5
Reaksi Sosial Setelah suatu bencana alam yang besar, sikap penduduk jarang mencapai tingkatan panik atau berdiri diam. Tindakan individual yang spontan tetapi sangat terkelola bermunculan saat mereka yang selamat pulih dengan cepat dan syok dan mulai bersiap diñ untuk mencapai tujuan personal yang jelas. Korban selamat gempa bumi kerap memulai upaya pencarian dan penyelamatan segera setelah gempa berlangsung dan dalam hitungan jam mereka mungkin telah membentuk kelompok-kelompok untuk membawa korban yang cedera ke pos pengobatan. Perilaku antisosial yang aktif, misalnya penjarahan besar-besaran, hanya terjadi dalam kondisi tertentu. Walau setiap orang berpikir reaksi spontan mereka merupakan hal yang wajar, tindakan itu justru dapat membahayakan kepentingan tertinggi masyarakat. Suatu konflik peran pada seorang kepala keluarga yang juga seorang pegawai kesehatan, misainya,daiam beberapa kejadian justru menyebabkan tokoh kunci itu tidak melaporkan din untuk bertugas sampai kerabat dan harta mereka dalam keadaan aman. Desas-desus menyebar, khususnya tentang penyakit epidemik. Akibatnya, pihak otoritas mendapat tekanan besar untuk melakukan kegiatan kemanusiaan darurat seperti vaksinasi massal terhadap tifoid dan kolera, tanpa konfirmasi medis yang tepat. Selain itu, penduduk mungkin enggan terlibat dalam upaya yang menurut pihak otoritas perlu dilakukan. Selama masa siaga, atau setelah kejadian suatu bencana alam, orang enggan untuk mengungsi waIau rumah mereka kemungkinan akan atau memang sudah hancur. Pola perilaku itu menimbulkan dua dampak utama pada para pengambil keputusan mengenai program kemanusiaan. Pertama,pola perilaku dan permintaan akan bantuan emergensi dapat dibatasi dan dimodifikasi dengan menjaga agar penduduk mengetahui informasi yang ada dan dengan mendapatkan informasi yang diperlukan sebelum memulai program pemulihan yang lebih luas. Kedua, populasi itu sendiri akan melaksanakan sebagian besar upaya penyelamatan dan pertolongan pertama, membawa korban cedera ke rumah sakit jika rumah sakit itu dapat dijangkau,

Dampak Bencana

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dampak bencana

Citation preview

Reaksi SosialSetelah suatu bencana alam yang besar, sikap penduduk jarang mencapai tingkatan panik atau berdiri diam. Tindakan individual yang spontan tetapi sangat terkelola bermunculan saat mereka yang selamat pulih dengan cepat dan syok dan mulai bersiap di untuk mencapai tujuan personal yang jelas. Korban selamat gempa bumi kerap memulai upaya pencarian dan penyelamatan segera setelah gempa berlangsung dan dalam hitungan jam mereka mungkin telah membentuk kelompok-kelompok untuk membawa korban yang cedera ke pos pengobatan. Perilaku antisosial yang aktif, misalnya penjarahan besar-besaran, hanya terjadi dalam kondisi tertentu.Walau setiap orang berpikir reaksi spontan mereka merupakan hal yang wajar, tindakan itu justru dapat membahayakan kepentingan tertinggi masyarakat. Suatu konflik peran pada seorang kepala keluarga yang juga seorang pegawai kesehatan, misainya,daiam beberapa kejadian justru menyebabkan tokoh kunci itu tidak melaporkan din untuk bertugas sampai kerabat dan harta mereka dalam keadaan aman.Desas-desus menyebar, khususnya tentang penyakit epidemik. Akibatnya, pihak otoritas mendapat tekanan besar untuk melakukan kegiatan kemanusiaan darurat seperti vaksinasi massal terhadap tifoid dan kolera, tanpa konfirmasi medis yang tepat. Selain itu, penduduk mungkin enggan terlibat dalam upaya yang menurut pihak otoritas perlu dilakukan. Selama masa siaga, atau setelah kejadian suatu bencana alam, orang enggan untuk mengungsi waIau rumah mereka kemungkinan akan atau memang sudah hancur.Pola perilaku itu menimbulkan dua dampak utama pada para pengambil keputusan mengenai program kemanusiaan. Pertama,pola perilaku dan permintaan akan bantuan emergensi dapat dibatasi dan dimodifikasi dengan menjaga agar penduduk mengetahui informasi yang ada dan dengan mendapatkan informasi yang diperlukan sebelum memulai program pemulihan yang lebih luas. Kedua, populasi itu sendiri akan melaksanakan sebagian besar upaya penyelamatan dan pertolongan pertama, membawa korban cedera ke rumah sakit jika rumah sakit itu dapat dijangkau, membangun penampungan sementara, dan melakukan tugas esensial lainnya. Dengan demikian, sumber daya tambahan harus diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh korban yang selamat.

Penyakit MenularBencana alam tidak biasa menimbulkan KLB penyakit menular secara besar-besaran walau pada keadaan tertentu bencana alam dapat meningkatkan potensi penularan penyakit. Dalam jangka waktu yang singkat, peningkatan insidensi penyakit yang paling sering terlihat terutama disebabkan oleh kontaminasi feses manusia pada makanan dan minuman. Dengan demikian, penyakit semacam itu umumnya adalah penyakit enterik (perut).Risiko terjadinya KLB epidemik penyakit menular sebanding dengan kepadatan penduduk dan perpindahan penduduk. Kondisi ini meningkatkan desakan terhadap suplai air dan makanan serta risiko kontaminasi (seperti dalam kamp pengungsi), gangguan layanan sanitasi yang ada seperti sistem suplai air bersih dan system pembuangan air kotor, dan meningkatkan kegagalan dalam pemeliharaan atau perbaikan program kesehatan masyarakat dalam periode segera setelah bencana.Dalam jangka panjang, peningkatan kasus penyakit bawaan vektor berlangsung di beberapa daerah karena terganggunya upaya pengendalian vektor, khususnya setelah terjadinya hujan lebat dan banjir. Insektisida residual pada bangunan akan tersapu hujan dan banjir, dan jumlah lokasi sarang nyamuk mungkin bertambah. Lagi pula, pemindahan hewan liar atau hewan peliharaan ke tempat yang dekat dengan pemukiman manusia akan memberikan risiko tambahan infeksi zoonotik.Pada bencana kompleks dengan akibat seperti malnutrisi, kepadatan penduduk, dan kurangnya sanitasi paling dasar, KLB besar-besaran gastroenteristis (akibat kolera atau penyakit lain) dapat terjadi, seperti di Rwanda/Zaire pada tahun 1994.

Perpindahan PendudukJika terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran, spontan atau terkelola, suatu kebutuhan mendesak akan pemberian bantuan kemanusian terbentuk. Penduduk mungkin akan pindah kedaerah kota jika layanan umum tidak dapat menangani dan akibatnya adalah peningkatan angka kesakitan dan kematian. Jika banyak rumah yang hancur, perpindahan penduduk besar-besaran akan berlangsung dalam suatu wilayah perkotaan karena mereka mencari tumpangan baik di rumah teman maupun kerabat. Survei pemukiman dan perkotaan di sekitar Managua, Nikaragua, setelah gempa bumi Desember 1972, menunjukkan bahwa 80% sampai 90% dari 200.000 orang yang mengungsi tinggal bersama keluarga dan teman; 5% sampai 10% tinggal di taman, alun-alun kota, dan tanah kosong dan sisanya tinggal di sekolah dan bangunan umum lainnya. Setelah gempa bumi yang mengguncang Mexico City pada September 1985, 72% dari 33.000 tunawisrna menemukan tempat penampungan di wilayah yang dekat dengan tempat tinggal mereka yang rusak.Dalam konflik antar penduduk, seperti yang terjadi di Amerika Tengah (1980-an) atau Kolombia (1990-an), pengungsi eksternal maupun internal kemungkinan tetap ada.

Pengaruh CuacaBahaya kesehatan dan pajanan terhadap unsur-unsur cuaca tidak besar, bahkan setelah terjadi bencana di daerah beriklim sedang. Asalkan populasi tetap dalam kondisi kering, berpakaian layak pakai, dan dapat menemukan perlindungan terhadap angin, kematian akibat pajanan cuaca tampaknya bukan risiko utama pada penduduk Amerika Latin dan Karibia. Dengan demikian, kebutuhan untuk mendirikan tempat perlindungan darurat sangat beragam bergantung pada keadaan setempat.

Makanan dan GiziKekurangan bahan pangan segera setelah bencana dapat muncul dalam dua cara. Kerusakan pada cadangan makanan di wilayah bencana dapat menyebabkan penurunan tajam jumlah makanan yang tersedia atau terputusnya sistem distribusi dapat menghalangi akses ke makanan walaupun kelangkaan yang sangat parah tidak terjadi. Kekurangan makanan yang merata dan cukup parah untuk menyebabkan masalah gizi tidak terjadi setelah gempa bumi.Banjir dan gelombang pasang sering merusak persediaan makanan rumah tangga dan hasil panen, mengganggu jalur distribusi,dan menyebabkan kekurangan pangan setempat yang cukup berat. Distribusi makanan, setidak-tidaknya dalam waktu singkat, sering menjadi kebutuhan yang utama dan mendesak, tetapi impor/sumbangan makanan dalam skala besar tidak selalu diperlukan.Pada musim kemarau panjang, seperti yang terjadi di Afrika, atau dalam bencana yang kompleks, tunawisma dan pengungsi dapat bergantung sepenuhnya pada sumber persediaan makanan dari luar selama periode waktu yang berlainan. Bergantung pada kondisi gizi populasi, khususnya kelompok yang lebih rentan seperti ibu hamil atau ibu menyusui, anak-anak, dan lansia, program penyediaan makanan emergensi mungkin perlu dibentuk.

Persediaan Air dan SanitasiSistem persediaan air minum dan pembuangan air kotor sangat rentan pada bahaya bencana alam, dan gangguan yang terjadi padanya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius. Sistem itu sangat luas, kerap dalam kondisi yang buruk, dan rentan terhadap berbagai jenis bahaya. Kekurangan dalam jumlah dan mutu air minum, dan kesulitan dalam pembuangan ekskreta serta limbah lainnya dapat mngakibatkan memburuknya sanitasi sehingga ikut memberikan sumbangan terhadap kondisi yang memudahkan penyebaran penyakit enterik dan penyakit lainnya.

Kesehatan JiwaKecemasan, neurosis, dan depresi bukan masalah akut dan utama dalam kesehatan masyarakat yang terjadi setelah bencana. Keluarga dan pemukiman di daerah pedesaan atau masyarakat tradisional dapat mengatasi dalam waktu singkat. Namun, satu kelempok yang berisiko tinggi tampaknya adalah tenaga relawan kemanusiaan atau pekerja itu sendiri. Apapun kemungkinan, harus dilakukan upaya untuk melindungi keluarga dan struktur sosial masyarakat. Penggunaan obat pereda nyeri dan penenang selama fase penyembuhan darurat sangat tidak dianjurkan. Pada daerah industri atau metropolitan di negara maju, masalah kesehatan jiwa dilaporkan cukup bermakna selama masa rekonstruksi dan masalah itu harus dihadapi selama fase tersebut

Daftar PustakaPan American Health Organization. Bencana Alam- Perlindungan Kesehatan Masyarakat. 2000. EGC: Jakarta