Upload
doandien
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
EFEK HEPATOPROTEKTIF JUS BUAH PEPAYA
(Carica papaya L.) PADA TIKUS JANTAN TERINDUKSI
PARASETAMOL
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Felix Manuel
NIM : 068114136
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
Skripsi
EFEK HEPATOPROTEKTIF JUS BUAH PEPAYA
(Carica papaya L.) PADA TIKUS JANTAN TERINDUKSI
PARASETAMOL
Yang diajukan oleh :
Nama : Felix Manuel
NIM : 068114136
telah disetujui oleh:
Tanggal : 6 Oktober 2010
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Pengesahan Skripsi Berjudul
EFEK HEPATOPROTEKTIF JUS BUAH PEPAYA (Carica papaya L.) PADA TIKUS JANTAN TERINDUKSI
PARASETAMOL
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Keberhasilan merupakan sesuatu yang tidak mudah, dan membutuhkan suatu perjuangan. Orang yang berusaha terus ketika gagal bukanlah orang yang gagal, tetapi orang yang berhenti berusaha ketika ia gagal adalah orang yang gagal.”
(Unnamed)
KARYA KECIL INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK :
TUHAN YESUS KRISTUS SUMBER PENGHARAPANKU
PAPI DAN MAMIKU
TEMAN-TEMANKU
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
10 Oktober 2010
vi
PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
oleh karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Efek Hepatoprotektif Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.) pada Tikus
Jantan Terinduksi Parasetamol” ini dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai
pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu,
penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt, selaku pembimbing utama skripsi ini atas segala
kesabaran untuk selalu mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi
masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini
3. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Wakil Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma dan penguji skripsi atas bantuan, masukkan dan
perhatian kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
4. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan, masukkan
dan perhatian kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
5. Agatha Budi Susiana, M.Si., Apt., selalu pembimbing akademik penulis atas
segala pendampingan, dukungan dan bimbingan selama ini.
vii
6. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku pimpinan laboratorium Farmasi
yang telah memberikan ijin penggunaan semua fasilitas laboratorium guna
penelitian skripsi ini.
7. Bapak dr. Yunadir yang telah membantu membuat preparat histologi dan
memberikan tips-tips dalam pengambilan dan pemotongan organ,
membuatkan preparat dengan cepat dan baik.
8. Bapak dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P. A. selaku pembimbing yang telah
membantu meneliti organ hasil penelitian ini dengan penuh kesabaran dan
perhatiannya.
9. Mas Parjiman, Mas Heru, Mas Kayat, Mas Yuwono, dan semua staf
laboratorium Farmasi yang telah bersedia membantu dan menemani selama
penelitian berlangsung, atas segala bantuan dan dinamika selama di
laboratorium.
10. Papi dan Mami, atas dukungan, kasih sayang, dan doa yang terbaiki sehingga
penulis tetap bersemangat dalam penyusunan skripsi ini.
11. Dita Maria Virginia atas segala doa, dukungan, semangat, motivasi, perhatian,
kasih sayang dan waktunya.
12. Rekan-rekan penelitian, Dewi, Tanti, Ricky, Jeffry, dan Gun atas bantuan,
kerjasama, perjuangan, dan suka duka yang dialami selama penelitian.
13. Ngapak Team, Anton, Aan, Jimmy, Yoki, Pungki, Jati, Jeffry, Yacob dan
Yosef atas kebersamaan, semangat, dan keceriaannya.
14. Teman-teman FKK B angkatan 2006 atas kebersamaan selama ini.
viii
15. Teman-teman UKF Basket Farmasi atas dukungan dan kebersamaan selama
ini.
16. Pihak-Pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan
satu persatu..
Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna
termasuk penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan
masukan demi kemajuan di masa yang akan datang. Penulis juga berharap bahwa
tulisan ini dapat memberikan sumbangan kecil bagi perkembangan ilmu
pengetahuan serta masyarakat.
Penulis
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 25 Agustus 2010
x
INTISARI
Telah dilakukan penelitian tentang efek hepatoprotektif jus buah pepaya
pada tikus jantan terinduksi parasetamol dengan tujuan memperoleh bukti ilmiah efek hepatoprotektif jus buah pepaya (Carica papaya L.) dan besarnya efek hepatoprotektif dari masing-masing dosisnya.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni yang dikerjakan mengikuti rancangan acak lengkap pola satu arah. Tiga puluh ekor tikus jantan dibagi secara acak dalam 6 kelompok dengan jumlah yang sama. Kelompok I diberi CMC Na 0,7% 0,15 g/kgBB. Kelompok II diberi suspensi paracetamol 0,9500 g/kgBB. Kelompok III-IV diberi jus buah pepaya dosis 10,65; 13,28; 16,56; dan 20,65 g/kgBB selama 6 hari secara peroral dan pada hari ke-7 diberi suspensi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB secara intraperitonial. Kemudian setelah 18 jam tikus diambil darahnya lewat sinus orbitalis mata untuk ditetapkan aktivitas GPT-serum. Kemudian tikus dikorbankan dan hatinya diambil untuk pembuatan preparat histologi, kemudian diberi skor menurut derajat kerusakannya. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk mencari persentase efek hepatoprotektif dan angka proteksinya. Distribusi data dianalisis dengan uji Saphiro-Wilk, dilanjutkan dengan uji ANOVA satu arah yang dilanjutkan dengan uji Scheffe, dan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus buah pepaya memiliki efek hepatoprotektif. Efek hepatoprotektif jus buah pepaya dosis 10,65; 13,28; 16,56; dan 20,65 g/kgBB secara berturut-turut adalah 9,07%, 71,54%, 78,35% dan 75,40% dan angka proteksinya secara berturut-turut adalah 37,10%; 40,32%; 53,23%; dan 56,45%.
Kata kunci: efek hepatoprotektif, angka proteksi, jus buah pepaya, Carica papaya L.
xi
ABSTRACT
An experimental research on the hepatoprotective effect of papaya (Carica
papaya L.) juice has been conducted on male rat induced by acetaminophen to get scientific evidence and the power of their respective dose.
This research was a pure experimental study of completely randomized one-way pattern design. Thirty male rats were randomly divided into 6 groups with the same amount. Group I was given 0,7% CMC Na 0,15 g/kgBW. Group II was given paracetamol suspension of 0,9500 g/kgBW. Group III-IV were given doses of papaya juice 10,65; 13,28; 16,56; and 20,65 g/kgBW for 6 days in peroral and on day 7 were given a dose of paracetamol suspension of 0,9500 g/kgBW in intraperitoneally. Then after 18 hours of rat blood drawn through the eye orbital sinus for serum GPT-determined activity. Then the rats were sacrificed and hearts were taken for making preparations for histology, then given a score according to the degree of damage. Distribution data were analyzed with Shapiro-Wilk test, followed by a one-way ANOVA followed by Scheffe test, and Kruskal-Wallis test followed by Mann-Whitney test with 95% confidence level..
The results showed that the papaya juice has a hepatoprotective effect. Hepatoprotective effects of papaya juice doses of 10,65; 13,28; 16,56; and 20,65 g/kgBB respectively are 9,07%, 71,54%, 78,35% and 75,40% and protection rates respectively are 37,10%, 40,32%, 53,23%, and 56,45%.
Key words: hepatoprotective effect, protection rates, papaya juice, Carica papaya
L.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………..... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………..... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………….. iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................................... v
PRAKATA………………………………………………………………….... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………. ix
INTISARI…………………………………………………………………..... x
ABSTRACT………………………………………………………………....... xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………..... xii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………..... xvi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xx
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………..... xxii
BAB I. PENGANTAR…………………………………………….................. 1
A. Latar Belakang…………………………………………..……………….... 1
1. Perumusan masalah.......…………………………………......……….... 4
2. Keaslian penelitian…………………………………………….......…… 4
3. Manfaat penelitian…………………………………………………..…. 5
B. Tujuan Penelitian........................................................................................... 5
BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA.............................................................. 6
A. Tanaman Pepaya .......................................................................................... 6
1. Sistematika tanaman pepaya ................................................................. 6
xiii
2. Morfologi tanaman............................................................................... 6
3. Nama daerah……………………………………………..................... 7
4. Kandungan kimia…………………………………………………….. 7
5. Kegunaan ............................................................................................ 8
B. Vitamin C.................................................................................................... 8
C. Vitamin E.................................................................................................... 10
D. Karetenoid.................................................................................................... 12
E. Anatomi dan Fisiologi Hati.......................................................................... 13
F. Patofisiologis Hepatitis.................................................................................. 16
1. Perlemakan hati……………………………………………………….. 18
2. Nekrosis hati…………………………………………………………... 19
3. Kolestasis……………………………………………………………… 21
4. Sirosis………………………………………………………………….. 22
G. Terapi Hepatitis dan Hepatotoksin.............................................................. 22
H. Parasetamol……………………….............................................................. 24
I. Metode Uji Hepatotoksisitas….................................................................... 30
J. Landasan Teori............................................................................................... 32
K. Hipotesis ....................................................................................................... 34
BAB III. METODE PENELITIAN.................................................................. 35
A. Jenis dan Rancangan Penelitian..................................................................... 35
B. Variabel Penelitian......................................................................................... 35
1. Variabel utama………………………………………………………….. 35
2. Variabel pengacau terkendali…………………………………………… 35
xiv
3. Variabel pengacau tak terkendali……………………………………… 36
C. Subyek dan Bahan Penelitian........................................................................ 36
D. Alat Penelitian……....................................................................................... 37
E. Tata Cara Penelitian ...................................................................................... 38
1. Penetapan konsentrasi jus buah pepaya Bangkok dan dosis maksimal-
nya……………………………………………………………………... 38
2. Penetapan dosis jus buah pepaya………………………………………. 39
3. Uji Pendahuluan……………………………………………………….. 39
a. Orientasi konsentrasi CMC Na sebagai pensuspensi parasetamol….. 39
b. Penetapan dosis hepatotoksik parasetamol…………………………. 40
c. Penetapan waktu kehepatotoksikan parasetamol mencapai maksimal 41
d. Penetapan lama praperlakuan jus buah pepaya……………………… 42
4. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji……………………………… 43
5. Pembuatan serum………………………………………………………. 44
6. Penetapan aktivitas GPT-serum………………………………………... 44
7. Pembuatan preparat histology sel hati………………………………….. 45
8. Pemeriksaan preparat histology sel hati………………………………… 45
F. Analisis Hasil……………………………………………………………….. 46
BAB IV . HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 47
A. Uji Pendahuluan………................................................................................ 47
1. Penentuan dosis hepatotoksik…………………………………………. 47
2. Penentuan waktu kehepatotoksikan parasetamol mencapai maksimal…. 49
3. Penentuan lama praperlakuan jus buah pepaya………………………… 51
xv
4. Penetapan dosis jus buah pepaya………………………………………. 52
B. Perbandingan Aktivitas GPT-serum tiap Kelompok..................................... 53
1. Kontrol negatif CMC Na 0,7% 0,15 g/kgBB………………………….. 53
2. Kontrol positif parasetamol 0,9500 g/kgBB…………………………… 54
3. Efek hepatoprotektif jus buah pepaya dosis 10,65; 13,28; 16,56 dan
20,65 g/kgBB pada tikus jantan terinduksi parasetamol……………… 60
C. Rangkuman Pembahasan............................................................................... 72
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 74
A. Kesimpulan................................................................................................... 74
B. Saran............................................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 76
LAMPIRAN...................................................................................................... 82
BIOGRAFI PENULIS...................................................................................... 174
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I. Prosedur penetapan aktivitas GPT-serum ............................................. 45
Tabel II. Aktivitas GPT-serum tikus pada selang waktu 24 jam setelah
pemberian parasetamol secara intra peritonial dengan dosis 0,750;
0,8255; 0,9086; 0,9500; 1,000 g/kgBB ................................................ 47
Tabel III. Hasil analisis statistik aktivitas GPT-serum untuk menilai perbedaan
tiap 2 dosis............................................................................................ 48
Tabel IV. Derajat kerusakan sel hati tikus pada selang waktu 24 jam setelah
pemberian parasetamol secara intra peritonial dengan dosis 0,7500;
0,8255; 0,9086; 0,9500 dan 0,1000 g/kgBB ....................................... 48
Tabel V. Aktivitas GPT-serum dan derajat kerusakan sel hati tikus setelah
pemberian parasetamol secara intra peritonial dengan dosis 0,9500
g/kgBB pada selang waktu 6, 12, 15, 18, 24 jam ………………......... 50
Tabel VI. Derajat kerusakan sel hati tikus setelah pemberian parasetamol
secara intra peritonial dengan dosis 0,9500 g/kgBB pada selang
waktu 12 jam dan 18 jam ..................................................................... 50
Tabel VII. Purata ± SE aktivitas GPT-serum tikus jantan setelah praperlakuan
jus buah pepaya 1 x sehari selama 6 hari yang diberikan secara per
oral berturut-turut terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB yang
diberikan secara intra peritonial…………………………………........ 56
xvii
Tabel VIII. Hasil analisis statistik derajat kerusakan hati setelah praperlakuan
jus buah pepaya 1 x sehari selama 6 hari yang diberikan secara per
oral berturut-turut terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB yang
diberikan secara intra peritonial……………………………………… 56
Tabel IX. Hasil uji statistik tingkat kerusakan hati berupa degenerasi melemak
pada tikus jantan setelah praperlakuan jus buah pepaya 1 x sehari
selama 6 hari yang diberikan secara per oral berturut-turut terinduksi
parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB yang diberikan secara intra
peritonial……………………………………………………….. 57
Tabel X. Hasil uji statistik tingkat kerusakan hati berupa nekrosis pada tikus
jantan setelah praperlakuan jus buah pepaya 1 x sehari selama 6 hari
yang diberikan secara per oral berturut-turut terinduksi parasetamol
dosis 0,9500 g/kgBB yang diberikan secara intra peritonial…........... 58
Tabel XI. Pengaruh praperlakuan jus buah pepaya 1x sehari selama 6 hari
berturut-turut terhadap histopatologi sel hati tikus terinduksi
parasetamol 0,9500 g/kgBB…………………………………………. 59
Tabel XII. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post)
pemberian parasetamol dosis 0,7500 g/kgBB………………………... 92
Tabel XIII. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post)
pemberian parasetamol dosis 0,8255 g/kgBB ……………………….. 93
xviii
Tabel XIV. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post)
pemberian parasetamol dosis 0,9086 g/kgBB………………………... 95
Tabel XV. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post)
pemberian parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB ………………………. 96
Tabel XVI. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post)
pemberian parasetamol dosis 1,0000 g/kgBB ………………………. 98
Tabel XVII. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post)
pemberian parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB ………………………. 108
Tabel XVIII. Data aktivitas GPT-serum pada pra perlakuan jus buah pepaya
sebelum (pre) dan sesudah (post) pemberian parasetamol dosis
0,9500 g/kgBB ………………………………………………………. 120
Tabel XIX. Data skoring derajat kerusakan hati pada uji pendahuluan orientasi
dosis hepatotoksik parasetamol ……………………………………... 128
Tabel XX. Data skoring derajat kerusakan hati pada uji pendahuluan orientasi
waktu pengambilan cuplikan darah setelah pemberian parasetamol
dosis hepatotoksik ……………………………………........................ 144
Tabel XXI. Data skoring derajat kerusakan hati pada Pra Perlakuan Jus Buah
Pepaya pada Tikus Jantan Setelah Pemberian Parasetamol Dosis Toksik
(0,9500 g/kgBB)……………………………………………………… 153
xix
Tabel XXII. Perhitungan skoring derajat kerusakan hati pada Pra Perlakuan Jus
Buah Pepaya pada Tikus Jantan Setelah Pemberian Parasetamol Dosis
Toksik (0,9500 g/kgBB)……………………………………………… 169
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur dasar hati........................................................ ..................... 16
Gambar 2. Perlemakan hati makrovaskuler ........................................................ 18
Gambar 3. Tipe nekrosis...................................................................................... 20
Gambar 4. Struktur parasetamol.......................................................................... 24
Gambar 5. Rangkuman sistem perubahan hayati parasetamol dan aneka
kemungkinan mekanisme kehepatotoksikan ................................... 29
Gambar 6. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan terinduksi parasetamol dosis
0,9500 g/kgBB................................................................................. 55
Gambar 7. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan setelah praperlakuan jus buah
pepaya dosis 10,65 g/kgBB terinduksi parasetamol dosis 0,9500
g/kgBB............................................................................................. 62
Gambar 8. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan setelah praperlakuan jus buah
pepaya dosis 13,28 g/kgBB terinduksi parasetamol dosis 0,9500
g/kgBB............................................................................................. 63
Gambar 9. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan setelah praperlakuan jus buah
pepaya dosis 16,56 g/kgBB terinduksi parasetamol dosis 0,9500
g/kgBB............................................................................................. 65
Gambar 10. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan setelah praperlakuan jus buah
pepaya dosis 20,65 g/kgBB terinduksi parasetamol dosis 0,9500
g/kgBB............................................................................................. 66
xxi
Gambar 11. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh
vitamin E (tokoferol)........................................................................ 69
Gambar 12. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh
β - karoten......................................................................................... 70
Gambar 13. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh
Likopen............................................................................................ 71
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto Buah Pepaya (Carica papaya L.)........................................... 82
Lampiran 2. Foto Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.)………………………. 82
Lampiran 3. Foto Penyuntikan Tikus…….......................................................... 83
Lampiran 4. Foto Pengambilan Organ Hati…………....................................... 83
Lampiran 5. Surat Keterangan Determinasi Tanaman Pepaya ......................... 84
Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan Histopatologis……….................................... 85
Lampiran 7. Data aktivitas gpt-serum dan hasil analisis statistik uji pendahuluan penentuan dosis hepatotoksik parasetamol............. 92
Lampiran 8. Data aktivitas gpt-serum dan hasil analisis statistik uji pendahuluan penentuan waktu pengambilan cuplikan darah setelah pemberian parasetamol dosis toksik (0,9500 g/kgBB)…... 108
Lampiran 9. Data aktivitas gpt-serum dan hasil analisis statistik pra perlakuan
jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada tikus terinduksi
parasetamol..................................................................................... 120
Lampiran 10. Data dan hasil analisis statistik skoring derajat kerusakan hati
pada uji pendahuluan orientasi dosis hepatotoksik
parasetamol..................................................................................... 128
Lampiran 11. Data dan hasil analisis statistik skoring derajat kerusakan hati
pada uji pendahuluan orientasi waktu pengambilan cuplikan
darah setelah pemberian parasetamol dosis toksik (0,9500
g/kgBB)……………………………………………………….. 144
xxiii
Lampiran 12. Data dan hasil analisis statistik skoring derajat kerusakan hati
pra perlakuan jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada tikus
jantan setelah pemberian parasetamol dosis toksik (0,9500
g/kgBB)………………………………………………………….. 153
Lampiran 13. Perhitungan % angka proteksi …………………………………. 169
Lampiran 14. Perhitungan dosis………………………………………………. 170
Lampiran 15. Perhitungan efek hepatoprotektif………………………………. 172
Lampiran 16. Perhitungan Konversi Dosis Untuk Manusia…………………... 173
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks
di dalam tubuh (Lu, 1995). Fungsi hati sangat penting terutama dalam
melaksanakan fungsi vital tubuh dan merupakan organ kunci regulasi homeostasis
dalam tubuh (Ward dan Daly, 2000). Menurut Husadha (1996) fungsi hati dibagi
atas empat macam : (1) fungsi pembentukan dan eksresi empedu, (2) fungsi
metabolik, (3) fungsi pertahanan tubuh dan (4) fungsi vaskuler hati. Sedangkan
fungsi utamanya adalah pembentukan dan ekskresi empedu (Price dan Wilson,
1984). Hati memegang peranan penting dalam proses metabolisme tiga bahan
makanan utama yaitu karbohidrat, protein dan lemak. Selain itu hati juga
memproduksi energi dan tenaga (Husadha, 1996). Contohnya, semua protein
plasma kecuali gama globulin disintesis oleh hati. Detoksifikasi dan inaktivasi
obat atau senyawa beracun lainnya dilakukan oleh hati. Dapat dikatakan bahwa
hati mempunyai fungsi pertahanan dan perlindungan bagi tubuh (Price dan
Wilson, 1994).
Dalam hubungannya dengan fungsi hati bagi kelangsungan hidup manusia
maka organ hati perlu mendapat perhatian serius, terutama dalam pencegahan
timbulnya penyakit hati. Penyakit hati dapat disebabkan oleh obat atau
hepatotoksin (termasuk alkohol), infeksi virus, dan reaksi imunogenik
(Williamson, Okpako , dan Evans, 1996).
2
Menurut Cadman (cit., Ladoangin, 2004) penelitian yang dilakukan pada
tahun 1960-1970 memberikan gambaran bahwa obat atau toksikan menyebabkan
kira-kira 10% dari seluruh kasus hepatitis atau kira-kira 20-30% dari kasus
penyakit hati akut. Hepatitis merupakan manifestasi klinis dari kerusakan hati
berupa peradangan pada hati (Jungueira dan Carneiro, 1980). Hepatitis dibagi
menjadi dua yaitu hepatitis akut dan kronik. Hepatitis akut merupakan proses
inflamasi yang dapat menyebabkan nekrosis sel hati. Hepatitis jenis ini dapat
disebabkan oleh adanya suatu infeksi virus, pemberian hepatotoksin atau zat yang
mempunyai efek toksik pada hati dengan dosis berlebihan atau dalam jangka
waktu lama (Zimmerman, 1978). Sedangkan hepatitis kronik merupakan kelainan
hati yang memperlihatkan proses peradangan dan nekrosis. Parasetamol
merupakan salah satu obat yang dapat menimbulkan kerusakan hati dan terbukti
dapat menyebabkan nekrosis sentrolubuler baik pada hewan uji maupun pada
manusia (Donatus, 1992). Dengan demikian, parasetamol dapat dipilih sebagai
senyawa model hepatotoksik dalam penelitian ini.
Hingga kini belum ada obat yang spesifik untuk mengatasi hepatitis.
Banyak obat yang diduga berkhasiat antihepatitis ditarik dari peredaran karena
khasiatnya tidak terbukti dan masih diragukan (Linawati, Apriyanto, Susanti,
Wijayanti, dan Donatus, 2006). Menurut Donatus (cit., Linawati dkk, 2006)
kelangkaan obat anti-hepatitis mungkin terkait dengan kerumitan sasaran terapi
maupun syarat obat idealnya. Sasaran terapi hepatitis dapat dikaji dari aspek
kuratif, aspek preventif, dan aspek suportif. Aspek kuratif meliputi penghilangan
virus penyebab, penanggulangan radang, dan perangsangan regenerasi sel. Aspek
3
preventif meliputi pencegahan komplikasi, pencegahan kekambuhan, dan
perlindungan hati dari aneka hepatotoksin. Aspek suportif meliputi pengelolaan
menu makanan, pemasokan sumber energi, pembangkit energi, dan pengelolaan
keaktifan fisik. Idealnya, obat hepatitis mampu memperlihatkan semua sifat
kuratif, preventif, dan suportif tersebut (Donatus,1992 cit., Linawati dkk, 2006).
Kerusakan hati dapat dicegah dengan mengkonsumsi buah buahan yang
mengandung β-karoten, likopen, vitamin C dan vitamin E sebagai antioksidan.
Senyawa antioksidan ini dapat mencegah kerusakan hati dengan cara
menyumbangkan elektron kepada radikal bebas yang merupakan salah satu
penyebab penyakit kanker hati.
Buah pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah tropis yang
banyak, murah, dan mudah didapatkan di seluruh pelosok nusantara. Pepaya
banyak mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh seperti vitamin C,
vitamin E, serta berbagai mineral seperti Na, Mg, Zn, K, dan Fe (Surahman dan
Darmajana, 2004). Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif,
mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer elektron ke dalam tokoferol
teroksidasi dan mengabsorbsi logam dalam saluran pencernaan (Levine, Dhariwal,
Elch, Wang, and Park, 1995). Dalam penelitian Pekiner (2003), vitamin E terbukti
memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Selain itu, pepaya juga memiliki
kandungan senyawa karotenoid seperti beta karoten dan lycopene (Chandrika,
Jansz, Wikramasinghe, and Warnasuriya, 2003) yang juga memiliki aktivitas
antioksidan.
4
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai efek hepatoprotektif pada jus buah pepaya. Untuk menguji
efek hepatoprotektif digunakan metode induksi menggunakan senyawa
parasetamol sebagai senyawa hepatotoksik yang dapat menginduksi terjadinya
kanker hati pada tikus jantan sebagai hewan uji dalam penelitian ini.
1. Perumusan masalah
Permasalahan yang akan diteliti adalah :
a. Apakah jus buah pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek hepatoprotektif ?
b. Seberapa besar efek hepatoprotektif dari jus buah pepaya (Carica papaya L.)
pada tiap dosis yang digunakan?
c. Seberapa besar angka proteksi dari jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada
tiap dosis yang digunakan?
2. Keaslian penelitian
Sejauh pengamatan penulis, sebelumnya telah dilakukan beberapa
penelitian mengenai manfaat buah papaya terhadap hepar (hati). Penelitian
tersebut adalah efek hepatoprotektif ekstrak biji kering buah papaya (Carica
papaya L.) pada tikus terinduksi karbon tetraklorida (Adeneye, Olagunju, Banjo,
Abdul, Sanusi, Sanni, Osarodion, and Shonoiki, 2009). Sepanjang pengetahuan
penulis, penelitian tentang efek hepatoprotektif dari jus buah pepaya (Carica
papaya L.) pada tikus jantan terinduksi parasetamol belum pernah dilakukan.
5
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Melengkapi informasi yang sudah ada tentang khasiat tanaman obat terutama
buah pepaya (Carica papaya L.) yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu
kefarmasian.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan kebenaran
kepada masyarakat mengenai efek hepatoprotektif buah papaya (Carica
papaya L.).
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :
1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan memberikan informasi tentang khasiat tanaman obat
terutama buah papaya (Carica papaya L.).
2. Tujuan khusus
a. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah jus buah pepaya
(Carica papaya L.) mempunyai efek hepatoprotektif pada tikus jantan
terinduksi parasetamol.
b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar efek
hepatoprotektif dan angka proteksi yang dimiliki jus buah papaya
(Carica papaya L.) tiap dosis yang digunakan.
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tanaman Pepaya
1. Sistematika tanaman pepaya
Dalam sistematika tumbuhan, tanaman pepaya (Carica papaya L.)
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Class : Dicotyledonae (biji keping dua)
Ordo : Caricales
Familia : Caricaceae
Genus : Carica
Species : Carica papaya L. (Warisno, 2003).
2. Morfologi tanaman
Batang pepaya dapat tumbuh hingga 10 m tingginya, lurus dan berbentuk
silinder dengan daun berparut yang mencolok, serta dapat menebal 30 – 40 cm
pada keadaan basa, menipis hingga 5 – 7,5 cm pada puncaknya. Daun – daun
tumbuh dari bagian teratas batang seperti terpilin, pada petiole terdekat yang
horizontal sepanjang 25 – 100 cm. Daun terbagi menjadi 5 – 9 lubos utama,
dengan variasi lebar 25 – 75 cm, dan memiliki tulang daun yang mencolok
7
berwarna kekuningan. Buah pepaya memiliki eksokarp (kulit) yang halus dan
tebal, mesokarp yang berdaging, dan dapat bentuk globose, ovoid, obovoid, dan
pyriform, panjangnya 7 – 35 cm, dan dengan bobot 0,25 – 10 kg (Ronse dan
Smets, 1999).
3. Nama daerah
Pepaya disebut juga gedang (Sunda), kates (Jawa), peute, betik,
ralempaya, punti kayu (Sumatra), pisang malaka, bandas, manjan (Kalimantan),
kalujawa (Kalimantan) serta kapalaya kaliki dan uti jawa (Sulawesi). Selain nama
daerah pepaya juga mempunyai nama asing yaitu : papaw tree, papaya, papayer,
melonenbaum, fan mu gua (Muhlisah, 2001).
4. Kandungan kimia
Daun pepaya mengandung enzim papain, alkaloid karpain, pseudokarpain,
glikosida, karposid, dan saponin. Buah Buah pepaya mengandung senyawa
karotenoid (vitamin A, beta karoten dan likopen), vitamin C (81,83 mg/100g) dan
vitamin E. Selain itu, juga terkandung mineral- mineral seperti Na, Mg, Zn, K,
dan Fe (Surahman dan Darmajana, 2004). Sedangkan menurut Tjandrawinata
(2003) pepaya mengandung likopen yang merupakan karotenoid yang tidak
mengandung cincin β-ionon dan sama sekali tidak memiliki aktivitas provitamin
A. Kandungan likopen dalam buah pepaya sebesar 2,0 - 5,3 g/100mg buah
pepaya (Tjandrawinata, 2003).
8
5. Kegunaan
Akar pepaya berguna untuk obat cacing, peluruh air seni, penguat
lambung, perangsang kulit. Biji pepaya berguna untuk obat cacing, peluruh haid.
Buah pepaya berguna memacu enzim pencernaan, serta daunnya berguna sebagai
penambah nafsu makan dan peluruh haid. Selain itu berguna pula untuk
menurunkan panas. Buah pepaya matang dikonsumsi dalam keadaan segar atau
sebagai pencuci mulut (Muhlisah, 2001).
Daun pepaya berguna untuk obat panas yang memiliki khasiat
menurunkan panas, obat malaria, menambah nafsu makan, meluruhkan haid dan
menghilangkan sakit. Juga berguna untuk penyembuhan luka bakar. Selain itu
dapat sebagai obat cacing kremi, desentri amoba, kaki gajah, perut mulas, kanker
dan masuk angin (Wijayakusuma, Dalimartha, Wirian, Yaputra, dan Wibowo,
1994).
B. Vitamin C
Vitamin C atau L-asam askorbat merupakan antioksidan yang larut dalam
air (aqueous antioxidant). Senyawa ini menurut Zakaria (1996) merupakan bagian
dari sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa oksigen reaktif dalam plasma dan
sel. Dalam keadaan murni, vitamin C berbentuk kristal putih dengan berat
molekul 176,13 dan rumus molekul C6H6O6. Vitamin C juga mudah teroksidasi
secara reversibel membentuk asam dehidro-L-asam askorbat dan kehilangan 2
atom hidrogen. Vitamin C memiliki struktur yang mirip dengan struktur
monosakarida, tetapi mengandung gugus enadiol. Beberapa jaringan dalam organ
tubuh seperti ginjal, liver, dan lensa mata mengandung vitamin C dengan kadar
9
10-50 kali lebih besar dibandingkan dengan yang ada di dalam plasma (Winarsi,
2007).
Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron dengan
cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Cu. Selain itu, vitamin C juga
dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan
ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di dalam
sel netrofil, monosit, protein lensa dan retina. Vitamin ini juga dapat berinteraksi
dengan Fe-ferritin. Di luar sel, vitamin C mampu menghilangkan senyawa
oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer elektron ke
dalam tokoferol teroksidasi dan mengabsorbsi logam dalam saluran pencernaan
(Levine dkk., 1995).
Vitamin C dapat menstimulasi kemotaksis dan respon proliferasi netrofil,
serta melindungi sel dari serangan radikal bebas yang diproduksi oleh netrofil
teroksidasi. Vitamin C mampu mereduksi radikal superoksida, hidroksil, asam
hipoklorida dan oksigen reaktif yang berasal dari netrofil dan monosit yang
teraktivasi. Reaksi askorbat dengan superoksida secara fisiologis mirip dengan
kinerja enzim superoksida dismutase (SOD) sebagai berikut
2O2- + 2H+ + askorbat 2H2O2
(Winarsi, 2007)
+ dehidroaskorbat
Sedangkan reaksinya dengan hidrogen peroksida dikatalis oleh enzim
askorbat peroksidase (Asada, 1992).
2H2O2 + askorbat 2H2
(Asada, 1992).
O + 2 monodehidroaskorbat
10
Pada umumnya, penggunaan vitamin C sebagai antioksidan berkombinasi
dengan sumber antioksidan lain seperti vitamin E. Vitamin C bekerja sinergis
dengan vitamin E. Vitamin E yang teroksidasi oleh radikal bebas dapat bereaksi
dengan vitamin C kemudian akan berubah menjadi tokoferol setelah mendapat ion
hidrogen dari vitamin C
Tokoferoksil radikal + askorbat tokoferol + monodehidroaskorbat
(Belleville-Nabet, 1996)
Monodehidroaskorbat secara spontan dapat mengalami dismutasi sebagai berikut.
2 Monodehidroaskorbat askorbat + dehidroaskorbat
Jika tidak, direduksi kembali menjadi askorbat oleh NADPH
monodehidroaskorbat reduktase sebagai berikut.
Monodehidroaskorbat + NAD(P)H askorbat +NAD(P)
(Winarsi, 2007)
C. Vitamin E
Vitamin E adalah salah satu fitonutrien penting dalam minyak makan.
Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang terdiri dari campuran
dan substansi tokoferol (α, β, γ dan δ) dan tokotrienol (α, β, γ dan δ). Menurut
Ascherio, Stampfer, Colditz, Rimm, Litin, dan Willet (1992), α-tokoferol
merupakan bentuk suplemen vitamin E yang paling banyak. Vitamin ini banyak
terdapat dalam membran eritrosit dan lipoprotein plasma (Winarsi, 2007).
Sebagai antioksidan vitamin E berfungsi sebagai donor ion hidrogen yang
mampu mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal
11
tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak
(Winarsi, 2007).
Reaksi awal dari peroksidasi unsaturated fatty acid disebabkan serangan
dari beberapa spesies radikal (seperti radikal hidroksil), yang memiliki reaktivitas
yang cukup untuk menarik atom H dari karbon metilen rantai samping
unsaturated fatty acid, membentuk radikal lipid (L•) (1). Dengan keberadaan O2
HO• + H → H2O + L•
(1)
,
radikal lipid yang dihasilkan kemudian dapat bereaksi membentuk radikal
peroksil lipid (LOO•) (2).
L• + O2 → LOO• (2)
Radikal peroksil yang terbentuk sangat reaktif dan sangat mudah mengalami
reaksi berantai. Radikal peroksil tersebut memerlukan tambahan atom H agar
menjadi stabil. Atom H ini dapat diperoleh dari molekul asam lemak (LH) yang
berada di dekatnya, yang kemudian akan terbentuk radikal lipid yang baru (L•)
dan reaksi berantai selanjutnya akan terjadi (3).
LOO• + LH → LO2H + L• (3)
Vitamin E dan senyawa antioksidan fenolik lainnya akan menghambat
reaksi 3 dan reaksi berantai yang terjadi terputus. Atom H dari gugus OH fenolik
pada vitamin E dapat berikatan dengan radikal peroksil lipid, sebelum radikal
tersebut menyerang asam lemak lainnya. Tokoferol sendiri akan menjadi senyawa
radikal bebas yang relatif stabil (α − T•) yang tidak mengalami reaksi radikal
berantai.
12
LOO• + α − T → LO2H + α − T• (4)
Reaksi di atas menunjukkan aktivitas vitamin E (α-Tokoferol) terhadap
radikal peroksil lipid (LOO•) (Pekimer, 2003).
Sedangkan radikal vitamin E diregenerasi oleh asam askorbat dengan reaksi
sebagai berikut
Vit E-O• + Asam Askorbat Asam Askorbat• + Vitamin E-OH
(Winarsi, 2007).
Corwin dan Gordon (1982) melaporkan bahwa pemberian vitamin E pada
tikus dapat meningkatkan sistem imun tubuh seperti terjadinya peningkatan
respon limfosit terhadap mitogen.
D. Karotenoid
Karotenoid merupakan golongan pigmen yang larut lipid dan tersebar luas,
terdapat dalam semua jenis tumbuhan. Pada tumbuhan, karotenoid mempunyai
dua fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai
pewarna dalam bunga dan buah. Dalam bunga, karotenoid biasanya berwarna
kuning, sedangkan dalam buah dapat juga berwarna jingga/merah (Harborne,
1987). Karotenoid tersusun atas β-karoten, likopen, lutein, zeaxanthin dan
cryptoxanthin (Winarsi, 2007).
Karotenoid yang penting untuk tubuh adalah beta karoten, karena
merupakan sumber vitamin A (setelah mengalami hidrasi dan molekulnya
terpecah menjadi dua) (Harborne, 1987). Beta karoten yang terdapat pada wortel,
papaya, sayur mayor yang berwarna kemerahan dan minyak kelapa sawit
berpotensi sebagai senyawa antioksidan. Beta karoten mempunyai dua peran,
13
yaitu sebagai prekursor vitamin A dan antioksidan. Dilihat dari strukturnya, beta
karoten mampu menangkal radikal bebas karena adanya ikatan rangkap konjugasi
yang panjang. Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam
arakhidonat dan menurunkan aktivitas lipooksigenase (Lieber dan Leo, 1999).
Likopen merupakan kandungan karotenoid lain dalam buah pepaya.
Likopen memiliki 40 karbon asiklik (C40H56) dengan 11 ikatan rangkap
terkonjugasi dan tidak mengandung cincin β-ionon dan sama sekali tidak
memiliki aktivitas provitamin A. Secara kimia dan fisika, likopen mendegradasi
karotenoid lain yang terpapar sinar, oksigen, suhu tinggi, pH ekstrem dan
permukaan aktif (Crouzet dan Kanasawud, 1992). Menurut Tjandrawinata (2003),
struktur molekul hidrokarbon likopen mempunyai banyak ikatan rangkap.
Senyawa ini diketahui memiliki potensi antioksidan paling besar, dua kali lebih
besar dibandingkan dengan β-karoten dan sepuluh kali lebih besar dibandingkan
dengan vitamin E. Likopen dapat menetralisir reaksi oksidasi yang terjadi pada
kolestrol LDL. Di samping itu data-data menunjukkan bahwa likopen juga dapat
menurunkan derajat peroksidasi lipid serta melindungi membran sel dari serangan
oksidan dan radikal bebas yang berasal dari NO2. Likopen juga dapat berinteraksi
dengan senyawa oksigen reaktif seperti H2O2 dan NO2
(Lu, Etoh, Watanabe, Ina,
Ukai, Oshima, Ojima, Sakamoto, dan Ishiguro, 1995)
E. Anatomi dan Fisiologi Hati
Hati terletak di bawah kubah kanan diafragma (Chandrasoma dan Taylor,
1991) dan merupakan organ plastik lunak yang dicetak oleh struktur di sekitarnya
14
dan merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh , rata-rata sekitar 1500 g atau 2,5%
berat badan pada orang normal (Price dan Wilson, 1994). Jika keadaan hati
normal, maka permukaanya halus dan lunak (Chandrasoma dan Taylor, 1991).
Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena
porta, dan dari aorta melalui arteria hepatika dan menerima 25% cardiac aoutput,
kira-kira 1500 ml darah per menit (Price dan Wilson, 1994, Linggapa, 1995).
Kedua pembuluh darah ini akan bertemu di hati, dan darah yang dbawa akan
keluar melalui vena sentralis menuju vena hepatika dan akhirnya sampai di vena
kava inferior (Linggapa, 1995).
Hati terdiri dari dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi
menjadi segmen anterior dan posterior, lobus kiri dibagi menjadi segmen medial
dan lateral (Husadha, 1996). Lobus kiri terletak di dalam apigastrium, tidak
dilindungi oleh tulang iga (Chandrasoma, 1995). Setiap lobus hati dibagi menjadi
lobulus yang merupakan unit fungsional (Husadha, 1996). Setiap lobulus
merupakan bentuk heksagonal yang terdiri dari lempeng-lempeng sel hati
berbentuk radial mengelilingi vena sentralis (Price dan Wilson, 1994). Diantara
lempengan sel hati terdapat kapiler yang dinamakan sinusoid (Gambar 1), yang
merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika dan dibatasi oleh sel fagositik
atau sel Kupffer (Gambar 1). Sel Kupffer merupakan sistem retikuloendotel dan
mempunyai fungsi utama menelan bakteri dan benda asing lain dalam tubuh
(Husadha, 1996). Menurut Treinen dan Moslen (2001) ada dua sel utama sinusoid
selain sel Kupffer yaitu sel endotel dan sel ito. Sel endotel penting dalam proses
transport lipoprotein dan denaturasi protein. Sel ito terletak antara sel endotel dan
15
hepatosit, berperan dalam sintesis kolagen dan merupakan tempat penyimpanan
utama vitamin A dalam tubuh .
Fungsi hati sangat penting terutama dalam melaksanakan fungsi vital
tubuh dan merupakan organ kunci regulasi homeostasis dalam tubuh (Ward dan
Daly, 2000). Menurut Husadha (1996) fungsi hati dibagi atas empat macam : (1)
fungsi pembentukan dan eksresi empedu, (2) fungsi metabolik, (3) fungsi
pertahanan tubuh dan (4) fungsi vaskuler hati. Sedangkan fungsi utamanya adalah
pembentukan dan ekskresi empedu (Price dan Wilson, 1984). Hati memegang
peranan penting dalam proses metabolisme tiga bahan makanan utama yaitu
karbohidrat, protein dan lemak. Selain itu hati juga memproduksi energi dan
tenaga (Husadha, 1996). Contohnya, semua protein plasma kecuali gama globulin
disintesis oleh hati. Detoksifikasi dan inaktivasi obat atau senyawa beracun
lainnya dilakukan oleh hati. Dapat dikatakan bahwa hati mempunyai fungsi
pertahanan dan perlindungan bagi tubuh (Price dan Wilson, 1994). Selain fungsi
detoksifikasi, hati juga berfungsi dalam mekanisme perlindungan tubuh. Fungsi
ini dilakukan oleh sel Kupffer yang terdapat pada dinding sinusoid hati, sebagai
sel endotel yang berkemampuan fagositosis yang sangat besar sehingga
membersihkan sampai 99% kuman yang ada dalam vena porta sebelum darah
menyebar melewati seluruh sinusoid. Hati juga mempunyai fungsi dalam
vaskuler, yaitu setiap menit hati mengalirkan 1200 cc darah portal ke dalam hati
melalui sinusoid hati, seterusnya darah mengalir ke vena sentralis dan menuju ke
vena hepatika selanjutnya masuk ke dalam vena kava inferior (Husadha, 1996).
16
Gambar 1. Struktur dasar hati (Chandrasoma dan Taylor, 1991)
F. Patofisiologi Hepatitis
Hepatitis merupakan manifestasi klinis dari kerusakan hati berupa
peradangan pada hati (Jungueira dan Carneiro, 1980). Secara popular dikenal juga
dengan istilah penyakit hati, sakit liver atau sakit kuning (Dalimartha, 1999).
Penyebabnya dapat berupa virus yaitu virus tipe A, tipe B, tipe non A, dan tipe
non B. Sedangkan penyebab lain dapat berupa induksi senyawa kimia, kelainan
proses fisiologis yang terjadi di dalam hati. Pada pemeriksaan klinik ditandai
dengan penurunan pelepasan sekresi empedu atau produk sel-sel hati yang lain
serta adanya pelepasan enzim-enzim tertentu dalam darah (Jungueira dan
Carneiro, 1980).
Hepatitis dapat dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain :
1. Hepatitis Akut
Hepatitis akut merupakan proses inflamasi yang dapat menyebabkan
nekrosis sel hati. Hepatitis jenis ini dapat disebabkan oleh adanya suatu infeksi
virus, pemberian hepatotoksin atau zat yang mempunyai efek toksik pada hati
17
dengan dosis berlebihan atau dalam jangka waktu lama (Zimmerman, 1978).
Hepatitis yang disebabkan oleh virus disebut sebagai hepatitis virus akut,
Hepatitis virus akut adalah hepatitis yang disebabkan adanya suatu infeksi
sistemik yang mempengaruhi hati. Agen virus yang telah diketahui yaitu : virus
hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus
hepatitis D (HDV) atau agen delta yang berhubungan dengan HBV dan virus
hepatitis E (HEV) (Isselbacher, 1995).
2. Hepatitis Kronik
Hepatitis kronik merupakan kelainan hati yang memperlihatkan proses
peradangan dan nekrosis. Hepatitis kronik merupakan suatu sindrom klinis dan
patologis yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi. Sedangkan sirosis
merupakan stadium akhir hepatitis kronik dan bersifat tidak terbalikkan yang
ditandai oleh fibrosis yang luas dan menyeluruh pada jaringan hati disertai dengan
pembentukan nodul. Hepatitis kronik pada pemeriksaan biokimiawi,
menunjukkan adanya peningkatan kadar bilirubin, transaminase dan globulin
serum (Abdurachman, 1996).
Menurut Zimmerman (1978), kerusakan hati akut dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu :
a. sitotoksik (hepatoseluler) yang berhubungan dengan kerusakan parenkim sel
hati, berupa steatosis (degenerasi melemak) dan atau nekrosis sel hati,
b. kolestatik, berupa hambatan aliran empedu dengan sedikit atau tanpa
kerusakan sel-sel hati,
18
c. campuran, berupa kombinasi dari kedua macam kerusakan sitotoksisk dan
kolestatik.
Sedangkan menurut Wenas (1996), perusakan hati dapat dibagi menjadi :
1. Perlemakan Hati
Perlemakan hati adalah keadaan dimana hati memiliki lemak melebihi 5%
dari berat hati itu sendiri. Dalam keadaan normal hati memiliki lemak hanya 5%
dari berat hati secara keseluruhan (Soemarto, 1996).
Gambar 2. Perlemakan hati makrovesikuler (Haschek, Wallig, dan Rousseaux,
2010)
Perlemakan hati dapat disebabkan oleh :
a. Alkohol atau biasa disebut perlemakan hati alkoholik (Alkoholic Fatty
Liver (AFL)) biasanya berupa makrovesikuler.
b. Non alkohol atau biasa disebut perlemakan hati non alkoholik (Non-
Alkoholic Fatty Liver (NAFL)).
Akumulasi lemak dalam sel hati dapat dibedakan menjadi degenerasi
melemak mikrovesikuler dan degenerasi melemak makrovesikuler. Dikatakan
19
degenerasi melemak mikrovesikuler jika sel-sel hati terisi butiran-butiran lemak
yang sangat kecil, yang tidak sampai mendesak inti sel. Sedangkan degenerasi
melemak makrovesikuler jika seluruh sel hati terisi butiran-butiran lemak
berukuran besar sehingga inti sel terdesak ke daerah perifer (Zimmerman, 1978).
2. Nekrosis Hati
Nekrosis hati merupakan kematian hepatosit. Perubahan morfologi awal
berupa edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma, dan disagregasi
polisom. Terjadi akumulasi trigliserida sebagai butiran lemak dalam sel
(Soemarto, 1996).
Pada dasarnya nekrosis hati adalah rusaknya susunan enzim pada sel,
dengan ciri adanya fragmen sel atau sel hati nekrotik tanpa pulasan inti atau tidak
tampaknya sel disertai reaksi radang. Tampak atau tidak tampaknya sisa sel hati
tergantung pada lama dan jenis nekrosis. Kelainan ini merupakan tingkat lanjut
dari degenerasi dan tidak reversible. Malnutrisi, deplesi glikogen dan anoreksia
menahun dapat merupakan predisposisi untuk nekrosis sel hati akobat
hepatotoksin (Lu, 1995).
Perbedaan bentuk kematian sel hati (nekrosis) tergantung dari jenis
penyakit hati (Chandrasoma, 1995). Chandrasoma (1995) membagi bentuk
kematian sel hati menjadi :
1. nekrosis fokal, merupakan kematian sel yang terjadi secara acak pada
sekelompok kecil parenkim dari semua area lobules hati. Umumnya terlihat
20
pada hepatitis yang disebabkan oleh virus, kerusakan akibat toksin, dan infeksi
oleh bakteri (Chandrasoma dan Taylor, 1991).
A B
C D
E
Gambar 3. Tipe nekrosis : (A) Nekrosis fokal. (B) Nekrosis sentrizonal. (C)
Nekrosis midzonal. (D) Nekrosis peripheral. (E) Nekrosis massif (Haschek, Wallig, dan Rousseaux, 2010)
21
2. nekrosis zonal, merupakan kematian sel yang terjadi di daerah tertentu pada
semua lobules hati. Jenis nekrosis zonal yaitu : nekrosis sentrizonal, nekrosis
midzonal dan nekrosis zonal peripheral. Nekrosis sentrizonal kematian sel-sel
termasuk sel-sel yang berada di sekeliling vena sentralis hepatika, terjadi pada
hepatitis viral, keracunan karbon tetraklorida dan klorofom. Nekrosis
midzonal terjadi pada penyakit kuning (yellow fever) dan jarang terjadi.
Sedangkan nekrosis zonal peripheral terjadi kematian sel-sel hati yang terletak
di sekeliling pembuluh porta, dan terjadi pada eklampsia dan keracunan fosfor
Chandrasoma dan Taylor, 1991).
3. nekrosis submasif dan massif, merupakan kematian sel hati yang meluas
melewati batas antara lobules, kadang menyebar antara area porta dan vena
sentralis. Nekrosis massif umumnya ditandai dengan penurunan ukuran hati
secara tiba-tiba, melunak, kuning dan lembek, dengan lapisan yang
mengkerut. Nekrosis massif biasanya disebabkan oleh virus hepatitis dan
jarang terjadi pada obat-obatan (seperti halotan, asetaminofen, isoniazid,
metildopa) atau bahan kimia beracun (seperti jamur Amanita phalloides,
klorofom, dan karbon tetraklorida) (Chandrasoma dan Taylor, 1991).
3. Kolestasis
Kolestasis merupakan jenis kerusakan hati yang bersifat akut dan lebih
jarang ditemukan dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis. Jenis
kerusakan ini sulit diinduksi pada hewan uji, kecuali jika digunakan steroid.
Mekanisme utama dari kolestasis adalah berkurangnya aktivitas ekskresi empedu
pada membrane kanakulus (Lu, 1995).
22
4. Sirosis
Sirosis hati merupakan penyakit hati yang ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat diseertai nodul yang terbentuk dari kumpulan
hepatosit. Sirosis biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel
hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul (Tarigan,
1996). Kerusakan sirosis bersifat tak terbalikan (Treinen dan Moslen, 2001).
Penyebab sirosis pada manusia biasanya disebabkan oleh konsumsi alkohol yang
besar (Lu, 1995).
G. Terapi Hepatitis dan Hepatotoksin
Pada kasus penyakit hati tersedia pilihan sasaran terapi yaitu antara
kuratif, preventif, suportif, atau menyeluruh. Terapi bersifat kuratif apabila terapi
penyakit hati menunjukkan keaktifan antiradang dan perangsangan regenerasi sel.
Bersifat preventif apabila terapi penyakit hati menunjukkan kemampuan
mencegah atau melindungi sel hati terhadap serangan ulang virus atau senyawa
endogen yang berpotensi sebagai hepatotoksin hakiki. Sedangkan terapi bersifat
suportif apabila sifat terapi sebagai pemasok sumber energi atau lebih bersifat
sebagai pendukung terapi utama, seperti kelaziman minum manis yang dianjurkan
bagi penderita penyakit hati (Donatus, 1992).
Secara klinis obat penyakit hati yang ideal harus menunjukkan angka
sembuh yang besar, serta angka kambuh, angka rawat inap dan angka efek
samping obat yang kecil. Obat hepatitis juga harus menunjukkan indeks terapi
yang relatif besar bila dilihat dari pertimbangan manfaat-resiko. Dengan
23
demikian, diperlukan obat ideal penyakit hati yang bersifat komprehensif. Konsep
obat tradisional mengarah pada penyembuhan yang komprehensif. Oleh karena
itu, fitofarmaka mempunyai kemungkinan untuk berperan sebagai obat hepatitis
(Donatus, 1992).
Hepatotoksin adalah zat yang mempunyai efek toksisk pada hati dengan
dosis berlebih atau diberikan dalam jangka waktu lama sehingga dapat
menimbulkan kerusakan hepar akut, subkronik, maupun kronik. Besar
kemungkinan rusaknya hati oleh hepatotoksin muncul sebagai akibat konsekuensi
logis peran utama hati dalam proses metabolism dan disposisi substansi asing
(Zimmerman, 1978).
Zimmerman (1978) membagi klasifikasi hepatotoksin ke dalam dua
golongan yang didasarkan pada mekanisme timbulnya penyakit hati, yaitu :
1. Hepatotoksin terramalkan
Merupakan golongan senyawa yang mempunyai sifat dasar toksik
terhadap hati, dan dapat menyebabkan hepatitis pada semua individu seperti
karbon tetraklorida dan klorofom. Prosesnya dikenal sebagai toksisitas-intrinsik
dan aksinya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung
jika obat induk atau bentuk metabolitnya langsung berikatan dengan komponen
membran sel dan merusak sel hati beserta seluruh organelnya, seperti ditunjukkan
oleh karbon tetraklorida. Sedangkan secara tidak langsung apabila obat induk atau
bentuk metabolitnya dalam menimbulkan luka hepatik dengan cara mengganggu
jalur metabolik-khas (misalnya tetrasiklin), atau mengganggu jalur ekskresi
hepatik (misalnya rifampisin) (Donatus, 1992).
24
Ciri-ciri golongan hepatotoksin terramalkan adalah :
a. angka kejadian pada individu tinggi dan beberapa diantaranya
menyebabkan luka pada ginjal dan organ lain
b. menghasilkan luka yang sama pada hewan percobaan
c. perkembangan dan tingkat kerusakan yang dihasilkan tergantung pada
dosis yang diberikan
d. masa laten singkat dan konsisten
2. Hepatotoksin tak terramalkan
Merupakan golongan senyawa yang mempunyai sifat dasar tidak toksik,
tetapi dapat menyebabkan penyakit hati pada individu yang hipersensitif terhadap
senyawa tersebut yang diperantarai oleh mekanisme alergi (misalnya golongan
sulfonamida dan halotan) atau karena keabnormalan metabolik menuju
penumpukan metabolit toksik (misalnya iproniazid dan isoniazid) (Zimmerman,
1978; Donatus, 1992). Menurut Donatus (1992) kerusakan hati yang ditimbulkan
oleh hepatotoksin golongan ini tidak dapat diprakirakan dan tak tergantung dosis.
Golongan hepatotoksin tak teramalkan mempunyai cirri-ciri yang merupakan
kebalikan dari senyawa hepatotoksin teramalkan (Zimmerman, 1978).
H. Parasetamol
Gambar 4. Struktur parasetamol (Anonim, 1979)
HO N C
H O
CH3
25
Parasetamol atau N-asetil-p-aminofenol merupakan derivat p-aminofenol
yang berbentuk serbuk hablur putih, tidak berbau, dan rasanya pahit. Khasiatnya
adalah sebagai analgetikum dan antipiretikum (Wilmana, 1995; Anonim, 1979).
Parasetamol dapat terdistribusi ke dalam hampir seluruh jaringan dan cairan badan
secara cepat dan luas (Wijoyo, 2001).
Parasetamol mengalami eleminasi terutama melalui proses bitransformasi
di hati dan ekskresi melalui urin. Pada kisaran dosis terapi (0,5-1 g, 3-4 kali
sehari) sebagian besar parasetamol terkonjugasi dengan asam glukoronat dan
sulfat, sisanya oleh sistem sitokrom P-450 MFO hati, dioksidasi menjadi
metabolit yang reaktif, N-asetil-para-benzokuinonimina (NAPBKI) (Grahame-
Smith dan Aronson, 1992; Gibson dan Skett, 1991). Dalam keadaan normal,
metabolit reaktif NAPBKI yang bersifat elektrofil tersebut secara prinsip dapat
secara cepat dinonaktifkan melalui konjugasi dengan glutation (GSH) yang
dikatalis oleh glutation S-tranferase (GST), misalnya GSTPi, menjadi produk
yang lebih larut dalam air, konjugat sistein dan merkapturat (Henderson, Wolf,
Kitteringham, Powel, Otto, dan Park, 2000; Waters, Wang, Redmond, Wu, Kay,
dan Bouchier-Hayes, 2001).
Hepatotoksisitas parasetamol dapat terjadi pada pemakaian dosis tunggal
sebesar 10-15 gram (150-200 mg/kgBB) (Lin dan Lu, 1997). Pada keadaan ini,
jalur glukoronidasi dan sulfatasi akan jenuh sehingga jalur sitokrom P-450
menjadi sangat penting. Namun, lama-kelamaan jalur ini juga akan jenuh karena
jumlah GSH hati yang terpakai lebih besar dari yang dibentuk ulang sehingga
terjadi penumpukkan metabolit reaktif NAPBKI (Mirochnitchenko, Weisbrot-
26
Lefkowitz, Reuhl, Chen, Yang, dan Inouye, 1999). Dengan kata lain jika
kandungan GSH hati dapat dihabiskan atau paling tidak berkurang menjadi 20-
30% harga normalnya, maka NAPBKI akan berikatan dengan makromolekul
protein sel hati, mengawali mekanisme tingkat molekul ketoksikan sel (Wijoyo,
2001).
Terdapat beberapa kemungkinan mekanisme reaksi parasetamol-
peroksidasi lipid. Yakni melalui jalur tekanan oksidatif seluler atau daur redoks.
Kemungkinan reaksi yang pertama adalah tekanan oksidatif seluler mungkin
berkaitan dengan kemampuan N-asetil-para-benzokuinonimina (NAPBKI)
sebagai suatu oksidan atau radikal bebas. Zat antara NAPBKI sebenarnya tidak
bersifat radikal bebas. Namun beberapa laporan memperlihatkan bahwa
parasetamol mungkin dapat mengalami oksidasi satu elektron menjadi zat antara
radikal N-asetil-para-semikuinonimina (NAPSKI) (de Vries, 1981 cit., Donatus,
1994). Terbentuknya radikal bebas NAPSKI, teoritis memungkinkan peroksidasi
fosfolipid atau oksidasi tiol protein (Albano dkk, 1985 cit., Donatus, 1994). Tetapi
hipotesis ini mempunyai kelemahan, sistem P-450 ternyata tidak mampu
mengkatalis oksidasi satu elektron parasetamol menjadi radikal NAPSKI (van de
Straat dkk, 1988 cit., Donatus, 1994). Selain itu karena potensial redoks NAPSKI
relatif tinggi, reduksi oksigen menjadi superoksida sulit terjadi. Kemungkinan
reaksi yang kedua adalah daur redoks. Berlangsungnya daur redoks metabolit
reaktif menuju ke peroksidasi lipid memerlukan pembangkitan jenis oksigen aktif,
anion superoksida. Zat antara NAPBKI terbukti tidak mampu membangkitkan
anion superoksida (Holme dkk, 1984, cit., Donatus, 1994). Untuk itu terdapat
27
beberapa hipotesis mekanisme pembangkitan superoksida, yakni melalui jalur :
(1) pembentukan radikal NAPSKI; (2) pembentukan radikal tiil; (3) tanggapan sel
atas awal luka jaringan (Donatus, 1994).
Diduga radikal NAPSKI mampu memindahkan satu elektron ke molekul
oksigen, menghasilkan anion superoksida dan NAPBKI (Rosen dkk, 1983 cit.,
Donatus, 1994). Superoksida kemudian dapat membangkitkan radikal hidroksil
melalui reaksi Fenton atas bantuan ion besi. Lebih lanjut radikal hidroksil akan
mengawali reaksi peroksidasi lipid (Younes dkk, 1986 cit., Donatus, 1994). Tetapi
hipotesis ini mengandung kelemahan, ternyata sistem P-450 tidak mampu
mengkatalis oksidasi satu elektron parasetamol menjadi radikal NAPSKI (van de
Straat dkk, 1988 cit., Donatus, 1994). Selain itu karena potensial redoks NAPSKI
relatif tinggi, reduksi oksigen menjadi superoksida sulit terjadi. Kemungkinan
reaksi yang kedua adalah daur redoks. Karena itu Bisby dan Tobassum (cit.,
Donatus, 1994) mempostulatkan hipotesis alternatif yaitu oksidasi satu elektron
tiol protein oleh NAPBKI akan menghasilkan suatu radikal tiil yang mampu
mereduksi oksigen menjadi superoksida, lebih lanjut radikal hidroksil dan POL.
Kemungkinan lain pembangkitan superoksida, justru tidak melibatkan sifat
oksidan NAPBKI, tetapi terkait dengan tanggapan sel atas awal luka jaringan.
Yakni, anion superoksida dan akhirnya radikal hidroksil dibangkitkan oleh sel-sel
darah yang menyerbu ke daerah jaringan luka, seperti makrofag-aktif (Laksin dan
Pilaro, 1986 cit., Donatus, 1994), dalam tanggapannya atas awal luka seluler
karena NAPBKI.
28
Hipotesis yang ketiga adalah tekanan oksidatif selular menuju gangguan
homeostasis Ca2+ dalam sel. Mekanisme antaraksi nirkovalen ini berkaitan erat
dengan oksidasi tiol protein dan status NADPH (Albano dkk, 1985 cit., Donatus,
1994). Peristiwa utamanya terjadi setelah kandungan glutation (GSH) –sitosol
terkuras, sehingga memungkinkan perubahan kandungan tiol protein (karena
arilasi atau oksidasi oleh toksin kimia) dan/atau status NADPH/ Nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate (NADP). Akibatnya homeostasis Ca2+ terganggu
(Ca2+ sitosol naik), sehingga enzim degradatif (fosfolipase atau protease) aktif,
lebih lanjut morfologi sitoskeletal hepatosit kacau (tersidik sebagai blebbing
membran plasma). Kenaikan Ca2+ mungkin juga mengaktifkan endonuklease,
fragmentasi DNA yang ekstensif, gangguan fungsi mitokondria, dan akhirnya
kematian sel (Orrenius dkk, 1989 cit., Donatus, 1994). Namun laporan Riley dkk
(cit., Donatus, 1994) mungkin dapat menggagalkan hipotesis ini, karena kenaikan
Ca2+ lebih mencerminkan fluoresensi produk peruraian NAPBKI daripada
homeostasis Ca2+.
Berbagai telaah di atas mengesankan bahwa mekanisme kehepatotoksikan
parasetamol belum sepenuhnya jelas. Yang sudah jelas kehepatotoksikan
parasetamol baru terjadi setelah jalur glukoronidasi dan sulfatasinya jenuh serta
kandungan GSH hati terkuras (Donatus, 1994). Rangkuman perkembangan
pengetahuan sistem perubahan hayati dan mekanisme kehepatotoksikan
parasetamol dapat dilihat pada gambar 5.
29
Peroksidasi lipid
GSH
terganggu
Luka awal sel
Tanggapan sel (peradangan)
NHCOCH3
OH
SCH3
Parasetamol-merkapturat
Urin
Nekrosis
NHCOCH3
O
O22- O2
R-SHGSH
R-SS-GR-SS-RR-SS-G
NADPH NADP
NCOCH3
O
O2-
O2-
Urin Urin
Gambar 5. Rangkuman sistem perubahanhh hayati parasetamol dan aneka kemungkinan mekanisme kehepatotoksikan (Donatus, 1994)
P-450 MFO
H2O2
•OH
•OH
H2O2
O22- Makrofag (neutrofil-aktif)
NAPSKI H2O2
•OH
•OH
H2O
NAPSKI NAPBKI
R-SH
NHCOCH3
OH
S-R
NHCOCH3
OH
S-G
Homeostatis Ca2+
HNCOCH3
OH
HNCOCH3
OC6H9O6
HNCOCH3
OSO3H
Parasetamol-glukoronida Parasetamol Parasetamol-sulfat
30
Menurut Oldham dan Bowen (cit., Wijoyo, 2001) kehepatoksikan
parasetamol dapat dicegah oleh senyawa antioksidan, seperti vitamin C, vitamin
E, karotenoid, dan senyawa golongan flavonoid.
Berdasarkan penelusuran hipotesis mekanisme kesitotoksikan parasetamol
(lihat gambar 5) maka pencegahan hepatotoksisitas parasetamol dapat dilakukan
dengan dua kemungkinan : (1) penghambatan spesies oksigen reaktif, dan
metabolit reaktif parasetamol (Wijoyo, 2001). (2) peningkatan proses penetralan
metabolit reaktif parasetamol (Wijoyo, 2001). Menurut Oldham dan Bowen (cit.,
Wijoyo, 2001) penghambatan spesies oksigen reaktif dapat dilakukan dengan
pemberian antioksidan, seperti vitamin C, vitamin E, karotenoid dan senyawa
golongan flavonoid serta enzim antioksidan alamiah seperti superoksid dismutase
(SOD) dan glutation peroksidase (GP) (Mirochnitche dkk, 1999).
I. Metode Uji Hepatotoksisitas
Kerusakan hati dapat dievaluasi dengan beberapa parameter, antara lain :
(1) uji enzim serum; (2) pemeriksaan asam amino dan protein; (3) perubahan
penyusun kimia dalam hati; (4) uji ekskretori hati; dan (5) analisis histologi
(Zimmerman, 1978).
1. Uji enzim serum
Pada kasus kerusakan hati, enzim akan dilepaskan ke dalam darah dari
sitosol dan organela subsel, seperti mitokondria, lisosom dan nukleus
(Zimmerman, 1978). Contoh enzim yang dilepaskan ke dalam darah adalah
enzim-enzim transaminase. Enzim ini merupakan yang paling utama dari
kelompok enzim di dalam hati yang level serumnya berubah selama gangguan
31
hepatoseluler, terutama pada kasus hepatitis akut (Plaa dan Charbonneau, 2001).
Transaminase terdiri dari glutamat piruvat transaminase (GPT) dan glutamat
oksaloasetat transaminase (GOT). Sebagian besar GOT terdapat di hati dan otot
rangka, serta tersebar ke seluruh jaringan. Meskipun enzim GPT terdapat pula
pada beberapa bagian jaringan, konsentrasi terbesarnya pada semua spesies adalah
di hati sehingga GPT merupakan petunjuk yang lebih spesifik terhadap nekrosis
hati daripada GOT (Zimmerman, 1978; Plaa dan Charbonneau, 2001). Pada
keadaan nekrosis, sel hati akan pecah sehingga enzim GPT yang terdapat di dalam
sel hati keluar dan masuk ke dalam aliran darah. Peningkatannya bisa mencapai
10-100 kali lipat dari harga normal (Zimmerman, 1978).
2. Pemeriksaan asam amino dan protein
Menurut Zimmerman (1978) pemeriksaan asam amino dan protein
penting dilakukan. Hal ini dikarenakan metabolisme asam amino di hati
membentuk ammonia dan urem terjadi secara lebih lambat dan meningkatkan
kadar globulin.
3. Perubahan penyusun kimia dalam hati
Pada kasus kerusakan hati, terjadi perubahan penyusun kimia di dalam
hati. Salah satu contoh yaitu perubahan jumlah lemak di dalam hati terkait
steatosis (Zimmerman, 1978).
4. Uji ekskretori hati
Beberapa fungsi hati adalah mensintesis urea, kolestrol, plasma
protein, dan mempertahankan kadar kadar glukosa darah serta asam amino.
Jika terjadi kerusakan hati maka terjadi ketidaknormalan dari beberapa fungsi
32
hati tersebut. Perubahan kecepatan metabolisme obat yang terjadi di hati dapat
dijadikan parameter hepatotoksisitas (Zimmerman, 1978).
5. Analisis histologi hepatik
Sel hati yang mengalami kerusakan sitotoksik tampak berbeda dengan
sel-sel hati normal. Perlemakan dalam sel hati terlihat sebagai ruang membulat
yang tidak tercat hemaktosilin. Sel dari jaringan nekrotik seluruhnya berwarna
kemerahan dan tidak mengambil warna hematoksilin eosin. Perubahan inti sel
tersebut diantaranya disebabkan oleh pengumpulan kromatin dan pengerutan
inti, sehingga inti tampak lebih kecil serta gelap (piknosis) atau pecahnya
membran inti (karioreksis) sehingga inti sel yang berupa fragmen-fragmen
kecil tumpah ke dalam sitoplasma. Menurut Wilson dan Lester (cit.,
Rambung, 2002) kemungkinan lainnya adalah kariolisis, yakni pelarutan
kromatin secara enzimatis sehingga inti hanya terlihat sebagai ruangan kosong
yang dikelilingi oleh membran inti.
J. Landasan Teori
Pada keadaan nekrosis, sel hati akan pecah sehingga enzim GPT yang
terdapat di dalam sel hati keluar dan masuk ke dalam aliran darah.
Peningkatannya bisa mencapai 10-100 kali lipat dari harga normal (Zimmerman,
1978).
Parasetamol termasuk salah satu obat yang dapat menimbulkan kerusakan
hati dan terbukti dapat menyebabkan nekrosis sentrolobuler baik pada hewan uji
33
maupun manusia (Waters dkk., 2001). Pada kisaran dosis terapi (0,5-1 g, 3-4 kali
sehari) sebagian besar parasetamol terkonjugasi dengan asam glukoronat dan
sulfat, sisanya oleh sistem sitokrom P-450 MFO hati, dioksidasi menjadi
metabolit yang reaktif, N-asetil-para-benzokuinonimina (NAPBKI) (Grahame-
Smith dan Aronson, 1992; Gibson dan Skett, 1991). Dalam keadaan normal,
metabolit raeaktif NAPBKI tersebut secara prinsip dapat secara cepat
dinonaktifkan melalui konjugasi dengan glutation (GSH) yang dikatalis oleh
glutation S-tranferase (GST), misalnya GSTPi, menjadi produk yang lebih larut
dalam air, konjugat sistein dan merkapturat (Henderson dkk., 2000; Waters
dkk,2001). Pada pemberian dosis toksik, jalur glukoronidasi dan sulfatasi akan
jenuh sehingga jumlah GSH hati yang terpakai lebih besar dari yang dibentuk
ulang sehingga terjadi penumpukan metabolit reaktif NAPBKI (Katzung, 1989).
Metabolit reaktif NAPBKI dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan hati
melalui ikatan kovalen dengan makromolekul sel hati. Selain diperantarai oleh
NAPBKI, kehepatoksikan parasetamol juga terjadi melalui jalur tekanan oksidatif.
Melalui jalur tekanan oksidatif ini, kehepatotoksikan parasetamol diyakini
diperantarai oleh adanya oksigen reaktif atau radikal bebas, seperti anion
superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil (Wijoyo, 2001).
Pendekatan dari penelitian ini adalah adanya kandungan senyawa
antioksidan dalam buah pepaya, yaitu karotenoid (beta karoten), vitamin E dan
vitamin C memiliki kemampuan dalam menangkap oksidan reaktif seperti radikal
bebas (free radical scavengers). Dengan demikian pembentukan radikal bebas
terhambat sehingga kerusakan hati dapat dicegah. Hal inilah yang mendasari
34
dugaan sementara bahwa jus buah pepaya dapat berkhasiat sebagai
hepatoprotektor.
K. Hipotesis
Jus buah pepaya (Carica papaya L.) mempunyai efek hepatoprotektif pada
tikus jantan terinduksi parasetamol.
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan
rancangan acak lengkap pola satu arah.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel utama
a. Variabel bebas : Dosis jus buah pepaya (Carica papaya L.). Dosis jus buah
pepaya adalah sejumlah (gram) jus buah pepaya tiap satuan kg berat badan
subjek uji yang bersangkutan. Jus buah pepaya dibuat dengan mem-blender
sejumlah (gram) buah pepaya bangkok (tidak termasuk biji) dalam sejumlah
(ml) aquades sampai volume 100 ml
b. Variabel tergantung : efek hepatoprotektif jus buah pepaya bangkok terhadap
sel hati tikus jantan terinduksi parasetamol, ditandai dengan tolak ukur
kuantitatif berupa penurunan aktifitas Glutamat Piruvat Transaminase (GPT)
serum dan tolak ukur kualitatif berupa gambaran histopatologi sel hati tikus.
2. Variabel pengacau terkendali
a. Subyek uji berupa tikus jantan, galur Wistar, berat badan 180 - 230 gram,
umur antara 2 – 3 bulan.
36
b. Bahan uji yang digunakan berupa buah pepaya bangkok yang baik (tidak
busuk) dan diperoleh dari supermarket Lion Superindo daerah Seturan,
Sleman, Yogyakarta yang dibeli pada bulan April dan Mei.
c. Frekuensi pemberian jus buah pepaya bangkok 1 x sehari selama 6 hari
berturut-turut dengan waktu pemberian yang sama.
3. Variabel pengacau tak terkendali
a. Kondisi patologis hewan uji.
C. Subyek dan Bahan Penelitian
1. Subyek penelitian
Hewan uji yang digunakan berupa tikus jantan Wistar, umur 2-3 bulan
dengan berat badan berkisar antara 180-230 gram, yang diperoleh dari
seorang penjual tikus di jalan Parangtritis, Yogyakarta.
2. Bahan penelitian
a. Buah pepaya bangkok sebagai bahan yang akan diuji efek
hepatoprotektifnya diperoleh dari supermarket Lion Superindo di
daerah Seturan, Sleman, Yogyakarta.
b. Bahan hepatotoksikan yang digunakan berupa parasetamol yang,
berwarna putih, tidak ada bintik-bintik hitam, tidak berbau, rasa sedikit
pahit dan diperoleh dari P.T Konimex Solo
c. Bahan pensuspensi parasetamol berupa serbuk CMC (Carboxy Methyl
Celulose) produksi PT Brataco Chemistry yang berwarna putih,
terdispersi dalam air membentuk gel diperoleh dari Laboratorium
37
Farmakokinetika (Biofarmasetika), Fakultas Farmasi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
d. Aquadest diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi,
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
e. Reagen siap pakai GPT-ALAT (Diasys Germany).
f. Formalin 10%, alkohol, dan lilin cetak diperoleh dari Laboratorium
Farmakologi-Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
g. Zat warna hematoksilin dan eosin diperoleh dari Laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
D. Alat Penelitian
Alat yang dipakai dalam penelitian ini meliputi : alat pembuat jus
(blender) merk National Fresh tipe DBL-2GN dengan 2 tingkat kecepatan, jarum
tuberkulin (injeksi per-oral), spuit injeksi, pipa kapiler, alat bedah (gunting dan
pinset),mikropipet 100-1000 μl, vitalab mikro versi 1,0 user manual (E. Merck,
Damstadt, Germany), alat-alat gelas (beker glass 250 ml dan 100 ml, gelas ukur
100 ml) (Pyrex), timbangan elektrik (Metler Teledo, Switzerland),
mikrosentrifugasi M0010966 (Denver Instrument, USA), mikroskop (Olympus
CH 30, Japan), kamera (Olympus SC 35, Japan).
38
E. Tata Cara Penelitian
1. Penetapan konsentrasi jus buah pepaya bangkok dan dosis maksimalnya
Konsentrasi jus buah pepaya yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah konsentrasi maksimal jus buah pepaya yang dapat dipejankan pada
tikus jantan melalui jarum oral. Orientasi awal dimulai dengan konsentrasi
100%, kemudian secara bertahap diturunkan hingga didapatkan konsentrasi
optimal, yaitu konsentrasi maksimal yang dapat dipejankan pada tikus jantan
melalui jarum oral. Berdasarkan orientasi yang dilakukan, jus buah pepaya
dengan konsentrasi 95% (0,95 g/ml) merupakan konsentrasi maksimal yang
dapat dipejankan pada tikus jantan melalui jarum oral.
Buah pepaya dicuci dan dibuang kulitnya. Kemudian dipotong kecil-
kecil dan ditimbang sebanyak 190 g. Jus buah pepaya dibuat dengan cara
mem-blender 190 g buah pepaya bangkok dalam 200 ml aquades selama 1
menit pertama dengan kecepatan 1 dan setelah menit pertama dilanjutkan dan
diganti dengan kecepatan 2 selama 2 menit.
Dengan demikian, dosis maksimal jus buah pepaya yang dapat
dipejankan pada tikus jantan dapat ditentukan dengan perhitungan sebagai
berikut :
V = 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 .𝑥𝑥 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐶𝐶
5 ml = 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 .𝑥𝑥 230 𝑔𝑔95%
Dmaks. = 20,65 g/kgBB
39
Jadi, dosis maksimal jus buah pepaya pada tikus jantan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 20,65 g/kgBB.
2. Penetapan dosis jus buah pepaya
Penetapan dosis jus buah pepaya dilakukan berdasarkan penurunan dosis
dari dosis tertinggi jus buah pepaya hasil orientasi yaitu 20,65 g/kgBB.
Perhitungan dosis jus buah pepaya diuraikan sebagai berikut :
Dosis IV : 20,65 g/kg BB (dosis tertinggi)
Dosis III : 20,65 g/kgBB : 1,2469 = 16,56 g/kgBB
Dosis II : 16,56 g/kgBB : 1,2469 = 13,28 g/kgBB
Dosis I : 13,28 g/kgBB : 1,2469 = 10,65 g/kgBB
3. Uji pendahuluan
a. Orientasi konsentrasi CMC Na sebagai pensuspensi parasetamol
CMC Na ditimbang sebanyak 1 g; 0,9 g; 0,8; 0,7 g; dan 0,6 g dan
didispersikan dalam air mendidih sampai volume 100,0 ml. Kemudian
diaduk dengan stirer hingga CMC Na larut sempurna dalam aquadest.
Parasetamol dalam bentuk serbuk sejumlah 4,4 g, sebanyak 5 timbangan
(untuk larutan CMC Na dengan konsentrasi 1; 0,9; 0,8; 0,7; dan 0,6%).
Kemudian digerus dalam mortir yang berbeda-beda untuk tiap konsentrasi
larutan CMC Na, untuk mengurangi jumlah gumpalan yang ada. Setelah
digerus, masukan larutan CMC Na 1; 0,9; 0,8; 0,7; dan 0,6% dalam tiap
mortir sedikit dahulu, kemudian parasetamol digerus lagi hingga merata.
Kemudian larutan CMC Na ditambah lagi sedikit demi sedikit hingga
volume ± 50 ml dan larutan parasetamol diaduk terus. Setelah itu larutan
40
parasetamol dalam stamper dituang ke dalam gelas beker 250 ml dan
stemper dibersihkan dengan larutan CMC Na yang tersisa dan di tuang ke
dalam gelas beker parasetamol tadi. Larutan parasetamol dalam CMC Na
1% di dalam gelas beker diberi stirer magnetik dan diletakkan dalam
pemanas yang memiliki magnet pemutar stirer. Biarkan stirer mengaduk
selama beberapa saat dan ketika masih diaduk oleh stirer, ambil larutan
parasetamol dalam mengguanakan spuit injeksi dan dikeluarkan melalui
jarum suntik. Dari kelima konsentrasi CMC Na (1; 0,9; 0,8; 0,7% dan
0,6%) dalam larutan parasetamol, larutan parasetamol yang dapat
disuntikkan melalui sputi injeksi pada larutan CMC Na konsentrasi 07%
dan 0,6%. Oleh karena itu diambil larutan konsentrasi CMC Na yang
paling besar untuk melarutkan parasetamol yaitu konsentrasi 0,7%.
b. Penetapan dosis hepatotoksik parasetamol
Kofmann, Morgan, Kirschenbaum, Osbeck, Hussain, Swenson, dan
Theise1 (2005) mengatakan dosis parasetamol 1000 mg/kgBB yang
diberikan secara intraperitonial dapat mengakibatkan kerusakan besar pada
jaringan hati (90% hingga 100%). Dengan demikian, empat peringkat
dosis yang diujikan pada tikus jantan diperoleh dengan menurunkan dosis
hepatotoksik parasetamol dari dosis 1000 mg/kgBB dengan kelipatan yang
sama yaitu 0,750 g/kgBB, 0, 0,825 g/kgBB, 0,908 g/kgBB dan
1,000g/kgBB serta ditambah dengan 1 dosis di luar kelipatan tadi yaitu
0,950 g/kgBB dan diberikan secara intra peritonial.
41
Peringkat dosis ini kemudian diujikan pada 15 ekor tikus jantan yang
terbagi dalam 5 kelompok, masing-masing 3 ekor tikus, dengan
pembagian sesuai dosis parasetamol yang akan diberikan pada tiap
kelompok yaitu 0,750 g/kgBB, 0, 0,825 g/kgBB, 0,908 g/kgBB,
0,950g/kgBB dan 1,000g/kgBB. Cuplikan darah dan hati tikus diambil
sebelum pemberian hepatotoksikan parasetamol secara intraperitonial (pre
test) dan pada 24 jam setelah pemberian hepatotoksikan parasetamol (post
test) dan dilakukan uji aktivitas GPT-serum. Selanjutnya, tikus-tikus
tersebut dikorbankan dan diambil hatinya untuk dibuat preparat histologi.
Tolak ukur dosis hepatotoksik parasetamol adalah peningkatan sepuluh
kali lipat GPT-serum daro GPT-serum pre test dan adanya nekrosis pada
sel hati tikus.
c. Penetapan waktu kehepatotoksikan parasetamol mencapai maksimal
Dosis hepatotoksik parasetamol hasil orientasi, kemudian ditentukan
waktu kehepatotoksikannya mencapai maksimal. 10 ekor tikus jantan
dibagi secara acak dalam 2 kelompok yaitu kelompok I untuk waktu
pengukuran GPT-serum 6 dan 12 jam setelah pemberian parasetamol
secara intraperitonial dan kelompok II 15 jam dan 18 jam setelah
pemberian parasetamol secara intraperitonial, masing-masing 5 ekor tikus,
diambil serum darah dan diukur aktifitas GPT-serum sebelum pemberian
parasetamol sebagai pembanding untuk aktifitas GPT-serum setelah
pemberian parasetamol. Setelah diukur aktifitas GPT-serum pertama,
diinjeksikan parasetamol dengan dosis toksik atau dosis 0,9500 g/kgBB
42
secara intraperitonial. Setelah 6 jam seluruh hewan uji pada kelompok I
diukur aktifitas GPT-serumnya. Kemudian ditunggu selama 6 jam lagi
atau setelah 12 jam pemberian parasetamol dosis toksik, seluruh hewan uji
pada kelompok I diukur lagi aktifitas GPT-serumnya. Sedangkan untuk
kelompok II setelah 15 jam pemberian parasetamol, seluruh hewan uji
pada kelompok II diukur aktifitas GPT-serumnya. Kemudian setelah jeda
3 jam pengukuran aktivitas GPT-serum yang pertama seluruh hewan uji
pada kelompok II diukur lagi aktifitas GPT-serumnya sehingga
pengukuran aktivitas GPT-serum pada kelompok II dilakukan pada jam
ke-15 dan ke-18 setelah pemberian parasetamol dosis toksik.
d. Penetapan lama praperlakuan jus buah pepaya
Vogel (2007) mengatakan bahwa dalam melakukan uji suatu
senyawa obat baru dalam pencegahan kerusakan hati yang diujikan pada
tikus yang terinduksi CCl4 dapat dilakukan dalam waktu kurang lebih 8
minggu. Senyawa yang akan diuji diberikan pada kelompok-kelompok
tikus dengan dosis yang berbeda-beda dengan pemberian 2 kali sehari.
Tetapi model penelitian tadi dapat digunakan untuk kerusakan hati akut,
dengan cara mempersingkat waktu penelitian pula. Yaitu waktu penelitian
dipersingkat menjadi 5 hari, mulai hari pertama tikus-tikus diberi senyawa
yang akan diuji dan pemberian CCl4 dosis hepatotoksik dilakukan pada
hari ke 2 sampai hari ke 5 pada kelompok tikus yang diberi praperlakuan
senyawa yang diuji.
43
Sedangkan Linawati dkk (2006) dalam penelitian efek
hepatoprotektif rebusan herba putri malu, kelompok tikus yang digunakan
untuk menguji efek rebusan herba putri malu diberi rebusan herba putri
malu selama 6 hari dan pada hari ke 7 diberi parasetamol dosis
hepatotoksik.
Penetapan lama praperlakuan jus buah pepaya dilakukan melalui
studi pustaka, dimana penulis mengambil model penelitian tikus diberi
praperlakuan jus buah pepaya selama 6 hari dan pada hari ke 7 diberi
parasetamol dosis hepatotoksik.
4. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji
Sejumlah 30 ekor tikus jantan dibagi secara acak ke dalam 6
kelompok, masing-masing 5 ekor tikus. Kelompok I (kontrol negatif)
diberi aquades 21,74 ml/kgBB (perhitungan dosis dapat dilihat pada
lampiran 14) secara oral selama 6 hari berturut-turut dan hari ke-7 diberi
suspensi CMC 0,7% 0,152g/kgBB. Kelompok II (kontrol positif) diberi
aquades 21,74 ml/kgBB secara oral selama 6 hari berturut-turut dan hari
ke-7 diberi suspensi parasetamol dosis hepatotoksik hasil orientasi secara
intraperitonial. Setelah 18 jam (berdasarkan hasil orientasi), mencit
diambil darahnya melalui sinus orbitalis mata. Cuplikan darah diambil
serumnya untuk diukur aktrivitas GPT-serumnya secara spektrofotometri.
Kemudian tikus dikorbankan untuk diambil hatinya, dimasukkan dalam
larutan formalin 10% untuk dibuat preparat histologi.
44
Kelompok III-IV beruturut-turut diberi jus buah pepaya dosis 20,65
g/kgBB, 16,56 g/kgBB, 13,28 g/kgBB, dan 10,65 g/kgBB 1 x sehari
selama 6 hari secara oral. Hari ke-7 diberi suspensi parasetamol dosis
hepatotoksik (hasil orientasi) yaitu 0,950 g/kgBB. Setelah 18 jam, tikus
diambil darahnya melalui sinus orbitalis mata. Cuplikan darah diambil
serumnya dan ditetapkan aktivitas GPT-serumnya secara spektrofotometri.
Kemudian tikus dikorbankan untuk diambil hatinya, dimasukkan ke dalam
formalin 10% untuk dibuat preparat histologi.
5. Pembuatan serum
Darah tikus diambil melalui dinus orbitalis mata dan ditampung
dalam tabung ependroff kemudian dimasukan ke dalam tabung sentrifuge,
kemudian dipusingkan dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan
diambil supernatannya (serum). Pembuatan serum dilakukan di
Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
6. Penetapan aktivitas GPT-serum
Alat yang digunakan untuk menganalisis aktivitas GPT-serum adalah
vitalab-mikro. Pada analisis fotometri aktifitas GPT-serum ini dilakukan
sejumlah reaksi seperti yang tersaji pada tabel I .
Aktivitas enzim dibaca pada panjang gelombang 340 nm, suhu 27
0C, dengan faktor 2143. Aktivitas GPT-serum dinyatakan dalam U/L.
Pengukuran aktivitas GPT-serum dilakukan di Laboratorium Farmakologi-
Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
45
Tabel I. Prosedur Penetapan Aktivitas GPT-serum (DiaSys, 2009)
7. Pembuatan preparat histologi sel hati
Organ dipotong-potong dengan mikotom setebal 3 mm, kemudian
difiksasi. Preparat dimasukkan ke dalam larutan etanol secara bertingkat
berturut-turut etanol 50% selama 30 menit, etanol 90% selama 30 menit,
etanol mutlak selama 30 menit, masing-masing dua kali perlakuan.
Preparat kemudian dimasukkan dalam xilol parafin, masukkan ke
dalam oven selama 1,5 jam dalam suhu 60 0
8. Pemeriksaan histologi sel hati
C. Pindahkan preparat ke
dalam parafin cair selama 1,5 jam dalam blok preparat. Setelah dicetak
preparat dipotong setebal 5 mikron, masukkan dalam xilol murni selama
5-10 menit. Cuci preparat dengan air, kemudian dimasukkan ke dalam
larutan eosin-alkohol selama 1-2 menit. Kemudian preparat dikeringkan
pada suhu kamar dan ditutup dengan kanada balsem serta objek gelas.
Pembuatan preparat dilakukan oleh Laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pemeriksaan sel-sel organ hasil pengecatan hematoksilin-eosin dilakukan
Serum 100 μl
Larutan reagen 1
Larutan reagen 2
Dicampur dan didiamkan hingga 1 menit setelah
pencampuran. Kemudian setelah 1 menit dibaca
absorbansinya
800 μl
200 μl
46
di bawah mikroskop. Kemudian hasilnya diberi skor menurut tingkat
kerusakannya. Pemeriksaan ini dilakukan di Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Analisis dilakukan oleh dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A.
F. Analisis Hasil
Data Aktivitas GPT-serum terlebih dahulu diuji datanya dengan uji
Saphiro-Wilk untuk melihat distribusi data normal atau tidak. Jika data
terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji ANOVA dengan taraf
kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji Sceffe untuk melihat perbedaan dari
tiap kelompok apakah bermakna (p<0,05) atau perbedaan itu tidak bermakna
(p>0,05). Jika distribusi data tidak normal maka dilanjutkan dengan uji Kruskal-
Wallis dengan taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney
untuk melihat perbedaan dari tiap kelompok apakah bermmakna (p<0,05) atau
perbedaan itu tidak bermakna (p>0,05).
Sedangkan hasil histopatologi organ hati tikus di skoring derajat kerusakan
hatinya. Penilaian skoring diwakili oleh angka 0 menunjukkan pada hati tidak
terjadi degenerasi melemak atau nekrosis, angka 1 menunjukkan kerusakan organ
hati ringan, angka 2 menunjukkan kerusakan organ hati sedang dan 3
menunjukkan kerusakan organ hati berat. Kemudian di analisis statistik seperti
data aktivitas GPT-serum. Setelah itu dihitung persentase efek hepatoprotektif dan
persentase angka proteksi yang ditimbulkan oleh jus buah pepaya tiap dosisnya.
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Uji Pendahuluan
1. Penentuan dosis hepatotoksik parasetamol
Penentuan dosis hepatotoksik parasetamol bertujuan mengetahui besarnya
dosis parasetamol yang dapat menyebabkan nekrosis pada sel hati mencit. Hal ini
dapat diketahui dari adanya peningkatan aktivitas GPT-serum, minimal 10 kali
lipat terhadap kontrol negatif. Diketahui pula dari gambaran histopatologinya.
(Ladoangin, 2004)
Data aktifitas GPT-serum tikus akibat pemberian parasetamol dosis
0,7500; 0,8255; 0,9086; 0,9500 dan 1000 mg/kgBB tersaji pada tabel I
Tabel II. Aktivitas GPT-serum tikus pada selang waktu 24 jam sebelum dan setelah pemberian parasetamol secara intra peritonial dengan dosis 0,750; 0,8255; 0,9086; 0,950 dan 1,000 g/kgBB.
Dosis
Parasetamol (g/kgBB)
Selang waktu (jam)
Jumlah Hewan
Uji (ekor)
Purata Aktivitas GPT-serum ± SE (U/L) Sebelum
Pemberian Parasetamol
Purata Aktivitas GPT-serum ± SE
(U/L) Setelah Pemberian
Parasetamol
Significancy (2-tailed)
Uji T Berpasangan
0,7500 24 3 55,33 ± 3,21 206,33 ± 68,52 0,152* 0,8255 24 3 57,00 ± 7,54 239,00 ± 44,52 0,063* 0,9086 24 3 65,67 ± 25,11 252,00 ± 20,10 0,022 0,9500 24 1 3 52,00 ± 4,36 903,00 ± 9,00 0,004
1,000 24 2 3 60,67 ± 2,08 482,50 ± 475,50 0,540*
Ket.: 1
parasetamol = 1 ekor hewan uji mati sebelum diambil GPT-serum setelah pemberian
2
* = nilai p > 0,05 (purata aktivitas GPT-serum sebelum dan sesudah pemberian parasetamol kelompok yang diuji berbeda tidak bermakna)
= 1 ekor hewan uji mati sebelum diambil GPT-serum setelah pemberian parasetamol, dan 1 ekor memiliki GPT-serum sangat rendah (4 U/L)
48
Tabel III. Hasil analisis statistik aktivitas SGPT-serum untuk menilai perbedaan tiap 2 dosis
Asymp Sig. (2-tailed)
Pct Dosis 0,7500 g/kgBB
Pct Dosis 0,8255 g/kgBB
Pct Dosis 0,9086 g/kgBB
Pct Dosis 0,9500 g/kgBB
Parasetamol Dosis 1,000
g/kgBB Pct Dosis
0,7500 g/kgBB
- 0,827* 0,513* 0,083* 1,000*
Pct Dosis 0,8255 g/kgBB
0,827* - 0,513* 0,083* 1,000*
Pct Dosis 0,9086 g/kgBB
0,513* 0,513* - 0,083* 1,000*
Pct Dosis 0,9500 g/kgBB
0,083* 0,083* 0,083* - 0,683*
Pct Dosis 1,000 g/kgBB 1,000* 1,000* 1,000* 0,683* -
Ket.: Pct = Parasetamol * = nilai p > 0,05 (2 kelompok yang diuji berbeda tidak bermakna)
Tabel IV. Derajat kerusakan sel hati tikus pada selang waktu 24 jam setelah pemberian parasetamol secara intra peritonial dengan dosis 0,750; 0,8255; 0,9086; 0,9500 dan 1,000 g/kgBB
Kel. Dosis Parasetamol
(g/kgBB)
Hasil Analisis Skoring Derajat Kerusakan hati ± SE Degenerasi Melemak
Nekrosis Sirosis
I 0,7500 1,000 ± 0,00 - - II 0,8255 1,000 ± 0,00 0,33 ± 0,33 - III 0,9086 1,33 ± 0,33 0,33 ± 0,33 - IV 0,9500 1,67 ± 0,33 1,67 ± 0,33 - V 1,000 2,00 ± 0,00 2,00 ± 0,00 -
Ket.: Nilai skoring derajat kerusakan hati 1 = ringan; 2 = sedang; dan 3 = berat
Dari orientasi yang dilakukan, pada kelompok orientasi dosis 0,9500
g/kgBB dan 1,000 g/kgBB data aktivitas GPT-serum yang didapat tidak lengkap.
Hal ini dikarenakan adanya hewan uji yang mengalami kematian sebelum diukur
49
aktivitas GPT-serumnya. Sehingga hasil analisis statistik yang didapat tidak
lengkap. Berdasarkan tabel II terlihat bahwa aktivitas GPT-serum tikus pada 5
peringkat dosis parasetamol yang mengalami peningkatan aktivitas GPT-serum
yang bermakna adalah pada dosis 0,9086 g/kgBB dan dosis 0,9500 g/kgBB.
Tetapi hanya pada dosis 0,9500 g/kgBB seluruh hewan uji mengalami nekrosis
walaupun 1 ekor hewan uji mengalami kematian. Hal ini disebabkan karena waktu
pemejanan yang lama tanpa pemberian antidot sehingga organ hati hewan uji
mengalami kerusakan yang berat sehingga tidak bisa berfungsi normal dan hewan
uji mengalami kematian. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan
uji Mann-Whitney sebagai uji Post Hoc, dosis parasetamol 0,7500, 0,8255,
0,9086, 0,9500 dan 1,000 g/kgBB tidak menunjukkan adanya perbedaan harga
aktivitas GPT-serum post test karena nilai p > 0,05. Hal ini disebabkan karena
adanya kematian hewan uji sebelum pengambilan darah untuk dilihat aktivitas
GPT-serumnya setelah pemberian parasetamol pada dosis 0,9500 dan 1,000
g/kgBB sehingga hasil analisis statistiknya tidak lengkap. Tetapi dosis 0,9500
g/kgBB yang paling memungkinkan untuk digunakan dalam menentukan waktu
kehepatotoksikan parasetamol. Hal ini didasarkan pada aktivitas GPT-serum yang
mencapai 10 kali lipat pada 70% hewan uji (tersaji pada keterangan tabel II
dimana 1 dari 3 ekor hewan uji mengalami kematian) dan secara keseluruhan
hewan uji mengalami nekrosis.
2. Penentuan waktu kehepatotoksikan parasetamol mencapai maksimal
Penentuan waktu kehepatotoksikan parasetamol mencapai maksimal
bertujuan untuk mengetahui selang waktu di mana parasetamol dosis 0,9500
50
g/kgBB (hasil orientasi) memberikan efek hepatotoksik yang maksimal. Hal ini
ditunjukkan oleh aktivitas GPT-serum tertinggi pada selang waktu tertentu.
Parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB diujikan pada tikus jantan dengan selang waktu
pengambilan cuplikan darah 6 jam, 12 jam, 15 jam, 18 jam dan 24 jam secara
intra peritonial.
Data aktivitas GPT-serum dan derajat kerusakan hati tikus setelah
pemberian parasetamol 0,9500 g/kgBB pada selang waktu 6, 12, 15, 18 dan 24
jam tersaji pada tabel V dan tabel VI.
Tabel V. Aktivitas GPT-serum dan derajat kerusakan sel hati tikus setelah pemberian parasetamol secara intra peritonial dengan dosis 0,9500 g/kgBB pada selang waktu 6, 12, 15, 18, dan 24 jam.
Dosis Parasetamol
(g/kgBB)
Selang Waktu (jam)
Jumlah Hewan
Uji (ekor)
Purata Aktivitas GPT-serum ± SE (U/L) Sebelum
Pemberian Parasetamol
Purata Aktivitas GPT-serum ± SE
(U/L) Setelah Pemberian
Parasetamol
Significancy (2-tailed)
Uji T Berpasangan
0,9500 6 5 55,00 ± 2,07 148,80 ± 68,52 0,002 0,9500 12 5 55,00 ± 2,07 320,80 ± 44,52 0,001 0,9500 15 5 52,20 ± 1,71 404,20 ± 20,10 0,000 0,9500 18 5 58,20 ± 2,48 666,80 ± 9,00 0,000 0,9500 24 3 1 52,00 ± 4,36 903,00 ± 9,00 0,004
Ket.: 1
parasetamol = 1 ekor hewan uji mati sebelum diambil GPT-serum setelah pemberian
* = nilai p > 0,05 (purata aktivitas GPT-serum sebelum dan sesudah pemberian parasetamol kelompok yang diuji berbeda tidak bermakna)
Tabel VI. Derajat kerusakan sel hati tikus setelah pemberian parasetamol secara
intra peritonial dengan dosis 0,9500 g/kgBB pada selang waktu 12 jam dan 18 jam
Ket.: Nilai skoring derajat kerusakan hati 1 = ringan; 2 = sedang; dan 3 = berat
Kel.
Waktu Pengambilan Organ Setelah Pemberian
Parasetamol 0,9500 g/kgBB (jam)
Hasil Analisis Skoring Derajat Kerusakan hati ± SE
Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
I 12 1,40 ± 0,24 0,80 ± 0,37 - II 18 1,40 ± 0,24 1,40 ± 0,24 - III 24 1,67 ± 0,33 1,33 ± 0,33 -
51
Berdasarkan tabel V dapat dilihat bahwa aktifitas GPT-serum pada selang
waktu 18 jam dan 24 jam setelah pemberian parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB
secara intra peritonial mencapai lebih dari 10 kali lipat yaitu 666,80 ± 9,00 dan
903,00 ± 9,00 dan terjadi nekrosis pada keseluruhan organ hewan uji. Tetapi
untuk waktu 24 jam setelah pemberian parasetamol 1 ekor hewan uji mengalami
kematian sehingga selang waktu pengambilan cuplikan darah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 18 jam setelah pemberian. Hal ini dikarenakan pada
selang waktu 24 jam setelah pemberian parasetamol 1 dari 3 ekor hewan uji
mengalami kematian sehingga kehilangan 1 data aktivitas GPT-serum, sehingga
ada ± 30% kemungkinan hewan uji yang mengalami kematian pada saat
penelitian dan akan kehilangan data aktivitas GPT-serum pada pengambilan
cuplikan darah jika menggunakan selang waktu 24 jam untuk pengambilan
cuplikan darah. Jadi dalam penelitian ini dosis hepatotoksik parasetamol yang
digunakan pada tikus jantan adalah 0,9500 g/kgBB dengan selang waktu
pengambilan cuplikan darah adalah 18 jam setelah pemberian hepatotoksikan
parasetamol.
3. Penetapan lama preperlakuan jus buah pepaya
Vogel (2007) mengatakan bahwa dalam melakukan uji suatu senyawa obat
baru dalam pencegahan kerusakan hati yang diujikan pada tikus yang terinduksi
CCl4 dapat dilakukan dalam waktu kurang lebih 8 minggu. Senyawa yang akan
diuji diberikan pada kelompok-kelompok tikus dengan dosis yang berbeda-beda
dengan pemberian 2 kali sehari. Tetapi model penelitian tadi dapat digunakan
untuk kerusakan hati akut, dengan cara mempersingkat waktu penelitian pula.
52
Yaitu waktu penelitian dipersingkat menjadi 5 hari, mulai hari pertama tikus-tikus
diberi senyawa yang akan diuji dan pemberian karbon tetraklorida (CCl4)
Sedangkan Ladoangin (2004) dalam penelitian efek hepatoprotektif jus
buah apel hijau dan Linawati dkk (2006) dalam penelitian efek hepatoprotektif
rebusan herba putri malu, kelompok mencit dan tikus yang digunakan untuk
menguji efek jus buah apel hijau dan rebusan herba putri malu diberi rebusan
herba putri malu dan jus buah apel hijau selama 6 hari dan pada hari ke 7 diberi
parasetamol dosis hepatotoksik. Hal ini didasarkan pada harga aktivitas GPT-
serum setelah praperlakuan jus buah apel hijau dan rebusan herba putri malu
selama 6 hari menunjukkan harga aktivitas GPT-serum yang mengalami kenaikan
atau penurunan aktivitas GPT-serum yang tidak berbeda bermakna menurut hasil
statistik jika dibandingkan dengan praperlakuan jus buah apel dan rebusan herba
putri malu yang diberikan lebih dari 6 hari.
dosis
hepatotoksik dilakukan pada hari ke 2 sampai hari ke 5 pada kelompok tikus yang
diberi praperlakuan senyawa yang diuji.
Penetapan lama praperlakuan jus buah pepaya dilakukan berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Ladoangin (2004) dan Linawati dkk (2006),
dimana penulis mengambil model penelitian tikus diberi praperlakuan jus buah
pepaya selama 6 hari dan pada hari ke 7 diberi parasetamol dosis hepatotoksik.
4. Penetapan dosis jus buah pepaya
Penetapan dosis jus buah pepaya memiliki tujuan untuk menentukan
tingkatan dosis jus buah pepaya yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Penentuan dosis jus buah pepaya didasarkan pada dosis maksimal jus buah pepaya
53
pada tikus jantan. Dosis maksimal jus buah pepaya pada tikus jantan didasarkan
pada konsentrasi tertinggi jus buah pepaya yang dapat dipejankan secara oral.
Dari orientasi diketahui bahwa konsentrasi tertinggi jus buah pepaya yang dapat
dipejankan secara oral pada tikus jantan sebesar 95% sehingga dosis maksimal
yang diperoleh sebesar 20,65 g/kgBB. Kemudian ditentukan 3 tingkatan dosis jus
buah pepaya yaitu 16,56, 13,28, dan 10,65 g/kgBB (perhitungan dosis dapat
dilihat pada lampiran 14).
B. Perbandingan Aktivitas GPT-serum Tiap Kelompok
Efek hepatoprotektif dari jus buah pepaya pada hewan uji yang terinduksi
parasetamol dapat dievaluasi secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif
berupa penurunan aktivitas GPT-serum pada tikus jantan yang terinduksi
parasetamol akibat pemberian jus buah pepaya jika dibandingkan dengan aktivitas
GPT-serum tikus jantan yang hanya diberikan parasetamol sebagai kontrol yang
dinyatakan dengan U/L. Data kualitatif berupa gambaran histopatologi sel hati
tikus yang kemudian dilakukan skoring.
1. Kontrol negatif CMC Na 0,7% 0,15 g/kgBB
Kontrol negatif CMC Na 0,7% merupakan kelompok tikus jantan yang
hanya diinjeksi dengan larutan aquades 21,74 ml/kgBB selama 6 hari secara oral
dan pada hari ke 7 diinjeksi dengan larutan suspensi CMC Na 0,7% 0,15 g/kgBB
secara intraperitonial, kemudian 18 jam kemudian diambil darah dan organ
hatinya untuk diukur aktivitas GPT-serum dan dibuat preparat histologinya.
Tujuan dari kontrol negatif ini adalah memastikan bahwa peningkatan aktivitas
GPT-serum (efek hepatotoksik) pada tikus jantan adalah akibat pemberian
54
hapatotoksin parasetamol, bukan akibat dari CMC Na dan memastikan bahwa
efek hepatoprotektif pada tikus jantan yang terinduksi parasetamol adalah akibat
praperlakuan jus buah pepaya.
Aktivitas GPT-serum pada kelompok kontrol negatif CMC Na 0,7% 0,15 g/kgBB
adalah sebesar 52,40 ± 1,21 U/L yang tersaji pada tabel VII. Gambaran
makroskopi organ hati sesaat setelah dibedah adalah berwarna merah tua dengan
sedikit bintik merah dan jika ditekan terasa kenyal. Sedangkan secara mikroskopi,
gambaran histologi sel hatinya menunjukkan adanya sedikit degenerasi melemak
yang tersaji pada tabel VIII. Hal ini dapat dimungkinkan karena kondisi patologis
hewan uji yang tidak dapat dikendalikan sepenuhnya, dan memang kondisi
patologis hewan uji memang termasuk dalam variabel pengacau tak terkendali.
Tetapi degenerasi melemak yang terjadi masih dalam batas normal karena tidak
terjadi kerusakan sel hati yang mencapai nekrosis, sehingga gambaran sel hatinya
masih dapat digunakan sebagai patokan sel hati normal. Begitu pula altivitas
GPT-serumnya juga dapat digunakan sebagai patokan aktivitas GPT-serum
normal.
2. Kontrol positif parasetamol 0,9500 g/kgBB
Kontrol positif parasetamol 0,9500 g/kgBB merupakan kelompok tikus
jantan yang hanya diinjeksi dengan larutan aquades 21,74 ml/kgBB selama 6 hari
secara oral dan pada hari ke 7 diinjeksi dengan larutan suspensi parasetamol
0,9500 g/kgBB secara intraperitonial, kemudian 18 jam kemudian diambil darah
dan organ hatinya untuk diukur aktivitas GPT-serum dan dibuat preparat
histologinya. Tujuan dari kontrol positif adalah untuk mengetahui pengaruh
55
induksi parasetamol 0,9500 g/kgBB terhadap sel hati tikus sekaligus digunakan
sebagai patokan dalam menganalisa efek hepatoprotektif jus buah pepaya.
Aktivitas GPT-serum kontrol positif parasetamol 0,9500 g/kgBB adalah sebesar
610,60 ± 62,92 U/L (tersaji pada tabel VII).
Jika dibandingkan dengan aktivitas GPT-serum kontrol negatif CMC Na
0,7% 0,15 g/kgBB sebesar 52,40 ± 1,21 U/L maka terlihat adanya kenaikan
aktivitas GPT-serum sekitar 11,65 kalinya. Kenaikan aktivitas GPT-serum ini
dapat membantu memberi petunjuk bahwa kondisi sel-sel hati tikus mengalami
nekrosis. Perbedaan aktivitas GPT-serum yang mencapai 10 kali lipat
menunjukkan kerusakan sel hati tikus sudah sangat parah yang dapat dibuktikan
dengan adanya nekrosis pada hati tikus.
Berdasarkan uji statistik terhadap skor derajat kerusakan sel hati terlihat
bahwa derajat kerusakan sel hati tikus kontrol positif berbeda bermakna (p<0,05)
Gambar 6a. Gambar 6b.
Fotomikroskopi perbesaran 100x sel hati Fotomikroskopi perbesaran 200x sel hati tikus setelah pemberian parasetamol tikus setelah pemberian parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB. dosis 0,9500 g/kgBB. Keterangan : A = nekrosis; B = degenera Keterangan : A = nekrosis; B = dege-si melemak nerasi melemak
Gambar 6. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB
56
Tabel VII. Purata ± SE aktivitas GPT-serum tikus jantan setelah praperlakuan jus buah pepaya 1 x sehari selama 6 hari yang diberikan secara per oral berturut-turut terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB yang diberikan secara intra peritonial
Kel. Perlakuan Aktivitas GPT-serum
Purata ± SE (U/L)
% Perbedaan terhadap Kel. I Kel. II
I Kontrol Negatif CMC Na (ip) 0,7 % 0,15 g/kgBB 52,40 ± 1,21 - -
II Kontrol Positif Parasetamol (ip) 0,9500 g/kgBB 610,60 ± 55,54 (+) 1065,27 -
III JBP (po) 10,65 g/kgBB + Parasetamol (ip) 555,20 ± 20,66 (+) 959,54 (-) 9,07*
IV JBP (po) 13,28 g/kgBB + Parasetamol (ip) 173,80 ± 21,38 (+) 231,68 (-) 71,54
V JBP (po) 16,56 g/kgBB + Parasetamol (ip) 132,20 ± 10,56 (+) 152,29 (-) 78,35
VI JBP (po) 20,65 g/kgBB + Parasetamol (ip) 150,20 ± 10,56 (+) 186,64 (-) 75,40
Ket.: (po) = cara pemberian secara per oral JBP = Jus buah pepaya (ip) = cara pemberian secara intra peritonial *
= berbeda tidak bermakna (P > 0,05)
Tabel VIII. Hasil analisis statistik derajat kerusakan hati setelah praperlakuan jus buah pepaya 1 x sehari selama 6 hari yang diberikan secara per oral berturut-turut terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB yang diberikan secara intra peritonial
Kel. Perlakuan
Hasil Analisis Skoring Derajat Kerusakan hati ± SE
Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
I Kontrol Negatif CMC Na (ip) 0,7 % 0,15 g/kgBB 0,60 ± 0,24 - -
II Kontrol Positif Parasetamol (ip) 0,9500 g/kgBB 1,20 ± 0,20 2,80 ± 0,20 -
III JBP (po) 10,65 g/kgBB + Parasetamol (ip) 1,00 ± 0,00 2,00 ± 0,32 -
IV JBP (po) 13,28 g/kgBB + Parasetamol (ip) 1,20 ± 0,20 1,40 ± 0,24 -
V JBP (po) 16,56 g/kgBB + Parasetamol (ip) 0,17 ± 0,17 1,16 ± 0,16 -
VI JBP (po) 20,65 g/kgBB + Parasetamol (ip) 0,25 ± 0,25 1,00 ± 0,00 -
Ket.: (po) = cara pemberian secara per oral JBP = Jus buah pepaya (ip) = cara pemberian secara intra peritonial Nilai skoring derajat kerusakan hati 1 = ringan; 2 = sedang; dan 3 = berat
57
Tabel IX. Hasil uji statistik tingkat kerusakan hati berupa degenerasi melemak pada tikus jantan setelah praperlakuan jus buah pepaya 1 x sehari selama 6 hari yang diberikan secara per oral berturut-turut terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB yang diberikan secara intra peritonial
Degenerasi Melemak
Kontrol Negatif
CMC Na (ip) 0,7% 0,15g/kgB
B
Kontrol Positif
PCT (ip) Dosis 0,9500 g/kgBB
JBP (po) Dosis 10,65 g/kgBB +
Parasetamol (ip)
JBP (po) Dosis 13,28 g/kgBB +
Parasetamol (ip)
JBP (po) Dosis 16,56 g/kgBB +
Parasetamol (ip)
JBP (po) Dosis 20,65 g/kgBB +
Parasetamol (ip)
Kontrol Negatif CMC Na (ip) 0,7%
0,15g/kgBB - BB BTB BTB BTB BTB
Kontrol Positif PCT (ip) Dosis 0,9500 g/kgBB
BB - BB BB BB BB
JBP (po) Dosis 10,65 g/kgBB + Parasetamol (ip)
BTB BB - BTB BB BB
JBP (po) Dosis 13,28 g/kgBB + Parasetamol (ip)
BTB BB BTB - BB BB
JBP (po) Dosis 16,56 g/kgBB + Parasetamol (ip)
BTB BB BB BB - BTB
JBP (po) Dosis 20,65 g/kgBB + Parasetamol (ip)
BTB BB BB BB BTB -
Ket.: JBP = Jus buah pepaya (op) = cara pemberian secara per oral (ip) = cara pemberian secara intra peritonial BB = berbeda bermakna (P < 0,05) BTB = berbeda tidak bermakna (P > 0,05)
58
Tabel X. Hasil uji statistik tingkat kerusakan hati berupa nekrosis pada tikus jantan setelah praperlakuan jus buah pepaya 1 x sehari selama 6 hari yang diberikan secara per oral berturut-turut terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB yang diberikan secara intra peritonial
Nekrosis
Kontrol Negatif
CMC Na (ip) 0,7%
0,15g/kgBB
Kontrol Positif
PCT (ip) Dosis 0,9500 g/kgBB
JBP (po) Dosis 10,65 g/kgBB +
Parasetamol (ip)
JBP (po) Dosis 13,28 g/kgBB +
Parasetamol (ip)
JBP (po) Dosis 16,56 g/kgBB +
Parasetamol (ip)
JBP (po) Dosis 20,65 g/kgBB +
Parasetamol (ip)
Kontrol Negatif CMC Na (ip)
0,7% 0,15g/kgBB - BB BB BB BB BB
Kontrol Positif PCT (ip) Dosis 0,9500 g/kgBB
BB - BTB BB BB BB
JBP (po) Dosis 10,65 g/kgBB + Parasetamol (ip)
BB BTB - BTB BTB BTB
JBP (po) Dosis 13,28 g/kgBB + Parasetamol (ip)
BB BB BTB - BTB BTB
JBP (po) Dosis 16,56 g/kgBB + Parasetamol (ip)
BB BB BTB BTB - BTB
JBP (po) Dosis 20,65 g/kgBB + Parasetamol (ip)
BB BB BTB BTB BTB -
Ket.: JBP = Jus buah pepaya (op) = cara pemberian secara per oral (ip) = cara pemberian secara intra peritonial BB = berbeda bermakna (P < 0,05) BTB = berbeda tidak bermakna (P > 0,05)
59
Tabel XI. Pengaruh praperlakuan jus buah pepaya 1x sehari selama 6 hari berturut-turut terhadap histopatologi sel hati tikus
terinduksi parasetamol 0,9500 g/kgBB
Kel. Perlakuan Tingkat Kerusakan Sel Hati (% Hewan) Angka Proteksi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
I Kontrol Negatif CMC Na (ip) 0,7% 0,15g/kgBB
60 40 100
II Kontrol Positif PCT (ip) Dosis 0,9500 g/kgBB
20 80 -
III JBP (po) Dosis 10,65 g/kgBB + Parasetamol (ip)
20 60 20 37,10
IV JBP (po) Dosis 13,28 g/kgBB + Parasetamol (ip)
60 20 20 40,32
V JBP (po) Dosis 16,56 g/kgBB + Parasetamol (ip)
80 20 53,23
VI JBP (po) Dosis 20,65 g/kgBB + Parasetamol (ip)
60 40 56,45
Ket. 1 = relatif normal 8 = degenerasi melemak (+++) dan nekrosis (+) 2 = degenerasi melemak (+) 9 = degenerasi melemak (+) dan nekrosis (++) 3 = degenerasi melemak (++) 10 = degenerasi melemak (++) dan nekrosis (++) 4 = degenerasi melemak (+++) 11 = degenerasi melemak (+++) dan nekrosis (++) 5 = Nekrosis (+) 12 = degenerasi melemak (+) dan nekrosis (+++) 6 = degenerasi melemak (+) dan nekrosis (+) 13 = degenerasi melemak (++) dan nekrosis (+++) 7 = degenerasi melemak (++) dan nekrosis (+) 14 = degenerasi melemak (+++) dan nekrosis (+++)
1 hewan uji diwakili dengan angka 20 %. Jika dalam 1 kolom (1-14) ada lebih dari 1 hewan uji yang mengalami kondisi sesuai dengan angka yang diwakilkan dalam tiap kolom maka dikali dengan jumlah hewan uji ( 2 = 40%, 3 = 60%, 4 = 80%, dan 5 = 100%
60
terhadap derajat kerusakan sel hati tikus kelompok kontrol negatif CMC Na 0,7%
(kelompok I). Hasil analisis ini menegaskan bahwa parasetamol 0,9500 g/kgBB
memberikan efek hepatotoksik pada sel hati tikus. Fotomikroskopi sel hati tikus
kelompok kontrol positif tersaji pada gambar 6a dan 6b.
3. Efek hepatoprotektif jus buah pepaya dosis 10,65 g/kgBB; 13,28 g/kgBB; 16,56 g/kgBB dan 20,56 g/kgBB pada tikus jantan terinduksi parasetamol.
Berdasarkan tabel VII terlihat bahwa aktivitas GPT-serum tikus setelah
praperlakuan jus buah pepaya selama 6 hari berturut-turut terinduksi parasetamol
mengalami penurunan seiring kenaikan dosis jus buah pepaya. Aktivitas GPT-
serum digunakan sebagai data untuk mengetahui kerusakan hati yang dialami oleh
hewan uji. Semakin tinggi kerusakan hati yang terjadi, semakin tinggi aktivitas
GPT-serum. Persentase penurunan aktivitas GPT-serum kelompok praperlakuan
yang dibandingkan dengan kelompok kontrol positif parasetamol merupakan efek
hepatoprotektif jus buah pepaya. Sedangkan pemeriksaan histopatologi organ
digunakan untuk memastikan kerusakan hati yang terjadi pada hewan uji.
Kelompok III adalah kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 10,65
g/kgBB. Kelompok ini merupakan kelompok praperlakuan jus buah pepaya
dengan dosis terkecil. Aktivitas GPT-serum kelompok ini adalah sebesar 555,20
U/L. Bila dibandingkan dengan kontrol positif (kelompok II) maka aktivitas GPT-
serum kelompok III maka aktivitas GPT-serum kelompok III mengalami
penurunan kurang lebih sekitar 1,1 kalinya atau memiliki efek hepatoprotektif
sebesar 9,07%, seperti yang tersaji pada tabel VII dan lampiran 15. Jika melihat
61
hasil statistik seperti yang tersaji pada lampiran 9, penurunan aktivitas GPT-serum
belum menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05). Meskipun derajat
aktivitas GPT-serum kelompok III berbeda tidak bermakna dengan kelompok II,
tetapi berdasarkan hasil statistik skoring kerusakan sel hati berupa nekrosis, dosis
jus buah pepaya 10,65 g/kgBB masih memberikan perbedaan yang bermakana
atau p<0,05 jika dibandingkan dengan kerusakan sel hati yang ditimbulkan pada
kelompok II. Dapat dilihat juga dari angka proteksi yang diberikan oleh jus buah
pepaya dosis 10,65 g/kgBB yaitu 37,10% (tersaji pada tabel XI). Artinya keadaan
sel-sel hati mencit kelompok III lebih baik 37,10% dibanding kelompok II
(kontrol positif parasetamol). Secara mikroskopi, kerusakan sel hati yang terjadi
pada kelompok ini adalah degenerasi melemak dan nekrosis. Fotomikroskopi sel
hati tikus kelompok III tersaji pada gambar 7a dan 7b.
Kelompok IV adalah kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 13,28
g/kgBB. Kelompok ini memiliki aktivitas GPT-serum sebesar 173,60 ± 21,38
U/L. Jika dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (kelompok II), aktivitas
GPT-serum kelompok IV mengalami penurunan kurang lebih sebesar 3,5 kali atau
sebesar 71,54%, seperti yang tersaji pada tabel VII. Penurunan aktivitas GPT-
serum ini menunjukkan efek hepatoprotektif dari jus buah pepaya dosis 13,28
g/kgBB sebesar 71,54%.
Jika dilihat hasil statistiknya, penurunan tersebut menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna (p<0,05), seperti yang tersaji pada lampiran 9. Hal ini
menunjukkan bahwa jus buah pepaya dosis 13,28 g/kgBB mampu menghambat
peningkatan aktivitas GPT-serum akibat induksi parasetamol dosis hepatotoksik
62
(0,9500 g/kgBB). Kelompok IV memiliki hasil skoring derajat kerusakan sel hati
tikus berupa nekrosis yang berbeda bermakna jika dibandingkan dengan
kelompok II (kelompok kontrol positif) (p<0,05), meskipun jika dibandingkan
dengan kelompok III hasil skoring derajat kerusakan sel hati yang mencapai
nekrosis kelompok IV memiliki perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05).
Gambar 7a. Gambar 7b. Fotomikroskopi perbesaran 100x sel hati Fotomikroskopi perbesaran 200x sel tikus setelah praperlakuan jus buah pe- hati tikus setelah praperlakuan jus paya dosis 10,65 g/kgBB terinduksi pa- buah pepaya dosis 10,65 g/kgBB terin- rasetamol dosis 0,9500 g/kgBB. induksi parasetamol dosis 0,9500
g/kgBB. Keterangan : A = nekrosis; B = degene Keterangan : A = nekrosis; B = dege rasi melemak nerasi melemak
Gambar 7. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan setelah praperlakuan jus buah pepaya dosis 10,65 g/kgBB terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB
Tetapi derajat kerusakan hati yang ditimbulkan pada kelompok IV masih
lebih baik dari kelompok III, sehingga kemampuan perlindungan jus buah pepaya
dosis 13,28 g/kgBB masih lebih baik dari jus buah pepaya dosis 10,65 g/kgBB.
Hal ini didukung dengan adanya efek hepatoprotektif sebesar 71,54% dan angka
proteksi yang mencapai 40,32% (tersaji pada tabel XI). Secara mikroskopis
kelompok IV menunjukkan kerusakan yang sama dengan kelompok III yaitu
adanya degenerasi melemak dan nekrosis, hanya saja kelompok IV memiliki
63
derajat kerusakan sel hati tikus (nekrosis) yang lebih sedikit jika dibandingkan
dengan kelompok II dan III. Fotomikroskopi sel hati tikus kelompok VI tersaji
pada gambar 8a dan 8b.
Gambar 8a. Gambar 8b. Fotomikroskopi perbesaran 100x sel hati Fotomikroskopi perbesaran 200x sel ha- tikus setelah praperlakuan jus buah pepa- ti tikus setelah praperlakuan jus buah ya dosis 13,28 g/kgBB terinduksi parase- pepaya dosis 13,28 g/kgBB terinduksi tamol dosis 0,9500 g/kgBB. parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB. Keterangan : A = nekrosis; B = degenera Keterangan : A = nekrosis; B = degene- si melemak rasi melemak C = vena sentralis Gambar 8. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan setelah praperlakuan jus buah
pepaya dosis 13,28 g/kgBB terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB
Kelompok V adalah kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 16,56
g/kgB. Aktivitas GPT-serumnya sebesar 132,20 ± 10,56 U/L. Jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol positif (kelompok II) maka aktivitas GPT-serumnya
mengalami penurunan kurang lebih sebesar 4,6 kalinya atau memiliki efek
hepatoprotektif sebesar 78,35%, seperti tersaji pada tabel VII. Artinya jus buah
pepaya dosis 16,56 g/kgBB memiliki aktivitas GPT-serum yang paling kecil
setelah induksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB. Kerusakan organ hati kelompok
V secara mikroskopis adalah degenerasi melemak dan nekrosis sama seperti
kelompok II, III dan IV, hanya kerusakan sel hati lebih sedikit dibandingkan
kelompok-kelompok sebelumnya. Jika melihat hasil statistik, skoring derajat
64
kerusakan hati (nekrosis) kelompok V berbeda bermakna (P<0,05) jika
dibandingkan dengan kelompok II dan menimbulkan perbedaan yang tidak
bermakna (P>0,05) jika dibandingkan dengan kelompok III dan IV. Perbedaan
bermakna pada derajat kerusakan hati dengan kelompok II ini dapat dilihat
dengan adanya angka proteksi yang cukup tinggi yaitu 53,23% (tersaji pada tabel
XI). Artinya keadaan sel-sel hati kelompok V lebih baik 53,23% jika
dibandingkan dengan kelompok II.
Walaupun hasil analisis statistik skoring derajat kerusakan hati (berupa
nekrosis) pada kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 16,56 g/kgBB
(kelompok V) berbeda tidak bermakna dengan kelompok praperlakuan jus buah
pepaya dosis 10,65 g/kgBB (kelompok III) dan jus buah pepaya dosis 13,28
g/kgBB (kelompok IV), tetapi kemampuan perlindungan organ hati oleh jus buah
pepaya dosis 16,56 g/kgBB (kelompok V) lebih baik jika dibandingkan dengan
jus buah pepaya dosis 10,65 g/kgBB (kelompok III) dan jus buah pepaya dosis
13,28 g/kgBB (kelompok IV). Hal ini terbukti dari angka proteksi jus buah pepaya
dosis 10,65 g/kgBB (kelompok III) memiliki angka proteksi hanya sebesar
37,10% dan jus buah pepaya dosis 13,28 g/kgBB (kelompok IV) memiliki angka
proteksi sebesar 40,32%, sedangkan jus buah pepaya dosis 16,56 g/kgBB
(kelompok V) sebesar 53,23%. Fotomikroskopi sel hati tikus kelompok V tersaji
pada gambar 9a dan 9b.
Kelompok VI adalah kelompok praperlakuan jus buah pepaya dengan
dosis paling tinggi yaitu 20,65 g/kgBB. Aktivitas GPT-serum kelompok ini
sebesar 150,20 ± 10,56 U/L. Jika dibandingkan dengan kelompok kontrol positif
65
parasetamol (kelompok II), maka aktivitas GPT-serumnya mengalami penurunan
kurang lebih 4 kalinya atau sebesar 75,40% seperti yang tersaji pada tabel VII.
Artinya jus buah pepaya dosis 20,65 g/kgBB memiliki efek hepatoprotektif
sebesar 75,40%. Dosis jus buah pepaya dosis 20,65 g/kgBB meskipun lebih besar
Gambar 9a. Gambar 9b.
Fotomikroskopi perbesaran 200x sel hati Fotomikroskopi perbesaran 400x sel hati tikus setelah praperlakuan jus buah pepa- tikus setelah setelah praperlakuan jus ya dosis 16,56 g/kgBB terinduksi parase- buah papaya dosis 16,56 g/kgBB terin- tamol dosis 0,9500 g/kgBB. duksi parasetamol dosis 0,9500
g/kgBB. Keterangan : A = nekrosis; B = degene- Keterangan : A = nekrosis; B = dege- melemak nerasi melemak C = sel hati normal
Gambar 9. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan setelah praperlakuan jus buah pepaya dosis 16,56 g/kgBB terinduksi parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB
dosisnya dari jus buah pepaya dosis 16,56 g/kgBB, tetapi kelompok praperlakuan
jus buah pepaya dosis 20,65 g/kgBB memiliki aktivitas GPT-serum lebih rendah
dari kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 16,56 meskipun hasil
statistiknya berbeda tidak bermakna (p>0,05).
Sama seperti kelompok praperlakuan jus buah pepaya sebelumnya,
meskipun aktivitas GPT-serum tidak mengalami kenaikan yang terlalu besar
seperti pada kelompok II (kontrol positif parasetamol 0,9500 g/kgBB), kerusakan
66
sel-sel hati tikus pada kelompok VI menunjukkan adanya nekrosis hanya saja
tingkat nekrosis tidak separah kelompok II, III, IV dan V. Derajat kerusakan hati
kelompok VI lebih baik dari kelompok V, hal ini terbukti dari analisis statistik
yang menunjukkan bahwa hasil statistik dari skoring derajat kerusakan sel hati
(nekrosis) kelompok VI sebesar 1,00 ± 0,00 lebih tinggi dari kelompok V sebesar
1,16 ± 0,16 seperti yang tersaji pada tabel VIII. Dibuktikan juga lewat angka
proteksi kelompok VI lebih besar dari angka proteksi kelompok V yaitu sebesar
56,45% sedangkan angka proteksi kelompok V sebesar 53,23% (tersaji pada tabel
VII). Tetapi jika melihat aktivitas GPT-serum, kelompok VI tidak lebih baik dari
kelompok V. Hal ini disebabkan aktivitas GPT-serum kelompok VI lebih rendah
Gambar 10a. Gambar 10b. Fotomikroskopi perbesaran 100x sel ha- Fotomikroskopi perbesaran 200x hati ti tikus setelah praperlakuan jus buah pe- tikus setelah praperlakuan jus buah paya dosis 20,65 g/kgBB terinduksi pa- pepaya dosis 20,65 g/kgBB terinduk- rasetamol dosis 0,9500 g/kgBB. si parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB. Keterangan : A = nekrosis; B = degene- Keterangan : A = nekrosis; B = dege- rasi melemak rasi melemak; C = vena sentralis
Gambar 10. Fotomikroskopi sel hati tikus jantan setelah praperlakuan jus buah pepaya dosis 20,65 g/kgBB terinduksi parasetamol dosis 0,9500
g/kgBB
dari kelompok V yaitu 150,20 ± 10,56 U/L, sedangkan aktivitas GPT-serum
kelompok V sebesar 132,20 ± 10,56 U/L. Sehingga meskipun angka proteksinya
67
lebih besar, efek hepatoprotektif jus buah pepaya dosis 20,65 g/kgBB sebesar
75,40% lebih kecil dari jus buah pepaya dosis 16,56 g/kgBB yang memiliki efek
hepatoprotektif sebesar 78,35% seperti yang tersaji pada tabel VII.
Fotomikroskopi sel hati tikus kelompok VI tersaji pada gambar 10a dan 10b.
Uji efek hepatoprotektif terhadap keempat dosis jus buah pepaya di atas
menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis praperlakuan jus buah pepaya secara
berturut-turut 10,65; 13,28; dan 16,56 g/kgBB memberikan keefektifan
penghambatan terhadap kehepatotoksikan parasetamol yang semakin besar.
Hanya ketika dosis 16,56 g/kgBB dan 20,65 g/kgBB tidak terjadi kenaikan
keefektifan penghambatan terhadap kehepatotoksikan parasetamol, hal ini dapat
disebabkan adanya kondisi patologis hewan uji yang memang termasuk dalam
variabel pengacau tak terkendali. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persentase
penurunan aktivitas GPT-serum yang merupakan efek hepatoprotektif jus buah
pepaya dosis 10,65; 13,28; 16,56 dan 20,65 g/kgBB secara berturut-turut sebesar
9,07%; 71,54%; 78,35%; dan 75,40%. Menurut teori yang dikemukakan
Zimmerman (1978) kerusakan sel hati berupa nekrosis dapat ditunjukkan dengan
kenaikan aktivitas GPT-serum yang mencapai 10-100 kali, tetapi pada penelitian
ini meskipun terjadi nekrosis kenaikan aktivitas GPT-serum tidak mencapai 10
kali. Meskipun aktivitas GPT-serum tidak mengalami kenaikan 10 kali, tetapi jika
dibandingkan dengan aktivitas GPT-serum kelompok I (kelompok kontrol negatif
CMC Na 0,7% 0,15g/kgBB) memiliki hasil statistik yang berbeda bermakna
(p<0,05). Hal ini dapat memberikan tanda bahwa telah terjadi kerusakan sel hati,
68
karena terjadi kenaikan aktivitas GPT-serum yang berbeda bermakna dari
kelompok I.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian jus buah pepaya
memiliki efek hepatoprotektif. Pemberian praperlakuan jus buah pepaya dosis
10,65; 13,28, 16,56 dan 20,65 g/kgBB (kelompok III-VI) memiliki angka proteksi
berturut-turut sebesar 37,10%, 40,32%, 53,23% dan 56,45%. Kelompok VI
(pemberian praperlakuan jus buah pepaya dosis 20,65 g/kgBB) merupakan
kelompok yang memiliki tingkat kerusakan hati paling rendah dan didukung
dengan adanya angka proteksi yang paling besar pula.
Adanya penghambatan tingkat kerusakan sel hati tikus menunjukkan
bahwa jus buah pepaya mempunyai efek hepatoprotektif pada tikus jantan
terinduksi parasetamol. Hanya saja tingkat efek hepatoprotektif jus buah pepaya
dalam penelitian ini belum mampu mencapai pencegahan timbulnya kerusakan sel
hati yang parah seperti nekrosis. Kemungkinan adanya efek hepatoprotektif
tersebut dapat ditinjau dari mekanisme kerusakan hati tikus yang ditimbulkan oleh
hepatotoksin parasetamol dan aktivitas antioksidan seperti vitamin C, vitamin E,
karetenoid (β-karoten dan likopen) yang terkandung dalam buah pepaya.
Diketahui bahwa kerusakan hati selain diperantarai oleh NAPBKI,
kehepatotoksikan parasetamol juga terjadi melalui jalur tekanan oksidatif. Melalui
jalur tekanan oksidatif ini, kehepatotoksikan parasetamol diyakini diperantarai
adanya oksigen reaktif atau radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen
peroksida, dan radikal hidroksil. Dengan demikian, dapat diduga bahwa efek
hepatoprotektif jus buah pepaya pada tikus jantan terinduksi parasetamol terkait
69
dengan kemampuan senyawa vitamin C, vitamin E, karetenoid (β-karoten dan
likopen) menetralkan oksigen reaktif atau radikal bebas seperti anion superoksida,
hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil.
Ket. : OOL = senyawa peroksil lipid (radikal bebas)
Gambar 11. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh vitamin E (tokoferol)
O
O
C16H33
H
OOL
O
O
C16H33
-LOOH
O
O
C16H33
O
O
C16H33O
O
C16H33O
O
C16H33
Vitamin E
70
Ket. : X = senyawa radikal bebas
Gambar 12. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh β - karoten
-HX
β - karoten
H
H
X
H
Resonansi menjadi produk niradikal
H
H
X
Produk niradikal
71
Ket. : X = senyawa radikal bebas
Gambar 13. Kemungkinan mekanisme reaksi penangkapan radikal bebas oleh Likopen
H
H
Likopen
H
H
X
H
X
Resonansi menjadi produk niradikal
-HX
Produk niradikal
72
C. Rangkuman Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praperlakuan jus buah pepaya
dosis 10,65; 13,28; 16,56; dan 20,65 g/kgBB (kelompok III-VI) mampu
memberikan efek hepatoprotektif akibat induksi hepatotoksin parasetamol
berturut-turut sebesar 9,07%; 71,54%; 78,35%; dan 75,40% yang ditinjau dari
penurunan aktivitas GPT-serum yang dibandingkan dengan kelompok kontrol
positif parasetamol. Meskipun belum sampai dapat mencegah tingkat kerusakan
hati yang mencapai nekrosis, dalam penelitian ini gambaran histopatologinya
menunjukkan bahwa keadaan sel hati tikus kelompok III-VI tampak lebih baik
dibanding kontrol positif parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB dengan angka proteksi
berturut-turut sebesar 24,86%; 45,88%; 57,66%; dan 50,58%. Hasil ini menjawab
permasalahan utama dalam penelitian ini yakni bahwa jus buah pepaya (Carica
papaya L.) mempunyai efek hepatoprotektif pada tikus jantan terinduksi
parasetamol. Permasalahan kedua dijawab dengan perhitungan angka proteksi dari
masing-masing kelompok praperlakuan jus buah pepaya pada tikus jantan
terinduksi parasetamol dengan dosis 10,65; 13,28; 16,56; dan 20,65 g/kgBB
memiliki angka proteksi secara beruturut-turut sebesar 37,10%; 40,32%; 53,23%;
dan 56,45%.
Mekanisme efek hepatoprotektif jus buah pepaya pada tikus jantan
terinduksi parasetamol belum diketahui secara pasti. Namun, dapat diduga bahwa
efek hepatoprotektif jus buah pepaya pada tikus jantan terinduksi parasetamol
mungkin terkait dengan kemampuan senyawa vitamin C, vitamin E, karetenoid
73
(β-karoten dan likopen) menetralkan oksigen reaktif atau radikal bebas seperti
anion superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil.
74
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Jus buah pepaya dosis 10,65; 13,28; 16,56; dan 20,65 g/kgBB mempunyai
efek hepatoprotektif pada tikus jantan terinduksi parasetamol.
2. Efek hepatoprotektif jus buah pepaya dosis 10,65; 13,28; 16,56; dan 20,65
g/kgBB pada tikus jantan terinduksi parasetamol berturut-turut sebesar 9,07%;
71,54%; 78,35%; dan 75,40%.
3. Angka proteksi jus buah pepaya dosis 10,65; 13,28; 16,56; dan 20,65 g/kgBB
pada tikus jantan terinduksi parasetamol berturut-turut sebesar 37,10%;
40,32%; 53,23%; dan 56,45%.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, perlu dilakukan penelitian tentang :
1. Uji hepatoprotektif jus buah pepaya pada tikus jantan terinduksi parasetamol
dengan menambahkan penggunaan kontrol positif berupa obat anti hepatitis
yang sudah beredar dipasaran dan penggunaan kontrol jus buah papaya
sebagai kontrol negatif.
75
2. Uji hepatoprotektif jus buah pepaya pada tikus jantan terinduksi parasetamol
dengan senyawa pensuspensi parasetamol selain CMC Na yang sesuai dengan
cairan fisiologis jika pemberian parasetamol secara intraperitonial seperti
phosphate-buffer saline (PBS).
3. Optimasi dosis parasetamol yang diberikan secara intraperitonial.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, S. A., 1996, Hepatitis Virus Kronik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
jilid I, Edisi ketiga, 262-264, Balai Pustaka FKUI, Jakarta. Adeneye, A.A., Olagunju, J.A., Banjo, A.A.F., Abdul, S.F., Sanusi, O.A., Sanni,
O.O., Osarodion, B.A., and Shonoiki, O.E., 2009, The Aqueous Seed Extract Of Carica papaya Linn. Prevents Carbon Tetrachloride Induced Hepatotoxicity In Rats, International Journal of Applied Research in Natural Products, 2 (2), 19-30, http://www.healthy-synergies.com, diakses tanggal 2 Mei 2010.
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi II, 37, departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Asada, K., 1992, Ascorbate Peroxidase - Hydrogen Peroxidescavenging Enzyme in
Plants, Physiologia Plantarum, 85, 235-241. Ascherio, A., Stampfer, M. J., Colditz, G. A., Rimm, E. B., Litin, L., and Willet, W.
C., 1992, Correlations of vitamin A and E Intakes with The Plasma Concentrations of Caretenoids and Tocopherols Among American Men and Women, Journal of Nutrition, 122, 1792-1801.
Bellevile-Nabet, F., 1996, Zat Gizi Antioksidan Penangkal Senyawa Radikal Pangan
dalam Sistem Biologis, Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan, CFNS-IPB, Kedutaan Besar Perancis, Jakarta.
Chandrasoma, P., 1995, Concise Pathology, 2nd
edition, 620-629, Prentice Hall International, Inc.
Chandrasoma, P., and Taylor, C. R., 1991, Concise Pathology, 2nd
ed., 619-652, Prentice Hall, New Jersey.
Chandrika, U.G., Jansz, E.R., Wikramasinghe, S.M.D.N., and Warnasuriya, N.D., 2003, Bioconversion of Pro-Vitamin A Carotenoids and Antioxidant Activity of Carica papaya Fruits, Journal of The National Science Foundation of Sri Lanka, 31 (3 and 4), 437-444.
Corwin, L.M., dan Gordon, R.K., 1982, Vitamin E and Immune Regulation, Annuals
of The New York Academy of Science, 393, 437-450.
77
Crouzet, J., and Kanasawud, P., 1992, Formation of Violatile Compounds by Thermal
Degradation of Caretenoids, Methods Enzymol, 213, 54-62. Dalimartha, S., 1999, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis, Cetakan ke-
3, 4, Penebar Swadaya, Jakarta. Donatus, I. A., 1992, Peran Fitofarmaka dalam Upaya Pengobatan Hepatitis,
Kumpulan Naskah Lengkap Simposium Nasional Hepatitis, Yogyakarta. Donatus, I. A., 1994, Antaraksi Kurkumin dengan Parasetamol : Kajian terhadap
Apek Farmakologi dan Toksikologi Perubahan Hayati Parasetamol, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gibson, G. G., and Skett, P., 1991, Introduction to Drug Metabolism, diterjemahkan
oleh Iis Aisyah B., 200-201, UI Press, Jakarta. Grahame-Smith, and Aronson, 1992, Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and
Drug Therapy, 2nd
ed., 42, Oxford University Press, New York.
Guyton, A. C., and Hall J. E., 1996, Textbook of Medical Phsyology, diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Edisi 9, 1103-1105, Cv EGC, Jakarta.
Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, 234-245, ITB,Bandung. Haschek, W. M., Wallig M. A., and Rousseaux C., 2010, Fundamentals of
Toxicologic Patology, 2nd
ed., 197-235, Elsevier, Canada.
Henderson, J. C., Wolf R. C., Kitteringham N., Powell H., Otto D., and Park K. B., 2000, Increased Ressistance to Acetaminophen Hepatotoxicity in Mice Lacking Glutathione S-tranferase Pi, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 97 (23), 12741-12745.
Husadha, Y., 1996, Fisiologi dan Pemeriksaan Biokimia Hati, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid I, Edisi Ketiga, 224-227, Balai Pustaka FKUI, Jakarta Isselbacher, K. J. and Podolsky, D. K., 1995, Tes Diagnostik Pada Penyakit Hati,
Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa oleh Ahmad H. Asdie, 4, 1655-1656, EGC Press, Jakarta.
Jungueira, L. C. and Carneiro, J., 1980, Basic Histology, 3rd ed., diterjemahkan oleh
Adji Dharma, 342-344, 354, CV EGC, Jakarta.
78
Kofman, A. V., Morgan, G.,Kirschenbaum, A., Osbeck, J., Hussain, M., Swenson, S.,
and Theise1, N. D., 2005, Dose- and Time-Dependent Oval Cell Reaction in Acetaminophen-Induced Murine Liver Injury, Hepatology, 41 (6), 1254.
Ladoangin, A. A., 2004, Efek Hepatoprotektif Jus Buah Apel Hijau (Pyrus malus L.)
pada Mencit Jantan Terinduksi Parasetamol, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Levine, M., K.R., Dhariwal, Elch, R.W., Wang, Y., and Park, J.B., 1995,
Determination of Optimal Vitamin C Requirments in Humans, The American Journal of Clinical Nutition, 62 (Suppl), 1247S-1356S.
Lieber, C.S. dan Leo, M.A., 1999, Alcohol, Vitamin A, and β Carotene: Adverse
Interactions, Including Hepatotoxicity and Carcinogenicity, The American Journal of Clinical Nutition, 69 (6), 1071-1085
Lin, H. J. and Lu H. Y., 1997, Role of Pharmacokinetics and Metabolism in Drug
Discovery and Development, 49 (4), 403-449, Departement of Drug Metabolism, Merck Research Laboratories, West Point, Pennsylvania.
Linawati, Y., Apriyanto, A., Susanti, E., Wijayanti, I., dan Donatus, A., 2006, Efek
Hepatoprotektif Rebusan Herba Putri Malu (Mimosa pigra, L.) Pada Tikus Terangsang Parasetamol,
Risalah Seminar Ilmiah Nasional Hasil Penelitian "Fitofarmaka: Imunomodulator Masa Kini", 207-217, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Lingappa, V. R., 1995, Liver Desease, in McPhee, S. J., Lingappa V. R., Ganong W. F., and Lange J. D., (Eds), Pathophysiology of Dissease; An Introduction to Clinical Medicine, Ist
ed., 245-2877, Appleton and Lange Connecticut.
Lu, F. C., 1995, Basic Toxicology : Fundamentals, Target Organs, and Assesment, diterjemahkan oleh Edi Nugroho, Edisi 2, 206-220, Penerbit Universitas Indonesia.
Lu, Y., Etoh, H., Watanabe, N., Ina, K., Ukai, N., Oshima, S., Ojima, F., Sakamoto,
H., and Ishiguro, Y., 1995, A New Caretenoid, Hydrogen Peroxide Oxidation Products from Lycopene, Bioscience, Biotechnology and Biochemistry, 59, 2153-2155.
79
Mirochnitchenko, O., Weisbrot-Lefkowitz, M., Reuhl, K., Chen, L., Yang, C., and Inouye, M., 1999, Acetaminophen Toxicity; Opposite Effects of Two Form on Glutathion Peroxidase, The Journal of Biological Chemistry, 274 (15), 10349-10355.
Muhlisah,F., 2001, Tanaman Obat Keluarga, 1 – 3, Penerbit Swadaya, Jakarta. Pekiner, B.G., 2003, Vitamin E As An Antioxidant, Journal of Faculty of Pharmacy
of Ankara University, 32 (4), 243-267, 2003. Price, S. A. and Wilson L. M., 1994, Phatophysiology, diterjemahkan oleh Adji
Dharma, Ed. 4, 426-457, EGC, Jakarta. Plaa, G. L., amd Charbonneau, M., 2001, Detection and Evaluation of Chemically
Induced Liver Injury, in Hayes, A. W., (Ed.), Principles and Methods of Toxicology, 2nd
ed., 1145-1187, Taylor & Francis, Philadelphia.
Rambung, C. C., 2002, Efek Hepatoprotektif Air Rebusan Serbuk Simplisia Kulit Batang Faloak (Sterculia urceolata Smith.) pada Mencit Jantan (Mus muscullus) Terinduksi Karbon Tetraklorida, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Ronse, D. L. P., and Smets, E. F., 1999, The Floral Development an Anatomy of
Carica papaya (Caricaceae), Canadian Journal of Botany, 77, 582 – 598, Sumarto, W., 1996, Perlemakan Hati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, Edisi
Ketiga, 333-335, Balai Pustaka FKUI, Jakarta. Surahman, D.N., dan Darmajana, D.A., 2004, Kajian Analisa Kandungan Vitamin
dan Mineral pada Buah-buahan Tropis dan Sayur-Sayuran Di Toyama Perfecture Jepang, Seminar Nasional Rekayasa Kimia Dan Proses, Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang
Suwandi, Usman, 1991, Manfaat Beta Karoten Bagi Kesehatan; Cermin Dunia
Kedokteran,No.73,http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/cdk133_obstetri_dan_ginekologi.pdf
, diakses tanggal 20 Mei 2009.
Tarigan, P., 1996, Sirosis Hati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi Ketiga, 271-272, Balai Pustaka FKUI, Jakarta.
Tjandrawinata, R.R., 2003, Peran Jaringan Antioksidan dan Lycopene dalam
Kesehatan Kardiovaskuler, http://www.anugrah-argon.com/default.asp [15/6/04]
80
Treinen, M. and Moslen, 2001, Toxic Responses of Liver, in Klaassen, C. D., (Ed),
Casaret and Doull’s Toxicology : The Basic Science of Poison, 6th
ed., 471-487, McGraw-Hill Companies, New York.
Vogel, G. H., 2007, Carbontetrachloride Induced Liver Fibrosis in Rats, in Springer, Vogel, W. H., Scholkens, B. A., Sandow, J., Muller, G., Vogel, W. F., (Ed), Drug Discovery and Evaluation : Pharmacological Assays, 2nd
ed., 1315-1316, Springer, German.
Ward, F. M., and Daly M. J., 2000, Hepatic Dissease, in Halber, R. and Edwards C., (Ed), Clinical Pharmacy and Therapeutics, 2nd
ed., 197, Churchill livingstone, Edinburgh.
Warisno, 2003, Budi Daya Pepaya, 7, Kanisius, Jakarta. Waters, E., Wang H. J., Redmond P. H., Wu D. Q., Kay E., and Bouchier-Hayes D.,
2001, Role of Taurine in Preventing acetaminophen-Induced Hepatic Injury in The Rat, American Journal of Physiology: Gastrointest Liver Physiology, 280 (6), G 1274- G1279.
Wenas, N. T., 1996, Kelainan Hati Akibat Obat, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
jilid I, Edisi Ketiga, 363-365, Balai Pustaka FKUI, Jakarta. Wijayakusuma, H., S. Dalimartha, A.S. Wirian, T. Yaputra, dan B. Wibowo, 1994,
Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, jilid 2, Pustaka Kartini, Jakarta, 138-166.
Wijoyo, Y., 2001, Antaraksi Sari Wortel (Daucus carota L.) Parasetamol : Kajian
terhadap kehepatotoksikan dan kinerja Toksikokinetika Parasetamol pada Tikus, Tesis, Universitas Gadjah mada, Yogyakarta.
Williamson, E. M., Okpako, D. T., and Evans, F. J., 1996, Pharmacological Methods
in Phytotherapy Research Selection Preparation and Pharmacological Evaluation in Plant Material, I, 47-66, John Wiley & Sons Ltd., London.
Wilmana, P. F., 1995, Analgesik-Antipiretik Analgesik Antiinflamasi Nonsteroid dan
Obat Pirai, Anonim (Ed), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, 213-215, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Unoversitas Indonesia, Jakarta.
Winarsi, H. M. S., 2007, Antioksidan Alami dan Radikal Bebas, 137-169, Kanisius,
Yogyakarta.
81
Zakaria, F.R., 1996, Peranan Zat-Zat Gizi dalam Sistem Kekebalan Tubuh, Buletin Teknologi dan Industri Pangan, 7 (3), 75-81, Jakarta.
Zimmerman, H. J., 1978, Hepatotoxicity, 49, 93-99, 167-171, 178-79, 236-237, 259,
Appleton Century Crofts, New York.
82
LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto Buah Pepaya (Carica papaya L.)
Lampiran 2. Foto Jus Pepaya (Carica papaya L.)
83
Lampiran 3. Foto Penyuntikan Tikus
Lampiran 4. Foto Pengambilan Organ Hati
84
Lampiran 5. Surat Keterangan Determinasi Tanaman Pepaya
Yogyakarta, 18 Agustus 2010
85
Lampiran 6. Hasil pemeriksaan histopatologis
Pemeriksaan dilakukan oleh : Nama : dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A NIP : 140 356 819 Unit : SMF. Patologi Anatomi
Gedung Radioputro Lt. 4 Faklutas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tabel Skorring Keruskan Hati
1. Orientasi Dosis
Kontrol Negatif (tanpa pemberian parasetamol)
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
1 180,2 - - - 2 185,5 - - - 3 181,2 - - -
Pemberian Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
1 181,4 + - - 2 182,5 + - - 3 191,2 - - -
Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
1 187,3 + + - 2 186,6 + - - 3 181,7 + - -
Keterangan skoring : - = 0 (tidak ada) ++ = 2 (sedang) + = 1 (ringan) +++ = 3 (parah)
86
Pemeriksaan dilakukan oleh : Nama : dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A NIP : 140 356 819 Unit : SMF. Patologi Anatomi
Gedung Radioputro Lt. 4 Faklutas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakart Pemberian Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
1 183,8 + - - 2 182,4 + - - 3 192,2 + + -
Pemberian Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
1 180,6 + + - 2 188,2 ++ + - 3 199,0 ++ ++ -
Keterangan skoring : - = 0 (tidak ada) ++ = 2 (sedang) + = 1 (ringan) +++ = 3 (parah)
87
Pemeriksaan dilakukan oleh : Nama : dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A NIP : 140 356 819 Unit : SMF. Patologi Anatomi
Gedung Radioputro Lt. 4 Faklutas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Pemberian Dosis Parasetamol 1,000 g/kgBB
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
1 219,8 ++ ++ - 2 213,5 ++ ++ - 3 209,8 ++ ++ -
*Keterangan skoring : - = 0 (tidak ada) ++ = 2 (sedang) + = 1 (ringan) +++ = 3 (parah)
dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A
(NIP. 140 356 819)
88
Pemeriksaan dilakukan oleh : Nama : dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A NIP : 140 356 819 Unit : SMF. Patologi Anatomi
Gedung Radioputro Lt. 4 Faklutas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
2. Orientasi Waktu Pengambilan SGPT (setelah pemnberian parasetamol dosis 0,950 g/kgBB) 6 jam dan 12 setelah pemberian parasetamol
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
1 190,5 + + - 2 205,6 ++ + - 3 213,1 + - - 4 208,5 + - - 5 203,9 ++ ++ -
15 jam dan 18 jam setelah pemberian parasetamol
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
1 181,5 ++ ++ - 2 190,6 + + - 3 188,3 + ++ - 4 + + - 5 209,8 ++ + -
*Keterangan skoring : - = 0 (tidak ada) ++ = 2 (sedang) + = 1 (ringan) +++ = 3 (parah)
dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A
(NIP. 140 356 819)
89
Pemeriksaan dilakukan oleh : Nama : dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A NIP : 140 356 819 Unit : SMF. Patologi Anatomi
Gedung Radioputro Lt. 4 Faklutas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tabel Skorring Keruskan Hati
1. Kontrol Positif Pemberian Parasetamol Dosis 0,950 g/kgBB (hewan uji dibedah setelah 18 jam pemberian parasetamol)
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis Limfosit Pigmen
1 195,7 ++ ++ - - - 2 196,2 ++ +++ - - - 3 193,1 ++ +++ - - - 4 195,7 ++ +++ - - - 5 205,4 ++ +++ - - -
2. Kontrol Negatif Pemberian CMC Na 0,7% (hewan uji dibedah setelah 18 jam pemberian CMC Na 0,7%)
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis Limfosit Pigmen
1 199,9 - - - - - 2 203,7 + - - - - 3 204,0 - - - - - 4 197,8 - - - - - 5 185,6 + - - - -
*Keterangan skoring : - = 0 (tidak ada) ++ = 2 (sedang) + = 1 (ringan) +++ = 3 (parah)
dr. Hadi Irawiraman
M. Kes., Sp. P.A (NIP. 140 356 819)
90
Pemeriksaan dilakukan oleh : Nama : dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A NIP : 140 356 819 Unit : SMF. Patologi Anatomi
Gedung Radioputro Lt. 4 Faklutas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3. Perlakuan Jus Buah Pepaya Dosis 20,65 g/kgBB (hewan uji dibedah
setelah 18 jam pemberian parasetamol)
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis Limfosit Pigmen
1 204,7 + + - ++ - 2 186,9 - + - + - 3 199,2 - + - + - 4 193,7 - + - ++ - 5 206,3 + + - ++ -
4. Perlakuan Jus Buah Pepaya Dosis 16,56 g/kgBB (hewan uji dibedah setelah 18 jam pemberian parasetamol)
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis Limfosit Pigmen
1 209,9 - + - - - 2 180,0 + ++ - - + 3 206,7 - + - - - 4 204,0 - + - - - 5 207,8 - + - - -
*Keterangan skoring : - = 0 (tidak ada) ++ = 2 (sedang) + = 1 (ringan) +++ = 3 (parah)
dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A
(NIP. 140 356 819)
91
Pemeriksaan dilakukan oleh : Nama : dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A NIP : 140 356 819 Unit : SMF. Patologi Anatomi
Gedung Radioputro Lt. 4 Faklutas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
5. Perlakuan Jus Buah Pepaya Dosis 13,28 g/kgBB (hewan uji dibedah
setelah 18 jam pemberian parasetamol)
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis Limfosit Pigmen
1 182,5 + + - ++ + 2 186,8 + + - ++ - 3 184,7 ++ ++ - ++ + 4 205,4 + + - ++ - 5 195,4 + ++ - ++ -
6. Perlakuan Jus Buah Pepaya Dosis 10,65 g/kgBB (hewan uji dibedah setelah 18 jam pemberian parasetamol)
Tikus Berat Badan (Gram)
Derajat Kerusakan Hati Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis Limfosit Pigmen
1 200,5 + + - ++ - 2 195,5 + +++ - ++ ++ 3 195,9 + ++ - ++ ++ 4 195,3 + ++ - ++ - 5 210,5 + ++ - ++ +
*Keterangan skoring : - = 0 (tidak ada) ++ = 2 (sedang) + = 1 (ringan) +++ = 3 (parah)
dr. Hadi Irawiraman M. Kes., Sp. P.A (NIP. 140 356
819
92
Lampiran 7. Data aktivitas gpt-serum dan hasil analisis statistik uji pendahuluan penentuan dosis hepatotoksik parasetamol
Tabel XII. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post) pemberian parasetamol dosis 0,7500 g/kgBB
Kelompok Dosis
Parasetamol 0,7500 g/kgBB
GPT-Serum Pre (U/L)
GPT-Serum Post (U/L)
1 54.00 214.00 2 53.00 84.00 3 59.00 321.00
Case Processing Summary
Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Post_test Dosis 750 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0% Descriptives
Dosis_Parasetamol Statistic Std. Error
Post_test Dosis 750 mg/kgBB Mean 206.3333 68.52331
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
-88.4987
Upper Bound
501.1654
5% Trimmed Mean . Median 214.0000 Variance 14086.333 Std. Deviation 118.68586 Minimum 84.00 Maximum 321.00 Range 237.00 Interquartile Range . Skewness -.289 1.225
Kurtosis . . Tests of Normality
Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Post_test Dosis 750 mg/kgBB .192 3 . .997 3 .893 a. Lilliefors Significance Correction
93
T-Test Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 55.3333 3 3.21455 1.85592
Post_test 206.3333 3 118.68586 68.52331
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 3 .912 .270
Paired Samples Test
Paired Differences
Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_test - Post_test
-151.00000 115.76269
66.83562 -438.57046 136.57046 .152
Tabel XIII. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post)
pemberian parasetamol dosis 0,8255 g/kgBB
Kelompok Dosis Parasetamol 0,8255
g/kgBB
GPT-Serum Pre (U/L)
GPT-Serum Post (U/L)
1 50.00 328.00 2 56.00 192.00 3 65.00 197.00
Case Processing Summary
Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Post_test Dosis 825,5 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Descriptives
Dosis_Parasetamol Statistic Std. Error
Post_test Dosis 825,5 mg/kgBB Mean 239.0000 44.52340
95% Confidence Interval for Lower Bound 47.4313
94
Mean Upper Bound 430.5687 5% Trimmed Mean . Median 197.0000 Variance 5947.000 Std. Deviation 77.11679 Minimum 192.00 Maximum 328.00 Range 136.00 Interquartile Range . Skewness 1.724 1.225
Kurtosis . . Tests of Normality
Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Post_test Dosis 825,5 mg/kgBB .374 3 . .778 3 .062 a. Lilliefors Significance Correction T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 57.0000 3 7.54983 4.35890
Post_test 239.0000 3 77.11679 44.52340
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 3 -.783 .427
Paired Samples Test
Paired Differences
Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_test - Post_test
-182.00000 83.16249 48.01389 -388.58708 24.58708 .063
95
Tabel XIV. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post)
pemberian parasetamol dosis 0,9086 g/kgBB
Kelompok Dosis Parasetamol 0,8255
g/kgBB
GPT-Serum Pre (U/L)
GPT-Serum Post (U/L)
1 92.00 224.00 2 63.00 291.00 3 42.00 241.00
Case Processing Summary
Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Post_test Dosis 908,6 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Descriptives
Dosis_Parasetamol Statistic Std. Error
Post_test Dosis 908,6 mg/kgBB Mean 252.0000 20.10804
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 165.4821 Upper Bound 338.5179
5% Trimmed Mean . Median 241.0000 Variance 1213.000 Std. Deviation 34.82815 Minimum 224.00 Maximum 291.00 Range 67.00 Interquartile Range . Skewness 1.279 1.225
Kurtosis . . Tests of Normality
Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Post_test Dosis 908,6 mg/kgBB .291 3 . .925 3 .471 a. Lilliefors Significance Correction
96
T-Test Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 65.6667 3 25.10644 14.49521
Post_test 252.0000 3 34.82815 20.10804
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 3 -.332 .784
Paired Samples Test
Paired Differences
Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_test - Post_test
-186.33333 49.23752 28.42730 -308.64611 -64.02055 .022
Tabel XV. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post) pemberian parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB
Kelompok Dosis
Parasetamol 0,9500 g/kgBB
GPT-Serum Pre (U/L)
GPT-Serum Post (U/L)
1 47.00 894.00 2 55.00 - 3 54.00 912.00
Case Processing Summary
Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Post_test Dosis 950 mg/kgBB 2 66.7% 1 33.3% 3 100.0%
Descriptives
Dosis_Parasetamol Statistic Std. Error
Post_test Dosis 950 mg/kgBB Mean 903.0000 9.00000
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 788.6442 Upper Bound 1017.3558
97
5% Trimmed Mean . Median 903.0000 Variance 162.000 Std. Deviation 12.72792 Minimum 894.00 Maximum 912.00 Range 18.00 Interquartile Range . Skewness . .
Kurtosis . . Tests of Normality
Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig.
Post_test Dosis 950 mg/kgBB .260 2 . a. Lilliefors Significance Correction T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 50.5000 2 4.94975 3.50000
Post_test 903.0000 2 12.72792 9.00000
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 2 1.000 .000
Paired Samples Test
Paired Differences
Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_test - Post_test
-852.50000 7.77817 5.50000 -922.38413 -782.61587 .004
98
Tabel XVI. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post) pemberian parasetamol dosis 1,0000 g/kgBB
Kelompok Dosis
Parasetamol 1,0000 g/kgBB
GPT-Serum Pre (U/L)
GPT-Serum Post (U/L)
1 60.00 - 2 63.00 7.00 3 59.00 958.00
Case Processing Summary
Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Post_test Dosis 1000 mg/kgBB 2 66.7% 1 33.3% 3 100.0% Pre_test Dosis 1000 mg/kgBB 2 66.7% 1 33.3% 3 100.0%
Descriptives
Dosis_Parasetamol Statistic Std. Error
Post_test Dosis 1000 mg/kgBB Mean 482.5000 475.50000
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -5559.3004 Upper Bound 6524.3004
5% Trimmed Mean . Median 482.5000 Variance 452200.500 Std. Deviation 672.45855 Minimum 7.00 Maximum 958.00 Range 951.00 Interquartile Range . Skewness . .
Kurtosis . . Pre_test Dosis 1000 mg/kgBB Mean 61.0000 2.00000
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 35.5876 Upper Bound 86.4124
5% Trimmed Mean . Median 61.0000 Variance 8.000 Std. Deviation 2.82843
99
Minimum 59.00 Maximum 63.00 Range 4.00 Interquartile Range . Skewness . . Kurtosis . .
Tests of Normality
Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig.
Post_test Dosis 1000 mg/kgBB .260 2 . Pre_test Dosis 1000 mg/kgBB .260 2 . a. Lilliefors Significance Correction T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 61.0000 2 2.82843 2.00000
Post_test 482.5000 2 672.45855 475.50000
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 2 -1.000 .000
Paired Samples Test
Paired Differences
Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
100
Case Processing Summary
Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pre_test Dosis 750 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis 825,5 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis 908,6 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis 950 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis 1000 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Descriptives
Dosis_Parasetamo Statistic Std. Error
Pre_test Dosis 750 mg/kgBB Mean 55.3333 1.85592
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 47.3479 Upper Bound 63.3187
5% Trimmed Mean . Median 54.0000 Variance 10.333 Std. Deviation 3.21455 Minimum 53.00 Maximum 59.00 Range 6.00 Interquartile Range . Skewness 1.545 1.225
Kurtosis . .
Dosis 825,5 mg/kgBB Mean 57.0000 4.35890
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 38.2452 Upper Bound 75.7548
5% Trimmed Mean . Median 56.0000 Variance 57.000 Std. Deviation 7.54983 Minimum 50.00 Maximum 65.00
Pair 1 Pre_test - Post_test
-421.50000 675.28698 477.50000 -6488.71276 5645.71276
.540
101
Range 15.00 Interquartile Range . Skewness .586 1.225
Kurtosis . .
Dosis 908,6 mg/kgBB Mean 65.6667 14.49521
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 3.2988 Upper Bound 128.0345
5% Trimmed Mean . Median 63.0000 Variance 630.333 Std. Deviation 25.10644 Minimum 42.00 Maximum 92.00 Range 50.00 Interquartile Range . Skewness .473 1.225
Kurtosis . .
Dosis 950 mg/kgBB Mean 52.0000 2.51661
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 41.1719 Upper Bound 62.8281
5% Trimmed Mean . Median 54.0000 Variance 19.000 Std. Deviation 4.35890 Minimum 47.00 Maximum 55.00 Range 8.00 Interquartile Range . Skewness -1.630 1.225
Kurtosis . .
Dosis 1000 mg/kgBB Mean 60.6667 1.20185
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 55.4955 Upper Bound 65.8378
5% Trimmed Mean . Median 60.0000
102
Variance 4.333 Std. Deviation 2.08167 Minimum 59.00 Maximum 63.00 Range 4.00 Interquartile Range . Skewness 1.293 1.225
Kurtosis . .
Tests of Normality
Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pre_test Dosis 750 mg/kgBB .328 3 . .871 3 .298
Dosis 825,5 mg/kgBB .219 3 . .987 3 .780
Dosis 908,6 mg/kgBB .209 3 . .992 3 .824
Dosis 950 mg/kgBB .343 3 . .842 3 .220
Dosis 1000 mg/kgBB .292 3 . .923 3 .463 a. Lilliefors Significance Correction
Oneway
Descriptives Pre_test
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Dosis 750 mg/kgBB 3 55.3333 3.21455 1.85592 47.3479 63.3187 53.00 59.00 Dosis 825,5 mg/kgBB 3 57.0000 7.54983 4.35890 38.2452 75.7548 50.00 65.00 Dosis 908,6 mg/kgBB 3 65.6667 25.10644 14.49521 3.2988 128.0345 42.00 92.00 Dosis 950 mg/kgBB 3 52.0000 4.35890 2.51661 41.1719 62.8281 47.00 55.00 Dosis 1000 mg/kgBB 3 60.6667 2.08167 1.20185 55.4955 65.8378 59.00 63.00 Total 15 58.1333 11.24955 2.90462 51.9035 64.3631 42.00 92.00
ANOVA Pre_test
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 329.733 4 82.433 .572 .689 Within Groups 1442.000 10 144.200 Total 1771.733 14
103
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Pre_test Scheffe
(I) Dosis_Parasetamol (J) Dosis_Parasetamol
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Dosis 750 mg/kgBB Dosis 825,5 mg/kgBB -1.66667 9.80476 1.000 -38.2375 34.9042
Dosis 908,6 mg/kgBB -10.33333 9.80476 .886 -46.9042 26.2375
Dosis 950 mg/kgBB 3.33333 9.80476 .998 -33.2375 39.9042
Dosis 1000 mg/kgBB -5.33333 9.80476 .989 -41.9042 31.2375 Dosis 825,5 mg/kgBB Dosis 750 mg/kgBB 1.66667 9.80476 1.000 -34.9042 38.2375
Dosis 908,6 mg/kgBB -8.66667 9.80476 .935 -45.2375 27.9042 Dosis 950 mg/kgBB 5.00000 9.80476 .991 -31.5708 41.5708 Dosis 1000 mg/kgBB -3.66667 9.80476 .997 -40.2375 32.9042
Dosis 908,6 mg/kgBB Dosis 750 mg/kgBB 10.33333 9.80476 .886 -26.2375 46.9042 Dosis 825,5 mg/kgBB 8.66667 9.80476 .935 -27.9042 45.2375 Dosis 950 mg/kgBB 13.66667 9.80476 .746 -22.9042 50.2375 Dosis 1000 mg/kgBB 5.00000 9.80476 .991 -31.5708 41.5708
Dosis 950 mg/kgBB Dosis 750 mg/kgBB -3.33333 9.80476 .998 -39.9042 33.2375 Dosis 825,5 mg/kgBB -5.00000 9.80476 .991 -41.5708 31.5708 Dosis 908,6 mg/kgBB -13.66667 9.80476 .746 -50.2375 22.9042 Dosis 1000 mg/kgBB -8.66667 9.80476 .935 -45.2375 27.9042
Dosis 1000 mg/kgBB Dosis 750 mg/kgBB 5.33333 9.80476 .989 -31.2375 41.9042 Dosis 825,5 mg/kgBB 3.66667 9.80476 .997 -32.9042 40.2375 Dosis 908,6 mg/kgBB -5.00000 9.80476 .991 -41.5708 31.5708 Dosis 950 mg/kgBB 8.66667 9.80476 .935 -27.9042 45.2375
Homogeneous Subsets
Pre_test Scheffea
Dosis_Parasetamol N
Subset for alpha = 0.05
1
Dosis 950 mg/kgBB 3 52.0000 Dosis 750 mg/kgBB 3 55.3333 Dosis 825,5 mg/kgBB 3 57.0000 Dosis 1000 mg/kgBB 3 60.6667 Dosis 908,6 mg/kgBB 3 65.6667 Sig. .746
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
104
Case Processing Summary
Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Post_test Dosis 750 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis 825,5 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis 908,6 mg/kgBB 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis 950 mg/kgBB 2 66.7% 1 33.3% 3 100.0%
Dosis 1000 mg/kgBB 2 66.7% 1 33.3% 3 100.0%
Descriptives
Dosis_Parasetamol Statistic Std. Error
Post_test Dosis 750 mg/kgBB Mean 206.3333 68.52331
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -88.4987 Upper Bound 501.1654
5% Trimmed Mean . Median 214.0000 Variance 14086.333 Std. Deviation 118.68586 Minimum 84.00 Maximum 321.00 Range 237.00 Interquartile Range . Skewness -.289 1.225
Kurtosis . .
Dosis 825,5 mg/kgBB Mean 239.0000 44.52340
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 47.4313 Upper Bound 430.5687
5% Trimmed Mean . Median 197.0000 Variance 5947.000 Std. Deviation 77.11679 Minimum 192.00 Maximum 328.00
105
Range 136.00 Interquartile Range . Skewness 1.724 1.225
Kurtosis . .
Dosis 908,6 mg/kgBB Mean 218.6667 14.67803
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 155.5122 Upper Bound 281.8211
5% Trimmed Mean . Median 224.0000 Variance 646.333 Std. Deviation 25.42309 Minimum 191.00 Maximum 241.00 Range 50.00 Interquartile Range . Skewness -.902 1.225
Kurtosis . .
Dosis 950 mg/kgBB Mean 903.0000 9.00000
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 788.6442 Upper Bound 1017.3558
5% Trimmed Mean . Median 903.0000 Variance 162.000 Std. Deviation 12.72792 Minimum 894.00 Maximum 912.00 Range 18.00 Interquartile Range . Skewness . .
Kurtosis . .
Dosis 1000 mg/kgBB Mean 482.5000 475.50000
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -5559.3004 Upper Bound 6524.3004
5% Trimmed Mean . Median 482.5000
106
Variance 452200.500 Std. Deviation 672.45855 Minimum 7.00 Maximum 958.00 Range 951.00 Interquartile Range . Skewness . .
Kurtosis . .
Tests of Normality
Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Post_test Dosis 750 mg/kgBB .192 3 . .997 3 .893
Dosis 825,5 mg/kgBB .374 3 . .778 3 .062
Dosis 908,6 mg/kgBB .250 3 . .967 3 .651
Dosis 950 mg/kgBB .260 2 . Dosis 1000 mg/kgBB .260 2 .
a. Lilliefors Significance Correction Oneway
Descriptives Post_test
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Dosis 750 mg/kgBB 3 206.3333 118.68586 68.52331 -88.4987 501.1654 84.00 321.00 Dosis 825,5 mg/kgBB 3 239.0000 77.11679 44.52340 47.4313 430.5687 192.00 328.00 Dosis 908,6 mg/kgBB 3 218.6667 25.42309 14.67803 155.5122 281.8211 191.00 241.00 Dosis 950 mg/kgBB 2 903.0000 12.72792 9.00000 788.6442 1017.3558 894.00 912.00 Dosis 1000 mg/kgBB 2 482.5000 672.45855 475.50000 -5559.3004 6524.3004 7.00 958.00 Total 13 366.3846 327.56565 90.85037 168.4387 564.3306 7.00 958.00
ANOVA
Post_test
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 793869.244 4 198467.311 3.216 .075 Within Groups 493721.833 8 61715.229 Total 1287591.077 12 Post Hoc Tests
107
Multiple Comparisons Post_test Scheffe
(I) Dosis_Parasetamol (J) Dosis_Parasetamol
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Dosis 750 mg/kgBB Dosis 825,5 mg/kgBB -32.66667 202.83857 1.000 -827.4060 762.0727
Dosis 908,6 mg/kgBB -12.33333 202.83857 1.000 -807.0727 782.4060
Dosis 950 mg/kgBB -696.66667 226.78042 .140 -1585.2123 191.8790
Dosis 1000 mg/kgBB -276.16667 226.78042 .823 -1164.7123 612.3790 Dosis 825,5 mg/kgBB Dosis 750 mg/kgBB 32.66667 202.83857 1.000 -762.0727 827.4060
Dosis 908,6 mg/kgBB 20.33333 202.83857 1.000 -774.4060 815.0727 Dosis 950 mg/kgBB -664.00000 226.78042 .167 -1552.5456 224.5456 Dosis 1000 mg/kgBB -243.50000 226.78042 .878 -1132.0456 645.0456
Dosis 908,6 mg/kgBB Dosis 750 mg/kgBB 12.33333 202.83857 1.000 -782.4060 807.0727 Dosis 825,5 mg/kgBB -20.33333 202.83857 1.000 -815.0727 774.4060 Dosis 950 mg/kgBB -684.33333 226.78042 .150 -1572.8790 204.2123 Dosis 1000 mg/kgBB -263.83333 226.78042 .845 -1152.3790 624.7123
Dosis 950 mg/kgBB Dosis 750 mg/kgBB 696.66667 226.78042 .140 -191.8790 1585.2123 Dosis 825,5 mg/kgBB 664.00000 226.78042 .167 -224.5456 1552.5456 Dosis 908,6 mg/kgBB 684.33333 226.78042 .150 -204.2123 1572.8790 Dosis 1000 mg/kgBB 420.50000 248.42550 .604 -552.8530 1393.8530
Dosis 1000 mg/kgBB Dosis 750 mg/kgBB 276.16667 226.78042 .823 -612.3790 1164.7123 Dosis 825,5 mg/kgBB 243.50000 226.78042 .878 -645.0456 1132.0456 Dosis 908,6 mg/kgBB 263.83333 226.78042 .845 -624.7123 1152.3790 Dosis 950 mg/kgBB -420.50000 248.42550 .604 -1393.8530 552.8530
Homogeneous Subsets
Post_test Scheffea,,b
Dosis_Parasetamol N
Subset for alpha = 0.05
1
Dosis 750 mg/kgBB 3 206.3333 Dosis 908,6 mg/kgBB 3 218.6667 Dosis 825,5 mg/kgBB 3 239.0000 Dosis 1000 mg/kgBB 2 482.5000 Dosis 950 mg/kgBB 2 903.0000 Sig. .130
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.500. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
108
Lampiran 8. Data aktivitas gpt-serum dan hasil analisis statistik uji
pendahuluan penentuan waktu pengambilan cuplikan darah setelah pemberian parasetamol dosis toksik (0,9500 g/kgbb)
Tabel XVII. Data aktivitas GPT-serum pada sebelum (pre) dan sesudah (post) pemberian parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB
Explore Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
Tikus Jantan
6 Jam Setelah Pemberian
(U/L)
12 Jam Setelah Pemberian
(U/L)
15 Jam Setelah Pemberian
(U/L)
18 Jam Setelah Pemberian
(U/L) Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
1 52.00 111.00 52.00 262.00 55.00 391.00 58.00 737.00 2 60.00 142.00 60.00 320.00 46.00 389.00 59.00 691.00 3 59.00 195.00 59.00 312.00 54.00 411.00 63.00 589.00 4 49.00 158.00 49.00 428.00 55.00 436.00 62.00 653.00 5 55.00 138.00 55.00 282.00 51.00 394.00 49.00 664.00
Case Processing Summary
Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pre_test Pengambilan 6 jam setelah pemberian
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Descriptives
Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB Statistic Std. Error
Pre_test Pengambilan 6 jam setelah pemberian
Mean 55.0000 2.07364
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 49.2426 Upper Bound 60.7574
109
5% Trimmed Mean 55.0556 Median 55.0000 Variance 21.500 Std. Deviation 4.63681 Minimum 49.00 Maximum 60.00 Range 11.00 Interquartile Range 9.00 Skewness -.226 .913
Kurtosis -1.894 2.000
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
Mean 55.0000 2.07364
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 49.2426 Upper Bound 60.7574
5% Trimmed Mean 55.0556 Median 55.0000 Variance 21.500 Std. Deviation 4.63681 Minimum 49.00 Maximum 60.00 Range 11.00 Interquartile Range 9.00 Skewness -.226 .913
Kurtosis -1.894 2.000
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
Mean 52.2000 1.71464
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 47.4394 Upper Bound 56.9606
5% Trimmed Mean 52.3889 Median 54.0000 Variance 14.700 Std. Deviation 3.83406 Minimum 46.00 Maximum 55.00 Range 9.00 Interquartile Range 6.50 Skewness -1.407 .913
110
Tests of Normality
Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pre_test Pengambilan 6 jam setelah pemberian
.206 5 .200* .942 5 .680
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
.206 5 .200* .942 5 .680
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
.281 5 .200* .821 5 .118
Kurtosis 1.331 2.000
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
Mean 58.2000 2.47790
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 51.3202 Upper Bound 65.0798
5% Trimmed Mean 58.4444 Median 59.0000 Variance 30.700 Std. Deviation 5.54076 Minimum 49.00 Maximum 63.00 Range 14.00 Interquartile Range 9.00 Skewness -1.501 .913
Kurtosis 2.482 2.000
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
Mean 52.0000 2.51661
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 41.1719 Upper Bound 62.8281
5% Trimmed Mean . Median 54.0000 Variance 19.000 Std. Deviation 4.35890 Minimum 47.00 Maximum 55.00 Range 8.00 Interquartile Range . Skewness -1.630 1.225
Kurtosis . .
111
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
.286 5 .200* .859 5 .225
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
.343 3 . .842 3 .220
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Case Processing Summary
Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Post_test Pengambilan 6 jam setelah pemberian
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
2 66.7% 1 33.3% 3 100.0%
Descriptives
Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB Statistic Std. Error
Post_test Pengambilan 6 jam setelah pemberian
Mean 148.8000 13.80362
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 110.4750 Upper Bound 187.1250
5% Trimmed Mean 148.3333 Median 142.0000 Variance 952.700 Std. Deviation 30.86584 Minimum 111.00 Maximum 195.00 Range 84.00 Interquartile Range 52.00 Skewness .621 .913
Kurtosis 1.118 2.000
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
Mean 320.8000 28.75135
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 240.9735 Upper Bound 400.6265
112
5% Trimmed Mean 318.1111 Median 312.0000 Variance 4133.200 Std. Deviation 64.28997 Minimum 262.00 Maximum 428.00 Range 166.00 Interquartile Range 102.00 Skewness 1.520 .913
Kurtosis 2.704 2.000
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
Mean 404.2000 8.85099
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 379.6257 Upper Bound 428.7743
5% Trimmed Mean 403.2778 Median 394.0000 Variance 391.700 Std. Deviation 19.79141 Minimum 389.00 Maximum 436.00 Range 47.00 Interquartile Range 33.50 Skewness 1.376 .913
Kurtosis 1.119 2.000
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
Mean 666.8000 24.25366
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 599.4610 Upper Bound 734.1390
5% Trimmed Mean 667.2222 Median 664.0000 Variance 2941.200 Std. Deviation 54.23283 Minimum 589.00 Maximum 737.00 Range 148.00 Interquartile Range 93.00 Skewness -.296 .913
113
Kurtosis .858 2.000
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
Mean 903.0000 9.00000
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 788.6442 Upper Bound 1017.3558
5% Trimmed Mean . Median 903.0000 Variance 162.000 Std. Deviation 12.72792 Minimum 894.00 Maximum 912.00 Range 18.00 Interquartile Range . Skewness . .
Kurtosis . .
Tests of Normality
Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Post_test Pengambilan 6 jam setelah pemberian
.187 5 .200* .965 5 .846
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
.305 5 .145 .864 5 .242
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
.297 5 .172 .830 5 .140
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
.200 5 .200* .983 5 .950
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
.260 2 . a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. T-Test 6 Jam Setelah Pemberian Parasetamol Dosis 0,9500 g/kgBB
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 55.0000 5 4.63681 2.07364
Post_test 148.8000 5 30.86584 13.80362
114
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 5 .365 .546
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_test - Post_test
-93.80000 29.49068 13.18863 -130.41751 -57.18249 -7.112 4 .002
T-Test 12 Jam Setelah Pemberian Parasetamol Dosis 0,9500 g/kgBB
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 55.0000 5 4.63681 2.07364
Post_test 320.8000 5 64.28997 28.75135 Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 5 -.424 .476
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_test - Post_test
-265.80000 66.39051 29.69074 -348.23471 -183.36529 -8.952 4 .001
T-Test 15 Jam Setelah Pemberian Parasetamol Dosis 0,9500 g/kgBB
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 54.6818 22 4.91244 1.04734
Post_test 432.2273 22 241.01727 51.38506
115
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 22 -.022 .922
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_test - Post_test
-377.54545 241.17584 51.41886 -484.47683 -270.61408 -7.343 21 .000
T-Test 18 Jam Setelah Pemberian Parasetamol Dosis 0,9500 g/kgBB
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre_test 58.2000 5 5.54076 2.47790
Post_test 666.8000 5 54.23283 24.25366
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Pre_test & Post_test 5 -.328 .589
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation Std. Error
Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 Pre_test - Post_test
-608.60000 56.29654 25.17658 -678.50138 -538.69862 -24.173 4 .000
Oneway
Descriptives Pre_test
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
116
Multiple Comparisons
Pre_test Scheffe
(I) Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
(J) Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
.00000 2.94995 1.000 -10.0951 10.0951
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
2.80000 2.94995 .921 -7.2951 12.8951
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
-3.20000 2.94995 .878 -13.2951 6.8951
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
3.00000 3.40631 .938 -8.6568 14.6568
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
.00000 2.94995 1.000 -10.0951 10.0951
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
2.80000 2.94995 .921 -7.2951 12.8951
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
-3.20000 2.94995 .878 -13.2951 6.8951
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
3.00000 3.40631 .938 -8.6568 14.6568
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
-2.80000 2.94995 .921 -12.8951 7.2951
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
-2.80000 2.94995 .921 -12.8951 7.2951
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
-6.00000 2.94995 .417 -16.0951 4.0951
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
.20000 3.40631 1.000 -11.4568 11.8568
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
5 55.0000 4.63681 2.07364 49.2426 60.7574 49.00 60.00
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
5 55.0000 4.63681 2.07364 49.2426 60.7574 49.00 60.00
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
5 52.2000 3.83406 1.71464 47.4394 56.9606 46.00 55.00
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
5 58.2000 5.54076 2.47790 51.3202 65.0798 49.00 63.00
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
3 52.0000 4.35890 2.51661 41.1719 62.8281 47.00 55.00
Total 23 54.6957 4.79995 1.00086 52.6200 56.7713 46.00 63.00 ANOVA
Pre_test
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 115.270 4 28.817 1.325 .299 Within Groups 391.600 18 21.756 Total 506.870 22
117
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
3.20000 2.94995 .878 -6.8951 13.2951
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
3.20000 2.94995 .878 -6.8951 13.2951
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
6.00000 2.94995 .417 -4.0951 16.0951
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
6.20000 3.40631 .524 -5.4568 17.8568
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
-3.00000 3.40631 .938 -14.6568 8.6568
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
-3.00000 3.40631 .938 -14.6568 8.6568
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
-.20000 3.40631 1.000 -11.8568 11.4568
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
-6.20000 3.40631 .524 -17.8568 5.4568
Homogeneous Subsets
Pre_test Scheffea,,b
Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB N
Subset for alpha = 0.05
1
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
3 52.0000
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
5 52.2000
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
5 55.0000
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
5 55.0000
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
5 58.2000
Sig. .446
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.412. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Oneway
Descriptives Post_test
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
118
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
5 148.8000 30.86584 13.80362 110.4750 187.1250 111.00 195.00
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
5 320.8000 64.28997 28.75135 240.9735 400.6265 262.00 428.00
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
5 404.2000 19.79141 8.85099 379.6257 428.7743 389.00 436.00
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
5 666.8000 54.23283 24.25366 599.4610 734.1390 589.00 737.00
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
2 903.0000 12.72792 9.00000 788.6442 1017.3558
894.00 912.00
Total 22 432.2273 241.01727 51.38506 325.3662 539.0883 111.00 912.00
ANOVA
Post_test
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1186038.664 4 296509.666 148.968 .000 Within Groups 33837.200 17 1990.424 Total 1219875.864 21
Multiple Comparisons Post_test Scheffe
(I) Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
(J) Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
-172.00000* 28.21647 .000 -269.1681 -74.8319
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
-255.40000* 28.21647 .000 -352.5681 -158.2319
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
-518.00000* 28.21647 .000 -615.1681 -420.8319
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
-754.20000* 37.32689 .000 -882.7413 -625.6587
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
172.00000* 28.21647 .000 74.8319 269.1681
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
-83.40000 28.21647 .114 -180.5681 13.7681
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
-346.00000* 28.21647 .000 -443.1681 -248.8319
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
-582.20000* 37.32689 .000 -710.7413 -453.6587
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
255.40000* 28.21647 .000 158.2319 352.5681
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
83.40000 28.21647 .114 -13.7681 180.5681
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
-262.60000* 28.21647 .000 -359.7681 -165.4319
119
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
-498.80000* 37.32689 .000 -627.3413 -370.2587
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
518.00000* 28.21647 .000 420.8319 615.1681
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
346.00000* 28.21647 .000 248.8319 443.1681
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
262.60000* 28.21647 .000 165.4319 359.7681
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
-236.20000* 37.32689 .000 -364.7413 -107.6587
Pengambilan 24 jam setelah pemberian
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
754.20000* 37.32689 .000 625.6587 882.7413
Pengambilan 12 jam setelah pemberian
582.20000* 37.32689 .000 453.6587 710.7413
Pengambilan 15 jam setelah pemberian
498.80000* 37.32689 .000 370.2587 627.3413
Pengambilan 18 jam setelah pemberian
236.20000* 37.32689 .000 107.6587 364.7413
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Post_test Scheffea,,b
Perlakuan_Pemeberian_Parasetamol_950mg_perkgBB N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Pengambilan 6 jam setelah pemberian
5 148.8000 Pengambilan 12 jam setelah pemberian
5 320.8000 Pengambilan 15 jam setelah pemberian
5 404.2000 Pengambilan 18 jam setelah pemberian
5 666.8000 Pengambilan 24 jam setelah pemberian
2 903.0000
Sig. 1.000 .201 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.846. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
120
Lampiran 9. Data aktivitas gpt-serum dan hasil analisis statistik pra perlakuan jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada tikus terinduksi parasetamol
Tabel XVIII. Data aktivitas GPT-serum pada pra perlakuan jus buah pepaya
sebelum (pre) dan sesudah (post) pemberian parasetamol dosis 0,9500 g/kgBB
Kelompok Aktivitas GPT-Serum (U/L)
Pre Post Trn_post_
Kontrol Negatif CMC
Na 0,7% 0,15 g/kgBB
1 52.00 655.00 0.04 2 54.00 797.00 0.04 3 48.00 497.00 0.04 4 50.00 501.00 0.04 5 59.00 603.00 0.04
Kontrol Positif
Parasetamol 0,9500 g/kgBB
1 47.00 49.00 0.14 2 51.00 55.00 0.13 3 52.00 54.00 0.14 4 48.00 50.00 0.14 5 55.00 54.00 0.14
Praprelakuan Jus Buah
Pepaya 10,65 g/kgBB
1 50.00 526.00 0.04 2 55.00 504.00 0.04 3 59.00 538.00 0.04 4 50.00 602.00 0.04 5 54.00 606.00 0.04
Praprelakuan Jus Buah
Pepaya 13,28 g/kgBB
1 57.00 156.00 0.08 2 55.00 246.00 0.06 3 52.00 116.00 0.09 4 64.00 187.00 0.07 5 64.00 164.00 0.08
Praprelakuan Jus Buah
Pepaya 16,56 g/kgBB
1 62.00 115.00 0.09 2 55.00 114.00 0.09 3 50.00 172.00 0.08 4 55.00 128.00 0.09 5 54.00 132.00 0.09
Praprelakuan Jus Buah
Pepaya 20,65 g/kgBB
1 49.00 183.00 0.07 2 56.00 159.00 0.08 3 53.00 136.00 0.09 4 57.00 144.00 0.08 5 47.00 129.00 0.09
121
Explore Perlakuan
Case Processing Summary
Perlakuan
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Post_test Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Kontrol CMC Na 0,7% 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Dosis JBP 20,65 g/kgBB 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Descriptives
Perlakuan Statistic Std. Error
Post_test Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
Mean 610.6000 55.53882
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 456.3995 Upper Bound 764.8005
5% Trimmed Mean 606.5556 Median 603.0000 Variance 15422.800 Std. Deviation 124.18857 Minimum 497.00 Maximum 797.00 Range 300.00 Interquartile Range 227.00 Skewness .823 .913
Kurtosis -.002 2.000
Kontrol CMC Na 0,7% Mean 52.4000 1.20830
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 49.0452 Upper Bound 55.7548
5% Trimmed Mean 52.4444 Median 54.0000 Variance 7.300 Std. Deviation 2.70185 Minimum 49.00
122
Maximum 55.00 Range 6.00 Interquartile Range 5.00 Skewness -.578 .913
Kurtosis -2.708 2.000
Dosis JBP 20,65 g/kgBB Mean 150.2000 9.59896
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 123.5490 Upper Bound 176.8510
5% Trimmed Mean 149.5556 Median 144.0000 Variance 460.700 Std. Deviation 21.46392 Minimum 129.00 Maximum 183.00 Range 54.00 Interquartile Range 38.50 Skewness .983 .913
Kurtosis .290 2.000
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB Mean 132.2000 10.55651
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 102.8904 Upper Bound 161.5096
5% Trimmed Mean 131.0000 Median 128.0000 Variance 557.200 Std. Deviation 23.60508 Minimum 114.00 Maximum 172.00 Range 58.00 Interquartile Range 37.50 Skewness 1.643 .913
Kurtosis 2.898 2.000
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB Mean 173.8000 21.37849
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 114.4438 Upper Bound 233.1562
5% Trimmed Mean 173.0000
123
Median 164.0000 Variance 2285.200 Std. Deviation 47.80377 Minimum 116.00 Maximum 246.00 Range 130.00 Interquartile Range 80.50 Skewness .683 .913
Kurtosis 1.210 2.000
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB Mean 555.2000 20.66495
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 497.8249 Upper Bound 612.5751
5% Trimmed Mean 555.2222 Median 538.0000 Variance 2135.200 Std. Deviation 46.20822 Minimum 504.00 Maximum 606.00 Range 102.00 Interquartile Range 89.00 Skewness .293 .913
Kurtosis -2.751 2.000
Tests of Normality
Perlakuan
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Post_test Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.211 5 .200* .907 5 .450
Kontrol CMC Na 0,7% .323 5 .096 .840 5 .166
Dosis JBP 20,65 g/kgBB .214 5 .200* .932 5 .610
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB .303 5 .149 .816 5 .109
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB .191 5 .200* .964 5 .838
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB .245 5 .200* .869 5 .261 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
124
Oneway
Test of Homogeneity of Variances Post_test
Levene Statistic df1 df2 Sig.
4.908 5 24 .003
ANOVA
Post_test
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1433996.267 5 286799.253 82.459 .000 Within Groups 83473.600 24 3478.067 Total 1517469.867 29 Oneway
Test of Homogeneity of Variances trn_post_test
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.513 5 24 .223
ANOVA
trn_post_test
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .032 5 .006 169.653 .000 Within Groups .001 24 .000 Total .033 29 Post Hoc Tests
Multiple Comparisons Dependent Variable:trn_post_test
(I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Scheffe Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
Kontrol CMC Na 0,7% -.09731* .00388 .000 -.1113 -.0833
Dosis JBP 20,65 g/kgBB -.04112* .00388 .000 -.0552 -.0271
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
-.04677* .00388 .000 -.0608 -.0327
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
-.03663* .00388 .000 -.0507 -.0226
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
-.00158 .00388 .999 -.0156 .0125
Kontrol CMC Na 0,7%
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.09731* .00388 .000 .0833 .1113
125
Dosis JBP 20,65 g/kgBB .05619* .00388 .000 .0422 .0702
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
.05054* .00388 .000 .0365 .0646
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
.06068* .00388 .000 .0466 .0747
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
.09573* .00388 .000 .0817 .1098
Dosis JBP 20,65 g/kgBB
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.04112* .00388 .000 .0271 .0552
Kontrol CMC Na 0,7% -.05619* .00388 .000 -.0702 -.0422
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
-.00565 .00388 .827 -.0197 .0084
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
.00449 .00388 .926 -.0095 .0185
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
.03954* .00388 .000 .0255 .0536
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.04677* .00388 .000 .0327 .0608
Kontrol CMC Na 0,7% -.05054* .00388 .000 -.0646 -.0365
Dosis JBP 20,65 g/kgBB .00565 .00388 .827 -.0084 .0197
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
.01014 .00388 .271 -.0039 .0242
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
.04519* .00388 .000 .0312 .0592
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.03663* .00388 .000 .0226 .0507
Kontrol CMC Na 0,7% -.06068* .00388 .000 -.0747 -.0466
Dosis JBP 20,65 g/kgBB -.00449 .00388 .926 -.0185 .0095
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
-.01014 .00388 .271 -.0242 .0039
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
.03505* .00388 .000 .0210 .0491
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.00158 .00388 .999 -.0125 .0156
Kontrol CMC Na 0,7% -.09573* .00388 .000 -.1098 -.0817
Dosis JBP 20,65 g/kgBB -.03954* .00388 .000 -.0536 -.0255
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
-.04519* .00388 .000 -.0592 -.0312
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
-.03505* .00388 .000 -.0491 -.0210
LSD Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
Kontrol CMC Na 0,7% -.09731* .00388 .000 -.1053 -.0893 Dosis JBP 20,65 g/kgBB -.04112* .00388 .000 -.0491 -.0331 Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
-.04677* .00388 .000 -.0548 -.0388
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
-.03663* .00388 .000 -.0446 -.0286
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
-.00158 .00388 .688 -.0096 .0064
126
Kontrol CMC Na 0,7%
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.09731* .00388 .000 .0893 .1053
Dosis JBP 20,65 g/kgBB .05619* .00388 .000 .0482 .0642 Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
.05054* .00388 .000 .0425 .0585
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
.06068* .00388 .000 .0527 .0687
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
.09573* .00388 .000 .0877 .1037
Dosis JBP 20,65 g/kgBB
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.04112* .00388 .000 .0331 .0491
Kontrol CMC Na 0,7% -.05619* .00388 .000 -.0642 -.0482 Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
-.00565 .00388 .158 -.0136 .0024
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
.00449 .00388 .258 -.0035 .0125
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
.03954* .00388 .000 .0315 .0475
Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.04677* .00388 .000 .0388 .0548
Kontrol CMC Na 0,7% -.05054* .00388 .000 -.0585 -.0425 Dosis JBP 20,65 g/kgBB .00565 .00388 .158 -.0024 .0136 Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
.01014* .00388 .015 .0021 .0181
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
.04519* .00388 .000 .0372 .0532
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.03663* .00388 .000 .0286 .0446
Kontrol CMC Na 0,7% -.06068* .00388 .000 -.0687 -.0527 Dosis JBP 20,65 g/kgBB -.00449 .00388 .258 -.0125 .0035 Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
-.01014* .00388 .015 -.0181 -.0021
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
.03505* .00388 .000 .0270 .0430
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB
Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
.00158 .00388 .688 -.0064 .0096
Kontrol CMC Na 0,7% -.09573* .00388 .000 -.1037 -.0877 Dosis JBP 20,65 g/kgBB -.03954* .00388 .000 -.0475 -.0315 Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB
-.04519* .00388 .000 -.0532 -.0372
Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB
-.03505* .00388 .000 -.0430 -.0270
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
127
Homogeneous Subsets trn_post_test
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Scheffea Kontrol Parasetamol 0,95 g/kgBB
5 .0410
Dosis Dosis JBP 10,65 g/kgBB 5 .0425 Dosis Dosis JBP 13,28 g/kgBB 5 .0776 Dosis JBP 20,65 g/kgBB 5 .0821 Dosis Dosis JBP 16,56 g/kgBB 5 .0877 Kontrol CMC Na 0,7% 5 .1383
Sig. .999 .271 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
128
Lampiran 10. Data dan hasil analisis statistik skoring derajat kerusakan hati pada uji pendahuluan orientasi dosis hepatotoksik parasetamol
Tabel XIX. Data skoring derajat kerusakan hati pada uji pendahuluan orientasi
dosis hepatotoksik parasetamol
Kelompok Degenerasi Melemak Nekrosis Sirosis
Dosis 0,7500 g/kgBB
1 1.00 0.00 0.00 2 1.00 0.00 0.00 3 1.00 0.00 0.00
Dosis 0,8255 g/kgBB
1 1.00 0.00 0.00 2 1.00 0.00 0.00 3 1.00 1.00 0.00
Dosis 0,9086 g/kgBB
1 1.00 0.00 0.00 2 1.00 1.00 0.00 3 2.00 0.00 0.00
Dosis 0,9500 g/kgBB
1 1.00 1.00 0.00 2 2.00 1.00 0.00 3 2.00 2.00 0.00
Dosis 1,0000 g/kgBB
1 2.00 2.00 0.00 2 2.00 2.00 0.00 3 2.00 2.00 0.00
Explore Orientasi_Dosis_Parasetamol
Case Processing Summary
Orientasi_Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
129
Descriptivesa,b,c
Orientasi_Dosis_Parasetamol Statistic
Std. Error
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
Mean 1.3333 .33333
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -.1009 Upper Bound 2.7676
5% Trimmed Mean . Median 1.0000 Variance .333 Std. Deviation .57735 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range . Skewness 1.732 1.225
Kurtosis . .
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
Mean 1.6667 .33333
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound .2324 Upper Bound 3.1009
5% Trimmed Mean . Median 2.0000 Variance .333 Std. Deviation .57735 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range . Skewness -1.732 1.225
Kurtosis . . a. Degenerasi_Melemak is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB. It has been omitted. b. Degenerasi_Melemak is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB. It has been omitted. c. Degenerasi_Melemak is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB. It has been omitted.
130
Tests of Normalityb,c,d
Orientasi_Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
.385 3 . .750 3 .000
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
.385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction b. Degenerasi_Melemak is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB. It has been omitted. c. Degenerasi_Melemak is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB. It has been omitted. d. Degenerasi_Melemak is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB. It has been omitted. NPar Tests Kruskal-Wallis Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 5.00
Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 5.00
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 7.50
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 10.00
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 12.50
Total 15
Test Statisticsa,b
Degenerasi_Melemak
Chi-Square 8.815 df 4 Asymp. Sig. .066 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
131
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 3.50 10.50
Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 3.50 10.50
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 4.500 Wilcoxon W 10.500 Z .000 Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 3.00 9.00
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 4.00 12.00
Total 6 Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 3.000 Wilcoxon W 9.000 Z -1.000 Asymp. Sig. (2-tailed) .317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .700a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
132
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 2.50 7.50
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 4.50 13.50
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 1.500 Wilcoxon W 7.500 Z -1.581 Asymp. Sig. (2-tailed) .114 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .200a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 2.00 6.00
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 5.00 15.00
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 6.000 Z -2.236 Asymp. Sig. (2-tailed) .025 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
133
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 3.00 9.00
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 4.00 12.00
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 3.000 Wilcoxon W 9.000 Z -1.000 Asymp. Sig. (2-tailed) .317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .700a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 2.50 7.50
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 4.50 13.50
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 1.500 Wilcoxon W 7.500 Z -1.581 Asymp. Sig. (2-tailed) .114 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .200a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
134
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 2.00 6.00
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 5.00 15.00
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 6.000 Z -2.236 Asymp. Sig. (2-tailed) .025 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 3.00 9.00
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 4.00 12.00
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 3.000 Wilcoxon W 9.000 Z -.745 Asymp. Sig. (2-tailed) .456 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .700a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
135
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 2.50 7.50
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 4.50 13.50
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 1.500 Wilcoxon W 7.500 Z -1.581 Asymp. Sig. (2-tailed) .114 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .200a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 3.00 9.00
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 4.00 12.00
Total 6
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 3.000 Wilcoxon W 9.000 Z -1.000 Asymp. Sig. (2-tailed) .317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .700a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol Explore Orientasi_Dosis_Parasetamol
Case Processing Summary
Orientasi_Dosis_Parasetamol
Cases
Valid Missing Total
136
N Percent N Percent N Percent
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Descriptivesa,b
Orientasi_Dosis_Parasetamol Statistic
Std. Error
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
Mean .3333 .33333
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -1.1009 Upper Bound 1.7676
5% Trimmed Mean . Median .0000 Variance .333 Std. Deviation .57735 Minimum .00 Maximum 1.00 Range 1.00 Interquartile Range . Skewness 1.732 1.225
Kurtosis . .
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
Mean .3333 .33333
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -1.1009 Upper Bound 1.7676
5% Trimmed Mean . Median .0000 Variance .333 Std. Deviation .57735 Minimum .00 Maximum 1.00 Range 1.00 Interquartile Range .
137
Skewness 1.732 1.225
Kurtosis . .
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
Mean 1.3333 .33333
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -.1009 Upper Bound 2.7676
5% Trimmed Mean . Median 1.0000 Variance .333 Std. Deviation .57735 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range . Skewness 1.732 1.225
Kurtosis . . a. Nekrosis is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB. It has been omitted. b. Nekrosis is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB. It has been omitted.
Tests of Normalityb,c
Orientasi_Dosis_Parasetamol
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
.385 3 . .750 3 .000
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
.385 3 . .750 3 .000
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
.385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction b. Nekrosis is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB. It has been omitted. c. Nekrosis is constant when Orientasi_Dosis_Parasetamol = Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB. It has been omitted.
NPar Tests Kruskal-Wallis Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 4.00
138
Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 5.83
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 5.83
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 10.83
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 13.50
Total 15
Test Statisticsa,b
Nekrosis
Chi-Square 11.050 df 4 Asymp. Sig. .026 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 3.00 9.00
Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 4.00 12.00
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 3.000 Wilcoxon W 9.000 Z -1.000 Asymp. Sig. (2-tailed) .317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .700a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
139
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 3.00 9.00
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 4.00 12.00
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 3.000 Wilcoxon W 9.000 Z -1.000 Asymp. Sig. (2-tailed) .317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .700a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 2.00 6.00
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 5.00 15.00
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 6.000 Z -2.121 Asymp. Sig. (2-tailed) .034 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
140
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,7500 g/kgBB
3 2.00 6.00
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 5.00 15.00
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 6.000 Z -2.236 Asymp. Sig. (2-tailed) .025 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 3.50 10.50
Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 3.50 10.50
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 4.500 Wilcoxon W 10.500 Z .000 Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
141
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 2.33 7.00
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 4.67 14.00
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 1.000 Wilcoxon W 7.000 Z -1.650 Asymp. Sig. (2-tailed) .099 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .200a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,8255 g/kgBB
3 2.00 6.00
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 5.00 15.00
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 6.000 Z -2.121 Asymp. Sig. (2-tailed) .034 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
142
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 2.33 7.00
Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 4.67 14.00
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 1.000 Wilcoxon W 7.000 Z -1.650 Asymp. Sig. (2-tailed) .099 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .200a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,9086 g/kgBB
3 2.00 6.00
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 5.00 15.00
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 6.000 Z -2.121 Asymp. Sig. (2-tailed) .034 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
143
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Dosis_Parasetamol N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis Parasetamol 0,9500 g/kgBB
3 2.50 7.50
Dosis Parasetamol 1,0000 g/kgBB
3 4.50 13.50
Total 6
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 1.500 Wilcoxon W 7.500 Z -1.581 Asymp. Sig. (2-tailed) .114 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .200a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Dosis_Parasetamol
144
Lampiran 11. Data dan hasil analisis statistik skoring derajat kerusakan hati pada uji pendahuluan orientasi waktu pengambilan cuplikan darah setelah pemberian parasetamol dosis toksik (0,9500 g/kgBB)
Tabel XX. Data skoring derajat kerusakan hati pada uji pendahuluan orientasi
waktu pengambilan cuplikan darah setelah pemberian parasetamol dosis hepatotoksik
Kelompok Degenerasi
Melemak Nekrosis Sirosis
12 jam setelah pemberianparasetamol
1 1.00 1.00 0.00 2 2.00 1.00 0.00 3 1.00 0.00 0.00 1 1.00 0.00 0.00 2 2.00 2.00 0.00
18 jam setelah pemberianparasetamol
1 2.00 2.00 0.00 2 1.00 1.00 0.00 3 1.00 2.00 0.00 1 1.00 1.00 0.00 2 2.00 1.00 0.00
24 jam setelah pemberianparasetamol
1 1.00 1.00 0.00 2 2.00 1.00 0.00 3 2.00 2.00 0.00
Explore Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
Case Processing Summary
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Degenerasi_Melemak Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
145
Descriptives
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah Statistic Std. Error
Degenerasi_Melemak Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
Mean 1.4000 .24495
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound .7199 Upper Bound 2.0801
5% Trimmed Mean 1.3889 Median 1.0000 Variance .300 Std. Deviation .54772 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range 1.00 Skewness .609 .913
Kurtosis -3.333 2.000
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
Mean 1.4000 .24495
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound .7199 Upper Bound 2.0801
5% Trimmed Mean 1.3889 Median 1.0000 Variance .300 Std. Deviation .54772 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range 1.00 Skewness .609 .913
Kurtosis -3.333 2.000
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
Mean 1.6667 .33333
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound .2324 Upper Bound 3.1009
5% Trimmed Mean . Median 2.0000
146
Tests of Normality
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Degenerasi_Melemak Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
.367 5 .026 .684 5 .006
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
.367 5 .026 .684 5 .006
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
.385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction
NPar Tests Kruskal-Wallis Test
Ranks
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah N Mean Rank
Degenerasi_Melemak Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
5 6.60
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
5 6.60
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
3 8.33
Total 13
Test Statisticsa,b
Degenerasi_Melemak
Chi-Square .610 df 2 Asymp. Sig. .737
Variance .333 Std. Deviation .57735 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range . Skewness -1.732 1.225
Kurtosis . .
147
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
5 5.50 27.50
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
5 5.50 27.50
Total 10
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 12.500 Wilcoxon W 27.500 Z .000 Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
5 4.10 20.50
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
3 5.17 15.50
Total 8
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 5.500 Wilcoxon W 20.500
148
Z -.683 Asymp. Sig. (2-tailed) .495 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .571a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
5 4.10 20.50
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
3 5.17 15.50
Total 8
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 5.500 Wilcoxon W 20.500 Z -.683 Asymp. Sig. (2-tailed) .495 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .571a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah Explore Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
Case Processing Summary
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Nekrosis Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
149
Descriptives
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah Statistic Std. Error
Nekrosis Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
Mean .8000 .37417
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -.2389 Upper Bound 1.8389
5% Trimmed Mean .7778 Median 1.0000 Variance .700 Std. Deviation .83666 Minimum .00 Maximum 2.00 Range 2.00 Interquartile Range 1.50 Skewness .512 .913
Kurtosis -.612 2.000
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
Mean 1.4000 .24495
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound .7199 Upper Bound 2.0801
5% Trimmed Mean 1.3889 Median 1.0000 Variance .300 Std. Deviation .54772 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range 1.00 Skewness .609 .913
Kurtosis -3.333 2.000
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
Mean 1.3333 .33333
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound -.1009 Upper Bound 2.7676
5% Trimmed Mean . Median 1.0000 Variance .333
150
Std. Deviation .57735 Minimum 1.00 Maximum 2.00 Range 1.00 Interquartile Range . Skewness 1.732 1.225
Kurtosis . .
Tests of Normality
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Nekrosis Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
.231 5 .200* .881 5 .314
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
.367 5 .026 .684 5 .006
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
.385 3 . .750 3 .000
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. NPar Tests Kruskal-Wallis Test
Ranks
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah N Mean Rank
Nekrosis Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
5 5.30
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
5 8.20
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
3 7.83
Total 13
Test Statisticsa,b
Nekrosis
Chi-Square 1.918 df 2 Asymp. Sig. .383 a. Kruskal Wallis Test
151
Test Statisticsa,b
Nekrosis
Chi-Square 1.918 df 2 Asymp. Sig. .383 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
5 4.40 22.00
Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
5 6.60 33.00
Total 10
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 7.000 Wilcoxon W 22.000 Z -1.247 Asymp. Sig. (2-tailed) .212 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Waktu pengambilan organ 12 jam setelah pemberian parasetamol
5 3.90 19.50
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
3 5.50 16.50
Total 8
152
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 4.500 Wilcoxon W 19.500 Z -.966 Asymp. Sig. (2-tailed) .334 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .393a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Waktu pengambilan organ 18 jam setelah pemberian parasetamol
5 4.60 23.00
Waktu pengambilan organ 24 jam setelah pemberian parasetamol
3 4.33 13.00
Total 8
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 7.000 Wilcoxon W 13.000 Z -.176 Asymp. Sig. (2-tailed) .860 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Orientasi_Waktu_Pengambilan_Darah
153
Lampiran 12. Data dan hasil analisis statistik skoring derajat kerusakan hati pra perlakuan jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada tikus jantan setelah pemberian parasetamol dosis toksik (0,9500 g/kgbb)
Tabel XXI. Data skoring derajat kerusakan hati pada Pra Perlakuan Jus Buah
Pepaya pada Tikus Jantan Setelah Pemberian Parasetamol Dosis Toksik (0,9500 g/kgBB)
Kelompok Degenerasi
Melemak Nekrosis Sirosis Limfosit Pigmen
Kontrol Negatif CMC Na 0,7%
0,15g/kgBB
1 0.00 0.00 - 0.00 0.00 2 1.00 0.00 - 0.00 0.00 3 0.00 0.00 - 0.00 0.00 4 0.00 0.00 - 0.00 0.00 5 1.00 0.00 - 0.00 0.00
Kontrol Positif Parasetamol
0,9500 g/kgBB
1 2.00 2.00 - 0.00 0.00 2 2.00 3.00 - 0.00 0.00 3 2.00 3.00 - 0.00 0.00 4 2.00 3.00 - 0.00 0.00 5 2.00 3.00 - 0.00 0.00
Praperlakuan Jus Buah Pepaya 10,65 g/kgBB
1 1.00 1.00 - 2.00 0.00 2 1.00 3.00 - 2.00 2.00 3 1.00 2.00 - 2.00 2.00 4 1.00 2.00 - 2.00 0.00 5 1.00 2.00 - 2.00 `.00
Praperlakuan Jus Buah Pepaya 13,28 g/kgBB
1 1.00 1.00 - 2.00 1.00 2 1.00 1.00 - 2.00 0.00 3 2.00 2.00 - 2.00 1.00 4 1.00 1.00 - 2.00 0.00 5 1.00 2.00 - 2.00 0.00
Praperlakuan Jus
Buah Pepaya 16,56 g/kgBB
1 0.00 1.00 - 1.00 0.00 2 1.00 2.00 - 2.00 0.00 3 0.00 1.00 - 1.00 0.00 4 0.00 1.00 - 0.00 0.00 5 0.00 1.00 - 1.00 0.00
Praperlakuan Jus Buah Pepaya 20,65 g/kgBB
1 1.00 1.00 - 2.00 0.00 2 0.00 1.00 - 1.00 1.00 3 0.00 1.00 - 1.00 0.00 4 0.00 1.00 - 2.00 0.00 5 1.00 1.00 - 2.00 0.00
154
Statistik Kerusakan hati berupa degenerasi melemak Kruskal-Wallis Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank
Degenerasi_Melemak Kontrol CMC Na 0,7% 5 12.70
Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 27.50
Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 17.50
Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 19.50
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 7.50
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 8.50
Total 30
Test Statisticsa,b
Degenerasi_Melemak
Chi-Square 21.738 df 5 Asymp. Sig. .001 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol CMC Na 0,7% 5 3.00 15.00
Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 8.00 40.00
Total 10
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 15.000 Z -2.835 Asymp. Sig. (2-tailed) .005 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
155
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol CMC Na 0,7% 5 4.50 22.50
Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 6.50 32.50
Total 10
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 7.500 Wilcoxon W 22.500 Z -1.500 Asymp. Sig. (2-tailed) .134 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol CMC Na 0,7% 5 4.20 21.00
Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 6.80 34.00
Total 10
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 6.000 Wilcoxon W 21.000 Z -1.678 Asymp. Sig. (2-tailed) .093 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .222a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol CMC Na 0,7% 5 7.30 36.50
156
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 4.92 29.50
Total 11
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 8.500 Wilcoxon W 29.500 Z -1.418 Asymp. Sig. (2-tailed) .156 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .247a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol CMC Na 0,7% 5 5.70 28.50
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 4.13 16.50
Total 9
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 6.500 Wilcoxon W 16.500 Z -.990 Asymp. Sig. (2-tailed) .322 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .413a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 8.00 40.00
Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 3.00 15.00
Total 10
157
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 15.000 Z -3.000 Asymp. Sig. (2-tailed) .003 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 7.50 37.50
Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 3.50 17.50
Total 10
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 2.500 Wilcoxon W 17.500 Z -2.449 Asymp. Sig. (2-tailed) .014 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .032a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 9.00 45.00
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 3.50 21.00
Total 11
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 21.000
158
Z -3.028 Asymp. Sig. (2-tailed) .002 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 7.00 35.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 2.50 10.00
Total 9
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 10.000 Z -2.739 Asymp. Sig. (2-tailed) .006 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .016a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 5.00 25.00
Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 6.00 30.00
Total 10
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 10.000 Wilcoxon W 25.000 Z -1.000 Asymp. Sig. (2-tailed) .317 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
159
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 8.50 42.50
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 3.92 23.50
Total 11
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 2.500 Wilcoxon W 23.500 Z -2.635 Asymp. Sig. (2-tailed) .008 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .017a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 6.50 32.50
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 3.13 12.50
Total 9
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 2.500 Wilcoxon W 12.500 Z -2.236 Asymp. Sig. (2-tailed) .025 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 8.60 43.00
160
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 3.83 23.00
Total 11
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 2.000 Wilcoxon W 23.000 Z -2.624 Asymp. Sig. (2-tailed) .009 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .017a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 6.60 33.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 3.00 12.00
Total 9
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 2.000 Wilcoxon W 12.000 Z -2.191 Asymp. Sig. (2-tailed) .028 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Degenerasi_Melemak Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 5.33 32.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 5.75 23.00
Total 10
161
Test Statisticsb
Degenerasi_Melemak
Mann-Whitney U 11.000 Wilcoxon W 32.000 Z -.306 Asymp. Sig. (2-tailed) .759 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .914a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP Statistik Kerusakan hati berupa nekrosis Kruskal-Wallis Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank
Nekrosis Kontrol CMC Na 0,7% 5 3.00
Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 26.80
Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 21.20
Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 16.00
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 13.67
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 12.00
Total 30
Test Statisticsa,b
Nekrosis
Chi-Square 23.754 df 5 Asymp. Sig. .000 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Kontrol CMC Na 0,7% 5 3.00 15.00
Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 8.00 40.00
Total 10
162
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 15.000 Z -2.887 Asymp. Sig. (2-tailed) .004 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Kontrol CMC Na 0,7% 5 3.00 15.00
Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 8.00 40.00
Total 10
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 15.000 Z -2.825 Asymp. Sig. (2-tailed) .005 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Kontrol CMC Na 0,7% 5 3.00 15.00
Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 8.00 40.00
Total 10
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 15.000 Z -2.835 Asymp. Sig. (2-tailed) .005 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a
163
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Kontrol CMC Na 0,7% 5 3.00 15.00
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 8.50 51.00
Total 11
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 15.000 Z -3.028 Asymp. Sig. (2-tailed) .002 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Kontrol CMC Na 0,7% 5 3.00 15.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 7.50 30.00
Total 9
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 15.000 Z -2.828 Asymp. Sig. (2-tailed) .005 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .016a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
164
Nekrosis Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 7.10 35.50
Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 3.90 19.50
Total 10
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 4.500 Wilcoxon W 19.500 Z -1.848 Asymp. Sig. (2-tailed) .065 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .095a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 7.80 39.00
Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 3.20 16.00
Total 10
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 1.000 Wilcoxon W 16.000 Z -2.545 Asymp. Sig. (2-tailed) .011 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .016a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 8.90 44.50
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 3.58 21.50
Total 11
165
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .500 Wilcoxon W 21.500 Z -2.856 Asymp. Sig. (2-tailed) .004 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Kontrol Parasetamol Dosis 0,950 g/kg BB
5 7.00 35.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 2.50 10.00
Total 9
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U .000 Wilcoxon W 10.000 Z -2.683 Asymp. Sig. (2-tailed) .007 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .016a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 6.70 33.50
Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 4.30 21.50
Total 10
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 6.500 Wilcoxon W 21.500 Z -1.386
166
Asymp. Sig. (2-tailed) .166 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .222a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 8.00 40.00
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 4.33 26.00
Total 11
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 5.000 Wilcoxon W 26.000 Z -2.047 Asymp. Sig. (2-tailed) .041 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .082a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis JBP 10,65 g/kg BB 5 6.60 33.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 3.00 12.00
Total 9
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 2.000 Wilcoxon W 12.000 Z -2.191 Asymp. Sig. (2-tailed) .028 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .063a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
167
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 6.70 33.50
Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 5.42 32.50
Total 11
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 11.500 Wilcoxon W 32.500 Z -.825 Asymp. Sig. (2-tailed) .409 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .537a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis JBP 13,28 g/kg BB 5 5.80 29.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 4.00 16.00
Total 9
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 6.000 Wilcoxon W 16.000 Z -1.352 Asymp. Sig. (2-tailed) .176 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .413a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 5.83 35.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 5.00 20.00
168
Ranks
Dosis_JBP N Mean Rank Sum of Ranks
Nekrosis Dosis JBP 16,56 g/kg BB 6 5.83 35.00
Dosis JBP 20,65 g/kg BB 4 5.00 20.00
Total 10
Test Statisticsb
Nekrosis
Mann-Whitney U 10.000 Wilcoxon W 20.000 Z -.816 Asymp. Sig. (2-tailed) .414 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .762a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Dosis_JBP
169
Lampiran 13. Perhitungan % angka proteksi Tabel XXII. Perhitungan skoring derajat kerusakan hati pada Pra Perlakuan Jus
Buah Pepaya pada Tikus Jantan Setelah Pemberian Parasetamol Dosis Toksik (0,9500 g/kgBB)
Tabel XXIII. Angka proteksi tiap kelompok
Rumus % Angka Proteksi : Contoh perhitungan :
% angka proteksi kelompok IV =
% angka proteksi kelompok VI =
Skor (Derajat Kerusakan Sel hati) Kelompok
I II III IV V VI 1 1 10 6 6 5 6 2 1 13 9 6 9 5 3 1 13 9 10 5 5 4 2 13 6 9 5 6 5 2 13 9 6 5 5
Jumlah 7 62 39 37 29 27 Rata-Rata 1,4 12,4 7,8 7,4 5,8 5,4
Angka Proteksi (%) Kelompok
I II III IV V VI Rata-rata
Skor 1,4 12,4 7,8 7,4 5,8 5,4
Angka Proteksi
(%) 100 0 37,10 40,32 53,23 56,45
170
Lampiran 14. Perhitungan Dosis
1. Dosis Aquadest 21,74 ml/kg BB • Volume aquadest maximal yang dapat diberikan secara intraperitonial dan
per oral adalah 5,0 ml • Berat badan tikus tertinggi adalah 230 g Dengan dasar tersebut maka ditetapkan dosis tertinggi aquadest sebesar :
5,0 𝐷𝐷𝑚𝑚230 𝑔𝑔
= 0,2174 ml/g atau 21,74 ml/kg BB
2. Dosis CMC Na 0,7% 0,15 g/kg • CMC Na 0,7 gram dilarutkan dalam 100 ml aquadest • Volume aquadest maximal yang dapat diberikan secara intraperitonial dan
per oral adalah 5,0 ml Dengan dasar tersebut maka ditetapkan dosis tertinggi CMC Na sebesar :
0,7 𝑔𝑔100 𝐷𝐷𝑚𝑚
= 0,007 g/ml
0,007 g/ml x 21,74 ml/kg BB = 0,15 g/kg BB
3. Dosis Jus Buah Pepaya Tertinggi (20,65 g/kgBB) • Berat badan tikus tertinggi adalah 230 g • Konsentrasi jus buah pepaya yang dapat disuntikkan melalui spuit injeksi
per oral adalah 95% (95 gram dalam 100 ml aquadest) • Volume aquadest maximal yang dapat diberikan secara intraperitonial dan
per oral adalah 5,0 ml Dengan dasar tersebut maka ditetapkan dosis tertinggi jus buah pepaya yang dapat dibuat sebesar : Dosis JBP x Berat Badan = Konsentrasi ( C ) x Volume
Dosis JBP x 230 g = 95 g/100 ml x 5 ml
Dosis JBP = 4,75 𝑔𝑔230 𝑔𝑔
= 0,02065 g/gBB atau 20,65 g/kgBB
171
4. Peringkat Dosis Jus Buah Pepaya • Dosis jus buah pepaya tertinggi adalah 20,65 g/kgBB • Peringkat dosis yang akan dibuat adalah 4 peringkat dosis • Dosis jus buah pepaya terendah yang diinginkan adalah 10,65 g/kgBB • Rumus faktor pembagi atau pengali tiap tingkatan dosis adalah :
�𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝐷𝐷𝑡𝑡𝑔𝑔𝑔𝑔𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 𝑇𝑇𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑇𝑇𝐷𝐷 ℎ
𝑡𝑡−1 = X
n = jumlah peringkat dosis X adalah faktor pembagi atau faktor pengali tiap tingkatan dosis Dengan dasar tersebut maka ditetapkan dosis tertinggi jus buah pepaya yang dapat dibuat sebesar : Faktor pembagi atau pengali tiap tingkatan peringkat dosis :
�20,65 𝑔𝑔10,65 𝑔𝑔
4−1 = 1,2469
Peringkat dosis jus buah pepaya ke II :
10,65 g/kgBB x 1,2469 = 13,28 g/kgBB
Peringkat dosis jus buah pepaya ke III :
20,65 g/kgBB / 1,2469 = 16,56 g/kgBB
172
Lampiran 15. Perhitungan Efek Hepatoprotektif
Rumus perhitungan efek hepatoprotektif : (Aktivitas GPT − serum kontrol positif parasetamol)− (Aktivitas GPT − serum perlakuan)
(Aktivitas GPT − serumKontrol positif parasetamol) x 100%
Dengan dasar tersebut maka perhitungan efek hepatoprotektif adalah sebagai berikut :
Kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 10,65 g/kgBB (po) + induksi parasetamol (ip) :
610,60−555,20
610,60 x 100%= 9,07%
Kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 13,28 g/kgBB (po) + induksi parasetamol (ip) :
610,60−173,80
610,60 x 100% = 71,54%
Kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 16,56 g/kgBB (po) + induksi parasetamol (ip) :
610,60−132,20
610,60 x 100% = 78,35%
Kelompok praperlakuan jus buah pepaya dosis 20,65 g/kgBB (po) + induksi parasetamol (ip) :
610,60−150,20
610,60 x 100% = 75,40%
173
Lampiran 16. Perhitungan Konversi Dosis Untuk Manusia Angka konversi Tikus 200 g ke Manusia 70 kg = 56,0
Dosis untuk manusia = Dosis untuk tikus 200 g x (angka konversi ke manusia)
Dengan dasar tersebut maka ditetapkan dosis jus buah pepaya untuk manusia :
1. Jus buah pepaya 10,65 g/kgBB tikus :
10,65 g/kgBB = 10,65 g/1000 gBB = 2,13 g/200 gBB
2,13 g/200 gBB x 56,0 =
119,28 g/70 kgBB manusia
2. Jus buah pepaya 13,28 g/kgBB tikus :
13,28 g/kgBB = 13,28 g/1000 gBB = 2,656 g/200 gBB
2,656 g/200 gBB x 56,0 =
148,74 g/70 kgBB manusia
3. Jus buah pepaya 16,56 g/kgBB tikus :
16,56 g/kgBB = 16,56 g/1000 gBB = 3,312 g/200 gBB
3,312 g/200 gBB x 56,0 =
185,47 g/70 kgBB manusia
4. Jus buah pepaya 20,65 g/kgBB tikus :
20,65 g/kgBB = 20,65 g/1000 gBB = 4,13 g/200 gBB
4,13 g/200 gBB x 56,0 =
231,28 g/70 kgBB manusia
174
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi dengan judul “Efek
Hepatoprotektif Jus Buah Pepaya (Carica papaya
L.) Pada Tikus Jantan Terinduksi Parasetamol”
memiliki nama lengkap Felix Manuel, merupakan putra
dari pasangan Bing Slamet dan Kurniasih. Penulis
dilahirkan di Purwokerto pada 19 Januari 1989.
Pendidikan formal yang telah ditempuh, yaitu
mengawali masa pendidikannya di TK Santa Maria Purwokerto (1992-1994),
kemudian melanjutkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar di SD Santa Maria
Purwokerto (1994-2000). Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
ditempuh oleh penulis di SLTP Negeri I Purwokerto (2000-2003), kemudian
melanjutkan pendidikan tingkat menengah atas di SMA Sedes Sapientiae Bedono
(2003-2006). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2006.
Semasa menempuh kuliah, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan baik
dalam fakultas maupun di luar fakultas. Penulis pernah menjabat sebagai anggota
Badan Eksekutif Mahasiswa Faultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Divisi
Hubungan Masyarakat (2007-2008), Tim Kreatif Ekaristi Kaum Muda Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma (2007), Panitia Pharmacy Performance
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma sebagai Koordinator Divisi
Keamanan (2007), Panitia Open House Paingan Universitas Sanata Dharma
(2009), Pembicara dalam Seminar HIV AIDS di SMA Negeri 6 Yogyakarta dan
175
Tenaga Medis Pengobatan Gratis di Desa Kemloko Temanggung (2010). Selain
itu penulis pernah menjadi asisten praktikum Farmakologi Dasar, Toksikologi
Dasar, dan Bioanalisis.