25
Page | 1 DAYAK YANG TINGGAL KENANGAN Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi Disusun oleh: Erika NPM : 0706291243 Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional Tugas Makalah Akhir untuk Mata Kuliah Sistem Budaya Indonesia Semester Genap 2007/2008 DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2008

Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 1

DAYAK YANG TINGGAL KENANGAN

Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya dalam Sistem

Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Disusun oleh: Erika

NPM : 0706291243

Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional

Tugas Makalah Akhir

untuk Mata Kuliah Sistem Budaya Indonesia

Semester Genap 2007/2008

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2008

Page 2: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat-Nya

lah, makalah ini dapat saya selesaikan. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu

Priyanti S. Pakan yang telah menugaskan saya membuat makalah ini, karena dengan

membuat makalah ini, saya menjadi semakin paham dan mengerti mengenai pengaruh

globalisasi terhadap sistem budaya Dayak.

Makalah ini berjudul “Dayak yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai

Punahnya Nilai-Nilai Budaya dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi”.

Sesuai dengan judulnya, makalah ini akan membahas mengenai perubahan-perubahan yang

terjadi pada nilai-nilai budaya Dayak setelah masuknya globalisasi dalam kehidupan

masyarakat Dayak. Adapun makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas akhir semester

genap mata kuliah Sistem Budaya Indonesia.

Tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah ini, yang tentunya masih

jauh dari sempurna. Maka dari itu penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat

dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi segenap pembaca serta bagi

kemajuan ilmu Sistem Budaya Indonesia.

Sekian kata pengantar ini, akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Jakarta, 25 Mei 2008

Hormat saya,

Penulis

Page 3: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang semakin canggih dewasa ini menjadikan hampir tidak ada

bagian planet kita yang sepenuhnya terkucil, dan tidak terjangkau oleh komunikasi.

Perkembangan ini membuat dunia terasa semakin kecil, peradaban dan kebudayaan umat

manusia pun makin menjadi satu, makin saling susup-menyusup, dan makin saling

mempengaruhi. Inilah yang dinamakan globalisasi, di mana dunia seakan menjadi borderless,

tanpa batas. Tidak hanya mendatangkan berbagai pengaruh positif, globalisasi juga

mendatangkan banyak pengaruh negatif seperti timbulnya pendangkalan-pendangkalan yang

membuat banyak orang menjadi kehilangan pegangan. Nilai-nilai Barat kemudian seolah

menjadi pegangan baru bagi kehidupan setiap orang, dari belahan bumi manapun. Ini jugalah

yang dialami sistem budaya di Indonesia, dalam makalah ini sistem budaya di Dayak,

khususnya. Pendangkalan nilai-nilai ini kemudian berakibat pada mundurnya atau stagnannya

perkembangan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia. Padahal kebudayaan di

Indonesia adalah kebudayaan yang sangat beragam, merupakan aset yang sangat mahal bila

dikelola dengan baik dan benar1, sebab seyogyanya kebudayaan tradisional senantiasa

mengalami tekanan dan erosi, terutama di era globalisasi seperti sekarang. Kemampuan dan

daya tahan kebudayaan tradisional tidak sama dari waktu ke waktu, lebih-lebih daya serapnya.

Kebudayaan tradisional jika ingin terus berlangsung perlu “mengawinkan diri” dengan

zamannya2. Makalah ini mengambil kasus Sistem Budaya Dayak, untuk meneliti pengaruh

globalisasi dalam pudarnya nilai-nilai budaya masyarakat Dayak. Suku Dayak adalah salah

satu suku yang kehidupan budayanya masih sangat kental terasa, terutama bagi Suku Dayak

1 James F. Sundah, dan Lia Santoso, Kebudayaan, Aset yang Perlu Dilindungi, http://www.suarapembaruan.com/News

/2006/05/22/Editor/edit01.htm, diakses pada 18 Mei 2008, pukul 19.19. 2 Dr. JJ. Kusni, Masalah Etnis dan Pembangunan Dayak Membangun Kasus Dayak Kalimantan Tengah, (penerbit tidak

diketahui, 1994), hal. 48.

Page 4: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 4

yang masih tinggal di pedalaman. Namun masuknya nilai-nilai modernisme dan globalisme

pada Kalimantan belakangan ini mau tak mau telah mempengaruhi kehidupan budaya

masyarakat Dayak. Pengaruh globalisasi terhadap nilai-nilai budaya pada masyarakat Dayak

inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

1.2. Perumusan Masalah

Makalah ini akan membahas mengenai berbagai nilai-nilai budaya Suku Dayak yang di masa

kini telah pudar dikarenakan proses globalisasi yang terjadi di Dayak. Dalam membahas hal

tersebut, penulis akan membandingkan keadaan budaya di masyarakat Dayak pada jaman

dahulu dan pada masa kini setelah globalisasi masuk ke dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai

tersebut adalah kebiasaan memanjangkan daun telinga, membuat tato, nilai berburu, gotong

royong, nilai kerukunan, serta tutur budaya Intootn.

1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menemukan berbagai perubahan dalam nilai budaya Dayak

setelah masuknya globalisasi dalam kehidupan masyarakat Dayak.

1.4. Kerangka Teori

Sistem budaya adalah seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan,

nilai, norma, aturan, hukum, yang menjadi milik suatu masyarakat melalui suatu proses

belajar, yang kemudian diacu untuk menata, menilai, dan menginterpretasi sejumlah benda

dan peristiwa dalam beragam aspek kehidupan dalam lingkungan masyarakat yang

bersangkutan3. Batasan sistem budaya dari pengertian di atas memuat sejumlah konsep

penting, misalnya pengetahuan, keyakinan, nilai, norma, aturan, dan hukum. Dalam sistem

budaya, unsur nilai budaya tampak demikian penting.

Nilai budaya adalah suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan yang amat bernilai dalam

hidup, yang menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat4.

3 M. Junus Melalatoa. Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta, 1997), hal. 5. 4 Ibid, hal. 6.

Page 5: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 5

Berbagai nilai budaya ini kemudian tersebar dalam berbagai unsur seperti pengetahuan, religi,

sosial, seni, dan ekonomi.

Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar mengatakan ada empat macam sistem budaya, yaitu :

1. Sistem budaya etnik, yang kebudayaannya diwariskan kepada mereka secara

turun-temurun sejak nenek moyang yang hidup di jaman dongeng. Masing-masing

budaya kelompok etnik ini memiliki tanah asal, wilayah tempat para nenek moyang

pertama kali menetap. Sistem budaya ini bisa disebut sebagai sistem adat atau adat.

2. Sistem budaya agama besar, yang kesemuanya berasal dari luar kepulauan Indonesia.

Semua sistem budaya ini memiliki banyak pengikut di luar Indonesia.

3. Sistem budaya Indonesia, merupakan sistem budaya termuda di antara semua sistem

budaya yang ada di Indonesia, namun merupakan yang terpenting jika ditinjau dari

fungsinya dalam pengintegrasian masyarakat Indonesia secara total. Semua penduduk

pribumi dan non pribumi dapat dianggap sebagai anggota sistem budaya ini.

4. Sistem budaya majemuk, yang terdiri dari sistem-sistem budaya asing yang sedikit

banyak mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan sebagian dari penduduk yang tersebar

di kepulauan Indonesia.

Menurut analisis Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar di atas, sistem budaya Dayak termasuk ke

dalam sistem budaya etnik, karena kebudayaan Dayak merupakan kebudayaan yang

diwariskan secara turun-menurun dari generasi ke generasi.

Dalam sistem budaya etnik dikenal adanya sistem nilai, yaitu apa yang perlu diperhatikan

oleh anggota masyarakat etnik yang kemudian dinyatakan dalam bentuk seperangkat

sistem-sistem normatif. Masing-masing sistem normatif itu memerinci perilaku-perilaku yang

diharapkan pada orang-orang yang menjadi anggota masyarakat tertentu di mana sistem

normatif itu diberlakukan5.

5 Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar, Konsensus dan Konflik dalam Sistem Budaya di Indonesia, (Jakarta: Hamindita, 1987), hal.

6.

Page 6: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 6

Globalisasi, dalam kaitannya dengan kebudayaan, mengandung pengertian sebagai sebuah

gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya

dunia atau world culture)6.

Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga

posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu:

a. Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki

konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan.

Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa

kebudayaan dan ekonomi global yang homogen.

b. Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka

berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang

ada, terlalu dibesar-besarkan.

c. Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka

setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis.

Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal

keberadaan konsep ini.

6 Globalisasi, http://id.wikipedia.org/wiki/globalisasi, diakses pada 23 Mei 2008, pukul 21.39.

Page 7: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Mulai Punahnya Kebiasaan Memanjangkan Daun Telinga

Tanda identitas Dayak yang paling mencolok bagi orang-orang luar adalah praktik menindik

dan memanjangkan daun telinga, meskipun tidak semua suku melakukan tradisi ini. Di

Kalimantan Timur, tradisi ini masih terus dilakukan oleh orang-orang Dayak Kenyah, Bahau,

dan Kayan7. Di kalangan orang Dayak Kenyah, baik laki-laki maupun perempuan memiliki

daun telinga yang sengaja dipanjangkan, akan tetapi panjangnya berbeda-beda antara

laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan telinganya sampai

melebihi bahunya, sedang kaum perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada.

Proses penindikan daun telinga ini sendiri dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak

berusia satu tahun. Kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah anting atau

subang perak. Anting atau subang perak yang dipakai pun berbeda-beda, gaya anting yang

berbeda-beda ini menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum

bangsawan memiliki gaya anting sendiri yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa.

Sedangkan menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun telinga di kalangan

masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan

mereka. Senada dengan hal itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bagi

masyarakat Kenyah dan Bahau, orang-orang yang tidak bertelinga panjang dianggap serupa

dengan kera (1995/1996:125).

7 Dr. Yekti Maunati, Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004), hal.149.

Page 8: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 8

Gambar perempuan Dayak yang masih mempertahankan kebiasaan memanjangkan daun telinga.

Perhatikan daun telinga mereka yang panjang dan anting/subang perak yang terkait di telinga mereka.

Menurut penelitian Dr. Yekti Maunati yang berkunjung ke Desa Long Mekar, sebuah desa

Dayak di mana Dayak yang „otentik‟ yang serupa dengan orang Dayak yang hidup di

pedalaman tinggal, ternyata penduduk Desa Long Mekar sendiri tidak semua memiliki tato

dan daun telinga yang panjang. Belakangan, terbukti bahwa hal ini hanya sebagian benar,

karena banyak orang yang telah memotong daun telinga mereka yang [dulu sudah terlanjur]

panjang8. Pemotongan daun telinga ini sendiri dilakukan di rumah sakit melalui sebuah

operasi kecil. Hanya sedikit penduduk yang masih memiliki daun telinga yang panjang,

itupun kebanyakan para manula yang berusia di atas 60 tahun. Dr. Yekti Maunati kemudian

menceritakan mengenai perbincangannya dengan seorang perempuan tua bernama Mamak

Ngah, yang sejak kedatanganya di Long Mekar dulu sudah memotong daun telinganya yang

semula panjang. Berikut isi perbincangannya,

“Saya malu bertelinga panjang. Jadi saya pun memotongnya seperti yang dilakukan banyak orang lainya.

Saya punya pengalaman buruk ketika orang-orang menertawakan saya karena daun telinga saya yang

8 Ibid, hal. 151.

Page 9: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 9

panjang itu. Ketika saya pergi ke Samarinda untuk pertama kalinya dulu, orang-orang datang dan

mengerumuni saya dan memandangi saya seolah-olah saya ini orang aneh. Mereka berkata, „Dia itu

orang Dayak...dia makan manusia.‟ Mereka menyentuh daun telinga saya yang panjang itu. saya merasa

sangat tersinggung. Saya diperlakukan seolah saya ini sebuah benda. Saya putuskan untuk memotong

daun telinga saya yang panjang agar orang tidak lagi selalu menonton saya dan mengira saya makan

manusia. Dengan begitu orang tidak akan mengira kalau saya ini seorang Dayak. Tentu saja, orang masih

bisa melihat tato-tato saya, tetapi saya toh bisa menyembunyikannya dengan mengenakan rok panjang

dan baju berlengan panjang.”9

Perkataan Mamak Ngah ini jelas menunjukkan sudah berkurangnya rasa kebanggaan yang

dimiliki penduduk Dayak. Mereka menjadi kurang menghargai nilai-nilai budaya yang

mereka miliki, mereka malu pada kebiasaan memanjangkan daun telinga yang sudah

diterapkan suku Dayak sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka tidak menyadari bahwa

orang-orang non-Dayak akan mengagumi dan menghargai orang-orang Dayak yang

bertelinga panjang. Alih-alih menghargai, mereka malah malu akan identitas ke-Dayak-annya.

Sebuah penanda fisik seperti telinga yang panjang dianggap sesuatu yang memalukan.

Isu mengenai apakah penanda fisik ke-Dayak-an ini , seperti daun telinga yang panjang,

harus dilestarikan, kerap kali diperdebatkan oleh penduduk desa itu sendiri. Hanya sedikit

orang yang berpendapat bahwa para orang tua yang mempunyai anak harus didorong untuk

melestarikan tradisi, dengan cara memanjangkan daun telinga anak-anak mereka. Sebenarnya

penduduk Dayak sendiri sadar bahwa mereka harus melestarikan tradisi mereka, karena jika

tidak maka orang Dayak akan kehilangan tradisi yang berharga tersebut. Tetapi mereka juga

berpendapat, bila suatu saat anak mereka pergi bersekolah ke kota-kota besar, maka anak

mereka akan merasa malu karena terlihat berbeda dari anak-anak lain. Seperti pendapat Mely,

tiga puluh tahun, yang memotong daun telinganya dan mengatakan bahwa ia tidak menyesali

keputusannya untuk memotong daun telinganya. Ia menyatakan bahwa orang-orang tua boleh

saja menyesalinya karena daun telinga yang panjang sekarang ini dapat menjadi sumber

penghasilan, tetapi baginya seorang Dayak haruslah terpelajar dan punya pekerjaan yang 9 Ibid.

Page 10: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 10

layak10

.

Gambar anak-anak perempuan Dayak sekarang. Perhatikan daun telinga mereka yang sudah tidak

dipanjangkan. Gambar ini membuktikan mulai punahnya nilai budaya yang mengatakan daun telinga

yang panjang menandakan bangsa yang beradab. Anak-anak ini, seperti yang dapat dita lihat, tidak

memanjangkan daun telinganya seperti yang dilakukan orang-orang di Dayak jaman dahulu.

Bila kita analisis lebih lanjut, timbulnya rasa malu tersebut turut disebabkan oleh modernisasi

dan globalisasi yang mulai merasuki kehidupan masyarakat Dayak. Globalisasi ini kemudian

membuat rakyat Dayak menjadi kurang menghargai nilai-nilai budaya yang mereka miliki,

karena mereka menjadi lebih menghargai nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional.

Kebiasaan memanjangkan telinga yang tidak biasa di dunia internasional membuat warga

Dayak menjadi berada dalam kebingungan mengenai haruskah mereka melestarikan

nilai-nilai budaya mereka, yang kini diangap sudah tidak sesuai dengan perkembangan

jaman?

Dulu, sebelum globalisasi dan modernisasi masuk ke kehidupan masyarakat Dayak, mereka

sangat menghargai nilai-nilai budayanya, dalam hal ini memanjangkan daun telinga yang

dianggap sebagai pertanda bahwa mereka adalah bangsa yang beradab. Namun sejak

globalisasi masuk, muncul anggapan bahwa bangsa yang beradab bukan seperti apa yang

mereka pikirkan selama ini. Mereka mulai merasa mereka berbeda dari bangsa atau suku lain, 10 Ibid, hal 154.

Page 11: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 11

yang mendapat cap “beradab” lebih dari mereka. Keberbedaan itu lantas menimbulkan

keraguan dalam diri mereka, sehingga pada akhirnya mereka menjadi nilai budaya yang

mengatakan bahwa memanjangkan daun telinga adalah tanda suatu bangsa yang beradab.

Penolakan terhadap nilai budaya inilah yang kemudian menyebabkan hanya sedikit warga

Dayak, terutama kalangan muda, yang masih menjalankan kebiasaan memanjangkan daun

telinga.

Padahal daun telinga yang panjang tersebut merupakan hal yang unik, yang dikagumi oleh

masyarakat non-Dayak. Tidak seharusnya masyarakat Dayak malu akan penanda fisik

tersebut, karena rasa malu itu pada akhirnya dapat menyebabkan punahnya salah satu nilai

budaya di masyarakat Dayak.

2.2. Punahnya Nilai Membuat Tato pada Masyarakat Dayak

Selain daun telinga yang panjang, penanda fisik ke-Dayak-an lainnya adalah tato. Perempuan

dari kalangan usia paro baya dan manula di Dayak rata-rata memiliki tato di sekujur lengan

dan kakinya. Bagi kaum perempuan, keberadaan tato di tubuh mereka menunjukkan mereka

adalah anggota keluarga bangsawan. Orang-orang Kenyah, Bahau, Iban, dan Kayan memiliki

tato, sedangkan kelompok-kelompok Dayak lainnya tidak mengikuti praktik ini11

.

Motif-motif untuk kaum perempuan Kenyah meliputi rantai-rantai anjing, motif-motif perang,

tanduk-tanduk binatang di bagian lengan dan paha, dam motif-motif lingkaran di betis atau

pergelangan kaki. Tato-tato pada suku Kenyah adalah tanda kedewasaan, sementara bagi

kaum laki-laki tato merupakan tanda bahwa mereka sudah menjelajahi „negeri orang‟12

dan

telah melakukan sesuatu yang luar biasa, seperti membunuh musuh dalam peperangan13

.

11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan

Timur, Wujud Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur, (Samarinda: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur,

1995/1996). 12 Konsep „negeri orang‟ yang dimaksud di sini tidak selalu harus berarti negara lain, tapi juga dapat berarti wilayah yang

menjadi milik kelompok lain. 13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan

Timur, op.cit, hal. 120-122.

Page 12: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 12

Senada dengan penjelasan di atas, M. Sjaifullah dan Try Harijono dalam artikelnya di

Kompas, 22 Oktober 2004 yang berjudul “Makna Tato bagi Masyarakat Dayak” mengatakan

bahwa tato bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status

sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap

kemampuan seseorang. Karena itulah, tato bagi masyarakat Dayak tidak dapat dibuat

sembarangan. Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat

Dayak, yakni sebagai "obor" dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah

kematian14

. Karena itu, jumlah tato yang semakin banyak menunjukkan semakin banyaknya

“obor” yang akan menerangi perjalanan seseorang ke alam keabadian namun yang perlu

diperhatikan di sini adalah pembuatan tato juga tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara

sembarangan, karena harus memenuhi aturan adat.

Berbagai gambar warga Dayak yang tubuhnya diberi tato asli Dayak. Gambar paling kiri adalah contoh

tato untuk wanita Dayak, sementara gambar tengah dan kanan memperlihatkan tato untuk pria Dayak.

Baik tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah

jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum

14 M. Sjaifullah dan Try Harijono, Makna Tato bagi Masyarakat Dayak, http://www2.kompas.com/kompas-cetak

/0410/22/tanahair/1339279.htm, diakses pada 22 Mei 2008, pukul 15.32.

Page 13: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 13

sekaligus15

. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan

jelaga dari periuk yang berwarna hitam. Inilah yang membuat tato Dayak berbeda dengan

tato-tato lainnya yang kerap menggunakan berbagai warna untuk alasan keindahan.

Proses pembuatan Tato Dayak

Namun sayangnya nilai tato Dayak yang tadinya begitu luhur, yaitu menggambarkan “obor”

yang akan menerangi jalan si empunya menuju alam keabadian, kini telah bergeser nilainya.

Kini, tato Dayak tak lebih hanya dianggap sebagai lambang untuh gagah-gagahan, terutama

bagi kalangan generasi mudanya. Anggapan tato sebagai simbol kegagahan ini serupa dengan

anggapan masyarakat luar Dayak, tato biasa diidentikkan dengan preman-preman yang dapat

dikatakan gagah. Anggapan inilah yang kemudian merasuk ke dalam pemuda-pemudi Dayak,

melalui suatu proses globalisasi. Globalisasi telah membuat nilai Tato Dayak bergeser

menjadi tato untuk gagah-gagahan dan kekerasan semata. Hanya beberapa orang tua di desa

itu saja yang masih menaruh perhatian, seraya berpendapat bahwa modernisasi telah

melemahkan aspek kebudayaan tradisional yang satu ini16

. Menanggapi hal ini, Laurensius

Ding Lie, yang menyebut dirinya pembuat Art Tatoo Dayak di Kampung Long Bagun Ilir,

menyatakan keprihatinannya. Ia prihatin dengan citra tato yang identik dengan kekerasan.

Apalagi belakangan ini semakin banyak warga non-Dayak yang meminta untuk ditato Dayak,

15 Ibid. 16 Dr. Yekti Maunati, op.cit, hal. 155.

Page 14: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 14

tanpa mengetahui esensi sebenarnya dari tato Dayak tersebut. Inilah yang sangat disayangkan,

ketika nilai budaya dari suatu kebudayaan hilang dan tergantikan oleh nilai lain yang dapat

dikatakan melenceng dari nilai aslinya karena proses modernisasi dan globalisasi.

2.3. Perubahan dalam Nilai-Nilai Tradisional Dayak

2.3.1. Nilai Berburu

Suku Dayak termasuk dalam suku yang menggantungkan hidupnya pada hutan, dalam hal ini

pada hasil-hasil buruan mereka. Suku Dayak biasa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka

dengan berburu. Cara mereka berburu pun masih tradisional, semisal orang Dayak Long

Mekar biasa menggunakan anjing dalam berburu dahulu kala. Hasil buruan itu kemudian

tidak hanya dinikmati sendiri oleh sang pemburu dan keluarganya, melainkan biasa

hasil-hasil buruan dibagi-bagikan di antara sesama warga desa. Seperti yang terjadi di Apo

Kayan, suatu daerah di Desa Long Mekar. Pak Martin, salah seorang penduduk Apo Kayan

berkata orang selalu berbagi hewan hasil buruan dengan tetangga-tetangganya17

, yang tidak

mau berbagi akan dicap tamak oleh warga desa.

Namun yang terjadi di jaman sekarang sungguh berbeda dengan jaman dahulu. Perbedaan

paling besar terletak pada nilai membagi hasil buruan. Kini para pemburu, yang biasanya

adalah anak-anak muda, lebih suka menjual hasil buruannya di pasar untuk mendapatkan

uang tunai. Hal ini sangat berlawanan dengan apa yang dilakukan generasi tua Dayak pada

jaman dahulu. Anak-anak muda Dayak seperti tidak mau berbagi. Mengenai hal ini, Ramel,

salah seorang yang termasuk kalangan muda Dayak berpendapat bahwa berburu adalah

sebuah kegiatan ekonomi yang ia gunakan sebagai cara untuk mendapatkan uang ketika tidak

sedang bekerja di pabrik pengolahan kayu tempatnya bekerja. Baginya, berburu lebih kepada

memenuhi tujuan ekonomi, bukan sosial. Ia lantas berkata ia harus mengikuti arus kehidupan

modern. Baginya, menjadi orang Dayak tak harus selalu melihat kembali ke masa lalu,

melainkan berusaha sejajar dengan kelompok-kelompok lain dalam lingkungan masyarakat

17 Ibid.

Page 15: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 15

setempat18

. Jika tidak, lanjutnya, Dayak akan selamanya tertinggal dan menjadi pecundang di

Kalimantan.

Dari anggapan Ramel di atas, sangat jelas terlihat telah terjadi suatu perubahan nilai dalam

masyarakat Dayak dewasa ini. Nilai berburu untuk tujuan sosial telah berganti menjadi

berburu untuk tujuan ekonomi. Modernisasi dan globalisasi-lah yang menyebabkan

berubahnya nilai ini. Sebenarnya perubahan ini juga bukan perubahan yang buruk, akan tetapi

esensi dari berburu yang khas Dayak (yaitu untuk dibagi-bagikan pada warga sekitarnya) kini

telah hilang dan diganti dengan nilai yang sedikit berbau materialistis, yaitu untuk tujuan

ekonomi.

2.3.2. Nilai Gotong Royong

Dari waktu ke waktu, penduduk Dayak telah melakukan gotong royong. Laki-laki dewasa

dari setiap rumah tangga diwajibkan untuk ikut serta dalam kegiatan ini. Ada dua jenis

gotong royong: satu untuk kepentingan umum, dan satu lagi untuk kepentingan perorangan.

Kerja-kerja gotong royong yang dilakukan masyarakat Dayak dapat bermacam-macam

bentuknya, seperti kerja untuk membangun sumur-sumur pada musim kemarau,

membersihkan ladang yang sedang dipersengketakan, dan membersihkan jalan desa.

Bagi warga desa yang lebih tua, kerja gotong royong sudah menjadi bagian dari identitas

masyarakat Dayak, terutama sejak mereka masih tinggal di rumah panjang, yang akan

dibahas di poin setelah nilai gotong royong ini. Kerja gotong royong dulu berbeda karena

setiap orang senank bekerja keras, tak seorang pun mengeluh. Sebab di masa muda mereka,

diperkenalkan kebiasaan gotong royong sehingga mereka melakukannya dengan senang hati.

Mereka menghormati gotong royong karena hal itu diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Gotong royong seperti telah menjadi bagian dari semangat atau roh Dayak.

Sementara (menurut orang-orang tua), anak-anak muda mau bekerja hanya jika ada uang.

Misalnya, saat bekerja, anak-anak muda sering menghilang setelah makan siang. Anak muda 18 Ibid, hal. 156.

Page 16: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 16

Dayak kini lebih memilih untuk melakukan pekerjaan yang menurut mereka lebih berarti dan

bisa memberikan penghasilan, ketimbang melakukan tindakan-tindakan simbolik yang tak

berarti seperti gotong royong, menurut mereka. Golongan tua berpendapat bahwa sejak

datangnya „orang-orang pintar‟19

, arti penting gotong royong terus mengalami penurunan.

Sekarang orang Dayak menunggu uang, tanpa uang mereka tidak mau bekerja.

Penanda ke-Dayak-an berupa sifat gotong royong ini sekarang sedang diperdebatkan di

kalangan penduduk Long Mekar. Bagi sebagian kalangan tua, gotong royong yang diturunkan

dari generasi ke generasi telah menjadi keunikan masyarakat Dayak. Sementara bagi

kalangan muda Dayak, masyarakat Dayak harus lebih „maju‟ dan lebih „modern‟ ketimbang

hanya mengikuti tradisi-tradisi tertentu. Hal ini merupakan akibat dari globalisasi yang masuk

ke Dayak, sehingga mengakibatkan luntur dan pudarnya nilai-nilai yang terdapat di dalam

masyarakat, dalam poin ini nilai gotong royong.

2.4. Rumah Betang dan Nilai Kerukunan yang Mulai Tergantikan

Selain berupa penanda fisik berupa daun telinga yang panjang dan banyaknya tato yang

tergambar pada tubuh mereka, ada satu hal yang menjadi kekhasan warga Dayak : rumah

Betang/rumah Panjang-nya. Rumah panjang ini setara dengan nilai kerukunan yang diusung

warga Dayak. Para orang tua Dayak senantiasa menekankan pentingnya kebudayaan Dayak

yang berupa dikap mau berbagi dan hidup rukun dengan para anggota rumah panjang. Hidup

rukun seperti sudah mendarah-daging dalam kehidupan warga Dayak dahulu. Kerukunan

warga Dayak ini seringkali menimbulkan kekaguman dari warga non-Dayak. Rumah panjang

pun kemudian dipandang sebagai sebuah komponen penting dalam menjaga kerukunan dan

hubungan-hubungan yang lebih akrab.

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru

Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku

19 „Orang-orang pintar‟ yang dimaksud di sini adalah para pensiunan pegawai negeri dan para mantan kepala adat dari

daerah pedalaman yang belum lama pindak ke Long Mekar. Selain itu, istilah ini tidak berarti orang-orang yang

berpendidikan tinggi, melainkan lebih mengacu pada kemampuan untuk berbicara di muka umum.

Page 17: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 17

Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan

berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku

Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan

(jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan sistem barter yaitu

dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak)20

.

Bentuk dan besar rumah Betang berbeda-beda di setiap tempat. Ada yang panjangnya

mencapai 150 meter dan lebarnya mencapai 30 meter. Rumah Betang umumnya dibangun

dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter di atas tanah. Ketinggian

Rumah Betang ini diperkirakan untuk menghindari dan mengantisipasi ancaman banjir yang

sering menimpa daerah-daerah hulu sungai di Kalimantan. Banyaknya Rumah Betang di

suatu pemukiman bisa lebih dari satu, tergantung banyaknya anggota komunitas di hunian

tersebut. Setiap keluarga menempati bilik yang disekat-sekat dari Rumah Betang yang besar

tersebut.

Rumah Betang yang merupakan rumah adat Suku Dayak

Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat

diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Nilai utama yang

20 Rumah Betang, Rumah Adat, dan Budaya Dayak yang Hampir Tersingkirkan, http://fazz.wordpress.com/2007/05/18/

rumah-betang-rumah-adat-dan-budaya-dayak-yang-hampir-tersingkirkan/, diakses pada 22 Mei 2008, pukul 15.58.

Page 18: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 18

menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di

antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka

miliki21

. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu

perbedaan, mereka menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.

Budaya Rumah Betang adalah budaya yang menjunjung nilai kebersamaan, persamaan hak,

saling menghormati, dan tenggang rasa.

Rasa kebersamaan dan persaudaraan tampak setiap ada permasalahan yang menimpa salah

satu penghuni. Jika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal dunia maka masa

berkabung mutlak diberlakukan selama satu minggu bagi semua penghuni dengan tidak

menggunakan perhiasan, tidak berisik, tidak minum tuak dan dilarang menghidupkan

peralatan elektronik22

.

Kini, rumah betang yang menjadi hunian orang Dayak berangsur-angsur menghilang di

Kalimantan. Kalaupun masih bisa ditemukan penghuninya tidak lagi menjadikannya sebagai

rumah utama, tempat keluarga bernaung, tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas.

Rumah Betang tinggal menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Di beberapa

tempat yang terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai tempat untuk para wisatawan.

Generasi muda dari orang Dayak sekarang tidak lagi hidup dan dibesarkan di rumah Betang.

Kini Rumah Betang konon hanya bisa ditemukan di pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa

mengetahui persis lokasinya. Pernyataan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah

Betang hanya tinggal cerita dari tradisi yang berasosiasi dengan keterbelakangan dan

ketertinggalan dari gaya hidup modern. Kini warga desa lebih banyak tinggal di

rumah-rumah individual. Sebagian kalangan tua berpendapat bahwa tinggal di rumah-rumah

individual telah membuat warga menjadi terlalu individualistik, sesuatu yang sebenarnya

bukan ciri masyarakat Dayak.

21 Ibid. 22 Rumah Betang Suku Dayak di Ambang Kepunahan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/15/sh12.html, diakses pada

18 Mei 2008, pukul 18.58.

Page 19: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 19

Mengenai alasan mengapa warga banyak yang lebih memilih tinggal di rumah-rumah

individual, warga mengatakan rumah individual jelas lebih baik karena lebih pribadi dan

lebih bersih. Pak Din, salah satu warga yang lebih memilih untuk tinggal di rumah individual

berpendapat, baginya ke-Dayak-an tidak hanya ditentukan oleh sebuah kehidupan yang rukun

tetapi juga oleh hal-hal yang „modern‟, termasuk pendidikan dan gaya hidup sehat.

Memang, pendapat Pak Din tersebut ada benarnya. Akan tetapi, bukankah lebih baik

kebiasaan tinggal di suatu rumah bersama-sama tetap dipelihara? Nilai tinggal bersama

sesama warga Dayak adalah nilai yang baik karena tinggal bersama juga menunjukkan

keinginan warga untuk hidup rukun dan tidak menunjukkan ketamakan.

Rumah Adat Dayak yang Disebut Rumah Betang/Rumah Panjang yang Kini Sudah Tidak Digunakan

sebagai Rumah Tinggal Lagi

Berlawanan dengan pendapat Pak Din, Pak Pebit, salah seorang kepala adat di sebuah desa

Dayak di pedalaman, menegaskan bahwa konsep-konsep kerukunan dan kesetaraan harus

dipertahankan dan dipelihara karena konsep-konsep tersebut esensial bagi identitas Dayak.

Sekarang, nilai individualistik telah mulai merasuk dalam jiwa masyarakat Dayak. Hal itulah

yang membuat mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah individual dibanding di Rumah

Betang. Hal ini disebabkan karena proses globalisasi dan modernisasi yang masuk dalam

kehidupan masyarakat Dayak, globalisasi membuat nilai kerukunan yang tadinya menjadi ciri

masyarakat Dayak menjadi pudar dan tergantikan oleh nilai individualistik. Padahal konsep

Page 20: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 20

kerukunan dan tinggal bersama di rumah Betang dan menghindarkan ketamakan adalah nilai

budaya yang esensial bagi masyarakat Dayak, dan oleh karenanya nilai tersebut seharusnya

dipelihara dan dilestarikan.

2.5. Punahnya Budaya Tutur Intootn Suku Dayak

Dahulu, masyarakat Dayak mempunyai kebiasaan untuk menyampaikan cerita rakyat sebagai

pengantar tidur bagi anak-anaknya setiap malam. Kebiasaan tersebut kemudian dikenal

dengan nama Budaya Tutur Intootn. Dalam budaya tutur intootn, berbagai cerita Dayak

disampaikan dari generasi ke generasi. Dulu memang kebiasaan menyampaikan cerita rakyat

dari generasi ke generasi merupakan hal yang lazim terjadi pada masyarakat Dayak. Namun

kini keberadaan cerita rakyat di Dayak hanya diketahui oleh beberapa orang, itu pun biasanya

oleh kalangan yang bisa terbilang sudah berumur. Budaya tutur intootn sudah mulai pudar

dan lenyap dari kehidupan masyarakat Dayak. Modernisasi mulai mengikis kebudayaan

intootn.

Terkikisnya kebudayaan intootn disebabkan antara lain karena mulai masuknya listrik ke

dalam kehidupan masyarakat Dayak, dalam kasus ini misalnya ke dalam Kampung Linggang

Mapan di Kalimantan Timur. Dahulu, menurut Yuvenalis Kedoy, seorang penduduk

kampung tersebut, pada tempat ia tinggal belum teraliri listrik, tidak ada radio, apalagi

televisi. Oleh karena itu, hiburan satu-satunya bagi anak-anak di Dayak adalah dongeng

pengantar tidur yang senantiasa dibacakan orang tua mereka sebelum mereka tidur.

Modernisasi di Kampung Linggang Mapan ini dimulai sejak 1985, bersamaan dengan

masuknya PT Kelian Equatorial Mining (KEM) di wilayah tersebut. Sejak memasuki 1990,

kehidupan warga desa Kampung Linggang Mapan mulai berubah. Produk televisi lengkap

dengan antena yang langsung terhubung ke satelit sudah bukan barang aneh lagi23

. Alternatif

hiburan malam hari pun bertambah. Selain tradisi tutur intootn, ada pula pukauan hiburan

dari televisi satelit yang dapat diakses 24 jam.

23 Mengenang Tradisi Rimba Sungai Kelian. http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment

/clips/2006-08-20-007-0006-001-07-0894.pdf, diakses pada 18 Mei 2008, pukul 18.34.

Page 21: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 21

Tidak hanya disebabkan oleh makin menjamurnya hiburan-hiburan internasional, kepunahan

budaya tutur intootn juga disebabkan oleh menurunnya minat generasi muda Dayak untuk

mempelajari cerita daerah Dayak. Mereka lebih tertarik untuk menonton TV ataupun

menikmati hiburan lain ketimbang mendengarkan cerita rakyat Dayak.

Berbagai macam hiburan modern yang kini menjamur ini sebenarnya merupakan hal yang

baik. Akan tetapi hal tersebut menjadi buruk tatkala hiburan modern tersebut mulai mengikis

nilai budaya tradisional yang sudah mendarah daging selama ini. Seperti yang terjadi di

Kampung Linggang Mapan, di mana daya tarik budaya intootn sudah berkurang dan

tergantikan oleh hiburan-hiburan modern seperti radio dan televisi.

Page 22: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 22

BAB III

KESIMPULAN

Titik pusat sentral dari makalah ini membahas mengenai sistem budaya Dayak, yang

didominasi oleh berbagai nilai budaya normatif yang berlaku pada masyarakatnya. Sebelum

masuknya globalisasi, masyarakat Dayak adalah masyarakat yang kental dengan nilai-nilai

adatnya. Mereka bisa dikatakan suku yang sangat menghargai kebudayaannya serta nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya. Setiap tingkah laku dan perbuatan masyarakatnya

mencerminkan nilai budaya suku Dayak, yang sering mendapat sebutan primitif dan dikenal

kejam oleh orang yang tidak paham akan budaya Dayak. Dalam budaya Dayak, banyak

terkandung nilai-nilai positif yang semuanya mencerminkan telah terciptanya masyarakat

yang rukun dan beradab di Dayak. Akan tetapi, sejak globalisasi dan modernisasi masuk ke

dalam kehidupan masyarakat Dayak, berbagai nilai-nilai budaya normatif tersebut mulai

pudar, bahkan ada yang kini sudah hilang sama sekali.

Nilai pertama yang mulai pudar sejak masuknya globalisasi adalah kebiasaan

memanjangkan daun telinga pada laki-laki dan perempuan suku Dayak, yang dilakukan

dengan memakai anting/subang perak sejak mereka masih kanak-kanak. Hal ini dilakukan

masyarakat Dayak dahulu menganggap memanjangkan daun telinga sebagai tanda

masyarakat yang beradab. Namun seiring masuknya globalisasi, golongan muda masyarakat

Dayak tidak lagi meneruskan kebiasaan memanjangkan telinga, karena anggapan mengenai

bangsa beradab yang dipahami generasi muda sudah berbeda dengan generasi tua Dayak.

Nilai kedua yang kini sudah mulai bergeser maknanya adalah nilai pembuatan tato.

Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang dikenal dengan tato adatnya, yang mempunyai

motif unik yang berbeda dengan tato biasa. Dulu, pembuatan tato tidak boleh dilakukan

sembarangan, harus mengikuti hukum adat. Tato tersebut juga mempunyai arti, yaitu tato

dianggap sebagai “obor” yang akan menerangi jalan si empunya tato menuju alam keabadian.

Akan tetapi, masuknya globalisasi menyebabkan terjadinya pergeseran makna pada tato

Dayak. Kini tato Dayak lebih dipahami sebagai simbol kegagahan, sehingga acap kali

digunakan untuk tujuan kekerasan, agar seseorang dianggap lebih gagah dan kuat.

Page 23: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 23

Nilai ketiga yang berubah adalah nilai tradisional dalam masyarakat Dayak, yang

mencakup nilai berburu dan nilai gotong royong. Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang

suka berbagi dan sangat peduli akan nasib sesamanya. Itulah yang membuat terciptanya suatu

peraturan tidak tertulis tentang hasil buruan, yaitu setiap warga Dayak yang berhasil

mendapat hasil buruan akan membagi-bagikan hasil buruan itu kepada warga lainnya yang

tinggal dalam satu Rumah Betang dengannya. Kepedulian Dayak terhadap sesamanya juga

ditunjukkan lewat budaya gotong royong yang kental terasa dalam kehidupan warga Dayak.

Setiap ada warga yang mengalami kesulitan, maka warga Dayak yang lain akan membantu

menyelesaikan kesulitan itu bersama-sama. Itulah yang terjadi pada masyarakat Dayak jaman

dahulu. Namun sekarang, seiring dengan masuknya nilai globalisasi, kedua nilai itu telah

pudar. Generasi muda Dayak yang berburu sekarang lebih suka menjual hasil buruannya ke

pasar tanpa membagikannya sedikit pun kepada warga lainnya, tujuannya adalah untuk

mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Begitu juga dengan nilai gotong

royong, gotong royong kini sudah jarang sekali ditemukan di kalangan masyarakat Dayak.

Sekarang mereka cenderung hidup individualis, jikalau mereka mau bergotong royong, itu

pasti karena ada upahnya. Dari perubahan kedua nilai tersebut, kita bisa melihat besarnya

pengaruh globalisasi dalam merubah pola pikir masyarakat Dayak.

Nilai keempat yang berubah adalah nilai kerukunan. Suku Dayak tadinya terkenal

sebagai suku yang rukun, yang tinggal bersama dalam satu atap, yaitu dalam Rumah

Betang/Rumah Panjang. Namun kerukunan itu kini tinggal kenangan. Seiring masuknya

globalisasi, hidup warga Dayak kini menjadi lebih individualistik. Rumah Betang yang

tadinya menjadi tempat tinggal bersama pun mulai ditinggalkan warga, mereka kini lebih

memilih untuk tinggal di rumah individu demi alasan kebersihan dan kesehatan. Rumah

Betang yang menjadi simbol Suku Dayak itu kini hanyalah merupakan rumah kosong, yang

hanya dijaga oleh beberapa generasi tua Dayak, yang masih menjunjung tinggi nilai

kerukunan yang dahulu mereka anut.

Nilai terakhir yang dibahas dalam makalah ini adalah nilai budaya tutur intootn,

yaitu menyampaikan cerita adat Dayak dari generasi ke generasi sebagai cerita pengantar

tidur. Dulu, sebelum globalisasi masuk ke kehidupan masyarakat Dayak, anak-anak Dayak

selalu meminta kepada orang tua mereka untuk diceritakan cerita rakyat Dayak sebagai

Page 24: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 24

hiburan. Ketika itu, cerita rakyat Dayak dianggap sebagai satu-satunya hiburan yang bisa

didapat anak-anak Dayak. Namun kini, seiring masuknya berbagai hiburan seperti radio dan

televisi ke dalam kehidupan masyarakat Dayak, intensitas untuk meneruskan budaya tutur

intootn pun berkurang. Generasi muda seperti tidak tertarik untuk mengetahui cerita rakyat

dari daerahnya. Generasi muda Dayak lebih memilih untuk menonton televisi ketimbang

meminta orang tua mereka menceritakan cerita rakyat Dayak.

Pudarnya nilai-nilai budaya Dayak akibat pengaruh globalisasi dan modernisasi

tentu sangat memprihatinkan. Sebab jika dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin suatu

saat nilai-nilai budaya Dayak yang berharga tersebut malah akan punah. Akan tetapi

globalisasi memang tidak dapat dibendung, cepat atau lambat, masyarakat pasti akan

mengalami dampak globalisasi. Di sinilah peran pemerintah sangat signifikan. Sebisa

mungkin, pemerintah seharusnya berupaya menggali berbagai nilai-nilai budaya Dayak yang

masih ada kini, dengan bertanya pada generasi-generasi tua. Nilai-nilai budaya tersebut

kemudian harus diabadikan, serta harus diteruskan pada generasi muda Dayak. Bila generasi

muda Dayak tidak tertarik untuk mengetahui nilai budayanya sendiri, maka menjadi tugas

pemerintah untuk “memaksa” agar nilai-nilai tersebut tetap dapat dipahami generasi muda

Dayak, misalnya dengan memasukkannya dalam pelajaran sekolah di sekolah-sekolah yang

terletak di Kalimantan. Apapun bentuk tindakannya, yang pasti pemerintah harus segera

bertindak. Pemerintah harus menyelamatkan nilai-nilai budaya Dayak yang kini sudah mulai

pudar itu, agar jangan sampai punah; sehingga di masa depan, kita masih mempunyai budaya

Dayak sebagai salah satu khasanah budaya kita yang dapat dibanggakan.

Page 25: Dayak Yang Tinggal Kenangan, Sebuah Tulisan Mengenai Punahnya Nilai-Nilai Budaya Dalam Sistem Budaya Dayak Akibat Pengaruh Globalisasi

Page | 25

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsya W. Budaya dan Manusia Indonesia, (Jakarta: Hamindita, 1987), hal. 6.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan

Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Wujud Arti dan Fungsi Puncak-Puncak

Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur, (Samarinda: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

Kalimantan Timur, 1995/1996).

Kusni, JJ. Masalah Etnis dan Pembangunan Dayak Membangun Kasus Dayak Kalimantan

Tengah, (penerbit tidak diketahui, 1994), hal. 48.

Maunati, Yekti. Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, (Yogyakarta: LkiS

Yogyakarta, 2004), hal.149.

Melalatoa, M. Junus. Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta, 1997), hal. 5.

Rujukan dari internet:

Sjaifullah, M., dan Try Harijono, Makna Tato bagi Masyarakat Dayak,

http://www2.kompas.com/kompas-cetak /0410/22/tanahair/1339279.htm, diakses pada

22 Mei 2008, pukul 15.32.

Sundah, James F., dan Lia Santoso, Kebudayaan, Aset yang Perlu Dilindungi,

http://www.suarapembaruan.com/News /2006/05/22/Editor/edit01.htm, diakses pada 18

Mei 2008, pukul 19.19.

Globalisasi, http://id.wikipedia.org/wiki/globalisasi, diakses pada 23 Mei 2008, pukul 21.39.

Rumah Betang, Rumah Adat, dan Budaya Dayak yang Hampir Tersingkirkan,

http://fazz.wordpress.com /2007/05/18/ rumah-betang-rumah-adat-dan-budaya-dayak-

yang-hampir-tersingkirkan/, diakses pada 22 Mei 2008, pukul 15.58.

Rumah Betang Suku Dayak di Ambang Kepunahan. http://www.sinarharapan.co.id/berita

/0506/15/sh12.html, diakses pada 18 Mei 2008, pukul 18.58.

Mengenang Tradisi Rimba Sungai Kelian. http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment

/clips/2006-08-20-007-0006-001-07-0894.pdf, diakses pada 18 Mei 2008, pukul 18.34.