Upload
lamnhu
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DAKWAH AJENGAN SOFWAN ABDUL GHONI
PADAPONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN
KARAWANG
Skripsi
DiajukanuntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh
GelarSarjanaKomunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Muhammad Edi Abdillah
NIM: 109051000243
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ciputat, 19 September 2014
Muhammad Edi Abdillah
iii
DAKWAH AJENGAN SOFWAN ABDUL GHONI
PADA PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN KARAWANG
Skripsi
DiajukankepadaFakultasIlmuDakwahdanIlmuKomunikasiUntukMemenuhi Salah
SatuPersyaratanMemperolehGelarSarjanaKomunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh
Muhammad Edi Abdillah
NIM: 109051000243
Pembimbing
NIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2014 M.
iv
v
ABSTRAK
Muhammad Edi Abdillah
Dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni
pada Pondok Pesantren Baitul Burhan Karawang
Dakwah merupakan kegiatan yang memiliki tujuan untuk merealisasikan
ajaran Islam ke dalam semua aspek kehidupan manusia. Banyak upaya yang
sudah dilakukan oleh para agen dakwah untuk mencapai tujuan mulia tersebut.
Ajengan Sofwan Abdul Ghoni salah satu da’i yang cukup berhasil melakukan itu.
Kehadiran beliau dan pondok pesantren yang dipimpinnya mendapat sambutan
yang positif dari masyarakat. Karenanya penelitian ini berupaya mengetahui dan
mendeskripsikan secara rinci dakwah yang dilakukan Ajengan Sofwan Abdul
Ghoni pada ponpes Baitul Burhan yang meliputi tiga bentuk dakwah diantaranya,
aktifitas tabligh, aktifitas pengembangan masyarakat, dan aktifitas manajemen
dakwah.
Berdasarkan gambaran di atas, ada dua hal yang perlu digali lebih jauh
lagi. Pertama, berkaitan dengan bagaimana dakwah yang dilakukan Ajengan
Sofwan Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan. Kedua, pendekatan
apa yang digunakan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni dalam melakukan dakwahnya.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dakwah Ajengan
Sofwan Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan dan berusaha
mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti dan lengkap.
Selain itu penelitian ini juga menggunakan dua pendekatan dakwah yaitu
pendekatan cultural dan pendekatan structural.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dakwah Ajengan Sofwan Abdul
Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan dilakukan melalui berbagai bentuk.
Diantaranya melalui pengajian santri di pesantren, pengajian bapak-bapak dan
ibu-ibu baik di dalam maupun di luar pesantren, pembuatan Poskestren, produksi
susu sari kedelai murni, pemberdayaan lahan pertanian, dan menjadi ketua MUI
kecamatan Tempuran. Semuanya dilakukan secara konsisten, dan penuh
tanggungjawab.
Menurut analisa penulis, berdasarkan temuan-temuan data di lapangan.
Proses dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni sudah merepresentasikan tiga
bentuk dakwah. Yaitu kegiatan tabligh, pengembangan masyarakat, dan
manajemen dakwah. Selain itu dakwahnya sangat adaptif, menyesuaikan dengan
kondisi masyarakat yang ada. Sehingga bisa diterima dengan mudah oleh
masyarakat. Akhirnya penulis berkesimpulan bawa faktor inilah yang
melatarbelakangi pesatnya kemajuan dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni
dengan ponpes Baitul Burhan nya.
Kata kunci: dakwah, pondok pesntren, cultural, structural, adaptif dan tabligh.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kitapanjatkankepada Allah SWT.Atas semua nikmat dan
karunianya.Dzatpemilikilmudanpenguasaalamsemesta.Hanyakarenahidayahdanta
ufiknyapenulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
selalutercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.Yang telah membawa
pencerahan pada umat manusia dari kondisi jahil menjadi berakhlak. Tidak ada
yang lebih layak kita tauladanai selain dari sikap dan perilakunya yang begitu
mulia.
Ucapan terima kasih sebanyak-banyaknyakepada semua pihak yang telah
membantubaiksecaralangsungmaupuntidak. Betapapun hebatnya manusia, tak ada
yang bisa melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain. Untuk
itu perkenankanlah penulis secara khusus dengan rasa hormat dan bangga
menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam kepada :
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi
2. Pembantu Dekan Bidang Akademik, Pembantu Dekan Bidang
Administrasi Umum dan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
3. Bapak Rachmat Baihaky, MA, selaku Ketua Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI)
4. Ibu Fita Fathurrohmah, M.Siselaku Sekertaris Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI) danBapak H. Fatoni, S.Sosselakustaf TU yang telah
vii
membantu penulisdalammengurus segala hal yang berkaitan dengan
administrasi.
5. Bapak Drs. H. HasanudinIbnuHibban, MA, yang dengan sabar
membimbing dan memberiarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komuikasi yang telah
memberikan ilmu, pengalaman, wawasan, dan nasihat yang tak ternilai
harganya. Semoga menjadi amal ibdah yang tak akan terputus.
7. Seluruh staf dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, para staff
perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama yang telah memberikan
pelayanan kepada penulis selama menjalani studi di kampus ini
8. PanitiaujianskripsibapakDrs. Jumroni, M.Si (ketua), ibuFitaFathurrohmah,
M.Si (sekretaris), ibuRubiyanah, MA (penguji 1), danibuUmiMusyarofah,
MA (penguji 2) yang telahbersediameluangkanwaktunyauntukmenguji,
mengoreksi, mengkritisi, dan memberikan arahan pada penulis dalam
rangka menyempurnakan skripsi yang penulissusun.
9. KH. Sofwan Abdul Ghoni dan segenap pengurus pondokpesantren Baitul
Burhan yang telah membantu dan mempermudah penulis dalam
melakukan penelitian sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
dengan baik
10. Ibunda tercinta, mak Enah yang selalu memberikan do’a, nasihat,
motivasi,dukungan, dan kasih sayang yang tulussehingga penulis bisa
sampai pada titik ini. Salam ta’dzim dari anakmu.
viii
11. Ayahanda alm. bpk. Sai’ih yang selalu penulis rindukan. Meski tak pernah
melihat wajahnya, tapi cerita tentangnya selalu membawa kebanggaan.
Do’a dan harapanya lah yang mengantarkan penulis sampai di sini.
12. Istriku tercinta Wikoyati, S.Pdyang begitu sabar memberi support,
perhatian,dando’a pada penulis dalam menyelsaikan penulisan skripsi ini.
Juga malaikat kecilku yang saat ini berusia 8 bulan dalam kandungan, tak
sabar rasanya menunggu kehadiranmu.Kalianlah alasan dari semua ini.
13. Keluarga besarku teh Entin, kang Endam, kang Inang, kang Nawi, teh
Yayah. Berkat doa dan dukungannya penulis bisa menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
14. Keluarga besar bapak Wahidin dan Ibu Fauziah. Dini Nasihah, a Wandi,
Syifa Qolbiyah, Aulia Zahrotunnisa, dan Melani Salsabila yang selama ini
selau direpotkan oleh penulis, namun tak pernah henti-hentinya berdo’a
dan memberikan dukunganuntuk kesuksesan penulis. Semoga menjadi
amal shaleh yang akan diganti dengan kebaikan oleh Allah SWT. Penulis
berharap tidak mengecewakannya dan bisa membalas jasa-jasanya.
15. Keluarga besar KPI G angkatan 2009. Terima kasih banyak atas
dukungan, do’a, dan motivasi selama menjalani kuliah di kampus ini.
Kalian adalah pengalaman indah yang tak terlupakan. Semoga ikatan
silaturrahim kita akan tetap terjaga selamanya.
16. Keluarga besar KMIK (Keluarga Mahasiswa Islam Karawang) Jakarta.
yang telah memberikan warna lain selama penulis kuliah dan tinggal di
Ciputat. Semoga tetap jaya dan ikatan kelurga kita akan terus terjalin
meski status memisahkan kita.
ix
Akhir kata, semoga dukungansemua pihak dalam bentuk apapun
senantiasa dibalas oleh Allah SWT dengan limpahan karunia dan keberkahan-
Nya. Amin Yaa Robbal Aalamiin.
Jakarta, 19 September 2014
Muhammad Edi Abdillah
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................................... x
BAB IPENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah ......................................................................... 1
B. PembatasandanPerumusanMasalah ...................................................... 5
C. TujuandanManfaatPenelitian ................................................................ 5
D. MetodologiPenelitian ........................................................................... 6
E. TinjauanPustaka ................................................................................... 9
F. SistematikaPenulisan. ........................................................................... 9
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Dakwah ................................................................................................. 12
1. PengertianDakwah ......................................................................... 12
2. RuangLingkupDakwah .................................................................. 16
3. PendekatanDakwah ....................................................................... 17
B. PondokPesantren .................................................................................. 18
1. PengertianPondokPesantren .......................................................... 18
2. SejarahPondokPesantren ............................................................... 19
3. Unsur-UnsurPondokPesantren ...................................................... 21
xi
4. Jenis-JenisPondokPesantren .......................................................... 22
5. Model Pembelajaran di Pesantren ................................................. 25
BAB III PROFIL AJENGAN SOFWAN ABDUL GHANI DAN PONDOK
PESANTREN BAITUL BURHAN
A. ProfilAjenganSofwan Abdul Ghoni
1. RiwayatHidup ................................................................................ 30
2. RiwayatKeluarga ........................................................................... 36
3. RiwayatPendidikan ........................................................................ 37
B. ProfilPondokPesantrenBaitulBurhan
1. Sejarah ........................................................................................... 40
2. VisidanMisi ................................................................................... 45
3. StrukturKepengurusan ................................................................... 45
4. Sistem Pembagian Kelas ............................................................... 47
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
A. AktifitasTabligh
1. Mengajar di Pesantren ................................................................... 49
2. PengajianBapak-BapakdanIbu-Ibu di Pesantren ........................... 50
3. MengisiPengajianRutinLuarPesantren .......................................... 51
4. CeramahKeagamaan ...................................................................... 51
B. AktifitasPengembanganMasyarakat
1. Usaha Produksi Susu Sari Kedelai Murni ..................................... 52
2. Pertanian ........................................................................................ 54
3. Poskestren ...................................................................................... 55
xii
C. AktifitasManajemenDakwah
1. MenjadiKetua MUI KecamatanTempuran .................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 59
B. Saran ..................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 61
LAMPIRAN ......................................................................................................... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang khas
dalam sejarah pendidikan Islam di dunia.Pasalnya pondok pesantren
merupakan produk asli bangsa Indonesia dan hanya bisa ditemukan di
Indonesia. Walaupun ada perbedaan pandangan mengenai asal-muasal proses
lahirnya pondok pesantren. Tetapi mayoritas para peneliti, seperti Karel
Steenbrink, Cliffordrd Geerts, dan yang lainya sepakat dengan hal ini1.Senada
dengan pandangan tersebut, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa dari segi
historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga
mengandung makna keaslian Indonesia (Indigenous).2
Sebagai institusi pendidikan sekaligus institusi dakwah Islam paling
tua di Indonesia, pesantren memiliki akar sejarah yang jelas.Perintis pertama
yang mengawali berdirinya pondok pesantren dapat ditelusuri dengan jelas,
walaupun ada sedikit pandangan yang berbeda.Namun perbedaan itu tidak
mengurangi apalagi memutus tali sejarah berdirinya pondok pesantren.Dari
beberapa pandangan, nampaknya analisis Lembaga Research Islam
(Pesantren Luhur) bisa dijadikan pedoman.Dikatakan bahwa Maulana Malik
Ibrahim adalah sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pondok
pesantren.Adapun Sunan Gunung Djati mendirikan pondok pesantren
1 Amin Haedari, dkk.,Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Komplesitas Global (Jakarta: IRD PRESS, 2005), h. 1. 2 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 3.
1
2
setelahnya.Hal itu dlihat dari selisih masa hidup keduanya yang terpaut ±103
tahun.3Yang dianggap cukup untuk menetukan perbedaan generasi keduanya.
Dari sejarahnya sebagaimana dijelaskan di atas, tentunya menambah
keyakinan kita bahwa pondok pesantren memang produk asli bangsa
Indonesia.Sampai saat ini eksistensinya masih tetap terjaga.Bahkan
mengalami kemajuan yang sangat pesat, melebihi kemajuan sistem
pendidikan modern di tanah air.
Sejalan dengan pesatnya kemajuan dunia dalam semua aspeknya,
menghadirkan tantangan yang cukup berat bagi pondok pesantren.Sebagai
institusi dakwah yang sudah mapan dan sebagai benteng terakhir pertahanan
moral bangsa, pondok pesantren harus mampu berinovasi dalam
pengembangan sistem pendidikan dan mampu beradaptasi dengan kondisi
masyarakat yang ada. Secara otomatis para kyai pimpinan pesantren-lah yang
punya peran sentral dalam melakukan itu. Karena pesantren adalah wujud
nyata dari semangat dakwah yang dibawa oleh mereka.Banyak pondok
pesantren yang gugur dalam menghadapi derasnya perkembangan
zaman.Tetapi tidak sedikit pula pondok pesantren yang mampu bertahan
bahkan menjadi pusat peradaban di wilayahnya.
Tujuan utama didirikannya pondok pesantren adalah Dakwah
Islamiyah.Sejalan dengan semangat kyai yang mendirikannya. Dengan cara
inilah proses transformasi nilai-nilai keislaman selama ini berlangsung.
Sebelum maraknya kegiatan tabligh yang sering kita lihat di layar TV
sekarang ini. Walaupun tidak bisa menyentuh mad’u secara luas, tetapi
3 Mujamil Qomar, PESANTREN: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi (Jakarta: Erlangga), h. 9.
3
kegiatan dakwah bisa dilakukukan secara komprehensif di
lingkungannya.Karena terlibat langsung dalam aktifitas keseharian
masyarakat sebagai mad’u, bahkan menjadi bagian darinya.
Problematika ummat adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh
paraagen dakwah, tidak hanya sebatas teoritis tetapi juga dalam bentuk-
bentuk lain yang mungkin lebih kompleks.Atas dasar itulah para agen dakwah
dituntut untuk mampu berinovasi dalam melakukan kegiatan dakwahnya. Jika
itu tidak dilakukan, maka tujuan dakwah akan sulit tercapai.
Sebelah utara kota Karawang. Tepatnya di kampung Jarakah desa
Lemahduhur kecamatan Tempuran kabupaten Karawang. Terdapat sebuah
pondok pesantren dengan nama Baitul Burhan yang cukup populer di wilayah
Karawang. Kepopuleran itu tidak lepas dari keberhasilan dalammelakukan
kegiatan dakwahnya. Setidaknya ada beberapa indikasi sederhana yang
menunjukan keberhasilan tersebut diataranya jumlah santri yang banyak dan
stabil, bangunan yang terus berkembang, respon positif masyarakat, dan
dukungan dari para ulama setempat juga aparatur pemerintahan.
Sejauh pengetahuan penulis, ada banyak pondok pesantren di wilayah
ini.Tetapi kebanyakan kondisinya antara hidup dan mati.Paling tidak
beberapa indikasi keberhasilan di atas tidak ditemukan di dalamnya. Hal ini
tentunya menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kondisi itu terjadi, apakah
dakwah yang dilakukan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, ataukah ada
hal lain. tentunya hal ini perlu diteliti lebih jauh lagi.
4
Al-Qur’an memberikan beberapa gambaran mengenai bagaimana
seharusnya dakwah itu dilakukan. Sebagaimana tercantum dalam surat an-
Nahl ayat 125.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Berdasarkan ayat di atas, ada tiga pendekatan dakwah dalam kontek
dakwah bil al lisan.Diantaranya, al-Hikmah, Mau’idzatul Hasanah, dan
Mujadalah Bi-Al-Lati Hiya Ahsan.Kata hikmah memiliki pengertian yang
sangat luas.Menurut M. Abduh sebagaimana dikutip oleh M. Munir dalam
bukunya yang berjudul Metode Dakwah, kata al-Hikmah dalam ayat di atas
didefinisikan sebagai ilmu yang sahih (benar dan sehat) yang menggerakan
kemauan untuk melakukan sesuatu perrbuatan yang bermanfaat (berguna).
Dalam sumber yang sama disimpulkan bahwa metode dakwah dapat
dikategorikan ke dalam metode dakwah Bil al-Hikmah.Dimana metode
dakwah menggunakan pendekatan yang nyata dalam berdakwah, dengan
memperhatikan kondisi mad’u.4Ini tentu hanya pedoman umum saja. Untuk
bisa mengekspresikannya menjadi kegiatan dakwah yang menarik dan bisa
diterima di masyarakat tentu memerlukan kreatifitas dari setiap agen dakwah..
Berkaitan dengan itu ada hal yang ingin penulis ketahui lebih jauh lagi
yaitu mengenai dakwah dan pendekatannya khusunya yang dipraktekan
4 M. Munir, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h. 214.
5
langsung oleh para da’i.Sebagai respon mereka terhadap kondisi masyarakat
sebagai objek dakwahnya (Mad’u). Karenannya dalam penelitian ini penulis
mengangkat judul “DAKWAH AJENGAN SOFWAN ABDUL GHONI
PADA PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN KARAWANG
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup penelitian, sehingga menjadi
lebih fokus dan terarah, maka penulis membatasi penelitian ini hanya
pada persoalan dakwahdan pendekatannya yang dilakukan Ajengan
Sofwan Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghani di pondok
pesantren Baitul Burhan?
b. Pendekatan apa yang digunakan Ajengan Sofwan Abdul Ghani
dalam melakukan dakwahnya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana
dakwah yang dilakukan Ajengan Sofwan Abdul Ghani di pondok
pesantren Baitul Burhan. Selain itu juga untuk mengetahui pendekatan
apa yang digunakannya.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dapat dilihat dari dua aspek.Yaitu aspek
akademis dan aspek praktis. Adapun isi dari keduanya sebagai berikut:
6
a. Aspek Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
pengetahuan dalam kajian Ilmu Dakwah.Juga sebagai tambahan
referensi bagi peneliti selanjutnya yang memiliki minat dalam
bidang ini.
b. Aspek Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi,
pengetahuan, masukan, juga pedoman bagi para pimpinan pondok
pesantren khusunya yang ada di wilayah tempat penelitian
berlangsung, Sehingga mampu mengembangkan kegiatan-kegiatan
dakwah yang sudah ada menjadi bentuk-bentuk lain yang lebih
menarik dan relevan dengan kondisi masyarakat sekitar. Bagi
pondok pesantren Baitul Burhan semoga bisa menjadi masukan
dalam upaya meningkatkan kualitas pesantren.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan jenis
penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian
deskriptif bertujuan menggambarkan secara cermat karakteristik suatu
gejala atau masalah yang diteliti dan berusaha mendapatkan dan
menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti dan lengkap tanpa banyak
detail yang tidak penting.5
5 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h.28.
7
Penelitian kualitatif adalah untuk memberikan gambaraan tentang
suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih.6 Dalam sumber
lain dikatakan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrument kunci
dan hasil penelitian lebih menekankan makana daripada
generalisasi.7Karena itulah, peneliti menganggap penggunaan pendekatan
kualitatif dalam penelitian ini cukup sesuai.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah
pimpinan dan pengurus pondok pesantren Baitul Burhan.Sedangkan yang
menjadi objek penelitian adalah dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghani
pada Pondok Pesantren Baitul Burhan.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah suatu cara penelitian untuk memperoleh data
dalam bentuk pengamatan dan pencatatan dengan sistematis tentang
fenomena yang diselidiki.8 Adapun jenis observasi apa yang akan
digunakan akan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Jika
diperlukan, mungkin ketiga jenis observasi akan peneliti gunakan.
Tetapi tetap melalui prosedur tahapan observasi yang sudah
disepakati.Diantaranya observasi deskripsi, reduksi, dan seleksi.9
b. Wawancara
6 Irwan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 35.
7 Sugiyono, Memahami penelitian kualitatif (Bandung: ALFABETA, 2010), h. 1.
8 Muhammad Natsir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 234.
9 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 70.
8
Wawancara adalah salah satu tehnik pengumpulan data dengan
cara bertanya langsung kepada narasumber. Sehingga dengan
wawancara peneliti akan memperoleh data-data yang lebih mendalam
tentang persoalan yang sedang diteliti. Menurut Estemberg (2002)
sebagaimana dikutip oleh prof. Dr. Sugiono dalam “memahami
penelitian kualitatif”, mengemukakan beberapa jenis wawancara,
yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur.
Berkaitan dengan itu, dalam penelitian ini wawancara semi
terstruktur mungkin akan lebih banyak digunakan. Wawancara semi
terstruktur dalam pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan
wawancara terstruktur.Tujuannya untuk menemukan permasalahan
secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta
pendapat dan ide-idenya.10
Narasumber utama wawancara dalam penelitian ini adalah
ajengan Sofwan Abdul Ghoni sebagai pimpinan pondok pesantren
Baitul Burhan.Adapun narasumber lain akan disesuaikan dengan
perkembangan hasil temuan di lapangan dan kebutuhan data dalam
penelitian.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan yang telah berlalu.Bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari
seseorang.11
Cara ini perlu peneliti gunakan, mengingat penelitian ini
berkaitan dengan sebuah institusi dakwah yang sudah cukup lama
10
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 73. 11
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 82.
9
keberadaannya.Tentunya memiliki catatan-catatan sejarah atau
dokumen-dokumen yang mengiringi perjalanannya. Peneliti berharap,
dengan menggunakan tehnik ini akan memperoleh data-data yang
lebih koprehensif.
E. Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan kajian pustaka
terlebih dahulu. Dalam kegiatan tersebut ditemukan beberapa karya ilmiah
yang membahas tema yang hampir sama. Peneliti menjadikan karya ilmiah
tersebut sebagai panduan sekaligus pembanding dalam penelitian ini.
Diantara karya ilmiah tersebut adalah:
- Skripsi dengan judul “Aktifitas Dakwah K.H. Ahmad Syahid” oleh Nurul
Fachri tahun 2012.
Karya ilmiah di atas memiliki kesamaan dalam hal objek penelitian yaitu
“Dakwah” namun subjek penelitiannya berbeda. Selain itu, fokus
pembahasan atau penekanannya pun tidak sama.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan, maka perlu dibuat sistematika
penulisan. Dalam kesempatan ini peneliti membuat sistematika penulisan
yang terdiri dari lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab dengan
penyusunan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
10
manfaat penelitian, tinjauan Pustaka, metodologi Penelitian, dan
sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Bab iiakanmembahas mengenai penjelasan secara teoritis
dari konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini misalnya
mengenai pengertian dakwah, ruang lingkupdakwah, pendekatan
dakwah, pengertian pondok pesantren, sejarah pondok pesantren,
Jenis-Jenis Pondok Pesantren, unsur-unsur pondok pesantren dan
model pengajaran di pesaantren.
BAB III PROFIL AJENGAN SOFWAN ABDUL GHANI DAN
PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN
Pada bab iii penulis akan membahas mengenai profil
ajengan Sofwan Abdul Ghoni yang di dalamnya mencakup riwayat
hidup, riwayat keluarga, dan riwayat pendidikan. Selain itu juga
akan dibahas mengenai profil pondok pesantren Baitul
Burhankhususnya mengenai sejarah berdirinya, visi dan misi,
struktur kepengurusan, dan system pengajaran.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DAKWAH AJENGAN SOFWAN
ABDUL GHANI PADA PONDOK PESANTREN BAITUL
BURHAN KARAWANG
Dalam bab ini akan dibahas mengenai temuan-temuan dan
analisis mengenai dakwah yyang dilakukan oleh ajengan Sofwan
Abdul Ghoni pada pondok pesantren Baitul Burhan meliputi
kegiatan tabligh, pengembangan masyarakat, dan manajemen
11
dakwah. selain itu akan dibahas juga mengenai pendekatan yang
digunakan Ajengan Sofwan Abdul Ghani dalam melakukan
dakwahnya
BAB V PENUTUP
Dalam ban penutup penulis akan membahas kesimpulan
dari hasil penelitian secara keseluruhan. Tentunya yang
berhubungan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini.
Selanjutnya akan ditulis saran-saran baik kepada peneliti yang
minat di bidang ini maupun lembaga-lembaga terkait khususnya
pondok pesantren Baitul Burhan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Dalam bahasa arab kata “Dakwah” berarti panggilan, ajakan,
seruan, atau undangan.1 Diambil dari kata دعوة -يدعو -دعا , yang secara
lughawi (etimologi) memiliki kesamaan makna dengan kata al nida
( النداء) yang berarti menyeru atau memanggil.2
“Ketika menjelaskan istilah tersebut, pakar bahasa Ibn Manzur
menyebutkan beberapa arti yang terkandung seperti berikut: Pertama,
meminta pertolongan ( االستغاثة) seperti ucapan seseorang ketika bertemu
musuhnya dalam keadaan sendirian fad’u al-muslimin yang menurut Ibn
Manzur dapat disamakan dengan, istaghitsu al-muslimin (minta tolonglah
pada muslimun). Kedua, menghambakan diri (Ibadah), baik kepada Allah
SWT. Maupun kepada selain Allah SWT. Seperti dalam firman-Nya (QS.
al-A’raf/7: 194). Ketiga, memanjatkan permohonan kepada Allah SWT.
(berdoa), seperti dalam firman-Nya (QS. al-Baqarah/2: 168). Keempat,
persaksian Islam (Syahadat al-Islam), seperti surat Nabi Muhammad
SAW. Kepada Heraklius “…..أدعوك بدعاية اإلسال م ” (aku memanggil kamu
dengan persaksian Islam). Kelima, memanggil atau mengundang (al-nida).
Seperti dalam firman Allah SWT. (QS. al-Ahzab/33: 46). Senada dengan
Ibn Manzur, pakar al-Qur’an kenamaan al-Asfihany menyebutkan adanya
1 Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Widjaya, 1985), cet. Ke-4, h. 1.
2 A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, FILSAFAT DAKWAH: Rekayasa Membangun Agama
dan Peradaban Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 27.
12
13
kesamaan data al-du’a dengan al-nida yang berarti memanggil namun
dengan argument yang berbeda. Kesimpulan ini oleh al-Asfahany
didasarkan atas firman Allah SWT.
Janganlah kamu memanggil Rasul sebagai panggilan sesama kamu
saja. Sesungguhnya Tuhan mengetahui orang yang keluar bersembunyi-
sembunyi di antara kamu sambil diam-diam. Maka hendaklah orang-
orang yang melanggar ketentuan Rasul itu awas menjaga supaya jangan
ditimpakan Tuhan kepada mereka ujian ataupun ditimpa mereka oleh azab
siksa yang pedih(QS. an-Nur/24: 63).
Islam disebut sebagai agama dakwah (din al-da’wah), karena ia
mengajak orang agar berkenan mengikuti seruannya.”3
Secara terminologi banyak para ahli yang memberikan definisi
dakwah. Diantaranya sebagai berikut:
1) Menurut Toha Yahya Qomar
Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada
jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan
kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.4
2) Menurut Jumu’ah Amin Abdul Aziz
Dakwah adalah menyeru manusia kepada Islam yang hanif
dengan keutuhan dan keuniversalanya, dengan syi’ar-syi’ar dan
syariatnya, dengan akidah dan kemuliaan akhlaknya, dengan metode
3 Ismail dan Hotman, Filsafat Dakwah, h. 8.
4 Omar, Ilmu Dakwah, h. 1
14
dakwahnya yang bijaksana dan sarana-sarananya yang unik, serta cara-
cara penyampaiannya yang benar.5
3) Menurut M.Quraish Shihab
Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha
mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik
terhadap pribadi maupun masyarakat. Perwujudan dakwah bukan
sekedar usaha penigkatan pemahaman dalam tingkah laku dan
pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas.
Apalagi pada masa sekarang ini, ia harus lebih berperan menuju
kepada pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh dalam berbagai
aspek kehidupan.6
4) Samsul Munir Amin
Dakwah adalah suatu aktifitas yang dilakukan secara sadar dalam
rangka menyampaikan pesan-pesan agama Islam kepada orang lain
agar mereka menerima ajaran Islam tersebut dan menjalankannya
dengan baik dalam kehidupan individual maupun bermasyarakat untuk
mencapai kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat,
dengan menggunakan media dan cara-cara tertentu.7
5) Tarmizi Taher
Dakwah adalah upaya untuk mengajak seseorang atau kelompok
orang (masyarakat) agar memeluk dan mengamalkan ajaran Islam ke
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini dakwah dapat
5 Jumu’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011),
h.64. 6 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), h. 194.
7 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 5.
15
dimaknai sebagai sarana pembangunan kualitas sumber daya manusia
(SDM), pengetasan kemiskinan, memerangi kebodohan dan
keterbelakangan, serta mewujudkan agenda pembebasan.8
6) Syekh Ali Mahfuz
Mengartikan dakwah dengan mengajak manusia kepada kebaikan
dan petunjuk Allah SWT. Menyeru mereka kepada kebiasaan yang
baik dan melarang mereka dari kebiasaan buruk supaya mendapatkan
keberuntungan di dunia dan akhirat.9
7) Letjend. H. Soedirman
Mendefinisikan dakwah sebagai usaha untuk merealisasikan
ajaran Islam di dalam kenyataan hidup sehari-hari baik kehidupan
seseorang, maupun kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan tata
hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan ummat, untuk
memperoleh keridhoan Allah SWT.10
Meskipun terdapat perbedaan redaksi dalam mendefinisikan
dakwah. Tetapi ada kesimpulan-kesimpulan yang bisa diambil dari
definisi-definisi di atas.
Pertama, bahwa dakwah merupakan proses penyelenggaraan
suatu usaha atau aktifitas yang dilakukan secara sadar dan disengaja.
Kedua, dasar dakwah adalah mengajak manusia kepada ajaran Allah
AWT. Demi kemaslahatan baik secara individual maupun sosial
kemasyarakatan. Ketiga, bahwa pada dasarnya kewajiban dakwah
8Nurul Badru Tamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher (Jakarta: Grafindo Khazanah
Ilmu, 2005), h. 96. 9 Ismail dan Hotman, FILSAFAT DAKWAH, h. 28.
10 Hasanudin, Manajemen Dakwah (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). Cet. I, h.41.
16
adalah menyampaikan yang benar (ajaran Islam) dan mencegah hal-hal
yang bersifat munkar (niat, sifat, dan tingkah laku). Keempat, bahwa
proses penyelenggaraan usaha tersebut dilakukan untuk mencapai
tujuan tertentu, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di
akhirat serta keridhoan Allah SWT. Kelima, untuk mencapai semua itu,
maka dalam dakwah terdapat upaya mempengaruhi orang lain agar
mau “menganut, menyetujui, dan melaksanakan suatu ideologi,
pendapat, atau pekerjaan tertentu.”11
Secara garis besar, ada dua pengertian yang selama ini hidup
dalam pemikiran dakwah. Pertama, bahwa dakwah diberi pengertian
tabligh/penyiaran/penerangan agama. Kedua. Bahwa dakwah diberi
pengertian semua usaha merealisir ajaran Islam dalam semua segi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin.12
Berdasarkan semua uraian di atas, nampaknya pengertian yang
kedua lebih representatif untuk menjelaskan mengenai dakwah.
Sedangkan pengertian yang pertama merupakan salah satu bagian di
dalamnya. Kesimpulannya dakwah mempunyai bentuk dan pengertian
yang lebih luas dari sekedar tabligh atau penyiaran (bil al-Lisan).
2. Ruang Lingkup Dakwah
Berdasarkan pengertian dan penjelasan di atas mengenai dakwah,
memungkinkan adanya bentuk-bentuk dakwah yang variatif yang
dilakukan oleh para agen dakwah (Da’i). Tentunya sesuai dengan
keyakinan dan pemahaman yang dimilikinya. Namun secara umum
11
Hasanudin, Manajemen Dakwah, h. 42. 12
Hasanudin, Manajemen Dakwah, h. 42.
17
dakwah dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk. Pertama, kegiatan Tabligh
(dakwah bil al-lisan). Kegiatan pokoknya adalah sosialisasi, internalisasi,
dan eksternalisasi ajaran Islam. Kedua, kegiatan pengembangan
masyarakat, kegiatan pokoknya meliputi transformasi dan pelembagaan
ajaran Islam ke dalam realitas Islam (khairu ummah). Ketiga, kegiatan
manajemen dakwah. kegiatan pokoknya meliputi penyusunan kebijakan,
perencanaan program, pengorganisasian program, monitoring, dan
evaluasi dakwah.13
3. Pendekatan Dakwah
a. Pendekatan Kultural
Adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam
kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha
meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara Islam dan politik
atau Islam dan Negara.14
b. Pendekatan struktural
Gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan. Aktivis dakwah
struktural yang bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan
memanfaatkan struktur sosial, politik, maupun ekonomi yang ada guna
menjadikan Islam menjadi ideology negara, nilai-nilai Islam
mengejawantah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.15
13
Hasanudin, Manajemen Dakwah, h. 51-52. 14
Samsul munir amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: Amzah, 2009),h.161. 15
Samsul munir amin, Ilmu Dakwah, h.162.
18
B. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Kata pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) dipakai dalam bahasa
Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga
“pndok” diturunkan dari kata Arab “funduk” (ruang tidur, wisma, hotel
sederhana).16
Kata pesantren yang terdiri dari kata asal “santri” awalan “pe” dan
akhiran “an”, yang menentukan tempat, jadi berarti “tempat para santri”.
Kadang-kadang ikatan kata “sant” (manusia baik) dihubungkan dengan
suku kata “tra” (suka menolong)”, sehingga kata pesantren dapat berarti
“tempat pendidikan manusia baik-baik”.17
Mengenai istilah “santri” menurut Nurcholish Madjid setidaknya ada
dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan. Pertama, pendapat yang
menyatakan bahwa “santri” itu berasal dari kata “sastri” sebuah kata dari
bahasa sansekerta, yang artinya “melek huruf”. Kedua, pendapat yang
mengatakan bahwa “santri” berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata
cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke
mana guru ini pergi menetap.18
Tetapi dalam pendapat lain disebutkan bahwa istilah santri sendiri
berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. C.C Berg meyatakan
bahwa akar kata santri berasal dari shastri bahasa India yang berarti orang
yang tahu buku-buku Agama Hindu. Kata shastri sendiri berasal dari
16
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Pembahasan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 98. 17
Ziemek, Pesantren dalam Pembahasan Sosial, h. 99. 18
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, h. 19.
19
shastra yang berarti buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang
ilmu pengetahuan.19
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan
pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren.
Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali
sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari
dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren.20
2. Sejarah Pondok Pesantren
Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna
keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia
(Indigenous).21
Sebagai model pendidikan yang memiliki karakter khusus
dalam perspektif wacana pendidikan nasional sekarang ini, sistem pondok
pesantren telah mmengundang spekulasi yang bermacam-macam. Minimal
ada tujuh teori yang mengungkapkan spekulasi tersebut. Teoripertama
menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan atau
adaptasi terhadap pendidikan hindu dan budha sebelum Islam datang ke
Indonesia. Teori kedua, mengklaim berasal dari India. Teori ketiga,
menyatakan bahwa model pendidikan pondok pesantren ditemukan di
Baghdad. Teori keempat, bersumber dari perpaduan Hindu-Budha (pra
muslim di Indonesia dan India. Teori kelima, mengungkapkan dari
kebudayaan Hindu-Budha dan Arab. Teori keenam, menegaskan dari India
19
Habibullah Bahwi, “Peran Intelektual Pesantren Indonesia dan Hauzah Iran,” artikel
diakses pada 6 Desember 2013
darihttp://citation.itb.ac.id/pdf/JURNAL/KARSA,JurnalSosialdanBudayaKeislaman/Vol%2020,%
20No%201%20(2012)/128-131-1-PB.pdf 20
Qomar, PESANTREN, h. 1. 21
Madjid, Bilik-BilikPesantren, h. 3.
20
dan orang Islam Indonesia. Teori ketujuh, menilai dari India, Timur
Tengah dan tradisi lokal yang lebih tua.22
Agaknya pesantren terbentuk atas pengaruh India, Arab, dan tradisi
Indonesia sebagaimana dimaksudkan teori terakhir. Ketiga tempat ini
merupakan arus utama dalam mempengaruhi tebentuknya sistem
pendidikan pesantren. Arab sebagai tempat kelahiran Islam mengilhami
segala bentuk pengajaran dan pendidikan Islam. India minimal menjadi
daerah transit para penyebar Islam masa awal. Sedang Indonesia saat
kehadiran pesantren didominasi Hindu-Budha dijadikan pertimbangan
dalam membangun sistem pesantren sebagai bentuk akulturasi
(acculturation) atau kontak budaya (culture contact).23
Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa lembaga
yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa
kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan
mengIslamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak
mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.24
Dikalangan para ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat dalam
menyebutkan pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka
menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, atau yang dikenal dengan
Syaikh Maghribi dari Gujarat India sebagai pendiri atau pencipta pondok
pesantren yang pertama di Jawa. Namun menurut S.M.N. A-attas
Maulana Malik Ibrahim itu oleh para ahli dikenal sebagai penyebar Islam
pertama di Jawa, yang mengIslamkan wilayah-wilayah pesisir utara Jawa,
22
Qomar, PESANTREN, h. 1o 23
Qomar, PESANTREN, h. 1o. 24
Majid, Bilik-Bilik Pesantren, h. 3
21
bahkan berkali-kali mencoba menyadarkan raja Hindu-Budha Majapahit,
Vikramavardhana (berkuasa 788-833/1386-1429 agar sudi masuk Islam.
Akan tetapi mengingat pesantren yang dirintis Maulana Malik Ibrahim itu
belum jelas sistemnya, maka keberadaan pesantrennya masih dianggap
spekulatif. Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di
Jawa khususnya, agaknya analisis lembaga research Islam (pesantren luhur
cukup cermat dan dapat dijadikan pedoman. Dikatakan bahwa Maulana
Malik Ibrahim sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya
pesantren, sedang Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) sebagai wali
pembina pertama di Jawa Timur. Ia juga mendirikan pusat pendidikan dan
pengajaran yang kemudian disebut dengan pesantren Kembang Kuning
Surabaya.25
3. Unsur-Unsur Pondok Pesantren
Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari
beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen
pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelima
elemen atau unsur tersebut meliputi:
a. Kyai
b. Santri
c. Pondok
d. Masjid
25
Qomar, PESANTREN, h. 9.
22
e. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut
dengan kitab kuning.26
Senanda dengan pendapat di atas, Ziemek menyebutkan bahwa
unsur-unsur pesantren yang tersebar luas di Indonesia diantaranya:
a. Kyai sebagai pendiri
b. Santri
c. Masjid atau Langgar
d. Asrama untuk pelajar serta ruangan-ruangan belajar.27
4. Jenis-Jenis Pondok Pesantren
Pesantren terbentuk dari hasil usaha mandiri kyai dengan dibantu
santri dan masyarakat sekitar, sehingga memiliki berbagai bentuk. Setiap
pesantren memiliki ciri khusus akibat perbedaan selera kyai dan keadaan
sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya.28
Kemunculan pesantren memang sangat tergantung pada figur
seorang kyai sebagai pendirinya. Tanpa kyai, siklus pesantren akan
terputus dan akan berjalan timpang, atau bisa saja buyar. Karenanya, kyai
menjadi sosok sentral yang paling diagungkan di lingkungan pesantren.
Posisinya yang demikian tinggi itu memaksa lembaga ini harus tunduk dan
patuh sepenuhnya di bawah kehendak sang kyai, karena otoritas
sepenuhnya berada dalam genggamannya. Maka dari itu, jatuh bangunnya
sebuah pesantren sangatlah tergantung pada kuat tidaknya seorang kyai
memikul beban lembaganya. Karena porsi ketergantungannya pada sosok
26
Amin Haedari, Masa depan pesantren dalam tantangan modernitas dan tantangan
komplesitas global (Jakarta: IRD PRESS, 2004), cet. I. h. 25. 27
Ziemek,Pesantren dalam Pembahasan Sosial,h. 100. 28
Qomar, Pesantren, h. 16.
23
kyai begitu tinggi, maka gerak lajunya pun tak jarang tersendat oleh
kehendak para kyai. Kondisi inilah yang menjadikan lembaga ini terkesan
lamban dalam merespons perkembangan situasi global. Kalau karakter
kyainya tertutup, maka dapat dipastikan lembaga pesantren yang
diasuhnya juga akan tertutup. Jadi, seperti apapun bentuk pesantren yang
kita saksikan sekarang ini tidak bisa lepas dari hasil perjuangan para kyai.
Format dan sistem apapun yang akan dikembangkan di dalamnya adalah
konsep utuh dari seorang kyai selaku pendirinya.29
Perbedaan corak antar pesantren merupakan hal yang niscaya.
Karena setiap kyai mempunyai latar belakang pendidikan dan selera yang
berbeda. Pengklasifikasian pesantren bisa dilihat dari berbagai perspektif,
diantaranya:
1) Keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
a. Pesantren Salafi
Jenis pesantren ini tetap mengajarkan pengajaran kitab-
kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan
sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang
dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama,
tanpa mengajarkan pengetahuan umum.
b. Pesantren Khalafi
Jenis pesantren ini telah memasukana pelajaran-
pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang
29
Habibullah Bahwi, Peran Intelektual Pesantren Indonesia dan Hauzah Iran.
24
dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di
lingkungan pesantren.
2) Jumlah Santri
a. Pesantren Kecil
biasanya mempunyai santri dibawah seribu dan
pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten.
b. Pesantren Menengah
Biasanya mempunyai seribu sampai dua ribu santri,
yang memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari
berbagai kabupaten.
c. Pesantren Besar
Biasanya memiliki lebih dari dua ribu yang berasal dari
berbagai kabupaten dan propinsi.
3) Sistem Pendidikan
a. Memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kyai,
kurikulum tergantung kyai, dan pengajaran secara individual.
b. Memilik madrasah,kurikulum tertentu, pengajaran bersifat
aplikasi, kyai memberikan pengajaran secara umum dalam
waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk
mengetahui pelajaran agama dan umum.
c. Hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah,
bahkan perguruan tinggi umum atau agama di luar, kyai
sebagai pengawas dan Pembina mental.
4) Berdasarkan Spesifikasi Keilmuan
25
a. Pesantren Alat (mengutamakan penguasaan gramatika bahasa
Arab)
b. Pesantren Fiqih
c. Pesantren Qira’ah
d. Pesantren Tasawuf
5) Jenis Santri
a. Pesantren Khusus Anak
b. Pesantren Khusus Orang Tua
c. Dan pesantren Mahasiswa.30
5. Model Pengajaran di Pesaantren
Pada kebanyakan pesantren salafi (tradisional), metode klasik
kegiatan belajar mengajarnya terdiri dari dua bentuk, yakni 1) Sorogan,
dan 2) Bandungan (Sunda; di Jawa dikenal dengan istilah bandongan
atau wetonan). Sistem sorogan disebut pula dengan sistem individual
(individual learning). Sedangkan, sistem bandungan (bandongan atau
wetonan) disebut pula dengan sistem kolektif (collectival Learning atau
together learning).
1) Sistem Sorogan
Sistem sorogan adalah sistem membaca kitab secara individul,
atau seorang murid nyorog (menghadap guru sendiri-sendiri) untuk
dibacakan (diajarkan) oleh gurunya beberapa bagian dari kitab yang
dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang kali. Pada
prakteknya, seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan
30
Qomar, Pesantren, h. 16-18.
26
kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa
ibunya (misalnya: Sunda atau Jawa). Pada gilirannya murid mengulangi
dan menerjemahkannya kata demi kata (word by word) sepersis
mungkin seperti apa yang diungkapkan oleh gurunya.
Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-
murid yang telah menguasai pembacaan al-Qur’án. Dalam sistem
tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan
secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah
berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Sistem sorogan inilah
yang dianggap fase yang tersulit dari sistem keseluruhan pengajaran
pesantren, karena di sana menuntut kesabaran kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Murid seharusnya sudah
paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan
selanjutnya di pesantren. Sistem sorogan juga digunakan di pondok
pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan
bantuan individual.
2) Sistem Bandungan
Bandungan berasal dari kata ngabandungan yang berarti
"memperhatikan" secara seksama atau "menyimak". Bandungan
merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren.
Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar
menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandungan
atauhalaqohuntuk mengajarkan mulai kitab-kitab elementer sampai
tingkat tinggi,
27
Sistem bandungan adalah sistem transfer keilmuan atau proses
belajar mengajar yang ada di pesantren salaf di mana kyai atau ustad
membacakan kitab, menerjemah dan menerangkan. Sedangkan santri
atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang
disampaikan oleh kyai. Dalam sistem ini, sekelompok murid
mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan
menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas
dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok
siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Penyelenggaraan
kelas bandungan dapat pula dimungkinkan oleh suatu sistem yang
berkembang di pesantren di mana kyai seringkali memerintahkan santri-
santri senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang
mengajar ini mendapat titel ustad (guru).
Sistem bandungan (bandongan atau wetonan) dibangun di atas
filosofis, bahwa 1) pendidikan yang dilakukan secara berjamaah akan
mendapatkan pahala dan berkah lebih banyak dibandingkan secara
individual, 2) pendidikan pesantren merupakan upaya menyerap ilmu
dan barokah sebanyak-banyaknya, sedangkan budaya "pasif" (diam dan
mendengar) adalah sistem yang efektif dan kondusif untuk memperolah
pengetahuan tersebut. 3) pertanyaan, penambahan, dan kritik dari sang
murid pada kyai merupakan hal yang tidak biasa atau tabu, agar tidak
dianggap sebagai tindakan su' al-adab (berakhlak yang tidak baik).31
31
Dadan Rusmana, “Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren” artikel diakses pada 23 Agustus 2013 dari http://dadanrusmana.blogspot.com/2012/05/sorogan-dan-bandungan-sistem-klasik.html
28
Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500)
mendengarkan seorang Guru atau Kyai yang membaca,
menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku
Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan buku atau
kitabnya sendiri dan membuatcatatan-catatan (baik arti maupun
keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok
kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran
murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan
seorang guru. Metode pengajaran bandungan ini adalah metode
bebas, sebab tidak ada absensi santri, dan tidak ada pula sistem
kenaikan kelas. Santri yang sudah menamatkan sebuah kitab boleh
langsung menyambung ke kitab lain yang lebih tinggi dan lebih besar.
Ada dua macam bentuk materi kitab kuning, yaitu (1)
Bentuk nadzm, yang ditulis dalam ritme syair (2) Bentuk essai (natsr)
uraian-uraian masalah. Bentuk yang kedua sering merupakan komentar
terhadap matn (original text), baik yang berupa essai (natsr) maupun
nadzm, seperti kitab syarh (commentaries) Ibnu 'Aqil terhadap Alfiah,
oleh Ibnu Malik, atau berupa essai yang diikuti oleh syawahid (bukti-
bukti teoritis) yang ditulis dalam bentuknadzm, atau tanpa keduanya.
Dalam mengajarkan kitab yang di dalamnya adanadzm, baik yang
berfungsi sebagai matn ataupun syawahid, Kyai ataupun Guru
menyuruh santri menghafalkan nadzm-nadzm yang ada, kemudian
melafalkan tanpa membaca bersama-sama dengan lagu sesuai
29
dengan bahr (aturan nada dan ritme syair Arab) yang ada setiap kali
pengajian akan dilanjutkan.
3) Sistem Musyawarah atau Munadzarah
Pada beberapa pesantren salafiyah yang besar berkembang pula
sistem musyawarah atau munadzarah. Para asatidz (guru-guru) ini
dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yunior (ustad muda), dan
yang senior, mereka menjadi anggota kelas musyawarah. Satu dua ustad
senior yang sudah matang dengan mengajarkan kitab-kitab besar akan
memperoleh gelar kyai muda. Dalam kelas musyawarah sistem
pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Di sini
para santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kyai
memimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum seminar dan
terkadang lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir
seluruhnya diselenggarakan dalam wacana kitab klasik. Wahana
tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan
dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam
klasik.32
32 Dadan Rusmana, “Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren”
artikel diakses pada 23 Agustus 2013 dari http://dadanrusmana.blogspot.com/2012/05/sorogan-
dan-bandungan-sistem-klasik.html
BAB III
PROFIL AJENGAN SOFWAN ABDUL GHONI
DAN PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN
A. Profil Ajengan Sofwan Abdul Ghoni
1. Riwayat Hidup
Ajengan Sofwan Abdul Ghoni atau lebih dikenal dengan sebutan
Ajengan Wawan beliau dilahirkan pada hari Rabu tanggal 5 September
1973 atau dalam penanggalan Hijriyah bertepatan dengan tanggal 7
Sya`ban 1393 H. di kampung Tegal Jati desa Cibogo Hilir kecamatan
Plered kabupaten Purwakarta. Beliau dididik dan dibesarkan dilingkungan
pesantren. Ayahnya adalah seorang ulama sekaligus pengasuh pondok
pesantren Miftahul Huda Al-Burhani Plered Purwakarta. Perjalanan hidup
beliau selalu diwarnai dengan ujian, perjuangan dan pengorbanan. Seperti
lautan yang tak pernah sepi dari hembusan angin dan ombak. Meskipun
putra seorang kyai dan menurut silsilah keluarga beliau adalah keturunan
darah biru, tetapi kehidupannya sangat sederhana. Kesederhanaan itu
terlihat dari sikap dan prilaku kesehariannya. Dalam menu makan saja,
Ajengan Sofwan Abdul Ghoni kecil bersama keluarganya tak jauh dari
ikan asin.1
Ayahnya bukanlah seorang ulama yang punya banyak harta, meski
demikian dia seorang yang sangat dermawan dan selalu mengajarkan
anak-anaknya untuk berderma. Ajaran itulah yang tertanam dalam diri KH.
Sofwan Abdul Ghani sampai sekarang. Tinggal di lingkungan pesantren
1 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014
30
31
membuatnya terbiasa hidup disiplin, terutama dalam hal ibadah. Tidak
banyak waktu yang beliau gunakan untuk bermain-main seperti anak-anak
kecil lain. Hidup dalam keluarga yang sederhana tidak membuatnya
minder atau mengeluh, melainkan beliau sikapi itu dengan penuh
keikhlasan. Sejak masuk SD beliau sudah mulai membantu ibunya
berjualan es mambo, es yang cukup populer saat itu. Sepulang sekolah
beliau menggembala domba. Pernah suatu ketika saat beliau sedang
menggembala domba, biasanya domba-domba itu diikat pada sebuah
pohon. Tiba-tiba tali itu lepas dan domba yang digembalanya berlarian.
Saat mencoba mengejar, tali itu menjerat kakinya sampai beliau terjatuh
dan terluka di bagian paha. Sudah lebih dari 36 tahun kejadian itu terjadi,
bekas luka itu masih ada dan beliau menjadikan itu sebagai pengingat
kenangan masa kecilnya dulu.
Saat duduk di kelas tiga SD beliau pindah ke kota Plered tinggal
bersama kakaknya. Disana betul-betul dilatih hidup disiplin, mandiri, dan
kerja keras. Bangun tidur jam empat pagi karena harus mengisi bak mandi
sampai penuh, maklum pada waktu itu belum ada mesin pompa air jadi
masih manual menggunakan ember yang diikat dengan tali dan ditarik
melalui katrol. Kegiatan itu dilakukan sampai waktu subuh tiba. Pagi-pagi
sebelum berangkat ke sekolah beliau ke pasar terlebih dahulu untuk
membantu kakaknya membuka toko. Setelah semua selesai baru kemudian
berangkat ke sekolah dengan jalan kaki padahal jarak dari toko kakaknya
ke sekolah hampir 4 km. Pulang sekolah langsung ke pasar lagi untuk
membantu kakaknya di toko sampai Maghrib dan malam harinya beliau
32
harus mengaji sampai jam sembilan malam. Rutinitas seperti itulah yang
beliau jalani selama enam tahun, dari kelas tiga SD sampai lulus SMP.
Setelah enam tahun tinggal di kota Plered Purwakarta bersama
kakaknya, beliau kembali ke rumah. Karena pada saat itu KH. Burhanudin
kondisinya sudah mulai sakit-sakitan dan beliau harus membantu ibunya.
Sempat bersekolah di sekolah kesehatan, karena beliau anak yang cerdas,
ada salah satu mantri yang bersimpati dan mau membiayai sekolahnya.
Namun baru satu tahun sekolah beliau keluar. Keputusan itu bukan tanpa
sebab, ia melihat di sekolah puluhan bahkan ratusan calon mantri yang
siap dicetak dan kebanyakan dari mereka adalah anak mantri. Dalam hati
kecilnya bertanya, “ kalau calon mantri sudah sangat banyak, lalu siapa
yang akan menjadi ulama kalau anak kyainya juga jadi mantri?”. Sejak
saat itulah meskipun usianya masih remaja beliau mengambil keputusan
yang cukup berani dengan keluar dari sekolah dan meminta izin kepada
ayahnya untuk menempuh jalur pedidikan pesantren.
Tidak lama setelah niatan itu diutarakan, KH. Burhanudin wafat.
Kejadian itu membuat beliau sangat terpukul dan merasa sangat sedih,
tetapi karena itu juga semangat dan tekat beliau untuk sungguh-sungguh
belajar ilmu agama di pesantren semakin kuat. Tepat setelah 40 hari
ayahnya wafat beliau berangkat ke pesantren. Pesantren yang pertama
yaitu pondok pesantren Baitul Hikmah Tasik Malaya pimpinan KH.
Saefuddin Zuhri.
Kemampuan ilmu nahwu dan sorof sebagai ilmu dasar yang wajib
dikuasai untuk memahami kitab-kitab klasik atau bahasa Arab secara
33
umum beliau dapatkan di sini. Sehingga kemudian pesantren inilah yang
menjadi stereotype bagi pesantren Baitul Burhan yang beliau dirikan.
Beliau terkenal dengan kecerdasan dan kemampuan menghafalnya.
Sehingga dalam dalam kurun waktu empat tahun, beliau sudah menguasai
ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara mendalam dan itu mendapatkan
legitimasi dari KH. Saefuddin Zuhri sebagai pimpinan pesantren. Selain
tempat menimba ilmu, di sinilah beliau memperoleh prinsip-prinsip hidup
yang beliau pegang teguh. beliau juga sempat menimba ilmu dibeberapa
pesantren sebelum akhirnya mukim (menetap di rumah dan mengajar santri
di pesantren ayahnya). Kegigihan, Ketulusan, kejujuran, dan sekaligus
wibawa KH. Saefuddin Zuhri beliau warisi. Terbukti ketika beliau sudah
mukim beliau sangat disegani dan di hormati oleh santri dan pengurus
pesantren. Hal itulah yang kemudian memunculkan kecemburuan sosial
dikalangan pimpinan pesantren yang notabene adalah saudaranya sendiri.2
Untuk menghindari konfilik keluarga dan untuk menjaga
kemaslahatan, akhirnya beliau mengalah sehingga pada tanggal 17 Rojab
1420 H. 26 Oktober 1999 M. Beliau hijrah ke Karawang. Sebetulnya
masalah utamanya adalah karena adanya perbedaan pandangan mengenai
konsep pendidikan pesantren yang ingin diterapkan. Saat itu ada tiga
dewan kyai, diantaranya kakak beliau KH. Jamaludin, adik beliau KH.
Dadah Darulfalah, dan beliau sendiri. Ketiganya punya latar belakang
keilmuan dari pesantren yang berbeda, karena itulah masing-masing punya
misi sebagaimana yang mereka dapatkan di pesantren tempat mereka
2 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014
34
belajar. Kejadian inilah yang kemudian menjadi titik balik kehidupan
ajengan Sofwan Abdul Ghani.
Karawang seperti surga yang Allah Siapkan buatnya. Karena
disinilah beliau mendapatkan lebih dari apa yang diharapkan. Kurang dari
setahun beliau beradaptasi di lingkungan yang baru, bersilaturahmi dengan
tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam rangka menjalankan misi
dakwah yang beliau bawa. Akhirnya beliau mampu membangun sebuah
pondok pesantren. Dengan nama Baitul Burhan tepat pada tahun 1999.
Setelah mendapatkan dukungan keluarga dari istrinya, tokoh masyarakat,
jamaah, dan masyarakat sekitar. Keberadaan pesantren merupakan langkah
beliau dalam upaya menginstitusionalisasikan dakwah yang wujudnya
berupa pondok pesantren.
Seiring berjalannya waktu nama ajengan Sofwan Abdul Ghani
semakin dikenal oleh masyarakat sekitar juga kalangan para ulama di kota
Karawang sebagai sosok kyai muda yang potensial, punya ketegasan, dan
independen. Selain aktifitasnya di pondok pesantren, beliau juga kerap kali
mengisi pengajian-pengajian baik di sekitar Karawang maupun di daerah
lain. Atas kepercayaan masyarakat dan alim ulama setempat, beliau
kemudian dipercaya menjadi ketua MUI di kecamatan Tempuran dan
menjadi anggota dewan fatwa MUI kabupaten Karawang. Hal itu semakin
memudahkan beliau berdakwah dan memberi ruang lebih untuk jalan
dakwahnya.
Baik dalam memimpin pondok pesantren maupun MUI beliau
sangat tegas dan betul-betul teliti dalam setiap mengambil keputusan.
35
Beliau juga termasuk orang yang teguh memegang prinsip hidup dan itu
ditunjukan dalam sikap kesehariannya. Pernah ada perwakilan dari
lembaga international yaitu Qatar Foundation yang datang menawarkan
dana hibah untuk pembanguna pondok pesantren. Nilainya mencapai
milyaran rupiah. Awalnya diterima dengan baik, tetapi setelah ajengan
Sofwan Abdul Ghani tau bahwa Qatar Foundation menjadi salah satu
sponsor utama klub-klub sepakbola terkenal di Eropa seperti FC.
Barcelona. Akhirnya bantuan dana hibah itu tidak diterima. Beliau tidak
ingin pesantren dibangun dengan dana dari sumber yang tidak jelas.
Sebelumnya pernah juga ada bantuan dari salah satu lembaga di Arab
Saudi, namun karena ada syarat yang bertentangan dengan prinsip yang
beliau pegang, bantuan itupun di tolaknya. Kejadian-kejadian itu tentunya
menunjukan bagaimana ketegasan dan keteguhan sikap yang beliau miliki.
Nama besar tidak membuatnya sombong, beliau tetap hidup
sederhana sebagaimana yang diajarkan ayahnya dulu. Meskipun ponpes
Baitul Burhan sudah besar, tetapi hingga kini beliau tidak punya rumah
yang megah. Tak jauh berbeda dari ruangan tempat tinggal para santri,
Sehingga tidak jarang orang tua santri kebingungan mencari rumah kyai
saat berkunjung ke pesantren. Seandainya beliau mau bisa saja
membangun rumah yang megah dan tentunya layak dengan kondisi
pesantren sebesar itu, tapi tidak beliau lakukan. Karena menurutnya seperti
apapun tempat tinggal kita, saat mata sudah terpejam rasanya sama saja.3
3 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014.
36
2. Riwayat Keluarga
Ajengan Sofwan Abdul Ghoniadalah putra ke lima dari enam
bersaudara. Hasil pernikahan KH. Burhanudin dengan istri ke empatnya
yaitu ibu nyai Patonah. jika dilihat dari semua istri KH. Burhanudin,
Ajengan Sofwan Abdul Ghonimerupakan anak ke-12 dari 13 bersaudara.
Pernikahan pertama KH. Burhanudin bersama ibu Engkar Sukarsih
dikarunia tiga orang anak diantaranya ibu Imas Juwairiyah, ust. Asep
Burhanudin, dan ustadzah Zulaeha. Pernikahan ke-dua dengan ibu Danci
dikaruniai satu orang anak yaitu Neneng Armilah pernikahan ketiga yaitu
dengan ibu Nonang dikaruniai tiga orang anak diantaranya Euis Mariyah,
Dadang Bustomi, Endang Abdul Aziz, Aceng Sihabudin Dan yang
terakhir pernikahannya dengan ibu nyai patonah dikarunia enam orang
anak yaitu Hj Popon Solihah, Hj. Lilis Badriyah, KH. Jamaludin, KH.
Sofwan Abdul ghoni, dan KH. Dadah Darul Falah.4
Selain seorang ulama, KH. Burhanudin juga seorang pejuang
kemerdekaan. Beliau adalah salah satu pimpinan Hizbullah yang
bermarkas di gunung Malangbong Garut. pada saat itu zaman pendudukan
jepang di Indonesia.
Ajengan Sofwan Abdul Ghoni menikah diusia 25 tahun dengan
ustadzah Imas, yang juga salah satu santrinya saat di pondok pesantren
Miftahul Huda Al-Burhani. Hingga saat ini beliau dikaruniai tujuh orang
anak. Namun anak pertamanya meninggal dunia saat berusia 1 tahun.
3. Riwayat Pendidikan
4 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014.
37
a. Pendidikan Formal
1) SDN Cibogo Hilir 1 (1979 - 1985)
Ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat
bahwa kalau anak kyai itu cerdas-cerdas. Terlepas apakah itu
benar atau tidak, hal itu terjadi pada diri KH. Sofwan Abdul
Ghoni. Sejak sekolah SD beliau selalu mendapat rangking
pertama mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Selain itu juga
selalu menjadi ketua kelas. Beliau sekolah di SDN Cibogo Hilir
1 kecamatan Plered kabupaten Purwakarta.
2) SMP Negeri 1 Plered Purwakarta (1985 - 1988)
Seperti halnya saat di SD, di SMP pun beliau selalu
menjadi juara pertama. Walaupun dalam kesehariannya beliau
hampir tidak punya waktu untuk belajar, karena harus
membantu kakaknya di pasar. Selain kecerdasan yang beliau
miliki, jiwa kepemimpinan dengan karakter yang kuat sudah
mulai beliau tunjukan. Jika saat SD beliau selalu menjadi ketua
kelas, di SMP beliau menjadi ketua OSIS selama 2 periode.
Yaitu saat duduk di kelas satu dan kelas dua. Saat kelas satu
beliau memberanikan diri mengikuti konvensi bakal calon ketua
OSIS. Padahal yang lain umumnya dari kelas dua. Dalam
beberapa tahapan konvensi beliau selalu unggul. Hingga
akhirnya lolos menjadicalon ketua OSIS. Tanpa diduga pada
saat pemilihan ketua OSIS beliau terpilih. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah SMP Negeri 1 Plered ketua OSIS berasal
38
dari kelas satu. Tentunya faktor karakter kepemimpinan yang
kuat dan kecerdasan yang beliau miliki membuatnya dipercaya
menjadi ketua OSIS. Pada periode berikutnya saat duduk di
kelas dua, beliau terpilih kembali menjadi ketua OSIS. Kejadian
yang jarang ditemukan dalam sejarah OSIS.
Beliau dikenal oleh semua siswa mulai dari kelas satu
sampai kelas tiga juga oleh semua stakeholder sekolah, bahkan
sekolah lainpun tak jarang yang mengenalnya. Namun sayang
karena faktor biaya, setelah lulus SMP beliau tidak melanjutkan
ke jenjang berikutnya.
Selepas SMP beliau dirumah membantu orangtuanya.
Kadang juga jualan minyak tanah atau ikut jualan sayuran
bersama ibunya. Malam harinya beliau ikut mengaji bersama
para santri di pondok pesantren. Rutinitas itulah yang beliau
lakukan selama satu tahun. Sampai akhirnya ada seorang mantri
yang dermawan yang menyekolahkan beliau ke sekolah
kesehatan SPK Cimahi. Namun belum genap satu tahun beliau
berhenti. Karena saat itu beliau mulai tertarik pada dunia
pesantren.
b. Pendidikan Nonformal
1) Pondok Pesantren Baitul Hikmah (Haur Kuning) Tasikmalaya
(1990 -1994)
Pesantren pertama tempat beliau belajar adalah
pondok pesantren Baitul Hikmah (Haur Kuning) Tasikmalaya
39
pimpinan KH. Saefudin Zuhri. Kehidupan pesantren sudah
sangat familiar buat KH. Sofwan Abdul Ghoni, karena saat di
rumahpun tinggal di lingkungan pesantren. Di pesantren ini
kajian ilmu-ilmu alat secara khusus lebih diperdalam. Namun
demikian bukan berarti cabang-cabang ilmu keagamaan lainnya
tidak dipelajari. Seperti ilmu tauhid, fiqih, tasawuf, mantik, dan
lain sebagainya. Beliau termasuk santri yang cerdas dan kuat
hafalannya. Sehingga untuk menhafal kitab Jurumiyah, Yaqulu,
Imriti, dan Alfiyah relatif lebih cepat dibandingkan dengan
rekan-rekannya. Tidak hanya hafal matan-nya saja, beliau juga
memahami makna dan penjelasan dari setiap kata dan
kalimatnya. Hanya dalam kurun waktu empat tahun setengah,
kemampuannya dalam ilmu-ilmu alat sudah mumpuni,
begitupun cabang ilmu-ilmu yang lain. Hal itu mendapatkan
pengakuan dari KH. Saefudin Zuhri sebagai pimpinan pondok
pesantren.
2) Pondok Pesantren Cikalama Cicalengka
3) Pondok Pesantren Al Hidayah Warudoyong Sukabumi5
B. Profil Pondok Pesantren Baitul Burhan
1. Sejarah
Pondok Pesantren Baitul Burhan dibangun pada akhir tahun 1999.
Bertempat di kp. Jarakah 02 RT. 05/02 desa Lemahduhur kecamatan
Tempuran kabupaten Karawang.6 Nama Baitul Burhan diambil dari dua
5Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014
6 Dokumen ponpes Baitul Burhan, profil pondok pesantren Baitul Burhan.
40
nama pesantren. Baitul diambil dari nama depan ponpes Baitul Hikmah
Haur Kuning. Yaitu pesantren pertama beliau menimba ilmu. Kemudian
Burhan diambil dari nama ponpes Miftahul Huda Al-Burhani, yaitu
ponpes milik ayahnya. Maka jadilah nama Baitul Burhan. Pesantren ini
pada awalnya berdiri di tanah seluas 1240 m2
dan hanya memiliki lima
asrama tiga diantaranya asrama putra dan dua asrama putri, satu majlis dan
satu rumah kyai yang letaknya diantara asrama putra dan putri. Tipe
bangunan yang juga ditemukan di pesantren lain pada umumnya. Namun
jika kita biasa menemukan masjid sebagai pusat pendidikan di lingkungan
pesantren, tetapi tidak dengan ponpes Baitul Burhan. Untuk sementara
masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lingkungan pesantren
dijadikan tempat untuk keperluan shalat berjamaah atau acara-acara
keagamaan lainnya.
Cikal bakal berdirinya ponpes Baitul Burhan diawali dari
hijrahnya Ajengan Sofwan Abdul Ghoni dari Plered Purwakarta ke
kampung halaman istrinya yaitu ustadzah Imas di kp. Jarakah desa
Lemahduhur kecamatan Tempuran kabupaten Karawang. Saat tinggal di
Plered beliau menjadi salah satu pengajar di ponpes Miftahul Jannah, yaitu
ponpes milik ayahnya KH. Burhanudin. Ustadzah Imas adalah salah satu
santri putri di pesantren itu, yang notabene adalah santri beliau juga.
Namun karena ada konflik internal disebabkan adanya perbedaan
pandangan mengenai konsep pedidikan pesantren, akhirnya Ajengan
Sofwan Abdul Ghonimemutuskan untuk hijrah ke Karawang Jawa Barat.
41
Ditempat yang baru untuk sementara beliau bersama anak dan
istri tinggal di rumah mertuanya yaitu H. Dasman. Semangat dakwahnya
semakin berkobar, apalagi melihat kondisi masyarakat sekitar yang jauh
dari nilai-nilai keislaman. Banyaknya praktek-praktek kurafat, anak-anak
muda jauh dari masjid, tidak pernah terdengar ada pengajian. Kurang lebih
selama setahun sejak hijrah dari Tegal Jati Plered Purwakarta beliau
beradaptasi dengan lingkungan dan bersosialisasi dengan masyarakat,
melakukan pendekatan kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Kemudian atas dukungan dari keluarga dan keinginan beliau untuk
membuat lembaga pendidikan Islam sehingga kegiatan dakwah yang
selama ini dilakukan ditempat-tempat terpisah bisa disatukan dalam satu
tempat. Atas dasar itulah akhirnya beliau memutuskan untuk membangun
pondok pesantren. Berawal dari sebidang tanah wakaf keluarga, beliau
mulai merintis pembangunan pondok pesantren. Sejak saat itu beliau
bekerja keras mencari dana dengan banyak menemui para donatur lewat
jaringan keluarga, jamaah, sahabat-sahabatnya saat belajar di pesantren,
dan cara-cara lainnya. Namun beliau cukup selektif dan teliti dalam
menerima sumber pendanaan, hal itu dilakukan agar pondok pesantren
yang beliau bangun bebas dari kepentingan apapun. Sehingga kegiatan
dakwah bisa dilakukan dengan maksimal.
Seiring berjalannya waktu, bangunan pesantren mulai berbentuk.
Walaupun masih sangat sederhana. Namun demikian kegiatan-kegiatan
pengajian sudah berjalan dan nuansa pesantren sudah mulai dirasakan oleh
masyarakat sekitar. Sehingga banyak bapak-bapak dan ibu-ibu yang
42
mengikuti pengajian di pesantren. Awalnya hanya masyarakat kp. Jarakah,
tetapi lambat laun banyak jamaah yang datang dari luar desa, kecamatan
bahkan luar kabupaten. Sungguh perkembangan dakwah yang sangat
pesat.
Jumlah santri mukimin (santri yang tinggal dan menetap) selalu
stabil dan cendrung bertambah. Ditahun pertama ada sekitar 20 santri.
Berikutnya dalam rentang waktu 1999-2003 M. Jumlah santri mukimin
putra-putri mencapai 100 orang. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar
daerah. Adapun penduduk sekitar kebanyakan hanya mengikuti pengajian
di sore hari saja, atau dalam istilah pesantren dikenal dengan sebutan santri
kalong. Jumlahnya sekitar 90 orang, terdiri dari anak-anak usia SD, SMP,
dan SMA.
Untuk kegiatan-kegiatan internal pesantren Ajengan Sofwan
Abdul Ghoni dibantu tiga orang muridnya, yaitu ust. Rahmat
Hidayatussalam, ust. Ridwandul Hakim, dan ust. Andang Hidayat.
Ketiganya adalah santri beliau saat di ponpes Miftahul Huda Al-Burhani
Plered Purwakarta. Mereka bertiga adalah orang yang sangat berjasa
dalam sejarah perjalanan ponpes Baitul-Burhan dimasa-masa awal.
Ketiganya memegang peranan penting dalam proses perkembangan
ponpes Baitul Burhan. Mereka diberi tanggungjawab sesuai dengan
kemampuan yang mereka miliki. Ust. Rahmat Hidayatussalam dipercaya
sebagai dewan pendidikan, karena kecerdasan dan kemampuannya dalam
hal keilmuan khususnya ilmu nahwu dan sorof. Ust. Ridwanul Hakim
dipercaya sebagai arsitek pesantren dan segala hal yang berkaitan dengan
43
itu. Beliaulah yang menjadi creator bangunan pesantren Baitul Burhan
dari awal hingga sekarang. Padahal tidak punya latar belakang pendidikan
sebagai arsitek, bahkan beliau hanya mengenyam pendidikan formal di
tingkat dasar saja. Tetapi kemampuanya dalam dbidang konstruksi patut
diacungi jempol.. Kemudian ust. Andang Hidayat dipercaya sebagai
keamanan sekaligus humas pesantren. Beliaulah yang menjaga stabilitas di
internal pesantren dan menjaga keharmonisan pesantren dengan
masyarakat sekitar. Sebagai bentuk penghargaan pesantren terhadap jasa-
jasanya, nama mereka kemudian diabadikan menjadi salah satu nama
gedung di ponpes Baitul Burhan. Yaitu gedung Assalam, al-Hidayah, dan
al-Hakim.
Tahun 2014 ponpes Baitul Burhan menginjak usia 15 tahun. Usia
yang relatif muda untuk ukuran pondok pesantren. Tetapi
perkembangannya begitu pesat. Apalagi bila dibandingkan dengan
pondok-pondok pesantren di sekitar yang jumlahnya mencapai puluhan.
Karena itu ponpes Baitul Burhan masuk 4 besar dalam kategori pesantren
dengan tingkat perkembangan tercepat di Jawa Barat.
Ponpes Baitul Burhan merupakan jenis pesantren salafi yang
fokus keilmuannya lebih pada ilmu-ilmu alat. Pola belajarnya pun masih
menggunakan pola tradisional khas pesantren salafi seperti bandungan dan
sorogan. Kitab-kitab islam klasik (kitab kuning) dijadikan sebagai sumber
utamanya. Secara umum semua jenis keilmuan islam seperti fiqih, ushul
fiqih, tauhid, tasawuf, tajwid, dan hadits itu dipelajari. Tetapi ilmu-ilmu
44
yang berkaitan dengan gramatika bahasa Arab seperti nahwu dan sorof itu
mendapatkan porsi yang lebih dibandingkan dengan yang lain.
Kedepan ponpes Baitul Burhan akan menyelengarakan
pendidikan formal tingkat SLTP dan SLTA. Ini dilakukan sebagai upaya
pesantren menjawab tantangan zaman. Selain itu banyak permintaan dari
masyarakat, wali-wali santri, dan tokoh masyarakat tentang hal itu. Untuk
tetap menjaga konsep pesantren salafi, pesantren dan sekolah dipisahkan
secara kelembagaan. Jadi kegiatan pesantren tetap berjalan dan dilakukan
seperti biasa.7
Saat ini ponpes Baitul Burhan memiliki dua lokasi yang jaraknya
berdekatan masing-masing 1240 M2 (lokasi awal pesantren) dan 6800 M
2
(lokasi yang baru). Rencananya lokasi pertama untuk pesantren putri,
poskestren, dan sekretariat pesantren. Lokasi kedua untuk pesantren putra,
masjid, gedung sekolah (MTs dan Aliyah), ruang pertemuan, area kegiatan
usaha pesantren, dan perumahan dewan pengajar. Lokasi yang kedua ini
masih dalam proses pembangunan, namun demikian ada beberapa
bangunan yang sudah rampung diantaranya perumahan dewan guru,
asrama untuk santri putra, dan bangunan sekolah. Secara keseluruhan kira-
kira baru sekitar 75% proses pembangunan itu berjalan. Seiring dengan
itu, jumlah santri mukimin (santri yang tinggal dan menetap) terus
meningkat dari tahun ketahun. Ditahun 2014 terhitung jumlah santri
ponpes Baitul-Burhan mencapai 320 orang. Adapun jumlah jamaah
pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu mencapai 350 orang.8
7 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 06 Juni 2014.
8 Dokumen ponpes Baitul Burhann, profil pondok pesantren Baitul Burhan.
45
3) Visi dan Misi
Berilmu Amaliyah Beramal Ilmiyah9
4) Struktur Kepengurusan
Pimpinan / Pengasuh : KH. Sofwan Abdul Goni
Sekretaris : Ust. Ridwannul Hakim
WakilSekretaris : Ust. Asep Mulyana
Bendahara I : Ust. Muhamad Zakaria
Bendahara II : H. Muntasib
Staf Pengajar (Badal Kyai) : 1. Ust. Asep Hasan Muttaqin
2. Ust. Asep Umar Faruq
3. Ust. Ajang
4. Ust. M. Adi Masruhudin
5. Ust. Hafiduddin
6. Ust. Muhamad Husen Suyuti
7. Ustadzah Imas Maesaroh
8. Ustadzah Siti Nurlaelawati
Seksi-seksi
A. Rois : Ust. M. Adi Masruhudin
Pendidikan : Ust. Asep H.Muttaqin
Keamanan : Ust. Amir
Kesehatan : Ust. Yamin
Sekretaris : Ust. Saepul Hidayat
9 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 06 Juni 2014
46
Bendahara : Ust. Hafiduddin
Kebersihan : Ust. Imat Rohimat
Logistik : Ust. Khoirul Rizal
Keterampilan : Ust. Syarif
Humas : Ust. Ujang Asmadi
B. Roisah : Ustadzah Siti Nurlaelawati
Pendidikan : Ustadzah Sodiah
Keamanan : Ustadzah Lilis Sofiyatunnisa
Kesehatan : Ustadzah Nadlirotussa’diyah
Sekretaris : Ustadzah Aliyah
Bendahara : Ustadzah Nunung Nurhasanah
Kebersihan : Ustadzah Imas Siti Masitoh
Keterampilan : Ustadzah Siti Nurohmah10
10
Dokumen ponpes Baitul Burhann, profil pondok pesantren Baitul Burhan.
47
5) Sistem Pembagian Kelas
a. Kelas Ibdtida ( اإلبتد)
Adalah kelas bagi santri yang baru masuk. Materi yang
dipelajarinya adalah membaca al-Qur’an, hafalan do’a sehari-hari,
surat-surat pendek, dan bacaan shalat. Cara belajarnya lebih banyak
menggunakan sistem sorogan. Mereka dibagi menjadi beberapa
kelompok, kemudian santri-santri senior yang sudah mendapat
kepercayaan menjadi pembimbingnya.
b. Kelas Jurumiyah ()جرومية
Ini adalah tingkatan kedua bagi para santri yang lulus dari kelas
ibtida. Di kelas ini mereka mulai dikenalkan dengan kitab-kitab
kuning dasar dari semua cabang ilmu. misalnya kitab Sulamunajat,
Safinatunnaja, Fathul Qorib, Tijan Daruri, Ta’limal Muta’alim, dan
yang lainnya. Tetapi ada kitab wajib yang harus mereka hafal, yaitu
kitab Jurumiyah (جرومية), Nadhom Maqshud Yaqulu (متن نظم المقصود),
dan Nadhom Imriti ( نظم العمريطى) . Ketiga kitab ini menjadi syarat bagi
mereka untuk bisa naik ke kelas Alfiyah (الفي ة).
Proses belajarnya lebih banyak menggunakan sistem sorogan.
Terutama saat mempelajari ilmu Nahwu dan Sorof, baik hafalannya
maupun pembahasan sarh-nya. Dalam proses sorogan santri dibagi
menjadi beberapa kelompok kecil (halaqah) dengan seorang guru
sebagai pembimbing. Namun dalam kesempatan lain mereka
48
disatukan dalam satu majlis. Misalnya saat pengajian umum yang
dipimpin oleh KH. Sofwan Abdul Ghoni.
c. Kelas Alfiyah )الفي ه(
Kelas Alfiyah adalah tingkatan tertinggi di ponpes Baitul
Burhan. Sebagaimana namanya, santri-santri yang masuk kelas ini
minimal sudah menghafal 400 baris matan Alfiyah Ibnu Malik dan
sudah menghafal tiga kitab wajib yang lainnya berikut menguasai
pembahasannya. Untuk mencapai kelas ini rata-rata membutuhkan
waktu tiga sampai empat tahun. Tetapi bagi mereka yang cerdas,
dalam waktu dua tahunpun bisa. Karena pembagian kelas ini bukan
berdasarkan usia atau lamanya tinggal di pesantren tatapi berdasarkan
kemampuan menguasai materi.11
11
Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 04 Juli 2014.
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS
Dalam bab ini penulis membahas dan mengklasifikasikan dakwah yang
dilakukan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni ke dalam tiga bentuk diantaranya
dakwah dalam bentuk tabligh, Aktivitas pengembangan masyarakat, dan Aktivitas
menejemen dakwah. Selain itu juga membahas bagaimana pendekatan-pendekatan
yang digunakan ajengan Sofwan Abdul Ghoni dalam proses dakwahnya.
A. Aktivitas Tabligh (dakwah bil al-lisan)
1. Mengajar di Pesantren
Sebagaimana dijelaskan di bab iii, ponpes Baitul Burhan
membagi santrinya menjadi tiga kelas atau tiga tingkatan.
Pengklasifikasian ini berdasarkan tingkat kemampuan santri dalam
menguasai pelajaran. Dalam hal ini ajengan Sofwan Abdul Ghoni lebih
banyak mengajar di kelas Alfiyah. Adapun kelas yang lain dipegang oleh
murid beliau yang sudah terpercaya. Model pengajaran yang banyak
digunakan adalah bandungan. Namun terkadang model sorogan pun
digunakan, terutama saat setoran, dimana santri membacakan hasil
hafalan Alfiyah di depan ajengan Sofwan Abdul Ghoni. Seminggu sekali
diadakan pengajian umum yang diikuti oleh santri semua tingkatan.
Dalam pengajian ini biasanya ajengan Sofwan Abdul Ghoni membahas
kitab Irsyadul Ibad, yang isinya tentang hikmah-hikmah kehidupan,
petunjuk, dan nasihat. Disela-sela pembahasan, terkadang beliau
memberikan nasihat-nasihat pada para santri.
49
50
Kegiatan ini merupakan serangkaian proses dakwah dalam
bentuk Aktivitas tabligh yang dilakukan oleh Ajengan Sofwan Abdul
Ghoni. Dalam kegiatan itu terjadi proses pemindahan nilai-nilai
keislaman (transfer of value), ilmu, dan akhlak dari ajengan Sofwan
Abdul Ghoni pada santrinya. Hal ini menunjukan bahwa beliau
menggunakan pendekatan pendidikan dalam dakwahnya. karena
sejatinya pendidikan merupakan proses transfer of knowledge, transfer of
value dan transfer of culture and transfer of religious.1
2. Pengajian Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu di Pesantren
Pengajian ini diadakan seminggu sekali, yaitu malam jum’at
untuk bapak-bapak dan hari selasa pagi pengajian ibu-ibu. Jumlah
jamaahnya lumayan banyak, jamaah bapak-bapak 150an orang dan ibu-
ibu sekitar 200an orang. Umumnya adalah masyarakat sekitar pesantren,
tatapi banyak juga dari mereka yang sengaja datang dari luar Karawang,
misalnya dari Jakarta, Bekasi, Purwakarta, dan Subang.
Mengenai materi pengajian, Ajengan Sofwan Abdul Ghoni
membedakan keduanya. Jika pengajian bapak-bapak materinya berbasis
kitab. Jadi bahasannya mengikuti susunan materi pada kitab yang dikaji.
Adapun jenis kitab yang dikaji biasanya kitab tafsir, hadits, fiqih, tauhid,
dan tasawuf. Selain menjadi pendengar (mustami) jamaah pun diberi
kesempatan untuk bertanya. Sementara pengajian ibu-ibu materinya
berbasis tematik., modelnya ceramah biasa.
1 Yati Hardiyanti, Arti, Hakekat, dan Dasar Pendidikan, artikel diakses pada 10 september
2014 dari http://haedarakib.files.wordpress.com/2012/01/arti-hakekat-dan-dasar-pendidikan.pdf
51
Perbedaan model pengajian dan cara penyampaiannya
menunjukan kematangan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni sebagai seorang
da’i sekaligus mubaligh. Beliau memperhatikan betul kondisi jamaah
(mad’u) yang dihadapinya, yang berbeda secara ruang maupun waktu.
Sehingga proses internalisasi nilai-nilai keislaman yang disampaikan
bisa maksimal.
3. Mengisi Pengajian Rutin di Luar Pesantren
Pada dasrnya pengajian ini sama dengan pengajian bapak-bapak
dan ibu-ibu di dalam pesantren. Perbedaannya hanya pada tempat dan
waktu saja. Jika sebelumnya dilakukan di lingkungan pesantren, maka
pengajian ini dilakukan di masjid atau majlis ta’lim di luar pesantren.
Jadwalnya sebulan sekali. Jika kebetulan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni
berhalangan, entah karena sakit atau ada keperluan lain, maka beliau
menugaskan salah satu dewan pengajar untuk menggantikannya. Tidak
ada tarif yang harus dibayar oleh jamah, semua dilakukan secara
sukarela. Bahkan terkadang beliau menolak jika ada yang memberinya
bayaran.
4. Ceramah Keagamaan
Biasanya dilakukan saat ada undangan dari masyarakat pada
moment perayaan hari besar Islam seperti peringatan Maulid nabi
Muhammad SAW, Isro Mi’roj, dan Nuzulul Qur’an atau undangan untuk
mengisi ceramah pada acara keluarga seperti resepsi pernikahan, sunatan,
halal bil halal, dan sebagainya. Tidak hanya di dalam kota, sering juga
ada undangan dari luar kota. Dalam kegiatan ceramah seperti ini beliau
52
tidak pernah membicarakan soal bayaran apalagi menentukan tarif.
Kegiatan ceramah seperti ini tidak menjadi prioritas Ajengan Sofwan
Abdul Ghoni. Mungkin berbeda dengan kebanyakan da’i pada umumnya.
Setiap mubaligh biasanya punya karakter sendiri dalam
membawakan ceramah. Ajengan Sofwan Abdul Ghoni termasuk
mubaligh dengan karakter lembut dan santun. Beliau termasuk orang
yang serius tapi santai. Sehingga dalam membawakan ceramah tidak
banyak guyonan-guyonan yang disampaikan, tapi tidak menjenuhkan.2
Secara umum keempat aktiifitas dakwah dalam bentuk tabligh ini
(dakwah bil al-lisan) yang dilakukan Ajengan Sofwan Abdul Ghoni
mengandung tiga kegiatan pokok. Pertama, kegiatan mengenalkan ajaran-
ajaran keislaman (sosialisasi). Kedua, kegiatan menanamkan nilai-nilai
keislaman ke dalam diri setiap individu (internalisasi). Ketiga, kegiatan
mengekspresikan nilai-nilai keislaman yang sudah tertanam dalam diri
sehingga bermanfaat untuk orang lain (eksternalisasi).
B. Aktivitas Pengembangan Masyarakat
1. Usaha Produksi Susu Sari Kedelai Murni
Kegiatan usaha pembuatan Susu sari kedelai murni pondok
pesantren Baitul-Burhan sudah berjalan selama tujuh tahun. Dimulai
sejak tahun 2007 hingga sekarang. Awalnya Ajengan Sofwan Abdul
Ghoni mengutus ustadz Muhammad Zakaria untuk mengikuti pelatihan
pembuatan Susu Sari Kedelai Murni yang diselenggarakan oleh dinas
sosial kabupaten Karawang. Setelah menguasaicara-caranya akhirnya
2 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 04 Juli 2014.
53
pesantren mulai memproduksi. Awalnya hanya untuk kebutuhan internal
pesantren. Tetapi karena banyaknya permintaan masyarakat, akhirnya
produksinya ditingkatkan.
Kegiatan produksi dilakukan oleh 10 orang karyawan, mereka
adalah santri ponpes Baitul Burhan. Sedangkan untuk pemasaran
melibatkan masyarakat sekitar, para alumni, dan jamaah yang tersebar di
beberapa kecamatan diantaranya kecamatan Tempuran, Telagasari,
Rawamerta, Wadas, Cilebar, dan Cilamaya. Kegiatan ini tidak
melibatkan santri, karena akan menggagu Aktivitasnya di pesantren.
Kini usaha pembuatan Susu Sari Kedelai Murni sudah menjadi
salah satu badan usaha pesantren yang paten. Karena dianggap cukup
potensial, akhirnya dibentuklah divisi khusus untuk mengelola kegiatan
usaha ini. Mereka bertanggung jawab dalam proses produksi dan
management pemasarannya. Saat ini yang menjadi koordinator adalah
ustad Muhamad Zakaria.
Kehadiran susu sari kedelai murni tidak hanya memberi manfaat
secara finansial, tetapi juga dalam menjaga kesehatan santri. Selain itu
kehadirannya pun mampu menyerap tenaga kerja meskipun jumlahnya
masih sedikit. Selain santri, kegiatan usaha inipun melibatkan masyarakat
sekitar. Baik sebagai tenaga produksi maupun marketing. Mereka yang
bekerja diwajibkan mengikuti pengajian di pesantren, meskipun hanya
seminggu sekali.
Asumsinya jika usaha ini terus berkembang dan menjadi besar,
kebutuhan akan tenaga kerja pun pasti semakin banyak. Selain itu mereka
54
yang bekerja juga mendapatkan bimbingan dan pecerahan pengetahuan
keagamaan di pesantren. Jika proses ini terus berlangsung, maka lambat
laun akan tercipta sebuah masyarakat yang kuat secara akidah, mandiri
secara ekonomi, dan berakhlakul karimah (Khairu Ummah) sebagaimana
yang dicita-citakan dalam perjuangan dakwah Islamiyah.
Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usaha ini sebagian
untuk kebutuhan pengembangan pesantren, untuk mensubsidi santri
yatim, dan santri kurang mampu. Inilah salah satu wujud dicita-citakan
Ajengan Sofwan Abdul Ghoni yaitu menciptakan pesantren yang madiri.
Sehingga semua kebutuhan pesantren tercukupi tanpa harus mendapatka
sumbangan dari luar.
2. Pertanian
Kegiatan bertani merupakan kegiatan yang sudah dilakukan
sejak awal-awal berdirinya ponpes Baitul Burhan. Luas lahan garapannya
hanya satu hektar. Sebetulnya sawah ini awalnya milik mertua Ajengan
Sofwan Abdul Ghoni yaitu H. Dasman. Kemudian diserahkan
pengelolaannya untuk kebutuhan pesantren.
Proses penggarapannya dilakukan sepenuhnya oleh santri secara
swadaya. Tidak semua santri ikut menggarap, hanya beberapa dari
mereka yang sudah dewasa saja. Meskipun secara keseluruhan prosesnya
dilakukan oleh santri mulai dari menebar benih (nyebar), mencabut
benih-benih yang sudah tumbuh besar (cabut), menanam benih yang
sudah besar berdsarkan pola yang sudah dibuat di atas lahan sawah
(tandur), membersihkan tanaman padi dari tumbuhan-tumbuhan liar
55
(ngarambet), memberi pupuk, dan setersusnya sampai siap dipanen.
Tetapi saat panen masyarakatpun boleh ikut memanen. Tentunya dengan
sistem bagi hasil.
Dalam sekali panen biasanya menghasilkan padi sebanyak tujuh
ton. Hasil panen kemudian digunakan untuk kebutuhan pesantren.
Keberadaan sawah sangat membantu pesantren. Selai itu juga sangat
membantu santri-santri yang kurang mampu, karena bisa mendapatkan
tambahan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Sekaligus mereka juga bisa
belajar bertani.
3. Poskestren
Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) merupakan salah satu
wujud Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di
lingkungan pondok pesantren, dengan prinsip dari dan oleh warga
pondok pesantren, yang mengutamakan pelayanan promotif
(peningkatan) dan preventif (pencegahan) tanpa mengabaikan aspek
kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan), dengan
binaan Puskesmas setempat.3
Pos Kesehatan Pesantren Baitul Burhan berdiri pada tahun 2004.
Awalnya merupakan bantuan dari pemerintah provinsi Jawa Barat,
berupa bangunan, obat-obatan, dan beberapa peralatan medis. Dalam
pelaksanaanya sepenuhnya ditanggung dan dikelola oleh ponpes Baitul
Burhan dengan didampingi puskesmas setempat. Termasuk penyediaan
obat-obatan, tenaga medis, dan kebutuhan lainnya. Dana untuk
3 Draf Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1 tahun 2013 tentang
pedoman penyelenggaraan dan pembinaan Pos Kesehatan Pesantren, diakses pada 13 Agustus
2014 dari http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2013/bn163-2013lamp.pdf
56
mendukung kebutuhan operasional tersebut diperoleh dari dana
kesehatan yang dibayar oleh santri sebesar Rp. 5000 setiap bulan.
Keberadaan Poskestren sangat dirasakan manfaatnya tidak
hanya oleh warga pesantren, tetapi juga masyarakat sekitar. Disamping
jaraknya yang dekat, mereka juga tidak dipungut biaya saat berobat.
Karena semua biaya ditanggung oleh pesantren. Hal inilah yang
kemudian menjadi perhatian masyarakat, sehingga mereka respek
terhadap pesantren. 4
Kegiatan usaha produksi susu kedelai, kegiatan pertanian, atau
penyelenggaraan poskestren merupakan proses transformasi nilai keislaman
menjadi realitas dalam bentuk kegiatan-kegiatan berbasis masyarakat dan
kelembagaan. Sehingga Islam tidak lagi sebatas pengetahuan tetapi melebur
menjadi ideologi dalam setiap aspek kehidupan. Dengan cara ini maka
kesejahteraan masyarakat terpenuhi dan sikap serta prilaku masyarakat
menjadi Islami. Inilah yang disebut dengan umat yang baik (khairu ummah).
Disinilah kepiawaian ajengan Sofwan Abdul Ghoni dalam memanfaatkan
struktur sosial dan budaya masyarakat untuk tujuan dakwah. Misalnya saja
penyelengaraan poskestren, semua sepakat bahwa kesehatan itu penting dan
kebutuhan masyarakat akan kesehatan niscaya adanya. Sehingga dengan
kehadiran poskestren yang menyediakan pelayanan kesehatan gratis bagi
masyarakat sekitar, meciptakan hubungan yang baik antara masyarakat dan
pesantren. Hasilnya proses dakwah Islamiyah sebagai misi utama ajengan
Sofwan Abdul ghoni bisa berjalan lancer.
4 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 04 Juli 2014
57
C. Aktivitas Manajemen Dakwah (Menjadi Ketua MUI)
Pada tahun 2004 Ajengan Sofwan Abdul Ghoni diberi kepercayaan
menjadi ketua MUI kecamatan Tempuran. Pengangkatan beliau merupakan
hasil kesepakatan para ulama setempat. Beliau sudah menjabat selama tiga
periode kepengurusan dan akan berakhir tahun 2016. Selain menjabat sebagai
ketua MUI kecamatan Tempuran, beliaupun menjadi anggota dewan fatwa
MUI kabupaten Karawang. Berkat kepemimpinannya, MUI kecamatan
Tempuran terasa lebih hidup dibandingkan dengan yang lain. Sehingga tak
heran jika MUI Tempuran selalu dijadikan rujukan. Baik karena program
kerjanya yang inovatif maupun fasilitas infrastrukturnya yang lengkap.
Selama mejabat banyak program dan kebijakan yang dilakukan diantaranya:
1. Pembentukan Forum Dakwah
Kegiatan ini melibatkan juru-juru dakwah seperti para mubaligh,
guru nagaji, dan tokoh agama. Mereka dikumpulkan dalam satu forum
untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan dakwah
khususnya dakwah dalam pengertian tabligh. Tujuannya agar ada
kesepahaman dan keseragaman dalam berdakwah termasuk di dalamnya
pendalaman materi dakwah. Sehingga kegiatan dakwah betul-betul
dilakukan dengan cara yang baik dan dilakukan oleh orang-orang yang
kompeten.
Pelaksanaanya dilakukan dua kali dalam setahun, waktunya tidak
ditentukan namun salah satunya dilakukan menjelang bulan Ramadhan.
Peserta yang terlibat biasanya sekitar 40 orang dan Semua keperluan acara
ini difasilitasi oleh MUI.
58
2. Bahtslul Masail
Bahtslul Masail adalah kegiatan membahas persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat
atau yang ramai diperbincangkan. Kegiatan ini diikuti oleh para ulama dan
para pimpinan pesantren di kecamatan Tempuran. Selain tempat untuk
berdiskusi, berdebat, dan musyawarah, kegiatan ini juga dilakukan sebagai
ajang silaturahmi diantara tokoh agama. Biasanya dilakukan dua bulan
sekali, tetapi jika ada persoalan yang muncul, saat itu juga kegiatan ini
dilakukan.
3. Program Pelatihan dan Pemberdayaan Remaja Mesjid (P3RM).
Di kecamatan Tempuran ada sekitar 15 kelompok remaja mesjid.
Ajengan Sofwan Abdul Ghoni melihat bahwa mereka adalah sebuah
potensi besar dalam dakwah islamiyah. Karena mereka bisa masuk ke
dalam segmen terpenting dalam kehidupan masyarakat, yaitu pemuda dan
remaja. Karenanya perlu ada pelatihan khusus bagi mereka. Maka Ajengan
Sofwan Abdul Ghoni melalui MUI kecamatan Tempuran membuat
program P3RM.
Kegiatan ini diadakan setiap bulan Muharam dan berlangsung
selama 3 hari. Isi kegiatannya berupa pengajian, diskusi, dan penampilan
kreatifitas dari masih-masing kelompok. Banyak kalangan yang
mendukung dan mengapresiasi kegiatan ini, mulai dari pemerintahan baik
tingkat desa maupun kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan
masyarakat tempuran pada umumnya.5
5 Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 04 Juli 2014.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni diklasifikasikan menjadi tiga
bentuk, pertama aktivitas tabligh. Jenis kegiatannya mengajar di
pesantren, mengisi pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu di dalam dan di
luar pesantren, dan ceramah keagamaan. Kedua aktivitas pengembangan
masyarakat. Kegiatanya berupa usaha produksi susu sari kedelai murni,
penyelenggaraan Poskestren, dan pertanian. Ketiga aktivitas manajemen
dakwah yaitu dengan menjadi ketua MUI kecamatan Tempuran.
2. Dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni secara umum menggunakan 2
pendekatan dakwah, yaitu pendekatan kultural dan pendekatan struktural.
Pendekatan kultural digunakan pada kegiatan yang bersifat seremonial
seperti perayaan maulid nabi, muharoman, nuzulul qur’an, dan saat
ceramah. Adapun pendekatan struktural lebih banyak digunakan dalam
kegiatan pengembangan masyarakat dan manajemen dakwah. hal itu
dilakukan Karena mad’u sebagai central of dakwah yang kita hadapi
memiliki banyak keberagaman dalam hal budaya, tingkat pendidikan,
status sosial, ekonomi, usia, dan jenis kelamin.
3. Kehadiran pondok pesantren Baitul Burhan memiliki peran penting
dalam kegiatan dakwah Ajengan Sofwan Abdul Ghoni. Menjadi tempat
kegiatan belajar santri, kegiatan pengajian untuk masyarakat umum,
kegiatan usaha, kegiatan pelayanan kesehatan, dan kegiatan-kegiatan
dakwah lainnya. Selain itu ponpes Baitul Burhan mampu menyatukan
59
60
tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah untuk sama-sama
berjuang mendukung kegiatan dakwah.
B. Saran
1. Penelitian ini membahas aktifitas-aktifitas dakwah yang dilakukan
Ajengan Sofwan Abdul Ghoni secara umum, sehingga hasilnya tidak
begitu mendalam. Kedepan bagi peneliti yang berminat membahas hal
yang sama, mungkin akan lebih menarik jika penelitiannya lebih
difokuskan pada jenis aktifitas dakwah tertentu. Misalnya aktifitas dakwah
bil al-hal nya saja. Karena mungkin hasilnya akan lebih fokus dan
mendalam. Selain itu penulis juga tidak menggunakan perspektif keilmuan
lain yang mungkin berkaitan, sehingga tidak ada perbandingan.
2. Sejauh pengamatan penulis ponpes Baitul Burhan sudah melakukan peran
dan fungsinya dengan sangat baik. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan misalnya saja persoalan dokumentasi pesantren yang sangat
minim. Perlu ada upaya pembuatan dan pengelolaan dokumentasi secara
lengkap agar tidak terlupakan sejarah di masa-masa yang akan datang.
61
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: AMZAH, 2009.
Aziz, Jumu’ah Amin Abdul. Fiqih Dakwah. Solo: PT. Era Adi Citra Intermedia,
2011.
Haedari, Amin. dkk. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Komplesitas Global. Jakarta: IRD PRESS, 2005.
Hasanudin. Manajemen Dakwah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Ismail, A. Ilyas dan Hotman, Prio. FILSAFAT DAKWAH: Rekayasa Membangun
Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina, 1997.
M. Munir. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
Natsir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.
Omar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah, Jakarta: Widjaya, 1985.
Qomar, Mujamil. PESANTREN: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga,
Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.
Soehartono, Irwan. Metode Penelitian Social. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA, 2010.
Tamam, Nurul Badru. Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher. Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2005.
Ziemek, Manfred. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986.
62
Sumber lain:
Bahwi, Habibullah. Peran Intelektual Pesantren Indonesia dan Hauzah Iran.
Artikel diakses pada 6 Desember 2013 dari http://citation.itb.ac.id/pdf/
JURNAL/KARSA,JurnalSosialdanBudayaKeislaman/Vol%2020,%20No%2
01%20(2012)/128-131-1-PB.pdf
Dokumen pondok pesantren Baitul Burhan, profil dan Susunan pengelola pondok
pesantren Baitul Burhan.
Draf Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1 tahun 2013
tentang pedoman penyelenggaraan dan pembinaan Pos Kesehatan Pesantren,
diakses pada 13 Agustus 2014 dari http://www.djpp.kemenkumham.go.id
/arsip/bn/2013/bn163-2013lamp.pdf
Hardiyanti, Yati. Arti, Hakekat, dan Dasar Pendidikan artikel diakses pada 10
September 2014 dari http://haedarakib.files.wordpress.com/2012/01/arti-
hakekat-dan-dasar-pendidikan.pdf
Rusmana, Dadan. Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di
Pesantren artikel diakses pada 23 Agustus 2013 dari http://dadanrusmana.
blogspot.com/2012/05/sorogan-dan-bandungan-sistem-klasik.html
Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang. 06 Juni dan 04
Juli 2014.