1
4 Jumat, 3 Mei 2019 RISET INDEPENDEN Penyaluran PKH Diklaim Tepat Sasaran Bisnis, JAKARTA — Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di seluruh Indonesia, menun- jukkan soliditas dalam hal percepatan penanggulangan kemiskinan. Hal tersebut terlihat dari hasil ri- set independen Kemensos dan Bill & Melinda Gates Foundation yang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan para KPM atas pelaksanaan PKH di Tanah Air selama ini mencapai 93,2%. Selain itu, hasil riset juga menun- jukkan bahwa adanya pelaksanaan PKH selama ini juga telah memberikan dampak positif lain yang dinikmati para KPM, seperti kesehatan, pendidikan, dan akses layanan keuangan melalui lembaga keuangan resmi. Menteri Sosial Agus Gumiwang Kar- tasasmita mengungkapkan, tingkat kepuasan KPM PKH yang mencapai 93,2% terhadap pelaksanaan program tersebut menunjukkan korelasi yang positif dengan manfaat penggunaan dana bansos PKH dari KPM tersebut. “Hal ini merefleksikan program bansos PKH yang menyasar KPM tersebut diterima dengan baik dan penggunaannya sesuai sebagaimana ketentuan yang disyaratkan pemerintah,” ujar Agus, Kamis (2/3). Hasil riset juga menyatakan bahwa 93% puas terhadap keteraturan pene- rimaan dana bansos PKH ke dalam rekening, 92% puas terhadap respons Contact Center PKH dalam menanggapi aduan, 94% puas terhadap pendam- pingan oleh Pendamping PKH. Hingga saat ini, penyaluran dana bantuan sosial melalui PKH telah men- capai 57% dari total anggaran yang disiapkan tahun ini sebesar Rp34,4 triliun atau setara Rp19,6 triliun. Agus menerangkan bahwa dana yang telah tersalurkan tersebut terbagi dalam dua tahap penyaluran, yakni tahap pertama disalurkan Januari dan tahap kedua pada April 2019. “Tahap satu dan tahap kedua sudah 57% dari total Rp34,4 triliun,” ujarnya. Sisa dari alokasi anggaran yang be- lum tersalurkan tersebut, baru akan disalurkan pada tahap ketiga yang dijadwalkan dilaksanakan pada Juli dan tahap keempat pada Oktober. Terkait wacana penambahan jumlah keluarga penerima manfaat pada 2020 menjadi lebih tinggi dari alokasi saat ini sebesar 10 juta keluarga, dinilai masih sebatas wacana. (Puput Ady Sukarno) LAPORAN DARI FIJI Bekerja Sama Melindungi Pembangunan Ekonomi Farodlilah Muqoddam [email protected] B ambang Susantono terkejut mendapati ranjangnya hampir terendam air ketika terbangun dari tidur menje- lang subuh pada 11 Februari 2018. Kondisi gelap gulita. Sambil mengumpulkan kesa- daran, dia mencoba mencerna situasi apa yang mengancam di luar kamar. Setelah berpikir beberapa saat, Bambang memutuskan untuk mengambil paspor yang tergeletak di tempat tidurnya. Paspor itu kemudian dibung- kus dalam plastik kedap air. Sebuah keputusan tepat, karena tanpa barang bawa- an, langkahnya lebih ringan ketika ternyata harus melewati banjir besar. Tepat ketika pintu kamar dibuka, air menerobos masuk dan merendam seluruh isi ruangan. Padahal, kamar itu berlokasi di lantai dua. Air ada di mana-mana. Semalam sebelumnya, pria yang menjabat sebagai Vice-President Knowledge Management and Sustainable Development Asian Develop- ment Bank (ADB) itu sudah mendapatkan informasi me- ngenai potensi badai berska- la rendah hingga menengah yang akan menerpa Samoa, sebuah negara kecil di Kepu- lauan Pasifik. Bambang tidak menyangka bahwa badai yang datang justru merupakan salah satu badai terbesar yang pernah melanda Samoa. “Ternyata, tanggul yang dibangun oleh hotel yang saya tinggali roboh diterjang gelombang sehingga air laut masuk semua,” ujarnya, saat ditemui di sela-sela ADB Annual Meeting 2019 di Nadi, Fiji, Kamis (2/5). Badai Gita yang melanda Samoa pada awal Februari 2018 itu membuat ekonomi lumpuh. Berdasarkan data Asian Development Outlook 2019, pertumbuhan ekonomi Samoa pada 2018 merosot ke level 0,9% dari posisi pada tahun sebelumnya yang men- capai 2,7%. Menurut Bambang, risiko bencana alam menjadi salah satu ancaman terbesar terha- dap pertumbuhan ekonomi negara-negara kecil. Pasalnya, bencana alam menghancurkan pusat-pusat ekonomi yang menjadi tulang punggung per- tumbuhan produk domestik bruto (PDB). “Dalam satu kali bencana alam, sekitar 30% PDB suatu negara kecil bisa lenyap. Dan dibutuhkan waktu hingga 2 atau 3 tahun untuk bisa pulih lagi,” katanya. Secara umum, ADB me- nilai negara-negara di Asia Pasifik memiliki potensi besar untuk terus menggen- jot pertumbuhan ekonomi. Saat ini, nilai PDB negara di kawasan ini berkontribusi hingga sepertiga dari total PDB global. Sejumlah negara berkem- bang di Asia Pasifik juga dinilai telah berhasil menu- runkan angka kemiskinan secara signifikan. Sebagian besar negara di kawasan bahkan diperkirakan men- capai level sebagai negara berpendapatan menengah pada 2020. Akan tetapi, potensi pertum- buhan ekonomi di wilayah Asia Pasifik terancam oleh bencana alam. Apalagi, ne- gara-negara ini tidak memiliki perlindungan asuransi yang memadai untuk mengantisipa- si risiko bencana alam. Menurut ADB, rata-rata tingkat penetrasi asuransi (in- surance rate) di wilayah Asia Pasifik hanya 8%, jauh lebih rendah daripada negara-negara berkembang yang mencapai 40%. “Ini yang membuat dampak bencana alam menja- di makin parah,” ujarnya. Menurut Bambang, baik pemerintah maupun swasta harus bekerja sama un- tuk membangun ketahanan wilayah terhadap ancaman bencana alam. Di satu sisi, pihak swasta bergantung kepada infrastruk- tur publik untuk memastikan bisnis tetap berjalan. Di sisi lain, pemerintah berharap kepada bisnis yang resilien agar pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat tercapai. “Termasuk di Indonesia. In- surance rate juga masih relatif rendah, karena masih ada mismatch antara industri asu- ransi dan pemerintah terkait dengan terms and conditions dalam asuransi. Ini yang se- dang kami jembatani, karena ini terkait dengan premi yang harus dibayarkan.” Di sisi lain, ADB juga men- dorong pembangunan infra- struktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan prinsip ketahanan terhadap bencana. Menurut ADB, saat ini proyek yang dijalankan oleh pemerintah pusat sudah mengadopsi prinsip tersebut, tetapi perlu dipastikan seluruh proyek yang dibangun hingga ke tingkat daerah memiliki standar yang sama. RENTAN BENCANA Menurut ADB, sekitar em- pat dari lima orang di negara berkembang Asia Pasifik rentan terpapar risiko ben- cana alam. Jumlah korban tewas akibat bencana alam di kawasan ini mencapai 55% dari total korban jiwa akibat bencana di seluruh dunia. Nilai kerusakan akibat bencana alam di wilayah ini mencapai 26% dari total nilai kerusakan akibat bencana alam global pada periode 2000—2018. Cuaca ekstrim menjadi masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah ini. Sementara itu, bencana alam berupa gempa bumi menjadi bencana yang paling banyak memakan korban jiwa. Risiko bencana alam terjadi di hampir seluruh wilayah, tidak terbatas pada area tertentu. Industri asuransi dan re- asuransi memiliki kapasitas untuk mengkuantifikasi dan mengelola risiko bencana alam dan perubahan iklim. Para ahli di industri ini bisa membagikan pengetahuan itu kepada para pengambil kebi- jakan maupun para pelaku usaha di sektor lain untuk memitigasi risiko bencana alam melalui asuransi. Bisnis/Dedi Gunawan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution (kiri) bersama Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (kedua kanan) secara simbolis menyerahkan tabungan simpanan pelajar (Simpel) kepada siswa berprestasi pada acara Aksi Pelajar Indonesia Menabung di Jakarta, Kamis (2/5). OJK menekankan pentingnya menabung sejak dini, karena menabung mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tidak langsung. AKSI PELAJAR INDONESIA MENABUNG EKONOMI DIGITAL Mencari Skema Pemajakan Terbaik Skema pemajakan digital belum juga mendapatkan lampu hijau dalam pembahasan di Task Force on Digital Economy (TFDE) yang akan berakhir pada 2020. Edi Suwiknyo [email protected] N amun demikian, Orga- nization for Economic Co-operation Development (OECD) belum lama ini mengumumkan adanya perkembangan baru pada proses pemajakan ekonomi digital yang dimuat dalam Policy Note yang terdiri dari dua pilar utama. Pilar pertama bertujuan untuk meng- atur alokasi pemajakan secara lebih adil dengan memperluas hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar melalui pendekat- an user participation, marketing intang- ibles, dan sufficient economic presense. Adapun pilar yang kedua adalah fokus terhadap keberadaan global anti- base erosion rule. Tiga skema yang disebutkan dalam pilar pertama ini sebenarnya lebih menekankan mengenai cara untuk menentukan indikator-indikator dari kehadiran bentuk usaha tetap (BUT) dalam yurisdiksi pajak. Apalagi dalam perspektif global, selama ini ada kecenderungan bah- wa penetapan BUT ditentukan dalam kehadiran fisik. Padahal untuk kasus ekonomi digital, skema penetapan BUT secara konvensional sudah ketinggalan zaman. Konsep user participation sendiri me- nekankan penetapan keberadaan suatu entitas digital di suatu negara didasar- kan pada ada tidaknya atau seberapa besar pengguna dari produk digital di suatu yurisdiksi. Intinya, suatu entitas digital dianggap memiliki kehadiran dan bisa dipajaki, dilihat dari penetrasi kon- sumen yang berada di negara tersebut. Sementara itu, marketing intangibles adalah suatu keberadaan entitas digital akan dilihat berdasarkan faktor pasar dari entitas tersebut misalnya terkait dengan merek dan keberadaan pengo- lahan data dari user tersebut. Sementa- ra itu yang terakhir, sufficient economic presense atau kehadiran entitas digital diukur dari dampak entitas tersebut ke ekonomi di satu yurisdiksi pajak. Partner Fiscal Research DDTC Bawo- no Kristiaji mengatakan, pada prinsip- nya ketiga bentuk proposal tersebut sangat menguntungkan Indonesia seba- gai yurisdiksi pasar. Meski demikian, setiap opsi tersebut memiliki keuntung- an dan kesulitan yang berbeda-beda. “Paling mudah diterapkan di Indo- nesia user participation. Sebab kalau bicara marketing intangibles ini masih ada kompleksitasnya,” kata Bawono saat memaparkan Indonesia Taxation Quarterly Report Q1/2019 Tax and Digital Economy: Threats and Opportu- nities, di Jakarta, Kamis (2/5). Bawono menjelaskan, masing-masing proposal ini sebenarnya hanya ingin memperlihatkan pihak mana saja yang mendapatkan ‘kue’-nya yang lebih besar. Akan tetapi, mendapatkan ‘kue’ yang besarpun dalam ekonomi digital juga belum tentu bisa dilakukan, apalagi sejauh ini konsensus ke arah pengimplementasian ketiga proposal tersebut masih cukup susah. Nah kalau nanti kita akan membi- carakan user participation, ini tampak- nya akan ditentang oleh negara-negara domisilinya raksasa-raksasa teknologi,” ungkapnya. Adapun sebelumnya, Ditjen Pajak mengakui bahwa disrupsi yang mengu- bah lanskap perekonomian global telah menghadirkan tantangan bagi otoritas pajak. “Banyak negara termasuk Indo- nesia menyikapi perubahaan tersebut dengan melakukan reformasi pajak untuk memodernisasi administrasi pajak dan menyempurnakan perangkat peraturan di bidang pajak,” jelas Dir- ektur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol. Di Indonesia upaya mengenai pemajakan ekonomi digital mulai dijalankan oleh pemerin- tah yakni dengan menerbitkan PMK 210/2018 tentang e-commerce yang akhirnya dicabut. Selain itu, tahun ini pemerintah juga telah menerbitkan PMK Nomor 35 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. Memahami Model Bisnis Identifikasi sejauh mana ketentuan pajak relevan dengan model bisnis Memilih solusi; kebijakan, administrasi atau keduanya Over The Top Pelaku e-commerce Jenis ekonomi digital lainnya User Participation Marketing intangibles Sufficient economic present Anti-beps rules Income inclusion rule Tax on base eroding payment Tantangan Sasaran Pilar pertama Pilar kedua Sumber: OECD, Indonesia Taxation Quarterly Report 2019 DDTC BISNIS/TRI UTOMO Tantangan dan Solusi Pemajakan Digital Skema user participation dinilai paling mudah diterap- kan di Indonesia. MAKROEKONOMI

EKONOMI DIGITAL AKSI PELAJAR INDONESIA MENABUNG … · 2019. 5. 3. · dorong pembangunan infra-struktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan prinsip ketahanan terhadap

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: EKONOMI DIGITAL AKSI PELAJAR INDONESIA MENABUNG … · 2019. 5. 3. · dorong pembangunan infra-struktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan prinsip ketahanan terhadap

4 Jumat, 3 Mei 2019

�RISET INDEPENDEN

Penyaluran PKH Diklaim Tepat Sasaran

Bisnis, JAKARTA — Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di seluruh Indonesia, menun-jukkan soliditas dalam hal percepatan penanggulangan kemiskinan.

Hal tersebut terlihat dari hasil ri-set independen Kemensos dan Bill & Melinda Gates Foundation yang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan para KPM atas pelaksanaan PKH di Tanah Air selama ini mencapai 93,2%.

Selain itu, hasil riset juga menun-jukkan bahwa adanya pelaksanaan PKH selama ini juga telah memberikan dampak positif lain yang dinikmati para KPM, seperti kesehatan, pendidikan, dan akses layanan keuangan melalui lembaga keuangan resmi.

Menteri Sosial Agus Gumiwang Kar-tasasmita mengungkapkan, tingkat kepuasan KPM PKH yang mencapai 93,2% terhadap pelaksanaan program tersebut menunjukkan korelasi yang positif dengan manfaat penggunaan dana bansos PKH dari KPM tersebut.

“Hal ini merefl eksikan program bansos PKH yang menyasar KPM tersebut diterima dengan baik dan penggunaannya sesuai sebagaimana ketentuan yang disyaratkan

pemerintah,” ujar Agus, Kamis (2/3).Hasil riset juga menyatakan bahwa

93% puas terhadap keteraturan pene-rimaan dana bansos PKH ke dalam rekening, 92% puas terhadap respons Contact Center PKH dalam menanggapi aduan, 94% puas terhadap pendam-pingan oleh Pendamping PKH.

Hingga saat ini, penyaluran dana bantuan sosial melalui PKH telah men-capai 57% dari total anggaran yang disiapkan tahun ini sebesar Rp34,4 triliun atau setara Rp19,6 triliun.

Agus menerangkan bahwa dana yang telah tersalurkan tersebut terbagi dalam dua tahap penyaluran, yakni tahap pertama disalurkan Januari dan tahap kedua pada April 2019.

“Tahap satu dan tahap kedua sudah 57% dari total Rp34,4 triliun,” ujarnya.

Sisa dari alokasi anggaran yang be-lum tersalurkan tersebut, baru akan disalurkan pada tahap ketiga yang dijadwalkan dilaksanakan pada Juli dan tahap keempat pada Oktober.

Terkait wacana penambahan jumlah keluarga penerima manfaat pada 2020 menjadi lebih tinggi dari alokasi saat ini sebesar 10 juta keluarga, dinilai masih sebatas wacana. (Puput Ady Sukarno)

�LAPORAN DARI FIJI

Bekerja Sama Melindungi Pembangunan Ekonomi

Farodlilah [email protected]

Bambang Susantono terkejut mendapati ranjangnya hampir terendam air ketika

terbangun dari tidur menje-lang subuh pada 11 Februari 2018. Kondisi gelap gulita. Sambil mengumpulkan kesa-daran, dia mencoba mencerna situasi apa yang mengancam di luar kamar.

Setelah berpikir beberapa saat, Bambang memutuskan untuk mengambil paspor yang tergeletak di tempat tidurnya. Paspor itu kemudian dibung-kus dalam plastik kedap air. Sebuah keputusan tepat, karena tanpa barang bawa-an, langkahnya lebih ringan ketika ternyata harus melewati banjir besar.

Tepat ketika pintu kamar dibuka, air menerobos masuk dan merendam seluruh isi ruangan. Padahal, kamar itu berlokasi di lantai dua. Air ada di mana-mana.

Semalam sebelumnya, pria yang menjabat sebagai Vice-President Knowledge Management and Sustainable Development Asian Develop-ment Bank (ADB) itu sudah mendapatkan informasi me-ngenai potensi badai berska-la rendah hingga menengah yang akan menerpa Samoa, sebuah negara kecil di Kepu-lauan Pasifi k.

Bambang tidak menyangka bahwa badai yang datang justru merupakan salah satu badai terbesar yang pernah melanda Samoa.

“Ternyata, tanggul yang dibangun oleh hotel yang saya tinggali roboh diterjang gelombang sehingga air laut masuk semua,” ujarnya, saat ditemui di sela-sela ADB Annual Meeting 2019 di Nadi, Fiji, Kamis (2/5).

Badai Gita yang melanda Samoa pada awal Februari 2018 itu membuat ekonomi lumpuh. Berdasarkan data Asian Development Outlook 2019, pertumbuhan ekonomi Samoa pada 2018 merosot ke level 0,9% dari posisi pada tahun sebelumnya yang men-capai 2,7%.

Menurut Bambang, risiko bencana alam menjadi salah satu ancaman terbesar terha-dap pertumbuhan ekonomi negara-negara kecil. Pasalnya, bencana alam menghancurkan pusat-pusat ekonomi yang menjadi tulang punggung per-tumbuhan produk domestik bruto (PDB).

“Dalam satu kali bencana alam, sekitar 30% PDB suatu negara kecil bisa lenyap. Dan dibutuhkan waktu hingga 2 atau 3 tahun untuk bisa pulih lagi,” katanya.

Secara umum, ADB me-nilai negara-negara di Asia Pasifi k memiliki potensi besar untuk terus menggen-jot pertumbuhan ekonomi. Saat ini, nilai PDB negara di kawasan ini berkontribusi hingga sepertiga dari total PDB global.

Sejumlah negara berkem-bang di Asia Pasifi k juga dinilai telah berhasil menu-runkan angka kemiskinan secara signifi kan. Sebagian besar negara di kawasan bahkan diperkirakan men-capai level sebagai negara berpendapatan menengah pada 2020.

Akan tetapi, potensi pertum-buhan ekonomi di wilayah Asia Pasifi k terancam oleh bencana alam. Apalagi, ne-gara-negara ini tidak memiliki perlindungan asuransi yang memadai untuk mengantisipa-si risiko bencana alam.

Menurut ADB, rata-rata tingkat penetrasi asuransi (in-surance rate) di wilayah Asia Pasifi k hanya 8%, jauh lebih rendah daripada negara-negara berkembang yang mencapai 40%. “Ini yang membuat dampak bencana alam menja-di makin parah,” ujarnya.

Menurut Bambang, baik pemerintah maupun swasta harus bekerja sama un-tuk membangun ketahanan wilayah terhadap ancaman bencana alam.

Di satu sisi, pihak swasta bergantung kepada infrastruk-tur publik untuk memastikan bisnis tetap berjalan.

Di sisi lain, pemerintah berharap kepada bisnis yang resilien agar pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan

dapat tercapai.“Termasuk di Indonesia. In-

surance rate juga masih relatif rendah, karena masih ada mismatch antara industri asu-ransi dan pemerintah terkait dengan terms and conditions dalam asuransi. Ini yang se-dang kami jembatani, karena ini terkait dengan premi yang harus dibayarkan.”

Di sisi lain, ADB juga men-dorong pembangunan infra-struktur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan prinsip ketahanan terhadap bencana.

Menurut ADB, saat ini proyek yang dijalankan oleh pemerintah pusat sudah mengadopsi prinsip tersebut, tetapi perlu dipastikan seluruh proyek yang dibangun hingga ke tingkat daerah memiliki standar yang sama.

RENTAN BENCANAMenurut ADB, sekitar em-

pat dari lima orang di negara berkembang Asia Pasifi k rentan terpapar risiko ben-cana alam. Jumlah korban tewas akibat bencana alam di kawasan ini mencapai 55% dari total korban jiwa akibat bencana di seluruh dunia. Nilai kerusakan akibat bencana alam di wilayah ini mencapai 26% dari total nilai kerusakan akibat bencana alam global pada periode 2000—2018.

Cuaca ekstrim menjadi masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah ini.

Sementara itu, bencana alam berupa gempa bumi menjadi bencana yang paling banyak memakan korban jiwa. Risiko bencana alam terjadi di hampir seluruh wilayah, tidak terbatas pada area tertentu.

Industri asuransi dan re-asuransi memiliki kapasitas untuk mengkuantifi kasi dan mengelola risiko bencana alam dan perubahan iklim. Para ahli di industri ini bisa membagikan pengetahuan itu kepada para pengambil kebi-jakan maupun para pelaku usaha di sektor lain untuk memitigasi risiko bencana alam melalui asuransi.

Bisnis/Dedi Gunawan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution (kiri) bersama Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (kedua kanan) secara simbolis menyerahkan tabungan simpanan pelajar (Simpel) kepada siswa berprestasi pada acara Aksi Pelajar Indonesia Menabung di Jakarta, Kamis (2/5). OJK menekankan pentingnya menabung sejak dini, karena menabung mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tidak langsung.

�AKSI PELAJAR INDONESIA MENABUNG �EKONOMI DIGITAL

Mencari Skema Pemajakan Terbaik

Skema pemajakan digital belum juga mendapatkan lampu hijau dalam pembahasan di Task Force on Digital

Economy (TFDE) yang akan berakhir pada 2020.

Edi [email protected]

Namun demikian, Orga-nization for Economic Co-operation Development (OECD) belum lama ini mengumumkan adanya perkembangan baru pada

proses pemajakan ekonomi digital yang dimuat dalam Policy Note yang terdiri dari dua pilar utama.

Pilar pertama bertujuan untuk meng-atur alokasi pemajakan secara lebih adil dengan memperluas hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar melalui pendekat-an user participation, marketing intang-ibles, dan suffi cient economic presense.

Adapun pilar yang kedua adalah fokus terhadap keberadaan global anti-base erosion rule.

Tiga skema yang disebutkan dalam pilar pertama ini sebenarnya lebih menekankan mengenai cara untuk menentukan indikator-indikator dari kehadiran bentuk usaha tetap (BUT) dalam yurisdiksi pajak.

Apalagi dalam perspektif global, selama ini ada kecenderungan bah-wa penetapan BUT ditentukan dalam kehadiran fi sik. Padahal untuk kasus

ekonomi digital, skema penetapan BUT secara konvensional sudah ketinggalan zaman.

Konsep user participation sendiri me-nekankan penetapan keberadaan suatu entitas digital di suatu negara didasar-kan pada ada tidaknya atau seberapa besar pengguna dari produk digital di suatu yurisdiksi. Intinya, suatu entitas digital dianggap memiliki kehadiran dan bisa dipajaki, dilihat dari penetrasi kon-sumen yang berada di negara tersebut.

Sementara itu, marketing intangibles adalah suatu keberadaan entitas digital akan dilihat berdasarkan faktor pasar dari entitas tersebut misalnya terkait dengan merek dan keberadaan pengo-lahan data dari user tersebut. Sementa-ra itu yang terakhir, suffi cient economic presense atau kehadiran entitas digital diukur dari dampak entitas tersebut ke ekonomi di satu yurisdiksi pajak.

Partner Fiscal Research DDTC Bawo-no Kristiaji mengatakan, pada prinsip-nya ketiga bentuk proposal tersebut sangat menguntungkan Indonesia seba-gai yurisdiksi pasar. Meski demikian, setiap opsi tersebut memiliki keuntung-an dan kesulitan yang berbeda-beda.

“Paling mudah diterapkan di Indo-nesia user participation. Sebab kalau

bicara marketing intangibles ini masih ada kompleksitasnya,” kata Bawono saat memaparkan Indonesia Taxation Quarterly Report Q1/2019 Tax and Digital Economy: Threats and Opportu-nities, di Jakarta, Kamis (2/5).

Bawono menjelaskan, masing-masing proposal ini sebenarnya hanya ingin memperlihatkan pihak mana saja yang mendapatkan ‘kue’-nya yang lebih besar. Akan tetapi, mendapatkan ‘kue’ yang besarpun dalam ekonomi digital juga belum tentu bisa dilakukan, apalagi sejauh ini konsensus ke arah pengimplementasian ketiga proposal tersebut masih cukup susah.

“Nah kalau nanti kita akan membi-carakan user participation, ini tampak-nya akan ditentang oleh negara-negara domisilinya raksasa-raksasa teknologi,” ungkapnya.

Adapun sebelumnya, Ditjen Pajak mengakui bahwa disrupsi yang mengu-bah lanskap perekonomian global telah menghadirkan tantangan bagi otoritas pajak. “Banyak negara termasuk Indo-nesia menyikapi perubahaan tersebut dengan melakukan reformasi pajak untuk memodernisasi administrasi pajak dan menyempurnakan perangkat peraturan di bidang pajak,” jelas Dir-ektur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol.

Di Indonesia upaya mengenai pemajakan ekonomi digital mulai dijalankan oleh pemerin-tah yakni dengan menerbitkan PMK 210/2018 tentang e-commerce yang akhirnya dicabut. Selain itu, tahun ini pemerintah juga telah menerbitkan PMK Nomor 35 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap.

Memahami Model Bisnis

Identifikasi sejauh mana ketentuan pajak relevan dengan model bisnis

Memilih solusi; kebijakan, administrasi atau keduanya

Over The Top

Pelakue-commerce

Jenis ekonomi digital lainnya

User Participation

Marketing intangibles

Sufficienteconomicpresent

Anti-beps rules

Income inclusion rule

Tax on base eroding payment

Tantangan Sasaran Pilar pertama Pilar kedua

Sumber: OECD, Indonesia Taxation Quarterly Report 2019 DDTC BISNIS/TRI UTOMO

Tantangan dan Solusi Pemajakan Digital

�Skema user participation dinilai paling mudah diterap-kan di Indonesia.

M A K R O E K O N O M I