Upload
dini-astrianis
View
236
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas terstruktur ekologi konservasi
Citation preview
TUGAS TERSTRUKTUR EKOLOGIKONSERVASI SPESIES KOMODO
Oleh :
Puspa Oktariani B1J011104Dini Astrianis M B1J011110Devina Andayani B1J011112
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekitar 40 juta tahun silam di Asia muncul spesies komodo yang dimulai
dengan marga varanus, yang kemudian bermigrasi ke Australia. Selanjutnya 15
juta tahun yang lalu para biawak raksasa ini bergerak menuju wilayah yang
dikenal sebagai Indonesia sekarang, karena pertemuan lempeng benua Australia
dan Asia Tenggara. Komodo diyakini berevolusi dari nenek moyang Australia
sekitar 4 juta tahun yang lampau, dan meluas penyebarannya sampai sejauh
Timor.
Ketika tahun 1910 armada kapal Belanda menemukan makhluk misterius
yang diduga "Naga" mendiami wilayah Kepulauan Sunda Lesser. Selanjutnya
oleh Letnan Steyn Van Hensbroek, seorang penjabat Administrasi Kolonial
Belanda di kawasan Flores temuan ini ditindaklanjuti. Pada tahun 1912, Peter A.
Ouwens, direktur Museum Zoologi di Bogor mempublikasikan komodo kepada
dunia lewat disertasinya. Dalam pemberitaannya, Ouwens memberi saran nama
"Varanus Komodoensis" untuk komodo, sebagai pengganti julukan Komodo
Dragon (Komodo Naga).
Komodo adalah satu-satunya spesies terakhir dari keluarga lizard yang
mampu bertahan hidup dan berkembang. Diperkirakan masih ada sekitar 2.000
ekor lagi yang terpencar di Flores, yakni di pesisir Barat Manggarai dan pesisir
Utara Kabupaten Ngada serta beberapa tempat di Kabupaten Ende. Bahkan hasil
penelitian Auffenberg dari Amerika Serikat, komodo ditemukan sampai Timur
Flores.
Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan dan
dikatagorikan sebagai spesies rentan dalam daftar IUCN Red List. Sekitar 4.000–
5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar. Populasi ini terbatas
menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang (100), Gili Dasami
(100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000 ekor).
Upaya penangkaran komodo sudah mulai banyak dilakukan untuk
melindungi spesies komodo yang masih tersisa, namun jika individu tersebut tidak
dapat secepatnya menyesuaikan diri di dalam penangkaran, hal pertama yang
dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan
mengeliminasi aktivitas reproduksinya. Ini berarti, setelah dipindahkan ke
lingkungan baru yang tidak sesuai dengan habitat semula, ada kemungkinan
komodo tersebut menunda reproduksinya atau bahkan tidak dapat bereproduksi
sama sekali. Jangan sampai tragedi kematian massal bekantan yang dipindahkan
dari Kalimantan ke Jawa Timur beberapa waktu lalu terulang kembali. Oleh
karena itu, dengan melihat beberapa penjelasan diatas maka kami melakukan
penyusunan makalah yang berjudul Konservasi Komodo ini.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah mengetahui
karakteristik komodo, penyebab terancam punahnya komodo dan upaya
konservasinya.
II. PEMBAHASAN
Komodo (Varanus komodoensis) adalah biawak terbesar di dunia dan
merupakan salah satu satwa endemik asli Indonesia yang saat ini dilindungi
keberadaanya. Komodo adalah satwa endemik yang habitatnya sangatlah terbatas
dan hanya dapat ditemukan di lima pulau yang tersebar di daerah Tenggara
Indonesia. Komodo dapat ditemukan di pulau Komodo, Rinca, Nusa Kode, Gili
Motang, dan pantai barat Flores. Biawak ini menyukai tempat panas dan kering
dan hidup di padang rumput kering terbuka, sabana dan hutan tropis pada
ketinggian rendah, Aktif pada siang hari, walaupun kadang-kadang aktif juga pada
malam hari (Usboko, 2009).
Menurut Usboko (2009) klasifikasi dari komodo adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Famili : Varanidae
Genus : Varanus
Spesies : Varanus comodoensis
Komodo muda dapat tumbuh mencapai panjang 1 meter dengan warna
kulit cokelat muda kegelapan dengan diselingi garis-garis merah muda dan
kuning. Komodo dewasa memiliki kulit berwarna coklat atau abu-abu. Komodo
jantan tumbuh hingga mencapai 3 m, sedangkan betinanya mencapai 2,4 m.
Beratnya dapat mencapai 80 kg. Walaupun komodo jantan tumbuh lebih besar
dari komodo betina, tidak ada perbedaan morfologi yang terlihat jelas untuk
membedakan kelaminnya. Perbedaannya hanya terlihat dari organ genitalia yang
dimiliki keduanya (Ciofi, 1999). Ukuran komodo yang besar berhubungan dengan
gejala gigantisme pulau, yakni kecenderungan meraksasanya tubuh hewan-hewan
tertentu yang hidup di pulau kecil terkait dengan tidak adanya mamalia karnivora
di pulau tempat hidup komodo dan laju metabolisme komodo yang kecil. Karena
besar tubuhnya, hewan raksasa ini menduduki posisi predator puncak yang
mendominasi ekosistem tempat hidupnya.
Di habitat alaminya, individu dewasa memangsa babi, anjing liar, ular, dan
terkadang komodo yang masih juvenil. Sedangkan juvenilnya memangsa kadal
kecil, telur, belalang, dan sejenis serangga. Individu dewasa merupakan predator
yang paling atas, namun juvenilnya merupakan mangsa dari komodo dewasa,
anjing liar, dan ular. Komodo biasanya bersembunyi terlebih dahulu sebelum
menyerang mangsanya, kemudian menggigitnya sembari menginfeksikan racun
dari air liurnya (Merchant et al., 2012). Kekuatan gigitan maksimum di Varansus
komodoensis berkorelasi dengan massa tubuhnya, seperti pada reptil lain,
contohnya kadal xenosaurid dan crocodylians (D’Amore et al., 2011).
Komodo hidup secara soliter kecuali pada musim kawin dan biasanya
bergabung untuk memakan mangsanya. Komodo terkadang membunuh
mangsanya secara individu, namun terkadang juga ikut memakan mangsa yang
diperoleh komodo lainnya. Bangkai yang besar dapat dimakan oleh beberapa
komodo dalam waktu yang bersamaan (Bull et al., 2010). Selama musim kawin,
individu jantan berkompetisi untuk mendapatkan betina. Komodo bertarung
dengan posisi tegak menggunakan ekornya sebagai alat pertahanan. Komodo
jantan bertempur untuk mempertahankan betina dan teritorinya dengan cara
"bergulat" dengan jantan lainnya sambil berdiri di atas kaki belakangnya. Komodo
yang kalah akan terjatuh dan terkunci ke tanah. Kedua komodo jantan itu dapat
muntah atau buang air besar ketika bersiap untuk bertempur. Pemenang
pertarungan akan menjentikkan lidah panjangnya pada tubuh si betina untuk
melihat penerimaan sang betina. Komodo betina bersifat antagonis, melawan
dengan gigi dan cakar mereka selama awal fase berpasangan. Selanjutnya, jantan
harus sepenuhnya mengendalikan betina selama bersetubuh agar tidak terluka.
Perilaku lain yang diperlihatkan selama proses ini adalah jantan menggosokkan
dagu mereka pada si betina, garukan keras di atas punggung dan menjilat.
Komodo dapat bersifat monogamus.
Setelah kawin, pejantan berada di dekat betina selama beberapa hari untuk
mencegah pejantan lain berpasangan dengan betina tersebut. Betina menyimpan
30 telur dalam lubang yang kemudian akan dierami oleh induknya. Telur tersebut
akan menetas setelah 8-9 bulan kemudian. Komodo yang baru menetas tidak
menerima perhatian sang induk dan dalam kenyataannya mereka memanjat pohon
terdekat untuk melindungi dirinya dari komodo dewasa yang mungkin akan
memengsanya atau dari predator lain. Panjang dari komodo yang baru menetas
sekitar 14,8 inchi (37 cm). Komodo muda menghabiskan 3 sampai 4 tahun
pertamanya di atas pohon sampai panjangnya mencapai 1,2 m. Komodo dianggap
dewasa saat umurnya sekitar 5 tahun dan komodo merupakan hewan yang dapat
hidup hingga mencapai umur 50 tahun lebih.
Pada tahun 1981 telah dilakukan penelitian mengenai jumlah populasi
komodo oleh Walter Auffenberg, dan diketahui jumlah populasi komodo saat itu
diperkirakan mencapai 7.213 ekor di seluruh penyebarannya. Sedangkan
penelitian terakhir mengenai jumlah populasi komodo di alam pada tahun 2008
diketahui bahwa populasi komodo di tiga pulau terbesar, yaitu Pulau Komodo
(33.937 hektar, populasi komodo diperkirakan 1.200 ekor), Pulau Rinca (19.627
hektar, 1.100 ekor), dan Pulau Padar (2.017 hektar, diduga sudah tak dihuni
komodo). Selain itu, pulau kecil, Pulau Gili Motang, masih dihuni komodo sekitar
100 ekor.
Berkurangnya populasi komodo ini dapat disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, keterbatasan makanan komodo karena populasi manusia meningkat.
Komodo merupakan hewan karnivora yang biasanya mengonsumsi rusa, kerbau
dan babi hutan, sedangkan sebagian masyarakat di sekitar juga mengonsumsi rusa
dan kerbau. Penyebab kedua, kebakaran hutan yang berimbas juga pada
keterbatasan makanan. Faktor terakhir tentu saja isu global warming yang santer
dibicarakan saat ini. Efek dari global warming menyebabkan perubahan cuaca
yang tidak menentu dan berakibat pula pada populasi komodo.
Menurunnya keberadaan komodo di habitat alaminya ini banyak
mendapatkan ancaman, baik itu ancaman secara langsung maupun tidak langsung
yang mengakibatkan semakin berkurangnya jumlah populasi komodo di
habitatnya. Ancaman yang didapat berupa terjadinya kerusakan pada habitat asli
komodo dan berkurangnya satwa mangsa komodo akibat perburuan liar yang
terjadi sehingga satwa buruan yang menjadi mangsa komodo lambat laun akan
hilang dan akan berakibat pada populasi komodo yang berkurang di habitat
aslinya (Chrismiawati, 2008).
Komodo yang hampir punah ini perlu dilestarikan dengan melakukan
berbagai usaha, dan salah satu usaha ini dapat diwujudkan dengan melakukan
konservasi secara ex-situ. Konservasi secara ex-situ yaitu metode penangkaran
yang berupaya untuk mempertahankan populasi satwa liar yang mulai terancam
kepunahannya dengan prinsip memenuhi kebutuhan satwa untuk hidup layak
dengan mengkondisikan lingkungannya seperti yang ada pada habitat alaminya,
sehingga satwa tersebut dapat berproduksi dan berkembang dengan baik
(Chrismiawati, 2008)
Kebun binatang merupakan salah satu tempat yang dapat dijadikan sebagai
kawasan konservasi bagi spesies – spesies langka yang hampir punah, termasuk
komodo. Salah satunya di kebun binatang Surabaya yang mempunyai fungsi
utama sebagai konservasi untuk melakukan berbagai upaya perawatan dan
penangkaran berbagai jenis satwa dalam rangka membentuk dan mengembangkan
habitat baru sebagai sarana perlindungan dan konservasi alam. Satwa komodo
yang saat ini berada di Kebun Binatang Surabaya diketahui memiliki populasi
sebanyak 57 ekor dan dalam masa penangkaran secara ex-situ.
Keberhasilan suatu usaha penangkaran dari suatu spesies, sangat didukung
oleh pengetahuan dari perilaku satwa tersebut, seperti perilaku makan, istrahat,
sosial dan reproduksi. Komodo melakukan aktifitas pada area padang savanna
berhutan pada saat matahari tidak terlalu terik di habitat alaminya. Komodo sangat
aktif dan melakukan perilaku pergerakan terutama pada sekitar pukul 06.00 -
10.00 WIT pagi dan juga selanjutnya pada pukul 15.00 - 17.00 WIT sore hari dan
selama musim hujan komodo berada di dalam lubang jika merasa sangat dingin
(Erdmann, 2004).
Ditinjau dari ilmu genetika, ekologi, dan populasi, diperlukan kehatian-
hatian untuk melakukan konservasi ex situ. Sebab, jika dilakukan tanpa tinjauan
ilmiah yang mendalam, hasilnya justru membantu mempercepat kepunahan suatu
populasi. Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada
suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang
khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk
menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya.
Konservasi secara in situ contohnya Taman Nasional Komodo yang
terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terleta di antara Pulau Flores dan
Sumbawa, Taman Nasional Komodo memiliki dua substansial pulau, yaitu Pulau
Komodo dan Pulau Rinca, serta tiga pulau kecil yaitu Padar, Gili Dasami, dan Gili
Motang (Walpole, 2001). Memiliki total luas sejumlah 1.817 km², di wilayah
konservasi ini hidup 2500 ekor komodo. Habitat komodo adalah alam terbuka
dengan padang rumput savanna, hutan hujan, pantai berpasir putih, batu karang,
dan pantai yang airnya jernih. Di kawasan ini, dapat ditemukan binatang lain
seperti kuda, banteng liar, rusa, babi hutan jantan, ular, kera, dan berbagai jenis
burung. Taman Nasional komodo ini didirikan pada tahun 1915 oleh pemerintah
Belanda sebagai wilayah konservasi alam untuk binatang Komodo. Pada tahun
1986 Taman Nasional Komodo dinyatakan sebagai World Heritage Site (Situs
Warisan Dunia) dan Man and Biosphere Reserve (Cagar Biosfer Dunia) oleh
UNESCO.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Komodo (Varanus komodoensis) adalah biawak terbesar di dunia dan
merupakan salah satu satwa endemik asli Indonesia yang saat ini dilindungi
keberadaanya dan dapat ditemukan di pulau Komodo, Rinca, Nusa Kode, Gili
Motang, dan pantai barat Flores. Komodo muda dapat tumbuh mencapai
panjang 1 meter dengan warna kulit cokelat muda kegelapan dengan diselingi
garis-garis merah muda dan kuning. Komodo dewasa memiliki kulit berwarna
coklat atau abu-abu. Komodo jantan tumbuh hingga mencapai 3 m,
sedangkan betinanya mencapai 2,4 m.
2. Berkurangnya populasi komodo dapat disebabkan oleh tiga hal, antara lain
keterbatasan makanan komodo karena populasi manusia meningkat,
kebakaran hutan yang berimbas juga pada keterbatasan makanan, dan isu
global warming yang menyebabkan perubahan cuaca yang tidak menentu
sehingga berakibat pula pada populasi komodo.
3. Komodo yang hampir punah ini perlu dilestarikan dengan melakukan
berbagai usaha, dan salah satu usaha ini dapat diwujudkan dengan melakukan
konservasi secara ex-situ dan in situ. Konservasi secara ex-situ yaitu metode
penangkaran yang berupaya untuk mempertahankan populasi satwa liar yang
mulai terancam kepunahannya dengan prinsip memenuhi kebutuhan satwa
untuk hidup layak dengan mengkondisikan lingkungannya seperti yang ada
pada habitat alaminya, sehingga satwa tersebut dapat berproduksi dan
berkembang dengan baik. Konservasi secara in situ contohnya Taman
Nasional Komodo yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
tersebar di beberapa tempat utama yaitu Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau
Padar dan Gili Motang.
DAFTAR REFERENSI
Bull, J. J., Tim S. J., Marvin W. 2010. Deathly Drool: Evolutionary and Ecological Basis of Septic Bacteria in Komodo Dragon Mouths. Plos One 5 (6): 1-7
Ciofi, Claudio. 1999. The Komodo Dragon On a few small islands in the Indonesian archipelago, the world's largest lizard reigns supreme. Scientific American.
Chrismiawati, M. 2008. Identifikasi Karakteristik Sarang Berbiak Komodo (Varanus komodoensis Ouwens, 1912) di loh Buaya Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Departemen konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
D’Amore, Domenic C., Karen M., Colin R. Mc., Stephen W. 2011. The Effects of Biting and Pulling on the Forces Generated during Feeding in the Komodo Dragon (Varanus komodoensis). Plos One 6 (10): 1-8.
Erdmann, A. M., 2004. A Natural History Guide to Komodo National Park. The Nature Conservancy
Merchant, Mark., Danyell H., Rodolfo F., Becky M., Judith Bryja. 2012. Characterization of serum complement activity in serum of the Komodo dragon (Varanus komodoensis). Advances in Biological Chemistry 2 (353-359). USA.
Usboko, Erdward. 2009. Studi Pola Penggunaan Ruang Berbagai Kelas Umur Biawak Komdom(Varanus komodoensis Ouwens) di Loh Buaya-Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Departemen konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Walpole, Matthew J. 2001. Feeding dragons in Komodo National Park: a tourism tool with conservation complications. Animal Conservation ‘The Zoological Society of London’. United Kingdom
.