3
Dyah Balitung Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 899911. Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah , Jawa Timur, bahkan Bali . Daftar isi [sembunyikan ] 1 Asal-Usul 2 Riwayat Pemerintahan 3 Akhir Pemerintahan 4 Kepustakaan [sunting] Asal-Usul Analisis para sejarawan, misalnya Boechari atau Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung. Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra. Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa. [sunting] Riwayat Pemerintahan Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama

Dyah balitung

  • Upload
    la-mone

  • View
    16

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dyah balitung

Dyah Balitung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang

memerintah sekitar tahun 899–911. Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Asal-Usul 2 Riwayat Pemerintahan 3 Akhir Pemerintahan

4 Kepustakaan

[sunting] Asal-Usul

Analisis para sejarawan, misalnya Boechari atau Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja

tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung.

Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang

menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai

Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.

Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan

Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa.

[sunting] Riwayat Pemerintahan

Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama

Page 2: Dyah balitung

Yawapura. Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.

Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah prasasti Telahap tanggal 11

September 899. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899.

Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua

yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota

yang dipegang oleh Mpu Daksa.

Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya

untuk memungut upah dari para penyeberang.

Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang

dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung.

Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan

Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya “korban”, sedangkan Bali artinya “persembahan”.

Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 berisi tentang anugerah kepada lima orang patih

bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya.

Pada tahun 907 tersebut Balitung juga memberikan desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya

yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.

[sunting] Akhir Pemerintahan

Pengangkatan Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan besar melahirkan rasa cemburu di hati Mpu Daksa, yaitu putra raja sebelumnya yang tentunya lebih berhak atas takhta Kerajaan

Medang.

Mpu Daksa yang menjabat sebagai Rakai Hino ditemukan telah mengeluarkan prasasti tanggal 21 Desember 910 tentang pembagian daerah Taji Gunung bersama Rakai Gurunwangi.

Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa, Rakai Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai

maharaja pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi dan awal pemerintahan Rakai

Page 3: Dyah balitung

Watuhumalang. Berdasarkan prasasti Plaosan, Rakai Gurunwangi diperkirakan adalah putra Rakai Pikatan.

Dyah Balitung berhasil naik takhta menggantikan Rakai Watuhumalang diperkirakan karena

kepahlawanannya menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Mungkin Rakai Gurunwangi yang menyimpan dendam kemudian bersekutu dengan Mpu Daksa yang masih

keponakannya (Rakai Gurunwangi dan Daksa masing-masing adalah anak dan cucu Rakai Pikatan).

Sejarawan Boechari yakin bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir akibat pemberontakan

Mpu Daksa. Pada prasasti Taji Gunung (910) Daksa masih menjabat sebagai Rakai Hino, sedangkan pada prasasti Timbangan Wungkal (913) ia sudah bergelar maharaja.