38
SAP IV Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan A. Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan menurut para ekonom dapat dibadi menjadi dua ukuran pokok distribusi pendapatan yaitu ditribusi ukuran dan distribusi fungsional yang keduanya digunakan untuk analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. 1. Distribusi Pendapatan Ukuran Distribusi pendapatan ukuran adalah besar atau kecilnya pendapatan yang diterima oleh masing-masing orang. Ukuran ini secara ;langsung mengukur jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, tidak peduli darimana sumbernya baik dari gajinya karena bekerja, maupun sumber lain seperti bunga tabungan, laba, hasil sewa, ataupun warisan. Selain itu, lokasi sumber pendapatan dan sektor atau bidang yang menjadi sumber pendapatan diabaikan. Oleh karena itu para ekonom dan ahli statistik cenderng mengurutkan semua individu berdasarkan pendapatan yang diterimanya, kemudian membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran. Populasi dibagi menjadi lima kelompok (kuintil) atau sepuluh kelompok (desil) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, 1

Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan.docx

Embed Size (px)

Citation preview

SAP IVDistribusi Pendapatan dan Kemiskinan

A. Distribusi PendapatanDistribusi pendapatan menurut para ekonom dapat dibadi menjadi dua ukuran pokok distribusi pendapatan yaitu ditribusi ukuran dan distribusi fungsional yang keduanya digunakan untuk analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. 1. Distribusi Pendapatan UkuranDistribusi pendapatan ukuran adalah besar atau kecilnya pendapatan yang diterima oleh masing-masing orang. Ukuran ini secara ;langsung mengukur jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, tidak peduli darimana sumbernya baik dari gajinya karena bekerja, maupun sumber lain seperti bunga tabungan, laba, hasil sewa, ataupun warisan. Selain itu, lokasi sumber pendapatan dan sektor atau bidang yang menjadi sumber pendapatan diabaikan.Oleh karena itu para ekonom dan ahli statistik cenderng mengurutkan semua individu berdasarkan pendapatan yang diterimanya, kemudian membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran. Populasi dibagi menjadi lima kelompok (kuintil) atau sepuluh kelompok (desil) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, selanjutnya menetapkan berapa proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok dari pendapatan nasional total. Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran, yaitu:a. Rasio KutnezsRasio ini sering digunakan sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di satu negara. b. Kurva LorenzKurva ini digunakan untuk menganalisis statistik pendapatan perorangan yang menunjukkan kuantitatif aktual antara presentase penerimaan pendapatan dengan presentase pendapatan total yang mereka terima selama satu tahun.c. Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan AgregatPerangkat yang terakhir dan sangat mudah digunakan untuk mengukur derajat ketimpangan pendapatan relatif di satu negara adalah dengan menghitung rasio bidang yang terletak di antara garis diagonal dan kurva Lorenz tersebut berada. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya bekisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).2. Distribusi FungsionalUkuran distribusi pendapatan kedua yang lazim digunakan oleh kalangan ekonomi adalah distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi (functional or factor share distribution of income). Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Sudah cukup banyak kepustakaan teoritis yang dibangun atas dasar konsep distribuai pendapatan fungsional (functional income distribution) tersebut. Masing masing mencoba menjelaskan besar atau kecilnya pendapatan dari satu faktor produksi dengan memperhitungkan kontribusi faktor tersebut dalam keseluruhan kegiatan produksi. Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan harga per satuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit faktor produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan yang bersumber dari asumsi utilitas (pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga biayanya berada pada taraf minimum), maka kita bias menghitung total pembayaran atau pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi tersebut.Berdasarkan asumsi pasar yang kompetitif, permintaan terhadap tenaga kerja akan ditentukan oleh produksi marjinal tenaga kerja yang bersangkutan (yang artinya tambahan tenaga kerja akan terus direkrut sampai ke satu titik di mana nilai produksi arjinalnya sama dengan upah rill mereka). Namun, sesuai dengan prinsip produk marjinal yang semakin menurun , permintaan terhadap tenaga kerja merupakan satu fungsi yang negatif terhadap jumlah tenaga kerja. Artinya, semakin lama tenaga kerja yang diminta akan semakin sedikit.

3. Perkembangan Indeks KetimpanganTabel 5.2 : Koefisien Gini Pengeluaran di Indonesia, 1964/65 1976KeteranganPengeluaran Konsumsi Per Kapita Data Susenas

1964-65a1967b19701976

Perkotaan

Jawa0,3130,3230,3860,386

Luar Jawa0,403t.a0,3320,392

Indonesia0,356t.s0,3410,377

Pedesaan

Jawa0.3360,2940,3120,302

Luar Jawa0,349t.a0,3130,313

Indonesia0,358t.a0,3180,354

a Data untuk November 1964 Februari 1965b Data untuk September Oktober 1967c Data untuk periode Januari AprilSumber : A. Booth dan P.Mc Cawley 1990

Distribusinya lebih timpang pada waktu pemerintahan Soekarno, lebih kurang timpang pada waktu pemerintahan Suharto. Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada 1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976. Kelompok penduduk200220032004200520062007

40 % Terendah20,9220,5720,8018,8119,7519,10

40% Menegah38,8937,1037,1336,4038,1036,11

20 % terkaya42,1942,3342,0744,7842,1544,79

Rasio Kutnezs0,500,490,490,420,470,43

Gini Rasio0,330,320,320,360,330,47

Tabel 5.3 : Presentase Pendapatan yang Diterima Oleh Berbagai Kelompok Penduduk di Indonesia, Rasio Kutnezs dan Gini Rasio, 2002-2007Pada awal tahun 2002-2004 bagian pendapatan dan bagian yang diterima relative tetap, sehingga koefisien Kutnezs juga relative konstan , dan koefisien Gini juga menujukkan hal yang sama. Dari tahun 2004 ke 2005 distribusi pendapatan menjadi lebih sedikit buruk, bagian yang diterima termisikin menurut dan bagian yang diterima terkaya meningkat sehingga koefisien Kutnezs Gini yang menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih timpang. Memburuknya distribusi pendapatan dari tahun 2006 ke 2007 mungkin dapat dijelaskan karena adanya kenaikan harga-harga sebagai akibat naiknya harga bensin ketika itu. B. KemiskinanKemiskinan adalah penduduk miskin, yakni penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan internasional. Kemiskinan absolut dapat dan memang terjadi di mana-mana, di Jakarta, di Bali, di Nusa Penida , di Medan walaupun kadarnya (dilihat dalam persentase terhadap jumlah penduduk) berbeda beda dari satu tempat ke tempat lainnya.1. Mengukur Kemiskinan AbsolutKemiskinan absolut dapat di ukur dengan angka atau hitungan per kapita (headcount), H, untuk mengetahui seberapa banyak orang penghasilannya berada dbawah garis kemiskinan absolute, Yp. Ketika hitungan perkepala tersebut dianggap sebagai bagian dari populasi total,N, kita memperoleh indeks per kepala (headcount index), H/N. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah satu standar minimum dimana seseorang hidup dalam kesengsaraan absolut manusia, yaitu ketika kesehatan seseorang sangat buruk.Pada peraga di bawah ini, kedua negara masih berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di negara A ternyata lebih besar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih keras guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.Kita juga terarik mempelajari seberapa jauhkah pendapatan kelompok miskin berada di bawah garis kemiskinan. Kekurangan pendapatan total atau jurang kemiskinan total (total Poverty Gap = TPG) dari para kaum miskin didefinisikan sebagai :

Jika dihitung atas dasar per kapita, kekurangan pendapatan rata rata atau jurang kemiskinan rata ratanya adalah: APG = TPG/HDalam mempelajari ukuran kekurangan pendapatan dalam hubungannya dengan garis kemiskinan, kita dapat menggunakan jurang kemiskinan yang di normalisasi (normalized poverty gap= NPG) = APG/Yp sebagai ukuran kekurangan pendapatan; ukuran ini berkisar antara nol dan satu.Seperti dalam ukuran ketimpangan, ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang diinginkan , yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yaitu prinsip prinsip anomitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distibusional. Kedua prinsip yang pertama ( anonimitas dan idependensi populasi) sangat mirip krakterisitik yang diunakan untk membahas indeks ketimpangan. Prinsip monotonitas bahwa jika anda memberi uang kepada orang yang di bawah garis kemiskinan , jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan selalu lebih rendah setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut mempunyai monotonisitas yang kuat (strong monotonicity). Rasio headcount memenuhi asas monotonisitas , namun bukan yang kuat.ukuran rasio headcount memenuhi syarat anonimitas, independensi populasi dan monotonisitas, namun gagal memenuhi syarat sensitivitas distribusional ( dengan kata lain, rasio ini tidak akan menghitung damoak diferensial dari kenaikan harga beras). Sedangkan headcount yang sederhana gagal, bahkan untuk memnuhi prinsip independensi populasi.Indeks kemiskinan yang terkenal yang memuhi ke tempat kriteria di atas adalah indeks Send an bentuk tertentu dari indeks poster-greer-thornbeck (FGT) yang sering disebut sebagai kelas Pa dari ukuran kemiskinan . Pa dapat ditulis sbb :

Dimana Yi adalah pendapatan dari orang miskin yang ke I, Yp adlah garis kemiskinan dan n adlah jumlah penduduk. Indeks Ppa mempunyai bentuk yang berbeda beda tergatung pada nilai a. jika a=0, maka pembilangannya sama dengan h dan ia menjadi sama rasio headcount H/N. jika a=1 maka akan dieroleh jurag kemikinan yang dinormaliasasi. Jika a=2 uuran yang dihasilkan adalah

Dimana NPG= normalized poverty gap=APG/Yp.CVp= koefisie variasi pendapatan antar kaum miskin. Rumus P2 ini berisi ukuran CVp dan memenuhi keempat kriteria kemiskinan di atas. Jelasnya P2 meningkatkan jika H/N, NPG, dan CVp meningkat. Ukuran kemiskinan P2 ini makin banyak diguakan oleh bank dunia, bank pembangunan regional, sebagian besar lebaga PBB, dan dalam penelitian empiris mengenai kemiskinan.2. Cakupan Kemiskinan AbsolutJumlah dan persentase penduduk miskn untuk 1976- 1999, dan garis kemiskinan di Indonesia untuk tahun 2005 sampai dengan 2007 disaikan dalam dua table tersebut.Tabel 5.4: jumlah dan presentase penduduk miskin di Indonesia, 1976-1999

Tabel 5.5: garis kemiskinan dan jumlah penduduk miskin, 2005-2007

Dari tabel 5.4 di atas ternyata bahwa pembangunan ekonomi telah menurunkan presentase penduduk miskin lebih dari 40 persen dari jumlah peduduk (atau sekitar 54 juta orang) pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,34 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996, untuk kemudian sebagai akibat dari krisis ekonomi meningkat menjadi sekitar 23 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999. Setelah it terus mengalami penurunan sehingga menjadi sehinga 16 persen dari jumlah penduduk (atau sejumlah 37 juta orang) pada tahun 2007 (lihat tabel 5.5). dapat dikatakan bahwa presentase yang cukup tinggidari seluruh penduduk Indonesia (16-18%) masih berada di awah kemiskinan dan merupakan tugas yang berat bagi pemerintah sekarang kalau kita perhatikan kutipan pada awal bab in9 bahwa urusan yang belum terselesaikan pada abad 21 adalah pemberantasan kemiskinan (Juan Somavia, United Nations World Summit for Social Development, 1995) atau masalah kemiskinan menjadi tjuan pembangunan milenium dewasa ini di Indonesia. 3. Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat MiskinJika distribusi yang sangat tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah, akan tetapi sebagaimana yang telah diungkapkan tingginya tingkat pendapatan perkapita tidak menjamin labih rendahnya tingkat kemiskinan absolut. Upaya upaya kemiskinan melalui serangkaian kebijakan dan rencana yang langsung terarah kepada kemiskinan tampaknya akan lebih efektif baik itu dalam jangka pendek maupun jangka panjang 3 efek lingkaran perangkap kemiskinan terhadap pembangunan ekonomi.Perangkap kemiskinan adalah serangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi secara sedemikian rupa sehingga menimbulkan kemiskinan sering didefinisikan dengan kekurangan, terutama kekurangan bahan pokok. Seperti pangan, kesehatan, sandang, papan dan sebagainya.Keadaan disuatu Negara akan tetap miskin dan akan tetap mengalami banyak kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi.Dalam mengemukakan teori tentang lingkaran kemiskinan, perangkap kemiskinan pada hakikatnya nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan pembangunan pada masa lalu tetapi juga menghadirkan hambatan pembangunan dimasa yang akan datang. Menurut pendapatnya perangkap kemiskinan yang terpenting adalah keadaan-keadaan yang mnyebabkan timbulnya hambatan terhadap terciptanya tingkat pembentukan modal yang tinggi.Jadi menurut nurkse terdapat dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan yang menghalangi Negara berkembang mencapai tingkat pembangunan yang pesat, dari segi penawaran modal dan dari segi permintaan modal.4. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan1. PengangguranSemakin banyak pengangguran, semakin banyak pula orang-orang miskin yang ada di sekitar. Karena pengangguran atau orang yang menganggur tidak bisa mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal kebutuhan setiap manusia itu semakin hari semakin bertambah. Selain itu pengangguran juga menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat, yaitu pengangguran dapat menjadikan orang biasa menjadi pencuri, perampok, dan pengemis yang akan meresahkan masyarakat sekitar.2. Tingkat pendidikan yang rendahTidak adanya keterampilan, ilmu pengetahuan, dan wawasan yang lebih, masyarakat tidak akan mampu memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik. Karena dengan pendidikan masyarakat bisa mengerti dan memahami bagaimana cara untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia. Dengan belajar, orang yang semula tidak bisa menjadi bisa, salah menjadi benar, dsb. Maka dengan tingkat pendidikan yang rendah masyarakat akan dekat dengan kemiskinan.3. Bencana AlamBanjir, tanah longsor, gunung meletus, dan tsunami menyebabkan gagalnya panen para petani, sehingga tidak ada bahan makanan untuk dikonsumsi dan dijual kepada penadah atau koperasi. Kesulitan bahan makanan dan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak dapat terpenuhi.4. Pertumbuhan dan KemiskinanDari berbagai studi empiris yang telah dilakukan, nampaknya terdapat hasil yang beragam mengenai dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan. Secara garis besar, hasil tersebut dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:1. Pertama, di masa lalu, beberapa ekonom menganggap bahwa pertumbuhan tidak cukup menurunkan kemiskinan di negara-negara berkembang.2. Kedua, Ravallion (1997), Son dan Kakwani (2003), dan Bourguignon (2004) melakukan review hubungan antara pertumbuhan dengan kemiskinan dan ketimpangan, dan mencatat bahwa dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan hanya terjadi ketika ketimpangan relatif tinggi (high inequality). Dengan kata lain, negara-negara yang mempunyai tingkat ketimpangan yang sedang, apalagi rendah, dampak pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan relatif tidak signifikan. Hasil ini dapat pula diintrepretasi bahwa untuk tingkat pertumbuhan berapapun, semakin turun ketimpangan, semakin besar terjadinya penurunan dalam kemiskinan.3. Ketiga, pertumbuhan mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Dollar dan Kraay (2002) dengan menggunakan data dari 80 negara berkembang selama kurun waktu 40 tahun, menyimpulkan bahwa growth is good for the poor.Pertumbhan dan KemiskinanAda lima alasan mengapa kebijaksanaan yang ditunjukkan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan yaitu :1. Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak memiliki akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai anaknya, dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, memiliki banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti.2. Akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru, menyaksikan fakta bahwa tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara negara yang sekarang sudah maju, kaum kaya di negara- negara miskin tidak dikenal karena hematnya mereka untuk menginvestasikan bagian yang besar dari pendapatan mereka.3. Pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah, dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat,4. Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan local seperti makanan dan pakaian, secara menyeluruh, sementara golongan karya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk barang barang mewah import.5. Penurunan kemiskinan secara masal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikilogis yang kuat bagi meluasnya partisipasi public dalam proses pembangunan.C. Pilihan KebijaksanaanPilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/ memperbaiki distribusi pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan yakni:1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi. Kebijaksanaan ini dapat berupa:a. Upah buruh, pemerintah menentukan tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang ditentukan di pasar bebas atas permintaan dan penawaran. Dengan kebijaksanaan ini para investor menganggap buruh jadi terlalu mahal dan mereka memilih teknologi produksi yang hemat tenaga kerja. Bagian upah pada perekonomian nasional menjadi lebih kecil, dan kemungkinan jumlah orang miskin menjadi lebih besar.b. Bunga modal, dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi), penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor barang-barang modal seperti traktor dan mesin-mesin otomatis relatif terhadap barang konsumsi. Semua kebijaksanaan ini mengakibatkan harga modal terlalu murah, yang akibat akhirnya para pengusaha akan memilih teknologi produksi yang padat modal, sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih buruk dan jumlah orang miskin bertambah.2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini melalui UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) 1960, yang membatasai jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis beasiswa dan bantuan sekolah sampai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Cara lain dapat dilakukan melalui pemberian kredit komersial dengan bunga pasar yang wajar (bukannya dengan bunga rentenir yang sangat tinggi) bagi para wirausaha kecil (kredit ini bisa disebut pinjaman mikro seperti kredit usaha rakyat, kredit usaha tani, dan sebagainya.Akan tetapi kebijakan-kebijakan pemerataan dan pengentasan kemiskinan ini sering memerlukan kebijaksanaan pelengkap, tanpa kebijaksanaan pelengkap tersebut kebijaksanaan pemerataan dan pengentasan tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan. Misalnya ada UUPA, tetapi tidak dibarengi oleh kebijaksanaan harga tanah dan pupuk yang memadai, penggarap tanah tidak mampu membeli sarana produksi pertanian sehingga land reform tidak berjalan dengan baik.3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan penghasilan) merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya. Banyak kebijaksanaan progresif berubah secara ajaib menjadi pajak yang regresif dalam pelaksanaannya. Kelompok masyarakat rendah dan menengah menanggung beban pajak yang lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi.4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa publik. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan asuransi kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).Ketimpangan distribusi masih belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin yang luput dari program, disamping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk menyaring orang-orang yang sebenarnya tidak berhak atas bantuan yang disediakan. D. KesimpulanAda dua jenis distribusi pendapatan, ukuran dan fungsional. Dari distribusi ukuran dapat dibuat kurva Lorens, atau dihitung koefisien Kutnezs dan koefisien Gini yang dapat dipakai untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. Ukuran yang paling biasa dipakai di Indonesia adalah Koefisien Kutnezs, Koefisien Gini, sedangkan kurva Lorens tidak. Distribusi fungsional memberikan kerangka analisis kebijaksanaan yang menjelaskan keadilan distribusi pendapatan berdasarkan kepemilikan faktor produksi. Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah, atau dengan kata lain, banyak penduduk yang hidup dibawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan internasional. Ada beberapa ukuran untuk penduduk miskin, yakni dengan menghitung jumlah mereka atau disebut hitungan per kepala (headcount), indeks per kepala (headcount index), jurang kemiskinan (poverty gap, total atau average atau normalized), Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) dan human poverty index (indeks kemisknan manusia=IKM). Ada beberapa kriteria ukuran ukuran kemiskinan yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yakni prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kriteria yang sering dipakai di Indonesia adalah jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin yang banyak merupakan tugas penting dan berat mengingat tujuan pembangunan milenium yang sekarang didengungkan dan untuk keperluan itu pemerintah perlu mengetahui siapa penduduk miskin tersebut beserta karakteristiknya, serta menentukan sikap yang tegas apakah pertumbuhan yang tinggi selalu dibarengi dengan kemiskinan untuk dapat menyusun berbagai kebijakan yang memihak kaum miskin, berbagai kebijaksanaan yang bertujuan untuk memperbaiki distribusi pendapatan ukuran dan fungsional telah dilaksanakan oleh pemerintah, namun sampai sejauh ini tampaknya baru berhasil mempertahankan pembagian pendapatan pada tingkat ketimpangan sedang dan belum begitu berhasil menurunkan jumlah orang miskin. Hal yang terakhir ini mungkin disebabkan oleh karena banyak penduduk yang mestinya tidak berhak atas program pemerintah tertentu namun menikmatinya.E. LampiranMISMANAJEMEN PEREKONOMIAN INDONESIAI Ketut Nehen1. Pendahuluan2. Subsidi HargaSubsidi harga adalah harga pasar yang ditentukan lebih rendah daripada harga pokok suatu barang atau jasa. Jenis subsidi ini di Indonesia diterapkan pada BBM, listrik, air minum, angkutan kereta api.2.1 Akibat subsidi harga terhadap produknyaContohnya pada air minum, dimana kualitas air kurang baik. Sehingga air tidak bisa langsung diminum, terkadang air juga tidak mengalir atau mengalir hanya pada malam hari. Pada jasa kereta api, karena murahnya tiket penumpang menumpuk sehingga banyak yang tidak mendapatkan tempat duduk dan memilih duduk di atap kereta. Pada listrik sering terjadi pemadaman yang dapat mengakibatkan barang elektronik rusak. Terakhir BBM yang sering diseludupkan ke pasar gelap bahkan dijual ke luar negeri karena harga lebih mahal bila dijual di luar.2.2 Akibat subsidi harga terhadap perusahaannyaPenerimaan yang diperoleh oleh perusahaan lebih kecil dari harga pokok untuk menyediakan barang atau jasanya. Walau subsidi ditanggung pemerintah jumlahnya hanya menutupi biaya produksi barangnya. Jadi dapat disimpulkan, dengan tidak adanya keuntungan maka perusahaan enggan meningkatkan kualitas produk.2.3 Akibat subsidi harga pada APBN/APBDPada akhirnya akibat dari subsidi pasti berdampak pada APBN/APBD, karena bagian yang cukup besar dari anggaran ini digunakan untuk menutupi subsidi. Misalnya BBM, di Indonesia harga BBM selalu dibawah harga pasar sehingga pemerintah tetap menanggung subsidi BBM.

2.4 Distribusi subsidi hargaDistribusi subsidi ternyata tidak merata, dimana penggunaan subsidi lebih banyak digunakan kalangan menengah keatas. Contohnya saja BBM, kalangan yang memiliki kendaraan bermotor adalah kalangan menengah keatas sehingga distribusi tersebut tidaklah sesuai dengan tujuannya.3. Teori Kegagalan KoordinasiPada teori kegagalan koordinasi, perekonomian suatu Negara harus memiliki input yang harmonis berkualitas tinggi(setara) untuk mendapatkan jumlah dan kualitas output yang memadai. Output tidak akan berkualitas tinggi atau berjumlah besar bila salah satu atau lebih dari input tidak memiliki kualitas yang memadai atau tidak tersedia.4. Implikasi4.1 Pertumbuhan ekonomi meningkatDalam keadaan yang berlaku dalam sekarang ini perekonomian Indonesia berada pada satu keadaan ekuilibrium. Berada pada titik ekuilibrium E1. Pada keadaan di titik E1 ini perekonomian Indonesia masih menganut subsidi harga pada BBM, Listrik, air Minum, dan Angkutan Kereta Api. Output dari perusahaan perusahaan ini merupakan masukan (input) dari hampir semua sector dalam perekonomian Indonesia. Pada saat keadaan subsidi harga dihilangkan perekonomian Indonesia berada pada keadaan ekuilibrium lain, yaitu pada titik E2. Dengan menghilangkan subsidi harga perekonomian Indonesia berada pada ekuilibrium dengan tingkat penghasilan nasional yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain subsidi harga menghalangi pertumbuhan ekonomi.Lain halnya apabila subsidi harga tidak hanya dihilangkan tetapi semua perusahaan yang harga outputnya ditentukan bersubsidi dibiarkan menentukan harganya sendiri berdasarkan atas permintaan dan penawaran sebagaimana harga untuk barang/jasa lainnya. Ini merupakan ekuilibrium E3, yang barangkali lebih tinggi atau lebih rendah dari E2. E3 akan lebih tinggi dari E2 kalau perusahaan yang output nya ditentukana dengan harga bersubsidi tersebut berhasil memetik laba dan mengadakan ekspansi usaha. Mereka akan berada pada skla usaha yang lebih tinggi dan oleh karena ituE3 lebih besar dari E2. Sebaliknya akan terjadi, yakni meskipun perusahaan perusahaan tersebut bebas menentukan harga outputnya, mereka bisa juga mengalami kerugian dan memperkecil skala usahanya. Dalam hal ini E3 lebih rendah dari E2. Namun hala ini kecil kemungkinannya, karena semua barang/jasa yang dihasilkan perusahaan di atas sangat diperlukan oleh masyarakat luas. Jadi kemungkinana besar E3 adalah keadaan ekuilibrium di atas E2.4.2 Program menanggulangi kemiskinanDengan mengumpamakan subsidi harga dihilangkan, perekonomian Indonesia akan berada pada tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan APBN/APBD bebas dari beban subsidi harga. Jumlah dana yang bisa dihemat adalah sebesar beban subsidi harga APBN/APBD dan tambahan pajak yang diterima oleh pemerintah dari kenaikan produksi nasional. Kalau kita merujuk apa yang dikatakan oleh Juan Somavia pada UN World Summit for Social Developmenttahun 1995 bahwa urusan yang belum terselesaikan untuk abad 21 adalah pengentasan kemiskinan , maka hal ini searah dengan MDGs (millennium development goals) yang merupakan prioritas pembangunan ekonomi Indonesia dewasa ini. Atau, dengan kata lain, dana dari subsidi tersebut sebaiknya dipergunakan untuk membiayai usaha usaha pengentasan kemiskinan, terutama penerapan amanah pasal 34 UUD, yakni fakir miskin dipelihara negara. Tidaklah mungkin kemiskinan itu hilang tanpa menangani masyarakat fakir miskin, yang telah lebih dari 60 tahun merupakan gagasan luhur dari para pendiri republic ini. Atau, dengan kata lain, dana dari subsidi dipergunakan untuk menutup jurang kemiskinan, (poverty gap). Berapakah jumlah orang miskin yang dapat diangkat menjadi tidak miskin oleh dana subsidi tersebut?4.2.1 Garis kemiskinanAda dua garis kemiskinan , yakni garis kemiskinan internasional dan garis kemiskinan local. Garis kemiskinan internasional ini tidak mengenal tapal batas negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara, dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara, dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar PPP (purchasing power parity). Garis kemiskinan ini ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara rill. Gagasan yang mendasari penetapan garis ini adalah satu standar minimum dimana seorang hidup dalam kesengsaraan absolute manusia yaitu ketika kesehatan seseorang sangat buruk (Todaro dan Smith, 2003;231).Tentu saja orang tidak akan menerima begitu saja garis kemiskinan internasional sebesar US$1 per hari. Salah satu strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan local adalah dnegan menetapkan sekelompok makanan yang cukup, yang didasarkan atas persyaratan nutrisi dari penelitian medis tentang kalori, protein, dan mikro nutrient yang dibutuhkan tubuh. Kemudian, dengan menggunakan data survey rumah tangga local, dapat diidentifikasi sekelompok makan yang biasa dibeli oleh rumah tangga yang hampir tidak memenuhi persyaratan nutrisi ini. Selanjutnya ditambahkan pengeluaran-pengeluaran kebutuhan dasar yang lain seperti, pakaian, tempat tinggal, dan sarana kesehatan untuk menentukan garis kemiskinan local. Dengan demikian kebutuhan kalori minimum 2100 gram per hari, dan kemudian mengonversinya dengan kebutuhan pokok beras, Profesir Sajogyo memproleh garis kemiskinan local (Indonesia) sebesar 360kg beras untuk daerah perkotaan dan 240 kg beras untuk daerah pedesaan(lihat Booth dan MCcAWLEY, 1990;274). Dalam tulisan ini dipergunakan garis kemiskinan Indonesia sebesar rata rata perkotaan dan pedesaan sebesar 300 kg beras dengan harga beras dewasa ini Rp. 6000 per kg atau 1.800.000,00. Mereka dengan pendapatan kurang dari RP 1.800.000,00 digolongkan masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan.4.2.2 Jurang kemiskinan (JK)Jurang Kemiskinan (JK) adalah total penghasilan yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang ,masih diibawah garis kemiskinan ke atas garis itu.

Pada gambar 1 sumbu vertical menunjukkan penghasilan dalam jutaan rupiah, sedangkan sumbu horizontal menunjukkan penduduk yang dilukiskan dengan dua skala, persentase dari jumlah penduduk dan dalam jutaan orang. Kurva penghasilan per kapita per tahun memotong garis kemiskinan dari bawah ke atas. Semua individu yang mempunyai tingkat penghasilan per kapita per tahun lebih rendah dari garis kemiskinan termasuk mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kalau semua dari mereka yang berada di bawah garis kemiskinan diberikan bantuan sehingga mereka berada pada garis kemiskinan, jumlah bantuan tersebut dinamakan jurang kemiskinan. Dalam gambar 1 diberikan warna gelap dan diberi label JK.Untuk mengetahui berapa persen dari penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin bukanlah hal yang mudah. Kita harus mengetahui penghasilan per kapita per tahun dari semua penduduk, menentukan siapa saja yang mempunyai penghasilan per kapita per tahun yang lebih kecil dari garis kemiskinan(criteria sayogyo Rp.1.800.000,00) kemudian menjumlahkannya dan membaginya dengan jumlah penduduk Indonesia. Perhatikan beberapa scenario berikut:(i) Skenario 1Penduduk miskin diumpamakan tidak mempunyai penghasilan , dan yang tidak miskin mempunyai penghasilan per kapital per tahun setidaknya sama dengan garis kemiskinan (Rp.1.800.000). dalam keadaan demikian ini, dana yang tersedia dapat mengubah penduduk miskin menjadi tidak miskin sejumlah 100 triliun dibagi 1.800.000 = 55,5 juta orang atau sekitar 25% dari jumlah penduduk .

(i).Skenario 1RP(juta)Penghasilan1,8Garis kemiskinan% 02550100 juta orang 055,5110220 juta orangPendudukGambar 2100 T*semua orang miskin tidak berpenghasilan*dana subsidi 100T ripiah*mengangkat 55,5 juta orang miskin atau 25% dari jumlah penduduk.

(ii) Skenario 2Tampaknya sangat tidak logis untuk mengatakan bahwa penduduk miskin mempunyai penghasilan per kapital per tahun sebesar nol rupiah, sebab kalau demikian halnya mereka mestinya telah mati . lagi pula penduduk miskin pada umumnya bersedia mengambil pekerjaan apa saja untuk bertahan hidup. Dalam skenario ini , diumpamakan semua penduduk miskin mempunyai penghasilan perkapital per tahun sebesar Rp 800.000 sehingga pemerintah hanya perlu menambah dengan Rp 1.000.000 agar mereka tidak miskin lagi . 100 triliun dibagi Rp. 1.000.000 = 100 juta orang atau sekitar 45% dari jumlah penduduk.

(ii). Skenario 2 RP(juta)Penghasilan1,8 0,8Garis kemiskinan% 045100 juta orang 0100220 juta orangPendudukGambar 3100 T*semua orang miskin berpenghasilan RP 0,8 juta *dana subsidi 100 T rupiah *mengangkat 100 juta orang miskin menjadi tidak miskin , atau 45% dari penduduk.

(iii) Skenario 3Kalau 10% dari jumlah penduduk (22 juta orang) adalah fakir miskin , dan mereka diumpamakan tidak mempunyai penghasilan , sedangkan penghasilan penduduk lainnya berpariasi dari nol sampai sebesar garis kemiskinan ( membentuk satu garis diagonal ). Untuk mengubah kelompok fakir miskin menjadi tidak miskin diperlukan dana 22 juta kali RP. 1.800.000 , yakni sebesar 39,6 triliun rupiah . sisa dana 60,4 triliun rupiah dan ini mampu membalik orang miskin menjadi tidak miskin sejumlah 67,1 juta orang . jumlah seluruh orang miskin yang dibalik menjadi tidak miskin adalah 22 juta + 67,1 juta orang = 89,1 juta orang atau 40,5 % dari jumlah penduduk.

(iii).Skenario 3 RP(juta)1,8PenghasilanGaris kemiskinan% 01040,5100 juta orang 02289,1220 juta orangPendudukGambar 4*10 % orang miskin (fakir miskin) tidak berpenghasilan , sisanya berpenghasilan secara proposional.*dana subsidi 100 T rupiah *mengangkat 89,1 juta orang miskin atau 40,5% dari penduduk.100 T

(iv) Skenario 4Semua penduduk miskin diumpamakan mempunyai penghasilan per kapital per tahun dari nol rupiah sampai dengan garis diagonal. Dalam keadaan demikian ini , dana yang tersedia dapat mengubah penduduk miskin menjadi tidak miskin sekitar 111 juta orang atau sedikit di atas 50 % dari jumlah penduduk.

(iv).Skenario 4RP(juta)1,8PenghasilanGaris kemiskinan% 0 50100 juta orang 0 111 220 juta orangPendudukGambar 5*semua orang miskin berpenghasilan RP 0,8 juta *dana subsidi 100 T rupiah *mengangkat 100 juta orang miskin menjadi tidak miskin , atau 45% dari penduduk.100T

Skenario manapun yang dipilih dari semua skenario tersebut , tampaknya bahwa dana yang dihemat karena menghapus subsidi harga untuk energi pada APBN 2009 mampu menghilangkan penduduk miskin setidaknya 50 juta orang dan maksimum sebesar 111 juta orang . kalau jumlah orang miskin yang sesungguhnya di perekonomian indonesia masih berada pada kisaran angkat tersebut , maka menghapus subsidi harga energi akan menghilangkan penduduk miskin di indoneia . indonesia bebas dari kemiskinan. 5. Resistensi5.1 Harga bahan makanan dan bukan bahan makananKenaikan BBM selalu diikuti oleh penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Penolakan ini terjadi karena menolak dikurangi (dihapuskannya) subsidi BBM yang akan mengakibatkan kenaikan harga-harga umum (inflasi) yang dapat merugikan masyarakat luas. Kita harus bisa membedakan antara barang yang termasuk bahan makanan seperti kacang, kedelai, makanan jadi dan sebagainya, sedangkan yang termasuk non bahan makanan seperti pakaian, sepatu, barang elektronik, televise, mobil, dan sebagainya.Berdasarkan teori ekonomi bahwa harga suatu barang tidak hanya ditentukan oleh harga pokok untuk membuat/menyediakan barang tersebut, melainkan aoleh interaksi antara permintaan dan penawaran. Dalam hal ini elastisitas akan barang tersebut memegang peran penting.Untuk bahan makanan cenderung harganya terdorong ke atas, sedangkan bahan non makanan cenderung bisa menurun. Dalam jangka pendek, di mana penghasilan nasional tetap dan jumlah pengeluaran untuk banhan makanan meningkat, maka jumlah dana yang masih tersisa untuk pengeluaran bahan non makanan akan semakin kecil dari sebelum ada kenaikan BBM.5.2 Kelompok masyarakat yang resistenMereka yang tergolong ikut demontrasi menolak kenaikan BBM terdiri dari para mahasiswa, buruh dan masyarakat pada umumnya, termasuk, barangkali, mereka yang tergolong pada masyarakat golongan atas. Mahasiswa digolongkan sebagai masyarakat menengah. Masyarakat golongan bawah apabila mereka ikut dalam demontrasi tujuannya hanyalah ikut-ikutan saja, karena mereka hanya sebagai pengguna marginal. Hanya sebagaian kecil yang mendemonstarikan kenaikan BBM dari kalangan bawah, melainkan dari golongan menengah ke atas yang paling banyak. Lalu apakah yang diperjuangkan oleh mereka? Atau benarkah demi kepentingan rakyat kecil/banyak?Mereka yang golongan menengah ke atas yang ikut melakukan demostrasi, dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip ekonomi penikmat yang seharusnya menanggung beban. Bagi masyarakat golongan bawah, tidak ada alasan ikut berdemontrasi karena mereka bukan pengguna utama, sebagian besar kenaikan harga BBM dinikmati oleh mereka. Pemerintah telah mencanangkan bahwa subsidi BBM akan digunakan untuk mereka melalui berbagai program pengentasan kemiskinan.6. Suatu KontroversiAdapun argumentasi yang pro akan kenaikan BBM yaitu dapat meningkatkan dan menggiatkan sektor ekonomi riil. Dengan adanya subsidi maka masyarakat mempunyai uang yang lebih banyak untuk berbagi jenis pengeluaran yang akan membantu menggerakan sektor ekonomi riil. Jika jumlah pengeluaran masyarakat tinggi (karena ada subsidi harga) maka dapat mendorong tingkat harga naik. Sektor riil dapat digerakan dengan perlu dilakukannya subsidi barang yang ditujukan kepada sektor industry yang masih bayi (infant industry). Jadi subsidi harus diberikan kepada industri kecil untuk membantu perkembangan industri kecilnya, seperti bebas bea impor hanya untuk perusahaan yang tergolong lemah, atau berhak menerima BBM bersubsidi asalkan perusahaan tersebut termasuk perusahaan lemah yang perlu mendapatkan perlindungan.

DAFTAR PUSTAKA

http://labanursongo.blogspot.com/2010/12/makalah-kemiskinan.html (diakses tanggal 14 Februari 2015)Nehen, Ketut. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press

1