5
Dokter bukan Tuhan! Ini Kasus Malpraktek yang Dipidana Kamis, 28 November 2013 07:55 WIB Sama dengan profesi lain, kelalaian menjalankan tugas sebagai seorang dokter tidak hanya berbuah sanksi karena telah melanggar kode etik keprofesian. Tetapi juga bisa dijerat pidana. Berbagai undang-undang siap menjerat dokter jika melakukan malpraktik. Sebut saja KUHP, UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan. Satu sisi dokter memang bukan Tuhan yang kebal hukum, tetapi di sisi lain dokter juga bukan Tuhan yang bisa menjamin kesembuhan sang pasien. Berikut 3 kasus dokter dipidana karena malpraktik: 1. dr Taufik dihukum karena kain kasa ketinggalan di perut pasien Pada 2010 Mahkamah Agung (MA) memvonis dr ×Taufik Wahyudi Mahady yang berpraktik di Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda Tingkat III dengan hukuman 6 bulan penjara. Taufik terbukti bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara waktu, yang di lakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjaan sebagaimana diatur Pasal 360 ayat (1) KUHPidana Jo Pasal 361 KUHPidana. Perbuatan yang menyebabkan luka itu adalah kealpaan ×Taufik dalam menangani operasi persalinan (caesar) Rita Yanti. Saat penutupan operasi, sang dokter lupa mengambil kasa yang digunakan untuk menutup luka, sehingga benda tersebut tertinggal di dalam perut. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kain kasa sepanjang lebih kurang 20 x 10 cm yang sudah sangat bau di perut Rita. Karena benda ini, pemulihan ×Rita pasca-operasi tak kunjung datang, bahkan dia harus berlarut-larut dalam kesakitan. 2. dr ×Wida Parama tak awasi suntikan yang bikin kejang batita Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi jaksa atas kasus malpraktik dengan terdakwa dr Wida Parama Astiti. Terdakwa terbukti telah melakukan malpraktik sehingga pasien berusia 3 tahun meninggal dunia. Akibatnya, dia dijatuhi 10 bulan penjara. Kasus ini bermula saat dr ×Wida menerima pasien Deva Chayanata (3) pada 28 April 2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. Deva datang diantar orangtuanya karena mengalami diare dan kembung. Melihat kondisi pasien, dr ×Devalangsung memberikan tindakan medis berupa pemasangan infus, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap. Esokan harinya, dr ×Wida meminta kepada perawat untuk melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat tindakan medis diambil, dr ×Wida berada di lantai 1 dan tidak melakukan pengawasan terhadap perawat. Setelah disuntik, ×Deva kejang-kejang. Akibat hal ini, ×Devapun meninggal dunia. 3. dr Ayu dkk dihukum karena malpraktik saat operasi persalinan Mahkamah Agung menjatuhkan vonis kasasi terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dua dokter lainnya, dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian berupa hukuman 10 bulan penjara. Putusan bernomor 365K/Pid/2012 tersebut sontak membuat para dokter di seluruh Indonesia ikut simpati dan mendukung dr Ayu dengan melakukan aksi mogok nasional.

Dokter bukan Tuhan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dokter bukan Tuhan

Dokter bukan Tuhan! Ini Kasus Malpraktek yang DipidanaKamis, 28 November 2013 07:55 WIB

Sama dengan profesi lain, kelalaian menjalankan tugas sebagai seorang dokter tidak hanya berbuah sanksi karena telah melanggar

kode etik keprofesian. Tetapi juga bisa dijerat pidana.

Berbagai undang-undang siap menjerat dokter jika melakukan malpraktik. Sebut saja KUHP, UU Praktik Kedokteran dan UU

Kesehatan. Satu sisi dokter memang bukan Tuhan yang kebal hukum, tetapi di sisi lain dokter juga bukan Tuhan yang bisa menjamin

kesembuhan sang pasien.

Berikut 3 kasus dokter dipidana karena malpraktik:

1. dr Taufik dihukum karena kain kasa ketinggalan di perut pasien

Pada 2010 Mahkamah Agung (MA) memvonis dr ×Taufik Wahyudi Mahady yang berpraktik di Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda

Tingkat III dengan hukuman 6 bulan penjara. 

Taufik terbukti bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga

berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara waktu, yang di lakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjaan

sebagaimana diatur Pasal 360 ayat (1) KUHPidana Jo Pasal 361 KUHPidana.

Perbuatan yang menyebabkan luka itu adalah kealpaan ×Taufik dalam menangani operasi persalinan (caesar) Rita Yanti. Saat

penutupan operasi, sang dokter lupa mengambil kasa yang digunakan untuk menutup luka, sehingga benda tersebut tertinggal di

dalam perut.

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kain kasa sepanjang lebih kurang 20 x 10 cm yang sudah sangat bau di perut Rita. Karena

benda ini, pemulihan ×Rita pasca-operasi tak kunjung datang, bahkan dia harus berlarut-larut dalam kesakitan.

 

2. dr ×Wida Parama tak awasi suntikan yang bikin kejang batita

Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi jaksa atas kasus malpraktik dengan terdakwa dr Wida Parama Astiti. Terdakwa terbukti telah

melakukan malpraktik sehingga pasien berusia 3 tahun meninggal dunia. Akibatnya, dia dijatuhi 10 bulan penjara.

Kasus ini bermula saat dr ×Wida menerima pasien Deva Chayanata (3) pada 28 April 2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian

Husada, Sidoarjo, Jatim. Deva datang diantar orangtuanya karena mengalami diare dan kembung. Melihat kondisi pasien,

dr ×Devalangsung memberikan tindakan medis berupa pemasangan infus, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap.

Esokan harinya, dr ×Wida meminta kepada perawat untuk melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat tindakan medis diambil,

dr ×Wida berada di lantai 1 dan tidak melakukan pengawasan terhadap perawat. Setelah disuntik, ×Deva kejang-kejang. Akibat hal

ini, ×Devapun meninggal dunia.

 

3. dr Ayu dkk dihukum karena malpraktik saat operasi persalinan

Mahkamah Agung menjatuhkan vonis kasasi terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dua dokter lainnya, dr Hendry Simanjuntak

dan dr Hendy Siagian berupa hukuman 10 bulan penjara. Putusan bernomor 365K/Pid/2012 tersebut sontak membuat para dokter di

seluruh Indonesia ikut simpati dan mendukung dr Ayu dengan melakukan aksi mogok nasional.

Apa yang membuat MA menganulir putusan Pengadilan Negeri Manado yang membebaskan ketiganya dari jeratan hukum?

Dalam salinan putusan MA yang dikutip merdeka.com, Rabu (27/11), majelis hakim yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar memutuskan

bahwa hakim tingkat pertama dan tingkat banding salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal

yang relevan secara yuridis. Yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion

Kristanto, bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah

Page 2: Dokter bukan Tuhan

lemah dan status penyakit korban adalah berat.

"Para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, para terdakwa tanpa menyampaikan

kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban," demikian petikan putusan MA.

Perbuatan para terdakwa tersebut yang melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang kemudian terjadi emboli udara yang

masuk ke dalam bilik kanan jantung, akhirnya menghambat darah masuk ke paru-paru. Kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan

selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.

"Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari

Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010."

Adapun hal yang memberatkan, sifat dari perbuatan para terdakwa itu sendiri yang mengakibatkan korban meninggal dunia.

Sementara hal-hal yang meringankan para terdakwa sedang menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis

Universitas Sam Ratulangi Manado. Para terdakwa juga belum pernah dihukum sebelumnya. [Merdeka]

http://theglobejournal.com/hukum/dokter-bukan-tuhan-ini-kasus-malpraktek-yang-dipidana/index.php

Merdeka.com - Seorang remaja berusia 14 tahun, Usman Permana, diduga menjadi korban malpraktik salah seorang dokter di sebuah rumah sakit di sekitar Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dugaan ini muncul lantaran mulut Usman membengkak pasca menjalani operasi di Rumah Sakit (RS) Medirosa, Cikarang.

Atas kejadian ini, keluarga Usman yang tinggal di Kampung Walahir Poncol RT 02/05, Desa Karang Raharja, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, mengadukan pihak RS tempat Usman dirawat dan dioperasi kepada Polres Bekasi.

Orang tua Usman, Rudi Suherman mengatakan, kondisi mulut anaknya semakin parah pasca menjalani operasi pada 9 April 2013 lalu. Sebelum dioperasi, kata dia, dokter memvonis Usman menderita tumor mulut.

"Sekitar tujuh bulan lalu mulai mengalami sakit. Karena semakin bengkak, kemudian kami bawa ke RS Medirosa Cikarang. Kata dokter kena tumor mulut," ujar Rudi di Bekasi, Rabu (5/6).

Rudi mengatakan, bocah kelas VIII di MTs Assuqiah, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi ini mulai dirawat sejak 8 April 2013. Pihak RS meminta keluarga Usman menyiapkan biaya sebesar Rp 20 juta.

Pihak keluarga menyanggupi dan mulai mencari dana untuk biaya operasi Usman. Setelah biayanya didapat, operasi kemudian dijalankan.

Usai dioperasi, keluarga rutin membawa Usman check up di rumah sakit tersebut. Tetapi, setelah hari keempat check up, dokter terkejut melihat kondisi mulut Usman yang semakin membengkak. Dokter pun akhirnya menyarankan Usman dirujuk ke RS Dharmais, Jakarta.

"Saat di RS Dharmais kami kesulitan, kata rumah sakit (Dharmais) surat rujukannya salah," ungkapnya.

Meski demikian, RS Dharmais tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan terhadap penyakit yang diderita anak kedua dari dua bersaudara tersebut.

Secara Terpisah, pihak RS Medirosa, Cikarang Selatan, melalui staf humas dan marketing, Sri Medali Dewi, mengaku masih mempelajari serta akan meminta klarifikasi dari dokter yang melakukan penanganan. Dalam waktu dekat ini, kata dia, pihaknya akan memberikan keterangan kepada media.

Diduga malpraktik, bocah 4 tahun alami benjolan di perut

Merdeka.com - Fidri Adrianoor, bocah berusia empat tahun, mengalami luka benjolan di bagian perutnya setelah menjalani operasi di Rumah Sakit Umum (RSU) Kotabatu, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, beberapa waktu lalu. Tidak terima dengan keadaan Fidri, keluarga pun melaporkan kasus ini ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).

Paman korban, Muhammad Hafidz Halim, menceritakan peristiwa itu berawal saat Fiqri mengalami demam tinggi. Keluarga kemudian membawa Fiqri ke RSUD Kotabatu pada 22 Juni 2013. Saat dibawa ke RSUD Kotabatu, dr Jon Kenedy memeriksa

Page 3: Dokter bukan Tuhan

dan mendiagnosis usus Fiqri terbelit karena makanan dan harus dioperasi.

"Keluarga menyetujui dan dilakukan operasi pada tanggal 23 Juni 2013," katanya kepada wartawan saat ditemui di Komnas PA, Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Kamis (11/7).

Hafidz melanjutkan, setelah dioperasi, keponakannya itu mengalami kejang-kejang sampai hari ketiga yang dirawat di ruang ICU. Melihat kondisi yang tak kunjung membaik, pihak keluarga mempertanyakan gejala kejang-kejang tersebut kepada dokter yang menangani operasi tersebut.

"Dokternya malah bilang gak apa-apa, nanti juga sembuh," ucap Hafidz.

Menurut Hafidz, pihak keluarga sempat meminta rujukan agar balita tersebut dipindahkan ke Rumah Sakit Ulin, Banjarmasin. Saat itu dokter tidak mengizinkan. Akan tetapi balita tersebut ditinggalkan tanpa kontrol dokter yang bersangkutan. 

Hafidz mengatakan kalau dokter justru meninggalkan pasiennya dengan pergi ke Australia. "Akhirnya permintaan kami dikabulkan, ponakan saya dirujuk ke rumah sakit di Banjarmasin," katanya.

Selama dipindah ke Rumah Sakit Ulin Banjarmasin, Fiqri mengalami koma selama 11 hari. Singkat cerita, setelah sadar keluarga membawa Fiqri ke pengobatan akupuntur. Sekitar dua bulan kemudian timbul benjolan sebesar biji kacang di sekitar tempat operasinya. Hafidz mengatakan pihak keluarga kembali mendatangi dokter yang menangani operasi di Kota Baru.

"Dokter cuma meminta kamu untuk menempel uang benggolan (uang koin) logam, atau nggak dioperasi aja lagi. Tapi kami tidak mau di operasi karena takut semakin parah," lanjutnya.

Seiring berjalan waktu, bekas benjolan kecil tersebut berubah menjadi sebesar genggaman tangan. Benjolan pada perut pasien akan timbul bila batuk atau diduga mengalami hernia incisional yang terjadi pada tempat operasi.

"Nah maka itu kami minta bantuan Komnas PA untuk membantu masalah kami, dan menuntut rumah sakit itu," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komnas PA Aris Merdeka Sirait mengatakan jika melihat dari runutan kronologi, pihaknya menduga rumah sakit tersebut melakukan pelanggaran kode etik kedokteran.

"Itu rumah sakit dibiayai dengan APBD tetapi bisa teledor seperti itu, kalau kita lihat dokter tersebut dapat dipidanakan karena telah terjadi malpraktik, karena menurut orang tuanya anak tersebut sampai tidak bisa operasi," tandasnya.

Dugaan malpraktik Bayi Edwin, RS Harapan Bunda bisa

dipidana

Merdeka.com - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait langsung mendatangi RS

Harapan Bunda begitu mendapat laporan dari Gonti Sihombing (34), ayah bayi Edwin Timothy Sihombing. Bayi 2,5 bulan itu

diamputasi jari telunjuk kanannya oleh tim medis RS Harapan Bunda karena mengalami pembusukan setelah diinfus.

Menurut Arist, kasus pemotongan jari kepada × Edwin  ini bisa mengarah dugaan malpraktik yang dilakukan oleh RS Harapan

Bunda.

"Jika dugaan itu benar, maka itu masuk tindak pidana. Dalam hal ini, kita akan menyurati × Kementerian Kesehatan , untuk

melakukan tindak lanjut. Bisa ditutup itu rumah sakit," kata × Arist  di kantor Komnas PA, usai mendatangi RS Harapan Bunda,

Rabu (10/4).

Dia memaparkan ada beberapa kejanggalan medis yang dilakukan dokter di rumah sakit tersebut yang menyebabkan telapak

tangan× Edwin  membengkak.

"Ada indikasi, ini malpraktik. Indikasi pertama, bayi × Edwin  dibawa ke RS Harapan Bunda pada 20 Februari 2013 karena sakit

flu. Namun oleh dr Lenny S Budi disuntikkan obat antikejang. Apa hubungannya sakit flu dengan suntikan antikejang?"

Indikasi kedua, dikatakan × Arist , adanya keanehan saat menginfus × Edwin  saat baru masuk ke RS harapan × Bunda  tanggal

20 Februari 2013. Dokter Lenny S Budi yang pertama memeriksa × Edwin sering kali memindahkan selang infus dari lengan

bayi tersebut.

"Pertama kali masuk × Edwin  diinfus di lengan sebelah kanan, lalu hari kedua di pindah ke lengan sebelah kiri. Puncaknya sang

dokter menginfus bayi × Edwin  di punggung telapak tangan kanan, yang menyebabkan pembengkakan sehingga membusuk,"

jelasnya.

Page 4: Dokter bukan Tuhan

Arist melanjutkan, kejanggalan lainnya adalah, cara dokter bedah tulang Zaenal Abidin yang mengamputasi jari telunjuk kanan

Edwin yang dinilai telah menyalahi prosedur dan kode etik dokter.

"Dokter yang namanya Zaenal itu main potong. Katanya dia dokter bedah tulang. Itu kita pertanyakan, kenapa main potong.

Tindakan memotong dengan gunting tanpa obat bius itu terindikasi malpraktik," kata Arist.

"Ada lagi, dokter Zaenal ini melakukan tindak amputasi di ruang rawat inap juga sudah membuktikan ada kesalahan prosedur

dan kode etik. Harusnya kan di ruang operasi," kata Arist menambahkan amputasi juga dilakukan tanpa ada persetujuan pihak

orangtua.

David Peterpan alami bocor empedu akibat malpraktek

Merdeka.com - Salah seorang personil band Peterpan, David Kurnia Albert (30) resmi melaporkan dokter RR dari Rumah

Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung yang diduga melakukan malpraktek terhadap dirinya, ke Mapolresta Bandung, Senin

(14/05/2012).

Keyboardis Peterpan datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Mapolrestabes Bandung didampingi oleh kuasa

hukumnya, Monang Saragih dan ayah kandungnya, Didi Albert.

Laporan David bernomor LP/1322/V/2012/JBR/Polrestabes dengan dasar pasal 360 KUHP jo Undang-undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang kesehatan.

Pasal tersebut menjelaskan tentang tindakan medis yang meskipun tidak sengaja tetapi menimbulkan luka berat bagi

pasiennya dan dapat dipidanakan.

Monang Saragih menuturkan, akibat operasi tersebut kliennya mengalami luka parah berupa kebocoran di bagian empedu.

"Selain itu, klien saya juga harus menjalani operasi perbaikan di Rumah Sakit Advent Bandung untuk membersihkan racun

akibat kebocoran empedu tersebut," katanya.

Dikatakannya, tindakan pihaknya melaporkan dr RR ke polisi akibat kelalaian berat dan ceroboh oleh dokter RSHS Bandung.

Sementara itu, × David  mengatakan terpaksa harus mengambil proses ini. Karena ia menilai pihak× Rumah Sakit  maupun

Dokter yang bersangkutan tidak pernah menanggapi secara serius.

"Semoga ada penyelesaian dan perhatian dari rumah sakit agar tidak menimpa orang lain lagi," ujar David. (kpl/dar)