Upload
neng-sholihat
View
796
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
HALAMAN JUDULDIAGNOSA KERUSAKAN FUNGSI GINJAL
MENGGUNAKAN RENOGRAF
MAKALAH
Diajukan Sebagai Syarat Untuk MenyelesaikanMata Kuliah Seminar Fisika
OLEH :
Neng Sholihat0705112429
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKAJURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU2011
i
LEMBAR PENGESAHAN
DIAGNOSA KERUSAKAN FUNGSI GINJALMENGGUNAKAN RENOGRAF
Makalah
Telah Diperiksa dan Telah LulusDiseminarkan Pada Tanggal Maret 2011
Oleh :
Neng Sholihat0705112429
Mengetahui :Dosen Pembimbing
M. Sahal, S.Si, M.SiNIP. 19690201 200112 1 001
Koordinator Mata Kuliah Seminar Fisika
Koordinator I Koordinator II
Fakhruddin, S.Si, M.T Syahril, S.Si, M.TNIP. 19700515 199903 1 001 NIP. 19770404 200501 1 004
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Penulis berhasil menyelesaikan makalah ini. Sholawat
beserta salam tidak lupa dihadiahkan buat Nabi Muhammad saw. Semoga kita
mendapat syafaatnya di Hari Akhir.
Makalah berjudul ”Diagnosa Kerusakan Fungsi Ginjal Menggunakan
Renograf” ini ditulis guna melengkapi syarat mata kuliah Seminar Fisika pada
Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Riau.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bimbingan, bantuan fisik dan nonfisik, dan motivasi dalam rangka
penyelesaian penulisan makalah ini, terutama kepada :
1. Bapak M. Sahal, S.Si, M.Si sebagai dosen pembimbing,
2. Bapak Fakhruddin, S.Si, M.T dan Bapak Syahril, S.Si, M.T sebagai
koordinator mata kuliah Seminar Fisika,
3. Bapak Zulirfan, S.Si, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Fisika,
4. Ibu Yennita, S.Si, M.Si selaku dosen Penasehat Akademis (PA),
5. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Fisika,
6. Ayahanda dan Ibunda yang tak henti-hentinya memberikan bantuan dan
dukungan moral dan materiil, serta
7. Sahabat dan teman-teman Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat
Penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Pekanbaru, Maret 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL................................................................................................iLEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................iiKATA PENGANTAR............................................................................................iiiDAFTAR ISI...........................................................................................................ivDAFTAR GAMBAR...............................................................................................vDAFTAR TABEL...................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1A. Latar Belakang..............................................................................................1B. Batasan Masalah...........................................................................................3C. Rumusan Masalah.........................................................................................3D. Tujuan...........................................................................................................3E. Manfaat Penulisan.........................................................................................3
BAB II LANDASAN TEORETIS.........................................................................4A. Radioaktivitas...............................................................................................4B. Interaksi Sinar Gamma dengan Materi.........................................................7C. Ionisasi..........................................................................................................8D. Radioisotop...................................................................................................9E. Nilai Batas Dosis (NBD) Radioisotop........................................................10F. Sistem dan Fungsi Ginjal............................................................................11
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................13A. Perkembangan Renograf.............................................................................13B. Prinsip Kerja Renograf...............................................................................15C. Dosis Radioisotop Pada Pemeriksaan Renograf.........................................21
BAB IV PENUTUP.............................................................................................26A. Kesimpulan.................................................................................................26B. Saran...........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
iv
DAFTAR GAMBAR
Hal.
1. Daya tembus masing-masing partikel..................................................................5
2. Sinar-sinar radioaktif...........................................................................................6
3. Efek Fotolistrik....................................................................................................7
4. Hamburan Compton.............................................................................................7
5. Bentuk dan posisi ginjal kiri dan kanan.............................................................11
6. Bagian-bagian Ginjal.........................................................................................11
7. Set Perlengkapan Renograf................................................................................14
8. Perangkat Keras Peralatan Renograf: (a) Detektor probes, (b) Catu daya
detektor dan unit pemroses sinyal....................................................................14
9. Perangkat Lunak Renograf: (a) Add-On Card, (b) Tampilan Reno XP.............15
10. Diagram Prinsip Kerja Renograf.....................................................................16
11. Grafik Fase Pada Renograf..............................................................................19
12. Tipikal Pola Renogram....................................................................................20
v
DAFTAR TABEL
Hal.
1. Perbandingan dosis radioisotop pada kamera gamma dan renograf..................21
2. Hubungan antara aktivitas dan dosis efektif untuk I131......................................24
3. Hubungan antara aktivitas dan dosis efektif untuk Tc99m...................................24
vi
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi Nuklir semakin berkembang dalam
berbagai bidang, antara lain dalam bidang kedokteran. George C de Hevessy yang
merintis pemakaian perunut zat radioaktif dalam bidang kedokteran. Pada saat itu
yang digunakan sebagai perunut adalah radioisotop alam Pb212. Kemudian
ditemukan pula radioisotop buatan I131 dan Tc99m dari hasil fisi.
Bidang kedokteran dapat dibedakan menjadi 2 macam. Pertama, radiologi,
yaitu aplikasi teknologi nuklir dalam bidang kedokteran yang memanfaatkan
sumber radiasi tertutup (sealed source) ataupun sumber radiasi yang dibangkitkan
dengan bantuan peralatan, misalnya penggunaan jarum berupa sumber radiasi
Co60, Ra226, sinar-X dan linear accelerator (linac). Kedua, kedokteran nuklir, yaitu
aplikasi teknologi nuklir dalam bidang kedokteran yang memanfaatkan sumber
radiasi terbuka (unsealed source), misalnya penggunaan sumber radioaktif I131,
P32, Tc99m, dan lain sebagainya.
Ilmu kedokteran nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan
sumber radiasi terbuka yang berasal dari desintegrasi inti radionuklida buatan
untuk mempelajari perubahan fisiologis, anatomi dan biokimia, sehingga dapat
digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran. Akhir-akhir
ini, kedokteran nuklir berkembang pesat dan sangat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Dewasa ini, hampir semua kota besar di Pulau Jawa mempunyai
2
sedikitnya satu rumah sakit yang dilengkapi dengan unit kedokteran nuklir (PDIN
BATAN, 2008).
Ginjal berperan penting dalam kehidupan manusia, terutama dalam
membuang sampah metabolisme dan racun dalam darah melalui urine. Tidak
berfungsinya ginjal dapat berakibat serius, bahkan dapat berujung pada kematian.
Dewasa ini, jumlah penderita kerusakan fungsi ginjal meningkat terutama di kota-
kota besar, disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat, stress, kurang
berolahraga, makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan lainnya. Selain
itu, kerusakan fungsi ginjal juga dapat disebabkan karena keturunan. Banyak
penderita yang tidak menyadari kelainan fungsi ginjalnya sampai ketika ginjalnya
benar-benar rusak, hal ini karena ginjal termasuk organ dalam yang prosesnya
tidak kasat mata sehingga membutuhkan alat tertentu untuk mendeteksi fungsinya.
Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN) sejak tahun 1990-an
mengembangkan teknologi nuklir untuk bidang kesehatan. Salah satunya,
BATAN mengembangkan detektor fungsi ginjal renograf yang memiliki
keunggulan dapat dioperasionalkan untuk menunjukkan hasil analisis secara cepat
dan akurat. Dengan menggunakan renograf, kita dapat mengetahui keadaan ginjal
kita apakah dalam keadaan baik atau tidak (PDIN BATAN, 2008).
Penulis ingin membahas tentang penggunaan dan cara kerja renograf serta
radioisotop yang digunakan dalam mempresentasikan kondisi ginjal pasien secara
cermat sehingga kerusakan fungsi ginjal dapat diatasi sejak dini. Oleh karena itu,
Penulis akan mengemas pengetahuan ini dalam sebuah makalah yang berjudul
”Diagnosa Kerusakan Fungsi Ginjal Menggunakan Renograf”.
3
B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini, Penulis merumuskan masalah yaitu “Bagaimanakah
diagnosa kerusakan fungsi ginjal menggunakan renograf?“
C. Batasan Masalah
Penulis membatasi makalah ini pada penggunaan dan cara kerja renograf,
serta radioisotop yang digunakan dalam renograf.
D. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui cara kerja renograf untuk diagnosa kerusakan fungsi ginjal dan
prinsip kerja instrumentasinya.
2. Mengetahui sumber radioaktif yang digunakan dalam aplikasi renograf.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memperluas wawasan dan pengetahuan dalam bidang ilmu Fisika,
khususnya Fisika Inti dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Sebagai bahan bacaan yang dapat memotivasi kita dalam belajar.
3. Sebagai bahan informasi tentang penggunaan renograf dalam diagnosa
kerusakan fungsi ginjal.
4. Sebagai syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Seminar Fisika.
4
BAB IILANDASAN TEORETIS
A. Radioaktivitas
Radioaktivitas suatu unsur timbul dari radioaktivitas satu atau lebih
isotopnya. Banyak sekali unsur dalam alam tidak memiliki isotop radioaktif.
Namun demikian, isotop seperti itu dapat disiapkan supaya menjadi radioaktif
secara artifisial (buatan) dan dapat berguna dalam penelitian biologi dan
kedokteran sebagai perunut (Beiser, A., 2005).
Peluruhan radioaktif adalah kumpulan beragam proses di mana sebuah inti
atom yang tidak stabil memancarkan partikel subatomik (partikel radiasi).
Peluruhan terjadi pada sebuah nukleus induk dan menghasilkan sebuah nukleus
anak. Ini adalah sebuah proses acak, sehingga sulit untuk memprediksi peluruhan
sebuah atom.
Peluruhan radioaktif telah digunakan dalam teknik perunut radioaktif,
yang digunakan untuk mengikuti perjalanan substansi kimia di dalam sebuah
sistem yang kompleks (seperti organisme hidup misalnya). Sebuah sampel dibuat
dengan atom tidak stabil konsentrasi tinggi. Keberadaan substansi di satu atau
lebih bagian sistem diketahui dengan mendeteksi lokasi terjadinya peluruhan.
Dengan dasar bahwa proses peluruhan radioaktif adalah proses acak,
proses peluruhan telah digunakan dalam perangkat keras pembangkit bilangan
acak yang merupakan perangkat memperkirakan umur absolutmaterial geologis.
Satuan Internasional (SI) untuk pengukuran peluruhan radioaktif adalah
becquerel (Bq). Jika sebuah material radioaktif menghasilkan sebuah kejadian
5
peluruhan tiap satu detik, maka dikatakan material tersebut mempunyai aktivitas 1
Bq. Karena biasanya sebuah sampel material radioaktif mengandung banyak
atom, 1 Bq akan tampak sebagai tingkat aktivitas yang rendah. Satuan yang biasa
digunakan adalah dalam orde gigabecquerel. Radioaktivitas terjadi pada beberapa
partikel, di antaranya :
1. Partikel Alpha (α)
Partikel alpha mempunyai volume dan muatan listrik positif yang besar.
Partikel ini tersusun dari 2 proton dan 2 neutron, sehingga identik dengan inti
atom Helium. Daya ionisasi partikel alpha sangat besar. Karena mempunyai
muatan listrik yang besar, maka partikel alpha mudah dipengaruhi oleh medan
listrik yang ada di sekitarnya dan setelah terlepas dari sumbernya hanya mampu
menjangkau jarak sejauh 4-5 cm di dalam media udara. Sedangkan akibat
ukurannya yang besar, maka partikel alpha tidak mampu menembus pori-pori
kulit kita pada lapisan yang paling luar sekalipun, sehingga radiasi yang
dipancarkan oleh partikel alpha tersebut tidak berbahaya bagi manusia apabila
berada di luar tubuh.
Gambar 1. Daya tembus masing-masing partikel(Sumber: http: // www.batan.go.id/ )
6
2. Partikel Beta (β)
Partikel beta mempunyai ukuran dan muatan listrik lebih kecil dari partikel
alpha. Daya ionisasinya di udara 1/100 kali daya ionisasi partikel α. Dengan
ukurannya yang lebih kecil, partikel β mempunyai daya tembus yang lebih besar
dari partikel α. Karena muatannya yang kecil, daya jangkau partikel β di udara
bisa sejauh 9 cm, untuk selanjutnya dibelokkan oleh medan listrik di sekitarnya.
3. Sinar Gamma (γ)
Sinar gamma tidak mempunyai besaran volume dan muatan listrik
sehingga dikelompokkan ke dalam gelombang elektromagnetik. Daya ionisasinya
di dalam medium sangat kecil, yaitu sekitar 1/10.000 kali daya ionisiasi partikel α.
Karena tidak mempunyai muatan listrik, maka sinar gamma tidak terbelokkan
oleh medan listrik di sekitarnya, sehingga daya tembus sangat besar dibandingkan
dengan daya tembus partikel α atau β.
Gambar 2. Sinar-sinar radioaktif(Sumber: http: //edukasi.depdiknas.go.id / )
7
B. Interaksi Sinar Gamma dengan Materi
Ada tiga cara utama sinar X dan sinar gamma dapat kehilangan energinya
ketika melewati materi (Beiser, A., 2005), yaitu :
1. Efek Fotolistrik
Pada efek fotolistrik, energi foton diserap oleh elektron orbit, sehingga
elektron tersebut terlepas dari atom. Elektron yang dilepaskan akibat efek
fotolistrik disebut fotoelektron. Efek fotolistrik terutama terjadi pada foton
berenergi rendah yaitu antara energi +0,01 MeV hingga +0,5 MeV dan juga pada
material dengan nomor atom (Z) yang besar.
Gambar 3. Efek Fotolistrik(Sumber: http: //edukasi.depdiknas.go.id / )
2. Hamburan Compton
Pada efek Compton, foton dengan energi hυ berinteraksi dengan elektron
terluar dari atom, selanjutnya foton dengan energi hυ dihamburkan dan elektron
tersebut dilepaskan dari ikatannya dengan atom dan bergerak dengan energi
kinetik tertentu.
Gambar 4. Hamburan Compton(Sumber: http: //edukasi.depdiknas.go.id / )
8
3. Efek Produksi Pasangan
Proses produksi pasangan hanya terjadi bila foton datang 1,02 MeV.
Apabila foton semacam ini mengenai inti atom berat, foton tersebut akan lenyap
dan sebagai gantinya timbul sepasang elektron-positron. Positron adalah partikel
yang massanya sama dengan elektron dan bermuatan listrik positif yang besarnya
juga sama dengan muatan elektron.
C. Ionisasi
Ionisasi bisa terjadi pada saat radiasi berinteraksi dengan atom materi yang
dilewatinya. Radiasi yang dapat menyebabkan terjadinya ionisasi disebut radiasi
pengion. Termasuk dalam kategori radiasi pengion ini adalah partikel alpha,
partikel beta, sinar gamma, sinar-X, dan neutron. Pada saat menembus materi,
radiasi pengion dapat menumbuk elektron orbit sehingga elektron terlepas dari
atom. Akibatnya timbul pasangan ion positif dan ion negatif.
Menurut sifat kejadiannya, ionisasi dikelompokkan ke dalam ionisasi
langsung dan ionisasi tak langsung. Ionisasi langsung terjadi jika radiasi
menyebabkan ionisasi pada saat itu juga ketika berinteraksi dengan atom materi,
dan proses ini bisa disebabkan oleh partikel bermuatan listrik seperti alpha dan
beta. Berbeda dengan yang terjadi pada interaksi partikel bermuatan, interaksi
radiasi yang berupa gelombang elektromagnetik (sinar gamma atau sinar-X)
ataupun partikel yang tidak bermuatan listrik (neutron) tidak secara langsung
menimbulkan ionisasi. Partikel yang dihasilkan dalam interaksi yang pertama ini
9
kemudian menyebabkan terjadinya ionisasi. Proses seperti ini dikenal sebagai
ionisasi tak langsung.
D. Radioisotop
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran dimulai tahun
1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit
TBC. Namun, yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah
George C De Havessy yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan
menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop alam
Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop alam tidak lagi
digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan
kedokteran nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain
karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga
dapat diperoleh dengan mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131
masih sangat diperlukan untuk diagnostic dan terapi, khususnya kanker kelenjar
tiroid. Syarat pemakaian radioisotop dalam bidang kedokteran (PDIN BATAN,
2008) antara lain adalah :
1. Radioisotop harus berumur paro pendek
2. Radioisotop harus mudah dibuat dan disiapkan
3. Radioisotop harus sudah teruji baik secara klinis
4. Radioisotop harus dapat segera keluar melalui sekresi
5. Radioisotop harus aman dan tidak menuju organ kritis
10
E. Nilai Batas Dosis (NBD) Radioisotop
Satuan dosis radiasi ialah sievert (Sv), yaitu banyaknya radiasi yang
pengaruh biologisnya sama dengan yang ditimbulkan oleh 1 J sinar-X atau sinar
gamma pada 1 kg jaringan tubuh. Pada penggunaan radioisotop dalam bidang
kedokteran nuklir, perlu diperhatikan dosis pemakaian yang tepat agar tidak
berdampak buruk bagi pasien.
Batasan dosis yang diberikan ke pasien diatur dalam SK. Ka. BAPETEN
No: 01/Ka-BAPETEN/V-99. Peraturan ini mengatur maksimum dosis radiasi
yang diizinkan atau Nilai Batas Dosis (NBD) untuk pekerja radiasi dan
masyarakat umum. Dalam peraturan ini, Nilai Batas Dosis yang diizinkan
(Kristiyanti, 2009) adalah:
1. Nilai Batas Dosis bagi pekerja radiasi untuk seluruh tubuh adalah 50 mSv
per-tahun.
2. Nilai Batas Dosis untuk anggota masyarakat umum untuk seluruh tubuh
adalah 5 mSv per-tahun. Dalam hal penyinaran lokal yaitu hanya bagian-
bagian khusus dari tubuh, dosis rata-rata dalam tiap organ atau jaringan yang
terkena harus tidak lebih dari 50 mSv.
Walaupun tidak terdapat kesepakatan umum, banyak radiobiologiwan
berpendapat bahwa kanker berkembang untuk setiap 10 hingga 70 Sv pendedahan
radiasi. Radiasi alamiah yang tidak dapat dihindarkan seperti sinar kosmik dan
bahan radioaktif dalam bumi dan dalam tubuh menghasilkan laju dosis per-orang
sekitar 0,8 mSv per-tahun (Beiser, A., 2005).
11
F. Sistem dan Fungsi Ginjal
1. Sistem Ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang berbentuk ‘kacang polong’ yang berfungsi
membuang cairan proses metabolisme tubuh yang tidak berguna dalam bentuk
urine. Ginjal manusia terdiri dari dua buah, terletak pada sebelah kiri dan kanan
pada bagian tubuh. Posisi ginjal kiri dan kanan tidak simetris, posisi ginjal kiri
terletak pada kira-kira 2-3 cm di atas garis horizontal posisi ginjal kanan.
Gambar 5. Bentuk dan posisi ginjal kiri dan kanan(Sumber: Djuningran, 2007)
Masing-masing ginjal mempunyai satuan fungsional kira-kira berjumlah
1,2 juta yang disebut nefron. Fungsi nefron dapat dibagi menjadi dua bagian :
Gambar 6. Bagian-bagian Ginjal(Sumber: http://id.wikipedia.org/ )
12
a. Bagian glomerulus, yang berfungsi sebagai penapis (filter).
b. Bagian tubulus yang berfungsi memproses hasil tapisan untuk direabsorbsi
atau dibuang dalam bentuk urine.
Secara bersama-sama masing-masing nefron melakukan penapisan, reabsorbsi,
dan sekresi sehingga terbentuk urine yang harus dikeluarkan. Terbentuknya urine
menunjukkan bahwa ginjal mempunyai kemampuan untuk beraktivitas.
2. Fungsi Ginjal
Secara garis besar, fungsi ginjal adalah :
a. Pengatur keseimbangan volume dan komposisi cairan tubuh yang meliputi
volume darah dan konsentrasi ion-ion unsur K, Na, Mg, Ca, dan sebagainya.
Kegagalan ginjal dalam mengatur keseimbangan volume komposisi cairan
tubuh akan menunjukkan indikasi kegagalan ginjal menahun atau mendadak.
b. Pengatur keseimbangan asam dan basa meliputi konsentrasi ion H dalam
cairan ekstraseluler tubuh. Kegagalan ginjal dalam mengatur keseimbangan
asam akan mengakibatkan koma untuk penderita yang cairannya bersifat basa.
c. Pengatur tekanan darah, tekanan dalam tubuh, yang juga dilakukan oleh syaraf
dan hormon sebagai pengatur tekanan darah jangka pendek, pergeseran cairan
kapiler dan vaskuler stress relaxtion sebagai pengatur jangka menengah,
sedangkan ginjal sendiri sebagai pengatur tekanan jangka panjang. Kegagalan
ginjal dalam mengatur tekanan darah menunjukkan indikasi kerusakan nefron
atau menunjukkan perubahan koefisien filtrasi glomerolus. Indikasi ini adalah
sebagian dari indikasi penyakit ginjal yang disebabkan oleh kegagalan fungsi
ginjal (Djuningran, 2007).
13
BAB IIIPEMBAHASAN
A. Perkembangan Renograf
Teknik Renografi untuk memeriksa fungsi ginjal telah dikenal sejak tahun
1950-an. Teknik ini pada awalnya menggunakan dua buah detektor (probes)
dengan keluaran berupa kurva urodinamik / renogram pada kertas chart recorder.
Teknik dual-probes sempat terdesak dengan berkembangnya teknologi kamera
gamma yang dapat menyajikan citra (image) dan sekaligus data pendukung
diagnostik yang lebih baik. Dengan perkembangan elektronika dan penguasaan
teknologi komputer saat ini, Badan Tenaga Nuklir Nasional telah berhasil
mengembangkan perangkat renograf berbasis komputer personal (PC). Sistem ini
telah tervalidasi pada Workshop on Refurbishing of Aged Renograph and Thyroid
Up Take System di Yangon, Myanmar pada Januari 2001, yang disponsori oleh
International Atomic Energy Agency. Meskipun tidak menjanjikan pencitraan
(imaging), namun teknik berbasis komputer ini selain mampu memberikan kurva
renogram yang dapat disimpan dalam bentuk data digital, juga memberikan
parameter hasil olahan perangkat lunak sebagai data pendukung diagnostik yang
akurat (PRPN BATAN, 2007).
Waktu yang diperlukan untuk persiapan dan pemeriksaan pasien relatif
singkat. Dosis isotop yang lebih aman (seperempat dari yang diperlukan pada
penggunaan kamera gamma), kelengkapan perangkat lunak (software) yang
mudah digunakan dan kesederhanaan alat yang tidak memerlukan personil
terdidik khusus (high skill personel) untuk pengoperasian dan perawatan alat,
(a) (b)
14
serta biaya investasi kurang dari sepersepuluh kamera gamma, sehingga biaya
operasional per-pasien sangat ekonomis. Renograf Dual Probes sesuai untuk
rumah sakit yang belum memiliki kamera gamma atau rumah sakit yang berusaha
mengurangi beban penggunaan kamera gamma untuk pemeriksaan ginjal.
Gambar 7. Set Perlengkapan Renograf (Sumber: http: // www.batan.go.id/ )
Unit Renograf Dual Probes terdiri dari detektor NaI(Tl), sistem penyedia
daya tegangan DC, penguat awal, penguat utama, TSCA (Teknik Single Channel
Analyzer), counter/timer, interface dan personal komputer sebagai akuisisi data.
Secara garis besar, peralatan Renograf Dual Probes dikelompokkan ke
dalam perangkat keras dan perangkat lunak.
Gambar 8. Perangkat Keras Peralatan Renograf: (a) Detektor probes, (b) Catu daya detektor dan unit pemroses sinyal.
(Sumber: PRPN BATAN, 2007)
15
Perangkat lunak renograf terdiri dari sistem perangkat berbasis kecerdasan buatan
dalam bentuk ISA bus yang memiliki pengetahuan dan analisis komprehensif dari
dokter ahli yang berpengalaman di bidang analisis ginjal untuk menganalisis
kondisi ginjal pasien dengan tepat.
Gambar 9. Perangkat Lunak Renograf: (a) Add-On Card, (b) Tampilan Reno XP(Sumber: PRPN BATAN, 2007)
B. Prinsip Kerja Renograf
Dasar renograf adalah spektrometri gamma yang didesain untuk
kepentingan dalam bidang kedokteran yang menyangkut prinsip keserdehanaan
dan kemudahan dalam pengoperasian artinya alat tersebut mudah dioperasikan,
tidak perlu persyaratan awal maupun pengaturan lebih lanjut. Renograf berperan
sebagai pemantau dan pencacah aktivitas dari perunut radiofarmaka yang datang,
ditangkap dan dikeluarkan oleh ginjal.
(a)
(b)
16
Sistem deteksi radiasi gamma pada renograf terdiri dari detektor sintilasi
(kerlipan cahaya) yang tersusun dari bahan NaI (TI) serta peralatan elektronika
disusun seperti pada gambar dan diset-up pada kondisi kerja optimumnya agar
diperoleh pencacahan yang benar dengan mengacu sistem deteksi radiasi gamma.
Adapun prinsip kerja renograf dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 10. Diagram Prinsip Kerja Renograf(Sumber: Djuningran, 2007)
Prinsip kerjanya adalah sinar radiasi gamma yang datang akan diterima
oleh detektor NaI (Tl) dan oleh detektor akan diubah menjadi pulsa listrik,
selanjutnya pulsa keluaran detektor akan dibentuk menjadi pulsa semi gaussian
dan dikuatkan oleh penguat awal, kemudian dikuatkan lagi pada penguat utama
sehingga pulsa keluaran berupa pulsa gaussian dengan tinggi pulsa yang sudah
memenuhi syarat untuk dianalisa dan diubah menjadi bentuk digital pada TSCA
yang selanjutnya pulsa digital akan dicacah pada counter. Pulsa keluaran TSCA
disamping masuk ke counter juga sebagai masukan interface untuk ditampilkan
dalam bentuk grafik pada layar monitor (Djuningran, 2007).
17
Metoda renografi adalah memonitor kedatangan, sekresi, ekskresi (arrival,
uptake, transit, elimination) dari radiofarmaka pada ginjal sesaat setelah injeksi
intravena. Pemonitoran dari luar tubuh ini dimungkinkan karena radiofarmaka
yang digunakan mengandung isotop yang memancarkan radiasi gamma.
Pada proses pendeteksian sebelumnya, pasien diberikan air minum
(hydrate) sebanyak 250 s/d 500 ml sebelum prosedur pemeriksaan. Pasien diminta
buang air kecil sebelum pengaturan posisi pemeriksaan. Atur posisi pasien (duduk
atau tiduran), arahkan masing-masing probe ke ginjal kiri dan kanan, pasien
diminta untuk tidak menggerakkan punggung selama pemeriksaan. Ketepatan
posisi dan pengaturan arah probe sangat menentukan keberhasilan pengukuran.
Injeksikan radiofarmaka melalui pembuluh darah (intravena) pada lengan
kanan atau lengan kiri pasien. Lalu, perunut akan sampai di pembuluh darah
ginjal, ditangkap dan dikeluarkan bersama urine. Pendeteksian dilakukan pada
daerah ginjal kiri dan kanan dengan detector NaI (TI). Detektor NaI (TI) adalah
detektor sintilasi yang biasa digunakan untuk mendeteksi sinar gamma. Waktu
pemeriksaan berlangsung antara 15-25 menit (PRPN BATAN, 2007).
Di dalam paranchym ginjal, perunut akan masuk pada sistem nefron dan
akhirnya dikeluarkan melalui pelvis renalis ke ureter. Pola perjalanan radioaktif
tersebut identik dengan pola urodinamik dan mencerminkan kapasitas fungsi
ginjal sebagai excretory organ. Hasil pemantauan detector yang dipasang tepat
pada area posisi ginjal berupa pulsa listrik, di mana jumlah pulsa persatuan waktu
berbanding lurus dengan intensitas dari radiasi perunut.
18
Secara lebih rinci, cara kerja renograf setelah injeksi radiofarmaka ke
dalam tubuh melalui pembuluh darah (intravena) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dua buah detektor yang ditempelkan pada posisi punggung daerah ginjal
akan menangkap sinar gamma, maka akan terjadi interaksi antara sinar gamma
dengan bahan detektor. Interaksi di dalam detektor itu terjadi efek fotolistrik.
Karena interaksi ini, elektron-elektron atom bahan detektor akan terpental keluar
sehingga atom-atom itu berada dalam keadaan tereksitasi dan akan kembali ke
keadaan dasarnya sambil memancarkan kerlipan cahaya (sintilasi).
Cahaya kerlipan diubah menjadi sinyal listrik dengan menggunakan
tabung pengganda foton (photomultifilier tube / PMT) yang berupa tabung kaca
hampa yang dilengkapi dengan fotokatoda di bagian masukan dan beberapa
dinoda di dalamnya. Foton atau cahaya kerlipan mengenai fotokatoda dan
membebaskan elektron-elektron melalui efek fotolistrik. Elektron-elektron yang
dibebaskan oleh fotokatoda ini dipercepat menuju dinoda pertama karena adanya
beda potensial yang dipasang. Dinoda yang tertabrak elektron ini melepaskan
elektron-elektron sekunder yang selanjutnya dipercepat ke dinoda kedua dan
seterusnya, elektron-elektron diperbanyak setiap kali mengenai dinoda. Akhirnya
seluruh elektron yang telah dihasilkan dikumpulkan di anoda dan memberikan
pulsa listrik (Kusminarto, 1993).
Dengan demikian, sinar gamma yang dideteksi akan menghasilkan pulsa
listrik sebagai keluaran dari detektor NaI (TI). Pulsa listrik dari detektor akan
diproses lebih lanjut oleh penguat awal yang membentuk sinyal menjadi pulsa
Gaussian, dan memisahkan pulsa sesuai pilihan energi isotop dengan teknik
19
Single Channel Analyzer (SCA) serta mencacah pulsa per-empat detik, sehingga
pada layar penganalisis itu dapat ditampilkan spektrum radiasi gamma yang
ditangkap detektor.
Data hasil tampilan detektor ini hanya dapat menilai keadaan ginjal secara
kualitatif. Hasil pengukuran adalah kurva berbentuk renogram.
Gambar 11. Grafik Fase Pada Renograf(Sumber: Djuningran, 2007)
Fisiologis renogram (normal) terdiri atas tiga segmen (fase).
Fase I disebut fase pembuluh darah (respon vaskuler), yaitu :
Memberikan informasi tentang kapasitas respon renovaskuler. Kurva memiliki
up-slope yang tajam dan berlangsung cepat (sekitar 12 sampai 30 detik).
Terjadinya setelah perunut radioisotop disuntikkan ke dalam pembuluh darah.
Fase II disebut fase uptake (konsentrasi), yaitu:
Memberikan informasi tentang kapasitas uptake, konsentrasi, dan sekresi
jaringan parenchym ginjal (nefron). Kurva memiliki up-slope yang lebih landai
dan berlangsung antara 2 sampai 5 menit setelah injeksi.
20
Fase III disebut fase ekskresi (eliminasi), yaitu:
Memberikan informasi tentang kapasitas ekskresi perunut radioisotop dari
ginjal. Kurva menurun (down-slope) dimulai dari puncak fase II sampai akhir
pemeriksaan. Laju dan bentuk kurva dari fase ketiga ini mencerminkan keadaan
fungsional segmen ekskresi dari ginjal mulai dari pelvis renalis sampai ureter.
Ketiga fase merupakan refleksi keadaan urodinamik kedua ginjal.
Gangguan pada masing-masing fase memiliki makna klinis yang berbeda.
Walaupun secara komprehensif dapat saling mempengaruhi. Maka gambar yang
akan terlihat pada komputer adalah sebagai berikut :
Gambar 12. Tipikal Pola Renogram(Sumber: PRPN BATAN, 2007)
21
C. Dosis Radioisotop Pada Pemeriksaan Renograf
Salah satu alasan dikembangkannya renograf adalah mahalnya deteksi
menggunakan kamera gamma. Selain itu, dosis isotop yang digunakan renograf
lebih rendah sehingga relatif lebih aman (PRPN BATAN, 2007). Perbandingan
dosis radioisotop yang digunakan pada kamera gamma dan renograf disajikan
pada tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan dosis radioisotop pada kamera gamma dan renograf
Radiofarmaka
Aktivitas Akibat Dosis yang Diberikan
Kamera Gamma Renograf Dual Probes
(MBq) (µCi) (MBq) (µCi)
I131-OIH 12 300 2 50
Tc99m-DTPA 75 2000 6 150
Jenis radioisotop yang digunakan pada pemeriksaan fungsi ginjal adalah
Iodium (I131–Hippuran) dengan waktu paruh delapan hari atau Teknisium (Tc99m)
dengan waktu paruh hanya enam jam. Waktu paruh menunjukkan masa peluruhan
zat radioaktif (Wardhana, W.A., 2002).
Seperti radioisotop Iodium yang memiliki waktu paruh sampai delapan
hari, di dalam tubuh akan meluruh lebih cepat karena terbuang melalui urine. Pada
praktiknya, dalam dua hari zat radioaktif dari iodium itu sudah meluruh sehingga
aman digunakan. Pasien tidak perlu berpuasa, hanya perlu mengosongkan kantung
kemih dengan cara kencing saja.
Dosis yang dipergunakan pada pemeriksaan yang sesungguhnya adalah
sekitar ½ µCi per kg berat badan sehingga tidak berbahaya bagi tubuh atau
menurut petunjuk dokter. Berikut disajikan kajian tentang penggunaan radioisotop
22
I131 dengan aktivitas antara 20 μCi sampai dengan 50 μCi dan Tc99m dengan
aktivitas antara 100 μCi sampai dengan 200 μCi yang memancarkan sinar gamma
(γ) yang diterima oleh pasien renograf. Pengukuran dosis dihitung dengan
mempertimbangkan prinsip Proteksi Radiasi untuk radiasi secara internal. Dengan
menggunakan perhitungan hubungan antara aktivitas dengan dosis terikat, maka
akan didapatkan dosis yang harus diberikan ke pasien (Kristiyanti, 2009).
Untuk mempermudah perhitungan, maka ICRP (International Commission
on Radiological Protection) menghitung dosis ekuivalen DT,R yaitu :
DT ,R=I (t )× e ( g ) …………………………………………………………. (1)
dimana :
DT,R = dosis ekuivalen (mSv)
I(t) = aktivitas (Bq)
e(g) = faktor konversi dosis (Sv/Bq)
Harga e(g) merupakan effective dose per unit intake yaitu dosis koefisien melalui
suntikan langsung ke darah. Dalam proteksi radiasi, besaran dosimetri yang lebih
bermakna adalah dosis rata-rata dalam organ yang telah dibobot (dosis tara) dalam
organ T, dan ditentukan melalui persamaan :
HT ,R=wR ∙ DT , R …………………………………………………………. (2)
dimana :
HT,R = dosis tara
DT,R = dosis serap yang dirata-ratakan untuk daerah organ atau jaringan
T yang disebabkan radiasi R
wR = faktor bobot radiasi menurut jenis dan energi radiasi
23
Hubungan antara kemungkinan terjadinya akibat stokastik dengan dosis
tara ternyata juga bergantung pada kepekaan organ atau jaringan yang tersinari.
Faktor bobot yang digunakan untuk dosis serap dalam setiap organ T disebut
faktor bobot wT. Apabila organ T yang mempunyai faktor bobot jaringan wT
diberi dosis tara HT, maka dosis efektifnya adalah :
H E=HT ∙wT …….…………………………………………………………. (3)
dimana :
HE = Dosis efektif
HT = Dosis tara
wT = faktor bobot jaringan
Perhitungan dengan persamaan (1), (2), dan (3) dari ICRP digunakan
untuk menghitung dosis yang aman. Sesuai dengan yang direkomendasikan oleh
BAPETEN, maka NBD untuk anggota masyarakat umum untuk seluruh tubuh
adalah 5 mSv per-tahun. Dalam hal penyinaran lokal yaitu hanya bagian khusus
dari tubuh, dosis rata-rata dalam tiap organ atau jaringan yang terkena harus tidak
boleh lebih dari 50 mSv.
Adapun hasil dari perhitungan menurut ICRP untuk dosis radioisotop I131
dan Tc99m yang diberikan kepada pasien adalah:
1. Untuk Radioisotop I131 dengan aktivitas 25 μCi sampai dengan 50 μCi,
ditentukan harga :
Faktor koreksi e(g) untuk suntikan = 2,2.10-8 Sv/Bq
Faktor bobot radiasi wR = 1
Faktor bobot jaringan wT = 0,05
24
Maka dapat dihitung harga dosis efektif sesuai dengan Tabel 2 :
Tabel 2. Hubungan antara aktivitas dan dosis efektif untuk I131
No. Aktivitas (µCi) Dosis Efektif (mSv)
1. 25 41
2. 30 49
3. 35 57
4. 40 65
5. 45 73
6. 50 81
2. Untuk Radioisotop Tc99m dengan aktivitas 100 mCi sampai dengan 200 mCi,
ditentukan harga :
Faktor koreksi e(g) untuk suntikan = 1,9.10-11 Sv/Bq
Faktor bobot radiasi WR = 1
Faktor bobot jaringan WT = 0,05
Maka didapatkan harga dosis efektif sesuai dengan Tabel 3 :
Tabel 3. Hubungan antara aktivitas dan dosis efektif untuk Tc99m
No. Aktivitas (µCi) Dosis Efektif (mSv)
1. 100 1,4
2. 125 1,7
3. 150 2,0
4. 175 2,4
5. 200 2,7
25
Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa untuk penggunaan radioisotop I131
aktivitas 20 μCi sampai dengan 50 μCi dihasilkan dosis serap antara 41 mSv
sampai dengan 81 mSv. Sedangkan untuk radioisotop Tc99m aktivitas 100 mCi
sampai dengan 200 mCi dihasilkan dosis serap 1,4 mSv sampai dengan 2,7 mSv.
Dalam perhitungan dosis serap untuk radioisotop I131 dan Tc99m didapatkan bahwa
I131 dengan aktivitas yang kecil akan didapatkan dosis serap yang besar,
sedangkan untuk Tc99m dengan aktivitas yang besar akan didapatkan dosis serap
yang lebih kecil (Kristiyanti, 2009).
26
BAB IVPENUTUP
A. Kesimpulan
1. Renograf adalah alat untuk mendiagnosa kerusakan fungsi ginjal dengan
memanfaatkan deteksi radiasi sinar gamma dari radioisotop yang
diinjeksikan pada tubuh pasien.
2. Pemeriksaan renograf ini dapat menilai fungsi ginjal secara kualitatif dan
menghasilkan kurva renogram yang berdasarkan bentuk kecuraman kurva
tiap fase dan waktu yang dibutuhkan oleh fase tersebut.
3. Isotop yang digunakan dalam pemeriksaan renograf adalah I131 atau Tc99m,
dimana dari hasil analisis disimpulkan bahwa kedua dosis radioisotop (I131
dan Tc99m) masih di bawah Nilai Batas Dosis (NBD) yang dipersyaratkan
oleh BAPETEN. Walaupun aktivitas Technicium (Tc99m) yang disuntikan
ke pasien lebih tinggi dari aktivitas Iodium (I131), namun dosis serap pasien
lebih rendah.
B. Saran
Penggunaan radioisotop Technicium (Tc99m) lebih disarankan untuk
diagnosa kerusakan fungsi ginjal menggunakan renograf. Renograf hanyalah salah
satu alat untuk mendeteksi ginjal yang sudah umum digunakan di beberapa rumah
sakit. Untuk itu, ke depannya Penulis menyarankan agar penulisan sebaiknya
diarahkan ke alat deteksi ginjal kamera gamma yang dapat menghasilkan citraan
dari pemeriksaan ginjal.
27
DAFTAR PUSTAKA
Beiser, A., 2005, Konsep Fisika Modern, Terjemahan: The Houw Liong, Erlangga, Jakarta.
Djuningran dan Jumari, 2007, Uji Fungsi dan Rekalibrasi Renograf Dual Probe Type Bi-756 Periode Tahun 2006 di Balai Elektromekanik,http://jurnal.sttn-batan.ac.id/wp-content/uploads/2008/06/22-djuningran-229-239.pdf [diakses Februari 2011]
Kristiyanti, dkk., 2009, Analisis Dosis yang Diterima Pasien Pada Pemeriksaan Renograf, http://jurnal.sttn-batan.ac.id/wp-content/uploads/2010/03/C-17_ok.pdf [diakses Februari 2011]
Kusminarto, 1993, Pokok-Pokok Fisika Modern, Depdikbud, Jakarta.
PDIN BATAN, 2008, Info BATAN: RS Bethesda Mulai Operasikan Alat Uji Fungsi Ginjal Renograf, http://www.batan.go.id/view_news.php?id_berita=542&db_tbl=Berita [diakses Januari 2011]
PRPN BATAN, 2007, Renograf Dual Probes Berbasis Komputer Akurat, Aman dan Ekonomis, http://www.aagos.ristek.go.id/nuklir/renograf_dual_robes.pdf[diakses Januari 2011]
Wardhana, W.A., 2002, Radioekologi, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Wikipedia, , Ginjal, http://id.wikipedia.org/wiki/Ginjal [diakses Januari 2011]
Wikipedia, , Peluruhan Radioaktif,http://id.wikipedia.org/wiki/Peluruhan_radioaktif [diakses Januari 2011]