1
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
1. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit dengan
karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan
respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas (WHO, 2001).
Penyakit paru obstrutif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel dan reversibel parsial, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi
paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan
gambaran gangguan sistemik. PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema
atau gabungan keduanya (PDPI, 2011).
2. Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko pada PPOK antara lain:
1) Pajanan dari partikel antara lain :
a. Merokok: merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus
dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara
penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah,
jenis dan lamanya merokok. Perokok pasif juga menyumbang terhadap
symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-
paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat
1
2
hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi
pertumbuhan paru-parunya (Mangunegoro, 2001).
b. Polusi indoor: memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur
yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar
minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak
menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah,
tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan
indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari
memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap
dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan
hewan peliharaan serta perokok pasif. WHO melaporkan bahwa polusi
indoor bertanggung jawab terhadap kematian dari 1,6 juta orang setiap
tahunya (Liu Y et al., 2008)
c. Polusi outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1,
inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan
debu, serta bahan asap pembakaran/ pabrik/ tambang. Bagaimanapun
peningkatan relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada dekade
terakhir ini saat ini telah mengkhawatirkan sebagai masalah polusi udara
pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara dengan income
rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat menggunakan
cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi indoor
dari bahan sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan
penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan yang tidak
2
3
merokok. PPOK adalah hasil interaksi antara faktor genetik individu
dengan pajanan lingkungan dari bahan beracun, seperti asap rokok, polusi
indoor dan out door ( Bustan, 2007).
d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu
organik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri
tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri
besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik
cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19% (Di Pede, 2002).
2) Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin):
Faktor risiko dari genetik memberikan kontribusi 1–3% pada pasien
PPOK.
3) Riwayat infeksi saluran napas berulang:
Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas
akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran
pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai
pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
4) Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik
3. Patogenesis dan patofisiologi
Inflamasi merupakan elemen kunci terhadap perjalanan penyakit pada
PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag
dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak
makrofag dan neutrofil. Kemudian makrofag dan neutrofil ini melepaskan
3
4
protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat
diatasi dengan anti protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi
terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif
seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah
diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena
substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease (Danusantoso, 2000)
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronkial,
hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula
disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mukus
yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronkitis
kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran
elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan
sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan
kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara
kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada
saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk
PPOK. Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau
kurang terventilasi. Perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan
hipoksemia oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah. Ventilasi dari
alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu,
menyebabkan pembuangan karbondioksida yang tidak efisien. Hiperventilasi
biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan
meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran napas
4
5
yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal dan terjadilah retensi
karbondioksida pada beberapa pasien dengan PPOK berat ( PDPI, 2011).
‘
5
Gambar 2. Patofisiologi PPOK
6
4. Manifestasi Klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa
terjadi pada proses penuaan. Berikut ini adalah gejala-gejala klinis yang berkitan
dengan PPOK (Sudoyo, 2009):
1) Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama lebih dari 3 bulan yang
berlangsung selama lebih dari 2 tahun yang tidak hilang dengan pengobatan
yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk.
2) Sesak napas
Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada
saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan
sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan.
3) Mengi
Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan oleh
penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi dinding saluran pernafasan.
Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding saluran pernafasan dengan
jaringan sekitarnya. Karena secara umum saluran pernafasan lebih sempit
pada saat ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase
ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi
polifonik merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien
6
7
PPOK. Terdapat suara jamak simultan dengan berbagai nada yang terjadi
pada fase ekspirasi dan menunjukan penyakit saluran pernafasan yang difus
4) Ronkhi
Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup yang
terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi mencerminkan
adanya letupan mendadak jalan nafas kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi
juga dapat disebabkan oleh penutupan jalan nafas regional dikarenakan
penimbunan mucus pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi
ronhki meskipun bukan gejala khas dari PPOK.
5) Penurunan aktivitas
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada
penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada
penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia,
hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis (Bambang, 2006).
Menurut Klasifikasi GOLD tahun 2010 menyebutkan kriteria PPOK berdasarkan
klinisnya adalah sebagai berikut:
Derajat Klinis Faal paru
Derajat 1:ringan
Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa faal paru mulai menurun
VEP1/KVP <70%VEP1 ≥80% prediksi
Derajat 2:sedang
Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya
VEP1/KVP <70%50% < VEP1 < 80% prediksi
7
8
Derajat 3: Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien
VEP1/KVP <70%30% < VEP1 < 50% prediksi
Derajat 4:Sangat berat
Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa
VEP1/KVP <70%VEP1 <30% prediksi atau VEP1 <50% prediksi diserta gagal napas
5. Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan (PDPI, 2011):
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
- Pursed-lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan
mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
8
9
terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi pada gagal napas kronik.
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer (Gambaran yang khas pada emfisema,
penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips
breathing) atau blue bloater (Gambaran khas pada bronkitis kronik,
penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah
di basal paru, sianosis sentral dan perifer).
9
Gambar 3. Perbedaan antara gambaran pink puffer (a), dengan blue bloater (b).
(a) (b)
10
Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi: % VEP1(VEP1/VEP1 pred) <80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %.
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
10
11
alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore,
tidak lebih dari 20%
b. Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
11
12
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1) Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2) Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20
12
13
% dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6) Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi : mengetahui fungsi respirasi paru
7) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
8) Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK
di Indonesia.
13
14
10) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi (PDPI, 2011):
1) Medikamentosa
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit . Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator:
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
14
15
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita. Golongan xantin Dalam bentuk lepas
lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan
minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I: amoksisilin, makrolid
15
16
- Lini II: amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
2) Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.
Indikasi :
- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain.
16
17
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktivitas.
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas Terapi
oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.
Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil
derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit
oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat,
ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang
dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy =
LTOT)
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada
keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15
jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi
oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering
terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan
menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti.
Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
17
18
3) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik
dapat dilakukan dengan cara: ventilasi mekanik dengan intubasi dan
ventilasi mekanik tanpa intubasi
4) Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK
karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot
pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis
tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak
dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat.
18
19
Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang
dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus
(nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang
seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan
protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi
semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan
hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan
protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit
sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi
sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.
Gangguan elektrolit yang terjadi adalah:
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan
pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan
waktu pemberian yang lebih sering.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,
gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.
Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2 50
mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai
19
20
oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum
yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan
terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi
lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor
pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat
disertai gagal jantung kanan (Sudoyo, 2009).
8. Prognosis
Makin cepat diagnosis ditegakkan, maka prognosis penderita baik dengan
catatan etiologinya bisa dihilangkan. Bila etiologi tidak dapat disingkirkan, maka
penderita bukan hanya mendapatkan kekambuhan, tetapi juga perjalanan
penyakitnya akan melaju terus menerus dengan pesat. Semakin lambat diagnosis
ditegakkan, maka makin jelek prognosis penderita. Hal ini diakibatkan sudah
semakin berkurangnya elastisitas paru, semakin luasnya kerusakan silia secara
irreversibel dan semakin tebalnya mukosa saluran pernapasan. Kalau penderita
tidak meninggal karena kegagalan pernapasan, maka sebab kematian yang lain
adalah karena salah satu atau lebih komplikasi yang dapat timbul setiap saat
(PDPI, 2011).
20
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams G., Boies L., Higler P., 2011, Buku Ajar Penyakit THT, Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
2. Bambang Sigit Riyanto, Barmawi Hisyam. 2006. Obstruksi saluran pernafasan akut. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
3. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, Burney P, Mannino DM, Menezes AM, Sullivan SD, Lee TA, Weiss KB, Jensen RL, Marks GB, Gulsvik A, Nizankowska-Mogilnicka E, 2007, BOLD Collaborative Research Group, International variation in the prevalence of COPD (the BOLD Study): a population-based prevalence study. Lancet.
4. Chan-Yeung M, Ait Khaled N, White N, Ip MS, and Tan WC, 2004, The Burden and Impact of COPD in Asia and Africa, Int J Tuberc Lung Dis.
5. Guyton AC, Hall JE, 2010, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC: Jakarta.
6. Heidy Agustin dan Faisal Yunus, 2008, Proses Metabolisme pada PPOK, J Respir Indo vol 28 no 3 Juli.
7. Masnjoer A, Triyanti K, Savitri R, 2001, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kebokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
8. MN Bustan, 2007, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, PT Rineka Cipta: Jakarta.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2011, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, PDPI: Jakarta.
10. Soepardi E, Iskandar N, 2014, Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi kelima, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI.
11. Sudoyo, Aru W et al., 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima, Interna Publishing: Jakarta.
12. Wan C Tan and Tze P Ng, 2008, COPD in Asia, Where East meets West, Chest.
21
22
13. WHO, 2011, National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institutes. Global Iniatiative for Chronic Obstructive Lung Disease. NHLBI/WHO workshop report.
14. Alamsyah HS. Efek latihan pernapasan terhadap faal paru, derajat sesak napas, dan kapasitas fungsional penderita PPOK Stabil [tesis]. Medan : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Penyakit Paru FK USU. 2010.
15. Agus TY, Yunus F, Antariksa B. Korelasi penilaian kualitas hidup dan prognosis penderita PPOK dengan CAT, SGRQ, dan BODE di RS.Persahabatan Jakarta. J Respir Indo 2013 ;33:8-16.
16. Leader D. Lung function decline in COPD after smoking cessation. [email protected]
17. Garrod R, Lasserson T. Role of physiotherapy in the managemnt of chronic lung diseases: An overview of systematic reviews. Respir Med 2007; 10.1016
18. Wibisono MJ, Winariani, Hariadi s. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, 2010: 37-51.
19. Dodd JW, Hogg L, Nolan J, et al. The COPD Assessment Test (CAT) : response to pulmonary rehabilitation. A multicentre, prospective study. Torax 2011 May; 66 (15) :425-9.
20. Soemantri S, Budiarso RL, Suhardi, Sarimawar, Bachroen C. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT). Jakarta: Depkes RI; 1995.96-125.
22