/imunosupresan, serta
trauma lokal.21
Universitas Sumatera Utara
2.6. Penatalaksanaan23
Penatalaksanaan hiperfosfatemia serta konsekuensinya pada PGK dilakukan
dengan berbagai upaya yaitu :
2.6.1. Menghambat hiperfosfatemia
a. Mengurangi Asupan Fosfat
Pembatasan asupan fosfat pada penderita PGK merupakan cara yang
paling efektif dalam menghambat terjadinya hiperfosfatemia. Hal ini
dilakukan seiring dengan pembatasan asupan protein, karena fosfat
sebagian besar terkandung pada sumber protein, seperti daging, telur,
susu serta berbagai produknya. Upaya ini harus segera dimulai pada
klirens kreatinin 60ml/menit. Asupan fosfat pada PGK dianjurkan
sebanyak 600-900 mg/hari. Fosfat sejumlah itu, jika dikonversikan
ke jumlah asupan protein yang dibutuhkan pada pasien
hemodialisis/peritoneal dialisis sebesar 1,2 - 1,4 protein
gr/kg.bb./hari. Dalam keadaan seperti ini, jumlah asupan protein
lebih diutamakan guna mencegah penderita jatuh ke kondisi
malnutrisi.23
b. Pemberian Pengikat Fosfat
Pengikat fosfat, diharapkan dapat mengikat fosfat yang ada pada
makanan penderita PGK, sehingga tidak diabsorbsi dan dikeluarkan
lewat feces. Dengan demikian kadar fosfat dalam darah tidak
meningkat. Berbagai jenis pengikat fosfat yang sering dipergunakan
adalah, 1) garam aluminium (Aluminium hidroksida), 2) garam ferri,
3) garam kalsium (Ca karbonat, Ca Acetat), 4) hydrogel
Universitas Sumatera Utara
polyallylamine hidroksida (sevelamer/RenaGel ®), 5)lanthanum
kartbonat, dan 6) pengikat fosfat berbasis besi (trivalent iron salt).23
Garam aluminium
Garam aluminium merupakan pengikat fosfat yang paling dulu
diketahui, sangat efektif dalam menurunkan fosfat plasma, dan
bisa berperan sebagai antasida yang dapat mengurangi gejala
mual, muntah pada penderita uremia. Tetapi pemakaian jangka
panjangnya dapat mengakibatkan intoksikasi aluminium dengan
gejala anemia, gangguan cerebral, gangguan tulang (a dynamic
bone disease). Indikasi pemakaian garam aluminium jangka
pendek adalah hiperfosfatemia diserta hiperkalsemia, atau hasil,
perkalian Ca x PO4 lebih dari 65 mg2/dl2. pemberian dilakukan
selama 4-8 minggu, setelah kadar kalsium normal dipertahankan
dengan pengikat fosfat garam kalsium.23
Garam Ferri 7
Beberapa studi terdahulu menduga bahwa komponen garam ferri
dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan dan memiliki
potensi sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) bila diberikan
secara oral bersama-sama dengan makanan.
Ritz dan Hergessel (1999), melaporkan terjadi penurunan kadar
fosfat darah sebesar 20% serta ekskresi fosfat lewat urin sebesar
37 % pada 13 penderita PGK dengan hiperfosfatemia yang
diberikan 3 x 2,5 gr besi hidroksi polinuklear bersama-sama
makanan selama 2 minggu. Namun demikian masih diperlukan
penelitian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
Garam kalsium
Garam kalsium yang dipergunakan sebagai pengikat fosfat
adalah kalsium karbonat dan kalsium asetat. Suwitra (2000),
mendapatkan penurunan yang bermakna kadar fosfat darah
penderita PGK yang menjalani hemodialisis kronik setelah
pemberian kalsium karbonat 3,125 gr perhari selama 12 minggu.
Disamping itu, didapatkan juga peningkatan kadar bikarbonat
plasma sebanyak 1 - 2 mol/lt. Di dalam saluran cerna kalsium
karbonat akan terurai menjadi ion kalsium dan karbonat. Ion
kalsium akan berikatan dengan fosfat yang ada pada ion
karbonat akan diabsorbsi kedalam darah untuk kemudian
menjadi bikarbonat. Garam kalsium asetat dilaporkan
mempunyai kapasitas mengikat fosfat yang lebih kuat
dibandingkan kalsium karbonat, sehingga resiko hiperkalsemia
yang terjadi juga lebih kecil. Tetapi efek samping gangguan
pencernaan yang ditimbulkan lebih sering, dan harganya lebih
mahal dibandingkan kalsium karbonat.23
Sevelamer hydrochloride
Sevelamer merupakan pengikat fosfat sintetik pertama, non
kalsium dan non aluminium. Merupakan pengikat fosfat yang
kuat, tidak diabsorbsi di saluran cerna, dan resisten terhadap
degradasi. Banyak studi klinis membuktikan bahwa sevalemer
mempunyai kemampuan mengikat fosfat yang sebanding dengan
garam kalsium, walau masih lebih lemah dibandingkan garam
aluminium. Sevelamer mencegah terjadinya kalsifikasi lebih
Universitas Sumatera Utara
banyak dibandingkan garam kalsium, sehingga memperkecil
resiko kematian akibat gangguan kardiovaskuler pada penderita
PGK. Beberapa kekurangan yang dimiliki sevelamer sebagai
pengikat fosfat adalah, efektifitasnya yang berkurang pada
suasana asam, sehingga dapat menghambat absorbsi vitamin
yang larut dalam lemak (antara lain vitamin D), dapat
mengurangi kadar bikarbonat yang kemungkinan disebabkan
oleh adanya ikatan hydrochloride. Disamping itu ukuran
tabletnya yang besar mengurangi kenyamanan pasien untuk
mengkonsumsinya.23
Lantanum karbonat
Lantanum karbonat adalah pengikat fosfat non kalsium, non
aluminium yang terbaru. Banyak studi membuktikan bahwa,
lantanum karbonat memiliki kemampuan mengikat fosfat yang
sama dengan garam aluminium, tanpa efek samping yang berarti.
Efektif pada suasana asam (pH 3-5) dan tidak menghambat
absorbsi vitamin yang larut lemak. Demikian juga efek samping
gastrointestinalnya sangat kecil. Finn (2004), juga membuktikan
bahwa lanthanum karbonat secara bermakna dapat menurunkan
hasil perkalian Ca x PO4 pada, pasien PGK.23
c. Dialisis
Jumlah fosfat yang dieliminasi selama dialisis bervariasi, tergantung
pada kadar fosfat serum pradialisis dan efikasi dialiser yang
dipergunakan. Secara umum rerata fosfat yang dikeluarkan pada tiap
Universitas Sumatera Utara
sesi hemodialisis sekitar 30-60 mmol dan pada dialisis peritoneal
sebesar 10-12 mmol/hari. Data tersebut menunjukkan adanya
keseimbangan fosfat yang positif, walaupun dengan asupan fosfat
yang optimal. Dialiser dengan membran diasetat, mempunyai klirens
fosfat yang lebih tinggi dibandingkan dengan membran selulose.
Cara lain untuk meningkatkan ekskresi fosfat melalui hemodialisis
adalah dengan memperpanjang waktu (duration) hemodialisis.
Nocturnal hemodialysis yang dilakukan selama 6-8 jam tiap sesi, 6-7
kali perminggu dilaporkan dapat menurunkan kadar fosfat serum
secara bermakna. tanpa pemakaian pengikat fosfat.23
2.6.2. Menghambat konsekuensi hiperfosfatemia
Satu-satunya konsekuensi hiperfosfatemia yang dapat dihambat adalah
hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme dapat dihambat dengan cara,
a) pemberian analog vitamin D3, b) pemberian bahan kalsimemetik, dan
c) paratiroidektomi.23
a. Pemberian vitamin D3 atau analognya
Vitamin D, dalam bentuk 1,25-(OH2)D3 atau analognya, pada
awalnya dipergunakan untuk terapi hiperparatiroidisme sekunder
dan abnormalitas metabolisme kalsium dan fosfat pada PGK.
Beberapa, studi terdahulu mendapatkan bahwa, kelebihan vitamin D
berkontribusi terhadap hiperkalsemia dan kalsifikasi vaskuler, yang
berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas PGK. Namun studi-
studi terbaru menunjukkan bahwa, pada pasien-pasien dengan
hemodialisis, vitamin D terbukti secara bermakna dapat menurunkan
resiko kematian oleh berbagai sebab maupun oleh sebab
Universitas Sumatera Utara
kardiovaskuler. Diduga ada tiga mekanisme efek protektif yang
dimiliki vitamin D yaitu, 1) dapat menghambat berbagai bentuk
inflamasi yang dipercaya sebagai patogenesis proses aterosklerosis,
2) mempunyai efek antiproliferatif dan anti hipertrofi sel miokard
yang merupakan patogenesis gagal jantung kongestif, dan 3)
mempunyai efek regulator endoktrin negatif terhadap sistem renin-
angiotensin-aldosteron, yang berperan penting dalam patogenesis
hipertensi dan kelainan kardiovaskuler.23
b. Pemberian bahan kalsimemetik (Cinacalcet) 25-27
Kalsimemetik adalah suatu bahan yang dapat berkaitan dengan
calcium-sensing-receptor (CaR) pada kelenjar paratiroid, sehingga
mengakibatkan penurunan sekresi HPT. Bahan mi memodulasi CaR
secara allosterically, meningkatkan kepekaan CaR terhadap kalsium
ekstraseluler, dan akhirnya menimbulkan efek penekanan terhadap
sekresi HPT. Banyak studi yang telah menunjukkan bahwa
cinacalcet sangat efektif menurunkan kadar HPT pada PGK yang
disertai hiperparatiroidisme sekunder dibandingkan placebo.
Berlawanan dengan vitamin D, cinacalcet dapat menurunkan kadar
HPT bersama-sama dengan penurunan kalsium, fosfat dan produk
calcium x phosphorus (Ca x P). Cunningham dkk (2005), dalam
studinya mendapatkan bahwa cinacalcet dapat menurunkan kejadian
paratiroidektomi, fraktur, dan kelainan kardiovaskuler pada pasien
PGK dengan hiperparatiroidisme sekunder, dibandingkan dengan
plasebo.
Universitas Sumatera Utara
19
c. Paratiroidektomi
Paratiroidektomi dilakukan atas beberapa indikasi, yaitu :28
− hiperkalsemia yang berat
− peningkatan kadar HPT yang sangat tinggi dan tidak dapat
ditekan dengan obat-obatan (nonsuppresible) > 800pg/ml.
− osteodistrofi renal yang progresif
− kalsifikasi ekstraskletal yang progresif atau kalsifilaksis yang
gagal diterapi dengan pengikat fosfat.
Universitas Sumatera Utara