Upload
renny-niunifat-joseph
View
11
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ILMU KESEHATAN KULIT & KELAM REFERAT MINI
FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2013
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DIAPER RASH
Oleh:
Dwinda Aulia Aslam
C111 09 790
Pembimbing:
dr. Amelia
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
0
DIAPER RASH
I. Pendahuluan
Kebiasaan memakaikan popok pada bayi baru lahir hampir universal,
dengan pemasangan popok pertama dalam beberapa menit dari pemeriksaan bayi
baru lahir di ruang bersalin. Sebagaimana bayi menyesuaikan dengan lingkungan
kering, popok menjadi faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya barrier
epidermis dan properti penanganan air pada kulit. Diaper rash sering juga disebut
juga napkin dermatitis yang menunjukkan terjadinya erupsi inflamasi pada daerah
popok.1,2
Kondisi kulit akan ditandai dengan menggunakan pengukuran biofisik dan
optik fungsi epidermal penghalang, hidrasi, dan sifat penanganan air dari stratum
korneum. Karakteristik visual kulit, seperti kekeringan/scaling, eritema, papula
dan lainnya merupakan manifestasi dari interaksi popok-kulit. Istilah "diaper
rash" umumnya digunakan untuk merujuk kepada berbagai erupsi kulit atau
deviasi dari kulit yang sehat dan normal. Setiap erupsi mempunyai banyak
penyebab, sehingga istilah diaper rash sebaiknya dihindari dan hanya dipakai
untuk pengertian yang lebih luas. Istilah Dermatitis Popok Iritan Primer (DPIP)
lebih tepat dipakai pada keadaan dimana erupsi yang terjadi akibat kontak iritan
dengan bahan excreta. Rendahnya tingkat ruam popok dikaitkan dengan
kompromi dalam integritas kulit, sebagaimana dibuktikan oleh kekeringan/scaling
dan deskuamasi menyimpang, dan eritema kulit dikaitkan dengan respon iritasi.1,2
II. Epidemiologi
Insiden keseluruhan kondisi ini sulit untuk ditentukan, dan sekarang
mungkin kurang dibandingkan sebelumnya, karena adanya perubahan umum
untuk popok sekali pakai, tetapi ada bukti bahwa sekitar 50% dari bayi
terpengaruh sampai tingkat tertentu pada beberapa tahap. Indeks lain dari tingkat
masalah ini diperlihatkan oleh fakta bahwa dalam satu survei, diaper rash
menyumbang sekitar 20% dari semua konsultasi kulit pada anak berusia di bawah
1
5 tahun di Inggris. Bagi kedua jenis kelamin dan semua ras tampak sama
terpengaruh.3
III. Etiologi
Tampaknya tidak mungkin bahwa setiap kasus primer iritasi diaper rash
memiliki kombinasi penyebab yang benar-benar sama. Hal ini bagaimanapun,
sangat langka tanpa adanya pemakaian popok, dan minimal suatu derajat tingkat
inkontinensia urin atau feses. Faktor-faktor berikut perlu dipertimbangkan dalam
setiap diskusi tentang etiologi dermatitis iritan primer.3
Maserasi oleh air
Stratum korneum menentukan fungsi pertahanan (barrier) pada
epidermis. Stratum korneum terdiri atas sel yang akan berhenti
mengelupas dan memperbarui diri pada siklus 12-24 hari. Matriks
ekstraselular hidrofobik berperan sebagai barier, mencegah kehilangan
cairan dan sebagai tempat masuknya air dan bahan hidrofilik lainnya. Sel
hidrofilik pada stratum korneum (korneosit) memberikan perlindungan
mekanis darilingkungan luar dalam bentuk lapisan lilin. 2,3
Keadaan basah yang berlebihan akan memberikan dampak berat pada
stratum korneum. Pertama, keadaan ini akan membuat permukaan kulit
menjadi pecah-pecah dan lebih sensitif terhadap gesekan. Kedua, keadaan
ini mengganggu fungsi perlindungan, menambah penyerapan bahan iritan
kedalam lapisan sensitif pada kulit di bawah stratum korneum dan
membuka lapisan ini sehingga menjadi kering dan menjadi tempat
masuknya mikroorganisme. Oklusi kulit yang berkepanjangan dapat
menimbulkan eritema, terutama jika air kontak dengan permukaan kulit
dan akhirnya dapat terjadi dermatitis.3
Gesekan
Gesekan antara kulit dan popok merupakan faktor penting dalam
beberapa kasus diaper rash. Hal ini didukung oleh predileksi tersering
diaper rash yaitu di tempat yang paling sering terjadi gesekan, misalnya
pada permukaan dalam paha, permukaan genital, bokong dan pinggang.
2
Gesekan akan mampu menembus stratum korneum dengan adanya
maserasi.2,3
Urin
Bayi yang baru lahir mengeluarkan urin lebih dari 20 kali dalam 24
jam. Frekuensi berkemih ini berkurang seiring pertumbuhan dan mencapai
7 kali dalam 24 jam pada umur 12 bulan.2,3
Selama beberapa tahun, amonia dipercaya sebagai penyebab utama
terjadinya diaper rash. Namun sekarang telah diketahui bahwa amonia
bukan penyebab utama terjadinya diaper rash. Jumlah mikroorganisme
terkait amonia tidak berbeda antara bayi dengan atau tanpa diaper rash.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil degradasi urin lainnya selain amonia
memegang peranan penting pada kejadian diaper rash. Suatu penelitian
membuktikan bahwa urin yang disimpan selama 18 jam pada suhu 37oC
dapat menginduksi terjadinya dermatitis ketika diberikan pada kulit bayi.
Saat ini jelas bahwa pH urin memegang peranan penting pada penyakit ini.
Urin yang memiliki pH tinggi (alkalis) pada bayi dapat menimbulkan
diaper rash.2,3
Feses
Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa feses manusia memiliki
efek iritan pada kulit. Pada feses bayi terdapat protease, pankreas,
lipase,dan enzim-enzim lainnya yang dihasilkan oleh bakteri dalam usus.
Enzim ini berperan penting dalam proses terjadinya iritasi kulit. Efek iritan
dari enzim tersebut semakin meningkat dengan adanya kenaikan pH dan
gangguan fungsi barier. Urea yang diproduksi oleh berbagai bakteri pada
feses dapat meningkatkan pH feses. Meningkatnya pH dapat
meningkatkan aktivitas enzim lipase dan protease pada feses. Produksi
feses cair yang berlebihan berhubungan dengan pemendekan waktu transit
dan feses ini mengandung sejumlah besar sisa enzim percernaan yang
dapat menyebabkan iritasi pada kulit. 2,3
Kesalahan atau kurangnya perawatan kulit
3
Penggunaan sabun cair dan bedak juga dapat berpengaruh. Keduanya
dapat meningkatkan resiko dari diaper rash. Cara pembersihan dan
pengeringan di daerah popok yang tidak tepat serta frekuensi penggantian
popok yang jarang juga dapat menjadi faktor pencetus.3
Mikroorganisme
Mikroorganisme seperti bakteri (Streptococcus dan Staphylococcus),
dan jamur (Candida) dapat menyebabkan diaper rash. Meskipun sering
dinyatakan bahwa infeksi bakteri berperan penting dalam terjadinya diaper
rash tipe iritasi primer, studi kuantitatif menunjukkan bahwa flora bakteri
yang diisolasi dari daerah yang mengalami erupsi tidak berbeda dengan
bakteri yang diisolasi di beberapa area kulit yang normal pada bayi.2,3
Antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas pada bayi dengan otitis media
dan infeksi traktus respiratorius menunjukkan peningkatan insiden
terjadinya irritant diaper dermatitis.3
Kelainan anomali
Kelainan anomali pada traktus urinarius dapat menyebabkan
terjadinya infeksi traktus urinarius.3
IV. Patogenesis
Urin dan feses berperan penting pada patogenesis DPIP. Urin
meningkatkan hidrasi dan pH kulit. Pada keadaan hidrasi yang berlebihan, kulit
lebih mudah mengalami abrasi dan infeksi, dan stratum korneum lebih dilalui oleh
bahan iritan. Popok dapat pula meningkatkan pH kulit akibat oklusi.2
Pada pH kulit yang lebih tinggi, enzim fesef yamg dihasilkan oleh bakteri
pada saluran cerna dapat mengiritasi kulit secara langsung dan dapat pula
meningkatkan kepekaan kulit terhadap bahan iritan lainnya. Organisme feses yang
berbaur dengan urim akan menghasilkan lebih banyak amoniak dan meningkatkan
pH kulit. Amoniak merupakan suatu bahan iritan yang sangat berperan, tetapi
bukan merupakan faktor penentu terjadinya DPIP. Gesekan akibat gerakan
4
menyebabkan kulit terluka dan memudahkan iritasi, dan peningkatan kepekaan
terhadap iritasi akan meningkatkan resiko inflamasi.2
V. Diagnosis
1. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan bercak merah di daerah yang tertutup
popok yang sering membuat bayi gelisah, selain itu sering tercium bau amoniak
pada saat popok diganti.2
2. Gambaran Klinis
Diaper rash bermanifestasi klinis lembab, mengkilap dan eritema yang
sering perih mengenai daerah yang tertutup oleh popok pada umumnya, dengan
pengecualian dari lipatan kulit yang cenderung terhindar. Kondisi ini mungkin
juga diikuti dengan erosi dan ulserasi.4,5
Pada reaksi akut, eritema yang mengkilap mungkin akan tampak dan
disertai dengan pengelupasan. Pada kedua jenis kelamin, keterlibatan alat kelamin
dapat menyebabkan disuria, dan kadang-kadangbila glans penis terinfeksi, bayi
laki-laki dapat mengalami retensi urin akut.3
Sebuah presentasi herpetiform dari iritasi dermatitis popok primer juga
telah dijelaskan. Hal ini berbentuk erupsi vesikel dan pustula diikuti oleh erosi
dangkal, sangat menyerupai gambaran klinis dari herpes simpleks, tetapi tidak
menunjukkan bukti infeksi dari HSV secara patologis.3
Diaper rash tidak sering terlihat selama 3 minggu pertama kehidupan.
Onset paling sering muncul pada minggu ke-3 sampai minggu ke-12, dan
prevalensi puncak terlihat antara bulan ke-7 dan ke-12. Pada dasarnya kondisi
yang sama telah dilaporkan pada anak-anak dan orang dewasa yang mengalami
inkontinensia urin. Pola khas lain yang baru-baru ini telah dijelaskan adalah satu
di mana erupsi terlokalisir pada bagian lateral paha atas dan bokong, paling sering
secara unilateral, namun tak jarang bilateral, dalam posisi yang sesuai dengan
daerah di mana kontak langsung dapat terjadi dengan perekat yang
mengencangkan popok. Tampaknya paling sering terjadi karena efek iritasi, tetapi
5
juga merupakan refleksi dari sensitisasi kontak dengan bahan kimia karet atau
lem.3
Gambar 1. Diaper rash, lesi tampak pada bagian yang tertutup popok tetapi
melewati daerah lipatan paha.3
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan patologi sebagai pemeriksaan penunjang
untuk kasus ini, gambaran histologi yang tampak umumnya berupa spongiosis dan
inflamasi ringan pada dermis.2,3
VI. Diagnosis Banding
Dermatitis seboroik infantil
Dermatitis seboroik infantil dialami pada minggu-minggu pertama kehidupan dan
cenderung mengenai lipatan tubuh, termasuk lipatan ketiak, daerah kemaluan dan
leher, tetapi juga dapat melibatkan wajah dan kulit kepala. Lesi pada lipatan
tampak sebagai sisik eritem mengkilat, tetapi pada kulit kepala dapat ditemukan
krusta kekuningan. Kondisi tersebut biasanya dapat dibedakan dengan diaper
dermatitis (tidak mengenai lipatan), kandidosis (biasanya pustuler) dan dermatitis
atopik (lebih gatal).5
Gambar2. Dermatitis seboroik infantil. Kondisi ini
mengenai lipatan tubuh.2
Kandidosis
6
Sebuah konfluen mengilap, eritematosa bermarginasi tajam dengan
deskuamasi perifer dan/atau pustulasi, dan biasanya dengan pustula satelit,
bersama-sama dengan kandidiasis oral adalah presentasi khas candidiasis
neonatal, infeksi Candida superfisial ditularkan kepada bayi selama kelahiran.
Ruam biasanya muncul pada minggu kedua kehidupan, dan secara etiologi
berbeda dari daerah infeksi Candida sekunder dengan iritasi primer diaper rash.3
Sifilis kongenital
Lesi berupa makula coklat kemerahan, kadang-kadang sedikit meningkat,
timbul terutama pada ekstremitas termasuk telapak tangan dan kaki, dan pada
muka khususnya di daerah sekitar mulut. Daerah popok sering timbul bula atau
erosi.2,3
Defisiensi zink
Harus dipertimbangkan pada bayi dengan dermatitis popok yang tidak
berespon pada pengobatan. Kelahiran prematur meningkatkan kecurigaan pada
penyakit ini, dan kadar zink plasma yang normal tidak menyingkirkan diagnosis.
Bayi dengan erupsi popok yang disebabkan oleh defisiensi zink biasanya juga
mengalami dermatitis pada muka yang merupakan perluasan dari daerah perioral,
paronkia erosif pada daerah lipatan palmar telapak tangan.2,3
VII. Penatalaksanaan
Pengobatan diaper rash mencakup :2,5,6
1. Non Medikamentosa
Popok harus dibiarkan terbuka sesering mungkin ketika bayi tidur,
untuk pengeringan kulit.
Direkomendasikan untuk membersihkan kulit dengan air bersih,
dan hindari gesekan atau digosok.
Popok harus diganti sesering mungkin dan secepatnya setelah
buang air
Edukasi orang tua dan pengasuh. Tujuan utama penatalaksanaan
diaper rash adalah mengurangi kelembaban, karena yang paling
7
penting adalah keberhasilan yang baik dan menjaga daerah popok
agar tetap bersih dan kering dengan mengganti popok secara
teratur dan menggunakan popok sekali pakai seperti popok
golongan sintesis yang mengurangi kontak kulit dengan urin.
2. Medikamentosa
Pasta Zinc oxide, petrolatum, dan campuran lainnya, sebagai
pelindung merupakan terapi utama. Pasta atau salep dioleskan
setiap sehabis popok diganti. Diaper rash sedang dan berat tidak
akan mengalami perbaikan bila hanya menggunakan krim
pelindung. Pada keadaan tersebut, dianjurkan penggunaan
kortikosteroid topikal potensi rendah dan krim pelindung. Krim
hidrokortison 1% digunakan dua kali sehari selama 3-5 hari. Bila
dicurigai terjadi superinfeksi dengan kandida dapat digunakan
klotrimazol 1% atau mikonazol 2%. Hidrokortison dan anti jamur
dioleskan bersamaan dua kali sehari pada saat mengganti popok,
kemudian dioleskan barier ointment di atasnya. Dapat pula
digunakan hidrokortison kuat sebab popok bersifat oklusif dan
meningkatkan absorpsi kortikosteroid yang dapat menimbulkan
atrofi kulit dan penekanaan kelenjar adrenal. Untuk terapi lanjutan
dan pencegahan digunakan nistatin, amphoterin B atau imidazol
dalam bentuk powder.
Anti-kandida topikal diberikan jika ada tanda-tanda infeksi
kandida. Pada diaper rash dengan infeksi Candida albicans sedang
hingga berat diberikan mupirocin 2%. Mupirocin 2%
mengeradikasi Candida albicans dalam waktu 2-6 hari. Pada
diaper rash yang disertai infeksi jamur saluran cerna, dianjurkan
menambah nistatin oral 150.000 unit tiga kali sehari. Neomisin
sering menimbulkan sensitasi sehingga tidak digunakan pada
pengobatan diaper rash. Infeksi yang meliputi sebagian tubuh
8
kadang membutuhkan antibiotic sistemik. Pada infeksi
Staphylococcus sebaiknya menggunakan sepalosporin generasi
pertama, dicloxacin atau amoxilin-clavunat dan sebaiknya
menghindari pemakaian eritromisin.
VIII. Prognosis
Diaper Rash hampir selalu menunjukkan respon terhadap terapi yang akan
membaik bila pemakaian popok tidak terlalu lama. Pada beberapa anak erupsi
pada daerah popok merupakan tanda dini dari suatu kelainan kulit yang kronis
seperti dermatitis atopi atau psoriasis.2,3
DAFTAR PUSAKA
1. Visscher MO, Hoath SB. Diaper Dermatitis. In: Chew A-L, Maibach HI,
editors. Irritant Dermatitis. Germany: Springer; 2006. p. 37-50.
9
2. Aminuddin, Dali. Diaper Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Makassar. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;
2003. p. 357-62
3. D.J.Artherton, Gennery AR, Cant AJ. Ezcematous Eruptions in the Newborn.
In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of
Dermatology. 1-4. Oxford: Blackwell Publishing Company; 2004. p. 14.23-8.
4. Hunter J, Savin J, Dahl M. Ezcema and Dermatitis. In: Taylor S, Malde R,
Elliot J, editors. Clinical Dermatology. 3rd ed: Blackwell Publishing
Company; 2003. p. 92-3.
5. Dermatology, Pediatric Dermatology. In: Horne T, editor. Dermatology an
Illustrated Colour Text. London: Churchill Livingstone; 2003. p. 108.
6. Chang MW, Orlow sJ. Neonatal, Pediatric, and Adolscent Dermatology In:
Wolff K, Goldsmith LA, Ktz SI, Gilcrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Flitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. United States of
Amerika: McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008. p. 942-5.
10