31
1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 1. Definisi Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas (WHO, 2001). Penyakit paru obstrutif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel dan reversibel parsial, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya (PDPI, 2011). 2. Faktor Resiko Beberapa faktor risiko pada PPOK antara lain: 1) Pajanan dari partikel antara lain : 1

Copd

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dasdageeweadg5waed

Citation preview

Page 1: Copd

1

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

1. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit dengan

karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.

Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan

respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas (WHO, 2001).

Penyakit paru obstrutif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang

ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

nonreversibel dan reversibel parsial, biasanya disebabkan oleh  proses inflamasi

paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan

gambaran gangguan sistemik. PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema

atau gabungan keduanya (PDPI, 2011).

2. Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko pada PPOK antara lain:

1) Pajanan dari partikel antara lain :

a. Merokok: merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di

negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus

dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara

penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah,

jenis dan lamanya merokok. Perokok pasif juga menyumbang terhadap

symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-

paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat

1

Page 2: Copd

2

hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi

pertumbuhan paru-parunya (Mangunegoro, 2001).

b. Polusi indoor: memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur

yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar

minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak

menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah,

tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan

indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari

memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap

dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan

hewan peliharaan serta perokok pasif. WHO melaporkan bahwa polusi

indoor bertanggung jawab terhadap kematian dari 1,6 juta orang setiap

tahunya (Liu Y et al., 2008)

c. Polusi outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1,

inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan

debu, serta bahan asap pembakaran/ pabrik/ tambang. Bagaimanapun

peningkatan relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada dekade

terakhir ini saat ini telah mengkhawatirkan sebagai masalah polusi udara

pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara dengan income

rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan

cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor

dari bahan sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan

penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan yang tidak

2

Page 3: Copd

3

merokok. PPOK adalah hasil interaksi antara faktor genetik individu

dengan pajanan lingkungan dari bahan beracun, seperti asap rokok, polusi

indoor dan out door ( Bustan, 2007).

d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu

organik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri

tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri

besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik

cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19% (Di Pede, 2002).

2) Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin):

Faktor risiko dari genetik memberikan kontribusi 1–3% pada pasien

PPOK.

3) Riwayat infeksi saluran napas berulang:

Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ

saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas

akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran

pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai

pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.

4) Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik

3. Patogenesis dan patofisiologi

Inflamasi merupakan elemen kunci terhadap perjalanan penyakit pada

PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag

dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak

makrofag dan neutrofil. Kemudian makrofag dan neutrofil ini melepaskan

3

Page 4: Copd

4

protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat

diatasi dengan anti protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi

terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif

seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah

diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena

substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease (Danusantoso, 2000)

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronkial,

hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula

disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mukus

yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronkitis

kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran

elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan

sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan

kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara

kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada

saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk

PPOK. Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau

kurang terventilasi. Perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan

hipoksemia oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah. Ventilasi dari

alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu,

menyebabkan pembuangan karbondioksida yang tidak efisien. Hiperventilasi

biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan

meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran napas

4

Page 5: Copd

5

yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal dan terjadilah retensi

karbondioksida pada beberapa pasien dengan PPOK berat ( PDPI, 2011).

5

Gambar 2. Patofisiologi PPOK

Page 6: Copd

6

4. Manifestasi Klinis

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini

harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa

terjadi pada proses penuaan. Berikut ini adalah gejala-gejala klinis yang berkitan

dengan PPOK (Sudoyo, 2009):

1) Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama lebih dari 3 bulan yang

berlangsung selama lebih dari 2 tahun yang tidak hilang dengan pengobatan

yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus

menerus tanpa disertai batuk.

2) Sesak napas

Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada

saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan

sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak

dikeluhkan.

3) Mengi

Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh

penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi dinding saluran pernafasan.

Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernafasan dengan

jaringan sekitarnya. Karena secara umum saluran pernafasan lebih sempit

pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase

ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi

polifonik merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien

6

Page 7: Copd

7

PPOK. Terdapat suara jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi

pada fase ekspirasi dan menunjukan penyakit saluran pernafasan yang difus

4) Ronkhi

Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup yang

terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi mencerminkan

adanya letupan mendadak jalan nafas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi

juga dapat disebabkan oleh penutupan jalan nafas regional dikarenakan

penimbunan mucus pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi

ronhki meskipun bukan gejala khas dari PPOK.

5) Penurunan aktivitas

Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan

aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada

penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada

penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia,

hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis (Bambang, 2006).

Menurut Klasifikasi GOLD tahun 2010 menyebutkan kriteria PPOK berdasarkan

klinisnya adalah sebagai berikut:

Derajat Klinis Faal paru

Derajat 1:ringan

Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa faal paru mulai menurun

VEP1/KVP <70%VEP1 ≥80% prediksi

Derajat 2:sedang

Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya

VEP1/KVP <70%50% < VEP1 < 80% prediksi

7

Page 8: Copd

8

Derajat 3: Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien

VEP1/KVP <70%30% < VEP1 < 50% prediksi

Derajat 4:Sangat berat

Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa

VEP1/KVP <70%VEP1 <30% prediksi atau VEP1 <50% prediksi diserta gagal napas

5. Diagnosis

Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan (PDPI, 2011):

a. Anamnesis

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala

pernapasan

- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan

lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan

asap rokok dan polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisik

Inspeksi

- Pursed-lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan

mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi

sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang

8

Page 9: Copd

9

terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2

yang terjadi pada gagal napas kronik.

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis

leher dan edema tungkai

- Penampilan pink puffer (Gambaran yang khas pada emfisema,

penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips

breathing) atau blue bloater (Gambaran khas pada bronkitis kronik,

penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah

di basal paru, sianosis sentral dan perifer).

9

Gambar 3. Perbedaan antara gambaran pink puffer (a), dengan blue bloater (b).

(a) (b)

Page 10: Copd

10

Palpasi

- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi

- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak

diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah Auskultasi

- suara napas vesikuler normal, atau melemah

- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada

ekspirasi paksa

- ekspirasi memanjang

- bunyi jantung terdengar jauh

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan rutin

1) Faal paru

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau

VEP1/KVP ( % ).

Obstruksi: % VEP1(VEP1/VEP1 pred) <80% VEP1%

(VEP1/KVP) < 75 %.

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk

menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,

APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai

10

Page 11: Copd

11

alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore,

tidak lebih dari 20%

b. Uji bronkodilator

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan

APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,

15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,

perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2) Darah rutin

Hb, Ht, leukosit

3) Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit

paru lain

Pada emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar

- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop

appearance)

11

Page 12: Copd

12

Pada bronkitis kronik :

- Normal

- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

1) Faal paru

- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),

Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

- DLCO menurun pada emfisema

- Raw meningkat pada bronkitis kronik

- Sgaw meningkat

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2) Uji latih kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3) Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil

PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

4) Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral

(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari

selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20

12

Page 13: Copd

13

% dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat

kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid

5) Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :

- Gagal napas kronik stabil

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6) Radiologi

- CT - Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat

emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

- Scan ventilasi perfusi : mengetahui fungsi respirasi paru

7) Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal

dan hipertrofi ventrikel kanan.

8) Ekokardiografi

Menilai funfsi jantung kanan

9) Bakteriologi

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur

resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk

memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng

merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK

di Indonesia.

13

Page 14: Copd

14

10) Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema

pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di

Indonesia.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi (PDPI, 2011):

1) Medikamentosa

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator

dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit . Pemilihan

bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada

penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian

obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).

Macam - macam bronkodilator:

- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai

bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

- Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah

penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat

pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.

Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,

14

Page 15: Copd

15

tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi

subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek

bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang

berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana

dan mempermudah penderita. Golongan xantin Dalam bentuk lepas

lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada

derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk

mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk

mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan

pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau

injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih

golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi

jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu

terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan

minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I: amoksisilin, makrolid

15

Page 16: Copd

16

- Lini II: amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,

makrolid

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan

N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang

sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang

viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak

dianjurkan sebagai pemberian rutin.

2) Terapi oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen

merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi

seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ

lainnya.

Indikasi :

- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,

perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan,

sleep apnea, penyakit paru lain.

16

Page 17: Copd

17

Macam terapi oksigen :

- Pemberian oksigen jangka panjang

- Pemberian oksigen pada waktu aktivitas.

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas Terapi

oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.

Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil

derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit

oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat,

ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang

dirawat di rumah dibedakan :

- Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy =

LTOT)

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada

keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15

jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi

oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering

terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan

menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti.

Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.

Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

17

Page 18: Copd

18

3) Ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal

napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien

PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat

digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik

dapat dilakukan dengan cara: ventilasi mekanik dengan intubasi dan

ventilasi mekanik tanpa intubasi

4) Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena

bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang

meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi

hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK

karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan

analisis gas darah Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :

- Penurunan berat badan

- Kadar albumin darah

- Antropometri

- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot

pipi)

- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis

tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak

dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat.

18

Page 19: Copd

19

Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang

dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus

(nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang

seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan

protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi

semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan

hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan

protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit

sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi

sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.

Gangguan elektrolit yang terjadi adalah:

- Hipofosfatemi

- Hiperkalemi

- Hipokalsemi

- Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan

pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan

waktu pemberian yang lebih sering.

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,

gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.

Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2 50

mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai

19

Page 20: Copd

20

oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan

purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum

yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan

terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi

lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor

pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat

disertai gagal jantung kanan (Sudoyo, 2009).

8. Prognosis

Makin cepat diagnosis ditegakkan, maka prognosis penderita baik dengan

catatan etiologinya bisa dihilangkan. Bila etiologi tidak dapat disingkirkan, maka

penderita bukan hanya mendapatkan kekambuhan, tetapi juga perjalanan

penyakitnya akan melaju terus menerus dengan pesat. Semakin lambat diagnosis

ditegakkan, maka makin jelek prognosis penderita. Hal ini diakibatkan sudah

semakin berkurangnya elastisitas paru, semakin luasnya kerusakan silia secara

irreversibel dan semakin tebalnya mukosa saluran pernapasan. Kalau penderita

tidak meninggal karena kegagalan pernapasan, maka sebab kematian yang lain

adalah karena salah satu atau lebih komplikasi yang dapat timbul setiap saat

(PDPI, 2011).

20

Page 21: Copd

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams G., Boies L., Higler P., 2011, Buku Ajar Penyakit THT, Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

2. Bambang Sigit Riyanto, Barmawi Hisyam. 2006. Obstruksi saluran pernafasan akut. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

3. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, Burney P, Mannino DM, Menezes AM, Sullivan SD, Lee TA, Weiss KB, Jensen RL, Marks GB, Gulsvik A, Nizankowska-Mogilnicka E, 2007, BOLD Collaborative Research Group, International variation in the prevalence of COPD (the BOLD Study): a population-based prevalence study. Lancet.

4. Chan-Yeung M, Ait Khaled N, White N, Ip MS, and Tan WC, 2004, The Burden and Impact of COPD in Asia and Africa, Int J Tuberc Lung Dis.

5. Guyton AC, Hall JE, 2010, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC: Jakarta.

6. Heidy Agustin dan Faisal Yunus, 2008, Proses Metabolisme pada PPOK, J Respir Indo vol 28 no 3 Juli.

7. Masnjoer A, Triyanti K, Savitri R, 2001, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kebokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

8. MN Bustan, 2007, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, PT Rineka Cipta: Jakarta.

9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2011, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, PDPI: Jakarta.

10. Soepardi E, Iskandar N, 2014, Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi kelima, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI.

11. Sudoyo, Aru W et al., 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima, Interna Publishing: Jakarta.

12. Wan C Tan and Tze P Ng, 2008, COPD in Asia, Where East meets West, Chest.

21

Page 22: Copd

22

13. WHO, 2011, National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institutes. Global Iniatiative for Chronic Obstructive Lung Disease. NHLBI/WHO workshop report.

14. Alamsyah HS. Efek latihan pernapasan terhadap faal paru, derajat sesak napas, dan kapasitas fungsional penderita PPOK Stabil [tesis]. Medan : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Penyakit Paru FK USU. 2010.

15. Agus TY, Yunus F, Antariksa B. Korelasi penilaian kualitas hidup dan prognosis penderita PPOK dengan CAT, SGRQ, dan BODE di RS.Persahabatan Jakarta. J Respir Indo 2013 ;33:8-16.

16. Leader D. Lung function decline in COPD after smoking cessation. [email protected]

17. Garrod R, Lasserson T. Role of physiotherapy in the managemnt of chronic lung diseases: An overview of systematic reviews. Respir Med 2007; 10.1016

18. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi s. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, 2010: 37-51.

19. Dodd JW, Hogg L, Nolan J, et al. The COPD Assessment Test (CAT) : response to pulmonary rehabilitation. A multicentre, prospective study. Torax 2011 May; 66 (15) :425-9.

20. Soemantri S, Budiarso RL, Suhardi, Sarimawar, Bachroen C. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT). Jakarta: Depkes RI; 1995.96-125.

22