49
LAPORAN KASUS CRONIC KIDNEY DISEASE Oleh: Usqi Krizdiana Pembimbing: dr. Bondan, M.Kes, Sp.PD KEPANITERAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM RSUD “KANJURUHAN” KEPANJEN FK UNISMA 2013 1

Ckd

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ckd

LAPORAN KASUS

CRONIC KIDNEY DISEASE

Oleh:

Usqi Krizdiana

Pembimbing: dr. Bondan, M.Kes, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK MADYA

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD “KANJURUHAN” KEPANJEN

FK UNISMA 2013

1

Page 2: Ckd

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik, pada umumnya didefinisikan sebagai penyakit seumur

hidup, terjadi kerusakan fungsi ginjal yang ireversibel. Diperkirakan 20 juta orang

dewasa di Amerika Serikat mengalami penyakit ginjal kronik (PGK). Data tahun 1995-

1999 menunjukkan insidens PGK mencapai 100 kasus per juta penduduk per tahun di

Amerika Serikat. Prevalensi PGK atau yang disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD)

meningkat setiap tahunnya. CDC (Centers for Disease Control) melaporkan bahwa dalam

kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas

20 tahun mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data pada tahun

sebelumnya, yakni 14.5%. Di negara-negara berkembang, insiden ini diperkirakan sekitar

40 – 60 kasus per juta penduduk per tahun. Di Indonesia, dari data di beberapa bagian

nefrologi, diperkirakan insidens PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan

prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk.

PGK termasuk masalah yang sangat penting dalam bidang ilmu penyakit dalam

khususnya bagian ginjal hipertensi (nefrologi). PGK yang tidak ditatalaksana dengan

baik dapat memburuk ke arah penyakit ginjal stadium akhir atau dikenal sebagai ESRD

(End Stage Renal Disease). Stadium akhir ini yang juga disebut sebagai gagal ginjal,

membutuhkan terapi pengganti ginjal permanen berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Di seluruh dunia, terdapat sekitar satu juta orang penderita PGK yang menjalani terapi

pengganti ginjal (dialisis atau transplantasi) pada tahun 1996. Jumlah ini akan meningkat

menjadi dua juta orang pada tahun 2010. Laporan USRDS (The United States Renal Data

System) pada tahun 2007 menunjukkan adanya peningkatan populasi penderita dengan

ESRD di Amerika Serikat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Prevalensi penderita

2

Page 3: Ckd

ESRD pada tahun 2005 mencapai 1.569 orang per sejuta penduduk. Nilai ini mencapai

1.5 kali prevalensi penderita ESRD pada tahun 1995. Penderita ESRD membutuhkan

biaya pengobatan yang besar di samping berkurangnya atau bahkan hilangnya

produktivitas penderita. Oleh sebab itu, deteksi dini PGK dan penatalaksanaan yang tepat

terhadap PGK memegang posisi kunci agar tidak terjadi perburukan.

3

Page 4: Ckd

BAB II

STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn.G

Umur : 60 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pensiunan Tukang Kebun

Alamat : Pakisaji

Status Perkawinan : Menikah

Suku : Jawa

Tanggal MRS : 08 November 2013

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Mual

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan mual sejak 3 hari yang

lalu. Mual tidak disertai muntah, namun pasien lemah dan tidak berselera makan sejak 4

hari yang lalu. 1 tahun yang lalu pasien sering mengalami nyeri pinggang dengan sifat

hilang timbul, serta anyang-anyangen saat buang air kecil. Air kencing berwarna kuning

jernih, tidak disertai darah. BAB pasien tersebut berwarna kuning kecoklatan dan

konsistensinya lunak, frekuensi buang air besar satu kali sehari.

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat hipertensi (+)

- Riwayat batu ginjal (-)

4

Page 5: Ckd

- Riwayat diabetes (-)

- Riwayat asma (-)

- Riwayat penyakit jantung (-)

- Riwayat alergi obat/makanan (-)

- Riwayat Penyakit paru (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Hipertensi (-)

- Asma (-)

- Penyakit jantung (-)

- Penyakit paru (-)

- DM (-)

- Alergi obat/makanan (-)

Riwayat Kebiasaan

- Riwayat merokok (+), lebih dari 10 batang/hari

- Minum kopi (+)

- Minum alkohol (-)

- Jamu (+), pegal linu

- Olah raga (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum: Tampak lemah, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi

kesan cukup.

Tanda Vital

Tensi : 120/90 mmHg

Nadi : 86 x / menit, reguler, isi cukup

Pernafasan : 20 x /menit

5

Page 6: Ckd

Suhu : 36 oC

Kulit: Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi (-).

Kepala: Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (+), atrofi m.

temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan mimik wajah / bells palsy (-) ,

oedem (-).

Mata: Conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-).

Hidung: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).

Mulut: Bibir pucat (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-).

Telinga: Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).

Tenggorokan: Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).

Leher: JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran

kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)

Thoraks: Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi(-),spider nevi (-),

pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).

Cor :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat

Perkusi : batas kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra

batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra

batas kiri bawah : SIC V 1 cm medial Linea Medio Clavicularis Sinistra

batas kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra

pinggang jantung: SIC III Linea Para Sternalis Sinistra

(batas jantung kesan normal)

Auskultasi: Bunyi jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo :

6

Page 7: Ckd

Statis (depan dan belakang)

Inspeksi : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri

Palpasi : Fremitus raba kiri sama dengan kanan

Perkusi : Sonor/Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:

Ronchi Wheezing

Dinamis (depan dan belakang)

Inspeksi : Pergerakan dada kanan sama dengan kiri

Palpasi : Fremitus raba kiri sama dengan kanan

Perkusi : Sonor/Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:

Ronchi Wheezing

Abdomen

Inspeksi : Perut tampak mendatar, tidak ada pembesaran hepar dan lien

Palpasi : Supel (-), meteorismus (+), Nyeri ketok (+)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ektremitas

Palmar eritema (-/-)

Akral dingin Edema

Sistem genetalia: dalam batas normal.

7

Page 8: Ckd

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

D arah lengkap (08-11-13)

Hb : 7,3 g/dl L. 13,5-18 P. 12-18

Hematokrit: 23,3% L. 40-54 P. 35-47

Eritrosit : 2,59 juta/cmm L. 4,5-6,5 P. 4,0-6,0

Leukosit : 6.650 sel/cmm 4.000 - 11.000

Trombosit : 188.000 mg/dl 150.000 – 450.000

Kimia Darah I

Gula darah sewaktu : 82 <140

SGOT : 17 L. 10-42 P. 7-35

SGPT : 13 L. 10-42 P.7-35

Ureum : 370 mg/dl 20 - 40

Kreatinin : 15,84 mg/dl L. 0,6-1,1 P. 0,5-0,9

Kimia Darah II

Ureum : 348 mg/dl 20-40

Kreatinin : 19,22 mg/dl L. 0,6-1,1 P. 0,5-0,9

Elektrolit: Na: 138 mmol/L

K : 5,0 mmol/L

Cl : 110 mmol/L

Kesan: Azotemia

USG:

- Chronic parenchymal renal disease bilateral

- Mild hepatomegaly

- Ascites dan efusi pleura minimal

8

Page 9: Ckd

E. RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan mual sejak 3 hari yang lalu.

Mual tidak disertai muntah, namun pasien lemah dan tidak berselera makan sejak 4 hari

yang lalu. 1 tahun yang lalu pasien sering mengalami nyeri pinggang dengan sifat hilang

timbul, serta anyang-anyangen saat buang air kecil. Air kencing berwarna kuning jernih,

tidak disertai darah. BAB pasien tersebut berwarna kuning kecoklatan dan konsistensinya

lunak, frekuensi buang air besar satu kali sehari.

Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak beberapa tahun lalu dan tidak terkontrol,

memiliki kebiasaan merokok (+) lebih dari 10 batang/hari, minum kopi (+), dan sering

mengkonsumsi jamu pegal linu.

Dari pemeriksaan fisik pasien tampak lemah, kesadaran compos mentis (GCS 456),

status gizi kesan cukup, tensi 120/90 mmHg, nadi 86 x / menit, reguler, isi cukup,

pernafasan 20 x /menit, suhu, 36 oC, konjungtiva anemis (+/+). Pada pemeriksaan

hematologi didapatkan Hb 7,3 g/dl, ureum 370 mg/dl, kreatinin 15,84 mg/dl.

Sedangkan dari pemeriksaan USG ditemukan gambaran Chronic parenchymal renal

disease bilateral, mild hepatomegaly, ascites dan efusi pleura minimal

F. DIAGNOSIS

Chronic Kidney Disease

G. PENATALAKSANAAN

Nonfarmakologi

a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya

b. Tirah baring

c. Diet rendah protein, rendah garam.

Farmakologi

- IVFD Line

- Ranitidine injeksi 2x1

- Metoclopramid injeksi 3x1

- Furosemid injeksi 2x1

9

Page 10: Ckd

G. FOLLOW UP

Nama : Tn.G

Diagnosis : GGK (CKD)

Tabel flowsheet penderita

No Tanggal S O A P1 09/11/2013 Lemas(+),

perut terasa tidak enak (+), diare (-), Bengkak dikaki (+).

KU: cukupKesadaran: CMGCS: 546T:120/80mmHgN:78x/mntS:36,2CRR : 19x/m

Status lokalisk/l : anemia +/+abd : supel, nyeri tekan (+), Met (-)

CKD - Diet RPRGRK (0,6mg/kgBB/hr)

- IVFD Line 20 tpm- Furosemid 2x1- Ranitidine injeksi 2x1- USG Abdomen

2 10/11/2013 BAB cair, Perut sebah (+)

KU: lemah, GCS: 456, kesadaran: CMT:150/60mmHgN:76 x/mntS:36 CRR: 18x/mStatus lokalis:k/l : anemis +/+abd : supel, nyeri tekan (-), Met (+)

CKD - Furosemid 2x1- Ranitidine injeksi 2x1- Lodia 2 tab/BAB

3 11 /11/2013 Lemas (+), Perut sakit (+), muntah (+), batuk (+)

KU: lemah, kesadaran: CM, GCS: 456

T:130/80mmHgN:86 x/mntS:36,7 CRR : 17 x/m

Status lokalis:k/l : anemis -/-abd : supel, nyeri tekan (-), Met (+)

CKD - IVFD Line 20 tpm- Furosemid 2x1- Ranitidine injeksi 2x1- Ondancetron prn.- Planning

Hemodialisis

10

Page 11: Ckd

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronis (CKD)

Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi

yang beragam, mengakibatkan penurunan ginjal yang progresif, dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal.1 Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang

terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan

ginjal seperti proteinuria.(Usu, 2008)

3.2 Etiologi

PGK memiliki etiologi yang bervariasi dan tiap negara memiliki data etiologi PGK

yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat, diabetes melitus tipe 2 merupakan penyebab

terbesar ESRD. Hipertensi menempati urutan kedua. Di Indonesia, menurut data

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2000), glomerulonefritis merupakan 46.39%

penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Sedangkan diabetes melitus

insidennya 18,65% disusul obstruksi / infeksi ginjal (12.85%) dan hipertensi (8.46%)

(Firmansyah, 2010). Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian

Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai

berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal

polikistik (10%) (Usu, 2008).

a. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya

tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada

glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer

dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal

11

Page 12: Ckd

sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat

penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),

mieloma multipel, atau amiloidosis (Usu, 2008).

Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara

kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik

yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Usu, 2008).

b. Diabetes melitus

Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal yang ditandai

dengan adanya proteinuri (mula-mula intermiten kemudian persisten), penurunan GFR

( glomerular filtration rate) peningkatan tekanan darah yang perjalanannya progresif

menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal. Berbagai teori tentang patogenesis

nefropati diabetik adalah peningkatan produk glikosilasi dengan proses non enzimatik

yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End Products), Peningkatan reaksi jalur

poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (oto-oksidasi), dan protein kinase C memberikan

kontribusi pada kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi

protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus.

Kelainan/perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-

sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya

aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis

glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria (Arsono, 2008)

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik

≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan

penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau

12

Page 13: Ckd

hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi

sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Usu, 2008).

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material

yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-

kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena

kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal

polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang

lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney

disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.

Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah

dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa

(usu, 2008)

3.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal

kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat

sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat

1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden

ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2006)

3.4 Batasan dan Klasifikasi

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3

bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria.

Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika

nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 , seperti yang terlihat pada

tabel

13

Page 14: Ckd

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau

tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: kelainan patalogik terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah

atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)2. laju filtrasi gromelurus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,

dengan atau tanpa kerusakan ginjalKlasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage)

penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan

mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 - Umur) x Berat Badan (kg) *) 72 x kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak pada table

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ > 902 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-893 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-594 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-295 Gagal ginjal < 15 atau dialysis

Table 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

3.4 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik (CKD) pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang

lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional

nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang

diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini

mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan

aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh

proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti

14

Page 15: Ckd

dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak

aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut

memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas

tersebut. Penyebab utama perburukan fungsi ginjal adalah adanya hiperfiltrasi

glomerulus. Penurunan jumlah nefron (sebagai filter) dalam ginjal terjadi seiring

perjalanan penyakit ginjal kronik. Nefron yang tersisa akan mengalami adaptasi

struktural dan fungsional. Adaptasi ini menyebabkan perubahan hemodinamik dan non-

hemodinamik yang akan menyebabkan glomerulosklerosis. Kondisi akan merusak nefron

yang tersisa (Firmansyah, 2010). Aktifitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-

aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β

(TGF- β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas

penyakit ginjal kronik (CKD) adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia.

Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus

maupun tubulointerstitial (Suwitra, 2006)

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik (CKD), terjadi kehilangan daya

cadang ginjal (renal reverse), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah

meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron

yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan serum kreatinin.

Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik),

tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan serum kreatinin. Sampai pada LFG 30%,

mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan

berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien

memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan

darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain

sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi

15

Page 16: Ckd

saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan

air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium

dan kalium. Pada LFG 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan

pasien sudah memerlukan terapi penganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi

ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai stadium gagal ginjal (Suwitra, 2006)

3.5 Diagnosis

a. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi: a). Sesuai dengan

penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus

urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain

sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic

frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain,

hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan

keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida)

b. Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi: a). Sesuai dengan

penyakit yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar

ureum dan krestinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus

Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk

memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar

hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremi, hiper

atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic (Suwitra, 2006).

Terdapat penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/liter), penurunan pH, dan

peningkatan anion gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat

16

Page 17: Ckd

atau menurun akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah

tanda gagal ginjal yang berat, kecuali terdapat masukan berlebihan, asidosi tubular ginjal,

atauhiperaldosteronisme. Terdapat peningkatan konsentrasi fosfat plasma dan

peningkatan kalsium plasma. Kemudian fosfatse alkali meningkat. Dapat ditemukan

peningkatan parathormon pada hiperparatiroidisme (Pernefri, 2010 d). Kelainan urinalisis

meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria (Suwitra, 2006)

Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel

Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal.

Pemeriksaan mikroskopik urin menunjukan kelainan sesuai penyakit yang mendasarinya.

Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang

dari 5 ml/menit pada ginjal terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1.000 mg/hari.

Permeriksaan biokimia plasma akan mengetahui fungsi ginjal dan gangguan elektrolit,

mikroskopik urin, urinalisa, tes serologi untuk mengetahui penyebab glomerulonefritis,

dan tes-ts penyaringan sebagai persiapan sebelum dialisis (biasanya hepatitis B dan HIV)

(Pernefri.2010)

c. Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi: a). Foto polos

abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena

kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya

pengaruh toksis oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c).

Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi

ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya

hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifiasi (Suwitra, 2006). USG ginjal sangat

penting untuk mengetahui ukuran ginjal dan penyebab gagal ginjal, misalnya adanya

kista atau obstruksi pelvis ginjal. Dapat pula dipakai foto polos abdomen. Jika ginjal

17

Page 18: Ckd

lebih kecil dibandingkan usia dan besar tubuh pasien maka lebih cenderung ke arah gagal

ginjal kronik (Pernefri, 2010).e). Pemerikasaan pemindaian ginjal atau renografi

dikerjakan bila ada indikasi.

d. Biopsi dan pemeriksaan Histopatologi ginjal

Biposi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran

ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa

ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,

menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi

ginjal kontra-indikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah

mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan

pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas (Suwitra, 2006)

3.6 Penatalaksanaan

Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik (CKD) sesuai dengan derajatnyaDerajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana1 ≥90 - Terapi penyakit dasar, kondisi

komorbid, evaluasi pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler

2 60-89 - Menghambat pemburukan fungsi ginjal

3 30-59 - Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 - Terapi pengganti ginjal(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006)

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) / CKD meliputi:

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum

terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada

ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan

histopatologis ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.

18

Page 19: Ckd

Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap

penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada

pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid

(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor

komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak

terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat

nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya..

2. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi

glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal yang dapat

dilihat pada gambar berikut.

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006)

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:

a. Pembatasan asupan protein.

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt, sedangkan

di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein

19

Page 20: Ckd

diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai

biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan

pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah

asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,

kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi

nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi

protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga

diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien

Penyakit Ginjal Kronik (PGK)/CKD akan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik

yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan

berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebihan

(protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa

peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration),

yang akan meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan

protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu

berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya

hiperfosfatemia.

Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal KronikLFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat

g/kg/hari>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35

gr/kg/hr nilai biologi tinggi.≤10 g

5-25 0,6-0,8 kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hr protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton

≤10 g

<60(sindrom nefrotik)

0,8/kg/hr (+1 gr protein/g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau asam keton

≤9 g

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006)

b. Terapi farmakologis untuk hipertensi intraglomerulus.

20

Page 21: Ckd

Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko

kardiovaskuler juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron

dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi

membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama

pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi

intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis

sangat terkait dengan derajat proteinuri. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuri

merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat

proteinuri berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Konverting Angiotensin

(Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat

memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. hal ini terjadi lewat mekanisme

kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

3. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting,

karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit

kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit

kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian

dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap

kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan

pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan1.

4. Pencegahan dan terapi terhadap Anemia

Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin.

Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,

kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek

21

Page 22: Ckd

akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh

substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia

dimulai saat kadar hemoglobin ≤10 g% atau hematokrit ≤30%, meliputi evaluasi terhadap

status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat besi total/Total iron Binding

Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan

adanya hemolisis dan lain sebagainya. penatalaksanaan terutama ditujukan pada

penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin

(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus

selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya.

Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati,

berdasarkan indiksi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang

dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia

dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah

11-12 g/dl.

5. Pencegahan dan terapi terhadap Osteodistrofi Renal

Dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol

(1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,

pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna.

Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam

mengatasi hiperfosfatemia.

Mengatasi hiperfosfatemia:

a. Pembatasan asupan fosfat, sejalan dengan diet yaitu tinggi kalori, rendah protein

dan rendah garam. Karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk

hewan seperti susu an telur. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan

fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.

22

Page 23: Ckd

b. Pemberian pengikat fosfat, pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam

kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara

oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang

banyak dipakai adalah kalsium karbonat dan calcium acetate.

c. Pemberian bahan kalsium mimetik.

Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3)

Pemakaian kalsitriol tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan

kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam

kalsium karbonat di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga

dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh

karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan

kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kai normal.

6. Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi

kardiovaskuler. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar,

baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar

melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan

tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan

kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal.

Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi

kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5

mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.

Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan

derajat edema yang terjadi.

23

Page 24: Ckd

7. Terapi Pengganti Ginjal

Dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15

ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau

transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Pada gagal ginjal terminal, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke

dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang

terpisah. Darah pasien di pompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh

selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen

dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisis larutan dengan komposisi

elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan

dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat

terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai

konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difus). Pada proses dialisis, air juga

dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat dengan cara

menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air

ini disebut ultrafiltrasi.

Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah.

Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul

dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin

tinggi bila; 1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, 2) diberi

tekanan hidrolik di kompartemen darah, dan 3) bila tekanan osmotik di kompatemen

cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah

untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat

tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen.

24

Page 25: Ckd

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG <

5mL/menit). Keadaan pasien yang yang mengalami LFG < 5 mL/mnt tidak selalu sama,

sehingga dialisis dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu hal ini:

o Keadaan umum buruk dan gejala klnis nyata

o K serum > 6 mEq/L

o Ureum darah > 200 mg/dL

o pH darah < 7,1

o Anuria berkepanjangan (> 5 hari)

o Fluid overloaded

b. Dialisis peritoneal

Adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penganan pasien GGA maupun

GGK, menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui

membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal bila di

bandingkan dengan hemodialisa, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup

efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap RS.

Prinsip dasarnya yaitu,, untuk dialisis peritoneal akut biasanya dipakai stylet-catheter

(kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk ke dalam kavum Douglasi.

Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan ke dalam kavum peritoneum melalui kateter

tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan

antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah

di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin lain

yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan

tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi

melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan

25

Page 26: Ckd

dikeluarkan dari tubuh, Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah

dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat yang baru.

Indikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal: 1) Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut),

2) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa, 3) Intoksikasi obat atau

bahan lain, 4) Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik), 5) Keadaan klinis lain

dimana DP telah terbukti manfaatnya (Suwitra, 2006).

3.7 Terapi Nutrisi pada GGK dengan Dialisis

Bila terapi konservatif pada pasien GGK tidak berhasil, maka perlu dimulai. TPG

yang dapat berupa dialisis atau cangkok ginjal. Meskipun prinsip dasarnya sama, ada

sedikit perbedaan tujuan terapi nutrisi pada pasien GGK yang menjalani dialisis dengan

yang tidak.

Tujuan terapi nutrisi pada dialisis adalah :

1. Mengurangi akumulasi toksin uremi, cairan, elektrolit diluar waktu dialisis.

2. Memperbaiki status nutrisi,mencegah defisiensi asam amino, vitamin, dan lain-

lain.

Hasil terapi nutrisi untuk jangka pendek adalah membantu meregulasi dan

menghindari akumulasi dari zat toksin maupun ekses air dan elektrolit yang seharusnya

diekskresi oleh ginjal. Akumulasi air dalam tubuh dapat mengakibatkan edema paru akut,

sedangkan hiperkalemi dapat menimbulkan aritmia jantung. Kedua komplikasi ini adalah

yang paling sering menimbulkan kematian pasien. Untuk jangka panjang diharapkan

terapi nutrisi dapat menghindarkan terjadinya malnutrisi atau gangguan metabolisme

lain. Adanya malnutrisi menurunkan daya tahan dan mempermudah komplikasi infeksi.

Gangguan metabolisme lemak antara lain hipertrigliseridemia mempermudah terjadinya

aterosklerosis pada pasien. Terjadinya defisiensi kalsium dan kelebihan fosfat akan

menimbulkan kelainan tulang (osteodistrofi renal).

26

Page 27: Ckd

Penatalaksanaan Terapi Nutrisi pada Dialisis

Proses dialisis membutuhkan energi yang didapatkan dengan peningkatan

katabolisme tubuh. Pada saat dialisis terjadi juga kehilangan asam amino melalui

membran semipermiabel sehingga kebutuhan nutrisi pada pasien GGK yang sudah

menjalani dialisis menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Perlu juga

dibedakan penatalaksanaan terapi nutrisi pada pasien dengan hemodialisis (HD) kronis

dan peritoneal dialisis kronis (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis = CAPD). Pada

CAPD prosesnya terjadi berkesinambungan sehingga energi yang dibutuhkan lebih besar

dan terjadi lebih banyak kehilangan protein .

Penatalaksanaan terapi nutrisi pada pasien GGA yang menjalani dialisis

mempunyai beberapa patokan sebagai berikut :

1. Kalori

Jumlah kalori yang dianggap adekuat untuk pasien HD adalah : 30 – 35

kkal/kgBB/hari Bila diberikan kalori yang kurang dari kebutuhan, akan terjadi proses

katabolisme protein endogen. Ini merugikan karena dapat menimbulkan hiperkalemi.

Katabolisme setiap 100 gram jaringan otot akan menghasilkan 10 mmol kalium. 40-50

% dari total kalori seharusnya diperoleh dari karbohidrat. Proses HD dapat memperbaiki

intoleransi glukosa dan resistensi terhadap insulin yang biasanya terjadi pada pasien

gagal ginjal sehingga bila diperlukan karbohidrat dapat diberikan lebih banyak.

Sebaiknya 30-50 % dari total kalori yang diperhitungkan diperoleh dari lemak dan dipilih

jenis lemak tak jenuh karena biasanya ada hipertrigliseridemia atau hiperkolesterolemia.

2. Protein

Pada proses HD perlu diperhitungkan adanya kehilangan asam amino sebesar 1-2

gram/jam dialisis. Pada CAPD kehilangan protein dapat mencapai 8 12 gram/hari.

Oleh karena itu asupan protein harus dinaikkan menjadi :

27

Page 28: Ckd

HD = 1 - 1,2 g/kg BB/hari

CAPD = 1,2 - 1,4 g/kg BB/hari

75 % dari protein sebaiknya diberikan dalam bentuk protein dengan nilai biologis

tinggi. Penggunaan protein nabati kurang begitu menguntungkan karena biasanya

mempunyai kadar kalium yang lebih tinggi. Perhitungan kebutuhan protein pada dialisis

dapat diketahui lebih akurat dengan cara memperhitungkan klirens dialisis dan kecepatan

pembentukan protein. Tetapi di klinis biasanya tidak digunakan karena tidak praktis.

3. Air dan Natrium

Dengan dialisis atau fungsi ginjal yang tersisa, air atau cairan lain dalam tubuh

dapat diregulasi. Metabolisme air berhubungan erat dengan natrium yang pada pasien

dialisis dapat diproyeksikan sebagai kenaikan berat badan. Bila asupan air atau natrium

melebihi daya regulasi akan terjadi akumulasi dalam tubuh yang dapat menimbulkan

komplikasi edema paru akut, krisis hipertensi, atau payah jantung kiri. Kenaikan berat

badan diantara 2 waktu dialisis (= interdialytic weight gain) sebaiknya dibatasi tidak

melebihi 2 kg.

4. Kalium

Hiperkalemi pada pasien dialisis dapat terjadi akibat :

a. Kelebihan asupan kalium dalam diet

b. Peningkatan katabolisme protein endogen (infeksi, terapi steroid, operasi, dan lain-

lain)

c. Asidosis metabolik (terutama pada HD-Asetat)

d. Penggunaan obat-obat kalium sparing diuretics atau ACE-inhibitors.

Kadar kalium dalam sayur-sayuran dapat dikurangi sampai 30 % dengan cara

direbus dalam air mendidih.

28

Page 29: Ckd

BAB IV

PENUTUP

Penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease) adalah suatu proses patologis

dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan ginjal yang progresif, dan pada

umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan

klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat

yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi

ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua

organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Berdasarkan kasus diatas, didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang, maka disimpulkan pasien tersebut menderita penyakit ginjal

kronik stadium 5. Untuk penatalaksanaan pada pasien tersebut diberikan terapi berupa

farmakologi dan nonfarmakologi.

Dari data yang didapat pada kasus ini, dimana dari hasil laboratorium pasien

tersebut ditemukan peningkatan ueum kreatinin yang besar sehingga direncanakan untuk

melakukan terapi pengganti yaitu berupa dialisis.

29

Page 30: Ckd

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsono, S. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal

Terminal. Naskah Publikasi. Universitas Diponegoro Semarang.

www.eprints.undip.ac.id

2. Firmansyah, M, 2010. Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal

Kronik ke Penyakit Ginjal Stadium Akhir. www.Kalbe.co.id

3. “Gagal Ginjal Kronik”. www.pernefri.org

4. Rindiastuti, Y, 2010. Deteksi Dini dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik

5. Roesli, A. Penatalaksanaan Nutrisi Pada Gagal Ginjal Kronik. www.pernefri.org

6. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K.

MS, Setiati S, eds. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 1 ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 570-3.

7. “Penyakit Ginjal Kronik”. www.re posito ry.usu.ac.id

30