26
Ilustrasi kasus TYPHUS ABDOMINALIS oleh : Wiji Hastuti G99121049 KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI 1

demam tipoid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

typhus abdominalis

Citation preview

Page 1: demam tipoid

Ilustrasi kasus

TYPHUS ABDOMINALIS

oleh :

Wiji Hastuti

G99121049

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2014

1

Page 2: demam tipoid

2

BAB ITINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Typhus abdominalis adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan

oleh infeksi kuman Salmonella typhi yang menyerang manusia khususnya pada

saluran cerna yaitu pada usus halus yang masuk melalui makanan atau minuman

yang tercemar dan ditandai dengan gejala demam lebih dari satu minggu,

gangguan pada pencernaan dan lebih diperburuk dengan gangguan kesadaran.

B. EPIDEMIOLOGI

Typhus abdominalis termasuk penyakit menular yang tercantum dalam

Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun tercantum dalam

undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum

ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui secara pasti. Di

Indonesia, jarang dijumpai secara epidemic, tapi lebih sering bersifat sporadic,

terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus

pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan.

Ada 2 sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan tifoid dan carrier.

Di daerah endemic, tranmisi terjadi melalui air yang tercemar dan makanan

yang tercemar oleh carrier yang merupakan sumber penularn yang paling sering

di daerah non endemik 5.

C. ETIOLOGI

Salmonella adalah basil gram negative, tidak berkapsul, hampir selalu motil

dengan menggunakan flagella peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih

bentuk antigen H. Kuman ini meragikan glukosa, sehingga terbentuk dasar

asam dan cekungan basa pada agar beri gula tripel ( TSI ). Umumnya

menghasilkan H2S yang dapat terdeteksi sebagai produk reaksi hitam dan

berfungsi awal untuk membedakan isolate dari Shigella, yang juga menimbulkan

Page 3: demam tipoid

3

reaksi TSI basa / asam. Salmonella typhi penyebab utama demam tifoid atau

typhus abdominalis. Beberapa salmonella sangat mudah beradaptasi pada

manusia seperti S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B. sementara sebagian besar

spesies beradaptasi pada hewan dan tidak menyebabkan kesakitan pada manusia.

Yang lain menginfeksi baik manusia dan hewan tingkat rendah, sehingga

menyebabkan gastroenteritis atau yang lebih jarang infeksi terlokalisir, atau

septikemik6.

D. PATOFISIOLOGI

Kuman S. typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air

tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung. Sebagian lagi masuk ke

usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di ileum terminalis yang

hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat

terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia masuk aliran limfe

mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami

hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, S.typhi masuk aliran

darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi lain mencapai hati

melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di plaque Payeri, limpa, hati

dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Semua disangka demam dan

gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan endotoksemia. Tapi

kemudian berdasar penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia

bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada

typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi berperan pada patogenesis, karena

membantu terjadinya proses inflamasi local pada jaringan tempat S.typhi

berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi dan

endotoksinya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen olek leucosis

pada jaringan yang meradang5. Proses perkembangan S. Typhi didalam tubuh

dijlaskan dalam bagan berikut.

Page 4: demam tipoid

4

Page 5: demam tipoid

5

E. MANIFESTASI KLINIS

Masa tunas berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul bervariasi.

Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang asimptomatis

sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.

Minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada

umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,

muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat.

Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,

bradikardia relative, lidah khas ( kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta

tremor ), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa

somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada

orang Indonesia5.

F. DIAGNOSIS

Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah

negative tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif

menyokong diagnosis klinis typhus abdominalis5. Biakan feces ini, 75% positif

pada minggu ketiga.

Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan. Sebagian

besar pasien dapat mempunyai antibody terhadap antigen O, H, dan Vi ( tes widal

). Jika tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibody terhadap antigen O (

> 1/ 640 ) adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama salmonella serogrup.

Peninggian antibody empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah criteria

yang baik, untuk memastikan diagnosis typhus abdominalis selama 2 sampai 3

minggu5,6. Jadi pemeriksaan widal dinyatakan positif apabila :

Titer O widal I 1/ 320 atau

Titer O widal II naik 4 kali atau lebih dibandingkan titer O widal I

atau

Titer O widal I ( - ) tapi titer O widal II ( + ) berapapun angkanya

Page 6: demam tipoid

6

Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya :

Darah perifer lengkap : leucopenia, limfositosis, aneosinofilia

Biakan empedu : tumbuh koloni Salmonella typhi9

G. DIAGNOSIS BANDING

Infeksi virus

Malaria3,9

H. TERAPI

1. Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas3. Maksudnya untuk mencegah

terjadinya komplikasi yakni perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi

pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kekuatan pasien 5.

2. Diet saring TKTP rendah serat, lunak sampai 7 hari bebas panas lalu ganti

bubur kasar , dan setelah 7 hari ganti dengan nasi3. Pemberian bubur saring

bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus / perforasi usus,

karena ada pendapat bahwa usus perlu diistirahatkan5.

3. Antibiotik

Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai jika

bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis 2.

Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap

kloramfenicol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance

(MDR) yang kebal terhadap Kloramfenikol amoxicillin dan cotrimoxazol

muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia

Tenggara. Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah

Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran

serta rendahnya angka kasus relaps dan carrier 2.

Kloramphenicol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain lokal

masih sensitif 1,2. Pada kasus Typhus Abdominalis MDR pada anak, karena

penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ke

tiga menjadi pilihan utama 2.

Page 7: demam tipoid

7

a. Kloramfenikol

Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada demam tifoid adalah

Kloramfenikol dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan

subunit ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan

menghambat sintesa protein 2. Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif 2,7, namun jika ada antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak

menggunakan kloramfenikol 7. Saat ini terutama digunakan untuk demam

typhoid, infeksi Salmonella yang lain, serta H. influenzae 7.

Resorpsi dari usus lengkap dan cepat, dengan BA 75-90%.

Distribusi ke jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu, baik sekali.

Kadar dalam LCS tinggi sekali. PP kurang dari 50%, plasma-t ½-nya rata-

rata 3 jam. Dalam hati, 90% dirombak menjadi glukoronid inaktif 8.

Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk inaktif dan hanya 10% dalam bentuk

utuh 7.

Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun

pada hari ke 3-5 2,4. Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh mual

atau diare, dimana dapat diberikan per IV. Pemberian per IM haruslah

dihindari karena menyebabkan penurunan panas yang lambat serta kadar

obat dalam darah kurang memuaskan2.

Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan

lambung usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut 8. Efek

samping yang lebih berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi sumsum

tulang yang reversibel dan anemia aplastik yang irreversibel 8. Angka

kejadian reaksi hematologik ini adalah 1: 24.000-50.000 7.

Interaksi dengan obat lain :

1. Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum barbiturat

sedang kadar serum kloramfenikol menurun sehingga mengakibatkan

toksisitas 2 di samping itu juga memperpendek waktu paruh

kloramfenikol 8.

2. Sulfonil urea : hipoglikemia.

Page 8: demam tipoid

8

3. Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.

4. Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.

5.Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.

Penggunaan pada ibu hamil (terutama pada trimester III (aterm

atau dalam persalinan)) dan menyusui tidak dianjurkan karena dapat

menyebabkan sindrom “Grey Baby” 8. Sedang untuk ibu hamil

Trimester I dan II dapat diberikan 3. “Grey Baby Syndrome” juga dapat

terjadi pada pemberian kloramfenikol pada bayi prematur yang

mendapat dosis tinggi. Dosis maksimal untuk bayi kurang dari 1 bulan

adalah 25 mg/kgBB/hari 7.

b. Tiamfenikol ( Urfamycin )

Dosis dan efektivitas sama dengan kloramfenikol5.

Kelebihan :Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang sensitif

Keurangan : Perbaikan klinis lebih lambat. Kasus relaps lebih banyak.

c. Cotrimoxazol ( Trimetroprim dan Sulfametoksazol )

Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 480 mg sehari, digunakan sampai

2 minggu bebas demam5.

Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis dari

asam dihidrofolik. Sama efektif seperti kloramfenikol dalam penurunan

panas dan pencegahan relaps.

Kelebihan :Dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap

Kloramfenikol Thiamphenicol, dan golongan Penicillin

Kekurangan : Perbaikan klinis lebih lambat

d. Amoxicillin

Dosis yang dianjurkan berkisar 50 – 150 mg / kgBB sehari, digunakan

sampai 2 minggu bebas demam5.

Menghasilkan aktivitas bakterisidal pada bakteri yang sensitif. Kurang

efektif dibandingkan dengan Kloramfenikol dalam menurunkan panas

dan kasus relaps. Angka Carrier lebih sedikit dibandingkan antibiotik

lain pada bakteri yang sensitif.

Page 9: demam tipoid

9

Kelebihan :Angka Carrier lebih sedikit pada bakteri yang benar-

benar sensitif

Kekurangan :Perbaikan klinis lebih lambat. Kasus relaps lebih

banyak.

4. Simptomatik

Antipiretik: Paracetamol dengan dosis 3x 500-1000mg sehari

I. PROGNOSIS

Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada

stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya sedikit

penyulit yang terjadi6.

Page 10: demam tipoid

10

BAB II

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Sdr. A

Umur : 26 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Surakarta

Agama : Islam

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Badan panas

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak kurang lebih 3 hari SMRS, badan penderita panas. Panas dirasakan

naik turun, dan naik terutama pada malam hari, sampai menggigil. Penderita

meminum obat penurun panas (panadol) dan panasnya sempat turun tapi naik

lagi setelah beberapa jam minum obat. Kepala penderita juga pusing terutama

saat badan panas. Penderita mengeluhkan nyeri perut dan mual,tetapi tidak

muntah, nafsu makan berkurang dan badan terasa lemah. Sudah 4 hari ini

penderita tidak BAB. BAK tidak ada keluhan.

Dalam keseharian, pasien sering membeli makanan di pinggiran jalan untuk

makan siang di kantornya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat mondok karena penyakit serupa ( - )

Rawayat alergi obat, makanan, udara dingin (- )

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa ( - )

Riwayat alergi (- )

Page 11: demam tipoid

11

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup

2. Tanda Vital : T : 120 / 70 mmHg Rr : 24 x / mnt

N : 88 x / mnt S : 38,30 C

3. Mata : CA ( -/- ), SI ( -/- )

4. Telinga : pendengaran baik, NT tragus ( -/- ), secret ( -/- )

5. Hidung : NCH ( -/- ), secret ( -/- ), epistaksis ( -/- )

6. Mulut : bibir kering ( - ), mucosa pucat ( -), lidah kotor ( + ), tepi lidah

hiperemi ( + ), tremor ( + )

7. Tenggorokan : tonsil hiperemi ( -/- ), faring hiperemi ( -/- )

8. Leher : JVP tidak menigkat

9. Thorax

Cor : I : Ictus cordis tidak tampak

P: Ictus cordis tidak kuat angkat

P: Batas jantung kesan tidak melebar

A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo : I : Pengembangan dada kanan = kiri

P : Fremitus raba kanan = kiri

P : Sonor / sonor

A : Suara dasar vesikuler ( +/+ ), suara tambahan ( -/- )

10. Abdomen : I : Dinding perut sejajar dinding dada

P : Supel, nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tak teraba

P : Tymphani

A : bising usus (+) normal

11. Ekstremitas : Oedem Akral dingin

Page 12: demam tipoid

12

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Darah Rutin

Hb : 11,9 g/dl Gol darah : A

Hct : 38 % Ur : 15

Leukosit: 6000 g/dL Cr : 0,7

Eritrosit: 4.30.000 g/dL

Widal Test

Titer O Titer H

S. typhi 1 / 320 1 / 400

S. paratyphi 1 / 160 1 / 160

E. DIAGNOSIS

Typhus Abdominalis

F. PENATALAKSANAAN

1. Non Medikamentosa

Bed rest total sampai 7 hari bebas panas

(mobilsasi bertahap dari duduk sampai pulih kekuatan)

Diet TKTP lunak, rendah serat sampai 7 hari bebas panas.

Kemudian diganti bubur kasar setelah 7 hari diganti nasi

Kompres air hangat

2. Medikamentosa

Infus NaCl 0,9%

Kloramfenikol 4 x 500mg → drug of choice Thypoid

Pamol 3x500 mg → Demam

Ranitidin injeksi → Mual

Page 13: demam tipoid

13

Penulisan Resep

dr. Titis

RS Sehat Selalu

Telp : 0271 - 123456

SIP : 09166998164710

R / Infus Natrium Chlorida 0,9% fl No II

Cum infuse set No I

Abocath no 20 No I

Three way No I

Simm

R / Kloramfenikol tab mg 500 No LVI

S 4 dd tab I

R/ Pamol tab mg 500 No. XV

S prn (1-3) dd tab I

R/ Ranitidin inj amp No. V

Cum spuit cc 3 No. V

Simm

Pro : Sdr. A (26 th )

Page 14: demam tipoid

14

BAB III

PEMBAHASAN

A. Tindakan Umum

Tujuan pengobatan adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi

morbiditas dan mencegah komplikasi 2.

Untuk membasmi infeksi dan mencegah komplikasi, maka pemberian

antibiotika yang tepat adalah hal yang terpenting dan menjadi inti farmakoterapi

terhadap typhus abdominalis. Antibiotik diberikan secara empiris bila bukti-bukti

klinis menyokong diagnosa typhus abdominalis2.

Untuk mengurangi morbiditas, pemberian glukokortikoid

(Dexamethasone) dapat diberikan pada pasien yang mengalami demam toksemik

yang berat 1,3. Pemberian harus dengan indikasi dan dosis yang tepat karena dapat

menyebabkan perdarahan dan perforasi usus 3. Pemberian asam salisilat dan

antipiretik lain tidak dianjurkan kaena dapat menyebabkan perdarahan dan

perforasi usus 4 disamping memang tidak banyak berguna 3. Untuk mengurangi

demam dapat dilakukan kompres dengan air hangat3 .

B. Terapi Antibiotik

Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai jika

bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis2.

Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap

kloramfenicol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance

(MDR) yang kebal terhadap Chloramphenicol, Amoxicillin dan Cotrimoxazol

muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia Tenggara.

Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah

Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta

rendahnya angka kasus relaps dan carrier2.

Kloramphenicol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana strain

lokal masih sensitif 1,2. Pada kasus typhus abdominalis MDR pada anak, karena

Page 15: demam tipoid

15

penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine generasi ketiga

menjadi pilihan utama 2.

C. Pembahasan Obat

Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah

Chloramphenicol, dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan subunit

ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat

sintesa protein 2. Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif 2, namun jika ada

antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak menggunakan

kloramfenikol. Saat ini terutama digunakan untuk demam typhoid, infeksi

Salmonella yang lain, serta H. influenzae.

Resorpsi dari usus lengkap dan cepat, dengan BA 75-90%. Distribusi ke

jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu, baik sekali. Kadar dalam LCS

tinggi sekali. PP kurang dari 50%, plasma-t ½-nya rata-rata 3 jam. Dalam hati,

90% dirombak menjadi glukoronid inaktif 8. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk

inaktif dan hanya 10% dalam bentuk utuh 7.

Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun pada hari

ke 3-5 2,4. Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh mual atau diare,

dimana dapat diberikan per IV (intra venous). Pemberian per IM (intra muscular)

haruslah dihindari karena menyebabkan penurunan panas yang lambat serta kadar

obat dalam darah kurang memuaskan2.

Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan lambung usus,

neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut. Efek samping yang lebih

berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi sumsum tulang yang reversibel dan

anemia aplastik yang ireversibel 8. Angka kejadian reaksi hematologik ini adalah

1: 24.000-50.000 7.

Interaksi dengan obat lain :

1. Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum barbiturat sedang

kadar serum kloramfenikol menurun sehingga mengakibatkan toksisitas 2 di

samping itu juga memperpendek waktu paruh kloramfenikol.

Page 16: demam tipoid

16

2. Sulfonil urea : hipoglikemia.

3. Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.

4. Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.

5. Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.

Penggunaan pada ibu hamil (terutama pada trimester III (aterm atau dalam

persalinan) dan menyusui tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan sindrom

“grey baby”. Sedang untuk ibu hamil Trimester I dan II dapat diberikan 3. “Grey

Baby Syndrome” juga dapat terjadi pada pemberian kloramfenikol pada bayi

prematur yang mendapat dosis tinggi. Dosis maksimal untuk bayi kurang dari 1

bulan adalah 25 mg/kgBB/hari 7.

D. Alasan pemilihan Kloramfenikol untuk kasus ini

1. Diharapkan adanya perbaikan keadaan klinis yang lebih cepat dibandingkan

jika diberikan antibiotik lain (Amoxicillin, Amphicillin, Kotrimoxazol).

2. Harga lebih murah dibanding golongan Quinolon dan Cephalosporin generasi

ketiga.

3. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda kerusakan hepar.

4. Dapat diberikan peroral.

5. Masih merupakan obat pilihan utama untuk typhus abdominalis di Indonesia.

Pada pasien ini harus dilakukan pemantauan darah rutin (Hb, HCt, AL,

AT). Jika terdapat penurunan dapat diganti dengan obat antibiotik lain.

Page 17: demam tipoid

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Butterton, JR., Calderwood, SB., Acute Infectious Diarrheal Disease and

Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal Medicine 15-

Ed, McGraw- Hill, 2002: 83

2. Corales, R., Typhoid Fever , www.emedicine.com, 2004

3. Gunawan, GS. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terpeutik Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia

Jakarta

4. Hermawan, AG. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-2.

Yayasan Kesuma Islam Kedokteran. Surakarta. 1999

5. Hermawan, AG., Sumandjar, T., Penanganan penderita Demam Tifoid

Dewasa Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam: Protap IPD-FK UNS

RSUD Dr. Moewardi, SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS- RSUD Dr.

Moewardi Surakarta. 2004 : 115-116

6. Juwono, R. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid

I. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1999 : 435-441

7. Keusch, GT. Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu

Penyakit Dalam. Jakarta : EGC. 1999 : 755-758

8. Setiabudy, I., Kunadi, R., Antimikroba. Dalam Farmakologi dan Terapi

Edisi Ke-4, Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 1995 : 651- 653

9. Tjay, TH., Rahardja, K., Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan

Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

2001: 64-82

10.Zulkarnain, I., Nelwan, RHH., Pohan, GT., Demam Tifoid. Dalam :

Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :

Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2001 : 256-259

Page 18: demam tipoid

18