Demam Dr. Niam

Embed Size (px)

Citation preview

DEFINISI, KLASIFIKASI DAN POLA DEMAM

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Sejarah Keadaan demam sejak zaman Hippocrates sudah diketahui sebagai pertanda penyakit. Galileo pada abad pertengahan menciptakan alat pengukur suhu dan Santorio di Padua melaksanakan aplikasi pertama penemuan alat ini di lingkungan klinik. Tiga abad kemudian baru untuk pertama kali, Traube memperlihatkan sebuah kurve suhu secara menyeluruh yang dibuat di sebuah klinik di Leipzig. Penggunaaan kurve suhu makin meluas setelah dipublikasikannya pendapat Wunderlich pada tahun 1868, di mana beliau mengatakan bahwa dengan semakin banyak pengalamannya dalam memakai alat pengukur suhu ini semakin bertambah keyakinannya mengenai manfaat pengukuran tersebut, khususnya untuk mendapatkan informasi yang cukup akurat dan prediktif mengenai kondisi seorang pasien.1

1.2. DefinisiInternational Union of Physiological Sciences Commission for Thermal Physiology mendefinisikan demam sebagai suatu keadaan peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan bagian dari respons pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara patofisiologis demam adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata suhu normal di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap perubahan set point ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi panas.2,3

Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola diurnal ini.1,2 Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).4,5

Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbedaTempat pengukuranJenis termometerRentang; rerata suhu normal (oC)Demam (oC)

AksilaAir raksa, elektronik34,7 37,3; 36,437,4

SublingualAir raksa, elektronik35,5 37,5; 36,637,6

RektalAir raksa, elektronik36,6 37,9; 3738

TelingaEmisi infra merah35,7 37,5; 36,637,6

Suhu rektal normal 0,27o 0,38oC (0,5o 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral.5 Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai 37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1oC (106oF).6

1.3. Fisiologi demamPada temperatur 39 oC, produksi antibodi dan proliferasi sel limfosit-T meningkat sampai 20 kali dibandingkan dengan keadaan pada temperatur normal (37 oC). Tubuh mengembangkan suatu sistem pertahanan yang cukup ampuh terhadap infeksi dan peninggian suhu badan memberikan suatu peluang kerja yang optimal untuk sistem pertahanan tubuh. Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi. Dewasa ini diduga bahwa pirogen adalah suatu protein yang identik dengan interleukin-1. Didalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam arakidonat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 yang langsung dapat menyebabkan suatu pireksia.

Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan terjadinya vasokontriksi perifer sehingga perngerluaran (dissipation) panas menurun dan pasien merasa demam. Sushu badan dapat bertambah tinggi lagi karena meningkatnya aktivitas metabolisme yang juga mengakibatkan penambahan produksi panas dan karena kurang adekuat penyalurannya ke permukaan maka rasa demam bertambah pada seseorang pasien.1

1.3. Pola demam Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah mendapat antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).1,2Tabel 2. Pola demam Pola demamPenyakit

KontinyuDemam tifoid, malaria falciparum malignan

RemittenSebagian besar penyakit virus dan bakteri

IntermitenMalaria, limfoma, endokarditis

Hektik atau septikPenyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

QuotidianMalaria karena P.vivax

Double quotidianKala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)

Relapsing atau periodikMalaria tertiana atau kuartana, brucellosis

Demam siklikDemam berdarah dengue, demam dengue, cikungunya

Demam rekurenFamilial Mediterranean fever

Prolong feverGejala demam yang melebihi diprediksi penyakitnya

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:1,2,3,7-9 Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar. Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi setiap hari. Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian Relapsing fever dan demam periodik: Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown. Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10 minggu sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis. Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein). Demam siklik adalah kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti pleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa). Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ multipel. Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama demam melebihi yang diprediksi untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas.

1.4. Klasifikasi demam Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis masalah.3 Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.1,8 Tabel 3. dan Tabel 4. memperlihatkan tiga kelompok utama demam beserta definisi istilah yang digunakan.1Tabel 3. Tiga kelompok utama demam KlasifikasiPenyebab terseringLama demam pada umumnya

Demam dengan localizing signsInfeksi saluran nafas atas38,3oC dan sudah diperiksa secara intensif untuk menentukan penyebab demam tanpa hasil yang jelas.3. FUO neutropenikPenderita yang memiliki hitung jenis neutrofil < 500ul dengan demam > 38,3oC dan sudah diusahakan pemeriksaan intensif selama 3 hari tanpa hasil yang jelas.

4. FUO HIVPenderita HIV yang menderita demam >38,3 oC selama 4 minggu pada rawat jalan tanpa dapat menentukan penyebabnya atau pada penderita yang dirawat di RS yang mengalami demam selama lebih dari 3 hari dan telah dilakukan pemeriksaan tanpa hasil yang jelas.

Daftar Pustaka

1. Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi ke-5: Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.2767-2772.2. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag; 2009.h.1-24.3. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG, penyunting. Moffets Pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005.h.318-73.4. El-Radhi AS, Barry W. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child 2006;91:351-6.5. Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13.6. Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting. Clinical methods: The history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3. :Butterworths;1990.h.990-3.7. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.h.8. Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am 1996;10:33-449. Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA, penyunting. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.h.215-36

9