Upload
abu-naira-hariz
View
219
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
analisa APBD dirjen perimbangan
Citation preview
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan
kemampuan pendapatannya, serta didukung oleh pembiayaan yang sehat sehingga diharapkan
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pendapatan, serta
pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan
melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana
transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan
publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang berkualitas
diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu
terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang tercermin dari banyaknya kebutuhan
yang dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu,
prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala
penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis
tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam
memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Di sisi pendapatan, analisis kesehatan keuangan APBD dilakukan dengan melihat
beberapa hal, yaitu: rasio pajak (tax ratio), ruang fiskal (fiscal space), serta rasio kemandirian
daerah. Rasio pajak mencerminkan hubungan pajak daerah dengan pendapatan domestic
regional bruto (PDRB) daerah. Secara kewilayahan, daerah-daerah di wilayah Jawa-Bali
menunjukkan rasio pajak yang tertinggi, namun untuk perbandingan antar-pemerintah provinsi,
Provinsi Maluku menduduki posisi tertinggi. Ada tiga kemungkinan penyebab tingginya rasio
tersebut, yaitu tingginya penerimaan pajak daerah, rendahnya PDRB, atau gabungan
keduanya. Tingginya rasio pajak di Jawa-Bali disebabkan oleh faktor pertama yang mana
potensi pajak daerah (yang memang bias kekotaan) di Jawa-Bali memang lebih besar,
sedangkan untuk Pemerintah Maluku, faktor kedua membuat nilai rasio pajaknya tinggi.
Ruang Fiskal merupakan rasio yang menggambarkan besarnya pendapatan yang masih
bebas digunakan oleh daerah untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhannya.
Penghitungan Ruang Fiskal diperoleh dengan mengurangkan seluruh pendapatan dengan
pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) dan belanja wajib seperti
belanja pegawai dan bunga. Hasil analisis menunjukkan bahwa ruang fiskal tertinggi baik untuk
total pemda perprovinsi, kabupaten/kota perprovinsi, pemerintah provinsi, maupun per wilayah
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI iv
adalah di wilayah Kalimantan, utamanya di Kalimantan Timur. Posisi terendah untuk
kabupaten/kota adalah daerah-daerah di provinsi Jawa Tengah, sementara untuk pemerintah
provinsi yang terendah adalah Aceh, serta untuk per wilayah adalah wilayah Sulawesi. Tinggi
rendah angka tersebut dapat disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu: tinggi-rendahnya
pendapatan umum, tinggi-rendahnya pendapatan yang bersifat terikat, tinggi-rendahnya belanja
wajib, serta gabungan beberapa faktor di atas.
Rasio kemandirian daerah dicerminkan oleh rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total
pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan. Dua rasio tersebut memiliki sifat
berlawanan, yaitu semakin tinggi rasio PAD semakin tinggi kemandirian daerah dan sebaliknya
untuk rasio transfer. Untuk rasio PAD, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi secara
nasional, Provinsi Bali untuk kabupaten/kota per provinsi, Jawa Timur untuk per pemerintah
provinsi dan Jawa-Bali untuk kewilayahan. Sementara itu, yang terendah secara nasional,
kabupaten/kota per provinsi, serta per pemerintah provinsi adalah adalah Provinsi Papua Barat,
sedangkan untuk per wilayah adalah Nusa Tenggara-Maluku-Papua. Posisi tertinggi dan
terendah rasio transfer umumnya berkebalikan dengan posisi provinsi yang bersangkutan pada
rasio PAD. Artinya, provinsi yang tertinggi untuk rasio PAD merupakan rasio terendah untuk
rasio transfer dan demikian pula sebaliknya.
Di sisi belanja daerah, analisis meliputi rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio
belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja, rasio belanja modal per total belanja,
rasio belanja per jumlah penduduk, serta rasio belanja modal per jumlah penduduk. Semua
rasio tersebut menunjukkan kecenderungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah
cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait erat dengan upaya peningkatan
ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur,
seperti belanja pegawai tidak langsung.
Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk belanja pegawai, Provinsi DIY memiliki rasio
tertinggi untuk total pemda per provinsi dan kabupaten/kota per provinsi. Sementara itu, rasio
belanja pegawai terendah untuk seluruh pemda per provinsi dan pemerintah provinsi adalah
Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk daerah kabupaten/kota per provinsi yang terendah
adalah Kalimantan Timur. Hal yang hampir serupa terjadi untuk rasio belanja pegawai tidak
langsung. Hal ini wajar, karena secara rata-rata porsi belanja pegawai tidak langsung terhadap
total belanja pegawai total relatif hampir seragam di seluruh daerah. Sebagaimana patut
diduga, kondisi berkebalikan terjadi untuk rasio belanja modal. DIY memiliki rasio terendah
untuk rasio belanja modal, sedangkan Kalimantan Timur merupakan yang tertinggi. Untuk rasio
belanja per kapita, Papua Barat dan Jawa Barat merupakan yang memiliki rasio tertinggi dan
terendah dalam agregat per provinsi. Sementara berdasarkan pembagian wilayah, rasio di
Kalimantan merupakan yang tertinggi, dan Jawa-Bali (tidak termasuk DKI) adalah yang
terendah.
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI v
Analisis APBD juga meliputi analisis atas defisit/surplus dan pembiayaan yang meliputi
analisis defisit/surplus, Selisih Lebih atas Perhitungan Anggaran (SiLPA), penerimaan
pembiayaan melalui pinjaman, serta rasio keseimbangan primer. Dari analisis di sisi bellow the
line ini ternyata terdapat beberapa hal yang perlu dicermati. Salah satunya adalah adanya
beberapa daerah yang menganggarkan defisit namun anggaran pembiayaannya tidak
mencukupi untuk menutup defisit tersebut. Paling tidak terdapat 20 kabupaten/kota yang
mengalami kejadian ini. Hal ini menunjukkan tidak sehatnya APBD mereka, karena dengan
demikian belanja menjadi tidak jelas sumber pendanaannya. Sebaliknya, kondisi yang
berlawanan juga terjadi dimana terdapat beberapa daerah yang menganggarkan surplus
penerimaan (yang berarti terjadi selisih positif antara defisit/surplus dengan netto pembiayaan).
Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memang mentargetkan SiLPA mereka.
Terlepas dari apapun tujuan target SiLPA, namun hal ini tidak layak dilakukan dalam pola
pengelolaan keuangan yang sehat, karena akan menimbulkan tidak efisiennya penggunaan
budget untuk membiayai peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta mendorong munculnya
dana yang off budget. Di samping itu, hal ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh
ketidakmampuan SDM pengelola keuangan daerah dalam melakukan perencanaan anggaran.
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI vi
KATA PENGANTAR
Penyelenggaraan pemerintahan, baik oleh Pusat maupun Daerah mempunyai fungsi
untuk mendorong dan memfasilitasi Pembangunan guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang
memadai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan fungsi dan peran
sebagai motivator dan fasilitator pembangunan tersebut, pemerintah telah mengambil suatu
pilihan kebijakan untuk lebih mengedepankan peran pemerintah daerah sebagai penggerak
pembangunan. Melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, diharapkan agar
pemerintahan di level yang paling dekat dengan masyarakat mampu menyerap aspirasi dan
partisipasi masyarakat lokal sehingga arah pembangunan akan sesuai dengan kebutuhan riil
masyarakat setempat.
Guna mendukung peran dan fungsi pemerintah daerah dalam pembangunan,
Pemerintah telah dan akan terus mendukung pendanaan melalui mekanisme transfer ataupun
pola pendanaan lainnya. Dukungan pendanaan tersebut telah dibuktikan dengan besarnya
dana APBN yang disalurkan ke daerah, baik melalui skema desentralisasi maupun skema
lainnya, seperti dekonsentrasi, tugas pembantuan, subsidi, maupun bantuan langsung ke
masyarakat.
Dana yang besar yang telah dan akan digulirkan melalui skema desentralisasi serta
dana yang memang bersumber dari daerah sendiri (seperti pajak daerah dan retribusi daerah),
selanjutnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah dalam APBD dan
pertanggungjawabannya sepenuhnya berada di daerah. Pada dasarnya tidak ada lagi
mekanisme pertanggungjawaban APBD kepada Pemerintah Pusat, namun hanya berupa
penyampaian data APBD kepada Pusat untuk keperluan Sistem Informasi Keuangan Daerah
(SIKD).
Dari data yang disampaikan melalui SIKD inilah kemudian disusun informasi dan
analisis atas APBD seluruh Indonesia. Analisis APBD yang kami sampaikan dengan
mempergunakan rasio-rasio dari komponen APBD ini diharapkan akan dapat berguna untuk
memberikan gambaran yang menyeluruh namun ringkas mengenai situasi dan kondisi
keuangan daerah saat ini. Potret APBD yang informatif dan akurat selanjutnya dapat digunakan
oleh pihak yang berkepentingan, baik di pusat maupun di daerah, sebagai bahan masukan
dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI vii
Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD Tahun 2011 ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Besar harapan kami, agar buku ini dapat
memberikan kontribusi yang optimal dalam pengambilan kebijakan sehingga tujuan dan cita-
cita otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat terwujud.
Jakarta, Juni 2011
DirekturJenderal Perimbangan Keuangan,
Dr. Marwanto Harjowiryono, MA
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI viii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................... ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................ iiii
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL......................................................................................................................... xi
DAFTAR GRAFIK ...................................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Gambaran Umum APBD 2011 .................................................................................. 2
1. Pendapatan Daerah ........................................................................................... 5
2. Belanja Daerah .................................................................................................. 7
3. Surplus, Defisit dan Pembiayaan Daerah ........................................................... 8
BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH .............................................................................. 9
A. Rasio Pajak (Tax Ratio) ............................................................................................ 9
1. Nasional........................................................................................................... 10
2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 11
3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 12
4. Per Wilayah ..................................................................................................... 13
B. Ruang Fiskal (Fiscal Space) .................................................................................. 13
1. Definisi .............................................................................................................. 13
2. Nasional ............................................................................................................ 14
3. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 15
4. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 16
5. Per Wilayah ....................................................................................................... 17
C. Rasio Kemandirian Daerah .................................................................................... 18
1. Pendahuluan ..................................................................................................... 18
2. Nasional ............................................................................................................ 18
3. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 19
4. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 20
5. Per Wilayah ....................................................................................................... 20
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI ix
BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH ..................................................................................... 23
A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah ......................................... 23
1. Nasional ............................................................................................................ 23
2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 24
3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 25
4. Per Wilayah ....................................................................................................... 25
B. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah ............... 26
1. Nasional........................................................................................................... 26
2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 27
3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 28
4. Per Wilayah ..................................................................................................... 28
C. Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah .............................................. 29
1. Nasional........................................................................................................... 29
2. Kabupaten/Kota ............................................................................................... 30
3. Pemerintah Provinsi ......................................................................................... 31
4. Per Wilayah ..................................................................................................... 31
D. Rasio Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk ................................................. 32
1. Nasional ............................................................................................................ 32
2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 33
3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 34
4. Per Wilayah ....................................................................................................... 35
E. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk ................................................... 35
1. Nasional ............................................................................................................ 35
2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 36
3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 37
4. Per Wilayah ....................................................................................................... 38
BAB IV ANALISIS DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH ...................................................... 39
A. Defisit ...................................................................................................................... 39
1. Nasional ............................................................................................................ 39
2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 40
3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 41
4. Per Wilayah ....................................................................................................... 41
5. Daerah dengan defisit yang belum ter cover oleh pembiayaan.......................... 43
B. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran .......................................................................... 44
1. Nasional ............................................................................................................ 44
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI x
2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 45
3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 45
4. Per Wilayah ....................................................................................................... 46
C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman ............................................ 46
1. Nasional ............................................................................................................ 46
2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 47
3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 47
4. Per Wilayah ....................................................................................................... 48
5. Daerah yang melampaui batas maksimal defisit yang dibiayai pinjaman ........... 49
6. Daerah yang menganggarkan pinjaman dengan APBD surplus ........................ 50
D. Rasio Keseimbangan Primer ................................................................................... 51
1. Nasional ............................................................................................................ 52
2. Kabupaten/Kota ................................................................................................ 53
3. Pemerintah Provinsi .......................................................................................... 54
4. Per Wilayah ....................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 56
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................................ 57
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI xi
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1.1 Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah) ........................................................................ 3
Tabel 2.1 Provinsi yang memiliki Rasio Pajak diatas rata-rata Nasional (%) ....................... 11
Tabel 2.2 Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Nasional (%) ...................... 15
Tabel 4.1 Daerah dengan APBD minus ............................................................................... 43
Tabel 4.2 Daerah dengan % Pinjaman diatas ketentuan yag ditetapkan di PMK ................. 49
Tabel 4.3 Daerah yang menganggarkan pinjaman dengan APBD Surplus .......................... 51
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI xii
DAFTAR GRAFIK
Hal
Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah .............................................................................. 2
Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah ..................................................................................... 2
Grafik 1.3 Trend APBD (dalam juta rupiah) ............................................................................ 3
Grafik 1.4 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 2011(%) .................................... 4
Grafik 1.5 Trend Belanja Daerah ............................................................................................ 5
Grafik 1.6 Rasio Pendapatan Daerah per Wilayah ................................................................. 6
Grafik 1.7 Rasio Belanja Daerah per Wilayah ......................................................................... 7
Grafik 1.8 Pembiayaan per Wilayah ....................................................................................... 8
Grafik 2.1 Rasio Pajak Nasional ........................................................................................... 10
Grafik 2.2 Rasio Pajak Kabupaten/Kota ............................................................................... 12
Grafik 2.3 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi ......................................................................... 12
Grafik 2.4 Rasio Pajak per Wilayah ...................................................................................... 13
Grafik 2.5 Ruang Fiskal Nasional ......................................................................................... 14
Grafik 2.6 Ruang Fiskal Kabupaten/Kota .............................................................................. 15
Grafik 2.7 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi ....................................................................... 16
Grafik 2.8 Ruang Fiskal per Wilayah .................................................................................... 17
Grafik 2.9 Rasio Kemandirian Nasional ................................................................................ 18
Grafik 2.10 Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota ..................................................................... 19
Grafik 2.11 Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi .............................................................. 19
Grafik 2.12 Rasio Kemandirian per Wilayah ........................................................................... 20
Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Nasional ......................... 21
Grafik 3.2 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota ............. 24
Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Pemerintah Provinsi ....... 24
Grafik 3.4 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah per Wilayah .................... 25
Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Nasional27
Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah
Kabupaten/Kota ................................................................................................... 27
Grafik 3.7 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi ............................................................................................. 28
Grafik 3.8 Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah
per Wilayah .......................................................................................................... 29
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI xiii
Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Nasional ..................................... 30
Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota .......................... 30
Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi .................... 31
Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah per Wilayah ................................ 32
Grafik 3.13 Rasio Belanja Daerah per Kapita Nasional ........................................................... 33
Grafik 3.14 Rasio Belanja Daerah per Kapita Kabupaten/Kota ............................................... 34
Grafik 3.15 Rasio Belanja Daerah per Kapita Pemerintah Provinsi ........................................ 34
Grafik 3.16 Rasio Belanja Daerah per Kapita per Wilayah ...................................................... 35
Grafik 3.17 Rasio Belanja Modal per Kapita Nasional ............................................................ 36
Grafik 3.18 Rasio Belanja Modal per Kapita Kabupaten/Kota ................................................. 37
Grafik 3.19 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi ........................................... 37
Grafik 3.20 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah ........................................................ 38
Grafik 4.1 Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Nasional .......................................... 39
Grafik 4.2 Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan Kab/Kota ........................................ 40
Grafik 4.3 Kab/Kota berdasarkan Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan (%) .............. 40
Grafik 4.4 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Provinsi ............................................ 41
Grafik 4.5 Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah .................................................................. 42
Grafik 4.6 Penyebaran Rasio Defisit/Pendapatan per wilayah ............................................. 42
Grafik 4.7 Rasio SiLPA terhadap Belanja Nasional .............................................................. 44
Grafik 4.8 Rasio SiLPA terhadap Belanja Kabupaten/Kota ................................................... 45
Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Provinsi ............................................. 45
Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah .......................................................... 46
Grafik 4.11 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Nasional .................................................. 46
Grafik 4.12 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Kabupaten/Kota ....................................... 47
Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi ................................ 48
Grafik 4.14 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah .............................................................. 48
Grafik 4.15 Penyebaran Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah ......................................... 49
Grafik 4.16 Rasio Primary Balance Nasional .......................................................................... 52
Grafik 4.17 Rasio Primary Balance Kabupaten/Kota .............................................................. 53
Grafik 4.18 Rasio Primary Balance Pemerintah Provinsi ........................................................ 54
Grafik 4.19 Rasio Primary Balance per wilayah ...................................................................... 54
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat maka seluruh
Pemerintah Daerah di Indonesia setiap tahunnya harus merencanakan, menyusun dan
melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan yang sudah terangkum dalam rencana
keuangan tahunan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang
disahkan dan diundangkan dengan Peraturan Daerah sebelumnya harus disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
APBD menunjukkan alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan sumber-
sumber pendapatan, serta pembiayaan yang digunakan untuk mendanainya. Program/kegiatan
dimaksud dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan
pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan
dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah
dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan
layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Dengan belanja yang
berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, sebagaimana selalu terjadi dalam pengelolaan keuangan publik,
selalu terjadi kendala penganggaran (budget constraint), yang mana banyaknya kebutuhan
selalu dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu,
prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala
penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, secara nasional kiranya perlu dilakukan analisis
tentang kesehatan keuangan APBD yang mampu memberikan informasi yang berguna dalam
memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang analisis rasio keuangan
APBD 2011. Berdasarkan rasio keuangan APBD tersebut maka dapat disimpulkan tentang
kualitas dan tingkat kesehatan APBD. Analisis ini didasarkan pada data sekunder berupa data
ringkasan APBD 2011 sebanyak 524 daerah. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan
yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten
dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara-Maluku-Papua).
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 2
B. Gambaran Umum APBD 2011
Berdasarkan data APBD yang telah dikumpulkan oleh Direktorat EPIKD yang terdiri dari
33 Provinsi 398 Kabupaten dan 93 Kota, maka bisa kita lakukan analisis untuk mengetahui
kondisi keuangan daerah yang tercermin dari beberapa komponen dalam APBD Tahun
Anggaran 2011. Data yang dianalisis menggunakan data APBD yang telah dikonsolidasikan
untuk menghilangkan penghitungan ganda atas beberapa reciprocal account.
Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD TA 2011 secara nasional dapat dibagi
dalam 3 (tiga) bagian utama yaitu PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang
sah. Grafik 1.1, menunjukkan dana perimbangan merupakan komposisi yang paling
mendominasi yaitu sebesar 68,0% atau Rp327,361 triliun dalam komposisi pendapatan daerah,
sedangkan PAD hanya sebesar 19,0% atau sebesar Rp90,393 triliun dan Lain-lain Pendapatan
yang sah sebesar 13,0% atau sebesar Rp61,343 triliun.
Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
19,0%
68,0%
13,0%
PAD
Dana Perimbangan
Lain-lain pend yang sah
45% 20%
22%
13%
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan jasa
Belanja Modal
Lain-lain
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 3
Belanja daerah secara nasional pada TA 2011 mencapai Rp514,467 triliun. Belanja
pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 45,0% atau sebesar Rp229,077 triliun.
Belanja Modal mencapai Rp113,622 triliun atau sebesar 22,0%. Belanja Barang dan Jasa
mencapai Rp104,193 triliun atau 20,0%.
Tabel 1.1 Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah)
Pembiayaan 36.090.622 Penerimaan Pembiayaan 44.497.235 Pengeluaran Pembiayaan 8.406.574
Defisit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp35,369 triliun. Total pembiayaan
daerah secara nasional mencapai Rp36,090 triliun dengan penerimaan pembiayaan (SiLPA,
Pinjaman dll) mencapai Rp44,497 triliun serta pengeluaran pembiayaan dianggarkan sebesar
Rp8,406 triliun.
Trend APBD (2007 2011)
Berdasarkan data Realisasi APBD tahun 2007 2009 dan APBD 2010 hingga 2011
yang telah dikonsolidasikan maka diperoleh gambaran sebagai berikut:
Grafik 1.3 Trend APBD
Sumber: Realisasi APBD 2007 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)
-100,000
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
2007 2008 2009 2010 2011
Pendapatan 310,173 363,211 379,862 386,338 459,857
Belanja 304,034 353,739 390,077 426,857 495,226
Surplus/Defisit 6,138 9,472 -10,215 -40,519 -35,369
Pembiayaan 55,152 59,184 63,883 40,818 36,119
Mili
ar R
up
iah
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 4
Dari grafik tersebut di atas dapat kita ketahui secara nasional bahwa setiap tahun sejak
2007 hingga 2011 terjadi peningkatan pendapatan daerah rata-rata sebesar 11,4% dan yang
tertinggi peningkatannya adalah pada tahun 2011 sebesar 18%, dimana pendapatan daerah
pada tahun 2011 sebesar Rp459,856 triliun dan pada tahun 2010 hanya sebesar Rp386,338
triliun.
Secara nasional trend belanja daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2007
hingga 2011 sebesar 11,8%. Pada tahun 2011 belanja daerah dianggarkan sebesar Rp495,225
triliun atau meningkat 17% dari tahun 2010 yang hanya dianggarkan sebesar Rp426,857 triliun.
Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif, tapi sejak tahun 2009 terus
mengalami penurunan. Rata-rata defisit yang dianggarkan dari tahun 2007 hingga 2009 hanya
sebesar -0,4%. Defisit daerah secara nasional yang tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu
sebesar sebesar Rp40,519 triliun atau 3,6%. Sedangkan pada tahun 2011 defisit daerah secara
nasional adalah sebesar Rp35,369 triliun atau sebesar 1,1%.
Pembiayaan daerah netto juga menunjukkan trend yang fluktuatif selaras dengan trend
defisit daerah. Walau rata-rata trend pembiayaan daerah netto dari tahun 2007 hingga 2011
sebesar 0,2%, dan cenderung mengalami penurunan cukup besar pada tahun 2010 dan 2011.
Pembiayaan daerah netto pada tahun 2011 sebesar Rp36,118 triliun bila dibandingkan dengan
tahun 2010 yang menganggarkan pembiayaan netto sebesar Rp40,818 triliun.
Grafik 1.4 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2007 2011
Sumber: Realisasi APBD 2007 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2007 2008 2009 2010 2011
PAD 16.82 17.83 17.79 18.6 19.66
DAPER 78.62 76.02 74.4 75.65 71.18
Lain2 Pend yg Sah 4.57 6.16 7.82 5.75 9.16
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 5
Secara nasional ketergantungan seluruh pemerintah daerah terhadap dana
perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi PAD walaupun mengalami peningkatan
setiap tahunnya tetapi pada tahun 2011 anggarannya hanya sebesar 19,66%. Sedangkan trend
dana perimbangan setiap tahun mengalami penurunan hingga mencapai 71,18% pada tahun
2011. Trend kontribusi lain-lain pendapatan yang sah sangat fluktuatif, tetapi pada tahun 2011
menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 9,16%.
Grafik 1.5 Trend Belanja Daerah TA 2007 2011
Sumber: Realisasi APBD 2007 2009 dan APBD 2010 - 2011 (Diolah)
Bila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011
maka dapat diketahui bahwa porsi belanja pegawai tetap dominan bila dibandingkan dengan
jenis belanja yang lainnya. Belanja Pegawai mengalami peningkatan yang cukup tajam pada
tahun 2010 yaitu sebesar 46,5% tetapi pada tahun 2011 turun sedikit menjadi 46,2%.
Besarnya belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 21,0% pada tahun 2011.
Sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan, yang cukup tajam terjadi pada
tahun 2010 hanya sebesar 22,5%, tetapi pada tahun 2011 porsinya menjadi 22,1%. Sedangkan
belanja lainnya cenderung turun hingga hanya dianggarkan sebesar 9,78% pada tahun 2011.
1. Pendapatan Daerah
Komposisi APBD Tahun Anggaran 2011 pada kabupaten, kota, dan provinsi secara
aggregat menunjukkan fakta sebagai berikut:
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2007 2008 2009 2010 2011
B_Pegawai 39.91 41.98 43.11 46.52 46.25
B_Barang&Jasa 18.9 18.82 19.32 19.21 21.04
B_Modal 29.98 27.67 26.28 22.53 22.92
B_Lain-lain 11.2 11.53 11.28 11.74 9.78
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 6
Grafik 1.6 Rasio Pendapatan Daerah Per Wilayah
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Terlihat dari grafik tersebut beberapa rasio yang terkait dengan pendapatan daerah.
Rasio PAD dibandingkan total pendapatan daerah yang tertinggi adalah di wilayah Jawa dan
Bali yaitu sebesar 32,9% sedangkan yang terendah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, Papua
yang hanya sebesar 6,3%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah
yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Fakta tersebut diperkuat juga dengan rendahnya rasio dana perimbangan dan transfer
ke daerah dibandingkan total pendapatan. Berdasarkan dua rasio tersebut Jawa dan Bali hanya
memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dan transfer ke daerah masing-masing
sebesar 59,2% dan 65,6%. Wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap
dana perimbangan adalah di wilayah Kalimantan dimana rasio dana perimbangan terhadap
total pendapatannya mencapai 80,9% persen. Sedangkan untuk rasio transfer ke daerah
terhadap total pendapatan maka wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua menjadi wilayah
yang tertinggi hingga mencapai 92,3%. Besarnya rasio tersebut ditengarai berasal dari adanya
pengalokasian dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang relatif lebih besar bila
dibandingkan dengan wilayah lainnya.
00
20
40
60
80
100
PAD /Tot Daper/Tot Transf/ Tot
NT Maluku Papua 6.310 76.870 92.370
Sulawesi 12.470 80.210 86.710
Sumatera 14.350 75.330 83.980
Kalimantan 14.680 80.860 83.620
Jawa Bali 32.940 59.240 65.610
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 7
2. Belanja Daerah
Grafik 1.7 Rasio Belanja Daerah Per Wilayah
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Bila dilihat besaran belanja daerah yang dianggarkan pada APBD TA 2011 antar
wilayah maka dapat diketahui bahwa belanja pegawai tetap merupakan porsi terbesar yang
harus dibelanjakan oleh daerah, selanjutnya baru diikuti oleh belanja modal serta belanja
barang dan jasa.
Belanja pegawai di wilayah Sulawesi mencapai 52,5% sedangkan wilayah Kalimantan
belanja pegawainya hanya sekitar 37,5%. Fakta tersebut juga didukung oleh rasio pegawai
terhadap jumlah total penduduk yang mencapai 1,38% di wilayah Sulawesi. Tetapi rasio
pegawai di wilayah Kalimantan (1,26%) bukanlah yang terendah karena rasio pegawai per total
penduduk di wilayah Jawa hanya mencapai 0,6%.
Bisa diartikan bahwa jumlah pegawai di wilayah Jawa sangat rendah karena total
penduduk di wilayah tersebut sangat banyak sehingga rasio belanja pegawai terhadap total
belanja juga besar yaitu sekitar 50,6%. Ironisnya berbagai pengeluaran kegiatan yang
terangkum dalam akun belanja modal di wilayah Jawa sangat kecil yaitu hanya sekitar 18,3%.
Hal ini bisa berarti bahwa di satu sisi kebutuhan infrastruktur di Jawa dan Bali relatif rendah
sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak belanja
modal atau memang karena APBD di semua daerah di Jawa dan Bali sudah terlalu berat untuk
memberikan pelayanan publik yang tercermin dari besarnya jumlah pegawai dan rasio belanja
pegawai per total belanjanya.
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
BP/Total BM/Tot BBJ/Tot
50
.6
18
.25
22
.02
52
.51
22
.24
18
.06
45
.53
24
.18
21
.07
38
.39
26
.62
21
.47
37
.52
32
.28
21
.12
%
Jawa Bali Sulawesi Sumatera NT Maluku Papua Kalimantan
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 8
Wilayah Kalimantan menunjukkan geliat pembangunan infrastruktur yang paling
signifikan tercermin dari rasio belanja modalnya yang mencapai sekitar 32,3% dan belanja
barang dan jasanya juga relatif tinggi yaitu sekitar 21,1%.
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah
Grafik 1.8 Pembiayaan Per Wilayah
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Besarnya defisit APBD TA 2011 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan yang
mencapai -12,2%. Sedangkan untuk menutup defisit tersebut seluruh daerah di wilayah
Kalimantan mengandalkan SiLPA yang bisa langsung digunakan untuk mendanai kebutuhan
belanja yang belum tersedia dananya, rasio SiLPA terhadap total belanja daerah adalah
sebesar 12,4%. Tetapi untuk mengantisipasi tidak tercapainya pendapatan daerah yang
dianggarkan maka seluruh daerah di wilayah Kalimantan berencana mengajukan pinjaman
yang rasionya mencapai 1,0% dari total pendapatan.
Wilayah Sulawesi menganggarkan defisit sebesar -3,4% dengan rasio SiLPA sebesar
3,8%. Rasio pinjaman terhadap total pendapatan Sulawesi sebesar 1,6% menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa dalam melakukan proyeksi pendapatan daerah-daerah di Sulawesi tidak
terlalu yakin akan tingkat ketercapaian pendapatan yang berasal dari PAD maupun dana
transfer ke daerah. Besarnya ketergantungan atas dana transfer ke daerah serta risiko fiskal
yang harus ditanggung oleh APBN menyebabkan seluruh daerah sebaiknya juga harus mulai
melakukan perhitungan risiko fiskal yang harus ditanggung. Porsi belanja pegawai yang tinggi
menyebabkan berkurangnya alternatif efisiensi belanja daerah. Sehingga daerah harus mulai
lebih inovatif dan kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan ekstensifikasi
-15.00 -10.00 -5.00 .00 5.00 10.00 15.00
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumatera
Jawa Bali
Sulawesi
Kalimantan NT Maluku Papua Sumatera Jawa Bali Sulawesi
Defisit/Pend -12.190 -3.430 -7.350 -8.280 -3.420
SiLPA /Bel 12.400 4.800 8.360 8.570 3.780
Pinj /pend 1.00 .260 .500 .340 1.630
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 9
dan intensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah agar alternatif pendanaan untuk menutup
defisit tidak semata tergantung pada SiLPA dan pinjaman daerah.
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 10
BAB II
ANALISIS PENDAPATAN DAERAH
A. Rasio Pajak (Tax Ratio)
Perbandingan pajak terhadap pendapatan suatu perekonomian (economy), selanjutnya
dalam analisis ini disebut rasio pajak (tax ratio), merupakan perbandingan antara jumlah
penerimaan pajak dengan pendapatan suatu perekonomian. Dalam konteks keuangan negara,
rasio pajak merupakan perbandingan antara pajak suatu negara dengan Pendapatan Domestik
Bruto (PDB), sedangkan di tingkat daerah rasio pajak merupakan rasio antara pajak daerah
wilayah perekonomian daerah tersebut dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
Angka rasio pajak suatu daerah dipengaruhi oleh PDRB.
PDRB dapat dilihat dari tiga sisi: produksi, pengeluaran, serta pendapatan. Di sisi
produksi, PDRB mengindikasikan kegiatan ekonomi suatu daerah yang secara umum dapat
digambarkan melalui kemampuan daerah tersebut menghasilkan barang dan jasa yang
diperlukan bagi kebutuhan hidup masyarakat pada periode tertentu. Dari sisi pengeluaran,
PDRB menggambarkan keseluruhan pengeluaran yang dilakukan oleh sektor-sektor ekonomi
yang ada di suatu wilayah pada periode tertentu yaitu sektor rumah tangga (berupa konsumsi
rumah tangga), sektor swasta (pembentukan barang modal/investasi), sektor pemerintah
(konsumsi pemerintah di luar pembayaran non jasa /transfer non payment), serta sektor luar
negeri (ekspor dan impor). Sementara itu, di sisi pendapatan, PDRB menggambarkan jumlah
pendapatan yang diterima penduduk wilayah tersebut pada suatu periode berupa gaji dan
sejenisnya, sewa modal, bunga dan sejenisnya, serta laba yang dihasilkan oleh pengusaha.
Dari sisi mana pun PDRB diukur akan dihasilkan angka yang sama (setelah dilakukan
penyesuaian dan koreksi).
Terkait dengan rasio pajak, PDRB menggambarkan jumlah pendapatan potensial yang
dapat dikenai pajak. PDRB juga menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika
berkembang dengan baik merupakan potensi yang baik bagi pengenaan pajak di wilayah
tersebut. Oleh karena itu, mengetahui angka-angka rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia
akan membantu kita dalam menganalisis secara sederhana hubungan antara pajak daerah
wilayah tersebut dengan PDRB-nya, mengetahui jenis-jenis pajak apa saja yang potensial serta
sektor ekonomi yang terkait, dan menilai kondisi suatu daerah dengan membandingkannya
dengan daerah lain.
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 11
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.1 menunjukkan rasio pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota pada 33
Provinsi seluruh Indonesia. Dari grafik dapat dilihat bahwa Provinsi yang mempunyai rasio
pajak tertinggi adalah provinsi Bali yaitu sebesar 8,8%. Tingginya rasio pajak ini karena pajak
daerah Provinsi Bali sangat tinggi. Pajak daerah ini terutama berasal dari pajak yang
disumbangkan oleh sektor industri pariwisata. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak
paling rendah adalah Provinsi Papua Barat, yaitu sebesar 1,2%. Hal ini dapat mengindikasikan
bahwa pajak daerah Provinsi Papua Barat sangat rendah.
Grafik 2.1 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Terkait dengan perekonomian daerah, daerah yang memiliki rasio pajak yang tinggi akan
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
yang dicerminkan oleh berkembangnya sektor-sektor produksi penyumbang pertumbuhan
ekonomi di daerah tersebut telah berperan secara optimal dalam memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap pajak daerah. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam menetapkan
kebijakan yang menunjang tercapainya peningkatan pajak daerah juga sangat menentukan.
Sebagai contoh adalah Provinsi Bali. Selain mempunyai potensi pajak daerah yang sangat
tinggi dari sektor pariwisata, provinsi ini juga didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah
daerah untuk memaksimalkan potensi tersebut. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh Provinsi
Papua Barat yang merupakan provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua. Potensi Sumber Daya
Alam yang melimpah, seperti pemandangan alam yang sangat indah yang dapat dikembangkan
pada sektor pariwisata (contoh: pemandangan bawah laut di Raja Ampat), air bawah tanah, dan
bahan galian golongan C yang dapat menjadi sumber penerimaan pajak daerah belum bisa
1.2
1.4
1.5
1.9
2.1
2.2
2.3
2.3
2.4
2.4
2.5
2.5
2.5
2.6
2.6
2.7
2.8
2.9
2.9
3.1
3.3
3.3
3.3
3.5
3.6
3.8
3.9
4.1
4.4
4.4
4.6
5.2
8.8
2.9
.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
Pap
bar
Pap
ua
Riau
Sulte
ng
Sulb
ar
Kaltim
NTT
Aceh
Jateng
Sultra
Kalb
ar
Jabar
Kep
ri
Sum
sel
Jatim
Lamp
un
g
Sum
bar
Kalte
ng
Malu
t
Sulu
t
Bab
el
Jamb
i
Sum
ut
DK
I
NTB
Ban
ten
Sulse
l
DIY
Ben
gkulu
Kalse
l
Goronta
Malu
ku
Bali
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 12
dioptimalkan untuk menunjang pendapatan pajak Daerah. Kekayaan alam lain seperti hasil
hutan, hasil tambang selain bahan galian golongan C dan minyak bumi merupakan sumber
pendapatan nasional yang selanjutnya dikembalikan ke provinsi tersebut berupa pendapatan
bagi hasil yang tidak dimasukkan dalam analisis ini.
Dari data rasio pajak 33 provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak
(daerah) secara nasional adalah sebesar 3,1%, serta terdapat 13 provinsi yang memiliki rasio
pajak diatas rata-rata nasional yaitu:
Tabel 2.1 Provinsi yang memiliki Rasio Pajak
diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 2.2 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk
masing-masing wilayah provinsi. Rasio pajak pemkab dan pemkot se-Provinsi Bali
menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 4,9%. Penyebab tingginya rasio tersebut
adalah tingginya pajak daerah pemkab dan pemkot se-provinsi tersebut yang berasal dari
sektor pariwisata. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten
dan kota se-Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,3%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh
rendahnya potensi penerimaan pajak daerah. Potensi penerimaan pajak yang tinggi di Riau
adalah dari sektor pertambangan yang merupakan sumber penerimaan Negara yang
selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang
dalam rasio ini tidak dihitung.
No Nama Daerah Rasio No Nama Daerah Rasio
1 Provinsi Bali 8,8 8 Provinsi Banten 3,8
2 Provinsi Maluku 5,2 9 Provinsi Nusa Tenggara Barat 3,6
3 Provinsi Gorontalo 4,6 10 Provinsi DKI Jakarta 3,5
4 Provinsi Bengkulu 4,4 11 Provinsi Sumatera Utara 3,3
5 Provinsi DI Yogyakarta 4,1 12 Provinsi Jambi 3,3
6 Provinsi Kalimantan Selatan 3,9 13 Provinsi Bangka Belitung 3,3
7 Provinsi Sulawesi Selatan 3,9
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 13
Grafik 2.2 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Sebagaimana terlihat pada Grafik 2.3, untuk seluruh pemerintah provinsi, rasio pajak
tertinggi dicapai oleh Pemerintah Provinsi Maluku, yaitu sebesar 4%. Tingginya angka tersebut
disebabkan angka pembaginya, yaitu PDRB-nya rendah. Sementara itu, rasio pajak terendah
dari ke-33 pemprov di Indonesia adalah Pemerintah Provinsi Papua (0,9%). Rendahnya rasio
tersebut disebabkan karena penerimaan pajak daerah yang sangat rendah.
Grafik 2.3 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
0.3
0.3
0.4
0.4
0.4
0.4
0.4
0.4
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.6
0.7
0.8
0.8
0.9
0.9
0.9
0.9
0.9
1.2
1.2
1.2
1.4
4.9
0.6 .00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
Riau
Pap
bar
Sulb
ar
Kaltim
Lamp
un
g
Sum
sel
Kalte
ng
Sulte
ng
Pap
ua
Sum
bar
Aceh
Jateng
NTT
Jamb
i
Kalse
l
Kalb
ar
Bab
el
Ben
gkulu
Sultra
Jabar
Sulu
t
Jatim
Sulse
l
Malu
t
Sum
ut
NTB
Go
ron
talo
Ban
ten
DIY
Malu
ku
Kep
ri
Bali
%
0.9
0.9
1.2
1.2
1.5
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.8
1.9
1.9
2.1
2.2
2.3
2.3
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.7
2.7
2.9
3.0
3.5
3.7
3.8
3.8
3.9
4.0
2.3
.00
.500
1.00
1.500
2.00
2.500
3.00
3.500
4.00
4.500
Pap
ua
Pap
bar
Kep
ri
Riau
Sulte
ng
Sulb
ar
NTT
Jatim
Sultra
Aceh
Jabar
Jateng
Kaltim
Kalb
ar
Malu
t
Sum
sel
Sum
bar
Lamp
un
g
Sulu
t
Sum
ut
Kalte
ng
Ban
ten
Bab
el
NTB
Jamb
i
DIY
Sulse
l
DK
I
Goront
Ben
gkulu
Kalse
l
Bali
Malu
ku%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 14
4. Per Wilayah
Grafik 2.4 Rasio Pajak per Wilayah*)
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 2.4 menunjukkan bahwa berdasarkan pada pembagian 5 wilayah yang terdiri atas
Nusa Tenggara-Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali, rasio pajak untuk
wilayah Jawa-Bali merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya. Bali
yang menempati peringkat pertama berdasarkan agregat pemerintah kabupaten dan kota se-
provinsi, setelah digabungkan dengan seluruh daerah di Pulau Jawa tetap berada pada
peringkat 1 berdasarkan pembagian wilayah ini.
B. Tax perkapita
Tax perkapita adalah perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan
suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Tax perkapita menunjukkan kontribusi setiap
penduduk pada Pendapatan suatu daerah (PAD).
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Tax perkapita secara aggregate yang dapat dilihat pada Grafik 2.5 menunjukkan bahwa
Prov. DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax perkapita tertinggi, yaitu sebesar
Rp5.201.223 yang berarti setiap penduduk yang ada di Prov. DKI Jakarta memiliki kontribusi
sebesar Rp5.201.223 dalam membentuk penerimaan daerah berupa Pajak Daerah. Pada grafik
ini juga dapat dilihat ketimpangan tax perkapita yg sangat signifikan antara Prov. DKI Jakarta
dengan provinsi yang lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kegiatan perekonomian di
DKI Jakarta sangat besar sehingga menimbulkan basis pajak yang sangat besar. Provinsi lain
2.7 2.3
2.6
3.4 3.2
3.1
.00
.500
1.00
1.500
2.00
2.500
3.00
3.500
4.00
Kalimantan NT MalukuPapua
Sumatera Jawa Bali Sulawesi
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 15
yang memiliki tax perkapita tertinggi adalah Prov. Kalimantan Timur sebesar Rp1.058.038 dan
Prov. Bali sebesar Rp632.155.
Grafik 2.5 Rasio Tax perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2011 (Diolah) 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Tax perkapita pada kabupaten kota yang ada di setiap Provinsi, dapat dilihat pada
Grafik 2.6. Pada grafik tersebut Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan, dapat dilihat bahwa
ketimpangan tax perkapita pada daerah kabupaten dan kota dalam setiap provinsi juga terjadi
tetapi tidak sebesar ketimpangan yang terjadi pada daerah agregat provinsi, kabupaten dan
kota. Tiga daerah yang memiliki tax perkapita yang tertinggi adalah Bali (Rp348.952),
Kepulauan Riau (Rp335.478) dan Kalimantan Timur (Rp180.515). Daerah Kabupaten kota
memiliki tax perkapita yang rendah hal ini dapat disebabkan oleh karena basis pajak dan
potensi pajak yang rendah diwilayah kabupaten kota.
-
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
6,000,000
Sula
wes
i Ten
gah
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Mal
uku
Uta
ra
Sula
wes
i Bar
at
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Pap
ua
Go
ron
talo
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Jaw
a Te
nga
h
Mal
uku
Pap
ua
Bar
at
Lam
pu
ng
Kal
iman
tan
Bar
at
Ace
h
Jaw
a B
arat
Jam
bi
Ben
gku
lu
Sula
wes
i Uta
ra
Sum
ater
a Se
lata
n
Sum
ater
a B
arat
Jaw
a Ti
mu
r
DI Y
ogy
akar
ta
Kal
iman
tan
Ten
gah
Sula
wes
i Sel
atan
Ria
u
Ban
ten
Ban
gka
Be
litu
ng
Sum
ater
a U
tara
Kal
iman
tan
Se
lata
n
Kep
ula
uan
Ria
u
Bal
i
Kal
iman
tan
Tim
ur
DK
I Jak
arta
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 16
Grafik 2.6 Rasio Tax perkapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi
Tax perkapita pada seluruh pemerintah provinsi dapat dilihat bahwa Pemprov. DKI
Jakarta merupakan daerah yang memiliki tax perkapita terbesar dengan jumlah sama dengan
tax perkapita pada aggregat provinsi, kabupaten dan kota. Sedangkan sebaran berdasarkan
pemerintah provinsi terdapat perbedaan dimana 3 Provinsi terbesar yaitu DKI Jakarta
(Rp5.201.223), Kalimantan Timur (Rp877.523) dan Kalimantan Selatan (Rp331.597)
Grafik 2.7 Rasio Tax perkapita Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
Sula
wes
i Ten
gah
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Sula
wes
i Bar
at
Lam
pu
ng
Mal
uku
Uta
ra
Go
ron
talo
Ben
gku
lu
Jaw
a Te
nga
h
Jam
bi
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Mal
uku
Sum
ater
a Se
lata
n
Kal
iman
tan
Ten
gah
Pap
ua
Bar
at
Ace
h
Kal
iman
tan
Bar
at
Sum
ater
a B
arat
Pap
ua
Kal
iman
tan
Se
lata
n
Ria
u
Jaw
a B
arat
Sula
wes
i Uta
ra
Ban
gka
Be
litu
ng
Sula
wes
i Sel
atan
Jaw
a Ti
mu
r
DI Y
ogy
akar
ta
Sum
ater
a U
tara
Ban
ten
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kep
ula
uan
Ria
u
Bal
i
-
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
6,000,000
Sula
wes
i Ten
gah
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Mal
uku
Uta
ra
Sula
wes
i Bar
at
Pap
ua
Sula
wes
i Ten
ggar
a
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Pap
ua
Bar
at
Jaw
a Te
nga
h
Go
ron
talo
Mal
uku
Lam
pu
ng
Kal
iman
tan
Bar
at
Jaw
a B
arat
Ace
h
Sula
wes
i Uta
ra
Jam
bi
Jaw
a Ti
mu
r
Ben
gku
lu
DI Y
ogy
akar
ta
Sum
ater
a Se
lata
n
Sum
ater
a B
arat
Ban
ten
Sula
wes
i Sel
atan
Kal
iman
tan
Ten
gah
Ria
u
Sum
ater
a U
tara
Ban
gka
Be
litu
ng
Kep
ula
uan
Ria
u
Bal
i
Kal
iman
tan
Se
lata
n
Kal
iman
tan
Tim
ur
DK
I Jak
arta
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 17
4. Per Wilayah
Tax perkapita per wilayah dibagi menjadi 5 wilayah yang terdiri atas Nusa Tenggara-
Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa-Bali. Dapat dilihat pada grafik dibawah
ini ketimpangan tax perkapita terlihat lebih rendah. Secara wilayah tax perkapita terbesar ada di
wilayah Jawa Bali, hal ini dapat disebabkan oleh karena tingkat perekonomian di wilayah
tersebut lebih besar dibandingkan daerah yang lainnya.
Grafik 2.8 Rasio Tax perkapita Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
C. Ruang Fiskal (Fiscal Space)
Mengacu kepada laporan Fiscal Policy for Growth and Development (World Bank, 2006)
dinyatakan bahwa ruang fiskal (fiscal space) tersedia, jika pemerintah dapat meningkatkan
pengeluarannya tanpa mengancam solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Stephen S. Heller (IMF
Policy Discussion Paper, 2005) mengemukakan bahwa ruang fiskal dapat didefinisikan sebagai
ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya
tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi
keuangan pemerintah. Ruang fiskal diperoleh dari pendapatan umum setelah dikurang
pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya
mengikat seperti belanja pegawai dan belanja bunga.
Ruang fiskal bisa juga muncul dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan
penurunan kewajiban pembayaran utang. Selain itu, efektivitas penggunaan anggaran di suatu
daerah juga menunjang terciptanya ruang fiskal yang cukup memberi ruang dalam
pembangunan suatu daerah. Dalam hal ini, perencanaan dan penganggaran yang dituangkan
dalam APBD suatu daerah memegang peranan sangat penting. Pemerintah daerah diharapkan
memiliki terobosan untuk memanfaatkan ruang fiskal yang ada guna memacu pertumbuhan
ekonomi.
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
Nusa Tenggara,Maluku, Papua
Sulawesi Sumatera Kalimantan Jawa Bali
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 18
Stimulus berupa kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif
sangatlah diharapkan. Sektor riil seperti perdagangan dan perkembangan usaha kecil dan
menengah yang selama ini masih belum optimal, harus diberi dukungan kebijakan dari
pemerintah. Terkait dengan iklim investasi di suatu daerah, setidaknya ada dua hal yang perlu
diperhatikan. Yang pertama adalah kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya
seperti pajak, beban regulasi dan pungli, korupsi, infrastruktur, biaya operasi, dan investasi
perusahaan, dan yang kedua, kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas
makroekonomi, prediktibilitas kebijakan, hak properti, kepastian kontrak, dan hak untuk
mentransfer keuntungan.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.9 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
Ruang fiskal per provinsi menunjukkan persentase ruang fiskal seluruh pemda pada suatu
provinsi. Caranya adalah dengan mengurangi pendapatan dengan pendapatan hibah dan
belanja wajib yang berasal dari akumulasi APBD 2011 seluruh pemda di suatu provinsi dan
dibagi dengan total pendapatannya. Dari perhitungan tersebut, sebagaimana digambarkan
pada Grafik 2.9, terlihat besaran 33 ruang fiskal per Provinsi tahun 2011. Dari keseluruhan
provinsi yang ada di Indonesia, Provinsi Papua Barat mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu
mencapai 76,7%. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya penerimaan Provinsi Papua Barat
yang terutama diperoleh dari dana transfer. Oleh karena itu, Provinsi Papua Barat mempunyai
38
.1
40
.6
41
.1
43
.4
46
.5
48
.2
48
.6
49
.1
49
.6
49
.8
50
.4
50
.4
50
.7
51
.7
52
.0
52
.0
52
.6
53
.7
54
.9
56
.4
56
.6
58
.0
59
.7
59
.8
60
.7
62
.6
62
.8
64
.6
65
.0
67
.8 73
.0
74
.7
76
.7
55.2
.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
Bal
i
DIY
Jate
ng
Sum
bar
NTB
Lam
pu
ng
Jati
m
Suls
el
Jab
ar
Sulu
t
Sult
en
g
Go
ron
talo
Ben
gku
lu
NTT
Sult
ra
Sum
ut
Kal
sel
Jam
bi
Sulb
ar
Mal
uku
Ban
ten
Kal
bar
Kal
ten
g
Bab
el
Ace
h
Sum
sel
Mal
ut
Ria
u
DK
I
Kep
ri
Kal
tim
Pap
ua
Pap
bar
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 19
ruang yang cukup luas dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi. Sebaliknya, Provinsi Bali merupakan daerah yang memiliki ruang
fiskal terendah yaitu sebesar 38,1%. Dengan demikian, Provinsi Bali harus pandai memilih
belanja yang tepat dalam memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Dari keseluruhan ruang fiskal provinsi di seluruh Indonesia, rata-rata nasionalnya adalah
sebesar 55,2%. Terdapat 14 provinsi yang berada diatas rata-rata nasional dengan rincian
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Provinsi yang memiliki Ruang Fiskal
diatas rata-rata Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota (%) Provinsi Papua Barat 76.70 Provinsi Sumatera Selatan 62.59
Provinsi Papua 74.72 Provinsi Aceh 60.67
Provinsi Kalimantan Timur 72.97 Provinsi Bangka Belitung 59.76
Provinsi Kepulauan Riau 67.75 Provinsi Kalimantan Tengah 59.65
Provinsi DKI Jakarta 65.03 Provinsi Kalimantan Barat 58.01
Provinsi Riau 64.62 Provinsi Banten 56.55
Provinsi Maluku Utara 62.76 Provinsi Maluku 56.36
2. Pemerintah Kabupaten/ Kota Se-Provinsi
Grafik 2.10 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
34
.3
35
.2
38
.0
39
.5
42
.3
42
.9
45
.3
45
.5
46
.3
46
.9
46
.9
47
.0
47
.5
47
.6
47
.9
48
.1
48
.6
49
.3
50
.5
51
.0
51
.0
54
.1
55
.9
56
.1
56
.1
58
.4
60
.6
60
.9
62
.4 67
.8
70
.8
70
.9
50.1
.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
Bal
i
DIY
Jate
ng
Sum
bar
NTB
Jati
m
Lam
pu
ng
Ace
h
Suls
el
Jab
ar
Go
ron
talo
Sum
ut
Sult
en
g
Sulu
t
Ben
gku
lu
Sulb
ar
Kal
sel
Sult
ra
NTT
Jam
bi
Ban
ten
Mal
uku
Bab
el
Kal
bar
Kal
ten
g
Sum
sel
Ria
u
Mal
ut
Kep
ri
Pap
bar
Pap
ua
Kal
tim
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 20
Ruang fiskal seluruh pemkab dan pemkot pada suatu provinsi dapat digambarkan pada
grafik 2.10. Dari hasil analisis ini, ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di
Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar 70,9%. Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh
pendapatan yang tidak dibatasi penggunaanya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan
migas serta sektor kehutanan. Ada pun ruang fiskal terendah terdapat pada kabupaten dan
kota yang berada di Provinsi Bali, yaitu sebesar 34,3%. Rendahnya angka ini disebabkan
tingginya pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai.
3. Pemerintah Provinsi
Ruang lingkup analisis ini adalah ruang fiskal pada masing-masing Pemrov.
Sebagaimana berdasarkan aggregate provinsi, kabupaten dan kota , Pemprov. Papua Barat
juga memiliki ruang fiskal yang tertinggi yaitu sebesar 93,7% hal ini dapat disebabkan dana
transfer yang besar yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, sedangkan Pemprov. NTT
mempunyai ruang fiskal yang terendah yaitu sebesar 64,4%. Hal ini dapat disebabkan karena
pendapatan daerah yang rendah, disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk
belanja pegawai. Gambaran selengkapnya tentang ruang fiskal masing-masing Pemerintah
provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Grafik 2.11.
Grafik 2.11 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
64
.4
64
.9
65
.0
65
.2
66
.6
68
.0
68
.4
68
.9
69
.0
70
.0
70
.9
71
.5
72
.4
72
.8
74
.2
75
.9
76
.4
78
.1
78
.9
79
.5
79
.9
80
.4
80
.7
82
.7
84
.5
84
.6
85
.0
87
.1
87
.8
87
.9
88
.0
88
.6
93
.7
77.5
.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
NTT
Bal
i
DK
I
Ben
gku
lu
Sulu
t
Go
ron
talo
DIY
Mal
uku
Sult
ra
Sult
en
g
NTB
Sum
bar
Lam
pu
ng
Jam
bi
Mal
ut
Kal
bar
Kal
sel
Suls
el
Bab
el
Jab
ar
Jate
ng
Kal
ten
g
Sulb
ar
Ria
u
Sum
sel
Jati
m
Sum
ut
Ace
h
Kal
tim
Kep
ri
Ban
ten
Pap
ua
Pap
bar
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 21
4. Per Wilayah
Untuk menghitung ruang fiskal berdasarkan pada pembagian 5 wilayah, maka wilayah
Indonesia dibagi menjadi 5 yang terdiri atas Nusa Tenggara-Maluku-Papua, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatera, serta Jawa-Bali. Selanjutnya, seluruh pendapatan dikurangi pendapatan
hibah yang sudah ditentukan penggunaannya serta belanja wajib dari APBD seluruh pemda
suatu wilayah dan kemudian dibagi total pendapatan dimaksud. Dari penghitungan tersebut,
secara berurutan dari ruang fiskal yang paling besar adalah Nusa Tenggara-Maluku- Papua,
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, serta Jawa-Bali sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 2.12.
Besarnya ruang fiskal pada wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua, yaitu sebesar 65,0%,
disebabkan oleh pendapatan transfer yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar daerah di wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua mempunyai ruang fiskal yang cukup
melakukan belanja pemerintah (government spending) untuk pembangunan di daerahnya.
Kebutuhan dasar daerah untuk belanja pegawai/gaji PNSD telah terpenuhi dan masih tersisa
cukup memadai untuk mendanai pembangunan di daerah. Ruang Fiskal yang tinggi sangat
menunjang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula dengan semakin
meningkatnya percepatan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Sementara itu, wilayah
yang memiliki ruang fiskal terendah adalah Jawa Bali yaitu sebesar 49,5%. Hal ini disebabkan
oleh sumber pendapatan dari dana tranfer pusat relatif kecil dibandingkan dengan 4 wilayah
yang lainnya.
Grafik 2.12 Ruang Fiskal Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
49.5 50.5
56.6
64.0 65.0
55.9
.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
Jawa Bali Sulawesi Sumatera Kalimantan NT Maluku Papua
%
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 22
D. Rasio Kemandirian Daerah
Rasio kemandirian ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan serta rasio
transfer ke daerah (termasuk di dalamnya dana perimbangan) terhadap total pendapatan. Dua
rasio yang mewakili tersebut, meskipun menunjukkan kemandirian daerah, namun memiliki
makna yang berbeda atas angka-angkanya. Rasio PAD terhadap totalnya memiliki makna
yang berkebalikan dengan rasio transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka
rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Sebaliknya, makin besar angka rasio
transfer, maka akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam mendanai belanja daerah.
Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang
memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Ruang lingkup analisis ini adalah rasio kemandirian daerah seluruh pemda di suatu
provinsi. Penghitungannya dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu
provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Hal yang
sama juga berlaku untuk rasio transfer. Dari perhitungan tersebut diperoleh potret rasio PAD
dan Transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan per provinsi
sebagaimana yang ditunjukkan pada Grafik 2.13. Dari grafik tersebut juga terlihat bahwa DKI
Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 61,4%, sekaligus rasio transfer
terendah yaitu sebesar 36,3%. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terendah
serta rasio transfer tertinggi yang masing-masing menunjukkan angka 3,5% dan 95,8%. Hal ini
menunjukkan bahwa, DKI Jaya memiliki kemandirian daerah yang paling baik dibandingkan
provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat
kemandirian yang paling rendah. Tingginya tingkat kemandirian di Provinsi DKI tersebut
disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi
daerah, sedangkan rendahnya tingkat kemandirian di Provinsi Papua Barat disebabkan oleh
rendahnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut. Tingkat kemandirian daerah
seluruh provinsi di Indonesia ditunjukkan oleh Grafik 2.13 berikut ini.
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 23
Grafik 2.13 Rasio Kemandirian Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 2.14 Rasio Kemandirian Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
7.9
21
.3
15
.2
13
.8
11
.5
13
.8
10
.9
12
.3
61
.4
26
.6
20
.2
24
.3
27
.7
11
.3
11
.0
18
.2
16
.0
9.9
8.4
17
.6
11
.6
35
.7
15
.5
8.0
6.5
3.5
7.7
32
.4
14
.6
8.7
18
.9
2.7
6.3
91
.0
77
.3
83
.1
85
.4
87
.8
84
.3
84
.9
84
.0
36
.3
73
.1
78
.8
75
.0
71
.8
86
.9
87
.8
77
.0
83
.5
89
.3
91
.2
81
.8
86
.4
59
.6
81
.7 9
1.8
89
.8
95
.8
91
.5
65
.0
84
.1
90
.8
79
.6
95
.8
93
.4
19.6
79.0
.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Aceh
Sum
ut
Sum
bar
Riau
Jamb
i
Sum
sel
Ben
gkulu
Lamp
un
g
DK
I
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
Kalb
ar
Kalte
ng
Kalse
l
Kaltim
Sulu
t
Sulte
ng
Sulse
l
Sultra
Bali
NTB
NTT
Malu
ku
Pap
ua
Malu
t
Ban
ten
Bab
el
Go
ron
talo
Kep
ri
Pap
bar
Sulb
ar%
PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4
5.6
9.2
6.8
7.0
5.0
5.4
4.0
3.7
12
.8
9.9
14
.2
13
.4
4.8
4.6
6.1
6.3
4.4
4.5
7.8
6.7
26
.1
8.2
5.3
3.6
2.8
7.0
16
.5
7.9
5.9
14
.9
2.6
3.5
90
.3
84
.6
88
.3
88
.2
91
.3
89
.0
89
.5
88
.5
78
.3
82
.5
78
.3
79
.3 89
.4
91
.7
82
.7
83
.0
92
.3
93
.1
85
.6
89
.3
63
.5
85
.6
93
.6
91
.0
95
.5
91
.4
69
.9 8
6.3
91
.8
79
.0 9
4.6
95
.1
8.6
85.0
.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Aceh
Sum
ut
Sum
bar
Riau
Jamb
i
Sum
sel
Ben
gkulu
Lamp
un
g
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
Kalb
ar
Kalte
ng
Kalse
l
Kaltim
Sulu
t
Sulte
ng
Sulse
l
Sultra
Bali
NTB
NTT
Malu
ku
Pap
ua
Malu
t
Ban
ten
Bab
el
Go
ron
talo
Kep
ri
Pap
bar
Sulb
ar
%
PAD /Pend Transf/ Pend Series3 Series4
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 24
Pada Grafik 2.14 nampak bahwa rasio kemandirian tertinggi terdapat pada seluruh
pemkab dan pemkot di Provinsi Bali yaitu sebesar 26,1 % sedangkan yang terendah adalah di
pemkab dan pemkot di Provinsi Papua Barat sebesar 2,6%. Sedangkan rasio dana transfer
terhadap total pendapatan tertinggi adalah pemkab dan pemkot di Provinsi Sulawesi Barat
sebesar 95,1% dan terendah di pemkab dan pemkot di Provinsi Bali yaitu 63,5%.
3. Pemerintah Provinsi
PAD tertinggi dicapai oleh Pemprov Jawa timur sebesar 76,9 % dan terendah dimiliki oleh
pemda provinsi papua barat 2,9%. Sebaliknya, transfer tertinggi terhadap total pendapatan
adalah provinsi papua barat sebesar 97,5 % dan terendah adalah provinsi Jawa Timur sebesar
22,9%. Data tersebut ditunjukkan pada grafik 2.15.
Grafik 2.15 Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2011 (Diolah)
4. Per Wilayah
Analisis rasio kemandirian daerah yang terbagi menjadi lima wilayah yaitu Sumatera,
Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Papua-Maluku-Nusatenggara.dimaksudkan untuk
menunjukkan seberapa besar kemandirian daerah pada lima kelompok wilayah yang berbeda.
Berikut analisis terkait rasio kemandirian daerah untuk ke-5 wilayah dimaksud sebagaimana
nampak pada Grafik 2.16.
11
.3
71
.0
54
.7
35
.1 40
.8
45
.5
36
.8
50
.2 6
1.4
7
5.0
7
1.2
4
9.3
76
.9
42
.2
39
.0
56
.8
41
.0
35
.9
27
.9
62
.0
34
.5
58
.3
44
.4
28
.5
20
.1
5.7
11
.1
71
.1
32
.8
19
.3 2
8.7
2
.9
15
.9 24
.6
28
.4
45
.0
62
.8
59
.2
54
.1
60
.6
45
.7
34
.2
24
.9
28
.8
50
.3
22
.9
57
.6
60
.0
41
.4
58
.9
55
.9
71
.8
38
.0
65
.5
32
.9
54
.9
71
.5
74
.0
29
.2
88
.6
28
.8
62
.1
80
.7
71
.3
39
.4
74
.0
50.1
49.0
.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
Aceh
Sum
ut
Sum
bar
Riau
Jamb
iSu
msel
Ben
gkulu
Lamp
un
gD
KI
Jabar
Jateng
DIY
JatimK
albar
Kalte
ng
Kalse
lK
altimSu
lut
Sulte
ng
Sulse
lSu
ltraB
aliN
TBN
TTM
aluku
Pap
ua
Malu
tB
ante
nB
abel
Go
ron
taloK
epri
Pap
bar
Sulb
ar%
PAD /Pend Transf/ Pend Avg PAD/pend Avg Transf/pend
Deskripsi dan Analisis APBD TA 2011
DJPK KEMENKEU RI 25
Grafik 2.16 Rasio Kemandirian Per Wilayah*)
Sumber: APBD 2011 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan
Berdasarkan pembagian 5 wilayah, Ratio PAD terhadap total pendapatan wilayah Jawa-
Bali mempunyai rasio yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya yaitu sebesar
32,9%. Hal ini membuktikan bahwa ketergantungan daerah-daerah di wilayah Jawa-Bali
terhadap Dana Perimbangan dan Dana Transfer lainnya relatif tidak terlalu tinggi. Daerah-
daerah di Jawa-Bali relatif lebih mampu menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah
untuk menutup belanjanya. Hal ini berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua
yang mana rationya sangat rendah yaitu sebesar 6,3%. Namun demikian, secara umum ke-5
wilayah tersebut masih memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan di bawah 50% yang
artinya masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat atau memiliki rasio
kemandirian daerah yang rendah.
Rasio Transfer terhadap Total Pendapatan
Makna rasio transfer terhadap total pendapatan adalah sama dengan makna rasio dana
perimbangan, yaitu bahwa semakin besar rasio transfer maka semakin rendah kemandirian
daerah. Sebaliknya, semakin rendah angkanya akan semakin tinggi tingkat kemandirian
daerah atau semakin rendah tingkat ketergantungan daerah terhadap dana pusat.
Berdasarkan rasio ini, sebagaimana ditunjukkan Grafik 2.16, wilayah Jaw