Upload
caramellova
View
86
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan mengenai hasil praktikum material kedokteran gigi menggunakan komposit. dalam praktikkum ini kami menggunakan light curing, komposite yang menggunakan light cure, lebih cepat pengeerasannya. dalam praktikum ini kami menggunakan jarak penyinaran sebagai variabel pembeda.
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM ILMU MATERIAL II
Topik : Resin Komposit
Kelompok : C6
Tgl. Praktikum : 21 November 2013
Pembimbing : Dr. Elly Munadziroh, drg,.Msi
Penyusun:
No. Nama NIM
1. Reno Andrey S. 021211133048
2. Luluk Rahmawati 021211133049
3. Amelia Sinta M. 021211133050
4. Dita Dwi Firza P. 021211133051
5. Indira Ika Christianti 021211133052
6. Valita Aulia Andari 021211133053
DEPARTEMEN MATERIAL KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2013
I. TUJUAN
a. Mahasiswa mampu melakukan manipulasi komposit secara tepat
b. Mahasiswa mampu mengetahui perbedaan kekerasan hasil polimerisasi resin
komposit berdasarkan pengamatan
II. ALAT DAN BAHAN
a. Resin komposit aktivasi sinar tampak (light activated resin composite),
bentuk sediaan pasta tunggal.
b. Vaselin
c. Sonde
d. Plastic filling
e. Pisau model
f. Celluloid strip
g.
h.
i.
j.
k.
1
l. Cetakan teflon ukuran diameter 4 mm . tebal 2 mm dan tebal 5 mm
m. Plat kaca
n. Light curing unit (halogen atau LED)
o. Visible curing light meter
2
III. CARA KERJA
Untuk cetakan teflon tinggi 2 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm dan 10
mm. Untuk cetakan teflon tinggi 5 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm dan
10 mm.
a. Permukaan cetakan teflon diulasi dengan vaselin, kemudian cetakan teflon
diletakkan di atas lempeng kaca yang telah dilapisi celluloid strip.
b. Bahan tumpatan resin komposit dikeluarkan dari tube, kemudian masukkan sedikit
demi sedikit ke dalam cetakan teflon tinggi 2 mm memakai plastic filling
instrument. Cetakan harus terisi penuh dengan resin komposit tanpa ada rongga
(diusahakan setinggi cetakan teflon)
c. Sebelum menggunakan light curing halogen, intensitas sinar di cek dahulu dengan
cure light meter (antara 400 - 500 nm). Bila menggunakan LED, intensitas sinar
dicek dengan menempelkan light tip pada perangkat yang tersedia.
d. Celluloid strip diletakkan di atas cetakan teflon yang telah diisi resin komposit,
kemudian diberi pemberat 1 kg selama 30 detik, ujung alat curing (light tip)
ditempelkan pada celluloid strip dan sinari setama 20 - 40 detik (lihat aturan
pabrik)
e. Resin komposit yang telah berpolimerisasi / mengeras dilepas dari cetakan Teflon
dengan hati-hati
f. Hasil kekerasan permukaan yang terkena light tip alat curing langsung ( 0 mm )
dibedakan dengan permukaan yang jauh dari light tip alat curing (10 mm) dengan
cara digores dengan sonde.
g. Tahap a - f diulangi pada cetakan dengan tinggi 5 mm
3
IV.HASIL PRAKTIKUM
Tabel 1. Tabel Hasil Percobaan Manipulasi Komposit
V. PEMBAHASAN4
Komposit Dalam CetakanIntensitas
Penyinaran
(Nw/Cm2)
Tingkat
KekerasanKetebalan Jarak
PermukaanCetakan Penyinaran
2 Mm
0 MmAtas
427Keras
Bawah Keras
10 Mm
Atas
228
Keras
BawahKeras, Ada
Goresan
5 Mm
0 MmAtas
392Keras
Bawah Lunak
10 MmAtas
179Keras
Bawah Lunak
8 Mm
0 MmAtas
403Keras
Bawah Sangat Lunak
0 Mm (layer by
layer, 4x aplikasi)
Atas420
Sangat Keras
Bawah Sangat Keras
Penggunaan bahan restorasi estetik mengalami peningkatan yang pesat dalam
beberapa tahun terakhir sejalan dengan tuntutan pasien dalam hal estetik. Dewasa ini,
bahan restorasi resin komposit secara umum telah menjadi pilihan bagi dokter gigi
untuk merestorasi lesi karies pada daerah servikal sesuai dengan kualitas estetik dan
kemampuan bahan tersebut untuk berikatan dengan stuktur gigi. Resin komposit
berkembang sebagai bahan restorasi karena kelebihannya, antara lain: mempunyai
sifat estetik yang baik, penghantar panas yang rendah, relatif mudah dimanipulasi,
tahan lama untuk gigi anterior dan tidak larut dalam cairan mulut (Annusavice, 2003).
Resin komposit merupakan bahan restorasi yang terdiri atas tiga komponen
utama, yaitu: komponen organik (resin) yang membentuk matriks, bahan pengisi
(filler) inorganik, dan bahan interfasial untuk menyatukan resin dan filler yang disebut
sebagai coupling agent. Selain itu, resin komposit juga mengandung pigmen agar
warna resin komposit dapat menyerupai warna stuktur gigi dan inisiator serta
akselerator untuk mengaktifkan mekanisme pengerasan/polimerisasi (Annusavice,
2003).
Resin komposit terdiri dari sejumlah komponen yaitu matriks organik, filler
(bahan pengisi), dan coupling agent (bahan pengikat filler dengan matriks resin).
Matriks organik yang umum digunakan dalam komposit gigi antara lain dimetakrilat
monomer (Bis-GMA), urethan dimetakrilat (UDMA), dan trietilen glikol dimetakrilat
(TEGDMA). Monomer dengan berat molekul yang tinggi khusunya Bis-GMA,
memiliki tingkat kekentalan yang tinggi pada temperatur ruang. Penggunaan
monomer yang kental penting untuk memperoleh tingkat pengisian yang tinggi dan
menghasilkan konsistensi pasta yang baik untuk digunakan secara klinis. Meskipun
sifat mekanik resin Bis-GMA lebih unggul dibandingkan resin akrilik, bahan tersebut
tidak mengikat struktur gigi lebih efektif. Karena itu, pengerutan polimerisasi dan
perubahan dimensi termal masih merupakan pertimbangan penting termasuk untuk
resin yang diisi. Bahan pengencer dapat berupa monomer metakrilat namun yang
biasa digunakan adalah monomer dimetakrilat seperti TEGDMA. Selain monomer,
bahan tambahan lain dalam matriks resin adalah aktivator-inisiator, stabilizer,
pigmens, dan lain sebagainya. Komponen-komponen ini terdapat dalam konsentrasi
kecil (Anusavice, 2003).
5
Filler atau partikel bahan pengisi anorganik dapat berupa silica, Ba-fluoro-
silicate glasses, Sr-fluoro-silicate glasses, dan Si-Zr mixed. Ukuran dan bentuk
partikel dapat mempengaruhi kekuatan mekanis serta fisik. Filler dapat meningkatkan
sifat bahan matriks bila partikel filler berikatan kuat dengan matriks. Bila tidak,
partikel filler dapat melemahkan bahan. Pentingnya bahan pengisi yang berikatan
kuat, penggunaannya sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu bahan komposit.
Partikel filler anorganik umumnya dihasilkan dari penggilingan atau pengolahan
quartz atau kaca untuk menghasilkan partikel yang memiliki ukuran antara 0,1-100
µm. Partikel silika dengan ukuran koloidal (sekitar 0,4 µm) secara kolektif disebut
micro filler dan diperoleh dari proses priolitik atau pengendapan (Anusavice, 2003).
Coupling agent (bahan pengikat) merupakan bahan yang penting dalam resin
komposit. Coupling agent berfungsi sebagai bahan pengikat filler dengan matriks
resin. Pengikatan yang bagus memastikan matriks polimer lebih fleksibel dalam
meneruskan tekanan ke partikel filler yang lebih kaku. Aplikasi coupling agent yang
tepat dapat meningkatkan sifat mekanis dan fisik serta memberikan kestabilan
hidrolitik dengan mencegah air menembus sepanjang perbatasan antara filler dan
resin. Titanat dan zirkonat dapat digunakan sebagai bahan coupling agent, tetapi
organosilan seperti silane lebih sering digunakan. Silane mengandung gugus silanol
yang dapat berikatan dengan silanol pada permukaan filler melalui pembentukan
ikatan siloxane (S-O-Si). Gugus metakrilat dari gabungan organosilen membentuk
ikatan kovalen dengan resin bila terpolimerisasi, sehingga menyempurnakan proses
coupling. Peran coupling yang tepat dengan bantuan organosilan sangatlah penting
terhadap penampilan klinis dari resin komposit (Anusavice, 2003).
Resin komposit mengeras melalui mekanisme polimerisasi yang dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a. Resin diaktivasi secara kimiawi
Resin yang diaktivasi secara kimiawi ini diperjualbelikan dalam bentuk dua
pasta. Salah satu pastanya berisi inisiator benzoyl peroxide, sedangkan yang
lainnya berisi aktivator tertiary amine. Bila kedua bahan ini diaduk, amine akan
bereaksi dengan benzoyl peroxide dan membentuk radikal bebas sehingga
mekanisme pengerasan akan dimulai.
6
b.Resin diaktivasi oleh sinar
Bahan resin komposit yang dipolimerisasi dengan sinar dalam bentuk satu pasta
dan dimasukkan dalam sebuah semprit. Sistem pembentuk radikal bebas yang
terdiri atas molekul-molekul fotoinisiator dan aktivator amine terdapat
dalam pasta tersebut. Bila tidak disinari, maka kedua komponen tersebut tidak
akan bereaksi. Sebaliknya, sinar dengan panjang gelombang yang tepat dapat
merangsang fotoinisiator bereaksi dengan amine dan membentuk radikal bebas
(Andri Sinulingga, 2009).
Resin komposit mengeras melalui proses polimerisasi secara adisi yaitu reaksi
antar dua molekul sama besar atau berlainan untuk membentuk molekul yang lebih
besar tanpa menghilangkan molekul yang lebih kecil. Proses polimerisasi ada
beberapa macam, antara lain polimerisasi secara kimia (self curing atau cold curing),
polimerisasi dengan sinar tampak (light curing), dan polimerisasi dengan panas (heat
curing). Resin komposit dengan sinar tampak digunakan untuk bahan tumpatan
(Anusavice, 2003).
Reaksi polimerisasi matriks resin komposit pada tahap inisiasi terbentuk
radikal bebas oleh katalis diketon dan aselerator alifatik amina. Reaksi polimerisasi
termasuk tipe adisi polimerisasi radikal bebas. Sinar tampak yang berasal dari bola
lampu halogen atau LED menyebabkan molekul keton tereksitasi. Polimerisasi resin
komposit dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketebalan, sifat alamiah bahan,
intensitas, panjang gelombang sinar, jarak, dan posisi sumber sinar terhadap resin
komposit serta lama penyinaran (Anusavice, 2003).
Resin komposit adalah monomer dimetakrilat di mana bahan ini mengeras
melalui mekanisme tambahan yang diawali oleh radikal bebas. Radikal bebas ini
dapat diperoleh melalui aktivasi kimia atau energi dari luar (panas, penyinaran).
Polimerisasi adalah reaksi intermolekuler yang berantai yang secara fungsional
mampu berlangsung secara tidak terbatas. Polimerisasi terjadi melalui serangkaian
reaksi kimia di mana polimerisasi dibentuk oleh sejumlah monomer individual. Unit
monomer tersebut berhubungan satu dengan yang lain sepanjang rantai polimer oleh
ikatan kovalen (Phillips, 2004).
Camphorquinone adalah photoinitiator yang terkandung dalam resin komposit.
Ketika camphorquinone terkena sinar, maka akan terbentuk radikal bebas yang
7
menginisiasi terjadinya polimerisasi. Camphorquinone mengabsorbsi sinar biru
dengan panjang gelombang 470 nm. Spektrum cahaya ini berhubungan erat terhadap
keefektifan light curing unit. Intensitas sinar yang memadai merupakan persyaratan
dasar untuk mendapatkan sifat bahan yang optimal untuk penggunaan intraoral baik
pada kavitas yang menerima tekanan maupun mencegah diskolorisasi dan degradasi
prematur (Kramer, 2008).
Empat jenis lampu dapat digunakan untuk photoinitiation dari proses
polimerisasi. Berikut ini daftar lampu ini dalam urutan intensitas terendah untuk
intensitas tertinggi:
1. Lampu LED. Menggunakan solid-state, proses elektronik, sumber cahaya ini
memancarkan radiasi hanya di bagian biru dari spektrum yang terlihat antara
440 dan 480 nm, serta tidak memerlukan filter. LED memakai watt rendah,
bisa bertenaga baterai, tidak menghasilkan panas, dan tidak mengeluarkan
bunyi karena kipas pendingin tidak diperlukan. Meskipun mereka
menghasilkan intensitas radiasi terendah, teknologi baru dengan cepat
mengatasi keterbatasan ini.
2. Lampu QTH. Lampu QTH memiliki lampu kuarsa dengan filamen tungsten
yang menyinari baik sinar UV dan putih yang juga harus disaring untuk
menghilangkan panas dan semua panjang gelombang kecuali yang berada di
kisaran ungu-biru (~ 400 sampai 500 nm). Intensitas pembungaan bohlam
berkurang dengan penggunaan, sehingga meteran kalibrasi diperlukan untuk
mengukur intensitas output.
3. Lampu PAC. Lampu PAC menggunakan gas xenon yang terionisasi untuk
menghasilkan plasma. Cahaya putih dengan intensitas tinggi disaring untuk
menghilangkan panas dan memungkinkan cahaya biru (~ 400 sampai 500 nm)
akan dipancarkan.
4. Argon lampu laser yang. Argon lampu laser yang memiliki intensitas tertinggi
dan memancarkan pada panjang gelombang tunggal. Lampu yang tersedia saat
ini memancarkan -490 nm
(Annusavice, 2003)
8
Faktor yang mempengaruhi kualitas polimerisasi resin komposit yaitu
intensitas cahaya, lama penyinaran, panjang gelombang cahaya, ketebalan resin
komposit, jarak ujung light curing unit dengan permukaan restorasi, warna resin
komposit, dan komposisi bahan resin komposit itu sendiri. Intensitas cahaya suatu
light curing unit dipengaruhi oleh jarak ujung light curing unit dengan permukaan
resin komposit. Semakin besar jarak penyinaran, maka dispersi cahaya light curing
unit akan meningkat sehingga akan sulit untuk memperoleh polimerisasi yang efektif
(Phillips, 2004).
Untuk memperoleh hasil polimerisasi yang maksimal, lapisan restorasi resin
komposit yang dimasukkan ke dalam suatu kavitas tidak boleh melebihi ketebalan 2
mm dengan jarak yang ideal antara ujung light curing unit dengan resin komposit
adalah 1 mm, dan sumber cahaya diposisikan 90o (tegak lurus) dengan permukaan
resin komposit. Akan tetapi, jarak penyinaran distandarisasi 5 mm. Jika sudut
penyinaran menyimpang dari 90o terhadap permukaan restorasi, energi cahaya akan
menjadi bias dan kemampuan penetrasinya akan berkurang (Craig, 2002)
Diameter ujung light curing unit juga dapat mempengaruhi kualitas
polimerisasi serta intensitas cahaya yang dihasilkan. Ditemukan bahwa cahaya yang
dihasilkan dari ujung light curing unit yang berdiameter 8 mm dan 10 mm adalah
45% dan 32% dari ujung yang berdiameter 4 mm. Akan tetapi, resin komposit yang
disinari baik dengan ujung yang berdiameter 4 mm, 8 mm, maupun 10 mm tidak
menunjukkan nilai knoop hardness dengan perbedaan yang signifikan pada waktu
penyinaran yang lebih dari 10 detik. Selain itu, tidak boleh digunakan light curing
unit dengan ujung yang berdiameter yang lebih kecil daripada diameter kavitas
dengan daerah penyinaran yang terisolasi pada daerah tertentu. Untuk memastikan
polimerisasi resin komposit yang adekuat, diperlukan penyinaran yang overlap jika
menggunakan ujung light curing unit yang berdiameter kecil (Craig,2002).
Peningkatan jarak antara sumber sinar dengan bahan komposit resin dapat
menyebabkan berkurangnya intensitas sinar yang diterima oleh bahan tersebut.
Sehingga polimerisasi menjadi tidak optimal, akibatnya dapat mempengaruhi sifat
fisik dan mekanik dari bahan restorasi. Jarak sumber sinar yang paling ideal guna
mendapatkan polimerisasi yang optimal adalah 1-2 mm dengan ketebalan material
komposit resin 1,5-2 mm. Jika jarak sumber sinar mencapai 5-6 mm, maka sinar yang
diterima oleh material komposit resin tidak dapat mempolimerisasi komposit resin
9
dengan optimal, yang secara langsung akan menyebabkan penurunan sifat fisik dan
mekanik (Price, 2000). Polimerisasi yang tidak sempurna pada komposit resin dapat
menurunkan kekerasan, kekuatan dan stabilitas warna serta meningkatnya penyerapan
air (Herrero, 2005). Untuk polimerisasi maksimal digunakan sinar tampak intensitas
tinggi, paparan sinar harus dekat dengan bahan restorasi, dan waktu paparan harus
kurang dari 40-60 detik (Manappallil, 2003).
Polimerisasi pada resin komposit dalam percobaan ini maksimal karena
ketepatan waktu pemaparan sinar yang kurang dari 40-60 detik. Pada praktikum ini
waktu paparannya adalah 20 detik. Berdasarkan hasil praktikum, cetakan dengan
ukuran 5 mm dan 2 mm yang disinari dengan jarak penyinaran 0 mm, terjadi proses
polimerisasi yang ditandai dengan resin komposit yang mengeras. Sedangkan, pada
cetakan dengan ukuran yang sama tetapi jarak penyinaran yang dilakukan adalah 10
mm, tidak dapat terjadi polimerisasi secara optimal. Hal ini sesuai dengan teori, yaitu
jarak sumber sinar mencapai 5-6 mm, maka sinar yang diterima oleh material
komposit resin tidak dapat memolimerisasi komposit resin dengan optimal. jarak
penyinaran 0 mm, intensitas sinar maksimal sehingga polimerisasi berlangsung
sempurna dan tingkat kebocoran mikro yang dihasilkan rata-rata kecil. Sedangkan
pada jarak penyinaran 4 mm intensitas sinar hanya 75% sehingga derajat polimerisasi
menurun. Pada jarak penyinaran 2 mm dengan intensitas sinar sebesar 93% masih
dapat menghasilkan polimerisasi yang optimal.
Un tuk mem as t i kan polimerisasi maksimal dan keberhasilan klinis, harus
digunakan unit sinar dengan intensitas tinggi, dan intensitas sinar harus
dievaluasi secara periodik. U ju ng s i na r ha rus d i l e t akka n s ed eka t
mun gk in dengan pe r muk aan r e s in . ketebalan resin harus tidak lebih
tebal dari 2-2,5 mm. Warna yang lebih gelap memerlukan pemaparan yang
lebih lama,seperti resin yang terpol imerisasi melalui email dan dentin.
(Anusavice, 2003, Hal. 410).
Berkurangnya intensitas sinar juga dapat menyebabkan polimerisasi menurun.
Seperti pada praktikum yang telah dilakukan, pada penyinaran dengan intensitas 427,
cetakan dengan ketebalan 2 mm mengalami pengerasan optimal. Sedangkan, pada
cetakan 5 mm dengan intensitas 392, pengerasan menjadi menurun dan didapatkan
pada bagian bawah cetakan resin komposit masih lunak. Hal tersebut didukung juga
karena ketebalan cetakan yang digunakan berbeda, yaitu 2 mm dan 5 mm. Ketebalan
cetakan merupakan salah satu faktor polimerisasi tidak optimal. Pengaruh ketebalan
10
cetakan pada hasil akhir polimerisasi juga terlihat pada cetakan 8 mm yang pada sisi
bawah cetakan, adonan masih lunak. Sehingga, cetakan dengan ketebalan 2 mm lebih
mengalami polimerisasi optimal dibandingkan cetakan dengan ketebalan 5 mm dan 8
mm.
Pengaruh intensitas juga dapat terlihat pada cetakan 2 mm dengan jarak
penyinaran 0 mm dan intensitas 427 yang menghasilkan hasil polimerisasi yang
optimal, sehingga resin komposit mengeras. Sedangkan, pada cetakan 2 mm dengan
jarak penyinaran 10 mm dan intensitas 228, menghasilkan resin komposit bagian
bawah cetakan masih lunak. Semakin jauh jarak penyinaran, maka intensitas juga
akan semakin berkurang. Sehingga, polimerisasi resin komposit juga semakin
menurun.
Pada hasil praktikum dengan penggunaan cetakan juga dapat dilihat bahwa
intensitas, jarak, dan ketebalan mempengaruhi polimerisasi resin komposit. Hasil
yang diapatkan adalah polimerisasi yang tidak optimal karena pada bagian bawah
cetakan, resin komposit masih lunak. Berbeda dengan resin komposit pada cetakan 2
mm dengan jarak sinar yang dihasilkan resin komposit yang telah mengeras di bagian
bawah maupun atas cetakan. Hal ini disebabkan karena intensitas sinar maksimum
dan ketebalan cetakan tidak lebih dari 2-2,5 mm, sehingga terjadi polimerisasi resin
komposit yang optimal. Sedangkan pada cetakan 8 mm yang dilakukan penyinaran
dengan teknik layer per layer menghasilkan resin komposit yang mengeras pada
bagian atas dan bawah cetakan dikarenakan perlakuan penyinaran dengan jarak 0 mm,
sehingga penyinaran optimal. Selain itu, penyinaran dilakukan dengan ketebalan
setiap 2 mm hingga mencapai 8 mm, sehingga dilakukan 4 kali penyinaran, namun
dengan intensitas yang berbeda, yaitu penyinaran pertama adalah 420, penyinaran ke-
2 adalah 394, penyinaran ke-3 adalah 414, dan penyinaran ke-4 adalah 413. Sehingga,
didapatkan polimerisasi yang optimal.
11
VI. KESIMPULAN
Manipulasi polimerisasi resin komposit diharapkan mendapatkan
bahan yang adekuat dengan sifat fisik dan kimia yang optimal. Polmerisasi
light activation dipengaruhi oleh teknik penyinaran seperti, intensitas sinar,
jarak penyinaran dan ketebalan bahan. Semakin kecil jarak penyinaran dan
tebal bahan yang digunakan, maka intensitas cahaya akan semakin besar
sehingga proses polimerisasi lebih cepat dan dihasilkan permukaan dari hasil
resin komposit yang keras.
12
DAFTAR PUSTAKA
Annusavice, Kenneth J 2003, Phillip’s Science of Dental Materials 11th Edition,
Saunders Company, Pennsylvania.
Craig RG and Powers JM. 2002. Restorative Dental Materials. 11th ed. Mosby Inc.
McCabe, John F., Walls, Angus W., 2008, Applied Dental Materials 9th Edition,
Blackwell Publishing, Oxford.
O’Brien WJ. 2002. Dental Materials and Their Selection. 3rd ed. Quintessence.
Anadioti, E vanthia. "Internal and marginal fit Of pressed and cad lithium disilicate
crowns made from digital and conventional impressions." Master ' s thesis,
University of Iowa, 2013. http://ir. uiowa.edu/etd/2435.
Diansari, Viona, Eriwati, YK, dan Indrani DJ. 2008. KEBOCORAN MIKRO PADA
RESTORASI KOMPOSIT RESIN DENGAN SISTEM TOTAL-ETCH DAN
SELF-ETCH PADA BERBAGAI JARAK PENYINARAN. Indonesian
Journal of Dentistry. Vol. 15 (2): 121-130. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia.
Philips RW. Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. 10th ed. Philadelphia: Saunders
Company, 2004 : 410-411
13