Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DAMPAK AKTIVITAS MASYARAKAT
TERHADAP FUNGSI HUTAN LINDUNG PULAU JAMPEA
IMPACT OF COMMUNITY’S ACTIVITIES ON FUNCTIONS OF
PROTECTED FOREST OF JAMPEA ISLAND
YUSRI ADIY
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
DAMPAK AKTIVITAS MASYARAKAT
TERHADAP FUNGSI HUTAN LINDUNG PULAU JAMPEA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Disusun dan diajukan oleh
YUSRI ADIY
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Yusri Adiy
Nomor Mahasiswa : P0303210006
Program studi : Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Agustus 2012 Yang menyatakan Yusri Adiy
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat-Nya jualah sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil
pengamatan penulis terhadap aktivitas masyarakat yang berkerja di dalam
kawasan hutan dengan penghasilan yang hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan minimum mereka. Penulis bermaksud menyumbangkan
beberapa konsep untuk merubah pola pikir mereka yang telah banyak
mengantungkan hidup di sekitar kawasan hutan ke taraf yang lebih baik.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka
tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan
tulus menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Sc sebagai Ketua Komisi Penasihat
dan Prof. Dr. Ir. Yusran Yusuf, M.Si sebagai Anggota Komisi
Penasehat atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai
dari pengembangan minat terhadap penulisan tesis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc, Dr. Ir. Usman Arsyad, M.S, Prof.
Dr. Ir. Sitti Bulkis, M.S sebagai Anggota Komisi Penguji atas saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan tesis ini.
3. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Patta Intang (Alm) dan Ibunda
Bau Radja (Alm), yang semasa hidupnya selalu memberikan limpahan
kasih sayang, do’a, perhatian dan dukungan baik secara spiritual
maupun materiil.
4. Ibu Sitti Rugayah dan Saudara-saudaraku Kak Anty, Kak Agus, Kak
Appi atas dukungan dan perhatiannya.
5. Yang terspesial Rahmawati yang selalu memberikan motivasi dan
menginspirasi saya dalam menyelesaikan tesis ini.
6. Dg. Siaga, Marsil, Salbi, A. Ambon, A. Gazali atas kerjasama dan
kebersamaannya selama penulis di lokasi penelitian.
7. Akhiruddin M.J dan Hasrianti serta seluruh teman-teman di PLH
angkatan 2010 yang telah banyak membantu dalam rangka
penyusunan tesis ini dan yang terakhir ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi
telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Makassar, Agustus 2012
Yusri Adiy
ABSTRACK
YUSRI ADIY. Impacts of Community’s Activities on Functions of Protected Forest of Jampea Island (supervised by Baharuddin Nurkin and Yusran Yusuf).
This research aimed at investigating (1) the activity forms conducted by the community within and around the protected forest area of Jampea Island. (2) the impact brought about by the activities towards the protected forest functions in Jampea Island.
The research was carried out in Jampea Island, Selayar
Archipelago Regency, South Sulawesi Province. This was a case study research. The research used the combination between qualitative and quantitative approaches. In the research, there were two types of data, they were the primary data by an interview and the secondary data by a direct observation. The collected data were analyzed by qualitative descriptive method by describing and elaborating all forms of activities conducted by the community in the forest area and the impacts of the community’s activities which were frequently carried out in the forest area.
The research result indicates that there are many activities carried
out by the community of Jampea Island in the protected forest area. The activities are; felling wood, gardening, recreation, seeking firewood, taking cane, making palm sugar and hunting. The Impacts caused by the community’s activities in the protected forest area are as follows: the positive impacts such as: recreational activity, the activity of making palm sugar and hunting activity. Where as the negative impacts are: the river water becomes unstable and even undergoes siltation of water up to dry, felling the trees that are still alive and hunting activity which can disturb the ecosystem balance and threat the extinction of the species having been rare.
ABSTRAK
YUSRI ADIY. Dampak Aktivitas Masyarakat terhadap Fungsi Hutan Lindung Pulau Jampea. (dibimbing oleh Baharuddin Nurkin dan Yusran Yusuf).
Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) bentuk-bentuk aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat didalam dan disekitar kawasan hutan lindung Pulau Jampea. (2) dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut terhadap fungsi hutan lindung Pulau Jampea.
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Jampea Kabupaten Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kombinasi antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini ada dua jenis data yaitu data primer dengan wawancara dan data sekunder mealui observasi langsung. Data yang dikumpulkan akan dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif yaitu dengan menggambarkan dan menguraikan segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan hutan dan dampak-dampak dari aktivitas masyarakat terhadap kegiatan yang sering dilakukan pada kawasan hutan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Jampea didalam kawasan hutan lindung. Aktivitas tersebut adalah menebang kayu, berkebun, rekreasi, mencari kayu bakar, mengambil rotan, menbuat gula aren dan berburu. Dampak-dampak yang ditimbulkan dari aktivitas masyarakat didalam kawasan hutan lindung sebagai berikut ; dampak positif misalnya aktivitas rekreasi, aktivitas membuat gula aren, aktivitas perburuan. Sedangkan dampak negatif misalnya air sungai menjadi tidak stabil dan mengalami pendangkalan bahkan air sampai kering, penebangan pohon yang masih hidup, dan aktivitas perburuan yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengancam kepunahan jenis yang sudah langka.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGAJUAN
HALAMAN PERSETUJUAN
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN
PRAKATA
i
ii
iii
iv
v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
D. Kegunaan Penelitian 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 5
A. Hutan dan Hasil Hutan 5
B. Pemanfaatan Hutan 8
C. Kawasan Hutan Lindung 12
D. Aktivitas Masyarakat dalam Kawasan Hutan Lindung 16
E. Masyarakat Hutan dan Ketergantungannya terhadap Hasil Hutan 1. Hasil-hasil Hutan Non Kayu
2. Jasa-jasa Lingkungan
18
23
24
F. Dampak dan Analisis
1. Dampak
2. Analisis
G. Pola Pemanfaatan Kawasan Hutan
1. Interaksi Positif Masyarakat dengan Kawasan Hutan Lindung
2. Interaksi Negatif Masyarakat dengan Kawasan Hutan Lindung
25
25
30
35
38
39
H. Kerangka Pikir Penelitian 40
I. Definisi Operasional 43
III. METODE PENELITIAN 45
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 45
B. Pengelolaan Peran Peneliti 46
C. Lokasi dan Waktu Penelitian 46
D. Populasi dan Teknik Sampel 48
E. Sumber Data 48
F. Teknik Pengumpulan Data 49
G. Teknik Analisis Data 50
H. Pengecekan Validitas Temuan 50
I. Bagan Alir Penelitian 51
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 53
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 53
1. Keadaan Bio-Fisik
2. Pembagian Wilayah Administratif
3. Pola Penggunaan Lahan
4. Jenis Komoditi Yang Diusahakan
5. Kelembagaa Penyuluhan Pertanian
6. Lembaga Pelayanan Petani
7. Pelayanan Sarana Produksi
8. Kelembagaan Kelompok Tani
53
57
58
60
66
66
67
68
B. Deskripsi Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea 70
C. Aktivitas-aktivitas Masyarakat dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea
1. Menebang Kayu
2. Berkebun dalam Kawasan Hutan Lindung
3. Rekreasi
4. Mencari Kayu Bakar
5. Mengambil Rotan
6. Membuat Gula Aren
7. Berburu
73
74
76
79
82
84
86
88
D. Dampak yang ditimbulkan dari Aktivitas Masyarakat dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea
90
E. Strategi Penanggulangan Dampak 92
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
96
96
97
DAFTAR PUSTAKA 98
LAMPIRAN 102
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Bentuk-bentuk aktivitas beserta bentuk dampak yang potensial ditimbulkan di dalam kawasan hutan lindung
17
2. Tahap-tahap penelitian dan jadwalnya 47
3. Luas dan persentase kelas lereng pulau Jampea 54
4. Luas dan persentase Jenis Tanah pulau Jampea
55
5. Rata-Rata Curah Hujan (mm) periode 2001 – 2010 Wilayah Pulau Jampea
56
6. Nama Desa, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu
58
7. 8.
Nama Desa, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Pasimasunggu
58 59
9.
10.
Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Pasimasunggu Timur Jenis Komoditi, Luas Lahan Tanaman Pangan dan Hortikultura yang diusahakan di Kecamatan Pasimasunggu
59 60
11. Jenis Komoditi, Luas Lahan Tanaman Kayu di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu
61
12. Jenis Komoditi, Luas Lahan Tanaman Perkebunan yang diusahakan di Kecamatan Pasimasunggu
61
13.
14.
Jenis Ternak, Populasi yang diusahakan di Kecamatan Pasimasunggu Jenis Komoditi Yang diusahakan, Luas Lahan dan Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur
62
63
15.
16.
17.
18.
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Jenis Komoditi , Luas Lahan dan Produksi Perkebunan yang diusahakan oleh Masyarakat di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur Jenis Ternak, Populasi dan Jumlah Ternak di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur Jenis Komoditi, Luas Lahan Tanaman Kayu di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur Lembaga Pelayanan Petani yang berada di Kecamatan Pasimasunggu Lembaga Pelayanan Petani yang ada di Wilayah Kerja Kecamatan Pasimasunggu Timur Kelompok Tani, Kelas Kelompok dan Jumlah Anggota Kelompok yang ada Di Kecamatan Pasimasunggu Kelembagaan Kelompok Tani yang ada di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur Bentuk-bentuk aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea Daftar Frekuensi dan Persentase Responden yang berkesempatan memperbaiki Rumah Daftar Nama, Umur Petani, Luas Lahan yang dikelola untuk berkebun, kelerengan dan Pendapatan responden perbulan berdasarkan hasil wawancara dengan petani di Desa Kembangragi Kecamatan Pasimasunggu Daftar Frekuensi dan Persentase Responden yang melakukan aktivitas rekreasi di dalam kawasan hutan lindung Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu Daftar Nama, Umur Petani, dan Luas Lahan serta Persentase yang beraktivitas mencari kayu bakar pada kawasan hutan lindung Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur Daftar Frekuensi dan Persentase Responden yang melakukan aktivitas mengambil rotan di dalam kawasan hutan lindung Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur
64
64
65
66
67
68
69
73
76
78
81
83
85
28. 29. 30. 31.
Daftar Nama, Umur Petani, Luas Lahan, Potensi Aren dan Pendapatan responden perbulan berdasarkan hasil wawancara dengan petani aren di Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur Daftar Frekuensi dan Persentase Responden yang beraktivitas sebagai pemburu rusa dan babi pada kawasan hutan lindung Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu Bentuk-bentuk aktivitas beserta bentuk dampak yang potensial ditimbulkan di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea Strategi yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan dampak negatif yang ditimbulkan akibat aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea
86
89
91
94
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Kerangka pikir penelitian 42
2. Peta lokasi penelitian 46
3. Bagan alir tahap-tahap penelitian 51
4. Sebaran kelas kelerengan di Pulau Jampea 54
5. Sebaran jenis tanah di Pulau Jampea 55
6. Bekas penebangan pohon (kayu bayam) di dalam kawasan hutan lindung yang sudah berpuluh- puluh tahun lamanya
72
7. Hasil penebangan kayu dengan menggunakan gergaji rantai di kawasan hutan lindung
75
8. Kebun Masyarakat didalam kawasan hutan lindung yang berisi coklat (A), pisang dan jambu mente (B) serta jagung dan kacang-kacangan (C)
77
9. Masyarakat Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu yang sedang mandi di Air Terjun Belanda (A) Dan Je’ne Dosolo (B) dalam kawasan hutan lindung
80
10. Salah satu contoh kayu bakar yang diambil oleh masyarakat di kawasan hutan lindung
82
11. Aktivitas masyarakat mengambil rotan didalam kawasan hutan lindung Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur
84
12. Salah satu aktivitas masyarakat mulai dari proses mengambil hasil sadapan bunga aren yang menghasilkan nira dari pohonnya (A), menyiapkan kayu bakar (B) dan dimasak (C) lalu dimasukkan ke cetakan dan menjadi gula aren (D)
87
13. Kubangan babi dan ini tempat yang sering dipakai untuk memburu babi dan rusa oleh masyarakat yang letaknya di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea
88
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman
1. Pedoman wawancara penelitian 102
2. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan Responden yang beraktivitas sebagai penebang kayu di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
104
3. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Luas Lahan dan Pendapatan responden yang beraktivitas sebagai pembuka lahan/berkebun di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Kembangragi Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
105
4. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan responden melakukan aktivitas rekreasi di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
106
5. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Luas Lahan, Jumlah Pohon Aren yang dimiliki dan Pendapatan responden yang beraktivitas sebagai pencari kayu bakar dan pembuat gula aren di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur Kabupaten Kepulauan Selayar
107
6. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan Responden yang beraktivitas sebagai pengambil rotan di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur Kabupaten Kepulauan Selayar
108
7. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan Responden yang beraktivitas sebagai pemburu rusa dan babi di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
109
8. Peta lokasi pengambilan sampel 110
9. Permohonan Izin Penelitian Ke Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan Cq. Kepala Baltbangda (Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah) di Makassar
111
10. Izin/Rekomendasi Penelitian ke Bupati Kepulauan Selayar di Benteng
112
11. Surat Pengantar Izin Penelitian ke Camat Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
113
12. Surat Pengantar Izin Penelitian ke Camat Pasimasunggu
Timur Kabupaten Kepulauan Selayar
114
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti
dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial,
pembangunan dan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan
internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia,
harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat
rusaknya ekosistem dunia.
Luas hutan alam Indonesia menyusut dengan kecepatan yang
sangat mengkhawatirkan dan kerusakannya bukan sepenuhnya salah
pemerintah. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya
sebesar 72 % dan disebabkan oleh rakyat kecil (Yulistira, 2010). Jadi
untuk mengatasi kerusakan hutan Indonesia seperti yang terjadi sekarang,
perlu adanya regulasi untuk menjalankan undang-undang yang mengatur
tentang kehutanan dan implementasinya yang efektif agar nantinya hutan
di Indonesia tetap ada dan terjaga kelestariannya. Keputusan Presiden
No. 32/1990, Undang-undang No. 41/1999, Peraturan Pemerintah No.
44/2004 dan No. 6/2007 yang direvisi dengan Peraturan Pemerintah No.
3/2008, secara jelas menyebutkan fungsi, kriteria dan jenis kegiatan
pemanfaatan yang dilakukan di hutan lindung.
Kabupaten Kepulauan Selayar mempunyai kawasan hutan dengan
luas menurut fungsi pokok yaitu fungsi lindung dan fungsi produksi
sebesar 13.700,70 Ha. Salah satu kawasan hutan berada di Pulau
Jampea yang ditunjuk pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 760/Kpts/Um/10/82 pada tanggal 12 Oktober 1982 sebagai
kawasan hutan lindung seluas 6.538,40 Ha.
Kawasan hutan lindung Pulau Jampea dengan aset sumber daya
alam hayati yang berada di dalamnya memiliki peran penting. Aset-aset
tersebut dalam menciptakan manfaat saling berkaitan menjadi sebuah
kawasan penyangga kehidupan di sekitarnya. Keterkaitan manfaat
tersebut berkesinambungan dalam menjaga kestabilan fungsi lingkungan.
Hal ini menjadi faktor strategis dalam menunjang kehidupan, mulai dari
kestabilan pola tata air, kesuburan lahan, perbaikan kualitas iklim mikro
dan perlindungan terhadap faktor perusak alami.
Penurunan fungsi dan potensi hutan di Pulau Jampea seiring
dengan makin berkurangnya luasan yang dapat dipertahankan menjadi
permasalahan yang ditemui akhir-akhir ini. Berbagai aktivitas manusia
dilakukan untuk mengubah fungsi hutan secara ekologis menjadi
pemanfaatan lahan secara ekonomis. Kerusakan hutan di Pulau Jampea
umumnya diakibatkan oleh penebangan besar-besaran dan pembukaan
lahan untuk berkebun. Hal ini tentu saja akan menimbulkan fenomena
baru bagi kawasan yang selama ini menggantungkan hidup pada
keberadaan hutan.
Keberadaan hutan di Pulau Jampea sangat diperlukan dalam
menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan dapat memberikan
pengaruh positif bagi lingkungan di sekitarnya dan hal ini berkaitan erat
dengan fungsi hutan sebagai fungsi lindung terhadap sumber daya alam
yang ada. Apabila fungsi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka
potensi terjadinya bencana alam dan potensi kerusakan lingkungan di
Pulau Jampea sulit untuk ditanggulangi.
Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan Pulau Jampea harus
disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi lindung. Untuk menjaga
keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan dilakukan upaya
rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain
mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan
kesejahteraan masyarakat. Keterkaitan manfaat tersebut
berkesinambungan dalam sebuah proses yang menjaga kestabilan fungsi
lingkungan menjadi sebuah kawasan penyangga kehidupan di sekitarnya.
Fenomena ini menjadi hal menarik untuk diteliti sebab di sekitar
kawasan hutan lindung Pulau Jampea, masyarakat telah banyak
menggantungkan kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan melakukan
pemanfaatan sumber daya alam dari dalam kawasan hutan tersebut.
Hipotesis awal yang dibangun oleh penulis adalah aktivitas masyarakat
yang dilakukan di dalam dan di sekitar kawasan hutan lindung Pulau
Jampea, umumnya tidak mempedulikan tujuan utama dari keberadaan
kawasan hutan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Aktivitas apa saja yang dilakukan oleh masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan hutan lindung Pulau Jampea?
2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut terhadap
fungsi hutan lindung Pulau Jampea?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui bentuk-bentuk aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di
dalam dan di sekitar kawasan hutan lindung Pulau Jampea.
2. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut terhadap
fungsi hutan lindung Pulau Jampea.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai bahan informasi
bagi masyarakat agar aktivitas masyarakat sekitar hutan pada kawasan
hutan lindung tidak menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi utama
hutan lindung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan dan Hasil Hutan
Junus dkk (1984) mendefinisikan hutan sebagai suatu areal di atas
permukaan bumi ini yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang agak rapat
dan luas sehingga pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan lainnya dan binatang-
binatang yang hidup dalam areal tersebut memiliki hubungan antara satu
dengan yang lain dan membentuk persekutuan hidup alam hayati dan
lingkungannya.
Peran hutan sebagai penyangga kehidupan dan potensi ekonomi
belum dinilai sebagai jasa lingkungan yang diperhitungkan. Selain hasil
hutan, jasa lingkungan dari ekosistem hutan belum tercermin sebagai
regulator air, sumber keanekaragaman hayati, udara bersih,
keseimbangan iklim, keindahan alam dan kapasitas asimilasi lingkungan
yang memiliki manfaat besar.
Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan,
hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan (Departemen Kehutanan, 1999).
Salah satu penentu ekosistem, pengelolaannya ditingkatkan secara
terpadu dan berwawasan lingkungan untuk menjaga dan memelihara
fungsi tanah, air, udara, iklim dan lingkungan hidup serta memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Inventarisasi dan
penatagunaan hutan ditingkatkan untuk memanfaatkan status kawasan
hutan, memanfaatkan hutan konversi bagi penyediaan lahan untuk
kepentingan pembangunan, serta untuk melestarikan manfaat ekosistem
dan keserasian tata lingkungan.
Simon (1994) menyatakan bahwa hutan dapat didefinisikan sebagai
assosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang
didominasi oleh pohon-pohon atau vegetasi berkayu, yang mempunyai
luasan tertentu sehingga dapat membentuk suatu iklim mikro dan kondisi
ekologi yang spesifik.
Suparmako (1994) mendefenisikan hutan sebagai assosiasi
masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-
pohon dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan
kondisi ekologis tertentu.
Keunggulan yang lebih penting bagi hutan dari sumberdaya alam
lain adalah merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Sumber-sumber hutan tidak akan kunjung habis dan kering. Pengelolaan
sumber kehutanan modern berdasarkan sifat renewable dan potensi serba
guna bagi kesejahteraan rakyat sepanjang masa (Mubyarto, 1985).
Hutan sebagai ekosistem yang dicirikan oleh komunitas pohon-
pohon dan mempunyai sumberdaya alam hayati yang pengelolaan dan
pelestariannya memerlukan pengetahuan ekologi dan pendekatan
ekosistem. Suatu prasyarat untuk penelitian ekologi hutan yaitu
pengetahuan dan pengenalan jenis-jenis tumbuhan khususnya pohon.
Dengan bekal pengetahuan dan pengenalan jenis tumbuhan, maka
penelitian ekologi hutan akan lebih baik (Soerianegara, 1996).
Sumber kekayaan alam Indonesia harus digunakan secara
rasional. Pengelolaan sumberdaya tersebut harus diusahakan agar
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan
bagi kepentingan rakyat, baik materil maupun spiritual. Hal ini dilakukan
dengan cara tidak merusak tata lingkungan hidup, namun dilaksanakan
dengan bijaksana dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan
generasi yang akan datang.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan,
hasil hutan adalah benda-benda hayati dan turunannya serta jasa yang
berasal dari hutan (Departemen Kehutanan, 1999).
Kegiatan produksi hasil hutan dan pemanfaatannya harus disertai
usaha penertiban dan pengamanan hutan serta peningkatan penanaman
kembali hutan yang rusak. Dalam pengusahaan hutan harus mencegah
terjadinya kerusakan dan pengaturan pendayagunaan serta perlindungan
hutan. Hal ini perlu ditegakkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
FAO (2001) membagi hasil hutan menjadi dua kelompok yaitu hasil
hutan berupa barang (goods) seperti makanan, bahan bakar dan lainnya
sedangkan hasil hutan berupa jasa (service) seperti perlindungan tanah
dan air, keindahan, keanekaragaman hayati dan lain-lain.
Pengusahaan hasil hutan disesuaikan dengan daya dukung sumber
daya alamnya agar kelestarian sumber daya hutan terjamin dan
perusakan lingkungan dapat dicegah. Penganekaragaman produk dan
produktivitas pengolahan hasil hutan dilanjutkan agar makin mampu
menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat termasuk kebutuhan kayu untuk perumahan penduduk.
B. Pemanfaatan Hutan
Departemen Kehutanan (2002) mendefenisikan pemanfaatan
kawasan hutan adalah kegiatan untuk memperoleh manfaat optimal dari
hutan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dalam pemanfaatan jasa
lingkungan berupa pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan
hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Menurut Junus dkk (1984), hutan dengan berbagai macam
komponen penyusunnya telah banyak memberi manfaat bagi kehidupan
umat manusia. Hutan dapat pula merupakan tempat tinggal dan tempat
berlindung bagi manusia dari gangguan binatang buas dan kondisi
lingkungan yang ekstrim.
Nilai keanekaragaman hayati dan sumber daya alam dapat dibagi
dalam nilai langsung dan nilai tidak langsung. Nilai pemanfaatan langsung
adalah nilai ekonomi langsung yang diberikan kepada produk-produk yang
dipanen secara langsung dan dipergunakan oleh orang-orang.
Nilai tidak langsung adalah nilai ekonomi tidak langsung yang
diberikan untuk aspek-aspek keanekaragaman hayati seperti proses
lingkungan dan jasa ekosistem yang memberikan keuntungan ekonomi
tanpa harus memanen atau merusak selama penggunaannya. Nilai tidak
langsung terdiri dari nilai kegunaan non-konsumtif dan nilai pilihan serta
nilai eksistensi. Nilai kegunaan non-konsumtif adalah nilai dari komunitas
biologi yang menyediakan bermacam-macam jasa lingkungan yang dapat
dinikmati tanpa harus menggunakannya atau menghabiskannya. Nilai
kegunaan non-konsumtif ini meliputi produktivitas ekosistem, perlindungan
sumber air dan tanah, pengatur iklim, pembuangan sampah, hubungan
antar spesies, reaksi dan ekoturisme, nilai pendidikan dan nilai ilmiah
serta monitor lingkungan (Departemen Kehutanan, 2005).
Selanjutnya nilai pilihan dari keanekaragaman hayati adalah
potensinya untuk menyediakan manfaat atau keuntungan ekonomis pada
masyarakat akan sesuatu dimasa yang akan datang seperti berbagai
sumber daya alternatif, obat-obatan, jenis-jenis alami pengontrol hama.
Sedangkan nilai eksistensi adalah perhatian pada tumbuh-tumbuhan,
satwa-satwa atau ekosistem dan berfikir akan pelestariannya.
Dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat hutan dan kawasan
hutan sesuai dengan amanat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang dan sesuai dengan dinamika pembangunan nasional
serta aspirasi masyarakat, pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah
peruntukan atau fungsinya (Kementerian Hukum dan HAM, 2010).
Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan,
manfaat sosial budaya, dan manfaat ekonomi, maka perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus berasaskan optimalisasi
distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan
berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan kawasan hutan dengan
luasan yang cukup dan sebaran yang proposional.
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di
luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan
produksi dan kawasan hutan lindung. Kegiatannya meliputi kegiatan religi,
pertambangan, instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta
teknologi energi baru dan terbarukan, pembangunan jaringan
telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relay televisi, jalan umum,
jalan tol, jalur kereta api, sarana transportasi yang tidak dikategorikan
sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil
produksi, sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan
instalasi air dan saluran air bersih dan/atau air limbah, fasilitas umum,
industri terkait kehutanan, pertahanan dan keamanan, prasarana
penunjang keselamatan umum atau penampungan sementara korban
bencana alam (Kementerian Hukum dan HAM, 2010).
Permasalahan yang timbul oleh pemanfaatan hutan sifatnya umum
di seluruh dunia, baik di negara maju maupun negara sedang berkembang
bersamaan dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk dan proses
industrialisasi. Permasalahan tersebut antara lain diakibatkan oleh
terbatasnya lahan seiring dengan meningkatnya kebutuhan ekonomi,
penataan kembali pemanfaatan hutan bagi daerah-daerah yang akan
melibatkan berbagai pihak (masyarakat luas) sehingga kegiatan ini sering
menimbulkan berbagai permasalahan. Pemanfaatan hutan dari suatu
ekosistem membutuhkan dasar pengambilan keputusan-keputusan secara
ilmiah (Rahim, 2000).
Pemanfaatan hutan sebagai penyedia pangan juga dilakukan
secara tidak langsung, yaitu dengan memanfaatkan kawasan hutan untuk
memproduksi sumber pangan. Pemanfaatan kawasan hutan; khususnya
pada kawasan hutan produksi, zona pemanfaatan kawasan hutan
konservasi, atau buffer zone pada kawasan hutan lindung; sudah
banyakdilakukan bersama masyarakat untuk pengembangan komoditas
lain di luar sektor kehutanan, khususnya untuk mendukung pemenuhan
pangan dan obat-obatan, serta energi. Kegiatan agroforestry, silvofishery
dan bahkan rencana pemanfaatan kawasan hutan produksi yang sudah
tidak produktif melalui silvopastura, menjadi alternatif utama dalam
meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam penyediaan pangan
(Anonim, 2009).
Kontribusi kehutanan melalui fungsi hutan sebagai penyedia
pangan dilakukan melalui pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan
fauna untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, dan obat-
obatan. Hutan juga menyimpan, bahkan memproduksi kekayaan hayati
yang merupakan sumber pangan berkualitas. Selain tumbuhan sumber
karbohidrat yang dapat berkembang dari bawah sampai ke atas lahan,
hutan juga menyimpan keragaman sumber pangan protein, lemak, vitamin
dan mineral yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Selain itu, terdapat
pula produk lebah madu yang banyak dimanfaatkan untuk pangan dan
kesehatan. Pemanfaatan ini dilakukan melalui penangkaran, budidaya
maupun pemanenan langsung di alam.
C. Kawasan Hutan Lindung
Hutan lindung sebagai aset bangsa menjadi perhatian semua
kalangan baik itu pemerintah, masyarakat, peneliti, LSM dan dunia
internasional yang pada saat itu telah terancam kelestariannya. Kawasan
hutan lindung mempunyai nilai sosial dan moral yang dapat meningkatkan
mutu dan kualitas kehidupan masyarakat melalui rekreasi, pendidikan dan
penelitian pariwisata terbatas (Arief, 2001).
Selanjutnya Djaenudin (1994) mendefinisikan hutan lindung
sebagai hutan yang perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan
dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidroorologi,
yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, memelihara keawetan
dan kesuburan tanah baik dalam kawasan hutan bersangkutan maupun
kawasan yang dipengaruhi di sekitarnya.
Di dalam hutan-hutan tersebut di atas tidak boleh dilakukan
kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi hutan tersebut. Hutan
mempunyai fungsi pelindung terhadap tanah dari tetesan hujan yang jatuh
dari awan yang mempunyai energi tertentu, karena gerak jatuhnya itu
dengan energi tertentu tetesan hujan akan memukul permukaan tanah
dan melepaskan butiran tanah sehingga akan terjadi erosi percikan.
Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan lindung
merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah (Departemen Kehutanan, 1999). Dalam
pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan dan
pemanfaatan jasa lingkungan serta pemungutan hasil hutan bukan kayu
(Hadi, 2005).
Kawasan hutan lindung memiliki banyak potensi seperti potensi
jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi
utamanya seperti pemanfaatan untuk wisata alam, pendidikan, keindahan
dan kenyamanan. Potensi lain pada hutan lindung adalah tersedianya
hasil hutan bukan kayu dengan kegiatan untuk mengambil hasil hutan
bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti
mengambil rotan, madu dan buah. Usaha pemanfaatan dan pemungutan
di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
menjaga dan meningkatkan fungsi hutan lindung sebagai amanah untuk
mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi
generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Departemen
Kehutanan, 2001).
Dalam PP No. 6 tahun 2007 pasal 12 menyangkut tata hutan pada
hutan lindung memuat kegiatan yaitu
1. Tata batas
2. Inventarisasi hutan
3. Pembagian hutan ke dalam blok atau zona (blok perlindungan,
pemanfaatan dan blok lainnya).
4. Pembagian petak dan anak petak
5. Pemetaan
Batas-batas kawasan lindung ternyata merupakan pertahanan yang
lemah dari serangan pembalakan ilegal, perambahan untuk kegiatan
petanian dan perburuan liar yang berlangsung di kebanyakan hutan-hutan
Indonesia, dimana pemukiman dan penebangan hutan ilegal berlangsung
secara terbuka.
Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani
Convention on Biological Diversity – CBD (Konvensi Keanekaragaman
Hayati, KKH) dan pada tahun 1990-an menyiapkan Strategi dan Rencana
Tindak Keragaman Hayati Nasional (National Biodiversity Strategi and
Action Plan). Dalam dekade ini banyak prioritas dalam rencana tindak ini
yang sudah diimplementasikan, termasuk perluasan sistem Kawasan
Lindung (KL), dan penetapan kawasan konservasi baru (FWI/FGW, 2001).
Kehilangan habitat-habitat alami secara dramatis, tidak hanya
hutan dataran rendah, dan juga hutan dikawasan pesisir serta ekosistem
laut dan perairan tawar menunjukkan bahwa negara ini hampir pasti
sedang mengalami proses gejolak kepunahan jenis dalam proporsi yang
begitu besar (World Bank, 2001). Hilangnya habitat ini mungkin
merupakan penyebab utama berkurangnya keanekaragaman hayati yang
terus berlangsung di Indonesia, akan tetapi fragmentasi dan degradasi
habitat, serta perburuan liar juga merupakan faktor-faktor yang penting.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 8
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menetapkan suatu
kawasan hutan menjadi kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus ini dimaksudkan untuk
kawasan yang mempunyai karakteristik yang dipandang perlu untuk
tujuan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta untuk
kepentingan religi dan budaya. Kawasan hutan dengan tujuan khusus
sebagaimana dimaksud pada pasal 8 tersebut sangat dimungkinkan
dengan ketentuan tidak mengubah fungsi pokok, kawasan hutan tersebut
(Departemen Kehutanan, 1999).
Apabila hutan tidak dipertahankan atau dilestarikan fungsi
perlindungan hutan terhadap tanah akan hilang sehingga akan terjadi
erosi bahkan longsor seperti yang banyak terjadi sekarang ini bila musim
hujan datang. Erosi akan semakin besar dengan besarnya intensitas
hujan serta makin curam dan panjangnya lereng. Akibat adanya erosi
kesuburan tanah akan berkurang karena lapisan atas sudah terkikis dan
terbawa oleh air sehingga akan menurunkan produksi tanaman dan
pendapatan petani (Sinukaban, 1994).
D. Aktivitas Masyarakat dalam Kawasan Hutan Lindung
Aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan telah menjadi
salah satu sumber pendapatan masyarakat. Banyaknya sumberdaya yang
terkandung di dalam hutan menyebabkan masyarakat melakukan
berbagai aktivitas di dalamnya, terlebih bagi masyarakat yang berdomisili
di sekitar kawasan hutan. Sumber daya hutan baik berupa kayu maupun
berupa hasil hutan lainnya sangat banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan
mengapa interaksi masyarakat dalam kawasan hutan perlu dicarikan
solusi yang tepat, agar kegiatan masyarakat tidak menimbulkan akses
yang negatif bagi kawasan (FAO, 2001). Sebagai contoh beberapa bentuk
pemanfaatan hutan dan dampaknya diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Bentuk-bentuk aktivitas beserta bentuk dampak yang potensial ditimbulkan di dalam kawasan hutan lindung
Sumber : Balai Diklat Kehutanan Makassar, 2008
Kegiatan Cara yang digunakan
Dampak Potensial
1. Pertanian Tanaman Semusim
a. Pengelolaan Tanah
b. Penanaman
c. Pemeliharaan
d. Pemanenan
a. Traktor
b. Manual
c. Pupuk, Racun
d. Manual
Merusak karena
harus membuka areal
untuk dijadikan lokasi
pertanian
2. Berkebun
a. Pengelolaan Tanah
b. Penanaman
c. Pemeliharaan
d. Pemanenan
a. Traktor
b. Manual
c. Pupuk, Racun
d. Manual
Merusak karena
harus membuka areal
untuk dijadikan lokasi
perkebunan
3. Pembuatan Gula Aren
a. Pemanenan
b. Proses pembuatan
c. Penyiapan bahan bakar
a. Sadap
b. Dimasak
c. Kayu bakar
Dapat merusak
karena kayu
bakarnya diperoleh
melalui penebangan
pohon yang masih
hidup
4. Mengambil Lebah Madu
Pengasapan
Tidak merusak dan
tempatnya dapat
dijadikan pelatihan
lebah madu
5. Pengambilan Kayu Bakar
Memotong ranting
yang sudah mati Tidak merusak
6. Berburu
Perangkap dan
senjata
Dapat mengganggu
keseimbangan
ekosistem dan
mengancam
kepunahan jenis yang
sudah langka
7. Pengambilan Kayu untuk Bahan
Rumah
Menebang Merusak karena
pohon yang masih
hidup ditebang
E. Masyarakat Hutan dan Ketergantungannya terhadap Hasil Hutan
Menurut Sagala (2002) masyarakat sekitar hutan merupakan
kelompok masyarakat setempat terutama masyarakat tradisional, baik
yang berada dalam hutan maupun yang berada di sekiar hutan. Dalam
kehidupan sehari-harinya masyarakat tradisional selalu bersikap berfikir
dan bertindak pada norma dan adat kebiasaan mereka yang ada secara
turun temurun.
Balai Pelatihan Kehutanan Samarinda (1998) mengelompokkan
masyarakat lingkungan hutan menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Masyarakat di dalam kawasan hutan (Forest Dweller), dimana
masyarakat ini dikatakan sebagai komponen alami dari ekosistem
hutan karena sudah turun temurun tinggal di dalam hutan meski tidak
memiliki tempat tinggal yang tepat. Secara umum masyarakat di
dalam kawasan hutan mempunyai masyarakat peramu (gatherers)
dan atau pemburu (hunters), walaupun ada yang mulai bercocok
tanam dan beternak dengan sederhana (cultivaters).
2. Masyarakat desa di lingkungan hutan (rural people). Masyarakat ini
mempunyai masyarakat yang tinggal secara tetap baik di dalam
maupun di sekitar hutan, dimana pada umumnya bermata
pencaharian sebagai petani atau peladang (farmers) tetapi adapula
sebagai pengrajin (craft mens) bahkan pedagang (traders).
Banyak sekali masyarakat Indonesia, meskipun jumlahnya tidak
diketahui secara pasti yang tinggal di dalam atau dipinggir hutan atau
hidupnya bergantung pada hutan. Angka estimasi yang dibuat selama
beberapa dekade yang lalu sangat bervariasi dari 1,5 sampai 65 juta
orang bergantung pada definisi mana yang digunakan dan agenda
kebijakan mana yang diikuti (Zerner, 1992).
Bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan, hutan mempunyai
fungsi sebagai tempat penyangga seluruh aspek kehidupannya, baik
aspek sosial, ekonomi maupun budaya. Menurut Mubyarto dkk (1992)
masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang secara turun temurun
telah memanfaatkan lingkungan sebagai mata pencaharian baik yang
berasal dari kayu maupun dari non kayu.
Menurut Iskandar dkk, (2004) Masyarakat sekitar hutan adalah
sekelompok orang yang tinggal di daerah-daerah hutan wilayah desa yang
masih memiliki sifat rata-rata tradisional dalam mempertahankan
perikehidupan tradisional dan leluhurnya. Terdapat hutan-hutan asli yang
mereka lindungi, di dalamnya masih terdapat keanekaragaman biologi
yang khas. Sekitar 30 juta masyarakat Indonesia berada di sekitar hutan
dan telah menggunakan hidupnya dalam hutan. Mereka juga sering
menggunakan lahan hutan yang dijadikan lahan untuk menanam padi,
kopi, buah-buahan dan kayu manis dengan peralatan yang sederhana
seperti kapak, parang dan api.
Departemen Kehutanan (2000) mendefinisikan begitu besarnya
manfaat hutan bagi kesejahteraan hidup masyarakat, maka sangat
bijaksana jika masyarakat itu merasa berhak untuk melestarikannya dan
mengamankannya dari segala gangguan. Seperti telah diketahui bersama
bahwa sebagian besar dari masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar
hutan adalah bermata pencaharian pertanian. Namun berbeda dengan
pertanian daratan rendah, para petani yang tinggal di dalam dan sekitar
kawasan hutan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi. Hutan bagi
mereka merupakan jaminan bagi ketahanan makanan (food security).
Kehidupan mereka pada umumnya tidak dapat dipisahkan dengan
ekosistemnya. Hubungan kekerabatan antar warga desa dan hubungan
timbal balik antar manusia dengan alam sekitarnya memberikan ciri khas
kehidupan masyarakat desa. Penduduk desa menjamin kesejahteraannya
dari hutan sebagai tumpuan kehidupannya, hutan menciptakan inspirasi
hidup bagi masyarakat disekitarnya. Ketergantungan masyarakat pada
hutan sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun
temurun. Dapat dikatakan mereka telah menjadi bagian dari hutan yang
tidak dapat dipisahkan (Simon, 1994).
Ketergantungan manusia terhadap sumberdaya alam (natural
resource) telah terjalin sejak kehadiran manusia pertama dibumi.
Ketergantungan tersebut dalam upaya mempertahankan eksistensinya
dan selanjutnya guna peningkatan kesejahteraannya. Akibat peningkatan
populasi penduduk dan konsekuensi pemenuhan kebutuhannya (primer,
sekunder dan tersier), masyarakat lokal tradisional mulai mencoba
memelihara dan membuat aturan sendiri pemanfaatan sumberdaya alam
agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun demikian
pengalaman tempo dulu perusakan sumberdaya misalnya hutan, tidak
pernah terdengar akibat eksploitasi berlebihan dari masyarakat lokal,
khususnya masyarakat adat (Uluk, 2001).
Ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan guna
memenuhi kebutuhan telah berlangsung sejak lama, di mulai dari cara
hidup berkelompok pada masa meramu dan berburu. Ketergantungan
tersebut berjalan terus walaupun budidaya tanaman dan pengenalan akan
jenis hewan telah mulai banyak di kenal. Orientasi dan motivasi
ketergantungan tersebut tidak akan sama antara generasi atau antara
satu kelompok masyarakat di suatu wilayah dengan kelompok masyarakat
di wilayah lainnya. Kondisi ini bisa dan senantiasa berubah sesuai dengan
perkembangan budaya seiring dengan keterbukaan wilayah sebagai
dampak negatif dari pembangunan industrialisasi sumber daya dan
modernisasi pedalaman. Hal ini tidak hanya menyebabkan perubahan
budaya tetapi dalam beberapa hal justru menyebabkan terjadinya
degradasi terhadap kualitas nilai budaya (Soemarwoto dkk, 1992).
Mubyarto dkk (1992), menyatakan bahwa petani yang tinggal
disekitar hutan melihat hutan yang ada disekelilingnya sebagai sumber
kehidupannya, juga sebagai cadangan bagi perluasan lahan usaha tani
mereka ketika petani membutuhkan tambahan lahan usaha tani akibat
pertambahan penduduk.
Ketidakberhasilan program pelestarian hutan sering diakibatkan
oleh tidak adanya peran serta yang baik dari masyarakat. Padahal
masyarakat, terutama yang berada disekitar habitat adalah unsur strategis
dari suatu usaha pelestarian kawasan hutan. Oleh karena itu pelibatan
masyarakat sebagai unsur penting dalam pengelolaan hutan sangat
penting (Departemen Kehutanan, 2005).
Sebagai akibat dari interaksi manusia dengan alam atau hutan
yakni adanya rasa ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang
begitu kuat, sehingga menghasilkan pola tindak masyarakat yang khas
dan berkembang dibawah hukum alam. Hukum alam dan hukum sosial
yang berkembang menghasilkan pola budaya seperti memungut hasil
hutan, berburu dan berladang untuk mencari makan (Soerjani, 1986).
Uluk (2001) mengemukakan bahwa kelompok suku lokal Kenyah
sangat tergantung pada hutan untuk makanan, obat, pembangunan
pendapatan rumah tangga dan mempertahankan sumber daya alam
seperti air, kesuburan tanah dan sebagai sumber dari simbol kebudayaan,
bahkan untuk pemberian nama-nama bagi anggota keluarga.
Menurut Said (1985), bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan
kebudayaan manusia, maka terdapat tiga tingkatan hubungan manusia
dengan alam yaitu manusia tunduk kepada alam yaitu menganggap alam
sebagai sesuatu yang kejam dan menimbulkan bencana; manusia
menyelaraskan diri dengan alam yaitu pada tingkat pengetahuan manusia
yang sudah berkembang; manusia menguasai alam yaitu telah berhasil
mengenali sifat-sifat alam dengan berusaha menarik manfaat besarnya.
1. Hasil-hasil Hutan Non Kayu
Pada pertengahan tahun 2000, Departemen Kehutanan
melaporkan bahwa 30 juta penduduk secara langsung megandalkan
hidupnya pada sektor kehutanan meskipun tingkat ketergantungannya
tidak didefinisikan. Sebagian besar masyarakat ini hidup dengan berbagai
strategi ekonomi portofolio tradisonal, yakni menggabungkan perladangan
padi berpindah dan tanaman pangan lainnya dengan memancing,
berburu, menebang dan menjual kayu, dan mengumpulkan hasil-hasil
hutan nonkayu (Non Timber Forest Products, NTFP) seperti rotan, madu,
dan resin untuk digunakan dan dijual. Budidaya tanaman perkebunan
seperti kopi dan karet juga merupakan sumber pendapatan yang penting
(De Beer dan McDermot, 1996).
Salah satu hasil hutan non kayu yang paling berharga adalah rotan.
Indonesia mendominasi perdagangan rotan dunia, dengan pasokan yang
melimpah dari rotan liar dan hasil budidaya yang mencapai 80 sampai
90% dari pasokan rotan di seluruh dunia (FAO, 2001).
Jutaan orang juga menggunakan tumbuh-tumbuhan hutan yang
diketahui khasiatnya untuk pengobatan. Tanaman obat dan hasil hutan
nonkayu lainnya belum begitu dihargai dan sulit untuk
mendokumentasikannya, karena sebagian besar dari tumbuhan ini tidak
muncul dalam transaksi di pasar resmi sehingga tidak dimasukkan
kedalam statistik ekonomi. Nilai ekspor total tumbuhan dan satwa liar
untuk tahun fiskal 1999/2000 lebih dari 1,5 miliar dolar, tetapi rincian dari
nilai total ini tidak dijelaskan. Manfaat nilai guna yang sifatnya bukan
komersial kemungkinan juga tinggi, seandainya masing-masing dari 30
juta masyarakat yang hidupnya mengandalkan hutan diperkirakan
memanfaatkan hasil hutan yang nilainya sebesar 100 dolar saja setiap
tahun, maka nilai totalnya akan menjadi 3 miliar dolar (FWI/FGW, 2001).
2. Jasa-jasa Lingkungan
Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat
besar. Menurut FAO (2001), jumlah total vegetasi hutan di Indonesia
menghasilkan lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada
negara-negara lain di Asia, dan setara dengan sekitar 20% biomassa di
seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini, secara kasar
menyimpan sekitar 3,5 miliar ton karbon. Mengingat penebangan hutan
yang sudah berlangsung secara ekstensif di Indonesia, sementara hutan
yang ditanami kembali sangat terbatas, kemungkinan besar perubahan
tutupan lahan ini justru lebih banyak menghasilkan karbon daripada
menyimpannya, sehingga memberikan andil terhadap pemanasan global.
Berbagai manfaat yang disediakan oleh hutan Indonesia jauh
melebihi nilai yang didapatkan dari hasil-hasil hutan. Lima belas Daerah
Aliran Sungai (DAS) terbesar di Indonesia merupakan sumber air bagi
lebih dari 16 juta orang. Hutan di DAS ini membantu melindungi pasokan
air dengan menstabilkan tanah di lereng-lereng bukit dan mengatur laju
dan kecepatan aliran sungai. Namun, DAS ini kehilangan lebih dari 20%
tutupan hutannya antara tahun 1985 dan 1997 (FWI/FGW, 2001).
Jasa-jasa lingkungan seperti ini sulit untuk diukur. Banyak bukti dari
laporan yang tidak diterbitkan dan banyak lagi dari studi lokal yang
menyatakan bahwa berbagai jasa lingkungan ini sudah semakin menurun
dengan meningkatnya deforestasi. Semakin menurunnya jasa lingkungan
ini sulit sekali dinilai dalam ukuran dollar. Para ahli sudah berusaha untuk
memberikan nilai ekonomi bagi berbagai barang dan jasa lingkungan yang
tidak dapat diperjualbelikan dipasar-pasar. Dengan menggunakan
beragam asumsi dan pendekatan metodologi, berbagai penulis telah
memberikan nilai bagi hutan-hutan tropis yang berkisar dari ratusan
sampai ribuan dollar per hektar. Secar teori nilai ekonomi
keanekaragaman hayati dan simpanan karbon saat ini jauh melebihi
pendapatan yang diperoleh dari produksi kayu bulat (IPB, 1999).
F. Dampak dan Analisis
1. Dampak
Dampak adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu
aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun
biologi. Aktivitas dapat pula dilakukan oleh manusia, misalnya
pembangunan sebuah pelabuhan dan penyemprotan dengan pestisida.
Dalam konteks AMDAL, penelitian dampak dilakukan karena adanya
rencana aktivitas manusia dalam pembangunan (Soemarwoto, 2003).
Keberadaan kawasan hutan tidak bisa dipisahkan dengan situasi
sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat yang hidup di sekitarnya dan
akan berdampak bagi kebelanjutan kawasan hutan tersebut. Masyarakat
dapat mengontrol keberlangsungan kelestarian kawasan hutan sekaligus
untuk mempertahankan kehidupannya dan menepis anggapan
masyarakat sebagai perusak hutan.
Berbagai dampak utama krisis ekonomi Indonesia terhadap hutan-
hutan bersumber dari depresiasi rupiah dan posisi komoditas Indonesia
yang semakin bersaing di pasar internasional, memikat pertumbuhan
berbagai ekspor pertanian dan sumber daya alam untuk memperbaiki
keadaan ekonomi yang cenderung merosot, dan ketidakamanan
penghasilan di kalangan penduduk pedesaan (Sunderlin, 1999).
Menurut Soemarwoto (2003), tujuan penanganan dampak ialah
untuk memperbesar dampak positif dan memperkecil dampak negatif.
Dengan demikian manfaat yang dapat diambil dari proyek pembangunan
tersebut akan dapat diperbesar. Dalam rencana penanganan dampak
beberapa hal perlu diperhatikan:
1. Penanganan dampak haruslah mencakup pertimbangan lingkungan.
Karena itu harus diperhatikan, penanganan dampak akan
menimbulkan pula dampak. Yang diharapkan tentulah bahwa
dampaknya akan positif.
2. Beberapa jenis dampak hanya memerlukan cara penanganan yang
sederhana dan dampaknya terhadap lingkungan sangatlah kecil,
sehingga dampak penanganan tersebut dapat diabaikan.
3. Penanganan dampak dimulai dari pemilihan alternatif proyek.
4. Penanganan dampak memerlukan biaya.
5. Penanganan dampak mencakup pula penanganan dampak positif
dalam bentuk usaha untuk memperbesarnya, pihak pemrakarsa sering
tidak akan berminat untuk memanfaatkan dampak positif ini.
Dampak langsung penebangan terhadap hutan yang sangat jelas,
adalah hilangnya sejumlah pohon tertentu. Sedangkan dampak tidak
langsungnya adalah pengaruh yang besar terhadap kelangsungan atau
keberadaan hutan dataran rendah di masa depan (Appanah dan Mohd
Rasol, 1995). Dampak-dampak dari penebangan hutan-hutan ini jauh
lebih besar daripada batasan-batasan yang diberlakukan dalam
pemberian hak pengusahaan hutan (Janzen, 1974).
a. Identifikasi Dampak Potensial
Pada tahap ini kegiatan pelingkupan dimaksudkan untuk
mengidentifikasi segenap dampak lingkungan hidup (primer, sekunder,
dan seterusnya) yang secara potensial akan timbul sebagai akibat adanya
rencana usaha dan/atau kegiatan. Pada tahapan ini hanya diinventarisasi
dampak potensial yang mungkin akan timbul tanpa memperhatikan
besar/kecilnya dampak, atau penting tidaknya dampak. Dengan demikian
pada tahap ini belum ada upaya untuk menilai apakah dampak potensial
tersebut merupakan dampak penting.
Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil
konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa, instansi yang
bertanggungjawab, masyarakat yang berkepentingan serta dilengkapi
dengan hasil pengamatan lapangan (observasi). Selain itu identifikasi
dampak potensial juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode-
metode identifikasi dampak berikut ini:
a. Penelaahan pustaka
b. Analisis isi (content analysis)
c. Interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming, dan lain-lain)
d. Metode ad hoc
e. Daftar uji (sederhana, kuesioner, deskriptif)
f. Matrik interaksi sederhana
g. Bagan alir (flowchart)
h. Pelapisan (overlay)
i. Pengamatan lapangan (observasi)
b. Evaluasi Dampak Potensial
Pelingkupan pada tahap ini bertujuan untuk
menghilangkan/meniadakan dampak potensial yang dianggap tidak
relevan atau tidak penting, sehingga diperoleh daftar dampak penting
hipotesis yang dipandang perlu dan relevan untuk ditelaah secara
mendalam dalam studi ANDAL. Daftar dampak penting potensial ini
disusun berdasarkan pertimbangan atas hal-hal yang dianggap penting
oleh masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan, instansi
yang bertanggungjawab, dan para pakar. Pada tahap ini daftar dampak
penting hipotesis yang dihasilkan belum tertata secara sistematis.
Metode yang digunakan adalah interaksi kelompok (rapat,
lokakarya, brainstorming). Kegiatan evaluasi dampak potensial ini
terutama dilakukan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan (yang
dalam hal ini dapat diwakili oleh konsultan penyusun AMDAL), dengan
mempertimbangkan hasil konsultasi dan diskusi dengan pakar, instansi
yang bertanggungjawab serta masyarakat yang berkepentingan.
c. Klasifikasi dan Prioritas Dampak Penting
Pelingkupan yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk
mengelompokkan/mengorganisir dampak penting yang telah dirumuskan
dari tahap sebelumnya dengan maksud agar diperoleh klasifikasi dan
prioritas dampak penting hipotetik yang akan dikaji lebih lanjut dalam
dokumen ANDAL.
Dalam melakukan klasifikasi dan prioritas, perlu memperhatikan
hal-hal berikut:
a. Kebijakan atau peraturan yang menjadi dasar untuk arahan kajian
AMDAL selanjutnya, seperti standar/baku mutu dan lain-lain.
b. Konsep saintifik dari kajian yang akan dilakukan.
Dampak penting hipotetik tersebut dirumuskan melalui 2 (dua)
tahapan :
1. Segenap dampak penting dikelompokkan menjadi beberapa kelompok
menurut keterkaitannya satu sama lain.
2. Dampak penting yang berkelompok tersebut selanjutnya diurut
berdasarkan kepentingannya.
2. Analisis
a. AMDAL dalam kelayakan pembangunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan bertujuan agar lingkungan
dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dengan kata lain
perubahan lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan, baik yang
direncanakan maupun yang terjadi di luar rencana, tidak akan
menurunkan atau menghapus kemampuan lingkungan untuk mendukung
kehidupan kita pada tingkat kualitas hidup yang lebih tinggi. Untuk
mencapai tujuan ini hasil akhir Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
haruslah berupa rencana pengelolaan lingkungan (Soemarwoto, 2003).
Kelayakan rencana pembangunan secara kelembagaan ditentukan
da diputuskan oleh Komisi AMDAL dengan memperhatikan pertimbangan
Tim Teknis sektor yang berangkutan. Tetapi menurut PP No. 27 Tahun
1999 dalam Bab VI tentang keterbukaan Informasi dan peran masyarakat
dijelaskan peran serta masyarakat sebagai berikut :
Pasal 33
1. Setiap usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat 2 wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat
sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak
lingkungan hidup
2. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
instansi yang bertanggungjawab dan pemrakarsa.
3. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannya
rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), warga masyarakat yang berkepentingan berhak mengajukan
saran, pendapat dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut.
4. Saran, pendapat dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diajukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab
5. Saran, pendapat dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib dipertimbangkan dan dikaji dalam analisis mengenai dampak
lingkungan hidup
6. Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), serta tata cara penyampaian saran, pendapat dan tanggapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Kepala Instansi
yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 34
1. Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam
proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan,
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
2. Bentuk dan tata cara keterlibatan warga masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi ang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 35
1. Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran,
pendapat dan tanggapan warga masyarakat yang berkepentingan,
kesimpulan komisis penilai dan keputusan kelayakan lingkungan hidup
dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum
2. Instansi yang bertanggungjawab wajib menyerahkan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada suatu lembaga
dokumentasi dan/atau kearsipan.
Oleh karena itu perlu diberikan kesempatan kepada masyarakat,
baik melalui organisasi lingkungan antara lain Yayasan Lembaga
Konsumen, LSM dan lain-lain maupun melalui pejabat Pemda untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Untuk itu disusun
suatu pegangan atau pedoman dasar yang dapat digunakan sebagai
telaah terhadap makna pembangunan bagi kepentingan umum.
b. Analisis kejadian
Analisis kejadian atau incidence analysis adalah pertanyaan
tentang implikasi makna pelaksanaan dan hasil progam pembangunan.
Sejak awal tahun 1970 telah dirasakan bahwa pertumbuhan ekonomi
mulai tidak memberikan makna bagi kelangsungan peri kehidupan untuk
peningkatan kualitas hidup serta derajat kesejahteraan mereka yang
miskin. Pada saat itu para perencana pembangunan mulai memikirkan
bagaimana pembangunan dapat ditujukan bagi :
1. Pencukupan kebutuhan dasar
2. Terciptanya kesempatan berusaha/bekerja
3. Peningkatan produktivitas mereka yang miskin
4. Mengurangi kesenjangan antara pendapatan dengan ketidakadilan
dalam mencapai kesejahteraan
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengubah atau
memodifkasi lingkungan hidup fisik dan sosial budaya agar menggapai
sasaran ekonomi dari pembangunan. Berbagai program pembangunan
perkotaan, perumahan, jalan besar, dam, pembangkit listrik, industri dan
sebagainya diketahui dampaknya terhadap lingkungan fisik, tetapi kurang
dipertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan, kesejahteraan dan
nilai-nilai sosial budaya masyrakat. Hal ini baik yang berlangsung
sementara dalam jangka panjang maupun yang dapat terjadi untuk
selamanya.
Upaya untuk mengurangi dampak dan risiko bagi masyarakat harus
diperhitungkan sebagai biaya sosial pembangunan. Karena itu mulai perlu
dipikirkan perlunya memilih stakeholder pembangunan yang terdiri atas :
1. Eksekutif, pemerintah yang mengambil kebijakan
2. Swasta yang bergerak dibidang bisnis, baik pertambangan, industri
maupun pelayanan jasa/barang
3. Lembaga pendidikan yang mempersiapkan tenaga kerja
pembangunan
4. Masyarakat luas, baik perorangan maupun organisasi masyarakat
termasuk para pemimpin, ulama dan pemuka masyarakat
5. Media massa sebagai sumber informasi dan motivator
Stakeholder seperti disebutkan diatas terdiri dari :
1. Stakeholder aktif yaitu para stakeholder : pemrakarsa, pemodal,
pelaksana yang langsung terlibat
2. Stakeholder pasif atau affectee, yaitu penerima makna, dampak dan
risiko pembangunan
Jadi setiap program pembangunan tidak cukup hanya
mempehitungkan keuntungan yang diperoleh stakeholder, tetapi juga
bagaimana yang tidak langsung terlibat akan menerima akibat, dampak
atau risiko (Moore, 1973). Contohnya adalah :
1. Pendirian industri air minum, tidak hanya keuntungan pemilik pabrik
yang harus diperhitungkan tetapi para penjual air bersih keliling perlu
dicari cara pengalihan profesinya, mungkin sebagai karyawan industri
air minum atau agen-agennya
2. Penutupan TPA (Tempat Penataan Akhir) seperti Bantar Gerbangdi
Bekasi, tentu menguntungkan penduduk yang daerahnya tercemar,
sedang nasib para pemulung perlu disalurkan ke arah yang tetap
memberi peluang pekerjaan bagi mereka
3. Berbagai program pembangunan perlu dianalisis secara cermat
kejadian apa yang akan timbul, baik pelaksana maupun bagi penderita
(Sorenson, 1970).
G. Pola Pemanfaatan Kawasan Hutan
Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan yaitu berupa
manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.
Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya
sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi
dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila
pengelolaan sumber daya alam berupa hutan seiring dengan upaya
pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan
(Alam, 1998).
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat dalam Flamin (2001)
menjelaskan bahwa pola pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat
merupakan suatu dasar bagaimana kawasan itu dimanfaatkan oleh
masyarakat dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat. Pola
penggunaan lahan merupakan proporsi dari berbagai penggunaan lahan
pada suatu wilayah tertentu.
Pada prinsipnya masyarakat sekitar hutan bertanggungjawab atas
pengelolaan sumber daya hutan, dimana pada prakteknya dilakukan
melalui upaya kerjasama atau kemitraan dengan pihak pemerintah.
Masyarakat secara tidak langsung membangun suatu sistem pengelolaan
yang dibentuk melalui kebiasaan, adat istiadat, pengalaman, kesepakatan
tidak tertulis, sejumlah kebijakan, ilmu pengetahuan dan keterampilan
praktis serta ilmu pengetahuan lokal masyarakat yang dilakukan secara
turun temurun (Ritchie et. al, 2001).
Menurut Arsyad (2010), penggunaan lahan adalah segala macam
campur tangan manusia, baik sementara maupun terus menerus terhadap
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan
dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu penggunaan lahan untuk
kehidupan sosial dan penggunaan lahan untuk kebutuhan ekonomi.
Penggunaan lahan untuk kehidupan sosial, termasuk dari dalamnya
lahan-lahan perumahan, sekolah, rumah-rumah ibadah, tanah lapang
untuk rekreasi dan kegiatan olah raga, sarana kesehatan dan sebagainya
yang pada umumnya menyatu dalam pemukiman.
Penyediaan pangan yang berasal dari hutan sudah terjadi sejak
lama. Pemanfaatan hutan untuk sumber pangan, selain produk dan jasa
kehutanan, sudah dilakukan oleh masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan secara tradisonal dan turun-temurun. Pola-pola pemanfaatan
tersebut sangat beragam, mulai dari memanen langsung jenis-jenis
komoditas hutan, baik flora maupun fauna, hingga mengusahakan lahan
hutan untuk memproduksi pangan. Bahkan, saat ini sudah dilakukan
penerapan pengelolaan lahan hutan dengan bebagai pola untuk
memproduksi pangan melalui program dan kegiatan sektor kehutanan
(Anonim, 2009).
Iskandar dkk (2004) mengemukakan bahwa prinsip pengelolaan
hutan dewasa ini telah mengalami perubahan mendasar yakni lebih
mengarah kepada pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau yang
lebih dikenal dengan community based forest manajement. Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat adalah paradigma pembangunan kehutanan
yang bertumpu pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dimana
masyarakat menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Pemanfaatan sumberdaya hutan yang berlebih dan tidak terkendali
dapat mengakibatkan kerusakan hutan dan mengurangi keberlanjutan
penyediaannya di masa mendatang. Sebenarnya pada tingkat masyarakat
tradisional, pengelolaan sumberdaya hutan sudah dilakukan dalam bentuk
kearifan tradisional (traditional wisdom). Namun demikian, perkembangan
jaman dan masuknya pola pikir modern, terutama tuntutan ekonomi,
menyebabkan tekanan yang tinggi terhadap potensi sumberdaya hutan.
Oleh sebab itu, pemerintah melakukan pengaturan-pengaturan untuk
mengurangi laju penurunan dan perusakan sumberdaya hutan tersebut.
Selain itu, kebijakan dan program pemanfaatan hutan sebagai sumber
pangan kini telah memberikan akses yang lebih baik kepada masyarakat
dengan mengelola lahan hutan untuk memproduksi pangan. Pola
pemanfaatan hutan tersebut kini banyak dilakukan dengan sistem
tumpangsari (program agroforestry), pengusahaan tanaman pangan yang
juga berfungsi penghasil produk dan jasa kehutanan, seperti sukun serta
penanaman Jenis Pohon Serba Guna (Muli Purpose Trees Species)
lainnya (Anonim, 2009).
Masyarakat sebagai pelaku utama sekaligus menjadi pemeran
utama dalam pengelolaan hutan, maka hal ini dapat terwujud apabila
terdapat pengakuan akan hak-hak pengelolaan, pengendalian dan
pemanfaatan sumber daya hutan. Operasionalisasi di lapangan
diserahkan kepada lembaga lokal sesuai dengan sistem sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat. Oleh sebab itu pendekatan yang digunakan
bersifat lokal spesifik namun tetap memadukan antara kearifan lokal
dengan perkembangan lPTEK (Iskandar dkk, 2004).
Sistem pemanfaatan sumberdaya hutan bergeser mengikuti
perkembangan jaman dan akses terhadap pola kehidupan yang lebih
maju. Sistem pertanian umumnya sudah dilakukan dalam bentuk
pertanian menetap dengan mengembangkan kultivar unggul sebagai
sumber pangan. Namun demikian, persepsi tentang pangan dari hutan
tidak berhenti begitu saja. Walaupun sistem yang dikembangkan hingga
saat ini sebagai pertanian modern, pemanfaatan SDG (sumber daya
genetik) asal hutan masih terus dilakukan, antara lain untuk
pengembangan penangkaran dan budidaya, baik dari jenis tumbuhan
maupun satwa liar (Anonim, 2009).
1. Interaksi Positif Masyarakat dengan Kawasan Hutan Lindung
Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan cukup besar karena
sekitar 30 juta masyarakat Indonesia berada di sekitar hutan dan
menggantungkan hidupnya pada hutan. Kawasan hutan dengan status
kawasan konservasi merupakan wilayah yang perlu dijaga dengan baik,
wilayah tersebut paling banyak mendapat tekanan dari masyarakat karena
berbagai kepentingan masyarakat di dalamnya (Iskandar dkk, 2004).
Interaksi masyarakat terhadap hutan diantaranya dapat berupa
penyediaan areal untuk kegiatan camping, bumi perkemahan, areal
budidaya, perlebahan, pengembangan tanaman pendukung industri dan
bebagai kegiatan lainnya sebagai bentuk interaksi masyarakat terhadap
kawasan konservasi yang akan memberikan manfaat langsung kepada
masyarakat.
Terdapat pula kegiatan lainnya seperti pengambilan kayu bakar,
pengambilan buah seperti buah kemiri, keluak, kolang-kaling, pakan
ternak, pengambilan nira dan pembuatan gula aren dalam kawasan hutan
juga merupakan salah satu bentuk interaksi masyarakat sekitar kawasan
hutan.
2. Interaksi Negatif Masyarakat dengan Kawasan Hutan Lindung
Masyarakat sekitar kawasan hutan sering melakukan penebangan
pohon dalam kawasan hutan untuk kepentingan ramuan rumah dan
biasanya dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah
tangga saja dan tidak dilakukan dengan tujuan komersil. Hal inipun
dilakukan karena keterpaksaan, mereka tidak mampu untuk membeli kayu
dipasaran dengan harga yang cukup tinggi (Mubyarto dkk, 1992),
Kebiasaan masyarakat sekitar kawasan hutan dalam
menggembalakan ternak atau berburu dengan membakar padang rumput
untuk memancing tumbuhnya rumput-rumput muda untuk kepentingan
penggembalaan maupun berburu. Terdapat pula lahan dalam hutan
lindung yang telah ditanami berbagai tanaman tahunan perkebunan, ini
dilakukan karena alasan mereka tidak memiliki lahan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Bentuk interaksi lainnya berupa pencarian madu dalam kawasan
maupun sekitar kawasan yang menggunakan sistem konvensional dengan
mengasapi lebah hutan sebelum mengambil madunya. Hal ini dilakukan
hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak dilakukan
secara besar-besaran.
H. Kerangka Pikir Penelitian
Kawasan hutan dengan fungsi pokok sebagai fungsi lindung
merupakan penyangga kehidupan masyarakat khususnya masyarakat
sekitar hutan. Masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Pulau Jampea
secara turun temurun telah memanfaatkan lingkungan sebagai mata
pencaharian baik yang berasal dari kayu maupun dari non kayu. Dengan
adanya Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 760/Kpts/Um/10/82 pada
tanggal 12 Oktober 1982 masyarakat tetap tidak mempedulikan
keberadaan kawasan hutan lindung Pulau Jampea. Interaksi masyarakat
dengan kawasan hutan lindung cukup besar diantaranya pembukaan
lahan untuk berkebun, pembuatan gula aren, pengambilan rotan,
perburuan dan lain-lain.
Pola aktivitas masyarakat terhadap kawasan hutan lindung Pulau
Jampea harus memperhatikan sumber daya alam yang ada, fungsi-fungsi
ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan, sehingga akan memberikan
peranan nyata apabila pengelolaan tersebut seiring dengan upaya
pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan. Oleh
karena itu aktivitas penelitian ini yang pertama-tama akan dilakukan
yaitu dengan melakukan orientasi lapangan baik kawasan hutan lindung
maupun kondisi masyarakat Pulau Jampea untuk mendapatkan
gambaran umum obyek penelitian. Selanjutnya akan digali informasi
tentang bentuk aktivitas sehari-hari mereka yang bersentuhan dengan
kawasan hutan dan sejak kapan masyarakat melakukan hal tersebut.
Melalui deskripsi aktivitas masyarakat tersebut, akan didapatkan
rangkuman bentuk-bentuk aktivitas masyarakat Pulau Jampea dalam
kawasan hutan lindung, sehingga hasilnya dapat dijadikan acuan untuk
menganalisis dampak-dampak dari aktivitas tersebut terhadap fungsi
utama kawasan hutan lindung.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini akan diusahakan untuk
direkomendasikan kepada pengambil kebijakan untuk rencana
pengelolaan hutan lindung di masa yang akan datang. Dengan adanya
rencana pengelolaan yang bijak, maka segala aktivitas masyarakat
disekitar kawasan dapat disinergikan dengan upaya pelestarian fungsi
kawasan dengan meminimalkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan
dari aktivitas masyarakat didalam kawasan hutan lindung Pulau
Jampea sehingga pengelolaan kawasan hutan secara optimal dapat
tercapai.
Untuk lebih memahami alur pemikiran penelitian ini, maka perlu
dibuatkan kerangka pikir penelitian dalam melukiskan hubungan
beberapa konsep yang akan diteliti yang arahnya untuk menjawab
rumusan masalah dan disusun secara deskriptif dengan hubungan
variabel dan indikatornya dalam bentuk bagan seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
KAWASAN HUTAN
INTERAKSI MASYARAKAT DENGAN HUTAN LINDUNG
PULAU JAMPEA
POLA AKTIVITAS : KAWASAN HUTAN LINDUNG SUMBER DAYA ALAM
ANALISIS MANFAAT & DAMPAK
DAMPAK NEGATIF
PEMAHAMAN TENTANG
MANFAAT & DAMPAK
DAMPAK POSITIF
REORIENTASI PEMANFAATAN & PENGELOLAAN
DAMPAK
SK MENPAN NO. 760/KPTS/UM/10/82
12 OKTOBER 1982 HUTAN LINDUNG PULAU JAMPEA
PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG
SECARA OPTIMAL
MASYARAKAT SEKITAR
KAWASAN HUTAN LINDUNG
PULAU JAMPEA
I. Definisi Operasional
Dalam menjelaskan bagaimana suatu variabel diukur ketika
penelitian akan dilakukan maka uraian definisi operasional sangat
diperlukan. Untuk mendapatkan pemahaman atau persepsi yang sama
dalam menanggapi persoalan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas
masyarakat Pulau Jampea Kabupaten Kepulauan Selayar terhadap hutan
lindung, maka beberapa konsep dasar istilah yang digunakan dalam
penelitian ini akan didefinisikan sebagai berikut :
a. Aktivitas masyarakat adalah suatu aktivitas berupa kegiatan
pemanfaatan kawasan hutan lindung yang dilakukan oleh masyarakat
sekitar hutan.
b. Dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat dari
aktivitas masyarakat didalam kawasan hutan lindung.
c. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.
d. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut dan memelihara kesuburan tanah.
e. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
f. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan adalah sifat kebutuhan
manusia terhadap hasil hutan tertentu secara terus menerus.
g. Manfaat adalah suatu nilai guna yang dihasilkan dari sumberdaya
dengan suatu aktivitas yang dilakukan.
h. Pola pemanfaatan adalah suatu gambaran atau patokan yang
digunakan dalam memanfaatkan sesuatu.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kombinasi antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Yang dominan
dalam penelitian ini adalah metode kualitatif lalu didukung dengan
metode kuantitatif untuk melihat secara umum wilayah studi guna
mendapatkan informasi langsung berdasarkan teknik-teknik pengambilan
data yang digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menyajikan
data dalam bentuk narasi dari gambaran nyata obyek kajian yang
diperoleh melalui metode wawancara, observasi dan studi pustaka.
Jenis atau strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus.
Pada umumnya, dalam penelitian studi kasus dihubungkan dengan
sebuah lokasi. “Kasusnya” mungkin sebuah organisasi, sekumpulan orang
seperti kelompok kerja atau kelompok sosial, komunitas, peristiwa, proses,
isu, maupun kampanye (Daymon, 2002).
Menurut Yin (2009), studi kasus yang selama ini dikerjakan berkisar
pada keputusan-keputusan, program-program, proses implementasi, dan
perubahan organisasi. Dalam penelitian ini kasus yang dimaksud adalah
dampak akivitas masyarakat sekitar hutan pada kawasan hutan lindung
Pulau Jampea Kabupaten Kepulauan Selayar.
B. Pengelolaan Peran Peneliti
Peneliti berperan sebagai instrumen utama penelitian.
Pengumpulan informasi di lapangan murni dilakukan oleh seorang peneliti
utama yang sekaligus tenaga lapangan dan analisis data, dimana
kehadiran peneliti dilokasi penelitian diketahui oleh informan.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Jampea Kabupaten Kepulauan
Selayar Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan April sampai dengan Juni
2012. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan atas pertimbangan bahwa
masyarakat di Pulau Jampea ini berbatasan langsung dengan kawasan
hutan lindung. Adapun lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Proses pelaksanaan penelitian dimulai dari persiapan, penulisan
laporan sampai dengan perbaikan laporan yang kemudian dirangkum
dalam matriks jadwal pelaksanaan penelitian seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Tahap-tahap penelitian dan jadwalnya
No
Kegiatan
Bulan ke I
Bulan ke II
Bulan ke III
Bulan ke IV
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan
2 Survey Lapangan
3 Pengurusan Izin Penelitan
4 Pengumpulan Data Sekunder
5 Tabulasi Data Sekunder
6 Pembuatan Daftar Pertanyaan
7 Pengumpulan Data Primer
8 Pemeriksaan Data Primer
9 Tabulasi Data Primer
10 Analisis Data Primer
11 Diskusi Dengan Teman
12 Penulisan Laporan
13 Uji Coba Seminar Hasil
14 Seminar Hasil
15 Perbaikan Laporan
D. Populasi dan Teknik Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Pulau Jampea
Kabupaten Kepulauan Selayar yang melakukan aktivitas dalam kawasan
hutan lindung.
Pengambilan sampel dilapangan dilakukan dengan teknik
purposive sampling. Stratifikasi sampel lokasi penelitian dilakukan dengan
memilih desa yang berada atau bersentuhan langsung dengan kawasan
hutan lindung, dimana desa yang di pilih adalah Desa Ma’minasa dan
Desa Kembangragi Kecamatan Pasimasunggu dan Desa Bontobaru
Kecamatan Pasimasunggu Timur. Pada desa terpilih tersebut selanjutnya
dilakukan penentuan responden yaitu masyarakat yang melakukan
aktivitas dalam kawasan hutan lindung.
E. Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan terdiri dari data primer
dan data sekunder, yaitu :
1. Data primer diperoleh dari wawancara (interview) dengan responden
atau masyarakat yang melakukan akivitas dalam kawasan hutan dan
observasi langsung dengan mencatat langsung bentuk kegiatannya di
dalam dan sekitar kawasan hutan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari yang terkait dengan objek penelitian.
2. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka atau dokumentasi dengan
pengkajian terhadap pustaka atau dokumen-dokumen, laporan
penelitian dan literatur yang ada pada berbagai instansi terkait maupun
dari informan lain yang berkaitan dengan penelitian.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara (interview),
observasi langsung dan studi pustaka/dokumentasi dengan teknik yang
digunakan sebagai berikut :
1. Wawancara (interview) yang menggunakan pedoman wawancara atau
kuisioner, yaitu teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dan
informasi bentuk-bentuk pemanfaatan dan jenis-jenis sumberdaya
yang dimanfaatkan oleh masyarakat dari kawasan hutan beserta
obyek yang ditimbulkannya.
2. Observasi langsung, yaitu teknik yang digunakan untuk mengamati
langsung bentuk-bentuk pamanfaatan lahan, tumbuhan dan satwa liar
oleh masyarakat pada kawasan hutan lindung. Pengamatan
pemanfaatan potensi kawasan berupa budidaya tanaman yaitu
dengan mengamati kegiatan budidaya apa saja yang dilakukan oleh
masyarakat di dalam kawasan hutan lindung, pemanfaatan air dan
kesuburan tanah, misalnya bagaimana sistem pemanfaatan lahan,
jasa lingkungan berupa pemanfaatan potensi wisata dan pengambilan
hasil hutan kayu dan non kayu serta bagaimana cara yang dilakukan
oleh masyarakat di dalam memanfaatkan potensi yang ada.
3. Studi pustaka atau dokumentasi yaitu teknik yang digunakan untuk
pengkajian terhadap pustaka atau dokumen- dokumen yang berkaitan
dengan hutan dan monografi Pulau Jampea, laporan penelitian
sebelumnya dan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.
G. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan akan dianalisis dengan
metode deskriptif kualitatif yaitu dengan menggambarkan dan
menguraikan segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di
dalam kawasan hutan dan dampak-dampak dari aktivitas masyarakat
terhadap kegiatan yang sering dilakukan pada kawasan hutan tersebut.
Disamping itu juga akan dilakukan analisis dengan metode kuantitatif
dengan menggunakan tabulasi persentase untuk menganalisis pola
pemanfaatan kawasan hutan.
H. Pengecekan Validitas Temuan
Untuk mengetahui validitas temuan data maka dilakukan
pengumpulan data dengan menggunakan dua cara triangulasi, yaitu:
1. Triangulasi sumber, yaitu mencek data dengan fakta dari sumber lain
(informan yang berbeda), membandingkan dan melakukan kontras
data ketika menginvestigasi dengan informan lain dan menginvestigasi
dengan menggunakan kelompok informan yang sangat berbeda.
2. Triangulasi metode, yaitu dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode saat pengumpulan data, yaitu wawancara mendalam dan
observasi langsung.
I. Bagan Alir Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai dari tahap persiapan sampai
dengan penyusunan laporan yang disajikan dalam bentuk bagan seperti
pada Gambar 3.
Gambar 3. Bagan alir tahap-tahap penelitian
SURVEY PENDAHULUAN
ANALISIS DATA
INTERPRETASI
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER
PEMBAHASAN
MENARIK KESIMPULAN
MENYUSUN LAPORAN
PEMBUATAN DAFTAR PERTANYAAN
PENGAMATAN DI LAPANGAN
TABULASI DATA
PERSIAPAN
PENGUMPULAN DATA PRIMER
Gambar 3 menjelaskan bahwa pelaksanaan penelitian diawali
dengan persiapan kemudian survey pendahuluan di kawasan hutan
lindung Pulau Jampea dan dilanjutkan dengan pengumpulan data
sekunder dan membuat daftar pertanyaan untuk mengumpulkan data
primer berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan. Setelah itu
data ditabulasi untuk dianalisa dan diinterpretasikan dalam bentuk
gambar, tabel dan narasi. Langkah selanjutnya membuat pembahasan
dari gambaran nyata di lapangan dengan hasil wawancara dan
pengamatan, kemudian dibuat kesimpulan dan terakhir menyusun
laporan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
1. Keadaan Bio-Fisik
a. Luas dan Letak Wilayah
Wilayah penelitian ini mencakup dua kecamatan yaitu Kecamatan
Pasimasunggu yang terletak diantara 120030’-120030’20” BT dan 600’-
7030’ LS dan Kecamatan Pasimasunggu Timur yang terletak diantara
120030’12”-120030’24” BT dan 6045’-7001’ LS dengan luas wilayah
15.937,20 Ha atau 159,37 km2 yang berada di Kabupaten Kepulauan
Selayar dengan batas-batas sebagai berikut :
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Selayar
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores
3) Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Flores
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pasimarannu
b. Topografi
Pulau Jampea Kabupaten Kepulauan Selayar mempunyai bentuk
wilayah yang bervariasi dengan kelas lereng terluas adalah kelas lereng V
(sangat curam) dan selanjutnya diikuti oleh kelas lereng I (datar).
Persebaran dan nilai luasan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas dan persentase kelas lereng Pulau Jampea
Keterangan Kelas Luas (Ha) Persentase (%)
I (datar) <2 5699,52 35,76
V (sangat curam) 41-60 10237,67 64,24
Jumlah 15937,20 100,00
Sumber: Analisis Peta RBI, 1991.
Gambar 4. Sebaran kelas kelerengan di Pulau Jampea.
Berdasarkan Tabel 3 bahwa kelas lereng terluas di Pulau Jampea
yaitu kelas lereng dengan klasifikasi sangat curam (41 – 60 %) dengan
luas 10237,67 Ha atau sekitar 64,24%, selanjutnya diikuti oleh kelas
lereng datar (0 – 3 %) dengan luas 5699,52 Ha atau 35,76% dari luas
pulau yang tersebar di Kecamatan Pasimasunggu dan Kecamatan
Pasimasunggu Timur.
c. Jenis Tanah
Tabel 4. Luas dan persentase jenis tanah Pulau Jampea
Sumber: Peta Landsystem, 1982
Gambar 5. Sebaran jenis tanah di Pulau Jampea.
Berdasarkan Tabel 4 bahwa Pulau Jampea terdiri dari dua jenis
tanah yaitu Inceptisol dengan luas 10237,67 Ha atau 64,24% dan jenis
tanah Entisols 5699,52 Ha atau 35,76%. Berdasarkan peta jenis
tanahnya, memiliki jenis tanah Entisols yang tersebar pada wilayah landai
dan bergelombang dan jenis tanah Inceptisol yang tersebar di punggung-
punggung bukit. Jenis tanah ini termasuk jenis tanah yang peka terhadap
erosi sehingga pemanfaatannya harus hati-hati.
Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase (%)
Inceptisols 10237,67 64,24
Entisols 5699,52 35,76
Jumlah 15937,20 100,00
d. Iklim
Iklim merupakan salah satu potensi alam, namun kenyataannya
sering menjadi faktor penghambat yang sifatnya permanen karena secara
makro sulit atau tidak dapat dimodifikasi. Menurut Bey dan Las (1991)
iklim dengan berbagai unsurnya, seperti curah hujan, radiasi surya, suhu
udara, kelembaban udara dan angin adalah faktor yang paling
menentukan keberhasilan usaha khususnya di bidang pertanian. Berikut
ini di tampilkan curah hujan bulanan di Pulau Jampea selam 10 tahun
terakhir terhitung periode 2001 - 2010 pada Satasiun Meteorologi
Bontosikuyu seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-Rata Curah Hujan (mm) periode 2001 – 2010 di Wilayah Pulau Jampea
Sumber : Stasiun Metorologi Bontosikuyu
Menurut sistem klasifikasi Schmidth-Fergusson (BB = CH >100
mm bulan –1; BK = CH < 60 mm bulan –1) bahwa di wilayah Pulau Jampea
cakupan Stasiun Meteorologi Bontosikuyu tergolong tipe iklim C, yaitu
terdapat rata-rata 26 bulan basah (BB) dan rata-rata 10 bulan kering (BK)
dengan nilai Quotient (Q) = 38,46 %. Kenyataan ini berindikasi bahwa di
wilayah cakupan stasiun ini tergolong tipe iklim agak basah dengan
vegetasi hutan rimba diantaranya jenis kayu yang menggugurkan daunnya
pada musim kemarau.
e. Musim Tanam
Pulau Jampea mempunyai dua musim tanam, yaitu musim tanam
rendengan (musim barat) yang jatuh pada bulan Desember sampai
dengan bulan Juni dan musim tanam gadu (musim timur) yang jatuh pada
bulan Juli sampai dengan November.
2. Pembagian Wilayah Administratif
Pulau Jempea secara administratif terbagi atas dua kecamatan dan
10 desa yaitu Kecamatan Pasimasunggu yang terdiri atas Desa
Kembangragi, Desa Labuang Pamajang, Desa Ma’minasa, Desa
Massungke, Desa Tanamalala, Desa Bontosaile dan Kecamatan
Pasimasunggu Timur yang terdiri atas Desa Bontobulaeng, Desa
Bontobaru, Desa Bontomalling dan Desa Lembang Baji dengan perincian
pada Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Nama Desa, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu
No. Nama Desa Luas Wilayah
(km2) Jumlah
Penduduk Jumlah KK
1. Desa Kembangragi 15,50 2.203 628
2. Desa Lab.Pamajang 21,78 1.039 325
3. Desa Ma’minasa 30,50 2.057 494
4. Desa Massungke 13,55 954 460
5. Desa Tanamalala 12,40 825 196
6. Desa Bontosaile 11,34 864 210
Jumlah 105,07 7.942 2.313
Sumber Data : Kantor Camat Pasimasunggu Tahun 2011
Tabel 7. Nama Desa, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur
No. Nama Desa Luas Wilayah
(km2) Jumlah
Penduduk Jumlah KK
1. Bontobulaeng 9,90 2.894 776
2. Bontobaru 27,26 1.330 373
3. Bontomalling 11,40 1.426 438
4. Lembang Baji 5,74 1.048 286
Jumlah 54,30 8.028 2.230
Sumber Data : Kantor Camat Pasimasunggu Timur Tahun 2011
3. Pola Penggunaan Lahan
a. Kecamatan Pasimasunggu
Kecamatan Pasimasunggu merupakan wilayah potensial untuk
usaha-usaha yang didominasi tanaman pangan di susul oleh tanaman
perkebunan dan selebihnya untuk pemukiman serta penggunan lahan
lainnya. Adapun pola penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Pasimasunggu
No. Penggunaan Lahan Luas Lahan (Ha) Persentase
1. Sawah ½ tehnis 58,45 0,6
2. Sawah tadah hujan 457,25 4,4
3. Ladang/Tegalan 416 4
4. Pekarangan 22,61 0,21
5. Kebun 863,25 8,21
6. Tambak 135 1,3
7. Lain-Lain 8.554,44 81,41
Jumlah 10.507 100
Sumber Data : Kantor Camat Pasimasunggu Tahun 2011
b. Kecamatan Pasimasunggu Timur
Kecamatan Pasimasunggu Timur merupakan wilayah yang
potensial untuk usaha-usaha yang didominasi lahan lain-lain diantaranya
lahan hutan lindung, pemukiman penduduk dan sarana umum lainnya.
Adapun pola penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Pasimasunggu Timur
Sumber Data : PPL Kecamatan Pasimasunggu Timur Tahun 2011
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
1. Sawah 1/2 Teknis 195,00 6,03
2. Sawah tadah hujan 1.630,47 50,44
3. Sawah pengairan desa 84,00 2,59
4. Ladang/tegalan 171,00 5,29
5. Pekarangan 380,00 11,75
6. Perkebunan 175,00 5,41
7. Lain-lain 2794,73 18,49
Jumlah 5.430,20 100
4. Jenis Komoditi Yang Diusahakan
a. Kecamatan Pasimasunggu
Komoditi utama yang dikembangkan atau diusahakan oleh
masyarakat di wilayah Kecamatan Pasimasunggu meliputi :
1) Bidang Tanaman Pangan dan Holtikultura
Tabel 10. Jenis Komoditi, Luas Lahan Tanaman Pangan dan Hortikultura yang diusahakan di Kecamatan Pasimasunggu
No. Jenis Komoditi Luas Lahan (ha) Persentase(%)
1. Padi Sawah 1.300,5 61,41
2. Jagung 60 2,83
3. Kacang Tanah 34 1,6
4. Ubi Kayu 27 1,3
5. Mangga 21 1
6. Ubi Jalar 22 1,03
7. Pisang 35 1,7
8. Nangka 8 0,4
Jumlah 2.117,5 100
Sumber Data : Kantor Camat Pasimasunggu Tahun 2011
2) Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup
Pengembangan di bidang kehutanan sangat diperlukan sekarang
ini dengan melihat kondisi lahan yang gundul akibat penebangan hutan
secara liar yang tidak bertanggung jawab, hal ini tentunya sangat
membawa dampak negatif bagi bidang yang lain misalnya sektor tanaman
pangan terutama persawahan yang secara otomatis ketersediaan air akan
berkurang.
Disektor kehutanan yang ada di Wilayah Kecamatan
Pasimasunggu dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 11. Jenis Komoditi, Luas Lahan Tanaman Kayu di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu
Sumber Data : PPL Kecamatan Pasimasunggu Tahun 2011
Dari Tabel 11 dapat disimpulkan bahwa jenis kayu yang ada
diwilayah kerja Kecamatan Pasimasunggu semakin berkurang
sebagaimana diketahui bahwa kayu bayam, kayu ipil dan kayu kenari
yang menjadi andalan masyarakat Kecamatan Pasimasunggu, sekarang
sudah hampir habis.
3) Bidang Tanaman Perkebunan
Tabel 12. Jenis Komoditi, Luas Lahan Tanaman Perkebunan yang diusahakan di Kecamatan Pasimasunggu
No. Jenis Komoditi Luas Lahan (ha) Persentase(%)
1. Kelapa 610 49,2
2. Coklat 105 8,45
3. Jambu Mente 525 42,34
Jumlah 1.240 100
Sumber Data : Kantor Camat Pasimasunggu Tahun 2011
No. Jenis komoditi Luas Lahan (Ha)
1. Jati 3.085,15
2. Bitti 1.062,20
3. Bambu 53,20
4. Mahoni 23,16
Jumlah 4.223,71
4) Bidang Peternakan
Tabel 13. Jenis Ternak, Populasi yang diusahakan di Kecamatan Pasimasunggu
No. Jenis Ternak Populasi Persentase
1. Kerbau 134 9,14
2. Sapi -
3. Kambing 207 14,12
4. Ayam Buras 1.125 76,73
5. Itik -
JUMLAH 1.466 100
Sumber Data : Kantor Camat Pasimasunggu Tahun 2011
5) Bidang Perikanan dan Kelautan
Potensi di bidang ini sangat prospektif dimasa yang akan datang
terutama tambak serta potensi perikanan tangkap yang sekarang ini mulai
dikembangkan dalam bidang perikanan. Potensi perikanan tangkap yang
sekarang ini mulai marak dengan adanya pembeli dari luar dengan harga
yang layak tentunya akan menambah pendapatan para nelayan yang
selama ini memasarkan di pasar lokal.
b. Kecamatan Pasimasunggu Timur
Komoditi utama yang dikembangkan atau diusahakan oleh
masyarakat di wilayah Kecamatan Pasimasunggu meliputi :
1) Bidang Tanaman Pangan Dan Hortikultura
Komoditi disektor tanaman pangan dan holtikultura banyak
diusahakan oleh masyarakat tani dalam wilayah Kecamatan
Pasimasunggu Timur seperti Tabel 14.
Tabel 14. Jenis Komiditi yang diusahakan, Luas Lahan dan Produksi Tanaman Pangan dan Holtikultura di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur
Sumber Data : PPL Kecamatan Pasimasunggu Timur Tahun 2011
Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa jenis komoditi yang
diusahakan di Kec. Pasimasunggu Timur di dominasi oleh tanaman padi
sawah yang mencapai produktifitas 7,2 ton /Ha, padi ladang 6,5 ton/ha.
Hal ini menunjukkan bahwa produksi pertanian di Kec. Pasimasunggu
Timur masih dapat di tingkatkan lagi untuk menjadikan wilayah ini sebagai
penyangga pangan di Kabupaten Kepulauan Selayar.
2) Bidang Perikanan dan Kelautan
Disektor perikanan dan kelauatan yang berkembang sekarang
adalah budidaya ikan bandeng, udang dan ikan tangkap, sedangkan
untuk budidaya ikan laut belum ada, untuk ikan air payau yakni tambak
sifatnya masih budidaya yang sifat tradisional.
No. Jenis Komoditi Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton)
1. Padi Sawah 1.630,47 11.739,38
2. Padi Ladang 547,95 3.561,67
3. Kacang Tanah 96,00 527,00
4. Jagung 124,00 527,30
5. Ubi Kayu 40,00 23,00
6. Pisang 3,00 18,00
7. Terong 3,00 5,10
Jumlah 2.444,42 16.401,15
3) Bidang Tanaman Perkebunan
Tabel 15. Jenis Komoditi , Luas Lahan dan Produksi Perkebunan yang diusahakan oleh Masyarakat di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur
Sumber Data : PPL Kecamatan Pasimasunggu Timur Tahun 2011
Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa jenis komoditi di sektor
perkebunan Kelapa masih dominan di wilayah Kecamatan Pasimasunggu
Timur yang mencapai 888,85 ton/Ha.
4) Bidang Peternakan
Sektor peternakan di Kecamatan Pasimasunggu Timur didominasi
oleh usaha peternakan rakyat yang sistem pemeliharaannya masih
tradisional dan dijadikan sebagai usaha sampingan seperti pada Tabel 16.
Tabel 16. Jenis Ternak, Populasi dan Jumlah Ternak di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur
Sumber Data : PPL Kecamatan Pasimasunggu Timur Tahun 2011
No. Jenis Komoditi Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton)
1. Kelapa 797 888,85
2. Jambu Mente 308,50 175,20
3. Kakao 36,50 3,51
Jumlah 1.142 1.067,56
No. Jenis Ternak Populasi
1. Sapi 35
2. Kerbau 1.342
3. Kambing 754
4. Kuda 24
5. Ayam Buras 9.841
6. Itik 402
Jumlah 12.398
Dari Tabel 16 menunjukkan bahwa populasi ternak di Wilayah
Kecamatan Pasimasunggu timur masih didominasi oleh ternak unggas
(ayam buras) yang populasinya mencapai 9.841, kemudian ternak kerbau
populasinya mencapai 1.342, disusul ternak kambing populasinya
mencapai 754.
5) Bidang Kehutanan Dan Lingkungan Hidup
Disektor kehutanan yang ada di Wilayah Kecamatan
Pasimasunggu timur dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Jenis Komoditi, Luas Lahan Tanaman Kayu di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur
Sumber Data : PPL Kecamatan Pasimasunggu Timur Tahun 2011
Dari Tabel 17 dapat disimpulkan bahwa jenis kayu yang ada
diwilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur semakin berkurang
sebagaimana diketahui bahwa kayu bayam, kayu ipil dan kayu kenari
yang menjadi andalan masyarakat Kecamatan Pasimasunggu Timur,
sekarang sudah hampir habis.
No. Jenis komoditi Luas Lahan (Ha)
1. Jati 1076,20
2. Bitti 849,10
3. Bambu 36,10
4. Mahoni -
Jumlah 1961,40
5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian
Kelembagaan pelayanan penyuluhan memegang peranan penting
di dalam keberhasilan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat
lapangan baik pelayanan, maupun dalam penyebaran informasi yang
berkaitan dengan teknologi pertanian secara umum.
Untuk lancarnya pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian di
tingkat lapangan, harus didukung oleh sarana dan prasarana serta tenaga
pelaksana yang memadai. Tenaga yang dimaksud adalah penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) yang mempunyai peranan dan tugas untuk
membina para petani beserta keluarganya di tingkat lapangan.
6. Lembaga Pelayanan Petani
a. Kecamatan Pasimasunggu
Lembaga pelayanan petani yang ada di Kecamatan Pasimasunggu
yang dimanfaatkan oleh masyarakat tani meliputi, lembaga penyuluhan,
lembaga ekonomi untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Lembaga Pelayanan Petani yang berada di Kecamatan Pasimasunggu
No. Nama Lembaga Jumlah (Unit) Keterangan
1. Koperasi Unit Desa (KUD) 6
2. Kios Tani 12
3. PPL ( Penyuluh Lapangan) 7
Sumber Data : Kantor Camat Pasimasunggu Tahun 2011
b. Kecamatan Pasimasunggu Timur
Lembaga pelayanan petani yang ada di wilayah Kecamatan
Pasimasunggu Timur yang di manfaatkan oleh masyarakat tani meliputi;
lembaga penyuluhan dan lembaga ekonomi. Untuk jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 19.
Tabel 19. Lembaga Pelayanan Petani yang ada di Wilayah Kerja Kecamatan Pasimasunggu Timur
Sumber Data : PPL Kecamatan Pasimasunggu Timur Tahun 2011
7. Pelayanan Sarana Produksi
Tingkat ketersediaan sarana produksi akan sangat menunjang
tingkat keberhasilan pembangunan pertanian di samping itu dibutuhkan
pula sarana pendukung seperti : Kios sarana produksi, lembaga
keuangan, Perbankan, koperasi maupun institusi pendukung, baik dalam
pengadaan sarana produksi, modal maupun pemasaran hasil produksi.
Seiring dengan pembinaan kelompok tani, koperasi yang dapat
menyiapkan/menyalurkan sarana produksi serta pemasaran hasil
produksi, tidak berfungsi sesuai yang diharapkan.
No. Nama lembaga Jumlah (Unit) Keterangan
1 Koperasi Unit Desa(KUD) 3 -
2 Pasar Desa 2 -
3 PPL (Penyuluh Lapangan) 7 -
4 Kios Tani 17 -
8. Kelembagaan Kelompok Tani
a. Kecamatan Pasimasunggu
Dalam menunjang pelaksanaan penyelenggaraan Penyuluh
Pertanian di Pedesaan, dibutuhkan suatu lembaga yang dapat
mensosialisasikan setiap aktivitas para petani, maka dibentuklah
kelompok-kelompok tani yang merupakan wahana kerja sama, sarana
kelas belajar serta sebagai unit produksi dimana di dalamnya tertera
adanya kepentingan bersama.
Gambaran keadaan kelompok tani di wilayah Kecamatan
Pasimasunggu dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Kelompok Tani, Kelas Kelompok dan Jumlah Anggota Kelompok yang ada Di Kecamatan Pasimasunggu
No.
Nama Desa
Kelas Kelompok Jumlah Anggota
Kelompok (org)
Pemula Lanjut Madya Utama
1. Kembangragi 13
2. Lab. Pamajang 10 1 260
3. Ma’minasa 14
4. Massungke 8
5. Tanamalala 6
6. Bontosaile 13
JUMLAH 64 1 260
Sumber Data : Kantor Camat Pasimasunggu Tahun 2011
b. Kecamatan Pasimasunggu Timur
Untuk menunjang pelaksanaan penyelenggaraan penyuluh
pertanian di pedesaan, dibutuhkan suatu lembaga yang dapat
mensosialisasikan setiap aktivitas para petani, maka dibentuklah
kelompok-kelompok tani yang merupakan wahana kerja sama, sarana
kelas belajar serta sebagai unit produksi dimana di dalamnya tertera
adanya kepentingan bersama.
Untuk lebih jelasnya, gambaran keadaan kelompok tani di wilayah
kerja Kecamatan Pasimasunggu Timur dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Kelembagaan Kelompok Tani yang ada di Wilayah Kecamatan Pasimasunggu Timur
Dari Tabel 21 menunjukkan bahwa kelompok tani yang ada di
Wilayah Kecamatan Pasimasunggu timur, terlihat bahwa tingkat
kemampuan kelas kelompok tani masih sangat rendah, karena kelompok
semuanya masih kelas pemula. sedangkan kelas lanjut, kelas madya dan
utama belum ada yang memenuhi syarat. Dengn demikian maka sangat
perlu adanya pembinaan dari semua pihak yang terkait, terutama peranan
penyuluh sangat penting didalam meningkatkan kwalitas sumber daya
manusia.
N0. Nama Desa Kelas kelompok Jumlah Anggota
Kelompok (Org)
Pemula Lanjut Madya Utama
1. Bonto bulaeng 31 - - - 727
2. Bonto baru 13 - - - 234
3. Bontomalling 19 - - - 416
4. Lembang baji 9 - - - 211
Jumlah 72 - - - 1.588
B. Deskripsi Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea
Lokasi hutan lindung Pulau Jampea memanjang dari timur ke barat
atau sebaliknya dan tempatnya berada di tengah-tengah Pulau Jampea
dengan kelerengan rata-rata 15% - 30% (agak curam hingga curam) dan
jenis tanahnya mediteran coklat kemerahan. Ada beberapa desa dari 2
kecamatan yang ada di Pulau Jampea yang berdekatan langsung dengan
kawasan hutan lindung, desa tersebut adalah Bontobaru, Bontobulaeng
dan Lembangbaji yang berada di Kecamatan Pasimasunggu Timur
sedangkan desa yang berdekatan langsung dengan kawasan hutan
lindung di Kecamatan Pasimasunggu adalah Kembangragi, Labuang
Pamajang, Ma’minasa, Massungke dan Bontosaile.
Tipe hutan di Pulau Jampea ini adalah tipe hutan musim. Ekosistem
hutan musim merupakan ekosistem hutan campuran yang berada di
daerah beriklim muson (monsoon), yaitu daerah dengan perbedaan antara
musim kering dan basah yang jelas. Tipe ekosistem hutan musim terdapat
pada daerah-daerah yang memiliki tipe iklim C dan D (tipe iklim menurut
klasifikasi Schmidt dan Ferguson) dengan rata-rata curah hujan 1.000-
2.000 mm per tahun dengan rata-rata suhu bulanan sebesar 21°-32°C.
Vegetasi yang berada dalam ekosistem hutan musim didominasi
oleh spesies-spesies pohon yang menggugurkan daun di musim kering,
sehingga type ekosistem musim disebut juga hutan gugur daun
atau deciduous forest. Pada ekosistem hutan ini umumnya hanya memiliki
satu lapisan tajuk atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak
saling tumpang-tindih, sehingga masih banyak sinar matahari yang bisa
masuk hutan sampai ke lantai hutan, apalagi pada saat sedang gugur
daun. Hal ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai
spesies semak dan herba yang menutup lantai hutan secara rapat,
sehingga menyulitkan bagi orang untuk masuk ke dalam hutan
Jenis tanaman yang ada di dalam kawasan hutan lindung Pulau
Jampea, baik kayu maupun non kayu adalah bitti, mahoni, bambu, kenari,
rotan, aren, bayam dan lain-lain. Awalnya hutan lindung ini merupakan
kawasan yang telah berpuluh-puluh tahun digunakan masyarakat
melakukan aktivitas perambahan dengan menebang kayu secara terang-
terangan atau terbuka.
Rata-rata pohon yang ditebang didominasi oleh kayu bayam (intsia
spp) seperti pada Gambar 6 yang menjadi andalan Pulau Jampea dan
sekarang hampir habis, meskipun masih ada tapi pohonnya masih muda
dan kecil. Pohon-pohon tersebut ditebang dengan cara membakar
pohonnya setinggi kurang lebih 2 meter dari tanah, sewaktu diameter
batangnya sudah berkurang atau mengecil lalu ditebang dengan
menggunakan kapak dan parang. Beberapa tahun kemudian setelah
dilakukan penebangan terlebih dahulu dibakar batangnya, tiba- tiba
datang beberapa orang yang berasal dari suku bugis ikut melakukan
penebangan pohon dengan menggunakan gergaji tradisional atau
pegangannya dengan dua orang sekaligus.
Gambar 6. Bekas penebangan pohon (kayu bayam) di dalam kawasan
hutan lindung yang sudah berpuluh- puluh tahun lamanya
Di dalam kawasan hutan lindung ini, hasil hutan non kayu berupa
rotan, sebelum tahun 2005 yaitu antara tahun 1995-2005 pemerintah telah
mengizinkan masyarakat Pulau Jampea untuk mengambil rotan di hutan
lindung tersebut, pada tahun 1999 itu juga di bentuk panitia tata batas
untuk mengetahui batas kawasan hutan lindung. Tahun 2005 sampai
sekarang izin itu dicabut oleh Drs. Syahrir Wahab, MM yang menjadi
Bupati Kepulauan Selayar sampai sekarang ini. Dan tahun 2012 sekarang
dibentuk lagi panitia tata batas untuk memperjelas luas kawasan hutannya
karena setiap tahunnya luas kawasan hutan lindung Pulau Jampea selalu
berkurang akibat pembukaan lahan untuk perkebunan oleh masyarakat
yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung.
C. Aktivitas-aktivitas Masyarakat dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea
Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di Pulau
Jampea di dalam kawasan hutan lindung sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya. Masyarakat di Pulau Jampea pada
umumnya adalah petani. Oleh karena itu sektor perekonomian utamanya
adalah sektor pertanian dan perkebunan.
Dalam kenyataannya bisa dilihat dari komoditi hasil bumi yang
banyak dihasilkan di hutan lindung Pulau Jampea ini. Hasil-hasil bumi
yang banyak dijumpai diantaranya adalah coklat, gula aren, rotan, jagung,
kacang-kacangan, kayu bakar, jambu mente dan pisang serta pohon kayu
lainnya. Adapun jenis aktifitas masyarakat didalam kawasan hutan lindung
Pulau Jampea dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Bentuk-bentuk aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea
No Aktivitas Cara yang digunakan
1. Pengambilan Kayu untuk Bahan Rumah Menebang
2. Berkebun/Pertanian Tanaman Semusim a. Pengelolaan Tanah b. Penanaman c. Pemeliharaan d. Pemanenan
Traktor Manual Pupuk, Racun Manual
3. Rekreasi
Mandi dan makan di sekitar air terjun
4. Pengambilan Kayu Bakar Memotong ranting pohon
5. Pengambilan Rotan
Memotong pohon yang masih muda
6. Pembuatan Gula Aren a. Pemanenan b. Proses pembuatan c. Penyiapan bahan bakar
Sadap Dimasak Kayu Bakar
7. Berburu Perangap dan Senjata
1. Menebang Kayu
Pengambilan atau penebangan kayu di dalam kawasan hutan
lindung Pulau Jampea dilakukan oleh masyarakat secara sembunyi-
sembunyi (illegal logging) dengan menggunakan gergaji rantai yang
tujuannya untuk pembuatan atau perbaikan rumah tempat tinggal mereka.
Secara umum rumah tempat tinggal masyarakat Pulau Jampea
masih terbuat dari kayu, masih sangat jarang mereka membuat rumah
permanen. Rumah permanen hanya dimiliki oleh masyarakat yang berada
di pinggir jalan raya dan itupun sangat jarang. Hal ini berimplikasi pada
kebutuhan akan kayu sebagai bahan baku pembuatan atau perbaikan
rumah mereka yang pada umumnya mereka ambil dengan cara
menebang pohon yang sudah besar didalam kawasan hutan lindung.
Uniknya kayu-kayu tersebut sudah dibuat dalam sortimen-sortimen
kecil sehingga sulit bagi aparat desa dan Polisi Hutan mendapatkan bukti
bahwa kayu tersebut berasal dari hutan. Padahal beberapa jenis kayu
yang diketemukan umumnya diduga berasal dari kawasan hutan yang
cukup jauh. Pemerintah setempat tidak mempunyai perangkat aturan yang
kuat dalam hal pengamanan langsung hasil hutan sehingga tidak dapat
melakukan penangkapan dan peneguran.
Berdasarkan pengakuan responden di Desa Ma’minasa Kecamatan
Pasimasunggu bahwa mereka memilih menggunakan rumah kayu
disebabkan karena faktor biaya yang cukup besar jika membuat rumah
permanen. Walaupun rumah yang terbuat dari kayu lebih sering dilakukan
perbaikan, akan tetapi bahan baku kayu mereka masih diperoleh dengan
cara menebang sendiri di dalam hutan lindung.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan masyarakat dan
pemerintah setempat sebagai informan bahwa masyarakat masih sering
melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan lindung untuk menebang
kayu dengan menggunakan gergaji rantai dan rata-rata kayunya dipakai
masyarakat untuk melakukan perbaikan rumah dan dilakukan sebanyak
1-2 kali dalam setahun. Kayu yang sudah ditebang akan digunakan untuk
perbaikan rumah dapat dilihat seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Hasil penebangan kayu dengan menggunakan gergaji rantai
di kawasan hutan lindung
Dari hasil penebangan kayu ini, tidak ada hasil penjualan yang
didapatkan karena kayunya dipakai sendiri oleh masyarakat yang
melakukan aktivitas penebangan. Frekuensi dan persentase responden
yang berkesempatan memperbaiki rumah dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Daftar Frekuensi dan Persentase Responden yang berkesempatan memperbaiki Rumah
No. Frekuensi
memperbaiki rumah Jumlah
responden Persentase jumlah
responden (%)
1. 1 kali setahun 9 64,29
2. 2 kali setahun 5 35,71
3. 3 kali setahun 0 0
2. Berkebun dalam Kawasan Hutan Lindung
Masyarakat melakukan praktek berkebun dalam kawasan hutan
lindung yang sering dikenal dengan istilah perambahan atau okupasi
merupakan tradisi turun temurun di Pulau Jampea, meskipun pada
umumnya mereka sudah mengerti bahwa kegiatan tersebut dilarang dan
dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan pemerintah setempat
sebagai informan di Desa Kembangragi Kecamatan Pasimasunggu,
luasan ini cenderung mengalami pertambahan setiap tahunnya. Meskipun
masyarakat yang melakukan aktivitas ini sudah sering diberikan
pemahaman, akan tetapi tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari membuat
mereka sering tidak mengindahkan arahan yang diberikan. Salah satu
aktivitas masyarakat yaitu berkebun dapat dilihat seperti pada Gambar 8.
Gambar 8. Kebun masyarakat di dalam kawasan hutan lindung yang
berisi coklat (A), pisang dan jambu mente (B) serta jagung dan kacang-kacangan (C)
Aktivitas masyarakat dalam mengelola lahan menjadi areal untuk
berkebun, dimana kebun yang mereka kelola dalam kawasan hutan
lindung Pulau Jampea ditanami coklat, jambu mente dan pisang serta
pada saat musim hujan kebun tersebut ditanami jagung dan kacang-
kacangan. Pendapatan petani dari berkebun berdasarkan wawanacara
kami dengan responden yaitu rata-rata Rp 1 juta sampai dengan Rp 1,5
juta perbulan.
Hasil wawancara kami dengan masyarakat sebagai responden dan
pemerintah setempat sebagai informan, bahwa ketersediaan air di sungai
dalam kawasan hutan lindung sudah tidak stabil lagi. Sungai yang ada di
dalam kawasan hutan lindung sekitar kurang lebih 20 tahun yang lalu
mengalir sepanjang tahun terakhir ini. Sungai yang ada tersebut pada
musim hujan mengalir dengan kecepatan tinggi dan kondisi air sangat
A
B
C
keruh, akan tetapi setelah hujan berhenti maka sungai pun dengan cepat
akan surut airnya. Indikator ini memberikan gambaran bahwa kawasan
hutan lindung sudah mengalami kerusakan ekosistem akibat aktivitas
perambahan yang dilakukan oleh masyarakat yang ada disekitar kawasan
hutan lindung Pulau Jampea.
Adapun daftar nama petani yang mengelola kebun di dalam
kawasan hutan lindung Pulau Jampea berdasarkan wawancara kami
dengan responden di Desa Kembangragi Kecamatan Pasimasunggu
dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Daftar Nama, Umur Petani, Luas Lahan yang dikelola untuk berkebun, kelerengan dan Pendapatan responden perbulan berdasarkan hasil wawancara dengan petani di Desa Kembangragi Kecamatan Pasimasunggu
No. Nama Umur Petani (Thn)
Luas Lahan yang di
kelola (Ha)
Kelerengan (%)
Pendapatan/bulan (Rp)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Patta Mula Taang Aco Ridwan Lampe Aripuddin Saripuddin Dalle Andi Asdar Sapri Saing Makka Sansur Bahtiar Maulid H. Hamka Basman Baso Juma
52 40 32 46 40 33 38 40 45 47 52 40 39 27 52 60 65
2,0 2,0 1,5 2,0 2,0 2,5 1,5 2,0 2,0 1,5 1,5 2,5 2,0 2,0 1,5 2,0 2,5
15-30 3-8
30-40 3-8
15-30 8-15 3-8
15-30 8-15 3-8
15-30 30-40 15-30 40-50 40-50 15-30
3-8
1,5 jt 1,2 jt 1 jt
1,3 jt 1 jt
1,5 jt 1 jt
1,2 jt 1,3 jt 1,3 jt 1,3 jt 1,5 jt 1,2 jt 1,2 jt 1,3 jt 1,5 jt 1,5 jt
Jumlah 748 33,0
Rata-rata 44 1,94
Berdasarkan Tabel 24 bahwa rata-rata luasan yang dikelola oleh
setiap petani yang berumur rata-rata 44 tahun yang membuka lahan atau
berkebun pada kawasan hutan lindung Pulau Jampea adalah 1,94 Ha
dengan kelerengan 15% - 30% yang paling banyak di kelola oleh petani
untuk berkebun yaitu agak curam hingga curam. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat aktivitas perambahan di dalam kawasan hutan lindung
cukup tinggi. Dengan melihat data di Desa Kembangragi Kecamatan
Pasimasunggu yang menegaskan bahwa sekitar 33,0 Ha areal hutan
lindung dalam keadaan terbuka atau tidak berhutan. Konsekuensi logis
dari kenyataan ini bahwa kawasan hutan lindung ini tidak dapat berfungsi
secara maksimal dalam mengatur tata air dan apabila tidak dikelola
dengan baik, maka kemungkinan akan terjadi erosi yang besar.
3. Rekreasi
Masyarakat yang tinggal di Pulau Jampea selalu mengadakan
aktivitas rekreasi pada saat liburan panjang dengan mandi dan makan
bersama di sekitar air terjun di dalam kawasan hutan lindung Pulau
Jampea. Yang melakukan aktivitas ini kebanyakan pegawai kantor, guru
sekolah dan anak muda yang masih sekolah. Ini di lakukan untuk
menghilangkan stres karena terlalu banyak beban pikiran selama
melakukan aktivitas sehari-hari di kantor atau di sekolahnya seperti terlihat
pada Gambar 9.
Gambar 9. Masyarakat Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu yang
sedang mandi di Air terjun Belanda (A) dan Je’ne Dosolo (B) dalam kawasan hutan lindung
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan responden dan aparat
pemerintah desa setempat di Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu
bahwa biasanya masyarakat melakukan aktivitas rekreasi pada waktu
liburan panjang atau hari besar nasional serta menjelang Bulan
Ramadhan dan pada saat selesai lebaran Idul Fitri atau Idul Adha. Dalam
melakukan aktivitas ini, tidak ada hasil pendapatan yang didapatkan
karena tidak adanya pengelolaan dan aktvitas ini di lakukan sebanyak 5-
10 kali setahun. Frekuensi dan persentase responden yang melakukan
aktivitas rekreasi Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu dapat dilihat
pada Tabel 25.
A B
Tabel 25. Daftar Frekuensi dan Persentase Responden yang melakukan aktivitas rekreasi di dalam kawasan hutan lindung Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu
Aktivitas ini relatif belum terlalu menimbulkan dampak yang negatif
bagi keberadaan kawasan hutan lindung, bahkan aktivitas rekreasi ini
akan berdampak positif ketika pemerintah setempat mengelolanya dengan
memberikan tiket atau karcis masuk ketika masyarakat ingin masuk di
tempat permandian ini sehingga PAD (Pendapatan Asli Desa) bertambah.
Namun ada satu kendala yang dihadapi untuk mengelola air terjun
dalam kawasan hutan tersebut dengan melihat adanya aktivitas
pembukaan lahan yang sangat berpengaruh terhadap fungsi pengaturan
tata air di dalam kawasan hutan lindung.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan pemerintah
setempat sebagai informan, bahwa kondisi air terjun sudah tidak stabil lagi
karena air terjun tersebut yang berasal dari sungai di dalam kawasan
hutan lindung, ketersedian airnya tidak berkesinambungan lagi
disebabkan oleh rusaknya ekosistem hutan akibat pembukaan lahan
yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan
lindung Pulau Jampea.
No. Frekuensi melakukan
aktivitas rekreasi Jumlah
responden Persentase jumlah
responden (%)
1. 5 kali setahun 2 28,57
2. 6 kali setahun 0 0
3. 7 kali setahun 3 42,85
4. 8 kali setahun 1 14,29
5. 9 kali setahun 0 0
6. 10 kali setahun 1 14,29
7. 11 kali setahun 0 0
4. Mencari Kayu Bakar
Aktivitas mencari kayu bakar dilakukan oleh masyarakat di Pulau
Jampea karena biaya yang dibutuhkan untuk penyediaan bahan bakar
bukan kayu cukup besar bagi mereka. Selain kendala biaya, ketersediaan
bahan bakar minyak tanah maupun elpiji sering tidak menentu sehingga
bahan bakar kayu masih menjadi pilihan utama bagi sebagian masyarakat
khususnya yang bermukim disekitar kawasan hutan lindung. Adapun
salah satu contoh kayu bakar yang sering diambil oleh masyarakat di
dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea seperti pada Gambar 10.
Gambar 10. Salah satu contoh kayu bakar yang diambil oleh masyarakat
di kawasan hutan lindung
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di Desa
Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur yang melakukan aktivitas di
dalam kawasan hutan lindung, kayu bakar yang diambil kebanyakan
digunakan untuk memasak gula aren di kebun dan pengambilannya masih
sebatas ranting pohon yang sudah kering. Dalam aktivitas ini tidak ada
hasil penjualan yang didapatkan karena kayu bakarnya diambil untuk
dipakai sendiri. Aktivitas masyarakat ini relatif belum terlalu menimbulkan
dampak yang negatif bagi keberadaan kawasan hutan lindung.
Adapun daftar nama masyarakat yang masih sering melakukan
aktivitas di dalam kawasan hutan lindung untuk mencari kayu bakar
berdasarkan wawancara kami dengan responden di Desa Bontobaru
Kecamatan Pasimasunggu Timur dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Daftar Nama, Umur Petani, dan Luas Lahan serta Persentase yang beraktivitas mencari kayu bakar pada kawasan hutan lindung Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur
Tabel 26 memberikan gambaran bahwa dari 6 responden dengan
umur rata-rata 46 tahun yang melakukan aktivitas untuk mencari kayu
bakar kebanyakan digunakan untuk memasak gula aren di kebun dan
pengambilannya masih sebatas ranting pohon yang sudah kering. Jadi
aktivitas masyarakat ini relatif belum menimbulkan dampak negatif bagi
keberadaan kawasan hutan lindung. Mereka mempunyai kawasan
pengambilan kayu bakar masing-masing luasnya bervariasi antara 10 Ha
sampai dengan 15 Ha dengan luas rata-rata 13,33 Ha.
No. Nama Umur Petani
(Tahun) Luas Lahan (Ha)
Persentase (%)
1. Madung 58 15 18,75
2. Dg. Maraya 40 10 12,50
3. Dg. Sibali 41 15 18,75
4. Puddin 38 10 12,50
5. Muhammad 43 15 18,75
6. Jabiri 56 15 18,75
Jumlah 276 80 100
Rata-rata 46 13,33
5. Mengambil Rotan
Aktivitas mengambil rotan yang dilakukan oleh masyarakat Pulau
Jampea pada kawasan hutan lindung umumnya dilakukan oleh
masyarakat yang membuka lahan perkebunan di dalam kawasan hutan
lindung. Rotan sebelum tahun 2005 yaitu antara tahun 1995 sampai
dengan 2005 di izinkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Selayar pada
waktu itu, meskipun kita sudah mengerti bahwa aktivitas ini dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan. Adapun aktivitas mengambil rotan
dapat dilihat seperti pada Gambar 11.
Gambar 11. Aktivitas masyarakat mengambil rotan didalam kawasan
hutan lindung Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan masyarakat Desa
Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur yang sering melakukan
aktivitas mengambil rotan di kawasan hutan lindung, rata-rata mereka
mengaku mengambil rotan 1-2 kali seminggu. Rotan tersebut di pakai
untuk mengikat pagar dan mengikat atap daun kelapa. Biasanya juga
rotan yang masih sangat muda di ambil lalu dibakar untuk di konsumsi
sebagai pengganti sayur. Dalam aktivitas ini tidak ada hasil penjualan
yang didapatkan karena rotan yang diambil dipakai sendiriPengambilan
rotan ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi keberadaan kawasan
hutan lindung jika dilakukan dengan terus menerus. Rotan dapat berfungsi
sebagai penahan air yang cukup kuat sehingga kalau rotan habis
kebutuhan akan air akan berkurang.
Frekuensi dan Persentase Responden yang melakukan aktivitas
mengambil rotan di dalam kawasan hutan lindung Desa Bontobaru
Kecamatan Pasimasunggu Timur dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Daftar Frekuensi dan Persentase Responden yang melakukan aktivitas mengambil rotan di dalam kawasan hutan lindung Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur
No. Frekuensi melakukan
aktivitas rekreasi Jumlah
responden Persentase jumlah
responden (%)
1. 1 kali seminggu 8 57,14
2. 2 kali seminggu 6 42,86
3. 3 kali seminggu 0 0
6. Membuat Gula Aren
Masyarakat Pulau Jampea yang bermukim disekitar kawasan hutan
lindung banyak melakukan aktivitas pengelolaan gula aren. Hal ini
dilakukan secara turun temurun, dimana keahlian dalam membuat gula
aren diperoleh secara turun temurun pula. Gula aren yang diperoleh dari
hasil sadapan bunga aren yang menghasilkan nira dan dimasak hingga
menjadi gula aren seperti pada Gambar 12.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan masyarakat di Desa
Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur yang bermukim disekitar
kawasan hutan lindung mengaku bahwa pendapatan mereka perbulan
antara 1 juta sampai dengan 1,5 juta. Adapun potensi pengelolaan gula
aren pada kawasan hutan lindung disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28. Daftar Nama, Umur Petani, Luas Lahan, Potensi Aren dan Pendapatan responden perbulan berdasarkan hasil wawancara dengan petani aren di Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur
No. Nama Umur Petani (Thn)
Luas Lahan (Ha)
Jml Pohon yang dimilki
Pendapatan/bulan (Rp)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Madung Dg. Maraya Dg. Sibali Puddin Muhammad Jabiri
58 40 41 38 43 56
15 10 15 10 15 15
150 100 100 150 100 150
1,5 jt 1 jt
1,2 jt 1,3 jt 1,2 jt 1,5 jt
Jumlah 276 80 750
Rata-rata 46 13,33 125
Tabel 28 memberikan gambaran bahwa dari 6 responden dengan
umur rata-rata 46 tahun yang menyadap untuk membuat gula aren,
mempunyai kawasan pengelolaan masing-masing yang luasnya bervariasi
antara 10 Ha sampai dengan 15 Ha. Dan hasil wawancara kami dengan
responden pembuat gula aren pada kawasan hutan lindung diperoleh data
bahwa mereka menyadap rata-rata 3 pohon aren berumur produktif setiap
hari dan mereka dapat menghasilkan air nira sebanyak 10 liter/pohon/hari.
Setelah aren diolah melalui proses pemasakan maka dapat
dihasilkan antara 5 sampai dengan 6 buah gula aren sekali masak yang
dijual dengan harga rata-rata Rp 6.000,-/buah. Jadi mereka mendapatkan
hasil penjualan antara Rp 30.000,- sampai dengan Rp 36.000,- perhari.
Gambar 12. Salah satu aktivitas masyarakat mulai dari proses mengambil
hasil sadapan bunga aren yang menghasilkan nira dari pohonnya (A), menyiapkan kayu bakar (B) dan di masak (C) lalu dimasukkan ke cetakan dan menjadi gula aren (D)
Pembuat gula aren ini juga melakukan aktivitas pemeliharaan
terhadap pohon aren yang mereka kuasai. Hal ini mereka lakukan dengan
harapan bahwa pohon aren ini dapat memberikan hasil produksi yang
maksimal sepanjang tahun. Pohon aren yang mereka pelihara mulai dari
A
D
B
C
tingkat anakan sampai pada tingkat pohon yang sudah siap untuk disadap
dan sudah mampu berproduksi dengan maksimal. Dan sangat
mengkhawatirkan karena kayu bakar yang diambil adalah yang masih
basah dengan melakukan penebangan.
7. Berburu
Masyarakat Pulau Jampea dalam melakukan aktivitas perburuan di
dalam kawasan hutan lindung, biasanya dilakukan 1-2 kali seminggu.
Apabila musim tanam tiba maka perburuan sering dilakukan sebagai
upaya untuk menjaga tanaman yang sedang ditanam pada
kebunnya.masing-masing. Adapun salah satu tempat yang sering dipakai
untuk memburu oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Kubangan babi dan ini tempat yang sering di pakai untuk
memburu babi dan rusa oleh masyarakat yang letaknya di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan masyarakat Desa
Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu yang sering melakukan aktivitas
perburuan di kawasan hutan lindung, mengaku melakukan perburuan
binatang rusa dan babi karena binatang tersebut selalu merusak
tanamannya. Dalam melakukan perburuan, alat yang dipakai adalah
senjata dan perangkap, dimana hasil buruannya yaitu rusa yang
digunakan untuk di konsumsi oleh pemburu sedangkan babi untuk
dikonsumsi anjingnya. Jadi dalam melakukan aktivias ini tidak ada hasil
penjualan yang didapatkan karena hasil buruannya yaitu rusa dikonsumsi
sendiri oleh masyarakat yang melakukan perburuan.
Aktivitas perburuan yang dilakukan oleh masyarakat ini relatif dapat
menimbulkan dampak negatif bagi keberadaan kawasan hutan lindung
karena dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengancam
kepunahan jenis rusa yang populasinya sudah langka.
Frekuensi dan Persentase Responden yang beraktivitas sebagai
pemburu rusa dan babi pada kawasan hutan lindung Desa Ma’minasa
Kecamatan Pasimasunggu dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Daftar Frekuensi dan Persentase Responden yang beraktivitas sebagai pemburu rusa dan babi pada kawasan hutan lindung Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu
No. Frekuensi memburu Jumlah
responden Persentase jumlah
responden (%)
1. 1 kali seminggu 5 71,43
2. 2 kali seminggu 2 28,57
3. 3 kali seminggu 0 0
D. Dampak yang Ditimbulkan dari Aktivitas Masyarakat dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Pulau Jampea dalam
melakukan aktivitas di kawasan hutan lindung tentu saja dapat
menimbulkan berbagai macam dampak, baik itu dampak positif maupun
dampak negatif. Dampak ini dapat berpengaruh langsung terhadap fungsi
utama kawasan hutan lindung. Dari hasil wawancara dengan masyarakat
rata-rata luasan yang dikelola oleh setiap petani yang membuka lahan
untuk berkebun pada kawasan hutan lindung Pulau Jampea adalah 1,94
Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan hutan lindung tersebut dalam
keadaan terbuka atau tidak ditutupi oleh pepohonan, karena aktivitas yang
dilakukan membutuhkan areal yang terbuka.
Masyarakat yang melakukan aktivitas membuat gula aren, mereka
menyadap rata-rata 3 pohon aren berumur produktif setiap hari dan
mereka dapat menghasilkan air nira sebanyak 10 liter/pohon/hari, dari
hasil pemasakan didapatkan antara 5 sampai dengan 6 buah gula aren.
Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan hutan lindung Pulau Jampea
selain dapat menimbulkan dampak negatif akibat pembukaan lahan, juga
akan menimbulkan dampak positif karena dapat dijadikan model
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Adapun bentuk-bentuk aktivitas masyarakat beserta bentuk
dampak yang potensial ditimbulkan di dalam kawasan hutan lindung dapat
dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Bentuk-bentuk aktivitas beserta bentuk dampak yang potensial ditimbulkan di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea
No. Kegiatan Dampak yang ditimbulkan
Positif Negatif
1. Pengambilan Kayu untuk Bahan Rumah
Merusak karena pohon yang masih hidup ditebang meskipun masih dalam skala kecil
2.
Berkebun/Pertanian Tanaman Semusim a. Pengelolaan Tanah b. Penanaman c. Pemeliharaan d. Pemanenan
Merusak karena aktivitas ini menyebabkan Kawasan Hutan Lindung terbuka, sehingga tidak dapat berfungsi maksimal dalam menjaga keseimbangan ekosistem
3. Rekreasi
Mencapai kepuasan
Sampah, merusak lingkungan alami
4. Pengambilan Kayu Bakar
Belum merusak karena yang diambil sebatas ranting yang sudah mati
5. Pengambilan Rotan Merusak karena ketersediaan air akan berkurang
6. Pembuatan Gula Aren a. Pemanenan b. Proses pembuatan c. Penyiapan bahan
bakar
Dapat dijadikan model pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Merusak karena kayu bakarnya diperoleh melalui penebangan pohon yang masih hidup
7. Berburu
Tanaman terjaga karena binatang yang selalu masuk di kebun masyarakat sudah tidak ada lagi
Merusak karena dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengancam kepunahan jenis yang sudah langka
Aktivitas pembukaan lahan sangat berpengaruh terhadap fungsi
pengaturan tata air didalam kawasan hutan lindung, hal ini terlihat dari
ketersediaan air yang tidak berkesinambungan lagi. Ketersediaan air di
sungai dalam kawasan hutan lindung sudah tidak stabil lagi, dimana
sebelumnya air mengalir sepanjang tahun akan tetapi karena adanya
aktivitas pembukaaan lahan didalam kawasan hutan lindung sehingga air
sungai berkurang bahkan sampai kering.
Adapun indikator yang lain yang bisa dilihat dari kerusakan
ekosistem pada kawasan hutan lindung adalah apabila terjadi hujan maka
sungai dengan cepat mengalir dengan kecepatan tinggi dan kondisi
memang kawasan hutan lindung Pulau Jampea sudah mengalami
kerusakan akibat kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat
sekitarnya.
Dampak yang ditimbulkan terhadap fungsi utama kawasan hutan
lindung adalah dengan terganggunya fungsi pengaturan tata air dari
kawasan, maka ketersediaan air menjadi tidak berkesinambungan. Hal ini
menyebabkan aktivitas masyarakat relatif akan menimbulkan dampak
negatif dan sedikit yang akan berdampak positif.
E. Strategi Penanggulangan Dampak
Dalam mengatasi permasalahan yang akan timbul sebagai akibat
dari aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan lindung, maka perlu
dilakukan langkah antisipasi oleh pemerintah setempat atau instansi yang
terkait. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan cara
mengintensifkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung Pulau Jampea
bahwa kegiatan yang mereka lakukan dapat menimbulkan kerusakan
ekosistem.
Selain upaya penyadaran kepada masyarakat, instansi terkait yang
menangani hal ini dapat meminimalisir dampak dari aktivitas masyarakat
di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea dengan metode yang lain,
misalnya memberikan alternatif lain kepada masyarakat di dalam
memenuhi kebutuhan mereka tanpa harus merusak fungsi hutan lindung.
Bagi masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan kawasan hutan
lindung Pulau Jampea sebagai lahan pertanian atau untuk berkebun,
maka untuk mencegah terjadinya perluasan lahan pengelolaan perlu
dibuatkan perjanjian untuk tidak menambah luas areal yang mereka
kelola. Hal ini bisa diarahkan untuk menggunakan sistem tumpang sari,
artinya mereka tetap diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan
pemanfaatan lahan kawasan dengan tidak merusak fungsi utama dari
kawasan hutan lindung.
Adapun bagi mereka yang mengelola gula aren, untuk memenuhi
kebutuhan kayu bakar pembuatan gula aren perlu ditunjuk satu areal
khusus yang bisa mereka tanami pohon untuk dijadikan bahan bakar.
Areal ini juga dapat dimanfaatkan sebagai zona mencari kayu bakar bagi
masyarakat yang masih memasak dengan menggunakan kayu bakar.
Untuk lebih jelasnya strategi yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi dampak negatif akibat aktivitas masyarakat di dalam
kawasan hutan lindung Pulau Jampea dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Strategi yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan dampak negatif yang ditimbulkan akibat aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea
No. Jenis Aktivitas Langkah Penanggulangan
1
Menebang
Kayu
1. Memberikan pemahaman mengenai dampak
yang bisa ditimbulkan dari aktivitas ini
2. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan
pengamanan kawasan
2. Berkebun
8. Membuatkan surat pernyataan agar areal
yang dikelola tidak ditambah
9. Memberikan pemahaman mengenai dampak
yang bisa ditimbulkan dari aktivitas ini
10. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan
pengamanan kawasan
11. Mengarahkan agar pola pemanfaatan yang
dilakukan menggunakan sistem tumpang sari
3. Rekreasi 1. Memberikan pemahaman untuk tidak
membuang sampah sembarangan
2. Memberikan pemahaman untuk tidak
mengganggu lingkungan sekitarnya
4. Mencari Kayu
Bakar
1. Memberikan pemahaman tentang bagian-
bagian yang dapat diambil untuk kayu bakar
2. Menyiapkan areal khusus yang dapat
dijadikan zona pengambilan kayu bakar
5. Mengambil
Rotan
Memberikan pemahaman tentang bagian-
bagian yang dapat diambil
6. Membuat Gula
Aren
1. Membuatkan perjanjian agar bahan bakar
yang digunakan tidak merusak hutan
2. Menyiapkan suatu areal khusus untuk lokasi
pengambilan kayu bakar
7. Berburu Membuat perjanjian bagi pemburu untuk tidak
memburu binatang yang sudah langka
Bagi masyarakat yang sering mengambil rotan untuk tidak
mengambil rotan secara berlebihan dan bagi masyarakat yang sering
menebang kayu di kawasan hutan lindung perlu minta izin kepada
pemerintah sedangkan bagi mereka yang melakukan rekreasi dan berburu
dan mengambil kayu bakar di dalam kawasan hutan lindung, disarankan
untuk tidak melakukan aktivitas lain yang dapat mengganggu ekosistem
yang ada.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dibuat beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Jampea di
dalam kawasan hutan lindung yaitu menebang kayu, berkebun,
rekreasi, mencari kayu bakar, mengambil rotan, menbuat gula aren dan
berburu
2. Dampak-dampak yang ditimbulkan dari aktivitas masyarakat didalam
kawasan hutan lindung sebagai berikut :
a. Dampak Positif
1) Aktivitas rekreasi akan menambah Pendapatan Asli Desa jika
ada pengelolaan dengan cara membeli tiket atau karcis sekali
masuk di pengelola tempat tersebut.
2) Bagi masyarakat yang melaksanakan aktivitas membuat gula
aren, mereka mendapatkan hasil penjualan rata-rata Rp 30.000,-
sampai dengan Rp 36.000,- perhari.
3) Dengan adanya aktivitas perburuan akan memberikan
keuntungan kepada masyarakat yang berkebun karena tanaman
terjaga dari serangan binatang yang selalu masuk di kebun.
b. Dampak Negatif
1) Air sungai menjadi tidak stabil dan mengalami pendangkalan
bahkan air sampai kering akibat penebangan kayu dan
pembukaan areal hutan untuk lahan perkebunan serta mengambil
rotan didalam kawasan hutan lindung.
2) Aktivitas masyarakat membuat gula aren merusak karena kayu
bakarnya diperoleh melalui penebangan pohon yang masih hidup
3) Dalam aktivitas perburuan dapat merusak karena mengganggu
keseimbangan ekosistem dan mengancam kepunahan jenis yang
sudah langka
B. Saran
1. Polisi hutan perlu lebih intensif melakukan kegiatan patroli
pengamanan kawasan hutan dan instansi terkait melakukan
penyuluhan secara berkesinambungan
2. Perlu dibuatkan kelembagaan yang jelas bagi masyarakat pembuat
gula aren sehingga dapat dijadikan tempat pelatihan masyarakat.
3. Perlu dibuatkan zona-zona khusus untuk mengakomodir
kepentingan masyarakat dengan tidak mengubah fungsi utama
kawasan hutan lindung
4. Perlu dilakukan pendataan secara teliti mengenai luas areal lahan
petani yang dikelola kemudian dibuatkan surat perjanjian agar
masyarakat petani tidak melakukan perluasan areal pengelolaan
5. DAFTAR PUSTAKA
6. Alam, S.Z. 1998. Aspek Pembinaan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta, Jakarta. Hal 2.
7. 8. Anonim. 2009. Materi Seminar Nasional dalam rangka “Hari
Pangan Sedunia, 12 Oktober 2009”. Jakarta. 9. 10. Appanah, S. and A. M. Mohd. Rosul. 1995. Dipterocarp Fruit
Dispersal and Seedling Distribution. Journal of Tropical Forest Science 8(2): 258-263.
11. 12. Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius, Yogyakarta. 13. 14. Arsyad. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB, Bogor. 15. 16. Balai Diklat Kehutanan. 2008. Bentuk Kegiatan Masyarakat dalam
Kawasan Hutan. Balai Diklat Kehutanan, Makassar. 17. 18. Balai Pelatihan Kehutanan. 1998. Interdependensi Sosial Ekonomi
Masyarakat dengan Pembangunan Kehutanan dan Tekanannya terhadap Sumber Daya Hutan di Kalimantan Timur. BPK Samarinda kerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.
19. 20. Daymon, Cristine & Holloway, Immy. 2002. Riset Kualitatif dalam
Public Relations & Marketing Communications. Terjemahan oleh Cahya Wiratama. 2008. Bentang, Yogyakarta.
21. 22. De Beer, J.H. and M.J. McDermot. 1996. The Economic Value of
Non-Timber Forest Products in Southeast Asia. Amsterdam: Netherlands Committee for IUCN. Second Revised Edition, 74.
23. 24. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1999. Undang-
undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta.
25. 26. . 2000. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan
dan Perkebunan. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
27. 28. . 2001. Manual Kehutanan. Departemen
Kehutanan, Jakarta. 29.
30. . 2002. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta.
31. 32. . . 2005. Arahan Kebijakan Konservasi
Keanekaragaman Hayati Tahun 2005-2009. Departemen Kehutanan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Jakarta.
33. 34. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 1982. Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 760/Kpts/Um/10/82 tentang Hutan Lindung. Departemen Pertanian, Jakarta.
35. 36. Djaenudin. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pertanian
dan Tanaman Kehutanan. Laporan Teknis. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
37. 38. Flamin, A. 2001. Studi Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh
Masyarakat Lokal dari Desa Labone Kecamatan Napabalo Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Skripsi Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan UNHAS, Makassar. Tidak dipublikasikan.
39. 40. Food and Agricultural Organization. 2001. Unasylva. No. 205, Vol.
52 41. 42. Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch. 2001. Potret
Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia/Washington D. C. 43. 44. Hadi, S.T. 2005. Undang-undang Kehutanan beserta Peraturan
Perubahannya. Harvarindo, Jakarta. 45. 46. Institut Pertanian Bogor. 1999. Kajian Sistem Nilai Hutan Produksi.
Fakultas Kehutanan, Bogor. 47. 48. Iskandar, U dan Nugraha, A. 2004. Politik Pengelolaan Sumber
Daya Hutan, Issue dan Agenda Mendesak. Debut Press. Yogyakarta.
49. 50. Janzen, D. H. 1974. Tropical Blackwater Rivers, Animal and Mast
Fruiting by the Dipterocarpaceae. Biotropica 4: 69-103. 51. 52. Junus, M, R.M. Rosmaedy, J.J. Fransi, S. Soedirman, D.
Songgeng dan A.R. Warsaka. 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan
Buku I Hutan & Fungsi Hutan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Bagian Timur, Ujung Pandang.
53. 54. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.
55. 56. . 2010. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.
57. 58. Moore, J. L. 1973. A methodology for Evaluation of Manufacturing
Environmental Impact Statement for Delaware Coastal Zone. Report to the State of Delaware, Batelle Memorial Institute.
59. 60. Mubyarto, L. Sutrisno, P. Sudera, S. A. Sulistiya, A. Decanta,
Santiasih, E. Pratiwi, Ismaryati, E. Priyastuti. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Kajian Antropologis di Propinsi Jambi. Penerbit Aditya Media, Yogyakarta.
61. 62. Mubyarto. 1985. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
63. 64. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 2006. Pedoman
Penulisan Tesis dan Disertasi. Makassar. 65. 66. Rahim, S.E. 2000. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka
Pelestarian Lingkungan Hidup. Penerbit : Bumi Aksara, Jakarta. 67. 68. Ritchie, Cynthia, Mc. Dougall, Mandy, Higgith, Nicolette, B, De
Olivera. 2001. Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola oleh Masyarakat. Centre for International Forestry Research (CIFOR), Jakarta.
69. 70. Sagala, P. 2002. Mengelola Lahan yang Benar. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta. 71. 72. Said, G. 1985. Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Penerbit PT. Media Swana Press, Jakarta. 73. 74. Simon, H. 1994. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
(Suatu Pendekatan Teoritis). BPFE, Jakarta. 75.
76. Sinukaban, N. 1994 . Membangan Pertanian Menjadi Industri Yang Lestari Dengan Pertanian Konservasi. IPB, Bogor.
77. 78. Soemarwoto, O, Suryani, M, Yatim, W. 1992. Melestarikan Hutan
Tropika, Pemasalahan dan Dampak. Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
79. 80. Soemarwoto, O. 2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 81. 82. Soerianegara. 1996. Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan
Sumber Daya Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehuanan IPB, Bogor.
83. 84. Soerjani, M. 1986. Ekologi Manusia. Makalah yang disampaikan
pada kursus AMDAL di Universitas Lampung, Lampung. 85. 86. Sorenson, J. C. 1970. A Framework for Identification and Control of
Resource Degradation and Conflict in the Multiple Use of the Coastal Zone. University of California, Berkeley, USA.
87. 88. Sunderlin, W.D. 1999. Between Danger and Opportunity: Indonesia
and Forests in an Era of Economic Crisis and Political Change. Society & Natural Resources, 12:559-570.
89. 90. Suparmoko. 1994. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
(Suatu Pendekatan Teoritis). BPFE, Jakarta. 91. 92. Uluk A. 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak terhadap Hutan
sekitar Hutan Kayang Mentarang. Penerbit SMK Grafika Desa Putra, Indonesia.
93. 94. World Bank. 2001. “Indonesia : Environment and Natural Resource
Management in a Time of Transition”. Washington, D.C : 32 95. 96. Yin, R.K. 1987. Studi Kasus: Desain & Metode. Terjemahan oleh
Mudzakir, M.D. 1995. (edisi). 2009. Rajawali Pers, Jakarta. 97. 98. Yulistira, D. 2010. Kerusakan Hutan Indonesia. http:
//adisetyanto48. student.umm.ac.id/2010/08/11/kerusakan hutan. diakses 10 April 2012.
99. 100. Zerner, C. 1992. Indigenous Forest-Dwelling Communities in
Indonesia’s Outer Islands: Livelihood, Rights and Environmental Management Institutions in the Era of Industrial Forest Exploitation. Consultancy Report prepared for the World Bank Indonesia
Forestry Sector Policy Review. Washington, D.C. Resource Planning Corporation: 4.
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA PENELITIAN
DAMPAK AKTIVITAS MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN LINDUNG DI PULAU JAMPEA
A. Identifikasi Umum
1. Nomor / Kode Informan :
2. Nama : …………………………………….
3. Alamat : …………………………………….
4. Umur : …………………………………….
5. Jenis Kelamin : …………………………………….
6. Pendidikan Terakhir : …………………………………….
7. Pekerjaan : …………………………………….
B. Aktivitas Masyarakat Di Dalam Kawasan Hutan Lindung
1. Apa yang melatarbelakangi kebiasaan masyarakat melakukan
aktivitas dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea?
a. Apa masalahnya?
b. Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah?
c. Bagaimana masalah tersebut diatasi?
2. Apakah dalam melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan lindung
Pulau Jampea sudah sering diberikan pemahaman tentang fungsi
utama hutan lindung?
3. Bentuk-bentuk aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan
lindung Pulau Jampea
a. Apa saja aktivitasnya atau kegiatannya?
b. Dalam melakukan aktivitasnya atau kegiatannya cara apa yang
digunakan?
c. Apa masalah yang dihadapi dalam melakukan aktivitasnya
atau kegiatannya di dalam kawasan hutan lindung?
4. Apa saja hasil yang diperoleh masyarakat dari aktivitas yang
dilakukan di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea?
C. Dampak yang ditimbulkan dari Aktivitas Masyarakat Di Dalam
Kawasan Hutan Lindung
1. Bentuk aktivitas atau kegiatan dan bentuk dampak yang potensial
ditimbulkan di dalam kawasan hutan lindung Pulau Jampea?
a. Aktivitas atau kegiatan apa saja yang berdampak positif?
b. Aktivitas atau kegiatan apa saja yang berdampak negatif?
2. Bagaimana meminimalisir dampak dari aktivitas atau kegiatan
masyarakat di dalam kawasan hutan lindung?
3. Menurut Informan apakah perlu pelibatan dalam hal
penanggulangan dampak dan jika perlu, siapa saja yang
seharusnya dilibatkan?
4. Bagaimana peran informan dalam strategi penanggulangan
dampak yang ada?
Lampiran 2. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan Responden yang beraktivitas sebagai penebang kayu di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
No. Nama Alamat Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan
1. Tanso Dsn. Kampung Tangnga 46 Laki-laki - Petani
2. Patta Imang Ikki Dsn. Kampung Tangnga 32 Laki-laki - Petani
3. Patta Kebo Dsn. Kampung Tangnga 48 Laki-laki SD Petani
4. Kisman Dsn. Kampung Tangnga 36 Laki-laki SD Petani
5. Tanri Gau Dsn. Kampung Tangnga 40 Laki-laki SMA Petani
6. Alimuhayah Dsn. Kampung Tangnga 52 Laki-laki - Petani
7. Tanri Sitti Dsn. Kampung Tangnga 46 Laki-laki SD Petani
8. Hamadong Dsn. Kampung Tangnga 36 Laki-laki SD Petani
9. Seha Dsn. Kampung Tangnga 51 Laki-laki - Petani
10. Pu’ding Dsn. Labuang Marege Utara 30 Laki-laki - Petani
11. Alimuddin. N Dsn. Labuang Marege Utara 34 Laki-laki SD Petani
12. Alimuddin. J Dsn. Labuang Marege Utara 29 Laki-laki SD Petani
13. Hasan Dsn. Labuang Marege Utara 37 Laki-laki SD Petani
14. Sukman Dsn. Labuang Marege 37 Laki-laki SD Petani
Lampiran 3. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Luas Lahan dan Pendapatan responden yang beraktivitas sebagai pembuka lahan/berkebun di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Kembangragi Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
No. Nama Alamat Umur Jenis Kelamin
Pendidikan Pekerjaan
Luas Lahan (Ha)
Pendapatan/bulan (Rp)
1. Patta Mula Dsn. Benteng Barat 52 Laki-laki SD Petani 2,0 1,5 jt
2. Taang Dsn. Benteng Timur 40 Laki-laki SD Petani 2,0 1,2 jt
3. Aco Ridwan Dsn. Benteng Timur 32 Laki-laki SD Petani 1,5 1 jt
4. Lampe Dsn. Benteng Selatan 46 Laki-laki SD Petani 2,0 1,3 jt
5. Aripuddin Dsn. Benteng Selatan 40 Laki-laki SD Petani 2,0 1 jt
6. Saripuddin Dsn. Benteng Selatan 33 Laki-laki SD Petani 2,5 1,5 jt
7. Dalle Dsn. Benteng Selatan 38 Laki-laki SMP Petani 1,5 1 jt
8. Andi Asdar Dsn. Benteng Selatan 40 Laki-laki SMP Petani 2,0 1,2 jt
9. Sapri Dsn. Benteng Selatan 45 Laki-laki SD Petani 2,0 1,3 jt
10. Saing Dsn. Benteng Karama 47 Laki-laki SD Petani 1,5 1,3 jt
11. Makka Dsn. Benteng Selatan 52 Laki-laki SD Petani 1,5 1,3 jt
12. Sansur Dsn. Benteng Selatan 40 Laki-laki SD Petani 2,5 1,5 jt
13. Bahtiar Dsn. Benteng Selatan 39 Laki-laki SMP Petani 2,0 1,2 jt
14. Maulid Dsn. Benteng Selatan 27 Laki-laki SMP Petani 2,0 1,2 jt
15. H. Hamka Dsn. Benteng Karama 52 Laki-laki SMP Petani 1,5 1,3 jt
16. Basman Dsn. Benteng Selatan 60 Laki-laki SD Petani 2,0 1,5 jt
17. Baso Juma Dsn. Benteng Selatan 65 Laki-laki SD Petani 2,5 1,5 jt
Lampiran 4. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan responden melakukan aktivitas rekreasi di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
No. Nama Alamat Umur Jenis Kelamin
Pendidikan Pekerjaan
1. Icca’ Dsn. Labuang Marege 17 Laki-laki SMA Siswa
2. Zulkifli Dsn. Kampung Tangnga 30 Laki-laki SMA Staf Desa
3. Sunarti Dsn. Labuang Marege Utara 38 Perempuan D3 Staf Puskesmas
4. Guntur Dsn. Labuang Marege 17 Laki-laki SMA Siswa
5. Herlina Dsn. Labuang Marege Utara 27 Perempuan S1 Guru
6. Dahlan Dsn. Labuang Marege Utara 17 Laki-laki SMA Siswa
7. Ari’ Dsn. Labuang Marege 16 Laki-laki SMA Siswa
Lampiran 5. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Luas Lahan, Jumlah Pohon Aren yang dimiliki dan Pendapatan responden yang beraktivitas sebagai pencari kayu bakar dan pembuat gula aren di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur Kabupaten Kepulauan Selayar
No. Nama Alamat Umur Jenis
Kelamin Pendidikan
Pekerjaan
Luas Lahan (Ha)
Jml Pohon Aren yang
dimilki
Pendapatan/bulan (Rp)
1. Madung Dsn. Lembongan Barat 58 Laki-laki SD Petani 15 150 1,5 jt
2. Dg. Maraya Dsn. Lembongan Barat 40 Laki-laki SMP Petani 10 100 1 jt
3. Dg. Sibali Dsn. Lembongan Barat 41 Laki-laki SD Petani 15 100 1,2 jt
4. Puddin Dsn. Lembongan 38 Laki-laki SD Petani 10 150 1,3 jt
5. Muhammad Dsn. Garassi 43 Laki-laki SD Petani 15 100 1,2 jt
6. Jabiri Dsn. Lembongan 56 Laki-laki SD Petani 15 150 1,5 jt
Lampiran 6. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan responden yang beraktivitas sebagai pengambil rotan di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Bontobaru Kecamatan Pasimasunggu Timur Kabupaten Kepulauan Selayar
No. Nama Alamat Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan
1. Baharuddin Dsn. Lembongan Barat 51 Laki-laki SD Petani
2. Saing Dsn. Lembongan Barat 57 Laki-laki SD Petani
3. Muh. Surkati Dsn. Lembongan Barat 38 Laki-laki SMP Wiraswasta
4. Muh. Jufri Dsn. Lembongan Barat 32 Laki-laki SMP Petani
5. Madung Dsn. Lembongan Barat 58 Laki-laki SD Petani
6. Abd. Rasyid Dsn. Lembongan Barat 45 Laki-laki SD Petani
7. Raba Dsn. Lembongan 56 Laki-laki SD Nelayan
8. Muh. Ramli Dsn. Lembongan Barat 42 Laki-laki SD Wiraswasta
9. Salahuddin Dsn. Lembongan Barat 55 Laki-laki SD Petani
10. Dg. Maraya Dsn. Lembongan Barat 40 Laki-laki SMP Petani
11. Dg. Sibali Dsn. Lembongan Barat 41 Laki-laki SD Petani
12. Puddin Dsn. Lembongan 38 Laki-laki SD Petani
13. Muhammad Dsn. Garassi 43 Laki-laki SD Petani
14. Jabiri Dsn. Lembongan 56 Laki-laki SD Petani
Lampiran 7. Nama, Alamat, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan responden yang beraktivitas sebagai pemburu Rusa dan Babi di dalam Kawasan Hutan Lindung Pulau Jampea Desa Ma’minasa Kecamatan Pasimasunggu Kabupaten Kepulauan Selayar
No. Nama Alamat Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan
1. Hasling Dsn. Kampung Tangnga 25 Laki-laki SD Petani
2. Bahtiar Dsn. Kampung Tangnga 36 Laki-laki SD Petani
3. Jarre Dsn. Labuang Pakangkang 43 Laki-laki - Petani
4. Baso Podi Dsn. Labuang Pakangkang 52 Laki-laki - Petani
5. Dg. Mattuju Dsn. Labuang Marege 54 Laki-laki SD Petani
6. Muhadir Dsn. Labuang Marege 36 Laki-laki SMA Petani
7. Jamaluddin Dsn. Labuang Marege 37 Laki-laki SD Petani
Lampiran 8. Peta Lokasi Pengambilan Sampel