14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas struktural atau fungsional ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa penurunan filtrasi glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal, termasuk ketidakseimbangan komposisi zat didalam darah atau urine serta ada atau tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan. 11 Secara epidemiologi, kejadian penyakit ginjal kronik di negara berkembang didapatkan 40-60 kasus /1 juta penduduk/ tahun. Pada pasien- pasien dengan penyebab hipertensi berat, glomerulonefritis dan obstruktif uropati, insidensinya menjadi lebih tinggi bahkan dapat mencapai 100 kasus/1 juta penduduk/tahun. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1.800 kasus baru penyakit ginjal kronik setiap tahun. Di Amerika serikat dijumpai 200.000 penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis reguler dengan peningkatan 10 persen setiap tahunnya. Pasien-pasien gagal ginjal terminal yang baru terdiagnosa mencapai 100 pasien/ 1 juta penduduk. Insiden ini meningkat empat kali lebih besar pada golongan kulit hitam dan hispanik dibanding dengan golongan kaukasian yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia pasien 12 . Sedangkan data di Indonesia, sedikit studi epidemiologis tentang penyakit ginjal kronik. Sehingga sulit didapatkan pola morbiditas dan mortalitas baik dari rumah sakit rujukan nasional maupun rujukan rumah sakit provinsi . 13 6 Universitas Sumatera Utara

Ckd Tulang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kkkkk

Citation preview

Page 1: Ckd Tulang

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas struktural

atau fungsional ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa

penurunan filtrasi glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan

patologis atau kerusakan ginjal, termasuk ketidakseimbangan komposisi zat

didalam darah atau urine serta ada atau tidaknya gangguan hasil pemeriksaan

pencitraan.11

Secara epidemiologi, kejadian penyakit ginjal kronik di negara

berkembang didapatkan 40-60 kasus /1 juta penduduk/ tahun. Pada pasien-

pasien dengan penyebab hipertensi berat, glomerulonefritis dan obstruktif

uropati, insidensinya menjadi lebih tinggi bahkan dapat mencapai 100 kasus/1

juta penduduk/tahun. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1.800 kasus baru

penyakit ginjal kronik setiap tahun. Di Amerika serikat dijumpai 200.000

penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis reguler dengan peningkatan

10 persen setiap tahunnya. Pasien-pasien gagal ginjal terminal yang baru

terdiagnosa mencapai 100 pasien/ 1 juta penduduk. Insiden ini meningkat

empat kali lebih besar pada golongan kulit hitam dan hispanik dibanding

dengan golongan kaukasian yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia

pasien12. Sedangkan data di Indonesia, sedikit studi epidemiologis tentang

penyakit ginjal kronik. Sehingga sulit didapatkan pola morbiditas dan

mortalitas baik dari rumah sakit rujukan nasional maupun rujukan rumah sakit

provinsi .13

6

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Ckd Tulang

Penyebab penyakit ginjal kronik dari beberapa data yang ada bervariasi

untuk setiap negara dimana tingkat insidensinya berbeda pada negara maju dan

negara berkembang. Di Amerika Serikat (1999 – 2005) etiologi terbanyak

adalah Diabetes melitus (44%), dengan DM tipe 1 (7%), DM tipe 2 (37%),

Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar (27%), Glomerulonefritis (10%),

Nefritis interstitialis (4%), Kista dan penyakit bawaan lain (3%), penyakit

sistemik ( Lupus dan Vaskulitis) (2%), neoplasma (2%), penyakit lain (4%)

dan tidak diketahui (4%).12 Data etiologi penyebab ginjal di Indonesia pada

tahun 2005 adalah Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes melitus (18,65%),

Obstruksi dan infeksi (12,85%) Hipertensi (8,46%) dan lain lainnya

(13,65%).13

2.1. Patofisiologi serta konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK

Hiperfosfatemia pada PGK terjadi akibat kegagalan ginjal dalam

mengekskresi fosfat, tingginya asupan fosfat atau peningkatan pelepasan fosfat

dari ruang intraseluler. Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat,

sehingga hampir tidak mungkin terjadi hiperfosfatemia pada fungsi ginjal yang

masih normal. Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat

pada klirens kreatinin di atas 30 ml/menit. Hiperfosfatemia mengakibatkan

berbagai konsekwensi yang cukup memberikan kontribusi pada mortalitas dan

morbiditas PGK. Konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK adalah

hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal, kalsifikasi kardiovaskuler

dan jaringan ikat lunak serta kalsifilaksis.14-16

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Ckd Tulang

2.2. Hiperparatiroidisme sekunder

Tiga faktor yang berperan terhadap patogenesis hiperparatiroidisme

sekunder adalah, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan hipokalsitriolemia

(kekurangan Calcitriol/ vitamin D Analog). Adapun indikasi pasien PGK

diberikan vitamin D Analog antara lain pasien yang menjalani hemodialisis

atau dialisis peritoneal dengan kadar HPTi > 300 pg/ml dianjurkan untuk

mendapat Calcitriol/ vitamin D analog (Paricalcitol, Alfacalcidol, atau

Doxercalciferol). Calcitriol/ vitamin D analog diberikan pada pasien dengan

kadar calsium serum < 9,5 mg/dl jika kadar HPTi plasma 300 – 600 pg/ml,

atau calsium serum < 10 mg/dl pada kadar HPTi plasma 1000 pg/dl. Skema 1

memperlihatkan patogenesis terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.5

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Ckd Tulang

Level Rendah1,25 (OH)2 D3 Fosfat Retensi

Ketahanan Tulang PTH

Hypocalcemia

Hiperparatiroidisme

Penurunan Sensor

Ca

Penurunan Reseptor

1,25 (OH)2 D3

Gagal Ginjal Kronis

Skema 1. Patogenesis hiperparatiroidisme Sekunder17

Hipokalsitriolemia terjadi akibat penurunan massa ginjal. Hipokalsemia

terjadi melalui dua mekanisme yaitu, hiperfosfatemia yang mengakibatkan

perubahan keseimbangan fisikokimiawi, dan hipokalsitriolemia yang

mengakibatkan penurunan absorbsi kalsium di saluran cerna. Ketiga faktor

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Ckd Tulang

diatas secara bersama-sama berkontribusi terhadap peningkatan sekresi

hormon paratiroid (HPT). 14,15

2.3. Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik

(GMT-PGK)

Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK)

ialah suatu sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada

metabolisme mineral dan tulang pada PGK. Sindrom ini mencakup salah satu

atau kombinasi dari hal-hal berikut :5

1. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme

kalsium, fosfat, HPT dan vitamin D.

2. Kelainan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume,

pertumbuhan linier dan kekuatannya.

3. Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.

Kalsifikasi GMT-PGK tergantung pada ada atau tidaknya salah satu

atau kombinasi dari ketiga komponen diatas.

Tabel 2.1 . Klasifikasi GMT-PGK5

Tipe Laboratorium

Abnormal

Gangguan

Tulang

Kalsifikasi Vaskuler atau

jaringan lunak

L + - -

LT + + -

LK + - +

LTK + + +

L = Laboratorium T = Tulang K = Kalsifikasi Vaskuler

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Ckd Tulang

2.3.1. Osteodistrofi Renal

Osteodistrofi Renal (OR) merupakan gangguan morfologi tulang pada

PGK. OR merupakan salah satu pemeriksaan komponen skeletal dari suatu

gangguan sistemik GMT-PGK yang dapat diukur melalui pemeriksaan

histomorfometri dari biopsi tulang. Termasuk dalam kelompok ini adalah,

osteomalasia, osteotis fibrosa, adynamic bone disease, dan jenis campuran.

Ada dua spektrum osteodistrofi renal yaitu, high turnover dan low turnover.

High turnover terjadi pada kadar fosfat tinggi-kalsium rendah HPT tinggi.

Termasuk spektrum ini adalah osteitis fibrosa. Sedangkan low turnover terjadi

pada kadar kalsium tinggi aluminium tinggi, dan termasuk dalam spektrum ini

adalah osteomalasia dan a dynamic bone disease. Salah satu bentuk

osteodistrofi renal yang berada di antara kedua spektrum diatas adalah bentuk

campuran.18,19

2.4. Kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak

Mekanisme lain, lewat mana hiperfosfatemia berkontribusi terhadap

peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien PGK adalah melalui terjadinya

kalsifikasi jaringan lunak, terutama pada kalsifikasi kardiovaskuler. Dari otopsi

dilaporkan bahwa, kalsifikasi kardiovaskuler terjadi pada hampir 60 % pasien

PGK yang menjalani hemodialisis.

Kalsifikasi ini terjadi pada miokardium, perikardium, sistem konduksi,

aorta, katup mitral dan arteri koroner. Keadaan ini dapat mengakibatkan

aritmia, disfungsi ventrikel, stenosis ataupun regurgitasi aorta dan mitral,

complete heart block, iskemia miokard dan payah jantung kongestif. Faktor-

faktor yang memicu terjadinya kalsifikasi kardiak ini adalah

hiperparatiroidisme, hiperfosfatemia-hiperkalsemia (peningkatan produk

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Ckd Tulang

Ca x P), dan alkalinisasi jaringan. Pasien-pasien dengan kadar fosfat yang lebih

dari 6,5 mg/dl mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan

dengan penyakit arteri koroner (termasuk infark miokard dan penyakit jantung

aterosklerotik). Resiko relatif kematian akibat penyakit jantung koroner 52 %

lebih tinggi pada pasien-pasien dengan kadar fosfat > 6,5 mg/dl dibandingkan

dengan kadar fosfat < 6,5 mg/dl. Prediktor yang paling nyata dalam terjadinya

kalsifikasi kardiak ini adalah tingginya perkalian produk Ca x P. Pasien-pasien

dengan dialisis regular yang mempunyai perkalian produk Ca x P lebih dari 55

mg2/dl2 mempunyai prevalensi kalsifikasi katup mitral lebih tinggi bermakna

dibandingkan normal. KDIGO menetapkan sasaran perkalian produk Ca x P

kurang dari 55 mg2 / dl2. 20-22

Selain di jaringan kardiovaskuler, hiperfosfatemia juga dapat

mengakibatkan kalsifikasi pada jaringan ikat lunak lain seperti otak, subkutan,

periartikuler, paru dan jaringan interstitial ginjal.21

2.5. Kalsifilaksis

Sindrom kalsifilaksis pertama kali dilaporkan oleh Selye thn 1962,

berupa nekrosis iskemia jaringan perifer, kalsifikasi vaskuler dan ulserasi kulit,

yang terjadi pada PGK yang menjalani hemodialisis reguler atau setelah

transplantasi ginjal. Patogenesis sindrom ini belum diketahui secara pasti,

diduga karena adanya obstruksi mekanis vaskuler akibat deposisi kalsium otot

polos, arterial dan terjadinya spasme vaskuler. Faktor predisposisi sindrom ini

adalah pasien PGK dengan hemodialisis yang mempergunakan kalsium

karbonat dosis tinggi, dialisat konsentrasi kalsium tinggi, obesitas, diabetes

melitus, pasca transplantasi, obat-obat golongan steroid/imunosupresan, serta

trauma lokal.21

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Ckd Tulang

2.6. Penatalaksanaan23

Penatalaksanaan hiperfosfatemia serta konsekuensinya pada PGK dilakukan

dengan berbagai upaya yaitu :

2.6.1. Menghambat hiperfosfatemia

a. Mengurangi Asupan Fosfat

Pembatasan asupan fosfat pada penderita PGK merupakan cara yang

paling efektif dalam menghambat terjadinya hiperfosfatemia. Hal ini

dilakukan seiring dengan pembatasan asupan protein, karena fosfat

sebagian besar terkandung pada sumber protein, seperti daging, telur,

susu serta berbagai produknya. Upaya ini harus segera dimulai pada

klirens kreatinin 60ml/menit. Asupan fosfat pada PGK dianjurkan

sebanyak 600-900 mg/hari. Fosfat sejumlah itu, jika dikonversikan

ke jumlah asupan protein yang dibutuhkan pada pasien

hemodialisis/peritoneal dialisis sebesar 1,2 - 1,4 protein

gr/kg.bb./hari. Dalam keadaan seperti ini, jumlah asupan protein

lebih diutamakan guna mencegah penderita jatuh ke kondisi

malnutrisi.23

b. Pemberian Pengikat Fosfat

Pengikat fosfat, diharapkan dapat mengikat fosfat yang ada pada

makanan penderita PGK, sehingga tidak diabsorbsi dan dikeluarkan

lewat feces. Dengan demikian kadar fosfat dalam darah tidak

meningkat. Berbagai jenis pengikat fosfat yang sering dipergunakan

adalah, 1) garam aluminium (Aluminium hidroksida), 2) garam ferri,

3) garam kalsium (Ca karbonat, Ca Acetat), 4) hydrogel

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Ckd Tulang

polyallylamine hidroksida (sevelamer/RenaGel ®), 5)lanthanum

kartbonat, dan 6) pengikat fosfat berbasis besi (trivalent iron salt).23

Garam aluminium

Garam aluminium merupakan pengikat fosfat yang paling dulu

diketahui, sangat efektif dalam menurunkan fosfat plasma, dan

bisa berperan sebagai antasida yang dapat mengurangi gejala

mual, muntah pada penderita uremia. Tetapi pemakaian jangka

panjangnya dapat mengakibatkan intoksikasi aluminium dengan

gejala anemia, gangguan cerebral, gangguan tulang (a dynamic

bone disease). Indikasi pemakaian garam aluminium jangka

pendek adalah hiperfosfatemia diserta hiperkalsemia, atau hasil,

perkalian Ca x PO4 lebih dari 65 mg2/dl2. pemberian dilakukan

selama 4-8 minggu, setelah kadar kalsium normal dipertahankan

dengan pengikat fosfat garam kalsium.23

Garam Ferri 7

Beberapa studi terdahulu menduga bahwa komponen garam ferri

dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan dan memiliki

potensi sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) bila diberikan

secara oral bersama-sama dengan makanan.

Ritz dan Hergessel (1999), melaporkan terjadi penurunan kadar

fosfat darah sebesar 20% serta ekskresi fosfat lewat urin sebesar

37 % pada 13 penderita PGK dengan hiperfosfatemia yang

diberikan 3 x 2,5 gr besi hidroksi polinuklear bersama-sama

makanan selama 2 minggu. Namun demikian masih diperlukan

penelitian lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Ckd Tulang

Garam kalsium

Garam kalsium yang dipergunakan sebagai pengikat fosfat

adalah kalsium karbonat dan kalsium asetat. Suwitra (2000),

mendapatkan penurunan yang bermakna kadar fosfat darah

penderita PGK yang menjalani hemodialisis kronik setelah

pemberian kalsium karbonat 3,125 gr perhari selama 12 minggu.

Disamping itu, didapatkan juga peningkatan kadar bikarbonat

plasma sebanyak 1 - 2 mol/lt. Di dalam saluran cerna kalsium

karbonat akan terurai menjadi ion kalsium dan karbonat. Ion

kalsium akan berikatan dengan fosfat yang ada pada ion

karbonat akan diabsorbsi kedalam darah untuk kemudian

menjadi bikarbonat. Garam kalsium asetat dilaporkan

mempunyai kapasitas mengikat fosfat yang lebih kuat

dibandingkan kalsium karbonat, sehingga resiko hiperkalsemia

yang terjadi juga lebih kecil. Tetapi efek samping gangguan

pencernaan yang ditimbulkan lebih sering, dan harganya lebih

mahal dibandingkan kalsium karbonat.23

Sevelamer hydrochloride

Sevelamer merupakan pengikat fosfat sintetik pertama, non

kalsium dan non aluminium. Merupakan pengikat fosfat yang

kuat, tidak diabsorbsi di saluran cerna, dan resisten terhadap

degradasi. Banyak studi klinis membuktikan bahwa sevalemer

mempunyai kemampuan mengikat fosfat yang sebanding dengan

garam kalsium, walau masih lebih lemah dibandingkan garam

aluminium. Sevelamer mencegah terjadinya kalsifikasi lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Ckd Tulang

banyak dibandingkan garam kalsium, sehingga memperkecil

resiko kematian akibat gangguan kardiovaskuler pada penderita

PGK. Beberapa kekurangan yang dimiliki sevelamer sebagai

pengikat fosfat adalah, efektifitasnya yang berkurang pada

suasana asam, sehingga dapat menghambat absorbsi vitamin

yang larut dalam lemak (antara lain vitamin D), dapat

mengurangi kadar bikarbonat yang kemungkinan disebabkan

oleh adanya ikatan hydrochloride. Disamping itu ukuran

tabletnya yang besar mengurangi kenyamanan pasien untuk

mengkonsumsinya.23

Lantanum karbonat

Lantanum karbonat adalah pengikat fosfat non kalsium, non

aluminium yang terbaru. Banyak studi membuktikan bahwa,

lantanum karbonat memiliki kemampuan mengikat fosfat yang

sama dengan garam aluminium, tanpa efek samping yang berarti.

Efektif pada suasana asam (pH 3-5) dan tidak menghambat

absorbsi vitamin yang larut lemak. Demikian juga efek samping

gastrointestinalnya sangat kecil. Finn (2004), juga membuktikan

bahwa lanthanum karbonat secara bermakna dapat menurunkan

hasil perkalian Ca x PO4 pada, pasien PGK.23

c. Dialisis

Jumlah fosfat yang dieliminasi selama dialisis bervariasi, tergantung

pada kadar fosfat serum pradialisis dan efikasi dialiser yang

dipergunakan. Secara umum rerata fosfat yang dikeluarkan pada tiap

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Ckd Tulang

sesi hemodialisis sekitar 30-60 mmol dan pada dialisis peritoneal

sebesar 10-12 mmol/hari. Data tersebut menunjukkan adanya

keseimbangan fosfat yang positif, walaupun dengan asupan fosfat

yang optimal. Dialiser dengan membran diasetat, mempunyai klirens

fosfat yang lebih tinggi dibandingkan dengan membran selulose.

Cara lain untuk meningkatkan ekskresi fosfat melalui hemodialisis

adalah dengan memperpanjang waktu (duration) hemodialisis.

Nocturnal hemodialysis yang dilakukan selama 6-8 jam tiap sesi, 6-7

kali perminggu dilaporkan dapat menurunkan kadar fosfat serum

secara bermakna. tanpa pemakaian pengikat fosfat.23

2.6.2. Menghambat konsekuensi hiperfosfatemia

Satu-satunya konsekuensi hiperfosfatemia yang dapat dihambat adalah

hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme dapat dihambat dengan cara,

a) pemberian analog vitamin D3, b) pemberian bahan kalsimemetik, dan

c) paratiroidektomi.23

a. Pemberian vitamin D3 atau analognya

Vitamin D, dalam bentuk 1,25-(OH2)D3 atau analognya, pada

awalnya dipergunakan untuk terapi hiperparatiroidisme sekunder

dan abnormalitas metabolisme kalsium dan fosfat pada PGK.

Beberapa, studi terdahulu mendapatkan bahwa, kelebihan vitamin D

berkontribusi terhadap hiperkalsemia dan kalsifikasi vaskuler, yang

berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas PGK. Namun studi-

studi terbaru menunjukkan bahwa, pada pasien-pasien dengan

hemodialisis, vitamin D terbukti secara bermakna dapat menurunkan

resiko kematian oleh berbagai sebab maupun oleh sebab

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Ckd Tulang

kardiovaskuler. Diduga ada tiga mekanisme efek protektif yang

dimiliki vitamin D yaitu, 1) dapat menghambat berbagai bentuk

inflamasi yang dipercaya sebagai patogenesis proses aterosklerosis,

2) mempunyai efek antiproliferatif dan anti hipertrofi sel miokard

yang merupakan patogenesis gagal jantung kongestif, dan 3)

mempunyai efek regulator endoktrin negatif terhadap sistem renin-

angiotensin-aldosteron, yang berperan penting dalam patogenesis

hipertensi dan kelainan kardiovaskuler.23

b. Pemberian bahan kalsimemetik (Cinacalcet) 25-27

Kalsimemetik adalah suatu bahan yang dapat berkaitan dengan

calcium-sensing-receptor (CaR) pada kelenjar paratiroid, sehingga

mengakibatkan penurunan sekresi HPT. Bahan mi memodulasi CaR

secara allosterically, meningkatkan kepekaan CaR terhadap kalsium

ekstraseluler, dan akhirnya menimbulkan efek penekanan terhadap

sekresi HPT. Banyak studi yang telah menunjukkan bahwa

cinacalcet sangat efektif menurunkan kadar HPT pada PGK yang

disertai hiperparatiroidisme sekunder dibandingkan placebo.

Berlawanan dengan vitamin D, cinacalcet dapat menurunkan kadar

HPT bersama-sama dengan penurunan kalsium, fosfat dan produk

calcium x phosphorus (Ca x P). Cunningham dkk (2005), dalam

studinya mendapatkan bahwa cinacalcet dapat menurunkan kejadian

paratiroidektomi, fraktur, dan kelainan kardiovaskuler pada pasien

PGK dengan hiperparatiroidisme sekunder, dibandingkan dengan

plasebo.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Ckd Tulang

19

c. Paratiroidektomi

Paratiroidektomi dilakukan atas beberapa indikasi, yaitu :28

− hiperkalsemia yang berat

− peningkatan kadar HPT yang sangat tinggi dan tidak dapat

ditekan dengan obat-obatan (nonsuppresible) > 800pg/ml.

− osteodistrofi renal yang progresif

− kalsifikasi ekstraskletal yang progresif atau kalsifilaksis yang

gagal diterapi dengan pengikat fosfat.

Universitas Sumatera Utara